skripsi diajukan untuk memenuhi salah satu...
TRANSCRIPT
i
ANALISIS PENETAPAN WALI ADHOL
DI PENGADILAN AGAMA SEMARANG TAHUN 2010
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh
Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh:
Danang Eko Setyo Adi
21110002
JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
2015
ii
NOTA PEMBIMBING
Lamp : 4 (Empat) eksemplar
Hal : Pengajuan Naskah Skripsi
Kepada Yth,
Dekan Fakultas Syariah IAIN Salatiga
Di Salatiga
Assalamualaikum Wr. Wb.
Disampaikan dengan hormat, Setelah dilaksanakan bimbingan, arahan dan
koreksi maka naskah skripsi mahasiswa:
Nama : DANANG EKO SETYO ADI
NIM : 21110002
Judul : ANALISIS PENETAPAN WALI ADHOL DI
PENGADILAN AGAMA SEMARANG TAHUN 2010
dapat diajukan kepada Fakultas Syariah IAIN Salatiga untuk diujikan dalam
sidang munaqasyah.
Demikian nota pembimbing ini dibuat, untuk menjadi perhatian dan
digunakan sebagaimana mestinya.
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Salatiga, 11 September 2015
Pembimbing,
Lutfiana Zahriani, M.H
NIP: 150303025
iii
KEMENTERIAN AGAMA RI INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)SALATIGA
FAKULTAS SYARI’AH Jl. Nakula Sadewa No. 9 Telp (0298) 3419400 Salatiga 50722
http//www.iainsalatiga.ac.id e-mail: [email protected]
PENGESAHAN
Skripsi Berjudul:
ANALISIS PENETAPAN WALI ADHOL DI PENGADILAN AGAMA
SEMARANG TAHUN 2010
Oleh:
Danang Eko Setyo Adi
NIM: 21110002
Telah dipertahankan di depan sidang munaqasyah skripsi Fakultas Syariah Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga, pada tanggal 25 September 2015 dan telah
dinyatakan memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana dalam hukum
Islam.
Dewan Sidang Munaqasyah
Ketua Penguji : Dr. H. Muh Irfan Helmy, Lc. M.A. ....................................
Sekretaris : Luthfiana Zahriani, MH. ....................................
Penguji I : Evi Ariyani, MH. ....................................
Penguji II : H. M. Yusuf Khummaini,S.HI.,MH ....................................
Salatiga, 25 September 2015
Dekan Fakultas Syariah
Drs. Siti Zumrotun, M.Ag.
NIP. 19670115 199803 2002
iv
PERNYATAAN KEASLIAN
Yang bertanda tangan di bawah ini, Saya:
Nama : Danang Eko Setyo Adi
NIM : 21110002
Jurusan : Ahwal Al-Syakhshiyya
Fakultas : Syari‟ah
Judul Skripsi : ANALISIS PENETAPAN WALI ADHOL
DI PENGADILAN AGAMA SEMARANG TAHUN 2010
Menyatakan bahwa, skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil
karya saya sendiri, bukan jiplakan (plagiat), saduran atau terjemahan dari karya tulis
orang lain. pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip
atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Salatiga, 18 September 2015
Yang menyatakan,
Danang Eko Setyo Adi
NIM : 21110002
v
MOTTO
Maka orang-orang yang beriman dan beramal
saleh,mereka memperoleh ampunan dan rezki yang
mulia.(Al-Hajj:50)
vi
PERSEMBAHAN Untuk Orang-Orang yang Ku Sayangi
Karya ini aku persembahkan kepada kedua orang tuaku yang tersayang, Bapak Jumadi dan Ibu Ngaimah
Adik Tercinta, Deni Dwi Rahayu
Teman-teman seperjuangan di perkuliahan (Akhwal Al Syakhsiyyah)
Terima kasih
Atas doa dan support yang telah diberikan
vii
ABSTRAK
Adi, Danang Eko Setyo. 2015. Analisa Penetapan Wali Adhol di Pengadilan Agama
Semarang Tahun 2010. Skripsi. Fakultas Syariah. Jurusan Ahwal Al-
Syakhshiyyah. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.
Kata Kunci: Perkawinan, Wali Adhol, Hukum Fiqih,
Dewasa ini sering muncul permasalahan dimana orang tua mempelai tidak
setuju dengan pernikahan anaknya, sehingga orang tua enggan untuk menikahkan
calon mempelai. Dalam hal ini, wali yang menolak untuk menjadi wali nikah disebut
Wali Adhol. Hanya dalam hal yang benar-benar dipandang tidak beralasan,orang
tua tidak menyetujui perkawinan anaknya dan menolak menjadi wali, misalnya orang
tua menolak atas pertimbangan materi, pangkat, dan sifat-sifat lahiriyah calon
suami, bukan atas pertimbangan agama dan akhlak. Perwalian dapat dimintakan
kepada sultan, kepala negara yang disebut juga hakim. Ini adalah landasan dari
dilakukannya penelitian ini. Seperti yang terjadi di Pengadilan Agama Semarang,
ada beberapa calon mempelai yang tersandung oleh permasalahan dimana orang tua
mempelai tidak setuju dengan pernikahan anaknya. Maka fokus penelitian yang ingin
dijawab melalui penelitian ini adalah (1) Apakah pertimbangan Hakim Pengadilan
Agama Semarang dalam menetapkan perkara wali adhol tersebut.(2) Bagaimana
penetapan wali adhol Pengadilan Agama Semarang ditinjau dari fiqh.
Penelitian kualitatif ini menggunnakan metode pengumpulan data, wawancara,
observasi, dokumentasi dan studi kepustakaan. Jenis penelitian yuridis normatif
adalah metode penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau
data sekunder tentang penetapan wali adhol.
Dari temuan penelitian (1) Hakim dalam pertimbangannya menetapkan wali
adhol karena alasan wali menolak tidak memenuhi syara‟meliputi: karena wali tidak
suka dengan sikap calon suami pilihan anaknya, wali tidak setuju dengan beda jauh
selisih umur, wali beda agama dan tanpa alasan yang jelas, mempertimbangkan
kemaslahatan dan kemadhorotan yang akan timbul dari penetapannya itu,
dikhawatirkan akan terjadi kawin lari atau “kumpul kebo” (jawa) yang itu tidak
sesuai dengan syara‟, Pemohon dan calon suami Pemohon telah memenuhi syarat-
syarat dan tidak ada larangan untuk melangsungkan pernikahan sesuai ketentuan
agama Islam. (2)Penetapan Hakim Pengadilan Agama Semarang tentang wali adhol
tahun 2010 telah sesuai hukum fiqih dan tidak bertentangan dengan syara‟
bahwasanya telah jelas dalam dalam Al-Qur‟an Surah Al Baqarah ayat 232 dan
beberapa dalil fiqih.
viii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahminirrahim,Alhamdulillahirobbil „alamin,
Peneliti menyampaikan rasa syukur yang mendalam atas nikmat yang Allah
SWT anugerahkan, sehingga peneliti dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini
dengan judul “ANALISA PENETAPAN WALI ADHOL DI PENGADILAN
AGAMA SEMARANG TAHUN 2010” dengan baik dan penuh dedikasi.
Penulisan ini dapat terselesaikan dengan baik berkat bantuan beberapa pihak.
Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Dr. Rahmat Hariyadi, M. Pd selaku Rektor IAIN Salatiga
2. Drs. Siti Zumrotun, M.Ag selaku Dekan Fakultas Syariah IAIN Salatiga
3. Sukron Ma‟mun, M.Si selaku Ketua Jurusan Ahwal al-Syakhshiyyah
4. Lutfiana Zahriani, M.H selaku pembimbing skripsi yang telah sudi kiranya
meluangkan waktunya untuk membimbing dalam penulisan skripsi.
5. Ketua Pengadilan Agama Semarang, Drs Jasirudin, S.H. M.Si beserta jajaran
pengurus yang telah mau memberikan waktunya untuk keperluan penggalian
informasi
6. Kepada semua pihak yang belum dapat penulis sampaikan satu persatu.
Semoga Allah berkenan untuk membimbing dan memberikan hidayah dalam
setiap langkah hidupnya. Kemudian, semoga karya sederhana ini dapat bermanfaat
untuk pembaca.
Salatiga, 18 September 2015
Danang Eko Setyo Adi
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i
NOTA PEMBIMBING .................................................................................... ii
PENGESAHAN ............................................................................................... iii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ........................................................ iv
MOTTO ............................................................................................................ v
PERSEMBAHAN ............................................................................................ vi
ABSTRAK ....................................................................................................... vii
PENGANTAR ................................................................................................ viii
DAFTAR ISI .................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ....................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................. 6
C. Tujuan Penelitian ................................................................... 7
D. Kegunaan Penelitian .............................................................. 7
E. Penegasan Istilah .................................................................... 7
F. Metodologi penelitian ............................................................ 8
G. Telaah Pustaka ..................................................................... 12
H. Sistematika Penulisan .......................................................... 15
BAB II KAJIAN TEORI
A. Perkawinan .......................................................................... 17
1. Pengertian Perkawinan ................................................... 17
2. Hukum Perkawinan ........................................................ 18
3. Rukun Perkawinan ......................................................... 19
4. Syarat Perkawinan .......................................................... 22
x
B. Wali ..................................................................................... 24
1. Pengertian Wali ....................................................... 24
2. Dasar Hukum Wali ................................................... 27
3. Kedudukan Wali Nikah ............................................ 29
4. Syarat-Syarat Wali ................................................... 34
5. Macam-Macam Wali ................................................ 39
BAB III Perkara Penetapan Pengadilan Agama Semarang
Tentang Wali Adhol tahun 2010
A. Perkara Hukum Tentang Wali Adhol .................................... 47
1. Jumlah Perkara Wali Adhol
di Pengadilan Agama Semarang ..................................... 47
2. Penetapan-penetapan Pengadilan Agama Semarang
tentang Wali Adhol Tahun 2010 ..................................... 48
B. Proses Penyelesaian Perkara Wali Adhol .............................. 62
BAB IV Analisis Penetapan Pengadilan Agama Semarang
Tahun 2010 tentang Wali Adhol
A. Analisis Pertimbangan Hakim Pengadilan Agama
Semarang dalam Menetapkan Wali Adhol ........................... 65
B. Analisis Penetapan Pengadilan Agama Semarang
ditinjau dari Fiqh ................................................................. 66
1. Penetapan Nomor : 0031/Pdt.P/2010/PA.Sm .................. 67
2. Penetapan Nomor : 068/Pdt.P/2010/PA.Sm .................... 68
xi
3. Nomor Penetapan: 0078/Pdt.P/2010/PA.Sm ................... 71
4. Penetapan Nomor: 0071/Pdt.P/2010/PA.Sm ................... 73
5. Penetapan Nomor: 0072/Pdt.P/2010/PA.Sm ................... 74
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................... 76
B. Saran .................................................................................... 76
DARTAR PUSTAKA ..................................................................................... 78
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia diciptakan Allah SWT dalam jenis yang berbeda namun
berpasangan dengan maksud agar manusia dapat mengembangkan keturunan.
Dalam Islam jalan yang sah untuk mengembangkan keturunan ialah melalui
perkawinan. Perkawinan merupakan salah satu sunatullah yang berlaku pada
semua makhluk Tuhan, baik pada manusia, hewan maupun tumbuhan.
Perkawinan merupakan cara yang dipilih Allah sebagai jalan manusia untuk
beranak pinak, berkembang biak, dan melestarikan hidupnya setelah pasangan
siap melakukan perannya yang positif dalam mewujudkan tujuan perkawinan.
Allah tidak menjadikan manusia seperti makhluk lainnya yang hidup bebas
mengikuti nalurinya dan berhubungan secara anarki tanpa aturan. Demi
menjaga kehormatan dan kemuliaa manusia, Allah mengadakan hukum sesuai
martabatnya, sehingga hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur
secara terhormat dan berdasarkan rasa saling meridlai, dengan upacara ijab qabul
sebagai lambang adanya rasa ridla-meridlai, dan dengan dihadiri para saksi
yang menyaksikan bahwa kedua pasangan laki-laki dan perempuan itu
saling terikat.
Perkawinan merupakan suatu ikatan yang suci antara seorang pria dan
wanita sebagaimana yang disyariatkan oleh agama, dengan maksud dan tujuan
2
yang luhur. Suatu perkawinan dimaksudkan untuk mewujudkan keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal yang diliputi perasaan cinta, kasih, dan
kedamaian di antara masing-masing anggotanya, sebagaimana tercermin dalam
undang-undang perkawinan sebagai berikut:
"Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa (Lembaran Negara RI, 1988:1).
Pada dasarnya, yang berkepentingan langsung dalam perkawinan adalah
para calon suami istri, namun tidak boleh dilupakan bahwa perkawinan adalah
masalah besar, masalah keturunan yang akan menyambung kehidupan dari suatu
generasi ke generasi berikutnya. Oleh karena itu, perkawinan seharusnya tidak
hanya dipandang sebagai masalah para pribadi yang mengalaminya, bukan
masalah pribadi yang saling "cinta" satu sama lain tanpa menghiraukan
hubungannya dengan keluarga, lebih-lebih orang tua masing-masing yang
Bersangkutan Sahnya suatu perkawinan menandakan adanya suatu keadaan
dimana perkawinan telah dilakukan dengan memenuhi syarat dan rukunnya
berdasarkan hukum Islam (Basyir, 1996:41).
Adapun rukun nikah yaitu : calon mempelai laki-laki, calon mempelai
perempuan, wali (dari mempelai perempuan), dua orang saksi (laki-laki), akad
(iijab dan qabul). Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus
dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.
Orang yang bertindak selaku wali nikah harus memenuhi syarat hukum Islam.
3
Akad pernikahan merupakan akad yang istimewa dari pada akad-akad lainnya
seperti jual-beli atau gadai. Akad nikah dianggap oleh ulama sebagai hal yang
harus ditangani dengan hati-hati (aqd khatir) karena akan berimplikasi kepada
anak dan hal-hal lain yang ditimbulkan karena pernikahan seperti hak warisan.
Salah satu unsur yang paling utama dari akad nikah adalah wali nikah. Hanya
wali nikah yang memiliki hak untuk menikahkan wanita yang berada dalam
perwaliannya. Hak ini diberikan Islam kepada wali nikah, karena wanita tidak
boleh menikahkan dirinya sendiri. Jika wanita menikahkan dirinya sendiri, maka
berarti ia telah berzina.
Sebagaimana para ahli hukum islam mengatakan bahwa perkawinan yang
dilaksanakan tanpa wali. Maka perkawinan tersebut tidak sah karena kedudukan
wali dalam akad perkawinan adalah salah satu rukun yang mesti harus dipenuhi.
Perwalian itu ada yang bersifat umum dan yang bersifat khusus. Yang
umum adalah perwalian mengenai orang banyak dalam suatu wilayah atau
negara. Sedangkan perwalian khusus ialah berkenaan dengan manusia dan harta
benda. Di sini yang dibicarakan wali terhadap wali manusia yaitu masalah
perwalian dalam perkawinan. Wali ialah suatu ketentuan hukum yang dapat
dipaksakan kepada orang lain sesuai dengan bidang hukumnya (Sayid Sabiq,
1980:7) Mengenai wali nikah menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah
merupakan rukun yang harus dipenuhi seperti tertuang dalam pasal 19 bagian
ketiga yaitu: wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi
bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahinya.
