skripsi 13 aug

Download Skripsi 13 Aug

If you can't read please download the document

Upload: icca-aliah

Post on 27-Jun-2015

793 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Glucotoxicity banyak dibicarakan, tapi belum secara lengkap dipahami. Sebelum definisi yang tepat ditemukan, glucotoxicity diartikan sebagai proses kerusakan yang timbul akibat efek samping hiperglikemia kronis pada jaringan target insulin dan sel beta pankreas ( Manaf, 2007; 12 ). Secara klinis terdapat bukti hubungan antara tingginya kadar glukosa darah dan kerusakan jaringan tubuh. Proses dan tingkat kerusakan akan dipercepat dan diperburuk oleh beberapa faktor yang sering ditemukan bersama diabetes, yang dikenal sebagai sindroma metabolik. Disamping itu faktor genetik punya peran tersendiri. Proses pengrusakan akibat glucotoxicity melalui berbagai mekanisme. Glucotoxicity hypothesis menempatkan hiperglikemia sebagai titik sentral yang memegang peran kunci dalam timbulnya kerusakan. Jaringan tubuh penderita diabetes, bahkan pradiabetes, akan mengalami proses kerusakan bila terpapar suasana hiperglikemia secara berkesinambungan atau kronis. Pada stadium pradiabetes hiperglikemia akut postprandial ( HAP ), yakni lonjakan-lonjakan kadar glukosa darah yang terjadi berulang-ulang setiap mengkonsumsi makanan, menjadi penyebab kerusakan. Pada diabetes, hiperglikemia dapat lebih komplit lagi, yaitu HAP, hiperglikemia kronis, bahkan pada keadaan puasa sekalipun. ( Manaf, 2007; 12 ).

2

Diabetes mellitus merupakan sekumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang ditandai dengan kadar glukosa darah yang melebihi kadar darah normal (hiperglikemi) akibat tubuh kekurangan insulin baik absolute maupun relatif. Penyakit ini bersifat menahun atau kronis (Dalimarta, 1996; 43) Penyakit diabetes mellitus bisa timbul secara mendadak pada anak-anak dan orang dewasa muda. Sedangkan pada orang tua muncul tanpa gejala dan baru diketahui setelah melakukan pemeriksaan kesehatan rutin. Gejala yang ditimbulkan biasanya rasa haus, sering kencing, banyak makan tapi berat badan menurun, gatal-gatal, dan badan terasa lemah. Diabetes mellitus ini beresiko besar untuk terjadinya komplikasi, seperti penyakit jantung, terganggunya fungsi ginjal, kebutaan, pembusukan kaki yang kadang memerlukan amputasi, atau timbulnya impotensi (Dalimarta, 1996; 45) Penyakit ini dapat disebabkan oleh berkurangnya sekresi insulin oleh selsel beta pulau langerhans. Faktor herediter berpengaruh dalam menentukan keberadaan diabetes mellitus yaitu melalui peningkatan kerentanan sel-sel beta terhadap penghancuran oleh virus atau mempermudah perkembangan antibodi autoimun melawan sel-sel beta yang mengarah pada penghancuran sel-sel beta. Pada keadaan lain ada kecendrungan sederhana dari faktor herediter terhadap degenerasi sel beta (Guyton, 1997). Terapi diabetes mellitus meliputi pemberian insulin (DM tipe I) dan pemberian antidiabetik oral (DM tipe II) seperti golongan sulfonylurea

3

(tolbutamid, klorpropamid, glibenklamid) dan golongan biguanid (fenformin dan metformin) disamping diet, olahraga, dan cangkok pankreas

(Tjokroprawiro, 1996). Dengan meningkatnya penderita diabetes mellitus dari tahun ke tahun diperlukan suatu usaha serius untuk mengatasinya. Salah satu adalah penggunaan obat tradisional sebagai terapi alternatif atau penggunaan tanaman herbal sebagai salah satu sumber untuk mendapatkan senyawa kimia yang berefek antidiabetik. Salah satu tumbuhan yang diketahui berefek sebagai anti hiperglikemik adalah buncis (Phaseolus vulgaris L.). Buah buncis dipilih karena selain harganya murah juga mudah didapat. Buah buncis mengandung -sitosterol dan stigmasterol yang mampu meningkatkan produksi insulin. Dalam 100 gram sayuran panjang berwarna hijau ini juga mengandung 7,81% karbohidrat, 0,28% lemak, 1,77% protein, 2,07% serat kasar, dan 0,32% abu. Penelitian yang telah dilakukan dilaporkan bahwa ekstrak etanolik buah buncis pada konsentrasi 4,63 mg/Kg BB memiliki efek anti diabetes mellitus tipe II terhadap tikus jantan (Zahmilia Akbar, 2008). Ekstrak etanolik merupakan ekstrak yang bersifat semipolar, sehingga dapat menarik senyawa yang bersifat polar maupun nonpolar, sehingga belum diketahui senyawa golongan apa yang memberikan efek anti hiperglikemik. Dengan demikian perlu dilakukan uji lanjutan menggunakan ekstrak hasil partisi dari ekstrak metanol untuk mengetahui sifat senyawa yang memberi

4

efek anti hiperglikemik yang nantinya dapat digunakan untuk mengidentifikasi senyawa tersebut. A. Rumusan masalah Bagaimana efek anti hiperglikemik dari ekstrak metanol buah buncis (Phaseolus vulgaris L) setelah di partisi dengan pelarut n-Heksan pada mencit (Mus musculus)? B. Tujuan penelitian Mengetahui efek anti hiperglikemik dari ekstrak metanol buah buncis (Phaseolus vulgaris L) setelah dipartisi dengan pelarut n-Heksan pada mencit (Mus musculus). C. Kegunaan penelitian Hasil penelitian yang dilakukan diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat terhadap penggunaan tanaman buah buncis yang berefek sebagai anti hiperglikemik dan sebagai dasar penelitian penemuan senyawa aktif yang memberikan efek anti hiperglikemik yang dapat digunakan untuk pengobatan pada penyakit diabetes mellitus di masa yang akan datang.

5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Uraian Tanaman Buncis 1. Klasifikasi Tanaman Regnum : Plantae Divisi Kelas Bangsa Suku Marga Jenis 2. : Spermatophyta : Dicotyledonae : Rosales : Papilionaceae : Phaseolus : Phaseolus vulgaris L (Heyne, 1987).

Nama Daerah Buncis (Phaseolus vulgaris L) banyak terdapat diberbagai daerah di Indonesia, dan memiliki nama-nama daerah antara lain : Sunda : Kacang buncis Jawa : Boncis ( Agromedia, 2008;40).

3.

Morfologi Tanaman Tumbuhan buncis ini berhabitus semak tegak atau membelit, dengan panjang 0,3-3 m serta daun penumpu tetap melekat lama. Memiliki anak daun berbentuk bulat telur, dengan pangkal membulat, meruncing, kedua belah sisi berambut, 5-13 kali 4-9 cm. tandan bunga duduk di ketiak, dengan 1-2 pasangan bungan. Tangkai tandan massif, setinggi-tingginya 6 cm, kerap kali lebih pendek. Anak daun pelindung di bawah kelopak

6

panjang 3-9 mm. kelopak tinggi 5-8 mm, gigi yang teratas sangat pendek. Mahkota hamper selalu putih, menjadi kuning, kadang-kadang ungu; bendera pada pangkalnya dengan 2 telinga; tunas memutar kurang dari 2 kali; sayap berkuku panjang. Benang sari bendera lepas, lainnya bersatu. Tangkai putik dekat ujung berjanggut. Polongan sangat berubah bentuk dan ukuran. Biji putih, kning, merah, lila, coklat atau hitam. Keping biji dari tanaman berkecambah muncul di atas tanah. (Heyne, 1987; 1445). 4. Kandungan Kimia Buah, daun, dan batang tanaman buncis (Phaseolus vulgaris L.) mengandung alkaloid, flavonoida, saponin, polifenol triterpenoida, steroida, stigmasterin, trigonelin, arginin, asam amino, asparagin, kholina, tannin, fasin (toksalbumin), zat pati, vitamin dan mineral. (Agromedia, 2008; 40). 5. Khasiat dan Kegunaan Bersifat diuretik dan berkhasiat untuk kencing manis (diabetes) serta pelancar ASI. (Agromedia, 2008; 40) B. Ekstraksi Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dari massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Dirjen POM, 1995). Tujuan ekstraksi adalah untuk menarik dan memisahkan senyawa yang mempunyai kelarutan berbedabeda dalam berbagai pelarut komponen

