skenario 1

44
SKENARIO 1 Buang Air Besar Berwarna Hitam Ny. N, 55 tahun, datang ke Poliklinik Yarsi dengan keluhan buang air besar (BAB) berwarna hitam sejak 2 hari yang lalu. Ny.N sering mengeluhkan nyeri ulu hati sejak ia kerap mengkonsumsi obat penghilang rasa sakit. Dokter pernah menyatakan Ny. N penderita ulkus peptikum. Pada pemeriksaan fisik ditemukan nyeri tekan epigastrium. Dokter kemudia merawat Ny. N, dan melakukan bilasan lambung hasil cairan berwarna kemerahan dan tidak jernih. Kelompok A8 Page 1

Upload: eka-septia

Post on 24-Oct-2015

22 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: SKENARIO 1

SKENARIO 1

Buang Air Besar Berwarna Hitam

Ny. N, 55 tahun, datang ke Poliklinik Yarsi dengan keluhan buang air besar (BAB) berwarna hitam sejak 2 hari yang lalu. Ny.N sering mengeluhkan nyeri ulu hati sejak ia kerap mengkonsumsi obat penghilang rasa sakit. Dokter pernah menyatakan Ny. N penderita ulkus peptikum. Pada pemeriksaan fisik ditemukan nyeri tekan epigastrium. Dokter kemudia merawat Ny. N, dan melakukan bilasan lambung hasil cairan berwarna kemerahan dan tidak jernih.

Kelompok A8 Page 1

Page 2: SKENARIO 1

SASARAN BELAJAR

LI 1. Memahami dan Menjelaskan Anatomi Gaster

LO 1.1. Anatomi Makroskopis Gaster

LO 1.2. Anatomi Mikroskopis Gaster

LI 2. Memahami dan Menjelaskan Fisiologi Gaster

LO 2.1. Memahami gaster sebagai fungsi

LO 2.2. Mekanisme sekresi pada gaster

LO 2.3.Proses pengisian, penyimpanan, pencampuran dan pengosongan gaster

LO 2.5. Mekanisme pembentukan asam lambung

LI 3. Memahami dan Menjelaskan Biokimia di Gaster

LO 3.1. Enzim-enzim pencernaan dan proses pencernaan di gaster

LI 4. Memahami dan Menjelaskan Sindrom Dispepsia

LO 4.1. Definisi sindrom dispepsia

LO 4.2. Klasifikasi sindrom dispepsia

LO 4.3. Etiologi sindrom dispepsia

LO 4.5. Epidemiologi sindrom dispepsia

LO 4.6. Patofisiologi sindrom dispepsia

LO 4.7. Manifestasi sindrom dispepsia

LO 4.8. Diagnosis dan pemeriksaan penujang pada sindrom dispepsia

LO 4.9. Diagnosis banding sindrom dispepsia

LO 4.10. Komplikasi sindrom dispepsia

LO 4.11. Prognosis sinrom dispepsia

LI 5. Memahami dan Menjelaskan Ulkus Peptikum

LO 5.1. Definisi ulkus peptikum

LO 5.2. Etiologi ulkus peptikum

LO 5.3. Epidemiologi ulkus peptikum

LO 5.4. Patogenesis ulkus peptikum

LO 5.5. Manifestasi ulkus peptikum

Kelompok A8 Page 2

Page 3: SKENARIO 1

LI 6. Memahami dan Menjelaskan Tatalaksana Sindrom Dispepsia

LO 6.1. Tatalaksana sindrom dispepsia

LO 6.2. Pencegahan sindrom dispepsia

Kelompok A8 Page 3

Page 4: SKENARIO 1

LI 1. Memahami dan Menjelaskan Anatomi Gaster

LO 1.1. Anatomi Makroskopis Gaster

Gaster adalah organ berbentuk J, terletak pada bagian superior kiri rongga abdomen dibawah diafragma. Semua bagian kecuali sebagian kecil, terletak pada bagian kiri garis tengah.

Ukuran dan bentuknya bervariasi dari satu individu ke individu lain, tergantung : Banyaknya isi Lanjutnya pencernaan Kuatnya otot – otot ventrikulus Keadaan usus – usus disekelilingnya

Dapat dibedakan : Curvatura mayor Curvatura minor Paries ventralis Paries dorsalis

Ventriculus dapat dibagi dalam : Cardia, tempat muara oesophagus kedalam lumen Fundus, bagian yang menonjol ke kranial disebelah kiri oesophagus Corpus, bagian dari tempat muara oesophagus sampai tempat terkaudal Pars pylorica, bagian dari tempat terkaudal sampai akhir ventriculus Pylorus, tempat terakhir ventrikulus

Pada batas antara corpus dan pars pylorica, lengkung venriculus lebih membuat suatu sudut atau angulus dengan incisura yang melintang disebut incisura angularis.

Pada pylorus terdapat tempat yang sempit disebut isthmus dengan vena yang berjalan melintang. Terdapat serabut – serabut yang berjalan melingkar membentuk m. Sfingter pylori.

Pendarahan gaster

Arteriae berasal dari cabang truncus coeliacus.- Arteria gastrica sinistra berasal dari truncus coeliacus. Arteri ini berjalan ke atas

dan kiri untuk mencapai oesophagus dan kemudian berjalan turun sepanjang curvatura minor gaster. Arteria gastrica sinistra mendarahi 1/3 bawah oesophagus dan bagian atas kanan gaster.

Kelompok A8 Page 4

Page 5: SKENARIO 1

- Arteria gastrica dextra berasal dari arteria hepatica communis pada pinggir atas pylorus dan berjalan ke kiri sepanjang curvatura minor. Arteria ini mendarahi bagian kanan bawah gaster.

- Arteriae gastricae breves berasal dari arteria lienalis pada hilum lienale dan berjalan ke depan di dalam ligamentum gastrosplenicum untuk mendarahi fundus.

- Arteria gastroomentalis sinistra berasal dari arteria splenica pada hilum lienale dan berjalan ke depan di dalam ligamentum gastrolienale untuk mendarahi gaster sepanjang bagian atas curvatura major.

- Arteria gastroomentalis dextra berasal dari arteria gastroduodenalis yang merupakan cabang arteria hepatica communis. Arteria ini berjalan ke kiri dan mendarahi gaster sepanjang bawah curvatura major.

-

Venae. Vena-vena ini mengalirkan darah ke dalam sirkulasi portal. Vena gastrica sinistra dan dextra bermuara langsung ke vena porta hepatis. Venae gastricae breves dan vena gastroomentalis sinistra bermuara ke dalam vena lienalis. Vena gastroomentalis dextra bermuara ke dalam vena mesentrica superior.

Persarafan gaster

Persarafan ini termasuk serabut-serabut simpatis yang berasal dari plexus coeliacus dan serabut-serabut parasimpatis dari nervus vagus dextra dan sinistra.

Truncus vagalis anterior yang dibentuk di dalam thorax, terutama berasal dari nervus vagus sinistra, memasuki abdomen pada permukaan anterior oesophagus. Truncus, yang mungkin tunggal atau multipel, kemudian terbagi menjadi cabang-cabang yang menyarafi permukaan anterior gaster. Sebuah cabang hepaticus yang besar berjalan ke atas menuju hepar, dan di sini membentuk ramus pyloricus yang berjalan turun ke pylorus.

Kelompok A8 Page 5

Page 6: SKENARIO 1

Truncus vagalis posterior, yang dibentuk di dalam thorax, terutama berasal dari nervus vagus dextra, memasuki abdomen pada permukaan posterior oesophagus. Selanjutnya truncus membentuk cabang-cabang yang menyarafi permukaan posterior gaster. Suatu cabang yang besar berjalan menuju plexus coeliacus dan plexus mesentricus superior dan kemudian didistribusikan ke usus sampai flexura coli sinistra dan ke pancreas.

Persarafan simpatis gaster membawa serabut-serabut rasa nyeri, sedangkan serabut parasimpatis nervus vagus membawa secretomotoris untuk glandulae gastricae dan serabut motoris untuk tunica muscularis gaster. Musculus sphincter pyloricus menerima serabut motoris dari sistem simpatis dan serabut inhibitor dari nervus vagus.

LO 1.2. Anatomi Mikroskopis Gaster

Peralihan Oesophagus-Gaster (Cardiac)Merupakan segmen saluran pencernaan yang melebar, fungsi utama menambah cairan

makanan, mengubahnya menjadi bubur dan melanjutkan proses pencernaan. Ada 3 daerah struktur histologis yang berbeda yaitu, corpus, fundus dan pylorus. Peralihan oesophagus dan lambung disebut oesophagus-cardia, epitel berlapis gepeng oesophagus beralih menjadi epitel selapis toraks pada cardia. Mukosa cardia terlihat berlipat-lipat disebut foveola gastrica. Didalam lamina propria terdapat kelenjar terpotong melintang (kelenjar tubulosa berkelok-kelok), dapat meluas ke dalam lamina propria oesophagus.

Kelompok A8 Page 6

T. submukosa

T. Muskularis eksterna

Esofaguskardia

Kelenjar esofagus

Epitel selapis torakEpitel berlapis gepengTanpa lpsn tanduk

Page 7: SKENARIO 1

Setelah mencapai cardia, kelenjar oesophagus di submukosa tidak ada lagi. Tunica muscularis circularis menebal membentuk sphincter.

GasterEpitel terdiri dari sel silindris mensekresi mukus (PAS-positif). Permukaan

lambung ditandai dengan lipatan mukosa disebut rugae. Dalam lipatan terdapat invaginasi atau cekungan disebut gastric-pits atau foveolae gastrica. Di dalam mukosa terdapat kelenjar-kelenjar yang bermuara pada foveolae gastrica.

FundusMukosa diliputi epitel selapis toraks. Pada dasar faveola gastrica bermuara

kelenjar fundus, kelenjar tubulosa simpleks dan lurus. Foveolae gastrica sepertiga tebal mukosa (dangkal), sedang kelenjarnya (fundus) dua pertiga tebal mukosa, terletak dalam lamina propria.

Ada 4 macam sel kelenjar :1. Sel mucus leher (neck cell), terdapat di leher kelenjar, mirip sel epitel mukosa.

