skd 3b - saraf - rabies

30
RABIES A. LATAR BELAKANG Rabies adalah suatu penyakit infeksi virus akut pada SSP yang disebabkan oleh virus rabies, suatu virus RN. Virus rabies termasuk genus Lysssa-virus, family Rhabdovirida. Nama lain rabies adalah hydrophobia, la rage (prancis), la rabbia (italia), la rabia (spanyol), die tollwut (jerman) atau di Indonesia dikenal sebagai penyakit anjing gila. 2,4.6 Virus rabies terdapat dalam air liur binatang yang telah infeksi melalui gigitan, goresan dan garukan yang masuk ke dalam tubuh manusia. Dengan demikian semua kasus rabies terjadi sebagai akibat dari inokulasi viral melalui kulit yang telah terbuka. Hewan-hewan yang sering mengalami adalah anjing, rubah, serigala, kucing, kalong, dan kera. Dalam kepustakaan kasus rabies tanpa gigitan binatang tetapi hanya dengan menghirup udara yang mengandung rabies. Hal ini terjadi didalam gua-gua, dimana terdapat banyak sekali kalong yang telah menderita rabies. Selain itu dapat pula terjadi di labolatorium karena kurang hati-hati. 2,3,6

Upload: myaryaku

Post on 11-Dec-2015

39 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

SKD 3B - Saraf - Rabies

TRANSCRIPT

Page 1: SKD 3B - Saraf - Rabies

RABIES

A.    LATAR BELAKANG

Rabies adalah suatu penyakit infeksi virus akut pada SSP yang disebabkan oleh virus rabies,

suatu virus RN. Virus rabies termasuk genus Lysssa-virus, family  Rhabdovirida. Nama lain

rabies adalah hydrophobia, la rage (prancis), la rabbia (italia), la rabia (spanyol), die tollwut

(jerman) atau di Indonesia dikenal sebagai penyakit anjing gila.2,4.6

Virus rabies terdapat dalam air liur binatang yang telah infeksi melalui gigitan, goresan dan

garukan yang masuk ke dalam tubuh manusia. Dengan demikian semua kasus rabies terjadi

sebagai akibat dari inokulasi viral melalui kulit yang telah terbuka. Hewan-hewan yang

sering mengalami adalah anjing, rubah, serigala, kucing, kalong, dan kera. Dalam

kepustakaan kasus rabies tanpa gigitan binatang tetapi hanya dengan menghirup udara yang

mengandung rabies. Hal ini terjadi didalam gua-gua, dimana terdapat banyak sekali kalong

yang telah menderita rabies. Selain itu dapat pula terjadi di labolatorium karena kurang hati-

hati.2,3,6

Page 2: SKD 3B - Saraf - Rabies

Istilah rabies dikenal sejak zaman babilonia kira-kira abad ke-23 SM dan Democritus menulis

secara jelas binatang menderita rabies pada tahun 500 SM. Tulisan adalah infeksi rabies pada

manusia dengan gejala hidofobia dilaporkan pada abad pertama oleh Calceus dan Fracastoro,

seorang dokter italia. Pada tahun 1880 louis Pasteur mendemostrasikan adanya infeksi pada

SSP. Pengobatannya dilakukan dengan cara kauterisasi sampai detemukan vaksin oleh leuis

Pasteur pada tahun 1885. Pertumbuhan virus rabies pada jaringan ditemukan pada tahun 1930

dan baru dapat diperlihatkan dengan mikroskop eletron pada tahun 1960.2,4

Rabies (penyakit anjing gila) merupakan penyakit zoonosa yang terpenting di Indonesia

karena penyakit tersebut tersebar luas di 18 Propinsi, dengan jumlah kasus gigitan yang

cukup tinggi setiap tahunnya (16.000 kasus gigitan), serta belum diketemukan obat/cara

pengobatan untuk penderita rabies sesingga selalu diakhiri dengan kematian pada hampir

semua penderita rabies baik manusia maupun pada hewan. Sampai pada tahun 1999 hanya 5

propinsi di Indonesia yang masih dinyatakan bebas historis rabies. Propinsi-propinsi tersebut

ialah Bali, Nusa Tenggara Barat, Maluku, Irian Jaya dan Kalimantan Barat. Sesuai dengan

SK Menteri Pertanian No. 892/KPTS/TN.560/ 9/97, 3 propinsi yang dinyatakan bebas yaitu

Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Penyakit rabies diketemukan baik di Kota

maupun di pedesaan (rural area) dengan sumber utama hewan anjing, hewan piaraan yang

sangat erat hubungannya dengan manusia.

