skenario 3 finish
DESCRIPTION
zcTRANSCRIPT
Skenario 3
Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat dan
hidayah-Nyalah kami dapat menyelesaikan laporan tutorial skenario 3 sebagai hasil diskusi
kami yang berkaitan dengan kegiatan tutorial pada Blok XVI semester VI yang berjudul
“Kok aneh sih?”. Dimana dalam skenario ini kami membahas gangguan tumbuh, kembang,
perilaku dan kognitif pada anak, khususnya berkaitan dengan pervasive development disorder
(PDD)
Kami mohon maaf jika dalam laporan ini terdapat banyak kekurangan dalam
menggali semua aspek yang menyangkut segala hal yang berhubungan dengan scenario 3
serta learning objective yang kami cari. Karena ini semua disebabkan oleh keterbatasan kami
sebagai manusia. Tetapi, kami berharap laporan ini dapat memberi pengetahuan serta manfaat
kapada para pembaca.
Mataram, Mei 2010
Kelompok 5
Kelompok 5 i
Skenario 3
Daftar Isi
Kata pengantar .............................................................................................. i
Daftar Isi ...................................................................................................... ii
Skenario 3.................................................................................................... 1
Learning Objective ....................................................................................... 2
Tumbuh kembang anak normal…………………………………………..... 3
Gangguan tumbuh………………………………………………………….. 5
Gangguan kembang………………………………………………………... 7
Gangguan kognisi………………………………………………………….. 13
Gangguan perilaku…………………………………………… …………… 18
Penjelasan DD
1. Autisme dan PDD
PDD…....…………………………………………………............................ 22
Autisme…....…………………………………………………...................... 23
Asperger’s Syndome…....………………………………………………….. 37
Rett Syndrome…....………………………………………………….......... 40
Gagguan Disintergratif …....……………………………………………..... 42
PDD tidak Spesifik…....………………………………………………….... 45
2. ADHD…………………………………………………… ……….. 47
3. Retardasi Mental…………………………………………………….. 55
Daftar Pustaka ............................................................................................... 68
Kelompok 5 ii
Skenario 3
SKENARIO
SKENARIO III : Kok aneh sih?
Ibu Ani membawa anak tunggalnya ke Puskesmas karena khawatir atas tingkah laku aneh Rio, anak laki-lakinya yang berusia 4 tahun. Si ibu menyadari bahwa anaknya mulai bertingkah laku aneh dan berbeda sekali dengan anak-anak sebaya lainnya sejak berumur 2 tahun, tapi ibu Ani masih ragu apakah anaknya memang sakit atau karena manja saja. Rio selalu menolak kehadiran orang lain dan terlihat lebih asyik bermain sendiri dengan mobil-mobilannya yang sudah usang. Bukan itu saja, jika Rio mendengar suara yang agak keras, Rio langsung terlihat sangat ketakutan. Ucapannya juga sulit dimengerti sehingga Ibu Ani merasa bingung apa yang sebenarnya diminta oleh anak kesayangannya tersebut. Jika sudah demikian, Rio pasti marah dan Ibu Ani akan sangat kesulitan menenangkan Rio. Rio juga belum bisa berjalan sendiri. “Ibu Ani sering diingatkan oleh kader posyandu disekitar tempat tinggalnya untuk segera memeriksakan anaknya tersebut karena curiga jangan-jangan Rio menderita gangguan perilaku dan tumbuh kembang atau bahkan cacat mental????
Kelompok 5 1
Skenario 3
LEARNING OBJECTIVE
1. Tumbuh kembang anak normal
2. Penjelasan mengenai gangguan tumbuh, kembang, kognisi dan perilaku
a. Definisi
b. klasifikasi
3. Penjelasan differential diagnose (DD) pada skenario
a. autisme dan PDD
b. ADHD
c. retardasi mental
- Definisi
- Klasifikasi
- Etiologi
- Faktor Resiko
- Patofisiologi
- Manifestasi Klinis
- Diagnosis
- Terapi
- Komplikasi
- Prognosis
- Pencegahan
Kelompok 5 2
Skenario 3
TUMBUH KEMBANG ANAK NORMAL
Istilah tumbuh kembang sebenarnya mencakup dua peristiwa yang sifatnya berbeda,
tetapi saling berkaitan dan sulit dipisahkan, yaitu pertumbuhan dan perkembangan.
Pertumbuhan berkaitan dengan masalah perubahan dalam besar, jumlah, atau ukuran, yang
bisa diukur dengan ukuran berat (gram, kilogram) dan ukuran panjang (cm, meter),sedangkan
perkembangan adalah bertambahnya kemampuan dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih
kompleks dari seluruh bagian tubuh sehingga masing-masing dapat memenuhi fungsinya.
Termasuk juga perkembangan emosi, intelektual dan tingkah laku sebagai hasil berinteraksi
dengan lingkungannya.
Secara umum terdapat dua faktor utama yang mempengaruhi tumbuh kembang anak,
yaitu:
1. Faktor genetik
Faktor genetik ini yang menentukan sifat bawaan anak tersebut. Kemampuan anak
merupakan ciri-ciri yang khas yang diturunkan dari orang tuanya.
2. Faktor lingkungan
Yang dimaksud lingkungan yaitu suasana di mana anak itu berada. Dalam hal ini
lingkungan berfungsi sebagai penyedia kebutuhan dasar anak untuk tumbuh kembang
sejak dalam kandungan sampai dewasa. Lingkungan yang baik akan menunjang tumbuh
kembang anak, sebaliknya lingkungan yang kurang baik akan menghambat tumbuh
kembangnya
Kelompok 5 3
Skenario 3
Kebutuhan dasar anak untuk tumbuh kembang, secara umum dibagi menjadi 3
kebutuhan dasar yaitu:
1. Kebutuhan fisik-biomedis (”ASUH”)
Meliputi:
pangan/gizi
perawatan kesehatan dasar: imunisasi, pemberian ASI, penimbangan yang teratur,
pengobatan
pemukiman yang layak
kebersihan perseorangan, sanitasi lingkungan
pakaian
rekreasi, kesegaran jasmani
2. Kebutuhan emosi/kasih sayang (”ASIH”)
Kasih sayang dari orang tua akan menciptakan ikatan yang erat dan kepercayaan dasar
untuk menjamin tumbuh kembang yang selaras baik fisik, mental, atau psikososial.
3. Kebutuhan akan stimulasi mental (”ASAH”)
Stimulasi mental mengembangkan perkembangan kecerdasan, kemandirian, kreativitas,
agama, kepribadian, moral-etika, produktivitas dan sebagainya.
Anak yang mendapat ASUH, ASIH, dan ASAH yang memadai akan mengalami tumbuh
kembang yang optimal sesuai dengan potensi genetik yang dimilikinya.
Kelompok 5 4
Skenario 3
GANGGUAN PERTUMBUHAN
Pada gangguan pertumbuhan, terdapat beberapa indicator yang dapat dijadikan
sebagai tolok ukur suatu pertumbuhan pada anak seperti tinggi, berat, jumlah gigi dan lingkar
kepala anak tersebut. Masing-masing indicator tersebut memiliki nilai-nilai normal sesuai
dengan tinngkat umur, berikut merupakan beberapa nilai-nilai normal yang bisa digunakan
sebagai acuan dalam menentukan tingkat pertumbuhan
Tinggi badan
Berat badan
Umur BERAT (Kg)
Baru lahir
3 - 12 bulan
1 – 6 tahun
6 –12 tahun
2.5 – 3.5
Umur (bl) + 9 / 2
Umur (th) x 2 + 8
Umur (th) x 7 – 5 / 2
Kelompok 5 5
Skenario 3
Lingkar kepala
UMUR L.K. (Cm)
Baru lahir
1 tahun
1 – 2 tahun
3 – 5 tahun
5 – pubertas
dewasa
33 – 35
+ 10
45 – 48
49 – 52
+ 1.25 per 5 tahun
52 – 55
Jumlah gigi
Kelompok 5 6
Skenario 3
GANGGUAN PERKEMBANGAN
Periode penting dalam tumbuh kembang anak adalah masa balita, karena pada masa
ini pertumbuhan dasar yang akan mempengaruhi dan menentukan perkembangan anak
selanjutnya. Pada masa balita ini kemampuan berbahasa, kreativitas, sosial, emosional dan
intelegensia berjalan sangat cepat dan merupakan landasan perkembangan berikutnya.
Perkembangan moral serta dasar-dasar kepribadian juga dibentuk pada masa ini.
Deteksi dini perkembangan anak dilakukan dengan cara pemeriksaan perkembangan
secara berkala, apakah sesuai dengan umur atau telah terjadi penyimpangan dari
perkembangan normal. Empat parameter yang dipakai dalam menilai perkembangan anak
adalah:
1. Gerakan motorik kasar (pergerakan dan sikap tubuh).
Paling terprogram dengan urutan tertentu dan tidak ada hubungan dengan kepandaian.
Tahapan :
a. tengkurap : 4 bulan
b. duduk : 6-7 bulan
c. merangkak : 7-8 bulan
d. berdiri : 9-10 bulan
e. berjalan : 1-1,5 tahun
2. Gerakan motorik halus (menggambar, memegang suatu benda dll).
Aspek yang berhubungan dengan kemampuan anak untuk mengamati sesuatu, melakukan
gerakan yang melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu saja dan dilakukan otot-oto kecil,
tetapi memerlukan koordinasi yang cermat.Berkaitan dengan penglihatan dan menyangkut
keterampilan.
a. Baru lahir : menjulurkan tangan ke benda, jari terkepal
b. 3 bulan : menjulurkan tangan dengan bantuan penglihatan, mencoba mengggapai
dengan sengaja
c. 4 bulan : telapak tangan mulai membuka
d. 5 bulan : memegang dengan tangan
e. 1 tahun : menjipit
Gangguan jari terkepal erat umur 4 bulan, tidak bisa menjimpit umur 1 tahun, tetap
memasukkkan benda ke mulut disertai ngiler berlebihan umur 2 tahun.
3. Bahasa (kemampuan merespon suara, mengikuti perintah, berbicara spontan).
Kelompok 5 7
Skenario 3
Faktor penentu kecerdasan anak. Gangguan berupa tidak bisa bicara, bicara terlambat,
bicara bukan untuk komunikasi/bicara aneh.
Bicara terlambat tidak tersenyum sosial pada usia 10 minggu, tidak mengeluarkan suara
sebagai jawaban usia 3 bulan, tidak ada perhatian terhadap sekitar usia 8 bulan, tidak
bicara usia 15 bulan, tidak bicara 3-4 kata pada usia 20 bulan.
Penyebab : gangguan pendengaran, kurang pandai, gangguan organ mulut, tidak diajak
bicara, bicara 2-3 bahasa, autism.
4. Kepribadian/tingkah laku (bersosialisasi dan berinteraksi dengan lingkungannya).
Ciri-ciri perkembangan anak
1. Perkembangan dimulai pada masa prenatal dan proses belajar dimulai setelah lahir.
Sering dikira bahwa proses belajar baru dimulai pada saat anak masuk sekolah formal.
Padahal proses belajar sudah dimulai sebelum anak masuk sekolah. Oleh karena itu,
perhatian terhadap perkembangan dan proses belajar harus dimulai pada waktu
prenatal dan pascanatal dan ini berlangsung terus.
2. Perkembangan mempunyai berbagai dimensi yang saling berhubungan.
Perkembangan termasuk fisik,kognitif, social, spiritual, dan emosional saling
mempengaruhi satu sama lain dan semuanya tumbuh secara simultan. Kemajuan di
satu bidang akan mempengaruhi kemajuan di bidang lainnya. Dan sebaliknya
keterlambatan pada satu bidang akan berdampak pula pada bidang yang lain. Contoh :
pada anak malnutrisi kemampuan untuk belajar di bawah normal, anak yang
mempunyai masalah belajar sering kurang percaya diri, dan sebagainya.
3. Perkembangan berlangsung pada tahap yang dapat diramalkan dan proses belajar
terjadi pada sekuen yang dapat dimengerti; tetapi terdapat variasi yang besar dari
individu dalam kecepatan perkembangan dan cara belajarnya. Ini penting untuk orang
tua agar menggunakan cara yang sesuai dengan pola perkembangan anaknya. Tidak
ada manfaatnya mengajarkan konsep dan memberikan tugas sebelum perkembangan
anak siap untuk itu.
4. Perkembangan dan belajar terus berlangsung berkelanjutan sebagai hasil dari interaksi
dengan orang, benda, dan lingkungan sekitarnya. Peran orang dewasa baik di rumah
maupun di tempat lain dalam mendukung proses belajar anak, adalah member
kesempatan pada anak untuk bekerja dengan benda yang konkrit, mempunyai
kesempatan memilih, melakukan eksplorasi pada benda atau ide, bereksperimen dan
Kelompok 5 8
Skenario 3
mendapatkan suatu penemuan. Anak juga membutuhkan kesempatan untuk
berinteraksi dengan teman sebaya dan orang dewasa di dalam lingkungan yang aman,
sehingga memberikan anak keamanan dan kenyamanan.
5. Anak sebagai peserta aktif dalam proses perkembangan dan belajarnya. Anak harus
diberi kesempatan membangun pengetahuannya melalui eksplorasi, interaksi dengan
bahan dan meniru peran.
Masalah Perkembangan Anak
Masalah perkembangan yang sering timbul antara lain :
1. Gangguan Perkembangan Fisik
Untuk mengetahui masalah tumbuh kembang fisik pada anak, perlu pemantauan yang
continue. Dengan pemantauan berat badan, tinggi badan, lingkar kepala, umur tulang dan
pertumbuhan gigi maka dapat diketahui adanya kelainan tumbuh kembang fisik pada anak.
2. Gangguan Perkembangan Motorik
Perkembangan motorik yang lambat dapat disebabkan oleh hal-hal di bawah ini, yaitu :
a. Faktor keturunan
Pada keluarga tersebut perkembangan motorik rata-rata lambat
b. Factor lingkungan
Anak yang tidak mendapat kesempatan belajar, misalnya anak yang terus digendong
atau ditaruh di “baby walker” terlalu lama. Juga anak yang mengalami deprivasi
maternal sering mengalami keterlambatan motorik.
c. Factor kepribadian
Anak yang penakut, takut jatuh
d. Retardasi mental
Sebagian besar anak dengan retardasi mental mengalami keterbatasan gerak motorik
e. Kelainan tonus otot
Anak dengan palsi serebral , sering terjadi keterbatasan perkembangan motorik akibat
dari spastisitas, athetosis, ataksia, atau hipotonia. Kelemahan tendon dan kelainan pada
sumsum tulang belakang (gross spinal defect), juga sering disertai dengan
keterlambatan motorik.
f. Obesitas
Walaupun obesitas dapat mengakibatkan gangguan perkembangan motorik, tetapi
tidak semua anak obesitas mengalami keterlambatan motorik.
Kelompok 5 9
Skenario 3
g. Penyakit Neuromuskular
Pada anak yang menderita penyakit Duchence muscular dystrophy sering terlambat
berjalan
h. Buta
Anak yang buta sering terlambat berjalan mungkin akibat tidak diberi kesempatan
berjalan.
Sedangkan gangguan motorik halus lebih sedikit variasinya . Gangguan perkembangan
motorik halus sering menyertai retardasi mental dan palsi serebralis.
3. Gangguan Perkembangan Bahasa
Gangguan perkembangan bahasa pada anak dapat disebabkan berbagai factor, yaitu
adanya factor genetic, gangguan pendengaran, intelegensi rendah, kurangnya interaksi
anak dengan lingkungan, maturasi yang terlambat, factor keluarga, kembar, psikosis,
gangguan lateralisasi, masalah-masalah yang berhubungan dengan disleksia dan afasia.
Sedangkan gagap, dapat disebabkan oleh tekanan dari orang tua agar anak bicara dengan
jelas, factor keluarga/termasuk anak yang meniru cara bicara keluarganya yang gagap,
gangguan lateralisasi, rasa tidak aman, factor konstitusi, dan kepribadian anak. Selain itu
gangguan bicara dapat juga disebabkan oleh bibir sumbing atau sumbing
palatum,maloklusi, adenoid, dan serebral palsy. Frenulum lidah (tongue-tie) yang pendek
juga dapat mengakibatkan gangguan bicara.
4. Gangguan Fungsi Vegetatif
a. Ganguan makan
Ruminasi
Pica
Bulimia
Anoreksia nervosa
b. Gangguan fungsi eliminasi
Eneuresis
Encopresis
c. Gangguan tidur
Dissomnia
Parasomnia
d. Gangguan kebiasaan
Termasuk fenomena akibat pelampiasan stress, seperti membentur-benturkan kepala,
mengoyang-goyangkan tubuh, menghisap jari, menggigit kuku, mencabut rambut,
Kelompok 5 10
Skenario 3
menggerakkan gigi, memukul-mukul atau mencubit salah satu bagian tubuhnya,
manipulasi tubuh, mengulang kata-kata, menahan nafas,aerofagia, dan tiks.
5. Kecemasan
Kecemasan pada umumnya merupakan bagian perkembangan. Tetapi bila kecemasan ini
berlebihan sehingga mempunyai efek terhadap interaksi social dan perkembangan anak,
maka merupakan hal yang patologis yang memerlukan suatu intervensi. Contoh : fobia
sekolah, kecemasan berpisah (separation anxiety disorder), fobia social (childhood-onset
social phobia), kecemasan setelah mengalami trauma (post-traumatic stress disorder).
6. Gangguan Suasana Hati (mood disorders)
Sering pada anak-anak dan remaja. Gangguan tersebut antara lain adalah major
depression yang ditandai dengan disforia, kehilangan nafsu minat, sukar tidur, sukar
konsentrasi, dan nafsu makan yang terganggu. Pada dysthymic disorder, kelainan disforia
lebih intermitten dari major depression, dengan periode suasana hati normal dapat
berlangsung beberapa hari sampai minggu, kelainan ini lebih kronis.Bipolar disorder
adalah ditandai dengan suasana hati yang cepat berubah.
7. Bunuh Diri dan Percobaan Bunuh Diri
Merupakan penyebab kematian no.2 pada remaja di Negara barat. Bunuh diri sering
merupakan penyelesaian masalh psikologi dan lingkungan remaja.
