sintesis pewarna alami kulit telur puyuh (coturnix

29
SINTESIS PEWARNA ALAMI KULIT TELUR PUYUH (Coturnix coturnix Linnaeus) SECARA KOMPLEKSASI DENGAN ION Cu 2+ SYNTHESIS OF NATURAL DYES FROM QUAIL EGGSHELL (Coturnix coturnix Linnaeus) USING Cu 2+ COMPLEXATION Oleh : Dio Prantisa 652013005 TUGAS AKHIR Diajukan kepada Program Studi Kimia, Fakultas Sains dan Matematika guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains PROGRAM STUDI KIMIA FAKULTAS SAINS DAN MATEMATIKA UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2017

Upload: others

Post on 30-Oct-2021

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: SINTESIS PEWARNA ALAMI KULIT TELUR PUYUH (Coturnix

SINTESIS PEWARNA ALAMI KULIT TELUR PUYUH (Coturnix coturnix

Linnaeus) SECARA KOMPLEKSASI DENGAN ION Cu2+

SYNTHESIS OF NATURAL DYES FROM QUAIL EGGSHELL (Coturnix coturnix

Linnaeus) USING Cu2+

COMPLEXATION

Oleh :

Dio Prantisa

652013005

TUGAS AKHIR

Diajukan kepada Program Studi Kimia, Fakultas Sains dan Matematika

guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains

PROGRAM STUDI KIMIA

FAKULTAS SAINS DAN MATEMATIKA

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

2017

Page 2: SINTESIS PEWARNA ALAMI KULIT TELUR PUYUH (Coturnix

ii

SINTESIS PEWARNA ALAMI KULIT TELUR PUYUH (Coturnix coturnix

Linnaeus) SECARA KOMPLEKSASI DENGAN ION Cu2+

SYNTHESIS OF NATURAL DYES FROM QUAIL EGGSHELL (Coturnix coturnix

Linnaeus) USING Cu2+

COMPLEXATION

Oleh :

Dio Prantisa

652013005

TUGAS AKHIR

Diajukan kepada Program Studi Kimia, Fakultas Sains dan Matematika

guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains

Pembimbing Utama

Dr. Yohanes Martono, M.Sc.

Pembimbing Pendamping

Cucun Alep Riyanto, S.Pd., M.Sc.

Diketahui oleh, Disahkan oleh,

Ketua Program Studi

Ir. Sri Hartini, M.Sc.

Dekan

Dr. Suryasatriya Trihandaru, M.Sc. nat

PROGRAM STUDI KIMIA

FAKULTAS SAINS DAN MATEMATIKA

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

2017

ii

Page 3: SINTESIS PEWARNA ALAMI KULIT TELUR PUYUH (Coturnix

iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TULIS TUGAS AKHIR

Yang bertanda tangan di bawah ini,

Nama : Dio Prantisa

NIM : 652013005

Program Studi : Kimia

Fakultas : Sains dan Matematika Universitas Kristen Satya Wacana

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tugas akhir, judul :

Sintesis Pewarna Alami Kulit Telur Puyuh (Coturnix coturnix Linnaeus) secara

Kompleksasi dengan Ion Cu2+

Yang dibimbing oleh :

1. Dr. Yohanes Martono, M.Sc.

2. Cucun Alep Riyanto, S.Pd., M.Sc.

Adalah benar – benar hasil karya saya.

Di dalam laporan tugas akhir ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan atau

gagasan orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam bentuk

rangkaian kalimat atau gambar serta symbol yang saya aku seolah – olah sebagai karya

saya sendiri tanpa memberikan pengakuan pada penulis atau sumber aslinya.

Salatiga, 31 Mei 2017

Yang memberikan pernyataan,

Dio Prantisa

iii

Page 4: SINTESIS PEWARNA ALAMI KULIT TELUR PUYUH (Coturnix

iv

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai civitas akademika Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), saya yang

bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Dio Prantisa

NIM : 652013005

Program Studi : Kimia

Fakultas : Sains dan Matematika

Jenis Karya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada UKSW

Hak bebas royalty non-ekslusif (non-exclusive royalty free right) atas karya ilmiah saya

berjudul:

Sintesis Pewarna Alami Kulit Telur Puyuh (Coturnix coturnix Linnaeus) secara

Kompleksasi dengan Ion Cu2+

Beserta perangkat yang ada (jika perlu).

Dengan hak bebas royalty non-ekslusif ini, UKSW berhak menyimpan, mengalih

media/mengalih formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data, merawat, dan

mempublikasikan tugas akhir saya, selama tetap mencantumkan nama saya sebagai

penulis/pencipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di: Salatiga

Pada tanggal: 31 Mei 2017

Yang menyatakan

Dio Prantisa

Mengetahui,

Pembimbing I

Dr. Yohanes Martono, M.Sc.

Pembimbing II

Cucun Alep Riyanto, S.Pd., M.Sc.

iv

Page 5: SINTESIS PEWARNA ALAMI KULIT TELUR PUYUH (Coturnix

1

SINTESIS PEWARNA ALAMI KULIT TELUR PUYUH (Coturnix coturnix

Linnaeus) SECARA KOMPLEKSASI DENGAN ION Cu2+

SYNTHESIS OF NATURAL DYES FROM QUAIL EGGSHELL (Coturnix coturnix

Linnaeus) USING Cu2+

COMPLEXATION

Dio Prantisa*, Yohanes Martono**, dan Cucun Alep Riyanto**

*Mahasiswa Program Studi Kimia Fakultas Sains dan Matematika

**Dosen Program Studi Kimia Fakultas Sains dan Matematika

Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga

Jln. Diponegoro no. 52-60 Salatiga 50711, Jawa Tengah-Indonesia

[email protected]

ABSTRACT

Porphyrin is a natural color pigment contained in the quail's egg shell. The aim

of this research is to standardize the porphyrin extracts from three different of the samples

obtained (Ambarawa, Salatiga, and Boyolali) and optimization of complexation reactions

between extract quail egg shell with ions Cu2+

based on the effect of temperature, pH and

concentration of metal ions Cu2+

. Standardize the porphyrin extract by UV-Vis

spectrophotometer and optimation complex formation was analyzed using analysis of

Response Surface Method (RSM).

The results of the porphyrin extract standardization samples showed that the

highest peak absorbance at 409nm. Porphyrin levels sample of Ambarawa, Salatiga and

Boyolali calculated by the equation Lambert-Berr showed on 1,5189x10-4% ( ⁄ );

1,2963x10-4% ( ⁄ ); and 1,4935x10-4% ( ⁄ ), respectively. Honestly significance

diffirence test with a level of significant differences 5% showed that three different of the

sample obtained had not different significantly. Condition complexation based on Respon

Surface Method was obtain at pH 6; the ratio of 1:1, and temperature 30 ° C. That

condition defined by maximum absorbance at 845nm.

Keywords : porphyrin, quail's eggs shell, standardization, complexation, UV-Vis

spectrophotometer

Page 6: SINTESIS PEWARNA ALAMI KULIT TELUR PUYUH (Coturnix

2

1. PENDAHULUAN

Zat pewarna merupakan suatu zat aditif yang ditambahkan pada suatu produk.

Penambahan zat pewarna tersebut bertujuan untuk membuat suatu produk menjadi

tampak lebih menarik (Fardhyanti dan Riski, 2015). Zat pewarna yang biasanya

digunakan dalam proses membatik adalah zat warna sintetis dan alami (Kombado,

2014). Berdasarkan sumber diperolehnya, zat pewarna tekstil dibedakan menjadi dua,

yaitu: Zat Pewarna Alami (ZPA) dan Zat Pewarna Sintesis (ZPS) (Paryanto dkk., 2012).

