skenario 1 - anemia defisiensi besi

Upload: mya93

Post on 10-Jul-2015

570 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Aminah Alaydrus 1102010018

Skenario Lekas Lelah Bila Bekerja

LI 1 Bagaimana Proses Terjadinya Eritropoesis

LO 1.1 Definisi Eritropoesis Sel darah merah berfungsi untuk mengangkut hemoglobin dan mengangkut oksigen dari paru-paru ke jaringan. Sel darah merah dibentuk melalui proses Eritropoesis. LO 1.2 Mekanisme Eritropoesis Sel darah berasal dari sel stem hemopoetik pluripoten yang berada pada sumsum tulang. Sel ini kemudian akan membentuk bermacam macam sel darah tepI. Asal sel yang akan terbentuk selanjutnya adalah sel stem commited, Sel ini akan dapat meghasilkan Unit pembentuk koloni eritrosit (CFU-E) dan Unit granulosit dan monosit (CFU-GM). Pada eritropoesis, CFU-E membentuk banyak sel Proeritroblas sesuai dengan rangsangan. Proeritroblas akan membelah berkali-kali menghasilkan banyak sel darah merah matur ya itu Basofil Eritroblas. Sel ini sedikit sekali mengumpulkan hemoglobin. Selanjutnya sel ini akan berdifferensiasi menjadi Retikulosit dengan sel yang sudah dipenuhi dengan hemoglobin. Retikulosit masih mengandung sedikit bahan basofilik. Bahan basofilik ini akan menghilang dalam waktu 1-2 hari dan menjadi eritrosit matur. LO 1.3 Faktor yang Mempengaruhi Mekanisme Eritropoesis Eritropoesis akan meningkat pada : semua keadaan yang menyebabkan penurunan transportasi jumlah oksigen ke jatringan Keadaan yang anemik juga dapat meningkatkan eritropoesis Kerusakan pada sebagian besar sumsum tulang Penurunan aliran darah ke pembuluh datah perifer dan kegagalan absorpsi oksigen oleh darah sewaktu melewati paru-paru seperti pada penderita gagal jantung dan penyakit paru. Eritropoesis juga dipengaruhi oleh eritropoetin, yaitu suatu glikoprotein. Eritropoetin dihasilkan 90% dalam ginjal dan sisanya dibentuk dalam hati. Keadaan hipoksia akan merangsang sekresi eritropoetin.

Eritropoetin merangsang produksi proeritroblas dan sel selhemopoetik dalam sumsum tulang.Eritropoetin juga menyebabkan proliferasi proeritroblas dengan cepat. Bila tidak ada eritropoetin, maka sumsum tulang hanya membentuk sedikit sel darah merah. Pemarangan dan kecepatan produksi eritrosit dipengaruhi juga oleh keadaan nutrisi. Dua vitamin yang penting pada pematangan akhir sel datah merah adalah Vitamin B12 dan asam folat. Dua vitamin ini penting untuk sintesis DNA. Kekurangan Vitamin B12 dan asam folat dapat menyebabkan penurunan DNA sehingga mengakibatkan kegagalan pematangan dan pembelahan inti. Hal ini akan menghasilkan sel darah merah yang makrositik. Kekurangan vitamin B12 dapat disebabkan oleh kegagalan absorpsi vitamin B12 LI 2 Memahami dan Menjelaskan Hemoglobin LO 2.1 Fungsi Hemoglobin Hemoglobin berperan penting dalam mempertahankan bentuk sel darah yang bikonkaf, jika terjadi gangguan pada bentuk sel darah ini, maka keluwesan sel darah merah dalam melewati kapiler jadi kurang maksimal. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa kekurangan zat besi bisa mengakibatkan anemia. Nilai normal hemoglobin adalah sebagai berikut : Anak-anak Lelaki dewasa Wanita dewasa 11 13 gr/dl 14 18 gr/dl 12 16 gr/dl

Jika nilainya kurang dari nilai diatas bisa dikatakan anemia, dan apabila nilainya kelebihan akan mengakibatkan polinemis. LO 2.2 Struktur Mikro Hemoglobin

Molekul hemoglobin terdiri dari globin, apoprotein, dan empat gugus heme, suatu molekul organik dengan satu atom besi. Hemoglobin tersusun dari empat molekul protein (globulin chain) yang terhubung satu sama lain. Hemoglobin normal orang dewasa (HbA) terdiri dari 2 alpha-globulin chains dan 2 beta-globulin chains, sedangkan pada bayi yang masih dalam kandungan atau yang sudah lahir terdiri dari beberapa rantai beta dan molekul hemoglobinnya terbentuk dari 2 rantai alfa dan 2 rantai gama yang dinamakan sebagai HbF. Pada manusia dewasa, hemoglobin berupa tetramer (mengandung

