siti maesaroh fkik

124
FAKTOR FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEPATUHAN BEROBAT PASIEN TUBERKULOSIS PARU DI KLINIK JAKARTA RESPIRATORY CENTRE (JRC)/ PPTI TAHUN 2009 Skripsi Diajukkan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep) Disusun Oleh: SITI MAESAROH 105104003485 PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2009M/1430 H

Upload: bbdroid

Post on 12-Sep-2015

244 views

Category:

Documents


12 download

DESCRIPTION

tbc paru penelitian

TRANSCRIPT

  • FAKTOR FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN

    KEPATUHAN BEROBAT PASIEN TUBERKULOSIS PARU DI

    KLINIK JAKARTA RESPIRATORY CENTRE (JRC)/ PPTI

    TAHUN 2009

    Skripsi

    Diajukkan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

    Gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep)

    Disusun Oleh:

    SITI MAESAROH

    105104003485

    PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

    FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

    JAKARTA

    2009M/1430 H

  • i

    LEMBAR PERNYATAAN

    Dengan ini saya menyatakan bahwa:

    1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukkan untuk memenuhi

    salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Fakultas Kedokteran dan

    Ilmu Kesehatan Universitas IslamNegeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

    2. Semua sumber referensi yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

    cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultass Kedokteran dan

    Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

    3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau

    merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

    sanksi yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas

    Islam Negeri (UIN) syarif Hidayatullah Jakarta.

    Jakarta, Desember 2009

    SITI MAESAROH

  • ii

    ABSTRACT

    FACULTY OF MEDICINE AND SCIENCE OF HEALTH

    NURSING SCIENCE PROGRAM

    ISLAMIC STATE UNIVERSITY (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH

    JAKARTA

    Undergraduate Thesis, December 2009

    SITI MAESAROH, NIM: 105104003485

    Factors Associated With Medication Adherence in Patients with Pulmonary

    Tuberculosis Clinic PPTI / Jakarta Respiratory Center (JRC), Year 2009

    Xix +90 pages, 3 Appendix, Table 29

    In PPTI during 2008, a total of 123 patients from 895 patients revealed

    DO. Based on data from PPTI above, the authors are interested in performing on

    the factors associated with treatment adherence in patients with pulmonary TB

    clinic PPTI / JRC ..

    This study aims to know the description of treatment adherence and

    factors associated with treatment adherence in patients with pulmonary

    tuberculosis clinic JRC / PPTI in 2009 with a cross-sectional design. Independent

    variables studied include: education, knowledge, attitudes mother, side effects,

    distance, transportation, vehicle costs, the role of the PMO, the role of the family,

    counseling.

    The study found that of the 11 variables studied, the attitude of the patient

    variables significantly associated with pulmonary tuberculosis treatment

    adherence (P = 0.016). Patients with a good attitude, have a risk to comply with

    treatment 3 times when compared to patients with unfavorable attitudes (OR =

    2.917, 95% CI = 1.289 to 6.600). The other variables are counseling, possess a

    significant relationship with medication adherence pulmonary TB patients (P =

    0.048). Patients who had received counseling at risk for medication adherence by

    2.408 times when compared to patients who never received counseling (OR =

    2.408, 95% CI = 1.081 to 5.364). While in this study, other variables can not

    prove the existence of significant relationship of the variables of education (p =

    0.639), knowledge (p = 0.118), 0.286 medication side effects, distance ( p =

    0.495), transportation (p = 0.650), role of the PMO (p = 1), the role of the family

    ( p = 0.654), extension (p = 0.048)

    This study suggests that outreach programs are conducted every month

    fixed routine implemented and attended by the patient. Further research needs

    other factors associated with treatment adherence and factors that influence the

    attitudes of respondents to treatment.

    Reading List: 42

  • ii

    ABSTRAK

    FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

    PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH

    JAKARTA

    Skripsi, Desember 2009

    SITI MAESAROH, NIM : 105104003485

    Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kepatuhan Berobat Penderita

    Tuberkulosis Paru Di Klinik PPTI/Jakarta Respiratory Center (JRC),

    Tahun 2009

    Xix+90 halaman, 3 Lampiran, 29 Tabel

    Di PPTI selama tahun 2008, sebanyak 123 pasien dinyatakan DO dari 895

    pasien. Berdasarkan data dari PPTI di atas maka penulis tertarik untuk melakukan

    terhadap faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan berobat pasien TB

    paru di klinik PPTI/JRC..

    Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kepatuhan berobat

    dan faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan berobat pasien

    tuberkulosis paru di klinik JRC/PPTI tahun 2009 dengan desain cross sectional.

    Variabel independen yang diteliti meliputi : pendidikan, pengetahuan, sikap ibu,

    efek samping, jarak, sarana transportasi, biaya kendaraan, peran PMO, peran

    keluarga, penyuluhan.

    Hasil penelitian didapat bahwa dari 11 variabel yang diteliti, variabel

    sikap penderita secara signifikan berhubungan dengan kepatuhan berobat

    penderita TB paru (P=0,016). Penderita dengan sikap baik, mempunyai risiko

    untuk patuh berobat 3 kali bila dibanding penderita dengan sikap kurang baik (OR

    = 2,917 (95%CI =1,289-6,600). Variabel lain yaitu penyuluhan, secara signifikan

    memliki hubungan dengan kepatuhan berobat pasien TB paru (P=0,048).

    Penderita yang pernah mendapat penyuluhan memiliki risiko untuk patuh berobat

    sebesar 2,408 kali bila dibanding penderita yang tidak pernah mendapat

    penyuluhan (OR=2,408, 95%CI=1,081-5,364). Sedangkan pada penelitian ini,

    variabel lain tidak dapat membuktikan adanya hubungan yang signifikan yaitu

    variabel pendidikan (p=0,639), pengetahuan (p=0,118), efek samping obat 0,286,

    jarak (p=0,495), sarana transportasi (p=0,650), peran PMO (p=1), peran keluarga

    (p=0,654), penyuluhan (p= 0,048)

    Penelitian ini menyarankan agar program penyuluhan yang dilaksanakan

    setiap bulan tetap rutin dilaksanakan dan dihadiri langsung oleh pasien. Perlu

    dilakukan penelitian lanjutan faktor lain yang berhubungan dengan kepatuhan

    berobat dan faktor yang mempengaruhi sikap responden terhadap pengobatan.

    Daftar Bacaan : 42

  • v

    DAFTAR RIWAYAT HIDUP

    Nama : SITI MAESAROH

    Tempat, Tanggal Lahir : Tegal, 20 Mei 1985

    Jenis Kelamin : Perempuan

    Agama : Islam

    Alamat : Jalan Depsos Raya No. 4 RT 04/ RW 01, Bintaro,

    Pesanggrahan, Jakarta Selatan

    Alamat Asal : Lembasari, RT 03 RW 01, Kecamatan Jatinegara,

    Kabupaten Tegal

    Email : [email protected]

    Latar Belakang Pendidikan

    2005-2009 : Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

    Jakarta, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Keshatan

    Program Studi Ilmu Keperawatan

    2002-2005 : SMA Negeri 1 Slawi

    1999-2002 : SMP Negeri 1 Jatinegara

    1993-1999 : SD Negeri 02 Lembasari

  • x

    Skripsi ini

    Ku Persembahkan untuk Ibunda dan

    Ayahandaku, Kakak dan Adik-adikku, Serta

    Semua Orang yang Aku Sayangi dan Orang

    yang Menyayangiku.

  • xi

    PENGANTAR

    Bismillahi Rahmani Rahim

    Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

    Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan

    hidayat-Nya sehigga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam

    semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Besar kita, Nabi Muhammad SAW,

    beserta keluarga, sahabat, dan umatnya yang tetap istiqomah dan yang Insyaallah

    akan mendapat safaat dihari akhir. Dengan penuh kesadaran penyusun yakin

    bahwa masih banyak yang harus diperbaiki dalam penyusunan skrripsi yang

    berjudul Faktor-Faktor yang berhubungan dengan Kepatuhan Berobat

    Pasien Tuberkulosis Paru Di Klinik JRC/ PPTI Kebayoran Lama tahun

    2009.

    Dalam proses penyusunan skripsi ini, penulis mendapat banyak banttuan,

    petunjuk, bimbingan, dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, sudah

    sepatutnya penulis mengucap rasa syukur sebagai wujud rasa terima kasih kepada:

    1. Kedua orang tua tersayang, Bapak Sarip dan Ibu Dibah yang telah

    memberikan bantuan moril, materiil, motivasi serta doa yang tidak pernah

    putus demi keberhasilan penyusun menghadapi masa depan yang lebih baik.

    2. Ahmad Eru S, S.Kp, M.Kep, Sp.Kom dan Bambang P Cadrana, SKM,MKM,

    sebagai dosen pembimbing yang tyelah memberikan waktu, arahan, dan

    pengembangan pemikiran kepada penulis demi terselesaikannya penyusunan

    skripsi ini dengan baik.

    3. Prof. Dr (hc). Dr. M.K. Tadjudin, Sp. And sebagai Dekan fakultas Kedokteran

    dan Ilmu Kesehatan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

    4. Tien Gartinah MN, selaku ketua Program Studi Ilmu Keperawatan UIN Syarif

    Hidayatullah Jakarta beserta staf serta segenap Bapak/Ibu Dosen Program

    Studi Ilmu Kperawatan, yang telah member ilmu pengetahuan yang berguna

    bagipenulis dan mahasiswa/mahasiswi pada umumnya.

  • xii

    5. .Ita Yuanita, S.Kp, M.Kep, Ns. Waras Budi Utomo, S.Kp, MKM yang telah

    mendedikasikan diri demi membawa Program Studi Ilmu Kperaawatan kea

    rah yang lebih baik.

    6. Irma Nurbaeti, Skp, M.Kep, Sp. Mat, sebagai pembimbing akademik yang

    telah memberikan arahan kepada penulis.

    7. Bapak Wakidi staf PPTi yang telah membantu, memberikan masukan saat

    penulis melakukan penelitian.

    8. Dr. Sudiono sebagai Sekertaris Jendral PPTI , Direktur Kllinik JRC yang telah

    mengizinkan penulis untukmelakukan penelitian di Klinik PPT? JRC

    kebayoran Lama.

    9. Akhmad Nursujati, SE. yang selalu memberikan motivasi, membantu dan

    mendampingi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

    10. Kaka penulis Sulastri dan Rudi Haseni (ipar), dan adik penulis Fitria Priatin,

    yang member motivasi kepada penulis.

    11. Keluarga besar FKIK dan khususnya seluruh saudara-saudari PSIK, dan

    teman-teman seperjuangan jurusan Ilmu Keperawatan angkatan 05 ((Neneng,

    Tuti, Risma, Fina Tika, Ziah, Herna, Lita, Intan, Ciah, dan masih banyak lagi

    yang belum disebutkan).

    12. Alumni SMA Negeri 1 Slawi angkatan 05 yang memberikan motivasi

    kepada penulis.

  • xiii

    Dengan memanjatkan doa kepada Allahh SAW, penulis berharap semua

    kebaikan yang telah diberikan mendapat balasan yang lebih baik dari allah

    SWT.

    Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis pribadi dan para

    pembaca pada umumnya.