4
Adapun orang-orang yang berhak menjadi wali nikah atas seseorang
calon mempelai wanita harus memenuhi syarat, yaitu: laki-laki, beragama islam,
dewasa dan sehat akal, merdeka, tidak dibawah pengampuan, adil, dan tidak
sedang ihram. Dalam KHI pasal 20, yang bertindak sebagai wali nikah ialah
seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum islam yakni muslim aqil dan
baligh.
Di dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 20 ayat (2) menyebutkan ada dua
macam wali nikah yaitu wali nasab dan wali hakim. Wali nasab adalah wali
yang perwaliannya didasarkan kepada adanya hubungan darah. Sedangkan wali
hakim ialah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang
ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali
nikah. Kemudian dijelaskan pula secara rinci dalam Kompilasi Hukum Islam
mengenai wali nikah pada pasal 21, 22, 23 lebih jelasnya pada pasal 21 ayat 1,
Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok satu
didahulukan dan kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan
dengan calon mempeai wanita. Pertama, kekompok kerabat laki-laki garis lurus
keatas yakni ayah,kakek dari pihak ayah dan seterusnya. Kedua, kerabat saudara
laki-laki kandung atau audara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka.
Ketiga, kelompok kerabat paman yakni saudara laki-laki kandung ayah,saudara
seayah dan keturunan laki-laki mereka. Keempat, kelompok saudara laki-laki
kandung kakek, saudara laki-laki seayah dan keturunan laki-laki mereka.
5
Kemudian pada pasal 22 menyebutkan: Apabila wali nikah yang lebih
berhak, urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh karena
wali itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzur, maka hak menjadi
wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya.
Umumnya yang menjadi wali nikah adalah ayah kandung. Dan jika
memang orang tua berhalangan, bisa diwakilkan oleh dari pihak ayah (laki-laki)
paman, kakek, saudara laki-laki sebagai wali nasab. Atau jika semuanya tidak
ada atau berhalangan maka bisa diwakilkan hakim. Dalam Kompilasi Hukum
Isalam pasal 23 ayat 1 “wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah
apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak
diketaui keberadaanya (tempat tinggalnya) atau gaib atau adhal”. Dalam hal wali
adhol maka wali baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan
pengadilan Agama tentang wali tersebut.
Dewasa ini sering muncul permasalahan dimana orang tua mempelai
tidak setuju dengan pernikahan anaknya, sehingga orang tua enggan untuk
menikahkan calon mempelai. Dalam hal ini, wali yang menolak untuk menjadi
wali nikah disebut wali adhol.
Hanya dalam hal yang benar-benar dipandang tidak beralasan,orang tua
tidak menyetujui perkawinan anaknya dan menolak menjadi wali, misalnya
orang tua menolak atas pertimbangan materi, pangkat, dan sifat-sifat lahiriyah
calon suami, bukan atas pertimbangan agama dan akhlak. Perwalian dapat
dimintakan kepada sultan, kepala negara yang disebut juga hakim. Ini adalah
6
landasan dari dilakukannya penelitian ini. Apabila masalah tersebut tidak
diselesaikan, maka akan menjadikan masalah yang tidak akan ada hentinya.
Seperti yang terjadi di Pengadilan Agama Semarang, ada beberapa calon
mempelai yang tersandung oleh permasalahan dimana orang tua mempelai tidak
setuju dengan pernikahan anaknya.
Meskipun tidak menutup kemungkinan perkara wali adhol ini terjadi
diwilayah peradilan lain tapi penyusun lebih tertarik di Pengadilan Agama
Semarang karena jumlah perkara tentang wali adhol lebih banyak terutama di
tahun 2010 jumlahnya 13 perkara dibandingkan antara tahun 2011 sampai tahun
2014 dan juga penyusun mengetahui, memahami, situasi dan kondisi diwilayah
Semarang. Maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui
bagaimana proses pengajuan, penyelesaian atau penetapan wali adhol di
Pengadilan Agama Semarang. Untuk itu penyusun mengambil judul:
“ANALISIS PENETAPAN WALI ADHOL PENGADILAN AGAMA
SEMARANG TAHUN 2010”.
B. Rumusan masalah
Berangkat dari latar belakang di depan, ada beberapa hal yang akan
penulis kemukakan sebagai pokok masalah, yaitu:
1. Apakah pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Semarang dalam
menetapkan perkara wali adhol tahun 2010 tersebut?
7
2. Bagaimana penetapan wali adhol Pengadilan Agama Semarang tahun 2010
ditinjau dari fiqh?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan pokok masalah di atas, penelitian ini mempunyai tujuan
sebagai berikut: .
1. Untuk mengetahui pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Semarang dalam
menetapkan perkara wali adhol tahun 2010
2. Untuk mengetahui bagaimana penetapan wali adhol Pengadilan Agama
Semarang tahun 2010 ditinjau dari fiqh.
D. Kegunaan penelitan
Sedangkan kegunaan penelitian ini adalah:
1. Dengan penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan hazanah
keilmuan bagi penulis dan masyarakat luas.
2. Hasil penelitian ini diharapkan bisa dijadikan rujukan masalah yang
berkaitan dengan perpindahan perwalian.
E. Penegasan Istilah
Untuk memperoleh kejelasan mengenai judul diatas, penyusun akan
menegaskan istiah-istilah yang perlu dijelaskan dalam skripsi yang bejudul
8
“ANALISIS PENETAPAN WALI ADHOL PENGADILAN AGAMA
SEMARANG TAHUN 2010” sebagai berikut ini:
1. Analisis adalah penguraian suatu pokok atas berbagai bagian dan penelaahan
bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian
yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan.
2. Penetapan adalah pernyataan Hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis,
dan diucapkan pleh Hakim dalam sidang terbuka bentuk umun, sebagai
hasil dari pemeriksaa perkara permohonan (voluntair) (Arto, 2011:251).
3. Wali Adhol adalah wali nasab yang mempunyai kekuasaan untuk
menikahkan mempelai wanita yang berada di bawah perwaliannya, tapi
enggan atau tidak mau menikahkan sebagai layaknya seorang wali yang baik
(Arto, 2011:243).
4. Pengadilan Agama Semarang adalah badan peradilan tingkat pertama yang
melaksanakan kekuasaan kehakiman negara dalam menerima, memeriksa,
mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara tertentu antara
orang-orang yang beragama Islam untuk menegakkan hukum dan keadilan di
wilayah Semarang (Bisri, 2000:6).
F. Metode Penelitian
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini pendekatan yang digunakan adalah pendekataan
kualitatif. Penelitian kualitatif yaitu rangkaian kegiatan atau proses
9
menjaring informasi, dari kondisi sewajarnya dalam kehidupan suatu obyek,
dihubungkan dengan pemecahan suatu masalah baik dari sudut pandangan
teoritis maupun praktis (Nawawi dan Hadari, 1992:208). Penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif karena dalam penelitian ini, peneliti
melakukan penelitian langsung terhadap nara sumber yang dibutuhkan
dalam penelitian dan tidak dengan menyebar angket.
Berangkat dari judul dan permasalahan yang mendasari penelitian,
maka penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif (yuridis
normatif) adalah metode penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti
bahan pustaka atau data sekunder penetapan wali adhol (Soekanto dan
Mamudji, 2001: 13-14).
2. Kehadiran Peneliti
Peneliti bertindan sebagai instrument sekaligus pengumpulan
datayang mana penulis langsung datang dan mewawancarai salah satu hakim
Pengadilan Agama Semarang yang telah menetapkan perkara tentang wali
adhol.
3. Lokasi Penelitian
Peneliti ini dilaksanakan di Pengadilan Agama Semarang yang
beralamat dijalan Ronggolawe No. 6 Telp. (024) 7606741, 7622887 Fax.
(024) 7616741 http: // www.pasemarang.net email:
[email protected]. Semarang 50149, Jawa Tengah, Indonesia.
10
4. Sumber Data
a. Data primer artinya data yang yang diperoleh peneliti dari sumber
pertama atau tangan pertama. Dalam hal ini adalah langsung diperoleh
dari wawancara hakim serta penetapan Pengadilan Agama Semarang
tentang wali adhol.
b. Data Sekunder, artinya data penunjang dalam bentuk dokumen-
dokumen yang diperoleh dari tangan kedua atau diperoleh dari data
literature. Setelah permasalahan dirumuskan, langkah selanjutnya
adalah mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori, pandangan-pandangan,
atau penemuan-penemuan yang relevan dengan pokok permasalahannya
(Soemitro, 1983:23).
5. Prosedur Pengumpulan Data
a. Interview atau wawancara
Metode interview adalah suatu bentuk komunikasi untuk
mendapatkan suatu informasi yaitu dengan bertanya langsung dengan
Majelis Hakim Pengadilan Agama Semarang yang memutuskan perkara
tentang wali adhol tersebut.
b. Dokumentasi
Yaitu usaha untuk mendapatkan data dengan mengambil
dokumen-dokumen, catatan-catatan dan arsip-arsip dari berbagai
11
kegiatan. Teknik dokumenter ini akan penulis gunakan untuk
memperoleh data tentang penelitian wali adhol (Nawawi, 1990:133).
6. Analisis Data
Data hasil penelitian yang telah dikumpulkan dianalisis secara
kualitatif. Analisa data dilakukan setiap saat pengumpulan data dilapangan
secara berkesinambungan. Diawali dengan proses klarifikasi data agar
tercapai konsistensi, dilanjutkan dengan langkah abstraksi-abstraksi teoritis
terhadap informasi lapangan, dengan mempertimbangkan menghasilkan
pertanyaan-pertanyaan yang sangat memungkinkan dianggap mendasar dan
universal. Gambaran atau informasi tentang peristiwa atas obyek yang dikaji
tetap mempertimbangkan koherensi internal, masuk akal dan berhubungan
dengan peristiwa factual atau realistik. Dengan cara melakukan komparasi
hasil temuan observasi dan pendalaman makna, diperoleh suatu analisis data
yang terus-menerus sepanjang proses penelitian. (Bungin, 2011:154).
Metode berfikir yang digunakan dalam menganalisis adalah berdasarkan
dasar-dasar yang bersifat umumkemudian meneliti persoalan-persoalan yang
bersifat khusus. Dari analisis tersebut kemudian ditarik, kesimpulan yang
pada hakikatnyamerupakan jawaban atas permasalahan (Nawawi dan
Hadari, 1992:213).
7. Pengecekkan Keabsahan Data
Dilakukan pengecekan sumber data terhadap sumber data yang lain.
Dengan demikian data atau informasi tentang suatu keadaan atau aspek
12
tertentuyang sama, dapat disbanding-bandingkan. Usaha itu akan
memungkinkan data yang terhimpundapat lebih dipercaya kebenaranmya
(Nawawi dan Hadari, 1992:211).
8. Tahap-tahap Penelitian
Tahap penelitian yang penulis lakukan adalah: menentukan atau
memilih tema penelitian, pencarian informasi, penentuan lokasi
penelitianyang akan diteliti pencarian dan pengumpulan sumber-sumber dat
serta menganalisis data yang telah diperoleh berkaitan tentang masalah yang
penulis teliti atau bahas.
G. Telaah Pustaka
Sudah banyak ilmuan-ilmuan yang membahas mengenai wali
nikah.Beragam karya mereka dituangkan dalam berbagai macam jenis bentuk,
mulai dari buku, karangan ilmiah, tesis, skripsi, bahkan mereka telah
memposkan dalam link internet. Pemerintah Indonesia pun telah membahasnya
dan dituangkan dalam berbagai macam jenis. Baik itu peraturan pemerintah
(Kompilasi Hukum Islam) bahkan telah dicantumkan dalam sebuah undang-
undang. Dalam buku yang berjudul "Hukum Perkawinan Islam" karangan Moh.
Idris Ramulya mengungkapkan tentang orang yang bertindak sebagai wali dan
penjelasan tentang wali nasab dan wali hakim. Dalam buku ini juga
mengungkapkan tentang perpindahan wali bahwa:
13
1. Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak
ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya
atau gaib atau adhol atau enggan.
2. Dalam hal wali adhol atau enggan maka wali hakim dapat dapat bertindak
sebagai wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut
(Ramulya, 1999:74-75).
Sedangkan dalam buku "Fiqih Sunnah" yang ditulis oleh Sayyid Sabiq hanya
menerangkan pengertian wali, syarat-syarat wali, wali mujbir serta perpindahan
wali karena ghaib (belum datang).
Ahmad Azhar Basyir dalam bukunya yang berjudul "Hukum Perkawinan
Islam" menguak tentang syarat-syarat wali, yang berhak menjadi wali, tertib
wali, wali mujbir, wali hakim dan wali muhakkam.
Ahmad Azhar Mengenai wali hakim menyatakan bahwa perwalian nasab pindah
kepada wali hakim apabila:
a. Wali nasab memang tidak ada
b. Wali nasab bepergian jauh atau tidak di tempat, tapi tidak memberi kuasa
kepada wali yang lebih dekat
c. Wali nasab kehilangan hak perwaliannya
d. Wali nasab sedang berihram haji atau umrah
e. Wali nasab menolak bertindak sebagai wali
f. Wali nasab menjadi mempelai laki-laki dari perempuan dibawah perwaliannya.
14
Hadi Sayuti, Achmad dalam sripsinya Fakultas Syariah Jurusan Hukum
Keluarga UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang berjudul Wali Nikah dalam
Prespektif Dua Madzhab dan Hukum Positif, untuk mengetahui dasar madzhab
Imam Syafi‟I tentang kedudukan wali dalam pemikirannya, untuk mengetahui
dasar madzhab Imam Hanafi tentang kedudukan wali dalam pemikirannya, serta
wali pernikahan menurut hukum positif jenis penelitian menggunakan library
research (penelitian pustaka), metode yang digunakan induktif menguraikan data
terlebih dahulu kemudian menarik kesimpulan. Kesimpulannya adalan pendapat
Imam Syafi‟I nikah tanpa wali adalah tidak sah, Imam Hanafi menggunakan
argumen Surah Al Baqarah ayat 232, menurut hukum positif datur dalam
Undang-Undang Perkawinan no.1 Tahun 1974 pasal 51 ayat 1.
Abdul Ghufron dalam sripsinya Fakultas Syariah Jurusan Ahwal Al
Syakhshiyyah IAIN Walisongo Semarang yang berjudul Analisa Pendapat Imam
Syafi‟i Tentang Wali Nikah Janda di Bawah Umur untuk mengetahui pendapat
serta metode istimbat imam syafi‟i tentang wali nikah di bawah umur, jenis
penelitian ini menggunakan library research (peneliti kepustakaan) pemilihan
kepustakaan diseleksi sedemikian rupa dengan mempertimbangkan aspek mutu
dan kualitas dari kemampuan pengarannya. Metode analisis datanya
menggunakan deskriptif analisis. Kesimpulannya tentang pendapat Imam Syafi‟i
mengharuskan adanya wali dalam pernikahan sangat relevan dan realitas
kehidupan masa kini, untuk metode istimbat tidak ada nikah sama sekali kecuali
dengan adanya seorang wali.