Page 3: SKD 3B - Saraf - Rabies

      B.     EPIDEMIOLOGI

Distribusi rabies tersebar di seluruh dunia dan hanya beberapa Negara yang bebas rabies

seperti Australia, sebagian besar Skandinavia, Inggris, Islandia, Yunani, Portugal, Uruguay,

Chili, Papua Nugini, Brunai, Selandia Baru, Jepang, Taiwan.2

Pada survey tahun 1999, 45 negara dari 145 negara yang disurvei dilaporkan tidak jumpai

kasus rabies di tahun tersebut. Jumlah kematian di dunia karena penyakit rabies pada manusia

diperkirakan lebih 50.000 orang tiap tahunnya dan terbanyak paada Negara-negara Asia dan

Afrika yang merupakan daerah endemis rabies. Sampai kini hanya 5 Propinsi di Indonesia

bebas historis rabies, yaitu Kalimantan Barat, Bali, Nusa Tenggara Barat, Maluku dan Irian

Jaya. Sejak tahun 1994 propinsi yang tadinya endemis rabies, telah dibebaskan dari rabies

pada manusia pada hewan yaitu di Jawa Timur, Jawa Tengah dan D.I Yogyakarta sampai saat

ini ada 18 propinsi yang belum bebas kasus rabies. Pada tahun 1998 terjadi outbreak di Kab.

Flores Timur, Prop. NTT. Jumlah rata-rata pertahun kasus gigitan pada manusia oleh hewan

penular rabies tiga tahun terakhir (1995-1997) 15.000 kasus, diantaranya 8.550 (57 %)

divaksinasi anti rabies (VAR) dan 662 (1,5%) diberikan kombinasi VAR dan SAR (serum

anti rabies). Selama tiga tahun ( 1995- 1997). Ditemukan rata-rata pertahun 59 kasus rabies

pada manusia, seangkan 22,44 spesimen dari hewan yang diperiksa, 1327 (59%)

menunjukkan positif rabies. Di Indonesia binatang penggigit yang paling banyak adalah

anjing (90%), kucing (6%), kera dan lain-lain (4%). Di Asia rabies banyak dijumpai di India,

sri langka, Pakistan, Bangladesh, china, filipina dan Thailand. Negara lain yang juga banyak

dijumpai kasus rabies adalah Meksiko, Amrika tengah dan selatan, Amerika serikat.2

Page 4: SKD 3B - Saraf - Rabies

Sehubungan dengan adanya penyakit ini pemerintah Indonesia mengeluarkan suatu peraturan

khusus pada tahun 1926 yang disebut ordonansi rabies (Hondsholheid Ordonantie, Staatsblad

No. 451, 1926) dan peraiuran pelaksananya yaitu (staatsblad No. 452, 1926) yang bertujuan

mencegah perluasan rabies.2,13

Selanjutnya ordonansi tersebut mengalami perubahan-perubahan atau penambahan yang

disesuaikan dengan perkembangan pada waktu itu. Namun demikian rabies terus berjangkit

sampai sekarang malah ada tendensi semakin meningkat dan meluas. Dilakukan juga

program pembebasan rabies lainnya. Program pembebasan rabies merupakan kesepakatan

Nasional dan merupakan kerjasama kegiatan 3 (tiga) Departemen, yaitu Departemen

Pertanian (Ditjen Peternakan), Departemen Dalam Negeri (Ditjen PUOD) dan Departemen

Kesehatan (Ditjen PPM & PLP), sejak awal Pelita V 1989 hingga diperpanjang sampai

dengan tahun 2005.2

C.     ETIOLOGI

Rabies terjadi akibat adanya infeksi virus rabies, virus Neurotropik dari genus Lyssavirus,

dan family Rhabdoviridae. Hal ini diklasifikasikan sebagai genotipe 1, serotipe 1 dalam

genusnya. Ada banyak jenis dari virus rabies; strain masing-masing dipertahankan dalam host

reservoir tertentu. Meskipun virus ini mudah dapat menyebabkan rabies pada spesies lain,

mereka biasanya mati selama perjalanan serial dalam spesies yang tidak sesuai. Host

reservoir kadang-kadang digunakan sebagai kata sifat untuk menggambarkan asal strain itu.