Pada kenyataannya zat warna sintetis dapat menimbulkan masalah bagi lingkungan dan

berbahaya bagi mahkluk hidup. Zat pewarna sintetis bersifat karsinogenik, sehingga

dapat mengakibatkan alergi kulit dan kanker kulit (Fardhyanti dan Riski, 2015). Oleh

karena itu penggunanan zat pewarna alami mulai dikembangkan kembali. Salah satu

sumber zat pewarna alami adalah kulit telur puyuh.

Pada saat ini kulit telur puyuh masih belum banyak dimanfaatkan. Sebagian

besar rumah makan, penjual sate telur, maupun rumah tangga hanya membuang kulit

dari telur puyuh tersebut. Padahal kulit telur puyuh dapat dimanfaatkan sebagai pewarna

alami kain batik karena memiliki pigmen warna yang khas (Solomon, 2002). Pigmen

yang terdapat pada kulit telur puyuh adalah kecoklatan berbintik-bintik hitam yang tak

beraturan berasal dari porfirin dan biliverdin (Kennedy and Vevers, 1973). Pigmen

penyusun tersebutlah yang dapat menjadi sumber pewarna kain.

Porfirin terdiri atas empat atom nitrogen pirol yang jari-jari ioniknya sangat

selektif untuk dapat berikatan dengan ion-ion logam dengan radius sekitar 70 pm.

Mordan ion Cu2+

digunakan karena jari-jari ionik Cu2+

adalah 72 pm sehingga akan

mudah untuk membentuk kompleks dengan porfirin (Kilian et al., 2016). Pada

penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Kombado (2014), kompleks porfirin

dan biliverdin dengan berbagai mordan akan memberikan efek warna pada kain katun.

Penggunaan ion logam Cu2+

belum dilakukan padahal porfirin memiliki kemampuan

untuk mekhelat ion logam Cu2+

yang baik dan akan mencerahkan warna.

Metode pewarnaan kain yang dilakukan oleh Kombado (2014) adalah dengan

pencelupan sebanyak sepuluh kali pencelupan dengan menggunakan ekstrak kasar. Hal

itu dinilai kurang efisien, oleh karena itu pada penelitian ini akan dilakukan perbaikan

metoda ekstraksi untuk meningkatkan kemurnian porfirin. Selain itu, penelitian ini juga

akan melakukan optimasi pembentukan kompleks porfirin dengan ion logam Cu2+

untuk

memberikan kajian pembentukan warna senyawa kompleks. Optimasi pembentukan

Page 7: SINTESIS PEWARNA ALAMI KULIT TELUR PUYUH (Coturnix

3

kompleks dilakukan guna untuk memastikan bahwa ion logam Cu terikat pada tengah-

tengah gugus porfirin atau berikatan dengan keempat cincin pirol, sehingga warna yang

terbentuk akan lebih stabil.

Berdasarkan latar belakang tersebut penelitian ini bertujuan untuk memperoleh

ekstrak kulit telur puyuh yang terstandardisasi berdasarkan kandungan profirin,

melakukan optimasi reaksi kompleksasi antara ekstrak kulit telur puyuh dengan ion

logam Cu2+

berdasarkan pengaruh suhu, pH, dan konsentrasi ion logam Cu2+

.

2. BAHAN DAN METODA

2.1 Bahan dan Piranti

Sampel limbah kulit telur puyuh diperoleh dari pedagang di Pasar Projo

Ambarawa. Bahan yang digunakan diantaranya HCl, CuSO4•5H2O, chloroform,

dan dimetileter. Semua bahan yang digunakan berderajat PA (pro-analysis)

diperoleh dari E-Merck, German.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya Spektrofotometer

(Optizen, 2120), neraca dengan ketelitian 0,01g (Ohaus, TAJ602), neraca analitis

dengan ketelitian 0,1 mg (Ohaus, PA214), dan moisture analyzer (Ohaus, MB 25),

pH meter (Hanna, HI 9812), rotary evaporator (Buchi, R-114), dan Ultrasonic

(Krisbow, DSA50-GL2-2.5L).

2.2 Metode Penelitian

2.2.1 Preparasi Sampel (Kombado, 2014)

Kulit telur puyuh dikeringkan dalam drying cabinet selama 24 jam.

Kulit telur puyuh yang telah kering di haluskan dan diayak denngan ukuran

partikel sebesar 20 mesh.

2.2.2 Ekstraksi (Mikšík et al., 1996; Wang et al., 2007 yang dimodifikasi)

Metode ekstraksi yang digunakan adalah dengan menggunakan

metode maserasi. Sejumlah 50,00 gram serbuk telur puyuh dimaserasi

dalam metanol 96% yang mengandung HCl 5% dengan perbandingan

antara metanol dan HCl 2:1 ( ⁄ ). Sample dilakukan maserasi secara

bertingkat ( 3 × 500 mL) dengan waktu masing-masing perendaman selama

satu jam. Perbandingan yang digunakan antara sampel dan pelarut tiap

waktu maserasi adalah 1:10 ( ⁄ ).

2.2.3 Standardisasi

Page 8: SINTESIS PEWARNA ALAMI KULIT TELUR PUYUH (Coturnix

4

Standardisasi ekstrak kulit telur puyuh berdasarkan kandungan

porfirin dilakukan dengan pemindaian ekstrak kulit telur puyuh pada kisaran

panjang gelombang 360-700 nm. Spektra yang diperoleh dicocokan

spektrum Sinar Tampak Senyawa Porfirin Standar yang telah dilakukan oleh

Lui et al. (2001).

Kandungan porfirin dalam ekstrak kulit telur puyuh diukur

berdasarkan persamaan Lambert-Berr berikut:

A= ε b.C ...........................(1)

Keterangan :

A : Absorbansi ekstrak pada panjang gelombang 407 nm.

ε : absortivitas molar porfirin dalam pelarut 1,5M HCl (297.000 L mol-1.

cm-

1)

b : panjang jalan masuk sinar atau lebar kuvet yaitu 1cm.

C : konsentrasi porfirin dalam ekstrak kulit telur puyuh.

2.2.4 Kompleksasi (Nurdin et al., 2009)

Kompleks Cu-porfirin dibuat dengan cara mereaksikan ion logam

Cu2+

dan ekstrak kulit kulit telur puyuh dengan perbandingan 1:1; 1:2; dan

1:3 (mol/mol). Ekstrak kulit telur puyuh diatur pH-nya (2, 4, dan 6) dengan

menambahkan larutan buffer. Reaksi dilakukan di dalam labu tertutup

selama 30 menit menggunakan ultrasonicator pada pada variasi suhu suhu

30oC, 40

oC, dan 50

oC. Sebagai kontrol adalah larutan Cu

2+ dan ekstrak kulit

telur puyuh.

Analisa pembentukan kompleks ekstrak kulit telur puyuh dengan ion

logam Cu2+

berdasarkan pemindaian pada kisaran panjang gelombang 360-

1060nm. Spektra yang diperoleh dicocokan dengan spektra standart porfirin

yang telah dilakukan oleh Lui et al. (2001) dan Fagadar-Cosma et al.

(2014).

2.2.5 Analisa Data

Hasil standardisasi yang diperoleh dianalisa dengan menggunakan

Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan tiga faktor dan sembilan ulangan.

Sebagai faktor adalah tempat diperoleh sampel (Ambarawa, Salatiga, dan

Page 9: SINTESIS PEWARNA ALAMI KULIT TELUR PUYUH (Coturnix

5

Boyolali). Pengujian rataan antar perlakuan dilakukan dengan uji Beda

Nyata Jujur (BNJ) dengan tingkat kebermaknaan 5%.

