sintesis penelitian integratif pengembangan perhitungan...
TRANSCRIPT
Cetakan Kedua
Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory)
Sintesis Penelitian Integratif
Oleh:
Yanto RochmayantoAri WibowoMega LuginaTigor ButarbutarRM Mulyadin Wahyuning HanurawatiI Wayan Susi Dharmawan
ISBN 978-602-7672-60-4
Kementerian Lingkungan Hidup dan KehutananBadan Penelitian, Pengembangan dan InovasiPusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan IklimJl. Gunung Batu No. 5 Bogor; Telp.: 0251 8633944; Fax: 0251 8634924;Email: [email protected];
www.dephut.litbang.puspijak.go.id atau www.puspijak.org
KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANANBADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASIPUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN DAN PERUBAHAN IKLIM
Bogor, Desember 2015
Sintesis Penelitian IntegratifPengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah
Kaca Kehutanan (Inventory)
Oleh:Yanto Rochmayanto
Ari WibowoMega Lugina
Tigor ButarbutarRM Mulyadin
Wahyuning HanurawatiI Wayan Susi Dharmawan
KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANANBADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASIPUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN DAN PERUBAHAN IKLIM
Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory)
Pengarah:Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
Penanggung jawab:Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan
Editor:1. Yanto Rochmayanto2. Ari Wibowo3. Tedy Rusolono
Kontributor:Acep Akbar Jarot PanduAsef K. Hardjana Mamat Rahmat Dhany Yuniati Nurlita Indah Wahyuni Dody Prakosa Panji Asmoro Dony Wicaksono Rahimahyuni Fatmi Noor’anEko Priyanto Sandhy Imam Maulana Eko Pudjiono SumadiHery Kurniawan Virni Budi Arifanti
ISBN: 978-602-7672-60-4
© 2014 Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
Hak Cipta dilindungi Undang-UndangDilarang memperbanyak buku ini sebagian atau seluruhnya, baik dalam bentuk fotocopy, cetak, mikrofilm, elektronik maupun bentuk lainnya, kecuali untuk keperluan pendidikan atau non-komersial lainnya dengan mencantumkan sumbernya sebagai berikut:Rochmayanto, Y., Wibowo, A., dan Rusolono, T., (Ed.). 2014. Sintesis Penelitian IntegratifPengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory). Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Bogor, Indonesia.
Diterbitkan oleh:Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan – Kementerian KehutananJl. Gunung Batu No. 5, Bogor 16118, IndonesiaTelp/Fax: +62-251 8633944/+62-251 8634924Email: [email protected]; website: http://puspijak.litbang.dephut.go.id atau www.puspijak.org
Cetakan Kedua
Kata Pengantar
Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, segala puja dan puji hanya untuk Allah Tuhan Seru Sekalian Alam, yang telah melimpahkan rahmatNya dalam berbagai bentuk sehingga kami berhasil menyelesaikan tugas menyusun Sintesis Penelitian Integratif tahun 2010 – 2014.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan bertanggung jawab atas pelaksanaan 7 (tujuh) RPI yaitu: 1) Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS, 2) Pengembangan Hutan Kota pada Lanskap Perkotaan, 3) Ekonomi dan Kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi, 4) Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory), 5) Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya terhadap Perubahan Iklim, 6) Penguatan Tata Kelola Kehutanan, 7) Penguatan Tata Kelola Industri dan Perdagangan Hasil Hutan. Ketujuh RPI tersebut merupakan penjabaran lebih lanjut dari 3 (tiga) tema penelitian (Lanskap, Perubahan Iklim dan Kebijakan) dari Roadmap Penelitian dan Pengembangan Kehutanan 2010-2025.
Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) telah menghasilkan beberapa output dan outcome berupa Poster, Prosiding, Jurnal, Policy Brief, buku, bahan penyusun SNI Penghitungan Karbon dan rekomendasi kebijakan.
Dengan telah tersusunnya Sintesis ini, kami menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada Koordinator RPI Yanto Rochmayanto, SHut, MSi, dan Tim Penyusun, Pencermat Dr. Teddy Rusolono, dan Kepala Bidang Program dan Evaluasi Penelitian beserta staf yang telah memfasilitasi penyusunan Sintesis ini.
Semoga Sintesis ini memberikan manfaat bagi semua pihak.
Bogor, Desember 2014
Dr. Ir. Kirsfi anti L. Ginoga, M.Sc.NIP. 19640118 199003 2 001
Sambutan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
Pertama-tama sebagai Kepala Badan Litbang Kehutanan, terlebih dahulu saya ingin mengajak semua unsur Badan Litbang Kehutanan untuk senantiasa memanjatkan puji dan syukur kepada Allah SWT, atas limpahan rahmatNya sehingga Sintesis Penelitian Integratif ini akhirnya selesai setelah perjalanan panjang pelaksanaan penelitian dari tahun 2010 hingga 2014.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan telah mengambil langkah strategis dengan menetapkan Rencana Penelitian Integratif (RPI) 2010-2014, sesuai dengan prioritas kebijakan kementerian dan Roadmap Penelitian dan Pengembangan Kehutanan 2010-2025.
Program penelitian yang menjadi tanggung jawab Pusat Penelitian Perubahan Iklim dan Kebijakan Kehutanan (Puspijak) meliputi Program Lanskap, Program Perubahan Iklim, dan Program Kebijakan. Sintesis Penelitian Integratif ini menjadi bagian dari program-program tersebut, dan meliputi: 1) Manajemen Lanskap Hutan berbasis DAS, 2) Pengembangan Hutan Kota pada Lanskap Perkotaan, 3) Ekonomi dan Kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi, 4) Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory), 5) Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat terhadap Perubahan Iklim, 6) Penguatan Tata Kelola Kehutanan, dan 7) Penguatan Tata Kelola Industri dan Perdagangan Hasil Hutan.
Penyusunan Sintesis Penelitian Integratif lingkup Puspijak merupakan bentuk pertanggungjawaban Koordinator dan tim peneliti yang terlibat dalam kegiatan RPI yang telah dilaksanakan dengan melibatkan Unit Pelaksana Teknis Badan Litbang seluruh Indonesia. Sintesis ini menyajikan ringkasan output dan outcome yang telah dihasilkan dalam bentuk IPTEK dan inovasi serta rekomendasi kebijakan untuk pengambil keputusan dan praktisi di lapangan, termasuk para pihak yang berkepentingan dengan pembangunan lanskap yang berkelanjutan.
Akhirnya, kami menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada semua pihak atas kerja sama dan dedikasinya untuk penyelesaian penyusunan sintesis penelitian ini. Semoga sintesis ini memberikan manfaat yang optimal dan menjadi acuan atau referensi dalam pembangunan lanskap di Indonesia.
Jakarta, Desember 2014Kepala Badan,
Prof. Dr. Ir. San Afri Awang, M.Sc.NIP. 19570410 198903 1 002
Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) • v
Daftar Isi
Kata Pengantar ................................................................................................................iiiSambutan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan .......... vDaftar Isi ............................................................................................................................viiDaftar Tabel .......................................................................................................................ixDaftar Gambar .................................................................................................................xiDaftar Lampiran ........................................................................................................... xiiiRingkasan Eksekutif ......................................................................................................xvBab 1 Pendahuluan ......................................................................................................... 1
Bab 2 Metode Sintesis ................................................................................................... 3
2.1 Kerangka Konseptual Sintesis ................................................................................ 32.2 Sumber Dokumen Penyusunan Sintesis ............................................................... 42.3 Prosedur Penyusunan Sintesis ................................................................................ 4
Bab 3 Sistem Inventarisasi GRK Kehutanan ......................................................... 7
3.1 Review Sistem Inventarisasi GRK Kehutanan .................................................... 73.2 Rekomendasi Sistem Inventarisasi, Monitoring dan Pelaporan GRK
Kehutanan ...............................................................................................................17Bab 4 Teknik Perhitungan Karbon untuk Perbaikan Faktor Emisi
dan Serapan GRK Kehutanan ..................................................................... 21
4.1 Persamaan Allometrik ............................................................................................214.2 Kandungan biomasa dan karbon untuk pengayaan faktor emisi lokal ........364.3 Rekomendasi Teknik Perhitungan Karbon dan Perbaikan Faktor Emisi ......54
Bab 5 Aplikasi Perhitungan Emisi GRK Kehutanan .......................................... 61
5.1 Aplikasi Perhitungan Emisi GRK untuk wilayah Sumatera ........................615.2 Aplikasi Template IPCC Guideline 2006 untuk Inventarisasi Emisi Gas
Rumah Kaca dari Sektor Kehutanan .................................................................625.3 Penentuan Reference Emission Level (REL) .....................................................635.4 Identifikasi Kegiatan-Kegiatan yang Mengurangi Emisi Karbon Melalui
Peningkatan Serapan Karbon dan Stabilisasi Simpanan Karbon Hutan ........725.5 Kontribusi penurunan emisi sektor kehutanan.................................................815.6 Rekomendasi ...........................................................................................................82
Bab 6 Penutup ................................................................................................................ 83
Daftar Pustaka ...............................................................................................................85
Lampiran .......................................................................................................................... 97
Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) • vii
Daftar Tabel
1. Tahapan Kegiatan Penyusunan Sintesa RPI ...................................................................... 52. Pengorganisasian Monitoring dan Pelaporan GRK Nasional......................................123. Kondisi Faktual Monitoring GRK Kehutanan dan Kebutuhan Penyempurnaan ...144. Pelaporan Hasil Inventarisasi Gas Rumah Kaca ke Pihak Nasional dan Internasional ....165. Pengaturan Verifikasi Aksi Mitigasi Perubahan Iklim ..................................................176. Resume hasil analaisis Structure Conduct Performance ............................................. 177. Hasil Persamaan Allometrik untuk Perhitungan Biomassa Pancang ..............................228. Model Persamaan Hubungan Biomassa dengan Dimensi dan Berat Jenis Pohon
Alau (Dacridium pectinatum De Laub) ....................................................................................239. Model Persamaan Hubungan Biomassa dengan Dimensi dan Berat Jenis
Bintangur (Calophyllum soulatri) ..............................................................................................2310. Model Persamaan Hubungan Biomassa dengan Dimensi dan Berat Jenis
Nyatoh (Palaquium cochleria) ....................................................................................................2411. Model-model Persamaan Hubungan Biomasa dengan Dimensi dan Berat Jenis
Pohon Shorea farvifolia Dyer ....................................................................................................2412. Model-model Persamaan Hubungan Biomasa dengan Dimensi dan Berat Jenis
Pohon Dipterocarpus kerrii King ...............................................................................................2513. Model-model Persamaan Hubungan Biomasa dengan Dimensi dan Berat Jenis
Pohon Cotylelobium burckii Hein ..............................................................................................2514. Fraksi Karbon Organik dari Jenis Shorea farvifolia (MP), Dipterocarpus kerrii (KG)
dan Cotylelobium burckii (RK) di Hutan Alam Gambut .....................................................2615. Perbandingan Kemiripan Model Regresi dari Faktor Kedalaman Tanah Gambut
dengan Kadar Karbon ..........................................................................................................2716. Analisa Regresi Biomasa Dypterocarpaceae di Kalimantan .........................................2917. Persamaan regresi untuk menduga biomasa .....................................................................3018. Hasil Penyusunan Persamaan Penduga Biomassa Atas Tanah .....................................3119. Perbandingan Persamaan Terpilih dengan berbagai Persamaan Allometrik yang
telah Dipublikasikan sebelumnya. .....................................................................................3320. Kandungan Karbon pada beberapa Tipe Hutan di Sumatera ......................................3621. Kandungan Karbon Berdasarkan Carbon Pool pada PSP di HN. Simancuang...........3822. Cadangan karbon pada berbagai tipe hutan untuk Bioregion Jawa ...........................3923. Perbandingan Hasil Perhitungan Karbon Total di Hutan Lindung Sungai Wain
dengan Interprestasi Citra dan Pengukuran Langsung di Lapangan ..........................4124. Rata-rata Biomasa dan Karbon di Lokasi Pengukuran ..................................................4225. Prosentase Tiap Komponen Biomasa terhadap Total Biomasa....................................43
Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) • ix
26. Kandungan Biomasa dari CA Tangkoko Dua Saudara, KPH Poigar dan HL Gunung Tumpa ......................................................................................................................45
27. Potensi Stok/Simpanan Karbon pada KU II ...................................................................4728. Kandungan Karbon Eucalyptus alba menurut Klasifikasi Pool Karbon .....................4829. Rekapitulasi Jumlah Kandungan Biomassa dan Jumlah C Tersimpan menurut
Strata Hutan di Desa Murnaten dan Desa Soya ..............................................................5030. Kapasitas Simpanan Karbon pada Hutan Alam Papua .................................................5231. Estimasi Kandungan Karbon berdasarkan Data IHMB ..............................................5332. Estimasi Kandungan Karbon berdasarkan Data IHMB (Volume) dengan BEF ...5333. Kapasitas Simpanan Karbon pada beberapa Tipe Hutan di Papua Barat..................5434. FE/FS pada berbagai Tipe Hutan Tingkat Nasional .....................................................5535. FE/FS pada Kebakaran Hutan............................................................................................5536. Sisa Cadangan Karbon Pasca Kebakaran di Hutan Alam Gambut ............................5537. FE/FS pada berbagai Tipe Hutan untuk Bioregion Sumatera .....................................5638. FE/FS pada berbagai Tipe Hutan untuk Bioregion Jawa ............................................5639. FE/FS pada berbagai Tipe Hutan untuk Bioregion Kalimantan ...............................5640. FE/FS pada berbagai Tipe Hutan untuk Bioregion Bali-Nusa Tenggara ..................5741. FE/FS pada berbagai Tipe Hutan untuk Bioregion Sulawesi ......................................5742. FE/FS pada berbagai Tipe Hutan untuk Bioregion Maluku-Papua ...........................5843. Perubahan Penutupan Lahan Indonesia tahun 2000-2011 .........................................6544. Perubahan Tutupan Hutan menjadi Penutupan Lahan Lain di Indonesia ...............6645. Perubahan Tutupan Lahan Lain Menjadi Hutan di Indonesia ....................................6746. Pendugaan Tingkat Serapan dan Emisi Sektor Kehutanan dan Lahan Gambut .....6947. Ringkasan Potensi Pengurangan Emisi dari Berbagai Kegiatan di Tingkat
Nasional ...................................................................................................................................7348. Ringkasan Potensi Pengurangan Emisi dari Berbagai Kegiatan di Sumatra
Selatan ......................................................................................................................................7649. Potensi Pengurangan Emisi dari Berbagai Kegiatan di Jawa Timur............................7650. Ringkasan Potensi Pengurangan Emisi dari Berbagai Kegiatan di Papua .................7851. Rangkuman Biaya per Kegiatan ..........................................................................................80
x • Daftar Tabel
Daftar Gambar
1. Strategi Penelitian RPI 17, Inventarisasi GRK .................................................................. 32. Jumlah dan klasifikasi dokumen sumber sintesis............................................................... 43. Prosedur systematic review .............................................................................................54. Mekanisme Pusat SIGN untuk inventarisasi GRK nasional ........................................115. Usulan Struktur Pelaksanaan Inventarisasi GRK Sektor Kehutanan .........................196. Model-model Persamaan Regresi Hubungan Kedalaman Gambut dengan Kadar
Karbon Gambut .....................................................................................................................287. Ekosistem Savana ...................................................................................................................378. Cadangan biomassa tegakan dipterokarpa dan non dipterokarpa (ton/ha)
berdasarkan tipe potensi hutan di Hutan Lindung Sungai Wain (Hardjana, et al., 2010). .......................................................................................................................................41
9. Sebaran cadangan biomassa berdasarkan tipe potensi hutan di Hutan Lindung Sungai Wain (Hardjana, et al., 2010). .................................................................................42
10. Ekosistem savanna Eucalyptus alba di Nusa Tenggara Timur ......................................5011. Grafik Jumlah C Tersimpan menurut Strata Hutan Primer (a) dan Strata Hutan
Sekunder (b) di Desa Murnaten .........................................................................................5112. Grafik Jumlah C Tersimpan menurut Strata Hutan Primer (a) dan Strata Hutan
Sekunder (b) di Desa Soya ...................................................................................................5113. Distribusi persamaan alometrik dan kandungan biomasa/karbon hutan dari
kontribusi RPI 17 ..................................................................................................................6214. Pola perubahan tutupan hutan menjadi tutupan lain antar periode (kiri) dan
kumulatif perubahan luas selama periode analisis (kanan) ...........................................6815. Kecenderungan luas perkebunan utama di Indonesia ....................................................6916. Pola perubahan lahan menjadi hutan antar periode (kiri) dan kumulatif
perubahan selama periode analisis (kanan) ......................................................................7017. Tingkat emisi rujukan sektor kehutanan dan lahan gambut Indonesia .....................7218. REL menurut pendekatan historical adjusted .................................................................7319. Komparasi REL menurut pendekatan historis dengan historical adjusted .............. 7420. Nilai tengah estimasi penurunan emisi sektor kehutanan tahun 2020 ......................7521. Nilai tengah estimasi penurunan emisi Provinsi Sumatera Selatan th 2020 .............77
Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) • xi
Daftar Lampiran
1. Persamaan Allometrik menurut Bioregion .................................................................. 99
2. Simpanan Karbon Menurut Bioregion ......................................................................112
Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) • xiii
Ringkasan Eksekutif
Inventarisasi GRK kehutanan memerlukan metode yang akurat dan diakui oleh entitas internasional. Metode tersebut penting untuk memperoleh hasil perhitungan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) kehutanan yang dapat diukur, dilaporkan dan diverifikasi (Measurable, Reportable and Verifiable atau MRV), untuk pengembangan kegiatan perdagangan karbon di Indonesia baik melalui mekanisme pasar sukarela atau wajib (compliance).