    Wassalamualaikum warahmatullahi Wabarakatuh

    Jakarta, 22 Desember 2009

    SITI MAESAROH

  • xiv

    DAFTAR ISI

    LEMBAR PERNYATAAN... i

    ABSTRAK .. ii

    LEMBAR PERSETUJUAN .. iii

    RIWAYAT HIDUP . v

    LEMBAR PERSEMBAHAN x

    KATA PENGANTAR xi

    DAFTAR ISI . xiv

    DAFTAR TABEL xvii

    DAFTAR BAGAN xvi

    DAFTAR LAMPIRAN . xvii

    DAFTAR SINGKATAN xx

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang ................................................................................ 1

    B. Rumusan Masalah ........................................................................... 7

    C. Pertanyaan Penelitian ...................................................................... 8

    D. Tujuan Penelitian ........................................................................... 9

    E. Manfaat Penelitian .......................................................................... 10

    F. Ruang Lingkup Penelitian ............................................................... 11

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    A. Tuberculosis Paru ............................................................................ 12

    B. Keadaan dan Masalah Tuberkulosis Paru Saat ini .......................... 21

    C. Program Pemberantasan Tuberkulosis Paru di Indonesia ............... 22

    D. Konsep Perilaku dan Perilaku Kepatuhan Berobat Pasien

    Tuberkulosis Paru ........................................................................... 22

    E. Kerangka Teoritis ............................................................................ 35

  • xv

    BAB III

    KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS, DEFINISI OPERASIONAL

    A. Kerangka Konsep ............................................................................ 37

    B. Variabel Dependen .......................................................................... 39

    C. Variabel Independen ....................................................................... 39

    D. Hipotesis .......................................................................................... 40

    E. Definisi Operasional........................................................................ 42

    BAB IV

    METODE PENELITIAN

    A. Rancangan Penelitian ...................................................................... 45

    B. Lokasi Penelitian ............................................................................. 45

    C. Populasi dan Sampel ....................................................................... 45

    D. Instrumen Penelitian dan Cara Pengumpulan Data ......................... 47

    E. Pengolahan Data.............................................................................. 49

    F. Analisa Data .................................................................................... 50

    BAB V

    HASIL PENELITIAN

    A. Gambaran Umum PPTI

    B. Klinik Pusat Penyakit Pernapasan (JRC) ........................................ 55

    C. Analisa Univariat ............................................................................ 56

    D. Analisa Bivariat

    BAB VI

    PEMBAHASAN

    A. Keterbatasan Penelitian ................................................................... 72

    B. Gambaran Kepatuhan Berobat Penderita TB paru di Klinik PPTI . 72

    C. Hubungan antara faktor predisposisi, pemungkin, dan penguat

    dengan kepatuhan berobat penderita TB Paru.

  • xvi

    BAB VII

    KESIMPULAN DAN SARAN

    A. Kesimpulan ..................................................................................... 83

    B. Saran ................................................................................................ 85

    DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 86

    LAMPIRAN ................................................................................................. 91

  • xvii

    DAFTAR TABEL

    halaman

    Tabel 2.1 Jenis, Sifat, dan Dosis OAT 21

    Tabel 2.2 Efek samping ringan OAT . 22

    Tabel 2.3 Efek samping berat OAT .. 22

    Tabel 5.1 Distribusi frekuensi menurut jenis kelamin .. 55

    Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi responden menurut

    pembagian usia BPS 56

    Tabel 5.3 Distribusi frekuensi responden menurut kepatuhan . 56

    Tabel 5.4 Distribusi frekuensi responden

    menurut tingkat pendidikan 57

    Tabel 5.5 Distribusi frekuensi responden

    menurut pendidikan responden yang dikategorikan 57

    Tabel 5.6 Distribusi frekuensi pengetahuan responden 58

    Tabel 5.7 Disribusi frekuensi sikap responden terhadap pengobatan 58

    Tabel 5.8 Distribusi frekuensi efek samping obat 59

    Tabel 5.9 Distribusi frekuensi persepsi jarak klinik dari rumah . 59

    Tabel 5.10 Distribusi frekuensi kendaraan yang digunakan responden

    menuju ke klinik 60

    Tabel 5.11 Distribusi frekuensi responden

    menurut biaya kendaraan 60

    Tabel 5.12 Distribusi frekuensi responden menurut peran PMO 61

    Tabel 5.13 Distribusi frekuensi responden

    menurut peran keluarga .. 62

    Tabel 5.14 Distribusi frekuensi responden menurut sikap petugas 62

    Tabel 5.15 Distribusi frekuensi responden menurut penyuluhan.. 63

    Tabel 5.16 Hubungan antara tingkat pendidikan

    dengan kepatuhan berobat pasien TB paru . 63

    Tabel 5.17 Hubungan antara pengetahuan dengan

    kepatuhan berobat pasien TB paru .. 64

  • xviii

    Tabel 5.18Hubungan antara sikap pasien dengan

    kepatuhan berobat pasien TB paru 65

    Tabel 5.19 Hubungan antara efek samping obat dengan

    kepatuhan berobat pasien TB paru .. 65

    Tabel 5.20Hubungan antara jarak klinik PPTI

    dari tempat tinggal dengan kepatuhan berobat pasien TB. 66

    Tabel 5.21 Hubungan antara sarana transportasi

    dengan kepatuhan berobat pasien TB paru .. 67

    Tabel 5.22 Hubungan antara biaya transportasi

    dengan kepatuhan berobat penderita TB paru . 67

    Tabel 5.23 Hubungan antara peran PMO

    dengan kepatuhan berobat pasien TB paru. 68

    Tabel 5.24 Hubungan antara peran keluarga

    dengan kepatuhan berobat pasien .. 69

    Tabel 5.25 Hubungan antara sikap petugas

    dengan kepatuhan berobat pasien TB paru. .. 69

    tabel 5.26 Hubungan antara penyuluhan

    dengan kepatuhan berobat penderita TB paru. . 70

  • xix

    DAFTAR BAGAN

    Bagan 2.1 Teori Perilaku L.Green (1980) dalam Notoatmodjo (2007).. 38

    Bagan 3.1 Kerangka Konsep Penelitian .. 40

    DAFTAR LAMPIRAN

    Lampiran 1 surat permohonan izin uji coba kuesioner di PPTI Baladewa

    Lampiran 2 Kuesioner

    Lampiran 3 Hasil analisa univariat dan bivariat

  • xx

    DAFTAR SINGKATAN/ISTILAH

    Accessibility : ketercapaian

    Airbone : melalui udara

    AIDS : Aquiring Imuno Defisiensi Syndrom

    Behavior causes : faktor perilaku

    Belief : kepercayaan

    Bronkiektasis : pelebaran bronkus setempat

    BTA : Basil Tahan Asam

    Compliance : kepatuhan

    Depkes : Departemen Kesehatan

    DOTS : Directly Observed Treatment Short Course

    Dormant : tertidur lama

    DO : drop out

    Droplet : percikan dahak

    Hemoptisis : perdarahan dari saluran napas bawah

    HIV : Human Imunodefisiensi Virus

    Ignorance : ketidaktahuan

    Informed consent : persetujuan

    IUALTD : International Union Againts Tuberculosis and Lung Disease

    JRC : Jakarta Respiratory Centre

    KDT : Kombinasi Dosis Tetap

    MDGs : Millenium Development Goals

    MDR : Multi Drug Resisten

    Miss Conseption : salah duga

    Nonbehavior causes : faktor di luar perilaku

    OAT : obat anti TB

    PAS : Para Amino Acid

    P2MPL : Pembarantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan

    P2PL : Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

    Pneumotorak : adanya udara di dalam rongga pleura

    PMO : Pengawas Menelan Obat

  • xxi

    Poverty : kemiskinan

    PPTI : Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia

    TBC/TB : tuberculosis

    UPK : Unit Pelayanan Kesehatan

    WHO : World Health Organisation

    XDR : extensively drug resisten

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Penyakit TBC adalah penyakit kronis menular yang masih tetap

    merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia termasuk Indonesia.

    World Health Organisation ( WHO) dalam anual report on global TB

    control tahun 2003 menyatakan terdapat 22 negara dikategorikan sebagai

    high burden countries terhadap TBC.

    Di kawasan Asia Tenggara, data WHO menunjukkan bahwa TBC

    membunuh sekitar 2.000 jiwa setiap hari. Dan sekitar 40% dari kasus TBC

    di dunia berada di kawasan Asia Tenggara. TBC juga menjadi pembunuh

    nomor satu di kawasan ini, dimana jumlahnya dua sampai tiga kali jumlah

    kematian yang disebabkan oleh HIV/AIDS yang berada di peringkat

    kedua.

    Sedangkan di Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan

    masyarakat. Data WHO (2008) menunjukkan bahwa jumlah penderita

    TBC di Indonesia menempati urutan ketiga setelah India dan China.

    Jumlah pasien sekitar 500.000 orang per tahun dengan kematian sekitar

    175.000 orang per tahun, khususnya daerah pedesaan miskin dan daerah

    kumuh perkotaan yang rawan kuman (Depkes RI, 2005). Data

    Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) selama tahun

    2008, penderita TBC di Indonesia berjumlah 281.910 orang. Profil

    Kesehatan RI pada tahun 2008, menunjukan angka insiden kasus baru

  • 2

    BTA positif per 100.000 penduduk di Indonesia menunjukan

    kecenderungan mengalami penurunan selama kurun waktu 20002006.

    Pada tahun 2006, angka insiden sebesar 104 per 100.000 penduduk.

    Jumlah kasus menular TB sepanjang tahun 2007 diperkirakan sebesar

    232.358 kasus (Profil Kesehatan RI, 2008).

    Pasien TB sekitar 75% adalah kelompok usia yang paling produktif

    secara ekonomi (15 sampai 50 tahun). Hal tersebut berakibat pada

    kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30% (Depkes

    RI, 2008). Selain merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan

    dampak buruk lainya secara sosial, stigma bahkan dikucilkan oleh

    masyarakat (Depkes RI, 2007).

    Pada awal tahun 1990an WHO dan International Union Against

    Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD) telah mengembangkan strategi

    penanggulangan TB yang dikenal sebagai strategi Directly Observed

    Treatment Short Course (DOTS) dengan tujuan menemukan dan

    menyembuhkan pasien, terutama pasien tipe menular (Depkes RI, 2008).

    Di Indonesia menurut Riskesdas provinsi DKI Jakarta (2008),

    penyakit ini termasuk salah satu prioritas nasional untuk program

    pengendalian penyakit karena berdampak luas terhadap kualitas hidup dan

    ekonomi, serta menimbulkan kematian. Milleniun Development Goals

    (MDGs) dalam Profil Kesehatan 2008 juga menjadikan penyakit TB paru

    sebagai salah satu penyakit yang menjadi target untuk diturunkan.

    Penanggulangan TBC di Indonesia sudah berlangsung sejak zaman

    penjajahan Belanda namun terbatas pada kelompok tertentu. Sejak tahun

  • 3

    1969 penanggulangan dilakukan secara nasional melalui Puskesmas

    (Depkes RI, 2008). Upaya pencegahan dan pemberantasan TB Paru

    dilakukan dengan pendekatan DOTS atau pengobatan TB Paru dengan

    pengawasan langsung oleh pengawas menelan obat (PMO). Kegiatan ini

    meliputi upaya penemuan penderita dengan pemeriksaan dahak di sarana

    kesehatan yang ditindaklanjuti dengan paket pengobatan (Profil Kesehatan

    RI, 2008).