4 subunit protein), yang terdiri dari masing-masing dua subunit alfa dan beta yang terikat secara nonkovalen. Subunit-subunitnya mirip secara struktural dan berukuran hampir sama Pada pusat molekul terdapat cincin heterosiklik yang dikenal dengan porfirin yang menahan satu atom besi; atom besi ini merupakan situs/loka ikatan oksigen. Porfirin yang mengandung besi disebut heme Tiap subunit hemoglobin mengandung satu heme, sehingga secara keseluruhan hemoglobin memiliki kapasitas empat molekul oksigen. Pada molekul heme inilah zat besi melekat dan menghantarkan oksigen serta karbondioksida melalui darah, zat ini pula yang menjadikan darah kita berwarna merah.

LO 2.3 Biosintesis Hemoglobin Sintesis hemoglobin dimulai dalam proeritoblas dan dilanjutkan sedikit dalam reetikulosit. Hemoglobin terdiri dari suksinil koA yang berikatan dengan glisin untuk membentuk pirol. Kemudian 4 pirol akan bergabung membentuk protoporfirin IX yang kemudian bergabung dengan besi membentuk Heme. Setiap molekul Heme ini akan berikatan dengan rantai polipeptida panjang yang disebut globin. Globin disintesis oleh ribosom. Sifat rantai hemoglobin menentukan afinitas ikatan hemoglobin terhadap oksigen. Heme disintesis dari glisin dan suksinil KoA yang berkondensasi dalam reaksi awal membentuk asam alfa-aminolevulinat .

LO 2.4 Interaksi antara Hemoglobin dengan Oksigen Hb + O2 HbO2 hemoglobin + oxygen----------oxyhemoglobin (dark red) (red)

Kurva disosiasi oksigen dari hemoglobin berbentuk sigmoid karena adanya interaksi subunit. Pada awalnya oksigen terikat pada hemoglobin , peningkatan pengikatan oksigen pada molekul yang sama ditingkatkan. Pola pengikatan ini disebut ikatan kooperatif (cooperative binding). Pada paru-paru, ketika tekanan oksigen tinggi hemoglobin menjadi jenuh dan bentuknya menjadi R. Hemoglobin akan melepaskan setengahn oksigennya pda daerah yang kekurangan. Pengikatan O2 disertai dengan putusnya ikatan garam antara residu terminal karboksil pada keseluruhan empat sub unit. Pengikatan O2 berikutnya dipermudah karena jumlah ikatan garam yang putus menjadi lebih sedikit. Perubahan ini juga sangat mempengaruhi struktur sekunder, tersier, dan kwartener hemoglobin. Satu pasang subunit / mengadakan rotasi terhadap pasangan / yang lain sehingga memampatkan tetramer tersebut dan meningkatkan afinitas heme terhadap O 2. Struktur kuartener hemoglobin yang teroksigenasi-sebagian dinyatakan sebagaistatus-T (taut, tegang) dan struktur kuartener hemoglobin yang teroksigenasi (HbO2) sebagai status R (rileks). R dan T juga digunakan untuk mencirikan struktur kuartener enzim alosterik, dengan status T memiliki afinitas substrat yang lebih rendah. Saat oksigenasi, atom besi deoksihemoglobin bergerak ke dalam bidang cincin heme. Gerakan ini diteruskan pada histidin proksimal (F8), yang bergerak menuju bidang cincin, dan pada residuasam amino yan melekat pada His F8. Ketika molekul hemoglobin memuat dan melepas O2, masing-masing rantai globin dalam molekul hemoglobin mendorong satu sama lain. Ketika O2 dilepas, rantaiapart), memudahkan masuknya metabolit -pisah (pulled

2,3-difosfogliserat (2,3-DPG) yang mengakibatkan

merendahnya afinitas molekul untuk O2. Pergerakan ini bertanggung jawab terhadap bentuk sigmoid kurve disosiasi O2 haemoglobin. P 50 (yakni, tekanan parsial O2 pada mana hemoglobin setengah jenuh dengan O2) darah normal adalah 26,6 mmHg. Dengan peningkatan afinitas untuk O2, kurve bergeser ke kiri (yakni, P 50 turun) sementara, dengan penurunan afinitas untuk O2, kurve bergeser ke kanan (yakni P 50 naik).Normal di dalam tubuh, pertukaran O2 bekerja di antara kejenuhan 95% (darah arteri) dengan tekanan O2 arteri rata-rata 95 mmHg dan kejenuhan 70%(darah vena) dengan tekanan O2 vena ratarata 40 mmHg.Posisi kurve normal tergantung pada konsentrasi 2,3-DPG, ion H+ dan CO2 dalam sel darah merah dan pada struktur molekul hemoglobin. Konsentrasi tinggi 2,3-DPG, H+ atau CO2, dan adanya hemoglobin tertentu, misalnya hemoglobin sabit (Hb S) menggeser kurve ke kanan sedangkan hemoglobin janin (Hb F) yang tidak dapat mengikat 2,3-DPG dan hemoglobin abnormal tertentu yang langka yang berhubungan dengan polisitemia menggeser kurve ke kiri karena hemoglobin ini kurang mudah melepas O2 daripada normal. Jadi oksigen binding/dissosiasi dipengaruhi oleh pO2, pCO2, pH, suhu tubuh dan konsentrasi 2,3-DPG. LI 3 Bagaimana Terjadinya Anemia

Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer. Parameter yang paling umum untuk menunjukkan penurunan massa eritrosit adalah kadar hemoglobin, disusul oleh hematokrit dan hitung eritrosit. Harga normalhemoglobin sangat bervariasi secara fisiologis tergantung jenis kelamin, usia,kehamilan dan ketinggian tempat tinggal. Kriteria anemia menurut WHO adalah: 1. Laki-laki dewasa < 13 g/dl 2. Wanita dewasa tidak hamil < 12 g/dl 3. Wanita hamil < 11 g/dl LO 3.1 Klasifikasi Anemia Anemia dapat diklasifikasikan berdasarkan morfologi dan etiologi. Klasifikasi morfologi didasarkan pada ukuran dan kandungan hemoglobin.

Menurut etiologinya, anemia dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu A. Gangguan produksi sel darah merah pada sumsum tulang (hipoproliferasi) B. Gangguan pematangan sel darah merah (eritropoiesis yang tidak efektif), dan C. Penurunan waktu hidup sel darah merah (kehilangan darah atau hemolisis

1. Hipoproliferatif Hipoproliferatif merupakan penyebab anemia yang terbanyak. Anemia hipoproliferatif ini dapat disebabkan karena: a. Kerusakan sumsum tulang Keadaan ini dapat disebabkan oleh obat-obatan, penyakit infiltratif (contohnya: leukemia, limfoma), dan aplasia sumsum tulang. b. Defisiensi besi c. Stimulasi eritropoietin (EPO) yang inadekuat Keadaan ini terjadi pada gangguan fungsi ginjal d. Supresi produksi EPO yang disebabkan oleh sitokin inflamasi(misalnya: interleukin 1) e. Penurunan kebutuhan jaringan terhadap oksigen (misalnya pada keadaan hipotiroid) Pada jenis ini biasanya ditemukan eritrosit yang normokrom normositer, namun dapat pula ditemukan gambaran eritrosit yang hipokrom mikrositer, yaitu pada defisiensi besi ringan hingga sedang dan penyakit inflamasi. Kedua keadaan tersebut dapat dibedakan melalui pemeriksaan persediaan dan penyimpanan zat besi.

2. Gangguan pematangan Pada keadaan anemia jenis ini biasanya ditemukan kadar retikulosit yang rendah, gangguan morfologi sel (makrositik atau mikrositik), dan indeks eritrosit yang abnormal. Gangguan pematangan dapat dikelompokkan menjadi 2 macam yaitu: a. Gangguan pematangan inti Pada keadaan ini biasanya ditmukan kelainan morfologi berupa makrositik. Penyebab dari Gangguan pematangan inti adalah defisiensi asam folat, defisiensi vitamin B12, obat-obatan yang mempengaruhi metabolisme DNA (seperti metotreksat, alkylating agent), dan myelodisplasia. Alkohol juga dapat menyebabkan gangguan pematangan inti, namun keadaan ini lebih disebabkan oleh defisiensi asam folat. b. Gangguan pematangan sitoplasma Pada keadaan ini biasanya ditmukan kelainan morfologi berupa mikrositik dan hipokromik. Penyebab dari gangguan pematangan sitoplasma adalah defisiensi besi yang berat, gangguan sintesa globin (misalnya pada thalasemia), dan gangguan sintesa heme (misalnya pada anemia sideroblastik) 3. Penurunan waktu hidup sel darah merah Anemia jenis ini dapat disebabkan oleh kehilangan darah atau hemolisis. Pada kedua keadan ini akan didapatkan peningkatan jumlah retikulosit. Kehilangan darah dapat terjadi secara akut maupun kronis. Pada fase akut, belum ditemukan peningkatan retikulosit yang bermakna karena diperlukan