Analisa data kompleks antara porfirin dengan ion Cu2+

dilakukan

dengan metode RSM berdasarkan metode Heleno (2016). Optimasi reaksi

kompleksasi dilakukan dengan metode Response surface methodology

(RSM). Desain optimasi menggunakan model 33 central composite design

dengan tiga variabel dan tiga level faktor. Sebagai variabel yaitu pH (x1),

rasio larutan ion logam Cu2+

dengan ekstrak kulit telur puyuh (x2), dan suhu

reaksi (x3). Faktor X1 meliputi pH 2, 4, dan 6. Faktor X2 meliputi rasio 1:1 ;

1:2 ; dan 1: 3 (v/v). Faktor X3 meliputi suhu 30oC, 40

oC, dan 50

oC. Setiap

variabel dan faktor diberi kode -1,68; -1; 0; 1; dan +1,68. Tabel peubah

bebas dan kode aras faktor optimasi yang digunakan tersebut disajikan pada

Tabel 2.

Tabel 2. Tabel peubah bebas dan kode aras faktor optimasi.

Kode Level Nilai Level

pH Rasio Suhu

-1,68 0,64 1:0,32 23,2

-1 2 1:1 30

0 4 1:2 40

+1 6 1:3 50

+1,68 7,36 1:3,68 56,8

Analisa pemodelan polinomial orde dua pada penelitian ini

berdasarkan persamaan matematis berikut ini, yaitu:

∑ ∑ ∑ ∑

Berdasarkan persamaan tersebut dilakukan analisa data sesuai

dengan peubah bebas dan kode aras faktor optimasi yang dilakukan pada

penelitian. Faktor optimasi dan respon hasil serapan tersebut dapat dilihat

pada Tabel 3. Analisa data yang diperoleh dilakukan dengan menggunakan

software Design Expert 7.

Tabel 3. Tabel faktor optimasi dan respon hasil serapan.

pH (x1) Rasio (x2) Suhu (x3) Kode level y

Page 10: SINTESIS PEWARNA ALAMI KULIT TELUR PUYUH (Coturnix

6

x1 x2 x3

2 1:1 30 -1 -1 -1

2 1:1 50 -1 -1 +1

2 1:3 30 -1 -1 -1

2 1:3 50 -1 +1 +1

6 1:1 30 +1 -1 -1

6 1:1 50 +1 -1 +1

6 1:3 30 +1 +1 -1

6 1:3 50 +1 +1 +1

2 1:2 40 -1 0 0

7,36 1:2 40 +1,68 0 0

4 1: 0,32 40 0 -1,68 0

4 1: 3,68 40 0 +1,68 0

4 1:2 23,2 0 0 -1,68

4 1:2 56,8 0 0 +1,68

4 1:2 40 0 0 0

4 1:2 40 0 0 0

4 1:2 40 0 0 0

4 1:2 40 0 0 0

4 1:2 40 0 0 0

4 1:2 40 0 0 0

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Standardisasi Ekstrak Porfirin dalam Metanol-HCl

Standardisasi porfirin dilakukan pada ekstrak metanol-HCl kulit telur puyuh

dari Ambarawa, Salatiga, dan Boyolali. Hasil pemindaian dengan spektrofotometer

UV-Vis sampel Ambarawa dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Spektra serapan ekstrak porfirin kulit telur puyuh dari kota Ambarawa

Hasil pemindaian ekstrak porfirin dalam kulit telur puyuh dari Ambarawa

menunjukkan bahwa spektra yang diperoleh sesuai dengan spektra porfirin standar

yang telah dilakukan oleh Lui et al. (2001). Serapan tertinggi dari puncak Q ekstrak

porfirin dari Ambarawa terletak pada panjang gelombang 409 nm. Hal yang serupa

juga ditunjukkan oleh hasil pemindaian ekstrak porfirin dalam kulit telur puyuh dari

Salatiga dan Boyolali. Spektra hasil pemindaian ekstrak porfirin dalam kulit telur

Page 11: SINTESIS PEWARNA ALAMI KULIT TELUR PUYUH (Coturnix

7

puyuh dari Salatiga dan Boyolali dapat dilihat pada Gambar 7 dan Gambar 8.

Hasil pemindaian kedua sampel dari kota Salatiga dan kota Boyolali juga memiliki

puncak serapan soret Q pada panjang gelombang 409 nm.

Gambar 7. Spektra serapan ekstrak porfirin kulit telur puyuh dari kota Salatiga

Gambar 8. Spektra serapan ekstrak porfirin kulit telur puyuh dari kota Boyolali

Ketiga hasil yang diperoleh menunjukkan serapan tertinggi (soret Q) pada

panjang gelombang 409 nm, yang merupakan area serapan protoporfirin IX (Dean

et al., 2011). Protoporphyrin IX memiliki serapan tertinggi pada panjang

gelombang 407 nm. Pergeseran puncak serapan ini dikarenakan beberapa ligan OH-

tergantikan oleh Cl-, sehingga serapan tertinggi pada 407 nm bergeser ke panjang

gelombang 409 nm (Malinowska et al., 2001).

Selain serapan pada puncak Q dari spektra standardisasi porfirin di atas,

juga terdapat serapan pada puncak B yaitu pada panjang gelombang 556nm dan

600nm. Serapan pada puncak B tersebut menentukan warna yang diperoleh

(Fagadar-Cosma et al., 2014). Warna Ekstrak porfirin yang diperoleh dari ketiga

daerah tersebut adalah hijau seperti pada Gambar 9. Menurut Day dan Underwood

(2002) warna komplementer yang terserap dari warna hijau adalah jingga pada

panjang gelombang 500-560 nm. Hal itu sesuai dengan serapan dari puncak B

yaitu pada panjang gelombang 556nm. Sedangkan serapan pada panjang

gelombang 600nm memberikan warna jingga dengan warna komplementer hijau-

biru.

Page 12: SINTESIS PEWARNA ALAMI KULIT TELUR PUYUH (Coturnix

8

Gambar 9. Ekstrak Porfirin Ambarawa, Salatiga, dan Boyolali

Berdasarkan puncak serapan dan spektra yang terbentuk tersebut maka nilai

absorptivitas molar dari standar porfirin yang telah dilakukan Lui et al. (2001)

dapat digunakan untuk menentukan jumlah porfirin yang terkandung dalam kulit

telur puyuh. Jumlah porfirin yang terkandung dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Jumlah porfirin terkandung dalam kulit telur puyuh

Genotip Ambarawa Salatiga Boyolali

Jumlah

porfirin

terkandung

(%) ( ⁄ )

1,5189x10-4

±

1,9336x10-6

1,2963x10-4

±

7,7450x10-6

1,4935x10-4

±

3,7652x10-6

Porfirin yang terkandung dalam kulit telur tersebut dianalisa dengan

Rancangan Acak Langsung (RAL). Analisa data terhadap porfirin yang terkandung

dalam kulit telur puyuh tersebut disajikan dalam Lampiran 1.

Analisa jumlah porfirin yang terkandung dalam kulit telur puyuh dilanjutkan

dengan uji Beda Nyata Jujur dengan tingkat kebermaknaan 5% yang disajikan

dalam Tabel 5.