Sampai saat ini Indonesia masih menghadapi berbagai masalah terkait inventarisasi dan monitoring GRK. Salah satu bentuknya adalah kurangnya ketersediaan data perubahan penggunaan lahan (activity data) dan faktor emisi/serapan lokal (emission/removal factors) untuk seluruh kategori lahan, carbon pool dan gas non-CO2 yang terkait, yang sangat berpengaruh terhadap tingkat akurasi dan kerincian hasil inventarisasi. Berdasarkan hal tersebut, RPI Pengembangan Perhitungan GRK Kehutanan (Inventory) bertujuan untuk menyediakan informasi, pengetahuan dan teknologi perhitungan emisi dan GRK kehutanan.
Sintesa dilakukan terhadap berbagai dokumen, yaitu: laporan penelitian, skripsi/tesis/disertasi dari berbagai perguruan tinggi, jurnal dan publikasi ilmiah lainnya, serta dokumen resmi yang dipublikasikan lembaga tertentu. Proses pencarian literatur, seleksi, ekstraksi data, sintesis hasil dan penulisan hasil dilakukan melalui beberapa kegiatan dan pendekatan, yaitu: observasi, desk study, dan Focus Group Discusion. Sintesis dilakukan dengan kombinasi pendekatan meta analysis untuk hasil-hasil penelitian kuantitatif dan meta synthesis untuk hasil-hasil penelitian kualitatif. Meta analysis adalah proses systematic review yang menggunakan teknik agregasi data untuk mendapatkan kekuatan statistika dalam konteks tertentu. Adapun meta synthesis merupakan proses systematic review yang menggunakan teknik integrasi data untuk mendapatkan teori atau konsep baru atau tingkatan pemahaman yang lebih mendalam dan menyeluruh.
Sistem inventarisasi GRK kehutanan yang di dalamnya meliputi organisasi dan tata kerja serta perangkat implementasi inventarisasi GRK, teridentifikasi adanya ketidakseimbangan organisasi tingkat nasional dan sub nasional, tumpangtindih kewenangan, serta ketidaksetaraan tingkat keakuratan data antar daerah. Memperhatikan kondisi di atas, berikut ini beberapa langkah penting yang harus diambil untuk memperbaiki sistem MRV di Indonesia, yaitu: (1) pada tingkat nasional, perbaikan sistem inventarisasi GRK dapat dilakukan menggunakan pendekatan sektoral, (2) pada tingkat sub nasional, perbaikan sistem inventarisasi GRK menggunakan pendekatan sektoral juga. Jika sektor tertentu di SKPD yang berwenang sudah memiliki kapasitas melakukan inventarisasi GRK maka dapat memperkuat data dan informasi sektoral pada tingkat di atasnya. Namun jika sektor tertentu di SKPD terkait masih memiliki kapasitas yang lemah, maka dapat dibantu oleh sektor di tingkat pusat. (3) Pembentukan satu portal database faktor emisi dan serapan di Indonesia untuk menyatukan semua studi, project dan aktivitas pendataan faktor emisi dan serapan yang tersebar. (4) Melakukan penetapan default value nasional dan sub nasional, (5) KPH dapat dijadikan sebagai unit manajemen yang melakukan kegiatan tersebut. PSP harus dibangun di semua provinsi, kabupaten dan mewakili semua type tutupan hutan. Dan (6) dualisme pelaksana inventarisasi GRK antara KLH dan Bappenas harus diperjelas dalam pembagian kewenangan antara kedua lembaga.
Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) • xv
Dalam kerangka perbaikan teknik perhitungan karbon dan faktor emisi kehutanan, RPI 17 telah menghasilkan beberapa informasi penting yang dapat dijadikan acuan di tingkat nasional maupun di tingkat lokal, yaitu: tambahan database persamaan allometrik pada berbagai ekosistem hutan di Indonesia, kandungan karbon sebagai acuan faktor emisi dan faktor serapan lokal dari berbagai tipe hutan di Indonesia, persamaan allometrik hutan savanna dan faktor emisi berbagai jenis tanaman dan tipe hutan dari Indonesia Bagian Timur (Nusa Tenggara, Maluku dan Papua).
Berdasarkan temuan tersebut dapat direkomendasikan perbaikan faktor emisi dan serapan sebagai berikut: (1) penggunaan tambahan persamaan allometrik untuk tanaman pada ekosistem savanna, (2) penetapan default value FE nasional dan sub nasional dalam pendekatan bioregion, dan provinsi dapat menggunakan FE menurut region yang sesuai (usulan angka default disajikan pada sintesis ini), (3) pengayaan faktor serapan diperlukan untuk menggambarkan riap atau pertumbuhan biomassa tahunan dari setiap tipe hutan, dan (4) masih perlunya pengayaan keterwakilan persamaan allometrik dan cadangan karbon di seluruh Indonesia. Secara spasial, semua pulau besar di Indonesia sudah memiliki keterwakilan allometrik dan informasi kandungan biomasa/karbon hutan. Fokus pengayaan kedepan dapat ditujukan ke provinsi yang belum memiliki keterwakilan persamaan allometrik adalah : Aceh, Sumatera Utara, Bengkulu, Sumatera Barat, Lampung, Jawa, Sulawesi (kecuali Sulawesi Utara) Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi (kecuali Sulawesi Utara), NTB, Maluku dan Papua Barat. Adapun provinsi yang belum memiliki keterwakilan informasi kandungan biomasa/karbon dari RPI ini adalah : Aceh, Sumatera Utara, Bengkulu, Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi bagian Selatan dan Tenggara.
Terkait dengan aplikasi teknik perhitungan emisi GRK dapat direkomendasikan beberapa hal, yaitu: (1) data aktivitas dan FE/FS masih diperlukan upaya pelengkapan data secara detail untuk: data faktor emisi pada tanah, jenis dan volume kayu bakar, data illegal logging, serangan hama penyakit, dan pemanenan hutan, (2) metode perhitungan REL tingkat nasional cukup menggunakan historical based karena lebih sederhana, lebih murah, dan tidak berbeda nyata dengan metode historical adjusted dalam menghasilkan estimasi penurunan emisi, dan (3) Indonesia bisa memfokuskan kegiatan penurunan emisi kepada 5 aktivitas, yaitu: rehabilitasi hutan dan lahan, pengendalian perambahan, pembangunan HKm, restorasi ekosistem, dan pengendalian konversi hutan.
Perhitungan emisi dari sektor LULUCF pada umumnya memiliki tingkat ketidak pastian yang tinggi karena kurangnya data serta penggunaan data default yang berbeda dengan kondisi sebenarnya. Berbagai pihak telah banyak melakukan penelitian, namun karena belum terintegrasi dengan baik, maka sintesis lanjutan dalam lingkup yang lebih luas sangat dibutuhkan. Selain itu diperlukan kerjasama dengan organisasi litbang lain untuk melakukan penelitian terkait data lokal, misalnya data pertumbuhan untuk masing-masing jenis, hutan dan jenis hutan tanaman, BEF, berat jenis, dan lain-lain. Bagi kepentingan pengayaan data, penting juga dilaksanakan kerjasama/koordinasi dengan insititusi yang telah atau akan membangun PSP agar penempatan PSP dilakukan pada lokasi-lokasi yang dapat merepresentasikan tipe tutupan hutan yang ada di daerah.
xvi • Ringkasan Eksekutif
Kehutanan yang termasuk kedalam sektor LULUCF (Land Use, Land Use Change and Forestry) adalah sektor penting yang harus dimasukkan dalam kegiatan inventarisasi gas rumah kaca (GRK), karena memainkan peranan penting dalam siklus karbon. Laporan Stern (2007) menyebutkan bahwa kontribusi sektor LULUCF sebesar 18%, sedangkan di Indonesia Second National Communication melaporkan LULUCF sebesar 48%. Sebagian besar pertukaran karbon dari atmosfer ke biosfir daratan terjadi di hutan. Status dan pengelolaan hutan akan sangat menentukan apakah suatu wilayah daratan sebagai penyerap karbon (net sink) atau pengemisi karbon (source of emission).
Inventarisasi GRK kehutanan memerlukan metode yang akurat dan diakui oleh entitas internasional. Metode tersebut penting untuk memperoleh hasil perhitungan emisi GRK kehutanan yang dapat diukur, dilaporkan dan diverifikasi (measurable, reportable and verifiable), untuk pengembangan kegiatan perdagangan karbon di Indonesia baik melalui mekanisme pasar sukarela atau wajib (compliance).
Seluruh negara yang meratifikasi UNFCCC menggunakan metode penghitungan emisi yang dikeluarkan oleh IPCC (International Panel on Climate Change). Negara Non-Annex 1 (negara berkembang) dapat menggunakan panduan IPCC 1996 edisi revisi, sementara negara Annex 1 (negara maju) sejak tahun 2005 wajib menggunakan metode dalam LULUCF GPG 2003. Meskipun demikian, negara non-Annex 1 disarankan agar juga menggunakan LULUCF-Good Practice Guidance (GPG) 2003 atau 2006 IPCC Guide Line (GL).
Perhitungan emisi GRK kehutanan termasuk aplikasi IPCC GL 2006 diharapkan akan menghasilkan inventarisasi yang lebih akurat, mengurangi ketidakpastian (reduced uncertanity) dan konsisten dalam pembagian kategori lahan. Hasil perhitungan emisi akan menghasilkan estimasi serapan dan emisi GRK untuk seluruh kategori lahan, stok karbon (carbon pool) yang relevan, serta gas non CO2 (berdasarkan analisis key source/sink category).
Sampai saat ini Indonesia masih menghadapi berbagai masalah terkait inventarisasi dan monitoring GRK. Salah satu bentuknya adalah kurangnya ketersediaan data perubahan penggunaan lahan (activity data) dan faktor emisi/serapan lokal (emission/removal factors) untuk seluruh kategori lahan, carbon pool dan gas non-CO2 yang terkait, yang sangat berpengaruh terhadap tingkat akurasi dan kerincian hasil inventarisasi.
RPI Pengembangan Perhitungan GRK Kehutanan (Inventory) yang dilaksanakan tahun 2010-2014 bertujuan untuk menyediakan informasi, pengetahuan dan teknologi perhitungan emisi dan serapan gas rumah kaca (GRK) kehutanan, dengan sasaran yang ingin dicapai adalah:
Bab 1 Pendahuluan
Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) • 1
1. Diketahuinya informasi tentang perhitungan emisi GRK kehutanan yang meliputi metode inventarisasi, institusi dan data kegiatan, sistem monitoring dan pelaporan nasional, estimasi pengurangan emisi dari substitusi penggunaan energi fosil menjadi biomas, serta estimasi kontribusi sektor kehutanan di Indonesia dalam target penurunan emisi sebesar 26%.
2. Pengembangan teknik perhitungan karbon untuk perbaikan faktor emisi dan serapan untuk berbagai jenis vegetasi dan tipe hutan.
3. Pengujian aplikasi metode IPCC GL untuk penghitungan emisi GRK kehutanan, serta metode penghitungan Reference Emission Level (REL).
Sintesis ini disusun untuk merangkai hasil-hasil penelitian terkait perhitungan emisi GRK kehutanan sampai tahun 2012 yang dilakukan oleh Badan Litbang Kehutanan. Melalui sintesa ini diharapkan dapat menemukan bentuk baru temuan penelitian yang terpecah dalam berbagai aspek, serta menyatukan unsur-unsur penting penelitian yang terpencar ke dalam unit komprehensif dan cara pandang holistik.
Sintesis terdiri atas 6 bab. Bab I berisi tentang latar belakang pentingnya pengembangan perhitungan emsisi GRK kehutanan dan tujuan penyusunan sintesa. Bab II berisi tentang metode penyusunan sintesa. Bab III Sistem Inventarisasi GRK Kehutanan, yang mencakup review sistem inventarisasi GRK kehutanan, kebutuhan sistem inventarisasi dan monitoring GRK kehutanan, dan rekomendasi sistem inventarisasi, monitoring dan pelaporan GRK kehutanan. Bab IV berisi teknik perhitungan karbon untuk perbaikan faktor emisi dan serapan GRK kehutanan, mencakup hutan alam dan hutan tanaman baik lahan mineral maupun gambut. Bab ini menampilkan temuan persamaan allometrik dan faktor emisi (kandungan biomasa/karbon) pada berbagai ekosistem hutan dan jenis tanaman. Bab V adalah aplikasi teknik perhitungan emisi GRK kehutanan, yang meliputi aplikasi perhitungan emisi GRK kehutanan dengan IPCC GL di berbagai wilayah dan penentuan tingkat emisi rujukan (REL) sektor kehutanan. Bab VI Penutup yang berisi rumusan temuan penting sintesa dan implikasinya bagi kebijakan, operasional dan riset lanjutan.
2 • Pendahuluan
2.1 Kerangka Konseptual Sintesis
Sintesis Pengembangan Perhitungan Emisi GRK Kehutanan (Inventory) merupakan sebuah review untuk menjawab 3 (tiga) pertanyaan utama, yaitu: (1) bagaimana perbaikan sistem inventarisasi GRK kehutanan, (2) bagaimana perbaikan perhitungan karbon untuk pengayaan faktor emisi dan serapan, dan (3) bagaimana perhitungan emisi menurut IPCC GL diaplikasikan di Indonesia. Sintesis dilakukan untuk merekonstruksi masalah tersebut didasarkan atas rangkaian hasil penelitian Badan Litbang Kehutanan selama tahun 2010-2014, ditambah dengan sumber lain yang relevan.
Sintesis dilakukan dari berbagai tema, antara lain: metode inventarisasi GRK yang berlaku, mekanisme pengurangan emisi GRK dari berbagai cara, kapasitas simpanan karbon pada berbagai tipe hutan, metode IPCC GL, dan metode penyusunan REL (Gambar 1).
Penelitian Inventarisasi GRK Kehutanan
Kajian inventarisasi GRK kehutanan
Teknik perhitungan karbon untuk perbaikan faktor emisi dan serapan GRK kehutanan (hutan alam dan tanaman)
Aplikasi Perhitungan emisi GRK
1. Kajian metode inventarisasi (Institusi dan Data Kegiatan, monitoring dan pelaporan)
2. Kajian penggunaan faktor emisi dan serapan
3. Kajian mekanisme pengurangan emisi dari hasil substitusi penggunaan energi fossil menjadi biomas
4. Kajian penurunan emisi 26 % 5. Kajian Template IPCC GL
1. Hutan alam gambut 2. Hutan alam mineral 3. Hutan tanaman gambut 4. Hutan tanaman mineral
1. Metode IPCC untuk lokasi Sumatera
2. Metode REL
Sintesis untuk memberikan landasarn ilmiah perbaikan
inventarisasi GRK Kehutanan
Gambar 1. Strategi Penelitian RPI 17, Inventarisasi GRK
Seluruh hasil penelitian sebagaimana tersebut di atas kemudian dikompilasi, diurai dan ditemukan temuan-temuan penting, serta disusun sintesis dari temuan-temuan tersebut. Sintesis dilakukan dengan mengintegrasikan berbagai hasil penelitian yang
Bab 2 Metode Sintesis
Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) • 3
berada di dalam koordinasi RPI 17 sebagai elemen RPI sehingga dihasilkan temuan riset yang utuh, selain sumber lain diluar hasil penelitian RPI yang relevan dengan pertanyaan utama yang akan dijawab.