    Sejak tahun 1995, Indonesia mulai melaksanakan program

    penanggulangan TB dengan strategi DOTS yang direkomendasikan oleh

    WHO (Depkes RI, 2008). Program penanggulangan TBC dengan strategi

    DOTS secara operasional telah dilaksanakan dan pencapaian angka

    indikator-indikator program dari tahun ke tahun terus menunjukkan trend

    yang meningkat (Fahrudda, 2008). Meskipun demikian dalam

    pelaksanaannya dijumpai permasalahan utama yaitu adanya kegagalan

    pengobatan penderita dan masih rendahnya penemuan penderita TBC baru

    (Fahrudda, 2008).

    Masih belum tingginya cakupan pengobatan TBC atau masih

    rendahnya penemuan penderita adalah karena masih kurangnya jejaring

    pengobatan atau kerja sama di sektor kesehatan sendiri khususnya pemberi

    pelayanan kesehatan atau unit pelayanan kesehatan (UPK). Selain itu

    masih kurangnya sosialisasi program pada masyarakat (Fahrudda, 2008).

    Salah satu penyebab utama ketidakberhasilan pengobatan adalah

    karena ketidakpatuhan berobat penderita masih tinggi. Oleh karena itu,

    masalah kepatuhan pasien dalam menyelesaikan program pengobatan

  • 4

    merupakan prioritas paling penting (Murtiwi, 2006). Ketidakmampuan

    pasien menyelesaikan regimen self-administered, akan menyebabkan

    terjadinya kegagalan pengobatan, kemungkinan kambuh penyakitnya,

    resisten terhadap obat, dan akan terus-menerus mentransmisikan infeksi

    (Vijay, Balasangameswara, Jagannatha, Saroja, dan Kumar, 2003,

    Murtiwi, 2006). Ketidateraturan minum obat terutama sebagai akibat dari

    peran pengawas minum obat (PMO) yang kurang efektif, disamping

    penyebab lainnya misalnya timbulnya efek samping, menderita penyakit

    penyerta, kerterjangkauan terhadap pelayanan kesehatan yang sulit, tingkat

    pengetahuan penderita yang masih kurang sehingga kurang memahami

    pentingnya berobat secara teratur dan sikap petugas kesehatan dalam

    memberikan pelayanan yang diberikan oleh fasilitas kesehatan (Ansarul,

    2008). Selain itu menurut penelitian Susanti (2008) disimpulkan bahwa

    pengetahuan, sikap, dan motivasi berhubungan dengan keteraturan

    berobat.

    Faktor penunjang kelangsungan berobat adalah pengetahuan

    penderita mengenal bahaya penyakit TB paru yang gampang menular ke

    sisi rumah, terutama pada anak, motivasi keluarga baik saran dan perilaku

    keluarga kepada penderita untuk menyelesaikan pengobatannya dan

    penjelasan petugas kesehatan kalau pengobatan gagal akan diobati dari

    awal lagi. Oleh karena itu pemahaman dan pengetahuan penderita

    memegang peranan penting dalam keberhasilan pengobatan TB paru

    (Ainur, 2008, Susanti, 2008).

  • 5

    Data P2PL selama tahun 2008, penderita TB paru di DKI Jakarta

    mencapai 8482 orang dengan BTA positif, 14845 orang dengan BTA

    negatif/rontgent positif, pasien kambuh 605 orang, pasien Drop Out (DO)

    197 orang. Angka kesembuhan pasien TB pada tahun 2006 sebesar

    84,97% dan pada tahun 2007 mengalami penurunan menjadi 84,04 %

    (PPTI), 2007). Data dari PPTI 2007 pada tahun 2006 penderita TB pada

    klinik Jakarta Respiratory Centre (JRC) Kebayoran Lama berjumlah 216

    orang yang terdiri dari 202 orang penderita baru dan 14 orang penderita

    kambuh. Jumlah pasien TB dan angka DO setiap triwulan semakin

    meningkat sedangkan pasien yang sembuh mengalami penurunan

    (PPTI,2008).

    Data PPTI diatas menunjukkan angka kesembuhan masih rendah

    sedangkan angka DO masih cukup tinggi. Tingginya angka DO

    menunjukkan kepatuhan pasien yang masih rendah. Berdasarkan

    kesimpulan di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

    terhadap faktorfaktor yang berhubungan dengan kepatuhan berobat

    pasien TB paru di klinik Jakarta Respiratory Centre (JRC)/PPTI.

    Tingginya angka pasien yang DO/tidak patuh terhadap pengobatan

    merupakan pekerjaan besar bagi pemerintah, masyarakat, keluarga pasien,

    pasien dan petugas kesehatan. Petugas kesehatan merupakan tim kesehatan

    terdiri dari dokter umum, perawat komunitas dan tenaga kesehatan lain.

    Peranan petugas kesehatan adalah memberi pelayanan kesehatan

    kepada masyarakat. Petugas kesehatan sebagai pengelola dalam program

    pemberantasan TB paru meliputi dokter, paramedis, juru TB, petugas

  • 6

    mikroskopis. Hubungan antara petugas kesehatan dan penderita sangat

    berpengaruh terhadap keberhasilan pengobatan (Fleischhacker, 2003,

    Gielen, 1997, Pender, 2002, Murtiwi, 2005). Murtiwi (2005), mengatakan

    bahwa salah satu determinan perilaku kepatuhan berobat TBC paru adalah

    dukungan petugas kesehatan selama pengobatan TBC paru.

    Praktik keperawatan profesional adalah tindakan mandiri perawat

    profesional dengan menggunakan pengetahuan teoritik yang mantap dan

    kokoh mencakup ilmu dasar dan ilmu keperawatan sebagai landasan dan

    menggunakan proses keperawatan sebagai pendekatan dalam melakukan

    asuhan keperawatan (Helwiah, 2004).

    Peran perawat dalam penanggulangan penyakit menular khususnya

    penyakit tuberkulosis (TBC/TB) salah satunya dengan menerapkan asuhan

    keperawatan menggunakan model Community As Partner. Model ini

    diterapkan karena menyediakan struktur intervensi keperawatan yang

    komprehensif, memberikan wawasan profesi lain dalam memberikan

    pelayanan yang lebih menyeluruh (Mendrofa, 2008). Namun dalam

    pelaksanaannya ada beberapa masalah keperawatan komunitas yang dapat

    muncul pada populasi dengan masalah TBC yaitu: risiko tinggi terjadi

    penularan TBC pada anggota masyarakat, risiko tinggi terjadi kegagalan

    pengobatan dan risiko tinggi terjadinya gangguan nutrisi (Mendrofa,

    2008).

    Perawat komunitas berupaya dengan berbagai cara memfasilitasi

    tanpa bersifat instruksi memberdayakan individu dan keluarga. Upaya ini

    berguna untuk meningkatkan pengetahuan kemampuan individu dan

  • 7

    keluarga agar mampu mengidentifikasi masalah kesehatannya (Murtiwi,

    2005).

    Ketidakpatuhan berobat merupakan masalah perilaku. Green

    (1980) dalam Notoatmojo (2007) mengidentifikasi tiga faktor yang

    mempengaruhi perilaku kesehatan yaitu faktor predisposisi, faktor

    pemungkin, faktor penguat. Yang termasuk faktor predisposisi antara lain

    adalah pengetahuan, sikap, keyakinan, nilai persepsi. Yang termasuk

    faktor pemungkin adalah ketersedian sumber daya, keterjangkauan petugas

    dan rujukan. Sedangkan yang termasuk faktor penguat antara lain adalah

    sikap dan perilaku petugas kesehatan dan petugas lain teman, majikan, dan

    orang tua (Notoatmojo, 2007).

    B. Rumusan Masalah

    Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh mycobacterium

    tuberculosis (Depkes RI, 2008). Data WHO (2008) menunjukan bahwa

    jumlah penderita TBC di Indonesia menempati urutan ketiga setelah India

    dan China. Tiap tahun ada 9 juta penderita TBC baru dan 75% kasus

    kematian dan kesakitan di masyarakat diderita oleh orangorang pada usia

    produktif (15 sampai 50 tahun). Hal tersebut berakibat terhadap penurunan

    jumlah pendapatan tahunan rumah tangganya.

    Penyebab utama meningkatnya beban masalah TB antara lain :

    Kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat, kegagalan program TB

    selama ini, dampak pandemi HIV (Depkes RI, 2005). Salah satu penyebab

    utama ketidakberhasilan pengobatan adalah ketidakpatuhan berobat

  • 8

    penderita yang masih tinggi. Hal ini dibuktikan pada triwulan ketiga di

    Klinik JRC dari 204 orang penderita, 28 orang sembuh dan 43 orang putus

    berobat. Ketidakmampuan pasien menyelesaikan pengobatan, akan

    menyebabkan terjadinya gagal pengobatan, kemungkinan kambuhnya

    penyakit, resisten terhadap obat dan akan terus menerus mentransmisikan

    infeksi (Vijay, Balasangameswara, Jagannatha, Saroja, dan Kumar, 2003,

    Murtiwi, 2006). Ketidakteraturan minum obat terutama akibat dari peran

    pengawas minum obat (PMO) yang kurang efektif, disamping penyebab

    lainnya misalnya timbul efek samping, menderita penyakit penyerta,

    keterjangkauan terhadap pelayanan kesehatan yang sulit, tingkat

    pengetahuan penderita yang masih kurang sehingga memahami pentingnya

    berobat secara teratur dan sikap petugas kesehatan dalam memberikan

    pelayanan yang diberikan oleh fasilitas kesehatan (Ansarul, 2008).

    Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk meneliti faktor-

    faktor yang berhubungan dengan kepatuhan berobat pasien TBC paru di

    Klinik JRC Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, sebagai salah satu masukan

    informasi demi upaya penanggulangan penyakit TB di wilayah Kebayoran

    Lama, Terutama di Klinik JRC. Dalam penelitian ini peneliti

    menggunakan pendekatan cross sectional.

    C. Pertanyaan Penelitian

    Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya bahwa

    masalah TBC paru merupakan masalah nasional maka masalah penelitian

    yang ingin diteliti penulis adalah :

  • 9

    1. Apakah ada hubungan antara faktor predisposisi (tingkat pendidikan,

    pengetahuan tentang penyakit Tb paru, sikap penderita, efek samping

    obat) dengan kepatuhan berobat pasien tuberculosis paru di klinik JRC

    Kebayoran Lama Utara?

    2. Apakah ada hubungan antara faktor pemungkin (jarak Klinik JRC dari

    tempat tinggal, sarana transportasi, biaya transportasi) dengan

    kepatuhan berobat pasien Tb paru di klinik JRC kebayoran Lama

    Utara?

    3. Apakah ada hubungan antara faktor penguat (peran PMO, peran

    keluarga, sikap petugas, penyuluhan) dengan kepatuhan berobat pasien

    Tb paru di klinik JRC kebayoran Lama Utara ?

    D. Tujuan Penelitian

    Tujuan Umum

    Mengetahui faktorfaktor yang berhubungan dengan kepatuhan

    berobat pasien TBC paru di Klinik JRC/PPTI Kebayoran Lama, tahun

    2009.