Page 5: SKD 3B - Saraf - Rabies

 Lyssaviruses terkait erat, yang dikenal sebagai rabies terkait lyssaviruses atau lyssaviruses

nonrabies, dapat menyebabkan penyakit neurologis yang identik dengan rabies. Lagos

kelelawar virus (genotipe 2, serotipe 2) ditemukan pada kelelawar di beberapa bagian Afrika,

dan telah menyebabkan kasus fatal penyakit neurologis pada kucing, anjing dan musang air

(Atilax paludinosis). Beberapa kucing dan anjing telah divaksinasi terhadap rabies. Mokola

virus (genotipe 3, serotipe 3) adalah lyssavirus rabies terkait hanya yang belum ditemukan

pada kelelawar. Virus ini telah diisolasi dari tikus dan Tikus di Afrika, tetapi host reservoir

tidak diketahui. Ini telah menyebabkan penyakit neurologis fatal pada kucing, anjing dan

manusia, termasuk rabies divaksinasi kucing dan anjing. Antibodi terhadap virus Mokola

telah dilaporkan pada beberapa hewan sehat, dan satu anak yang mungkin telah terinfeksi

virus ini pulih. Duvenhage virus (genotipe 4, serotipe 4) terjadi di antara kelelawar di Afrika.

Ini telah menyebabkan mematikan rabies-seperti penyakit pada beberapa orang. Para

lyssaviruses kelelawar Eropa (EBLV) sangat mirip dengan virus Duvenhage, tetapi

ditemukan di benua Eropa. Mereka adalah serotipe 5 dan dibagi menjadi 2 biotipe, EBLV1

(genotipe 5) dan EBLV2 (genotipe 6). Kasus klinis telah dilaporkan pada hewan (domba,

marten batu) dan manusia. Para lyssavirus kelelawar Australia (ABLV; genotipe 7) telah

diisolasi di Australia. Ini juga telah dilaporkan dari manusia dengan mematikan rabies-seperti

penyakit.13

Page 6: SKD 3B - Saraf - Rabies

Rabies dan rabies terkait lyssaviruses telah diklasifikasikan menjadi 2 phylogroups,

berdasarkan seberapa dekat mereka saling berhubungan. Phylogroup I berisi virus rabies,

Duvenhage virus, EBLV1, EBLV2 dan virus kelelawar Australia, sementara phylogroup II

terdiri dari virus dan virus Lagos bat Mokola. Empat tambahan Eurasia virus kelelawar juga

telah diklasifikasikan sebagai tentatif lyssaviruses. Mereka termasuk virus Irkut, Aravan virus

dan virus Khujand, yang semua milik phylogroup I, dan virus West Kaukasia kelelawar.

Kecuali dinyatakan lain, informasi dalam garis besar ini merujuk pada virus rabies klasik.2,4

D.    PATOGENESIS DAN PATOLOGI

Setelah virus rabies masuk kedalam tubuh manusia, selama 2 minggu virus menetap pada

tempat masuk dan di jaringan otot di dekatnya. Virus berkembangbiak atau langsung

mencapai ujung-ujung saraf perifer tanpa menunjukan perubahan-perubahan fungsinya.

Selubung virus menjadi satu dengan membrane plasma dan protein ribonukleus dan

Page 7: SKD 3B - Saraf - Rabies

memasuki sitoplasma. Beberapa tempat pegikatan adalah reseptor asetil kolin postsinaptik

pada neuromuscular jantional di SSP. Dari saraf perifer virus menyebar secara sentripetal

melalui endoneurium sel-sel schwan dan melalui aksoplasma mencapai ganglion dorsalis

dalam waktu 60-72 jam dan brkembang biak. Selanjutnya virus menyebar dengan kecepatan

3 mm/jam ke SSP (medulla spinalis dan otak) melalui LCS. Di otak, virus menyebar secara

luas dan memperbanyak diri dalam semua bagian neuron, kemudian bergerak ke perifer

dalam serabut saraf otonom, otot skelet, otot jantung, kelenjar adrenal, ginjal, mata, pancreas.

Pada tahap berikutnya viral akan virus akan terdapat pada kelenjar ludah, kelenjar lakrimalis,

system respirasi. Virus juga tersebar pada air susu dan urin. Pada manusia hanya dijumpai

kelainan pada midbraib dan medulla spinalis pada rabies tipe furious dan pada medulla

spinalis pada tipe paralitik. Perubahan patologi berupa degenerasi sel ganglion , infiltrasi sel

mononuclear dan perivascular, neurofagia, dan pembentukan nodul pada glia pada otak dan

pada medulla spinalis. Dijumapai negri bodies yaitu suatu benda intra sitoplasmik yang berisi

komponen viral terutama prointrasitoplasmik yang berisi komponen virus terutama protein

ribonuklear dan fragmen organeka seluler seperti ribosomes. Negri bodies dapat

ditemukanpada seluruh bagian otak, terutama oada korteks serebri, batang otak, hipotalamus,

sel purkinje serebelum, ganglion dorsalis medulla spinalis. Pada 20% kasus rabies tidak

ditemukan Negri bodies. Adanya miokarditis menerangakan terjadiya aritmia pada pasien

rabies.2,4,7

 