Bagian apikal sel kadang-kadang mengandung granula.2. Sel HCl (parietal cell). Bentuk sepertiga atau bulat, terdapat dibagian isthmus

kelenjar. Sitoplasma merah (asidofil), inti ditengah, kromatin padat3. Sel zimogen (chief cell). Sel bentuk mirip sel HCl, tidak teratur, sitoplasma basofil

(biru), inti terletak di basal. Terdapat banyak dibagian bawah kelenjar.4. Sel argentaffin (sediaan HE, sukar dijumpai). Dinding serupa saluran cerna yang

lain, seperti, tunica muscularis mucosa, tunica submucosa, tunica muscularis dengan lapisan circular lebih tebal dan tunica serosa.

Kelompok A8 Page 7

Page 8: SKENARIO 1

PylorusBerbeda dengan fundus foveolae gastrica lebih dalam. Sel-sel kelenjar hampir

homogen, semua sel mucus kelenjar pylorus sering berkelok-kelok di dalam lamina propria. Kadang-kadang ditemukan nodulus lymphaticus yang menembus sampai tunica submucosa. Tunica muscularis, dengan lapisan circular amat tebal membentuk sphincter.

Peralihan Gaster-DuodenumPerubahan histologis dari dinding gaster pylorus ke dinding duodenum. Tunica

mucosa epitel toraks, yang pada bagian duodenum mulai terdapat sel goblet. Pada duodenum mulai terdapat tonjolan ke permukaan villus intestinal yang gemuk atau lebar dengan sel goblet dan criptus atau sumur Lieberkuhn. Pada pylorus terdapat kelenjar pylorus.

Ciri khas duodenum adalah adanya kelenjar Brunner atau mucu. Tunica adventitia pada duodenum, tidak terbungkus peritoneum.

Kelompok A8 Page 8

T. Submukosapylorus

Sfingter pylorus(Penebalan otot)

T. Muskularis eksterna

Kel. Brunner (di T.submukosa)

Kel. Pylorus(di L.propria)

Kriptus

lieberkuh

T. Mukosa

(ESG)T. Mukosa (EST+sel

DuodenumGaster Pylorus

Page 9: SKENARIO 1

LI 2. Memahami dan Menjelaskan Fisiologi Gaster

LO 2.1. Gaster berdasarkan fungsi

1. Fungsi motorik lambungFungsi menampung : menyimpan makanan sampai makanan tersebut sedikt demi sedikit dicerna dan bergerak pada saluran cerna. Menyesuaikan peningkatan volume tekanan dengan relaksasi reseptif otot polos yang diperantarai oleh nervus vagus dan dirangsang oleh gastrin.Fungsi mencampur : memecahkan makanan menjadi partikel-partikel kecil dan mencampurnya dengan getah lambung melalui kontraksi otot yang mengelilingi lambung. Kontraksi peristaltik diatur oleh suatu irama listrik intrinsik dasar.Fungsi pengosongan lambung : diatur oleh pembukaan sfingter pilorus yang dipengaruhi viskositas, volume, keasamam, aktivitas osmotik, keadaan fisik, serta emosi, obat-obatan, dan olahraga. Pengosongan lambung juga diatur oleh faktor saraf dan hormonal, seperti kolesistokinin.

2. Fungsi pencernaan dan sekresiPencernaan protein oleh pepsin dan HCL dimulai disini : pencernaan karbohidrat dan lemak oleh amilase dan lipase dalam lambung kecil peranannya.Sintesis dan pelepasan gastrin dipengaruhi oleh protein yang dimakan, peregangan antrum, alkalinisasi antrum, dan rangsangan vagus.Sekresi faktor intrinsik memungkinkan absorpsi vitamin B12 dari usus halus bagian distal.Sekresi mukus membentuk selubung yang melindungi lambung serta berfungsi sebagai pelumas sehingga makanan lebih mudah diangkut.Sekresi bikarbonat, bersama dengan sekresi gel mukus, tampaknya berperan sebagai barrier dari asam lumen dan pepsin.

LO 2.2. Mekanisme sekresi pada gaster

Kecepatan sekresi lambung dapat dipengaruhi oleh (1) faktor-faktor yang muncul sebelum makanan mencapai lambung; (2) faktor-faktor yang timbul akibat adanya makanan di dalam lambung; dan (3) faktor-faktor di duodenum setelah makanan meninggalkan lambung. Dengan demikian, diaktifkan, pepsin secara autokatalis mengaktifkan lebih banyak pepsinogen dan memulai pencernaan protein. Sekresi pepsiongen dalam bentuk inaktif mencegah pencernaan protein struktural sel tempat enzim tersebut dihasilkan. Pengaktifan pepsinogen tidak terjadi sampai enzim tersebut menjadi lumen dan berkontak dengan HCl yang disekresikan oleh sel lain di kantung-kantung lambung. Sekresi lambung dibagi menjadi tiga fase—fase sefalik, fase lambung, dan fase usus.

a. Fase sefalik terjadi sebelum makanan mencapai lambung. Masuknya makanan ke dalam mulut atau tampilan, bau, atau pikiran tentang makanan dapat merangsang sekresi lambung.

b. Fase lambung terjadi saat makanan mencapai lambung dan berlangsung selama makanan masih ada. Peregangan dinding lambung merangsang reseptor saraf dalam mukosa lambung dan

memicu refleks lambung. Serabut aferen menjalar ke medula melalui saraf vagus. Serabut eferen parasimpatis menjalar dalam vagus menuju kelenjar lambung untuk menstimulasi produksi HCl, enzim-enzim pencernaan, dan gastrin.

Fungsi gastrin:- merangsang sekresi lambung,- meningkatkan motilitas usus dan lambung,

Kelompok A8 Page 9

Page 10: SKENARIO 1

- mengkonstriksi sphincter oesophagus bawah dan merelaksasi sphincter pylorus,- efek tambahan: stimulasi sekresi pancreas.

Pengaturan pelepasan gastrin dalam lambung terjadi melalui penghambatan umpan balik yang didasarkan pada pH isi lambung.

- Jika makanan tidak ada di dalam lambung di antara jam makan, pH lambung akan rendah dan sekresi lambung terbatas.

- Makanan yang masuk ke lambung memiliki efek pendaparan (buffering) yang mengakibatkan peningkatan pH dan sekresi lambung.

c. Fase usus terjadi setelah kimus meninggalkan lambung dan memasuki usus halus yang kemudian memicu faktor saraf dan hormon.

Sekresi lambung distimulasi oleh sekresi gastrin duodenum sehingga dapat berlangsung selama beberapa jam. Gastrin ini dihasilkan oleh bagian atas duodenum dan dibawa dalam sirkulasi menuju lambung.

Sekresi lambung dihambat oleh hormon-hormon polipeptida yang dihasilkan duodenum. Hormon ini dibawa sirkulasi menuju lambung, disekresi sebagai respon terhadap asiditas lambung dengan pH di bawah 2, dan jika ada makanan berlemak. Hormon-hormon ini meliputi gastric inhibitory polipeptide (GIP), sekretin, kolesistokinin (CCK), dan hormon pembersih enterogastron.

LO 2.3. Proses pengisian, penyimpanan, pencampuran dan pengosongan gaster

Terdapat empat aspek motilitas lambung: (1) pengisian lambung/gastric filling, (2) penyimpanan lambung/gastric storage, (3) pencampuran lambung/gastric mixing, dan (4) pengosongan lambung/gastric emptying.

1. Pengisian lambung

Jika kosong, lambung memiliki volume sekitar 50 ml, tetapi organ ini dapat mengembang hingga kapasitasnya mencapai 1 liter (1.000 ml) ketika makan. Akomodasi perubahan volume yang besarnya hingga 20 kali lipat tersebut akan menimbulkan ketegangan

Kelompok A8 Page 10

Tabel 2-1. Stimulasi Sekresi Lambung

Page 11: SKENARIO 1

pada dinding lambung dan sangat meningkatkan tekanan intralambung jika tidak terdapat dua faktor berikut ini:

Plastisitas otot lambung. Plastisitas mengacu pada kemampuan otot polos lambung mempertahankan ketegangan konstan dalam rentang panjang yang lebar, tidak seperti otot rangka dan otot jantung, yang memperlihatkan hubungan ketegangan. Dengan demikian, saat serat-serat otot polos lambung teregang pada pengisian lambung, serat-serat tersebut melemas tanpa menyebabkan peningkatan ketegangan otot.

Relaksasi reseptif lambung. Relaksasi ini merupakan relaksasi refleks lambung sewaktu menerima makanan. Relaksasi ini meningkatkan kemampuan lambung mengakomodasi volume makanan tambahan dengan hanya sedikit mengalami peningkatan tekanan. Tentu saja apabila lebih dari 1 liter makanan masuk, lambung akan sangat teregang dan individu yang bersangkutan merasa tidak nyaman. Relaksasi reseptif dipicu oleh tindakan makan dan diperantarai oleh nervus vagus.

2. Penyimpanan lambung

Sebagian otot polos mampu mengalami depolarisasi parsial yang autonom dan berirama. Salah satu kelompok sel-sel pemacu tersebut terletak di lambung di daerah fundus bagian atas. Sel-sel tersebut menghasilkan potensial gelombang lambat yang menyapu ke bawah di sepanjang lambung menuju sphincter pylorus dengan kecepatan tiga gelombang per menit. Pola depolarisasi spontan ritmik tersebut, yaitu irama listrik dasar atau BER (basic electrical rhythm) lambung, berlangsung secara terus menerus dan mungkin disertai oleh kontraksi lapisan otot polos sirkuler lambung.

Setelah dimulai, gelombang peristaltik menyebar ke seluruh fundus dan corpus lalu ke antrum dan sphincter pylorus. Karena lapisan otot di fundus dan corpus tipis, kontraksi peristaltik di kedua daerah tersebut lemah. Pada saat mencapai antrum, gelombang menjadi jauh lebih kuat disebabkan oleh lapisan otot di antrum yang jauh lebih tebal.

Karena di fundus dan corpus gerakan mencampur yang terjadi kurang kuat, makanan yang masuk ke lambung dari oesophagus tersimpan relatif tenang tanpa mengalami pencampuran. Daerah fundus biasanya tidak menyimpan makanan, tetapi hanya berisi sejumlah gas. Makanan secara bertahap disalurkan dari corpus ke antrum, tempat berlangsungnya pencampuran makanan.