7

kimia yang terdapat dalam bahan alam baik dari tumbuhan, hewan, dan biota laut dengan menggunakan pelarut organik tertentu. Proses ekstraksi ini didasarkan pada kemampuan pelarut organik untuk menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel secara osmosis yang mengandung zat aktif. Zat aktif akan larut dalam pelarut organik dan karena adanya

perbedaan konsentrasi antara di dalam dan di luar sel, mengakibatkan terjadinya difusi pelarut organik yang mengandung zat aktif keluar sel. Proses ini berlangsung terus menerus sampai terjadi keseimbangan konsentrasi zat aktif di dalam dan di luar sel (Dirjen POM, 2000 dan Harborne 1987, 6 - 8). Metode ekstraksi menggunakan pelarut dapat dilakukan secara dingin yaitu maserasi dan perkolasi, dan secara panas yaitu refluks, soxhlet, digesti, infus, dan dekok (Dirjen POM, 2000). Metode maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana. Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan yang diluar sel, maka larutan yang terpekat di desak keluar. Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan diluar sel dan didalam sel. Maserasi digunakan untuk penyarian simplisia yang mengandung zat aktif yang mudah larut dalam cairan penyari, tidak mengandung zat yang mudah mengembang dalam cairan penyari, tidak

8

mengandung benzoin, stiraks dan lain-lain. Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana dan mudah diusahakan. Cairan penyari yang digunakan dapat berupa air, etanol, air-etanol atau pelarut lain. Bila cairan penyari digunakan air maka untuk mencegah timbulnya kapang, dapat ditambahkan bahan pengawet, yang diberikan pada awal penyarian. Maserasi pada umumnya dilakukan dengan cara memasukkan 10 bagian simplisia dengan derajat halus yang cocok kedalam sebuah bejana, ditambahkan dengan 75 bagian penyari, dan ditutup, serta dibiarkan selama 5 hari, terlindung dari cahaya sambil sekali-kali diaduk. Setelah 5 hari sari diserkai, ampas diperas. Ampas ditambah cairan penyari secukupnya kemudian diaduk dan diserkai, sehingga diperoleh seluruh sari sebanyak 100 bagian. Bejana kemudian ditutup dan dibiarkan ditempat sejuk, terlindung dari cahaya, selama 2 hari. Kemudian endapan dipisahkan. Pada penyarian dengan cara maserasi, perlu dilakukan pengadukan. Pengadukan diperlukan untuk meratakan konsentrasi larutan di luar butir serbuk simplisia, sehingga dengan pengadukan tersebut tetap terjaga adanya derajat perbedaan konsentrasi yang sekecil-kecilnya antara larutan di dalam sel dengan larutan di luar sel. Hasil penyarian dengan cara maserasi perlu dibiarkan selama waktu tertentu. Waktu tersebut diperlukan untuk mengendapkan zat-zat yang tidak diperlukan tetapi ikut terlarut dalam

cairan penyari seperti malam dan lain-lain (Dirjen POM, 1986).

9

Adapun metode ekstraksi yang adalah: 1) Perkolasi

dapat digunakan selain maserasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya

(penetapan/penampungan ekstrak) yang jumlahnya 15 bahan. 2) Refluks Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu pertama sampai 35 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna. 3) Soxhlet Soxhlet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinyu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik. 4) Digesti

10

Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinyu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40500C.

5) Infus Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96980C) selama waktu tertentu 1520 menit. 6) Dekok Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (>300C) dan temperatur sampai titik didih air. C. Uraian hewan uji 1. Taksonomi hewan uji Klasifikasi (Arrington 1972, 7) Dunia Filum Sub Filum Kelas Subkelas Ordo Famili : Animalia : Chordata : Vertebrata : Mammalia : Theria : Rodentia : Muridae

11

Genus Spesies

: Mus : Mus musculus. Linn

2. Karakteristik hewan uji Hewan pengerat yang cepat berbiak, mudah dipelihara dalam jumlah

banyak, variasi genetik cukup besar. Denyut jantung 600 / menit. Berat lahir 0,5 1,5 gram, berat jantan dewasa 20 40 gram, berat betina

dewasa 25 40 gram. Luas permukaan tubuh 20 gram adalah 36 cm2. Mulai kawin jantan 50 hari, betina 50 60 hari. Siklus birahi 4 5 hari. Lama kebuntingan 19 21 hari. Jumlah anak perkelahiran 10 12 ekor.

Sifatnya : Mudah ditangani. Penakut. Cenderung berkumpul sesamanya. Bersembunyi. Fotofobik ( takut cahaya). Lebih aktif pada malam hari daripada siang hari (Malole dan Pramono

1989,94-100).

12

D. Hiperglikemik Sudah dibuktikan bahwa hiperglikemia pada diabetes, menimbulkan permasalahan Derajat hiperglikemia cenderung meningkat dari waktu ke waktu seiring perjalanan penyakit. Proses perburukan ini adalah dampak interaksi kedua faktor etiologi Diabetes Mellitus Type 2 (DMT2) : faktor genetik dan faktor lingkungan. Hiperglikemia yang muncul, menghadirkan proses glucotoxicity yang seringkali kemudian disertai lipotoxicity. Proses kerusakan tersebut telah mulai terjadi pada hiperglikemia ringan, pada tahap tahap awal dari perjalanan penyakit diabetes atau bahkan pada pradiabetes sekalipun, akibat fluktuasi kadar glukosa darah. Hiperglikemia pada DMT2 jarang berdiri sendirian, hampir selalu didampingi oleh beberapa kelainan lain seperti hipertensi, dislipidemia, obese dan lain lain. Fenomena ini secara klinis dikenal sebagai sindroma resistensi insulin. (Asman Manaf, 2007; 14) Ada dua bentuk kelainan yang dapat dipantau pada kerusakan sel beta akibat hiperglikemia kronis, yakni penurunan sekresi insulin dan penurunan ekspresi gen insulin ( insulin gen expression ). Hal ini setidaknya disebabkan tiga fenomena berbeda: 1. desensitisasi terhadap glukosa, 2. kelelahan ( exhaustion ) sel beta, dan 3. glucose toxicity. Diantara ketiganya, glucose toxicity merupakan defek paling serius karena meskipun terjadi secara bertahap namun bersifat irreversible. Bahkan ini dianggap merupakan lanjutan dari tahap exhaustion. (Asman Manaf, 2007; 17) Keadaan hiperglikemia akan meningkatkan produksi superoksida pada mitochondria yang berpotensi mengaktivasi UCP-2 ( uncoupling protein-2 )

13

yang memediasi pemborosan ATP menjadi bentuk panas. Hal inilah yang berakibat menurunnya rasio ATP/ADP, sehingga proses stimulasi sekresi insulin glukosa menurun. (Asman Manaf, 2007; 18) Tidak dapat disangkal lagi, usaha terpenting dan paling rasional yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah glucotoxicity adalah menormalkan kadar glukosa darah seoptimal mungkin. Strategi untuk ini telah memiliki acuan baku, baik secara non farmakologis maupun farmakologis, dengan berbagai nilai tambah dan nilai kurang masing masingnya. Hiperglikemia akut postprandial perlu mendapat perhatian disamping hiperglikemia kronis. Bahkan semenjak pradiabetes, fenomena glucotoxicity akibat lonjakan kadar glukosa plasma yang terjadi berulang-ulang setiap hari tersebut tampaknya sudah harus diatasi. Selanjutnya, pada stadium diabetes, masalah hiperglikemia

postprandial menjadi sorotan, dianggap sebagai prediktor bagi berbagai komplikasi. Hasil penelitian mengenai ini cukup banyak dengan outcome pencegahan diabetes ( primary prevention ) maupun pencegahan komplikasi ( secondary prevention ). Diantara jenis obat yang sering dikemukakan dalam primary prevention adalah acarbose, metformin, glitazone dan golongan glinide. Alpha glucosidase inhibitor ( Acarbose ) bekerja menghalangi penyerapan glukosa disaluran cerna, berkhasiat dalam mencegah peningkatan glukosa darah berlebihan sehabis makan.Sedangkan metformin dan glitazone berkhasiat dalam menurunkan tingkat resistensi terhadap insulin. Metformin juga mempunyai khasiat dalam mencegah terjadinya kerusakan jaringan endotel dalam keadaan hiperglikemia. Khasiat ini diperoleh tidak saja

14

oleh karena sifat anti hiperglikemia secara farmakologis, tapi juga efek inhibisi terjadinya kerusakan sel endotel pembuluh darah. Golongan glinide, (Asman

merangsang kerja pankreas memproduksi insulin secara lebih segera. Manaf, 2007; 20)E. Diabetes Mellitus

Diabetes mellitus adalah kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat kekurangan insulin baik absolute maupun relative (Soegondo dkk, 2005). Diabetes Mellitus adalah suatu gangguan kronis yang khususnya menyangkut metabolisme hidrat arang (glukosa) (Tjay, 2007). Penyakit Diabetes Mellitus (DM) adalah suatu penyakit kelainan metabolism terutama metabolism karbohidrat dan lemak. Penyakit ini disebabkan karena pancreas tidak menghasilkan insulin dalam jumlah yang cukup efektif untuk menurunkan kadar glukosa darah. DM sering diperparah dengan terjadinya stress oksidatif terutama bila kapasitas antioksidan endogen tidak cukup kuat untuk meredam serangan radikal bebas (Bartosikova, dkk. 2003). Diabetes mellitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas, atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin (WHO, 1999). (Anonim 2005,7)