Tabel 5. Uji Beda Nyata Jujur rata-rata kandungan porfirin (g) dalam ekstrak

metanol-HCl kulit telur puyuh dengan tingkat kebermaknaan 5%

Salatiga Ambarawa Boyolali

w = 6,0645x10-4

1,9367x10-4

±

1,9336x10-6

(a)

2,1350 x10-4

±

7,7450x10-6

(a)

2,2423 x10-4

±

3,7652x10-6

(a)

Berdasarkan analisa BNJ 5% pada Tabel 5 dapat diamati bahwa kandungan

porfirin dalam ekstrak metanol-HCl kulit telur puyuh dari Ambarawa, Salatiga, dan

Ambarawa Salatiga Boyolali

Page 13: SINTESIS PEWARNA ALAMI KULIT TELUR PUYUH (Coturnix

9

Boyolali tidak berbeda secara signifikan. Hal itu menunjukkan bahwa kulit telur

puyuh dari Ambarawa, Salatiga, dan Boyolali memiliki kandungan yang sama.

3.2 Kompleksasi Ekstrak Porfirin dengan Ion Cu2+

Sifat optik dari ion Cu yang digunakan memiliki satu serapan utama yaitu

pada panjang gelombang 809 nm. Sedangkan sifat optik dari rekasi kompleks

antara porfirin dengan ion Cu2+

menggeser serapan maksimal ion Cu2+

pada 809 nm

menuju 845 nm. Pergeseran tersebut terjadi untuk semua kombinasi faktor yang

digunakan, yaitu faktor pH, rasio antara konsentrasi ion Cu2+

, dan suhu. Pergeseran

serapan ion Cu2+

yang terjadi menunjukkan porfirin dalam kulit telur puyuh dapat

membentuk kompleks dengan ion Cu2+

. Pembentukkan kompleks antara porfirin

dengan ion Cu2+

dapat terjadi karena porfirin yang diperoleh yang terdiri dari empat

atom nitrogen pirol sangat selektif untuk mengikat logam dengan diameter radius

70 nm, seperti halnya jari jari ion Cu2+

yaitu 72 nm (Kilian et al., 2016).

Pergeseran serapan maksimum ion Cu2+

pada 809 nm menuju pajang

gelombang 845 nm menunjukan bahwa energi gap HOMO (Highest Occupied

Molecular Orbital) dan LUMO (Lowest Unoccupied Molecular Orbital) pada

reaksi kompleks antara porfirin dengan ion Cu2+

lebih kecil dari ion Cu2+

saja. Hal

itu disebabkan karena pergeseran serapan maksimum menuju panjang gelombang

yang lebih tinggi. Pergeseran tersebut mempengaruhi energi eksitasi dari senyawa

kompleks Cu-porfirin yang terbentuk menjadi lebih rendah dibandingkan ion Cu2+

.

Rendahnya energi eksitasi yang terbentuk tersebut akan mengurangi kelebihan

energi pada daerah triplet. Energi yang lebih rendah tersebut menyebabkan

senyawa kompleks Cu-porfirin lebih stabil dibandingkan dengan ion Cu2+

. Hal itu

disebabkan karena jika energi pada daerah triplet tinggi, maka terjadinya transfer

energi dengan molekul oksigen lebih tinggi dan akan mudah teroksidasi atau rusak

(Fiedor et al., 2003; Scheer, 2003).

Hasil optimasi reaksi kompleksasi dengan metode Response surface

methodology (RSM) menggunakan model 33

central composite design dengan tiga

peubah dan tiga aras faktor. Setiap peubah dan faktor diberi kode -1,68; -1; 0; 1;

dan +1,68. Tabel peubah bebas dan kode aras faktor optimasi yang digunakan

tersebut disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Tabel peubah bebas dan kode aras faktor optimasi.

Nilai Aras Nilai Aras

Page 14: SINTESIS PEWARNA ALAMI KULIT TELUR PUYUH (Coturnix

10

pH Rasio Suhu

-1,68 0,64 1:0,32 23,2

-1 2 1:1 30

0 4 1:2 40

+1 6 1:3 50

+1,68 7,36 1:3,68 56,8

Berdasarkan nilai aras faktor optimasi tersebut, maka dapat ditentukan

faktor optimasi pembentukan kompleks. pH, rasio, dan suhu merupakan faktor

optimasi pada pembentukan kompleks antara ekstrak porfirin dengan ion logam

Cu2+

. Hasil pembentukan kompleks berdasarkan faktor optimasi tersebut dapat

dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Tabel faktor optimasi dan respon hasil serapan.

Faktor pH Faktor Rasio Faktor

Suhu A845

2 1:1 30 1,039

6 1:1 30 2,921

2 1:3 30 2,469

6 1:3 30 1,091

2 1:1 50 0,787

6 1:1 50 1,951

2 1:3 50 1,932

6 1:3 50 0,984

4 1:2 40 1,347

4 1:2 40 1,446

4 1:2 40 1,384

4 1:2 40 1,348

2 1:2 40 1,447

7,36 1:2 40 1,558

4 1:0,32 40 0,306

4 1:3,68 40 2,108

4 1:2 23,18 1,469

4 1:2 56,82 1,457

4 1:2 40 1,33

4 1:2 40 1,388

Analisa penelitian dengan menggunakan RSM sangat bergantung pada

model, Model yang digunakan adalah model quardatic yang dimodifikasi dengan

seleksi nilai R2 dengan nilai kepercayaan 95%, Analisa pemodelan polinomial orde

dua pada penelitian ini berdasarkan persamaan (1). Persamaan matematis tersebut

Page 15: SINTESIS PEWARNA ALAMI KULIT TELUR PUYUH (Coturnix

11

digunakan berdasarkan uji pemodelan yang digunakan. Data pada penelitian ini

menunjukkan bahwa persamaan yang terbentuk mengikuti persamaan polinomial

yang ditunjukkan pada persamaan (1). Uji pemodelan yang digunakan disajikan

dalam Lampiran 2 dan Tabel 8.

Tabel 8. Tabel Pengujian Pemodelan Penelitian berdasarkan Nilai R2

Sumber Ragam Standart Deviasi R2

Linear 0.60 0.1461

2FI 0.37 0.7306

Quadratic 0.41 0.7640

Cubic 0.045 0.9987

Lampiran 2 menunjukkan bahwa persamaan (1) tepat untuk digunakan. Hal

itu dapat dilihat dari jangkauan kuartil (JK) bahwa Linear, 2FI, dan Quadratic

dapat digunakan untuk menentukan persamaan yang tepat. Persamaan (1)

digunakan karena dapat menunjukkan hubungan antara faktor-faktor yang

digunakan dalam penelitian ini, yaitu pH, rasio, dan suhu. Sedangkan pemodelan

Cubic tidak tepat digunakan karena memiliki nilai sum of square sebesar 0,000.

Selain dilihat berdasarkan nilai sum of square, uji pemodelan juga dilihat

berdasarkan nilai R2. Pemodelan 2FI dan quadratic menunjukkan bahwa nilai R

2

yang digunakan cukup baik yaitu sebesar 0,7306 dan 0,7640.

Berdasarkan pemodelan yang digunakan tersebut diperoleh nilai koefisien

persamaan polinomial. Nilai koefisien tersebut digunakan untuk menentukan

persamaan polinomial yang digunakan. Koefisien persamaan polinomial yang

diperoleh dari penelitian ini ditunjukkan dalam Tabel 9.