15
Dedy Roehan Asfia dalam skripsinya Fakultas Syariah Jurusan Ahwal Al
Syakhshiyyah IAIN Walisongo Semarang yang berjudul Analisa Terhadap
Penentuan Wali Nikah bagi Perempuan yang Lahir Kurang dari 6 Bulan untuk
mengetahui pelaksanaan penentuan wali serta mengetahui dasar hukum wali
nikah bagi perempuan yang lahir urang dari 6 bulan, di dalam penelitian ini
menggunakan field research langsung mengambil data dari lapangan. Metode
analisa datanya menggunakan deskripti kualitatif memberikan predikat kepada
variable yang diteliti sesuai kondisi yang sebenarnya. Kesimplannya penentuan
pelaksanaan penentuan wali tidak mempunyai dasar hukum karena kementrian
agam tidak memberikan petunjuk untuk penentuan wali, serta dasar hukum yang
di gunakan untuk penentuan wali adalah fiqih.
Pada dasarnya proposal skripsi ini dengan hasil penelitian yang telah
dilakukan oleh peneliti-peneliti terdahulu sangtlah berbeda dengan penelitian-
penelitian terdahulu, yaitu yang akan diteliti pertimbangan Hakim Pengadilan
Agama Semarang dalam menetapkan perkara wali adhol serta bagaimana
penetapan wali adhol Pengadilan Agama Semarang ditinjau dari fiqh . Kemudian
karya para ilmuan-ilmuan yang telah membahas mengenai wali nikah akan
menjadi bahan acuan dalam penyusunan proposal skripsi ini.
H. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan jalan fikiran, pemahaman dan pembahasan dalam
mendiskripsikan ini,penyusun akan menguraikan sistematika penyusunan secara
16
universal dengan membagi seluruh materi kepada beberapa bagian bab dan
masing-masing menjadi sub bab. Ada pun susunan dari bab-bab tersebut adalah
sebagai berikut :
1. BAB I merupakan pendahuluan yang meliputi: latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, penegasan istilah, metode penelitian,
telaah pustaka, dan sistematika penulisan
2. BAB II merupakan kajian teori dan menjelaskan tentang perkawinan yang
meliputi: pengertian perkawinan, hukum perkawinan, rukun perkawinan,
syarat perkawinan. dan selanjutnya menjelaskan tentang tinjauan umum
tentang wali nikah yaitu: pengertian wali, dasar hukum wali, kedudukan
wali, syarat-syarat wali dan macam-macam wali.
3. BAB III merupakan hasil penelitian yang terdiri dari: perkara hukum tentang
wali adhol, jumlah perkara, penetapan-penetapan Pengadilan Agama
Semarang tentang wali adhol dan proses penyelesaian perkara wali adhol.
4. BAB IV merupakan analisa data dari data temuan-temuan yang terdiri dari:
pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Semarang dalam menetapkan
perkara tentang wali adhol dan penetapan wali adhol Pengadilan Agama
Semarang ditinjau dari hukum fiqh.
5. BAB V bab ini merupakan bab penutup dari penyusunan skripsi yang
penulis susun. Dalam bab ini penulis mengemukakan kesimpulan dari
seluruh hasil penelitian dan saran-saran.
17
BAB II
Kajian Teori
A. Perkawinan
1. Pengertian Perkawinan
Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin” yang
menurut bahasa artinya memebentuk keluarga dengan lawan jenis;
melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh. (kamus b.ind). Perkaiwnan
disebut juga “pernikahan”, berasal dari kata nikah yang menurut bahasa
artinya mengumpulkan, saling memasukkan dan digunakan untuk arti
bersetubuh (wathi). Kata “nikah” sendiri sering dipergunakan untuk arti
persetubuhan (coitus), juga untuk arti akad nikah (Ghazali, 2008:7).
Menurut hukum Islam terdapat beberapa definisi, diantaranya adalah:
perkawinan menurut syara` yaitu akad yang ditetapkan syara` untuk
bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan dan menghalalkan
bersenang-senangnya perempuan dengan laki-laki. Nikah menurut istilah
syara` ialah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan
seksual dengan lafaz nikah atau dengan kata-kata yang semakna dengannya
(Ghazali, 2008: 8).
18
2. Hukum Perkawinan
Hukum asal pernikahan mubah, Mubah yaitu sesuatu perbuatan yang
dibolehkan mengerjakannya, tidak diwajibkan dan tidak pula diharamkan
(Muchtar, 1974:23). Sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat an-Nur
ayat 32:
الني من عبادكم و إمائكم إن يكونوا ف قراء ي غنهم اهلل و أنكحوا اليامى منكم و الص و اهلل واسع عليم من فضلو
Artinya: “Dan kawinlah laki-laki dan perempuan yang janda di
antara kamu, dan budak-budak laki-laki dan perempuan yang patut
buat berkawin. Walaupun mereka miskin, namun Allah akan me-
mampukan dengan kurniaNya karena Tuhan Allah itu adalah Maha
Luas pemberianNya, lagi Maha Mengetahui (akan nasib dan
kehendak hambaNya) (Hatta, 2009:354)”.
Namun hukum pernikahan itu mungkin bisa berubah menjadi wajib,
sunnah, haram dan makruh. Hukum pernikahan bisa berubah disebabkan
oleh faktor berikut ini:
a. Orang yang diwajikan menikah adalah orang yang sanggup untuk
menikah, sedang dia khawatir terhadap dirinya akan melakukan
perbuatan yang dilarang Allah SWT. Melaksanakan pernikahan
merupakan satu-satunya jalan baginya untuk menghindarkan diri dari
perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT.
b. Orang yang disunatkan menikah adalah orang yang mempunyai
kesanggupan untuk menikah dan sanggup memelihara diri dari
19
kemungkinan melakukan perbuatan terlarang. Sekalipun demikian
melaksanakan pernikahan adalah lebih baik baginya, karena Rasulullah
SAW melarang hidup sendirian dalam nikah.
c. Orang yang dimakruhkan menikah adalah orang yang tidak mempunyai
kesangupan menikah. Pada hakekatnya orang yang tidak mempunyai
kesanggupan untuk menikah diperbolehkan untuk melakukan
pernikahan. Tetapi dia dikhawatirkan tidak dapat mencapai tujuan
pernikahannya, karena itu dianjurkan sebaiknya dia tidak melakukan
pernikahan.
d. Orang yang diharamkan menikah adalah orang-orang yang mempunyai
kesanggupan untuk menikah, tetapi kalau dia menikah diduga akan
menimbulkan kemudharatan terhadap pihak yang lain, seperti orang
gila, orang yang suka membunuh, atau mempunyai sifat-sifat yang dapat
membahayakan pihak yang lain dan sebagainya (Muchtar, 1974:23-25).
3. Rukun Perkawinan
Rukun adalah unsur yang melekat pada peristiwa hukum atau
perbuatan hukum, baik dari segi para subjek hukum maupun objek hukum
yang merupakan bagian dari perbuatan hukum ketika hukum tersebut
berlangsung. Rukun menentukan sah atau tidak sahnya suatu perbuatan atau
peristiwa hukum. Jika salah satu rukun dalam peristiwa atau perbuatan
hukum itu tidak terpenuhi berakibat perbuatan hukum atau peristiwa hukum
tersebut tidak syah dan statusnya batal demi hukum (Djubaedah, 2010:90).
20
Dalam Ensiklopedi Hukum Islam dikemukakan bahwa rukun adalah
suatu unsur yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu
perbuatan atau lembaga yang menentukan sah atau tidak sahnya perbuatan
tersebut dan ada atau tidak adanya perbuatan tersebut (Djubaedah, 2010:91).
Rukun dapat pula diartikan sesuatu yang harus ada yang menentukan sah
atau tidak sahnya suatu pekerjaan, dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian
pekerjaan itu, seperti membasuh muka untuk wudhu dan takbiratul ihram
untuk shalat (Ghazaly, 2006:46).
Rukun nikah terdiri dari:
a. Calon mempelai laki-laki dan perempuan
Calon mempelai laki-laki dan perempuan biasanya hadir dalam
upacara pernikahan. Calon mempelai perempuan selalu ada dalam
upacara tersebut, tetapi calon mempelai laki-laki, mungkin karena
sesuatu keadaan, dapat mewakilkan kepada orang lain dalam ijab kabul.
(Saleh, 2008:300).
b. Wali dari calon mempelai perempuan
Wali yang menjadi rukun nikah adalah wali nasab, yaitu wali
yang mempunyai hubungan darah dengan calon mempelai perempuan.
Dalam keadaan luar biasa, wali nasab dapat digantikan oleh wali hakim,
yaitu petugas pencatat nikah jika wali nasab tersebut tidak ada atau tidak
ditemukan. Demikian pula, jika wali nasab tidak mau tau tidak bersedia
21
menikahkan calon mempelai perempuan, maka wali hakimlah yang
bertindak untuk menikahkannya.
c. Dua orang saksi
Saksi dalam perkawinan harus terdiri dari dua orang laki-laki
yang memenuhi syarat. Perkawinan yang tidak dihadiri saksi, walaupun
rukun (1), (2), dan (3) sudah dipenuhi, menurut pendapat umum adalah
tidak sah.
d. Ijab dan Kabul
Tentang pelaksanaan ijab kabul atau akad, perkawinan harus
dimulai dengan ijab dan dilanjutkan dengan kabul. Menurut pengertian
hukum perkawinan, ijab adalah penegasan kehendak untuk mengikatkan
diri dalam ikatan perkawinan dari pihak perempuan kepada calon
mempelai laki-laki. Kabul adalah penegasan untuk menerima ikatan
perkawinan tersebut, yang diucapkan oleh mempelai laki-laki.
Penegasan penerimaan itu harus diucapkan oleh mempelai laki-laki
langsung sesudah ucapan penegasan penawaran yang dilakukan oleh
wali pihak mempelai perempuan. Tidak boleh ada tenggang waktu yang
mengesankan adanya keraguan. (Saleh, 2008:300).
Adapun rukun pernikahan dalam Kompilasi Hukum Islam
sebagaimana tertera dalam bab IV tentang rukun dan syarat perkawinan,
bagian kesatu Pasal 14 adalah calon suami, calon isteri, wali Nikah, dua orang
saksi, Ijab dan Kabul.
22
4. Syarat Perkawinan
Syarat adalah hal-hal yang melekat pada masing-masing unsur yang
menjadi bagian dari suatu perbuatan hukum atau peristiwa hukum.
(Djubaedah, 2010:92). Syarat menurut Tihami (2010:12) adalah sesuatu
yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan ibadah,
tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti
menutup aurat untuk shalat. Rukun dan syarat dalam pernikahan keduanya
wajib dipenuhi, apabila tidak dipenuhi maka perkawinan yang
dilangsungkan tidak sah.
Syarat yang merupakan bagian dari masing-masing rukun
perkawinan antara lain:
a. Syarat-syarat calon suami:
1) Beragama Islam.
2) Laki-laki.
3) Jelas orangnya.
4) Dapat memberikan persetujuan, tidak terpaksa dan atas
kemauannya sendiri.
5) Tidak terdapat halangan perkawinan atau bukan merupakan
mahram dari calon istri.
b. Syarat-syarat calon istri:
1) Beragama Islam.
2) Perempuan.
23
3) Jelas orangnya.
4) Dapat dimintai persetujuannya.
5) Tidak terdapat halangan perkawinan.
c. Syarat-syarat wali:
1) Laki-laki.
2) Islam.
3) Baligh.
4) Mempunyai hak perwalian.
5) Waras akalnya.
6) Tidak terdapat halangan perwaliannya.
d. Syarat-syarat saksi:
1) Minimal dua orang laki-laki.
2) Islam.
3) Baligh.
4) Hadir dalam ijab qabul.
5) Dapat mengerti maksud akad.
e. Syarat-syarat akad
1) Adanya pernyataan mengawinkan dari wali.
2) Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai pria.
3) Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kata nikah,
atau tazwij.
4) Antara ijab dan qabul bersambungan.
24
5) Antara ijab dan qabul jelas maksudnya.
6) Orang yang berkait dengan ijab qabul tidak sedang dalam ihram
haji/umrah.
7) Majelis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimum empat orang
yaitu calon mempelai pria atau wakilnya, wali dari mempelai pria
atau wakilnya, dan dua orang saksi (Rofiq, 1998:72).
Undang-undang Perkawinan mengatur syarat-syarat perkawinan
dalam Bab II pasal 6:
a. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai,
b. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur
21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat ijin kedua orang tua,
c. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia
atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya,
maka ijin cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari
orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya,
d. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan
tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari
wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan
darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup
dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya (Rofiq, 1998:73).
B. Wali
1. Pengertian Wali
Wali dalam istilah fiqh disebut “wilayah” , yang berarti “penguasa”
dan “perlindungan”. Menurut istilah fiqh yang dimaksud dengan wali ialah
penguasaan penuh yang diberikan oleh Agama kepada seseorang untuk
menguasai dan melindungi orang atau barang (Mukhtar, 1993:92).
25
Wahbah Al-Zuhayli berpendapat mengenai wali ialah Kekuasaan
atau otoritas (yang dimiliki) seseorang untuk secara langsung melakukan
suatu tindakan sendiri tanpa harus bergantung (terikat) pada izin orang lain
(Supriyadi, 2011:570).
Dalam kamus besar bahasa indonesia bahwa Wali nikah berati wali
pengasuh pengantin perempuan pada waktu nikah atau yang melakukan janji
nikah dengan pengantin laki-laki, karena ayahnya telah meninggal maka
kakaknya yang menjadi wali untuk menikahkan anak perempuan itu.
Pengertian lain mengenai wali ialah orang yang berkuasa terhadap
orang yang berada dibawah perwaliannya untuk melakukan tugasnya, baik
orang yang dibawah perwaliannya suka atau tidak suka (Yunus, 1997:66)..
Begitu pula dalam Fikih Sunnah disebutkan bahwa Wali ialah suatu
ketentuan hukum yang dapat dipaksakan kepada orang lain sesuai dengan
bidang hukumnya ( Sabiq, 1981:7).
Dalam Kitab Al-Fiqh madzhibil Arba‟ah disebutkan:
بدواننى فى انىكاح : ما تقف عه صذت انعقد فال صخ
Artinya: “wali dalam pernikahan adalah seseorang yang padanya
bertahan sahnya suatu akad, maka tidah sah akad tanpa adanya
wali”( Aljaizry, 1979:26).
Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 19 disebutkan bahwasanya
wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi
26
calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahknnya (Tim Redaksi
Nuansa Aulia, 2008:7).
Dari definisi-definisi mengenai wali nikah diatas maka dapat diambil
kesimpulan bahwasanya wali ialah Seseorang yang diberi kekuasaan yang
bersifat syar‟i, dimana seseorang tersebut berhak mengijabkan calon
mempelai perempuan dan menahan berlangsugnya akad perkawinan.
Penguasaan dan perlindungan ini disebabkan oleh:
a. Pemilikan atas orang atau barang, seperti perwalian atas budak yang
memiliki atau barang-barang yang dimiliki.
b. Hubungna kerabat atau keturunan, seperti perwalian seseorang atas
salah seorang kerabatnya atau anak-anaknya.
c. Karena memerdekakan seseorang budak, seperti perwalian seseorang
atas budak-budak yang telah dimerdekakannya.
d. Karena pengangkatan, seperti perwalian seseorang kepala negara atas
rakyatnya atau perwalian seorang pemimpin atas orang-orang yang
dipimpinnya ( Mukhtar, 1993:93).