15

Diabetes merupakan suatu grup sindrom heterogen yang semua gejalanya ditandai dengan peningkatan gula darah yang disebabkan oleh defisiensi insulin relative atau absolute. Pelepasan insulin yang tidak adekuat diperberat oleh glucagon yang berlebihan. (Mycek 2001, 259) 1. Gejala Klinik Diabetes seringkali muncul tanpa gejala. Namun demikian ada beberapa gejala yang harus diwaspadai sebagai isyarat kemungkinan diabetes. Gejala tipikal yang sering dirasakan penderita diabetes antara lain poliuria (sering buang air kecil), polidipsia (sering haus), dan polifagia (banyak makan/mudah lapar). Selain itu sering pula muncul keluhan penglihatan kabur, koordinasi gerak anggota tubuh terganggu, kesemutan pada tangan atau kaki, timbul gatal-gatal yang seringkali sangat mengganggu (pruritus), dan berat badan menurun tanpa sebab yang jelas. (Anonim 2005, 20) Disamping naiknya kadar gula darah, gejala kencing manis bercirikan adanya gula dalam kemih (glycosuria) dan banyak berkemih karena glukosa yang diekskresikan mengikat banyak air. Akibatnya timbul rasa sangat haus, kehilangan energi dan turunnya berat badan serta rasa letih. Tubuh mulai membakar lemak untuk memenuhi kebutuhan energinya, yang disertai pembentukan zat-zat perombakan, antara lain aseton, asam hidroksibutirat dan diasetat, yang membuat darah menjadi asam. Keadaan ini yang disebut ketoacidosis, amat berbahaya, karena akhirnya dapat menyebabkan kehilangan kesadaran (coma diabeticum). Napas penderita yang sudah menjadi sangat kurus sering kali juga berbau aseton. (Tan dan Kirana 2003, 693)

16

-

Pada DM Tipe I gejala klasik yang umum dikeluhkan adalah poliuria, polidipsia, polifagia, penurunan berat badan, cepat merasa lelah (fatigue), iritabilitas, dan pruritus (gatal-gatal pada kulit).

-

Pada DM Tipe 2 gejala yang dikeluhkan umumnya hampir tidak ada. DM Tipe 2 seringkali muncul tanpa diketahui, dan penanganan baru

dimulai beberapa tahun kemudian ketika penyakit sudah berkembang dan komplikasi sudah terjadi. Penderita DM Tipe 2 umumnya lebih mudah terkena infeksi, sukar sembuh dari luka, daya penglihatan makin buruk, dan umumnya menderita hipertensi, hiperlipidemia, obesitas, dan juga komplikasi pada pembuluh darah dan syaraf. (Anonim 2005, 20) 2. Diagnosa Diabetes Penggunaan metode untuk mendiagnosa diabetes didasarkan atas beragam tes kimia dari urin dan darah. a. Glukosa urin Pengujian sederhana atau pengujian laboratorium kuantitatif yang lebih kompleks dapat digunakan untuk menjelaskan jumlah glukosa yang lolos dalam urin. Pada umumnya glukosa tidak terdeteksi dalam urin pada manusia normal, namun pada penderita diabetes glukosa dalam urinnya akan terdeteksi. (Guyton 2006, 973) b. Glukosa darah puasa dan kadar insulin Kadar normal glukosa darah puasa pada pagi hari adalah 80 sampai 100 mg/100 ml, dan 110 mg/ 100 ml dianggap lebih tinggi diatas normal. Kadar glukosa darah puasa yang diatas nilai ini sering diindikasikan diabetes mellitus atau sedikit tanda resisten insulin.

17

Pada diabetes tipe I, kadar plasma insulin sangat rendah atau tidak terdeteksi selama puasa dan bahkan setelah makan. Pada diabetes tipe II, konsentrasi glukosa darah lebih tinggi diatas normal dan selalu meningkat pada batas terbesar setelah pemberian glukosa selama uji toleransi glukosa. (Guyton 2006, 975) c. Uji toleransi glukosa Secara normal glukosa yang diberikan kepada orang yang puasa sebanyak 1 gram/kg BB akan meningkatkan kadar glukosa dari 90 mg/100 ml sampai 120-140 mg/100 ml dan kembali pada keadaan normal sekitar 2 jam. Sedangkan pada penderita diabetes, kadar glukosa darah puasa hampir selalu di atas 110 mg/100 ml dan sering di atas 140 mg/100 ml. (Guyton 2006, 975) Berdasarkan uji toleransi glukosa oral, penderita DM Tipe 2 dapat dibagi menjadi 4 kelompok: (Anonim 2005, 17) Kelompok yang hasil uji toleransi glukosanya normal Kelompok yang hasil uji toleransi glukosanya abnormal, disebut

juga Diabetes Kimia (Chemical Diabetes) Kelompok yang menunjukkan hiperglikemia puasa minimal (kadar glukosa plasma puasa < 140 mg/dl) Kelompok yang menunjukkan hiperglikemia puasa tinggi (kadar glukosa plasma puasa > 140 mg/dl). d. Napas berbau aseton

18

Asam asetoasetik yang meningkat di dalam darah penderita diabetes dikonversi menjadi aseton. Hal ini berubah menjadi gas dan keluar malalui pernapasan. Akibatnya, seseorang dapat mendiagnosa diabetes tipe I hanya dengan mencium bau aseton pada napas penderita. (Guyton 2006, 976)

Tabel 1: Kriteria diagnostik gula darah Glukosa plasma Normal Pra diabetes IFG atau IGT Diabetes Keterangan :-

Glukosa plasma 2 jam setelah makan 200 mg/dL

126 mg/dL

IFG : Impaired Fasting Glucose IGT : Impaired Glucose Tolerance (Anonim 2005, 21) 3. Penyebab Diabetes Penyebabnya adalah kekurangan hormon insulin, yang berfungsi memanfaatkan glukosa sebagai sumber energi dan mensintesa lemak. Akibatnya adalah glukosa bertumpuk di dalam darah (hiperglikemia) dan akhirnya diekskresikan lewat kemih tanpa digunakan (glycosuria). (Tjay dan Rahardja 2003, 693) Hiperglikemia timbul akibat berkurangnya insulin sehingga glukosa darah tidak dapat masuk ke sel-sel otot , jaringan adipose atau hepar dan metabolismenya juga terganggu. Dalam keadaan normal, kira-kira 50%

19

glukosa yang dimakan mengalami metabolisme sempurna menjadi CO2 dan air, 5% diubah menjadi glikogen dan kira-kira 30-40% diubah menjadi lemak. Pada DM semua proses tersebut terganggu, glukosa tidak dapat masuk ke sel hingga energi terutama diperoleh dari metabolisme protein dan lemak. Sebenarnya hiperglikemia sendiri relatif tidak berbahaya, kecuali bila hebat sekali hingga darah menjadi hiperosmotik terhadap cairan intra sel. Yang berbahaya adalah glikosuria yang timbul, karena glukosa bersifat diuretik osmotic, sehingga diuresis sangat meningkat disertai hilangnya berbagai elektrolit. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya dehidrasi dan hilangnya elektrolit pada pasien DM yang tidak diobati. Karena adanya dehidrasi maka badan berusaha mengatasinya dengan banyak minum (polidipsia). Badan kehilangan 4 kalori untuk setiap gram glukosa yang diekskresi. Polifagia timbul karena perangsangan pusat nafsu makan di hipotalamus oleh kurangnya pemakaian glukosa di kelenjar itu. (Ganiswarna 2007, 483-485) 4. Jenis-Jenis Diabetes melitus

a) Diabetes Tipe I (diabetes mellitus tergantung insulin, IDDM)

Diabetes tergantung insulin umumnya menyerang anak-anak tetapi IDDM dapat juga terjadi diantara orang dewasa. Penyakit ini ditandai dengan defisiensi insulin absolute yang disebabkan oleh lesi atau nekrosis sel- berat. Hilangnya fungsi sel- mungkin disebabkan oleh invasi virus, kerja toksin kimia, atau umumnya, melalui kerja antibody autoimun yang ditujukan untuk melawan sel-. Akibat dari destruksi sel-, pankreas gagal berespons terhadap masukan glukosa, dan diabetes tipe I menunjukkan gejala klasik defisiensi insulin

20

(polidipsia, polifagia, dan poliuria). Penderita diabetes tipe I memerlukan insulin eksogen untuk menghindar hiperglikemia dan ketoasidosis yang mengancam kehidupannya.