3. Pencampuran lambung

Kontraksi peristaltik lambung yang kuat merupakan penyebab makanan bercampur dengan sekresi lambung dan menghasilkan kimus. Setiap gelombang peristaltik antrum mendorong kimus ke depan ke arah sphincter pylorus. Sebelum lebih banyak kimus dapat diperas keluar, gelombang peristaltik sudah mencapai sphincter pylorus dan menyebabkan sphincter tersebut berkontraksi lebih kuat, menutup pintu keluar dan menghambat aliran kimus lebih lanjut ke dalam duodenum. Bagian terbesar kimus antrum yang terdorong ke depan, tetapi tidak dapat didorong ke dalam duodenum dengan tiba-tiba berhenti pada sphincter yang tertutup dan tertolak kembali ke dalam antrum, hanya untuk didorong ke depan dan tertolak kembali pada saat gelombang peristaltik yang baru datang. Gerakan maju-mundur tersebut, yang disebut retropulsi, menyebabkan kimus bercampur secara merata di antrum.

Kelompok A8 Page 11

Page 12: SKENARIO 1

4. Pengosongan lambung

Kontraksi peristaltik antrum—selain menyebabkan pencampuran lambung—juga menghasilkan gaya pendorong untuk mengosongkan lambung. Jumlah kimus yang lolos ke dalam duodenum pada setiap gelombang peristaltik sebelum sphincter pylorus tertutup erat terutama bergantung pada kekuatan peristalsis. Intensitas peristalsis antrum dapat sangat bervariasi di bawah pengaruh berbagai sinyal dari lambung dan duodenum; dengan demikian, pengosongan lambung diatur oleh faktor lambung dan duodenum.

Faktor di lambung yang mempengaruhi kecepatan pengosongan lambung. Faktor lambung utama yang mempengaruhi kekuatan kontraksi adalah jumlah kimus di dalam lambung. Apabila hal-hal lain setara, lambung mengosongkan isinya dengan kecepatan yang sesuai dengan volume kimus setiap saat. Peregangan lambung memicu peningkatan motilitas lambung melalui efek langsung peregangan pada otot polos serta melalui keterlibatan plexus intrinsik, nervus vagus, dan hormon lambung gastrin. Selain itu, derajat keenceran (fluidity) kimus di dalam lambung juga mempengaruhi pengosongan lambung. Semakin cepat derajat keenceran dicapai, semakin cepat isi lambung siap dievakuasi.

Faktor di duodenum yang mempengaruhi kecepatan pengosongan lambung. Walaupun terdapat pengaruh lambung, faktor di duodenumlah yang lebih penting untuk mengontrol kecepatan pengosongan lambung. Duodenum harus siap menerima kimus dan dapat bertindak untuk memperlambat pengsongan lambung dengan menurunkan aktivitas peristaltik di lambung sampai duodenum siap mengakomodasi tambahan kimus. Bahkan, sewaktu lambung teregang dan isinya sudah berada dalam bentuk cair, lambung tidak dapat mengosongkan isinya sampai duodenum siap menerima kimus baru.

LO 2.4. Mekanisme pembentukan asam lambung

Sel-sel parietal secara aktif mengeluarkan HCl ke dalam lumen kantung lambung yang kemudian mengalirkannya ke dalam lumen lambung. pH isi lambung turun sampai serendah

Kelompok A8 Page 12

Tabel 2-2. Faktor yang mengatur motilitas dan pengosongan lambung

Page 13: SKENARIO 1

2 akibat sekresi HCl. Ion hidrogen dan ion klorida secara aktif ditansportasikan oleh pompa yang berbeda di membran plasma parietal. Ion hidrogen secara aktif dipindahkan melawan gradien konsentrasi karena itu diperlukan banyak energi, sel-sel parietal memiliki banyak mitokondria. Klorida juga disekresikan secara aktif tetapi melawan gradien kosentrasi jauh lebih kecil.

Ion hidrogen yang disekresikan tidak dipindahkan dari plasma tetapi berasal dari proses-proses metabolisme di dalam sel parietal. Apabila H+¿¿ disekresikan, netralitas interior di pertahankan oleh pembentukan H+¿¿ dari asam karbonat untuk menggantikan H+¿¿ yang keluar tersebut.

H2O +CO2 dibantu oleh Carbonat Anhidrase menjadi H2CO3-

↓H+ masuk ke lumen lambung melalui H+K+ATPase

↓HCO3

- bertukar dengan Cl- di plasma↓

H+ berikatan dengan Cl-

↓Menjadi HCl

LI 3. Memahami dan Menjelaskan Biokimia di Gaster

LO 3.1. Enzim-enzim pencernaan dan proses pencernaan di gaster

Karbohidrat

Karbohidrat diklasifikasikan menjadi monosakarida (glukosa, galaktosa, dan fruktosa), disakarida (maltosa, laktosa, sukrosa), oligosakarida dan polisakarida (amilum/pati). Dalam kondisi sehari-hari, ada tiga sumber utama karbohidrat dalam diet makanan, yaitu sukrosa (gula pasir), laktosa (gula susu) dan pati/starch (gula tumbuhan).

Pencernaan karbohidrat dimulai semenjak berada di mulut. Enzim ptyalin (α–amilase) yang dihasilkan bersama dengan liur akan memecah polisakarida menjadi disakarida. Enzim

Kelompok A8 Page 13

Page 14: SKENARIO 1

ini bekerja di mulut sampai fundus dan korpus lambung selama satu jam sebelum makanan dicampur dengan sekret lambung. Meskipun asam menginaktifkan amilase liur, namun bagian dalam massa makan yang tidak tercampur, bebas dari asam lambung. Karena kontraksi peristaltik di fundus dan korpus sangat lemah.

Enzim amilase juga dihasilkan oleh sel eksokrin pankreas, di mana ia akan dikirim dan bekerja di lumen usus halus sekitar 15-30 menit setelah makanan masuk ke usus halus. Amilase bekerja dengan cara mengkatalisis ikatan glikosida α(1à4) dan menghasilkan maltosa dan beberapa oligosakarida.

Setelah polisakarida dipecah oleh amilase menjadi disakarida, maka selanjutnya ia kembali dihidrolisis oleh enzim-enzim di usus halus.

Protein

Pencernaan protein (pemutusan ikatan peptida) dilakukan terutama di antrum lambung dan usus halus (duodenum dan jejunum). Sel utama (chief cell) lambung menghasilkan pepsin yang menghidrolisis protein menjadi fragmen-fragmen peptida. Pepsin akan bekerja pada suasana asam (pH 2.0-3.0) dan sangat baik untuk mencerna kolagen (protein yang terdapat pada daging-dagingan).

Kelompok A8 Page 14

Page 15: SKENARIO 1

LI 4. Memahami dan Menjelaskan Sindrom Dispepsia

LO 4.1. Definisi sindrom dispepsia

Dalam konsensus Roma II tahun 2000, disepakati bahwa definisi dyspepsia sebagai yang mengarah ke rasa sakir atau rasa tidak nyaman yang berpusat di atas abdomen.

Dispepsia fungsional didefinisikan sebagai dyspepsia yang berlangsung paling tidak 12 minggu, yang tidak perlu terus menerus dalam 1 tahun yang terdiri dari :

Persistent / Recurrent dyspepsia ( rasa sakit/ tidak nyaman mengarah ke abdomen atas Tidak ada bukti dari penyakit organic yang mungkin menjelaskan gejalanya Tidak ada bukti bahwa dyspepsia secara eksklusif sembuh dari defekasi atau

berhubungan dengan gejala dari berubahnya frekuensi BAB atau bentuk BABnya ( Contoh : Tidak Diare)

Dispepsia menggambarkan keluhan atau sindrom yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa perut penuh, sendawa, regurgitasi dan rasa panas yang menjalar di dada

LO 4.2. Klasifikasi sindrom dispepsia

Sindroma dispepsia ini biasanya diderita sudah beberapa minggu atau bulan, yang sifatnya hilang timbul atau terus-menerus. Karena banyaknya penyebab yang menimbulkan kumpulan gejala tersebut, maka sindroma dispepsia dapat diklasifikasian menjadi (1) dispepsia organik dan (2) dispepsia non-organik atau dispepsia fungsional.

a. Dispepsia organikDispepsia organik jarang ditemukan pada usia muda, tetapi banyak ditemukan pada usia lebih dari 40 tahun. Istilah dispepsia organik baru dapat digunakan bila penyebabnya sudah jelas, antara lain:

Dispepsia tukak (ulcer-like dyspepsia). Keluhan penderita yang sering diajukan adalah rasa nyeri di ulu hati. Berkurang atau bertambahnya rasa nyeri ada hubungannya dengan makanan, pada tengah malam sering terbangun karena nyeri atau pedih di ulu hati. Hanya dengan pemeriksaan endoskopi dan radiologi dapat menentukan adanya tukak lambung atau di duodenum.

Dispepsia bukan tukak. Mempunyai keluhan yang mirip dengan dispepsi tukak. Biasa ditemukan pada gastritis, duodenitis, tetapi pada pemeriksaan endoskopi tidak ditemukan tanda-tanda tukak.

Refluks gastroesofageal. Gejala yang klasik dari refluks gastroesofageal yaitu rasa panas di dada dan regurgitasi asam, terutama setelah makan. Bila seseorang mempunyai keluhan tersebut disertai dengan keluhan sindroma dispepsia lainnya, maka dapat disebut sindroma dispepsia refluks gastroesofageal.

Penyakit saluran empedu. Sindroma dispepsi ini biasa ditemukan pada penyakit saluran empedu. Rasa nyeri dimulai dari perut kanan atas atau di ulu hati yang menjalar ke punggung dan bahu kanan.

Karsinoma. Karsinoma dari saluran cerna sering menimbulkan keluhan sindroma dispepsia. Keluhan yang sering diajukan adalah rasa nyeri di perut, kerluhan bertambah berkaitan dengan makanan, anoreksia, dan berat badan yang menurun.