Oleh sebab itu pada garis besarnya, perwalian itu dapat dibagi atas:
a. Perwalian atas orang.
b. Perwalian atas barang.
c. Perwalian atas orang dalam perkawinannya.
Orang yang diberi kekuasaan perwalian disebut dengan “wali”. Yang
akan dibicarakan disini ialah yang berhubungan dengan perwalian atas orang
27
dalam perkawinannya.Yang dimaksud wali dalam perkawinan disini yaitu
Suatu kekuasaan atau wewenang syar‟i atas segolongan orang atau manusia,
yang dilimpahkan kepada orang yang sempurna, karena kekurangan tertentu
pada orang yang dikuasai itu, demi kemaslahatannya sendiri.Kedudukan
wali nikah sangat penting dan menentukan dalam sahnya perkawinan, dan
tidak sah perkawinan tanpa adanya wali nikah.
2. Dasar Hukum Wali
Menurut Jumhur Ulama keberadaan seorang wali dalam akad nikah
merupakan sesuatu yang mesti dan tidak sah akad perkawinan yang tidak
dilakukan oleh wali.Hal berlaku untuk semua perempuan, baik yang dewasa
atau kecil, masih perawan atau sudah janda. (Syarifudin, 2003:90).
Meskipun tidak ada satupun ayat Al-qur‟an yang secara jelas
menghendaki keberadaan wali dalam akad perkawinan, tetapi yang ada
hanya ayat-ayat yang dapat difahami menghendaki adanya wali seperti
dalam surat Al-baqarah ayat 221:
28
Artinya:“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik,
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin
lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan
janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-
wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang
mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik
hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke
surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-
ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran. (Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur‟an,
2009:35).
Tuntutan ini dikemukakan Allah kepada para wali untuk tidak
mengawinkan anak perempuannya dengan laki-laki musyrik.Hal itu berarti
dalam mengawinkan itu adalah wali. Namun disamping itu terdapat pula
ayat Al-qur‟an yang memberikan pengertian perempuan itu kawin sendiri
tanpa mesti memakai wali, sebagaimana yang terdapat dalam suratAl-
Baqarah ayat 232:
Artinya:“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa
iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka
kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila Telah terdapat kerelaan
di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan
kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan
hari kemudian.itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah
mengetahui, sedang kamu tidak Mengetahui”.(Yayasan Penyelenggara
Penterjemah Al-Qur‟an, 2009:37).
29
Larangan dalam ayat ini ditunjukkan kepada para wali sesuai dangan
sebab diturunkannya ayat diatas.Maksudnya ialah bahwa para wali termasuk
diantara orang-orang yang dapat menghalangi berlangsungnya suatu
perkawinan, seandainya perkawinan itu terlaksana tanpa meminta izin
kepada mereka, atau tidak mengindahkan ketentuan-ketentuan agama.
3. Kedudukan Wali Nikah
a. Pendapat-pendapat Fuqaha
Perdebatan tentang wali nikah dalam suatu akad perkawinan
sudah lama dibicarakan oleh para ahli hukum Islam, terutama tentang
kedudukan wali dalam akad tersebut.Sebagian para ahli hukum Islam
mengatakan bahwa perkawinan yang dilaksanakan tanpa wali,
perkawinan tersebut tidak sah karena kedudukan wali dalam akad
perkawinan adalah salah satu rukun yang mesti harus dipenuhi.Dan
sebagian para ahli hukum Islam yang lain mengemukakan bahwa wali
dalam suatu akad perkawianan bukanlah suatu rukun yang mesti harus
dipenuhi, tetapi sekedar sunah.
Hukum kedudukan wali dalam akad perkawinan dikalangan para
Ulama secara umum terbagi dua pendapat:
1) Pendapat pertama bahwa wali adalah merupakan salah satu rukun
dalam perkawinan.
Pendapat ini didukung oleh Imam Syafi‟iyah, Imam
Malikiyah dan Imam Hanbaliah menurut ketiga Imam ini bahwa
30
wali itu sangat penting ( dharuri ) dalam perkawinan. Tanpa wali
atau orang yang menggantikan wali, perkawinannya batal (tidak
sah).Seseorang wanita tidak boleh menikah sendiri dengan akad
pernikahannya sendiri dalam keadaan apapun, baik kepada gadis
atau laki-laki yang dewasa maupun yang belum dewasa kecuali
janda yang harus diminta izin dan ridhanya. Adapun dasar wali
dalam Firman Allah Q.S Al-baqarah ayat 232:
Artinya: “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis
masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali)
menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya,
apabila Telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan
cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-
orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari
kemudian.itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah
mengetahui, sedang kamu tidak Mengetahui”.(Yayasan
Penyelenggara Penterjemah Al-Qur‟an, 2009:37).
Adapun hadis yang dijadikan sebagai keharusan wali adalah:
ه ا، ع و ام ه س ه ع خ ر ج ه اب ه ع ت ى ع ه ب ن ا ف ا س و ر ب خ ا ر م ع ى ب ا ه ب ددثىا ا
ة ا ر ام ام ا ،ل اق م ه س ه ع ت انه ل س ر ن ، ا ت ش ئ اع ه ، ع ة ر ع ه ، ع ي ر انس
31
ن ا . ف م ط اا ب د اك ى ف ،م ط اا ب د اك ى .ف م ط اب ا د اك ى ا، ف ن ن ا ذ ر غ ب ت ذ ك و
ل ه م ن ن اط ه ااس ا، ف ر ج ت اش ن ا ا. ف ج ر ف ه م م ذ ت اس ام ب ر م اان ه ا ف ب ه خ د
. ن ن
Artinya: “Ibnu Abi Umar menceritakan kepada kami,
Sofyan bin Uyainah memberitahukan kepada kami dari
Juraij dari Sulaiman dari Az Zuhri dari Urwah dari
Aisyah: Sesungguhnya Rasullah saw bersabda: “Setiap
perempuan yang dinikahi dengan tanpa izin walinya, maka
nikahnya batal, nikahnya batal, nikahnya batal. Kalu ia
dikumpuli (disetubuhi) maka baginya mahar, karena suami
telah menghalakan farjinya, dan jika ada pertengkaran-
pertengkaran antara wali maka hakim adalah wali bagi
oang yang tidak mempunyai wali”( At Tirmidzi, 1992:424).
Berdasarkan landasan tersebut, pendapat pertama
menetapkan bahwa wali itu wajib dan harus ada dalam
pernikahan.Ia menjadi rukun diantara rukun-rukun nikah.
Pernikahan tanpa wali adalah tidak sah baik kepada oarng yang
sudah dewasa atau belum dewasa.Jika wanita baligh dan berakal
sehat itu masi gadis, hak menikahkan dirinya ada pada wali. Akan
tetapi, jika ia janda, hak itu ada pada keduanya. Wali tidak boleh
menikahkan wanita janda itu tanpa persetujuannya dan sebaliknya
wanita itu pun tidak boleh menikahkna dirinya tanpa restu wali
(Supriyadi, 2011:49).
2) Pendapat yang kedua bahwa wali adalah salah satu syarat sah
perkawinan
32
Pendapat ini disuarakan oleh mazhab hanafiyah dan abu
yusuf(murid imam hanafi) bahwasanya wali menjadi syarat sahnya
perkawinan khusus anak kecil, baik perempuan maupun laki-laki,
orang gila ( madznun perempuan atau laki-laki) meskipn orang
dewasa. Adapun orang dewasa yang sudah baligh, baik janda
maupun gadis tidak berada dalam kekuasaan wali, cukuplah bagi
kedua mempelai tersebut dengan akad nikah (ijab qabul) dengan
syarat keduanya kafa‟ah.Jika tidak (kafa‟ah), wali memiliki hak
untuk membatalkan atau memfasakh akad tersebut.
Pendapat ini berdasarkan Al-Quran surat Al-Baqarah ayat
23
Artinya:“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah
Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal
baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain.
Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka
tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan
isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan
dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-
hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau)
Mengetahui”.( Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur‟an,
2009:37).
33
Dan Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ia
berkata,telah bersabda Rasulullah SAW:
عه اب ه عب ا ش: ان انى ه ب ى صه ى هللا عه ا م سه م قانض: انث ب ادق ب ىف س
تا مر ر ت س ان ب ك ا ن ك ا س و ا ذ ا ت
Artinya: “Bersumber dari Ibnu Abbas: Sesungguhnya
nabi s.a.w bersabda: “Wanita janda itu lebih berhak
terhadap dirinya dari pada walinya. Dan wanita gadis
atau perawanperlu dimintai izinnya terlebih dahulu.
Sedangkam izinnya adalah kalau ia diam saja (Mustofa,
1993:775).
Berdasarkan landasan tersebut tesebut, mazhab hanafiyah
membagi wanita dalam hubungannya dengan wali, menjadi dua
bagian, yaitu janda dan gadis.Bagi janda, wali bukan syarat
perkawinan, dan bagi gadis pun, kedudukan wali hanya dimintai
izinnya.Janda lebih mengetahui banyak dari pada gadis. Oleh
karena itu, posisi wali itu tidak mutlak dan kalaupun ada, hanya
diperuntukan kepada wanita yang masih gadis (belum dewasa).
b. Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawian
Dalam pasal 6 ayat 2, 3 dan 4 Undang-undang Nomor 1 tahun
1974 Tentang Perkawinan diatur sebagai berikut:
1) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai
umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapatkan izin kedua
orang tua (Pasal 6 ayat 2).
34
2) Dalam hal salah satu kedua orang tua telah meninggal dunia atau
dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin
dimaksudkan ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang
masih hidup atau dari oarng tua yang mampu menyatakan
kehendaknya (Pasal 6 ayat 3).
3) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam
keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin
diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang
meepunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas
selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan
kehendaknya (Pasal 6 ayat 4) (Asnawi,1975:7).
Dari Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan
yang tersebut, tidak jelas mengatur tentang Wali nikah, tetapi
disyaratkan harus ada izin orang tua bagi yang menikah apabila calon
pengantin belum berumur 21 (dua puluh satu) tahun (Ramulyo,
1999:224).
4. Syarat-syarat Wali
Wali dalam pernikahan diperlukan dan tidak sah suatu pernikahan
yang dilakukan tanpa adanya wali. Oleh karena itu maka seorang wali
haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai wali. Dalam Kompilasi Hukum
Islam Pasal 20 ayat 1 menyatakan bahwa: “Yang bertindak sebagai wali
35
nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni
muslim, aqil dan baligh”.
Kemudian dalam Undang-undang Perkawinan Pasal 51 ayat 2
menyebutkan bahwa: “Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak
tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berfikiran sehat, adil, jujur dan
berkelakuan baik” (Asnawi,1999:19).
Jumhur Ulama menetapkan bahwa seseorang yang akan menjadi wali
diisyaratkan memenuhi hal-hal sebagai berikut:
a. Baligh dan berakal sehat.
b. Laki-laki.
c. Muslim.
d. Orang merdeka.
e. Adil.
f. Tidak sedang melakukan ihram ( Syarifudin, 2003:93).
Kemudian Sayyid Sabiq dalam bukunya Fikih sunnah
mengemukakan beberapa persyaratan wali nikah sebagai berikut: merdeka,
berakal sehat dan dewasa, baik yang itu penganut Islam maupun bukan.
Budak, orang gila dan anak kecil tidak dapat menjadi wali, karna orang-
orang tersebut tidak berhak mewalikan dirinya sendiri apalagi terhadap
orang lain. Syarat keempat untuk menjadi wali ialah beragama islam, jika
yang dijadikan wali tersebut orang Islam pula sebab yang bukan orang Islam
36
tidak boleh menjadi walinya orang Islam.Allah telah berfirman An-Nisa‟
Ayat 141:
Artinya: “(yaitu) orang-orang yang menunggu-nunggu
(peristiwa) yang akan terjadi pada dirimu (hai orang-orang
mukmin). Maka jika terjadi bagimu kemenangan dari Allah mereka
berkata: "Bukankah kami (turut berperang) beserta kamu ?"dan jika
orang-orang kafir mendapat keberuntungan (kemenangan) mereka
berkata: "Bukankah kami turut memenangkanmu, dan membela
kamu dari orang-orang mukmin?" Maka Allah akan memberi
Keputusan di antara kamu di hari kiamat dan Allah sekali-kali tidak
akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan
orang-orang yang beriman. yaitu dengan jalan membukakan
rahasia-rahasia orang mukmin dan menyampaikan hal ihwal mereka
kepada orang-orang kafir atau kalau mereka berperang di pihak
orang mukmin mereka berperang dengan tidak sepenuh hati” ( Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur‟an, 2009:141).
Sedangkan dalam Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia No.
11 Tahun 2007 Pasal 18 Tentang Pencatatan Nikah, syarat-syarat menjadi
wali ialah:
a. Laki-laki.
b. Beragama Islam
c. Baligh, Sekurang-kurangnya berumur 19 tahun
37
d. Berakal
e. Merdeka, dan
f. Dapat berlaku adil.
Dari beberapa pendapat diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa
persyaratan menjadi wali secara umum adalah:
a. Beragama Islam atau seorang muslim. Apabila yang kawin orang
muslim, disyaratkan walinya juga seorang muslim. Hal ini didasarkan
pada firman Allah SWT Ali-Imran ayat 28:
Artinya:“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-
orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang
mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia
dari pertolongan Allah, kecuali Karena (siasat) memelihara diri
dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. dan Allah
memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. dan Hanya
kepada Allah kembali (mu)”.( Yayasan Penyelenggara Penterjemah
Al-Qur‟an, 2009:53).
b. Orang Mukallaf atau baligh, karena orang mukallaf adalah orang yang
dibebebani hukum dan dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya.
( Ansori, 2011:36).Hal ini didasarkan pada Hadits:
38
سه م قا صه ى هللا عه ى هللا عى ا عه انى ب ف ع ان قهم عه عه عائ شت رض ل ر
ن د :ثالثت ى ج عه ان م ب ر ر دت ى ك غ عه انص تق ظ ق م عه انى ا ئ م دتى س ت ى ع
ق ف ا
Artinya: “Dari Aisyah r.a dari Nabi saw. Beliau berkata:
dibebaskan hubungan dari tiga macam orang, yaitu dari orang
yang tidur hingga dia bangun, dari anak kecil sehingga ia
dewasa (baligh), dan dari orang gila hingga dia ingat atau dia
sadar”. Diriwiyatkan oleh Ahmad, Al-Arba‟ah (perawi empat,
yaitu: Abu Daud, At-Tirmidzi, An Nasa‟i dan Ibnu Majah)
tetapi disini tidak termasuk An Nasa‟i. Hadis itu dinilai shahih
oleh Al Hakim, juga diriwayatkan oleh Ibnu Hibban.(Muhamad,
1995:649).
c. Berakal sehat. Sebagaimana diketahui bahwa orang yang menjadi wali
harus bertanggung jawab, karena itu seorang wali haruslah orang yang
berakal sehat. Sesuai dengan Hadis Nabi yang telah disebut diatas.
d. Laki-laki, seorang wanita tidak boleh menjadi wali untuk wanita lain
ataupun menikahkan dirinya sendiri. Apabila terjadi perkawinan yang
diwalikan oleh wanita sendiri, maka pernikahannya tidak sah. Hal ini
sesuai dengan Hadits Rasulullah SAW:
رة ر هللا عى قال، قاعه اب سهم ل رس رض ل هللا صه ى هللا عه ج "ل ت س
اة اة ان مر ج ان مراة ان مر "وف سا ل ت س
Artinya:“Dari Abu Hurairah r.a beliau berkata: Rasullah saw.