- Penyebab diabetes tipe I Ledakan sekresi insulin pada keadaan normal terjadi setelah menelan makanan sebagai respons terhadap peningkatan sekilas kadar glukosa dan asam amino yang bersirkulasi. Pada periode pasca-absorbsi, kadar insulin basal rendah yang bersirkulasi dipelihara melalui sekres sel-. Walaupun begitu, diabetes tipe I sebenarnya tidak mempunyai fungsi sel-, dan juga tidak berespons terhadap variasi bahan bakar yang bersirkulasi maupun memelihara kadar sekresi basal insulin. Perkembangan neuropati, nefropati, dan retinopati yang progresif secara langsung berkaitan dengan besarnya kontrol glikemik (paling sering diukur sebagai kadar hemoglobin A1c atau hemoglobin glikosilat dalam darah). - Pengobatan diabetes tipe I Diabetes tipe I harus tergantung pada insulin eksogen (suntikan) yang mengontrol hiperglikemia, memelihara kadar hemoglobin glikosilat (HbA1c) yang dapat diterima, dan mencegah ketoasidosis. (Catatan: Tingkat pembentukan HbA1c sebanding dengan

konsentrasi gula darah rata-rata pada beberapa bulan sebelumnya sehingga, HbA1c memberikan suatu ukuran bagaimana berhasilnya pengobatan dalam menormalkan glukosa darah pada diabetes). Tujuan pemberian insulin pada diabetes tipe I adalah untuk

21

memelihara konsentrasi gula darah mendekati kadar normal dan mencegah besarnya belokan kadar glukosa darah yang dapat menyokong timbulnya komplikasi jangka panjang.b) Diabetes tipe II (diabetes melitus tak tergantung insulin, NIDDM)

- Penyebab diabetes tipe II Pada NIDDM, pankreas masih mempunyai beberapa fungsi sel-, yang menyebabkan kadar insulin bervariasi, tetapi tidak cukup untuk memelihara homeostatis glukosa. Pasien dengan diabetes tipe II seringkali gemuk. Diabetes tipe II sering dihubungkan dengan resistensi organ target yang membatasi respons insulin endogen dan eksogen. Pada beberapa kasus, resistensi insulin disebabkan oleh penurunan jumlah atau mutasi reseptor insulin. Walaupun begitu, cacat yang tak terbatas pada peristiwa yang terjadi setelah insulin terikat pada reseptor, dipercaya menyebabkan resistensi pada kebanyakan penderita. - Pengobatan diabetes tipe II Tujuan pada pengobatan diabetes tipe II adalah untuk memelihara konsentrasi glukosa darah dalam batas normal dan untuk mencegah perkembangan komplikasi penyakit jangka lama. Pengurangan berat badan, latihan dan modifikasi diet menurunkan resistensi insulin dan memperbaiki hiperglikemia diabetes tipe II pada beberapa penderita. Walaupun demikian, kebanyakan tergantung pada campur tangan farmakologik dengan obat-obat hiperglikemik oral. Terapi insulin mungkin diperlukan untuk mencapai kadar glukosa darah serum yang memuaskan. (Mycek 2001, 260-261)

22

Tabel 2: Perbedaan DM Tipe1dengan DM Tipe 2 DM Tipe I Mula muncul Umumnya masa kanakkanak dan remaja, walaupun ada juga pada masa dewasa < 40 tahun Keadaan klinis saat Berat diagnosis Kadar insulin darah Berat badan Pengelolaan disarankan Rendah, tak ada Biasanya kurus yang Terapi insulin, diet, Olahraga Cukup tinggi, normal Berat atau normal Diet, olahraga, hipoglikemik oral (Anonim 2005, 17) F. Insulin Insulin merupakan protein kecil yang mengandung 2 rantai polipeptida yang dihubungkan oleh ikatan disulfida. Disintesis sebagai protein prekursor (pro-insulin) yang mengalami pemisahan proteolitik untuk membentuk insulin dan peptida C, keduanya disekresi oleh sel pankreas. 1. Sekresi insulin Sekresi insulin diatur tidak hanya oleh kadar glukosa darah tetapi juga oleh hormon lain dan mediator autonomik. Sekresi insulin umumnya dipacu oleh ambilan glukosa darah yang tinggi dan difosforilasi dalam sel Ringan DM Tipe II Pada usia tua,umumnya > 40 tahun

23

pankreas.

Kadar

adenosin

trifosfat (ATP)

meningkatkan

dan

menghambat saluran K+, menyebabkan membran sel depolarisasi dan influx Ca+, yang menyebabkan pulsasi eksositosis insulin. (Catatan: Glukosa yang diberikan secara suntikan mempunyai efek lebih rendah terhadap sekresi insulin dari pada glukosa yang diberikan per-oral, karena pemberian glukosa per-oral merangasang produksi hormon pencernaan oleh usus, yang kemudian merangsang sekresi insulin oleh pankreas.) (Mycek 2001, 261) 2. Disribusi dan metabolisme insulin Insulin dalam darah beredar sebagai monomer, volume distribusinya hampir sama dengan volume cairan ekstra sel. Pada keadaan puasa sekresi insulin ke vena porta sekitar 40 g [ 1 unit (U)] per jam, untuk mencapai kadar 2-4 ng/ml (50-100 U/mL) dalam sirkulasi portal dan disirkulasi perifer 0,5 ng/mL (12 U/mL) atau sekitar 0,1 nM. Setelah makan,

kadarnya dalam darah portal cepat meningkat tetapi peningkatannya di perifer sedikit lebih rendah. Tujuan terapi insulin untuk mencapai seperti keadaan di atas tetapi ini sukar dicapai dengan penyuntikan subkutan. Pada orang normal dan pasien DM tanpa komplikasi, masa paruh insulin di plasma sekitar 5-6 menit, pada DM yang mempunyai antibodi antiinsulin nilai tersebut memanjang. Proinsulin masa paruhnya lebih panjang ( 17 menit). Insulin dalam peredaran darah didistribusi ke seluruh tubuh melalui cairan ekstrasel. Degradasinya terjadi di hepar, ginjal dan otak; dan sekitar 50% insulin di hepar akan dirusak dan tidak akan mencapai sirkulasi sistemik. Klirens peptide-C di hepar lebih rendah, karenanya masa paruhnya lebih panjang

24

( 30 menit). Hormon ini mengalami filtrasi glomeruli dan reabsorpsi serta degradasi di tubuli ginjal. 3. Mekanisme kerja Insulin Organ target utama insulin dalam mengatur kadar glukosa adalah hepar, otot, dan adiposa. Peran utamanya a.l. uptake, utilisasi,dan penyimpanan nutrient di sel. Efek anabolik insulin meliputi stimulasi, utilisasi dan penyimpanan glukosa, asam amino, asam lemak intrasel; sedangkan proses katabolisme (pemecahan glikogen, lemak dan protein) dihambat. Semua efek ini dilakukan dengan stimulasi transport substrat dan ion ke dalam sel, menginduksi translokasi protein, mengaktifkan dan menonaktifkan enzim spesifik, merubah jumlah protein dengan

mempengaruhi kecepatan transkripsi gen dan translasi mRNA spesifik. 4. Peran Insulin a) Pengaturan kadar glukosa dalam darah Kadar glukosa darah sangat dipengaruhi fungsi hepar, pankreas, adenohipofisis, dan adrenal. Kecuali itu fungsi tiroid, kerja fisik, faktor imunologik dan genetik dapat berpengaruh pada kadar glukosa darah. b) Peran insulin pada transport zat melalui membran Pada otot dan jaringan adipose, insulin memudahkan penyerapan berbagai zat melalui membran, termasuk glukosa dan monosakarida lain, serta asam amino, ion K, nukleosida, dan fosfat anorganik. Beberapa jaringan tubuh memberikan respon berbeda terhadap insulin. Hormon ini dibutuhkan untuk penyerapan glukosa pada otot skelet, otot polos, otot jantung, jaringan lemak, leukosit, lensa mata, humor

25

akuosa dan hipofisis. Sedangkan penyerapan glukosa di otak (kecuali mungkin bagian hipotalamus), tubuli ginjal, mukosa intestinal, eritrosit, tidak dipengaruhi insulin. Jadi insulin merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi mekanisme penyerapan zat melalui membran. c) Pengaruh insulin pada enzim Banyak enzim yang aktifitas perangsangan atau penghambatannya dipengaruhi oleh insulin. Enzim yang aktivitas perangsangannya dipengaruhi oleh insulin adalah enzim yang penting untuk proses glikolisis, yaitu glukokinase, enzim yang perlu untuk sintesis glikogen, juga diaktifkan oleh insulin. Enzim yang dihambat aktivitasnya oleh insulin yaitu ialah enzim yang penting untuk

glukoneogenesis,

glukosa-6-fosfatase,

fruktosa-difosfatase,

fosfoenolpiruvatkinase dan piruvatkarboksilase. Semua enzim tersebut berperan pada reaksi yang sebaliknya dari proses glikolisis. (Ganiswarna 2007, 483-485 ) 5. Farmakoterapi a). Terapi Insulin Untuk terapi, ada berbagai jenis sediaan insulin yang tersedia, yang terutama berbeda dalam hal mula kerja (onset) dan masa kerjanya (duration). Sediaan insulin untuk terapi dapat digolongkan menjadi 4 kelompok, yaitu:-

Insulin masa kerja singkat (Short-acting/Insulin), disebut juga insulin reguler

-

Insulin masa kerja sedang (Intermediate-acting)

