skenario d

38
1. Bagaimana penegakan diagnosis TB kasus kambuh? Pasien kambuh adalah pasien yang telah menjalani pengobatan secara teratur dan adekuat sesuai dengan rencana, tetapi dalam control ulangan ternyata sputum BTA kembali positif baik secara mikroskopik langsung ataupun secara biakan. Kasus kambuh yakni pasien yang pernah dinyatakan sembuh dari TB, kemudian timbul lagi TB aktifnya. Frekuensi kekambuhan ini adalah antara 2-10% tergantung pada jenis obat yang dipakai. Umunya kekambuhan terjadi pada tahun pertama setelah pengobatan selesai, dan sebagian besar kumannya masih sensitive terhadap obat-obat yang dipergunakan semula. Penanggulangan terhadap pasien kambuh ini adalah: 1. berikan pengobatan yang sama dengan pengobatan pertama 2. lakukan pemeriksaan bakteriologis optimal yakni periksa sputum BTA mikroskopis lamgsung 3 kali, biakan, dan resistensi 3. evaluasi secara radiologis luasnya kelainan paru 4. identifikasi adakah penyakit lain yang memberatkan tuberculosis seperti diabetes mellitus, alkoholisme, atau pemberian kortikosteroid yang lama 5. sesuaikan obat-obat dengan hasil tes kepekaan resistensi 6. nilai kembali secara ketat hasil pengobatan secara klinis, radiologis, dan bakteriologis tiap –tiap bulan. 2. Manifestasi Klinis

Upload: merta123

Post on 03-Dec-2015

238 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

kedokteran

TRANSCRIPT

1. Bagaimana penegakan diagnosis TB kasus kambuh?

Pasien kambuh adalah pasien yang telah menjalani pengobatan secara teratur dan adekuat sesuai

dengan rencana, tetapi dalam control ulangan ternyata sputum BTA kembali positif baik secara

mikroskopik langsung ataupun secara biakan. Kasus kambuh yakni pasien yang pernah

dinyatakan sembuh dari TB, kemudian timbul lagi TB aktifnya. Frekuensi kekambuhan ini

adalah antara 2-10% tergantung pada jenis obat yang dipakai.

Umunya kekambuhan terjadi pada tahun pertama setelah pengobatan selesai, dan sebagian besar

kumannya masih sensitive terhadap obat-obat yang dipergunakan semula. Penanggulangan

terhadap pasien kambuh ini adalah:

1. berikan pengobatan yang sama dengan pengobatan pertama

2. lakukan pemeriksaan bakteriologis optimal yakni periksa sputum BTA mikroskopis lamgsung

3 kali, biakan, dan resistensi

3. evaluasi secara radiologis luasnya kelainan paru

4. identifikasi adakah penyakit lain yang memberatkan tuberculosis seperti diabetes mellitus,

alkoholisme, atau pemberian kortikosteroid yang lama

5. sesuaikan obat-obat dengan hasil tes kepekaan resistensi

6. nilai kembali secara ketat hasil pengobatan secara klinis, radiologis, dan bakteriologis tiap –

tiap bulan.

2. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Secara klinik terdapat 3 tipe dari reaksi

anafilaktik, yaitu reaksi cepat yang terjadi beberapa menit sampai 1 jam setelah terpapar dengan

alergen; reaksi moderat terjadi antara 1 sampai 24 jam setelah terpapar dengan alergen; serta

reaksi lambat terjadi lebih dari 24 jam setelah terpapar dengan alergen.

Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal baru menjadi berat, tetapi kadang-kadang

langsung berat. Berdasarkan derajat keluhan, anafilaksis juga dibagi dalam derajat ringan,

sedang, dan berat. Derajat ringan sering dengan keluhan kesemutan perifer, sensasi hangat, rasa

sesak di mulut dan tenggorok. Dapat juga terjadi kongesti hidung, pembengkakan periorbital,

pruritus, bersin-bersin, dan mata berair. Awitan gejala-gejala dimulai dalam 2 jam pertama

setelah pemajanan. Derajat sedang dapat  mencakup semua gejala-gejala ringan ditambah

bronkospasme dan edema jalan nafas atau laring dengan dispnea, batuk dan mengi. Wajah

kemerahan, hangat, ansietas, dan gatal-gatal juga sering terjadi. Awitan gejala-gejala sama

dengan reaksi ringan. Derajat berat mempunyai awitan yang sangat mendadak dengan tanda-

tanda dan gejala-gejala yang sama seperti yang telah disebutkan diatas disertai kemajuan yang

pesat kearah bronkospame, edema laring, dispnea berat, dan sianosis. Bisa diiringi gejala

disfagia, keram pada abdomen, muntah, diare, dan kejang-kejang. Henti jantung dan koma jarang

terjadi. Kematian dapat disebabkan oleh gagal napas, aritmia ventrikel atau renjatan yang

irreversible.

Gejala dapat terjadi segera setelah terpapar dengan antigen dan dapat terjadi pada satu

atau lebih organ target, antara lain kardiovaskuler, respirasi, gastrointestinal, kulit, mata, susunan

saraf pusat dan sistem saluran kencing, dan sistem yang lain. Keluhan yang sering dijumpai pada

fase permulaan ialah rasa takut, perih dalam mulut, gatal pada mata dan kulit, panas dan

kesemutan pada tungkai, sesak, serak, mual, pusing, lemas dan sakit perut.

szs

Organ Systems Signs and Symptoms

Cardiovascular Hypotension, tachycardia, arrhytmias

Pulmonary Bronchospasm, cough, dyspnea, pulmonary

edema, laryngeal edema, hypoxia

Dermatogical Urticaria, facial edema, pruritus

  Pada mata terdapat hiperemi konjungtiva, edema, sekret mata yang berlebihan. Pada

rhinitis alergi dapat dijumpai allergic shiners, yaitu daerah di bawah palpebra inferior yang

menjadi gelap dan bengkak. Pada kulit terdapat eritema, edema, gatal, urtikaria, kulit terasa

hangat atau dingin, lembab/basah, dan diaphoresis.