Bersabda: “Wanita tidak boleh mengawinkan wanita dan
wanita tidak boleh mengawinkan dirinya”. Diriwayatkan oleh
Ibnu Majah dan Ad Daraquthni dan para perawinya orang-
orang yang terpercaya.(Muhamad, 1995:434).
39
e. Cerdas ( adil )
Ada pendapat yang mengatakan bahwa adil diartikan dengan
cerdas.Adapun yang dimaksud dengan cerdas disini adalah dapat atau
mampu menggunakan akal pikirannya dengan sebaik-baiknya atau
seadil-adilnya.Sebagai yang disebutkan dalam Hadis Shahih:
ن ب دي ل و كا ح ا ل عد ل شا
Artinya:“Nikah tidah sah, melainkan dengan wali dan dua
dua orang saksi yang adil.”)Mas‟un dan Abidin, 270:2007).
5. Macam-macam Wali
Orang-orang yang berhak menjadi wali:
a. Ayah, kakek dan seterusnya ke atas dari garis laki-laki.
b. Saudara laki-laki kadung (seayah dan seibu) atau seayah.
c. Kemenakan laki-laki kandung atau seayah (anak laki-laki saudara laki-
laki kandung atau seayah.
d. Paman kandung atau seayah (saudara laki-laki kandung atau seayah).
e. Saudara sepupu kandung atau seayah (anak laki-laki paman kandung
atau seayah)
f. Sultan (pengusaha tertinggi) yang disebut juga hakim (bukan qadi,
hakim pengadilan).
g. Wali yang diangkat oleh mempelai bersangkutan, yang disebut wali
muhakkam (Ansori, 2011:39).
40
Dari macam-macam orang yang dinyatakan berhak menjadi wali
tersebut diatas, dapat kita lihat adanya tiga macam wali, yaitu: Wali nasab
atau kerabat atau wali mujbir, wali sultan atau hakim, wali muhakam.
a. Wali Nasab
Wali nasab adalah Wali nikah yang memiliki hubungan keluarga
dengan calon pengantian perempuan,wali nasab ialah saudara laki-laki
sekandung, bapak, paman beserta keturunan menurut garis patrilinial
(Sudarsono, 2001:204).
Wali nasab terbagi menjadi dua yaitu wali aqrab (dekat) dan
wali ab‟ad (jauh).Dalam urutan wali diatas yang termasuk wali aqrab
yaitu wali nomor 1, sedangkan wali nomor 2 menjadi wali ab‟ad.Jika
wali nomor 1 tidak ada, maka wali nomor 2 menjadi wali aqrab dan
nomor 3 menjadi wali ab‟ad dan seterusnya.
Adapun perpindahan wali aqrab kepada wali ab‟ad adalah
sebagai berikut:
1) Apabila wali aqrabnya non muslim.
2) Apabila wali aqrabnya fasiq.
3) Apabila wali aqrabnya belum dewasa.
4) Apabila wali aqrabnya gila.
5) Apabila wali aqrabnya bisu atau tuli.
Dilihat dari segi hak nya wali nasab juga terbagi menjadi dua:
1) Wali Mujbir
41
Wali mujbir adalah wali yang mempunyai wewenang
langsung untuk menikahkan orang yang berada dibawah
perwaliannya meskipun tanpa izin orang itu ( Aziz,1996:1337).
Kebolehan wali mujbir ini dengan syarat-syarat:
a) Jika putrinya dinikahkan dengan laki-laki yang sekufu
b) Jika mahar yang diberikan calon sebanding dengan kedudukan
putrinya (mahar mithl).
c) Jika tidak dinikahkan dengan laki-laki yang mengecewakan.
d) Jika tidak ada konflik kepentingan antara wali mujbir dengan
putrinya dengan laki-laki (calon suaminya).
e) Jika putrinya tidak mengikrarkan ia tidak perawan lagi
(Sudarsono, 2001:202).
2) Wali Mukhtar
Wali mukhtar adalah wali yang tidak memiliki kekuasaan
memaksa orang yang berada dibawah perwaliannya untuk menikah
(Aziz,1996:1338).
b. Wali Hakim
Wali Hakim adalah wali nikah yang ditunjuk oleh menteri agama
atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak atau kewenangan
untuk menjadi wali nikah. Adapun pelaksanaan wali nikah oleh sultan di
Negara Republik indonesia, diatur Peraturan Menteri Agama RI No. 30
tahun 2005 tentang wali Hakim.
42
Dalam Kompilasi Hukum Islam ada beberapa pasal yang
mengenai wali hakim:
1) pasal 1 sub.b yang berbunyi: “ Wali Hakim ialah wali nikah yang
ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya ,
yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali
nikah”.
2) Pasal 23 diterangkan:
a) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila
wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau
tidak diketaui keberadaanya (tempat tinggalnya) atau gaib atau
adhal.
b) Dalam hal wali adhal maka wali baru dapat bertindak sebagai
wali nikah setelah ada putusan pengadilan Agama tentang wali
tersebut.
Perwalian nasab atau kerabat pindah kepada perwalian hakim
apabila:
1) Wali nasab memang tidak ada.
2) Wali nasab berpergian jauh atau tidak ditempat, tetapi tidak
memberi kuasa kepada wali yang lebih dekat yang ada ditempat.
3) Wali nasab kehilangan hak perwaliannya.
4) Wali nasab sedang berihram haji atau umrah.
5) Wali nasab menolak berindak sebagai wali.
43
6) Wali nasab menjadi mempelai laki-laki dari perempuan dibawah
perwaliannya. Hal ini dapat terjadi apabila yang kawin adalah
seorang perempuan dengan laki-laki sepupunya, kandung atau
seayah ( Ansori, 2011:42).
c. Wali Muhakkam
Dalam keadaan tertentu, apabila wali nasab tidak dapat bertindak
sebagai wali karena tidak memenuhi syarat atau menolak, dan wali
hakim pun tidak dapat bertindak sebagai wali nasab karena berbagai
sebab, maka mempelai yang bersangkutan dapat mengangkat seseorang
menjadi walinya untuk memenuhi syarat sahnya nikah bagi yang
mengharuskan ada wali. Wali yang diangkat mempelai disebut wali
Muhakkam (Ansori, 2011:43).
Misalnya: apabila seorang laki beragama islam kawin dengan
perempuan beragama kristen tanpa persetujuan orang tuanya, biasanya
yang berwenang bertindak sebagai wali hakim dikalangan umat Islam
tidak bersedia menjadi wali apabila orang tua mempelai perempuan
tidak memberi kuasa. Dalam hal ini agar perkawinan dapat dipandang
sah menurut Islam, maka mempelai perempuan dapat mengangkat wali
Muhakkam.
Untuk dapat menjadi wali dalam akad nikah, diperlukan syarat-
syarat sebagai berikut:
1) Beragama Islam.
44
2) Telah baligh.
3) Berakal sehat.
4) Laki-laki.
5) Adil (menjalankan agama dengan baik).
d. Wali Adhol
Wali Adhol adalah wali yang enggan menikahkan wanita yang
telah baligh, dan berakal dengan seseorang laki-laki pilihannya,
sedangkan masing-masing pihak menginginkan pernikahan itu
dilangsungkan.Ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa apabila seorang
wanita yang telah baligh dan berakal meminta walinya untuk
menikahkannya dengan laki-laki yang sepadan, maka wali itu tidak
boleh menolak permintaan itu ( Aziz, 1996:1339).
Pendapat pengertian lain wali adhol penolakan wali untuk
Menikahkan anak perempuannya yang sudah berakal dan baligh dengan
laki-laki yang sepadan dengan perempuan itu. Jika perempuan tersebut
telah meminta (kepada walinya) untuk dinikahkan dan masing-masing
calon mempelai itu saling mencintai, maka penolakan demikian menurut
syara‟ dilarang (Al Zuhailiy, 1997:6720).
Ketentuan mengenai wali adhol diatur dalam hukum perkawinan
Indonesia diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan, yaitu:
1) Peraturan Menteri Agama nomr 30 tahun 2005 tentang Wali
Hakim
45
Dalam peraturan disebutkan bahwa adholnya wali
adalah merupakan salah satu syarat atau dibolehkannya wali
hakimsebagai wali dalam perkawinan calon mempelai
perempuan dengan calon mempelai laki-laki. Untuk
menyatakan adholnya seorang wali, maka diperlukan
penetapan dari pengadilan agama yang mewilayai tempat
tinggal calon mempelai perempuan.
2) Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 23
a. Wali hakim baru bertindak sebagai wali nikah apabila wali
nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau
tidak diketahui tempat tinggalnyaatau ghoib atau adhol
atau enggan.
b. Dalam hal wali adhol atau enggan maka wali hakim baru
dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan
pengadilan agama tentang wali tersebut. Substansinya
pada dasarnya sama dengan peraturan menteri agama
tersebut diatas.
Wali adhol ialah wali yang enggan atau wali yang menolak.
Maksudnya seorang wali yang enggan atau menolak tidak mau
menikahkan atau tidak mau menjadi wali dalam pernikahan anak
perempuannya dengan seorang laki-laki yang sudah menjadi pilihan
anaknya. Termasuk wali adhal ini juga digunakan oleh pengadilan
46
agama untuk merujuk kepada perkara yang diajukan oleh seorang calon
pengantin wanita yang ingin menikah dengan menggunakan wali hakim
karena keengganan atau penolakan wali nasabnya. Apabila seorang
perempuan telah meminta kepada walinya untuk dinikahkan dengan
seorang laki-laki yang seimbang (se-kufu) dan walinya berkeberatan
dengan tidak ada alasan, maka hakim berhak menikahkannya setelah
ternyata bahwa keduanya se-kufu, dan setelah memberi nasihat kepada
wali agar mencabut keberatannya itu. Menurut Syafi‟i, Maliki dan
Hanbali, jika wali yang dekat enggan mengawinkan perempuan kepada
laki-laki yang sejodoh dengan dia, maka yang menjadi wali adalah
sultan atau hakim, bukan wali yang jauh. Menurut Hanafi yang menjadi
wali adalah yang jauh, bukan hakim karena masih ada juga wali
perempuan dari keluarganya. Tetapi bila wali yang jauh enggan pula,
maka hakimlah yang menjadi wali, demikian menurut Hanafi. Oleh
sebab itu sebaiknya hakim meminta izin kepada wali yang jauh untuk
mengawinkan (http://hukumzone.blogspot.com/2012/03/pengertian-dan-
pandangan-islam-terhadap.html diakses pada tanggal 23 April 2015).
47
BAB III
Perkara Penetapan Pengadilan Agama Semarang
Tentang Wali Adhol Tahun 2010
A. Perkara Hukum Tentang Wali Adhol
1. Jumlah Perkara Wali Adhol di Pengadilan Agama Semarang
Dari hasil penelitian di Pengadilan Agama Semarang, data statistik
menunjukan perkara Wali adhol yang diterima oleh Pengadilan Agama Semarang
pada tahun 2010 adalah 13 perkara, dalam arsip Pengadilan Agama Semarang,
dengan rincian sebagai berikut:
Tabel 3.1 Data Putusan Perkara Wali Adhol Tahun 2010
Perkara diterima
Perkara diputus
13
Dikabulkan
Ditolak
Dicabut
Digugurkan
12
1
0
0
Jumlah 13
Data diambil dari Pengadilan Agama Semarang
Keterangan:
48
a. Putusan dikabulkan yaitu Putusan apabila syarat-syarat gugat relah
terpenuhi dan seluruh dalil-dalil gugat yang mendukung petitum ternyata
telah terbukti. (Arto, 2011:260).
b. Putusan yang ditolak ialah Putusan yang dijatuhkan setelah menempuh
semua tahapan, dimana ternyata dalil-dalil gugat tidak terbukti, putusan ini
termasuk putusan negatif. (Arto, 2011:259).
c. Gugatan dicabut adalah pencabutn gugatan tidak hanya mungkin terjadi
pada bidang pertama tapi mungkin saja terjadi kapan saja bahkan mungkin
terlanjur sampai pada pencabutan permohonan banding atau permohonan
kasasi. (Rosyid, 1990 :114).
d. Putusan gugur artinya Putusan yang menyatakan bahwa gugatann ayau
permohonan gugur karena penggugat atau pemohon tidak pernah hadir,
meskipun telah dipanggil (secara resmi sedang tergugat hadir dan mohon
diputuskan). (Arto, 2011:255).
2. Penetapan-penetapan Pengadilan Agama Semarang tentang Wali Adhol
Tahun 2010
Seperti yang telah disebutkan dalam table mengenai perkara wali
adhol di Pengadilan Agama Semarang dalam kurun waktu satu tahun (2010)
terdapat 13 perkara, namun Penulis menentukan besarnya jumlah data untuk
mewakili data dari jumlah keseluruhan..
Tabel 3.2 Data Nomor Perkara Wali Adhol Tahun 2010
49
No
Nomor Perkara
No
Nomor Perkara
1 0004/Pdt.P/2010/PA.Sm 8 0078/Pdt.P/2010/PA.Sm
2 0019/Pdt.P/2010/PA.Sm 9 0089/Pdt.P/2010/PA.Sm
3 0022/Pdt.P/2010/PA.Sm 10 0091/Pdt.P/2010/PA.Sm
4 0031/Pdt.P/2010/PA.Sm 11 0095/Pdt.P/2010/PA.Sm
5 0068/Pdt.P/2010/PA.Sm 12 0102/Pdt.P/2010/PA.Sm
6 0071/Pdt.P/2010/PA.Sm 13 0121/Pdt.P/2010/PA.Sm
7 0072/Pdt.P/2010/PA.Sm
Data diambil dari Pengadilan Agama Semarang
a. Salinan PENETAPAN Nomor: 0031/Pdt.P/2010/P.Sm
Pengadilan Agama Semarang yang memeriksa dan mengadili perkara
tertentu pada tingkat pertama telah menjatuhkan penetapan sebagai berikut
dalam perkara Permohonan Penetapan Wali Adhol yang diajukan Agustina
Binti Haryodo umur 31 tahun, agama Islam, pekerjaan swasta bertempat
tinggal di Kelurahan Pendrikan Kidul, Kecamatan Semarang Tengah kota
Semarang disebut PEMOHON.
Bahwa Pemohon mengajukan surat permohonan Wali Adhol dimana telah
mengemukakan hal-hal sebagai berikut Pemohon adalah anak kandung dari
pasangan suami istri Karti dan Haryodo dalam tempo sesingkat-singkatnya
melangsungkan pernikahan dengan calon suami Pemohon bernama Bejo Bin
50
Kaslan hubungan Pemohon dengan calon suami Pemohon sudah sedemikian
eratnya dan sulit di pisahkan orang tua pemohon/keluarga Pemohon dan orang
tua/keluarga calon suami telah sama-sama mengetahui hubungan cinta kasih
antara Pemohon dengan calon suami Pemohon bahkan calon suami Pemohon
telah memingang Pemohon 3 kali, namun ayah/kakak Pemohon tetap menolak
dengan alasan tidak suka dengan sikap calon suaminya, Pemohon juga telah
berusaha membujuk ayah Pemohon agar mau menikahan Pemohon dengan
calon suami tersebut, namun ayah Pemohon tetap tidak mau, Pemohon
berpendapat penolakan tersebut tidak berdasarkan hukum dan tidak
berorientasi pada kebahagian dan atau kesejahtraan pemohon sebagai anak
atau adik.