Page 16: SINTESIS PEWARNA ALAMI KULIT TELUR PUYUH (Coturnix

12

Tabel 9. Tabel koefisien persamaan polinomial penelitian

Koefisien A845

ß0 19,95

Linear

ß1 -0,24

ß2 -9,79

ß3 -0,98

Kuadrat

ß11 0,37

ß22 0,88

ß33 0,012

Interaksi

ß12 -0,62

ß13 -0,016

ß23 0,52

R2 0,9981

CV 3,25

Secara matematis, persamaan polinomial untuk tiga faktor pembentukan

kompleks antara porfirin dengan ion Cu2+

pada penelitian ini ditunjukkan pada

persamaan (2):

Y = 19,95-0,24X1-9,79X2-0,98X3-0,62X1X2-

0,16X1X3+0,52X2X3+0,37X12+0,88X2

2+0,012X3

2... (2)

Dimana :

Y : Absorbansi kompleks Cu-porfirin X2 : Rasio

X1 : pH X3 : Suhu

Tabel 9 menunjukkan keakuratan model yang digunakan. Pada penelitian

ini dapat diketahui dari nilai efisiensi determinasi R2 yaitu sebesar 0,9981. Hal

tersebut menunjukkan bahwa 99,81% dari total variasi pada hasil percobaan

terwakili dalam model yang digunakan. Hal itu juga menunjukkan bahwa nilai

prediksi yang diberikan model 99,81% sesuai dengan data actual. Data prediksi

Page 17: SINTESIS PEWARNA ALAMI KULIT TELUR PUYUH (Coturnix

13

dengan data aktual disajikan dalam Grafik 1. Pada grafik tersebut dapat dilihat

bahwa nilai interaksi dari pH, rasio, dan suhu pada pembentukkan kompleks

memiliki ambsorbansi tertinggi sebesar 2,921 Abs dan terendah sebesar 0,306.

Grafik 1. Data Prediksi Model Vs Data Aktual

Hubungan dari pH, rasio, dan suhu dalam pembentukkan kompleks porfirin

dengan ion Cu2+

dapat diamati dalam Diagram 1. Pada Diagram 1 tersebut data

disajikan dalam bentuk kubus untuk menunjukkan tiga interaksi faktor dengan titik

hasil interaksi yang dihasilkan. Titik interaksi optimum dengan absorbansi tertiggi

ada pada titik A. Titik A adalah pembentukan kompleks dengan pH 6, rasio atau

perbandingan antara porfirin dengan ion Cu2+

sebesar 1:1, dan suhu 30oC. Titik

optimum tersebut dapat diamati pada Diagram 2 dan Diagram 3 , yaitu dalam

bentuk 3D dan dalam bentuk 2D atau kontur.

Diagram 1. Optimasi Interaksi Faktor Pembentukan Kompleks Cu-porfirin

dalam Bentuk Kubus

Design-Expert® SoftwareR1

Color points by value ofR1:

2.921

0.306

Actual

Pre

dic

ted

Predicted vs. Actual

0

0.5

1

1.5

2

2.5

3

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3

Page 18: SINTESIS PEWARNA ALAMI KULIT TELUR PUYUH (Coturnix

14

Diagram 2. Optimasi Interaksi Faktor Pembentukan Kompleks Cu-porfirin dalam

Bentuk 3D

Diagram 3. Optimasi Interaksi Faktor Pembentukan Kompleks Cu-porfirin dalam

Bentuk 2D

Design-Expert® SoftwareFactor Coding: ActualR1

R1 = 2.921Std # 2 Run # 8

X1 = A: pHX2 = B: rasioX3 = C: suhu

CubeR1

A: pHB

: ra

sio

C: suhu (Celcius)

A-: 2.00 A+: 7.36

B-: 0.32

B+: 3.68

C-: 23.18

C+: 56.82

3.01915

1.34617

2.12202

-0.35706

7.37572

3.20104

-1.7556

-2.38245

6

Design-Expert® SoftwareFactor Coding: ActualR1

Design points above predicted value2.921

0.306

R1 = 2.921Std # 2 Run # 8X1 = A: pH = 6.00X2 = B: rasio = 1.00

Actual FactorC: suhu = 30.00

0.32

1.16

2.00

2.84

3.68

2.00

3.34

4.68

6.02

7.36

-1

0

1

2

3

4

5

R1

A: pHB: rasio

2.89172.89172,921

Page 19: SINTESIS PEWARNA ALAMI KULIT TELUR PUYUH (Coturnix

15

4. KESIMPULAN

Ekstrak kulit telur puyuh dari Ambarawa, Salatiga dan Boyolali adalah porfirin

degan puncak soret Q pada panjang gelombang 409 nm. Hasil standardisasi

menunjukan bahwa kandungan porfirin yang diperoleh dari ketiga genotip

(Ambarawa, Salatiga, Dan Boyolali) tidak berbeda secara signifikan sehingga kadar

dan kualitas porfirin yang diperoleh dapat dikatakan sama. Jumlah porfirin yang

terkandung dalam kulit telur puyuh tersebut berdasarkan perhitungan dengan hukum

Lambert-Beer berturut-turut adalah 1,5189x10-4

%( ⁄ ); 1,2963x10-4

%( ⁄ ; dan

1,4935x10-4

% ( ⁄ ). Hasil kondisi kompleksasi optimal berdasarkan response

surface method antara porfirin dengan ion Cu2+

dilihat pada panjang gelombang

845nm yaitu pada pH 6; rasio 1:1, dan suhu sebesar 30°C.

5. SARAN

Pada penelitian selanjutnya sebaiknya digunakan perbandingan mol yang lebih

kecil untuk melihat interaksi antara porfirin dengan ion Cu2+

.

Design-Expert® SoftwareFactor Coding: ActualR1

Design Points2.921

0.306

R1 = 2.921Std # 2 Run # 8

X1 = A: pH = 6.00X2 = B: rasio = 1.00

Actual FactorC: suhu = 30.00

2.00 3.34 4.68 6.02 7.36

0.32

1.16

2.00

2.84

3.68R1

A: pH

B: ra

sio

0

1

1

2

2

3

4

Prediction 2.8917 Prediction

Page 20: SINTESIS PEWARNA ALAMI KULIT TELUR PUYUH (Coturnix

16

DAFTAR PUSTAKA

Day Jr, R.A. dan Underwood, A.L. 2002. Kimia Analisis Kuantitatif. Jakarta: Erlangga.

Dean, M.L., Miller, .A. and r ckner, C. 2011. Egg-Citing! Isolation of Protoporphyrin

IX from Brown Eggshells and Its Detection by Optical Spectroscopy and

Chemiluminescence. Journal of Chemical Education. 88(6): 788-792.

Fagadar-Cosma, E., Vlascici, D., Fagadar-Cosma, G., Palade, A., Lascu, A., Creanga, I.,

Birdeanu, M., Cristescu, R. and Cernica, I. 2014. A sensitive A3B porphyrin

nanomaterial for CO2 detection. Molecules. 19(12): 21239-21252.

Fardhyanti, D.S. dan Riski, R.D. 2015. Pemungutan Brazilin dari Kayu Secang

(Caesalpinia Sappan L.) dengan Metode Maserasi dan Aplikasinya untuk

Pewarnaan Kain. Jurnal Bahan Alam Terbarukan. 4(1): 6-13.

Fiedor, L., Stasiek, M., Myśliwa-Kurdziel, . and Strzałka, K. 2003. Phytol as one of the

determinants of chlorophyll interactions in solution. Photosynthesis

research. 78(1): 47-57.

Heleno, S.A., Prieto, M.A., Barros, L., Rodrigues, A., Barreiro, M.F. and Ferreira, I.C.

2016. Optimization of microwave-assisted extraction of ergosterol from Agaricus

bisporus L. by-products using response surface methodology. Food and

Bioproducts Processing. 100: 25-35.

Keneddy, G.Y. and Vevers, H.G. 1973. Eggshell pigments of the Araucano

fowl, Comparative Biochemistry and Physiology Part B: Comparative

Biochemistry. 44(1): 11-25.

Kilian, K., Pęgier, M. and Pyrzyńska, K. 2016. he fast method of Cu-porphyrin complex

synthesis for potential use in positron emission tomography

imaging. Spectrochimica Acta Part A: Molecular and Biomolecular

Spectroscopy. 159: 123-127.