Pada sistem respirasi terjadi hiperventilasi, aliran darah paru menurun, penurunan saturasi

oksigen, peningkatan tekanan pulmonal, gagal nafas, dan penurunan volume tidal. Obstruksi

saluran napas yang komplit adalah penyebab kematian paling sering pada anafilaksis. Bunyi

napas mengi terjadi apabila saluran napas bawah terganggu karena bronkospasme atau edema

mukosa.

Keadaan bingung dan gelisah diikuti pula oleh penurunan kesadaran sampai terjadi koma

merupakan gangguan pada susunan saraf pusat. Pada sistem kardiovaskular terjadi hipotensi,

takikardia, pucat, keringat dingin, tanda-tanda iskemia otot jantung (angina), kebocoran endotel

yang menyebabkan terjadinya edema, disertai pula dengan aritmia. Sementara pada ginjal, terjadi

hipoperfusi ginjal yang mengakibatkan penurunan pengeluaran urine (oligouri atau anuri) akibat

penurunan GFR, yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya gagal ginjal akut.

Hipoperfusi pada sistem hepatobilier mengakibatkan terjadinya nekrosis sel sentral,

peningkatan kadar enzim hati, dan koagulopati. Gejala yang timbul pada sistem gastrointestinal

merupakan akibat dari edema intestinal akut dan spasme otot polos, berupa nyeri abdomen,

mual-muntah atau diare.

Depresi sumsum tulang yang menyebabkan terjadinya koagulopati, gangguan fungsi

trombosit, dan DIC dapat terjadi pada sistem hematologi. Sementara gangguan pada system

neuroendokrin dan metabolik, terjadi supresi kelenjar adrenal, resistensi insulin, disfungsi tiroid,

dan perubahan status mental. Pada keadaan syok terjadi perubahan metabolisme dari aerob

menjadi anaerob sehingga terjadi peningkatan asam laktat dan piruvat. Secara histologis terjadi

keretakan antar sel, sel membengkak, disfungsi mitokondria, serta kebocoran sel.

3. Komplikasi

Komplikasi pada skenario ini dapat berakibat sampai kematian akibat henti napas dan henti

jantung, Kerusakan otak juga dapat terjadi pada kasus syok anafilaktik.

Learning Issue

Syok Anafilaktik

a) DD

Beberapa keadaan dapat menyerupai reaksi anafilaktik. Gambaran klinis yang tidak spesifik dari

anafilaksis mengakibatkan reaksi tersebut sulit dibedakan dengan penyakit lainnya yang

memiliki gejala yang sama. Hal ini terjadi karena anafilaksis mempengaruhi seluruh system

organ pada tubuh manusia sebagai akibat pelepasan berbagai macam mediator dari sel mast dan

basofil, dimana masing-masing mediator tersebut memiliki afinitas yang berbeda pada setiap

reseptor pada sistem organ. Beberapa kondisi yang menyerupai reaksi anafilaksis dan syok

anafilaktik adalah reaksi vasovagal, infark miokard akut, reaksi hipoglikemik, reaksi histeris,

Carsinoid syndrome, Chinese restaurant syndrome, asma bronkiale, dan rhinitis alergika.

Reaksi vasovagal sering dijumpai setelah pasien mandapat suntikan. Pasien

tampakpingsan, pucat dan berkeringat. Tetapi dibandingkan dengan reaksi anafilaktik, pada

reaksi vasovagal nadinya lambat dan tidak terjadi sianosis. Meskipun tekanan darahnya turun

tetapi masih mudah diukur dan biasanya tidak terlalu rendah seperti anafilaktik. Sementara

infarkmiokard akut, gejala yang menonjol adalah nyeri dada, dengan atau tanpa penjalaran.

Gejala tersebut sering diikuti rasa sesak tetapi tidak tampak tanda-tanda obstruksi saluran napas.

Sedangkan pada anafilaktik tidak ada nyeri dada.

Reaksi hipoglikemik, disebabkan oleh pemakaian obat antidiabetes atau sebab lain. Pasien

tampak lemah, pucat, berkeringat, sampai tidak sadar. Tekanan darah kadang-kadang menurun

tetapi tidak dijumpai tanda-tanda obstruksi saluran napas. Sedangkan pada reaksi anafilaktik

ditemui obstruksi saluran napas. Sedangkan pada reaksi histeris, tidak dijumpai adanya tanda-

tanda gagal napas, hipotensi, atau sianosis. Pasien kadang-kadang pingsan meskipun hanya

sementara. Sedangkan tanda-tanda diatas dijumpai pada reaksi anafilaksis.

Carsinoid syndrome, dijumpai gejala-gejala seperti muka kemerahan, nyeri kepala, diare,

serangan sesak napas seperti asma. Chinese restaurant syndrome, dapat dijumpai beberapa

keadaan seperti mual, pusing, dan muntah pada beberapa menit setelah mengkonsumsi MSG

lebih dari 1gr, bila penggunaan lebih dari 5 gr bisa menyebabkan asma. Namun tekanan darah,

kecepatan denyut nadi, dan pernapasan tidak berbeda nyata dengan mereka yang diberi makanan

tanpa MSG.

