skripsi komunikasi tirta

Download Skripsi Komunikasi Tirta

If you can't read please download the document

Upload: menjadi-indonesia

Post on 12-Jun-2015

4.581 views

Category:

Documents


11 download

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang Masalah Dunia periklanan saat ini telah menjadi dunia yang besar, dunia yang memiliki banyak penggemar. Iklan telah menjadi media andalan bagi para produsen untuk memperkenalkan produk mereka. Karena tidak dapat dipungkiri, iklan mampu menyihir banyak khalayak. Pada dasarnya, periklanan merupakan sebuah bentuk komunikasi massa yang digunakan oleh pengiklan untuk menyampaikan pesan-pesan atau informasi kepada khalayak melalui media tertentu (Suhandang, 2005). Pesan yang terkandung dalam iklan memiliki pengaruh luar biasa terhadap khalayak untuk memicu terjadinya konsumsi produk. Hingga akhirnya produk tersebut, sadar tidak sadar, telah menjadi bagian dari kehidupan konsumen. Salah satunya melalui acara Idol Hi-Five, dalam acara tersebut diperlihatkan bagaimana para idol (peserta Indonesian Idol) selalu mengkonsumsi produk Indomie atau menggunakan atribut-atribut Indomie di segala kesempatan dalam keseharian mereka. Iklan televisi memang telah menjadi kekuatan baru yang mampu mempengaruhi khalayak untuk melakukan apa yang diinginkan pengiklan secara sukarela. Imbas dari suguhan iklan tak lain telah mengkondisikan

1

khalayak untuk mengeluarkan uang, hanya untuk sekedar mencoba suatu produk baru yang ditawarkan dalam iklan. Bahkan tak jarang, semua itu dilakukan hanya untuk memenuhi tuntutan akan gaya hidup modern. Televisi, merupakan primadona media yang memberikan kontribusi luar biasa dalam kehidupan masyarakat. Televisi dipandang sebagai alat komunikasi yang harus ada dalam sebuah keluarga. Singkatnya, media televisi telah menjadi bagian tak terpisahkan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Dalam deretan media informasi, televisi memiliki daya penetrasi terbesar dibandingkan media lainnya. Seperti yang ditunjukkan oleh data dari Media Index-Nielsen Media Research pada tahun 2004 (Wirodono, 2006). Diperlihatkan bahwa penetrasi media televisi mencapai 90,7%, radio 39%, surat kabar 29,8%, majalah 22,4%, internet 8,8% dan bioskop 15%. Potongan kue untuk belanja iklan terbanyak pada tahun 2001 pun sukses diraih media televisi dengan angka 72%, sedangkan surat kabar dan majalah masing-masing hanya mendapat jatah 23% dan 5% (data AC Nielsen, dalam Sumartono, 2002). Jelas, media televisi merupakan media periklanan favorit bagi para produsen untuk mengkomunikasikan produknya. Pada prakteknya, iklan televisi membutuhkan frekuensi dan intensitas dalam penyampaiannya. Karena dengan begitu maka iklan tersebut dapat benar-benar meresap dalam benak khalayak. Seperti kata Adhy Trisnanto, dalam bukunya Cerdas Beriklan (2007), yang menyebutkan bahwa iklan

2

bukanlah sulap. Serba instan, serba ajaib. Sangat tidak mungkin, sebuah produk akan langsung terkenal hanya dengan satu atau dua kali pengiklanan. Semua tetap membutuhkan proses. Langkah terpenting dalam mengembangkan sebuah program pembuatan iklan adalah mengenali khalayak sasaran iklan tersebut. Dengan mengetahui profil khalayak sasarannya yang mencakup gaya hidup, sikap, dan nilai-nilai pemikirannya, maka akan memudahkan pembuatan model iklannya

(Suhandang, 2005). Jenis sasaran yang dituju iklan bermacam-macam, tergantung produk yang diiklankan. Bila dilihat dari golongan usia maka sasaran tersebut antara lain anak-anak, remaja, dewasa, dan orang tua. Diantara golongan tersebut, remaja merupakan sasaran yang sangat menjanjikan bagi para produsen. Hal ini dapat dimengerti, mengingat usia remaja adalah usia yang sangat rentan terhadap pengaruh luar. Masa remaja merupakan masa peralihan seorang individu. Pada masa ini, seorang remaja akan berusaha mencari identitas dirinya. Ia merasa bahwa ada banyak hal yang harus dipersiapkan untuk memasuki fase dewasa yang akan mereka hadapi. (www.e-psikologi.com/remaja/191101.htm). Sajian iklan televisi yang atraktif dengan kreasi pesan yang menarik, mampu mempersuasi kaum remaja dengan sempurna. Belum lagi kehadiran public figure, membuat remaja selalu tertarik untuk mencoba produk yang ditawarkan. Tujuan utama dari demonstrasi produk di televisi tersebut, tentu saja diharapkan adanya perubahan sikap dan perilaku pada remaja. Imbas dari

3

itu semua, adalah munculnya perilaku konsumtif di kalangan remaja. Perilaku konsumtif ini dapat diartikan sebagai suatu perilaku atau tindakan yang berlebihan terhadap penggunaan suatu produk (Sumartono, 2002). Istilah korban iklan, sepertinya tepat bila digunakan sebagai titel bagi remaja yang terperosok dalam perilaku berlebihan ini. Menurut Wirodono (2006) dogma-dogma, instruksi-instruksi, dan irasionalitas yang dijejalkan secara overdosis dalam bahasa penyampaian iklan memiliki sumbangan penting terhadap tumpulnya kecermatan berpikir, kebebasan dalam

menentukan pilihan, atau kemandirian untuk berbeda dengan yang lain. Iklan dan televisi dianggap telah menjadikan masyarakat seragam dan konsumtif. Bukan hal aneh bila remaja saat ini rela menghabiskan uang jajannya untuk membeli produk-produk iklan yang mereka inginkan, bukan mereka butuhkan. Untuk menjaga penampilan, mereka gunakan aksesoris dan aneka kosmetik teranyar. Bukan hanya untuk menarik perhatian, tapi juga untuk simbol bahwa mereka adalah remaja modern yang tidak pernah ketinggalan trend terbaru. Varian ponsel terbaru dengan fitur-fitur canggih pun tidak terlewatkan. Berganti-ganti handphone adalah kewajiban bagi mereka. Pada strata yang lebih tinggi, berganti-ganti motor atau mobil sebagai kendaraan pribadi juga lazim dilakukan. Semua dengan latar belakang prestige. Para remaja menganggap gaya hidup bermewah-mewah dengan berbagai merk terkenal tersebut sebagai hal yang wajar, karena dengan begitu mereka akan selalu trendi, tidak dianggap kuper (kurang pergaulan), dan memudahkan mereka untuk masuk dalam komunitas atau kelompok tertentu dalam

4

lingkungannya (www2.kompas.com/kesehatan/news/0508/27/083858.htm). Berbagai penelitian yang dirangkum Sumartono (2002) telah

mendukung hal tersebut. Penelitian Lina dan Rosyid di Yogyakarta, mengungkapkan bahwa remaja usia 16 s/d 18 tahun memiliki perilaku konsumtif dalam berpakaian, kosmetik, dan perhiasan. Lalu hasil penelitian Reynold yang menyatakan bahwa remaja usia 16 s/d 19 tahun membelanjakan uangnya lebih banyak untuk keperluan menunjang penampilan diri. Proses identifikasi remaja dalam masa perkembangannya, berhasil dimanfaatkan iklan televisi untuk menciptakan ketergantungan atas produk yang diiklankan. Remaja bergerak bukan atas dasar kebutuhan, melainkan semata-mata karena keinginan dan kesenangan. Terpaan iklan televisi merupakan faktor kuat penyebab perilaku konsumtif ini. Menurut Sumartono (2002), gejala munculnya perilaku konsumtif di kalangan remaja juga disebabkan oleh adanya terpaan iklan-iklan di televisi yang menyajikan pesanpesan yang tidak sesuai dengan kenyataannya. Iklan televisi sering tampil dengan menyuguhkan produk yang dilebihlebihkan, sehingga mendorong para remaja untuk mencobanya. Sebuah kehidupan yang didesain sedemikian rupa oleh pengiklan semata-mata untuk mempengaruhi remaja, Yasraf. A. Piliang (1997) mengistilahkannya sebagai realitas semu yang jelas menyesatkan. Ciri khas remaja yang mudah terbujuk iklan berhasil dilirik pihak pengiklan. Meminjam istilah Jaya Suprana (1997), konsumteror, budaya

5

konsumtif di kalangan remaja sangat menggembirakan para produsen. Tanpa ampun, mereka memberondong remaja dengan segudang produk kesukaan remaja. Semuanya ditembakkan dari senapan ampuh bernama iklan. Perilaku konsumtif remaja jelas tidak dapat dihindari lagi. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, peneliti memfokuskan objek pada pengaruh terpaan iklan televisi terhadap perilaku konsumtif remaja. Dengan asumsi, remaja memiliki tingkat konsumerisme yang paling tinggi diantara golongan usia yang lain. Peneliti melihat bagaimana saat ini para remaja seakan tak terpisahkan dengan produk-produk yang ditawarkan iklan. Akibatnya, gaya hidup konsumtif telah menjadi budaya tersendiri bagi para remaja. Seperti yang peneliti dapati pada para remaja di SMU Bruderan, Purwokerto. Melalui pra-survei yang dilakukan dengan cara observasi, peneliti berkesimpulan bahwa siswa-siswi SMU Bruderan dapat dikatakan konsumtif. Hal ini ditunjukkan oleh perilaku mereka dalam berpakaian, penggunaan aneka kosmetik, penggunaan aksesoris dan perhiasan, serta penggunaan handphone dan kendaraan pribadi yang cenderung konsumtif. Itulah mengapa peneliti mengadakan penelitian dengan bertempat di SMU Bruderan. Penelitian ini berusaha untuk mengkaji apakah perilaku konsumtif tersebut memang disebabkan oleh terpaan iklan di televisi, atau disebabkan oleh faktor lain. I.2. Perumusan Masalah

6

Berdasarkan latar belakang masalah, maka pertanyaan yang ingin dijawab dalam penelitian ini yaitu, seberapa kuat pengaruh terpaan iklan televisi terhadap perilaku konsumtif remaja?

I.3. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui ada atau tidak pengaruh antara terpaan iklan televisi terhadap perilaku konsumtif remaja? 2. Jika ada seberapa kuat pengaruh tersebut secara kuantitatif?

I.4. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Setidaknya ada manfaat teoritis yang didapatkan dari penelitian ini: a. Menambah khazanah keilmuan komunikasi khususnya bidang komunikasi massa dan periklanan di media massa, b. Menambah referensi penelitian mengenai periklanan di media massa. 2. Manfaat Praktis Bagi pembaca agar lebih kritis dalam melakukan pembacaan dan pemaknaan terhadap pesan komunikasi yang dia terima dari media massa. Bagi komunikator media massa, agar lebih memperhatikan etika dan dampak yang timbul dari pesan komunikasi yang mereka hasilkan.

7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORITIK

II.1. Tinjauan Pustaka Tinjauan pustaka dalam penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui letak atau posisi keberadaan penelitian ini diantara penelitian komunikasi lain yang telah dilakukan, khususnya penelitian dalam ranah periklanan. Studi mengenai pengaruh dari tayangan iklan terhadap khalayak telah banyak dilakukan sebelumnya. Penelitian tentang pengaruh terpaan iklan terhadap pola konsumsi masyarakat pernah dilakukan oleh Heri Kusumawati dan Soemardi (1996). Sasaran penelitian tersebut adalah ibu-ibu rumah tangga di Kelurahan Karang Klesem, Purwokerto Selatan. Berdasarkan penelitian tersebut, didapatkan hasil bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara status sosial ekonomi dan terpaan media (media exposure) terhadap pola konsumtif ibu-ibu rumah tangga sebesar 56,97%. Sementara pengaruh variabel lain yang berada di luar kedua variabel di atas adalah sebesar 43,03%. Jadi, dari penelitian tersebut dapat dilihat bahwa terpaan media yang menyajikan berbagai iklan dapat menunjang status sosial ekonomi masyarakat, sehingga menjadi konsumtif. Penelitian mengenai terpaan iklan juga pernah dilakukan oleh Evanita dkk (2003), yang meneliti tentang pengaruh terpaan iklan terhadap sikap dan perilaku konsumtif ibu rumah tangga di kota Padang, Sumatera Barat. Dari penelitian ini didapatkan hasil bahwa slogan iklan televisi, model iklan

8

televisi, repetisi iklan televisi, motivasi, umur, pendidikan, pendapatan, dan kelompok acuan secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap sikap pemirsa ibu rumah tangga pada produk yang ditayangkan televisi di Kota Padang Sumatera Barat. Temuan ini juga menunjukkan bahwa sikap pada produk yang diiklankan televisi tidak hanya dipengaruhi oleh variabel iklan (slogan, model, dan repetisi) saja, melainkan juga dipengaruhi oleh variabel di luar iklan yang melekat pada pemirsa. Tidak hanya mempengaruhi sikap dan perilaku secara psikologis, terpaan iklan juga mampu mempengaruhi tingkat penggunaan suatu produk tertentu. Seperti yang diteliti oleh Sumiasih (2003), tentang pengaruh terpaan iklan produk susu formula lanjutan untuk pertumbuhan terhadap tingkat pemberian susu tersebut bagi balita di Kelurahan Gedog, Kecamatan Sananwetan, Blitar. Dalam penelitian ini terbukti bahwa terpaan iklan produk susu lanjutan untuk pertumbuhan telah mempengaruhi tingkat pemberian susu terhadap balita sebesar 31,5% yang menurut analisis regresi linier sederhana termasuk dalam kategori sedang. Dari semua penelitian di atas, penelitian ini tetap memiliki perbedaan. Perbedaannya dapat dilihat dari faktor objek penelitian dan lokasi penelitian. Objek dalam penelitian ini adalah para remaja usia Sekolah Menengah Umum (SMU), bukan ibu rumah tangga. Sedangkan lokasi yang menjadi tempat penelitian jelas berbeda, yaitu SMU Bruderan di Purwokerto.