    Tujuan Khusus

    Tujuan khusus penelitian ini adalah :

    a. Mengidentifikasi gambaran faktor predisposisi (tingkat

    pendidikan, pengetahuan tentang penyakit TB paru, sikap

    penderita, efek samping obat) di Klinik JRC/PPTI Kebayoran

    Lama.

  • 10

    b. Mengidentifikasi gambaran faktor enabling (pemungkin) yaitu

    jarak Klinik JRC dari tempat tinggal, sarana transportasi, biaya

    transportasi, di Klinik JRC/PPTI Kebayoran Lama.

    c. Mengidentifikasi gambaran faktor reinforcing

    (penguat/pendorong) yaitu peran PMO, peran keluarga, sikap

    petugas, penyuluhan di Klinik JRC/PPTI kebayoran Lama.

    d. Mengidentifikasi hubungan antara faktor predisposisi (tingkat

    pendidikan, pengetahuan tentang TB paru, keluhan efek samping

    obat) dengan kepatuhan berobat pasien tuberculosis paru di klinik

    JRC Kebayoran Lama.

    e. Mengidentifikasi hubungan antara faktor pemungkin (jarak dari

    tempat nnnktinggal ke JRC, sarana transportasi, biaya transportasi)

    dengan kepatuhan berobat pasien TB paru di klinik JRC

    kebayoran Lama.

    f. Mengidentifikasi hubungan antara faktor penguat (peran PMO,

    peran keluarga, sikap petugas, penyuluhan) dengan kepatuhan

    berobat pasien TB paru di klinik JRC kebayoran Lama.

    E. Manfaat Penelitian

    1. Bagi Klinik JRC PPTI

    Sebagai tambahan informasi mengenai tingkat kepatuhan berobat

    pasien TBC, sehingga dapat dilakukan evaluasi penyebab

    ketidakpatuhan.

    2. Bagi FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

  • 11

    Sebagai tambahan dan referensi untuk penelitian khususnya dalam

    pengobatan TBC.

    3. Bagi petugas kesehatan

    Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan untuk meningkatkan

    penanggulangan dan kepatuhan berobat pasien TBC.

    4. Bagi penulis penelitian sebagai pengalaman pertama dalam penelitian

    dan dapat digunakan sebagai refensi untuk penelitian selanjutnya.

    F. Ruang Lingkup

    Penelitian ini dilakukan di kliniK JRC/ PPTI Jl. Sultan Iskandar

    Muda no. 66A, Kebayoran Lama Utara, Jakarta Selatan, terhadap

    penderita TBC paru BTA positif yang telah mengikuti program

    pengobatan jangka pendek dan minum obat secara teratur selama 2 bulan.

    Penelitian ini diarahkan pada dimensi perilaku masalah dalam

    upaya kesehatan khususnya pemberantasan penyakit TB paru yang

    diketahui dapat dipengaruhi oleh hambatan faktorfaktor non medik.

    Penelitian ini dibatasi hanya tentang aspek perilaku kesehatan terutama

    perilaku kepatuhan berobat dan faktorfaktor yang mempengaruhinya.

    Penelitian ini hanya membahas tentang faktor predisposisi (tingkat

    pendidikan, pengetahuan, sikap penderita, efek samping obat), faktor

    pemungkin (jarak ke pelayanan kesehatan, sarana transportasi, biaya

    transportasi), faktor pendorong (peran PMO, peran keluarga, penyuluhan).

  • 12

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    A. Tuberkulosis Paru

    1. Definisi

    TBC atau TB adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh

    bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini merupakan bakteri

    basil yang sangat kuat sehingga memerlukan waktu lama untuk

    mengobatinya. Bakteri ini lebih sering menginfeksi organ paru-paru

    dibandingkan bagian lain tubuh manusia (Price, 2006).

    2. Etiologi

    Penyebab penyakit TBC adalah bakteri Mycobacterium

    tuberculosis dan Mycobacterium bovis. Kuman tersebut mempunyai

    ukuran 0,5 mikron x 0,30,6 mikron dengan bentuk batang tipis, lurus

    atau agak bengkok, bergranular atau tidak mempunyai selubung, tetapi

    mempunyai lapisan luar tebal yang terdiri dari lipoid (terutama asam

    mikolat) (Widoyono, 2008).

    Bakteri ini dapat bertahan terhadap pencucian warna dengan asam

    alkohol, sehingga sering disebut basil tahan asam (BTA), serta tahan

    terhadap zat kimia dan fisik. Kuman TBC juga tahan dalam keadaan

    kering dan dingin, bersifat dorman dan aerob (Widoyono, 2008).

  • 13

    3. Cara Penularan dan Pencegahan Tuberkulosis Paru

    a. Cara Penularan

    Penyakit TB biasanya menular melalui udara yang tercemar

    dengan bakteri Mycobakterium Tuberculosa yang dilepaskan pada

    saat penderita TB batuk. Bakteri ini bila sering masuk dan terkumpul

    di dalam paruparu akan berkembang biak menjadi banyak terutama

    pada orangorang dengan daya tahan tubuh yang lemah dan dapat

    menyebar melalui pembuluh darah dan kelenjar getah bening.

    Sumber penularan adalah penderita TB BTA positif khususnya TB

    paru (Depkes RI, 2005).

    Cara penularan (transmisi) TB dapat: 1) Bersifat langsung melalui

    droplet (percikan dahak) dalam jarak dekat ketika batuk/bersin, 2)

    Airborne (melalui udara) ketika droplet yang mengandung kuman di

    udara terhirup ke saluran napas. Droplet yang mengandung kuman

    tersebut dapat bertahan di udara bersuhu kamar selama beberapa jam

    (Depkes RI, 2008).

    b. Pencegahan Tuberkulosis Paru

    Menurut Misnadiarly (2006), mencegah penularan TBC

    adalah dengan menjalankan pola hidup sehat, yaitu : 1) Menutup

    mulut waktu batuk dan bersin, 2) Tidak meludah di sembarang

    tempat, 3) Ventilasi rumah yang baik agar udara dan sinar matahari

    masuk dalam ruangan. Tidur dan istirahat yang cukup, 4) Tidak

    merokok dan minum minuman beralkohol, 5) Berolah raga teratur,

    6) Meningkatkan daya tahan tubuh dengan gizi seimbang.

  • 14

    4. Patofisiologi Tuberkulosis

    Sebagian besar orang yang telah terinfeksi (8090%) belum

    menjadi sakit. Untuk sementara kuman yang ada dalam tubuh mereka

    tersebut bisa berada dalam keadaan dormant (tidur) dan keberadaan

    kuman dormant tersebut dapat diketahui hanya dengan tes tuberculin.

    Mereka yang menjadi sakit disebut penderita TB, biasanya waktu

    paling cepat sekitar 36 bulan setelah terjadi infeksi. Mereka yang

    tidak menjadi sakit tetap mempunyai risiko untuk menjadi penderita

    TB sepanjang sisa hidup mereka (Depkes RI, 1996, Sujudi 1996,

    Asnawi 2002).

    5. Riwayat Terjadinya Tuberkulosis

    a. Infeksi Primer

    Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali

    dengan kuman TBC. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya,

    sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosilier bronkus, dan

    terus berjalan sehingga sampai di alveolus dan menetap disana.

    Infeksi dimulai saat kuman TBC berhasil berkembang biak dengan

    cara pembelahan diri di paru, yang mengakibatkan peradangan di

    dalam paru. Saluran limfe akan membawa kuman TBC ke kelenjar

    limfe di sekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai kompleks primer.

    Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks

    primer adalah sekitar 46 minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan

    dengan terjadinya perubahan reaksi tuberculin dari negatif menjadi

    positif.

  • 15

    Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung dari

    banyaknya kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan

    tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh

    tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman TBC. Meskipun

    demikian, ada beberapa kuman akan menetap sebagai kuman

    persisten atau dormant. Kadangkadang daya tahan tubuh tidak

    mampu menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam

    beberapa bulan, yang bersangkutan akan menjadi penderita TBC.

    Masa inkubasi, yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai

    menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan.

    b. Tuberkulosis Pasca Primer

    TBC pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan

    atau tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh

    menurun.

    6. Komplikasi Penderita TBC

    Komplikasi berikut sering terjadi pada penderita stadium lanjut :

    a. Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran napas bawah) yang dapat

    mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau

    tersumbatnya jalan napas.

    b. Kolaps dari lobus akibat retraksi bronchial.

    c. Bronkiektasis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis

    (pembentukan jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif)

    pada paru.

  • 16

    d. Pneumotorak (adanya udara didalam rongga pleura) spontan: kolaps

    spontan karena kerusakan jaringan paru.

    e. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang persendian,

    ginjal, dan sebagainya.

    Penderita TBC paru dengan kerusakan jaringan luas yang

    telah sembuh (BTA negatif) masih bisa mengalami batuk darah.

    Keadaan ini sering kali dikelirukan kasus kambuh. Pada kasus

    seperti ini pengobatan dengan OAT tidak diperlukan, tapi cukup

    diberikan pengobatan simptomatis. Bila perdarahan berat, penderita

    harus dirujuk ke unit spesialistik (Depkes RI, 2008).

    7. Gejala Klinis TBC Paru

    Gejala utama pasien TBC paru adalah batuk berdahak selama 23

    minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu

    dahak bercampur darah, batuk darah, sesak napas, badan lemas, nafsu

    makan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik,

    demam, meriang lebih dari satu bulan (Depkes RI,2007). Berat badan

    menurun, kurang enak badan (Misnadiarly, 2006).

    8. Diagnosa TBC Paru

    a. Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam 2 hari, yaitu

    sewaktu pagisewaktu (SPS).

    b. Diagnosis TB paru pada orang dewasa ditegakkan dengan

    ditemukan kuman TB (BTA). Pada program TB nasional,

    penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopik

    merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks,

  • 17

    biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang

    diagnosis sesuai dengan indikasinya.

    c. Tidak benar jika diagnosis hanya ditegakan berdasarkan

    pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan

    gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi over

    diagnosis.

    d. Gambaran kelainan radiologi paru tidak selalu menunjukkan

    aktivitas penyakit (Depkes RI, 2008).

    9. Klasifikasi Pasien TBC

    a. TBC Paru BTA positif.

    1) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA

    positif.

    2) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada

    menunjukkan gambaran TBC.

    3) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman

    TB positif.

    4) 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen

    dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif

    dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

    b. TBC Paru BTA negatif

    Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:

    1) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif

    2) Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis.

    3) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

  • 18

    4) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi

    pengobatan.

    10. Prinsip Pengobatan Tuberkulosis

    a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat,

    dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori

    pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi).

    Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih

    menguntungkan dan sangat dianjurkan.

    b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan

    pengawasan langsung DOT oleh seorang PMO (Depkes RI, 2008).

    11. Tahap Pengobatan Tuberkulosis

    a. Tahap awal (intensif)

    1) Pada tahap awal (intensif) pasien mendapat obat setiap hari dan

    perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya

    resistensi obat.

    2) Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat,

    biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun

    waktu 2 minggu.

    3) Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif

    (konversi) dalam 2 bulan.

    b. Tahap Lanjutan

    1) Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit,

    namun dalam jangka waktu yang lebih lama.

  • 19

    2) Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister

    sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.