2.2 Sumber Dokumen Penyusunan Sintesis
Sintesa dilakukan terhadap 135 dokumen, baik berupa laporan penelitian, skripsi/tesis/disertasi dari berbagai perguruan tinggi, jurnal dan publikasi ilmiah lainnya, serta dokumen resmi yang dikeluarkan lembaga untuk dipublikasikan. Laporan penelitian berasal dari berbagai penelitian lingkup Badan Litbang Kehutanan dan project lain yang dilaksanakan di Indonesia (seperti FCPF, UNREDD, DA, dll).
Gambar 2. Jumlah dan klasifikasi dokumen sumber sintesis
2.3 Prosedur Penyusunan Sintesis
Sintesis merupakan konjungsi dari paket review literatur tertentu untuk mengintegasikan berbagai penelitian empiris dalam upaya menemukan generalisasi (Cooper and Hedges, -). Sintesis dilakukan dengan pendekatan systematic review, yaitu sebuah metode penelitian yang merangkum hasil-hasil penelitian primer untuk menghasilkan fakta yang lebih komprehensif dan berimbang (Siswanto, 2010). Prosedur sintesis dilakukan dalam tahapan sebagaimana Gambar 3.
Proses pencarian literatur, seleksi, ekstraksi data, sintesis hasil dan penulisan hasil dilakukan melalui beberapa kegiatan dan pendekatan, antara lain: observasi dan klarifikasi, desk study serta Focus Group Discusion (FGD). Kendali mutu dilakukan melalui review oleh mitra bestari (FGD) (Tabel 1).
Proses sintesis itu sendiri dilakukan dengan kombinasi pendekatan meta analysis untuk hasil-hasil penelitian kuantitatif dan meta synthesis untuk hasil-hasil penelitian kualitatif. Meta analysis adalah proses systematic review yang menggunakan teknik agregasi data untuk mendapatkan kekuatan statistika dalam konteks tertentu. Adapun meta synthesis merupakan proses systematic review yang menggunakan teknik integrasi
Mengembangkan protokol , Membuat batasan pencarian
Formulasi masalah
Pencarian literatur Seleksi hasil penelitian
yang relevan
Ekstraksi dari data studi
Sintesis hasil Penyajian hasil
Pendekatan meta analysis Pendekatan meta synthesis melalui meta agregation
Inklusi dan eksklusi berdasarkan pertanyaan penelitian dan kualitas
Sumber: Siswanto 2010 dan Cooper & Hedges
Gambar 3. Prosedur systematic review
4 • Metode Sintesis
data untuk mendapatkan teori atau konsep baru atau tingkatan pemahaman yang lebih mendalam dan menyeluruh. (Perry and Hamond, 2002).
Tabel 1. Tahapan Kegiatan Penyusunan Sintesa RPI
Kegiatan Luaran Metode pelaksanaan kegiatan
1. Identifikasi dan pengumpulan sumber hasil penelitian
Terkumpulnya LHP dari berbagai UPT
Koordinasi dengan para peneliti di daerah, observasi dan klarifikasi
2. Studi dokumentasi dan review literature
Laporan studi dokumentasi dan review literature
Desk study
3. Kompilasi, analisis komparasi dan analisis deskriptif
Draft 0 sintesa hasil penelitian Desk study
4. Penyusunan, pembahasan dan pencermatan draft sintesa
Draf 1 sintesa hasil penelitian FGD, review mitra bestari
5. Perumusan, penyusunan dan finalisasi sintesa
Draf final sintesa untuk dideliver ke pencetakan di Bidang Pro-gram dan Evaluasi Penelitian (PEP)
Desk study
berada di dalam koordinasi RPI 17 sebagai elemen RPI sehingga dihasilkan temuan riset yang utuh, selain sumber lain diluar hasil penelitian RPI yang relevan dengan pertanyaan utama yang akan dijawab.
2.2 Sumber Dokumen Penyusunan Sintesis
Sintesa dilakukan terhadap 135 dokumen, baik berupa laporan penelitian, skripsi/tesis/disertasi dari berbagai perguruan tinggi, jurnal dan publikasi ilmiah lainnya, serta dokumen resmi yang dikeluarkan lembaga untuk dipublikasikan. Laporan penelitian berasal dari berbagai penelitian lingkup Badan Litbang Kehutanan dan project lain yang dilaksanakan di Indonesia (seperti FCPF, UNREDD, DA, dll).
Gambar 2. Jumlah dan klasifikasi dokumen sumber sintesis
2.3 Prosedur Penyusunan Sintesis
Sintesis merupakan konjungsi dari paket review literatur tertentu untuk mengintegasikan berbagai penelitian empiris dalam upaya menemukan generalisasi (Cooper and Hedges, -). Sintesis dilakukan dengan pendekatan systematic review, yaitu sebuah metode penelitian yang merangkum hasil-hasil penelitian primer untuk menghasilkan fakta yang lebih komprehensif dan berimbang (Siswanto, 2010). Prosedur sintesis dilakukan dalam tahapan sebagaimana Gambar 3.
Proses pencarian literatur, seleksi, ekstraksi data, sintesis hasil dan penulisan hasil dilakukan melalui beberapa kegiatan dan pendekatan, antara lain: observasi dan klarifikasi, desk study serta Focus Group Discusion (FGD). Kendali mutu dilakukan melalui review oleh mitra bestari (FGD) (Tabel 1).
Proses sintesis itu sendiri dilakukan dengan kombinasi pendekatan meta analysis untuk hasil-hasil penelitian kuantitatif dan meta synthesis untuk hasil-hasil penelitian kualitatif. Meta analysis adalah proses systematic review yang menggunakan teknik agregasi data untuk mendapatkan kekuatan statistika dalam konteks tertentu. Adapun meta synthesis merupakan proses systematic review yang menggunakan teknik integrasi
Mengembangkan protokol , Membuat batasan pencarian
Formulasi masalah
Pencarian literatur Seleksi hasil penelitian
yang relevan
Ekstraksi dari data studi
Sintesis hasil Penyajian hasil
Pendekatan meta analysis Pendekatan meta synthesis melalui meta agregation
Inklusi dan eksklusi berdasarkan pertanyaan penelitian dan kualitas
Sumber: Siswanto 2010 dan Cooper & Hedges
Gambar 3. Prosedur systematic review
Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) • 5
3.1 Review Sistem Inventarisasi GRK Kehutanan
3.1.1 Prinsip-prinsip MRV dalam Inventarisasi GRK Kehutanan
Sistem Inventarisasi GRK Kehutanan yang dimaksud merupakan tata hubungan antar komponen yang saling terkait satu sama lain untuk melaksanakan inventarisasi GRK pada bidang kehutanan dan lahan gambut. Kedudukan GRK sektor kehutanan merupakan bagian dari GRK sektor LULUCF, yang pada prakteknya inventarisasi GRK pada bidang kehutanan dan lahan gambut juga memasukkan aktivitas land use change.
Inventarisasi berfungsi untuk mengukur sediaan (stok) karbon pada waktu tertentu, jumlah serapan serta jumlah emisi karbon pada periode waktu tertentu. Pengukuran dilakukan sesuai dengan metode dan prosedur baku secara nasional serta sesuai dengan standar internasional.
IPCC merekomendasikan 2 metode pengukuran, yaitu menggunakan pendekatan (a) perbedaan sediaan (stock difference) dan (b) metode Gain-loss. Pendekatan Gain-Loss adalah pendekatan berbasis proses (process-based method), dimana pertumbuhan akan diberi nilai karbon (+) positif dan pembusukan diberi nilai (-) negative. Dengan tanda positif akan berarti penambahan cadangan karbon, sebaliknya negatif akan menjelaskan tentang pengurangan cadangan karbon.
Dalam metode berbasis-sediaan (stock based method), yaitu perbedaan stok (stock difference), pengukuran karbon dilakukan di awal dan di akhir periode. Perubahan cadangan karbon diperoleh melalui selisih cadangan karbon waktu terakhir terhadap waktu sebelumnya untuk setiap unit waktu tertentu. Prinsip-prinsip MRV dalam inventarisasi GRK adalah sebagai berikut:1. Pendekatan remote sensing dan terestris dengan hasil yang teliti tetapi ekonomis.
Perhitungan emisi pada REDD+ didasarkan pada data perubahan penggunaan lahan (activity data) yang diturunkan menggunakan data penginderaan jauh (remote sensing) dan pengukuran karbon secara detail di lapangan melalui National Forest Inventory (NFI) untuk menghitung faktor emisi.
2. Menggunakan kategori penggunaan lahan yang sesuai dengan IPCC Guidelines terbaru (2006) (IPCC GL 2006), AFOLU (Agriculture, Forestry and Other Land Use). LULUCF IPCC Good Practice Guidance tahun 2003 (LULUCF IPCC GPG 2003) dan GL 2006, membagi kelas tutupan lahan menjadi 6 kategori, yaitu:
Bab 3 Sistem Inventarisasi GRK Kehutanan
Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) • 7
a. Lahan hutan (Forest Land). Kategori ini mencakup semua lahan yang bervegetasi kayu, yang konsisten dengan kategori yang digunakan dalam mendefinisikan lahan hutan pada inventarisasi gas rumah kaca (GRK). Kategori ini juga termasuk lahan yang vegetasi pohonnya sudah sangat jarang dan dalam kondisi rusak, tetapi mempunyai potensi untuk kembali mencapai menjadi hutan dengan nilai ambang batas yang didefinisikan untuk penentuan GRK.
b. Lahan pertanian (Cropland). Kategori ini mencakup lahan pertanian yang mencakup sawah, agro-forestry (tumpang sari), dimana struktur vegetasinya sangat rendah dibandingkan dengan vegetasi hutan.
c. Alang-alang/padang rumput (Grassland). Kategori ini mencakup tutupan padang penggembalaan dan padang rumput yang tidak termasuk sebagai lahan pertanian. Kondisi vegetasinya sangat jarang. Untuk vegetasi bukan rumput seperti perdu/semak dan belukar dikelompokkan pada kategori ini. Kategori ini juga mencakup semua rumput dari lahan-lahan yang ada di areal rekreasi serta sistem pertanian dan silvo-pastural serta konsisten dengan definisi nasional.
d. Lahan basah (wetlands). Adalah kategori yang mencakup padang penggembalaan ternak dan padang rumput. Kategori ini mencakup areal gambut dan lahan yang tergenang air atau jenuh oleh air sepanjang tahun atau yang bersifat sementara (musiman) (misalnya: lahan gambut), yang tidak dikategorikan sebagai hutan, lahan pertanian, alang-alang atau kategori permukiman. Kategori ini termasuk waduk dan danau.
e. Permukiman (settlement). Kategori mencakup semua lahan terbangun termasuk infrastruktur transportasi dan kawasan permukiman dengan berbagai ukuran, kecuali yang sudah termasuk dalam kategori lainnya. Hal ini harus konsisten dengan definisi penggunaan lahan nasional.
f. Lahan lainnya (other land). Kategori ini mencakup lahan-lahan gundul, batu, es, dan semua lahan lainnya yang tidak termasuk ke salah satu dari lima kategori lainnya. Hal ini memungkinkan total lahan dapat teridentifikasi. Jika data tersedia, negara-negara didorong untuk mengklasifikasikan lahan-lahan terlantar menggunakan kategori yang telah digunakan untuk meningkatkan transparansi serta meningkatkan kemampuan dalam melacak penggunaan lahan serta konversi dari setiap penggunaan lahan.
3. Pertimbangan 5 tampungan karbon (carbon pools) yang mencakup (a) biomas di atas permukaan tanah (above ground biomass: pool 1) , (b) biomas di bawah permukaan tanah (below ground biomass: pool 2), (c) biomas dalam batang/cabang/ranting yang mati (dead wood/nekromasa: pool 3), (d) biomas dalam tanah (soil: pool 4) dan biomas pada serasah (litter: pool 5).
8 • Sistem Inventarisasi GRK Kehutanan
3.1.2 Dasar Penyelenggaraan Inventarisasi GRK
Tujuan utama dari UNFCCC (United National Framework Convention on Climate Change- Kerangka Kerja PBB untuk Konvensi Perubahan Iklim) adalah untuk mencapai stabilisasi konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer pada tingkat yang tidak membahayakan sistem iklim. Konvensi tidak mendefinisikan secara spesifik seberapa besar “tingkat membahayakan”, kapan periode waktu untuk melakukan aksi mitigasi tersebut. Tetapi konvensi menyebutkan bahwa tingkat stabilisasi harus dicapai dalam periode waktu yang mencukupi:1. Bagi ekosistem untuk beradaptasi secara alami terhadap perubahan iklim 2. Untuk menjamin produksi pangan tidak terancam dan 3. Untuk membangun ekonomi secara berkelanjutan Indonesia telah meratifikasi konvensi pada Agustus 1994 melalui UU no 6/1994 tentang Undang Undang No. 6 Tahun 1994 Tentang: Pengesahan United Nations Framework Convention On Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa Bangsa Mengenai Perubahan Iklim) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Sebagai pihak penandatangan konvensi, Indonesia terikat pada komitmen yang disepakati dalam konvensi, dan berkomitmen untuk menyusun komunikasi nasional yang berisi tentang inventarisasi GRK Nasional, deskripsi tentang langkah-langkah yang diambil untuk mencapai tujuan konvensi (adaptasi dan mitigasi), dan informasi lainnya yang relevan dengan pencapaian tujuan konvensi. Kesepakatan para pihak untuk inventarisasi GRK adalah:1. Para pihak setuju untuk “ membangun, memperbaharui secara periodik, menyediakan
inventarisasi emisi nasional menurut sumber (source) dan rosot (sink) untuk semua jenis gas yang tidak diatur dalam Protokol Montreal, dengan menggunakan metodologi yang dapat diperbandingkan yang disetujui oleh para pihak (UNFCCC, 1992).
2. Metodologi yang dapat diperbandingkan ialah metode-metode yang disusun oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC)
Sistem monitoring dan pelaporan emisi GRK nasional yang dimaksud adalah sebuah mekanisme yang dirancang secara nasional untuk melakukan pemantauan dan pengumpulan data aktivitas sumber emisi dan serapan GRK termasuk simpanan karbon, penetapan faktor emisi dan faktor serapan, serta penghitungan emisi dan serapan GRK. Berdasarkan Perpres No. 71 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Inventarisasi GRK Nasional, sistem inventarisasi ini bertujuan untuk menyediakan: (1) informasi secara berkala mengenai tingkat, status dan kecenderungan perubahan emisi dan serapan GRK termasuk simpanan karbon di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota, dan (2) informasi pencapaian penurunan emisi GRK dari kegiatan mitigasi perubahan iklim nasional.
Sektor yang diberikan kewajiban adalah: pertanian, kehutanan dan lahan gambut, energi dan transportasi, industri, dan pengelolaan limbah. Jenis GRK yang harus
Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) • 9
diinventarisir adalah: karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dinitro oksida (N2O), dinitro oksida (N2O), hidrofluorokarbon (HFCs), perfluorokarbon (PFCs), dan sulfur heksafluorida (SF6). Dasar penyelenggaraan inventarisasi GRK adalah:1. Indonesia meratifikasi Konvensi Perubahan Iklim melalui UU 6 tahun1994, yang
mewajibkan Indonesia untuk melakukan pelaporan melalui dokumen komunikasi nasional (national communication/NATCOM; pasal 12 Konvensi) yang salah satunya berisi tentang Inventarisasi GRK nasional.
2. Pasal 65 ayat (3) huruf a, UU nomor 31 tahun 2009 tentang Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika: untuk perumusan kebijakan perubahan iklim, dilakukan inventarisasi emisi GRK
3. UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup: bahwa Pemerintah, Pemerintah Propinsi, Kabupaten/Kota melakukan inventarisasi emisi GRK (pasal 63).
Berdasarkan landasan yuridis tersebut sudah cukup kuat bagi semua sektor di tingkat nasional, dan pemerintah daerah di tingkat provinsi dan kabupaten untuk melakukan inventarisasi GRK. Namun proses inventarisasi saat ini baru berjalan di tingkat nasional dan provinsi dengan berbagai keperluan penyempurnaan, sedangkan inventarisasi di tingkat kabupaten belum dapat dijalanakan.