Asma bronkiale, gejala-gejalanya dapat berupa sesak napas, batuk berdahak, dan suara

napas mengi (wheezing). Dan biasanya timbul karena faktor pencetus seperti debu, aktivitas

fisik, dan makanan, dan lebih sering terjadi pada pagi hari. Rhinitis alergika, penyakit ini

menyebabkan gejala seperti pilek, bersin, buntu hidung, gatal hidung yang hilang-timbul, mata

berair yang disebabkan karena faktor pencetus seperti debu, terutama di udara dingin.

b) WD

Pada pasien dengan reaksi anafilaksis biasanya dijumpai keluhan 2 organ atau lebih setelah

terpapar dengan alergen tertentu. Untuk membantu menegakkan diagnosis maka American

Academy of Allergy, Asthma and Immunology telah membuat suatu kriteria. Kriteria pertama

adalah onset akut dari suatu penyakit (beberapa menit hingga beberapajam) dengan terlibatnya

kulit, jaringan mukosa atau kedua-duanya (misalnya bintik-bintik kemerahan pada seluruh tubuh,

pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir, lidah, uvula), dan salah satu dari respiratory

compromise (misalnya sesak nafas, bronkospasme, stridor, wheezing , penurunan PEF,

hipoksemia) dan penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan dengan disfungsi organ

sasaran (misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia).

Kriteria kedua, dua atau lebih gejala berikut yang terjadi secara mendadak setelah terpapar

alergen yang spesifik pada pasien tersebut (beberapa menit hingga beberapa jam), yaitu

keterlibatan jaringan mukosa kulit (misalnya bintik-bintik kemerahan pada seluruh tubuh,

pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir-lidah- uvula); Respiratory compromise (misalnya

sesaknafas, bronkospasme, stridor, wheezing, penurunan PEF, hipoksemia); penurunan tekanan

darah atau gejala yang berkaitan (misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia); dan gejala

gastrointestinal yang persisten (misalnya nyeri abdominal, kram, muntah).

Kriteria ketiga yaitu terjadi penurunan tekanan darah setelah terpapar pada alergen yang

diketahui beberapa menit hingga beberapa jam (syok anafilaktik). Pada bayi dan anak-anak,

tekanan darah sistolik yang rendah (spesifik umur) atau penurunan darah sistolik lebih dari 30%.

Sementara pada orang dewasa, tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg atau penurunan

darah sistolik lebih dari 30% dari tekanan darah awal.Sedangkan kriteria dari Syok Anafilaksis

sebagai berikut :

1. Secara tiba-tiba onsetnya dan progresi yang cepat dari gejala seperti di bawah ini, yaitu :

- Pasien terlihat baik atau tidak baik

- Kebanyakan reaksi terjadi dalam beberapa menit, jarang reaksi terjadi lebih lambat dari onset.

- Waktu onset reaksi anfilaksis tergantung tipe trigger.

- Trigger intravena akan lebih cepat onsetnya daripada sengatan, dan cenderung disebabkan lebih

cepat onsetnya dari trigger ingesti oral.

- Pasien biasanya cemas dan dapat mengalami “sense of impending”.

2. Life-threatening Airway and/or Breathing and/or Circulation Problems Pasien dapat

mengalami masalah A atau B atau C atau kombinasinya.

Airway Problem :

- Pembengkakan jalan nafas seperti tenggorokan dan lidah membengkak (faring/laring edem).

Pasien sulit bernafas dan menelan dan merasa tenggorokan tertutup.

- Suara Hoarse.

- Stridor, tingginya suara inspirasi karena saluran nafas atas yang mengalami obstruksi.

Breathing Problems :

- Nafas pendek, pengingkatan frekuensi nafas.

- Wheezing.

- Pasien menjadi merasa lelah.

- Kebingungan karena hipoksia.

- Sianosis (muncul biru), ini biasanya pada late sign.

- Respiratory arrest.

Circulation problem

- Tanda syok, pucat, berkeringat.

- Peningkatan frekuensi nadi (takikardi).

- Tekanan darah rendah (hipotensi), merasa ingin jatuh (dizziness), kolaps.

. - Penurunan tingkat kesadaran atau kehilangan kesadaran.

- Anafilaksi dapat menyebabkan iskemik myokardial dan ECG berubah walaupun individu

dengan normal arteri kononer.

- Cardiac arrest.

3. Perubahan Kulit dan/atau Mukosa Sering muncul gambaran pertama dan muncul lebih dari

80% dari reaksi anafilaksis.

Mukosa dan Kulit

- Dapat berlangsung halus atau secara dramatis.

- Mungkin hanya perubahan kulit, hanya perubahan mukosa, atau keduanya.

- Mungkin eritema setengahnya atau secara general, rash merah.

- Mungkin urtikaria yang muncul dimana saja pada tubuh, berwarna pucar, merah muda, atau

merah dan mungkin menunjukan seperti sengatan.

- Angioedema mungkin seperti urtikaria tetapi termasuk pada jaringan lebih dalam sering pada

kelopak mata dan bibir, kadang pada mulut dan tenggorokan

c) Definisi

Secara harafiah, anafilaksis berasal dari kata ana yang berarti balik dan phylaxis yang

berarti perlindungan. Dalam hal ini respons imun yang seharusnya melindungi (prophylaxis)

justru merusak jaringan, dengan kata lain kebalikan dari pada melindungi (anti-phylaxis atau

anaphylaxis).

Anafilaksis adalah reaksi hipersensitivitas yang berat yang diperantarai oleh IgE

(Hipersensitivitas tipe 1) yang mengancam jiwa dan menimbulkan gejala sistemik / generalisata.

Reaksi ini ditandai dengan gangguan pada airway, breathing dan circulation yang mengancam

jiwa dan berkembang dengan cepat. Syok anafilaktik merupakan salah satu manifestasi klinik

dari anafilaksis yang ditandai dengan adanya hipotensi yang nyata dan kolaps sirkulasi darah

sehingga perfusi dan oksigenasi ke jaringan tidak adekuat.