    12. Perjalanan Alamiah TBC yang Tidak Diobati

    Tanpa pengobatan, setelah 5 tahun, 50% dari penderita TBC

    akan meninggal, 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh

    tinggi, dan 25% sebagai kasus kronik yang tetap menular (WHO,

    1996, Depkes RI, 2005).

    13. Pengobatan Tuberkulosis Paru

    Obat TBC diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa

    jenis, dalam jumlah cukup, dan dosis tepat selama 68 bulan, supaya

    semua kuman (termasuk kuman persister) dapat dibunuh. Dosis tahap

    intensif dan dosis tahap lanjutan ditelan sebagai dosis tunggal,

    sebaiknya pada saat perut kosong (Depkes RI, 2008).

    a. Paduan OAT dan Tata Laksana Pengobatan

    Tabel 2.1

    Jenis, Sifat, dan Dosis OAT

    Jenis OAT

    Sifat

    Dosis yang direkomendasikan

    (mg/kg)

    Harian 3xseminggu

    Isoniazid (H) Bakterisid 5

    (46) 10

    (812)

    Rifampicin (R) Bakterisid 10

    (812) 10

    (812)

    Pyrazinamide (Z) Bakterisid 25

    (2030) 35

    (3040)

    Streptomycin (S) Bakterisid 15

    (1218) 15

    (1218)

    Ethambutol (E) Bakteriostatik 15

    (1520) 30

    (2035)

    Sumber : Depkes RI, 2008

  • 20

    b. Efek Samping

    Tabel 2.2

    Efek samping ringan OAT

    Efek samping Penyebab Penatalaksanaan

    Tidak ada nafsu makan,

    mual, sakit perut

    Rifampicin Semua OAT diminum

    malam sebelum tidur

    Nyeri sendi Pirazinamid Beri aspirin

    Kesemutan sampai rasa

    terbakar dikaki

    INH Beri vitamin B6 (pirydxn)

    100 mg per hari

    Warna kemerahan pada

    air seni (urin)

    Rifampicin Tidak perlu diberi

    apaapa, tapi perlu penjelasan kepada pasien

    Sumber : Depkes RI, 2008

    Tabel 2.3

    Efek samping berat OAT

    Efek samping Penyebab Penatalaksanaan

    Tuli Semua jenis OAT Ikuti petunjuk penatalaksaan

    Gangguan

    keseimbangan

    Streptomycin Streptomycin dihentikan ganti

    dengan etambutot

    Ikterus tanpa

    penyebab lain

    Hampir semua

    OAT

    Hentikan semua OAT sampai

    ikterus menghilang

    Bingung dan

    muntahmuntah Hampir semua

    OAT

    Hentikan semua OAT, segera

    lakukan tes fungsi hati

    Gangguan

    penglihatan

    Etambutol Hentikan etambutol

    Purpura dan

    renjatan (syok)

    Rifampicin Hentikan rifampicin

    Sumber : Depkes RI

    B. Keadaan dan Masalah Tuberkulosis Paru Saat Ini

    Menurut Depkes RI tahun 2007, munculnya pandemi HIV/AIDS di

    dunia menambah permasalahan TB. Koinfeksi dengan HIV akan

    meningkatkan risiko kejadian TB secara signifikan. Pada saat yang sama,

    kekebalan ganda kuman TB terhadap obat anti TB multidrug resistence

    (MDR) semakin menjadi masalah akibat kasus yang tidak berhasil

  • 21

    disembuhkan. Keadaan tersebut pada akhirnya akan menyebabkan

    terjadinya epidemi TB yang sulit ditangani.

    Selain MDR TBC yang telah terjadi selama ini, ternyata kita juga

    mulai dihadapkan pada keadaan yang disebut extensively drugresistent

    (XDR) TBC. XDR TBC disebabkan oleh strain Mycobacterium

    tuberculosis yang resisten terhadap isoniazid dan rifampicin (MDR TBC)

    ditambah dengan fluorokuinolon dan sekurangkurangnya salah satu obat:

    kapreomicin, kanamisin, dan amikasin. TBC XDR juga merupakan

    masalah akibat pengobatan pasien dengan HIV karena sebagian besar

    pasien HIV diduga menderita TBC juga (Prasenohadi, 2008).

    C. Program Pemberantasan Tuberkulosis Paru di Indonesia

    Penanggulangan TBC Indonesia sudah berlangsung sejak zaman

    penjajahan Belanda namun terbatas pada kelompok tertentu. Setelah

    perang kemerdekaan, TB ditanggulangi melalui Balai Pengobatan Penyakit

    Paru (BP4). Sejak tahun 1969 penanggulangan dilakukan secara nasional

    melalui Puskesmas. Obat anti TBC (OAT) yang digunakan adalah panduan

    standar INH, Para Amino Acid (PAS), dan Streptomycin selama satu

    sampai dua tahun. PAS kemudian diganti dengan pirazinamid. Sejak 1977

    mulai digunakan panduan OAT jangka pendek yang terdiri dari INH,

    Rifampicin, dan Ethambutol selama 6 bulan.

    Sejak tahun 1995, program nasional penanggulangan TB mulai

    melaksanakan strategi DOTS dan menerapkannya pada Puskesmas secara

    bertahap. Sampai tahun 2000, hampir seluruh Puskesmas telah komitmen

  • 22

    dan melaksanakan strategi DOTS yang diintegrasikan dalam pelayanan

    kesehatan dasar (Depkes RI, 2007).

    D. Konsep Perilaku dan Perilaku Kepatuhan Berobat Tuberkulosis Paru

    1. Konsep Perilaku

    Menurut Suryani (2003) yang dikutip dari Machfoedz (2007),

    perilaku adalah aksi dari individu terhadap reaksi dari hubungan dengan

    lingkungannya. Menurut Skinner (1938) dalam Notoatmodjo (2003)

    dikutip dari Machfoed (2007), menegaskan bahwa perilaku itu

    merupakan respons atau reaksi orang terhadap rangsangan atau stimulus

    dari luar. Menurut Fishben dan Ajzen (1975), perilaku seseorang

    ditentukan oleh niatnya untuk melakukan perilaku itu, dan niat itu

    sendiri ditentukan oleh sikap seseorang yaitu perasaan suka atau tidak

    suka seseorang terhadap suatu objek atau benda, tindakan atau

    peristiwa. Sikap seseorang juga ditentukan oleh kepercayaan terhadap

    hasil dari melakukan perilaku itu (Asnawi, 2002).

    Notoatmodjo (2007), menyimpulkan bahwa perilaku kesehatan

    adalah suatu respons organism (seseorang) terhadap stimulus atau objek

    yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan,

    makanan, dan minuman, serta lingkungan.

    Green (1980) dalam Notoatmodjo (2007), menyatakan bahwa

    kesehatan seseorang dipengaruhi oleh 2 faktor pokok, yakni faktor

    perilaku, (behavior causes) dan faktor di luar perilaku (nonbehaviour

  • 23

    causes). Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari

    3 faktor.

    a. Faktorfaktor predisposisi (predisposing factors), yang terwujud

    dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilainilai, dan

    sebagainya.

    b. Faktorfaktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam

    lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitasfasilitas

    atau saranasarana kesehatan.

    c. Faktor faktor pendorong (reinforcing factors) yang terwujud

    dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lain yang

    merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat.

    2. Konsep perilaku kepatuhan.

    Sackett (1976) dikutip dari Niven, (2000), kepatuhan adalah

    sejauh mana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan

    oleh profesional kesehatan.

    Safarino (1990) seperti dikutip dalam Smet (1994)

    mendefinisikan kepatuhan (atau ketaatan) (compliance atau

    adherence) sebagai : Tingkat pasien melaksanakan cara pengobatan

    dan perilaku yang disarankan oleh dokternya atau oleh yang lain.

    Menurut Haynes (1979) dalam Murtiwi (2005) compliance (kepatuhan)

    dapat didefinisikan secara sederhana sebagai perluasan perilaku

    individu yang berhubungan dengan minum obat, mengikuti diet dan

    mengubah gaya hidup yang sesuai dengan petunjuk medis.

  • 24

    La Greca & Stone (1985) dalam Smet (1994), menyatakan

    bahwa mentaati rekomendasi pengobatan yang dianjurkan dokter

    merupakan masalah yang sangat penting. Tingkat ketidaktaatan terbukti

    cukup tinggi dalam seluruh populasi medis yang kronis. Safarino

    (1990) mengatakan bahwa tingkat ketaatan keseluruhan adalah 60%.

    3. Kepatuhan Penderita TBC terhadap pengobatan

    Kepatuhan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi

    kesembuhan disamping faktor individu, komunitas, strategi pengobatan,

    infeksi HIV, dan keadaan khusus merokok, alkohol, tunawisma

    (Masniari, 2007).

    Perilaku kepatuhan berobat TBC paru merupakan perilaku

    promosi kesehatan individu. Perubahan perilaku seseorang dipengaruhi

    oleh pengetahuan tentang TBC paru, sikap individu terhadap TBC paru,

    persepsi manfaat dan hambatan terhadap pengobatan TBC paru,

    persepsi selfefficacy atau kemampuan individu untuk menentukan

    dirinya sendiri, termasuk berobat atas kemauan sendiri dan tetap

    melanjutkan pengobatan walau ada keluhan merasa mual atau pusing

    akibat pengobatan merupakan penguat untuk tetap patuh minum obat

    TBC paru (Fleschhacker, 2003; Gielen, 1997; Pender, 2002; Murtiwi,

    2005).

    Menurut Becker & Kyngas (2000) dalam Murtiwi (2005),

    kepatuhan dalam pengobatan TBC paru merupakan perilaku peran sakit

    (the sick role behavior), yaitu tindakan atau kegiatan yang dilakukan

    pasien agar dapat sembuh dari penyakit. Kepatuhan dalam menjalankan

  • 25

    aturan pengobatan (medical regimen) bagi pasien TBC paru sangat

    penting untuk mencapai kesembuhan yang optimal, sehingga penularan

    kepada masyarakat dapat dihindari. Sedangkan kepatuhan dalam

    pengobatan TBC menurut Ditjen P2MPL tahun 2001 adalah

    keteraturan pasien TBC dalam mengikuti tata cara tahapan proses

    pengobatan. Tata cara tahapan proses pengobatan didasarkan aturan

    (regimen) pengobatan yang ditetapkan dalam buku petunjuk

    pengobatan ke dalam kategori patuh dan tidak patuh (Murtiwi, 2005).

    Ketidakpatuhan berobat mengakibatkan penderita TB dapat

    kambuh dengan kuman yang resisten terhadap OAT, sehingga menjadi

    sumber penularan kuman resisten dan gagal pengobatan. Hal itu

    mengakibatkan pengobatan ulang TB lebih sulit, waktu pengobatan

    lebih lama dan dana yang dikeluarkan lebih besar. Kepatuhan penderita

    TB untuk berobat teratur sulit diprediksi dan dipertahankan dengan

    bertambahnya waktu (Amril, 2003).

    4. FaktorFaktor yang Berhubungan dengan Kepatuhan Berobat

    a. Tingkat pendidikan

    Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku

    seseorang atau kelompok orang dalam usaha pengajaran dan latihan

    (KBBI, 1988). Sedangkan menurut Asnawi (2002) tingkat

    pendidikan merupakan jenjang pendidikan formal terakhir yang

    pernah diikuti seseorang sampai didiagnosis TB paru (Asnawi,

    2002). Pendidikan merupakan faktor yang berhubungan erat dengan

    kepatuhan seseorang menjalani pengobatan teratur. Makin tinggi

  • 26

    tingkat pendidikannya semakin menyadari pentingnya hidup sehat.