Adapun dari pertimbangan Majelis Hakim telah berusaha dengan
sungguh-sungguh menasehati Pemohon namun tidak berhasil berdasarkan
keterangan para saksi didepan persidangan, Majelis Hakim telah menemukan
fakta-fakta yang pada pokoknya sebagai berikut:
1) Bahwa, Pemohon adalah anak sah dari pasangan suami istri Karti
(meninggal dunia) dengan Haryodo yang menikah pada tahun 1963.
2) Bahwa, Pemohon berstatus janda dan telah dilamar oleh seorang
perjaka yang bernama bejo bin Kaslan.
3) Bahwa, Pemohon tidak berada dalam lamaran atau pinangan lelaki
lain selain Bejo bin Kaslan.
51
4) Bahwa, calon suami Pemohon telah mempunyai pekerjaan dan
pengahsilan tetap setiap bukannya sebesar kurang lebih Rp.
2.000.0000,-(duajuta rupiah).
5) Bahwa, Pemohon dengan calon suaminya tidak ada hubungan
keluarga, semenda, maupun sesusuan yang menurut hukum tidak ada
larangan untuk menikah
Majelis Hakim juga menilai bahwa Penolakan Wali Pemohon (kakak
kandung Pemohon) yang bernama Janu bin Kurdi untuk menjadi wali nikah
dalam perkawinan Pemohon dengan calon suami Pemohon bernama Bejo bin
Kaslan adalah tidak beralasan dan tidak berdasarkan hukum maka Majelis
Hakim menyatakan Janu bin Kurdi (kakak kandung Pemohon) sebagai wali
yang adhol karena berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas
maka permohonan Pemohon cukup beralasan dan terbukti menurut hukum
sehinggan permohonan Pemohon patut dikabulkan Menetapkan adholnya
kakak Pemohon.
b. Salinan PENETAPAN Nomor: 0068/Pdt.P/2010/PA. Sm
Pengadilan Agama Semarang yang memeriksa dan mengadili perkara
tertentu dalam tingkat pertama telah menjatuhkan penetapan sebagai berikut
dalam perkara Wali Adhol yang diajukan oleh Karsih binti Ngaedi umur 32
tahun, agama Islam, Status Janda Pendidikan SMA Pekerjaan swasta
52
bertempat tinggal Kelurahan Pring Surat Kecamatan Semaramg Kota
Semarang disebut sebagai PEMOHON.
Bahwa Pemohon mengajukan surat permohonan Wali Adhol dimana telah
mengemukakan hal-hal sebagai berikut, Pemohon adalah anak kandung dari
pasangan suami istri Oki dan Ngaedi, dalam tempo sesingkat-singkatnya
melangsungkan pernikahan dengan calon suami Pemohon bernama Upin Bin
Kardun, hubungan Pemohon dengan calon suami Pemohon sudah sedemikian
eratnya dan sulit di pisahkan orang tua pemohon/keluarga Pemohon dan orang
tua/keluarga calon suami telah sama-sama mengetahui hubungan cinta kasih
antara Pemohon dengan calon suami Pemohon bahkan calon suami Pemohon
telah memingang Pemohon 2 kali, namun ayah/kakak Pemohon tetap menolak
dengan alasan selisih umur 20 Tahun, Pemohon juga telah berusaha
membujuk ayah Pemohon agar mau menikahan Pemohon dengan calon suami
tersebut, namun ayah Pemohon tetap tidak mau, Pemohon berpendapat
penolakan tersebut tidak berdasarkan hukum dan tidak berorientasi pada
kebahagian dan atau kesejahtraan pemohon sebagai anak.
Adapun dari pertimbangan Majelis Hakim bahwa oleh karena Pemohon
telah berusia 32 tahun, maka untuk melangsungkan perkawinan tidak
diperlukan izin dari kedua orang tuanya sebagaimana yang diatur dalam pasal
6 ayat (2) Undang-Undang Nonor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, sesuai
keterangan Pemohon dan calon suami Pemohon yang dikuatkan dengan saksi-
saksi serta bukti P-5dan P-6, maka telah terbukti bahwa saat ini Pemohon
53
masih bersetatus janda dan calon suami Pemohon bersetatus duda mati dan
antara keduanya tidak terdapat halangan untuk melaksanakan pernikahan
sebagaimana yang diatur dalam pasal 8 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974
juncto pasal 39 sampai dengan pasal 44 Kompilasi Hukum Islam, bahwa
sesuai dengan bukti P-1 yang berupa Surat Penolakan Pernikahan dari Kantor
Urusan agama Kecamatan Banyumanik Kota Semarang, maka telah ternyata
bahwa Pemohon dan calon suaminya telah mendaftar rencana pernikahan
mereka di Kantor Urusan Agama dimaksut, akan tetapi ditolak alasan wali
adhol, berdasarkan bukti P-2 yang dikuatkan dengan keterangan wali
Pemohon, maka dapat dinyatakan bahwa Ngaedi bin Tawes sebagai wali
adhol (enggan)untuk menikahkan Pemohon dengan calon suaminya. oleh
karena Ngaedi bin Tawes sebagai orang yang berhak untuk bertidak sebagai
wali nikah telah dinyatakan sbagai wali adhol (engga), maka sesuai dengan
peraturan menteri agam nomor 2 tahun 1987 pasal 2 ayat 1,2 dan 3 juncto
pasal 23 ayat(2) kompilasi hukum islam, pernikahan pemohon dengan calon
suaminya dapat dilangsungkan dengan wali hakim, bahwa sejalan dengan
prinsip yang terkandung di dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974
tentang perkawinan, yang intinya adalah didalam setiap pelaksanaan
perkawinan dikehendaki adanya partisipasi dari masing-masing keluarga
calon mempelai, dan juga demi menjamin terciptanya cita-cita luhur di dalam
perkawinan, maka sebelum akad nikah dilangsungkan hendaknya wali hakim
meminta sekali lagi kepada wali nasabnya untuk menikahkan calon mempelai
54
wanita dengan calon suaminya 9 (Peraturan Aenteri agama Nomor 2 tahun
1987 pasal 6), dengan ini Majels Hakim mengabulkan dan menetapkan wali
Pemohon bernama Ngaedi bin Tawes adalah adhol serta pernikahan Pemohon
Karsih binti Ngaedi dengan Upin Bin Kardun dapat dilaksanakan dengan wali
hakim.
c. Salinan PENETAPAN Nomor: 0078/Pdt.P/2010/PA. Sm
Pengadilan Agama Semarang yang memeriksa dan mengadili perkara
tertentu dalam tingkat pertama telah menjatuhkan penetapan sebagai berikut
dalam perkara wali adhol yang diajukan oleh Sulis binti Bagong umur 42
tahun, agama Islam, pekerjaan ibu rumah tangga, tempat tinggal Kelurahan
Panggung Lor Kecamatan Semarang Utara sebagai PEMOHON.
Bahwa Pemohon mengajukan surat permohonan Wali Adhol dimana telah
mengemukakan hal-hal sebagai berikut, Pemohon adalah anak kandung dari
pasangan suami istri Ratna dan Bagong dalam tempo sesingkat-singkatnya
melangsungkan pernikahan dengan calon suami Pemohon bernama Apit Bin
Karna, hubungan Pemohon dengan calon suami Pemohon sudah sedemikian
eratnya dan sulit di pisahkan orang tua pemohon/keluarga Pemohon dan orang
tua/keluarga calon suami telah sama-sama mengetahui hubungan cinta kasih
antara Pemohon dengan calon suami Pemohon bahkan calon suami Pemohon
telah memingang Pemohon namun ayah Pemohon tetap menolak dengan
alasan tidak suka dengan sikap calon suami Pemohon, Pemohon juga telah
berusaha membujuk ayah Pemohon agar mau menikahan Pemohon dengan
55
calon suami tersebut, namun ayah Pemohon tetap tidak mau, Pemohon
berpendapat penolakan tersebut tidak berdasarkan hukum dan tidak
berorientasi pada kebahagian dan atau kesejahtraan pemohon sebagai anak.
Adapun dari pertimbangan Majelis Hakim maksud dan tujuan
permohonan Pemohon, bahwa Majelis Hakim telah menasihati kepada
Pemohon agar dapat menyelesaikan masalah ini dengan walinya secara damai
namun tidak berhasil, bahwa berdasarkan bukti (P-3) berupa surat penolakan
permohonan dari KUA Kecamatan Semarang Utara yakni penikahan
Pemohon dengan calon suaminya Apit Bin Karna dengan alasan wali nikah
tidak mau menikahkan maka permohonan Pemohon mempunyai alasan
hukum untuk mengajukan masalah ini, bahwa dengan berdasarkan keterangan
para saksi dibawah sumpah dapat ditemukan fakta bahwa Pemohon telah
dilamar oleh calon suaminya Apit Bin Karna dan lamaran tersebut ditolak atau
wali Pemohon tidak mau menikahkan (adhol) dengan alasan wali tidak suka
dengan sikap calon suami Pemohon, bahwa berdasarkan keterangan para saksi
dan dihubungkan dengan bukti P .1 dan P .2 bahwa Pemohon dan calon
suaminya masing-masing telah berusia 42 tahun dan 45 tahun (dewasa), dan
keduanya tidak ada hubungan nasab, semenda maupun sesusuan sehingga
harus dinyatakan bahwa Pemohon dan calon suami Pemohon tidak ada
halangan utuk menikah sebagai mana pasal 8 Undang- undang No. 1 tahun
1974, bahwa berdasarkan fakta-fakta tersebut diatas antara lain Pemohon
dengan calon suaminya tidak ada halangan untuk menikah dan calon
56
suaminya telah bekerja dan mempunyai penghasilan yang cukup, maka
Majelis Hakim berpendapat bahwa penolakan wali untuk menikahkan
Pemohon dengan Apit Bin Karna tidak beralasan dan harus dinyatakan bahwa
wali Pemohon atas nama Bagong bin Nusu sebagai wali adhol, serta
berdasarkan pada pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas dan permohonan
Pemohon cukup beralasan sesuai peraturan Menteri agama No. 2 Tahun 1987
pasal 2, maka permohonan Pemohon tersebut dapat dikabulkan, maka
pernikahan Pemohon dengan Apit bin Karna dapat dilaksanakan dengan wali
hakim sesuai dengan2 (1) Peraturan Menteri Agama No. 2Tahun 1987, dan
Menetapkan wali Pemohon bernama Bagong bin Nusu adalah adhol.
d. Salinan PENETAPAN Nomor: 0071/Pdt.P/2010/PA. Sm
Pengadilan Agama Semarang yang memeriksa dan mengadili perkara
tertentu dalam tingkat pertama telah menjatuhkan penetapan sebagai berikut
dalam perkara wali adhol yang diajukan oleh Romansa binti Junaidi umur 21
tahun, agama Islam, pekerjaan swasta bertempat tinggal Kelurahan
Gajahmungkur Kecamatan Gajahmungkur Kota Semarang disebut sebagai
PEMOHON.
Bahwa Pemohon mengajukan surat permohonan Wali Adhol dimana telah
mengemukakan hal-hal sebagai berikut, Pemohon adalah anak kandung dari
pasangan suami istri Titik dan Junaidi dalam tempo sesingkat-singkatnya
melangsungkan pernikahan dengan calon suami Pemohon bernama Rohani
bin Kandar hubungan Pemohon dengan calon suami Pemohon sudah
57
sedemikian eratnya dan sulit di pisahkan telah berlangsung selama 6 bulan,
orang tua pemohon/keluarga Pemohon dan orang tua/keluarga calon suami
telah sama-sama mengetahui hubungan cinta kasih antara Pemohon dengan
calon suami Pemohon bahkan calon suami Pemohon telah meminang
Pemohon 1 kali namun ayah Pemohon tetap menolak dengan alasan tidak
jelas, Pemohon juga telah berusaha membujuk ayah Pemohon agar mau
menikahan Pemohon dengan calon suami tersebut, namun ayah Pemohon
tetap tidak mau, Pemohon berpendapat penolakan tersebut tidak berdasarkan
hukum dan tidak berorientasi pada kebahagian dan atau kesejahtraan pemohon
sebagai anaknya
Adapun pertimbangan Majelis Hakim. maksud dan tujuan permohonan
Pemohon, bahwa Majelis Hakim telah menasihati kepada Pemohon agar dapat
menyelesaikan masalah ini dengan walinya secara damai namun tidak
berhasil, bahwa berdasarkan bukti P.1 berupa surat penolakan permohonan
dari KUA Kecamatan Gajahmungkur yakni penikahan Pemohon dengan calon
suaminya Rohani bin Kandar dengan alasan wali nikah tidak mau menikahkan
maka permohonan Pemohon mempunyai alasan hukum untuk mengajukan
masalah ini, berdasarkan keterangan para saksi diatas sumpah dan dikaitkan
dengan bukti P.1 tersebut diatas maka dapat ditemukan fakta bahwa Pemohon
telah dilamar calon suaminya Rohani bin Kandardan lamaran tersebut ditolak
atau wali Pemohon tidak mau menikahkannya (adhol), bahwa berdasarkan
keterangan para saksi dan dihubungkan dengan bukti P .4 dan P .5 bahwa
58
Pemohon dan calon suaminya masing-masing telah berusia 21 tahun dan 46
tahun (dewasa), dan keduanya tidak ada hubungan nasab, semenda maupun
sesusuan sehingga harus dinyatakan bahwa Pemohon dan calon suami
Pemohon tidak ada halangan utuk menikah sebagai mana pasal 8 Undang-
undang No. 1 tahun 1974, bahwa berdasarkan fakta-fakta tersebut diatas
antara lain Pemohon dengan calon suaminya tidak ada halangan untuk
menikah dan calon suaminya telah bekerja dan mempunyai penghasilan yang
cukup, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa penolakan wali untuk
menikahkan Pemohon Rohani bin Kandar dengan tidak beralasan dan harus
dinyatakan bahwa wali Pemohon atas nama Arga bin Dana sebagai wali
adhol, serta berdasarkan pada pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas dan
permohonan Pemohon cukup beralasan sesuai peraturan Menteri agama No. 2
Tahun 1987 pasal 2, maka permohonan Pemohon tersebut dapat dikabulkan,
maka pernikahan Pemohon dengan Apit Bin Karna dapat dilaksanakan dengan
wali hakim sesuai dengan2 (1) Peraturan Menteri Agama No. 2Tahun 1987,
menetapkan ayahnya sebagai wali adhol.
e. Salinan PENETAPAN Nomor: 0072/Pdt.P/2010/PA. Sm
Pengadilan Agama Semarang yang memeriksa dan mengadili perkara
tertentu dalam tingkat pertama telah menjatuhkan penetapan sebagai berikut
dalam perkara wali adhol yang diajukan oleh Citra binti Sodiq umur 24 tahun,
agama Islam, pekerjaan swasta bertempat tinggal Kelurahan Kembang Arum
Kecamatan Semarang Barat Kota Semarang disebut sebagai PEMOHON.