8. Gangguan Kepribadian yang Terpecah (disruptive behavioural disorder)
Kelainan ini mungkin sebagai akibat dari frustasi atau kemarahan. Contohya: berbohong,
membangkang, temper tantrum, dan agresif.
9. Gangguan Perilaku Social
Gangguan perilaku social antara lain: transeksualisme, transvestism, dan homoseksual
10. Gangguan Perkembangan Pervasive dan Psikosis pada Anak
Gangguan perkembangan pervasive meliputi autism (gangguan komunikasi verbal dan
nonverbal, gangguan perilaku dan interaksi social), kelainan asperger (gangguan interaksi
social, perilaku yang terbatas dan diulang-ulang,obsesif), childhood disintegrative
disorder (demensia Heller), dan kelainan Rett (kelainan X-linked dominan pada anak
perempuan)
11. Disfungsi Neurodevelopmental pada anak usia sekolah
Kelompok 5 11
Skenario 3
Disfungsi susunan saraf pusat sering disertai dengan kemampuan akademik yang dibawah
normal, kelainan perilaku dan masalah dalam interaksi social. Kelainan itu antara lain
adalh ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disoder), dan disleksia.
12. Kelainan Saraf dan Psikiatrik akibat Trauma Otak
Trauma otak meningkatkan resiko gangguan intelektual maupun psikiatris, terutama bila
trauma berat. Kelainan yang didapat pada waktu prenatal akibat ibu kecanduan obat
terlarang, peminum alcohol, dan perokok berat juga salah satu penyebabnya. Selain itu
dapat sebagai akibat dari infeksi (ensefalitis dan meningitis),kecelakaan, intoksikasi,
genetic, penyakit metabolic, dan penyakit idiopatik yang menyerang otak.
13. Penyakit Psikosomatik
Konflik psikologis dapat memberikan gejala somatic yang disebut sebagai psikosomatik.
Contoh: kelainan konversi, hipokondriasis, sindrom Muncahusen by proxy, reflex
sympathetic dystrophy.
Stimulasi Dalam Tumbuh Kembang Anak
Kemampuan dan tumbuh kembang anak perlu dirangsang oleh orang tua agar anak
dapat tumbuh dan berkembang secara optimal dan sesuai umurnya. Stimulasi adalah
perangsangan (penglihatan, bicara, pendengaran, perabaan) yang datang dari lingkungan
anak. Anak yang mendapat stimulasi yang terarah akan lebih cepat berkembang dibandingkan
anak yang kurang bahkan tidak mendapat stimulasi.
Stimulasi juga dapat berfungsi sebagai penguat yang bermanfaat bagi perkembangan
anak. Berbagai macam stimulasi seperti stimulasi visual (penglihatan), verbal (bicara), auditif
(pendengaran), taktil (sentuhan) dll dapat mengoptimalkan perkembangan anak.
Pemberian stimulasi akan lebih efektif apabila memperhatikan kebutuhan- kebutuhan
anak sesuai dengan tahap-tahap perkembangannya. Pada tahap perkembangan awal anak
berada pada tahap sensori motorik. Pemberian stimulasi visual pada ranjang bayi akan
meningkatkan perhatian anak terhadap lingkungannya, bayi akan gembira dengan tertawa-
tawa dan menggerak-gerakkan seluruh tubuhnya. Tetapi bila rangsangan itu terlalu banyak,
reaksi dapat sebaliknya yaitu perhatian anak akan berkurang dan anak akan menangis.
Pada tahun-tahun pertama anak belajar mendengarkan. Stimulus verbal pada periode
ini sangat penting untuk perkembangan bahasa anak pada tahun pertama kehidupannya.
Kualitas dan kuantitas vokal seorang anak dapat bertambah dengan stimulasi verbal dan anak
Kelompok 5 12
Skenario 3
akan belajar menirukan kata-kata yang didengarnya. Tetapi bila simulasi auditif terlalu
banyak (lingkungan ribut) anak akan mengalami kesukaran dalam membedakan berbagai
macam suara.
Stimulasi visual dan verbal pada permulaan perkembangan anak merupakan stimulasi
awal yang penting, karena dapat menimbulkan sifat-sifat ekspresif misalnya mengangkat alis,
membuka mulut dan mata seperti ekspresi keheranan, dll. Selain itu anak juga memerlukan
stimulasi taktil, kurangnya stimulasi taktil dapat menimbulkan penyimpangan perilaku sosial,
emosional dan motorik.
Perhatian dan kasih sayang juga merupakan stimulasi yang diperlukan anak,misalnya
dengan bercakap-cakap, membelai, mencium, bermain dll.. Stimulasi ini akan menimbulkan
rasa aman dan rasa percaya diri pada anak, sehingga anak akan lebih responsif terhadap
lingkungannya dan lebih berkembang.
Pada anak yang lebih besar yang sudah mampu berjalan dan berbicara, akan senang
melakukan eksplorasi dan manipulasi terhadap lingkungannya. Motif ini dapat diperkuat atau
diperlemah oleh lingkungannya melalui sejumlah rekasi yang diberikan terhadap perilaku
anak tersebut. Misalnya anak akan belajar untuk mengetahui perilaku mana yang membuat
ibu senang/mendapat pujian dari ibu, dan perilaku mana yang mendapat marah dari ibu. Anak
yang dibesarkan dalam lingkungan yang responsif akan memperlihatkan perilaku eksploratif
yang tinggi. Stimulasi verbal juga dibutuhkan pada tahap perkembangan ini. Dengan
penguasaan bahasa, anak akan mengembangkan ide-idenya melalui pertanyaan-pertanyaan,
yang selanjutnya akan mempengaruhi perkembangan kognitifnya (kecerdasan).
Pada masa sekolah, perhatian anak mulai keluar dari lingkungan keluarganya,
perhatian mulai teralih ke teman sebayanya. Akan sangat menguntungkan apabila anak
mempunyai banyak kesempatan untuk bersosialisasi dengan lingkungannya. Melalui
sosialisasi anak akan memperoleh lebih banyak stimulasi sosial yang bermanfaat bagi
perkembangan sosial anak.
Bermain, mengajak anak berbicara, dan kasih sayang adalah ’makanan’ yang penting
untuk perkembangan anak, seperti halnya kebutuhan makan untuk pertumbuhan badan.
Bermain bagi anak tidak sekedar mengisi waktu luang saja, tetapi melalui bermain anak
belajar mengendalikan dan mengkoordinasikan otot-ototnya, melibatkan persaan, emosi, dan
pikirannya. Sehingga dengan bermain anak mendapat berbagai pengalaman hidup, selain itu
bila dikakukan bersama orang tuanya hubungan orang tua dan anak menjadi semakin akrab
dan orang tua juga akan segera mengetahui kalau terdapat gangguan perkembangan anak
secara dini.
Kelompok 5 13
Skenario 3
Buku bacaan anak juga penting karena akan menambah kemampuan berbahasa,
berkomunikasi, serta menambah wawasan terhadap lingkungannya.
Untuk perkembangan motorik serta pertumbuhan otot-otot tubuh diperlukan stimulasi
yang terarah dengan bermain, latihan-latihan atau olah raga. Anak perlu diperkenalkan
dengan olah raga sedini mungkin, misalnya melempar/menangkap bola, melompat, main tali,
naik sepeda dll).
Kelompok 5 14
Skenario 3
GANGGUAN KOGNITIF
Defisit kognitif digunakan untuk mendefinisikan keterbatasan pada fungsi intelektual
pada gangguan menyeluruh (ex, retardasi mental) atau keterbatasan kemampuan kognitif
spesifik (ex, beberapa gangguan belajar seperti dyslexia). Selanjutnya akan dibahas mengenai
keterbatasan kemampuan kognitif spesifik (gangguan belajar). Retardasi mental akan dibahas
dalam bagian lain laporan ini.
Gangguan belajar digunakan sebagai klasifikasi untuk tujuan pendidikan. Oleh
Individuals with Disabilities Education Act of 2004 (IDEA 2004) gangguan ini dibagi
menjadi 7 kelompok sebagai tuntunan untuk pendidikan khusus, yaitu gangguan
mendengarkan, berbicara, kemampuan membaca dasar, mengerti bacaan (reading
comprehension), written expression, kalkulasi matematik, dan penalaran matematik.
Seseorang dengan gangguan ini mungkin memiliki kesulitam dalam areaini, namun masih
memiliki kemampuan intelektual baik di area lainnya.
Gangguan bahasa dan berbicara
Biasanya merupakan suatu indikator paling awal adanya gangguan belajar. Seseorang
dengan gangguan bahasa dan berbicara memiliki kesulitan dalam membuat suara,
menggunakan bahasa verbal dalam komunikasi, dan/atau memahami ekspresi verbal orang
lain.
Developmental articulation disorder: Seorang anan mungkin mengalami kesulitan
untuk mengontrol kecepatan bicaranya. Misalnya, pada usia mendekati 8 tahun
seorang anak masih mengatakan wabbit untuk rabbit atau thwim untuk swim.
Developmental expressive language disorder:
o Beberapa anak memiliki kesulitan untuk mengekspresikan dirinya secara
verbal.
o Keterlambatan perkembangan berbicara merupakan masalah yang serius,
terutama bila bersamaan dengan gejala kemampuan sosialisasi yang buruk.
Developmental receptive language disorder:
o Beberapa orang memiliki kesulitan untuk mengerti beberapa bunyi verbal atau
struktur-struktur verbal tertentu, seperti suatu kalimat panjang atau kombinasi
kata-kata.
Kelompok 5 15
Skenario 3
o Menggunakan dan mengerti bahasa verbal merupakan dua hal yang
berhubungan, karenanya banyak orang dengan gangguan penerimaan bahasa
juga mengalami gangguan untuk mengekspresikan kata-kata.
Gangguan Kemampuan Akademik
Berbagai aspek bicara, mendengarkan, membaca, menulis, dan aritmatik saling
timpang tindih dan dikontrol oleh area otak yang sama, maka tidak mengherankan bila
seseorang dapat memiliki gangguan kemampuan belajar yang kompleks.
Developmental reading disorder
o Gangguan ini sebelumnya dikenal sebagai Dyslexia, merupakan gangguan
membaca yang paling banyak terjadi.
o Membaca merupakan proses yang kompleks, melibatkan berbagai macam
kemampuan yang menghubungkan kemampuan persepsi visual yang tinggi,
dengan kemampuan bahasa yang tinggi. Beberapa kemampuan yang
dibutuhkan untuk membaca di antaranya:
Mengenali simbol-simbol visual khusus, seperti huruf.
Fokus dan memindai setiap baris kalimat.
Mengenali suara yang berhubungan dengan huruf, dan dapat
menghubungkan setiap suara.
Mengerti kata-kata dan tata bahasa
Membangun gambaran dan ide
Membandingkan ide baru dengan yang sudah ada
Mengingat suatu ide
o Kemampuan seperti di atas membutuhkan adanya hubungan sel saraf yang
intak antara pusat visual, bahasa, dan memori. Penelitian terbaru pada orang-
orang dengan masalah membaca yang parah menunjukkan bahwa otak mereka
memproses informasi sedikit berbeda dengan orang-orang yang lancar
membaca. Pada beberapa orang, CNS mereka ternyata memiliki koneksi yang
berbeda, sebagai akibatnya mereka mengalami kesulitan dalam membaca.
o Bila otak tidak mampu membentuk suatu gambaran atau menghubungkan
suatu ide baru dengan ide yang tersimpan di memori, maka seorang pembaca
tidak dapat mengingat atau mengintegrasikan konsep baru dan karenanya tidak
dapat menggunakan keahlian membacanya untuk suatu pemahaman yang lebih
Kelompok 5 16
Skenario 3
besar. Karena hal ini, ketidakmampuan membaca dapat terjadi pada anak yang
lebih tua di kelas yang lebih tinggi, saat fokus membaca berubah dari
identifikasi kata menjadi memahami.
Developmental writing disorder: kemampuan menulis melibatkan beberapa area di
otak. Koneksi otak untuk perbendaharaan kata, tata bahasa, pergerakan tangan, dan
memori harus dapat bekerja dengan baik. Gangguan dalam menulis dapat terjadi pada
gangguan fungsi dari berbagai area ini. Banyak anak dengan gangguan kontrol impuls
seperti ADHD memiliki masalah pada kemampuan menulis. Mereka juga bermasalah
dalam kemampuan menyelesaikan suatu ujian tertulis.
Developmental arithmetic disorder: Aritmatika merupakan suatu proses yang rumit,
dan gangguan pada area ini dapat berupa gangguan pada kalkulasi atau gangguan
pada pemecahan masalah. Aritmatika melipatkan kemampuan mengenali angka dan
simbol, memori, mengurutkan angka, dan memahami konsep yang abstrak. Semua ini
dapat menjadi sesuatu yang rumit pada gangguan aritmatika.
Gangguan belajar lainnya
DSM IV mengelompokkan kategori gangguan belajar, termasuk gangguan
kemampuan motorik dan gangguan perkembangan yang tidak spesifik. Di dalam kategori ini
termasuk keterlambatan behbahasa, akademik, dan kemampuan motorik yang dapat
mempengaruhi kemampuan untuk belajar, namun tidak memenuhi kriteria untuk gangguan
belajar yang spesifik. Termasuk di kelompok ini adalah gangguan koordinasi yang dapat
mengakibatkan gangguan pada kemampuan menulis indah, beberapa bentuk pengucapan dan
gangguan memori, dan gangguan perhatian.
Kelompok 5 17
Skenario 3
GANGGUAN PERILAKU
Gangguan prilaku (sering juga disebut masalah prilaku atau behaviour problem dan
masakah sikap atau conduct problem) merupakan gangguan penyesuaian diri terhadap
lingkungan sosial yang disebabkan lemahnya kontrol diri. Gangguan ini meliputi semua
bentuk gangguan prilaku pada anak kecuali yang disebabkan oleh neurosis, psikosis, retardasi
mental, dan gangguan fisik atau kerusakan organik. Gangguan prilaku ditandai dengan pola
tingkah laku yang berulang dimana hak dasar orang lain terganggu. Dengan demikian anak
dengan gangguan prilaku dipandang sebagai “individu normal” yang mengalami kesulitan
penyesuaian sosial.
Kesulitan prilaku ini dapat diidentifikasi mulai usia 3 tahun sampai akhir remaja dan
rentang prilaku yang tampak mulai dari ketidakpatuhan di rumah sampai dengan tindakan
kriminal di masyarakat.
Karakteristik umum yang disepakati di seluruh dunia tentang gangguan prilaku
meliputi kelemahan kontrol diri, ketidakpatuhan, prilaku agresif, dastruktif,kemarahan,
mencuri, berbohong, dan sering bolos. Untuk membedakannya dari luapan emosi dan agresi
yang normal, perlu dilihat dari frekuensi, intensitas, dan durasi prilaku tersebut. Dengan
demikian, anak baru akan dikatakan mengalami gangguan prilaku bila sering memperlihatkan
beberapa prilaku yang menyimpang tersebut dalam rentang waktu yang cukup lama.
Anak juga memiliki konsep diri yang rendah walau kelihatannya ia menunjukkan
sikap keras, kurang mampu berempati, toleransi terhadap frustasi rendah, sering bertindak
nekat dan kurang mampu menunjukkan rasa bersalah.
Sebagian besar anak dengan gangguan prilaku akan menjadi dewasa yang cendrung
terlibat kriminal dan antisosial, serta bermasalah dengan obat-obatan, sulit menyesuaikan diri
dengan pendidikan dan pekerjaan, cendrung akan bersifat keras dalam mengasuh anak-
anaknya yang pada akhirnya akan membuat anak-anak mereka mengalami gangguan prilaku
pula.
Gangguan prilaku dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling berinteraksi, antara
lain faktor individu seperti tempramen dan pengaruh hormonal, faktor keluarga seperti pola
asuh dan stabilitas keluarga, dan faktor lingkungan seperti kualitas hubungan dengan sebaya.
Salah satu dampak dari interaksi faktor-faktor di atas yang mempengaruhi munculnya
Kelompok 5 18
Skenario 3
gangguan prilaku adalah rendahnya keterampilan sosial anak, yaitu kemampuan anak
mengatur emosi dan prilakunya untuk menjalin interaksi yang efektif dengan orang lain atau
lingkungan. Anak dengan gangguan prilaku cendrung menunjukkan prasangka permusuhan,
saat berhadapan dengan stimulus sosial yang ambigu mereka sering mengartikannya sebagai
tanda permusuhan sahingga menghadapinya dengan tindakan agresif. Mereka juga kurang
mampu mengontrol emosi, sulit memahami perasaan dan keinginan orang lain, dan kurang
terampil dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial. Rendahnya keterampilan sosial ini
membuat anak kurang mampu menjalin interaksi secara efektif dengan lingkungannya dan
memilih tindakan agresif sebagai strategi coping. Mereka candrung menganggap tindakan
agresif merupakan cara yang paling tepat untuk mengatasi permasalahan sosial dan
mendapatkan apa yang mereka yang inginkan. Akibatnya, mereka sering ditolak oleh orang
tua, teman sebaya, dan lingkungan.
Penolakan ini justru semakin berdampak buruk bagi anak. Jaringan sosial dan kualitas
hubungan mereka dengan lingkungan menjadi rendah, padahal kedua media ini dibutuhkan
anak untuk mengembangkan keterampilan sosialnya. Seolah-olah seperti “lingkaran setan”
yang pada akhirnya akan membuat mereka semakin dijauhi lingkungan.
Gangguan prilaku dapat dikelompokkan dalam 3 bentuk yang sesuai dengan
perkembangan usia anak, yaitu:
a. Masalah kontrol. Secara umum ditandai dengan ketidakmatangan prilaku seperti tidak
patuh, temper tantrum, menangis secara berlebihan, tingkat aktivitas yang tinggi, dan
suka membantah. Biasanya pada anak usia muda.
b. Prilaku agresif. Ditandai dengan sering melakukan penyerangan fisik dan verbal.
Bentuknya antara lain sering berkelahi, menyakiti orang lain secara verbal, suka
menentang atau membantah otoritas dan mengancam. Biasanya mulai muncul usia 4-
6 tahun.
c. Prilaku yang menunjukkan kenakalan atau kejahatan, seperti bolos, mencuri, merusak,
lari dari rumah, menggunakan obat-obatan, dan tindakan kriminal lainnya. Biasanya
terjadi pada usia 11-18 tahun.