    Oleh karena itu seseorang yang berpendidikan akan lebih patuh

    berobat secara teratur dibandingkan orang yang berpendidikan

    rendah. Orang yang berpendidikan rendah tidak akan menyadari

    dampak dari penyakit sehingga cenderung untuk mengabaikan

    kepatuhan (Daud, 2001).

    Zubair (1980) dalam Daud (2001) mengatakan bahwa

    rendahnya pendidikan dari sebagian besar pasien menyebabkan

    kurangnya pengertian pasien terhadap penyakit berbahaya,

    berkurang atau hilangnya gejala penyakit sudah merupakan ukuran

    kesembuhan bagi pasien. Oleh karena itu kesamaan persepsi,

    pengulangan dan penekanan pada pasien yang dianggap penting

    untuk diketahui pasien perlu mendapat perhatian, agar tercapai

    tujuan yang optimal.

    b. Pengetahuan

    Menurut Kurnia (2002) dalam Purwanto (2007) pengetahuan

    adalah suatu ilmu tentang suatu bidang yang disusun secara

    bersistem menurut metodemetode tertentu yang dapat digunakan

    untuk menerangkan gejalagejala tertentu dibidang pengetahuan itu.

    Menurut Notoatmodjo (2007), pengetahuan merupakan hasil

    dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan

    terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca

    indra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman,

  • 27

    rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh

    melalui mata dan telinga.

    Basar N (1989) dalam Misnadiarly (1994), menyimpulkan

    halhal yang mempengaruhi keteraturan berobat TB paru antara lain:

    pengetahuan responden mengenai penyebab, cara penularan dan

    gejala dini yang masih rendah.

    Daud (2001), menyatakan pengetahuan penderita TB paru

    erat kaitannya dengan kepatuhan berobat. Suliha (1991) dalam

    Hamdi (2001) menyatakan bahwa pengetahuan berpengaruh

    terhadap perilaku kepatuhan datang berobat, sikap jawaban setuju

    mengambil obat ke sarana pelayanan kesehatan sesuai ketentuan,

    cenderung penderita tidak pernah berobat. Sedangkan menurut

    Niven (2007), mengatakan bahwa seseorang dapat tidak mematuhi

    suatu instruksi karena kesalahpahamannya terhadap instruksi yang

    diberikan.

    Aditama (2000), mengatakan bahwa pengetahuan penderita

    tentang penyakit TB paru masih kurang memadai. Masih cukup

    banyak penderita menjawab penyakit TB paru disebabkan pikiran

    dan turunan, juga ada yang menyatakan bahwa penyakit ini menular

    melalui makanan dan minuman.

    Pengetahuan tentang TBC paru dapat menimbulkan persepsi

    ancaman sakit TBC paru, sehingga individu akan melakukan

    perilaku sehat dan mempertahankan dengan mematuhi program

  • 28

    pengobatan (Fleischhacker, 2003, Gielen 1997, Pender, 2002,

    Murtiwi, 2005).

    c. Efek Samping

    Efek samping adalah keluhan yang dirasakan penderita akibat

    efek samping obat anti TB dan atau keluhan tersebut telah ada

    sebelum menjalani pengobatan dan bertambah berat selama

    menjalani pengobatan (Asnawi, 2002). Sedangkan menurut Hinchliff

    efek samping adalah setiap perubahan fisiologi yang tidak

    dikehendaki sebagai akibat dari penggunaan obat. Istilah efek

    samping juga meliputi berbagai reaksi obat yang tidak dikehendaki.

    Safarino (1990) dalam Asnawi (2002), mengatakan

    ketidakpatuhan dalam menelan obat dapat menurunkan efek samping

    obat, ini dapat diartikan ketidakpatuhan dalam menelan obat bisa

    berawal dari adanya efek samping obat yang dirasakan. Sementara

    PPTI (1995) dalam Asnawi (2002), menyebutkan tingginya dosis

    pemakaian obat menyebabkan penderita TB paru berkurang atau

    hilang kepatuhannya, karena efek samping yang ditimbulkannya.

    Menurut WHO (2000) Hamdi (2001), efek samping akibat

    pengobatan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi

    kepatuhan selain kompleksitas regimen pengobatan, durasi

    pengobatan, kegagalan pengobatan sebelumnya, toksisitas, dan

    sebagainya. Sebagian besar penderita dapat menyelesaikan

    pengobatan tanpa efek samping. Namun sebagian kecil dapat

    mengalami efek samping. Oleh karena itu, pemantauan kemungkinan

  • 29

    efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan.

    Pemantauan ini dapat dilakukan dengan cara menjelaskan kepada

    penderita tandatanda efek samping pada waktu penderita

    mengambil OAT.

    Rasyid (1992) dalam Asnawi (2002), menyatakan bahwa

    pemakaian obat anti TB yang berbulanbulan dapat menimbulkan

    efek samping obat. Hal yang sama dikemukakan oleh Nawas (1992)

    yang mengatakan bahwa efek samping obat dapat saja terjadi pada

    setiap penderita dan penanganannya tergantung pada efek yang

    ditimbulkan, dapat berhenti berobat, dapat terus minum obat dengan

    pemberian obat simptomatik (Asnawi, 2002).

    d. Sikap

    Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap stimulus

    atau objek tertentu yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi

    yang bersangkutan (senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-

    tidak baik, dan sebagainya) (Notoatmodjo, 2005, Susanti, 2008).

    Sikap adalah pandangan seseorang tentang suatu hal atau

    obyek yang sebelumnya tidak didapat informasikan. Sikap seseorang

    menggambarkan suka atau tidak suka seseorang mengenai obyek

    yang sering diperoleh dari pengalaman sendiri atau orang lain

    (Sutisna, 1993, Purwanto, 2002). Sedangkan menurut Notoatmodjo

    (2007), sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup

    dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek.

  • 30

    Suliha (1990) dalam Marzuki (2002), menyatakan bahwa

    penderita yang sikapnya negatif terhadap pengobatan TB paru akan

    tidak patuh berobat sesuai dengan lama masa pengobatan. Terjadinya

    sikap positif dan negatif terhadap kepatuhan berobat kemungkinan

    dipengaruhi oleh faktor lain seperti umur, pendidikan, jenis kelamin,

    pekerjaan, jarak transportasi, ketersediaan obat, waktu dan dukungan

    keluarga.

    e. Jarak

    Jarak adalah angka yang menunjukkan seberapa jauh suatu

    benda dengan benda lainnya melalui suatu lintasan tertentu.

    Nadjib.M (1999) dalam Asnawi (2002), mengatakan jarak

    dari tempat tinggal ke fasilitas pelayanan kesehatan juga merupakan

    faktor penentu lain untuk aksesibilitas pelayanan kesehatan. Dalam

    penelitiannya di Jawa Tengah, akses ke pelayanan kesehatan hanya

    dijangkau penduduk yang bertempat tinggal kurang dari 3 km,

    sedangkan penduduk yang tinggal jauh tidak dapat memanfaatkan

    pelayanan yang ada.

    f. Sarana Transportasi

    Sarana menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988)

    adalah segala sesuatu dapat dipakai sebagai alat dalam mencapai

    maksud dan tujuan. Sedangkan transportasi merupakan

    pengangkutan barang oleh berbagai jenis kendaraan sesuai dengan

    kemajuan teknologi. Jadi dapat dikatakan sarana transportasi adalah

  • 31

    segala jenis kendaraan yang digunakan sebagai alat dalam mencapai

    maksud dan tujuan.

    Menurut Sarwono (1993) dalam Marzuki (2000)

    menyebutkan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi

    pencapaian kesehatan individu/masyarakat adalah faktor

    keterjangkauan sarana pelayanan kesehatan. Disini dinyatakan

    bahwa sarana transportasi bukan merupakan faktor penghambat

    dalam kepatuhan berobat TB paru.

    g. Biaya Transportasi

    Menurut Jajal (2000) dalam Asnawi (2002), salah satu faktor

    yang berhubungan dengan kepatuhan berobat TB paru adalah biaya

    transportasi. Keterjangkauan biaya adalah persepsi penderita

    terhadap mahal atau murahnya biaya yang dikeluarkan untuk

    transportasi dari rumah penderita ke pelayanan kesehatan (Oesman,

    2000).

    h. Peran PMO

    PMO adalah orang pertama yang selalu berhubungan dengan

    pasien sehubungan pengobatannya. PMO yang mengingatkan untuk

    minum obat, mengawasi sewaktu menelan obat, membawa pasien ke

    dokter untuk control berkala, dan menolong pada saat ada efek

    samping (Depkes RI, 2005, Murtiwi, 2005).

    Sesuai dengan strategi DOTS, setiap pasien yang baru

    ditemukan dan mendapatkan pengobatan harus diawasi menelan

    obatnya setiap hari agar terjamin kesembuhan, tercegah dari

  • 32

    kekebalan obat atau resistensi. Sebelum pengobatan pertama kali

    dimulai, pasien dan PMO harus diberi penyuluhan secara singkat

    tentang perlunya pengawasan menelan obat setiap hari. Penyuluhan

    tersebut meliputi gejalagejala TBC, tandatanda efek samping

    obat, dan mengetahui cara mengatasi bila ada efek samping, cara

    merujuknya, kegunaan pemeriksaan sputum ulang, serta cara

    memberi penyuluhan TBC (WHO, 1998, Murtiwi, 2005).

    Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT

    jangka pendek dengan pengawasan langsung. Untuk menjamin

    kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung

    (DOT) oleh seorang PMO yang sebaiknnya datang dari masyarakat,

    bukan kalangan kesehatan yang jumlahnya terbatas (Aditama, 2000).

    PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK,

    atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga (Depkes RI,

    2006).

    Persyaratan PMO: 1) seseorang yang dikenal, dipercaya, dan

    disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun penderita, selain itu

    harus disegani dan dihormati oleh penderita. 2) seseorang yang

    tinggal dekat dengan penderita. 3) bersedia membantu penderita

    dengan sukarela. 4) bersedia untuk dilatih dan atau mendapat

    penyuluhan bersamasama dengan penderita (Depkes RI, 2005).

    Tugas seorang PMO: 1) Mengawasi penderita TBC agar

    menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan. 2) Memberi

    dorongan kepada penderita agar mau berobat teratur. 3)

  • 33

    Mengingatkan penderita untuk periksa ulang dahak pada waktu yang

    telah ditentukan. 4) Memberi penyuluhan kepada anggota keluarga

    penderita TBC yang mempunyai gejalagejala tersangka TBC untuk

    segera memeriksakan diri ke Unit Pelayanan Kesehatan (Depkes RI,

    2005).

    Penilaian sikap PMO oleh penderita sangat dipengaruhi oleh

    status PMO itu berasal dari keluarganya atau PMO itu seorang

    petugas kesehatan Puskesmas. PMO yang berasal dari keluarganya

    sendiri lebih banyak mempunyai waktu untuk memantau/mengawasi

    penderita pada saat minum obat, sedangkan PMO petugas lebih

    sering tidak mengawasi penderita minum obat (Iriyanto, 2001).

    i. Peran Keluarga

    Niven (2000), mengatakan bahwa keluarga dapat menjadi

    faktor yang sangat berpengaruh dalam menentukan keyakinan dan

    nilai kesehatan individu serta dapat juga menentukan program

    pengobatan yang dapat mereka terima. Sedangkan Bambang T.