Menurut WHO pada tahun 2003, anafilaksis adalah reaksi hipersensitivitas generalista atau

sistemik yang berat dan mengancam kehidupan. Anafilaksis sendiri dibagi menjadi tiga, alergi,

non alergi, dan idiopatik. Anafilaksis alergi terjadi bila diperantarai suatu mekanisme imunologi,

diperantarai IgE, atau diperantarai antibodi-IgE. Sedangkan anafilaksis non alergi atau pseudo

alergi (atau anafilaktoid ) diperantarai penyebab non imunologi. Sedangkan anafilaksis idiopatik,

yaitu anafilaksis yang tidak diketahui penyebabnya.

d) Epidemiologi

Insiden anafilaksis sangat bervariasi, di Amerika Serikat disebutkan bahwa angka kejadian

anafilaksis berat antara 1-3 kasus/10.000 penduduk, paling banyak akibat penggunaan antibiotik

golongan penisilin dengan kematian terbanyak setelah 60 menit penggunaan obat.

Sementara di Indonesia, khususnya di Bali, angka kematian dari kasus anafilaksis

dilaporkan 2 kasus/10.000 total pasien anafilaksis pada tahun 2005 dan mengalami peningkatan

prevalensi pada tahun 2006 sebesar 4 kasus/10.000 total pasien anafilaksis.

Anafilaksis dapat terjadi pada semua ras di dunia. Beberapa sumber menyebutkan bahwa

anafilaksis lebih sering terjadi pada perempuan, terutama perempuan dewasa muda dengan

insiden lebih tinggi sekitar 35% dan mempunyai risiko kira-kira 20 kali lipat lebih tinggi

dibandingkan laki-laki. Berdasarkan umur, anafilaksis lebih sering pada anak-anak dan dewasa

muda, sedangkan pada orang tua dan bayi anafilaksis jarang terjadi.

e) Etiologi dan Faktor Resiko

Beberapa faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko anafilaksis adalah sifat alergen, jalur

pemberian obat, riwayat atopi, dan kesinambungan paparan alergen. Golongan alergen yang

sering menimbulkan reaksi anafilaksis adalah makanan, obat-obatan, sengatan serangga, dan

lateks. Udang, kepiting, kerang, ikan kacang-kacangan, biji-bijian, buah beri, putih telur, dan

susu adalah makanan yang biasanya menyebabkan suatu reaksi anafilaksis. Obat-obatan yang

bisa menyebabkan anafilaksis seperti antibiotik khususnya penisilin, obat anestesi intravena,

relaksan otot, aspirin, NSAID, opioid,OAT, vitamin B1, asam folat, agen kometerapi seperti

carboplatin dan doxorubicin serta agen biologis seperti antibody monoclonal, selain itu dapat

juga disebabkan oleh obat-obatan herbal.

Pencetus anafilaksis lain yang juga sering terjadi adalah pemakaian media kontras untuk

pemeriksaan radiologic. Media kontras menyebabkan reaksi yang mengancam nyawa pada 0,1 %

dan reaksi yang fatal terjadi antara 1 : 10.000 dan 1 : 50.000 prosedure intravena. Kasus

berkurang setelah dipakainya media kontras yang hyperosmolar.selain itu imunoterapi dan uji

kulit (terutama intradermal) juga dapat berpotensi menyebabkan anafilaksis. Lateks (Natural

Rubber Latex) yang terdapat pada peralatan medis seperti masker, endotracheal tube, sarung

tangan juga dapat mencetuskan reaksi anafilaksis.

Table 1 : Penyebab reaksi anafilaksis dan anafilaktoid

Sedangkan faktor-faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko anafilaksis antara lain:

Atopi

Pada studi berbasis populasi di Olmsted County, 53% dari pasien anafilaksis memiliki riwayat

penyakit atopi. Penelitian lain menunjukkan bahwa atopi merupakan faktor risiko untuk reaksi

anfilaksis terhadap makanan, reaksi anafilaksis yang diinduksi olehlatihan fisik, anafilaksis

idiopatik, reaksi terhadap radiokontras, dan reaksi terhadap latex. Sementara, hal ini tidak

didapati pada reaksi terhadap penisilin dan gigitan serangga.

Cara dan waktu pemberian

Berpengaruh terhadap terjadinya reaksi anafilaksis. Pemberian secara oral lebih sedikit

kemungkinannya menimbulkan reaksi dan kalaupun ada biasanya tidak berat, meskipun reaksi

fatal dapat terjadi pada seseorang yang memang alergi setelahmenelan makanan. Selain itu,

semakin lama interval pajanan pertama dan kedua, semakin kecil kemungkinan reaksi anafilaksis

akan muncul kembali. Hal ini berhubungan dengan katabolisme dan penurunan sintesis dari IgE

spesifik seiring waktu.

Asma

Merupakan faktor risiko yang fatal berakibat fatal. Lebih dari 90% kematian karena anafilaksis

makanan terjadi pada pasien asma.

Penundaan pemberian epinefrin juga merupakan faktor risiko yang berakibat fatal.

Gambar 1: gejala yang ditimbulkan anafilaktik

f) Klasifikasi

Geja;a anafilaktik dapat berupa gejala ringan maupun berat hingga dapat menyebabkan kematian, sehingga reaksi anafilaksis diklasifikasikan menurut Brown terdapat tiga grade anafilaktik, yaitu :

1. Mild (mengenai kulit dan jaringan subkutan saja). : eritema menyeluruh,urticaria, edema periorbital, atau angioedema

2. Moderate (melibatkan pernafasan, system kardiovaskuler, atau pencernaan, shortness of breath, mengi, mual, muntah, dizziness (pre sinkop), diaphoresis, dada atau tenggorokan seperti tertekan, atau sakit di daerah abdomen.

3. Severe (hipoksia, hipotensi, atau gangguan neurologis): sianosis atau SpO2 ≤90% pada stage beberapapun, hipotermi (tekanan darah sistol < 90 mmHg pada dewasa, bingung, kolaps, hilang kesadaran, atau inkontinensia).