9

II.2. Kerangka Teoritik II.2.1. Iklan Sebagai Bentuk Komunikasi Massa Secara sederhana, iklan didefinisikan sebagai pesan yang menawarkan suatu produk yang ditujukan kepada masyarakat lewat suatu media (Kasali, 1995). Frank Jefkins (dalam Sumartono, 2002) pun menambahkan bahwa iklan juga membujuk orang untuk membeli. Periklanan merupakan salah satu teknik komunikasi massa yang digunakan untuk menyampaikan informasi tentang barang dan jasa yang ditawarkan oleh produsen (si pemasang iklan). Tidak bisa dipungkiri, iklan memang merupakan salah satu bentuk komunikasi massa yang menjadi idola setiap produsen. Dengan kekuatan persuasifnya, iklan telah membantu para produsen menjangkau konsumennya. Tilman dan Kirkpatrick menyatakan bahwa periklanan merupakan komunikasi massa yang menawarkan janji kepada konsumen (dalam Sumartono, 2002). Lewat pesannya yang informatif dan persuasif, iklan memberikan janji tentang adanya barang dan jasa yang dapat memenuhi kebutuhan, tempat memperolehnya, serta kualitas dari barang dan jasa tersebut. Sebagai bagian dari sistem komunikasi massa, periklanan telah memberikan manfaat yang besar. Oleh Effendi (1993) komunikasi massa sendiri diartikan sebagai jenis komunikasi yang menyiarkan informasi, gagasan, dan sikap kepada komunikan yang beragam dalam jumlah yang banyak dengan media. Kebanyakan produsen menggunakannya untuk tujuan ekonomis, misalnya jual-beli barang atau jasa. Manfaat terbesar iklan adalah membawa pesan yang ingin disampaikan oleh produsen kepada khalayak

10

ramai (Kasali, 1993). Melalui media massa, iklan mampu menjangkau khalayak dimanapun berada. Lebih lanjut Rhenald Kasali (1993) menjabarkan beberapa manfaat iklan, antara lain: 1. Iklan memperluas alternatif bagi konsumen. Dengan adanya iklan, konsumen dapat mengetahui adanya berbagai produk, yang pada gilirannya menimbulkan adanya pilihan. 2. Iklan membantu produsen menimbulkan kepercayaan bagi konsumennya. Iklan-iklan yang secara gagah tampil dihadapan masyarakat dengan ukuran besar dan logo yang cantik menimbulkan kepercayaan yang tinggi bahwa perusahaan yang membuatnya bonafid dan produknya bermutu. 3. Iklan membuat orang kenal, ingat, dan percaya. Dalam masyarakat dewasa ini, iklan memang tidak bisa lepas dari kehidupan sehari-hari. Seorang ibu yang ingin tahu informasi produk-produk rumah tangga terbaru, pasti akan mencarinya lewat iklan. Begitupun seorang remaja putri yang ingin tahu trend busana teranyar. Semua orang berusaha untuk memanfaatkan informasi yang disediakan iklan dengan semaksimal mungkin. Umumnya, tujuan periklanan mengandung misi komunikasi. Menurut Kasali, periklanan adalah suatu komunikasi massa yang harus dibayar untuk menarik kesadaran, menanamkan informasi, mengembangkan sikap, atau mengharapkan adanya suatu tindakan yang menguntungkan bagi pengiklan. Jadi, periklanan sebagai komunikasi massa merupakan bagian dari keseluruhan aktivitas di bidang pemasaran. Tujuan komunikasi yang diemban periklanan harus mampu menunjang tujuan pemasaran, yaitu adanya tindakan yang diharapkan produsen.

11

Russell. H. Colley (1961) memperkenalkan pendekatan DAGMAR (Defining Advertising Goals for Measured Advertising Results). Dalam pendekatan ini, dikembangkan suatu metode proses komunikasi yang terdiri dari langkah-langkah yang harus dilalui suatu produk untuk sampai pada tujuan yang dikehendaki, yaitu berupa tindakan yang diambil konsumen. Pendekatan DAGMAR tersebut dapat dilihat pada gambar berikut: Gambar 1 Bagan Pendekatan DAGMAR Ketidaksadaran (unaware)

Kesadaran (aware)

Pemahaman dan Citra (comprehensive and image)

Sikap (attitude)

Tindakan (behaviour) Sumber: Colley (1961, dalam Kasali 1993).

Dalam model ini digambarkan bahwa awalnya, seorang pembeli tidak sadar akan kehadiran suatu produk, yang disebut ketidaksadaran (unaware). Disinilah tugas periklanan untuk menyentuh kesadaran calon pembeli sebagai

12

langkah awal. Langkah selanjutnya adalah pemahaman. Pada tahap ini, calon pembeli akan mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan produk tersebut, yang nantinya akan menentukan suka tidaknya ia pada produk tersebut. Berikutnya adalah kepastian, yaitu menentukan sikap calon pembeli yang sebelumnya hanya membayangkan suatu produk kepada tindakan akhir. Tahap terakhir ini adalah tahap tindakan, dimana produsen berharap agar calon pembeli mengambil tindakan-tindakan ke arah pembelian produk.

II.2.2. Iklan Televisi Pada prakteknya, iklan membutuhkan media sebagai jembatan menuju para konsumennya. Medianya pun beragam, baik media cetak maupun media elektronik, media dalam ataupun luar ruang. Bahkan kini media periklanan baru tengah berkembang pesat, yakni internet. Seperti yang dijabarkan Lee dan Johnson (2004) berikut ini: Periklanan sebagai sebuah komunikasi komersil dan nonpersonal mentransmisikan produk-produknya ke suatu khalayak target melalui media yang bersifat massal, seperti televisi, radio, koran, majalah, direct mail (pengeposan langsung), reklame luar ruang, atau kendaraan umum. Diantara media-media tersebut, televisi telah menjadi pilihan utama para produsen. Hal ini dikarenakan televisi memiliki jangkauan terluas sebagai media periklanan. Tidak hanya itu, Effendy (1993) pun berpendapat bahwa daya tarik televisi terletak, selain pada unsur kata-kata, musik, dan sound effect, juga pada unsur visual berupa gambar. Gambar bergerak yang ditampilkan telah menjadi keunggulan tersendiri dibanding media-media lain.

13

Kelebihan audio visual ini mampu menarik perhatian sekaligus menghibur pemirsa. Konsep seperti ini cukup berhasil dalam menyampaikan informasi kepada khalayak. Kasali (1993) menambahkan beberapa kelebihan iklan televisi, antara lain: 1. Efisiensi Biaya Banyak pengiklan memandang televisi sebagai media yang paling efektif untuk menyampaikan pesan-pesan komersialnya. Salah satu keunggulannya adalah kemampuan menjangkau khalayak sasaran yang sangat luas. Jutaan orang menonton televisi secara teratur. Televisi selain mampu menjangkau khalayak sasaran yang dapat dicapai oleh media lainnya, juga dapat menjangkau khalayak yang tidak terjangkau oleh media cetak. Jangkauan massal ini menimbulkan efisiensi biaya untuk menjangkau setiap kepala. 2. Dampak yang Kuat Keunggulan lainnya adalah kemampuannya menimbulkan dampak yang terkuat terhadap konsumen, dengan tekanan pada sekaligus dua indera : penglihatan dan pendengaran. Televisi juga mampu menciptakan kelenturan bagi pekerjaan-pekerjaan kreatif dengan mengombinasikan gerakan, kecantikan, suara, warna, drama, dan humor. 3. Pengaruh yang Kuat Akhirnya, televisi mempunyai kemampuan yang kuat untuk mempengaruhi persepsi khalayak sasaran. Kebanyakan masyarakat meluangkan waktunya di muka televisi, sebagai sumber berita, hiburan, dan sarana pendidikan. Kebanyakan calon pembeli lebih percaya pada perusahaan yang mengiklankan produknya di televisi daripada yang tidak sama sekali. Ini adalah cerminan bonafiditas pengiklan. Dengan kelebihan-kelebihan tersebut, sangat wajar bila televisi menjadi primadona diantara media periklanan lainnya. Produsen berlomba-lomba membeli waktu yang disediakan stasiun-stasiun televisi. Tentunya mereka

14

menginginkan waktu yang tepat bagi penayangan iklan mereka. Karena dengan waktu yang tepat, maka jumlah audiens yang ingin dicapai tentu akan maksimal. Menurut Shimp (2003), pembagian hari untuk penayangan iklan dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. Waktu Utama (prime time) Periode antara jam 20.00 23.00 atau antara jam 19.00 22.00 program terbaik dan termahal ditayangkan selama periode ini. Penonton pun paling banyak ada selama prime time, dan jaringan-jaringan televisi akan mengenakan harga tertinggi untuk periklanan di prime time. Sehingga para pengiklan harus membayar mahal untuk menjangkau banyak penonton. 2. Siang Hari (day time) Periode yang dimulai dengan tayangan berita di pagi hari (subuh), berlangsung hingga 16.30. Diawali dengan program-program berita, dilanjutkan dengan program khusus anak-anak, dan berturut-turut opera sabun, talk show, dan berita keuangan. 3. Waktu Tambahan (fringe time) Masa sebelum dan sesudah prime time. Awal fringe time dimulai pada sore hari dan khususnya ditujukan kepada anak-anak tetapi menjadi lebih berorientasi kepada orang dewasa ketika mendekati prime time. Fringe time pada larut malam ditujukan untuk para dewasa muda. Sementara itu, secara umum Fahmi (dalam Sumartono, 2002) membagi iklan televisi dalam berbagai kelompok, yaitu: 1. Iklan Spot. Materi iklan televisi secara jelas, lansung dan gamblang berisi informasi tentang produk dan suatu perusahaan, yang dilakukan untuk mencapai tingkat penjualan yang maksimal atas sesuatu produk. Iklan jenis ini bersifat komersial murni. 2. Iklan Tidak Langsung. Informasi tentang sesuatu produk atau pesan/misi tertentu dari suatu perusahaan dan atau lembaga

15

pemerintah yang disampaikan secara tidak langsung ke dalam materi programa siaran lain (seperti: variety show, teledrama, berita, dan lain-lain) untuk mencapai tingkat pengetahuan pemirsa terhadap sesuatu produk atau misi tertentu yang disampaikan. Iklan jenis ini, bersifat tidak komersial murni. 3. Public Service Announcement. Materi iklan televisi yang berisi informasi tentang sesuatu kegiatan dan atau pesan-pesan sosial yang dilakukan untuk mencapai tingkat perhatian yang maksimal dari pemirsa untuk berpartisipasi dan atau bersimpati terhadap kegiatan atau masalah tertentu. II.2.3. Remaja dan Televisi Remaja, yang dalam bahasa Inggris disebut adolescence, berasal dari kata latin adolescere yang artinya tumbuh ke arah kematangan (Muss dalam Sarwono, 2006). Kematangan yang dimaksud bukan hanya sekedar kematangan secara fisik. Lebih daripada itu, seorang remaja dituntut untuk matang secara sosial-psikologis. Pada tahun 1974, World Health Organization (WHO) memberikan definisi tentang remaja yang lebih konseptual. Dalam definisi tersebut dikemukakan tiga kriteria, yaitu biologis, psikologis, dan sosial ekonomi. Secara lengkap definisi tersebut berbunyi: Remaja adalah suatu masa ketika: 1. Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual. 2. Individu mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa. 3. Terjadi peralihan dari ketergantungan yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri (Muangman dalam Sarwono, 2006)

16

Secara umum, masa remaja dibagi menjadi dua, yaitu awal masa remaja dan akhir masa remaja. Dalam rentang perkembangan ini telah terjadi perubahan perilaku, sikap, dan nilai-nilai. Dalam Aini (2006), disebutkan bahwa awal masa remaja berada diantara usia 13 sampai 16 atau 17 tahun. Sedangkan masa akhir remaja berada pada usia 16 atau 17 tahun sampai 18 tahun. Dari pembagian tersebut, terlihat bahwa garis pemisah antara awal dan akhir masa remaja terletak disekitar usia 17 tahun. Usia dimana rata-rata remaja duduk di bangku Sekolah Menengah Umum (SMU). Masa remaja, sebagaimana sering disebutkan, merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Dalam masa transisi ini tentu banyak hal yang dialami remaja. Bagaimana para remaja berpikir dan bersikap telah menjadi identitas baku kaum remaja yang pada prakteknya selalu mendapat pengaruh dari lingkungannya. Sumartono (2002) merangkum pernyataan Hurlock dan Sujanto mengenai ciri-ciri remaja, antara lain: 1. Mulai mencari identitas diri melalui penggunaan simbol status seperti menggunakan simbol status dalam bentuk mobil, pakaian, dan pemilikan barang-barang lain yang mudah terlihat. Bersifat ambivalen terhadap setiap perubahan sehingga pendiriannya tidak kuat. Meningginya emosi, yang intensitasnya bergantung pada tingkat perubahan fisik dan psikologis yang terjadi sehingga mudah untuk dipengaruhi. Munculnya rasa takut tidak diterima

2. 3.