    (1990) dalam Misnadiarly (1994), mengemukakan bahwa keluarga

    dapat merupakan faktor pendukung atau penghambat untuk penderita

    teratur berobat sampai sembuh (Daud, 2001).

    Penilaian sikap keluarga oleh penderita merupakan faktor

    penguat untuk tetap berperilaku patuh dalam menjalankan

    pengobatan, dimana sikap keluarga merupakan motivasi untuk

    mendorong penderita dalam melakukan pengobatan sangat

  • 34

    mendukung perilaku kepatuhan berobat penderita demi kesembuhan

    penyakitnya (Iriyanto, 2001).

    E. Kerangka Teoritis

    Bagan 2.1

    Teori Perilaku L.Green (1980) dalam Asnawi (2002)

    Pada teori model Green (1980), dapat dilihat timbulnya perilaku individu

    disebabkan oleh tiga faktor. Ketiga faktor tersebut dikelompokkan dalam :

    faktor predisposisi, faktor pemungkin, faktor penguat.

    Faktor predisposisi merupakan faktor antesenden terhadap perilaku

    yang menjadi dasar atau motivasi bagi perilaku. Yang termasuk ke dalam

    Faktor pemungkin :

    Ketersediaan sumber daya kesehatan

    Prioritas & komitmen masyarakat/ pemerintah

    terhadap kesehatan

    Keterampilan yang berkaitan dengan

    kesehatan

    Faktor penguat :

    Keluarga

    Petugas kesehatan

    Petugas lain

    Kelompok refenensi dari

    perilaku masyarakat

    Masalah

    perilaku

    spesifik

    Faktor predisposisi :

    Pengetahuan

    Keyakinan

    Sikap

    Persepsi

    Demografi

  • 35

    faktor ini adalah pengetahuan, sikap, keyakinan, dan nilai. Faktor

    pemungkin adalah faktor anteseden terhadap perilaku yang memungkinkan

    suatu motivasi atau aspirasi terlaksana. Termasuk di dalamnya

    keterampilan dan sumber daya pribadi di samping sumber daya komuniti.

    yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya

    fasilitasfasilitas atau saranasarana kesehatan. Faktor penguat

    merupakan faktor penyerta (yang datang sesudah) perilaku yang

    memberikan ganjaran, insentif, atau hukuman perilaku dan berperan bagi

    menetap atau lenyapnya perilaku itu. Yang termasuk faktor ini adalah

    sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lain yang merupakan

    kelompok referensi dari perilaku masyarakat (Notoatmodjo, 2007).

  • 36

    BAB III

    KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS, DEFINISI OPERASIONAL

    A. Kerangka Konsep

    Berdasarkan uraian pada bagian pendahuluan dan tinjauan pustaka

    maka perilaku kepatuhan berobat penderita TB paru dapat dijelaskan

    melalui pendekatan teori perilaku yang dikemukakan oleh Laurence W.

    Green (1980, Notoatmodjo 2007).

    B. Variabel Dependen

    Kepatuhan berobat penderita Tuberkulosis paru di Klinik

    JRC/PPTI Kebayoran Lama Utara, Jakarta Selatan Tahun 2009.

    C. Variabel Independen

    Variabel independen pada penelitian ini terdiri dari: faktor

    predisposisi (tingkat pendidikan, pengetahuan tentang penyakit Tb paru,

    sikap penderita, efek samping obat), faktor pemungkin (jarak klinik JRC

    dari tempat tinggal, sarana transportasi, biaya transportasi), faktor

    pendukung (peran PMO, peran keluarga, penyuluhan).

  • 37

    Variabel Independen Variabel Dependen

    Bagan 3.1

    Kerangka Konsep Penelitian

    D. Hipotesis

    1. Ada hubungan antara faktor predisposisi (tingkat pendidikan,

    pengetahuan tentang TBC, sikap penderita, efek samping obat) dengan

    kepatuhan berobat penderita tuberculosis paru di klinik JRC PPTI

    Kebayoran Lama.

    2. Ada hubungan antara faktor pendukung (jarak klinik JRC dari tempat

    tinggal, ketersediaan alat transportasi, biaya transportasi) dengan

    kepatuhan berobat penderita TBC paru di Klinik JRC PPT Kebayoran

    lama.

    Faktor Predisposisi:

    Tingkat pendidikan

    Pengetahuan

    Sikap penderita

    Efek samping obat

    Faktor pendukung:

    Jarak klinik JRC dari tempat tinggal

    Sarana transportasi

    Biaya transportasi

    Kepatuhan

    berobat

    penderita Tb

    paru

    Faktor pendorong:

    Peran PMO

    Peran keluarga

    penyuluhan

  • 38

    3. Ada hubungan antara faktor pendorong (peran PMO, peran keluarga,

    penyuluhan langsung perorangan) dengan kepatuhan berobat penderita

    TBC paru di Klnik JRC/PPTI Kebayoran Lama.

  • 39

    E. Definisi Operasional

    N

    o Variabel Definisi Alat ukur Cara ukur Hasil ukur Skala

    1. Kepatuhan Perilaku penderita

    TB paru dalam hal

    keteraturan minum

    obat dan

    pemeriksaan dahak

    Kuesioner

    Pertanyaan B

    No. 1-3

    Mengisi

    kuesioner

    0. Patuh: jika

    responden tidak

    terlambat

    mengambil obat,

    tidak terlambat

    meminuml obat,

    tidak terlambat

    melakukan

    pemeriksaan

    dahak ulang dalam

    minggu terakhir

    bulan ke 2/3 pada

    fase intensif.

    1. Tidak patuh : jika

    pasien pernah

    terlambat

    mengambil obat,

    atau pernah

    terlambat

    meminum obat,

    atau tidak

    memeriksakan

    dahak ulang pada

    minggu terakhir

    bulan ke 2 (fase

    intensif)

    Skala Gutman

    Ordinal

    2. Tingkat

    pendidikan

    Jenjang sekolah

    formal tertinggi

    Kuesioner

    Pertanyaan A

    Mengisi

    kuesioner

    0. Rendah (tamat

    SMP ke bawah)

    Ordinal

  • 40

    yang pernah

    ditamatkan saat

    didiagnosis sebagai

    penderita TBC paru

    No.5 1. Tinggi

    (tamat SMA ke

    atas)

    3

    Pengetahuan Gambaran

    pemahaman

    reponden terhadap

    penyakit TBC

    meliputi

    tandatanda sakit

    dan penyebab.

    Kuesioner

    Pertanyaan C

    no. 1-8

    Mengisi

    kuesioner

    0. Rendah < 6

    1. Tinggi 6

    Ordinal

    4 Sikap

    penderita

    Tanggapan

    responden terhadap

    TB paru dan

    pengobatan TB

    paru

    Kuesioner

    Pertanyaan D

    no. 1-9

    Mengisi

    kuesioner

    0. Kurang baik (bila

    skor < 36)

    1. Baik (bila skor

    36)

    (Skala likert)

    Ordinal

    5. Jarak Persepsi klien

    mengenai ukuran

    yang ditempuh dari

    tempat tinggal ke

    klinik.

    Kuesioner

    Pertanyaan A

    No. 6

    Mengisi

    kuesioner

    0. Jauh

    1. Dekat

    Ordinal

    6. Sarana

    transportasi

    Sarana

    pengangkutan yang

    digunakan untuk

    mencapai klinik

    JRC

    Kuesioner

    Pertanyaan A

    No. 7

    Mengisi

    kuesioner

    0. Tidak

    menggunakan

    kendaraan

    bermotor

    1. Kendaraan tidak

    bermotor

    Ordinal

    7. Biaya Jumlah dana yang

    dikeluarkan untuk

    mencapai klinik

    JRC

    Kuesioner

    Pertanyaan A

    No.8

    Mengisi

    kuesioner

    0. Mahal (bila biaya

    Rp 5000)

    1. Murah (bila biaya

    < Rp 5000)

    Ordinal

  • 41

    (Hamdi, 2001)

    8. Efek

    samping

    obat

    Gejala atau

    tandatanda yang

    timbul

    selama/setelah

    minum obat TB

    Kuesioner

    Pertanyaan A

    No. 10

    Mengisi

    kuesioner

    0. Ada efek samping

    1. Tidak ada efek

    samping

    Ordinal

    9. Peran PMO Pendapat

    responden terhadap

    pelaksanaan PMO

    sesuai tugasnya

    Kuesioner

    Pertanyaan E

    No 1-4

    Mengisi

    kuesioner

    0. Kurang baik : <

    median 16

    1. Baik: jika skor

    16

    Ordinal

    10 Peran

    keluarga

    Pendapat

    responden terhadap

    peran yang

    diberikan keluarga

    dekat selama

    pengobatan.

    Kuesioner

    Pertanyaan F

    No. 1-3

    Mengisi

    kuesioner

    Kurang baik: < 12

    Baik: jika skor

    12

    Ordinal

    12 Penyuluhan Kegiatan

    menjelaskan TB

    kepada penderita.

    Kuesioner

    pertaanyaan

    A no. 9

    0. tidak pernah

    1. pernah

  • 42

    BAB IV

    METODE PENELITIAN

    A. Rancangan Penelitian

    Penelitian ini merupakan studi kuantitatif menggunakan rancangan

    Cross Sectional dimana pengukuran variabel independen dan dependen

    (kepatuhan berobat pasien TB paru) dilakukan secara bersamasama pada

    saat penelitian.

    B. Lokasi dan waktu penelitian

    Sebelum penelitian dilaksanakan dilakukan uji coba di Klinik PPTI

    Baladewa, Jl. Baladewa no.34 Tanah Tinggi, Senen, Jakarta Pusat, pada

    awal bulan Juli 2009 dengan jumlah sampel sebanyak 30 sampel.

    Penelitian yang sebenarnya dilakukan di Klinik JRC/PPTI

    Kebayoran Lama Jakarta Selatan pada bulan September-November 2009

    dengan jumlah sampel sebanyak 128 orang.

    C. Populasi dan Sampel

    1. Populasi

    Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari obyek atau

    subyek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang

    ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik

    kesimpulannya (Sugiono, 1998, Setiadi, 2007).

  • 43

    Populasi dalam penelitian ini merupakan populasi yang terbatas

    karena mempunyai karakteristik tertentu yaitu penderita Tb paru yang

    berobat di klinik JRC/PPTI Kebayoran Lama yang didiagnosa

    menderita TB paru BTA positif yang mendapat pengobatan jangka

    pendek dengan kategori 1 berumur 15 tahun dan telah selesai

    mengikuti/melaksanakan pengobatan fase intensif mulai bulan April

    sampai bulan Agustus 2009 di Klinik JRC Jl. Sultan Iskandar Muda

    no.66A, Kebayoran Lama Utara, Jakarta Selatan.