Menurut Mueller berdasarkan tingkat keparahnnya, anafilaktik dapat dikelompokkan menjadi 4 grade yaitu :

g) Patofisiologi

Coomb dan Gell (1963) mengelompokkan anafilaksis dalam hipersensitivitas tipe I (Immediate

type reaction). Mekanisme anafilaksis melalui 2 fase, yaitu fase sensitisasi dan aktivasi. Fase

sensitisasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan Ig E sampai diikatnya oleh

reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil. Sedangkan fase aktivasi merupakan

waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang sama sampai timbulnya gejala.

Reaksi hipersensitivitas tipe I, atau tipe cepat ini ada yang membagi menjadi reaksi

anafilaktik (tipe Ia) dan reaksi anafilaktoid (tipe Ib). Untuk terjadinya suatu reaksi selular yang

berangkai pada reaksi tipe Ia diperlukan interaksi antara IgE spesifik yang berikatan dengan

reseptor IgE pada sel mast atau basofil dengan alergen yang bersangkutan.

Reaksi anafilaktoid terjadi melalui degranulasi sel mast atau basofil tanpa peran IgE.

Sebagai contoh misalnya reaksi anafilaktoid akibat pemberian zat kontras atau akibat

anafilatoksin yang dihasilkan pada proses aktivasi komplemen.

Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan ditangkap oleh

Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut kepada Limfosit T, dimana ia

akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13) yang menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadisel

Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi Ig E spesifik untuk antigen tersebut kemudian

terikat pada reseptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil.

Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang menimbulkan reaksi

pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama ke dalam tubuh. Alergen

yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu

pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan

vasoaktif lain dari granula yang di sebut dengan istilah preformed mediators.

Gambar 1 : Patofisiologi Reaksi Anafilaksis

Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari membran sel yang

akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG) yang terjadi beberapa waktu setelah

degranulasi yang disebut newly formed mediators. Fase Efektor adalah waktu terjadinya respon

yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan

aktivitas farmakologik pada organ organ tertentu. Histamin memberikan efek bronkokonstriksi,

meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya menyebabkan edema, sekresi mucus, dan

vasodilatasi. Serotonin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan Bradikinin menyebabkan

kontraksi otot polos.

Platelet activating factor (PAF) berefek bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas

vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan

neutrofil. Prostaglandin leukotrien yang dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi.

Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan terjadinya fenomena

maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini menyebabkan penurunan aliran darah balik

sehingga curah jantung menurun yang diikuti dengan penurunan tekanan darah. Kemudian

terjadi penurunan tekanan perfusi yang berlanjut pada hipoksia ataupun anoksia jaringan yang

berimplikasi pada keaadan syok yang membahayakan penderita.

Gambar 2 : Patofisiologi Reaksi Anafilaksis

Kadar dan Grade Histamin

Histamine (ng/ml) Biological Activities

0-1 Tidak ada reaksi

1-2 Meningkatkan sekresi asam lambung

3-5 Takikardi, reaksi pada kulit (urtikaria,dll)

6-8 Turunnya tekanan arteri

9-12 Spasme bronkus

>100 Cardiac arrest

Derajat dan Tanda Klinis akibat meningkatnya kadar histamin

Derajat Tanda Klinis

I Tanda kutaneus-mukus : eritema, urtikaria dengan atau tanpa angioderma.

II Tanda multiviseral moderat : tanda kutaneus-mukus ± hipotensi ± takikardi ±

dispneu ± gangguan gastrointestinal.

III Tanda mono/multiviseral yang mengancam jiwa : kolaps kardiovaskular,

takikardi atau bradikardi ± cardiac disrythmia ± bronkospasme ± tanda muco-

kutaneus ±gangguan gastrointestinal.

IV Cardiac arrest

h) Manifestasi klinis

Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Secara klinik terdapat 3 tipe dari reaksi

anafilaktik, yaitu reaksi cepat yang terjadi beberapa menit sampai 1 jam setelah terpapar dengan

alergen; reaksi moderat terjadi antara 1 sampai 24 jam setelah terpapar dengan alergen; serta

reaksi lambat terjadi lebih dari 24 jam setelah terpapar dengan alergen.

Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal baru menjadi berat, tetapi kadang-kadang

langsung berat. Berdasarkan derajat keluhan, anafilaksis juga dibagi dalam derajat ringan,

sedang, dan berat. Derajat ringan sering dengan keluhan kesemutan perifer, sensasi hangat, rasa

sesak di mulut dan tenggorok. Dapat juga terjadi kongesti hidung, pembengkakan periorbital,

pruritus, bersin-bersin, dan mata berair. Awitan gejala-gejala dimulai dalam 2 jam pertama

setelah pemajanan. Derajat sedang dapat  mencakup semua gejala-gejala ringan ditambah

bronkospasme dan edema jalan nafas atau laring dengan dispnea, batuk dan mengi. Wajah

kemerahan, hangat, ansietas, dan gatal-gatal juga sering terjadi. Awitan gejala-gejala sama

dengan reaksi ringan. Derajat berat mempunyai awitan yang sangat mendadak dengan tanda-

tanda dan gejala-gejala yang sama seperti yang telah disebutkan diatas disertai kemajuan yang

pesat kearah bronkospame, edema laring, dispnea berat, dan sianosis. Bisa diiringi gejala

disfagia, keram pada abdomen, muntah, diare, dan kejang-kejang. Henti jantung dan koma jarang

terjadi. Kematian dapat disebabkan oleh gagal napas, aritmia ventrikel atau renjatan yang

irreversible.