3.1.3 Sistem Inventarisasi GRK Kehutanan
3.1.3.1 Organisasi dan Tata Kerja
Penanggung jawab sistem inventarisasi di tingkat nasional adalah Kementerian Lingkungan Hidup, sehingga struktur penanggung jawab di tingkat sub nasional adalah Badan Lingkungan Hidup Daerah Provinsi dan Kabupaten (Gambar 4). Proses inventarisasi dan perhitungan dilakukan secara berjenjang oleh Badan Lingkungan Hidup Daerah dan dikompilasi dengan hasil inventarisasi Dinas terkait. Kementerian Lingkungan Hidup berkewajiban menyusun Laporan Komunikasi Nasional Perubahan Iklim dan disampaikan kepada Perwakilan Pemerintah sebagai Sistem Focal Point pada UNFCCC. Sistem inventarisasi GRK ini merupakan sistem yurisdiksi.
Dalam hal monitoring dan pelaporan, Tabel 2 berikut ini adalah pembagian kewenangan dari pengorganisasian di tingkat nasional.
Produk sistem inventarisasi kombinasi yurisdiksi-sektoral tersebut menghasilkan dualisme laporan GRK nasional. Pertama adalah Laporan Komunikasi Nasional berdasarkan kalkulasi emisi GRK menurut Rencana Aksi Daerah (RAD) Penurunan Emisi GRK. Namun demikian, karena pola ini berupa pola bottom up maka memerlukan waktu yang sangat lama. Dengan demikian kemudian diinisiasi untuk dilakukan penyusunan
Pendekatan Top Down
SIGNKementerian/Lembaga (K/L)
Kem-LH
GUBERNURKemdagri
BLHD Tingkat Propinsi
Dinas Tingkat Propinsi
BLHD Kab/Kota
Dinas Kab/Kota
Data Aktivitas
Laporan Inventarisasi GRK
Laporan Inventarisasi
GRK
Laporan Inventarisasi
GRK
Data Aktivitas
Dinas Kab/Kota
Data AktivitasData Aktivitas
Dinas Tingkat Propinsi
Pendekatan Bottom up
Sumber: Kementerian LH, 2012a
Gambar 4. Mekanisme Pusat SIGN untuk Inventarisasi GRK Nasional
10 • Sistem Inventarisasi GRK Kehutanan
diinventarisir adalah: karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dinitro oksida (N2O), dinitro oksida (N2O), hidrofluorokarbon (HFCs), perfluorokarbon (PFCs), dan sulfur heksafluorida (SF6). Dasar penyelenggaraan inventarisasi GRK adalah:1. Indonesia meratifikasi Konvensi Perubahan Iklim melalui UU 6 tahun1994, yang
mewajibkan Indonesia untuk melakukan pelaporan melalui dokumen komunikasi nasional (national communication/NATCOM; pasal 12 Konvensi) yang salah satunya berisi tentang Inventarisasi GRK nasional.
2. Pasal 65 ayat (3) huruf a, UU nomor 31 tahun 2009 tentang Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika: untuk perumusan kebijakan perubahan iklim, dilakukan inventarisasi emisi GRK
3. UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup: bahwa Pemerintah, Pemerintah Propinsi, Kabupaten/Kota melakukan inventarisasi emisi GRK (pasal 63).
Berdasarkan landasan yuridis tersebut sudah cukup kuat bagi semua sektor di tingkat nasional, dan pemerintah daerah di tingkat provinsi dan kabupaten untuk melakukan inventarisasi GRK. Namun proses inventarisasi saat ini baru berjalan di tingkat nasional dan provinsi dengan berbagai keperluan penyempurnaan, sedangkan inventarisasi di tingkat kabupaten belum dapat dijalanakan.
3.1.3 Sistem Inventarisasi GRK Kehutanan
3.1.3.1 Organisasi dan Tata Kerja
Penanggung jawab sistem inventarisasi di tingkat nasional adalah Kementerian Lingkungan Hidup, sehingga struktur penanggung jawab di tingkat sub nasional adalah Badan Lingkungan Hidup Daerah Provinsi dan Kabupaten (Gambar 4). Proses inventarisasi dan perhitungan dilakukan secara berjenjang oleh Badan Lingkungan Hidup Daerah dan dikompilasi dengan hasil inventarisasi Dinas terkait. Kementerian Lingkungan Hidup berkewajiban menyusun Laporan Komunikasi Nasional Perubahan Iklim dan disampaikan kepada Perwakilan Pemerintah sebagai Sistem Focal Point pada UNFCCC. Sistem inventarisasi GRK ini merupakan sistem yurisdiksi.
Dalam hal monitoring dan pelaporan, Tabel 2 berikut ini adalah pembagian kewenangan dari pengorganisasian di tingkat nasional.
Produk sistem inventarisasi kombinasi yurisdiksi-sektoral tersebut menghasilkan dualisme laporan GRK nasional. Pertama adalah Laporan Komunikasi Nasional berdasarkan kalkulasi emisi GRK menurut Rencana Aksi Daerah (RAD) Penurunan Emisi GRK. Namun demikian, karena pola ini berupa pola bottom up maka memerlukan waktu yang sangat lama. Dengan demikian kemudian diinisiasi untuk dilakukan penyusunan
Pendekatan Top Down
SIGNKementerian/Lembaga (K/L)
Kem-LH
GUBERNURKemdagri
BLHD Tingkat Propinsi
Dinas Tingkat Propinsi
BLHD Kab/Kota
Dinas Kab/Kota
Data Aktivitas
Laporan Inventarisasi GRK
Laporan Inventarisasi
GRK
Laporan Inventarisasi
GRK
Data Aktivitas
Dinas Kab/Kota
Data AktivitasData Aktivitas
Dinas Tingkat Propinsi
Pendekatan Bottom up
Sumber: Kementerian LH, 2012a
Gambar 4. Mekanisme Pusat SIGN untuk Inventarisasi GRK Nasional
Laporan Komunikasi Nasional melalui pendekatan top down. Implikasinya adalah ketika hasil kalkulasi emisi nasional kedua pendekatan tersebut diperbandingkan diperoleh angka yang berbeda secara signifikan dan memerlukan konsolidasi ulang terhadap perhitungan emisi nasional.
Perhitungan emisi melalui RAD masing-masing provinsi dilakukan secara terpisah. Sebagai contoh penghitungan emisi khusus sektor kehutanan di Provinsi Sulawesi Tengah yang telah dilakukan penyesuaian dengan menggunakan rasio proporsi lahan hutan dan kepadatan penduduk adalah sebesar 15.239.420 ton C/tahun atau setara dengan 55.928.671 ton CO2-eq/tahun (Bappeda Provinsi Sulawesi Tengah, 2012).
Nilai ini berada di atas kuota emisi yang dihitung oleh Kementerian Kehutanan yaitu sebesar 41.774.201 CO2-eq pada tahun 2020. Perhitungan emisi GRK di Provinsi Jawa Tengah dilakukan dengan metode historical based di mana perhitungan GRK sektor kehutanan pada tahun 2010 sebesar -269.282 ton CO2e atau terjadi penyerapan emisi (net sinker). Sementara proyeksi emisi pada tahun 2020 dengan skenario BAU dibuat dengan mempertimbangkan pertumbuhan penduduk berdasarkan historical trend sebesar 3.83% diperoleh nilai tengah sebesar 731.000 ton CO2e. Sementara kuota emisi berdasarkan perhitungan Kementerian Kehutanan pada tahun 2020 Provinsi Jawa Tengah berkewajiban menurunkan emisinya sebesar 4.838.884 CO2e. Ketiga kabupaten lokasi penelitian
Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) • 11
belum melakukan inventarisasi GRK kehutanan. Akan tetapi persiapan-persiapan yang diperlukan untuk pelaksanaan inventarisasi mulai dipersiapkan.
Pelaksanaan inventarisasi dengan pola yurisdiksi ini mengutamakan laporan dari Satuan Kerja Perangkat Daerah, sementara peran Unit Pelaksana Teknis (UPT) kementerian terkait belum dilibatkan dalam inventarisasi. Sebagai contoh berbagai data dari IHMB (Inventarisasi Hutan Menyeluruh dan Berkala) yang dikoordinasikan oleh BPKH (Balai Pemantapan Kawasan Hutan), data potensi hutan IUPHHKA maupun IUPHHKHT yang dikoordinir oleh BP2HP (Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi), serta data lainnya tidak digunakan sebagai sumber inventarisasi oleh Bappeda. Hal tersebut menunjukkan pola koordinasi di tingkat tapak tidak terjalin dengan baik dalam sistem inventarisasi GRK.
Kedua adalah laporan Second Nasional Communication (SNC) menghasilkan perhitungan emisi menurut asumsi nasional dan kompilasi secara sektoral di tingkat nasional. Sistem inventarisasi menurut Perpres 71 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional tersebut juga memberikan tugas terhadap kementerian terkait, sehingga secara sektoral juga melakukan inventarisasi GRK.
Tabel 2. Pengorganisasian Monitoring dan Pelaporan GRK Nasional
No. Lembaga Kewenangan
1 Kementerian PPN/Bappenas
• Melakukan koordinasi rencana kegiatan pembangunan termasuk kegiatan inventarisasi GRK.
• Koordinasi penelaahan dan pembahasan hasil laporan propinsi dibantu oleh Sekretariat RAN GRK.
2 Kementerian Lingkungan Hidup
• KLH melakukan koordinasi inventarisasi GRK untuk mengetahui tingkat status dan perubahan emisi.
• Mengembangkan Sistem Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional (SIGN)
3 Kementerian Dalam Negeri
Melakukan koordinasi pemantauan dan evaluasi Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) terkait kegiatan RAD GRK.
4 Kementerian Kehutanan (dan kementerian teknis lainnya)
Koordinasi mengenai metodologi perhitungan sehingga perhitungan sesuai dengan kondisi dan situasi lokal dan sesuai dengan yang digariskan oleh UNFCCC.
5 Dewan Nasional Perubahan Iklim
Sebagai focal point DNPI melakukan koordinasi komunikasi nasional mengenai pencapaian RAN/RAD GRK sebagai sumber negosiasi
6 Pemerintah Daerah • Gubernur mengkoordinasikan inventarisasi GRK di Provinsi• Bupati/Walikota melakukan inventarisasi GRK tingkat Kabupaten/Kota
7 Badan Pengelola REDD Focal point rencana aksi dan implementasi REDD+ di Indonesia
12 • Sistem Inventarisasi GRK Kehutanan
Hasil perhitungan Kementerian Lingkungan Hidup tahun 2000-2005 menunjukkan bahwa emisi dari kehilangan biomasa terkait deforestasi diprediksi konstan pada rate 0,898 Gt CO2/thn. Sementara, rate sekuestrasi diasumsikan meningkat dari 0,505 Gt CO2/thn pada tahun 2005 menjadi 0,753 Gt CO2/thn pada tahun 2020. Peningkatan sekuestrasi tersebut merupakan hasil regenerasi hutan sekunder, rehabilitasi lahan (afforestasi dan reforestasi) serta pertumbuhan vegetasi berkayu.
Pada sektor kehutanan, inventarisasi GRK masukkan ke dalam program Inventarisasi Hutan Nasional (National Forest Inventory - NFI). Direktorat Jenderal Planologi adalah Eselon I yang secara operasional mendapat tugas untuk menyiapkan data aktivitas, NFI, dan klasifikasi penggunaan lahan. Salah satu kelemahan NFI adalah belum memasukkan semua pool karbon, karena NFI dirancang untuk keperluan inventarisasi potensi tegakan hutan, bukan inventarisasi biomasa/karbon hutan.
Saat ini terdapat beberapa prakondisi yang dapat dijadikan modal untuk menuju perbaikan sistem inventarisasi GRK kehutanan ( Jaya dan Saleh, 2011), antara lain sebagai berikut: 1. Pengumpulan data biomassa dari kawasan hutan telah dilakukan melalui beberapa
kegiatan rutin, di antaranya adalah inventarisasi hutan nasional (National Forest Inventory/NFI), pembuatan plot ukur permanen (Permanent Sample Plot/PSP) dan plot ukur sementara (Temporary Sample Plot/TSP) oleh pihak swasta, Litbang, Demonstration Activity (DA), inventarisasi hutan menyeluruh berkala (IHMB), Inventarisasi tegakan sebelum penebangan serta data clearing house
2. Rancangan penerapan Indonesian National Carbon Accounting Sistem (INCAS) 3. Pengukuran karbon oleh DA [MRPP, Ulumasen, Meru Betiri, Berau, ALREDDI] 4. Web GIS kehutanan sudah terbangun, tetapi belum dimanfaatkan secara optimal 5. IDSN sedang dibangun [Bakosurtanal] 6. Penutupan lahan telah dapat diperbaharui setiap 3 thn [1990, 1996, 2000, 2003,
2006, 2009], sehingga peta tematik kehutanan telah tersedia secara periodik 7. Data-data lain yang telah tersedia adalah: Data statistik kehutanan, Neraca Sumber
Daya Hutan (NSDH), data hasil inventarisasi hutan.
3.1.3.2 Perangkat implementasi inventarisasi GRK
Perangkat implementasi inventarisasi GRK meliputi Monitoring, Reporting dan Verification. Monitoring mencakup segala bentuk tindakan pengumpulan data, pengukuran, perhitungan dan analisis, manajemen data serta data sharing. Reporting mencakup prosedur pelaporan, jenis dan elemen yang dilaporkan, kewenangan lembaga pelapor serta lembaga yang menerima laporan. Adapun verification mencakup upaya melakukan validasi data dan informasi yang dilaporkan, validasi dapat dilakukan oleh pihak internal maupun eksternal.
Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) • 13
Elemen monitoring disajikan pada Tabel 3. Pada tabel tersebut diulas mengenai basis data, teknik pengukuran, dan metode perhitungan pada kondisi faktual dan kebutuhan penyempurnaannya.
Tabel 3. Kondisi Faktual Monitoring GRK Kehutanan dan Kebutuhan Penyempurnaan
Komponen Monitoring Kondisi Faktual Kebutuhan Penyempurnaan
Basis data • Base year nasional adalah 2005-2010, sementara base year sektor kehutanan diusulkan 2000-2010. Sampai saat ini belum ada kesepakatan penggunaan base year untuk perhitungan REL
• Data aktivitas mengandalkan citra satelit, kombinasi dengan ground check (dalam bentuk PUP pada NFI)
• Pemerintah daerah (provinsi maupun kabupaten) banyak menggunakan data aktivitas dan FE dari data nasional Kemenhut, kecuali daerah-daerah yang menjadi lokasi proyek tertentu.
• Banyaknya penyedia data potensial: operator tanaman, organisasi industri, lembaga/badan lingkungan, badan statistik nasional, lembaga internasional, peneliti dan akademisi, literatur, inventori lainnya.
• Ditjen Planologi sesegera mungkin melakukan konsolidasi internal dan konsolidasi dengan KLH
• Meng-up grade NFI sehingga sesuai dengan kebutuhan data pemantauan biomasa hutan
• Puspijak (Badan Litbang Kehutanan) segera menetapkan default nasional dan sub nasional sebagai acuan semua entitas.