Pembagian ini tidak berarti gejala gangguan prilaku terpisah antara bentuk yang satu
dengan bentuk yang lain. Mungkin saja pada anak yang satu terdapat sebagian besar gejala
Kelompok 5 19
Skenario 3
dari ketiga bentuk tersebut dan pada anak yang lain hanya terdapat beberapa gejala dari salah
satu bentuk.
Berdasarkan DSM-IV, gangguan prilaku disebut juga disruptive behaviour disorder
yang terdiri dari 2 bentuk yaitu conduct disorder dan oppositional defiant disorder.
Perbedaan kedua gangguan ini terletak pada tingkat keparahannya dimana conduct disorder
lebih parah. Penelitian menunjukkan bahwa oppositional defiant disorder merupakan awal
dari conduct disorder. Karakteristik kedua gangguan prilaku tersebut:
Domain Oppositional defiant disorder Conduct disoreder
Kognitif - Internalisasi peraturan-
peraturan dan norma-norma
sosial terbatas
- Menunjukkan permusuhan
karena adanya prasangka
- Internalisasi peraturan-peraturan
dan morma-norman sosial terbatas
- Menunjukkan permusuhan karena
adanya prasangka
Afeksi Mudah marah dan tersinggung Mudah marah dan tersinggung
Prilaku Menunjukkan ketidakpatuhan
kepada orang dewasa yang
memegang otoritas
Agresif
Temper tantrums
Menunjukkan pola prilaku
antisosial
Suka menentang
Agresif
Merusak
Berbohong dan mencuri
Bersikap kejam
Melarikan diri dari rumah
Melakukan kekerasan seksual
Menggunakan obat-obatan
Kondisi fisik Masalah fisik diakibatkan prilaku
yang berisiko tinggi seperti berkelahi,
penyalahgunaan obat-obatan atau
akibat prilaku seks yang tidak aman
Penyesuaian
interpersonal
- Hubungan bermasalah dengan - Hubungan bermasalah dengan
orang tua, guru, dan sebaya
Kelompok 5 20
Skenario 3
orang tua atau guru bahkan dapat meluas ke
masyarakat
Epidemiologi
Gangguan prilaku merupakan gangguan yang paling banyak dijumpai pada anak-anak.
Dari seluruh anak-anak yang dirujuk karena mengalami gangguan klinis psikologis,
sepertiga sampai setengahnya mengalami gangguan prilaku.
Prevalensi gangguan prilaku pada anak 4 -14% tergantung pada kriteria dan populasi
yang diteliti.
Data lain menunjukkan >50% anak usia 4-5 tahun menunjukkan gejala gangguan prilaku
eksternal yang dapat berkembang menjadi gangguan prilaku tetap.
Lebih banyka ditemukan pada anak laki-laki (9%) dibandingkan anak perempuan (2%)
20-40% anak penderita ADHD juga didiagnosis mengalami gangguan prilaku
Kelompok 5 21
Skenario 3
Penjelasan Differential Diagnose pada
skenario
PERVASIVE DEVELOPMENTAL DISORDERS (PDD)
Pervasive developmental disorders (gangguan pertumbuhan pervasif) merupakan
gangguan psikologis pada anak yang memiliki karakteristik adanya gangguan timbal-balik
dalam interaksi sosial, gangguan perkembangan berbahasa, dan keterbatasan tingkah laku.
PDD (Pervasive developmental disorders) biasanya muncul pada anak sebelum usia 3 tahun
dan orangtua akan menghkhawatirkan adanya gangguan perkembangan bahasa anak pada
usia 18 bulan. Pada 25% kasus terjadi perkembangan bahasa yang setelah usia tertentu akan
menghilang atau berkurang. Anak dengan PDD biasanya sulit diidentifikasi oleh orang tua
hingga masa usia sekolah, karena mereka memiliki tuntutan yang sedikit dan konflik yang
minimal dengan anak seusianya yang menunjukkan adanya keterikatan sosial yang kurang.
Anak dengan PDD menunjukkan ketertarikan idiosyncratic yang intens pada
jangkauan/batas aktifitas yang sempit, menolak perubahan, dan tidak memiliki kepedulian
yang sesuai pada lingkungan sosial disekitarnya. Gangguan ini melibatkan area yang multiple
dan luas dari suatu perkembangan, dan bermanifestasi pada awal kehidupan, dan
menyebabkan disfungsi yang persisten.
Menurut 4th Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-IV-TR),
yang termasuk PDD adalah gangguan autistic, Rett's disorder/syndrome, childhood
disintegrative disorder (CDD), Asperger's disorder, dan PDD tidak terspesifikasi. Rett's
syndrome muncul secara eksklusif pada anak perempuan, dengan karakteristik perkembangan
normal hingga usia 6 bulan, gerakan tangan stereotype, kehilangan gerak yang direncanakan,
hilangnya keterikatan sosial, koordinasi tubuh yang buruk, dan penurunan penggunaan
bahasa. Pada CDD perkembangan terjadi normal hingga usia 2 tahun, setelah itu anak akan
menunjukkan kehilangan kemampuan yang sudah didapatkan sebelumnya pada dua atau
lebih are berikut: penggunaan bahasa, kepedulian sosial, kemampuan bermain, kemampuan
motorik, dan kemampuan mengontrol berkemih atau defekasi. Asperger’s syndrome
merupakan kondisi dimana anak kehilangan keterkaitan sosial yang menonjol, dan
menunjukkan pola tingkahlaku yang repetitif dan stereotypic tanpa adanya gangguan atau
keterlambatan dalam berbahasa. Pada Asperger's disorder, kemampuan kognitif anak
berkembang dengan normal dan kemampuan adaptif juga normal.
Kelompok 5 22
Skenario 3
Survey terakhir menunjukkan rata-rata usia anak pada saat didiagnosis dengan PDD
adalah 3,1 tahun pada gangguan autistic, 3,9 tahun pada PDD tidak spesifik, dan 7,2 tahun
pada Asperger's disorder. Anak dengan kemampuan berbahasa yang buruk didagnosis lebih
awal dari pada anak dengan gangguan berbahasa ringn dan sedang.
AUTISM
Definisi
Autisme berasal dari kata “autos” yang berarti segala sesuatu yang mengarah pada diri
sendiri. Dalam kamus psikologi umum ( 1982), autisme berarti preokupasi terhadap pikiran
dan khayalan sendiri atau dengan kata lain lebih banyak berorientasi kepada pikiran
subyektifnya sendiri daripada melihat kenyataan atau realita kehidupan sehari-hari. Oleh
karena itu penderita autisme sering disebut orang yang hidup di “alamnya” sendiri.
Autisme atau autisme infantil ( Early Infantile Autism) pertama kali dikemukakan
oleh Dr. Leo Kanner 1943 seorang psikiatris Amerika. Istilah autisme dipergunakan untuk
menunjukkan suatu gejala psikosis pada anak-anak yang unik dan menonjol yang sering
disebut Sindrom Kanner. Ciri yang menonjol pada sindrom Kanner antara lain ekspresi wajah
yang kosong seolaholah sedang melamun, kehilangan pikiran dan sulit sekali bagi orang lain
untuk menarik perhatian mereka atau mengajak mereka berkomunikasi.
Pada awalnya istilah “autisme” diambilnya dari gangguan schizophrenia, dimana
Bleuer memakai autisme ini untuk menggambarkan perilaku pasien skizofrenia yang menarik
diri dari dunia luar dan menciptakan dunia fantasinya sendiri. Namun ada perbedaan yang
jelas antara penyebab dari autisme pada penderita skizofrenia dengan penyandang autisme
Kelompok 5 23
Skenario 3
infantile. Pada skizofrenia, autisme disebabkan dampak area gangguan jiwa yang didalamnya
terkandung halusinasi dan delusi yang berlansung minimal selama 1 bulan, sedangkan pada
anak-anak dengan autisme infantile terdapat kegagalan dalam perkembangan yang tergolong
dalam kriteria Gangguan Pervasif dengan kehidupan autistic yang tidak disertai dengan
halusinasi dan delusi ( DSM IV, 1995 ).
Manifestasi Klinis
Gejala autisme infantile timbul sebelum anak mencapai usia 3 tahun. Pada sebagian
anak gejala gangguan perkembangan ini sudah terlihat sejak lahir. Seorang ibu yang cermat
dapat melihat beberapa keganjilan sebelum anaknya mencapai usia satu tahun. Yang sangat
menonjol adalah tidak adanya kontak mata dan kurangnya minat untuk berinteraksi dengan
orang lain. Manusia adalah makhluk sosial. Dalam perkembangannya yang normal, seorang
bayi mulai bisa berinteraksi dengan ibunya pada usia 3 - 4 bulan. Bila ibu merangsang
bayinya dengan menggerincingkan mainan dan mengajak berbicara, maka bayi tersebut akan
berespon dan bereaksi dengan ocehan serta gerakan. Makin lama bayi makin responsive
terhadap rangsang dari luar seiring dengan berkembangnya kemampuan sensorik. Pada umur
6-8 bulan ia sudah bias berinteraksi dan memperhatikan orang yang mengajaknya bermain
dan berbicara. Hal ini tidak muncul atau sangat kurang pada bayi autistik. Ia bersikap acuh
tidak acuh dan seakan-akan menolak interaksi dengan orang lain. Ia lebih suka bermain
dengan “dirinya sendiri” atau dengan mainannya.
Secara umum ada beberapa gejala autisme yang akan tampak semakin jelas saat anak
telah mencapai usia 3 tahun, yaitu:
1. Gangguan dalam komunikasi verbal maupun non verbal seperti terlambat bicara,
mengeluarkan kata-kata dalam bahasanya sendiri yang tidak dapat dimengerti ,
echolalia, sering meniru dan mengulang kata tanpa ia mengerti maknanya, dan
seterusnya.
2. Gangguan dalam bidang interaksi sosial, seperti menghindar kontak mata, tidak
melihat jika dipanggil, menolak untuk dipeluk, lebih suka bermain sendiri, dan
seterusnya.
3. Gangguan pada bidang perilaku yang terlihat dari adanya perlaku yang berlebih
( excessive ) dan kekurangan ( deficient ) seperti impulsif, hiperaktif, repetitif namun
dilain waktu terkesan pandangan mata kosong, melakukan permainan yang sama dan
monoton .Kadang-kadang ada kelekatan pada benda tertentu seperti gambar, karet, dll
yang dibawanya kemana-mana.
Kelompok 5 24
Skenario 3
4. Gangguan pada bidang perasaan/emosi, seperti kurangnya empati, simpati, dan
toleransi; kadang-kadang tertawa dan marah sendiri tanpa sebab yang nyata dan
sering mengamuk tanpa kendali bila tidak mendapatkan apa yang ia inginkan.
5. Gangguan dalam persepsi sensoris seperti mencium-cium dan menggigit mainan
atau benda, bila mendengar suara tertentu langsung menutup telinga, tidak menyukai
rabaan dan pelukan, dan sebagainya. Gejala –gejala tersebut di atas tidak harus ada
semuanya pada setiap anak autisme, tergantung dari berat-ringannya gangguan yang
diderita anak.
Diagnosis
Pada dasarnya gangguan autisme tergolong dalam gangguan perkembangan
pervasive, namun bukan satu-satunya golongan yang termasuk dalam gangguan
perkembangan pervasive ( Pervasive Developmental Disorder) menurut DSM IV (1995).
Namun dalam kenyataannya hampir keseluruhan golongan gangguan perkembangan pervasif
disebut oleh para orangtua atau masyarakat sebagai Autisme. Padahal di dalam gangguan
perkembangan pervasive meski sama-sama ditandai dengan gangguan dalam beberapa area
perkembangan seperti kemampuan interaksi sosial, komunikasi serta munculnya perilaku
stereotipe, namun terdapat beberapa perbedaan antar golongan gangguan autistik (Autistic
Disorder) dengan gangguan Rett ( Rett’s Disorder), gangguan disintegatif masa anak
( Childhood Disintegrative Disorder ) dan gangguan Asperger ( Asperger’s Disorder ).
Gangguan autistik berbeda dengan gangguan Rett dalam rasio jenis kelamin penderita dan
pola berkembangnya hambatan. Gangguan Rett hanya dijumpai pada wanita sementara
gangguan Autistik lebih banyak dijumpai pada pria disbanding wanita dengan ratio 5 : 1.
Selanjutnya pada sindroma Rett dijumpai pola perkembangan gangguan yang disebabkan
perlambatan pertumbuhan kepala (head growth deceleration), hilangnya kemampuan
ketrampilan tangan dan munculnya hambatan koordinasi gerak. Pada masa prasekolah, sama
seperti penderita autistik, anak dengan gangguan Rett mengalami kesulitan dalam interaksi
sosialnya. Selain itu gangguan Autistik berbeda dari Gangguan Disintegratif masa anak,
khususnya dalam hal pola kemunduran perkembangan. Pada Gangguan Disintegratif,
kemunduran (regresi) terjadi setelah perkembangan yang normal selama minimal 2 tahun
sementara pada gangguan autistik abnormalitas sudah muncul sejak tahun pertama kelahiran.
Selanjutnya, gangguan autistik dapat dibedakan dengan gangguan Asperger karena pada
penderita asperger tidak terjadi keterlambatan bicara. Penderita Asperger sering juga disebut
Kelompok 5 25
Skenario 3
dengan istilah “ High Function Autism” , selain karena kemampuan komunikasi mereka yang
cukup normal juga disertai dengan kemampuan kognisi yang memadai.
Secara detail, menurut DSM IV ( 1995), kriteria gangguan autistik adalah sebagai
berikut :
A. Harus ada total 6 gejala dari (1),(2) dan (3), dengan minimal 2 gejala dari (1) dan masing-
masing 1 gejala dari ( 2 ) dan (3) :
a. Kelemahan kwalitatif dalam interaksi sosial, yang termanifestasi dalam sedikitnya
dari beberapa gejala berikut ini :
i. Kelemahan dalam penggunaan perilaku nonverbal, seperti kontak mata,
ekspresi wajah, sikap tubuh, gerak tangandalam interaksi sosial.
ii. Kegagalan dalam mengembangkan hubungan dengan teman sebaya sesuai
dengan tingkat perkembangannya.
iii. Kurangnya kemampuan untuk berbagi perasaan dan empati dengan orang
lain.
iv. Kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional yang timbal
balik.
b. Kelemahan kualitatif dalam bidang komunikasi. Minimal harus ada 1 dari gejala
berikut ini:
i. Perkembangan bahasa lisan ( bicara) terlambat atau sama sekali tidak
berkembang dan anak tidak mencari jalan untuk berkomunikasi secara non
verbal.
ii. Bila anak bisa bicara, maka bicaranya tidak digunakan untuk
berkomunikasi
iii. Sering menggunakan bahasa yang aneh, stereotype dan berulangulang.
iv. Kurang mampu bermain imajinatif ( make believe play ) atau permainan
imitasi sosial lainnya sesuai dengan taraf perkembangannya.
c. Pola perilaku serta minat dan kegiatan yang terbatas, berulang. Minimal harus ada
1dari gejala berikut ini :
i. Preokupasi terhadap satu atau lebih kegiatan dengan focus dan intensitas
yang abnormal/ berlebihan.
ii. Terpaku pada suatu kegiatan ritualistik atau rutinitas
iii. Gerakan-gerakan fisik yang aneh dan berulang-ulang seperti menggerak-
gerakkan tangan, bertepuk tangan, menggerakkan tubuh.
Kelompok 5 26
Skenario 3
iv. Sikap tertarik yang sangat kuat/ preokupasi dengan bagian-bagian tertentu
dari obyek.
B. Keterlambatan atau abnormalitas muncul sebelum usia 3 tahun minimal pada salah satu
bidang (1) interaksi sosial, (2) kemampuan bahasa dan komunikasi, (3) cara bermain
simbolik dan imajinatif.
C. Bukan disebabkan oleh Sindroma Rett atau Gangguan Disintegratif Masa Anak
Dengan mempelajari kriteria diagnostik di atas, sebenarnya tidaklah terlalu sulit untuk
menentukan apakah seorang anak termasuk penyandang autism atau gangguan perkembangan
lainnya. Namun kesalahan diagnosis masih sering terjadi terutama pada autisme ringan yang
umumnya disebabkan adanya tumpang tindih gejala. Sebagai contoh, penyandang
hiperaktivitas dengan konsentrasi yang kurang terfokus kadang kala juga menunjukkan
keterlambatan bicara dan bila dipanggil tidak selalu berespon sesuai yang diharapkan.
Demikian juga bagi penderita retardasi mental yang moderate, severe dan profound mereka
menunjukkan gejala yang hampir sama dengan autisme seperti keterlambatan bicara, kurang
adaptif dan impulsif.
Etiologi
Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa dalam catatan pakar autis jumlah
penyandang autisme dibandingkan dengan jumlah kelahiran normal dari tahun ketahun
meningkat tajam sehingga ditahun 2001 lalu sudah mencapai 1 dari 100 kelahiran.
Peningkatan yang tajam ini tentunya menimbulkan pertanyaan, ada perubahan apa dalam
rentang waktu tersebut sehingga kasus terjadinya autisme bisa meningkat tajam tidak saja di
Indonesia tetapi juga di berbagai negara.
Faktor psikogenik
Ketika autisme pertamakali ditemukan tahun 1943 oleh Leo Kanner, autism
diperkirakan disebabkan pola asuh yang salah. Kasus-kasu perdana banyak ditemukan pada
keluarga kelas menengah dan berpendidikan,` yang orangtuanya bersikap dingin dan kaku
pada anak. Kanner beranggapan sikap keluarga tersebut kurang memberikan stimulasi bagi
perkembangan komunikasi anak yang akhirnya menghambat perkembangan kemampuan
komunikasi dan interaksi sosial anak. Pendapat Kanner ini disebut dengan teori Psikogenik
yang menerangkan penyebab autisme dari factor-faktor psikologis, dalam hal ini perlakuan/
pola asuh orangtua.
Namun penelitian-penelitian selanjutnya tidak menyepakati pendapat Kanner.
Alasannya, teori psikogenik tidak mampu menjelaskan ketertinggalan perkembangan
Kelompok 5 27
Skenario 3
kognitif, tingkah laku maupun komunikasi anak autis. Penelitian-penelitian selanjutnya lebih
memfokuskan kaitan factor-faktor organik dan lingkungan sebagai penyebab autis. Kalau
semula penyebabnya lebih pada faktor psikologis, maka saat ini bergeser ke factor organik
dan lingkungan.