Gejala dapat terjadi segera setelah terpapar dengan antigen dan dapat terjadi pada satu

atau lebih organ target, antara lain kardiovaskuler, respirasi, gastrointestinal, kulit, mata, susunan

saraf pusat dan sistem saluran kencing, dan sistem yang lain. Keluhan yang sering dijumpai pada

fase permulaan ialah rasa takut, perih dalam mulut, gatal pada mata dan kulit, panas dan

kesemutan pada tungkai, sesak, serak, mual, pusing, lemas dan sakit perut.

szs

Organ Systems Signs and Symptoms

Cardiovascular Hypotension, tachycardia, arrhytmias

Pulmonary Bronchospasm, cough, dyspnea, pulmonary

edema, laryngeal edema, hypoxia

Dermatogical Urticaria, facial edema, pruritus

  Pada mata terdapat hiperemi konjungtiva, edema, sekret mata yang berlebihan. Pada

rhinitis alergi dapat dijumpai allergic shiners, yaitu daerah di bawah palpebra inferior yang

menjadi gelap dan bengkak. Pada kulit terdapat eritema, edema, gatal, urtikaria, kulit terasa

hangat atau dingin, lembab/basah, dan diaphoresis.

Pada sistem respirasi terjadi hiperventilasi, aliran darah paru menurun, penurunan saturasi

oksigen, peningkatan tekanan pulmonal, gagal nafas, dan penurunan volume tidal. Obstruksi

saluran napas yang komplit adalah penyebab kematian paling sering pada anafilaksis. Bunyi

napas mengi terjadi apabila saluran napas bawah terganggu karena bronkospasme atau edema

mukosa.

Keadaan bingung dan gelisah diikuti pula oleh penurunan kesadaran sampai terjadi koma

merupakan gangguan pada susunan saraf pusat. Pada sistem kardiovaskular terjadi hipotensi,

takikardia, pucat, keringat dingin, tanda-tanda iskemia otot jantung (angina), kebocoran endotel

yang menyebabkan terjadinya edema, disertai pula dengan aritmia. Sementara pada ginjal, terjadi

hipoperfusi ginjal yang mengakibatkan penurunan pengeluaran urine (oligouri atau anuri) akibat

penurunan GFR, yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya gagal ginjal akut.

Hipoperfusi pada sistem hepatobilier mengakibatkan terjadinya nekrosis sel sentral,

peningkatan kadar enzim hati, dan koagulopati. Gejala yang timbul pada sistem gastrointestinal

merupakan akibat dari edema intestinal akut dan spasme otot polos, berupa nyeri abdomen,

mual-muntah atau diare.

Depresi sumsum tulang yang menyebabkan terjadinya koagulopati, gangguan fungsi

trombosit, dan DIC dapat terjadi pada sistem hematologi. Sementara gangguan pada system

neuroendokrin dan metabolik, terjadi supresi kelenjar adrenal, resistensi insulin, disfungsi tiroid,

dan perubahan status mental. Pada keadaan syok terjadi perubahan metabolisme dari aerob

menjadi anaerob sehingga terjadi peningkatan asam laktat dan piruvat. Secara histologis terjadi

keretakan antar sel, sel membengkak, disfungsi mitokondria, serta kebocoran sel.

i) Tatalaksana & Preventif

Kalau terjadi komplikasi syok anafilaktik setelah kemasukan alergen baik peroral maupun

parenteral, maka tindakan pertama yang paling penting dilakukan adalah mengidentifikasi dan

menghentikan kontak dengan alergen yang diduga menyebabkan reaksi anafilaksis. Segera

baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih tinggi dari kepala untuk

meningkatkan aliran darah balik vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan

tekanan darah. Tindakan selanjutnya adalah penilaian airway, breathing, dan circulation dari

tahapan resusitasi jantung paru untuk memberikan kebutuhan bantuan hidup dasar.

o Airway / penilaian jalan napas. Jalan napas harus dijaga tetap bebas agar tidak ada sumbatan

sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan leher diatur agar lidah tidak

jatuh ke belakang menutupi jalan napas, yaitu dengan melakukan triple airway manuver yaitu

ekstensi kepala, tarik mandibula ke depan, dan buka mulut. Penderita dengan sumbatan jalan

napas total, harus segera ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi,

atau trakeotomi.

o Breathing support segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak ada tanda-tanda

bernapas spontan, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke hidung. Pada syok anafilaktik yang

disertai udem laring, dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas total atau parsial.

Penderita yang mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong dengan obat-obatan,

juga harus diberikan bantuan napas dan oksigen 5-10 liter/menit.

o Circulation support yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotis atau a. femoralis),

segera lakukan kompresi jantung luar.

Obat-obatan

Sampai sekarang adrenalin masih merupakan obat pilihan pertama untuk mengobati syok

anafilaksis. Obat ini berpengaruh untuk meningkatkan tekanan darah, menyempitkan pembuluh

darah, melebarkan bronkus, dan meningkatkan aktivitas otot jantung. Adrenalin bekerja sebagai

penghambat pelepasan histamin dan mediator lain yang poten. Mekanisme kerja adrenalin adalah

meningkatkan cAMP dalam sel mast dan basofil sehingga menghambat terjadinya degranulasi

serta pelepasan histamine dan mediator lainnya. Adrenalin selalu akan dapat menimbulkan

vasokonstriksi pembuluh darah arteri dan memicu denyut dan kontraksi jantung sehingga

menimbulkan tekanan darah naik seketika dan berakhir dalam waktu pendek.

Pemberian adrenalin secara intramuskuler pada lengan atas, paha, ataupun sekitar lesi pada

sengatan serangga merupakan pilihan pertama pada penatalaksanaan syok anafilaktik. Adrenalin

memiliki onset yang cepat setelah pemberian intramuskuler. Pada pasien dalam keadaan syok,

absorbsi intramuskuler lebih cepat dan lebih baik dari pada pemberian subkutan. Berikan 0,5 ml

larutan 1:1000 (0,3-0,5 mg) untuk orang dewasa dan 0,01 ml/kg BB untuk anak. Dosis diatas

dapat diulang beberapa kali tiap 5-15 menit, sampai tekanan darah dan nadi menunjukkan

perbaikan. Adrenalin sebaiknya tidak diberikan secara intravena kecuali pada keadaan tertentu

saja misalnya pada saat syok (mengancam nyawa) ataupun selama anestesia. Pada saat pasien