Kelompok A8 Page 15

Page 16: SKENARIO 1

Pankreatitis. Rasa nyeri timbulnya mendadak, yang menjalar ke punggung. Perut dirasa makin tegang dan kembung. Di samping itu, keluhan lain dari sindroma dispepsi juga ada.

Dispepsia pada sindroma malabsorbsi. Pada penderita ini—di samping mempunyai keluhan rasa nyeri perut, nausea, anoreksia, sering flatus, kembung—keluhan utama lainnya yang mencolok ialah timbulnya diare profus yang berlendir.

Dispepsia akibat obat-obatan. Banyak macam obat yang dapat menimbulkan rasa sakit atau tidak enak di daerah ulu hati tanpa atau disertai rasa mual, dan muntah, misalnya obat golongan NSAID (non steroid anti inflammatory drugs), teofilin, digitalis, antibiotik oral (terutama ampisilin, eritromisin), alkohol, dan lain-lain. Oleh karena itu, perlu ditanyakan obat yang dimakan sebelum timbulnya keluhan dispepsia.

Gangguan metabolisme. Diabetes melitus dengan neuropati sering timbul komplikasi pengosongan lambung yang lambat, sehingga timbul keluhan nausea, vomitus, perasaan lekas kenyang. Hipertiroidi mungkin menimbulkan keluhan rasa nyeri di perut dan vomitus, sedangkan hipotiroidi menyebabkan timbulnya hipomoltilitas lambung. Hiperparatiroidi mungkin disertai rasa nyeri di perut, nausea, vomitus, dan anoreksia.

b. Dispepsia non-organik/fungsionalDispepsia fungsional atau dispepsia non-organik merupakan dispepsia yang tidak ada kelainan organik, tetapi merupakan kelainan dari fungsi saluran makanan. Yang termasuk dispepsia fungsional adalah:

Dispepsia dismotilitas (dismotility-like dyspepsia)Pada dispepsia dismotilitas, umumnya terjadi gangguan motilitas, di antaranya: waktu pengosongan lambung lambat, abnormalitas kontraktil, abnormalitas mioelektrik lambung, refluks gastroduodenal. Penderita dengan dispepsia fungsional biasanya sensitif terhadap produksi asam lambung yang meningkat.

Kelainan psikis, stres, dan faktor lingkungan juga dapat menimbulkan dispepsia fungsional. Hal ini dapat dijelaskan kembali pada faal saluran cerna pada proses pencernaan yang mendapat mengaruh dari nervus vagus. Nervus vagus tidak hanya merangsang sel parietal secara langsung, tetapi memungkinkannya efek dari antral gastrin dan rangsangan lain dari sel parietal. Dengan melihat, mencium bau, atau membayangkan suatu makanan saja sudah terbentuk asam lambung yang banyak, yang mengandung HCl dan pepsin.

LO 4.3. Etiologi sindrom dispepsia

Esofago-gastro-duodenaltukak peptic, gastritis kronis, gastritis NSAID, keganasan

Obat-obatanantiinflamasi non-steroid, teofilin, digitalis, antibiotic

Hepato-Bilierhepatitis, kolesistitis, kolelotiasis, keganasan, disfungsi sfingter odii

Pankreaspankreatitis, keganasan

Penyakit sistemik lain

Kelompok A8 Page 16

Page 17: SKENARIO 1

DM, penyakit tiroid, gagal ginjal, kehamilan, penyakit jantung koroner / iskemik

Gangguan fungsionalDispepsia funsional, irritable bowel syndrome

LO 4.5. Epidemiologi sindrom dispepsia

Dispepsia merupakan keluhan umum yang dalam waktu tertentu dapat dialami oleh seseorang. Berdasarkan penelitian pada populasi umum didapatkan bahwa 15-30 % orang dewasa pernah mengalami hal ini dalam beberapa hari. Dan dari data di Negara barat didapatkan angka pravalensinya berkisar 7-14 %, tapi hanya 10-20 % yang mencari pertolongan medis. Angka insidens diperkirakan antara 1-8 %. Belum ada data epidemiologi di Indonesia.

LO 4.6. Patofisiologi sindrom dispepsia

Proses patofisiologi yang paling banyak dibicarakan dan potensial berhubungan dengan dispepsia fungsional adalah hipersekresi asam lambung, infeksi Helicobacter pylori, dismotilitas gastrointestinal, dan hipersensitivitas viseral.

c. Sekresi asam lambung. Kasus dengan dispepsia fungsional, umumnya mempunyai tingkat sekresi asam lambung yang rata-rata normal, baik sekresi basal maupun dengan stimulasi pentagastrin. Diduga adanya peningkatan sensitivitas mukosa lambung terhadap asam yang menimbulkan rasa tidak enak di perut.

d. Helicobacter pylori. Peran infeksi Helicobacter pylori pada dispepsia fungsional belum sepenuhnya dimengerti dan diterima.

e. Dismotilitas gastrointestinal. Berbagai studi melaporkan bahwa pada dispepsia fungsional terjadi perlambatan pengosongan lambung dan adanya hipomotilitas antrum. Tapi harus dimengerti bahwa proses motilitas gastrointestinal merupakan proses yang sangat kompleks, sehingga gangguan pengosongan lambuk tidak dapat mutlak mewakili hal tersebut.

f. Ambang rangsang persepsi. Dinding usus mempunyai berbagai reseptor, termasuk reseptor kimiawi, reseptor mekanik, dan nociceptor. Berdasarkan studi, tampaknya kasus dispepsia ini mempunyai hipersensitivitas viseral terhadap disetensi balon di gaster atau duodenum.

g. Disfungsi autonom. Disfungsi persarafan vagal diduga berperan dalam hipersensitivitas gastrointestinal pada kasus dispepsia fungsional. Adanya neuropati vagal juga diduga berperan dalam kegagalan relaksasi bagian proximal lambung waktu menerima makanan, sehingga menimbulkan gangguan akomodasi lambung dan rasa cepat kenyang.

h. Aktivitas mioelektrik lambung. Adanya disritmia mioelektrik lambung pada pemeriksaan elektrogastrografi dilaporkan terjadi pada beberapa kasus dispepsia fungsional, tetapi hal ini bersifat inkonsisten.

i. Hormonal. Peran hormonal belum jelas dalam patogenesis fungsional. Dilaporkan adanya penurunan kadar hormon motilin yang menyebabkan gangguan motilitas antroduodenal. Dalam beberapa percobaan, progesteron, estradiol, dan prolaktin mempengaruhi kontraktilitas otot polos dan memperlambat waktu transit gastrointestinal.

j. Diet dan faktor lingkungan. Adanya intoleransi makanan dilaporkan lebih sering terjadi pada kasus dispepsia fungsional dibandingkan kasus kontrol.

k. Psikologis. Adanya stres akut dapat mempengaruhi fungsi gastrointestinal dan mencetuskan keluhan pada orang sehat. Dilaporkan adanya penurunan kontraktilitas

Kelompok A8 Page 17

Page 18: SKENARIO 1

lambung yang mendahului keluhan mual setelah stimulus stres sentral. Korelasi antara faktor psikologis stres kehidupan, fungsi autonom, dan motilitas tetap masih kontroversial. Tidak didapatkan kepribadian yang karakteristik untuk kelompok dispepsia fungsional ini, walaupun dilaporkan dalam studi terbatas adanya kecenderungan masa kecil yang tidak bahagia, adanya sexual abuse, atau adanya gangguan psikiatrik pada kasus dispepsia fungsional.

LO 4.7. Manifestasi sindrom dispepsia

Keluhan yang sering diajukan pada sindroma dispepsia ini adalah:

nyeri perut (abdominal discomfort) rasa pedih di ulu hati mual, kadang-kadang sampai muntah nafsu makan berkurang rasa cepat kenyang perut kembung rasa panas di dada dan perut regurgitasi banyak mengeluarkan gas asam dari mulut (ruktus)

LO 4.8. Diagnosis dan pemeriksaan penunjang

Anamnesis

Riwayat minum obat termasuk minuman yang mengandung alkohol dan jamu yang dijual bebas di masyarakat perlu ditanyakan dan kalau mungkin harus dihentikan. Hubungan dengan jenis makanan tertentu perlu diperhatikan.

Gejala (alarm symptom) seperti disfagia, berat badan turun, nyeri menetap dan hebat, nyeri yang menjalar ke punggung, muntah yang sangat sering, hematemesis, melena atau jaudice kemungkinan besar adalah merupakan penyakit serius yang memerlukan pemeriksaan seperti endoskopi dan / atau "USG" atau "CT Scan" untuk mendeteksi struktur peptik, adenokarsinoma gaster atau esophagus, penyakit ulkus, pankreatitis kronis atau keganasan pankreas empedu.

Perlu ditanyakan hal-hal yang berhubungan dengan stresor psikososial misalnya: masalah anak (meninggal, nakal, sakit, tidak punya), hubungan antar manusia (orang tua, mertua, tetangga, adik ipar, kakak), hubungan suami-istri (istri sibuk, istri muda, dimadu, bertengkar, cerai), pekerjaan dan pendidikan (kegiatan rutin, penggusuran, PHK, pindah jabatan, tidak naik pangkat). Hal ini dapat mengakibatkan eksaserbasi gejala pada beberapa orang.

Harus diingat gambaran khas dari beberapa penyebab dispepsia. Pasien ulkus peptikum biasanya berumur lebih dari 45 tahun, merokok dan nyeri berkurang dengan mencerna makanan tertentu atau antasid. Nyeri sering membangunkan pasien pada malam hari banyak ditemukan pada ulkus duodenum. Gejala esofagitis sering timbul pada saat berbaring dan membungkuk setelah makan kenyang yaitu perasan terbakar pada dada, nyeri dada yang tidak spesifik (bedakan dengan pasien jantung koroner), regurgitasi dengan gejala perasaan asam pada mulut. Bila gejala dispepsia timbul segera setelah makan biasanya didapatkan pada penyakit esofagus, gastritis erosif dan karsinoma. Sebaliknya bila muncul setelah beberapa jam setelah makan sering terjadi pada ulkus duodenum. Pasien DNU lebih sering

Kelompok A8 Page 18

Page 19: SKENARIO 1

mengeluhkan gejala di luar GI, ada tanda kecemasan atau depresi, atau mempunyai riwayat pemakaian psikotropik

Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik dilakukan untuk menemukan adanya organomegali, tumor abdomen, ascites, untuk menyingkirkan penyakit organik.