Page 9: SKD 3B - Saraf - Rabies

E.     MANIFESTASI KLINIS

Masa inkubasi rabies 95% antara 3-4 bulan, masainkubasi bisa berfariasi antara 7 hari-7

tahun, hanya 1% kasus dengan inkubasi kadang-kadang pasien tidak dapat mengingat kapan

terjadinya gigitan. Pada anak-anak masa inkubasi biasanya lebih pendek daripada orang

dewasa. Lamanya masa iinkubasi dipengaruhi oleh dalam dan besarnya luka gigitan, lokasi

luka gigitan (jauh dekatnya ke saraf pusat), derajat patogenitas virus dan persyarafan daerah

luka gigitan. Luka pada kepala inkubasi 25-48 hari, dan pada ekstremitas 46-78 hari. Pada

manusia secara teoritis gejala klinis terdiri dari 4 stadium yang dalam keadaan sebenarnya

sulit dipsahkan satu dari yang lainnya, yaitu : 1) gejala prodromal nonspesifik; 2) ensefalitis

akut; 3) disfungsi batang otak; 4) koma dan kematian.2,4 (lihat tabel)

Stadium Lamanya (% kasus) Manifestasi klinis

Inkubasi

  

Prodromal

Neurologic

akut :

        -          Furious

        -          Paralitik

        -          Koma

        -          < 30 hari (25%)

        -          30-90 hari (50%)

        -          90 hari-1 tahun (20%)

        -          > 1 tahun (5%)

2-10 hari

2-7 hari

2-7 hari

0-14 hari

Tidak ada

Parastesia, nyeri pada luka gigitan, demam,

malaise, anoreksia, mual, muntah, nyeri

kepala, letargi, agitasi, ansietas, depresi.

Halusinasi, bingung, delirium, tinggkah laku

aneh, takut, agitasi, menggigit, hidrofobia,

hipersalivasi, disfagi, afasia, inkoordinasi,

hiperaktif, spasme laring, aerofobia,

hiperventilasi, hipoksia, kejang, disfungsi saraf

otonom, sindroma abnormalitas ADH

Paralisis flkaksid

Autoimunic instability, hipoventilasi, apnea,

henti napas, hipotermia, hipotensi, disfungsi

pituitary, rhabdomiolisis, aritmia, dan henti

jantung.

1.      Stadium prodromal

Page 10: SKD 3B - Saraf - Rabies

Stadium prodromal berlangsung 1-4 hari dan biasanya tidak ditemukan gejala spesifik.

Umumnya disertai gejala respirasi atau abdominal yang ditandai oleh demam, menggigil,

batuk, nyeri menelan, nyeri perut, sakit kepala, malaise, myalgia, mual muntah, diare dan

nafsu makan menurun. Gejala yang lebih spesifik yaitu gatal dan parastesia pada luka bekas

gigitan yang sudah sembuh (50%). Stadium prodromal dapat berlangsung sampai gejala

neurologis akut dapat berupa furios atau paralitik. Miodema dijumpai pada stadium

prodromal pada stadium prodromal dan menetap selama perjalan penyakit.2,4,7,13

2.      Stadium neurologis akut

Dapat berupa gejala furios atau paralitik. Pada furios penderita menjadi hiperaktif,

disorientasi, mengalami halusinasi, atau bertingkah laku aneh. Selama beberapa jam-hari,

gejala hiperaktif dapat terjadi karena rangsangan-rangsangan tersebut. Bila penderita diberi

segelas air minum dan mencoba meminumnya akan terjadi spasme hebat otot-otot faring,

akibatnya penderita menjadi takut air (hirofobia) yang khas pada rabies. Keadaan yang sama

dapat ditimbulkan oleh rangsangan sensorik seperti meniupkan lilin ke muka pasien

(aerofobia), atau dengan menjatuhkan sinar ke mata (fotofobia) atau dengan menepuk tangan

didekat telinga pasien.2,13 Tanda-tanda klinis lain yang dapat dijumpai berupa hiperaktivitas,

halusinasi, gangguan kepribadian, meningismus, lesi saraf kranialis, fasikulasi otot dan

gerakan-gerakan involunter, fluktuasi otot dan gerakan-gerakan involunter, fluktiasi suhu

badan, dilatasi pupil.lesi pada nucleus amigdala memberikan gejala libido yang meningkat,

pripismus, dan organisme spontan.2,13 Gejala otonomik pada stadium ini diantaranya adalah

dilatasi pupil yang ireguler, peningkatan lakrimasi, hipertermia, takikardia, hipotensi postural,

hipersalivasi. Gejala lain dalam fase ini aialah demam, fasikulasi otot, hiperventilasi dan

konvulsi. Meskipun sering kejang penderita tetap sadar. Gejala-gejala stadium eksitasi dapat

terus berlangsung sampai penderita meninggal. Kematian paling sering terjadi pada stadium

ini yang dapat terjadi akibat gagal napas yang disebabkan oleh kontraksi otot-otot pernapasan

atau keterlibatan pusat pernapasan dan miokarditis, aritmia, dan henti jantung akibat stimulasi

saraf fagus.  Bila stadium inni dapat terlewati, pasien masuk ke stadium paralitik.