waktu untuk terjadinya peningkatan eritropoietin dan proliferasi sel dari sumsum tulang. Sedangkan pada fase kronis gambarannya akan Menyerupai anemia defisiensi besi. Gambaran dari anemia hemolitik dapat bermacam-macam, dapat akut maupun kronis. Pada anemia hemolisis kronis, seperti pada sferositosis herediter, pasien datang bukan karena keadaan anemia itu sendiri, melainkan karena komplikasi yang ditimbulkan oleh pemecahan sel darah merah dalam jangka waktu lama, seperti splenomegali, krisis aplastik, dan batu empedu. Pada keadaan yang disebabkan karena autoimun, hemolisis dapat terjadi secara episodik (self limiting). LO 3.2 Etiologi Anemia LO 3.3 Manifestasi Klinis pada Anemia LO 3.4 Pemeriksaan pada Anemia Pemeriksaan Laboratorium yang digunakan untuk menegakkan diagnosis anemia adalah: 1. Complete Blood Count (CBC) A. Eritrosit a. Hemoglobin N : 12-16 gr/dl ; : 14-18 gr/dl b. Hematokrit N : 37-47% ; : 42-52% B. Indeks eritrosit

-

Volume eritrosit rata-rata (VER) atau mean corpuscular volume (MCV) MCV mengindikasikan ukuran eritrosit : mikrositik (ukuran kecil), normositik (ukuran normal), dan makrositik (ukuran besar). Nilai MCV diperoleh dengan mengalikan hematokrit 10 kali lalu membaginya dengan hitung eritrosit.

-

MCV = (hematokrit x 10) : hitung eritrosit Nilai rujukan :

Dewasa : 80 - 100 fL (baca femtoliter) Bayi baru lahir : 98 - 122 fL Anak usia 1-3 tahun : 73 - 101 fL Anak usia 4-5 tahun : 72 - 88 fL Anak usia 6-10 tahun : 69 - 93 fL

Masalah klinis : Penurunan nilai : anemia mikrositik, anemia defisiensi besi (ADB), malignansi, artritis reumatoid, hemoglobinopati (talasemia, anemia sel sabit, hemoglobin C), keracunan timbal, radiasi.

Peningkatan nilai : anemia makrositik, aplastik, hemolitik, pernisiosa; penyakit hati kronis; hipotiroidisme (miksedema); pengaruh obat (defisiensi vit B12, antikonvulsan, antimetabolik)

-

Hemoglobin eritrosit rata-rata (HER) atau mean corpuscular hemoglobin (MCH) MCH mengindikasikan bobot hemoglobin di dalam eritrosit tanpa memperhatikan ukurannya. MCH diperoleh dengan mengalikan kadar Hb 10 kali, lalu membaginya dengan hitung eritrosit.

-

MCH = (hemoglobinx10) : hitung eritrosit Nilai rujukan :

Dewasa : 26 - 34 pg (baca pikogram) Bayi baru lahir : 33 - 41 pg Anak usia 1-5 tahun : 23 - 31 pg Anak usia 6-10 tahun : 22 - 34 pg

MCH dijumpai meningkat pada anemia makrositik-normokromik atau sferositosis, dan menurun pada anemia mikrositik-normokromik atau anemia mikrositik-hipokromik.

-

Kadar hemoglobin eritrosit rata-rata (KHER) atau mean corpuscular hemoglobin concentration (MCHC)

MCHC mengindikasikan konsentrasi hemoglobin per unit volume eritrosit. Penurunan nilai MCHC dijumpai pada anemia hipokromik, defisiensi zat besi serta talasemia. Nilai MCHC dihitung dari nilai MCH dan MCV atau dari hemoglobin dan hematokrit.

MCHC = ( MCH : MCV ) x 100 % atau MCHC = ( Hb : Hmt ) x 100 %

Nilai rujukan :

Dewasa : 32 - 36 % Bayi baru lahir : 31 - 35 % Anak usia 1.5 - 3 tahun : 26 - 34 % Anak usia 5 - 10 tahun : 32 - 36 %

C. Leukosit (N : 4500 11.000/mm3) D. Trombosit (N : 150.000 450.000/mm3) 2. Sediaan Apus Darah Tepi a. Ukuran sel b. Anisositosis c. Poikolisitosis d. Polikromasia 3. Hitung Retikulosit ( N: 1-2%)