59
Bahwa Pemohon mengajukan surat permohonan Wali Adhol dimana telah
mengemukakan hal-hal sebagai berikut, Pemohon adalah anak kandung dari
pasangan suami istri Lasmini dan Sodiq dalam tempo sesingkat-singkatnya
melangsungkan pernikahan dengan calon suami Pemohon bernama Robot bin
Kliwon hubungan Pemohon dengan calon suami Pemohon sudah sedemikian
eratnya dan sulit di pisahkantelah berlangsung selama 1 Tahun, orang tua
pemohon/keluarga Pemohon dan orang tua/keluarga calon suami telah sama-
sama mengetahui hubungan cinta kasih antara Pemohon dengan calon suami
Pemohon bahkan calon suami Pemohon telah memingang Pemohon 2 kali
namun ayah Pemohon tetap menolak dengan alasan beda agama, dan karena
orang tuanya bermaksut menjodohkan dengan orang lain, Pemohon juga telah
berusaha membujuk ayah Pemohon agar mau menikahan Pemohon dengan
calon suami tersebut, namun ayah Pemohon tetap tidak mau, Pemohon
berpendapat penolakan tersebut tidak berdasarkan hukum dan tidak
berorientasi pada kebahagian dan atau kesejahtraan pemohon sebagai anaknya
Adapun pertimbangan Majelis Hakim. maksud dan tujuan permohonan
Pemohon, bahwa Majelis Hakim telah menasihati kepada Pemohon agar dapat
menyelesaikan masalah ini dengan walinya secara damai namun tidak berhasil
berdasarkan keterangan para saksi didepan persidangan, Majelis Hakim telah
menemukan fakta-fakta yang pada pokoknya sebagai berikut:
a. Bahwa, Pemohon adalah anak sah dari pasangan suami istri Lasmoni
dengan Sodiq.
60
b. Bahwa, Pemohon berstatus gadis dan telah dilamar oleh calon
suamnyayang bernama Robot bin Kliwon namun ditolak oleh orang tua
Pemohon.
c. Bahwa, orang tua Pemohon Sodiq bin Nono tidak mau menjadi wali
nikah Pemohon dengan calon suaminya karena berbeda agama,
d. Bahwa, Pemohon tidak berada dalam lamaran atau pinangan lelaki lain
selain Robot bin Kliwon
e. Bahwa, Calon suami Pemohon telah mempunyai pekerjaan dan
pengahsilan tetap setiap bukannya sebesar kurang lebih Rp. 700.0000,-
(tuju ratus rupiah).
f. Bahwa, Pemohon dengan calon suaminya tidak ada hubungan keluarga,
semenda, maupun sesusuan yang menurut hukum tidak ada larangan
untuk menikah,
Bahwa calon suami Pemohon adalah seorang laki-laki yang berkelakuan
baik dan tidak melakukan perbuatan yang dilarang agamadan berdasarkan
fakta-fakta tersebut diatas, dihubungkan surat permohonan dari KUA
Semarang Barat, Majelis Hakim berpendapat bahwa Pemohon dan Robot bin
Kliwon adalah bersungguh-sungguh akan melangsungkan pernikahandan
ternyata tidak terdapat halangan keduanya untuk menikah, bahwa penolakan
wali ayah Pemohon yang bernama Sodiq bin Nono untuk menjadi wali nikah
dalam pernikahan Pemohon dengan calon suami Pemohon bernama Robot bin
61
Kliwon adalah beralasan dan dibenarkan menurut hukum, karena wali
Pemohon beragama Khatolik sedang Pemohon beragama Islam, maka majelis
Hakim berpendapat bahwa Sodiq bin Nono ayah kandung Pemohon tidak
memenuhi syarat menjadi walim nikah dari Pemohon dengan calon suaminya,
oleh karena wali Pemohon tidak memenuhi syarat menjadi wali nikah dari
Pemohon dengan calon suaminyakarena beragama Khatolik, maka Majelis
Hakim perlu menetapkan bahwa untuk bertindak sebagai wali dalam
pernikahan Pemohon dengan calon suaminya adalah wali hakim sesua pasal
20 KHI, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas maka
permohonan Pemohon cukup beralasan dan terbukti menurut hukum sehingga
permohonan Pemohon patut untuk dikabulkan, oleh karena permohonan
Pemohon dikabulkan dan pernikahanya di KUA Kecamatan Semarang Barat,
maka Majelis Hakim menunjuk Kepala KUA sebagai Pemohon. Menetapkan
ayahnya sebagai wali adhol.
Dari hasil wawancara dengan salah satu hakim di Pengadilan Agama
Semarang bahwasanya perkara yang masuk tentang perkara wali adhol di
tahun 2010 adalah alasan wali enggan menikahkan anaknya semuaanya sama
penolakan wali untuk menikahkan adalah tidak sesuai dengan keterangan
ataupun secara syariat Islam hanya mendasarkan egonya tidak melihat dari
unsur-unsur yang dimana bisa di jadikkan acuan Hakim untuk mempelajari
lebih dalam lagi, karena semua alasan wali nikah semuanya tidak beralasan
menurut hukum Islam yang berlaku.
62
Dan juga hakim Pengadilan Agama Semarang pertimbangan Majelis
Hakim memutuskan adalah dengan mempertimbangkan Peraturan Menteri
agama No. 2 Tahun 1987 pasal 2 ayat 1,2 dan 3 juncto pasal 23 ayat 2
Kompilasi Hukum Islam, serta mempertimbangkan kemaslahatan dan
kemadhorotan. Adapun isi penetapan diatas mewakil dari 13 perkara karena
hampir semuanya sama tidak sesuai syari‟at.
B. Proses Penyelesaian Perkara Wali Adhol
Pada dasaranya penyelesaian suatu perkara di Pengadilan Agama
Semarang hanya terjadi di dalam persidangan, akan tetapi perkara itu harus
melewati beberapa tahap proses, sebagai berikut :
1. Meja I
a. Menerima surat gugatan dan salinannya.
b. panjar biaya.
c. Membuat SKUM (Surat Kuasa Untuk Membayar).
2. Kasir
a. Menerima uang panjar dan membukukannya.
b. Menandatangani SKUM.
c. Memberi nomor pada SKUM dan tanda lunas.
3. Meja II
a. Mendaftar permohonan dalam register.
b. Memberi nomor perkara pada surat permohonan sesuai nomor
SKUM.
63
c. Menyerahkan kembali kepada pemohon satu helai surat permohonan.
d. Mengatur berkas perkara dan menyerahkan kepada Ketua melalui
Wakil panitera dan panitera.
4. Ketua Pengadilan Agama
a. Mempelajari berkas.
b. Membuat PMH (Penetapan Majelis Hakim).
5. Panitera
a. Menunjuk panitera sidang.
b. Menyerahkan berkas kepada majelis.
6. Majelis Hakim
a. Membuat PHS (Penetapan Hari Sidang) dan perintah memanggil para
pihak oleh juru sita.
b. Menyidangkan perkara.
c. Memberitahukan kepada Meja II dan Kasir yang berkaitan dengan
tugas mereka.
d. Memutus perkara.
7. Meja III
a. Menerima berkas yang telah diminut dari majelis Hakim.
b. Memberitahukan isi putusan kepada pihak yang tidak hadir lewat
juru sita.
c. Memberitahukan kepada Meja II dan Kasir yang bertalian dengan
tugas mereka.
64
d. Menetapkan kekuatan Hukum.
e. Menyerahkan salinan kepada pemohon dan pihak-pihak terkait.
f. Menyerahkan berkas yang telah dijahit kepada Panitera Muda
Hukum.
8. Panitera Muda Hukum
a. perkara.
b. Melaporkan perkara.
c. Mengarsipkan berkas perkara (Arto, 1996:57).
65
BAB IV
Analisis Penetapan Pengadilan Agama Semarang Tahun 2010
tentang Wali Adhol
A. Analisis Pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Semarang Dalam
Menetapkan Wali Adhol
Wali merupakan salah satu unsur penting dalam suatu akad nikah.
Sebagaimana pendapat ulama‟ yang dianut oleh mayoritas umat Islam di
Indonesia, bahwa suatu pernikahan tidak sah tanpa adanya wali. Kendatipun
demikian, dalam kenyataan kadang terjadi bahwa wali, karena alasan tertentu
enggan menikahkan anak perempuannya, sedangkan anak perempuan tersebut
telah bersikeras untuk tetap menikah dengan calon suami pilihannya. Sehingga
untuk bisa tetap melangsungkan pernikahan, calon mempelai perempuan harus
mengajukan perkara tersebut ke Pengadilan Agama setempat agar menetapkan
Adholnya wali serta mengangkat wali hakim untuk menikahkannya.
Dasar yang digunakan Majelis Hakim untuk menetapkan adholnya wali
adalah bukti-bukti serta fakta-fakta hukum yang berkaitan dengan perkara
tersebut. Hal ini sesuai dengan pasal 163 HIR yang menyatakan bahwa: Barang
siapa yang mengatakan ia mempunyai hak, atau ia menyebutkan suatu perbuatan
untuk menguatkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, maka orang
itu harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu (Pustaka
Elektronik http: //lawfile.blogspot.com).
66
Alat bukti dalam hal ini berupa bukti surat dan saksi. Bukti surat yang
pokok dalam perkara wali adhol adalah surat penolakan pernikahan yang
dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama setempat (P.I). Sedangkan saksi adalah
orang-orang yang mengetahui adanya permasalahan tersebut, dan saksi-saksi
akan dimintai keterangan mengenai keengganan wali dan juga keadaan kedua
calon mempelai. Karena salah satu wewenang Pengadilan Agama adalah
memberikan pelayanan hukum dan keadilan bagi mereka yang beragama Islam,
maka dasar dan pertimbangan yang digunakan untuk menyelesaikan suatu
perkara adalah hukum Islam.
Hakim dalam pertimbanganya menetapkan wali adhol karena alasan wali
menolak tidak memenuhi syara‟ meliputi: karena wali tidak suka dengan sikap
calon suami pilihan anaknya, wali tidak setuju dengan beda jauh selisih umur,
beda agama dan tanpa alasan yang jelas, mempertimbangkan kemaslahatan dan
kemadhorotan yang akan timbul dari penetapannya itu, dikhawatirkan akan
terjadi kawin lari atau “kumpul kebo” (jawa) yang itu tidak sesuai dengan syara‟,
Pemohon dan calon suami Pemohon telah memenuhi syarat-syarat dan tidak ada
larangan untuk melangsungkan pernikahan sesuai ketentuan agama Islam.
Dalam menetapkan wali hakim sebagai wali nikah dari perempuan yang
wali nasabnya adhol, Pengadilan Agama mendasarkan pada Peraturan Menteri
Agama No. 2 Tahun 1987 tentang wali hakim. Bahwa sahnya nikah menurut
agama Islam ditentukan antara lain dengan adanya wali nikah, karena apabila
wali tidak ada, atau mafqud (tidak diketahui dimana berada) atau berhalangan
67
atau tidak memenuhi syarat atau adhol (menolak), maka wali nikahnya adalah
wali hakim. Dari dasar dan pertimbangan Pengadilan Agama yang telah
diuraikan pada bab sebelumnya, terlihat bahwa itu telah sesuai dengan hukum
yang berlaku.
B. Analisis Penetapan Pengadilan Agama Semarang ditinjau dari Fiqh.
1. Penetapan Nomor : 0031/Pdt.P/2010/PA.Sm
Dalam perkara ini diketahui bahwa Pemohon akan melangsungkan
perkawinan dengan seorang laki-laki pilihannya, dan Pemohon juga telah
meminta walinya untuk menikahkan Pemohon, namun wali Pemohon yaitu
kakaknya menolak. Untuk maksud tersebut, calon suami Pemohon juga telah
meminang Pemohon kepada walinya namun tetap menolak dengan alasan
tidak suka dengan sikap calon suami Pemohon, bahkan menurut keterangan
calon suami Pemohon telah meminang beberapa kali tapi wali Pemohon
tetap pada pendiriannya.
Para ulama‟ sependapat bahwa wali tidak berhak merintangi
perempuan yang di bawah perwaliaanya, dan berarti berbuat zhalim
kepadanya jika ia mencegah kelangsungan pernikahan tersebut tanpa alasan
yang jelas, jika ia minta dinikahkan dengan laki-laki yang sepadan dan
mahar mitsil.
Dalam hal ini Majelis Hakim harus menetapkan wali pemohon
sebagai wali adhol, karena jelas bahwa wali Pemohon menolak menikahkan
68
tanpa ada alasan yang jelas. Dalam kitab I‟ananah at-Thalibin juz III
dikatakan :
ري انن ا تعسزي زجا انذاكمثبت تا
Artinya :“Bila telah jelas wali itu bersembunyi atau membangkang maka
wali Hakimlah yang mengawinkannya” (Jubali, tt:319).
Selain itu, yang sangat perlu dipetimbangkan adalah apabila antara
Pemohon dengan calon Suami Pemohon tidak segera melangsungkan
pernikahan yang dikhawatirkan akan terjadi hal yang tidak diinginkan
syara‟. Sehingga kekhawatiran atau bahaya yang akan timbul itu harus
segera dicegah dengan jalan pernikahan, sesuai dengan kaidah fiqhiyah:
سال انضرار
Artinya : “Kemadharatan harus dihilangkan”. (Usman, 1997:133).
2. Putusan Nomor : 068/Pdt.P/2010/PA.Sm
Dari duduk perkaranya jelas bahwa pemohon akan melangsungkan
pernikahan dengan seorang laki-laki, akan tetapi ayah pemohon/wali
menolak untuk menikahkan anaknya dengan alasan bahwa menurut ayah
pemohon calon suami pemohon berbda selisi umur 20 tahun. Terhadap
keterangan wali tersebut, pemohon mengajukan permohonan kepada
ayahnya, dan pemohon tetap bersikukuh pada pendiriannya untuk tetap
melangsungkan perkawinan dengan calon suami pilihannya tersebut.
69
Menurut pendapat para ulama‟ fiqh, wali tidak berhak untuk
menghalang-halangi/menolak jika orang yang dibawah perwaliannya
meminta dinikahkan dengan orang yang sederajat. Sedangkan ukuran
sepadan, para ulama‟ sepakat bahwa agama adalah sebagai ukuran
kesepadanan. dalam al Muhazdab dikatakan :
حة ايل كفء فعضلها الويل زوجا السلطانوان دعت املنكو Artinya: “Apabila seorang perempuan yang layak nikah minta dinikahkan
dengan laki-laki yang seimbang derajatnya, lalu walinya menolak,
maka pemerintahlah yang akan menikahkannya” (Ibrahim,
1995:429).
Selain itu, dalam al-Qur‟an Surah al Baqarah juga disebutkan
larangan bagi wali untuk menghalangi orang yang di bawah perwaliannya
ketika ingin menikah kembali dengan mantan suaminya, Allah SWT
berfirman:
Artinya: “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya,
Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi
dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara
mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada
orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari
kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui,
sedang kamu tidak mengetahui”(Departemen Agama RI, 2002:46).
70
Dengan demikian, penetapan hakim yang mengabulkan permohonan
Pemohon tersebut telah sesuai dengan hukum fiqh. Dengan
mempertimbangkan kemadhorotan dan kemaslahatannya selain itu juga
dikuatkan pemohon yang sudah terlanjur cinta pada calon suaminya
tersebut. Terlepas dari hak pemohon sebagai janda yang memilik hak atas
kekuasaan atas dirinya sendiri.