Page 11: SKD 3B - Saraf - Rabies

Apabila pasien tidak meninnggal, 20% penderita akan masuk ke stadium paralitik yang

ditamdai dengan demam dan sakit kepala, paralisis pada ekstremitas yang digigit, mungkin

difusatau simetri, tau dapat menyebar secara ascendens seperti pada sindroma Guillain-Barre,

dan kaku kuduk dapat dujumpai. Pada stadium paralitik dapat tidak temui gejala hidrofobia,

aerofobia, hiperaktivitas dan kejang.2,11 Pada keadaan ini kesadaran dapat utuh, akan tetapi

dapat memburuk secara gradual menjadi bingung, disorientasi, paraplegia, gangguan

menelan, kelumpuhan pernapasan, dan akhirnya meninggal. Seluruh manifestasi ini terjadi

selama 2-7 hari dengan fase paralitik lebih panjang.2,4,7,13

3.      Stadium koma

Apabila tidak terjadi kematian pada stadium neurologic, penderita dapat mengalami koma.

Koma dapat terjadi dalam 10 hari setelah tampak gejala rabies dan dapat berlangsung hanya

beberapa jam sampai beberapa jam sampai berbulan-bulan tergantung penanganan intensif.

Pada penderita yang tidak ditangani, penderita dapat segera meinggal setelah terjadi koma,

dan pada penanganan di AS rata-rata hanya perawatan sampai meninggal 13 hari. Beberapa

komplikasi dapat terjadi dan menjadi penyebab kematian.samapai saat ini hamper seluruh

penderita rabies meninggal, hanya ada 4 laporan penderita encephalitis rabies hidup. Dua

penderita diberi vaksin tanpa imunoglobuilin sesudah gigitan multiple dan bertahan hidup

lama (34 bulan pada 1 kasus) tetapi dengan gangguan neurologic yang berat. Dua kasus lain

didiagnosis sebagai ensefalitis rabies setelah pemberian vaksin embrio bebek dan  sucking

mouse vaccine  tetapi didiagnosis sebagai ensefalitis berdasarkan tes serologi (tidak dijumpai

antigen virus).2,4,7,13

Page 12: SKD 3B - Saraf - Rabies

F.      DIAGNOSIS

Anamnesis tentang kapan digigit binatang, lokasi gigitan dan oleh binatang apa. Dengan

anamnesis yang baik sudah dapat diambil tindakan untuk mencegah timbulnya rabies.4

Pemeriksaan labolatorium pada penyakit rabies tidak spesifikk. Pada awal penyakit,

hemoglobin normal dan sedikit menurun pada perjalan penyakit. Leukosit antara 8000-

13.000/mm3 dengan 6-8% monosit atipkal, namun leukositosis 20.000-30.000/mm3 sering

dijumpai, trombosit biasanya normal. Pada urinalisis dijumpai albuminuria dengan

peningkatan sel leukosit pada sedimen. Pada CSS dapat dijumpai gambaran encephalitis,

peningkatan sel leukosit  70/mm3, tekanan CSS dapat normal/meningkat, protein dan glukosa

normal. Selama minggu pertama perjalanan penyakit CSS normal pada 40% penderita.

Limfosit pleiositosis ringan biasanya terjadi dan protein total meningkatlebih dari 200 mg/dl.

Pada EEG secara umum didapatkan gelombang lambat dengan penekanan aktivitas dan

paroksismal spike. CT dan MRI pada otak normal.2,4,10,13

Isolasi virus sangat baik dilakukan pada minggu pertama dari bahan yang berasal dari saliva,

hapusan tenggorokan, trakea, kornea, sampel biopsy kulit/otak, CSS, dan kadang urin. Isolasi