4. Persediaan Zat Besi a. Kadar Fe serum ( N: 9-27mol/liter ) b. Total Iron Binding Capacity ( N: 54-64 mol/liter) c. Feritin Serum ( N : 30 mol/liter ; : 100 mol/liter) 5. Pemeriksaan Sumsum Tulang a. Aspirasi - E/G ratio - Morfologi sel - Pewarnaan Fe b. Biopsi - Selularitas - Morfologi I. Pemeriksaan Complete Blood Count (CBC) Kriteria apakah seseorang menderita anemia dapat dilihat dari kadar hemoglobin dan hematokritnya. Selain itu, indeks eritrosit dapat digunakan untuk menilai abnormalitas ukuran eritrosit dan defek sintesa hemoglobin. Bila MCV < 80, maka disebut mikrositosis dan bila > 100 dapat disebut sebagai makrositosis. Sedangkan MCH dan MCHC dapat menilai adanya defek dalam sintesa hemoglobin (hipokromia) II. Sediaan Apus Darah Tepi (SADT) SADT akan memberikan informasi yang penting apakah ada gangguan atau defek pada produksi sel darah merah. Istilah anisositosis menunjukkan ukuran eritrosit yang bervariasi, sedangkan poikilositosis menunjukkan adanya bentuk dari eritrosit yang beraneka ragam. III. Hitung Retikulosit Pemeriksaan ini merupakan skrining awal untuk membedakan etiologi anemia. Normalnya, retikulosit adalah sel darah merah yang baru dilepas dari sumsum tulang. Retikulosit mengandung residual RNA yang akan dimetabolisme dalam waktu 24-36 jam (waktu hidup retikulosit dalam sirkulasi). Kadar normal retikulosit 1-2% yang menunjukkan penggantian harian sekitar 0,8-1% dari jumlah sel darah merah di sirkulasi. Indeks retikulosit merupakan perhitungan dari produksi sel darah merah. Nilai retikulosit akan disesuaikan dengan kadar hemoglobin dan hematokrit pasien berdasarkan usia, gender, sarta koreksi lain bila ditemukan pelepasan retikulosit prematur (polikromasia). Hal ini disebabkan karena waktu hidup dari retikulosit prematur lebih panjang sehingga dapat menghasilkan nilai retikulosit yang seolaholah tinggi.

RI = (% retikulosit x kadar hematokrit/45%) x (1/ faktor koreksi)

Faktor koreksi untuk: Ht 35% : 1,5 Ht 25% : 2,0 Ht 15% : 2,5 Keterangan: RI < 2-2,5% RI > 2,5% : produksi atau pematangan eritrosit yang tidak adekuat : penghancuran eritrosit yang berlebihan

IV. Persediaan dan Penyimpanan Zat Besi Saturasi transferin didapatkan dari pembagian kadar Fe serum dengan TIBC dikali 100 (N: 25-50%). Pada pengukuran kadar Fe plasma dan persen saturasi transferin, terdapat suatu variasi diurnal dengan puncaknya pada pk 09.00 dan pk. 10.00. Serum feritin digunakan untuk menilai cadangan total besi tubuh. Namun, feritin juga merupakan suatu reaktan fase akut, dan pada keadaan inflamasi baik akut maupun kronis, kadarnya dapat meningkat. V. Pemeriksaan Sumsum Tulang Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk menilai apakah ada gangguan pada sumsum tulang misalnya myelofibrosis, gangguan pematangan, atau penyakit infiltratif. Peningkatan atau penurunan perbandingan dari suatu kelompok sel (myeloid atau eritroid) dapat ditemukan dari hitung jenis sel-sel berinti pada sumsum tulang (ratio eritroid dan granuloid LO 3.5 Komplikasi dan Prognosis Anemia LI 4 Mengapa Terjadi Defisiensi Besi Total besi dalam tubuh manusia dewasa sehat berkisar antara 2 gram (pada wanita) hingga 6 gram (pada pria) yang tersebar pada 3 kompartemen, 1). Besi fungsional, seperti hemoglobin, mioglobin, enzim sitokrom, dan katalase, merupakan 80 % dari total besi yang terkandung jaringan tubuh. 2). Besi cadangan, merupakan 15-20% dari total besi dalam tubuh, seperti feritin dan hemosiderin. 3). Besi transport, yakni besi yang berikatan pada transferin.

Sumber besi dalam makanan terbagi ke dalam 2 bentuk: 1. Besi heme, terdapat dalam daging dan ikan. Tingkat absorpsinya tinggi (25% dari Kandungan besinya dapat diserap) karena tidak terpengaruh oleh faktor penghambat. 2. Besi non-heme, berasal dari tumbuh-tumbuhan. Tingkat absorpsi rendah (hanya 1-2% dari kandungan besinya yang dapat diserap). Mekanisme absorpsinya sangat rumit dan belum sepenuhnya dimengerti.

Absorpsi sangat dipengaruhi oleh adanya faktor pemacu absorpsi (meat factors, vitamin C) dan faktor penghambat (serat, phytat, tanat).