26

-

Insulin masa kerja sedang dengan mula kerja cepat Insulin masa kerja panjang (Long-acting insulin)

Respon individual terhadap terapi insulin cukup beragam, oleh sebab itu jenis sediaan insulin mana yang diberikan kepada seorang penderita dan berapa frekuensi penyuntikannya ditentukan secara individual, bahkan seringkali memerlukan penyesuaian dosis terlebih dahulu. Umumnya, pada tahap awal diberikan sediaan insulin dengan kerja sedang, kemudian ditambahkan insulin dengan kerja singkat untuk mengatasi hiperglikemia setelah makan. Insulin kerja singkat diberikan sebelum makan, sedangkan Insulin kerja sedang umumnya diberikan satu atau dua kali sehari dalam bentuk suntikan subkutan. Namun, karena tidak mudah bagi penderita untuk mencampurnya sendiri, maka tersedia sediaan campuran tetap dari kedua jenis insulin regular (R) dan insulin kerja sedang (NPH). (Anonim 2005, 32) b). Terapi Antidiabetik Oral Ada 5 golongan antidiabetik oral (ADO) yang dapat digunakan untuk DM dan telah dipasarkan di Indonesia yakni golongan: sulfonilurea, meglitinid, biguanid, penghambat -glikosidase dan tiazolidinedion. Kelima golongan ini dapat diberikan pada DM tipe 2 yang tidak dapat dikontrol hanya dengan diet dan latihan fisik saja. (Ganiswarna 2007, 489)

27

Tabel 3: Beberapa golongan senyawa hipoglikemik oral beserta mekanisme kerjanya

Golongan Sulfonilurea

Contoh senyawa

Mekanisme Kerja

Gliburida/Glibenklamida Merangsang sekresi insulin Glipizida Glikazida Glimepirida Glikuidon di kelenjar pankreas, sehingga hanya efektif pada penderita diabetes yang sel-sel pankreasnya masih berfungsi dengan baik Merangsang sekresi insulin di kelenjar pankreas

Meglitinida

Repaglinide

Turunan fenilalanin Nateglinide

Meningkatkan sintesis

kecepatan

insulin oleh pankreas Biguanida Metformin Bekerja langsung pada hati (hepar),menurunkan produksi glukosa hati. Tidak merangsang sekresi insulin pankreas. Tiazolidindion Rosiglitazone Troglitazone Pioglitazone Meningkatkan tubuh terhadap dengan Berikatan kepekaan insulin. PPAR oleh kelenjar

(peroxisome

proliferator

activated receptor-gamma) di otot, jaringan lemak, dan hati

28

untuk menurunkan resistensi insulin Inhibitor Acarbose Menghambat kerja enzimenzim mencerna sehingga darah (Anonim 2005, 36) pencenaan yang karbohidrat, memperlambat

Glukosidase Miglitol

absorpsi glukosa ke dalam

G. Pengobatan Dalam Tinjauan Islam Kesehatan merupakan sumber daya yang paling berharga, serta kekayaan yang paling mahal harganya. Ada sebagian orang yang menganggap bahwa agama tidak memiliki kepedulian terhadap kesehatan manusia. Anggapan semacam ini didasari oleh pandangan bahwa agama hanya memperhatikan aspek-aspek rohania belaka tanpa mengindahkan aspek jasmania. Agama hanya memperhatikan hal-hal yang bersifat ukhrawi, dan lalai terhadap segala sesuatu yang bersifat duniawi. Anggapan seperti ini tidak dibenarkan dalam ajaran agama Islam. Sebab pada kenyataannya Islam merupakan agama yang memperhatikan dua sisi kebaikan yaitu kebaikan duniawi dan ukhrawi. (AlQaradhawi 2001, 157) Sebagaimana Islam memperhatikan kesehatan, Islam juga

memperhatikan pengobatan baik yang bersifat kuratif maupun preventif. Dan Islam menentang pengobatan versi dukun dan para tukang sihir yang dalam hal ini melakukan pengobatan dengan berpegang pada mantra yang tidak jelas, seperti guna-guna yang tidak bisa dimengerti, jimat yang digantung ataupun jampi-jampi yang disebarkan oleh penyihir. Atau dengan kata lain, yang

29

dimaksud dengan dukun adalah orang yang mempergunakan setan dan ruh-ruh serta jin-jin jahat sebagai perantara untuk mengobati orang sakit. Mereka tidak mempergunakan pengobatan alternatif yang terdiri dari dzikir, mohon perlindungan kepada Allah, bersandar kepada-Nya, serta bentuk-bentuk lain yang masuk dalam kategori doa dan dzikir. Sebaliknya Islam sangat menghargai bentuk-bentuk pengobatan yang didasari oleh ilmu pengetahuan, penelitian, eksperimen ilmiah dan hukum sebab-akibat. (Al-Qaradhawi 2001, 168-171) Diantara bentuk-bentuk tindakan preventif yang penting ialah

meninggalkan sesuatu yang berlebihan, dan menjauhi makan yang banyak sehingga mengganggu proses pencernaan. Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Al-Araf: 31

Terjemahnya: Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. (Departemen Agama RI 1997, 225) Hal tersebut juga dijelaskan dalam firman Allah SWT QS. Al-Baqarah: 168

30

Terjemahnya: Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. (Departemen Agama RI 1997, 41) Dalam Islam juga dikenal dengan istilah pengobatan yang bersifat kuratif atau tindakan penyembuhan dari penyakit yang diderita seseorang. Pada hakikatnya tidak ada orang yang suka tertimpa penyakit dan siapapun pasti menghendaki agar senantiasa dalam keadaan sehat, karena kegembiraan hati ketika sehat adalah sunnatullah. Dan penyakit apa saja yang menimpa manusia pasti ada obatnya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW : (Al-Juaisin 2001, 59) (Ar-Rumaikhon 2008, 29)

( ) Artinya : Dari Abu Hurairah Ra. dari Nabi Saw. bersabda : Allah tidak menurunkan penyakit kecuali Dia Juga menurunkan obatnya. ( H.R. Al-Bukhari, VII, 12) Ungkapan, Setiap penyakit pasti ada obatnya, artinya bisa bersifat umum, sehingga termasuk di dalamnya penyakit-penyakit mematikan dan berbagai penyakit yang tidak bisa disembuhkan oleh para dokter. Allah sendiri

31

telah

menjadikan

untuk

penyakit

tersebut

obat-obatan

yang

dapat

menyembuhkannya. Akan tetapi ilmu tersebut tidak ditampakkan Allah kepada umat manusia, dan mereka tidak diperkenankan oleh Allah untuk menggapainya. Karena ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh manusia hanyalah sebatas yang diajarkan oleh Allah. Oleh sebab itu, kesembuhan terhadap penyakit dikaitkan oleh Rasulullah dengan proses kesesuaian obat dengan penyakit yang diobati. Karena setiap ciptaan Allah itu pasti ada anti penawarnya. Itu merupakan poin lebih dari hanya sekedar dari keberadaan obat itu. Karena kalau obat itu diberikan dengan cara yang salah, misalnya diberikan dengan dosis yang berlebih dari stadium penyakitnya dalam pemakaiannya atau jumlahnya, atau kuantitasnya lebih dari yang seharusnya, justru itu bisa menyebabkan penyakit lain. Namun kalau dosisnya kurang, juga tidak bisa mengobati. ( Ar-Rumaikhon 2008, 31-32) Obat setiap penyakit itu diketahui oleh orang yang ahli dibidang pengobatan, dan tidak diketahui oleh orang yang bukan ahlinya. Dan Allah menghendaki agar pengobatan itu dipelajari oleh ahlinya agar sesuai dengan penyakit yang akan diobati sehingga akan mendorong kesembuhannya. Hal tersebut dijelaskan dalam hadis yang berasal dari sahabat Jabir ra bahwa Nabi SAW bersabda: (Al-Juaisin 2001, 58-59)

( ) Artinya : Dari Jabir dari Rasulullah Saw. bersabda : Setiap penyakit ada obatnya, maka apabila didapati obat yang cocok untuk menyembuhkan sesuatu penyakit itu akan hilang dengan seizin Allah Azza wajallah. (H.R. Muslim, IV, 1729)

32

Sekelompok orang yang menjadi tenaga ahli pengobatan sudah ada semenjak masa kenabian, juga sebelum itu dan sesudahnya. Salah satu bidang pengobatan yang sudah ada sejak itu adalah ilmu obat alam atau disebut juga dengan farmakognosi. Adapun yang dimaksud dengan farmakognosi adalah ilmu yang mempelajari tentang obat/bahan obat yang berasal dari alam baik dari tumbuhan, hewan maupun mineral. (Abd.Rahim, Tadjuddin Naid, Kamaluddin Abu Nawas 2007, 1) Para ahli dalam bidang ini mengetahui formula obat-obatan, karakteristik dan cara penggunaannya. Diiringi dengan keyakinan mereka bahwa obat itu hanya penyebab perantara kesembuhan saja. Dan Allah lah yang menjadikan penyebab itu semua. Oleh karena itu, hukumnya boleh mempelajari ilmu pengobatan ini dan berobatlah dengannya. (Ar-Rumaikhon 2008, 99-100)