Page 13: SKD 3B - Saraf - Rabies

virus kadang-kadang tidak berhasil didapatkan dari bahan-bahan tersebut setelah 10-14 hari

sakit; hal ini berhubungan dengan adanya neutralizing antibodies.2,4,13

Deteksi neutralizing antibodies dalam serum penderita yang tidak divaksinasi dapat dipakai

sebagai alat diagnosis. Terdapatnya antibody dalam CSS juga menegaskan diagnosis tetapi

muncul 2-3 hari lebih lambat dibandingjkan dengan antibodi serum dan kurang bermanfaat

pada awal penyakik, namun dipakai untuk mengevaluasi respon antibody serum dan CSS

sesudah vaksinasi yang memberikan kadar tinggi. Pada kasus tertentu antibody dapat tidak

terbentuk ampai hari ke-24. Fluorescent antibodies test (FAT) dengan cepat mengidentifikasi

antigen virus rabies di jaringan otak sediaan CSS, urin, bahkan setelah teknik isolasi virus

tidak berhasil. Sensitivitas tes ini 60-100%. FAT pada hapusan kornea pada hapusan kornea

sangat tinggi sensitive untuk digunakan karena sering terjadi positif palsu. Pada awal

penyakit FAT dari kulit dileher merupakan tes yang paling sensitive walaupun dapat terjadi

negative palsu. Di AS tes standar adalah rapid fluorescent focus test (RFFIT) untuk

mendeteksi antibody spesifik, dimana hasil diperoleh dapal 48 jam.2,4,13

Pada 71-90% penderita rabies ditemukan negri bodies yang khas untuk penyakit rabies, yang

bersifat asidofilik, berbentuk bulat, dan pada yang klasik terdapat butir-butr basofilik

didalamnya. Negri bodies dapat dilihat melalui histopatologi biopsy jaringan otak penderita

post-mortem dan jaringan otak hewan terinfeksi atau hewan yang diinokulasi dengan virus

rabies. Deteksi RNA virus rabies seperti juga pada infeksi virus lainnya, dapat dilakukan

melalui pemeriksaan reverse-transcriptase polymerase chain reaction (RT-PCR).2,4,13

G.    DIAGNOSIS BANDING

Rabies harus dipikirkan pada semua penderita dengan gejala neurologic, psikiatri atau

laringofaringeal yang tak bisa dijelaskan, khususnya bila terjadi gigitan binatang pada daerah

endemis atau orang yang mengalami gigitan binatang pada daerah endemis rabies.2 Jadi

kondisi atau penyakit-penyakit yang dapat dijadikan diagnosis adalah13 :

  Infeksi lain yang menyebabkan ensefalitis

  Myelitis transversa

  Trauma Cerebrovascular

  Psikosis

  Massa pada Intrakranial

  Epilepsi

Page 14: SKD 3B - Saraf - Rabies

  Keracunan Atropin

  Penyakit Creutzfeldt-Jacob

  Keracunan senyawa atropinelike

  Pseudohydrophobia (reaksi histeris gigitan hewan karena takut rabies)

Radang otak

Guillain-Barre Syndrome

Herpes Simplex

Ensefalitis Herpes Simplex

Polio

Tetanus13 

H.    TATALAKSANA

Tidak ada terapi  untuk penderita yang telah menunjukan gejala rabies; penanganan hanya

berupa tindakan suportif dalam penanganan gagal jantung dan gagal napas. Walaupun

tindakan perawatan intensif umumnya dilakukan, hasilnya tidak menggembirakan. Perawatan

intensif hanyalah metode untuk memperpanjang dan bila mungkin menyelamatkan hidup

pasien dengan mencegah komplikasi respirasi dan kardiovaskular yang sering terjadi.

Issolasipenderita penting segera setelah diagnosis ditegakkan untuk menghindari rangsangan-

rangsangan yang dapat menimbulkan spasme otot ataupun untuk mencegah penularan. Staf

rumah sakit perlu menghindari diri dari penularan virus dari air liur, urin, air mata, cairan lain

dan paling berbahaya adalah kontak dengan mukosa atau kulit yang terluka khususnya akibat

gigitan dengan universal precaution. Virus tidak menular melalui darah dan tinja. Yang

paling penting dalam pengawasan penderita rabies adalah terjadinya hipoksia, aritmia,

gangguan elektrolit, hipotensi, edema serebri.2,13

Penderita dapat diberi obat sedative dan analgetik secra adekuat untuk pemulihan ketakutan

dan nyeri yang terjadi. Penggunaan obat-obat antiserum anti virus, interferon, kortikosteroid

dan imunosupresif lainnya tidak terbukti efektif. Dalam decade terakhir ini hampir tidak

banyak perkembangan dalam penanganan kasus rabies. Antiviral agent yang dianjurkan

adalah ribavirin, interferon alfa, dan ketamine.2,13

Page 15: SKD 3B - Saraf - Rabies

I.       KOMPLIKASI

Berbagai komplikasi dapat terjadi pada penderita rabies dan biasanya timbul pada fase koma.