Besi, yang didapatkan dari makanan, memiliki nilai Recommended Dietary Allowance (RDA) 10 mg untuk pria dewasa dan wanita pascamenopause, serta 15 mg untuk wanita pramenopause.Besi dalam daging berada dalam bentuk hem, yang mudah diserap. Besi nonhem dalam tumbuhan tidak mudah diserap, sebagian karena tumbuhan seringkali mengandung oksalat, fitat, tannin, dan senyawa fenolik lain yang membentuk kelat atau presipitat dengan besi yang tidak dapat larut, sehingga mencegah penyerapAnnya. Di pihak lain, vitamin C (asam askorbat) meningkatkan penyerapan besi non-hem dari saluran cerna. Penyerapan besi juga meningkat pada waktu dibutuhkan dengan mekanisme yang belum diketahui. Besi diserap dalam bentuk fero (Fe2+) .Karena bersifat toksik, di dalam tubuh besi bebas biasanya terikat ke protein . Besi diangkut di dalam darah (sebagai Fe 3+ ) oleh protein, apotransferin. Besi membentuk kompleks dengan apotransferin menjadi transferin. Besi dioksidasi dari Fe 2+ menjadi Fe 3+ oleh feroksidase yang dikenal sebagai seruloplasmin (enzim yang mengandung tembaga). Tingkat saturasi transferin oleh besi biasanya hanya sepertiga. Kapasitas total darah mengikat besi, yang

di sebagian besar sel tetapi terutama di hati, limpa, dan sumsum tulang. Dalam sel-sel ini, protein penyimpan, apoferitin, membentuk kompleks dengan besi (Fe 3+) yang dikenal sebagai feritin. Dalam keadaan normal, hanya terdapat sedikit feritin di dalam darah. Namun, jumlah ini meningkat seiring dengan peningkatan simpanan besi. Dengan demikian, jumlah feritin di dalam darah adalah indicator paling peka mengenai jumlah besi yang tersimpan di dalam tubuh. Besi dapat diambil dari simpanan feritin, diangkut dalam darah sebagai transferin, dan disera oleh sel yang memerlukan besi melalui

proses endositosis yang diperatarai oleh resptor (misalnya oleh retikulosit yang sedang membentuk hemoglobin). Apabila terjadi penyerapan besi berlebihan dari makanan, kelebihan tersebut disimpan sebagai hemosiderin, suatu bentuk feritin yang membentuk kompleks dengan besi tambahan yang tidak mudah dimobilisasi segera. LO 4.1 Patofisiologi Defisiensi Besi Anemia defisiensi besi merupakan jenis anemia yang paling sering ditemukan terutama di negara berkembang. Penyebabnya antara lain: o Faktor nutrisi: rendahnya asupan besi total dalam makanan atau bioavailabilitas besi yang dikonsumsi kurang baik (makanan banyak serat,rendah daging, dan rendah vitamin C). o Kebutuhan yang meningkat, seperti pada bayi prematur, anak dalam pertumbuhan, ibu hamil dan menyusui. o Gangguan absorpsi besi: gastrektomi, colitis kronik, atau achlorhydria. o Kehilangan besi akibat perdarahan kronis, misalnya: perdarahan tukak peptik, keganasan lambung/kolon, hemoroid, infeksi cacing tambang,menometrorraghia, Hematuria, atau hemaptoe

METABOLISME BESI Proses absorpsi besi dibagi menjadi 3 fase: o Fase Luminal Besi dalam makanan diolah oleh lambung (asam lambung menyebabkan heme terlepas dari apoproteinnya) hingga siap untuk diserap. o Fase Mukosal Proses penyerapan besi di mukosa usus. Bagian usus yang berperan penting pada absorpsi besi ialah duodenum dan jejunum proksimal. Namun sebagian kecil juga terjadi di gaster, ileum dan kolon. Penyerapan besi dilakukan oleh sel absorptive yang terdapat pada puncak vili usus. Besi heme yang telah dicerna oleh asam lambung langsung diserap oleh sel absorptive, sedangkan untuk besi nonheme mekanisme yang terjadi sangat kompleks. etidaknya terdapat 3 protein yang terlibat dalam transport besi non heme dari lumen usus ke sitoplasma sel absorptif. Luminal mucin berperan untuk mengikat besi nonheme agar tetap larut dan dapat diserap meskipun dalam suasana alkalis duodenum. Agar dapat memasuki sel, pada brush border sel terjadi perubahan besi feri menjadi fero oleh enzim feri reduktase yang diperantarai oleh protein duodenal cytochrome b-like (DCYTB). Transpor 10 melalui membrane difasilitasi oleh divalent metal transporter (DMT-1 atau Nramp-2). Sesampainya di sitoplasma sel usus, protein sitosol (mobilferrin) menangkap besi feri. sebagian besar besi akan disimpan dalam bentuk feritin dalam mukosa sel usus, sebagian kecil diloloskan ke dalam kapiler usus melalui