    2. Sampel

    Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki

    oleh populasi tersebut (Sugiono, 1998, Setiadi, 2007). Sampel

    penelitian ini merupakan penderita TBC paru BTA positif yang sudah

    selesai menjalani pengobatan fase intensif di klinik JRC dari bulan

    Desember 2008 sampai bulan April 2009, dengan harapan pasien sudah

    pernah menjalani pengobatan. Teknik yang digunakan peneliti dalam

    pengambilan sampel pada penelitian ini adalah accidental.

    3. Kriteria Sampel

    a. Kriteria Eksklusi

    Kriteria eksklusi adalah menghilangkan/mengeluarkan subjek yang

    memenuhi kriteria inklusi dan studi karena berbagai sebab:

    1) Pasien Tb ekstra paru

    2) Pasien Tb Paru BTA negatif.

    3) Wanita hamil dan menyusui.

    4) Pasien dengan gangguan fungsi hati.

  • 44

    5) Pasien masih menjalani fase intensif

    b. Kriteria Inklusi

    Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subjek penelitian dari

    suatu populasi target yang terjangkau dan akan diteliti (Nursalam,

    2008).

    Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah :

    Penderita TB Paru BTA positif yang berobat di Klinik JRC dan

    telah menyelesaikan pengobatan fase intensif .

    Pasien Tb paru yang telah menyelesaikan pengobatan fase

    intensif yang berusia 15 tahun.

    Bisa membaca dan menulis.

    Bersedia untuk menjadi responden

    Kooperatif.

    4. Besar Sampel

    Penghitungan besar sampel dilakukan dengan menggunakan rumus

    uji hipotesis beda dua proporsi dari Lameshow, WHO :

    Keterangan :

    n = jumlah sampel

    = 1,96 (Derajat kemaknaan 95% Confidence Interval (CI)

    dengan () sebesar 5%)

    = 0,84 (Kekuatan Uji 80%)

  • 45

    P1 = 0.87 (Proporsi distribusi kepatuhan berobat pasien TB paru

    menurut peran PMO berdasarkan penelitian Chomisah di RSUP

    Dr.Moehammad Hoesin Palembang tahun 2001)

    P2 = P122% (0,870,22=0,65) proporsi distribusi kepatuhan berobat

    pasien tb paru menurut peran PMO berdasarkan penelitian

    Chomisah di RSUP Dr.Moehammad Hoesin dengan perbedaan

    20% dari proporsi awal

    P = (P1+P2)/2 (0,87+0,65)/2 = 0,76

    Setelah dilakukan penghitungan maka didapat n (sampel) = 58

    responden. Selanjutnya hasil sampel dikalikan dua, untuk data

    menggambarkan sampel yang patuh dan sampel yang tidak patuh. Maka

    jumlah sampel adalah 58 X 2 = 116 responden. Dan dikalikan 10%

    untuk mengantisipasi adanya kemungkinan hilangnya data atau

    ketidaklengkapan pengisian kuesioner, 116 X 10%= 11,6. Maka total

    sampel dalam penelitian adalah 116 + 11,6 = 127,6 128.

    D. Cara Pengumpulan Data

    1. Data Primer

    Pengumpulan data primer dilakukan dengan menggunakan atau

    menyebarkan kuesioner yang diisi oleh responden. Adapun data primer

    yang dibutuhkan yaitu faktor-faktor yang berhubungan dengan

    kepatuhan berobat pasien TB paru yang terdiri dari : pengetahuan,

    pendidikan, sikap penderita, efek samping obat, jarak, transportasi,

    biaya kendaraan, peran PMO, peran keluarga, sikap petugas,

  • 46

    penyuluhan. Kuesioner berisi tentang data demografi responden dan

    pertanyaan tentang kepatuhan berobat.

    Setelah tersusun instrumen penelitian, peneliti melakukan uji coba

    dengan tujuan apakah pertanyaan angket/kuesioner dapat dimengerti

    oleh responden untuk menghindari bias dalam penelitian. Untuk menilai

    reliabelitas dilakukan uji coba terhadap 30 penderia TB paru, kemudian

    dilakukan revisi untuk mendapatkan instumen yang lebih baik sehingga

    dapat dianggap layak digunakan dalam penelitian. Uji coba dilakukandi

    Klinik PPTI Baladewa, Jakarta Pusat. Jawaban pertanyaan yang

    diberikan dengan menggunakan skala Likert positif dan negatif yang

    terdiri dari llima jawaban pilihan yaitu : SS; sangat setuju (nilai lima),

    S; setuju (nilai empat), R ; ragu-ragu (nilai tiga), TS; tidak setuju (nilai

    dua), STS; sangat tidak setuju (nilai satu). Serta jawaban pertanyaan

    yang diberikan denganmenggunakan skala gutsman; Ya (nilai 1) dan

    tidak (nilai 0).

    2. Data Sekunder

    Data sekunder diperoleh dari catatan medik penderita tuberculosis

    paru April Agustus 2009. Data sekunder digunakan untuk mengetahui

    sejak kapan pasien berobat. dan untuk mengindari bias pertanyaan

    kepatuhan.

    E. Pengolahan Data

    Dalam proses pengolahan data peneliti menggunakan langkah

    langkah pengolahan data diantaranya:

  • 47

    1. Editing

    Editing adalah upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data

    yang diperoleh atau dikumpulkan. Editing dapat dilakukan pada tahap

    pengumpulan data atau setelah data terkumpul.

    2. Coding

    Coding merupakan kegiatan pemberian kode numeric (angka)

    terhadap data yang terdiri dari beberapa kategori. Pemberian kode ini

    sangat penting bila pengolahan dan analisis data menggunakan

    komputer. Biasanya dalam pemberian kode dibuat juga daftar kode

    dan artinya dalam satu buku (code book) untuk memudahkan kembali

    melihat lokasi dan arti suatu kode.

    3. Entry data

    Data entri adalah kegiatan memasukkan data yang telah

    dikumpulkan ke dalam master tabel atau data base computer,

    kemudian membuat distribusi frekuensi sederhana atau bisa dengan

    membuat tabel kontingensi.

    F. Analisa Data

    1. Analisa Univariat

    Analisa univariat imaksudkan untuk mengetahui distribusi

    frekuensi dari variabelvariabel yang iteliti. Analisa univariat ini untuk

    melihat karakteristik dan kualitas setiap variael dengan tujuan melihat

    kelayakan data dan gambaran data yang dikumpulkan.

  • 48

    2. Analisa Bivariat

    Analisa bivariat bertujuan untuk melihat hubungan antara dua

    variabel yaitu variabel independen dengan vriabel dependen. Dalam hal

    ini variabel independen adalah faktor predispsisi, faktor pemungkin,

    faktor pendorong serta variabel dependennya adalah peilaku kepatuhan

    berobat. Untuk membuktikan adanya hubungan antara dua varabel

    tersebut digunakan uji statistik Chi Square dengan batas kemaknaan

    0,05.Apabila nilai P< 0,05 maka hasil perhitungan statistik bermakna

    dan apabila nlai P> 0,05 maka hasil perhitungan statistik tidak

    bermakna. Analisis ini akan enggunakan software statistik

  • 49

    BAB V

    HASIL PENELITIAN

    A. Gambaran Umum Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis

    Indonesia (PPTI)

    1. Sejarah PPTI

    PPTI didirikan pada tanggal 20 Mei 1968 di Jakarta.

    Pembentukan PPTI diprakarsai oleh Menteri Kesehatan Prof. Dr. G.

    A. Siwabessy, Menteri Sosial Bapak Tambunan dan Menteri Dalam

    Negeri Bapak Basuki Rahmat, dengan maksud menggerakan peran

    serta masyarakat dan sebagai pendamping pemerintah dalam

    memberantas penyakit TB paru yang merupakan masalah kesehatan

    masyarakat Indonesia.

    PPTI adalah organisasi lembaga swadaya masyarakat yang

    bersifat sosial kemasyarakatan, dengan status Badan Hukum yang

    dilengkapi pula dengan Anggaran Dasar (AD), Anggaran Rumah

    Tangga yang disyahkan Departemen Kehakiman. Dan menjadi

    anggota International Union Againts Tuberculosis And Lung Disease

    (IUALTD) pada tahun 1972.

    PPTI bertujuan mewujudkan masyarakat sehat sejahtera,

    sedang tugas pokoknya mencakup kegiatan-kegiatan penyuluhan dan

    penanggulangan pemberantasan TB serta penyakit paru lainnya.

    Saat ini PPTI memiliki 8 buah Klinik yang tersebar di Jawa,

    Sumatra, Kalimantan dan DKI Jakarta yang dapat memberikan

  • 50

    pelayanan pengobatan TB kepada masyarakat di sekitarnya.

    Klinik-klinik PPTI tersebut ada di Medan, Jambi, DKI Jakarta

    (Arteri Pondok Indah, Jl. Baladewa dan Muara Angke), Bandung,

    Semarang, Bantul, Palangka Raya, dan Makasar.

    WHO telah mencanangkan penerapan DOTS sebagai global

    strategi dan pemerintah telah memperkenalkan penggunaan strategi

    DOTS sebagai pendekatan yang efektif dan efisien. PPTI sebagai

    mitra pemerintah turut berperan serta mensukseskan strategi DOTS

    di seluruh klinik PPTI.

    2. Garis Besar Kegiatan PPTI

    a. Memberikan penyuluhan dan informasi kepada masyarakat

    tentang kesehatan pada umumnya, khususnya tentang penyakit

    TB, pencegahan dan pengobatannya.

    b. Melatih kelompok masyarakat tertentu untuk dapat menjadi

    kader penyuluh TB, serta kegiatan/ orang lain untuk bersedia

    menjadi PMO. Melaksanakan berbagai kegiatan dalam rangka

    meningkatkan kesejahteraan keluarga penerita TB yang kurang

    mampu memberdayakan keluarga penderita TB.

    c. Menyelenggarakan dan mengembangkan klinik-klinik PPTI

    yang mampu mengobati penderita TB dengan strategi DOTS dan

    kelak diharapkan menjadi Pusat Rujukann TB untuk sekitarnya.

    d. Mencari dana dan usaha lain yang halal dan tidak mengikat

    kepada masyarakat dalam maupun luar negeri untuk

    melaksanakan misi PPTI

  • 51

    3. Rencana Kerja PPTI 2009

    a. Memperkuat dan mengembangkan organisai serta meningkatkan

    fungsinya dan tugas pokoknya.

    b. Mendukung program jaringan DOTS di Rumah Sakit melalui

    Komite DOTS.

    c. Meningkatkan kerja sama dengan LSM peduli TB lainnya.

    d. Menyiapkan klinik-klinik PPTI dalam mengantisipasi

    berkembangnya TB-HIV, MDR dan XDR.

    e. Membantu pemerintah meningkatkan angka penemuan

    penderita TB dan menurulnkan angka putus obat.

    B. Klinik Pusat Penyakit Pernapasan (JRC)

    PPTI adalah lembaga swadaya masyarakat yang bersifat sosial

    kemasyarakatan, sebagai mitra pemerintah khususnya dalam

    penanggulangan penyakit TB dan penyakit pernapasan telah didirikan

    gedung Jakarta Respiratory Center yang berlokasi di Jl. Sultan Iskandar

    Muda No. 66 A Kebayoran Lama Utara, Jakarta Selatan.

    JRC merupakan sarana kesehatan rawat jalan yang memberikan

    pelayanan kesehatan dalam bidang pernapasan