• Organisasi penyedia jasa potensial dapat dilibatkan secara partisipatif
• Telah memiliki SNI 7724 tahun 2011 dan 7725 tahun 2011, berlaku nasional
• Nilai fraksi karbon belum berdasarkan data lokal, masih menggunakan data default IPCC
• NFI tidak dirancang untuk inventarisasi GRK kehutanan, saat ini dikembangkan untuk digunakan sebagai sumber data penghitungan biomasa/karbon hutan
• Harus dipastikan bahwa SNI 7724 tahun 2011 dan 7725 tahun 2011diaplikasikan pada setiap PUP yang dibangun
• Melakukan penelitian fraksi karbon secara langsung terhadap berbagai spesies kayu di Indonesia yang belum diketahui fraksi karbonnya
• Melakukan perbaikan pada proses pengukuran PUP pada NFI
• Mengukur karbon pada 5 pool karbon
Teknik pengukuran biomasa/karbon hutan
• Pool karbon yang diukur sangat bervariasi, sebagian besar above ground biomass, sebagian kecil lengkap meliputi semua carbon pool
• Pengukuran PUP yang berkelanjutan masih menjadi isu lokal, pembiayaan masih menjadi tantangan utama
• Mencari pembiayaan PUP di daerah dari sumber non APBD yang tidak mengikat
Metode perhitungan
• Perhitungan deforestasi dan degradasi hutan difokuskan di kawasan hutan, bukan pendekatan tree cover lost
• Perlu menetapkan terminologi deforestasi dan degradasi sehingga diakui legitimasinya lintas sektoral, bukan hanya sektor kehutanan saja
14 • Sistem Inventarisasi GRK Kehutanan
Komponen Monitoring Kondisi Faktual Kebutuhan Penyempurnaan
• Kegiatan yang dihitung pada inventarisasi GRK nasional: menggunakan data perubahan tutupan lahan hasil interpretasi Ditjen Planologi Kehutanan
• Belum memperhitungkan kapasitas konservasi untuk dasar perhitungan insentif tanpa additionality
• Terdapat 3 metode perhitungan REL: historical, historical adjusted, dan forward looking
• Estimasi emisi menggunakan pendekatan stock different, belum menggunakan gain loss
• Data deforestasi dan degradasi hasil interpretasi citra harus di-cross check dengan data aktivitas/kegiatan dari eselon I teknis untuk meningkatkan akurasi
• Konsep additionality pada areal konservasi perlu ditinjau ulang untuk dilebur, basis perhitungan insentif dapat menggunakan pendekatan opportunity cost
• Tingkat nasional menggunakan metode historical, tingkat sub nasional menggunakan metode historical, adjusted, atau forward looking
• Perbaikan perhitungan menjadi gain loss method membutuhkan kelengkapan data, waktu, biaya, sumberdaya manusia, dan metode yang digunakan konsistensi.
• Tingkat keakuratan untuk nasional cukup tier 2, untuk sub nasional bisa tier 3
Terkait elemen pelaporan, dari Tabel 4 dapat dilihat informasi apa saja yang harus dielaborasi dalam laporan-laporan terkait inventarisasi GRK baik di tingkat nasional maupun di tingkat internasional. Untuk laporan ke pihak internasional baik BUR maupun komunikasi nasional terlihat terdapat beberapa hal yang harus dilaporkan, sedangkan pada laporan di tingkat nasional tidak dilaporkan yaitu detail pelaksanaan inventarisasi itu sendiri, metodologi, asumsi-asumsi yang digunakan, serta hambatan-hambatan dalam penyelenggaraan inventarisasi GRK. Sementara untuk pelaporan di tingkat nasional dari Lampiran 1 dan Lampiran 2 dapat dilihat bahwa pada intinya informasi terkait inventarisasi GRK yang disajikan dalam laporan inventarisasi GRK kepada Kementerian LH dengan laporan RAD-GRK/RAN GRK adalah serupa.
Lembaga pelapor di tingkat nasional terjadi dualisme antara KLH (menjalankan PP no 71 tahun 2011) dan Bappenas (menjalankan PP no 61 tahun 2011). Dalam konteks pelaporan ini, Bappenas menempati posisi yang benar jika mengambil sumber dari hasil inventarisasi KLH, Kementerian/Lembaga teknis terkait dan Pemerintah Daerah. Jika Bappenas melakukan atau mengkoordinir pelaksanaan inventarisasi kendati terkait pelaksanaan RAN GRK, maka Bappenas menyalahi kewenangan KLH.
Selain itu, kejelasan laporan estimasi emisi harus mendapatkan kejelasan untuk berbagai skema yang tersedia. Pertanyaan pentingnya antara lain:1. Apakah laporan penurunan emisi yang dicapai Indonesia sudah jelas batasnya antara
hasil performance domestic dan bantuan internasional
Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) • 15
2. Apakah laporan penurunan emisi yang dicapai Indonesia telah dibagi dengan jelas antara RAN, REDD+, pasar karbon atau dengan skema lainya.
Tabel 4. Pelaporan Hasil Inventarisasi Gas Rumah Kaca ke Pihak Nasional dan Internasional
Unsur Pelaporan
Inventarisasi GRK RAD RAN Biennial Update
Report (BUR)Komunikasi
Nasional
Periode pelaporan
1 tahun sekali 1 tahun sekali 1 tahun sekali 2 tahun sekali 4 tahun sekali
Pemberi laporan
Bupati/Gubernur/KLTerkait
Gubernur Kementerian/ Lembaga Terkait
Negara Negara
Penerima laporan
KLH Bappenas Bappenas UNFCCC UNFCCC
Kegiatan yang dilaporkan
• Informasi berkala status dan tren emisi dan serapan GRK termasuk simpanan karbon di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten
Rencana kerja kegiatan yang secara langsung dan tidak langsung menurunkan emisi GRK sesuai dengan target pembangunan daerah
Rencana kerja pelaksanaan kegiatan yang secara langsung dan tidak langsung menurunkan emisi GRK sesuai target pembangunan nasional
• Informasi status nasional dan pengaturan kelembagaan untuk persiapan komunikasi nasional;
• Pelaksanaan inventarisasi nasional;
• Informasi kegiatan mitigasi dan kontribusi penurunan emisi (metodologi dan asumsi)
• Informasi status nasional dan pengaturan kelembagaan untuk persiapan komunikasi nasional;
• Pelaksanaan inventarisasi nasional;
• Informasi kegiatan mitigasi dan kontribusi penurunan emisi (metodologi dan asumsi)
• Informasi pencapaian penurunan emisi GRK dan kegiatan mitigasi perubahan iklim nasional
• Hambatan dan kebutuhan teknis dan peningkatan kapasitas,
• Informasi bantuan yang diperoleh untuk penyusunan BUR;
• Informasi laporan pengukuran domestik dan verifikasi
• Hambatan dan kebutuhan teknis dan peningkatan kapasitas,
• Informasi bantuan yang diperoleh untuk penyusunan BUR;
• Informasi laporan pengukuran domestik dan verifikasi
Sumber: Panduan Teknis Penghitungan Emisi dan Serapan Gas Rumah Kaca Sektor Berbasis Lahan Pada Skenario BAU dan Aksi Mitigasi, Buku I: Landasan Ilmiah (draft), Pedoman Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional Buku I Pedoman Umum; Report of the Conference of the Parties on its Seventeenth Session: Decisions adopted by the COP 17; Report of the Conference of the Parties on its Sixteenth Session: Decisions adopted by the COP 16.
Adapun terkait verifikasi, Kementerian Lingkungan Hidup mengeluarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No 15 tahun 2013 tentang Pengukuran, Pelaporan dan Verifikasi Aksi Mitigasi Perubahan Iklim (Tabel 5). Peraturan Menteri LH ini memberi arah yang lebih jelas terhadap elemen Monitoring dan Reporting, namun belum cukup memberikan arahan bagi elemen Verification, khususnya komponen pelaksana dan persyaratannya.
16 • Sistem Inventarisasi GRK Kehutanan
Tabel 5. Pengaturan Verifikasi Aksi Mitigasi Perubahan Iklim
No. Komponen Uraian
1 Pelaksana Internal dan eksternal, ditunjuk oleh penanggung jawab aksi mitigasi
2 Persyaratan verifikator Tidak terlibat langsung dalam aksi mitigasi, memiliki sertifikat verifikator aksi mitigasi
3 Elemen verifikasi • Batas luasan aksi (meliputi: rencana aksi dan target mitigasi, lokasi, waktu pelaksanaan)
• Baseline • Kesesuaian metodologi• Jenis GRK yang tercakup (salah satu dan/atau meliputi: CO2, CH4,
PFCs, HFCs, N2O, SF6)• Kesesuaian capaian dengan target
Sumber: Permen LH No. 15 tahun 2013 (diolah)
3.2 Rekomendasi Sistem Inventarisasi, Monitoring dan Pelaporan GRK Kehutanan
Mencermati sistem inventarisasi GRK kehutanan yang di dalamnya meliputi organisasi dan tata kerja serta perangkat implementasi inventarisasi GRK, berikut ini disajikan hasil analisis Structure Conduct Performance sebagaimana Tabel 6. Tabel tersebut mengidentifikasi adanya ketidakseimbangan organisasi tingkat nasional dan sub nasional, tumpangtindih kewenangan, serta ketidaksetaraan tingkat keakuratan data antar daerah.
Tabel 6. Resume hasil analaisis Structure Conduct Performance
Structure Conduct: M-R-V Performance
DNPI Focal Point komunikasi nasional dan negosiasi
• Organisasi dan tata kerja: banyak di tingkat pusat, sedikit di tingkat daerah dan tapak.
• Beberapa urusan tumpangtindih satu sama lain (misal: inventarisasi GRK dan penyusunan REL).
• Keakuratan data di tingkat nasional lebih rendah dibanding tingkat tapak, namun keakuratan di tingkat sub nasional relatif sama dengan tingkat nasional. Namun demikian, sebaran data di tingkat tapak tidak merata di semua wilayah.
Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) • 17
Structure Conduct: M-R-V Performance
BPREDD Focal point pencapaian RAN GRK dan negosiasiMenghitung REL fokus kepada deforestasi, lahan gambut dan kebakaran
• Elemen yang dilaporkan masih belum memenuhi unsur kelengkapan, namun terus ditingkatkan dengan prinsip improvement pada masa pelaporan berikutnya.
• Konsep sistem verifikasi belum dilakukan pengujian di tingkat nasional maupun sub nasional
Bappenas Inventarisasi GRK untuk pencapaian RANMenghitung REL berdasarkan agregasi RAD
KLH Inventarisasi GRK untuk National Communication, UNFCCC dan BUR
Depdagri Pemantauan dan evaluasi pencapaian penurunan emisi GRK di daerah
Ditjen Planologi Kemenhut
Penyiapan data aktivitas, REL dan status emisi sektor kehutanan
Pemda / Bappeda Penyiapan data aktivitas, REL dan status emisi sub nasional
DA/Project Penyiapan data aktivitas, REL dan status emisi di tingkat tapak
Memperhatikan kondisi di atas, berikut ini beberapa langkah penting yang harus diambil untuk memperbaiki situasi sistem MRV di Indonesia, yaitu:1. Sistem inventarisasi GRK
a. Kombinasi sistem yurisdiksi dan sektoral belum efektif untuk tingkat nasional. Data sektoral lebih detail dan lebih maju dibandingkan data dari sub nasional. Tingkat sub nasional (provinsi) memiliki tingkat pemahaman yang lebih rendah terhadap sistem secara keseluruhan, dan data yang diacu sebagian besar berasal dari data Kementerian Kehutanan (pusat). Pembagian tugas inventarisasi GRK di tingkat provinsi dan kabupaten banyak menghadapi hambatan organisatoris.
b. Pada tingkat nasional, perbaikan sistem inventarisasi GRK dapat dilakukan menggunakan pendekatan sektoral.
c. Pada tingkat sub nasional, perbaikan sistem inventarisasi GRK menggunakan pendekatan sektoral juga. Jika sektor tertentu di SKPD yang berwenang sudah memiliki kapasitas melakukan inventarisasi GRK maka dapat memperkuat (keakuratan) data dan informasi sektoral pada tingkat di atasnya. Namun jika sektor tertentu di SKPD terkait masih memiliki kapasitas yang lemah, maka dapat dibantu oleh sektor di tingkat yang lebih tinggi (pusat).
18 • Sistem Inventarisasi GRK Kehutanan
Kelompok Kerja Perubahan Iklim Kementerian
Kehutanan
Ditjen Bina Usaha
Kehutanan
Badan Penelitian dan Pengembangan
Ditjen Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan
Sosial
Ditjen Planologi Kehutanan
Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi
Alam
Pusat Standarisasi dan Lingkungan
Menteri Kehutanan
Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan
Menteri Lingkungan Hidup
Data Kegiatan - Prosedur Pengukuran- Metodologi
Penghitungan- Faktor Emisi/Serapan
� Data Kegiatan� Inventarisasi GRK� Faktor Emisi/
serapan
Data Kegiatan Data Kegiatan
� Sinkronisasi Metodologi Nasional dengan Metodologi Internasional (IPCC)
� Registry/pendaftaran mitigasi
Gambar 5. Usulan Struktur Pelaksanaan Inventarisasi GRK Sektor Kehutanan
2. Monitoring a. Pembentukan satu portal database faktor emisi dan serapan di Indonesia untuk
menyatukan semua studi, proyek dan aktivitas pendataan faktor emisi dan serapan yang tersebar.
b. Melakukan penetapan default value nasional dan sub nasional sesegera mungkin. c. Pelaku inventarisasi, monitoring dan pelaporan GRK kehutanan sudah banyak
sampai ke tingkat tapak. KPH dapat dijadikan sebagai unit manajemen yang melakukan kegiatan tersebut. PSP harus dibangun di semua provinsi, kabupaten dan mewakili semua tipe tutupan hutan.
d. Dualisme pelaksana inventarisasi GRK antara KLH dan Bappenas harus diperjelas dalam pembagian kewenangan antara kedua lembaga. Jika harus dipertahankan tumpangtindih, harus dipastikan dipahami secara jelas oleh Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah (Bappeda/BLH).
3. Pelaporana. Laporan inventarisasi GRK idealnya dilakukan berjenjang dari tingkat tapak ke
pusat. Sistem inventarisasi berbasis jaringan dan aplikasinya perlu dibangun dan diperluas. Sistem ini jika sudah terbangun dapat menggabungkan pendekatan sektoral dan yurisdiksi. Melalui sistem online, updating data, koreksi data dan sharing data dapat dilakukan secara sistematis dan cepat.
Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) • 19
b. Pengarusutamaan data inventarisasi karbon hutan dapat dijalanakan melalui upaya memasukkan data tersebut ke dalam elemen statistik wilayah yurisdiksi secara mandatoris.
c. Pentingnya Bappenas, KLH, DNPI dan Badan Pengelola REDD+ melakukan pendefinisian terkait capaian penurunan emisi pada berbagai skema di Indonesia.
4. Verifikasi a. Pengakuan verifikator di tingkat nasional harus diselaraskan dengan pengakuan
di tingkat internasional. b. Kompetensi verifikator perlu dinyatakan lebih jelas apakah diatur lebih lanjut
atau dapat mengacu kepada kompetensi verifikator lainnya yang serumpun.
20 • Sistem Inventarisasi GRK Kehutanan
4.1 Persamaan Allometrik
4.1.1 Lahan Gambut
4.1.1.1 Lahan Gambut Sumatera
1. Allometrik lahan gambut Sumatera dari remote sensing
Penelitian teknik perhitungan simpanan C pada areal tegakan Acacia crassicarpa di hutan tanaman lahan gambut dilakukan dengan metode remote sensing, untuk menghitung C pada tegakan, tumbuhan bawah, serasah, pohon mati dan kayu mati, serta pada tanah gambut.
Metode transformasi citra terbaik untuk mengestimasi kandungan biomassa (karbon) pada HTI jenis A. crassicarpa adalah dengan menggunakan metode Principle Component Analysis (PCA). Estimasi simpanan biomassa (karbon) pada tegakan hutan tanaman A. crassicarpa menggunakan metode remote sensing dan GIS menghasilkan tingkat ketelitian diatas 80%. Hasil Persamaan antara biomassa (karbon) tegakan pada hutan tanaman jenis A. crassicarpa dan nilai pixel citra adalah:
Y = 5478,59 PC1(-0,006429 PC1), dengan r² = 0.83
Dimana Y : nilai simpanan biomassa (Karbon) dan PC1 : nilai pixel pada citra yang telah diproses dg metode PCA.
2. Allometrik Lahan Gambut Sumatera dari Pengukuran Terestris
Metode kuantifikasi simpanan dan emisi karbon pada hutan tanaman di lahan gambut dengan jenis tanaman A. crassicarpa. Sasaran penelitian adalah tersedianya data dan informasi jumlah karbon yang hilang akibat penebangan dan terjadinya kebakaran hutan tanaman di lahan gambut.
Hasil persamaan allometrik masing-masing jenis pohon tingkat pancang disajikan pada Tabel 7. Hasil persamaan ini diperoleh dengan melalukan penebangan pada masing-
Bab 4 Teknik Perhitungan Karbon untuk Perbaikan Faktor Emisi dan Serapan GRK Kehutanan
Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) • 21
masing jenis (destruction sampling). Hasil persamaan allometrik ini akan digunakan untuk menghitung biomassa pada masing-masing jenis pohon tingkat pancang, dengan hanya mengukur diameternya saja.