Kombado, A. 2014. Limbah Kerabang Telur Puyuh (Cortunix cortunix japonica) sebagai

Pewarna Alami Kain Batik (Pengaruh Jenis Fiksatif terhadap Ketuaan dan

Ketahanan Luntur Ditelaah dengan Metode Pengolahan Citra Digital RGB).

Skripsi. Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana.

Lui, H., Macaulay, C., Zeng, H., McLean, D.I. and Bissonnette, R., The University Of

British Columbia. 2001. Photoactivation of endogenous porphyrins for treatment of

psoriasis. U.S. Patent 6,269,818.

Page 21: SINTESIS PEWARNA ALAMI KULIT TELUR PUYUH (Coturnix

17

Malinowska, E., Niedziółka, J. and Meyerhoff, M.E. 2001. Potentiometric and

spectroscopic characterization of anion selective electrodes based on metal (III)

porphyrin ionophores in polyurethane membranes. Analytica chimica acta. 432(1):

67-78.

Mikšík, I., Holáň, V. and Deyl, Z. 1996. Avian eggshell pigments and their

variability. Comparative Biochemistry and Physiology Part B: Biochemistry and

Molecular Biology. 113(3): 607-612.

Nurdin., Tanziha, I., Kusharto, C.M. dan Januwati, M. 2009. Kandungan Klorofil Berbagai

Jenis Daun Tanaman dan Cu-Turunan Klorofil serta Karakteristik Fisiko-

Kimianya.Jurnal Gizi dan Pangan. 4(1): 13-19.

Paryanto, P., A., Kwartiningsih, E., dan Mastuti, E. 2012. Pembuatan Zat warna Alami

dalam Bentuk Serbuk untuk Mendukung Industri Batik di Indonesia. Jurnal

Rekayasa Proses. 6(1): 26-29.

Scheer, H. 2003. Chemistry and spectroscopy of chlorophylls. In: CRC Handbookof

Organic Photochemistry and Photobiology, Volumes 1 & 2, Second Edition.

Munchen: CRC Press. ISBN-10: 0849313481.

Solomon, S. 2002. The oviduct in chaos. World’s Poult Sci. J. 58:41-48.

Wang, X.T., Deng, X.M., Zhao, C.J., Li, J.Y., Xu, G.Y., Lian, L.S. and Wu, C.X. 2007.

Study of the deposition process of eggshell pigments using an improved dissolution

method. Poultry science. 86(10): 2236-2238.

Page 22: SINTESIS PEWARNA ALAMI KULIT TELUR PUYUH (Coturnix

18

LAMPIRAN

Lampiran 1. Dasira Rancangan Acak Lengkap porfirin yang terkandung dalam

kulit telur puyuh Ambarawa, Salatiga, dan Boyolali.

Sumber Ragam Db Jk KT Fhit F tabel

5% 1%

Perlakuan 2 3,3272x10-8

1,6636 x10-8

0,2425 9,2766 29,4567

Galat Acak 24 1,6468x10-6

6,8617 x10-8

Total 26

Lampiran 2. Tabel Pengujian Pemodelan Penelitian berdasarkan Lack of Fit

Test

Sumber Ragam Db JK KT F tabel nilai p

Linear 11 5.34 0.49 237.85 < 0.0001

2FI 8 1.68 0.21 102.83 0.0002

Quadratic 5 1.47 0.29 144.03 0.0001

Cubic 0 0.000

Pure Error 4 8.161x10-3

2.040x10-3

Page 23: SINTESIS PEWARNA ALAMI KULIT TELUR PUYUH (Coturnix

19

STANDARDISASI EKSTRAK KULIT TELUR PUYUH DARI TIGA DAERAH BERBEDA BERDASARKAN KANDUNGAN PORFIRIN

STANDARDIZATION OF QUAIL EGG SHELL EXTRACTS FROM THREE REGIONS SAMPLES OBTAINED BASED ON LEVEL OF

PORFIRIN

Dio Prantisa

1*, Yohanes Martono

1, Cucun Alep Riyanto

1

1Jurusan Kimia,Fakultas Sains dan Matematika, Universitas Kristen Satya Wacana

Jl. Diponegoro 52-60 Salatiga, 50711, Jawa Tengah, Indonesia *email: [email protected]

ABSTRAK

Porfirin merupakan pigmen warna alami khas yang terdapat dalam kulit telur puyuh. Tujuan

penelitian ini untuk melakukan standardisasi ekstrak metanol-HCl berdasarkan kandungan porfirin dari tiga genotip sampel yang berbeda (Ambarawa, Salatiga, dan Boyolali) menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Hasil standardisasi ekstrak porfirin ketiga sampel menunjukkan bahwa puncak absorbansi maksimum spektra ekstrak metanol-HCl kulit telur puyuh adalah pada panjang gelombang 409 nm. Hasil standardisasi porfirin dalam sampel dari Ambarawa, Salatiga, dan Boyolali dihitung dengan persamaan Lambert-Berr berturut-turut yaitu 1,5189x10

-4% ( );

1,2963x10-4

%( ; dan 1,4935x10-4

%( ). Berdasarkan uji Beda Nyata Jujur dengan tingkat

kebermaknaan 5%, kandungan porfirin dalam ekstrak metanol-HCl tiga genotip tidak berbeda secara signifikan.

Kata Kunci: kulit telur puyuh, porfirin, standardisasi, spektrofotometer UV-Vis

ABSTRACT

Porphyrin is a natural color pigment contained in the quail's egg shell. The aim of this research is to standardize the porphyrin extracts from three different genotype samples (Ambarawa, Salatiga, and Boyolali). Standardize the porphyrin extract by UV-Vis spectrophotometer. The results of the porphyrin extract standardization samples showed that the highest peak absorbance at 409nm. Porphyrin levels sample of Ambarawa, Salatiga and Boyolali calculated by the equation Lambert-Beer showed on 1,5189x10-4% ( ); 1,2963x10-4% ( );

and 1,4935x10-4% ( ), respectively. Tuckey test with a level of significant differences 5%

showed that three genotypes of the sample obtained had not different significantly.

Key word: porphyrin, quail's eggs shell, standardization, UV-Vis spectrophotometer

PENDAHULUAN

Zat pewarna merupakan suatu zat

aditif yang ditambahkan pada suatu produk.

Penambahan zat pewarna tersebut bertujuan

untuk membuat suatu produk menjadi

tampak lebih menarik, contohnya adalah kain

batik [1]. Zat pewarna yang biasanya

digunakan dalam proses membatik adalah

zat warna sintetis dan alami [2]. Zat pewarna

sintetis bersifat karsinogenik, sehingga dapat

mengakibatkan alergi kulit dan kanker kulit

[1]. Untuk mengurangi potensi karsinogenik

tersebut, maka digunakan zat pewarna alami.

Page 24: SINTESIS PEWARNA ALAMI KULIT TELUR PUYUH (Coturnix

Prosiding

Seminar Nasional Kimia dan Pendidikan Kimia (SNKPK IX) 2017

Surakarta, 22 April 2017

20

Salah satu sumber zat pewarna alami adalah

kulit telur puyuh.

Saat ini, sebagian besar rumah

makan, penjual sate telur, maupun rumah

tangga hanya membuang kulit dari telur

puyuh tersebut. Padahal kulit telur puyuh

dapat dimanfaatkan sebagai pewarna alami

kain batik karena memiliki pigmen warna

yang khas [3]. Pigmen yang terdapat pada

kulit telur puyuh adalah kecoklatan berbintik-

bintik hitam tak beraturan yang berasal dari

porfirin dan biliverdin [4].