Komplikasi sapat berupa peningkatan tekanan intra kranial; kelainan pada hipotalamus

berupa diabetes mellitus, sindroma abnormalitas hormone anti diuretic (SAHAD); disfingsi

otonomik yang menyebabkan hipertensi, hipotensi, hipertermia/hipotermia, aritmia dan henti

jantung. Kejang dapat local maupun generalisata dan sering bersamaan dengan aritmia dan

gangguan respirasi. Pada stadium prodromal sering terjadi komplikasi hiperventilasi dan

alkalosis respiratorik, sedangkan hipoventilasi dan depresi pernapasan terjadi fase neurologic

akut. Hipotensi terjadi karena gagal jantung kongestif, dehidrasi dan gangguan otonomik.2

J.       PREVENTIF

Untuk mencegah infeksi virus rabies pada penderita yang terpapar dengan virus rabies

melalui kontak ataupun gigitan binatang pengiadp atau tersangka rabies halus dilakuikan

perawatan luka yang adekuat dan pemberian vaksinanti rabies dan immunoglobulin.

Vaksinasi rabies perlu pula dilakukan terhadap individu yang beresiko tinggi tertular rabies.

      

      1.      Penanganan luka

Pengobatan local luka gigitan adalah factor penting dalam pencegahan rabies. Luka gigitan

harus segera dicuci dengan sabun, dilakukan debriden dan diberikan disinfektan eperti

alcohol 40-70%, tinktura yodii, atau larutan epherin 0,1%. Luka akibat gigitan binatang

penular rabies tidak dibenarkan untuk dijahit kecuali bila keadaan memaksa dapat dilakukan

jjahitan situasi. Profilaksis tetanus dapat diberikan dan infeksi bacterial berhubungan dengan

luka gigitan perlu diberikan antibiotic.2

      

      2.      Vaksinasi15

Page 16: SKD 3B - Saraf - Rabies

Apabila kontak dengan air luir pada kulit luka yang tidak berbahaya, maka diberikan VAR

atau diberikan kombinasi VAR dan SAR apabila kontak dengan air liur pada luka berbahaya.

Dosis dengan cara pemberian Vaksin dan Serum Anti Rabies adalah sebagai berikut :

         Dosisi dan Cara Pemberian Vaksin Anti Rabies (VAR)

  Purified Vero Rabies Vaccine (PVRV)

Kemasan :

Vaksin terdiri dari vaksin kering dalam vial dan pelarut sebanyak 0,5 ml dalam syringe.

a. Dosis dan cara pemberian sesudah digigit (Post Exposure Treatment)

-          Cara pemberian :

disuntikkan secara intra muskuler (im) di daerah deltoideus (anak–anak di daerah paha).

-          Dosis 

         b.      Dosis dan cara pemberian VAR bersamaan dengan SAR sesudah digigit (Post Exposure

Treatment)

-          Cara pemberian : sama seperti pada butir 1.a.

-          Dosis

Page 17: SKD 3B - Saraf - Rabies

  Suckling Mice Brain Vaccine (SMBV)

Kemasan :

-          Dos berisi 7 vial @ 1 dosis dan 7 ampul pelarut @ 2 ml.

-          Dos berisi 5 ampul @ 1 dosis intra cutan dan 5 ampul pelarut @ 0,4 ml.

      a.       Dosis dan cara pemberian sesudah digigit (Post Exposure Treatment)

-          Cara pemberian :

Untuk vaksinasi dasar disuntikkan secara sub cutan (sc) di sekitar daerah pusar.

Sedangkan untuk vaksinasi ulang disuntikkan secara intra cutan (ic) di bagaian fleksor lengan

bawah .

-          Dosis 

        b.      Dosis dan cara pemberian bersamaan dengan SAR sesudah digigit (Post Exposure

Treatment)

-          Cara pemberian : sama seperti pada butir 2.a.

-          Dosis

Page 18: SKD 3B - Saraf - Rabies

         Dosis dan Cara Pemberian Serum Anti Rabies (SAR)

  Serum hetorolog (Kuda)

         -          Kemasasn : vial 20 ml (1 ml = 100 IU)

        -          Cara pemberian :

Disuntikkan secara infiltrasi di sekitar luka sebanyak mungkin, sisanya disuntikkan

intramaskuler.

        -          Dosis :

             

  Serum Momolog

       -          Kemasan : vial 2 ml ( 1 ml = 150 IU )

       -          Cara pemberian :

Disuntikkan secara infiltrasi di sekitar luka sebanyak mungkin, sisanya disuntikkan

intramuskuler.

       -          Dosis :

Page 19: SKD 3B - Saraf - Rabies

    Dosis dan Cara Pemberian VAR Untuk pengebalan Sebelum Digigit (Pre

Exposure Immunization)

  Purified Vero Rabies Vaccine (PVRV)

        -          Kemasan :

Vaksin terdiri dari vaksin kering dalam vial dan pelarut sebanyak 0,5 ml dalam syringe.