Oleh karena dispepsia ini merupakan kumpulan gejala-gejala di mana pada suatu keadaan satu gejala lebih dominan dari yang lain, sehingga para ahli membagi gejala-gejala ini dalam beberapa sub-group:

1. Dispepsia tipe refluks yaitu adanya rasa terbakar pada epigastrium, dada atau regurgitasi dengan gejala perasaan asam di mulut.

2. Dispepsia tipe dismotilitas yaitu nyeri epigastrium yang bertambah sakit setelah makan, disertai kembung, cepat kenyang , rasa penuh setelah makan, mual atau muntah, bersendawa dan banyak flatus.

3. Dispepsia tipe ulkus yaitu nyeri epigastrium yang mereda bila makan atau minum antasid dan nyeri biasanya terjadi sebelum makan dan tengah malam.

4. Dispepsia non-spesifik yaitu dispepsia yang tidak bisa digolongkan dalam satu kategori di atas.

Pemeriksaan penunjang

1. Laboratorium : Pemeriksaan sekretori lambung merupakan nilai yang menentukan dalam

mendiagnosis aklorhidria(tidak terdapat asam hdroklorida dalam getah lambung) dan sindrom zollinger-ellison. Nyeri yang hilang dengan makanan atau antasida, dan tidak adanya nyeri yang timbul juga mengidentifikasikan adanya ulkus. Nyeri lambung yang khas merupakan petunjuk adanya ulkus. Diperlukan beberapa pemeriksaan untuk memperkuat diagnosis karena kanker lambung juga bisa menyebabkan gejala yang sama.

Analisa lambung merupakan suatu prosedur dimana cairan lambung dihisap secara langsung dari lambung dan duodenum sehingga jumlah asam bisa diukur. Prosedur ini dilakukan hanya jika ulkusnya berat atau berulang atau sebelum dilakukannya pembedahan.

Pemeriksaan darah tidak dapat menentukan adanya ulkus, tetapi hitung jenis darah bisa menentukan adanya anemia akibat perdarahan ulkus. Pemerisaan darah lainnya bisa menemukan adanya Helicobacter pylori.

2. Radiologis. Pemeriksaan radiologis banyak menunjang diagnosis suatu penyakit di saluran cerna. Setidak-tidaknya perlu dilakukan pemeriksaan radiologis terhadap saluran cerna bagian atas dan sebaiknya menggunakan kontras ganda. Pada refluks gastroesofageal, akan tampak peristaltik di oesophagus yang menurun terutama di bagian distal, tampak antiperistaltik di antrum yang meninggi, serta sering menutupnya pylorus sehingga sedikit barium yang masuk ke intestinal. Pada tukak, baik di lambung maupun di duodenum, akan terlihat gambaran yang disebut niche, yaitu kawah dari tukak yang terisi kontras media. Bentuk niche dari tukak yang jinak umumnya reguler, semisirkuler, dengan dasar licin.

3. Endoskopi. Pemeriksaan endoskopi dari saluran cerna bagian atas akan banyak membantu menentukan diagnosis. Yang perlu diperhatikan adalah ada-tidaknya

Kelompok A8 Page 19

Page 20: SKENARIO 1

kelainan di oesophagus, lambung, duodenum. Di tempat tersebut perlu diperhatikan warna mukosa, lesi, tumor (jinak atau ganas).

4. Ultrasonografi (USG) merupakan sarana diagnostik yang non-invasif. Akhir-akhir ini makin banyak dimanfaatkan untuk membantu menentukan diagnostik dari suatu penyakit, apalagi alat ini tidak menimbulkan efek samping, dapat digunakan setiap saat, dan pada kondisi pasien yang berat sekalipun dapat dimanfaatkan. Pemanfaatan alat USG pada sindroma dispepsia terutama bila ada dugaan kelainan di tractus biliaris, pancreas, kelainan di tiroid, bahkan juga ada dugaan di oesophagus dan lambung.

5. Biopsi. Adanya H. Pylory dapat ditentukan dengan biopsy dan histology melalui kultur, meskipun hal ini merupakan tes laboratorium khusus. Ada juga tes pernafasan yang mendeteksi H. Pylori, serta tes serologis terhadap antibody pada antigen H. Pylori

LO 4.9. Diagnosis banding sindrom dispepsia

Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) dapat menjadi salah satu diagnosis banding. Umumnya, penderita penyakit ini sering melaporkan nyeri abdomen bagian atas epigastrum/ulu hati yang dapat ataupun regurgitasi asam. Kemungkinan lain, irritable bowel syndrome (IBS) yang ditandai dengan nyeri abdomen (perut) yang rekuren, yang berhubungan dengan buang air besar (defekasi) yang tidak teratur dan perut kembung..

Kurang lebih sepertiga pasien dispepsia fungsional memperlihatkan gejala yang sama dengan IBS. Sehingga dokter harus selalu menanyakan pola defekasi kepada pasien untuk mengetahui apakah pasien menderita dispepsia fungsional atau IBS. Pankreatitis kronik juga dapat dipikirkan. Gejalanya berupa nyeri abdomen atas yang hebat dan konstan. Biasanya menyebar ke belakang.

Obat-obatan juga dapat menyebabkan sindrom dispepsia, seperti suplemen besi atau kalium, digitalis, teofilin, antibiotik oral, terutama eritromisin dan ampisilin. Mengurangi dosis ataupun menghentikan pengobatan dapat mengurangi keluhan dispepsia. Penyakit psikiatrik juga dapat menjadi penyebab sindrom dispesia. Misalnya pada pasien gengan keluhan multisistem yang salah satunya adalah gejala di abdomen ternyata menderita depresi ataupun gangguan somatisasi. Gangguan pola makan juga tidak boleh dilupakan apalagi pada pasien usia remaja dengan penurunan berat badan yang signifikan.

Diabetes Mellitus (DM) dapat menyebabkan gastroparesis yang hebat sehingga timbul keluhan rasa penuh setelah makan, cepat kenyang, mual, dan muntah. Lebih jauh diabetik radikulopati pada akar saraf thoraks dapat menyebabkan nyeri abdomen bagian atas. Gangguan metabolisme, seperti hipotiroid dan hiperkalsemia juga dapat menyebabkan nyeri abdomen bagian atas.

Kelompok A8 Page 20

Page 21: SKENARIO 1

Penyakit jantung iskemik kadang-kadang timbul bersamaan dengan gejala nyeri abdomen bagian atas yang diinduksi oleh aktivitas fisik. Nyeri dinding abdomen yang dapat disebabkan oleh otot yang tegang, saraf yang tercepit, ataupun miositis dapat membingungkan dengan dispepsia fungsional. Cirinya terdapat tenderness terlokalisasi yang dengan palpasi akan menimbulkan rasa nyeri dan kelembekan tersebut tidak dapat dikurangi atau dihilangkan dengan meregangkan otot-otot abdomen.

LO 4.10. Komplikasi sindrom dispepsia

Penderita sindroma dispepsia selama bertahun-tahun, dapat memicu adanya komplikasi yang tidak ringan. Salah satunya komplikasi Ulkus Peptikum, yaitu luka di dinding lambung yang dalam atau melebar, tergantung berapa lama lambung terpapar oleh asam lambung. Bila keadaan Ulkus Peptikum ini terus terjadi, luka akan semakin dalam dan dapat menimbulkan komplikasi pendarahan saluran cerna yang ditandai dengan terjadinya muntah darah. Muntah darah ini sebenarnya pertanda yang timbul belakangan. Awalnya penderita pasti akan mengalami buang air besar berwarna hitam terlebih dulu. Yang artinya sudah ada perdarahan awal.Tapi komplikasi yang paling dikuatirkan adalah terjadinya kanker lambung yang mengharuskan penderitanya melakukan operasi.

LO 4.11. Prognosis sindrom dispepsia

Dispepsia fungsional yang ditegakkan setelah pemeriksaan klinis dan penunjang yang akurat mempunyai prognosis yang baik.

LI 5. Memahami dan Menjelaskan Ulkus Peptikum

LO 5.1. Definisi ulkus peptikum

Ulkus peptikum merupakan keadaan di mana kontinuitas mukosa esophagus, lambung ataupun duodenum terputus dan meluas sampai di bawah epitel. Kerusakan mukosa yang tidak meluas sampai ke bawah epitel disebut erosi, walaupun seringkali dianggap juga sebagai ulkus. Ulkus kronik berbeda dengan ulkus akut, karena memiliki jaringan parut pada dasar ulkus. Menurut definisi, ulkus peptik dapat ditemukan pada setiap bagian saluran cerna yang terkena getah asam lambung, yaitu esofagus, lambung, duodenum, dan setelah gastroduodenal, juga jejunum. Walaupun aktivitas pencernaan peptic oleh getah lambung merupakan factor etiologi yang penting, terdapat bukti bahwa ini hanya merupakan salah satu factor dari banyak factor yang berperan dalam patogenesis ulkus peptic.

LO 5.2. Etiologi ulkus peptikum

Salah satu penyebab utama sekitar 60% dari ulkus gaster dan 90% dari ulkus duodenum ialah adanya reaksi inflamasi kronik akibat invasi dari Helicobacter Pylori yang mana paling banyak membentuk koloni di sekitar antrum pylori. Sistem imun tidak dapat mengatasi infeksi ini, meskipun telah terbentuk antibody. Keadaan inilah yang menyebabkan bakteri dapat menyebabkan gastritis kronik yang aktif oleh karena teradinya gangguan regulasi gastrin dari bagian lambung yang terinfeksi Sekresi gastrin dapat menurun yang menyebabkan keadaan hipo- maupun achlorida, dapat juga menjadi meningkat. Gastrin dapat menstimulasi produksi dari asam lambung oleh sel parietal. Helicobacter akan terancam dengan peningkatan asam lambung ini. Peningkatan kadar asam lambung mempunyai kontribusi besar terhadap erosi dari mukosa yang dapat berkembang menjadi formasi ulkus.