Porfirin mengandung empat cincin

pirol, yaitu suatu cincin segi lima yang terdiri

dari empat atom karbon dengan atom

nitrogen pada satu sudut [5]. Keempat atom

nitrogen di tengah molekul porfirin dapat

mengikat ion logam seperti magnesium, besi,

seng, nikel, kobalt, tembaga, dan perak [5,6].

Porfirin yang digunakan dalam

penelitian ini diperoleh dari ekstraksi kulit

telur puyuh. Ekstrak porfirin dari kulit telur

puyuh dilakukan pada sampel yang diperoleh

dari tiga genotip (Ambarawa, Salatiga, dan

Boyolali). Ekstrak porfirin dari genotip/daerah

yang berbeda ini belum pernah dilakukan

standardisasi. Proses standardisasi

dilakukan untuk menentukan dan

memastikan kualitas ekstrak yang diperoleh

dari ketiga sampel berdasarkan kandungan

porfirin. Standardisasi dilakukan dengan

melakukan pemindaian menggunakan

spektrofotometer UV-Vis. Hasil spektra

dibandingkan dengan spektra porfirin standar

yang telah dilakukan oleh Lui et al [7].

Standardisasi porfirin yang terkandung dalam

kulit telur puyuh tersebut ditentukan

berdasarkan hukum Lambert-Beer dengan

nilai koefisien absorptivitas molar, sebesar

297.000 L mol-1.

cm-1

[7].

Berdasarkan latar belakang tersebut,

penelitian ini bertujuan untuk melakukan

standardisasi ekstrak porfirin dari tiga genotip

berbeda berdasarkan tempat diperoleh

sampel (Ambarawa, Salatiga, dan Boyolali)

dengan spektrofotometer UV-Vis dan

menentukan kandungan porfirin dalam

ekstrak dengan pelarut metanol-HCl sampel.

METODE PENELITIAN

Sampel limbah kulit telur puyuh

diperoleh dari pedagang di Pasar Projo,

Ambarawa; Pasar Raya I, Salatiga; dan

Pasar Ampel, Boyolali. Bahan yang

digunakan diantaranya HCl dan metanol.

Semua bahan yang digunakan berderajat PA

(pro-analysis) diperoleh dari E-Merck,

Germany.

Alat yang digunakan dalam penelitian

ini diantaranya Spektrofotometer (Optizen,

2120), neraca dengan ketelitian 0,01g

(Ohaus, TAJ602), neraca analitis dengan

ketelitian 0,1 mg (Ohaus, PA214), dan

moisture analyzer (Ohaus, MB 25), serta

rotary evaporator (Buchi, R-114).

Preparasi Sampel [8]

Kulit telur puyuh dikeringkan dalam

drying cabinet selama 24 jam. Setelah kering

sampel dihaluskan lalu diayak dengan

ayakan 20 mesh.

Ekstraksi [9,10 yang dimodifikasi]

Metode ekstraksi yang digunakan

adalah dengan menggunakan metode

maserasi. Sejumlah 50,00 g serbuk telur

puyuh dimaserasi dalam metanol 96% yang

mengandung HCl 5% dengan perbandingan

antara metanol dan HCl 2:1 ( ). Sampel

dilakukan maserasi secara bertingkat (3×500

mL) dengan waktu masing-masing

Page 25: SINTESIS PEWARNA ALAMI KULIT TELUR PUYUH (Coturnix

Prosiding

Seminar Nasional Kimia dan Pendidikan Kimia (SNKPK IX) 2017

Surakarta, 22 April 2017

21

perendaman selama satu jam. Perbandingan

yang digunakan antara sampel dan pelarut

tiap waktu maserasi adalah 1:10 ( ).

Standardisasi

Standardisasi ekstrak kulit telur puyuh

berdasarkan kandungan porfirin dilakukan

dengan pemindaian ekstrak kulit telur puyuh

pada kisaran panjang gelombang 360-700

nm. Spektra yang diperoleh dicocokkan

dengan spektra sinar tampak senyawa

porfirin standar yang telah dilakukan oleh Lui

et al [7].

Kandungan porfirin dalam ekstrak kulit

telur puyuh diukur berdasarkan persamaan

Lambert-Beer berikut:

A= ε.b.C ...........................(1)

Keterangan :

A : Absorbansi ekstrak pada

panjang gelombang 407 nm.

ε : absortivitas molar porfirin dalam

pelarut 1,5M HCl (297.000 L

mol-1.

cm-1

)

b : panjang jalan masuk sinar atau

lebar kuvet yaitu 1cm.

C : konsentrasi porfirin dalam

ekstrak kulit telur puyuh.

Analisa Data [11]

Hasil yang diperoleh dianalisa dengan

menggunakan Rancangan Acak Lengkap

(RAL) dengan tiga faktor dan sembilan

ulangan. Sebagai faktor adalah tempat

diperoleh sampel (Ambarawa, Salatiga, dan

Boyolali). Pengujian rataan antar perlakuan

dilakukan dengan uji Beda Nyata Jujur (BNJ)

dengan tingkat kebermaknaan 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Standardisasi porfirin dilakukan pada

ekstrak metanol-HCl kulit telur puyuh dari

Ambarawa, Salatiga, dan Boyolali. Hasil

pemindaian dengan spektrofotometer UV-Vis

sampel Ambarawa dapat dilihat pada

Gambar 1.

Gambar 1. Spektra serapan ekstrak porfirin

kulit telur puyuh dari kota Ambarawa

Hasil pemindaian ekstrak porfirin

dalam kulit telur puyuh dari Ambarawa

menunjukkan bahwa spektra yang diperoleh

sesuai dengan spektra porfirin standar yang

telah dilakukan oleh Lui et al [7]. Serapan

tertinggi dari puncak Q ekstrak porfirin dari

Ambarawa terletak pada panjang gelombang

409 nm. Hal yang serupa juga ditunjukkan

oleh hasil pemindaian ekstrak porfirin dalam

kulit telur puyuh dari Salatiga dan Boyolali.

Spektra hasil pemindaian ekstrak porfirin

dalam kulit telur puyuh dari Salatiga dan

Boyolali dapat dilihat pada Gambar 2 dan

Gambar 3. Hasil pemindaian kedua sampel

dari kota Salatiga dan kota Boyolali juga

memiliki puncak serapan soret Q pada

panjang gelombang 409 nm.

Gambar 2. Spektra serapan ekstrak

porfirin kulit telur puyuh dari kota Salatiga

Page 26: SINTESIS PEWARNA ALAMI KULIT TELUR PUYUH (Coturnix

Prosiding

Seminar Nasional Kimia dan Pendidikan Kimia (SNKPK IX) 2017

Surakarta, 22 April 2017

22

Gambar 3. Spektra serapan ekstrak porfirin

kulit telur puyuh dari kota Boyolali

Ketiga hasil yang diperoleh

menunjukkan serapan tertinggi (soret Q)

pada panjang gelombang 409 nm, yang

merupakan area serapan protoporfirin IX

[12]. Protoporphyrin IX memiliki serapan

tertinggi pada panjang gelombang 407 nm.

Pergeseran puncak serapan ini dikarenakan

beberapa ligan OH- tergantikan oleh Cl

-,

sehingga serapan tertinggi pada 407 nm

bergeser ke panjang gelombang 409 nm [13].

Selain serapan pada puncak Q dari

spektra standardisasi porfirin di atas, juga

terdapat serapan pada puncak B yaitu pada

panjang gelombang 556nm dan 600nm.

Serapan pada puncak B tersebut

menentukan warna yang diperoleh [14].