tampak sangat kesakitan serta kemampuan sirkulasi dan absorbsi injeksi intramuskuler yang

benar-benar diragukan, adrenalin mungkin diberikan dalam injeksi intravena lambat dengan

dosis 500 mcg (5ml dari pengenceran injeksi adrenalin 1:10000) diberikan dengan kecepatan 100

mcg/menit dan dihentikan jika respon dapat dipertahankan. Pada anak-anak dapat diberi dosis 10

mcg/kg BB(0,1 ml/kg BB dari pengenceran injeksi adrenalin 1:10000) dengan injeksi intravena

lambat selama beberapa menit. Individu yang mempunyai resiko tinggi untuk mengalami syok

anafilaksis perlu membawa adrenalin setiap waktu dan selanjutnya perlu diajarkan cara

penyuntikkan yang benar. Pada kemasan perlu diberi label, pada kasus kolaps yang cepat orang

lain dapat memberikan adrenalin tersebut. Pengobatan tambahan dapat diberikan pada penderita

anafilaksis, obat-obat yang sering dimanfaatkan adalah antihistamin, kortikosteroid, dan

bronkodilator. Pemberian antihistamin berguna untuk menghambat proses vasodilatasi dan

peningkatan peningkatan permeabilitas vaskular yang diakibatkan oleh pelepasan mediator

dengan cara menghambat pada tempat reseptor-mediator tetapi bukan bukan merupakan obat

pengganti adrenalin. Pada keadaan anafilaksis berat antihistamin dapat diberikan intravena.

Untuk AH2 seperti simetidin (300 mg) atau ranitidin (150mg) harus diencerkan dengan 20 ml

NaCl 0,9% dan diberikan dalam waktu 5 menit. Bila penderita mendapatkan terapi teofilin

pemakaian simetidin harus dihindari sebagai gantinya dipakai ranitidin. Antihistamin yang juga

dapat diberikan adalah dipenhidramin intravena 50 mg secara pelan-pelan (5-10 menit), diulang

tiap 6 jam selama 48 jam.

Kortikosteroid digunakan untuk menurunkan respon keradangan, kortikosteroid tidak

banyak membantu pada tata laksana akut anafilaksis dan hanya digunakan pada reaksi sedang

hingga berat untuk memperpendek episode anafilaksis atau mencegah anafilaksis berulang.

Glukokortikoid intravena baru diharapkan menjadi efektif setelah 4-6 jam pemberian.

Metilprednisolon 125 mg intravena dpt diberikan tiap 4-6 jam sampai kondisi pasien stabil (yang

biasanya tercapai setelah 12 jam), atau hidrokortison intravena 200 mg/Kg BB, dilanjutkan

dengan 5 mg/kgBB setiap 6 jam, atau deksametason 0,2 mg/kg BB.

Apabila terjadi bronkospasme yang menetap diberikan aminofilin intravena 4- 7 mg/KgBB

selama 10-20 menit, dapat diikuti dengan infus 0,6 mg/Kg BB/jam, atau aminofilin 5-6mg/Kg

BB yang diencerkan dalam 20 cc dextrosa 5% atau NaCl 0,9% dan diberikan perlahan-lahan

sekitar 15 menit. Pilihan yang lain adalah bronkodilator aerosol (terbutalin, salbutamol). Larutan

salbutamol atau agonis β2 yang lain sebanyak 0,25 cc-0,5 cc dalam 2-4 ml NaCl 0,99% diberikan

melalui nebulisasi.

Apabila tekanan darah tidak naik dengan pemberian cairan, dapat diberikan vasopresor

melalui cairan infus intravena. Larutan 1 ml epineprin 1:1000 dalam 250 ml dextrose

(konsentrasi 4 mg/ml) diberikan dengan infus 1-4 mg/menit atau 15-60 mikrodrip/menit (dengan

infus mikrodrip), bila diperlukan dosis dapat dinaikan sampai dosis maksimum 10 mg/ml, atau

aramin 2-5 mg bolus IV pelan-pelan, atau levarterenol bitartrat 4-8 mg/liter dengan dekstrosa 5%

dengan kecepatan 2ml/menit, atau Dopamin 0,3-1,2 mg/Kg BB/jam secara infus dengan dextrose

5%.

Terapi Cairan.

Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur intravena untuk koreksi

hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular sebagai tujuan utama dalam

mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan akan meningkatkan tekanan darah dan curah

jantung serta mengatasi asidosis laktat. Pemilihan jenis cairan antara larutan kristaloid dan koloid

tetap merupakan mengingat terjadinya peningkatan permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada

dasarnya, bila memberikan larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 3-4 kali dari perkiraan

kekurangan volume plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat diperkirakan terdapat

kehilangan cairan 20-40% dari volume plasma. Sedangkan bila diberikan larutan koloid, dapat

diberikan dengan jumlah yang sama dengan perkiraan kehilangan volume plasma.

Cairan intravena seperti larutan isotonik kristaloid merupakan pilihan pertama dalam

melakukan resusitasi cairan untuk mengembalikan volume intravaskuler, volume nterstitial, dan

intra sel. Cairan plasma atau pengganti plasma berguna untuk meningkatkan tekanan onkotik

intravaskuler.

Observasi

Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok anafilaktik dikirim ke

rumah sakit, karena dapat meninggal dalam perjalanan. Kalau terpaksa dilakukan, maka

penanganan penderita di tempat kejadian harus seoptimal mungkin sesuai dengan fasilitas yang

tersedia dan transportasi penderita harus dikawal oleh dokter. Posisi waktu dibawa harus tetap

dalam posisi telentang dengan kaki lebih tinggi dari jantung. Kalau syok sudah teratasi, penderita

jangan cepat-cepat dipulangkan, tetapi harus diobservasi dulu selama selama 24 jam, 6 jam

berturut-turut tiap 2 jam sampai keadaan fungsi membaik.