Penyebab utama yang lain ialah NSAID. Lambung melindungi diri dari asam lambung dengan adanya lapisan mukosa yang tebal. Sekresi asam lambung dipengaruhi oleh

Kelompok A8 Page 21

Page 22: SKENARIO 1

prostaglandin. NSAID memblokade fungsi dari cyclooxygenase 1 (cox-1), yang sangat penting dalam produksi prostaglandin. Anti inflamasi selektif cox-2 seperti celecoxibe dan rofecoxibe kurang mempunyai peranan penting terhadap keadaan ulkus pada mukosa lambung.

Meningkatnya angka kejadian helicobacter pylori penyebab ulkus di dunia Barat seiring dengan bertambahnya terapi medis, terutama meningkatnya penggunaan NSAID pada pasien Arthritis. Hal ini juga berkaitan dengan meningkatnya angka harapan hidup warga di Barat.

LO 5.3. Epidemiologi ulkus peptikum

Penyakit ini terjadi dengan frekuensi paling besar pada individu antara usia 40 dan 60 tahun. Tetapi, relatif jarang pada wanita menyusui, meskipun ini telah diobservasi pada anak-anak dan bahkan pada bayi. Pria terkenal lebih sering daripada wanita, tapi terdapat beberapa bukti bahwa insiden pada wanita hampir sama dengan pria. Setelah menopause, insiden ulkus peptikum pada wanita hampir sama dengan pria. Ulkus peptikum pada korpus lambung dapat terjadi tanpa sekresi asam berlebihan.

LO 5.4. Patogenesis ulkus peptikum

Pada manusia, sekresi lambung adalah campuran mukokolisakarida dan mukoprotein yang disekresikan secara kontinyu melalui kelenjar mukosa. Mucus ini mengabsorpsi pepsin dan melindungi mukosa terhadap asam. Asam hidroklorida disekresikan secara kontinyu, tetapi sekresi meningkat karena mekanisme neurogenik dan hormonal yang dimulai dari rangsangan lambung dan usus. Bila asam hidroklorida tidak dibuffer dan tidak dinetralisasi dan bila lapisan luar mukosa tidak memberikan perlindungan asam hidroklorida bersama dengan pepsin akan merusak lambung.

Asam hidroklorida kontak hanya dengan sebagian kecil permukaan lambung. Kemudian menyebar ke dalamnya dengan lambat. Mukosa yang tidak dapat dimasuki disebut barier mukosa lambung. Barier ini adalah pertahanan untama lambung terhadap pencernaan yang dilakukan oleh sekresi lambung itu sendiri. Factor lain yang mempengaruhi pertahanan adalah suplai darah, keseimbangan asam basa, integritas sel mukosa, dan regenerasi epitel. Oleh karena itu, seseorang mungkin mengalami ulkus peptikum karena satu dari dua factor ini :

1. Hipersekresi asam pepsin

2. Kelemahan barier mukosa lambung

Apapun yang menurunkan yang mukosa lambung atau yang merusak mukosa lambung adalah ulserogenik, salisilat dan obat antiinflamasi non steroid lain, alcohol, dan obat antiinflamasi masuk dalam kategori ini. Sindrom Zollinger-Ellison (gastrinoma) dicurigai bila pasien datang dengan ulkus peptikum berat atau ulkus yang tidak sembuh dengan terapi medis standar.

Sindrom ini diidentifikasi melalui temuan berikut : hipersekresi getah lambung, ulkus duodenal, dan gastrinoma(tumor sel istel) dalam pancreas. 90% tumor ditemukan dalam gastric triangle yang mengenai kista dan duktus koledokus, bagian kedua dan tiga dari duodenum, dan leher korpus pancreas. Kira-kira ⅓ dari gastrinoma adalah ganas (maligna).

Diare dan stiatore (lemak yang tidak diserap dalam feces)dapat ditemui. Pasien ini dapat mengalami adenoma paratiroid koeksisten atau hyperplasia, dan karenanya dapat menunjukkan tanda hiperkalsemia. Keluhan pasien paling utama adalah nyeri epigastrik.

Kelompok A8 Page 22

Page 23: SKENARIO 1

Ulkus stress adalah istilah yang diberikan pada ulserasi mukosa akut dari duodenal atau area lambung yang terjadi setelah kejadian penuh stress secara fisiologis. Kondisi stress seperti luka bakar, syok, sepsis berat, dan trauma dengan organ multiple dapat menimbulkan ulkus stress. Endoskopi fiberoptik dalam 24 jam setelah cedera menunjukkan erosi dangkal pada lambung, setelah 72 jam, erosi lambung multiple terlihat. Bila kondisi stress berlanjut ulkus meluas. Bila pasien sembuh, lesi sebaliknya. Pola ini khas pada ulserasi stress.

Pendapat lain yang berbeda adalah penyebab lain dari ulserasi mukosa. Biasanya ulserasi mukosa dengan syok ini menimbulkan penurunan aliran darah mukosa lambung. Selain itu jumlah besar pepsin dilepaskan. Kombinasi iskemia, asam dan pepsin menciptakan suasana ideal untuk menghasilkan ulserasi. Ulkus stress harus dibedakan dari ulkus cushing dan ulkus curling, yaitu dua tipe lain dari ulkus lambung. Ulkus cushing umum terjadi pada pasien dengan trauma otak. Ulkus ini dapat terjadi pada esophagus, lambung, atau duodenum, dan biasanya lebih dalam dan lebih penetrasi daripada ulkus stress. Ulkus curling sering terlihat kira-kira 72 jam setelah luka bakar luas.

Pada kasus tukak lambung yang parah maka ulkus/lukanya dapat berdarah sehingga mengalir melalui saluran pencernaan dan dapat menyebabkan muntah bercampur darah yang berwarna coklat seperti kopi dan feses berwarna kehitaman karena bercampur darah. Tukak yang kronis menginvasi tunica muscularis, dan nantinya mengenai peritoneum sehingga gaster dapat mengalami perforasi sampai ke dalam bursa omentalis atau mengalami perlekatan pada pankreas. Erosi pancreas menghasilkan nyeri alih ke punggung. Arteri lienalis berjalan pada sepanjang margo superior pancreas, dan erosi arteria ini dapat menimbulkan perdarahan yang mengancam jiwa. Tukak yang menembus dinding anterior gaster dapat mengakibatkan isi gaster keluar ke dalam cavitas peritonealis dan menimbulkan peritonitis difusa. Namun, paries anterior gaster dapat melekat pada hepar, dan ulkus kronis dapat meluas sampai ke jaringan hepar. Apabila hal ini terjadi diperlukan perawatan dokter untuk mencegah komplikasi lebih lanjut.

LO 5.6. Manifestasi ulkus peptikum

Gejala-gejala ulkus dapat hilang selama beberapa hari, minggu, atau beberapa bulan dan bahkan dapat hilang hanya sampai terlihat kembali, sering tanpa penyebab yang dapat diidentifikasi. Banyak individu mengalami gejala ulkus, dan 20-30% mengalami perforasi atau hemoragi yang tanpa adanya manifestasi yang mendahului.

Nyeri : biasanya pasien dengan ulkus mengeluh nyeri tumpul, seperti tertusuk atau sensasi terbakar di epigastrium tengah atau di punggung. Hal ini diyakini bahwa nyeri terjadi bila kandungan asam lambung dan duodenum meningkat menimbulkan erosi dan merangsang ujung saraf yang terpajan. Teori lain menunjukkan bahwa kontak lesi dengan asam merangsang mekanisme refleks local yang mamulai kontraksi otot halus sekitarnya. Nyeri biasanya hilang dengan makan, karena makan menetralisasi asam atau dengan menggunakan alkali, namun bila lambung telah kosong atau alkali tidak digunakan nyeri kembali timbul. Nyeri tekan lokal yang tajam dapat dihilangkan dengan memberikan tekanan lembut pada epigastrium atau sedikit di sebelah kanan garis tengah. Beberapa gejala menurun dengan memberikan tekanan local pada epigastrium.

Pirosis(nyeri uluhati) : beberapa pasien mengalami sensasi luka bakar pada esophagus dan lambung, yang naik ke mulut, kadang-kadang disertai eruktasi asam. Eruktasi atau sendawa umum terjadi bila lambung pasien kosong.

Kelompok A8 Page 23

Page 24: SKENARIO 1

Muntah : meskipun jarang pada ulkus duodenal tak terkomplikasi, muntah dapat menjadi gejala ulkus peptikum. Hal ini dihubungkan dengan pembentukan jaringan parut atau pembengkakan akut dari membran mukosa yang mengalami inflamasi di sekitarnya pada ulkus akut. Muntah dapat terjadi atau tanpa didahului oleh mual, biasanya setelah nyeri berat yang dihilangkan dengan ejeksi kandungan asam lambung.

Konstipasi dan perdarahan : konstipasi dapat terjadi pada pasien ulkus, kemungkinan sebagai akibat dari diet dan obat-obatan. Pasien dapat juga datang dengan perdarahan gastrointestinal sebagian kecil pasien yang mengalami akibat ulkus akut sebelumnya tidak mengalami keluhan, tetapi mereka menunjukkan gejala setelahnya.

LI 6. Memahami dan Menjelaskan Tatalaksana Sindrom Dispepsia

LO 6.1. Tatalaksana sindrom dispepsia

Terapi nonmedikamentosa

Diet merupakan peranan yang terpenting. Pada garis besarnya yang dipakai ialah cara pemberian diet seperti yang diajukan oleh Sippy 1915 hingga dikenal pula Sippy’s diet. Sekarang lebih dikenal dengan diet lambung yang sudah disesuaikan dengan masyarakat Indonesia. Dasar diet tersebut ialah makan sedikit dan berulang kali, makan makanan yang mengandung susu dalam porsi kecil. Jadi makanan yang dimakan harus lembek, mudah dicerna, tidak merangsang, dan kemungkinan dapat menetralisir HCl. Pemberiannya dalam porsi kecil dan berulang kali. Dilarang makan pedas, asam, alkohol.