Warna Ekstrak porfirin yang diperoleh dari

ketiga daerah tersebut adalah hijau seperti

pada Gambar 4. Menurut Day dan

Underwood [15] warna komplementer yang

terserap dari warna hijau adalah jingga pada

panjang gelombang 500-560 nm. Hal itu

sesuai dengan serapan dari puncak B yaitu

pada panjang gelombang 556nm.

Sedangkan serapan pada panjang

gelombang 600nm memberikan warna jingga

dengan warna komplementer hijau-biru.

Gambar 4. Ekstrak Porfirin Ambarawa,

Salatiga, dan Boyolali

Berdasarkan puncak serapan dan

spektra yang terbentuk tersebut maka nilai

absorptivitas molar dari standar porfirin yang

telah dilakukan Lui et al [7] dapat digunakan

untuk menentukan jumlah porfirin yang

terkandung dalam kulit telur puyuh. Jumlah

porfirin yang terkandung dapat dilihat pada

Tabel 1.

Tabel 1. Jumlah porfirin terkandung dalam kulit telur puyuh

Genotip Ambarawa Salatiga Boyolali

Jumlah porfirin terkandung (%) ( )

1,5189x10

-4

± 1,9336x10

-6

1,2963x10-4

± 7,7450x10

-6

1,4935x10

-4

± 3,7652x10

-6

Porfirin yang terkandung dalam kulit

telur tersebut dianalisa dengan Rancangan

Acak Langsung (RAL). Analisa data terhadap

porfirin yang terkandung dalam kulit telur

puyuh tersebut disajikan dalam Tabel 2.

Ambarawa Salatiga Boyolali

Page 27: SINTESIS PEWARNA ALAMI KULIT TELUR PUYUH (Coturnix

Prosiding

Seminar Nasional Kimia dan Pendidikan Kimia (SNKPK IX) 2017

Surakarta, 22 April 2017

23

Tabel 2. Dasira Rancangan Acak Lengkap porfirin yang terkandung dalam kulit telur

puyuh Ambarawa, Salatiga, dan Boyolali.

Sumber Ragam Db Jk KT Fhit F tabel

5% 1%

Perlakuan 2 3,3272x10-8

1,6636 x10-8

0,2425 9,2766 29,4567

Galat Acak 24 1,6468x10-6

6,8617 x10-8

Total 26

Analisa jumlah porfirin yang terkandung dalam kulit telur puyuh dilanjutkan dengan uji Beda

Nyata Jujur dengan tingkat kebermaknaan 5% yang disajikan dalam Tabel 3.

Tabel 3. Uji Beda Nyata Jujur kandungan porfirin (g) dalam ekstrak metanol-HCl kulit telur puyuh dengan tingkat kebermaknaan 5%

Salatiga Ambarawa Boyolali

w = 6,0645x10-4

1,9367x10-4

±

1,9336x10-6

(a)

2,1350 x10-4

±

7,7450x10-6

(a)

2,2423 x10-4

± 3,7652x10

-6

(a)

Berdasarkan analisa BNJ 5% pada

Tabel 3 dapat diamati bahwa kandungan

porfirin dalam ekstrak metanol-HCl kulit telur

puyuh dari Ambarawa, Salatiga, dan Boyolali

tidak berbeda secara signifikan. Hal itu

menunjukkan bahwa kulit telur puyuh dari

Ambarawa, Salatiga, dan Boyolali memiliki

kandungan yang sama.

KESIMPULAN

Ekstrak kulit telur puyuh dari

Ambarawa, Salatiga dan Boyolali adalah

porfirin degan puncak soret Q pada panjang

gelombang 409 nm. Hasil standardisasi

menunjukan bahwa kandungan porfirin yang

diperoleh dari ketiga genotip (Ambarawa,

Salatiga, Dan Boyolali) tidak berbeda secara

signifikan. Jumlah porfirin yang terkandung

dalam kulit telur puyuh tersebut berdasarkan

perhitungan dengan hukum Lambert-Beer

berturut-turut adalah 1,5189x10-4

%( );

1,2963x10-4

%( ; dan 1,4935x10-4

% ( ).

DAFTAR PUSTAKA

[1] Fardhyanti, D.S. and Riski, R.D., 2015, Pemungutan Brazilin dari Kayu Secang (Caesalpinia Sappan L) dengan Metode Maserasi dan Aplikasinya untuk Pewarnaan Kain, Jurnal Bahan Alam Terbarukan, 4(1), pp.6-13.

[2] Mey., 2009, Tips Memilih Kain Sutra Untuk Batik. MPA, p. 65.

[3] Solomon, S., 2002, The oviduct in chaos. World’s Poult Sci, 41-48.

[4] Keneddy, G.Y. and Vevers, H.G., 1973, Eggshell pigments of the Araucano fowl, Comparative Biochemistry and Physiology Part B: Comparative Biochemistry, 44(1), pp.11-25.

[5] Biesaga, M., Pyrzyńska, K. and Trojanowicz, M., 2000, Porphyrins in analytical chemistry, A review. Talanta, 51(2), pp.209-224.

[6] Hudson, M.F. and Smith, K.M., 1975, Bile pigments, Chemical Society Reviews, 4(3), pp.363-399.

[7] Lui, H., Macaulay, C., Zeng, H., McLean, D.I. and Bissonnette, R., The University Of British Columbia,

Page 28: SINTESIS PEWARNA ALAMI KULIT TELUR PUYUH (Coturnix

Prosiding

Seminar Nasional Kimia dan Pendidikan Kimia (SNKPK IX) 2017

Surakarta, 22 April 2017

24

2001, Photoactivation of endogenous porphyrins for treatment of psoriasis. U.S. Patent 6,269,818.

[8] Kombado, A.,2014, Limbah Kerabang Telur Puyuh (Cortunix cortunix japonica) sebagai Pewarna Alami Kain Batik (Pengaruh Jenis Fiksatif terhadap Ketuaan dan Ketahanan Luntur Ditelaah dengan Metode Pengolahan Citra Digital RGB), Universitas Kristen Satya Wacana., Salatiga.

[9] Mikšík, I., Holáň, V. and Deyl, Z., 1996, Avian eggshell pigments and their variability, Comparative Biochemistry and Physiology Part B: Biochemistry and Molecular Biology, 113(3), pp.607-612.

[10] Wang, X.T., Deng, X.M., Zhao, C.J., Li, J.Y., Xu, G.Y., Lian, L.S. and Wu, C.X., 2007, Study of the deposition process of eggshell pigments using an improved dissolution method, Poultry science, 86(10), pp.2236-2238.

[11] Steel, R. G. D dan J. H. Torie., 1989, Prinsip dan Prosedur Statistika, PT. Gramedia., Jakarta.

[12] Dean, M.L., Miller, .A. and Br ckner, C., 2011, Egg-Citing! Isolation of Protoporphyrin IX from Brown Eggshells and Its Detection by Optical Spectroscopy and Chemiluminescence, Journal of Chemical Education,88(6), pp.788-792.

[13] Malinowska, E., Niedziółka, J. and Meyerhoff, M.E., 2001, Potentiometric and spectroscopic characterization of anion selective electrodes based on metal (III) porphyrin ionophores in polyurethane membranes, Analytica chimica acta, 432(1), pp.67-78.

[14] Fagadar-Cosma, E., Vlascici, D., Fagadar-Cosma, G., Palade, A., Lascu, A., Creanga, I., Birdeanu, M., Cristescu, R. and Cernica, I., 2014, A sensitive A3B porphyrin nanomaterial for CO2 detection. Molecules,19(12), pp.21239-21252.

[15] Day Jr, R.A. dan Underwood, A.L., 2002, Kimia Analisis Kuantitatif, Erlangga

Page 29: SINTESIS PEWARNA ALAMI KULIT TELUR PUYUH (Coturnix

1