Hal-hal yang perlu diobservasi adalah keluhan, klinis (keadaan umum, kesadaran, vital

sign, dan produksi urine), analisa gas darah, elektrokardiografi, dan komplikasi karena edema

laring, gagal nafas, syok dan cardiac arrest. Kerusakan otak permanen karena syok dan gangguan

cardiovaskuler. Urtikaria dan angoioedema menetap sampai beberapa bulan, infark miokard,

aborsi, dan gagal ginjal juga pernah dilaporkan. Penderita yang telah mendapat adrenalin lebih

dari 2-3 kali suntikan, harus dirawat di rumah sakit.

Gambar. Algoritma Resusitasi Syok Anafilaksis

Pencegahan

Pencegahan merupakan langkah terpenting dalam penetalaksanaan syok anafilaktik

terutama yang disebabkan oleh obat-obatan. Melakukan anamnesis riwayat alergi penderita

dengan cermat akan sangat membantu menentukan etiologi dan faktor risiko anafilaksis. Individu

yang mempunyai riwayat penyakit asma dan orang yang mempunyai riwayat alergi terhadap

banyak obat, mempunyai resiko lebih tinggi terhadap kemungkinan terjadinya syok anafilaktik.

Melakukan skin test bila perlu juga penting, namun perlu diperhatian bahwa tes kulit

negatif pada umumnya penderita dapat mentoleransi pemberian obat-obat tersebut, tetapi tidak

berarti pasti penderita tidak akan mengalami reaksi anafilaksis. Orang dengan tes kulit negatif

dan mempunyai riwayat alergi positif mempunyai kemungkinan reaksi sebesar 1-3%

dibandingkan dengan kemungkinan terjadinya reaksi 60%, bila tes kulit positif.

Dalam pemberian obat juga harus berhati-hati, encerkan obat bila pemberian dengan jalur

subkutan, intradermal, intramuskular, ataupun intravena dan observasi selama pemberian.

Pemberian obat harus benar-benar atas indikasi yang kuat dan tepat. Hindari obat-obat yang

sering menyebabkan syok anafilaktik. Catat obat penderita pada status yang menyebabkan alergi.

Jelaskan kepada penderita supaya menghindari makanan atau obat yang menyebabkan alergi. Hal

yang paling utama adalah harus selalu tersedia obat penawar untuk mengantisipasi reaksi

anfilaksis serta adanya alat-alat bantu resusitasi kegawatan. Desensitisasi alergen spesifik adalah

pencegahan untuk kebutuhan jangka panjang.

j) Komplikasi

Komplikasi pada skenario ini dapat berakibat sampai kematian akibat henti napas dan henti

jantung, Kerusakan otak juga dapat terjadi pada kasus syok anafilaktik.

k) Prognosis

Penanganan yang cepat, tepat, dan sesuai dengan prinsip kegawatdaruratan, reaksi

anafilaksis jarang menyebabkan kematian. Namun reaksi anafilaksis tersebut dapat kambuh

kembali akibat paparan antigen spesifik yang sama. Maka dari itu perlu dilakukan observasi

setelah terjadinya serangan anafilaksis untuk mengantisipasi kerusakan sistem organ yang lebih

luas lagi.

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prognosis dari reaksi anafilaksis yang akan

menentukan tingkat keparahan dari reaksi tersebut, yaitu umur, tipe alergen, atopi, penyakit

kardiovaskular, penyakit paru obstruktif kronis, asma, keseimbangan asam basa dan elektrolit,

obat-obatan yang dikonsumsi seperti β- blocker dan ACE Inhibitor, serta interval waktu dari

mulai terpajan oleh alergen sampai penanganan reaksi anafilaksis dengan injeksi adrenalin.

l) SKDI

4A

Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan melakukan penatalaksanaan penyakit

tersebut secara mandiri dan tuntas. Kompetensi yang dicapai pada saat lulus dokter

DAFTAR PUSTAKA

1. Anonym. Anafilaksis (Reaksi Alergi Akut). 2009. Available at:

http://medicastore.com/penyakit/150/Anafilaksis_reaksi_alergi_akut.html .

Accessed on October 18, 2013.

2. Longecker, DE. Anaphylactic Reaction and Anesthesia dalam Anesthesiology.

2008; Chapter 88, hal 1948-1963.

3. Mustafa, SS. Anaphylaxis. April 8, 2013. Available at:

http://emedicine.medscape.com/article/135065-overview . Accessed on October

18, 2013.

4. Balentine, JR. Severe Allergic Reaction (Anaphylactic Shock). 2008. Available

at:

http://www.emedicinehealth.com/severe_allergic_reaction_anaphylactic_shock/

page2_em.htm . Accessed on October 18, 2013.

5. Ewan, PW. Anaphylaxis dalam ABC of Allergies; 1998. BMJ. Vol 316. Hal

1442-1445.

6. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Perioperative and Critical Care

Medicine. In: Belval B, Lebowitz H. Morgan & Mikhail’s Clinical

Anesthesiology. 5th edition. United States: McGraw-Hill; 2013. p. 1217-22.

7. Sampson HA, et al. Clinical Immunology and Allergy. Margaret and Fremantle

Hospitals, Western Australia; 2006.

8. Brown SGA. Clinical Feature and Severity Grading of Anaphylaxis. Allergy

Clinical Immunology. Hobart, Australia; 2004. p.371-376.

9. Simons FER, Camargo Jr CA. Anaphylaxis: Rapid recognition and Treatment.

In: Bochner BS. August 8, 2013. Available at:

http://www.uptodate.com/contents/anaphylaxis-rapid-recognition-and-treatment .

Accessed on October 19, 2013.

10. Mullins RJ, Gold MS, Brown SGA. Anaphylaxis: Diagnosis and Management.

2006. Available at: https://www.mja.com.au/journal/2006/185/5/2-anaphylaxis-

diagnosis-and-management . Accessed on October 19, 2013.