Faktor Biologis Dan Lingkungan
Seperti gangguan perkembangan lainnya, autisme dipandang sebagai gangguan yang
memiliki banyak sebab dan antara satu kasus dengan kasus lainnya penyebabnya bisa tidak
sama. Penelitian tentang faktor organik menunjukkan adanya kelainan/keterlambatan dalam
tahap perkembangan anak autis sehingga autisme kemudian digolongan sebagai gangguan
dalam perkembangan (developmental disorder) yang mendasari pengklasifikasian dan
diagnosis dalam DSM IV.
Hasil pemeriksaan laboratorium, juga MRI dan EEG tidak memberikan gambaran
yang khas tentang penyandang autisme, kecuali pada penyandang autisme yang disertai
dengan gangguan kejang. Temuan ini kemudian mengarahkan dugaan neurologis terjadi pada
abnormalitas fungsi kerja otak, dalam hal ini, neurotransmitter yang berbeda dari orang
normal. Neuro transmitter merupakan cairan kimiawi yang berfungsi menghantarkan impuls
dan menerjemahkan respon yang diterima. Jumlah neurotransmitter pada penyandang autisme
berbeda dari orang normal dimana sekitar 30-50% pada penderita autisme terjadi peningkatan
jumlah serotonin dalam darah. Selanjutnya, penelitian kemudian mengarahkan perhatian pada
faktor biologis, diantaranya kondisi lingkungan, kehamilan ibu, perkembangan perinatal,
komplikasi persalinan, dan genetik.
Kondisi lingkungan seperti kehadiran virus dan zat-zat kimia/ logam dapat
mengakibatkan munculnya autisme. Zat-zat beracun seperti timah ( Pb) dari asap knalpot
mobil, pabrik dan cat tembok; kadmium (Cd) dari batu baterai serta turunan air raksa ( Hg)
yang digunakan sebagai bahan tambalan gigi ( Amalgam). Apabila tambalan gigi digunakan
pada calon ibu, amalgam akan menguap didalam mulut dan dihirup oleh calon ibu dan
disimpan dalam tulang. Ketika ibu hamil, terbentuklah tulang anak yang berasal dari tulang
ibu yang sudah mengandung logam berat. Selanjutnya proses keracunan logam beratpun
terjadi pada saat pemberian Asi dimana logam yang disimpan ibu ikut dihisap bayi saat
menyusui. Sebuah vaksin, MMR ( Measles, Mumps & Rubella) awalnya juga diperkirakan
menjadi penyebab autisme pada anak akibat anak tidak kuat menerima campuran suntikan
tiga vaksin sekaligus sehingga mereka mengalami kemunduran dan memperlihatkan gejala
autisme.
Kelompok 5 28
Skenario 3
Sampai saat ini diduga faktor genetik berpengaruh kuat atas munculnya kasus
autisme. Dari penelitian pada saudara sekandung ( siblings) anak penyandang autisme
terungkap mereka mempunyai peningkatan kemungkinan sekitar 3 % untuk dinyatakan autis.
Sementara penelitian pada anak kembar juga didapat hasil yang mendukung. Sayangnya
harus diakui populasi anak kembar sendiri memang tidak banyak di masyarakat sehingga
menggunakan sample kecil . Penelitian pada kembar identik 1 telur menunjukkan bahwa
mereka memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk diagnosis autis bila saudara
kembarnya autis.
Beberapa faktor lainnya yang juga telah diidentifikasi berasosiasi dengan autisme
diantaranya adalah usia ibu ( makin tinggi usia ibu, kemungkinan menyandang autis kian
besar ), urutan kelahiran, pendarahan trisemester pertama dan kedua serta penggunaan obat
yang tak terkontrol selama kehamilan.
Pada penyandang autisme, tanda-tanda hambatan perkembangan telah mulai tampak
pada masa bayi seperti kurangnya kontak mata, kurangnya reaksi pada saat akan digendong,
kurang mampu tersenyum meski pada orang terdekatnya, kecemasan yang aneh dan kekurang
mampuan bermain “cilukba”. Tubuh bayi juga terkesan “kaku” sehingga sulit untuk
direngkuh dalam pelukan. Pada masa kanak-kanak dan prasekolah, penyandang autisme
kurang menunjukkan respon sosial yang positif. Anak kurang lekat pada orangtua, ia tidak
mengikuti orangtua jika pergi, jarang mengekspresikan kasih sayang atau mencari
perlindungan bila terluka bahkan cenderung menarik diri dan menghindar.
Selanjutnya penguasaannya akan bahasa dan pemahaman komunikasi juga mengalami
hambatan. Tidak ada komunikasi timbal balik dengan orang lain. Selain itu anak juga kurang
mampu melakukan “imitasi sosial” atau meniru perilaku orang lain pada usianya.
Kemampuannya untuk bermainnya juga terbatas pada bermain sendiri ( solitary play ) dan
permainan tersebut cenderung terbatas dan diulang-ulang secara kaku.
Pada pertengahan masa kanak-kanak, anak penyandang autism menunjukkan
kecenderungan untuk tidak berteman, tidak kooperatif dan kurang mampu berempati pada
orang lain. Respon sosial mereka terkesan aneh dan kurang pada tempatnya sehingga mereka
mengalami masalah dalam penyesuaian sosialnya. Aktivitasnya bersifat ritualistik dan rutin
serta mereka mengalami stress jika terjadi perubahan dari aktivitas biasa yang dilakukan.
Selanjutnya menurut Kanner, Rodriquest dan Ansheden masa remaja merupakan masa
perkembangan yang paling dramatik. Periode ini dapat merupakan masa yang menunjukkan
perbaikan yang signifikan. Beberapa remaja mulai menyadari bahwa tingkah lakunya
menyimpang dan secara sadar berusaha memperbaiki diri dan tampil sesuai dengan perilaku
Kelompok 5 29
Skenario 3
sosial yang diharapkan. Sekitar 5 – 15 persen anak autistik mampu mencapai kemampuan
penyesuaian sosial yang diharapkan dengan atau tanpa terapi. Meski dalam berkomunikasi,
vokalisasinya masih belum sempurna namun sudah cukup dapat dipahami. Memang mereka
tetap kurang mampu menunjukkan empati dan peran seksual yang sesuai, namun sisi
positifnya dalah mereka kaku dalam memegang aturan dan mampu masuk kelingkungan
sosial yang birokratis. Namun disisi lain, mayoritas anak autisme akan terus berkembang
dengan gangguan perkembangan yang parah. Mereka tetap hidup dalam alamnya sendiri
namun tidak menjadi schizophrenia dalam arti mengalami delusi dan halusinasi.
Penegakan Diagnosis
Penegakan diagnosa yang tepat akan menghasilkan intervensi dan treatmen yang
tepat, oleh karena itu penting sekali penegakan diagnosa dilakukan secara teliti dan akurat.
Pemeriksaan terhadap anak penyandang autisme secara terpadu perlu dilakukan. Tim yang
terdiri dari ahli psikologi anak, dokter anak, dokter neurologis serta ahli pendidikan perlu
duduk bersama dalam menangani kasus ini.
Tes –tes psikologi
o Tes PEP-R
Berdasarkan pengalaman Sleeuwen ( 1996) , tes khusus untuk anak autistic
disebut dengan Psycho Educational Profile Revised ( PEP-R). Tes tersebut
dikembangkan oleh di Teacch, sebuah program pendidikan khusus untuk anak
autis. Tes ini digunakan untuk anak autistik atau yang terganggu
perkembangannya dan dipakai pada anak-anak dengan usia kronologis 6 bulan
sampai dengan 7 tahun. Tes PEP-R ini memberikan informasi tentang fungsi
perkembangan seperti imitasi, persepsi, ketrampilan motorik halus, ketrampilan
motorik kasar, korrdinasi mata dan tangan, performansi kognitif dan kognisi
verbal, Tes PEP-R juga dapat mendeteksi masalah-masalah dalam hal relasi dan
afeksi, permainan dan minat terhadap benda dan respon penginderaan dan bahasa.
Skor PEP-R digunakan untuk membuat rencana pendidikan individual anak
sehingga guru dapat tertolong dalam menangani anak autistik.
o Vineland Social Maturity Scale
Skala Kematangan Sosial Vineland biasanya juga digunakan sebagai data
tambahan untuk mendukung diagnosa. Semua versi dari Vineland terfokus pada
apa yang biasa dilakukan individu dan dirancang untuk menilai prilaku adaptif.
Data diperoleh berdasarkan observasi dan wawancara orangtua. Tes Vineland
Kelompok 5 30
Skenario 3
mengklasifikasikan empat domain/ranah adaptif utama yaitu ranah komunikasi,
ranah ketrampilan sehari-hari, ranah sosialisasi, ranah ketrampilan motorik yang
kemudian disertai dengan komposit perilaku adaptif dan maladaptif. Hasil tes
Vineland penyandang autis berada pada kriteria kematangan sosial yang jauh
dibawah rata-rata anak seusianya.
o Diagnosa berdasarkan kriteria DSM IV
Pada uraian terdahulu telah dijelaskan bahwa autisme tergolong dalam gangguan
perkembangan pervasive dan dalam penegakan diagnosa didasarkan pada adanya
hambatan pada 3 bidang utama yaitu interaksi sosial, komunikasi dan tingkah laku
yang repetitive dan berulang.
Selain itu dalam penegakan diagnose autisme perlu diperhatikan:
a. Diagnosa yang berhubungan dan mental retardasi.
Dalam beberapa kasus, autisme berhubungan dengan mental retardasi, umumnya
pada kriteria Moderate Mental Retarded, IQ 35 – 50 (DSM IV, 1995). Hampir 75%
penyandang autisme berada pada taraf intelegensi mental retardasi. Terjadi
abnormalitas dalam perkembangan kognitif penyandang autisme.
Sementara menurut Sleeuwen (1996) sekitar 60 % anak-anak autistik menderita
retardasi mental tingkat moderate ( IQ 35- 50) dan 20 % anak mengalami mental
retardasi ringan sedangkan 20 % lainnya tidak mengalami mental retardasi dan
memiliki IQ > 70 ( normal ). Beberapa anak memiliki apa yang disebut “ pulau
intelegensi” yang artinya mereka memiliki bakat khusus di bidang-bidang tertentu
seperti musik, berhitung, menggambar, dsbnya.
Selanjutnya Sleeuwen menyatakan dalam mendeteksi mental retardasi pada anak
autis dapat dilihat dari kemampuan umum anak yang jauh di bawah rata-rata anak
seusianya ( terbelakang ) dan hambatan dalam komunikasi serta pemahaman sosial.
Epilepsi yang menyertai juga berkaitan dengan kapasitas intelegensi yang rendah,
namun 1 dari 20 anak yang mengalami epilepsi memiliki fungsi mental yang cukup
baik. Retardasi mental dan autisme muncul bersamaan dari awal.
b. Hubungannya dengan hasil laboratorium
Jika autisme dikaitkan dengan kondisi kesehatan umum, ditemukan bahwa ada
perbedaan aktivitas serotonin namun tidak begitu jelas terlihat. Namun hasil pemeriksaan
EEG menunjukkan abnormalitas. ( DSM IV, 1996 )
c. Hubungannya dengan kondisi kesehatan umum
Kelompok 5 31
Skenario 3
Beberapa simptom kelainan neurologis terlihat pada penyandang autis, seperti
refleks yang primitif, keterlambatan penggunaan tangan yang dominan, dsbnya. Kondisi
ini berkaitan dengan kondisi kesehatan umum seperti enchepalitis, phenylketonuria,
fragile X syndrome, anoxia saat kelahiran dan maternal rubella).
Diagnosa Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Medis – Neurologis
Seperti telah dikemukakan terdahulu, factor biologis diperkirakan juga memberikan
andil bagi berkembangkany gangguan autisme pada anak. Oleh karena itu untuk mendukung
penegakan diagnosa diperlukan pemeriksaan kesehatan dan neurologis yang lengkap dan
terpadu.
Selain diagnosa autisme, menurut dr. Rudi Sutadi (1998) terdapat juga
pengklasifikasian berat-ringannya autisme dengan menggunakan CARS ( Childhood Autisme
Rating Scale ). Untuk keperluan ilmiah, klasifikasi ini bermanfaat. Namun disarankan untuk
hati-hati dalam penggunaan klasifikasi ringan-sedang-berat ini disebabkan untuk penanganan
autis sampai saat ini peringkat tersebut tidak dikaitkan dengan perbedaan prognosis dan
intervensi. Intervensi autisme pada klasifikasi manapun tetap sama yaitu intervensi (terutama
tata laksana perilaku) yang terpadu dan optimal.
Kehati-hatian penggunaan peringkat ini juga disebabkan pengaruhnya pada orangtua
penyandang autisme. Bila anak didiagnosis menderita autisme ringan, dapat menimbulkan
kelengahan pada orangtua untuk melaksanakan tatalaksana yang optimal. Sedangkan bagi
mereka yang dinyatakan berat, mungkin saja merkea menjadi depresi dan putus asa sehingga
tidak berbuat apa-apa pada anak mereka.
Tatalaksana
Pertanyaan yang sering dilontarkan orang tua adalah apakah anaknya dapat secara
total bebas dari autisme. Agak sulit untuk menerangkan pada orang tua bahwa autisme adalah
gangguan yang tidak bisa disembuhkan ( not curable ), namun bisa diterapi ( treatable ).
Maksudnya kelainan yang terjadi pada otak tidak bisa diperbaiki namun gejala-gejala yang
ada dapat dikurangi semaksimal mungkin sehingga anak tersebut nantinya bisa berbaur
dengan anakanak lain secara normal.
Keberhasilan terapi dipengaruhi oleh beberapa faktor ( Budiman, 1998 ) yaitu :
a. berat ringannya gejala atau berat ringannya kelainan otak.
b. usia, diagnosis dini sangat penting oleh karena semakin muda umur anak saat dimulainya
terapi semakin besar kemungkinan untuk berhasil.
c. Kecerdasan, makin cerdas anak tersebut makin baik prognosisnya
Kelompok 5 32
Skenario 3
d. Bicara dan bahasa, 20 % penyandang autis tidak mampu berbicara seumur hidup,
sedangkan sisanya mempunyai kemampuan bicara dengan kefasihan yang berbeda-beda.
Mereka dengan kemampuan bicara yang baik mempunyai prognosis yang lebih baik.
e. Terapi yang intensif dan terpadu.
Terapi Yang Terpadu
Penanganan / intervensi terapi pada penyandang autisme harus dilakukan dengan
intensif dan terpadu. Terapi secara formal sebaiknya dilakukan antara 4-8 jam sehari. Selain
itu seluruh keluarga harus terlibat untuk memacu komunikasi dengan anak. Penanganan
penyandang autisme memerlukan kerjasama tim yang terpadu yang berasal dari berbagai
disiplin ilmu antara lain psikiater, psikolog neurolog, dokter anak, terapis bicara dan
pendidik.
Beberapa terapi yang harus dijalankan antara lain :
a. Terapi medikamentosa
b. Terapi psikologis
c. Terapi wicara
d. Fisioterapi
Terapi Medikamentosa
Pemberian obat pada anak harus didasarkan pada diagnosis yang tepat, pemakaian
obat yang tepat, pemantauan ketat terhadap efek samping dan mengenali cara kerja obat.
Perlu diingat bahwa setiap anak memiliki ketahanan yang berbeda-beda terhadap efek obat,
dosis obat dan efek samping. Oleh karena itu perlu ada kehati-hatian dari orang tua dalam
pemberian obat yang umumnya berlangsung jangka panjang.
Saat ini pemakaian obat diarahkan untuk memperbaiki respon anak sehingga diberika
obat-obat psikotropika jenis baru seperti obat-obat antidepressan SSRI (Selective Serotonin
Reuptake Inhibitor) yang bisa memberikan keseimbangan antara neurotransmitter serotonin
dan dopamine. Yang diinginkan dalam pemberian obat ini adalah dosis yang paling minimal
namun paling efektif dan tanpa efek samping. Pemakaian obat akan sangat membantu untuk
memperbaiki respon anak terhadap lingkungan sehingga ia lebih mudah menerima tata
laksana terapi lainnya. Bila kemajuan yang dicapai cukup baik, maka pemberian obat dapat
dikurangi bahkan dihentikan.
Terapi Psikologis
Dalam penanganan autisme, seringkali perkembangan kemampuan berjalan lambat
dan mudah hilang. Umumnya intervensi difokuskan pada meningkatkan kemampuan bahasa
dan komunikasi, self-help dan perilaku sosial dan mengurangi perilaku yang tidak
Kelompok 5 33
Skenario 3
dikehendaki seperti melukai diri sendiri ( self mutilation ), temper tantrum dengan penekanan
pada peningkatan fungsi individu dan bukan “menyembuhkan” dalam arti mengembalikan
penyandang autis ke posisi normal.
Rutter membuat pendekatan yang komprehensif dalam intervensi autismee yang
memliki tujuan :
membantu perkembangan kognitif, bahasa dan sosial yang normal
meningkatkan kemampuan belajar anak autistik
mengurangi kekakuan dan perilaku stereotype dengan meningkatkan interaksi
penyandang autis dengan orang lain dan tidak membiarkannya “hidup sendiri” .
Interaksi yang kurang justru akan menyebabkan munculnya perilaku-perilaku
yang tidak dikehendaki. Dalam hal ini pemberian mainan yang bervariasi juga
dapat mengurangi kekakuan ini.
mengurangi perilaku maladaptive seperti temper tantrum dan melukai diri sendiri
mengurangi stress pada keluarga penderita autisme
Selanjutnya, Lieke Van Sleeuwen ( 1996 ) menyatakan intervensi psikologis anak-
anak autistic harus terfokus pada :
memberikan stimulasi spesifik dan latihan untuk mengkompensasikan
keterlambatan perkembangan secara menyeluruh
memutuskan atau mengurangi perilaku yang sulit ditangani oleh lingkungan yang
menghambat proses belajar sosial dan pendidikan
mencegah timbulnya gangguan sekunder yang mungkin muncul sebagai efek dari
gangguan utama.