Tabel 7. Hasil Persamaan Allometrik untuk Perhitungan Biomassa Pancang
No. Jenis Persamaan R2 Jenis Regresi Keterangan
1. Sepungol Y = 1.812,4x2,418 0,99 Power x=Diameter (cm)
2. Samak Y = 1.4337x – 14.300 0,88 Linier Y=Biomassa pancang (gr)
3. Prepat Y = 622,97x3,4022 0,99 Power
4. Beriang Y = 5.073,5ln(x) + 4.278,4
0,73 Logaritmik
5. Gerunggang Y = 1.897e0,7039x 0,92 Eksponensial
6. Gelam Y = 1.771,8x2,1909 0,995 Power Sumber: Prakosa, et al. (2011)
4.1.1.2 Lahan Gambut Kalimantan
1. Allometrik Lahan Gambut Kalimantan dari Pengukuran Terestris
Pada lahan gambut di Kalimantan Tengah diperoleh model-model penduga potensi karbon vegetasi pohon dalam bentuk komunitas di hutan rawa gambut, dan mengetahui stok karbon vegetasinya, dengan sasaran jenis-jenis dominan yang tumbuh di suatu hutan rawa gambut.
Model penduga diperoleh secara destructive (penebangan pohon) dengan 3 jenis tanaman family Dipterocarpaceae di hutan rawa gambut di Kalimantan Tengah, yaitu: Meranti Putih (Shorea parvifolia Dyer), Resak (Cotylelobium burckii Heim), Keruing (Dipterocarpaceae kerrii King). Masing-masing jenis terdiri dari 20 sampel tanaman yang dilakukan penebangan, data yang diperoleh dari masing-masing sampel pohon yang ditebang antara lain: 1. Tinggi pohon; 2. Diameter pohon; 3. Panjang batang; 4. Berat daun; 5. Berat ranting, 6. Berat batang; 7. Berat cabang. Selain itu dilakukan juga pengambilan sampel kayu untuk mengetahui berat jenis pada masing-masing individu pohon.
Informasi perhitungan faktor emisi dan serapan karbon di hutan rawa gambut telah dihasilkan 12 model persamaan penduga biomassa dari 3 jenis pohon Dipterocarpaceae di hutan alam gambut. (Shorea farvifolia Dyer, Dipterokarpus kerrii King dan Cotylelobium burckii Hein).
22 • Teknik Perhitungan Karbon untuk Perbaikan Faktor Emisi dan Serapan GRK Kehutanan
Selain itu juga dilakukan estimasi Model Persamaan Penduga karbon jenis Non-Dipterocarpaceae Alau, Bintangur, dan Nyatoh di HRG yang berlokasi di Hutan Alam gambut Kabupaten Barito Selatan. Hasil studi menunjukkan bahwa dari data dimensi pohon, kadar air, berat jenis, dan kadar karbon organik telah dihasilkan lima belas model persamaan allometrik untuk menduga kandungan karbon organik dari tiga jenis pohon non-dipterocarpaceae di rawa gambut yaitu Alau, Bintangur, dan nyatoh. Disimpulkan bahwa untuk menghitung karbon jenis non-Dipterocarpaceae dapat digunakan 15 persamaan tersebut. Dalam aplikasinya, penggunaan rumus paling praktis disarankan untuk menghitung potensi karbon per satuan luas dengan mengukur diameter.
Tabel 8. Model Persamaan Hubungan Biomassa dengan Dimensi dan Berat Jenis Pohon Alau (Dacridium pectinatum De Laub)
No Variabel Model Persamaan N R² F Signifi-kansi
1. TAGB(kg)-DBH(cm) TAGB=0,132(DBH)2,513 20 0,80 73,40 0,000
2. TAGB(kg)-DBH(cm) LnTAGB=10,484-2,272LnDBH 20 0,35 11,17 0,004
3. TAGB(kg)-DBH(cm) TBH(m)-
LnTAGB=-4,409+1,204LnDBH+1,670LnTBH
20 0,88 62,19 0,000
4. TAGB(kg)-DBH(cm) -WD(gr/cm³)
LnTAGB=1,777+0,342LnDBH-0,452Ln WD
10 0,73 9,61 0,010
5. TBGB(kg)-DBH(cm) -TBH(m)
TBGB=0,027(DBH²TBH)0,752 6 0,46 6,59 -
Tabel 9. Model Persamaan Hubungan Biomassa dengan Dimensi dan Berat Jenis Bintangur (Calophyllum soulatri)
No Variabel Model Persamaan N R² F Signifi-kansi
1. TAGB (kg)-DBH (cm) TAGB=0,175(DBH)2,523 20 0,96 500,09 0,000
2. TAGB (kg)-DBH (cm) LnTAGB=1,741-2,523LnDBH 20 0,96 500,09 0,000
3. TAGB (kg)-DBH (cm) TBH (m)
LnTAGB=-2,175+2,452LnDBH+0,223LnTBH
20 0,97 240,45 0,000
4. TAGB (kg)-DBH (cm) WD(gr/cm³)
LnTAGB=0,838+0,366LnDBH-0,076 WD 10 0,94 56,18 0,000
5. TBGB (kg)-DBH (cm) TBH (m)
TBGB=0,001(DBH²TBH)1,216 5 0,63 8,16 -
Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) • 23
Tabel 10. Model Persamaan Hubungan Biomassa dengan Dimensi dan Berat Jenis Nyatoh (Palaquium cochleria)
No Variabel Model Persamaan N R² F Signifi-kansi
1. TAGB (kg)-DBH (cm) TAGB=0,118(DBH)2,586 20 0,93 252,86 0,000
2. TAGB (kg)-DBH (cm) LnTAGB=2,135+2,586LnDBH 20 0,93 252,86 0,000
3. TAGB (kg)-DBH (cm)-TBH(m)
LnTAGB=-2,238+2,533LnDBH+0,095LnTBH
20 0,93 119,93 0,000
4. TAGB (kg)-DBH (cm)-WD (gr/cm³)
LnTAGB=0,852+0,388LnDBH-0,244Ln WD
10 0,98 215,89 0,000
5. TBGB (kg)-DBH (cm)-TBH (m)
TBGB=0,027(DBH²TBH)0,875 5 0,80 125.46 -
Keterangan: TAGB = Total Biomassa Atas, DNH= Diamater setinggi dada, TBH=Tinggi total Pohon, BGB=Total Biomassa Bawah
Hasil penelitian lain adalah di hutan rawa gambut Kabupaten Barito Selatan, Kalimantan Tengah. Pola hubungan antara ukuran diameter dengan kandungan biomassanya dari jenis S. farvifolia yang tumbuh di hutan rawa gambut menunjukan adanya dua model persamaan yang memiliki nilai koefisien determinasi (R²) yang sama yaitu lebih besar dari 90%.
Tabel 11. Model-model Persamaan Hubungan Biomasa dengan Dimensi dan Berat Jenis Pohon Shorea farvifolia Dyer
N Variabel Model Persamaan R² F SignifiKansi
20 TAGB(kg)-DBH(cm) Ln(TAGB) = -2,36+2,58 Ln(DBH) 0,99 1226,81 0,00
20 TAGB(kg)-DBH(cm) TAGB= 0,09 (DBH)2,58 0,99 1226,81 0,00
20 TAGB(kg)-DBH(cm)-TBH(m)
Ln(TAGB)=-2,99+2,35Ln(DBH)+0,44Ln (TBH)
0,99 745,52 0,00
20 TAGB(kg)-DBH(cm)-WD(gr/cm3)
Ln(TAGB)=-1,03+2,08Ln(DBH)-0,51Ln (WD)
0,99 221,53 0,00
Keterangan: TAGB=Total biomasa atas, DBH=Diameter setinggi dada, TBH= Tinggi total, WD= Berat jenis
Berbeda dengan pola hubungan diameter dengan biomasa pada jenis meranti putih, maka pola hubungan tersebut pada jenis keruing sebagaimana disajikan dalam Tabel 12. Perbedaan tersebut terletak pada nilai intercept dan koefisien regresi (slope). Sedangkan jenis persamaan yang diterapkan adalah sama yaitu persamaan linier sederhana dengan transformasi Ln, persamaan model power dan persamaan kuadratik.
24 • Teknik Perhitungan Karbon untuk Perbaikan Faktor Emisi dan Serapan GRK Kehutanan
Tabel 12. Model-model Persamaan Hubungan Biomasa dengan Dimensi dan Berat Jenis Pohon Dipterocarpus kerrii King
N Variabel Model Persamaan R² F Signifi-kansi
20 TAGB(kg)-DBH(cm) Ln(TAGB) = -1,53+2,38 Ln(DBH) 0,96 441,11 0,00
20 TAGB(kg)-DBH(cm) TAGB= 0,217 (DBH)2,38 0,96 441,11 0,00
20 TAGB(kg)-DBH(cm)-TBH(m)
Ln(TAGB)=-2,24+2,12Ln(DBH)+0,52Ln(TBH) 0,97 299,19 0,00
20 TAGB(kg)-DBH(cm)-WD(gr/cm3)
Ln(TAGB)=-2,61+2,78Ln(DBH)+0,80Ln(WD) 0,98 56,31 0,01
Keterangan: TAGB=Total biomasa atas, DBH=Diameter setinggi dada, TBH= Tinggi total, WD= Berat jenis
Pada jenis pohon resak rawa, model persamaan yang sama menunjukan nilai koefisien dan konstanta yang berbeda dengan dua jenis sebelumnya. Persamaan linier sederhana dengan transformasi Ln menunjukan bahwa untuk nilai diameter 1 cm akan menghasilkan kandungan biomasa kering sebesar anti Ln -1,21 yaitu sebesar 0,30 kg biomassa kering. Demikian pula pada persamaan kedua menunjukan bahwa pada nilai diameter 1 cm akan menghasilkan nilai biomassa sebesar 0,30 kg biomassa kering (Tabel 13).
Tabel 13. Model-model Persamaan Hubungan Biomasa dengan Dimensi dan Berat Jenis Pohon Cotylelobium burckii Hein
N Variabel Model Persamaan R² F SignifiKansi
20 TAGB(kg)-DBH(cm) Ln(TAGB) = -1,21+2,29Ln(DBH) 0,97 652,63 0,00
20 TAGB(kg)-DBH(cm) TAGB= 0,30 (DBH)2,29 0,97 652,63 0,00
20 TAGB(kg)-DBH(cm)-TBH(m)
Ln(TAGB)=-2,10+2,09Ln(DBH)+0,55Ln(TBH) 0,98 364,45 0,00
20 TAGB(kg)-DBH(cm)-WD(gr/cm3)
Ln(TAGB)=1,40+2,00Ln(DBH)-1,82Ln(WD) 0,95 19,31 0,04
Keterangan: TAGB=Total biomasa atas, DBH=Diameter setinggi dada, TBH= Tinggi total, WD= Berat jenis
Hasil perbandingan antara total biomassa kering dengan bobot karbon organik dari masing-masing jenis disajikan dalam Tabel 13. Tiga jenis Dipterocarpaceae memiliki faktor konversi sedikit berbeda. Meranti putih rawa memiliki faktor konversi karbon terbesar (0,54), diikuti oleh jenis keruing rawa (0,53) dan resak rawa (0,52) (Tabel 14). Dengan demikian untuk setiap 1 kg biomassa kering jenis meranti rawa akan menghasilkan karbon 1X 0,54 = 0,54 kg karbon organik. Setiap 1 kg biomassa kering jenis keruing rawa
Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) • 25
akan menghasilkan 1X 0,52 = 0,52 kg karbon organik, dan setiap 1 kg biomassa kering rekas rawa akan menghasilkan 1X 0,52 = 0,52 kg karbon organik. Faktor konversi aktual tersebut masih berada dalam kisaran kandungan karbon dalam biomassa kering menurut Brown yaitu antara 0,45-0,69 (Brown, 1995).
Tabel 14. Fraksi Karbon Organik dari Jenis Shorea farvifolia (MP), Dipterocarpus kerrii (KG) dan Cotylelobium burckii (RK) di Hutan Alam Gambut
TAGBMP(kg)
Kdr C Org(%)
TAGBKG(Kg)
Kdr C Org (%)
TAGBRK(Kg)
Kdr C Org(%) CMP(Kg) CKG(Kg) CRK(Kg)
21,75 54,72 97,26 54,05 290,99 50,18 11,9016 52,56903 146,0188
269,36 54,52 326,83 51,64 377,31 51,2 146,8551 168,775 193,1827
32,08 55,45 231,96 54,48 176,99 51,2 17,78836 126,3718 90,61888
133,56 55,44 59,37 52,06 458,1 52,26 74,04566 30,90802 239,4031
101,08 54,84 87,6 52,98 51,12 53,92 55,43227 46,41048 27,5639
85,4 54,88 115,69 53,08 25,53 53,61 46,86752 61,40825 13,68663
116,69 52,95 23,92 54,59 460,42 53,31 61,78736 13,05793 245,4499
50,66 55,48 130,54 53,38 71,21 50,58 28,10617 69,68225 36,01802
15,05 53 174,15 51,48 35,58 52,73 7,9765 89,65242 18,76133
621,54 53,22 24,21 52,45 130,86 53,36 330,7836 12,69815 69,8269
144,717 54,45 127,153 53,019 207,811 52,235 78,79841 67,41525 108,5501
144,717 54,45 127,153 0,41697 207,811 0,251358 78,21296 67,17715 108,0982
Faktor Konversi
MP=0,54 KG=0,53 RK=0,52
Keterangan: TAGBMP = Biomassa kering S. Farvifolia, TAGBKG = Biomassa kering D. Kerrii, TAGBRK = Biomassa kering C. Burckii, CMP = Karbon S.farvifolia, CKG= Karbon D.kerrii, CRK = Karbon C burckii.
2. Tanah Gambut
Kandungan karbon bahan organik gambut bervariasi dari berbagai kedalaman. Kisaran nilai yang diperoleh dari lapangan antara maksimum dan minimum adalah antara nilai 38,61% dengan 57,95%. Nilai tertinggi diperoleh dari Blok 3 kedalaman 75 cm yaitu sebesar 57,95%. Pada blok 1, nilai tertinggi kadar karbon gambut mencapai 57,87% dan terendah 38,61%. Dari blok 2 diperoleh kandungan karbon tertinggi 57,79% sedangkan nilai terendah 22,09% (Akbar, et al. 2013).
Blok 3 menunjukkan nilai kadar karbon tertinggi 57,95% dan kadar terendah 49,06%, sedangkan dari Blok 4 diperoleh nilai kadar karbon tertinggi 57,51% dan terendah 47,18%. Hasil rata-rata dari keempat blok diperoleh suatu kecenderungan nilai-nilai kandungan
26 • Teknik Perhitungan Karbon untuk Perbaikan Faktor Emisi dan Serapan GRK Kehutanan
karbon pada berbagai kedalaman menuju kearah bentuk yang sama. Hasil uji analisis model persamaan yang menjadi model persamaan dasar dari model pengembangan selanjutnya menunjukkan bahwa bentuk persamaan regresi adalah kubik dan kuadratik (Tabel 15). Penentuan model persamaan dengan mempertimbangkan nilai-nilai koefisien korelasi dan determinasi, nilai signifikansi F dan t. Sebagai ilustrasi nilai observasi dihubungkan dengan prediksi kecenderungan regresi tersaji dalam Gambar 6. Ilustrasi gambar regresi bentuk persamaan kubik ternyata lebih mendekati kearah kecenderungan data observasi (Tabel 15).
Hasil penelitian oleh Akbar dan Priyanto (2011) untuk memperoleh model hubungan dan kecenderungan antara berat jenis dengan kedalaman gambut pada dua tingkat kematangan gambut (Fibrik dan Hemik) menunjukkan bahwa kedalaman tanah gambut memiliki hubungan fungsi yang erat dengan nilai kerapatan jenis gambut. Tinggi rendahnya kerapatan jenis dapat diakibatkan oleh proses pembentukan gambut, proses dekomposisi, kadar air, dan ukuran partikel dalam material gambut. Kecenderungan hubungan yang diperoleh antara tingkat kedalaman tanah gambut dengan berat jenis gambut lebih membentuk model persamaan regresi kuadratik daripada bentuk logaritmik dan kubik.
Variasi nilai kadar air pada berbagai kedalaman gambut menujukkan adanya variasi ukuran partikel dan porositas tanah gambut pada setiap tingkat kedalaman. Dalam penelitian ini telah dibuktikan adanya hubungan kedalaman gambut dengan kadar airnya yang cenderung berbentuk persamaan fungsi kuadratik. Kadar karbon organik dalam gambut khususnya pibrik dan hemik memiliki korelasi dengan tingkat kedalaman sehingga membentuk hubungan fungsi kubik dan kuadratik.