4.

17

5.

6.

7.

teman sebaya jika tidak berpenampilan sama dengan teman-teman lainnya. Memiliki sifat ingin tahu terhadap informasi yang diterima sehingga selalu ingin mencoba sesuatu yang baru. Mulai mencari identitas diri yang ditunjukkan dalam berpakaian, berbicara, dan memilih tokoh yang diidolakan. Mulai tahu menghias diri dan menggunakan berbagai aksesoris yang dapat menimbulkan kepercayaan diri.

Terlepas dari ciri-ciri tersebut, pada dasarnya remaja telah memiliki kemampuan untuk menyerap informasi yang diterimanya dari televisi. Namun proses penerimaan tersebut berlangsung tanpa kontrol diri yang baik. Menurut Wirodono (2006), remaja lebih baik dalam proses penangkapan abstraksi yang ditayangkan televisi, tetapi para remaja berada dalam situasi psikologis yang kritis dalam dirinya. Sikap ketergantungan yang diciptakan televisi telah membuat para remaja tumbuh menjadi sosok yang tidak memiliki pegangan kuat. Realitas semu yang diciptakan televisi mampu mengkompres kenyataan sosial yang sebenarnya ke dalam bentuk yang bersifat fantasi belaka (Wirodono, 2006). Bagaimana tayangan sinetron remaja saat ini hanya berkisar masalah cinta berbalut hidup yang serba mewah, serba mudah. Akibatnya, remaja lebih sering bertebaran di mall, restoran cepat saji, atau distro ternama hanya untuk menunjukkan bahwa mereka adalah remaja yang modis dan up-to-date. Inilah gaya hidup yang lahir dari embrio bernama televisi. Padahal menurut Wirodono (2006), kenyataan hidup yang lebih keras dapat membuat remaja

18

kita mudah patah dan kecewa.

II.2.4. Perilaku Konsumtif Pada Remaja Iklan memang telah memberi banyak manfaat, baik bagi produsen maupun konsumen. Namun iklan juga menimbulkan dampak negatif bagi konsumen. Sri Urip (dalam Kasali, 1993) menyebutkan dampak-dampak negatif tersebut, antara lain: 1. 2. Iklan membuat orang membeli sesuatu yang sebetulnya tidak ia inginkan atau butuhkan. Iklan mengakibatkan barang-barang menjadi lebih mahal. Karena membutuhkan dana, maka wajar saja bila ada anggapan bahwa iklan menambah harga barang. Iklan yang baik akan membuat produk yang berkualitas rendah dapat terjual. Iklan adalah pemborosan.

3. 4.

Dari berbagai dampak tersebut, dapat disimpulkan bahwa iklan mampu menggiring khalayak untuk menjadi konsumtif. Menurut Heri Kusumawati dan Soemardi (1996), pola hidup konsumtif biasanya dipicu oleh gengsi dan dorongan untuk mengikuti mode agar mendapat penghargaan tertentu. Hal ini sejalan dengan pendapat Lubis (dalam Sumartono, 2002) yang mengatakan bahwa sering terjadi keinginan untuk memperoleh sesuatu barang atau jasa bukan didasarkan oleh kebutuhan, tetapi sekedar simbol status agar kelihatan lebih keren di mata orang lain. Lubis mengistilahkannya sebagai perilaku

19

konsumtif. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia memberikan batasan tentang perilaku konsumtif sebagai kecenderungan manusia untuk menggunakan konsumsi tanpa batas, dan manusia lebih mementingkan faktor keinginan daripada kebutuhan (dalam Sumartono, 2002). Ciri-ciri remaja yang dijabarkan pada subbab sebelumnya, memberikan gambaran tentang bagaimana remaja sebenarnya. Dari ciri-ciri tersebut, sangat memungkinkan timbulnya perilaku konsumtif di kalangan remaja. Jatman (dalam Sumartono, 2002) mengemukakan bahwa remaja merupakan kelompok sasaran potensial untuk memasarkan produk-produk industri sebab remaja memiliki pola yang konsumtif dalam berpakaian, berdandan, gaya potong rambut. Perilaku konsumtif di kalangan remaja terutama dipengaruhi oleh kelompok rujukan (reference group). Kelompok rujukan ini terdiri dari seluruh kelompok yang berpengaruh secara lansung maupun tidak langsung terhadap sikap atau perilaku remaja (Setiadi, 2003). Kelompok ini bisa keluarga, teman atau sahabat, pacar, atau tetangga sekalipun. Hurlock (1997) pun berpendapat bahwa remaja pada masa transisinya memiliki kondisi emosional yang labil, sehingga mudah dipengaruhi oleh kelompoknya. Kebanyakan dari mereka beranggapan bahwa penampilan dan gaya hidup yang serba wah, akan menaikkan status sosial mereka di dalam kelompoknya. Maka tidak heran bila kemudian mereka saling bersaing dalam penampilan dirinya dengan mengkonsumsi pakaian, sepatu, handphone,

20

kosmetik, dan barang-barang mewah lainnya. Tidak hanya kelompok referensi, tak dapat disangkal, iklan televisi pun telah menjadi tersangka utama dalam memberikan pengaruh yang kuat bagi terciptanya perilaku konsumtif remaja. Terpaan iklan-iklan produk remaja di televisi yang menyajikan pesan-pesan yang atraktif dan terkesan berlebihan, jelas membuat para remaja terbuai. Lemahnya filter dalam menyeleksi informasi yang datang serta rasa ingin tahu yang besar, berhasil dimanfaatkan pihak produsen yang menjadikan remaja sebagai sasaran empuk. Hal ini ditandai dengan banyaknya iklan-iklan produk remaja yang lalu-lalang di televisi. Para produsen berlomba untuk menciptakan produk-produk yang digemari remaja, agar mereka mau mengkonsumsinya. Kekuatan audio-visual iklan televisi telah mempengaruhi kognisi serta afeksi remaja. Dengan tujuan akhirnya tentu saja muncul perilaku untuk membeli produk yang ditawarkan, sekaligus menjadikan produk tersebut sebagai bagian hidupnya yang tak terpisahkan. Akibatnya, menurut Sumartono (2002), efek negatif hadirnya iklan televisi yakni munculnya sikap hedonisme dan glamorisme seakan tidak dapat dielakkan lagi. Pengaruh iklan telah membelokkan haluan kebutuhan ke arah keinginan untuk mencoba seluruh produk yang disaksikan, meskipun mungkin tidak dibutuhkan. Sihir iklan televisi menuntut para remaja untuk terhipnotis dan tunduk terhadap apa yang diinginkan oleh produsen. Sehingga pada akhirnya, para remaja tak berdaya untuk melawan dan hanya pasrah mempersilahkan pesan-

21

pesan iklan tersebut bermain di benaknya.

II.2.5. Pengaruh Terpaan Iklan Televisi Terhadap Perilaku Konsumtif Remaja Menurut Bryant dan Thompson (2002) perencana media berusaha untuk mengukur faktor-faktor yang berhubungan dengan terpaan iklan. Salah satunya memeriksa efek dari jumlah total terpaan iklan terhadap kecenderungan seseorang untuk membeli sebuah produk. Terpaan iklan televisi sebagai stimuli, memiliki kekuatan yang besar dalam menawarkan berbagai barang kebutuhan. Pada gilirannya, iklan televisi mampu membentuk pengetahuan tersendiri bagi khalayak, yang akhirnya akan mengarahkan khalayak untuk memberikan respon yang diinginkan oleh pengiklan. Jadi, iklan televisi sangat mungkin membentuk perilaku yang hedonis bagi khalayak (Sumartono, 2002). Fenomena efek media ini dapat dijelaskan dengan teori S-O-R. Teori SO-R merupakan singkatan dari Stimulus-Organism-Response. Menurut teori ini, efek yang ditimbulkan adalah reaksi khusus terhadap stimulus khusus, sehingga seseorang dapat mengharapkan dan memperkirakan kesesuaian antara pesan dan reaksi komunikan (Effendi, 1993). Dalam proses komunikasi yang berlangsung, teori ini sangat berkaitan dengan perubahan sikap komunikan. Hovland dkk. (dalam Effendi, 1993) berpendapat bahwa proses dari

22

STIMULUS

ORGANISME: -perhatian RESPONS -pengertian (perubahan sikap) -penerimaan

perubahan sikap ini sama dengan proses belajar. Tiga variabel penting dalam proses ini antara lain:

1. Perhatian 2. Pengertian 3. Penerimaan Sedangkan prosesnya dapat digambarkan sebagai berikut: Gambar 2. Bagan Teori S-O-R

Sumber: Effendi (1993)

Menurut Ray (1973, dalam McQuail, 1987) dampak yang diakibatkan dari stimuli media, dimulai dari kognisi (dampak yang paling umum) ke reaksi efektif (suka atau tidak suka, opini, sikap) sampai dengan konativa (perilaku atau tindakan). Hierarki dampak seperti ini juga dapat ditemui dalam karya Hovland dkk. (1949). Khusus bagi periklanan, Ray menambahkan bahwa urutannya mungkin dari kognisi langsung ke perilaku, sedangkan penyesuaian

23

efektif terjadi kemudian untuk menyelaraskan sikap dengan perilaku. Dari bagan di atas, maka iklan televisi dapat dijelaskan sebagai stimulus yang nantinya akan ditangkap oleh khalayak sebagai organisme. Tahap awal komunikasi akan berlangsung jika ada perhatian dari komunikan. Proses berikutnya komunikan akan mengerti. Setelah komunikan mengolah dan menerimanya, maka terjadilah penerimaan untuk mengubah sikap. Dalam hal ini, perubahan sikapnya berbentuk keinginan dari komunikan untuk membeli atau mengkonsumsi produk yang iklannya telah disaksikan di televisi. Seperti yang disebutkan oleh Hovland dkk., bahwa Teori S-O-R memang erat kaitannya dengan proses belajar. Maka Teori Pembelajaran Sosial (Social Learning Theory) juga berguna untuk lebih menjelaskan pengaruh iklan televisi terhadap perilaku remaja. Teori dari Albert Bandura (1997, 1994) ini telah banyak digunakan untuk menjelaskan dampak media massa bagi audiensnya. Teori ini menyatakan bahwa terjadi banyak pembelajaran melalui pengamatan pada perilaku orang lain (dalam Severin dan Tankard, 2001). Teori Pembelajaran Sosial menerangkan bahwa terdapat empat tahapan dalam proses belajar secara sosial, yakni: 1. Attentional Process (Proses Atensi atau Perhatian), menjelaskan bahwa kita tidak dapat belajar dari suatu peristiwa kecuali kalau kita menaruh perhatian kepadanya dan secara seksama mencerna hal-hal penting didalamnya 2. Retention Process (Proses Retensi), menjelaskan bahwa peristiwa yang menarik perhatian dimasukkan ke dalam benak dalam bentuk lambang secara verbal atau imaginal sehingga menjadi ingatan (memory) 3. Motor Reproduction Process (Proses Reproduksi Motor), menjelaskan bahwa hasil ingatan tadi akan meningkat menjadi bentuk perilaku