Terapi medikamentosa

Antasida1. Antasid Sistemik

Natrium bikarbonat

Natrium bikarbonat cepat menetralkan HCl lambung karena daya larutnya tinggi. Karbon dioksida yang tebentuk dalam lambung dapat menimbulkan sendawa. Distensi lambung dapat terjadi dan dapat menimbulkan perforasi. Selain menimbulkan alkalosis metabolik, obat ini dapat menyebabkan retensi natrium dan edema. Natrium bikarbonat sudah jarang digunakan sebagai antasid. Obat ini digunakan untuk mengatasi asidosis metabolik, alkalinisasi urin, dan pengobatan lokal pruritus. Natrium bikarbonat tersedia dalam bentuk tablet 500-1000 mg. Satu gram natrium bikarbonat dapat menetralkan 12 mEq asam. Dosis yang dianjurkan 1-4 gram. Pemberian dosis besar NaHCO3 atau CaCO3

bersama susu atau krim pada pengobatan tukak peptik dapat menimbulkan sindrom alkali susu (milk alkali syndrom)

2. Antasid Non-sistemik Aluminium hidroksida -- Al(OH)3

Daya menetralkan asam lambungnya lambat, tetapi masa kerjanya paling panjang. Al(OH)3 bukan merupakan obat yang unggul dibandingkan dengan obat yang tidak larut lainnya. Al(OH)3 dan sediaanya Al (aluminium) lainnya dapat bereaksi dengtan fosfat membentuk aluminium fosfat yang sukar diabsorpsi di usus kecil, sehingga eksresi fosfat melalui urin berkurang sedangkan melalui tinja bertambah. Ion aluminium dapat bereaksi dengan protein sehingga bersifat astringen. Antasid ini mengadsorbsi pepsin dan menginaktivasinya. Absorsi makanan setelah pemberian Al

Kelompok A8 Page 24

Page 25: SKENARIO 1

tidak banyak dipengaruhi dan komposisi tinja tidak berubah. Aluminium juga bersifat demulsen dan adsorben.

Efek samping Al(OH)3 yang utama ialah konstipasi. Ini dapat diatasi dengan memberikan antasid garam Mg. Mual dan muntah dapat terjadi. Gangguan absorbsi fosfat dapat terjadi sehingga menimbulkan sindrom deplesi fosfat disertai osteomalasia. Al(OH)3 dapat mengurangi absorbsi bermacam-macam vitamin dan tetrasiklin. Al(OH)3

lebih sering menyebabkan konstipasi pada usia lanjut.

Aluminium hidroksida digunakan untuk tukak peptik, nefrolitiasis fosfat dan sebagai adsorben pada keracunan. Antasid Al tersedia dalam bentuk suspensi Al(OH)3

gel yang mengandung 3,6-4,4% Al2O3. Dosis yang dianjurkan 8 mL. Tersedia juga dalam bentuk tablet Al(OH)3 yang mengandung 50% Al2O3. Satu gram Al(OH)3 dapat menetralkan 25 mEq asam. Dosis tunggal yang dianjurkan 0,6 gram.

Kalsium karbonatKalsium karbonat merupakan antasid yang efektif karena mula kerjanya cepat,

maka daya kerjanya lama dan daya menetralkannya cukup lama.Kalsium karbonat dapar menyebabkan konstipasi, mual, muntah, pendarahan saluran cerna dan disfungsi ginjal, dan fenomena acid rebound. Fenomena tersebut bukan berdasarkan daya netralisasi asam, tetapi merupakan kerja langsung kalsium di antrum yang mensekresi gastrin yang merangsang sel parietal mengeluarkan HCl (H+). Sebagai akibatnya sekresi asam pada malam hari akan sangat tinggi yang akan mengurangi efek netralisasi obat ini. Efek serius yang dapat terjadi ialah hiperkalsemia, kalsifikasi metastatik, alkalosis, azotemia, terutama terjadi pada penggunaan kronik kalisium karbonat bersama susu dan antasid lain (milk alkali syndrom).

Pemberian 4 g kalsium karbonat dapat menyebabkan hiperkalsemia ringan, sedangkan pemberian 8 g dapat menyebabkan hiperkalsemia sedang.Kalsium karbonat tersedia dalam bentuk tablet 600 mg dan 1000 mg. Satu gram kalsium karbonat dapat menetralkan 21 mEq asam. Dosis yang dianjurkan 1-2 gram.

Magnesium hidroksida -- Mg(OH)2

Magnesium hidroksida digunakan sebagai katartik dan antasid. Obat ini praktis, tidak larut, dan tidak efektif sebelum obat ini berinteraksi dengan HCl membentuk MgCl2. Magnesium hidroksida yang tidak bereaksi denagn HCl akan tetap berada dalam lambung dan akan menetralkan HCl yang disekresi belakangan sehingga masa kerjanya lama. Antasid ini dan natrium bikarbonat sama efektif dalam hal menetralkan HCl.

Ion magnesium dalam usus akan cepat diabsorbsi dan cepat dieksresi melalui ginjal, hal ini akan membahayakan pasien yang fungsi ginjalnya kurang baik. Ion magnesium yang diabsorbi akan bersifat sebagai antasid sistemik sehingga dapat menimbulkan alkali uria, tetapi jarang alkalosis.

Pemberian kronik magnesium hidroksida akan menyebabkan diare akibat efek katartiknya, sebab magnesium yang larut tidak diabsorbsi, tetapi tetap berada dalam usus dan akan menarik air. Sebanyak 5-10% magnesium diabsorbsi dan dapat menimbulkan kelainan neurologik, neuromuskular, dan kardiovaskular.

Sediaan susu magnesium (milk of magnesium) berupa suspensi yang berisi 7-8,55 Mg(OH). Satu ml susu magnesium dap menetralkan 2,7 mEq asam. Dosis yang

Kelompok A8 Page 25

Page 26: SKENARIO 1

dianjurkan 5-30 ml. Bentuk lain ialah tablet susu yang berisi 325 mg Mg(OH)2 yang dapat dinetralkan 11,1 mEq asam.

Magnesium trisiklatMagnesium trisiklat (Mg2Si3O8H2O) sebagai antasid non sistemik, bereaksi dalam

lambung sebagai berikut:

Silikon dioksid berupa gel yang terbentuk dalam lambung diduga berfungsi menutup tukak. Sebanyak 7% silika dari magnesium trisiklat akan diabsorbsi melalui usus dan dieksresi dalam urin. Silika gel dan megnesium trisiklat merupakan adsorben yang baik; tidak hanya mengadsorbsi pepsin tetapi juga protein dan besi dalam makanan. Mula kerja magnesium trisiklat lambat, untuk menetralkan HCl 30% 0,1 N diperlukan waktu 15 menit, sedangkan untuk menetralkan HCl 60% 1,1 N diperlukan waktu satu jam.

Dosis tinggi magnesium trisiklat menyebabkan diare. Banyak dilaporkan terjadi batu silikat setelah penggunaan kronik magnesium trisiklat. Ditinjau dari efektivitasnya yang rendah dan potensinya yang dapat menimbulakan toksisitas yang khas, kurang beralasan mengunakan obat ini sebagai antasid.

Magnesium trisiklat tersedia dalam bentuk tablet 500mg; dosis yang dianjurkan 1-4 gram. Tersedia pula sebagai bubuk magnesium trisiklat yang mengandung sekurang-kurangnya 20% MgO dan 45% silikon dioksida. Satu gram magnesium trisiklat dapat menetralkan 13-17 mEq asam.

Obat Penghambat Sekresi Lambung1. Penghambat pompa proton

Penghambat pompa proton merupakan penghambat sekresi asam lambung yang lebih kuat dari AH2. Obat ini bekerja di proses akhir pembentukan asam lambung, lebih distal dari AMP. Saat ini, yang digunakan di klinik adalah omeprazol, esomeprazol, lansoprazol, rebeprazol, dan pantoprazol. Perbedaan antara kelima obat tersebut adalah subtitusi cinci piridin dan/atau benzimidazol. Omeprazol adalah campuran resemik isomer R dan S. Esomeprazol adalah campuran resemik isomer omeprazol (S-omeprazol) yang mengalami eliminasi lebih lambat dari R-omeprazol.

Farmakodinamik. Penghambat pompa proton adalah prodrug yang memebutuhkan suasana asam untuk aktivasinya. Setelah diabsorbsi dan masuk ke sirkulasi sistemik, obat ini akan berdifusi ke parietal lambung, terkumpul di kanalikuli sekretoar, dan mengalami aktivasi di situ membentuk sulfonamid tetrasiklik. Bentuk aktif ini berikatan dengan gugus sulfhidril enzim H+, K+, ATP-ase (enzim ini dikenal sebagai pompa proton) dan berada di membran sel parietal. Ikatan ini mengakibatkan terjadinya penghambatan enzim tersebut. Produksi asam lambung berhenti 80%-95% setelah penghambatan pompa poroton tersebut.

Penghambatan berlangsung lama antara 24-48 jam dan dapat menurunkan sekresi asam lambung basal atau akibat stimulasi, terlepas dari jenis perangsangnya histamin, asetilkolin, atau gastrin. Hambatan ini sifatnya irreversibel, produksi asam kembali dapat terjdai 3-4 hari pengobatan dihentikan.

Farmakokinetik. Penghambat pompa proton sebaiknya diberikan dalam sediaan salut enterik untuk mencegah degradasi zat aktif tersebut dalam suasana asam. Sediaan ini tidak mengalami aktivasi di lambung sehingga bio-availabilitasnya labih baik.

Kelompok A8 Page 26

Page 27: SKENARIO 1

Tablet yang dipecah dilambung mengalami aktivasi lalu terikat pada berbagai gugus sulfhidril mukus dan makanan. Bioalvailabilitasnya akan menurun sampai dengan 50% karena pengaruh makanan. Oleh sebab itu, sebaiknya diberikan 30 menit setelah makan.

Obat ini mempunyai masalah bioalvailabilitas, formulasi berbeda memperlihatkan persentasi jumlah absorbsi yang bervariasi luas. Bioalvailabilitas yang bukan salut enterik meningkat dalam 5-7 hari, ini dapat dijelaskan dengan berkurangnya prosuksi asam lambung setelah obat bekerja. Obat ini dimetabolisme di hati oleh sitokrom P 450 (CYP), terutama CYP2P19 dan CYP3A4.