Ketiga hal ini hanya dapat dilaksanakan pada lingkungan yang sangat terstruktur dan
teratur dengan baik. Anak autistik memiliki pola berpikir yang berbeda, mereka mengalami
kesulitan memahami lingkungannya. Oleh karena itu memberikan lingkungan terstruktur
merupakan titik awal dalam proses intervensi penyandang autis. Hal ini dapat dilakukan
dengan cara sbb :
a. Keteraturan waktu dan tempat
yaitu jadwal harian yang tetap dan ruang yang pasti. Namun tidak berarti bahwa segala
sesuatu harus terjadi dengan cara yang sama. Perubahanperubahan kecil juga diperlukan
agar anak autis dapat meningkatkan fleksibilitas mereka.
b. Berhubung adanya kesulitan berpikir dan bertingkah laku pada anak autis, maka perlu
merangsang dan melatih anak melalui berbagai aspek yang disesuaikan dengan minat
yang dimiliki anak.
Kelompok 5 34
Skenario 3
c. Pengajaran dilakukan secara bertahap dan bila memungkinkan menggunakan alat peraga
d. Proses pendidikan berlangsung secara individual ( khusus ). Anak autis tidak memiliki
ketrampilan sosial yang diperlukan untuk belajar dalam situasi kelompok. Oleh karena
itu, pendekatan individual diberikan pada anak termasuk didalamnya individual play
training. Training bermain ini merupakan terapi yang mengajari anak bermain dan
membimbing anak ke dalam berbagai kemungkinan fungsional suatu mainan. Contohnya
seperti sebuah mobil tidak hanya merupakan benda dengan roda yang berjalan tetapi juga
dapat disetir dan mengangkut orang dan benda-benda lain.
Seperti halnya Rutter yang menekankan perlunya mengatasi stress pada keluarga,
Sleeuwen ( 1996 ) juga menekankan pentingnya konseling keluarga. Setelah seorang anak
didiagnosa autisme, adalah penting bahwa tidak hanya anak tersebut yang mendapatkan
pertolongan, namun juga orang tua. Orang tua perlu diberikan pengertian mengenai kondisi
anak dan mampu menerima anak mereka yang menderita autis. Mereka juga dilibatkan dalam
proses terapi ( Home training ). Konsep yang ada dalam home training ini adalah orang tua
belajar dan dilatih untuk dapat melakukan sendiri terapi yang dilakukan psikolog/terapis.
Terapi tidak hanya dilakukan oleh terapis tetapi juga oleh keluarga di rumah. Terapi yang
intensif akan meminimalisir kemungkinan hilangnya kemampuan yang telah dilatih dan
dikuasai anak.
Terapi Wicara
Umumnya hampir semua penyandang autisme menderita gangguan bicara dan
berbahasa. Oleh karena itu terapi wicara pada penyandang autisme merupkan keharusan.
Penanganannya berbeda dengan penderita gangguan bicara oleh sebab lain. Salah seorang
tokoh yang mengembangkan terapi bicara ini adalah Lovaas pada tahun 1977 yang
menggunakan pendekatan behaviouris - model operant conditioning. Anak yang mengalami
hambatan bicara dilatih dengan proses pemberian reinforcement dan meniru vokalisasi
terapis.
Rutter juga membahas mengenai terapi bicara dalam upaya meningkatkan
kemampuan komunikasi anak autis. Ia membuat table Promotion of Language Development
yang menerangkan alur kebutuhan dan masalah perkembangan bahasa anak autis disertai
pemecahan masalah yang dapat dilakukan sebagai berikut :
Kelompok 5 35
Skenario 3
TABEL I : Promotion of language Development
Kebutuhan Masalah Pemecahan
1. Perubahan sosial isolasi sosial
kurang interaksi timbal
balik
Perencanaan interaksi
Peningkatan kemampuan
sosial
Latihan Interaksi timbal
balik terstruktur
2. Komunikasi sosial Kegagalan menggunakan
bahasa sosial
Latihan
Pemberian Penguatan
Fokus pd komunikasi
3. Kapasitas linguistik Tidak berkapasitas Latihan langsung
Menggunakan tanda
alternatif lainnya
Fisioterapi
Pada anak autisme juga diberikan fisioterapi yang berfungsi untuk merangsang
perkembangan motorik dan kontrol tubuh.
Alternatif terapi lainnya
Selain itu ada beberapa terapi lainnya yang menjadi alternatif penanganan
penyandang autis menurut pengalaman Sleeuwen ( 1996 ) , yaitu :
a. Terapi musik
Meliputi aktivitas menyanyi, menari mengikuti irama dan memainkan alat musik.
Musik dapat sangat bermanfaat sebagai media mengekspresikan diri, termasuk pada
penyandang autis.
b. Son- rise program
Program ini berdasarkan pada sikap menerima dan mencintai tanpa syarat pada anak-
anak autistik. Diciptakan oleh orangtua yang anaknya didiagnosa menderita autisme
tetapi karena program latihan dan stimulasi yang intensif dari orangtua anak dapat
berkembang tanpa tampak adanya tanda-tanda autistik.
c. Program Fasilitas Komunikasi
Meskipun sebenarnya bukan bentuk terapi, tetapi program ini merupakan metode
penyediaan dukungan fisik kepada individu dalam mengekspresikan pikiran atau ide-
idenya melalui papan alfabet, papan gambar, mesin ketik atau komputer.
Kelompok 5 36
Skenario 3
d. Terapi vitamin
Penyandang autis mengalami kemajuan yang berarti setelah mengkomsumsi vitamin
tertentu seperti B 6 dalam dosis tinggi yang dikombinasikan dengan magnesium, mineral
dan vitamin lainnya.
e. Diet Khusus ( Dietary Intervention) yang disesuaikan dengan cerebral allergies yang
diderita penyandang autis.
ASPERGER'S SYNDROME
Asperger's syndrome memiliki karakteristik gangguan dan keanehan interaksi sosial
dan keterbatasan minat dan tingkah laku yang mirip pada anak dengan gangguan autistik.
Tidak seperti gangguan autistik, pada Asperger's syndrome tidak terdapat keterlambatan yang
signifikan dalam perkembangan bahasa, kognitif atau kemampuan untuk menolong diri
sendiri yang sesuai dengan usianya.
Pada tahun 1944, dokter dari austria mendeskripsikan sebuah syndrome autistic
psychopathy. Deskripsinya yang orisinal merupakan seseorang dengan kemampuan
intelegensia normal yang memiliki gangguan/perburukan timbal balik dalam suatu interaksi
sosial dan adanya kejanggalan tingkah laku tanpa keterlambatan pertumbuhan. Asperger's
syndrome terjadi dengan variasi berbagai variasi tingkat keparahan.
Epidemiologi
Tidak seperti anak dengan autisme, anak denngan Asperger's syndrome memiliki
perkembangan berbahasa yang normal, misalnya kemampuan berbahasa menggunakan kata
tunggal didapatkan pada anak usia 2 tahun dan penggunaan frase komunikatif pada usia 3
tahun. Asperger's syndrome memiliki keterkaitan keluarga yang telah diketahui.
Prevalensinya diperkirakan 11/10.000 anak pertahun.
Etiologi
Penyebab utama terjadinya Asperger's syndrome masih belum diketahui, namun
penelitian pada keluarga menunjukkan adanya kemungkinan hubungan seperti yang dimiliki
pada gangguan autistik yaitu adanya pengaruh dari genetik, metabolik, infeksi, dan gangguan
perinatal lainnya yang dapat menimbulkan kelainan pada perkembangan neuronal.
Diagnosis dan Manifestasi Klinis
Manifesttasi klinis pada Asperger’s syndrome setidaknya memiliki 2 indikasi dari
gangguan kualitas hubungan sosial yaitu:
Komunikasi gestur Abnormal yang tampak jelas.
Kelompok 5 37
Skenario 3
Ketidak mampuan menumbuhkan hunbungan dengan anak sebayanya.
Kurangnya timbalbalik emosional atau sosial dengan orang lain.
Dan gangguan dalam kemampuan untuk mengekspresikan rasa sengan terhhadap
kebahagiaan orang lain.
Keterbatasan minat dan pola tingkahlaku yang repetitif dan stereotipik selalu tampak,
namun jika hal ini tampak sangat halus maka akan sulit diidentifikasi sebagai Asperger's
syndrome atau membedakannya dari anak yang normal. Menurut DSM-IV-TR, pasien tidak
menunjukkan adanya keterlambatan perkembangan berbahasa, kognitif dan kemamppuan
adaptif.
Kriteria Diagnosis asperger’s syndrome berdasarkan DSM-IV-TR:
A. Gangguan kualitattif dalam interaksi sosial, manifestasi yang timbul minimal 2 dari
manifestasi berikut:
1. Gangguan yang nampak jelas dalam menggunakan tingkahlaku non verbal
seperti saling memandang mata, ekspresi wajah, postur tubuh dan gestur yang
digunakan dalam interaksi sosial.
2. Gagal menumbuhkan hubungan antar rekan sebaya yang sesuai dengan tahap
tumbuhkembangnya.
3. Kurangnya kemampuan spontan untuk berbagai kebahagiaan, minat, atau
pencapaian hasil kerja dengan orang lain. Misalnya dengan kurangnya
kemampuan spontan untuk menunjukkan, membawwa, atau menunjukkan
objek yang disukainya kepada orang lain.
4. Kurangnya timbal-balik sosial atau emosional dengan orang lian.
B. Keterbatasna pola tingkah laku, minat dan aktivitas yang repetitif dan stereotypik,
minimal menunjukkansatu gejala berikut:
1. Mencakup perokupasi terhadap satu atau lebih pola minat yang stereotipik dan
repetitif yang abnormal baik dari segi fokus atau intensitasnya
2. Ketaatan yang tidak fleksibel dalam melakukan ritual tertentu.
3. Tingkah laku motorik yang stereotypik dan repetitive (misalnya, bertepuk
tangan, memutar jari, atau gerak badan yang kompleks).
Kelompok 5 38
Skenario 3
4. Preokupasi (kesenangan ) yang persistent terhadap suatu bagian dari objek
tertentu.
C. Gangguan yang menyebabkan ketidakmampuan soisal, okupasional, atau area fungsi
tertentu.
D. Tidak ada keterlambatan secara general terhadap perkembangan berbahasa.misalnya
kata tunggal digunakan pada usia 2 tahun dan frase diguunakan padausia 3 tahun.
E. Tidak ada keterlambatatan yang signifikan dalam perkembanagn kognitif atau dalam
perkembangan kemampuan kognitif sesuai usia, kemampuan bersikap adaptive (selain
kemampuan bersinteraski sosial), dan keingintahuan terhadap lingkungan kanak-
kanak.
F. Kriterianya tidak termasuk dalam PDD spesifik lainnya atau schizophrenia.
Differential Diagnosis (DD)
Diferensial diagnosis dari Asperger's syndrome ttermasuk gangguan autistik, PDD
tidak spesifik, dan pada pasien yang menuju masa dewasa, schizoid personality disorder.
Berdasarkan DSM-IV-TR, perbedaan yang paling membingungkan antara asperger’s
syndrome dan gangguan autistik adalah absennya keterlambatan dan disfungsi kemampuan
berbahasa. Penelitan menunjukkan bahaw anak dengan asperger’s syndrome cenderung
memiliki kemampuan untuk mencari teman dan berinteraksi dengan lingkungan sosial
meskipun memiliki keterbatasan pada kemampuannya uuntuk bersosialisasi jika
dibandingkan dengan anak dengan gangguan autistik.
Prognosis
Prognosis pada Asperger's syndrome tergantung pada IQ, dan kemampuannya
bersosialisasi. Jika kedua kemampuan tersebut baik maka prognosisnya akan baik. Beberapa
laporan menunjukkan pada beberapa orang dewasa yang di diagnosis dengan Asperger's
syndrome pada saat anak-anak menunjukkan bahwa mereka cukup pintar dan mampu secara
verbal, namun pada beberapa orang dewasa tampak tidak nyaman secara sosial dan malu-
malu di dalam kehidupan sosialnya dan kadang menunjukkan pemikiran yang tidak logis.
Tatalaksana
Prinsip terapi dari Asperger's syndrome adalah pemberian dukungan dan terapi
suportif dengan tujuan untuk menimbulkan kemampuan untuk bersosialisasi dan membangun
Kelompok 5 39
Skenario 3
hubungan dengan rekan sebayanya. Intervensi medis diberikan untuk membentuk interaksi
yang lebih baik dengan rekan sebayanya. Seringkali, anak dengan Asperger's syndrome
memiliki kemampuan verbal dan pencapaian akademis yang tinggi. Kemampuan seseorang
penderita Asperger's syndrome untuk bergantung pada aturan yang kaku dan ketat, dan
rutinitas dapat menggangu kemampuan adaptif merek. Rutinitas yang nyaman dan
menyenangkan dapat membantu kebiasaan yang positif dalam kehidupan sosial mereka. Pada
kasus ketidak mampuan bersosialisasi yang berat diperlukan strategi yang sama seperti pada
penderita autisme. Terapi dengan kelompok pelatihan kemampuan sosial merupakan
intervensi yang perlu dilakukan pada anak dengan kemampuan sosialisasi yang rendah. Dan
terapi kognitif-dan-tingkahlaku sangat berguna pada anak Asperger's syndrome dengan
kecemasan (Anxiety).
GANGGUAN RETT
Epidemiologi
6 sampai 7 kasus gangguan Rett per 100.000 anak perempuan.
Etiologi
Tidak diketahui pasti. Kemungkinan bahwa gangguan Rett memiliki dasar genetic,
karena hanya ditemukan pada anak perempuan, adanya kesesuaian lengkap pada kembar
monozigotik.
Diagnosis dan Manifestasi klinis
Selama 5 bulan pertama setelah lahir, bayi memiliki keterampilan motorik yang sesuai
dengan usia, lingkaran kepala yang normal, dan pertumbuhan yang normal. Interaksi social
menunjukkan kualitas timbale balik yang diharapkan. Pada umur 6 bulan sampai 2 tahun,
anak-anak mengalami ensefalopati progresif, dengan sejumlah ciri karakteristik. Tanda-tanda
seringkali berupa hilangnya gerakan tangan yang bertujuan, yang digantikan oleh gerakan
stereotipik, seperti memuntirkan tangan, hilangnya bicara yang sebelumnya telah didapatkan,
retardasi psikomotor, dan ataksia. Gerakan stereotipik lain pada tangan dapat terjadi, seperti
menjilat atau menggigit jari dan gerakan menepuk atau menjentik. Pertumbuhan lingkaran
kepala melambat, yang menyebabkan mikrosefali. Semua ketrampilan bahasa hilang, dan
keterampilan komunikatif reseptif maupun ekspresif dan sosial tampaknya mendatar pada
Kelompok 5 40
Skenario 3
tingkat perkembangan antara 6 bulan dan 1 tahun. Koordinasi otot yang buruk dan gaya
berjalan apraksik berkembang, gaya berjalan memiliki kualitas yang tidak mantap dan kaku.
Semua gambaran klinis diatas adalah kriteria diagnostik untuk gangguan.
Ciri penyerta adalah kejang pada sampai 75 persen anak yang terkena dan
diorganisasi EEG dengan pelepasan epileptiform pada hampir semua anak kecil dengan
gangguan Rett, walaupun tidak adanya kejang klinis.
Kriteria diagnosis
A. Semua berikut:
1) Perkembangan prenatal dan perinatal yang tampaknya normal
2) Perkembangan psikomotor yang tampaknya normal selama 5 bulan pertama setalah
lahir
3) Lingkaran kepala yang normal saat lahir
B. Onset semua berikut ini setelah periode perkembangan normal
1) Pertambahan pertumbuhan kepala antara usia 5 dan 48 bulan
2) Hilangnya keterampilan tangan bertujuan yang sebelumnya telah dicapai antara usia 5
dan 30 bulan dengan diikuti perkembangan gerakan tangan stereotipik
3) Hilangnya keterlibatan sosial dalam awal perjalanan
4) Terlihatnya gaya berjalan atau gerakan batang tubuh yang terkoordinasi secara buruk
5) Gangguan parah pada perkembangan bahasa ekspresif dan reseptif dengan retardasi
psikomotor yang parah.
Differential Diagnosis (DD)
Beberapa anak dengan gangguan Rett mendapatkan diagnosis awal gangguan autistik
karena adanya ketidakmampuan yang jelas dalam berinteraksi sosial pada kedua gangguan
tersebut. Tetapi, kedua gangguan memiliki perbedaan yang dapat diramalkan. Pada gangguan
Rett, anak menunjukkan pemburukan kejadian perkembangan lingkaran kepala, dan
pertumbuhan keseluruhan; pada gangguan autistic, berbagai manerisme tangan mungkin
Kelompok 5 41
Skenario 3
terjadi atau tidak. Koordinasi yang buruk, ataksia, dan apraksia merupakan bagian dari
gangguan Rett yang ditemukan; banyak orang dengan gangguan autistic memiliki fungsi
motorik kasar yang tidak istimewa. Pada gangguan Rett, kemampuan verbal biasanya hilang
sama sekali; pada gangguan autistic, pasien menggunakan bahasa yang menyimpang secara
karekteristik. Iregularitas pernafasan adalah karakteristik untuk gangguan Rett, dan kejang
seringkali ditemukan sejak awal; pada gangguan autistic, tidak ada disorganisasi pernafasan
yang ditemukan, dan kejang tidak berkembang pada sebagian besar pasien; jika kejang
berkembang, kemungkinan lebih sering terjadi pada masa remaja dibandingkan pada masa
anak-anak.
Prognosis
Gangguan Rett adalah progresif. Prognosis tidak diketahui sepenuhnya, tetapi pasien
tersebut yang hidup sampai dewasa tetap pada tingkat kognitif dan sosial yang sama dengan
tingkat pada tahun pertama kehidupan.
Tatalaksana
Terapi ditujukan pada intervensi simptomatik. Fisioterapi telah bermanfaat bagi
disfungsi otot, dan terapi antikonvulsan biasanya diperlukan untuk mengendalikan kejang.
Terapi prilaku berguna untuk mengendalikan perilaku melukai diri sendiri, seperti juga dalam
terapi gangguan autistic, dan dapat membantu mengatur disorganisasi pernafasan.