basolateral transporter (ferroportin atau IREG 1). Besi yang diloloskan akan mengalami reduksi dari molekul fero menjadi feri oleh enzim ferooksidase, kemudian berikatan dengan apotransferin dalam kapiler usus. o Fase corporeal Meliputi proses transportasi besi dalam sirkulasi, utilisasi besi oleh sel yang membutuhkan, dan penyimpanan besi di dalam tubuh. Dalam sirkulasi, besi tidak pernah berada dalam bentuk logam bebas, melainkan berikatan dengan suatu glikoprotein (-globulin) pengikat besi yang diproduksi oleh hepar (transferin). Besi bebas memiliki sifat seperti radikal bebas dan dapat merusak jaringan. Transferin berperan mengangkut besi kepada sel yang membutuhkan terutama sel progenitor eritrosit (normoblas) pada sumsum tulang. Permukaan normoblas memiliki reseptor transferin yang afinitasnya sangat tinggi terhadap besi pada transferin. Kemudian besi akan masuk ke dalam sel melalui proses endositosis menuju mitokondria. Disini besi digunakan sebagai bahan baku pembentukan hemoglobin. Kelebihan besi di dalam darah disimpan dalam bentuk feritin (kompleks besiapoferitin) dan hemosiderin pada semua sel tubuh terutama hepar, lien, sumsum tulang, dan otot skelet. Pada hepar feritin terutama berasal dari transferin dan tersimpan pada sel parenkimnya, sedangkan pada organ yang lain, feritin terutama terdapat pada sel fagosit mononuklear (makrofag monosit) dan berasal dari 11 pembongkaran eritrosit. Bila jumlah total besi melebihi kemampuan apoferitin untuk menampungnya maka besi disimpan dalam bentuk yang tidak larut (hemosiderin). Bila jumlah besi plasma sangat rendah, besi sangat mudah dilepaskan dari feritin, tidak demikian pada hemosiderin. Feritin dalam jumlah yang sangat kecil terdapat dalam plasma, bila kadar ini dapat terdeteksi menunjukkan cukupnya cadangan besi dalam tubuh. Berdasarkan beratnya kekurangan besi dalam tubuh, defisiensi besi dapat dibagi menjadi 3 tingkatan:

1. Deplesi besi (iron depleted state) Terjadi penurunan cadangan besi tubuh, tetapi penyediaan untuk eritropoiesis belum terganggu. Pada fase ini terjadi penurunan serum feritin, peningkatan absorpsi besi dari usus, dan pengecatan besi pada apus sumsum tulang berkurang. 2. Iron deficient Erythropoiesis Cadangan besi dalam tubuh kosong, tetapi belum menyebabkan anemia secara laboratorik karena untuk mencukupi kebutuhan terhadap besi, sumsum tulang melakukan mekanisme mengurangi sitoplasmanya sehingga normoblas yang terbentuk menjadi tercabik-cabik, bahkan ditemukan normoblas yang tidak

memiliki sitoplasma (naked nuclei). Selain itu kelainan pertama yang dapat dijumpai adalah penigkatan kadar free protoporfirin dalam eritrosit, saturasi transferin menurun, total iron binding capacity (TIBC) meningkat. Parameter lain yang sangat spesifik adalah peningkatan reseptor transferin dalam serum. 3. Anemia defisiensi besi Bila besi terus berkurang eritropoiesis akan semakin terganggu, sehingga kadar hemoglobin menurun diikuti penurunan jumlah eritrosit. Akibatnya terjadi anemia hipokrom mikrositer. Pada saat ini terjadi pula kekurangan besi di epitel, kuku, dan beberapa enzim sehingga menimbulkan berbagai gejala. Beberapa dampak negatif defisiensi besi, disamping terjadi anemia, antara lain: 1. Sistem neuromuskuler Terjadi penurunan fungsi mioglobin, enzim sitokrom, dan gliserofosfat oksidase yang menyebabkan gangguan glikolisis sehingga terjadi penumpukan asam laktat yang mempercepat kelelahan otot. 2. Gangguan perkembangan kognitif dan non kognitif pada anak Terjadi karena gangguan enzim aldehid oksidase dan monoamin oksidase, sehingga mengakibatkan penumpukan serotonin dan katekolamin dalam otak.3. Defisiensi besi menyebabkan aktivitas enzim mieloperoksidase netrofil berkurang sehingga