24

4. Motivational Process (Proses Motivasional), menjelaskan bahwa perilaku akan berwujud apabila ada peneguhan yang dapat berbentuk ganjaran eksternal (pengamatan yang menunjukkan bahwa bagi orang lain ganjaran disebabkan perilaku yang sama) serta ganjaran internal (rasa puas diri) (Effendi, 1993). Dampak dari media massa banyak terjadi melalui proses pembelajaran sosial. Dampak ini bisa meliputi orang yang belajar bagaimana tren berpakaian terbaru, atau orang yang belajar bagaimana perilaku sepasang kekasih yang sedang berkencan. Kesemuanya dapat diserap oleh khalayak yang mengamati stimulus dari media tersebut. Menurut Bandura (1994), pembelajaran sosial terutama efektif dengan media massa seperti televisi, dimana para audiens mendapatkan kekuatan yang berlipat ganda dari model tunggal yang mengirimkan cara-cara berpikir dan berperilaku baru bagi banyak orang di lokasi yang berlainan (dalam Severin dan Tankard, 2001). Sehingga, iklan televisi sebagai salah satu bentuk aplikasi komunikasi persuasif dalam media massa sangat mungkin mempengaruhi perilaku remaja ke arah konsumtif. Proses pembiusan ini memang tidak terjadi begitu saja. Iklan harus disiarkan berulang-ulang agar khalayak (dalam hal ini remaja) akan mengamati dengan seksama ketika iklan itu muncul. Terpaan iklan akan memperbesar kemungkinan remaja untuk mengingat pesan-pesan iklan yang disampaikan. Seperti yang dijelaskan oleh John. B. Watson (dalam Sumartono, 2002) bahwa periklanan yang disiarkan secara terus-menerus memiliki dua

25

keuntungan, yaitu: 1. Mencegah kemungkinan orang menjadi lupa, yaitu suatu kecenderungan melemahnya tanggapan yang ditimbulkan kombinasi petunjuk (learned response), karena tak digunakan. 2. Memperkuat tanggapan, karena setelah membeli konsumen menjadi lebih peka terhadap iklan produkproduk bersangkutan. Sifat remaja yang selalu ingin tahu dan selalu ingin mencoba, membuat remaja mudah sekali terpengaruh. Keperkasaan iklan televisi yang telah membius remaja, akhirnya menjadikan kaum muda ini sebagai sasaran produk yang potensial. Membeli dan mencoba produk baru telah menjadi bagian hidup para remaja. Sumartono (2002) menyatakan bahwa remaja seakan tak kuasa menahan derasnya terpaan iklan televisi yang menerpanya. Terpaan iklan televisi telah mangaburkan nilai manfaat dari suatu barang yang dibeli atau dikonsumsi. Ditambah lagi dengan daya tarik iklan televisi yang eye catching, mampu membuat remaja tak berdaya menolak pesan-pesan iklan.

II.3. Hipotesis Penelitian Ho: Tidak ada pengaruh yang signifikan antara terpaan iklan televisi terhadap perilaku konsumtif remaja. Ha: Ada pengaruh yang signifikan antara terpaan iklan televisi terhadap perilaku konsumtif remaja.

26

II.4. Definisi Konseptual dan Operasional II.4.1. Definisi Konseptual a. Terpaan Iklan Terdapat dua model berbeda yang muncul dari respon terhadap iklan (Bryant dan Thompson, 2002). Pertama, menyimpulkan bahwa khalayak harus diterpa oleh iklan beberapa kali agar sebuah iklan dapat efektif (frekuensi). Faktor yang kedua berhubungan dengan terpaan yang melibatkan sikap konsumen terhadap siklus yang panjang terhadap iklan yang sama (intensitas). b. Perilaku Konsumtif Perilaku konsumtif dapat diartikan sebagai suatu tindakan membeli barang-barang yang kurang atau tidak diperlukan sehingga sifatnya menjadi berlebihan (Anggarasari dalam Sumartono, 2002). Bisa dikatakan bahwa seseorang yang konsumtif akan lebih mementingkan faktor keinginan dibanding kebutuhan. Ditambahkan oleh Dahlan (dalam Sumartono, 2002) bahwa fenomena ini muncul karena masyarakat cenderung materialistik dan memiliki hasrat yang besar untuk memiliki benda-benda tanpa memperhatikan kebutuhan.

27

II.4.2. Definisi Operasional a. Terpaan Iklan Operasionalisasi terpaan iklan dalam penelitian ini hanya

menggunakan dua indikator, yaitu; frekuensi dan intensitas. Menurut Vooijs, Van der Voort, & Beentjes (1987, dalam Buijzen dan Valkenburg, 2005) penggunaan frekuensi dan intensitas sebagai indikator terpaan iklan dikarenakan, pada penelitian terpaan iklan yang terdahulu kedua indikator tersebut (frekuensi dan intensitas) telah tervalidkan dalam penelitian yang dilakukan oleh mereka. Menurut Burke dan Srull (1988 dalam Bryant dan Thompson, 2002), efektivitas iklan dipengaruhi dua faktor,yaitu: 1. frekuensi, 2. pengulangan (repetisi). Selain frekuensi dan repetisi, maka indikator intensitas dapat ditambahkan ke dalam terpaan iklan agar sebuah iklan dapat menjadi efektif. Seperti yang diungkapkan Pechmann dan Steward (1988) kualitas terpaan dimana khalayak memberikan perhatian kepada iklan dan dapat menimbulkan pikiran atau perasaan tertentu. Maka untuk penelitian ini variabel terpaan iklan televisi dapat dioperasionalkan dengan indikator-indikator sebagai berikut: 1. Frekuensi

28

a. Frekuensi menyaksikan iklan televisi b. Pengulangan terhadap iklan televisi yang sama c. Tingkat kuantitas dalam konsumsi iklan televisi dalam satuan waktu 2. Intensitas a. Pemahaman terhadap isi iklan televisi b. Tingkat pengetahuan terhadap perkembangan iklan televisi yang ditayangkan.

b. Perilaku Konsumtif Dengan mengadaptasi dari Sumartono (2002), maka perilaku konsumtif dapat dioperasionalkan sebagai berikut: 1. Membeli produk karena iming-iming hadiah 2. Membeli produk karena kemasannya menarik 3. Membeli produk demi menjaga penampilan diri 4. Membeli produk atas pertimbangan harga (bukan atas dasar manfaat atau kegunaannya) 5. Membeli produk hanya sekedar menjaga simbol status 6. Memakai sebuah produk karena unsur konformitas terhadap model yang mengiklankan produk 7. Munculnya penilaian bahwa membeli produk dengan harga mahal akan menimbulkan rasa percaya diri yang tinggi 8. Mencoba lebih dari dua produk sejenis (merk berbeda).

29

Tabel 1. Deskripsi Item Variabel Terpaan Iklan pada Instrumen Penelitian No. 1 2 Frekuensi Intensitas Indikator Pernyataan no. 18 9 28

Tabel 2. Deskripsi Item Variabel Perilaku Konsumtif pada Instrumen Penelitian No. 1 2 3 4 Indikator Membeli produk karena imingiming hadiah Membeli produk kemasannya menarik Membeli produk demi menjaga penampilan diri Membeli produk atas pertimbangan harga (bukan atas dasar manfaat atau kegunaannya) 5 6 Membeli produk hanya sekedar menjaga simbol status Memakai sebuah produk karena unsur konformitas terhadap 17 20 21 24 Pernyataan no. 14 58 9 12 13 16

30

model yang mengiklankan 7 produk Munculnya penilaian bahwa membeli produk dengan harga mahal akan menimbulkan rasa 8 percaya diri yang tinggi Mencoba lebih dari dua produk sejenis (merk berbeda) 29 30 25 28

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

III.1. Metode Penelitian Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian kuantitatif korelasional. Menurut Sugiyono (2007) metode korelasional ini

31

bersifat menanyakan hubungan antara dua variabel atau lebih. Sedangkan metode yang digunakan adalah metode survey. Menurut Singarimbun (1989, dalam Masngud, 2008) dalam metode penelitian survey, informasi dikumpulkan dari responden dengan menggunakan kuisoner sebagai alat pengumpulan data pokok.

III.2. Sasaran Penelitian Yang menjadi sasaran dalam penelitian ini adalah siswa-siswi SMU Bruderan, Purwokerto.

III.3. Populasi dan Sampel Menurut Sugiyono (2007), populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Sedangkan Sugiyono juga mendeskripsikan sampel sebagai bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Sampel yang diambil dari populasi tersebut haruslah representatif atau benarbenar dapat mewakili populasi yang diteliti. Sebab apa yang dipelajari dari sampel tersebut, harus dapat diberlakukan pada populasinya. Populasi dalam penelitian ini yaitu seluruh siswa-siswi SMU Bruderan Purwokerto, mulai dari kelas 1, kelas 2, sampai kelas 3, yang berjumlah 553 orang.

III.4. Teknik Pengambilan Sampel

32

Teknik

pengambilan

sampel

menggunakan

teknik

Proportional

Stratified Sampling. Menurut Sugiyono (2007), teknik digunakan bila populasi mempunyai anggota/unsur yang tidak homogen dan berstrata secara proporsional. Strata yang dibuat haruslah mampu mewakili keseluruhan populasi. Oleh karena itu, teknik ini membutuhkan pelibatan pembagian populasi ke dalam kelas, kategori, atau kelompok yang disebut strata, dimana dari setiap strata diambil sampel yang sebanding dengan besar setiap strata (Rakhmat, 2005). Proses pengambilan sampel ini akan berlangsung dalam dua tahap. Proses pengambilannya dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. Dari keseluruhan populasi akan diambil sampel dengan menggunakan rumus Taro Yamane (dalam Riduwan, 2005), yaitu: n= Keterangan: n = jumlah sampel N = jumlah populasi d = presisi yang ditetapkan Dengan menggunakan tingkat presisi sebesar 5% dan tingkat kepercayaan 95%, maka nilai n dapat ditentukan sebagai berikut: n= 553 553(0,05) 2 + 1 N Nd 2 + 1

n = 232,109129 Dengan pembulatan maka jumlah sampel keseluruhan adalah sebanyak

33

232 dari jumlah populasi keseluruhan sebesar 553.

2. Selanjutnya ditentukan sampel dari masing-masing strata yang ada secara proporsional stratified sampling. Rumusnya adalah: n1 = Keterangan: n1 = jumlah sample menurut stratum n = jumlah sample seluruhnya N1 (n N

)

N1 = jumlah populasi menurut stratum N = jumlah populasi seluruhnya Dengan menggunakan rumus tersebut, maka jumlah sampel untuk tiaptiap jenjang kelas dapat ditentukan sebagai berikut: Tabel 3. Rincian Jumlah Sampel yang Menjadi Responden No. 1 Jenjang Kelas Kelas X Populasi 148 % 26,76 % Sampel 148 ( 232) 553 = 62,0904 191 ( 232) 553 = 80,1302 214 ( 232) 553 = 89,7794 Pembulatan

62

2

Kelas XI

191

34,54 %

80

3

Kelas XII

214

38,70 %

90

34

Jumlah

553

100%

232

III.5. Teknik Pengumpulan Data a. Kuesioner Data utama diperoleh dengan menggunakan kuesioner yang disebarkan kepada responden. Dengan kuesioner ini, responden diminta untuk menjawab atau mengisi pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Sugiyono (2007) menyatakan bahwa kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawab. Kuesioner dapat berupa pertanyaan tertutup ataupun terbuka. Daftar pertanyaan bersifat terbuka, jika jawaban tidak ditentukan sebelumnya, sedangkan bersifat tertutup jika alternatif-alternatif jawaban telah disediakan (Umar, 2002). Untuk penelitian ini, akan digunakan pertanyaan yang bersifat tertutup dengan menggunakan skala Likert untuk menentukan skor atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Menurut Sugiyono (2007) skala Likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial. Hal ini diperkuat oleh Kinnear (dalam Umar, 2002) yang menegaskan bahwa skala Likert ini berhubungan dengan pernyataan tentang sikap seseorang terhadap sesuatu, misalnya setuju-tidak setuju, senang-tidak senang, dan baik-tidak baik. Skala Likert ini akan membentuk gradasi jawaban dari sangat positif samapai sangat negatif.

35

X

Y

Umumnya, jenjang skor pada skala ini bisa lima atau tujuh, agar dapat menampung kategori netral (biasanya ditulis ragu-ragu atau tidak tahu). Dalam penelitian ini akan digunakan jenjang skor 5 (lima), karena peneliti anggap sudah tepat untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi responden. Lima kategori tersebut dapat dijabarkan: 1. Jawaban sangat tidak setuju (STS) dengan skor 1 2. Jawaban tidak setuju (TS) dengan skor 2 3. Jawaban ragu-ragu (R) dengan skor 3 4. Jawaban setuju (S) dengan skor 4 5. Jawaban sangat setuju (SS) dengan skor 5.

b. Kepustakaan Mencari data dan informasi melalui dokumen dari sekolah yang terpilih menjadi populasi, data dari internet, serta bacaan lain yang relevan dengan penelitian ini.