GANGGUAN DISINTEGRATIF MASA ANAK-ANAK
Epidemiologi
Diperkirakan sekurangnya sepersepuluh dari gangguan autistik, dan prevalensi
diperkirakan kira-kira satu kasus pada 100.000 anak laki-laki. Rasio anak laki-laki
berbanding anak perempuan tampaknya antara 4 dan 8 anak laki-laki berbanding 1 anak
perempuan.
Etiologi
Kelompok 5 42
Skenario 3
Penyebab pasti tidak diketahui, tetapi gangguan telah berhubungan dengan kondisi
neurologis lain, termasuk gangguan kejang, sklerosis tuberosus, dan berbagai gangguan
metabolic.
Diagnosis dan Manifestasi Klinis
Diagnosis dibuat berdasarkan ciri-ciri yang memenuhi karakteristik usia onset,
gambaran klinis, dan perjalanan penyakit. Menurut DSM-IV , usia onset minimal adalah 2
tahun. Onset mungkin samar-samar selama beberapa bulan, atau mungkin relative tiba-tiba,
dengan menghilangkan kemampuan dalam beberapa hari atau minggu.
Ciri inti dari gangguan adalah hilangnya keterampilan komunikasi, regresi yang jelas
pada interaksi timbal-balik, dan onset gerakan stereotipik dan perilaku kompulsif. Gejala
afektif adalah sering ditemukan, terutama kecemasan, dan juga regresi dalam kecakapan
menolong diri sendiri, seperti pengendalian usus dan kandung kemih. Untuk mendapatkan
diagnosis, anak harus menunjukkan kehilangan keterampilan dalam dua bidang berikut ini:
bahasa, perilaku sosial atau adaptif, pengendalian usus atau kandung kemih, bermain, dan
keterampilan motorik. Kelainan harus ditemukan sekurangnya pada 2 kategori berikut:
interaksi sosial timbal-balik, keterampilan komunikasi, dan perilaku stereotipik atau terbatas.
Ciri neurologis utama yang berhubungan adalah gangguan kejang.
Kriteria diagnosis
A. Pertumbuhan yang tampaknya normal selama sekurangnya 2 tahun pertama setelah lahir
seperti yang ditunjukkan oleh adanya komunikasi verbal dan nonverbal yang sesuai
dengan usia, hubungan sosial, permainan, dan perilaku adaptif.
B. Kehilangan bermakna secara klinis keterampilan yang telah dicapai sebelumnya (sebelum
usia 10 tahun) dalam sekurangnya 2 bidang berikut:
1) Bahasa ekspresif atau reseptif
2) Keterampilan sosial atau perilaku adaptif
3) Pengendalian usus atau kandung kemih
4) Bermain
5) Keterampilan motorik
Kelompok 5 43
Skenario 3
C. Kelainan fungsi dalam sekurangnya 2 bidang berikut:
1) Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial (misalnya, gangguan dalam perilaku
nonverbal, gagal untuk mengembangkan hubungan teman sebaya, tidak ada timbal-
balik sosial atau emosional)
2) Gangguan kualitatif dalam komunikasi (misalnya, keterlambatan atau tidak adanya
bahasa ucapan, ketidakmampuan untuk memulai atau mempertahankan suatu
percakapan, pemakaian bahasa yang stereotipik dan berulang, tidak adanya berbagai
permainan khayalan)
3) Pola perilaku, minat dan aktivitas yang terbatas, berulang, dan stereotipik, termasuk
stereotipik dan manerisme motorik
D. Gangguan tidak diterangkan lebih baik oleh gangguan perkembangan pervasive spesifik
lain atau oleh skizofrenia.
Differential Diagnose (DD)
Diagnosis banding gangguan disintegrative masa anak-anak adalah gangguan autistik
dan gangguan Rett. Gangguan disintegratif masa anak-anak dibedakan dari gangguan autistik
dengan hilangnya perkembangan yang sebelumnya telah tercapai. Sebelum onset gangguan
disintegratif masa anak-anak (terjadi pada usia 2 tahun atau lebih), bahasa biasanya telah
berkembang sampai pembentukan kalimat.
Pada gangguan Rett, pemburukan terjadi lebih awal dibandingkan gangguan
disintegratif masa anak-anak, dan gerakan tangan stereotipik yang karakteristik untuk
gangguan Rett tidak terjadi pada gangguan disintegratif masa anak-anak.
Prognosis
Perjalan penyakit gangguan disintegratif masa anak-anak adalah bervariasi, dengan
pendataran yang dicapai pada sebagian besar kasus, suatu pemburukan progresif perjalan
penyakit pada kasus yang jarang, dan kadang-kadang terjadi suatu perbaikan sampai titik
mencapai kemampuan berbicara dalam kalimat. Sebagian besar pasien tetap dalam retardasi
mental yang sekurangnya sedang.
Kelompok 5 44
Skenario 3
Tatalaksana
Karena kemiripan klinis dengan gangguan autistik, terapi gangguan disintegratif masa
anak-anak adalah sama dengan untuk gangguan autistik.
PERVASIVE DEVELOPMENTAL DISORDER NOT
OTHERWISE SPECIFIED (PDD-TIDAK SPESIFIK)
DSM-IV-TR mendefinisakan PDD tidak spesifik sebagai, gangguan pervasif pada
kemampuan berkomunikasi, atau adanya tingkahlaku yang repetitif dan stereotipik
ketertarikan dan aktivitas yang terkait dengan ketidakmampuan dalam berinteraksi sosial.
Anak yang telah didiagnosis menunjukkan keterbatasan aktivitas dan minat yang repetitif.
Kriteria dari PDD spesifik, schizophrenia, dan schizotypal dan avoidant personality disorders
tidak ditemukan pada PDD tidak spesifik.
Diagnosis
Berdasarkan DSM-IV-TR, PDD tidak spesifik merupakan kategori dimana terdapat
gangguan pervasif pada kemampuan berkomunikasi, atau adanya tingkahlaku yang repetitif
dan stereotipik ketertarikan dan aktivitas yang terkait dengan ketidakmampuan dalam
berinteraksi sosial, yang tidak termasuk dalam kriteria dari PDD spesifik, schizophrenia, dan
schizotypal dan avoidant personality disorders tidak ditemukan pada PDD tidak spesifik.
Misalnya atypical Autism karena onsetnya yang terlambat, gejala yang atypical, batas gejala
yang atipikal atau karena semua itu.
Diagnosis Atypical Autism oleh ICD-10:
Atypical Autism
A. Abnormalitas atau ketidakmampuan dalam perkembangan pada usia 3 tahun keatas.
B. Terdapat abnormalitas dalam kualitas timbal-balik dalam interaksi soisal atau dalam
berkomunikasi atau terdapat pola tingkahlaku dan aktivitas yang terbatas, repetitif,
dan streotipik (kriteria seperti autisme kecuali tidak perlu utnuk menemukan kriteria
dengan area tertentu)
C. Gangguan yang tidak sesuai dengan kriteria diagnosis autisme. Autisme memiliki
karakteritik dari segi onset,atau gejalanya.
Atypicality in age of onset
Kelompok 5 45
Skenario 3
A. Onsetnya tidak sesuai kriteria dalam autisme; yaitu terjadi gangguan perkembangan
pada usia dibawah 3 tahun
B. Gangguannya sesuai dengan kriteria B dan C untuk autisme.
Atypicality in symptomatology
A. Gangguan tersebut sesuai dengan kriteria A untuk autisme, dan tterjadi abnormalitas
perkembangan sebelum usia 3 tahun.
B. Abnormalitas dalam kualitas timbal balik dalam interaski sosial atau dalam
berkomunikasi atau adanya pola tingkah laku, minat dan aktivitas yang terbatas,
repetitif dan stereotipik.
C. Sesuai kriteria C untuk autisme.
D. Tidak seesuai kriteria B untuk autisme.
Atypicality in both age of onset and symptomatology
A. Gangguan tersebut tidak sesuai dengan kriteria A untuk autisme, dan abnormalita
perkkembangan terjadi setelah usia 3 tahun
B. Terdapat abnormalitas dalam kualitas T timbal balik dalam interaski sosial atau dalam
berkomunikasi atau adanya pola tingkah laku, minat dan aktivitas yang terbatas,
repetitif dan stereotipik.
C. Ssesuai untuk kriteria C pada autisme.
D. Tidak sesuai dengan kriteria B untuk autisme.
Tatalaksana
Pendekatan terapinya dasarnya seperti terapi pada autisme. Jika dibandingkan dengan
gangguan autistik, anak dengan PDD tidak spesifik biasanya memiliki kemampuan berbahasa
dan kemampuan mengurus diri yang jauh lebih baik, jadi mereka merupakan kandidat yang
baik untuk psikoterapi.
Kelompok 5 46
Skenario 3
ATTENTION–DEFICIT/ HYPERACTIVITY DISORDER
(ADHD)
Ditandai oleh rentang perhatian yang buruk yang tidak sesuai dengan perkembangan
atau ciri hiperaktivitas dan impulsivitas atau keduanya yang tidak sesuai. Untuk memenuhi
kriteria diagnostik gangguan harus ada sekurangnya enam bulan, menyebabkan gangguan
dalam fungsi akademik atau social, dan terjadi sebelum usia 7 tahun. Menurut Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorder edisi keempat(DSM-IV),diagnosis dibuat dengan
menegakkan sejumlah gejala dalam bidang inatensi atau bidang hiperaktivitas-impulsivitas
atau keduanya. Tiga subtype gangguan deficit-atensi/hiperaktivitas menuerut DSM-IV :
o Tipe predominan inatentif
o Tipe predominan hiperaktif-impulsif
o Tipe kombinasi
Epidemiologi
Inisidensi anak laki-laki lebih tinggi dibandingkan anak perempuan di Amerika
Serikat, dengan rasio 3 berbanding 1 sapai 5 berbanding 1, inisdensi GDAH di
Amerika Serikat bervariasi dari 2 sampai 20 persen anak-anak sekolah dasar.
Gangguan paling sering ditemukan pada anak laki-laki yang pertama
Orang tua dari anak-anak dengan GDAH menunjukkan peningkatan insidensi
hiperkenesis, sosiopati, gangguan penggunaan alcohol, dan gangguan konversi
Etiologi
Penyebab gangguan deficit-atensi/hiperaktivitas tidak diketahui
Factor penyumbang yang diajukan untuk GDAH adalah pemaparan toksin prenatal,
prematuritas, dan kerusakan mekanis prenatal pada sisitem saraf janin
Kemungkinan penyebab perilaku hiperaktif penyebab makanan, zat pewarna,
pengawet, dan gula. Namun tidak ada bukti ilmiah yang menyatakan factor tersebut
menyebabkan gangguan deficit atensi/hiperaktivitas
Kelompok 5 47
Skenario 3
Faktor genetikbukti untuk dasar genetic gangguan deficit atensi / hiperaktivitas
adalah lebih besarnya angka kesesuaian dalam kembar monozigotik dibandingkan
kembar dizigotik.
Cedera otak Diperkirakan beberapa anak yang terkena GDAH mendapatkan
cedera otak yang minimal dan samar-samar pada Sistem Saraf Pusatnya selama
periode janin dan perinatalnya. Atau cedera otak mungkin disebabkan oleh efek
sirkulasi, toksik, metabolic, mekanik dan efek lain yang merugikan dan oleh stress
dan kerusakan fisik pada otak selama masa bayi yang disebabkan oleh infeksi,
peradangan, dan trauma. CT kepala pada anak dengan gangguan deficit
atensi/hiperaktivitas tidak menunjukkan temuan yang konsisten. Penelitian dengan
menggunakan PET (positron emission tomography) telah menemukan penurunan
aliran darah serebral dan kecepatan metabolism di daerah lobus frontalis anak-anak
dengan gangguan defisti atensi/ hiperaktivitas dibandingkan dengan control.
Factor neurokimiawi Banyak neurotransmitter telah dihubungkan dengan gejala
defisit atensi dan hiperaktivitas. Sebagian temuan berasal dari pemakaian banyak
medikasi yang menimbulkan efek positif pada gangguan. Obat yang paling banyak
diteliti dalam terapi gangguan deficit atensi/hiperaktivitas, stimulant, mempengaruhi
dopamine maupun norefpinefrin, yang menghasilkan hipotesisi neurotransmitter yang
menyatakan kemungkinan disfungsi pada system adrenergic dan
dopaminergik.stimulan meningkatkan katekolamin dengan mempermudah
pelepasannya dan dengan menghambat ambilannya.
Factor neurologis Beberapa anak mengalami maturasi pertumbuhan secara
berurutan yang tampaknya gejala ADHD yang tampaknya sementara. Korelasi
fisiologi dengan ditemukannya berbagai pola elektroensefalogram (EEG) abnormal
yang terdisorganisasi dan karakteristik untuk anak kecil. Pada beberapa kasus temuan
EEG menjadi noral dengan berjalannya wkatu.
Factor psikososial Kejadian fisik yang menimbulkan stress, suatu gangguan
dalam keseimbangan keluarga, dan factor yang menyebabkan kecemasan berperan
dalam awal berlajutnya GDAH.
Kelompok 5 48
Skenario 3
Diagnosis
Menurut DSM-IV, gejala harus ditemukan pada sekurangnya dua keadaan (sebagai
contohnya, sekolah, rumah) untuk memenuhi kriteria diagnostic untuk gangguan deficit-
atensi/hiperaktivitas. Kriteria diagnostic untuk gangguan Defisit-Atensi/Hiperaktivitas :
A. Salah satu (1) atau (2) :
1. Inatensi : enam (atau lebih) gejala inatensi berikut ini telah menetap selama
sekurangnya enam bulan sampai tingkat yang maladaptive dan tidak konsisten
dengan tingkat perkembangan :
a) Sering gagal memberikan perhatian terhadap perincian atau melakukan
kesalahan yang tidak berhati-hati dalam tugas sekolah, pekerjaan atau
aktivitas lain
b) Sering mengalami kesulitan dalam mempertahankan atensi terhadap
tugas atau aktivitas permainan
c) Sering tidak tampak mendengarkan jika berbicara langsung
d) Sering tidak mengikuti instruksi dan gagal menyelesaikan tugas
sekolah, pekerjaan, atau kewajiban di tempat kerja(bukan karena
perilaku oposisional atau tidak dapat mengerti instruksi)
e) Sering mengalami kesulitan dalam menyusun tugas dan aktivitas
f) Sering menghindari, membenci atau enggan untuk terlibat dalam tugas
yang memerlukan usaha mental yanglama (seperti tugas sekolah atau
pekerjaan rumah)
g) Sering menghindari hal-hal yang perlu untuk tugas atau aktivitas
(misalnya, tugas sekolah, pensil, buku atau peralatan)
h) Sering mudah dialihkan perhatiannya oleh stimuli luar
i) Sering lupa dalam aktvitas sehari-hari
Kelompok 5 49
Skenario 3
2. Hiperaktivitas-impulsivitas ; Enam (atau lebih) gejala hiperaktivitas-
impulsivitas berikut ini telah menetap selama sekurangnya enam bulan sampai
tingkat yang maladaptive dan tidak konsisten dengan tingkat perkembangan :
HIPERAKTIVITAS
a) Sering gelisah dengan tangan dan kaki atau menggelait-geliat ditempat
duduk
b) Sering meninggalkan tempat duduk di kelas atau dalam situasi lain
dimana diharapkan tetap duduk
c) Sering berlari-lari atau memanjat secara berlebihan dalam situasi yang
tidak tepat ( pada remaja atau dewasa, mungkin terbatas pada perasaan
subjektif kegelisahan)
d) Sering menagalami kesulitan bermain atau terlibat dalam aktivitas
waktu luang secara tenang
e) Sering “siap-siap pergi” atau bertindak seakan-akan “didorong oleh
sebuah motor”
f) Sering bicara berlebihan
IMPULSIVITAS
g) Sering menjawab tanpa piker terhadap pertanyaan sebelum pertanyaan
selesai
h) Sering sulit menunggu gilirannya
i) Sering memutus atau menggangu orang lain (misalnya, memotong
masuk kepercakapan atau permainan)
B. Beberapa gejala hiperaktif-impulsif atau inatentif yang menyebabkan gangguan telah
ada sebelum usia 7 tahun
C. Beberapa gangguan akibat gejala ada selama duaatau lebih situasi (misalnya,
disekolah, pkerjaan, atau dirumah)
Kelompok 5 50
Skenario 3
D. Harus terdapat bukti jelas adanya gangguan yang bermakna secara klinis dalam fungsi
social, akademik, atau fungsi pekerjaan
E. Gejala tidak terjadi semata-mata selama perjalanan gangguan perkembangan
pervasive, skizofrenia, atau gangguan psikotik lain dan tidak diterangkan lebih baik
oleh gangguan mental lain (misalnya, gangguan mood, gangguan kecemasan,
gangguan disosiatif, atau gangguan kepribadian).
Penulisan didasarkan pada tipe :
Gangguan defisit-atensi/hiperaktivitas, tipe kombinasi : jika memenuhi baik kriteria
A1 dan A2 selama enam bulan terakhir.
Gangguan defisit-atensi/hiperaktivitas, predominan tipe inatentif : jika memenuhi
kriteria A1 tetapi tidak memenuhi kriteria A2 selama enam bulan terakhir
Gangguan defisit-atensi/hiperaktivitas, predominan tipe hiperaktif-impulsif : jika
memenuhi kriteria A2 tetapi tidak memenuhi kriteria A1 selama 6 bulan terakhir
Manifestasi Klinis
1) Bayi dengan ADHD peka terhadap stimuli dan mudah dimarahkan oleh suara,
cahaya, temperature, dan perubahan lingkungan lain. Kadang terjadi sebaliknya,
anak-anak tenang dan lemah, banyak tidur, dan tampaknya berkembang lambat
pada bulan-bulan pertama kehidupan. Tetapi, lebih sering untuk bayi dengan
ADHD untuk bersikap aktif di tempat tidurnya, sedikit tidur dan banyak
menangis.
2) Di sekolah, anak dengan ADHD cepat menyambar ujian tetapi hanya menjawab
satu atau dua pekerjaan pertama. Mereka tidak mampu menunggu giliran dipaggil
di sekolah dan menjawab giliran orang lain.
3) Di rumah, mereka tidak dapat didiamkan walaupun hanya semenit
4) Anak-anak dengan ADHD sering kali mudah marah secara meledak. Iritabilitas
mereka mungkin ditimbulkan oleh stimuli yang relative kecil, yang mungkin
membingungkan dan mencemaskan anak. Mereka sering labi secara emosional,
mudah dibuat tertwa atau menangis, dan tidak dapat diramalkan. Impulsivitas dan
Kelompok 5 51
Skenario 3
ketidakmampuan menunda kegembiraan adalah karakteristik. Mereka sering kali
rentan terhadap kecelakaan.