Indikasi. Indikasi obat ini sama dengan AH2 yaitu pada penyakit peptik. Terhadap sindrom Zollinger-Ellison, obat ini dapat menekan produksi asam lambung lebih baik pada AH2 pada dosis yang efek sampingnya tidak terlalu mengganggu.

Efek samping. Efek samping yang umum terjadi adalah mual, nyeri perut, konstipasi, flatulence, dan diare. Dilaporkan pula terjadi miopati subakut, atralgia, sakit kepala, dan ruam kulit.

Sediaan dan posologi. Omeprazol tersedia dalam bentuk kapsul 10 mg dan 20 mg, diberikan 1 kali/hari selama 8 minggu. Esomeprazol tersedia dalam bentuk salut enterik 20 mg dan 40 mg, serta sediaan vial 40 mg/10 ml. Pantoprazol tersedia dalam bentuk tablet 20 mg dan 40 mg.

2. Antagonis Reseptor H2

Antagonis reseptor H2 bekerja menghambat sekresi asam lambung. Burinamid dan metiamid merupakan antagonis reseptor H2 yang pertama kali ditemukan, namun karena toksik tidak digunakan di klinik. Antagonis reseptor H2 yang ada saat ini adalah simetidin, ranitidin, famotidin, dan nizatidin.

Antagonis reseptor H2 merupakan obat yang efektif dan relatif aman untuk pasien dengan hipersekresi asam lambung, misalnya untuk pasien tukak duodenum dan tukak lambung. Golongan obat ini menggeser penggunaan antasid yang membutuhkan pemberian yang lebih sering sehingga dapat mengurangi kepatuhan pasien. Bagi pasien yang menggunakan obat lain/banyak obat, nampaknya akan lebih aman menggunakan ranitidin, famotidin, atau nizatidin yang tidak/kurang kemungkinannya dibandingkan simetidin untuk mengadakan interaksi dengan obat lain yang merupakan substrat enzim sitokrom P450. Dibandingkan simetidin, kemungkinan efek samping ranitidin, famotidin, dan nizatidin nampaknya lebih kecil, termasuk kemungkinan di antaranya kemungkinan impotensi dan ginekomastia karena ketiga obat tersebut tidak mengikat reseptor androgen.

Obat yang meningkatkan pertahanan mukosa lambung

1. Sulkralfat

Senyawa aluminium sukrosa sulfat ini membentuk polimer mirip lem dalam suasana asam dan terikat pada jaringan nekrotik tukak secara selektif. Sulkralfat hampir tidak diabsorpsi secara sistemik. Obat yang bekerja sebagai sawar terhadap HCl dan pepsin ini terutama efektif terhadap tukak duodenum. Karena suasana asam perlu untuk mengaktifkan obat ini, maka pemberian bersama AH2 atau antasid menurunkan

Kelompok A8 Page 27

Page 28: SKENARIO 1

biovailabilitas. Efek samping yang tersering adalah konstipasi. Karena sulkralfat mengandung aluminium, penggunaannya pada pasien gagal ginjal harus hati-hati.

Antibiotik Untuk H. pylori

Terdapat beberapa regimen dalam mengatasi infeksi H. pylori. Yang paling sering digunakan adalah kombinasi dari antibiotik dan penghambat pompa proton. Terkadang ditambahkan pula bismuth subsalycilate. Antibiotik berfungsi untuk membunuh bakteri, penghambat pompa proton berfungsi untuk meringankan rasa sakit, mual, menyembuhkan inflamasi dan meningkatkan efektifitas antibiotik.

Terapi terhadap infeksi H. pylori tidak selalu berhasil, kecepatan untuk membunuh H. pylori sangat beragam, bergantung pada regimen yang digunakan. Akan tetapi kombinasi dari tiga obat tampaknya lebih efektif daripada kombinasi dua obat. Terapi dalam jangka waktu yang lama (terapi selama 2 minggu dibandingkan dengan 10 hari) juga tampaknya meningkatkan efektifitas.

Untuk memastikan H. pylori sudah hilang, dapat dilakukan pemeriksaan kembali setelah terapi dilaksanakan. Pemeriksaan pernapasan dan pemeriksaan feces adalah dua jenis pemeriksaan yang sering dipakai untuk memastikan sudah tidak adanya H. pylori. Pemeriksaan darah akan menunjukkan hasil yang positif selama beberapa bulan atau bahkan lebih walaupun pada kenyataanya bakteri tersebut sudah hilang.

Terapi lini pertama :

Urutan prioritaso PPI + amoksisilin + kklaritromisino PPI + metronidazol + klaritromisino PPI + metronidazol + tetrasiklin

Pengobatan dilakukan selama satu minggu.

Terapi lini kedua atau terapi kuadrupel

Terapi lini kedua dilakukan jika terdapat kegagalan pada lini pertama. Kriteria gagal adalah 4 minggu pasca terapi, kuman H.pylori tetap positif berdasarkan pemeriksaan UBT/HpSA atau histopatologi.

Urutan prioritaso Collodial bismuth subcitrate + PPI + amoksisilin + kklaritromisino Collodial bismuth subcitrate + PPI + metronidazol + klaritromisino Collodial bismuth subcitrate + PPI + metronidazol + tetrasiklin

Bila terapi lini kedua gagal sangat dianjurkan pemeriksaan kultur dan resistensi H.pylori dengan media transport MIU.

Pembedahan

Kelompok A8 Page 28

Page 29: SKENARIO 1

Jarang diperlukan pembedahan untuk mengatasi ulkus karena pemberian obat sudah efektif. Pembedahan terutama dilakukan untuk:

o mengatasi komplikasi dari ulkus peptikum (misalnya prforasi, penyumbatan yang tidak memberikan respon terhadap pemberian obat atau mengalami kekambuhan)

o 2 kali atau lebih perdarahan karena ulkus o ulkus gastrikum yang dicurigai akan menjadi ganas o ulkus peptikum yang berat dan sering kambuhan.

Tetapi setelah dilakukan pembedahan, ulkus masih dapat kambuh dan dapat timbul masalah-masalah lain seperti pencernaan yang buruk, anemia dan penurunan berat badan.

LO 6.2. Pencegahan sindrom dispepsia

Pencegahan terhadap penyakit dispepsia ini adalah sebagai berikut :

1. Pencegahan Primer (Primary Prevention)

Tujuan pencegahan primer adalah mencegah timbulnya faktor resiko dispepsia bagi individu yang belum ataupun mempunyai faktor resiko dengan melaksanakan pola hidup sehat, promosi kesehatan (Health Promotion) kepada masyarakat mengenai :

a. Modifikasi pola hidup dimana perlu diberi penjelasan bagaimana mengenali dan menghindari keadaan yang potensial mencetuskan serangan dispepsia.

b. Menjaga sanitasi lingkungan agar tetap bersih, perbaikan sosioekonomi dan gizi dan penyediaan air bersih.

c. Khusus untuk bayi, perlu diperhatikan pemberian makanan. Makanan yang diberikan harus diperhatikan porsinya sesuai dengan umur bayi. Susu yang diberikan juga diperhatikan porsi pemberiannya

d. Mengurangi makan makanan yang pedas, asam dan minuman yang beralkohol, kopi serta merokok.

2. Pencegahan Sekunder (Secondary Prevention)

Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan diagnosis dini dan pengobatan segera (Early Diagmosis and Prompt Treatment).

a. Diagnosis Dini (Early Diagnosis)

Setiap penderita dispepsia sebaiknya diperiksa dengan cermat. Evaluasi klinik meliputi anamnese yang teliti, pemeriksaan fisik, laboratorik serta pemeriksaan penunjang yang diperlukan, misalnya endoskopi atau ultrasonografi. Bila seorang penderita baru datang, pemeriksaan lengkap dianjurkan bila terdapat keluhan yang berat, muntah-muntah telah berlangsung lebih dari 4 minggu, penurunan berat badan dan usia lebih dari 40 tahun. Untuk memastikan penyakitnya, disamping pengamatan fisik perlu dilakukan pemeriksaan

b. Pengobatan Segera (Prompt Treatment)

1. Diet mempunyai peranan yang sangat penting. Dasar diet tersebut adalah makan sedikit berulang kali, makanan yang banyak mengandung susu dalam porsi kecil. Jadi makanan yang dimakan harus lembek, mudah dicerna, tidak merangsang peningkatan dalam lambung dan kemungkinan dapat menetralisir asam HCL.

Kelompok A8 Page 29

Page 30: SKENARIO 1

2. Perbaikan keadaan umum penderita 3. Pemasangan infus untuk pemberian cairan, elektrolit dan nutrisi. 4. Penjelasan penyakit kepada penderita. Golongan obat yang digunakan untuk

pengobatan penderita dispepsia adalah antasida, antikolinergik, sitoprotektif dan lain-lain.

3. Pencegahan Tertier

a. Rehabilitasi mental melalui konseling dengan psikiater, dilakukan bagi penderita gangguan mental akibat tekanan yang dialami penderita dispepsia terhadap masalah yang dihadapi.

b. Rehabilitasi sosial dan fisik dilakukan bagi pasien yang sudah lama dirawat di rumah sakit agar tidak mengalami gangguan ketika kembali ke masyarakat.

\

DAFTAR PUSTAKA

Kelompok A8 Page 30

Page 31: SKENARIO 1

FKUI, Departemen Farmakologi dan Terapeutik. 2007. Farmakologi dan Terapi, Edisi 5. Jakarta: Gaya Baru

Ganong, W.F . 2008 . Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 22. Jakarta: EGC

Murray, Robert K. 2003. Biokimia Harper, Edisi 25. Jakarta: EGC

Gunawan, Gan Sulistia. 2009. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Prince, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi: Konsep-konsep penyakit Volume 1 Edisi 6, Jakarta:EGC

Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem ed. 2.Jakarta: EGC.

Snell, Richard S. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Jakarta: EGC

Sofwan, Achmad. 2012. Tractus Digestivus. Jakarta: FKUY

Sudoyo, Aru W., Bambang Setyohadi, dkk., 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 ed. 4, Jakarta :Interna Publishing

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31383/4/Chapter%20II.pdf

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/14681/1/10E00274.pdf

Kelompok A8 Page 31