III.6. Variabel Penelitian Hubungan antar variabel yang akan diteliti dapat terlihat pada gambar berikut:

Dari gambar tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut: X = variabel bebas = terpaan iklan televisi

Y = variabel terikat = perilaku konsumtif remaja

36

III.7. Validitas Data Menurut Simamora (2004), validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat kevalidan atau kesahihan suatu instrumen. Dengan kata lain, instrumen tersebut mampu memperoleh data yang tepat dari variabel yang diteliti. Dalam penelitian ini, kuesioner yang digunakan untuk mengumpulkan data harus mampu mengukur apa yang ingin diukurnya. Untuk mengukur validitas data, peneliti akan menghitung korelasi antara masing-masing pernyataan dengan skor total menggunakan rumus teknik korelasi Product Moment dengan bantuan program SPSS version 12 for windows. Rumusnya sebagai berikut: r=

{n x

n( xy ) ( x)( y )2

( x) 2

} {n y 2 ( y ) 2 }

Keterangan: r = korelasi Product Moment x = skor pernyataan y = skor total n = jumlah sampel Angka korelasi yang didapat, nantinya akan diuji dengan menggunakan syarat yang ditentukan untuk bisa dianggap valid. Dalam penelitian ini taraf signifikansi sebesar 5% dan tingkat kepercayaan 95%. Syarat tersebut adalah:

37

Jika, r hitung > r tabel = valid r hitung < r tabel = tidak valid.

III.8. Reliabilitas Data Umar (2002) menyatakan bahwa reliabilitas adalah suatu angka indeks yang menunjukkan konsistensi suatu alat pengukur didalam mengukur gejala yang sama. Jadi, instrumen yang digunakan dalam penelitian ini harus memiliki kemampuan untuk memberi hasil pengukuran yang konsisten. Uji reliabilitas dalam penelitian ini menggunakan teknik Cronbachs Alpha. Karena teknik ini tepat digunakan pada instrumen yang memiliki bentuk skala 1-5 (Umar, 2002), seperti pada penelitian ini. Rumus Cronbachs Alpha yaitu:2 k si ri = 1 2 k 1 st

Keterangan: ri k st si = reliabilitas instrumen = banyak butir pertanyaan = varians total = jumlah varians butir

Nunnally (dalam Aini, 2006) menyatakan bahwa instrumen dapat dikatakan reliabel atau bisa dipercaya bila memiliki nilai koesfisien Alpha > 0,60. Proses penghitungan ini akan dibantu dengan program SPSS version 12 for windows.

38

III.9. Teknik Analisis Data III.9.1. Korelasi Teknik korelasi ini digunakan untuk menentukan hubungan antara dua variabel yang diteliti. Dalam penelitian ini, dua variabel tersebut adalah terpaan iklan televisi dan perilaku konsumtif remaja. Untuk analisis korelasi akan digunakan rumus korelasi Pearson Product Moment dengan bantuan program SPSS version 12 for windows, yaitu: r=

{n x

n( xy ) ( x)( y )2

( x) 2

} {n y 2 ( y ) 2 }

Setelah mengetahui besar koefisien korelasi, maka langkah selanjutnya adalah melakukan interpretasi terhadap nilai koefisien korelasi tersebut, apakah hubungan kedua variabel tersebut tinggi atau rendah. Guilford (dalam Rakhmat, 2005) memberikan pedoman untuk menginterpretasikan nilai r sebagai berikut:

Tabel 4 Tabel Interpretasi Nilai r Interval Koefisien Kurang dari 0,20 0,20 0,399 0,40 0,699 Tingkat Hubungan Rendah sekali Rendah tapi pasti Cukup berarti

39

0,70 0,89

Tinggi atau kuat

Lebih dari 0,90 Tinggi atau kuat sekali Selanjutnya, uji signifikansi korelasi Product Moment dilakukan untuk mencari makna hubungan antar variabel dan juga menguji hipotesis, menggunakan rumus uji t, sebagai berikut:

t= Keterangan: t = test signifikansi r = koofisien korelasi n = jumlah sampel

r n2 1 r2

Dengan taraf signifikansi sebesar 5% dan tingkat kepercayaan 95%, maka bila: t hitung > t tabel, maka Ho ditolak dan Ha diterima t hitung < t tabel, maka Ho diterima dan Ha ditolak.

III.9.2. Regresi Linear Sederhana Analisis regresi digunakan bila ingin mengetahui bagaimana perubahan nilai variabel terikat bila nilai variabel bebasnya dinaikkan atau diturunkan (Sugiyono, 2007). Dalam penelitian ini, digunakan teknik regresi linear sederhana, yang didasarkan pada prediksi pengaruh terpaan iklan televisi terhadap perilaku konsumtif remaja. Adapun persamaan rumusnya adalah sebagai berikut (dalam Sugiyono,

40

2007) dengan bantuan program SPSS version 12 for windows : = a + b.x dimana a=

y x x x y n x ( x )2 1 1 1 2 2 1 1

1 1

b=

n x1 y1 x1 y1 n x ( x1 )2 2

Keterangan: = nilai yang diprediksikan x = nilai variabel independen a = nilai konstanta jika x = 0 b = nilai koefisien regresi.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1. Gambaran Umum

41

IV.1.1. Latar Belakang Sejarah Sejarah suatu lembaga pendidikan, pada dasarnya bukan hanya sekedar sejarah perkembangan seseorang untuk mencapai status sosial tertentu dalam masyarakat. Bukan sekedar sarana seseorang untuk tampil sebagai pelajar berprestasi yang berharap mendapat penghargaan dalam kehidupannya. Rangking yang tinggi di kelas, nilai ijazah yang memenuhi syarat lulus, ataupun kedudukan para alumnus di tengah masyarakat, bukan satu-satunya ukuran yang dapat digunakan sebagai penilaian keberhasilan suatu lembaga pendidikan dalam mendidik siswa-siswinya. Lebih daripada itu, sejarah bathin merupakan sejarah keberhasilan yang sesungguhnya. Sejarah bathin menuntut bagaimana sebuah lembaga pendidikan mampu membimbing para muridnya menuju ke arah kebaikan. Sehingga para murid dan alumnusnya dapat bersikap dan berperilaku baik, sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat. Falsafah inilah yang selalu dipegang teguh oleh SMU Bruderan. Oleh para perintisnya, SMU Bruderan mencanangkan konsepsi dasar tujuan mendirikan SMU ini, yaitu peningkatan keluhuran martabat manusia melalui jalur pendidikan. Bukan sebuah hal baru, konsepsi ini dipertahankan selama 57 tahun sejak SMU ini didirikan. Profil selengkapnya dari SMU Bruderan, dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 5. Profil SMU Bruderan

42

l Nama Sekolah Alamat Sekolah No. Telepon Nama Yayasan Alamat Yayasan No. Telepon NSS/NSM/NDS SMU Bruderan Jenderal Gatot Subroto No. 63, Purwokerto (0281) 636428 Yayasan PIUS Jl. KH. Wahid Hasim No. 4, Purworejo (0275) 332171 302030219004 / 33024014

SMA Bruderan berdiri pada tanggal 15 Juli 1951, untuk menanggapi permintaan masyarakat yang menghendaki agar Bruderan juga

menyelenggarakan SMA, selain SD dan SMP yang sudah ada. Sebutan nama SMA Bruderan pun diberikan oleh masyarakat. Pada awalnya, SMA ini hanya menyediakan empat kelas, yang terdiri dari kelas I, II, IIIA dan IIIB. Dengan empat kelas ini, diharapkan agar proses pendidikan dapat lebih bermutu. Hambatan segera menghadang, yaitu kesulitan dalam mencari tenaga pengajar. Purwokerto pada waktu itu, masih dapat dikatakan sebagai kota kecil, sehingga belum begitu banyak lulusan dari lembaga pendidikan yang menyiapkan guru untuk SMA. Awalnya hanya ada 13 orang guru saja dan

43

semuanya guru tidak tetap. Di antara para guru tersebut ada yang berasal dari SMA Negeri, SMP Bruderan, serta dari beberapa instansi, seperti Kejaksaan, Kehakiman dan Dinas Pertanian. Bahkan istri Bapak Residen Banyumas saat itu, ikut juga membantu mengajar. Mereka dipilih karena dianggap cukup cakap untuk mengajar mata pelajaran yang diserahkan kepadanya. Kepala Sekolah pun masih dirangkap dengan Kepala SMP Bruderan. Ruang belajar pada mulanya menggunakan ruang SD dan ruang SMP Bruderan. Sedangkan untuk kelas IIIA dan B menggunakan dua ruangan di biara. Sejak tahun 1952, SMA Bruderan mulai menerima bantuan berupa sokongan dana dari pemerintah. Selama tahun 1953, mulailah pembangunan gedung SMA yang jumlahnya enam kelas. Gedung baru tersebut mulai digunakan pada tanggal 11 Februari 1954. Pada tahun 1952, Br. Yosserandus ditetapkan sebagai Kepala SMA Bruderan, dan beberapa guru diangkat sebagai guru tetap SMA. Sejak saat itu, jumlah guru terus bertambah. Hingga pada tahun 1975, jumlah guru mencapai 20 orang, dan hanya empat orang guru saja yang berstatus tidak tetap. Dalam periode ini, gaji guru dan karyawan ditanggung oleh pemerintah melalui subsidi berdasarkan SK Kementerian PP dan K No. 9668/ B tanggal 12 Februari 1956. Namun sayang, sejak tahun 1966 tidak ada lagi subsidi dari pemerintah. Sehingga yayasan harus bekerja dan berusaha lebih giat lagi agar dapat menggaji guru dan karyawannya. Di lain pihak, pengangkatan guru dan karyawan baru tidak dapat dihindarkan, seirama dengan perubahan-perubahan kebijakan pemerintah di bidang pendidikan.

44

Pada tahun 1971, Br. Yosserandus memasuki masa pensiun. Yayasan Pius mengangkat Bapak Red. Sasmito sebagai Kepala Sekolah yang baru. Ketika itu, pembangunan sekolah terus dilanjutkan. Tahun 1975, dibangun aula dan renovasi atap gedung unit selatan, serta penyempurnaan laboratorium IPA dan bahasa. Pada tahun 1977, mulai dibangun satu unit gedung bertingkat (unit utara) sejajar dengan gedung yang sudah ada (unit selatan). Dengan pembangunan gedung ini maka ada tambahan ruang kelas, ruang perpustakaan dan ruang laboratorium. Tahun 1978, dibangun panggung kesenian di halaman sekolah dan gedung bertingkat tiga di sisi timur halaman dalam sekolah yang digunakan untuk ruang guru, ruang OSIS, dan ruang doa/ samadi. Pembangunan ruang kelas terus berlangsung seiring kebutuhan akan perubahan-perubahan pemerintah dalam hal program pilihan SMA. Hingga pada tahun ajaran 1987-1988, jumlah kelas seluruhnya menjadi 21 buah. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, telah diselenggarakan beberapa kegiatan yang mengesankan, diantaranya: a. Kelompok paduan suara yang disebut Koor Anggur. Mereka sempat muhibah keluar kota seperti Purworejo (undangan dari SPG Bruderan Purworejo), tampil di Seminari Mertoyudan, dan mengisi siaran TVRI Stasiun Yogyakarta. Mewakili eks-Karesidenan Banyumas ke lomba paduan suara tingkat provinsi b. Group Operette Penyaliban dan Kebangkitan Kristus. Istimewanya, pemainnya bukan hanya para murid, tapi juga melibatkan guru dan

45

karyawan. Grup ini sempat juga melawat keluar kota c. Tim Cerdas Cermat (Cepat Tepat) TVRI, yang pada tahun ajaran 1980-1981 berhasil meraih juara tingkat nasional d. Pembentukan Gugus Depan (Gudep) Pramuka, yang dihadiri oleh pengurus Kwarcab, Bapak Bupati, Bapak Walikota dan wakil dari Depdikbud Kabupaten Banyumas. Tahun 1993, kembali terjadi pergantian tongkat Kepala Sekolah. Bapak Heribertus Wardjikin hadir untuk menggantikan Bapak Red. Sasmito. Seiring dengan berlakunya kurikulum baru, yaitu Kurikulum 1994, maka mulai diberlakukan istilah singkatan baru dari SMA menjadi SMU (Sekolah Menengah Umum). Konsep kesetaraan dan kesepadanan (link and match) juga diberlakukan. Sekolah kejuruan yang semula kurang diminati masyarakat, dengan diberlakukannya konsep tersebut, menjadi sangat diminati masyarakat dan menjadi pesaing utama sekolah-sekolah umum (SMU) dalam memperoleh calon siswa. Gaya kebijakan pemerintah terhadap sekolah-sekolah negeri, menyebabkan banyak sekolah-sekolah swasta mengalami kesulitan. Bahkan banyak SMU swasta yang terpaksa tutup, karena sulit mendapatkan siswa yang bermutu serta kesulitan untuk membiayai sarana pendidikan maupun gaji guru dan karyawan. Dalam kondisi seperti itu, SMU Bruderan masih tetap eksis di