5) Karakteristik anak-anak dengan ADHD yang tersering dinyatakan adalah,
dalamurutan frekuensi (1) hiperaktivitas, (2) gangguan motorik perceptual (3)
labilitas emosional (4) deficit koordinasi menyeluruh (5) gangguan atensi (rentang
atensi yang pendek, distraktibilitas, keras hati, gagal menyelesaikan hal, inatensi,
konsentrasi yang buruk), (6) impulsivitas (bertindak sebelum berpikir, mengubah
perilaku dengan tiba-tiba, tidak memilki organisasi, meloncat-loncat disekoah),
(7) gangguan daya ingat dan pikiran, (8) keitdakmampuan belajar spesifik, (9)
gangguan bicara dan pendengaran, dan (10) tanda neurologis dan iregularitas EEG
yang samar-samar.
6) Kira-kira 75% anak-anak dengan ADHD hamper konsisten menunjukkan gejala
perilaku agresi dan menantang.
Prognosis
Perjalanan penyakit bervariasi. Gejala dapat menetap sampai masa remaja
atau kehidupan dewasa, gejala dapat menghilang pada pubertas, atau
hiperaktivitas mungkin menghilang, tetapi penurunan rentang atensi dan
masalah penegendalian impuls mungkin menetap. Overaktivitas biasanya
merupakan gejala pertama yang menghilang dan distraktibilitas adalah yang
terakhir.
Remisi kemungkinan tidak terjadi sebelum usia 12 tahun. Jika remisi memang
terjadi, biasanya terjadi antara usia 12 dan 20 tahun. Remisi dapat disertai
dengan masa remaja dan kehidupan dewasa yang produktif, hubungan
interpersonal yang memuaskan, dan relative sedikit sekuela yang bermakna.
Tetapi, sebagian besar pasien dengan ADHD mengalami remisi parsial dan
rentan terhadap gangguan kepribadian antisocial dan gangguan kepribadian
lain serta gangguan mood.
Pada kira-kira 15 sampai 20% kasus, gejala ADHD menetap sampai masa
dewasa. Mereka dengan gangguan mungkin menunjukkan penurunan
hiperaktivitas tetapi tetap impulsive dan rentan terhadap kecelakaan.
Kelompok 5 52
Skenario 3
Anak-anak dengan ADHD yang gejalanya menetap sampai masa remaja
berada dalam resiko tinggi untuk mengalami gangguan konduksi. Kira-kira
50% anak dengan gangguan konduksi akan mengenmbangkan gangguan
kepribadian antisocial di masa dewasanya.
Tatalaksana
Farmakoterapi
Agen farmakologis untuk ADHD adalah stimulan SSP, terutama dextroamphetamin
(Dexedrine), methylphenidate, dan pemoline (Cylert). Methyilpenidate adalah medikasi kerja
singkat yang biasanya digunakan secara efektif selama jam-jam sekolah, sehingga anak
dengan gangguan deficit-atensi/hiperaktivitas dapat memperhatikan tuganya dan tetap di
dalam ruang kelas. Efek samping obat yang paling sering adalah nyeri kepala, nyeri lambung,
mual, dan insomnia. Beberapa anak mengalami efek “rebound”, dimana mereka menjadi agak
mudah marah dan tampak agak hiperaktif selama waktu yang singkat saat medikasi
dihentikan.
Antidepressant-termasuk imipiramine (tofranil), despiramine, dan nortriptyline
(pamelor)telah digunakan untuk mengobati ADHD. Pada anak-anak dengan gangguan
kecemasan atau gangguan depresif komorbid dan pada anak-aak dengan gangguan tik yang
menghalangi pemakaian stimulant, antidepressant mungkin berguna, walaupun, untuk
hiperaktivitasnya sendiri, stimuli lebih manjur. Antidepressant memerlukan monitoring yang
cermat pada fungsi jantung.
Psikoterapi
Medikasi saja jarang memuaskan kebutuhan terapetik yang menyeluruh pada anak
ADHD dan biasanya hanya merupaka satu segi dari regimen multimodalitas. Pada psikoterapi
individual, modifikasi perilaku, konseling orang tua, dan terapi tiap gangguan belajar yang
menyertai juga diperlukan.
Jika menggunakan medikasi, anak dengan ADHD harus diberikan kesempatan untuk
menggali arti medikasi bagi mereka. Denagn melakukan itu akan menghilangkan kekeliruan
pengertian (seperti, “saya gila”) tentang pemakaian medikasi dan menjelaskan bhwa medikasi
hanya sebagai tambahan. Anak-anak harus mengerti bahwa mereka tidak perlu selalu
sempurna.
Kelompok 5 53
Skenario 3
Jika anak-anak dengan ADHD dibantu untuk menyusun lingkungannya, kecemasan mereka
menghilang. Dengan demikian, orang tua dan guru mereka harus membangun struktur hadiah
atau hukuman yang dapat diperkirakan, dengan menggunakan model terapi perilaku dan
menerapkan menerapkannya dalam lingkungan fisik, temporal, dan interpersonal. Orang tua
harus juga dibantu untuk menyadari bahwa, walaupun ada kekurangan pada anak-anak
mereka dalam beberaa bidang, mereka menghadapi tugas maturasi yang normal, termasuk
perlu mengambil tanggung jawab atas tindakan mereka .
Kelompok 5 54
Skenario 3
RETARDASI MENTAL
Menurut WHO retardasi mental adalah kemampuan mental yang tidak mencukupi.
Menurut PPDGJ III, Retardasi Mental adalah suatu keadaan perkembangan mental yang
terhenti atau tidak lengkap atau tidak sesuai dengan tingkat perkembangan anak seusianya.
Ditandai oleh adanya hendaya keterampilan selama masa perkembangan, sehingga
berpengaruh pada tingkat intelegensia anak yaitu pada kemampuan kognitif, bahasa, motorik
dan sosial anak. Bukan suatu penyakit melainkan suatu kondisi yang timbul pada usia yang
dini (biasanya sejak lahir) dan menetap sepanjang hidup individu tersebut.
Definisi lainnya adalah suatu kondisi yang ditandai oleh intelegensi yang rendah yang
menyebabkan ketidakmampuan individu untuk belajar dan beradaptasi terhadap tuntutan
masyarakat atas kemampuan yang dianggap normal. Seseorang dikatakan retardasi mental,
bila memenuhi criteria sbb:
1. Fungsi intelektual umum di bawah normal (apabila IQ < 70)
2. Terdapat kendala dalam perilaku adaptif sosial
3. Gejalanya timbul dalam masa perkembangan yaitu dibawah usia 18 tahun.
Anak dengan retardasi mental tidak dapat mengikuti pendidikan sekolah biasa, karena
cara berpikirnya yang terlalu sederhana, daya tangkap dan daya ingatan yang lemah,
demikian pula dengan pengertian bahasa dan berhitungnya juga sangat lemah.
Yang dimaksud dengan perilaku adaptif social adalah kemampuan seseorang untuk
mandiri, menyesuaikan diri dan mempunyai tanggung jawab social yang sesuai sengan
kelompok umur dan budayanya. Pada penderita retardasi mental gangguan perilaku adaptif
yang paling menonjol adalah kesulitan menyesuaikan diri dengan masyarakat sekitarnya.
Gejala retardasi mental harus timbul pada masa perkembangan, yaitu dibawah umur
18 tahun, karena jika gejalanya timbul pada usia diatas 18 tahun maka bukan lagi disebut
retardasi mental.
Retardasi mental diderita apabila IQ daibawah 70, retardasi tipe ringan masih mampu
dididik, retardasi mental tipe sedang mampu latih, sedangkan retardasi tipe berat dan sangat
berat memerlukan pengawasan dan bimbingan seumur hidupnya.
Kelompok 5 55
Skenario 3
Epidemiologi
Insidensi tertinggi adalah pada anak usia sekolah, dengan ouncak usia 10-14 tahun
Laki-laki > wanita
Faktor-faktor yang potensial sebagai penyebab retardasi mental :
1. Non-organik
kemiskinan dan keuarga ang tidak harmonis
faktor sosiokultural
interkasi anak-pengasuh yang tidak baik
penelantran anak
2. Organik
a. Faktor prakonsepsi
abnormalitas single gene (penyakit metabolik, kelainan neurocutaneus, dll)
kelainan kromosom (X-linked, translokasi, fragil-X)- sindrom polygenic
familial
b. Faktor pranatal
gangguan pertumbuhan otak trimester I
- kelainan kromosom (trisomi, mosaik,dll)
- infeksi intrauterin, misalnya TORCH, HIV.
- zat-zat teratogen (alkohol, radisai, dll)
- disfungi plasenta
- kelainan kongenital dari otak (idiopatik)
gangguan pertumbuhan otak trimester II dan III
- infeksi intrauterin, misalnya TORCH, HIV
- zat-zat teratogen (alkohol, kokain, logam berat, dll)
- ibu diabetes melitus, PKU
- toksemia gravidarum
- disfungsi palsenta
- ibu malnutrisi
c.Faktor perinatal
sangat prematur
asfiksia neonatorum
trauma lahir : perdarahan intra kranial
Kelompok 5 56
Skenario 3
meningitas
kelainan metabolik
d. Faktor postnatal
trauma berat pada kepala atau SSP
neuro toksin, misalnya logam berat
CVA
Anoksia
Metabolik, misalnya gizi buruk, kelainan hormonal, aminoacidura, penyakit
degeneratif, dll
Infeksi, misalnya : meningitis, ensefalitis,dll
Diagnosis
Diagnosis retardasi mental dapat dibuat setelah riwayat penyakit, pemeriksaan
intelektual yang baku, dan pengukuran fungsi adaptif menyatakan bahwa perilaku anak
sekarang adalah secara bermakna di bawah tingkat yang di harapkan. Suatu riwayat penyakit
dan wawancara psikiatri adalah berguna untuk mendapatkan gambaran longitudinal
perkembangan dang fungsi anak, dan pemeriksaan stigma fisik, kelainan neurologis dan tes
laboratorium dapat digunakan untuk memastikan penyebab dan prognosis.
Tingkat kecerdasan (intelegensia) bukan satu-satunya karakteristik, melainkan harus
dinilai berdasarkan sejumlah besar keterampilan spesifik yang berbeda. Meskipun ada
kecenderungan umum bahwa semua keterampilan ini akan berkembang ke tingkat yang yang
sama pada sitiap individu, namundapat terjadi suatu ketimpangan yang besar, khususnya pada
penyandang retardasi mental.
Penilaian tingkat kecerdasan harus berdasarkan semua informasi yang tersedia,
termasuk temuan klinis, perilaku adaptif (yang dinilai dalam kaitan dengan latar belakang
kebudayaan), dan hasil tes psikometrik. Untuk diagnosis yang pasti, harus ada penurunan
tingkat kecerdasan yang mangakibatkan berkurangnya kemampuan adaptif terhadap tuntutan
dari lingkungan social biasa sehari-hari. Gangguan jiwa dan fisik yang menyertai retardasi
mental, mempunyai pengaruh besar pada gambaran klinis dan penggunaan dari semua
keterampilannya.
Kelompok 5 57
Skenario 3
Riwayat penyakit
Riwayat penyakit paling sering didapatkan dari orangtua atau pengasuh, dengan
perhatian khusus pada kehamilan ibu, persalinan, dan kelahiran; adanya riwayat keluarga
retardasi mental; hubungan darah pada orangtua; dan gangguan herediter. Sebagai bagian
riwayat penyakit, klinis menilai latar belakang sosiokultural pasien, iklim emosional di rumah
dan fungsi intelektual pasien.
Wawancara psikitri
Dua factor memiliki kepentingan yang sangat tinggi jika mewawancarai pasien: sikap
pewawancara dan cara berkomunkasi dengan pasein. Pewwaancara tidak boleh diatur oleh
usia mental pasien, seakan-akan tidak dapat sepenuhnya mengkarakterisasi orang.
Kemampuan verbal pasien termasuk bahasa reseptof dan ekspresif, harus dinilai segera
mungkin dengan mengobservasi komunikasi verbal dan nonverbal antara pengasuh dan
pasien dan dari riwayat penyakit.
Klinisi sering kali menemukan adalah sangat menolong untuk memeriksa pasien dan
pengasuhnya bersama-sama. Jika pasien menggunakan bahasa isyarat, pengasuh harus tetap
tinggal selama wawancara sebagai penterjemah.
Orang retardasi mental memiliki pengalaman kegagalan seumur hidup dalam berbagai
bidang, dan mereka mungkin mengalami kecemasan sebelum menjumpai pewawancara.
Pewawancara dan pengasuh harus berusaha untuk memberikan pasien tersebut suatu
penjelasan yang jelas, suportif dan konkret tentang proses diagnositik, terutama pasien
dengan bahasa reseptif yang memadai. Dukungan dan pujian harus diberikan dalam bahasa
yang sesuai dengan usia dan pengertian pasien. Pertanyaan yang memimpin harus dihindari,
karena orang yang retardasi mental mungkin mudah disugesti dan ingin menyenangkan
orang lain. Arahan yang samar-samar, struktur dan dorongan mungkin siperlukan untuk
mempertahankan mereka dalam tugas atau topic.
Pengendalian pasien terhadapa pola motilitas harus dipastikan, dan bukti klinis
adanya distrektibilitas dan distorsi dalam persepsi dan daya ngat harus diperiksa. Pemakaina
bhasa dan tes realitas, dan kemampuan menggali dari pengalaman adalah penting untuk
dicatat.
Kelompok 5 58
Skenario 3
Sifat dan maturitas pasien khususnya berlebihan atau menundukkan diri sendiri
menggunakan penghindaran, represi, penyangkalan, introyeksi dan isolasi harus diamati.
Potensi sublimasi, toleransi frustasi, dan pengendalian impuls terutama terhadap dorongan
motorikk, agresif, dan seksual harus dinilai. Juga penting adalah cita diri dan peranannya
dalam perkembangan keyakinan diri, dan juga penilaian keuletan, ketepatan hati,
keingintahuan, dan kemauan menggali hal yang tidak diketahui.
Pada umumnya pemeriksaan psikiatri pasien yang retardasi mental harus
mengungkapkan bagaimana pasien mengatasi stadium perkembangan.
Pemeriksaan Fisik
Berbagai bagian tubuh mungkin memiliki karakteristik tertentu yang sering
ditemukan pada orang retardasi mental dan memiliki penyebab prenatal. Sebagai contoh,
konfigurasi dan ukuran kepala memberikan petunjuk terhadap berbagai kondisi, seperti
mikrosefali, hidrosefalus dan sindrom Down. Wajah pasien mungkin memiliki beberapa
stigma retardasi mental, yang sangat mempermudah diagnostic. Tanda fasial itu adalah
hipertelorisme, tulang hidung yang datar, alis mata yang menonjol, lipatan epikantus, opasitas
kornea, perubahan retina, telinga yang letaknyarendah dan bentuknya aneh, lidah yang
menonjol, dan gangguan gigi geligi. Ekspresi wajah seperti penampilan dungu, mungkin
menyertakan dan tidak boleh diandalkan tanpa bukti-bukti yang mendukung lainnya. Warna
dan takstur rambut dan kulit, palatum dengan lengkungan yang tinggi, ukuran kelenjar tiroid,
dan ukuran anak dan batang tubuh dan ekstremitasnya adalah bidang laion yang digali.
Lingkar kepala harus diukur sebagai bagian pemeriksaan kilis.
Pemeriksaan neurologis
Gangguan sensori sering terjadi pada orang retardasi mental, sebagai contoh, sampasi
10 persen orang tretardasi mental mengalami gangguan pendengaran pada suatu tingkat yang
empat kali lebih tinggi dibandingkan populasi normal. Berbagai gangguan neurologis lain
juga tinggi pada orang retardasi mental; gangguan kejang terjadi pada kira-kira 10% dari
semua orang retardasi mental dan pada seprtiga orang dengan retardasi mental berat.
Jika ditemukan abnormalitas neurologis, insidensi dan keparahannya biasanya
meningkat dalam proporsi dengan derajatretardasi. Tetapi banyak anak retardasi parah tidak
memiliki kelainan neurologis; sebaliknya 25% dari semua anak dengan palsi serebral
memiliki kecerdasan normal.
Kelompok 5 59
Skenario 3
Gangguan dalam bidang motorik dimanifestasikan oleh kelainan tonus otot
(spastisitas atau hipotonia), reflex (hiperrefleksia), dan gerakan involunter (koreotetosis).
Derajat kecacatan yang lebih kecil ditemukan dalam kelambanan dan koordinasi yang buruk.
Gangguan sensorik dapat berupa gangguan pendengaran, terentang dari ketulian
kortikal sampai deficit pendengaran yang ringan. Gangguan visual dapat terentang dari
kebutaan samapi gangguan konsep ruang, pengenalan rancangan dan konsep citra tubuh.
Bayi dengan prognosis terburuk adalah mereka yang memanifestasikan kombinasi
inaktivitas, hipotonia umum, dan respon berlebih terhadap stimuli. Pada anak yang lebih tua,
hiperaktivitas, rentang aktivitas yang pendek, mudah dialihkan perhatiannya dan toleransi
frustasi yang rendah sering merupakan tanda cedera otak.
Pada umumnya, semakin muda anak dalam pemeriksaan, semakin berhati-hati
diharuskan dalam meramalkan kemampuan dimasa depan, karena potensi pemulihan dari
otak infantile adalah sangat baik. Mengamati perkembangan anak dengan interval yang
teratur kemungkinan merupakan pendekatan yang paling dapat dipercaya.
Pemeriksaan sinar-X tengkorak biasanya dilakukan secara bertahap tetapi
pemeriksaan iluminasi hanya pada kondisi yang relative jarang, seperti kraniosinostosis,
hidrosefalus, dan gangguan lain yang menyebabkan kalsifikasi intracranial (sebagai contoh
toxoplasmosis, sklerosis tuberosus, angiomatosis serebral, dan hipoparatiroidisme).