Firman Allah yang terkait dengan pengobatan tradisional dapat dilihat dalam QS. Al-Nahl (16): 69

Terjemahnya: Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu

33

benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan. (Departemen Agama RI 1997, 412)

BAB III METODE PENELITIAN A. Alat dan Bahan Penelitian Alat - alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah chamber, gelas Erlenmeyer (Pyrex) 100 ml, gelas piala (Pyrex) 250 ml, gelas ukur (Pyrex) 10 ; 50 ; dan 100 ml, glukometer (Easy Touch), kanula, kompor listrik (Maspion), labu takar (Pyrex) 50 ml, lampu UV 254 dan 366 nm, lumpang dan alu, Rotavapor (IKA), seperangkat alat maserasi, timbangan kasar, timbangan

analitik ( Precisa XB 220 A ), dan vial. Bahan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah Buncis (Phaseolus vulgaris L.), air suling, etil asetat teknis, glibenklamid, glukosa, nheksan teknis, kloroforom teknis, metanol teknis, Na-CMC, strip glukosa ( Easy Touch ), silika gel 60 GF254 (Merck) dan lempeng KLT silika gel 60 F254 (Merck). B. Metode kerja 1. Penyiapan Sampel

34

a. Pengambilan Sampel Buah Buncis (Phaseolus vulgaris L.) yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari pasar tradisional pabaeng-baeng Kotamadya Makassar Provinsi Sulawesi Selatan . Buah yang diambil adalah buah yang sehat dan tidak berjamur. b. Pengolahan Sampel Buah yang diambil dikumpulkan kemudian dibersihkan dan diangin-anginkan hingga kering di tempat yang tidak terkena paparan sinar matahari langsung. Buah yang telah kering kemudian diserbukkan dan siap diekstraksi. 2. Ekstraksi Sampel Sampel buah buncis yang telah diserbukkan ditimbang sebanyak 300 g dimasukkan ke dalam wadah maserasi, kemudian dilakukan pembasahan dengan merendam serbuk sampel dengan pelarut sebanyak 2 kali bobot sampel dan didiamkan selama 1 jam lalu dimaserasi dengan cara merendam serbuk ke dalam 1 liter pelarut metanol dan disimpan selama 24 jam di tempat yang terlindung dari paparan sinar matahari langsung sambil sesekali diaduk. Filtrat disaring dan residu direndam lagi dalam pelarut yang sama, hal ini dilakukan sebanyak 3 x 24 jam. Filtrat dikumpulkan dan diuapkan menggunakan rotavapor hingga diperoleh ekstrak metanol. 3. Partisi Cair-Padat

35

Ekstrak metanol ditambah pelarut n-heksan, kemudian diaduk hingga diperoleh ekstrak metanol yang larut n-heksan dan tidak larut n-heksan. Dipisahkan antara ekstrak larut n-heksan & tidak larut n-heksan. Dengan cara yang sama ekstrak metanol yang tidak larut n-heksan ditambahkan kembali dengan n-heksan. Hal ini dilakukan hingga tidak ada lagi ekstrak metanol yang larut oleh pelarut n-heksan. Ekstrak metanol, ekstrak metanol larut n-heksan, dan ekstrak metanol tidak larut n-heksan di identifikasi dengan KLT.4. Uji Anti Hiperglikemik

a). Penyiapan Hewan Uji Hewan yang digunakan adalah mencit putih jantan dengan bobot badan sekitar 22-30 gram. Mencit yang digunakan harus sehat dan belum pernah mengalami suatu perlakuan. Sebelum dilakukan penelitian, hewan uji yang hendak dipakai dalam penelitian harus diadaptasikan dulu selama 10-14 hari dengan kondisi lingkungan, makanan, dan minuman yang sama. Hewan uji dipuasakan dulu selama 8-12 jam sebelum digunakan. Mencit yang digunakan sebanyak 15 ekor, dibagi dalam 5 kelompok perlakuan dimana masing-masing kelompok terdiri dari 3 ekor mencit jantan. Kemudian masing-masing ditimbang berat badannya dan tiap 3 ekor hewan uji disimpan dalam 1 kandang. b). Pembuatan Larutan Koloidal NaCMC 1 % Sebanyak 1 g NaCMC dimasukan sedikit demi sedikit ke dalam 50 ml air suling panas (suhu 700 C) sambil diaduk dengan pengaduk elektrik

36

hingga terbentuk larutan koloidal dan dicukupkan volumenya dengan air suling hingga 100 ml. c). Pembuatan Suspensi Glibenklamid Tablet glibenklamid ditimbang sebanyak 10 tablet, kemudian dihitung bobot ratarata tiap tablet. Setelah itu semua tablet glibenklamid dimasukkan kedalam lumpang dan digerus hingga halus dan homogen. Kemudian ditimbang setara dengan 2 mg serbuk glibenklamid. Dimasukkan kembali ke dalam lumpang lalu ditambahkan sedikit demi sedikit larutan koloidal Na-CMC 1% b/v sambil diaduk hingga homogen. Hasilnya dimasukkan ke dalam labu tentukur 50 ml dan dicukupkan volumenya menggunakan larutan koloidal NaCMC 1% b/v hingga 50 ml. d). Pembuatan Larutan Glukosa 10 % b/v Glukosa sebanyak 10 g dimasukan ke dalam labu tentukur 100 ml dan tambahkan dengan air suling sebanyak 50 ml. Aduk hingga larut lalu cukupkan volumenya dengan air suling hingga 100 ml. e). Perlakuan Terhadap Hewan Uji Dibagi kedalam 5 kelompok, Yakni: Kelompok pertama yaitu diberi ekstrak metanol dengan konsentrasi 0,04 % lalu kelompok kedua yaitu diberi ekstrak metanol larut heksan dengan konsentrasi 0,04 % kemudian kelompok ketiga diberi ekstrak metanol tidak larut heksan dengan konsentrasi 0,04% diujikan terhadap mencit dan diberikan secara p.o; Kelompok Kontrol Positif: hewan uji diberi sediaan suspensi glibenklamid 0,002 % secara p.o; Kelompok Kontrol Negatif : hewan uji diberi Na-CMC 1% secara p.o. Semua hewan uji untuk masing-

37

masing kelompok telah diinduksi sebelumnya menggunakan glukosa 10 %, lalu kemudian di ukur kadar glukosa darahnya menggunakan glukometer pada menit ke 0, 60, 120, 180, 240, 300.

C. Pengumpulan dan Analisis Data Data yang telah diperoleh dari hasil pengamatan dianalisis secara statistik menggunakan metode Rancangan Acak Kelompok. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Tabel 5: Hasil penelitian pengaruh pemberian NaCMC 1 % b/v, ekstrak metanol, ekstrak metanol tidak larut heksan, dan ekstrak metanol larut heksan buah Buncis (Phaseolus vulgaris L.) dengan konsentrasi 0,04 %, dan Suspensi Glibenklamid 0,002%

No.

Perlakuan

Kadar Glukosa darah awal (mg/dl) 162,667 161,333 189,000

Persentase Penurunan Kadar Glukosa (%) Jam ke 1 8.607 14.463 20.282 Jam ke 2 15.779 18.182 42.857 Jam ke 3 25.615 27.273 50.088 Jam ke 4 19.263 40.909 66.490 Jam ke 5 15.369 52.479 71.781

1 2 3

NaCMC 1% Eks. MeOH 0,04% Eks. MeOH Tidak larut Heksan

38

0,04% 4 Eks. MeOH Larut Heksan 0,04% Susp. Glibenklamid 0,002% 217,333 30.981 37.116 41.871 41.871 49.080

5

238,333

60.140

65.734

72.028

72.028

71.189

B. Pembahasan Hiperglikemia merupakan keadaan dimana kandungan glukosa yang terdapat dalam darah melebihi keadaan normal (abnormal). Diabetes mellitus adalah suatu grup sindrom heterogen yang semua gejalanya ditandai dengan peningkatan gula darah. Penyebabnya adalah kekurangan hormon insulin, yang berfungsi memanfaatkan glukosa sebagai sumber energi dan mensintesa lemak. Akibatnya adalah glukosa bertumpuk di dalam darah (hiperglikemia) dan akhirnya diekskresikan lewat kemih tanpa digunakan (glycosuria). Pengujian efek penurunan kadar glukosa darah dalam penelitian ini dilakukan secara enzimatik dengan menggunakan metode toleransi glukosa oral dan pengukuran kadar glukosa darah dengan glukometer yang menggunakan metode elektrokimia, yaitu berdasarkan pada pengukuran potensial (daya listrik) yang disebabkan oleh reaksi dari glukosa dengan bahan pereaksi glukosa pada elektroda strip. Sampel darah diserap masuk ke dalam ujung strip uji berdasarkan reaksi kapiler. Apabila darah mengisi ruangan

39

reaksi pada strip uji, kalium ferisianida diuraikan dan glukosa sampel dioksidasi oleh enzim glukosa oxidase, menyebabkan penurunan bilangan oksidasi (kalium heksasianoferat (III) menjadi kalium heksasianoferat (II)). Aplikasi jumlah voltase yang konstan dari meteran mengoksidasi kalium heksasianoferat (II) kembali pada kalium heksasianoferat (III), dan memberikan elektron. Elektron yang dihasilkan untuk menimbulkan arus sebanding dengan kadar glukosa pada sampel. Setelah waktu 10 detik, konsentrasi glukosa dalam sampel ditayangkan pada layar monitor.