46

Purwokerto. Identitas yang melekat pada SMU Bruderan, antara lain: a. Kualitas NEM masih terbaik diantara SMU swasta se-Kabupaten Banyumas b. Secara umum masih menduduki peringkat 1-4 SMU seKabupaten Banyumas c. Menduduki peringkat 100 besar SMU se-Jawa Tengah d. Prestasi olah raga basket dan renang yang patut dibanggakan. Di era otonomi daerah ini, pemerintah menggulirkan program di bidang pendidikan yang dikenal dengan istilah MPMPBS (Manajemen Peningkatan Mutu Pendidikan Berbasis Sekolah). Program ini merupakan usaha pengelolaan manajemen pendidikan dengan menitikberatkan pada

pengembangan potensi sekolah. Hal ini merupakan tantangan bagi pihak Yayasan PIUS dan SMU Bruderan agar tetap eksis seiring dengan dinamika masyarakat. Kini, SMU Bruderan semakin gagah berjalan dengan Kepala Sekolah barunya, Bapak Matheus Kuncono. SMU Bruderan kini mantap menjadi salah satu sekolah swasta terbaik di Purwokerto dengan status Terakreditasi. Ruang kelasnya saat ini berjumlah 20 kelas, yang ditunjang dengan satu ruang perpustakaan, tiga ruang laboratorium IPA, satu ruang laboratorium bahasa, satu ruang audio visual, dan satu ruang laboratorium komputer. Jumlah guru tetapnya ada 32 orang, sedangkan yang belum tetap berjumlah 11 orang.

47

Untuk tahun ajaran 2008-2009 ini, siswa yang bersekolah di SMU Bruderan berjumlah 553 siswa. Dengan modal kekuatan ini, SMU Bruderan terus berusaha untuk menjaga identitas dan prestasi yang selama ini melekat di benak masyarakat. Sehingga SMU Bruderan mampu untuk terus mencetak generasi-generasi muda yang bermutu. IV.1.2. Karakteristik Responden Responden yang diikutsertakan dalam penelitian ini adalah siswa-siswi SMU Bruderan yang diambil dari semua tingkatan kelas, yaitu kelas X, XI, serta XII. Adapun jumlah keseluruhan siswa-siswi sebanyak 553 siswa. Dengan perincian, kelas X sebanyak 148 siswa, kelas XI sebanyak 191 siswa, dan kelas XII sebanyak 214 siswa. Dengan menggunakan proporsional stratified sampling dalam proses pengikutsertaan responden dan juga penggunaan rumus Yamane dalam menentukan jumlah responden, diperoleh angka 232 responden. Jumlah responden untuk masing-masing tingkatan kelas yaitu 62 responden untuk kelas X, 80 responden untuk kelas XI, dan 90 responden untuk kelas XII. IV.2. Uji Validitas dan Reliabilitas Uji validitas dan reliabilitas pada dasarnya dilakukan untuk melihat tingkat kesahihan dan kehandalan suatu kuesioner atau pernyataan yang akan dijadikan sebagai alat pengumpul data. Selain itu, ketepatan pengujian suatu hipotesis tentang hubungan variabel penelitian, sangat tergantung pada validitas data yang dipakai dalam pengujian tersebut. Pengujian validitas untuk setiap variabel dilakukan pada setiap item pertanyaan yang dianggap

48

mewakili variabel tersebut. Pengujian validitas variabel penelitian ini adalah dengan menggunakan rumus Product Moment. Syarat umum dinyatakan valid adalah kalau hasil korelasi (r hitung) lebih besar dari nilai r tabel. Sampel pada penelitian ini berjumlah 232 responden, namun pengujian instrumen hanya dilakukan pada 30 responden. Berdasarkan tabel, diketahui bahwa r tabel = 0,374. Jadi, bila koefisien kurang dari 0,374 maka dinyatakan tidak valid. Hasil uji validitas untuk variabel terpaan iklan dapat dilihat pada tabel 6.

Tabel 6. Pengujian validitas item pada variabel terpaan iklan Pertanyaan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 r hitung 0,558 0,643 0,652 0,693 0,387 0,612 0,513 0,529 0,612 0,458 0,617 0,498 0,635 0,710 0,600 0,411 0,546 0,521 0,630 0,680 0,540 0,553 0,553 0,584 0,535 r tabel 0,374 0,374 0,374 0,374 0,374 0,374 0,374 0,374 0,374 0,374 0,374 0,374 0,374 0,374 0,374 0,374 0,374 0,374 0,374 0,374 0,374 0,374 0,374 0,374 0,374 Keterangan Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid

49

26 0,522 27 0,563 28 0,512 Sumber : data primer diolah (lampiran 2).

0,374 0,374 0,374

Valid Valid Valid

Dari data yang tertera dalam tabel 6 tersebut terlihat bahwa semua item pertanyaan pada variabel terpaan iklan dapat dinyatakan valid. Hal ini didapat dari hasil perbandingan nilai korelasi semua item yang nilainya lebih besar dari r tabel (0,374), dimana nilai r hitung yang paling rendah adalah pada item ke-5 yaitu sebesar 0,387. Sedangkan hasil uji validitas untuk variabel perilaku konsumtif dapat dilihat dalam tabel 7.

Tabel 7. Pengujian validitas item pada variabel terpaan iklan Pertanyaan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 r hitung 0,622 0,606 0,666 0,697 0,569 0,645 0,675 0,641 0,427 0,468 0,581 0,635 0,516 0,620 0,585 0,543 0,579 0,562 0,627 0,633 r tabel 0,374 0,374 0,374 0,374 0,374 0,374 0,374 0,374 0,374 0,374 0,374 0,374 0,374 0,374 0,374 0,374 0,374 0,374 0,374 0,374 Keterangan Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid

50

21 0,424 22 0,717 23 0,455 24 0,549 25 0,729 26 0,551 27 0,805 28 0,723 29 0,593 30 0,567 Sumber : data primer diolah (lampiran 2).

0,374 0,374 0,374 0,374 0,374 0,374 0,374 0,374 0,374 0,374

Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid

Variabel perilaku konsumtif terdiri dari 30 item pertanyaan, dari hasil perhitungan validitas dengan menggunakan teknik korelasi product moment diketahui nilai terendah item pertanyaan variabel perilaku konsumtif adalah pada item ke-21 dengan nilai 0,424. Namun demikian nilai tersebut hasilnya masih lebih besar dari r tabel (0,374), sehingga dapat dikatakan bahwa semua item yang tercakup dalam variabel perilaku konsumtif semuanya valid untuk dijadikan instrumen penelitian. Pengujian instrumen selanjutnya adalah uji reliabilitas, yang hasilnya disajikan di bawah ini : Tabel 8. Pengujian reliabilitas variabel penelitian Variabel Koefisien alpha Terpaan iklan 0,921 Perilaku konsumtif 0,937 Sumber : data primer diolah (lampiran 2). Keterangan Reliabel Reliabel

Dari tabel 8 di atas diketahui nilai ataupun koefisien reliabilitas variabel penelitian yang meliputi variabel terpaan iklan dan perilaku konsumtif nilainya lebih besar dari 0,60. Sesuai dengan yang dikatakan Nunnally (dalam Aini, 2006), bahwa instrumen dapat dikatakan reliabel atau bisa dipercaya bila

51

memiliki nilai koesfisien Alpha > 0,60. Dengan demikian selain valid, kedua variabel dalam penelitian ini juga dapat dikatakan reliabel.

IV.3. Distribusi Variabel Penelitian Sebelum menguji hipotesis, maka data yang telah terkumpul dari hasil penelitian yang telah dilakukan di wilayah kerja, dikelompokkan ke dalam lima kategori sesuai dengan skala yang digunakan. Hal ini dilakukan dengan menggunakan metode distribusi frekuensi terhadap semua instrumen (variabel penelitian). Untuk lebih jelasnya mengenai hasil pengkategorian masingmasing variabel diuraikan di bawah ini :

IV.3.1. Terpaan iklan Dewasa ini pola konsumsi masyarakat mengalami peningkatan yang cukup berarti, dimana kehidupan manusia semakin berkembang sehingga kebutuhan yang harus dipenuhinya pun semakin bertambah baik jumlah maupun ragamnya. Dalam hal ini, kebutuhan masyarakat telah beranjak dari kebutuhan yang sifatnya primer dan sekunder ke kebutuhan yang sifatnya tersier dan barang mewah. Adanya peningkatan pola konsumsi masyarakat ini menyebabkan masyarakat menjadi tempat pemasaran produk-produk budaya dan sasaran iklan. Guay Debord (dalam Piliang, 1997) menyatakan bahwa masyarakat sekarang ini tidak lebih dari sebuah masyarakat tontonan, yakni masyarakat dimana manifestasinya adalah konsumer ilusi-ilusi dan tontonan. Berkaitan

52

dengan masyarakat sebagai komoditi tontonan maka terpaan iklan terjadi di mana-mana, media elektronik, media cetak dan lainnya. Tabel berikut ini akan menguraikan persepsi responden mengenai terpaan iklan yang dihadapinya:

Tabel 9. Deskripsi variabel terpaan iklan (x) Item pertanyaan 1-28 Kategori Jumlah Sangat tidak setuju 0 Tidak setuju 0 Ragu-ragu 209 Setuju 23 Sangat setuju 0 Jumlah 232 Sumber : data primer diolah (lampiran 5). Interval 28 50,3 50,4 72,7 72,8 95,1 95,2 117,5 117,6 140 Persentase 0,0 0,0 90,1 9,9 0,0 100,0

Dengan melihat tabel tersebut, maka terpaan iklan yang dialami oleh responden penelitian yang merupakan siswa SMU Bruderan lebih banyak pada kategori ragu-ragu yang menyatakan hal tersebut berjumlah 90,1 persen, sedangkan yang menyatakan terpaan iklan dalam kategori setuju jumlahnya 9,9 persen. Melihat kenyataan di atas maka terpaan iklan memang dialami oleh responden, meskipun masih dalam taraf ragu-ragu. Untuk lebih jelasnya mengenai terpaan iklan tersebut dapat dilihat dari indikatornya, yaitu frekuensi dan intensitas. Indikator pertama yang digunakan dalam variabel terpaan iklan adalah frekuensi menonton iklan, yang diwakili oleh item pertanyaan 1-8. Hasil kategorinya dapat dilihat di bawah ini : Tabel 10. Deskripsi indikator frekuensi dalam variabel terpaan iklan Interval Kategori Jumlah Persentase

53

Sangat tidak setuju Tidak setuju Ragu-ragu Setuju Sangat setuju Jumlah Sumber : data primer diolah (lampiran 7).

8 14,3 14,4 20,7 20,8 27,1 27,2 33,5 33,6 40

0 12 201 18 1 232

0,0 5,2 86,6 7,8 0,4 100,0

Tabel di atas menjelaskan bahwa dari 232 responden penelitian, 86,6 persen menyatakan frekuensi menonton iklannya dalam kategori ragu-ragu. Untuk responden yang frekuensi menonton iklannya masuk kategori setuju jumlahnya 7,8 persen, dan kategori sangat setuju jumlahnya hanya 0,4 persen. Sehingga dapat diketahui bahwa siswa SMU Bruderan relatif ragu-ragu dalam menonton iklan di televisi. Hanya 8,2 persen saja yang benar-benar senang menonton televisi. Dengan kata lain, siswa-siswi SMU Bruderan tidak terlalu sering menonton iklan di televisi. Deskripsi indikator kedua yang diwakili oleh item pertanyaan 9-28 yaitu intensitas menonton iklan, dapat dilihat di bawah ini :

Tabel 11. Deskripsi indikator intensitas dalam variabel terpaan iklan Kategori Jumlah Sangat tidak setuju 0 Tidak setuju 0 Ragu-ragu 201 Setuju 31 Sangat setuju 0 Jumlah 232 Sumber : data primer diolah (lampiran 7). Interval 20 35,9 36 51,9 52 67,9 68 83,9 84 100 Persentase 0,0 0,0 86,6 13,4 0,0 100,0

Hasil deskripsi di atas diketahui bahwa intensitas menonton iklan yang dialami oleh responden penelitian ternyata dalam kategori ragu-ragu, yaitu

54

berjumlah 201 orang atau 86,6 persen. Untuk responden lainnya termasuk yang mempunyai intensitas menonton iklan dalam kategori setuju, yaitu 13,4 persen. Intensitas dalam menonton iklan termasuk juga menyangkut pemahaman terhadap isi iklan televisi, dan tingkat pengetahuan terhadap perkembangan iklan televisi yang ditayangkan. Hal ini menunjukkan bahwa secara kualitas, siswa-siswi SMU Bruderan pun jarang mengkonsumsi televisi. Dalam menonton televisi, mereka tidak terlalu memperhatikan materi iklan yang disampaikan.