menurunkan imunitas seluler. Terutama bila mengenai ibu hamil, akan meningkatkan risiko prematuritas dan gangguan partus. PEMERIKSAAN DEFISIENSI BESI Kelainan laboratorium yang dapat dijumpai adalah: 1. Kadar hemoglobin dan indek eritrosit: Anemia hipokrom mikrositer (penurunan MCV dan MCH) MCHC menurun pada anemia defisiensi besi yang lebih berat dan berlangsung lama Bila pada SADT terdapat anisositosis, merupakan tanda awal terjadinya defisiensi besi Pada anemia hipokrom mikrositer yang ekstrim terdapat poikilositosis (sel cincin, sel pensil, sel target) 2. Konsentrasi besi serum menurun dan TIBC meningkat TIBC menunjukkan tingkat kejenuhan apotransferin terhadap besi, sedangkan saturasi transferin dihitung dari: Konsentrasi besi serum memiliki siklus diurnal, yakni mencapai kadar puncak pada pukul 8-10 pagi. 3. Penurunan kadar feritin serum

Feritin serum merupakan pemeriksaan laboratorium untuk diagnosis anemia defisiensi besi yang paling kuat, cukup reliabel dan praktis. Angka serum feritin yang normal belum dapat menyingkirkan diagnosa defisiensi besi, namun feritin serum >100 mg/dl sudah dapat memastikan tidak ada defisiensi. 4. Peningkatan protoporfirin eritrosit Angka normalnya 100 mg/dl menunjukkan adanya defisiensi besi. 5. Peningkatan reseptor transferin dalam serum (normal 4-9 g/dl), dipakai untuk membedakan anemia defisiensi besi dengan anemia pada penyakit kronis. 6. Gambaran apus sumsum tulang menunjukkan jumlah normoblas basofil yang meningkat, disertai penurunan stadium berikutnya. Terdapat pula mikronormoblas (sitoplasma sedikit dan bentuk tidak teratur. Pengecatan sumsum tulang dengan Prussian blue merupakan gold standar diagnosis defisiensi besi yang akan memberikan hasil sideroblas negatif (normoblas yang mengandung granula feritin pada sitoplasmanya, normal 40-60%). 7. Pemeriksaan mencari penyebab defisiensi, misalnya pemeriksaan feses, barium enema, colon in loop, dll. LO 4.2 Penatalaksanaan Defisiensi Besi 1. Terapi kausal, untuk mencari penyebab kekurangan besi yang diderita. Bila tidak dapat menyebabkan kekambuhan. 2. Pemberian preparat besi: Oral: merupakan pilihan pertama karena efektif, murah, dan aman, terutama sulfas ferosus. Dosis

anjuran 3x200mg/hari yang dapat meningkatkan eritropoiesis hingga 2-3 kali dari normal. Pemberian dilakukan sebaiknya saat lambung kosong (lebih sering menimbulkan efek samping) paling sedikit selama 3-12 bulan. Bila terdapat efek samping Gastrointestinal (mual, muntah, konstipasi) pemberian dilakukan setelah makan atau osis dikurangi menjadi 3x100mg. Untuk meningkatkan penyerapan dapat diberikan bersama vitamin C 3x100 mg/hari. Parenteral,misal preparat ferric gluconate atau iron sucrose (IV pelan atau IM). Pemberian secara IM

menimbulkan nyeri dan warna hitam pada lokasi suntikan. Indikasi pemberian parenteral: a. Intoleransi terhadap preparat oral b. Kepatuhan berobat rendah c. Gangguan pencernaan, seperti kolitis ulseratif (dapat kambuh dengan pemberian besi) d. Penyerapan besi terganggu, seperti gastrektomi e. Kehilangan darah banyak

f. Kebutuhan besi besar yang harus dipenuhi dalam jangka waktu yang pendek, misalnya ibu hamil trimester 3 atau pre operasi. Dosis yang diberikan dihitung menurut formula: Kebutuhan besi (mg) = {(15 Hbsekarang ) x BB x 2,4} + (500 atau 1000) 3. Diet, terutama yang tinggi protein hewani dan kaya vitamin C. 4. Transfusi diberikan bila terdapat indikasi yaitu: Terdapat penyakit jantung anemik dengan ancaman payah jantung Gejala sangat berat, misalnya pusing sangat menyolok Pasien memerlukan peningkatan kadar Hb yang cepat, misalnya kehamilan trimester akhir atau pre operasi Dalam pengobatan, pasien dinyatakan memberikan respon baik apabila retikulosit naik pada minggu pertama, mencapai puncak pada hari ke 10, dan kembali normal pada hari ke 14 pengobatan. Diikuti dengan kenaikan Hb 0,15 gr/dl/hari atau 2 gr/dl setelah 3-4 minggu pengobatan LO 4.3 Pencegahan Defisiensi Besi