Pemeriksaan tomografi dengan computer (CT; computed tomography) dan pencitraan
resonansi magnetic (MRI; magnetic resonance imaging) telah menjadi alat yang penting
untuk mengungkapkan patologi system saraf pusat yang berhubungan dengan retardasi
mental.
Sebuah elektroensefalugram (EEG) sebaiknya diinterpretasikan secara hati-hati pada
kasus retardasi mental. Kekecualian adalah pasien dengan hipsaritmia dan kejang grand mal,
di mana EEG mungkin menegakan diagnosis dan menyarankan terapi. Pada sebagian besar
kondisi lain suatu gangguan serebral yang difus menghasilkan perubahan EEG yang tidak
spesifik, yang ditandai oleh frekuensi lambat dengan ledakan kompleks gelombang paku dan
tajam atau gelombang tumpul.
Kelompok 5 60
Skenario 3
Tes laboratorium
Yang digunakan pada kasus retardasi mental adalah pemeriksaan urine dan darah
untuk mencari gangguan metabolic. Kelainan enzim pada gangguan kromosom, terutama
sindrom Down, menjanjikan menjadi alat diagnostic yang berguna. Penentuan karyotip dalam
laboratorium genetic diindikasikan bilaman dicurigai adanya gangguan kromosom.
Amniosintesis, dimana sejumlah kecil cairan amnion diambil dari ruangan amnion
secara transabdominal antara usia kehamilan 14 dan 16 minggu, telah berguna dalam
mendiagnosis dalam berbagai kelainan kromosom bayi, terutama sindrom Down. Sel cairan
amnion, yang terbanyak berasal dari janin, dibiakkan untuk pemeriksaan sitogenetik dan
biokimiawi. Banyak gangguan herediter yang serius dapat diramalkan dengan amniosintesis,
dan abortus terpeutik adalah metode pencegahan satu-satunya. Amniosintesis dianjurkan
untuk semua wanita hamil di atas usia 35 tahun.
Pengambilan sampel vili korionik (CVS, chorionic villi sampling) adalah teknik
skrinning yang baru untuk menentukan kelainan janin. Cara ini dilakukan pada usia
kehamilan 8 dan 10 minggu, yang 6 minggu lebih awal dibandingkan amniosintesis. Hasilnya
tersedia dalam waktu yang singkat (beberapa jam atau hari), dan jika kehamilan adalah
abnormal, keputusan untuk mengakhiri kehamilan dapat dilakukan dalam trimester pertama.
Pemeriksaan Pendengaran dan Pembicaraan
Pemeriksaan pendengaran dan pembicaraan harus dilakukan secara rutin.
Perkembangan bicara mungkin merupakan criteria yang paling dapat dipercaya dalam
memeriksa retardasi mental. Berbagai gangguan pendengaran sering kali ditemukan pada
orang retardasi mental; tetapi pada beberapa keadaan gangguan menyerupai retardasi mental.
Pemahaman dan penggunaan bahasa cenderung terlambat pada berbagai tingkat, dan masalah
kemampuan berbicara yang mempengaruhi perkembangan kemandirian dapat menetap
sampai dewasa.
Pemeriksaan Psikologis
Tes psikologis , dilakukan oleh ahsi psikologi yang berpengalaman, adalah bagian
standar dari pemeriksaan untuk retardasi mental. Tes Gasell, Bayley dan Catell adalah tes
yang paling sering digunakan untuk bayi. Untuk anak-anak Standfort-Binet dan Wechsel
Intelegence Scale for Children-Revised (WICC-R, WISC-3) adalah tes yang paling sering
Kelompok 5 61
Skenario 3
digunakan di Negara ini. Kedua tes telah dikritik untuk memutuskan anak yang mengalami
pemutusan cultural, karena memiliki bias cultural, karena menguji terutama potensi
pencapaina akademikdan bukan untuk fungsi social yang adekuat, dan karena tidak dapat
dipercaya pada anak-anak dengan I.Q. < 50. Beberapa orang telah mencoba mengatasi
pembatasan bahasa pasien retardasi mental dengan menganjurkan tes perbendaharaan kata
melalui gambar-gambar, di mana Peabody Vaocabulary Test adalah tes yang paling luas
digunakan.
Tes yang seringkali digunakan berguna dalam mendeteksi cedera otak adalah Bender
Gestalt dan Benton Visual Retention test. Tes tersebut juga berguna untuk anak retardasi
mental ringan. Disamping itu, pemeriksaan psikologis harus menilai kemampuan perceptual,
motorik, linguistic, dan kognitif. Informasi tentang factor motivasional, emosional, dan
interpersonal juga penting.
Manifestasi Klinis
Retardasi Mental Ringan
Retardasi mental ringan mungkin tidak terdiagnosis dampai anak yang terkena
memasuki sekolah, karena keterampilan social dan komunikasinya mungkin adekuat dalam
tahun-tahun prasekolah. Tetapi, saan anak menjadi lebih besar, deficit kognitif tertentu seperti
kemampuan yang buruk untuk berpikir abstrak dan egosentrik mungkin menbedakan dirinya
dari anak lain dalam usianya. Walaupun orang retardasi mental ringan mampu dalam fungsi
akademik pada tingkat pendidikan dasar dan keterampilan kejujurannya adalah memadai
untuk membantu dirinya sendiri dalam beberapa kasus, asimilasi social mungkin sulit. Deficit
komunikasi, harga diri yang buruk, dan ketergantungan mungkin masuk ke dalam relative
tidak adanya spontanitas sosialnya. Beberapa orang retardasi ringan mungkin masuk ke
dalam hubungan dengan teman sebaya yang mempergunakan kelmahannya. Pada sebagoan
besar kasus, orang dengan retardasi mental ringan dapat mencapai suatu tingkat keberhasilan
social dan kejuruan dalam lingkungan yang mendukung. Bila menggunakan tes IQ baku yang
tepat, maka IQ berkisar antara 50 sampai 69 menunjukkan retadasi mental ringan.
Kelompok 5 62
Skenario 3
Retardasi Mental Sedang
Kemungkinan didiagnosis pada usia yang lebih muda dibandingkan retardasi mental
ringan karena keterampilan komunikasi berkembang lebih lambat pada orang terretardasi
sedang, dan isolasi social dirinya mungkin dimulai pada tahun-tahun usia sekolah dasar.
Walaupun pencapaian akademik biasanya terbatas pada pertengahan tingkat dasar, anak yang
teretardasi sedang mendapatkan keuntungan dari perhatian individual yang dipusatkan untuk
mengembangkan keterampilan menolong diri sendiri. Anak-anak dengan retardasi mental
sedang menyadari kekurangannya dan sering kali merasa diasingkan oleh teman sebayanya
dan merasa frustasi karena keterbatasannya. Mereka terus membutuhkan pengawasan yang
cukup tetapi dapat menjadi kompeten dalam pekerjaan yang dilakukan dalam kondisi yang
mendukung.
IQ biasanya berada dalam rentang 35 sampai 49. Suatu etiologi organic dapat di-
identifikasi pada kebanyakan penyandang retardasi mental sedang. Autism masa kanaka tau
gangguan perkembangan pervasive lainnya terdapat pada sebagian kecil kasus dan
mempunyai pengaruh besar pada gambaran klinis dan tipe penatalaksanaan yang dibutuhkan.
Apilepsi dan disabilitas neurologic dan fisik juga lazim ditemukan meskipun kebanyakan
penyandang retardasi mental sedang mampu berjalan tanpa bantuan.kadang-kadang
didapatkan gangguan jiwa lain, tetapi karena tingkat perkembangan bahasanya yang terbatas
sehingga sulit menegakkan diagnosisi dan harus tergantung dari informasi yang diperoleh
dari orang lain yang mengenalnya.
Retardasi Mental Berat
Biasanya jelas pada tahun-tahun prasekolah, karena bicara anak yang terkena adlah
terbatas, dan perkembangan motoriknya adalah buruk. Suatu perkembangan bahasa dapat
terjadi pada tahun-tahun usia sekolah, pada masa remaja, jika bahasa adalah buruk, bentuk
komunikasi nonverbal dapat berkembang. Kemampuan untuk mengartikulasikan dengan
lengkap kebutuhannya dapat mendorong cara fisik berkomunikasi. Pendekatan perilaku
dapatmembantu mendorong suatu tingkat perawatan diri sendiri, walaupun orang dengan
retardasi mental berat biasanya memerlukan pengawasan yang luas.
IQ biasanya bedara dalam rentang 20 sampai 34. Terdapatnya etiologi organic,
kondisi yang menyertainya dan tingkat prestasi yang rendah. Kebanyakan penyandang
retardasi mental berat menderita gangguan motorik yang mencolok atau deficit lain yang
Kelompok 5 63
Skenario 3
menyertai, menunjukkan adanya kerusakan atau penyimpangan perkembangan yang
bermakna secara klinis dari susunan saraf pusat.
Retardasi Mental Sangat Berat
Anak-anak dengan retardasi mental sangat berat memerlukan pengawasan yang terus
menerus dan sangat terbatas dalam keterampilan komunikasi dan motoriknya. Pada masa
dewasa, dapat terjadi suatu perkembangan bicara, dan keterampilan menolong diri sendiri
yang sederhana dapat dicapai. Walaupun pada masa dewasa, perawatan adalah diperlukan.
IQ biasanya dibawah 20. Pemahaman dan penggunaan bahasa terbatas, paling banter
mengerti perintah dasar dan mengajukan permohonan sederhana. Keterampilan visuo-spesial
yang paling dasar dan sederhana tentang memilih dan mencocokkan mungkin dapat
dipercaya, dan dengan pengawasan dan petunjuk yang tepatpenderita mungkin dapat sedikit
ikut melakukan tugas praktis dan rumah tangga. Suatu etiologi organic dapat di-identifikasi
pada sebagian besar kasus. Biasanya ada disabilitas neurologikk dan fisik lain yang berat
yang mempengaruhi mobilitas, seperti epilepsy dan hendaya daya lihat dan daya dengar.
Sering ada gangguan perkembangan pervasive dalam bentuk sangat berat khususnya autism
yang tidak khas (atypical autism), terutama pada penderita yang dapat bergerak.
Retardasi Mental Lainnya
Hanya digunakan bila penilaian dari tingkat retardasi mental dengan memakai
procedure biasa sangat sulit atau tidak mungkin dilakukan karena adanya gangguan sensorik
atau fisik, misalnya buta, bisu tuli, dan penderita yang perilakunya terganggu berat atau
fisiknya tidak mampu.
Retardasi Mental YTT
Jelas terdapat retardasi mental, tetapi tidak ada informasi yang cukup untuk
menggolongkannya dalam salah satu kategori tersebut diatas.
Prognosis
Pada sebagian besar kasus retardasi mental, gangguan intelektual dasar tidak
membaik, walaupun tingkat adapatasi orang yang terkena dapat di dorong secara positif
dengan lingkungan yang diperkaya dan mendukung. Seperti pada orang tanpa retardasi
mental, semakin banyak gangguan mental komorbid (semakin parah retardasi mental,
Kelompok 5 64
Skenario 3
semakin tinggi resiko gangguan mental lainnya) yang terjadi, semakin buruk prognosis
keseluruhan. Jika gangguan mental yang jelas menumpang retardasi mental, tetapi standar
untuk gangguan mental komorbid seringkali menguntungkan. Pada umumnya, orang dengan
retardasi mental ringan dan sedang memiliki fleksibilitasterbesar dalam hal beradaptasi
terhadap berbagai kondisi lingkungan.
Tatalaksana
Terapi yang terbaik untuk retardasi mental adalah pencegahan primer, sekunder dan
tersier.
Pencegahan primer
Merupakan tindakan yang dilakukan untuk menghilangkan atau menurunkan kondisi
yang menyebabkan perkembangan gangguan yang disertai dengan retardasi mental. Tindakan
tersebut termasuk:
1. Pendidikan untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat umum
tentang retardasi mental
2. Usaha terus menerus dari professional bidang kesehatan untuk menjaga dan
memperbarui kebijaksanaan kesehatan masyarakat
3. Aturan untuk memberikan pelayanan kesehatan maternal dan anak yang optimal
4. Eradikasi gangguan yang diketahui disertai dengan kerusakan system saraf pusat.
Konsling keluarga dan genetic membantu menurunkan insidensi retardasi mental
dalam keluarga dengan riwayat gangguan genetic yang berhubungan dengan retardasi mental.
Untuk anak-anak dan ibu dengan status sosioekonomi rendah, pelayanan medis prenatal dan
postnatal yang sesuai dan berbagai program pelengkap dan bantuanpelayanan social dapat
menolong menekan komplikasi medis dan psikososial.
Pencegahan Sekunder dan Tersier
Jika suatu gangguan yang disertai dengan retardasi nebtal telah dikenali, gangguan
harus diobati untuk mempersingkat perjalanan penyakit (pencegahan sekunder) dan untuk
menekan sekuela atau kecacatan yang terjadi setelahnya (pencegahan tersier).
Kelompok 5 65
Skenario 3
Anak retardasi mental sering kali memiliki kesulitan emosional dan perilaku yang
memerlukan terapi psikiatrik. Kemampuan kognitif dan social yang terbatas yang dimiliki
anak tersebut memerlukan modalitas terapi spikiatrik yang dimodifikasi berdasarkan tingkat
kecerdasan anak.
a. Pendidikan untuk anak lingkuan pendidikan untuk anak-anak dengan retardasi
mental harus termasuk program yang lengkap yang menjawab latihan keterampilan
adaptif, latihan keterampilan social, dan latihan kejuruan. Perhatian khusus harus
dipusatkan pada komunikasi dan usaha untuk meningkatkan kualitas hidup. Terapi
kelompk seringkaili merupakan format yang berhasil dimana anak-anak dengan
retardasi mnetal dapat belajarr dan mempraktekkan situasi hidup yang nyata dan
mendapatkan umpan balik yang mendukung.
b. Teri perilaku, kognitif, dan psikodinamik terapi perilaku seperti dorongan positif
untuk perilaku yang diharapkan dan memulai hukuman (seperti mencabut hak
istimewa) untuk perilaku yang tidak diinginkan telah banyak menolong. Terapi
kognitif, seperti menghilangkan keyakinan palsu dan latihan relaksasi dengan
instruksi dari diri sendiri, juga telah dianjurkan untuk pasien retardasi mental yang
mampu mengikuti instruksi. Terapi psikodinamika telah digunakan pada pasien
retardasi mental dan keluarganya untuk menurunkan konflik tentang harapan yang
menyebabkan kecemasan, kekerasan, dan depresi yang menetap.
c. Pendidikan Keluarga pendidikan keluarga dari pasien retardasi mental tentang cara
meningkatkan kompetensi dan harga diri sambil mempertahankan harapan yang
realistic untuk pasien. Keluarga sering kali merasa sulit untuk menyeimbangkan
antara mendorong kemandirian dan memberikan lingkungan yang mengasuh dan
suportif bagi anak retardasi mental, yang kemungkinan mengalami suatu tingkat
penolakan dan kegagalan di luar konteks keluarga. Orang tua harus diberikan
kesempatan untuk mengekspresikan perasaan bersalah, putus asa, kesedihan,
penyangkalan yang terus menerus timbul, dan kemarahan tentang gangguan dan masa
depan anak.
d. Intervensi farmakologis semakin banyak data yang mendukung pemakaian
berbagai medikasi untuk pasien dengan gangguan mental yang tidak retardasi mental.
Beberapa penelitian telah memusatkan perhatian pada pemakaian medikasi untuk
sindrom perilaku berikut ini yang sering terjadi di antara retardasi mental.
Kelompok 5 66
Skenario 3
Agresi dan prilaku melukai diri beberapa bukti dari penelitian terkendali
dan tidak terkendali telah menyatakan bahwa lithium (Eskhalit)berguna dalam
menurunkan agresi dan prilaku melukai diri sendiri. Antagonis narkotik seperti
naltrexone (Trexan) telah dilaporkan menurunkan prilaku melukai diri sendiri
pada pasien retardasi mental yang juga memenuhi criteria diagnostic untuk
gangguan autistic infantile. Satu hipotesis yang diajukan sebagai mekanisme
kerja terapi naltrexone adalah bahwa obat mempengaruhi pelepasan opioid
endogen yang dianggap berhubungan dengan melukai diri sendiri.
Carbamazepine (Tegretol) dan Valproic acid (Depakene) adalah medikasi
yang juga bermanfaat pada beberapa kasus perilaku melukai diri sendiri.
Gerakan motorik stereotipik medikasi anti psikotik, seperti haloperidol
(Haldol) dan chlorpromazine (Thorazine), menurunkan prilaku stimulasi diri
yang berulang pada pasien retardasi mental, tetapi medikasi tersebut tidak
meningkatkan perilaku adaptif.
Prilaku Kemarahan eksplosive penghambat-β, seperti propanolol dan
buspirone (BuSpar), telah dilaporkan menyebabkan penurunan kemarahan
eksplosive di antara pasien dengan retardasi mental dan gangguan autistic.
Gangguan deficit atensi/hiperaktivitas penilitain terapi methylpenidate pada
pasien dengan retardasi mental ringan dengan gangguan
deficit-atensi/hiperaktivitas telah menunjukkan perbaikan bermakna dalam
kemampuan mempertahankan perhatian dan menyelesaikan tugas.
Kelompok 5 67
Skenario 3
Daftar Pustaka
dr. Nia Kania, SpA., Mkes. 2006. Stimulasi Tumbuh Kembang Anak Untuk Mencapai
Tumbuh Kembang Yang Optimal
http://library.usu.ac.id/download/fk/psikologi-desvi%20yanti.pdf
Moersintowarti B. Narendra, 2002, Tumbuh Kembang Anak dan Remaja edisi I, Jakarta :
IDAI Jakarta.
Nelson, Waldo E., 1996, Nelson Textbook of Pediatry 15th edition, Philadelphia: W.B.
Saunders Company.
Othmer E, Othmer SC. The Clinical Interview Using DSM – IV. Volume I : Fundamentals.
Washington : American Psychiatric Press. Inc. 1994
Sadock BJ, Kaplan HI, Grebb JA. Kaplan & Sadock’s Synopsis of Psychiatri. 9th ed.
Philadelpia : Lippincott William & Wilkins. 2003
Staf Pengajar Ilmu Kese-hatan Anak FKUI, 2002, Ilmu Kesehatan Anak, Jakarta : Info Media
Jakarta.
Kelompok 5 68