IV.3.2. Perilaku konsumtif Iklan merupakan suatu metode yang berfungsi untuk membantu melancarkan pemindahan barang-barang atau jasa dari pihak produsen ke konsumen. Dengan adanya iklan yang dibuat oleh produsen tersebut, diharapkan dapat mempengaruhi tingkah laku konsumen yang diproyeksikan sebagai calon pembeli supaya membeli produk-produk yang ditawarkan. Untuk melihat hasil pengkategorian dari variabel perilaku konsumtif selengkapnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 12. Deskripsi variabel perilaku konsumtif (y) Item pertanyaan 1-30 Interval 30 53,9 54 77,9 78 101,9 102 125,9 126 150 Kategori Sangat tidak setuju Tidak setuju Ragu-ragu Setuju Sangat setuju Jumlah 0 1 191 40 0 Persentase 0,0 0,4 82,3 17,2 0,0

55

Jumlah Sumber : data primer diolah (lampiran 7).

232

100,0

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa dari 232 siswa Bruderan yang menjadi responden penelitian ternyata 82,3 persen termasuk dalam perilaku konsumtif kategori ragu-ragu. Untuk responden yang termasuk dalam kategori setuju perilaku konsumtif jumlahnya 17,2 persen, dan 0,4 persen lainnya dalam kategori tidak setuju. Sehingga dapat dikatakan, tingkat konsumerisme siswa-siswi SMU Bruderan masih berada dalam wilayah normal. Mereka memang banyak mengkonsumsi produk-produk iklan, namun produk-produk tersebut masih cenderung sesuai dengan kebutuhan mereka. Kondisi perilaku konsumtif di atas secara rinci dapat dijelaskan dari penyebaran indikatornya, deskripsi indikator pertama yaitu iming-iming hadiah yang diwakili item pertanyaan 1-4, dapat dilihat di bawah ini :

Tabel 13. Deskripsi indikator iming-iming hadiah dalam variabel perilaku konsumtif Kategori Jumlah Sangat tidak setuju 1 Tidak setuju 26 Ragu-ragu 136 Setuju 62 Sangat setuju 7 Jumlah 232 Sumber : data primer diolah (lampiran 7). Interval 4 7,1 7,2 10,3 10,4 13,5 13,6 16,7 16,8 20 Persentase 0,4 11,2 58,6 26,7 3,0 100,0

Hasil di atas diketahui bahwa mayoritas responden penelitian yaitu 58,6

56

persen ternyata tidak terlalu teriming-iming hadiah ketika membeli sesuatu produk yang diiklankan. Untuk responden yang setuju atau teriming-iming hadiah jumlahnya 26,7 persen, dan 11,2 persen lainnya tidak setuju. Dengan demikian hadiah tidak terlalu menjadi faktor utama bagi siswa-siswi SMU Bruderan dalam membeli produk yang diiklankan. Hasil indikator kedua yaitu memperhatikan kemasan menarik ketika melakukan pembelianyang diwakili item pertanyaan 5-8, dapat dilihat di bawah ini :

Tabel 14. Deskripsi indikator kemasan menarik dalam variabel perilaku konsumtif Kategori Jumlah Sangat tidak setuju 0 Tidak setuju 15 Ragu-ragu 148 Setuju 67 Sangat setuju 2 Jumlah 232 Sumber : data primer diolah (lampiran 7). Interval 4 7,1 7,2 10,3 10,4 13,5 13,6 16,7 16,8 20 Persentase 0,0 6,5 63,8 28,9 0,9 100,0

Deskripsi tabel di atas menjelaskan bahwa mayoritas responden penelitian yaitu 63,8 persen ternyata tidak terlalu (dalam kategori ragu-ragu) memperhatikan kemasan ketika membeli suatu produk yang diiklankan. Untuk responden yang setuju atau memperhatikan kemasan jumlahnya 28,9 persen, dan 6,5 persen lainnya tidak setuju. Dengan demikian kemasan yang menarik bukan menjadi faktor utama bagi siswa-siswi SMU Bruderan dalam membeli produk yang diiklankan. Indikator ketiga dalam variabel perilaku konsumtif adalah pembelian

57

produk yang bertujuan untuk menjaga penampilan diri yang diwakili item pertanyaan 9-12, hasilnya disajikan di bawah ini : Tabel 15. Deskripsi indikator menjaga penampilan diri dalam variabel perilaku konsumtif Kategori Jumlah Sangat tidak setuju 0 Tidak setuju 11 Ragu-ragu 127 Setuju 89 Sangat setuju 5 Jumlah 232 Sumber : data primer diolah (lampiran 7). Interval 4 7,1 7,2 10,3 10,4 13,5 13,6 16,7 16,8 20 Persentase 0,0 4,7 54,7 38,4 2,2 100,0

Hasil di atas diketahui bahwa mayoritas responden penelitian yaitu 54,7 persen ternyata ragu-ragu memperhatikan tujuan menjaga penampilan diri ketika melakukan pembelian. Namun responden yang setuju membeli produk dengan tujuan menjaga penampilan diri pun cukup dominan, yang terwakili oleh jumlah 38,4 persen, bahkan 2,2 persen responden termasuk kategori sangat setuju. Dengan demikian, walaupun penampilan diri tidak terlalu menjadi faktor utama bagi siswa-siswi SMU Bruderan dalam membeli produk yang diiklankan, namun faktor ini tetap menjadi perhatian bagi mereka. Hasil indikator keempat yaitu pertimbangan harga ketika melakukan pembelian yang diwakili item pertanyaan 13-16, dapat dilihat di bawah ini:

Tabel 16. Deskripsi indikator pertimbangan harga dalam variabel perilaku konsumtif 4 Interval 7,1 Kategori Sangat tidak setuju Jumlah 0 Persentase 0,0

58

Tidak setuju Ragu-ragu Setuju Sangat setuju Jumlah Sumber : data primer diolah (lampiran 7).

7,2 10,3 10,4 13,5 13,6 16,7 16,8 20

17 144 69 2 232

7,3 62,1 29,7 0,9 100,0

Pengkategorian indikator di atas menjelaskan bahwa mayoritas responden penelitian yaitu 62,1 persen ternyata ragu-ragu menjadikan harga sebagai pertimbangan dalam pembelian produk. Untuk responden yang setuju atau mempertimbangkan harga jumlahnya 29,7 persen, dan 7,3 persen lainnya tidak setuju. Dengan demikian harga bukan menjadi faktor utama atau masih kurang diperhatikan bagi siswa-siswi SMU Bruderan dalam membeli produk yang diiklankan. Kondisi perilaku konsumtif di atas juga dapat dilihat dari indikator menjaga simbol status yang diwakili item pertanyaan 17-20, secara rinci dapat dijelaskan seperti tertera dalam tabel berikut :

Tabel 17. Deskripsi indikator menjaga simbol status dalam variabel perilaku konsumtif Kategori Jumlah Sangat tidak setuju 0 Tidak setuju 23 Ragu-ragu 144 Setuju 65 Sangat setuju 0 Jumlah 232 Sumber : data primer diolah (lampiran 7). Interval 4 7,1 7,2 10,3 10,4 13,5 13,6 16,7 16,8 20 Persentase 0,0 9,9 62,1 28,0 0,0 100,0

Hasil di atas diketahui bahwa mayoritas responden penelitian yaitu 62,1 persen ternyata tidak terlalu menjaga simbol status ketika membeli sesuatu

59

yang diiklankan, dengan kata lain membeli produk tidak hanya sekedar menjaga simbol status. Namun, tetap ditemukan responden yang setuju atau berusaha menjaga simbol stasus lewat perilaku konsumtif jumlahnya 28 persen, sedangkan 9,9 persen lainnya tidak setuju. Dengan demikian simbol status tidak terlalu menjadi faktor utama bagi siswa-siswi SMU Bruderan dalam membeli produk yang diiklankan. Hasil indikator keenam yaitu unsur konformitas yang diwakili item pertanyaan 21-24, dapat dilihat di bawah ini : Tabel 18. Deskripsi indikator unsur konformitas dalam variabel perilaku konsumtif Kategori Jumlah Sangat tidak setuju 0 Tidak setuju 20 Ragu-ragu 157 Setuju 55 Sangat setuju 0 Jumlah 232 Sumber : data primer diolah (lampiran 7). Interval 4 7,1 7,2 10,3 10,4 13,5 13,6 16,7 16,8 20 Persentase 0,0 6,6 67,7 23,7 0,0 100,0

Deskripsi tabel di atas menjelaskan bahwa mayoritas responden penelitian yaitu 67,7 persen ternyata memakai sebuah produk karena unsur konformitas terhadap model yang mengiklankan produk dalam kategori raguragu. Untuk responden yang setuju atau memperhatikan unsur konformitas jumlahnya 23,7 persen, dan 6,6 persen lainnya tidak setuju. Dengan demikian unsur konformitas terhadap model yang mengiklankan produk terhadap responden penelitian bukan menjadi faktor utama bagi siswa-siswi SMU Bruderan dalam membeli produk yang diiklankan. Indikator ketujuh dalam variabel perilaku konsumtif adalah harga yang

60

mahal untuk menambah kepercayaan diri yang diwakili item pertanyaan 2528, hasilnya disajikan di bawah ini :

Tabel 19. Deskripsi indikator harga yang mahal untuk menambah kepercayaan diri dalam variabel perilaku konsumtif Kategori Jumlah Sangat tidak setuju 0 Tidak setuju 18 Ragu-ragu 148 Setuju 61 Sangat setuju 5 Jumlah 232 Sumber : data primer diolah (lampiran 7). Interval 4 7,1 7,2 10,3 10,4 13,5 13,6 16,7 16,8 20 Persentase 0,0 7,8 63,8 26,3 2,2 100,0

Hasil di atas diketahui bahwa mayoritas responden penelitian yaitu 63,8 persen ternyata ragu-ragu bahwa membeli produk dengan harga mahal akan menimbulkan rasa percaya diri. Untuk responden yang setuju atau selalu mempercayai penilaian bahwa membeli produk dengan harga mahal akan menimbulkan rasa percaya diri jumlahnya 26,3 persen, dan 7,8 persen lainnya tidak setuju. Dengan demikian munculnya penilaian bahwa membeli produk dengan harga mahal akan menimbulkan rasa percaya diri tidak menjadi faktor utama bagi siswa-siswi SMU Bruderan dalam membeli produk yang diiklankan. Hasil indikator yang terakhir yaitu mencoba lebih dari dua produk sejenis ketika melakukan pembelian yang diwakili item pertanyaan 29-30, dapat dilihat di bawah ini:

Tabel 20.

61

Deskripsi indikator mencoba lebih dari dua produk sejenis dalam variabel perilaku konsumtif Kategori Jumlah Sangat tidak setuju 3 Tidak setuju 33 Ragu-ragu 132 Setuju 63 Sangat setuju 1 Jumlah 232 Sumber : data primer diolah (lampiran 7). Interval 4 7,1 7,2 10,3 10,4 13,5 13,6 16,7 16,8 20 Persentase 1,3 14,2 56,9 27,2 0,4 100,0

Pengkategorian indikator di atas menjelaskan bahwa mayoritas responden penelitian yaitu 56,9 persen ragu-ragu ketika mencoba lebih dari dua produk sejenis (merk berbeda). Untuk responden yang setuju atau mencoba lebih dari dua produk sejenis (merk berbeda) jumlahnya 27,2 persen, dan 14,2 persen lainnya tidak setuju. Dengan demikian mencoba lebih dari dua produk sejenis (merk berbeda) jarang dilakukan oleh siswa-siswi Bruderan yang menjadi responden penelitian.