        -          Cara pemberian (cara I) :

Disuntikkan secara intra muskuler (im) di daerah deltoideus.

        -          Dosis :

        

         -          Cara pemberian (cara II) :

Disuntikkan secara intra cutan ( dibagian fleksor lengan bawah ).

         -          Dosis :

Page 20: SKD 3B - Saraf - Rabies

         Suncling Mice Brain Vaccine (SMBV)

           -          Kemasan :

Dus berisi 7 vial @ 1 dosis dan 7 ampul pelarut @ 2 ml

Dus berisi 5 ampul @ 1 dosis intra cutan dan 5 ampul pelarut @ 0,4 ml.

           -          Cara pemberian :

Disuntikkan secara intra cutan (ic) di bagian flektor lengan bawah.

           -          Dosis :

I.       PROGNOSIS

Kematian akibat infeksi virus rabies boleh dibilang 100% bila virus sudah mencapai system

saraf. Dari tahun 1857 sampai tahun 1972 dari kepustakaan dilaporkan 10 pasien sudah

Page 21: SKD 3B - Saraf - Rabies

sembuh dari rabies namun sejak 1972 hingga sekarang belum ada pasien rabies yang

dilaporkan hidup. Prognosis rabies selalu fatal karena sekali gejala rabies telah tampk hampir

semua selalu kematia 2-3 hari sesudahnya sebagai akibat gagal napas/henti jantung ataupun

paralisis generalisata. Berbagai penelitian dari tahun 1986-2000 melibatkan lebih dari 800

kasus gigitan anjing pengidap rabies di Negara endemis segera mendapat perawatan luka,

pemberian VAR dan SAR mendapatkan angka survival 100%.2

DAFTAR PUSTAKA

1.      Ismanoe G. Tetanus. Dalam: Sudoyo A, Setiyohadi, Alwi I, editors. Buku ajar Ilmu penyakit

dalam. Edisi 3. Jakarta: InternaPublising; 2009. h. 2911-2923.

2.      Harijanto PN, Gunawan CA. Rabies. Dalam: Sudoyo A, Setiyohadi, Alwi I, editors. Buku

ajar Ilmu penyakit dalam. Edisi 3. Jakarta: InternaPublising; 2009. h. 2924-2930.

3.      Hassan R, Alatas H. Buku kuliah Ilmu kesehatan anak. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia; 2007.

4.      Harsono. Buku ajar neurologi klinis. Yogyakarta: Gadja Mada University Press; 2011.

5.      Ropper AH, Brown RH. Principles of Neurology. United States of America: The McGraw-

Hill Companies; 2005.

6.      Mumenthaler M, Mattle H. Neurology. Germany: German edition published; 2004.

7.      Rohkamm R. Color Atlas of Neurology. New York: Thiema Stuttgart; 2004.

8.      Farrar JJ, Yen LM, Cook T, et al. Tetanus. Journal of J Neourol Neurosurg Psychiatry. 2000;

69; 292-301.

Page 22: SKD 3B - Saraf - Rabies

9.      Brunch JT, Thalji MK, Pellika PA, Aksamit TR. Respiratory failure in tetanus. Journal of

American College of Chest Physicians. 2002; 122; 1488-1492.

10.  Komsuoglu SS. Dora F. Kalabay O. Periodic EEG activity in human rabies encephalitis.

Journal of J Neourol Neurosurg Psychiatry. 1981; 44; 264-265.

11.  Hemachudha T, Tirawatnpong S, Phanthumchinda K. Seuzures as the initial manifestation of

paralytic rabies. Journal of J Neourol Neurosurg Psychiatry. 1989; 52; 808-810.

12.   Hinfey PB . Tetanus. [Online]. 2011 Sept 28 [cited 2012 Apr 09]; [12 screens]. Available

from :

URL : http://emedicine.medscape.com/article/229594-overview

13.  Gompf SG. Rabies. [Online]. 2011 Des 12 [cited 2012 Apr 09]; [14 screens]. Available

from :

URL : http://emedicine.medscape.com/article/220967-overview

14.   Ritarwan K. Tetanus. [Online]. No show/pdf [cited 2012 Apr 13]; [10 screens]. Available

from :

URL : http://library.usu.ac.id/download/fk/penysaraf-kiking2.pdf

15.   Team depkes/no show. Petunjuk perencanaan dan penatalaksanaan kasus rabies di

Indonesia. [Online]. 2000 [cited 2012 Apr 15]; [15 screens]. Available from :

URL : www.depkes.go.id/downloads/Petunjuk%20Rabies.pdf