Penelitian ini dilakukan untuk melihat efek penurunan kadar glukosa darah ekstrak metanol, ekstrak metanol tidak larut heksan, dan ekstrak larut heksan buah Buncis (Phaseolus vulgaris. L.) pada hewan coba yang digunakan yaitu mencit. Adapun konsentrasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah 0,04 %. Selain itu digunakan juga 2 kelompok hewan coba untuk kontrol, yaitu kontrol positif dan kontrol negatif. Sebagai kontrol positif digunakan Glibenklamid yang merupakan obat antidiabetes oral golongan sulfonilurea. Glibenklamid digunakan sebagai kontrol positif dalam penelitian ini sebab efek penurunan kadar glukosa darahnya (hipoglikemik) yang kuat dibanding obat antidiabetes golongan lain dan mekanisme glibenklamid yaitu merangsang sekresi insulin di kelenjar pankreas, sehingga hanya efektif pada penderita diabetes yang sel-sel pankreasnya masih berfungsi dengan baik, yang mana kondisi tersebut diidentikkan pada hewan coba. Kontrol positif ini digunakan dengan maksud untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang penurunan kadar

40

glukosa darah. Glibenklamid disuspensikan dengan NaCMC 1% karena sifatnya yang praktis tidak larut dalam air. Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit jantan karena memiliki sistem hormonal yang lebih stabil dibanding mencit betina yang mana memiliki kadar glukosa darah lebih tinggi pada saat hamil sebab terjadi peningkatan hormon hiperglikemik. Selain itu kebutuhan nutrisi pada saat hamil meningkat sehingga glukosa yang dihasilkan lebih banyak dibandingkan pada saat tidak hamil sehingga dapat mempengaruhi hasil penelitian. Sebelum perlakuan, mencit dipuasakan terlebih dahulu selama 8 jam dengan maksud untuk menghindari pengaruh makanan pada saat dilakukan pengukuran glukosa darah. Walaupun demikian, faktor biologis dari hewan uji tidak dapat dihilangkan sehingga relatif dapat mempengaruhi hasil penelitian. Hal ini terlihat pada data hasil pengukuran glukosa darah awal pada hewan uji. Larutan glukosa 10 % diberikan pada mencit 1 jam sebelum pemberian sediaan uji yang bertujuan untuk menaikkan kadar glukosa darah yang merupakan kadar glukosa awal, sehingga kemampuan menurunkan glukosa darah dari sediaan uji dapat diamati. Dalam penelitian ini kadar glukosa darah mencit diukur selama 5 jam dengan interval waktu 1 jam. Hal ini dikarenakan waktu yang diperlukan oleh glukosa untuk terabsorbsi dalam tubuh adalah sekitar 40 menit sampai 1 jam dan untuk melihat efek penurunan kadar glukosa yang lebih jelas maka digunakan jangka waktu selama 5 jam setelah pemberian ekstrak. Adapun ekstrak yang digunakan pada penelitian ini adalah ekstrak metanol, ekstrak metanol larut heksan, dan ekstrak metanol tidak larut heksan

41

buah Buncis ( Phaseolus vulgaris L.). Ekstrak metanol diperoleh dari hasil ekstraksi buah Buncis menggunakan cairan penyari metanol dengan metode maserasi selama 3 x 24 jam, metode maserasi yang merupakan ekstraksi cara dingin karena ditakutkan adanya zat aktif yang tidak tahan terhadap pemanasan, selain itu tekstur buah buncis yang lunak sehingga cairan penyari mudah menembus membran sel buah buncis untuk melarutkan zat aktif yang terdapat di dalamnya. Ekstrak metanol larut heksan dan ekstrak metanol tidak larut heksan diperoleh dari hasil partisi menggunakan metode cair-padat. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan maka diperoleh persen penurunan kadar glukosa darah mencit untuk tiap perlakuan pada jam ke 1, 2, 3, 4 dan 5 yaitu pada kelompok hewan coba yang diberikan NaCMC 1 % menunjukkan penurunan kadar glukosa darah sebesar 8.607%, 15.779%, 25.615%, 19.263%, dan 15.369%. Pada kelompok hewan coba yang diberikan ekstrak metanol buah buncis 0,04% b/v, mengalami penurunan kadar glukosa sebesar 14.463%, 18.182%, 27.273%, 40.909%, dan 52.479%. Pada kelompok hewan coba yang diberikan ekstrak metanol tidak larut heksan buah buncis 0,04% b/v, mengalami penurunan kadar glukosa sebesar 20.282%, 42.857%, 50.088%, 66.490%, dan 71.781%. Pada kelompok hewan coba yang diberikan ekstrak metanol larut heksan buah buncis 0,04% b/v, mengalami penurunan kadar glukosa sebesar 30.981%, 37.116%, 41.871%, 41.871%, dan 49.080%. Dan kadar glukosa darah kelompok hewan coba yang diberikan suspensi glibenklamid 0,002% b/v mengalami penurunan sebesar 60.140%, 65.734%, 72.028%, 72.028%, dan 71.189%. Dari hasil tersebut diatas terlihat ada penyimpangan data yaitu pada perlakuan NaCMC 1 % dimana kadar glukosa darah mencit kembali naik pada

42

jam ke 4 sehingga menyebabkan persentase penurunan kadar glukosanya turun dari 25.615% menjadi 19,263%. Hal ini mungkin disebabkan stress yang dialami oleh mencit akibat perlakuan yang diberikan, sehingga saraf simpatoadrenal terangsang dan menghasilkan hormon epinefrin yang dapat meninggikan kadar glukosa darah dengan memacu glikogenolisis. Sedangkan penurunan kadar glukosa darah yang terjadi pada kelompok kontrol negatif selama rentang waktu 5 jam disebabkan karena adanya penggunaan glukosa oleh mencit dalam pembentukan energi dan terjadinya absorbsi glukosa ke dalam sel yang disimpan sebagai gula cadangan. Hasil analisis statistika dengan menggunakan RAK (Rancangan Acak Kelompok) pada perlakuan hewan uji selama 5 jam dengan interval waktu 1 jam, memperlihatkan perbedaan yang sangat nyata pada sumber variasi perlakuan. Hal ini dapat dilihat pada tabel ANAVA dimana nilai F hitung > F tabel pada taraf 5% dan 1%. Dari hasil analisis statistika, juga diperoleh koefisien keseragaman (KK) sebesar 22,289% sehingga dengan nilai KK sebesar ini maka dilanjutkan dengan Uji Duncan. Pada uji lanjutan Duncan, kelompok ekstrak metanol 0,04% berbeda tidak nyata dengan glibenklamid 0,002% pada taraf kepercayaan 5% dan 1% sedangkan antara ekstrak metanol 0,04% dengan NaCMC 1% berbeda nyata. Kelompok ekstrak metanol tidak larut heksan 0,04% berbeda tidak nyata dengan Glibenklamid 0,002% pada taraf kepercayaan 5% dan 1% sedangkan antara ekstrak metanol tidak larut heksan 0,04% dengan NaCMC 1% berbeda sangat nyata, dan ekstrak metanol larut heksan 0,04% berbeda sangat nyata dengan glibenklamid 0,002% sedangkan antara ekstrak metanol larut heksan 0,04% dengan kontrol negatif NaCMC 1% tidak menunjukkan perbedaan

43

yang signifikan, sehingga dapat dikatakan bahwa ekstrak metanol larut heksan buah buncis 0,04% kurang berefek sedangkan ekstrak metanol dan ekstrak metanol tidak larut heksan buah buncis 0,04% keduanya memberikan efek penurunan kadar glukosa darah, tetapi efek ekstrak metanol tidak larut heksan lebih besar daripada efek ekstrak metanol karena menunjukkan perbedaan yang sangat signifikan dengan kontrol negatif.

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan analisa data yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa ekstrak metanol tidak larut heksan 0,04% memberikan

44

efek penurunan kadar glukosa yang lebih besar daripada ekstrak metanol dan ekstrak metanol larut heksan 0,04%. B. Saran1. Disarankan untuk melakukan penelitian dengan menggunakan variasi

konsentrasi pada ekstrak metanol tidak larut heksan buah buncis (Phaseolus vulgaris L.) untuk pengujian penurunan kadar glukosa darah2. Disarankan untuk melakukan penelitian isolasi kandungan kimia buah

buncis (Phaseolus vulgaris L.) dan menguji khasiat Antihiperglikemianya. 3. Disarankan kepada masyarakat secara umum agar lebih menggiatkan penggunaan obat tradisional atau herbal serta dapat menanam tanamantanaman obat sebagai salah satu bentuk swamedikasi.