IV.4. Pembahasan Penelitian kuantitatif, dimana instrumen yang digunakan lebih bersifat statistikal umumnya lebih mengarah pada pembuktian hipotesis. Pembuktian hipotesis yang dimaksud dalam penelitian ini adalah melihat pengaruh antara variabel terpaan iklan dengan perilaku konsumtif. Untuk melakukan pengujian hipotesis tersebut menggunakan uji korelasi product moment dan juga regresi sederhana, kedua alat tersebut digunakan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh antara terpaan iklan sebagai variabel bebas dengan perilaku konsumtif sebagai variabel terikat. Hasil pembahasan selengkapnya akan

62

dipilah berdasarkan alat analisis yang digunakan, yaitu :

IV.4.1. Analisis Product Moment Hasil perhitungan hubungan antara variabel terpaan iklan terhadap perilaku konsumtif dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:

Tabel 21. Hasil perhitungan korelasi product moment Korelasi Koef. Korelasi t hitung t tabel r X1Y 0,361 5,863 1,970 Sumber : data primer diolah (lampiran 8 dan 12). Keterangan Signifikan

Pada tabel 20 di atas dapat dilihat berdasarkan hasil perhitungan secara statistik, koefisien korelasi antara terpaan iklan terhadap perilaku konsumtif adalah sebesar 0,361. Kemudian dilakukan uji t berdasarkan data terlampir diperoleh 5,863. Sedangkan t tabel dengan taraf uji 95 persen, dengan 232 responden, maka dk = n - 2 yaitu (232-2=230), sehingga diperoleh t tabel 1,970. Untuk mengetahui nilai signifikan dari koefisien korelasi diatas maka nilai kedua t dibandingkan satu sama lain, dari hasil perbandingan menunjukkan bahwa korelasi antara terpaan iklan dengan perilaku konsumtif adalah signifikan karena t hitung lebih besar dari t tabel dimana 5,863 > 1,970. Untuk dapat memberikan penafsiran terhadap koefisien korelasi yang ditemukan tersebut apakah pengaruhnya cukup kuat atau tidak, maka dapat berpedoman pada ketentuan yang tertera pada tabel 4 (tabel Guilford). Berpedoman pada tabel tersebut maka dapat disimpulkan bahwa hubungan terpaan iklan terhadap perilaku konsumtif ada pada tingkat hubungan yang

63

rendah tapi pasti, karena koefisien korelasinya sebesar 0,361 yaitu berada pada kategori 0,20 0,39. Hubungan yang rendah namun bernilai positif ini berarti semakin kuat terpaan iklan maka perilaku konsumtif juga cenderung meningkat, dan begitupun sebaliknya. Adanya hubungan antara terpaan iklan dengan perilaku konsumtif membuktikan bahwa iklan tetap berperan dalam memberikan rangsangan kepada individu untuk melakukan pembelian. Bila iklan yang ditonton dalam frekuensi dan intensitas yang tinggi, maka akan dapat mempengaruhi perilaku konsumtif seperti yang telah dijelaskan dari hasil statistik di atas. IV.4.2. Analisis Regresi Sederhana Pembuktian adanya pengaruh dari kedua variabel di atas juga dibuktikan dari hasil perhitungan regresi sederhana, dimana koefisien regresi juga menunjukkan hasil yang positif, yaitu sebesar 0,361. Hasil perhitungan regresi sederhana antara variabel terpaan iklan dengan perilaku konsumtif disajikan dalam tabel 21 berikut ini:

Tabel 22. Hasil penghitungan regresi sederhana No. Variabel Nilai pengaruh 1. Terpaan iklan 0,361 a (Konstanta) = 56,869 b (Koefisien regresi) = 0,441 Koefisien determinasi = 0,130 Sumber : data primer diolah (lampiran 9). t hitung 5,863 t tabel 1,970

Uji signifikansi hasil regresi sederhana di atas dilakukan dengan membandingkan t hitung dengan t tabel. Diketahui t hitung regresi linier

64

Perilaku konsumtif = 56,869 + 0,441 terpaan iklan sederhana adalah sebesar 5,863. Sedangkan t tabel dengan taraf kepercayaan 95 persen dengan df = n-2 (232-2=230) adalah sebesar 1,970, sehingga dapat dikatakan hasil perhitungan regresi ini adalah signifikan. Dari hasil perhitungan regresi sederhana tersebut juga dapat diketahui persamaan regresinya, dimana rumus bakunya adalah : Y = a + b X Jika nilai koefisien variabel terpaan iklan dan konstanta dimasukkan dalam persamaan, maka akan didapatkan persamaan regresi variabel perilaku konsumtif sebagai berikut :

Persamaan tersebut mengandung arti, bahwa : a. Tanpa ada variabel terpaan iklan (atau terpaan iklan = 0), maka perilaku konsumtif adalah sebesar 56,869. Dengan kata lain siswasiswi SMU Bruderan telah mempunyai perilaku konsumtif walaupun tanpa dipengaruhi oleh terpaan iklan. b. Bila terpaan iklan diberi perlakuan, yaitu ditingkatkan sebesar satusatuan (terpaan iklan = 1), maka perilaku konsumtif akan meningkat sebesar 0,441. Dengan kata lain bila terpaan iklan semakin kuat, maka akan perilaku konsumtif siswa-siswi SMU Bruderan pun akan ikut meningkat pula.

65

Untuk mengetahui presentase besarnya pengaruh yang dialami variabel perilaku konsumtif yang disebabkan oleh variabel terpaan iklan dapat dilihat dari nilai koefisien determinasi (R Square). Dari perhitungan komputer (lampiran 9) dapat diketahui bahwa nilai R square atau koefisien determinasi sebesar 0,130 atau dapat dikatakan 13 persen. Ini berarti persentase besarnya sumbangan variabel terpaan iklan terhadap perilaku konsumtif adalah sangat kecil tetapi signifikan yaitu sekitar 13 persen, sedangkan variabel-variabel lain di luar terpaan iklan yang ikut mempengaruhi perilaku konsumtif adalah sebesar 1- 0,130 = 0,870 atau sebesar 87 persen. Namun variabel-variabel tersebut tidak dibahas dalam penelitian ini. Dari kedua hasil uji statistik di atas (korelasi dan regresi) didapatkan hasil bahwa antara terpaan iklan dengan perilaku konsumtif mempunyai hubungan atau pengaruh yang signifikan, hasil ini sekaligus dapat menjadi alat pembukti dari hipotesis penelitian. Hipotesis penelitian yang menyatakan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara terpaan iklan televisi terhadap perilaku konsumtif remaja dengan demikian terbukti, sehingga Ho ditolak dan Ha diterima.

66

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

V.1. Kesimpulan Berdasarkan penelitian dan analisis data yang telah dilakukan untuk menguji pengaruh antara terpaan iklan televisi terhadap perilaku konsumtif remaja di SMU Bruderan, maka didapatkan beberapa kesimpulan, sebagai berikut: a. Terdapat hubungan yang rendah antara terpaan iklan televisi terhadap perilaku konsumtif remaja di SMU Bruderan, terbukti dengan hasil penghitungan dengan rumus Korelasi Pearson Product Moment yang hanya menghasilkan angka 0,361 dengan tingkat signifikansi sebesar 95%. Namun hal ini cukup dapat membuktikan bahwa memang terdapat hubungan yang signifikan antara terpaan iklan televisi terhadap perilaku konsumtif remaja, walaupun masih dalam tataran yang tergolong rendah. b. Persentase pengaruh yang dialami variabel perilaku konsumtif yang disebabkan oleh variabel terpaan iklan televisi hanya mencapai angka 13%, hal ini dapat dilihat dari hasil penghitungan koefisien determinan. Minimnya sumbangan persentase pengaruh ini, memperlihatkan bahwa terpaan iklan bukan merupakan faktor dominan untuk mempengaruhi seorang remaja agar menjadi konsumtif. Terpaan iklan hanyalah salah satu faktor diantara

67

faktor-faktor lainnya. c. Berdasarkan uji t yang telah dilakukan pada taraf signifikansi sebesar 95% dan melibatkan 232 responden, maka Hipotesis Nol (Ho) yang menyatakan bahwa tidak terdapat pengaruh antara terpaan iklan televisi terhadap perilaku konsumtif remaja di SMU Bruderan dapat ditolak. Dengan didasarkan pada hasil

penghitungan uji t yang memperoleh angka 5,863 berada di atas angka t tabel yang menunjuk pada angka 1,960. Hasil penghitungan ini juga menjadikan Hipotesis Alternatif (Ha) yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh antara terpaan iklan televisi terhadap perilaku konsumtif remaja di SMU Bruderan dapat diterima. d. Berdasarkan persamaan regresi yang telah dihasilkan yakni = 56,869 + 0,441x, menandakan bahwa terdapat hubungan positif antara terpaan iklan televisi terhadap perilaku konsumtif remaja di SMU Bruderan. Artinya, semakin tinggi terpaan iklan televisi

yang dialami siswa-siswi SMU Bruderan maka perilaku konsumtif mereka juga akan semakin tinggi. V.2. Saran Dalam penelitian ini dikemukakan beberapa saran bagi pihak-pihak yang tekait dengan penelitian ini untuk dapat diambil sisi positifnya, diantara saransaran yang dapat dihasilkan dari penelitian ini adalah: a. Bagi para praktisi media, khususnya biro-biro iklan dan media

68

televisi, selayaknya lebih memperhatikan iklan-iklan yang lalulalang di stasiun televisi saat ini. Karena berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa iklan yang hadir di televisi mampu mempengaruhi seseorang untuk menjadi konsumtif. Oleh karena itu, sebaiknya pesan sebuah iklan dibuat apa adanya dan tidak dilebih-lebihkan. b. Bagi khalayak, terutama para remaja, hendaknya mampu memilahmilah iklan yang sesuai dengan kebutuhannya. Karena berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa para remaja memang telah memiliki perilaku konsumtif sejak awal. Setiap produk yang dikonsumsi atau dibeli haruslah benar-benar sesuai dengan kebutuhan, tidak berlebihan, dan bukan berdasarkan pertimbanganpertimbangan lain yang dapat merugikan dirinya secara langsung. Sehingga, mereka tidak terperangkap lebih jauh dalam perilaku konsumtif. c. Bagi para peneliti berikutnya, agar mampu mengupas lebih dalam lagi fenomena-fenomena sosial yang berhubungan dengan studi pengaruh media massa terhadap khalayak, terutama yang berhubungan dengan dunia periklanan.

69

Lampiran 2. Uji validitas instrumen penelitian 2.1. Instrumen variabel XCorrelations x.1 x.1 Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N x.2 Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N x.3 Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N x.4 Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N x Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N 30 ,055 ,386 30 ,518** ,002 30 ,131 ,245 30 ,558** ,001 30 30 ,332* ,036 30 ,546** ,001 30 ,643** ,000 30 30 ,095 ,309 30 ,652** ,000 30 30 ,693** ,000 30 30 1 x.2 ,055 ,386 30 1 x.3 ,518** ,002 30 ,332* ,036 30 1 x.4 ,131 ,245 30 ,546** ,001 30 ,095 ,309 30 1 x ,558** ,001 30 ,643** ,000 30 ,652** ,000 30 ,693** ,000 30 1

**. Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (1-tailed). Correlations x.5 x.5 Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N x.6 Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N x.7 Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N x.8 Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N x Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N 30 -,034 ,428 30 ,293 ,058 30 ,271 ,074 30 ,387* ,017 30 30 ,132 ,243 30 ,393* ,016 30 ,612** ,000 30 30 -,074 ,349 30 ,513** ,002 30 30 ,529** ,001 30 30 1 x.6 -,034 ,428 30 1 x.7 ,293 ,058 30 ,132 ,243 30 1 x.8 ,271 ,074 30 ,393* ,016 30 -,074 ,349 30 1 x ,387* ,017 30 ,612** ,000 30 ,513** ,002 30 ,529** ,001 30 1

*. Correlation is significant at the 0.05 level (1-tailed). **. Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed).

70

Correlations x.9 x.9 Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N x.10 Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N x.11 Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N x.12 Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N x Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N 30 -,046 ,405 30 ,320* ,043 30 ,452** ,006 30 ,612** ,000 30 30 ,190 ,157 30 ,409* ,012 30 ,458** ,005 30 30 -,192 ,155 30 ,617** ,000 30 30 ,498** ,003 30 30 1 x.10 -,046 ,405 30 1 x.11 ,320* ,043 30 ,190 ,157 30 1 x.12 ,452** ,006 30 ,409* ,012 30 -,192 ,155 30 1 x ,612** ,000 30 ,458** ,005 30 ,617** ,000 30 ,498** ,003 30 1

*. Correlation is significant at the 0.05 level (1-tailed). **. Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed). Correlations x.13 x.13 Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N x.14 Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N x.15 Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N x.16 Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N x Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N 30 ,482** ,003 30 ,311* ,047 30 ,188 ,160 30 ,635** ,000 30 30 ,763** ,000 30 ,059 ,379 30 ,710** ,000 30 30 ,000 ,500 30 ,600** ,000 30 30 ,411* ,012 30 30 1 x.14 ,482** ,003 30