Sesuai hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ia berkata,telah
bersabda Rasulullah SAW:
، حدثنا ق ت يبة بن سعيد، حدثنا ع نافع بن جب ي سفيان، عن زياد بن سعد، عن عبد اللو بن الفضل، سها، والبكر يب، عن ابن عباس: أن النب صلى اهلل عليو وسلم قال: " الث يب أحق بن فسها من و لي
تأمر، وإذن ها سكوت ها "تس
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa‟iid : Telah
menceritakan kepada kami Ziyaad bin Sa‟d, dari „Abdullah bin
Al-Fadhl, ia mendengar Naafi‟ bin Jubair mengkhabarkan dari
Ibnu „Abbaas : Bahwasannya Nabi shallallaahu „alaihi wa sallam
bersabda : “Ats-tsayyibu (janda) lebih berhak kepada dirinya
sendiri dibandingkan walinya. Adapun seorang gadis dimintai
ijin, dan ijinnya itu adalah dengan diamnya” [Diriwayatkan oleh
Muslim no. 1421].
Meski diberi kekuasaan lebih akan tetapi restu dan doa orang tua
seharusnya menjadi pertimbangan paling utama bagi Janda tersebut.
3. Nomor Penetapan: 0078/Pdt.P/2010/PA.Sm
Pokok perkara ini ialah bahwa Pemohon akan melangsungkan
pernikahan dengan seorang laki-laki yang dinilai cukup memenuhi syarat
71
sebagai calon suami yang baik bagi pemohon. Namun permasalahannya
adalah, bahwa wali yang di sini adalah ayah kandung Pemohon menolak
untuk menikahkan Pemohon, dengan alasan tidak suka dengan sikap calon
sikap Pemohon. Keterangan wali Pemohon dibenarkan oleh para saksi
bahwa disaat calon suami Pemohon melamar tapi ditolak oleh ayah
Pemohon dengan alasan tidak suka dengan sikap calon suami Pemohon.
Diketahui pula bahwa dari segi agama, antara pemohon dan calon
suaminya se-kufu, antara keduanya juga sudah saling cinta, bahkan
keduanya sama-sama sudah berpengalaman dalam menjalani rumah tangga,
ini dapat diliat dari tanda bukti P-5 (fotocopy akta cerai) dari calon suami
Pemohon dan tanda bukti P-6 (Akta Kematian suami) dari Pemohon yang
kedua-duanya cocok dengan aslinya. Karena alasan penolakan tersebut,
pemohon mengajukan permohonan penetapan wali adhal ke Pengadilan
Agama Semarang, dan hasilnya permohonan tersebut dikabulkan.
Dari keterangan di atas, jelas bahwa wali Pemohon tidak akan
menggunakan haknya, dan berarti wali Pemohon harus dinyatakan adhal, hal
ini dibuatkan juga dengan ketidak hadiran wali kehadapan sidang.
Dalam hal ini wali tersebut dinyatakan dholim, karena
penolakkannya tersebut tanpa alasan yang bisa diterima syara‟, berbeda
halnya jika penolakan wali dikarenakan suatu alasan yang dapat diterima
syara‟, maka penolakan seorang wali itu tidak menjadikannya sebagai wali
adhol. Sayyid Sabiq menyebutkan:
72
اتفق العلماء علي انو ليس للويل ان يعضل مو ليتو, و يظلمها مبنعها من الزواج, اذاراد ان كان من حقها ان ترفع امرىا ايل يتزوجها كفء مبهر مثلها..... فاذا منعها يف ىذه الال
ويل اخر يلي ىذا الويل الظامل, بل والتنتقل الوالية يف ىذه الالة ايل القاضي ليزوجها.....فاءما اذا كان ايل القاضي مبا شرة, لن العضل ظلم, ووالية رفع الظلم ايل القاضي. تنتقل
املثل, او كفء, اواملهر اقل من مهر غي يكون الزوج االمتناع بسبب عذر مقبول, كاءن .و, لنو اليعد عاضالكفاء منو, فان الوالية فبهذه الال التنتقل عن لوجود خاطب اخرا
Artinya: “Para ulama sependapat bahwa wali tidak berhak merintangi
perempuan yang di bawah perwaliannya dan berarti brbuat dzalim
kepadanya kalau ia mencegah kelangsungan pernikahan tersebut,
jika ia mau dikawinkan dengan laki-laki yang sepadan dan mahar
mitsl. Jika wali menghalangi calon pengantin wanita berhak
mengadukan perkaranya melalui pengadilan agar perkawinan
tersebut dapat dilangsungkan. Dalam keadaan seperti ini,
perwalian tidak dapat pindah dari wali yang dzalim kewali lainnya,
tetapi langsung ditangani oleh hakim sendiri. Sebab menghalangi
hal tersebut adalah suatu perbuatan yang dzalim, sedangkan untuk
mengadukan wali dzalim itu hanya kepada hakim. Adapun jika wali
menghalangi karena alasan-alasan yang sehat, seperti laki-laki
tidak sepadan, atau maharnya kurang dari mahar mitsl, atau
peminang lain yang lebih sesuai dengan derajatnya, maka dalam
keadaan seperti ini perwalian tidak pindah ke tangan orang lain.
Karena ia tidaklah dianggap menghalangi” (Sabiq, 1980:27).
4. Penetapan Nomor: 0071/Pdt.P/2010/PA. Sm
Dalam perkara ini diketahui bahwa Pemohon akan melangsungkan
perkawinan dengan seorang laki-laki pilihannya, dan Pemohon juga telah
meminta walinya untuk menikahkan Pemohon, namun wali Pemohon yaitu
ayahnya menolak. Untuk maksud tersebut, calon suami Pemohon juga telah
meminang Pemohon kepada walinya dan hubungan keduanya sulit
dipisahkan namun tetap menolak dengan alasan tidak jelas, bahkan menurut
73
keterangan calon suami Pemohon telah meminang beberapa kali dan juga
keluarga sudah mengetahui hubungan keduanya tapi wali Pemohon tetap
pada pendiriannya
Menurut pendapat para ulama‟ fiqh, wali tidak berhak untuk
menghalang-halangi/menolak jika orang yang dibawah perwaliannya
meminta dinikahkan. Sedangkan dalam Fathul Mu,in dikatakan
نكاحها احرم الويل اواراد وكذاي زوج القاضي اذا
Artinya; “demikian pula Qadli berhak mengawinkan, jika sang wali
menghalang-halangi perkawinan anak perwaliannya atau ingin
mengawininya sendiri” (As‟ad, 57:Tt).
5. Penetapan Nomor: 0072/Pdt.P/2010/PA. Sm
Dalam perkara ini diketahui bahwa Pemohon akan melangsungkan
perkawinan dengan seorang laki-laki pilihannya, dan Pemohon juga telah
meminta walinya untuk menikahkan Pemohon, namun wali Pemohon yaitu
ayahnya menolak. Untuk maksud tersebut, calon suami Pemohon juga telah
meminang Pemohon kepada walinya dan hubungan keduanya sulit
dipisahkan namun tetap menolak dengan alasan mau menjodohkan calon
pilihannya untuk anaknya, bahkan menurut keterangan calon suami
Pemohon telah meminang beberapa kali dan juga keluarga sudah mengetahui
74
hubungan keduanya tapi wali Pemohon tetap pada pendiriannya namun
pengadilan menentukan ayah Pemohon tidak memenuhi kriteria seorang wali
di karenakan ayah Pemohon beda agama.
Menurut pandangan beberapa ulama‟ bahwasanya syarat wali dalam
perkawinan Islam adalah Islam, balig, berakal, merdeka, adil dan laki-laki.
Tidak sah orang kafir menjadi wali orang Islam. Dalam Al-Qur‟an
dinyatakan bahwa orang kafir tidak boleh menjadi wali orang Islam. Firman
Allah Q.S.Ali Imron 28:
…
Artinya:“Tidak boleh orang mukmin mengangkat orang-orang kafir
menjadi walinya, dengan meninggalkan orang mukmin.”(Departemen
Agama RI, 2002:66).
Bahwa dari analisa penetapan-penetapan pengadilan di atas sudah
sesuai dengan fiqih karena alasan penolakan yang diajukan oleh wali tidak
berdasarkan hukum dan tidak berorientasi pada kebahagiaan dan
kesejahteraan anak yang di bawah perwaliaannya.
75
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Hakim dalam pertimbanganya menetapkan wali adhol karena alasan wali
menolak tidak memenuhi syara‟ meliputi: karena wali tidak suka dengan sikap
calon suami pilihan anaknya, wali tidak setuju dengan beda jauh selisih umur,
beda agama dan tanpa alasan yang jelas, mempertimbangkan kemaslahatan
dan kemadhorotan yang akan timbul dari penetapannya itu, dikhawatirkan
akan terjadi kawin lari atau kumpul kebo” (jawa) yang itu tidak sesuai dengan
syara‟, Pemohon dan calon suami Pemohon telah memenuhi syarat-syarat dan
tidak ada larangan untuk melangsungkan pernikahan sesuai ketentuan agama
Islam.
2. Penetapan Hakim Pengadilan Agama Semarang sudah sesuai hukum fiqih dan
tidak bertentangan dengan syara‟ bahwasanya telah jelas dalam dalam Al-
Qur‟an Surah Al Baqarah ayat 232 dan beberapa dalil fiqih
B. Saran-saran
Dengan terselesainya skripsi ini, ada beberapa hal yang menjadi
harapan penulis, antara lain :
1. Wali nikah diharapkan lebih memikirkan serta mempertimbangkan kembali
untuk menolak menjadi wali nikah bagi perkawinan anaknya. Seharusnya
orang tua jangan hanya memakai pertimbangan dari satu sudut saja, tetapi
76
juga harus memandang segi maslahat dan madarat bagi kehidupan rumah
tangga anaknya kelak.
2. Sudah hal wajib Majelis Hakim Pengadilan Agama Semarang memtuskan dan
menetapkan setiap perkara yang diajukan dengan adil dan bijaksana, karena
itulah asas mendengarkan kedua belah pihak “audie et alteram partem” mesti
ditegak kan artinya wali nasab tidak cukup hanya saksi atau sebagai orang
ketiga tapi harus dijadikan salah satu pihak dalam perkara dan karena orang
tua atau wali nasab tidak dianggap sebagai salah satu pihak yang berperkara
maka azaz “equality before the law” akan tercederai, sehingga wali tidak
punya kedudukan hukum (legal standing) untuk melakukan upaya hukum.
77
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abu Ishaq, Ibrahim. 1995. Almuhadzab, Juz II, Beirut Libanon: Dar al-Kutub al-
Ilmiyah.
al Zuhailiy, Wahbah. 1997. al Fiqih al Islamiy wa Adilatuhu,juz 9. Beirut,: Dar al-
Fikr.
Aljaizry, Abdurrahman. 1979. Kitab Fikih Ala madzahibi Arba‟ah juz 4. Mesir:
Tijariyah Al Kubra.
Asnawi, Moch. 1975. Himpunan Peraturan dan Undang-Undang Republik Indonesia
Tentang Perkawinan Serta Pelaksanaannya. Kudus: Menara Kudus.
As-Subki, Ali Yusuf. 2010. Fiqih Keluarga, Jakarta: Amzan, cet. Ke-1.
Basyir, Ahmad Azhar.1996. Hukum Perkawinan Islam. yogyakarta Perpustakaan
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. cet. 8.
Bisri Mustofa, Adib. 1993. Terjemah Shahih Muslim, juz 2. Semarang: CV. Asy-
Syifa‟.
Bisri, Cik Hasan. 2000. Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada.
Bungi, Burhan. 2011.Metodologi Penelitian Kualitatif, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Dahlan, Abdul Aziz. 1996. Ensiklopidia Islam, Jilid 4, Jakarta. PT: Icthiar Baru Van
Hoeve.
Dedi supriyadi. 2011. Fiqh Munakahat Perbandingan (dari Textualis sampai
Legislasi), Bandung cet 1, cv. Pustaka Setia,mengutip dari Ar-Raghib Al-
Ashfahani. t.t.. Mu‟jam Mufradat li-Alfazh Al-Quran, Beirut-Lebanon: Dar
Al-Fikr.
Departemen Agama RI.2002. AlQuran dan terjemahnya. Semarang: PT.Karya Toha
Putra.
78
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1993. Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka. Cet. 4,
Ghazali, Abdul Rahman. 2008. Fiqih Munakahat. Jakarta: Kencana, mengkutip dari
Wahbah Al-Zuhaily. 1989.
Ghofur Ansori, Abdul. 2011. Hukum Perkawinan Islam (perspektif dan hukum
positve). Yogyakarta: UII Pres.
Hadi Sutrisno. 1983. Metodologi Research, Yogyakarta: Univesrsitas Gajah Mada.
Cet. 14.
Isa bin Surah At Tirmidzi, Muhammad. 1992. Terjemah Sunan At-Tirmidzi, Terj. Drs.
H. Moh Zuhri, Dipl, TAFL, dkk, Juz II, Semarang: CV. Asy-Syifa‟.
Kamal, Mukhtar. 1993. Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan
Bintang.
Lembaran Negara RI. No. 1/1997. 1988. Undang-Undang Perkawinan. Semarang:
CV. Aneka Ilmu. Cet. 1.
Manan, Abdul. 2008. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta:
Kencana Pranada Media Grup.
Muhamad, Abu Bakar. 1995 Terjemah Subulus Salam, Juz III. Surabaya: Al-Ikhlas,.
Mukti, arto. 2011. praktek perkara perdata pada pengadilan agama. Yogyakarta:
Pusta Pelajar.
Nawawi, hadari. Dan hm martini hadari. 1992. Instrument penelitian bidang social,
yokyakarta: mada universitas press
Ramulya, Moh. Idris. 1999. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Sabiq, Sayid 1980.fiqih sunah. Jilid 6. Bandung: PT Alma‟arif.
Soemitro, Ronny hanitijo. 1983. Metodologi Penelitian Hukum.Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji. 2001 .Penelitian Hukum Normatif (Suatu
Tinjauan Singkat). Jakarta: Rajawali Pers.
Sudarsono. 2001. Pokok-pokok Hukum Islam, Cet II. Jakarta: PT. Renika Cipta.
79
Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kualitatif Kuantitatif R&B. Bandung: Alfabeta.
Cet. 3.
Syarifudin, Amir. 2003. Garis-garis Besar Fiqh. Jakarta: Kencana.
Tim Redaksi Nuansa Aulia. 2008. Kompilasi Hukum Islam. Bandung: Nuansa Aulia,
Cet. 1.
Usman, Muhlish. 1997. Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur‟an. 2009. Al-qur‟an dan Terjemahnya
Jakarta: PT. Rilis Grafika.
Yunus, Mahmud. 1997. Hukum Perkawinan dalam Islam. Jakarta: Hida Karya
Agung.
Jurnal
Ghufron, Abdul. 2010. Skripsi Analisa Pendapat Imam Syafi‟i Tentang Wali Nikah
Janda di Bawah Umur. Semarang: IAIN Walisongo
Roehan Asfia, Dedy. 2011. Skripsi Analisa Terhadap Penentuan Wali Nikah bagi
Perempuan yang Lahir Kurang dari 6 Bulan.Semarang: IAIN Walisongo
Internet
http://jateng.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id=14155. Diakses tanggal 11
Januari 2013.
http://hukumzone.blogspot.com/2012/03/pengertian-dan-pandangan-islam-
terhadap.html. Diakses pada tanggal 23 April 2015