DAFTAR PUSTAKA Adnan, Mochamad. Teknik Kromatografi untuk Analisis Bahan makanan. Edisi I, Yogyakarta:Penerbit ANDI, 1997 Al-Bukhari, Al-Imam Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Bardazbah al-Jafi, Shahih al-Bukhari, Jilid VII, (Semarang : Maktabah Toha Putra, [t.th.]).

45

Al-Juaisin, Abdullah bin Ali. Kado untuk Orang Sakit. Yogyakarta: Mitra Pustaka; 2001. Al-Naisaburi, Al-Imam Abi al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi, Shahih Muslim, Jilid IV, (Bandung : Maktabah Dahlan, [t.th.]). Al-Qaradhawi, Yusuf. Islam Agama Ramah Lingkungan. Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar; 2001. Arrington, L. R. Introductory Laboratory Animal Science. The Breeding, Care, and Management of Experimental Animals. United States of America : The Interstate Printers and Publishers, Inc; 1972. Ar-Rumaikhon, Ali Bin Sulaiman. Fiqih Pengobatan Islam. Solo: Al Qowam; 2008. Anonim. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia 2000 _______. Farmakope Indonesia. Edisi III, Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1979 _______. Farmakope Indonesia. Edisi IV, Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995 _______.Sediaan galenik. Edisi II, Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1986. _______. Materia medika Indonesia, edisi 5. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1989. Baiquni, Ahmad. Al Quran, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Yogyakarta: Penerbit Dana Bhakti Wakaf. 1994. Bartosikova, L.,Necas J., Suchy V., et al.,Monitoring of antioxidative effect of morine in alloxan-induced diabetes mellitus in the laboratory. Acta Vettt, BRNO, 2003 Dalimartha, Setiawan. Atlas tumbuhan obat Indonesia, Jilid 3. Jakarta : Puspa Swara. 2007. Departemen Agama RI. Al Quran dan Terjemahannya. Surabaya: Penerbit C. V. Jaya Sakti; 1997. Ganiswarna, S. Farmakologi dan Terapi, Ed. V. Jakarta: Bagian Farmakologi FKUI; 2007.

46

Guyton, A. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. Edisi III, Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran, 1995. Harborne, J.B., Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Edisi II, Bandung: Penerbit ITB, 1987 Hariana, Arief. Tumbuhan Obat dan Khasiatnya. Jakarta: Niaga Swadaya. 2007. Heyne, K., Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid II. Badan Penelitian & Pengembangan Kehutanan. 1987 Kumala, poppy. et.al. Kamus Saku Kedokteran Dorland. Edisi 28. Penerbit EGC. 1998. Malole dan Pramono, Penggunaan hewan coba di laboratorium, dirjen pendidikan tinggi antar universitas, bandung. 1989. Mycek, Mary J.dkk. Farmakologi Ulasan Bergambar ,Ed. 2. Jakarta: Widya Medika; 2001. Rahim, Abd, Tadjuddin Naid, Kamaluddin Abu Nawas. Farmakognosi. Makassar: CV. Berkah Utami. 2007. Tjokroprawiro, A. Lima Panduan Utama Pengobatan Diabetes. Surabaya: Pusat Serbuk buah Diabetes dan Nutrisi FK Unair. 2002. buncis 250 Zahmilia, Akbar., Hesti Anggriani, dan Nunung Yuniarti. Pengujian Efek Anti Maserasi dengan metanol Diabetes mellitus Tipe II dari Ekstrak Etanolik Buah Buncis (Phaseolus 3 x Dawley. vulgaris L) Terhadap Tikus Jantan galur Sprague 800 ml Yogyakarta: Fakultas Farmasi UGM.2008. EkstrakMetanol Diuapk anEkstrak Metanol SKEMA Kental

gram (Phaseolus vulgaris L.)

Ampas

KERJA

A. Penyiapan Sampeln-Hexan

Partisi CairPadat

Diuapka n Ekstrak metanol larut Heksan Ekstrak metanol tidak larut Heksan Ekstrak metanol tidak larut Heksan

Uji Anti hiperglikemik

47

Hewan Uji Mencit (Mus musculus) Di ukur kadar glukosa darah awal Diinduksi glukosa 10 % Di ukur kadar glukosa darah setelah diinduksi Ekstrak Metanol 0,04 % b/v Secara p.o Ekstrak metanol Tidak larut Heksan 0,04 % b/v Secara p.o Kontrol pembanding Suspensi Glibenklamid 0,002% b/v

Kontrol (-) Na-CMC 1%

Ekstrak metanol larut Heksan 0,04 % b/v Secara p.o

B. Uji Anti Hiperglikemik

Di ukur kadar glukosa darah pada menit 0, 60, 120, 180, 240, 300.

Hasil Analisisi Data / Pembahasan Kesimpul

48

PERHITUNGAN DOSIS

Perhitungan Dosis dan Pemberian Glibenklamid Konversi dosis mencit dan manusia Dosis lazim untuk manusia Faktor konversi untuk mencit : 5 mg : 0,0026

49

dengan bobot 20 g-

Dosis untuk mencit 20 g

: 5 mg x 0,0026 = 0,013 mg

Penyediaan Sediaan Glibenklamid -

Volume pemberian untuk Dosis untuk mencit 30 g

: 1 ml untuk 30 g BB mencit : 0,013 mg = 0,0195 mg

-

Dibuat stok sebanyak 100 ml

: 100 ml

Jumlah glibenklamid yang dibuat: 0,0195 mg x 100 ml = 1,95 mg 2 mg untuk 100 ml = 0,002 g/100 ml = 0,002 %

Perhitungan glibenklamid yang setara dengan 2 mg -

Berat rata-rata tablet Berat yang ditimbang

: 125,15 mg : 125,15 mg = 50,06 mg

Jadi untuk mendapatkan glibenklamid 2 mg ditimbang bobot tablet sebanyak 50,06 mg yang disuspensikan hingga 100 ml menggunakan NaCMC.

DEFINISI OPERASIONAL KATA (W.B. Sounders, 1998)

ADP

: Adenosin diphosphate, nukleotida, 5pirofosfat dari adenosin, yang berperan dalam metabolisme energi

50

Amputasi

: Amputation, pembuangan suatu anggota badan atau suatu penumbuhan dari badan.

ATP

: Adenosin triphosphate, nukleotida, 5-trifosfat dari adenosin, terlibat dalam metabolisme energi dan diperlukan untuk sintesis RNA.

Degenarasi

: memburuk; perubahan dari bentuk yang lebih tinggi ke bentuk yang lebih rendah; terutama perubahan jaringan menjadi bentuk yang lebih rendah atau kurang aktif fungsinya.

Desensitasi

: pencegahan atau pengurangan reaksi hipersensitivitas sedang dengan pemberian dosis alergen secara bertahap.

Diabetes

: abnormalitas

ringan

dari

toleransi

karbohidrat

yang

dimanifestasi dengan hiperinsulinemia atau hiperglikemia hanya ketika pasien dihadapkan pada pembebanan stress dengan glukosa. Dislipidemia Genetik Herediter : kelainan pada kadar lemak dalam tubuh. : berhubungan dengan reproduksi atau kelahiran atau asal. : penyebaran genetik dari kualitas atau sifat bawaan tertentu dari orang tua kepada keturunannya. Hiperglikemia : peningkatan kandungan glukosa dalam darah secara abnormal Hipertensi Impotensi : tekanan darah arterial yang tetap tinggi. : kekurangan tenaga, terutama tidak adanya kemampuan

bersenggama pada pria akibat kegagalan memulai ereksi atau mempertahankan ereksi hingga ejakulasi.

51

Insulin

: hormon protein berantai ganda yang dibentuk dari proinsulin pada sel beta pulau pankreatik langerhans. Hormon utama pengatur bahan bakar, disekresikan ke dalam darah sebagai respon terhadap meningkatnya kadar glukosa darah atau asam amino darah.

Irreversible Lipotoxicity Obese

: tidak dapat terbentuk kembali : kelainan atau proses kerusakan pada lemak : obesitas yang bermula pada masa dewasa dan ditandai dengan peningkatan dalam ukuran (hipertrofi) sel adipose tanpa peningkatan jumlahnya.

Oral

: berhubungan dengan mulut, dimasukkan melalui atau dikenakan pada mulut.

Postprandial Resistensi

: terjadi setelah makan : Perlawanan atau gaya yang kerjanya berlawanan, atau kemampuan alami untuk tetap tidak terpengaruh oleh agen berbahaya yang ada di lingkungannya.

Sekresi

: proses seluler penguraian dan pelepasan produk spesifik; aktivitas ini dapat berupa pemisahan substansi spesifik darah hingga penguraian substansi kimia baru.

52