Tabel 15. Perbandingan Kemiripan Model Regresi dari Faktor Kedalaman Tanah Gambut dengan Kadar Karbon
Model Persamaan Korelasi (r) R2 Sign.F Sign.t
Linear Y=59,931-0,028X 0,504 0,254 0,094 0,0940,000
Logaritmik Y=67,212-2,438lnX 0,362 0,131 0,247 0,2470,000
Kuadratik Y=52,369+0,101X-0,001X2 0,739 0,546 0,029 0,1010,0400,000
Kubik Y=62,735-0,219X+0,002X2+-4,9 x 10-6X3
0,883 0,780 0,005 0,0980,0430,0190,000
Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) • 27
4.1.2 Lahan Mineral
4.1.2.1 Hutan Lahan Kering Sumatera
Model pendugaan biomassa pohon E. pellita sebagai jenis hutan tanaman industri penghasil kayu pulp di lahan mineral (jenis tanah ultisol) dengan umur tanaman 1-5 tahun, adalah sebagai berikut:1. Model biomasa batang : LnB= -2.9437 + 2.8625LnD2. Model biomasa akar : LnB= -3.7804 + 2.5739LnD3. Model biomasa ranting : LnB= -2.9047 + 1.9647LnD4. Model biomasa daun : = 3.9025 – 0.7350D + 0.0494D2
4.1.2.2 Hutan Lahan Kering Kalimantan
Persamaan allometrik telah disusun untuk menduga biomassa di atas tanah untuk jenis Dipterokarpa di PT. Intracawood Manufacturing, Kab. Bulungan, Kalimantan Timur. Persamaan allometrik dibangun berdasarkan pengukuran-pengukuran contoh secara destruktif melalui pengumpulan komponen biofisik, seperti diameter setinggi dada (D), tinggi pohon total (H) dan berat jenis kayu (WD).
Kedalaman300250200150100500
60.00
55.00
50.00
45.00
40.00
35.00
Kadar_C
CubicQuadraticLogarithmicLinearObserved
Gambar 6. Model-model Persamaan Regresi Hubungan Kedalaman Gambut dengan Kadar Karbon Gambut
28 • Teknik Perhitungan Karbon untuk Perbaikan Faktor Emisi dan Serapan GRK Kehutanan
Persamaan allometrik Y = a Xb yang digunakan untuk menghitung total biomassa pohon bagian atas (kg), total biomassa pada bagian dahan atau cabang pohon (kg/cabang pohon) serta total biomassa pada bagian kulit pohon (kg) untuk jenis Dipterokarpa di areal IUPHHK-HA PT. Intracawood Manufacturing.
Tabel 16. Analisa Regresi Biomasa Dypterocarpaceae di Kalimantan
No. Y X a b R2
1 Total biomassa pohon bagian atas (kg)
Diameter batang pohon (cm)
0.161797 2.59936 0.9899
2 Total biomassa pada bagian cabang pohon (kg)
Diameter cabang pohon (cm)
0.018721 1.503819 0.9337
3 Total biomassa pada bagian kulit pohon (kg)
Tebal kulit pohon (cm) 1.06887 1.87048 0.7987
Penelitian lain di hutan alam tanah mineral areal PT. Inhutani I Wilayah Tarakan UMH Kunyit, Kab. Nunukan, Kalimantan Timur dan di areal PT. Inhutani I Wilayah Tarakan UMH Pimping, Kab. Bulungan, Kalimantan Timur menghasilkan persamaan allometrik jenis Shorea macrophylla, yaitu: 1. Total biomassa pohon bagian atas (kg/pohon) dengan menggunakan diameter batang
pohon (cm), B = 0,185 D2,035 dengan R2(adj) 98,60%, dan 2. Total biomassa pada bagian dahan atau cabang pohon (kg/cabang pohon) dengan
menggunakan diameter cabang pohon (cm) adalah B = 0,41 D0,349 dengan R2(adj) 92,20%.
Sedangkan hasil penelitian di areal PT Hutan Sanggam Labanan Lestari (PT HLL), Kab. Berau, Kalimantan Timur, didapatkan model persamaan allometrik biomassa total di atas permukaan tanah yang terbaik merupakan model persamaan B = aDbTtotc, dengan dua peubah bebas diameter setinggi dada (cm) dan tinggi bebas cabang (m) adalah B tot = 0,2729 D3,53 Tbc-0,332, dengan nilai R2(adj) 96,10%.
Model persamaan allometrik lebih akurat dengan menggunakan dua peubah yaitu diameter setinggi dada dan tinggi pohon, namun kenyataan di lapangan, jika data tinggi tidak diperoleh maka pendugaan biomassa di atas permukaan tanah sebaiknya cukup menggunakan variabel bebas diameter pohon saja. Pengukuran diameter di lapangan dapat dilakukan lebih akurat dibandingkan dengan mengukur tinggi pohon (Noor’an et al., 2012).
Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) • 29
4.1.2.3 Hutan Lahan Kering Sulawesi
Pendugaan biomasa menggunakan citra satelit di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, Sulawesi Utara oleh Wahyuni, et al. (2012). Model dibuat untuk mengetahui apakah citra ALOS PALSAR dapat menggambarkan korelasi antara nilai- nilai hamburan balik (backscatter) dengan nilai biomasa di lapangan. Nilai biomasa merupakan jumlah total dari komponen-komponen biomasa yang diukur yaitu pohon, tumbuhan bawah, serasah dan nekromasa. Berdasarkan analisis beberapa model penduga biomasa, diperoleh hasil sebagaimana terangkum dalam Tabel 17 berikut.
Tabel 17. Persamaan regresi untuk menduga biomasa
Model Parameter R2adj RMSE
Linier Y=a+b*HH a = 9501,80 b = 987,38 - 0,875 2,02
Y=a+b*HV a = 16211,03 b = 1135,69 - 0,867 1,85
Eksponensial Y=a*e(b*HH) a = 10,33 b = -0,06 - 0,836 3,60
Y=a*e(b*HV) a = 13,16 b = -0,04 - 0,805 4,63
Polinomial Y=a*HH2+b*HH+c a =684,61 b = -20,73 c =8454,43 0,876 -
Y=a*HV2+b*HV+c a = 861,16 b = -11,19 c = 14550,63 0,867 -Keterangan: Y=biomasa (ton/ha); a,b,c=nilai estimasi parameter
Berdasarkan Tabel 17 di atas, model linier yaitu Y=a+b*HH dan Y=a+b*HV menghasilkan nilai RMSE terkecil yaitu sebesar 2,02 dan 1,85. Dan model dengan polarisasi HV memiliki RMSE lebih kecil daripada model dengan polarisasi HV. Sehingga bila dibandingkan dengan model eksponensial dan model polinomial, maka model linier inilah yang terpilih digunakan untuk interpolasi nilai biomasa dan memetakan biomasa pada SPTN II Doloduo dan SPTN III Maelang.
4.1.2.4 Hutan Lahan Kering Papua
Persamaan allometrik dibangun berdasarkan genera jenis kayu komersial, yakni Palaquium dan Vatica. Masing-masing genera dibangun persamaan allometrik spesifik serta persamaan gabungan dari kedua genera tersebut yang menggambarkan persamaan allometrik untuk genera jenis komersial.
Data yang dikumpulkan berupa diameter (DBH), tinggi kayu komersial (CBH), dan berat jenis (WD) melalui pendekatan destruktif pada daerah hutan tropis di Papua Barat. Model persamaan dasar yang dipilih adalah (Basuki et al., 2009): ln(TAGB) = c + αln(DBH), ln(TAGB) = c + αln(DBH) + βln(CBH), dan ln(TAGB) = c + αln(DBH) + βln(WD), dengan hasil disajikan pada Tabel 18.
30 • Teknik Perhitungan Karbon untuk Perbaikan Faktor Emisi dan Serapan GRK Kehutanan
Tabe
l 18
. H
asil P
enyu
suna
n Pe
rsam
aan
Pend
uga B
iom
assa
Ata
s Tan
ah
Spec
ies
Grou
ping
(Gen
era)
NPe
rsam
aan A
llom
etrik
Koefi
sien
Stan
dard
Erro
rt of
the
Coeffi
cien
[T-st
atist
ics]
R2R2
adju
sted
F-st
atist
icsAv
erag
e D
eviat
ion
(%)
Simbo
lNi
lai
Intsi
a;
Mau
lana
da
n Asm
oro
(201
0)
13
Log T
AGB =
c +
α Lo
g DBH
C -0
.762
0.109
7 6.9
5 98
.60%
98.50
% 79
7.51
1.70
Α 2.
510.0
889
28.24
Log T
AGB =
c +
α Lo
g WD
C 3.
860.1
032
37.41
96
.40%
96.00
% 29
1.52
3.90
α 6.
920.4
051
17.07
TAGB
= c +
α DB
H +
β DBH
2c
128.3
167.1
0.7
7 94
.90%
93.90
% 93
.03 27
.65α
-24.70
18.84
1.3
1 β
1.678
0.418
8 4.0
1
TAGB
= c +
α W
D +
β WD2
c3.0
9074
1.8
4.17
97.60
%97
.10%
204.6
0 46
.06α
-1271
824
63
5.16
β13
.244
1948
6.8
0
Pom
etia
;15
Log T
AGB =
c +
α Lo
g DBH
c-0.
8406
0.102
8.21
98.80
%98
.70%
1090
.51.5
6α
2.572
0.078
33.02
Log T
AGB =
c +
α Lo
g WD
c4.2
670.0
6664
.43
98.50
%98
.40%
839.6
41.9
2α
7.214
0.249
28.98
TAGB
= c +
α DB
H +
β DBH
2c
232.5
123.5
1.8
8 97
.80%
97.40
%26
7.56
40.72
α-40
.4612
.44
3.25
β2.1
310.2
69
7.90
TAGB
= c +
α W
D +
β WD2
c4.6
3277
1.7
6.00
97.40
%97
.00%
223.7
743
.92α
-20.62
028
40
7.26
β22
.886
2526
9.0
6
Pala
quiu
m13
Log T
AGB =
c +
α Lo
g DBH
c-1.
520.1
899
8.01
97.30
%97
.10%
396.8
54.7
4α
2.96
0.148
219
.92
Log T
AGB =
c +
α Lo
g WD
c6.2
170.2
365
26.28
96.50
%96
.20%
302.4
67.9
7α
11.59
0.666
617
.39
TAGB
= c +
α DB
H +
β DBH
2c
111.3
085
.081.3
198
.30%
97.90
%28
4.40
33.92
α24
.138.6
772.7
8β
1.489
0.188
77.8
9
Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) • 31
Spec
ies
Grou
ping
(Gen
era)
NPe
rsam
aan A
llom
etrik
Koefi
sien
Stan
dard
Erro
rt of
the
Coeffi
cien
[T-st
atist
ics]
R2R2
adju
sted
F-st
atist
icsAv
erag
e D
eviat
ion
(%)
Simbo
lNi
lai
TAGB
= c +
α W
D +
β WD2
c6.6
1885
5.67.7
397
.40%
97.00
%28
4.23
37.17
α35
.000
3.863
9.06
β46
.043
4.288
10.74
Vatic
a8
Log T
AGB =
c +
α Lo
g DBH
c-0.
0975
0.114
30.8
599
.00%
98.80
%56
9.13
0.69
α2.0
860.0
8742
23.86
Log T
AGB =
c +
α Lo
g WD
c6.3
680.3
444
18.49
95.40
%94
.60%
124.3
10.8
6α
17.67
1.585
11.15
TAGB
= c +
α DB
H +
β DBH
2
c13
0.90
161.1
0.81
98.20
%97
.40%
133.0
87.6
4α
21.50
16.3
1.32
β1.6
580.3
507
4.73
TAGB
= c +
α W
D +
β WD2
c51
.612
12.97
23.9
896
.40%
94.90
%66
.0728
.20α
182.5
6543
.019
4.24
β16
1.565
35.50
44.5
5
Com
merc
ial
Spec
ies49
Log T
AGB =
c +
α Lo
g DBH
c -0
.881
0.11
018.0
0 95
.10%
94.90
%90
3.08
8.23
α 2.
580
0.085
84
30.05
Log T
AGB =
c +
α Lo
g WD
c 4.
065
0.15
5 26
.2374
.70%
74.20
%13
8.76
38.33
α 6.
455
0.54
8 11
.78
Log T
AGB=
c +
α Lo
g DBH
+ β
Log W
D c
0.20
50.2
047
0.95
97.00
%96
.90%
750.6
7 3.
50α
2.08
2.08
40 18
.59β
1.75
1.74
91 5.
53
TAGB
= c +
α DB
H +
β DBH
2
c 15
2.49
80.71
1.89
95.20
%95
.00%
454.8
6 51
.79α
-28.7
64 8.
426
3.41
β 1.
7689
0.18
43 9.
60
TAGB
= c +
α W
D +
β WD2
c -7
1.00
60.0
1 64
.30%
62.80
% 41
.47 38
.97α
-1.92
8 3.
578
0.54
β 5.
070
3.083
1.
64
32 • Teknik Perhitungan Karbon untuk Perbaikan Faktor Emisi dan Serapan GRK Kehutanan
Berdasarkan hasil pengolahan data, persamaan Log(TAGB) = c + αLog(DBH) merupakan model yang paling sesuai dalam pendugaan total biomassa atas tanah pada tingkat genera. Namun, khusus untuk pendugaan pada tingkat kelompok jenis komersial, model persamaan yang paling sesuai adalah Log(TAGB) = c + αLog(DBH) + βLog(WD). Penambahan variabel WD (wood density; gr/cm3) untuk pendugaan biomassa pada tingkat kelompok jenis komersial sangat penting dalam rangka meminimalisir disproporsionalitas hasil pendugaan.
Informasi berikut adalah persamaan untuk menduga biomas diatas tanah jenis komersial di hutan tropis Papua. Persamaan ini lebih tepat digunakan untuk menduga biomas diatas tanah jenis komersial di hutan tropis Papua dari pada persamaan yang telah disusun oleh Basuki et al. (2009), Brown (1997), dan Ketterings et al. (2001).
Tabel 19. Perbandingan Persamaan Terpilih dengan berbagai Persamaan Allometrik yang telah Dipublikasikan sebelumnya.
No. Persamaan Selang Diameter R2 adj
1 Log(TAGB) = 0.205 + 2.08Log(DBH) + 1.75Log(WD) {persamaan terpilih hasil penelitian}
5-40 cm 96.90%
2 Ln(TAGB) = -2.266 + 2.030 Ln(DBH) + 0.542 Ln(WD) {Basuki et al. (2009)} 6-200 cm 98.50%
3 TAGB = 0.139 DBH2.32 {Brown (1997)} 5-40 cm 89.00%
4 TAGB = 0.066 DBH2.59 {Ketterings et al. (2001)} 8-48 cm 95.40%Keterangan: TAGB = Total Above Ground Biomass (Kg/Pohon); DBH=Diameter at Breast Height (cm); WD=Wood Density (gr/cm3).
Berbagai persamaan allometrik telah dibangun untuk pengukuran biomassa pada hutan hujan tropis (Arau´jo et al., 1999; Brown, 1997; Chambers et al., 2001; Chave et al., 2001, 2005; Keller et al., 2001; Nelson et al., 1999). Namun, belum ada persamaan allometrik yang dibangun khusus untuk pendugaan biomassa atas tanah pada genera jenis komersial hutan tropis Papua.
Berdasarkan hasil pengolahan data, persamaan Log(TAGB) = c + αLog(DBH) merupakan model yang paling sesuai dalam pendugaan total biomassa atas tanah pada tingkat genera. Kesesuaian tersebut terbukti dari besarnya nilai R-sq (adj) yang mencapai 99.50% dengan maksimum simpangan rata-rata hanya sebesar 1.27%. sedangkan dari nilai F-hitung yang didapat terlihat bahwa hasil yang didapat baik untuk genus Duabanga dan Anthocepalus melebihi nilai F tabel pada selang kepercayaan 99% sebesar 124.77, yang berarti sisi penduga/predictor berpengaruh sangat nyata terhadap sisi response/hasil dugaan. Selain itu Kemudahan dalam pengukuran variabel independen DBH juga menjadi dasar pertimbangan penentuan persamaan pertama sebagai persamaan yang paling sesuai untuk menduga total biomasa atas tanah pada genera Duabanga dan Anthocephalus.
Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) • 33
Berdasarkan hasil penerapan persamaan hasil penelitian dengan persamaan-persamaan yang telah dipublikasikan sebelumnya terhadap data aktual, dapat disarankan bahwa penerapan persamaan yang spesifik terhadap situs dan genera harus diutamakan pada kegiatan pendugaan densitas karbon pada tegakan hutan alam.
4.1.2.5 Ekosistem Hutan Savana
Nusa Tenggara Timur memiliki kekhasan ekosistem yang berupa savana. Oleh karena itu penelitian inventarisasi GRK Kehutanan di Nusa Tenggara diarahkan pada penyusunan allometrik jenis-jenis yang ada di savana tersebut yang kemudian digunakan untuk melakukan inventarisasi potensi simpanan karbon savana. Ekosistem savanna di Indonesia dijumpai di daerah Maluku dan Nusa Tenggara. Menurut Monk, et al (1997) paling sedikit ada 8 (delapan) tipe savana di kedua provinsi tersebut yang didasarkan pada spesies pohon yang dominan yang ada pada savana, yakni:1. Albizia chinensis savana, merupakan tipe savana di Nusa Tenggara Barat yang umumnya
tahan terhadap api.2. Palm Savanna, yang didominasi oleh lontar (Borrasus flabelife)r atau gewang (Corypha
utan), merupakan tipe savana yang dominan di Pulau Komodo, Rote, Sawu dan sebagian besar di Timor.
3. Eucalyptus alba savana terdapat di Flores Tengah ke timur sampai di Wetar. Juga merupakan tipe savana yang dominan di Timor, terjadi bersama dengan asosiasi semak dan pohon
4. Melaleuca cajuputi savanna, lebih sering terlihat mulai dari Flores Tengah memanjang ke timur sampai Maluku
5. Acacia leucophloea savanna merupakan karakteristik pohon di savana NTT6. Casuarina junghuhniana savanna, merupakan karakter savanna yang khas di Sumba
dan Timor7. Ziziphus mauritiana savanna, terlihat diseluruh wilayah NTT yang tumbuh secara
sporadis8. Tamarind savanna, ditemukan di sepanjang NTT.Adapun tipe-tipe savana yang telah dilakukan penelitian adalah savana huek (Eucalyptus alba) (2011), savana gewang (Corypha utan) dan savana lontar (Borassus flabellifer) (2012), savana kasuari (Casuarina junghuhniana) (2013) dan terakhir savana Acacia leucophloea (2014)
Persamaan allometrik huek (Eucalyptus alba) untuk menduga biomasa telah berhasil disusun yaitu: 1. biomassa batang adalah Y = 7,725 e 0,119dbh., 2. biomassa daun adalah y = 0,010 dbh 1,764, 3. biomassa cabang adalah y = 0,005 dbh 2.683,
34 • Teknik Perhitungan Karbon untuk Perbaikan Faktor Emisi dan Serapan GRK Kehutanan
4. biomassa ranting adalah y = 0.015 dbh 2.351. Sedangkan persamaan allometrik untuk pendugaan simpanan karbon pohon huek (E. alba) adalah sebagai berikut: 1. Daun y = 42.44 dbh 1.581; 2. batang y = 18.58 dbh 2.641; 3. cabang y = 8.054 dbh 2.390; dan 4. ranting y = 16.29 dbh 2.175.Persamaan allometrik untuk pendugaan biomassa vegetasi jenis gewang (Corypha utan) adalah sebagai berikut:1. Batang Y = 19703 X 1,735, 2. Daun Y = 8448 X0,680 dan 3. Pelepah Y = 16855 X 0,491
(X = tinggi (m), Y = biomasa (gr))Model persamaan allometrik untuk pendugaan biomassa jenis tanaman lontar (Borassus flabelifer ) adalah:1. Batang y = 4236 x 2,026, (x=tinggi total)2. Daun y = 7,353 x 1,597 (x= keliling pangkal batang)3. Pelepah y = 8643e 0,007x (x= keliling pangkal batang)Model persamaan allometrik untuk pendugaan karbon secara langsung pada jenis tanaman gewang (Corypha utan):
Gambar 7. Ekosistem Savana
Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) • 35
1. Daun y = 10704 dbh 0,721, 2. Pelepah y = 15069 dbh 0,946 3. Batang y = 27110 dbh 1,823.
(X = tinggi (m), Y = biomasa (gr))Model persamaan allometrik untuk pendugaan karbon secara langsung pada jenis tanaman lontar (Borassus flabellifer) 1. Daun y = 5,493 x 2,275, (x = keliling pangkal batang) 2. Pelepah y = 36079 x -0,871 (x = tinggi)3. Batang y = 6133 dbh 2,084.(x = tinggi)
4.2 Kandungan biomasa dan karbon untuk pengayaan faktor emisi lokal
4.2.1 Bioregion Sumatera Pengukuran kandungan biomasa dan karbon pada beberapa tipe hutan di Sumatera
dilakukan antara lain pada hutan lahan kering, hutan rawa gambut dan hutan tanaman. Beberapa diantara hasil inventarisasi kandungan karbon di Sumatera disajikan pada Tabel 20.
Tabel 20. Kandungan Karbon pada beberapa Tipe Hutan di Sumatera
No. Jenis/tipe hutan Kandungan C (ton/ha) Keterangan Sumber
1 Hutan rawa gambut primer
126,01 Pelalawan, Riau Rochmayanto, et al.(2010)
2 Hutan rawa gambut sekunder
83,49 Pelalawan, Riau Rochmayanto, et al.(2010)
3 HTI Acacia crassicarpa 4,59 – 39,51 Umur 1-5 tahun, di Pelalawan, Riau
Rochmayanto, et al.(2010)
4 HTI Acacia crassicarpa 29,92 – 48,35 Umur 2 dan 3 tahun, PT SBA, Sumatera Selatan
Rahmat, et al. (2007)
5 HTI Acacia crassicarpa 64,14 HTI PT. Sebangun Bumi Andalas Woodbased Industries. Metode konversi biomassa: rata-rata potensi serapan karbon menurut kelas umur (1-8 th) dari bagian akar, batang, cabang dan daun
Andriono, 2009
6 Areal HT 8 thn pasca kebakaran
21,42 Sumatera Selatan Prakosa et al. (2011)
7 Aral HA 1 thn pasca kebakaran
1,296 Sumatera Selatan , diantaranya merupakan komponen pohon mati sebesar 0,452 ton/ha
Prakosa et al. (2011)
36 • Teknik Perhitungan Karbon untuk Perbaikan Faktor Emisi dan Serapan GRK Kehutanan
Informasi kandungan C pada areal bekas kebakaran belum banyak dijumpai. Pada kajian Prakosa, et al. (2011) pada hutan tanaman di lahan gambut, diketahui bahwa kebakaran hutan tidak mengakibatkan semua cadangan karbon habis terbakar, kecuali kebakaran dengan kategori berat. Sisa cadangan biomassa karbon pada lahan yang terbakar ringan sebesar 65,14 m3/ha, terbakar sedang 28,0 m3/ha dan terbakar berat hanya dijumpai tumbuhan bawah sebesar 24,7 ton/ha.
Pada hutan alam gambut bekas terbakar, setelah 8 tahun tingkat pertumbuhan pohonnya baru pada tingkat pancang dan tidak terdapat pohon mati dan kayu mati. Diperoleh 6 jenis pohon tingkat pancang yang dominan di lahan gambut bekas terbakar, yaitu sepungol, prepat, gelam, beriang, gerunggang dan samak. Telah diperoleh 6 persamaan allometrik untuk menentukan besarnya kandungan biomassa tingkat pancang untuk 6 jenis pohon pada hutan alam gambut bekas terbakar.
Cadangan karbon rata-rata pada lahan gambut bekas terbakar yang sudah tidak terbakar kurang lebih selama 8 tahun adalah sebesar 21,42 ton/ha. Cadangan karbon pada hutan alam gambut yang terbakar setahun yang lalu hanya 1,296 ton/ha, dan yang terbesar berada pada pohon mati (0,452 ton/ha).
Kandungan karbon pada serasah hutan alam gambut setelah kurang lebih 8 tahun tidak terbakar berkisar antara 1,250-3,975 ton/ha, sedangkan kandungan karbon pada tumbuhan bawah antara 0,435-1,310 ton/ha. Kandungan karbon pada pohon tingkat pancang antara 1,33-57,65 ton/ha. Setelah dirata-rata ternyata kandungan karbon total di atas permukaan tanah pada lahan gambut yang telah terbakar 8 tahun yang lalu adalah 21,42 ton/ha. Pertumbuhan pohon baru pada tingkat pancang (diameter 2 - < 10 cm), karena untuk tingkat tiang dan pohon belum ada. Selain itu pohon mati dan kayu mati juga tidak ada pada plot yang diukur.
Kebakaran hutan pada hutan tanaman Acacia crassicarpa tidak ada serasah yang tersisa, namun pada hutan alam gambut sekunder masih terdapat serasah, baik yang terbakar 1 tahun dan 8 tahun yang lalu. Demikian juga antara hutan alam gambut sekunder yang terbakar 8 tahun dan 1 tahun yang lalu juga kondisinya sangat berbeda. Lokasi yang terbakar 8 tahun yang lalu sudah mulai tumbuh pohon tingkat pancang dan tiang. Selain itu tumbuhan bawahnya juga cukup rapat, karena masih agak terbuka, sehingga sinar matahari masih dapat menembus lantai hutan. Sedangkan kondisi hutan alam gambut sekunder yang baru 1 tahun terbakar, masih belum tumbuh jenis-jenis pohon, tiang, pancang dan semai yang dominan. Namun demikian masih terdapat serasah, nekromassa dan tumbuhan bawah.
Melihat kondisi dari 3 lokasi plot yang berbeda, maka dapat di duga bahwa kebakaran pada lahan gambut di hutan tanaman yang didrainase, dampaknya lebih berat dibandingkan di hutan alam. Hal ini dapat dilihat dari sisa biomassa yang masih ada setelah terjadinya kebakaran. Kebakaran gambut yang didrainase lebih tebal (dalam) dibandingkan dengan
Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) • 37
yang masih alami (hutan alam). Dengan demikian pengendalian kebakaran di lahan gambut yang dikelola dengan HTI harus lebih ketat, dibandingkan dengan yang di hutan alam, karena tinggi muka airnya lebih dalam.Hal ini yang mengakibatkan gambut yang terbakar lebih besar dibandingkan dengan di hutan alam.
Selain data cadangan karbon di atas, berikut ini adalah beberapa hasil pengukuran pada PSP di Simancung, Sumatera Barat yang dihitung menurut 4 macam persamaan allometrik (Tabel 21). Hutan Nagari Simancung merupakan hutan lahan kering primer dan sekunder di ekoregion Sumatera.
Tabel 21. Kandungan Karbon Berdasarkan Carbon Pool pada PSP di HN. Simancuang
No Carbon PoolsTotal Karbon (ton/Ha)
A B C D
1 Above Ground Carbon (AGC) 90,79 114,79 65,88 49,77
2 Below Ground Carbon (BGC) 24,97 31,57 18,12 13,69
3 Nekromasa 0,057 0,057 0,057 0,057
4 Serasah 5,54 5,54 5,54 5,54
Sumber: BPK Aek Nauli. (2012)
Keterangan:
A : Perhitungan berdasarkan Persamaan Chave et al. (2005)B : Perhitungan berdasarkan Persamaan Kettering et al. (2001)C : Perhitungan berdasarkan Persamaan Dharmawan & Siregar (2009)D : Perhitungan berdasarkan Persamaan Thojib et al. (2002) dalam Krisnawati et al. (2012)
4.2.2 Bioregion Jawa
Informasi kandungan biomasa dan karbon hutan di Bioregion Jawa berasal dari hutan alam tanah mineral pada kawasan konservasi TN Gunung Halimun Salak (TNGHS) menggunakan persamaan allometrik Chave et. al (2005). TNGHS memiliki potensi simpanan karbon yang cukup besar sebagai berikut (Arifanti, 2012): 1. Atas permukaan (above ground) sebesar 139.326 ton C/ha, 2. Bawah permukaan (below ground) sebesar 39.011 tonC/ha, 3. Serasah (litter) sebesar 2.681 tonC/ha, 4. Nekromas (necromass) sebesar 5,77 tonC/ha, dan 5. Tanah (soil) sebesar 134,41 tonC/ha. Beberapa hasil penelitian cadangan karbon pada berbagai tipe hutan di Jawa disajikan pada Tabel 22.
Tabel 22. Cadangan karbon pada berbagai tipe hutan untuk Bioregion Jawa
Tipe hutanNilai min.
(ton C/ha)
Nilai maks. (ton C/
ha)
Rerata (ton C/
ha)N Sd Keterangan
Hutan lahan kering primer 78.84 323.171 144.28 6 91.78 Diolah dari berbagai sumberHutan lahan kering sekunder
23.06 172 76.28 11 48.73 Diolah dari berbagai sumber
Hutan gambut primer - - - - - Tidak terdapat hutan gambutHutan gambut sekunder - - - - - Tidak terdapat hutan gambutHutan mangrove primer 393.62 393.62 393.62 - - Hapsari (2011)Hutan mangrove sekunder 179.38 179.38 179.38 - - Heriyanto & Subiyandono
(2012)Hutan tanaman 37.58 45.39 41.68 4 3.20 Diolah dari berbagai sumber
38 • Teknik Perhitungan Karbon untuk Perbaikan Faktor Emisi dan Serapan GRK Kehutanan
yang masih alami (hutan alam). Dengan demikian pengendalian kebakaran di lahan gambut yang dikelola dengan HTI harus lebih ketat, dibandingkan dengan yang di hutan alam, karena tinggi muka airnya lebih dalam.Hal ini yang mengakibatkan gambut yang terbakar lebih besar dibandingkan dengan di hutan alam.
Selain data cadangan karbon di atas, berikut ini adalah beberapa hasil pengukuran pada PSP di Simancung, Sumatera Barat yang dihitung menurut 4 macam persamaan allometrik (Tabel 21). Hutan Nagari Simancung merupakan hutan lahan kering primer dan sekunder di ekoregion Sumatera.
Tabel 21. Kandungan Karbon Berdasarkan Carbon Pool pada PSP di HN. Simancuang
No Carbon PoolsTotal Karbon (ton/Ha)
A B C D
1 Above Ground Carbon (AGC) 90,79 114,79 65,88 49,77
2 Below Ground Carbon (BGC) 24,97 31,57 18,12 13,69
3 Nekromasa 0,057 0,057 0,057 0,057
4 Serasah 5,54 5,54 5,54 5,54
Sumber: BPK Aek Nauli. (2012)
Keterangan:
A : Perhitungan berdasarkan Persamaan Chave et al. (2005)B : Perhitungan berdasarkan Persamaan Kettering et al. (2001)C : Perhitungan berdasarkan Persamaan Dharmawan & Siregar (2009)D : Perhitungan berdasarkan Persamaan Thojib et al. (2002) dalam Krisnawati et al. (2012)
4.2.2 Bioregion Jawa
Informasi kandungan biomasa dan karbon hutan di Bioregion Jawa berasal dari hutan alam tanah mineral pada kawasan konservasi TN Gunung Halimun Salak (TNGHS) menggunakan persamaan allometrik Chave et. al (2005). TNGHS memiliki potensi simpanan karbon yang cukup besar sebagai berikut (Arifanti, 2012): 1. Atas permukaan (above ground) sebesar 139.326 ton C/ha, 2. Bawah permukaan (below ground) sebesar 39.011 tonC/ha, 3. Serasah (litter) sebesar 2.681 tonC/ha, 4. Nekromas (necromass) sebesar 5,77 tonC/ha, dan 5. Tanah (soil) sebesar 134,41 tonC/ha. Beberapa hasil penelitian cadangan karbon pada berbagai tipe hutan di Jawa disajikan pada Tabel 22.
Tabel 22. Cadangan karbon pada berbagai tipe hutan untuk Bioregion Jawa
Tipe hutanNilai min.
(ton C/ha)
Nilai maks. (ton C/
ha)
Rerata (ton C/
ha)N Sd Keterangan
Hutan lahan kering primer 78.84 323.171 144.28 6 91.78 Diolah dari berbagai sumberHutan lahan kering sekunder
23.06 172 76.28 11 48.73 Diolah dari berbagai sumber
Hutan gambut primer - - - - - Tidak terdapat hutan gambutHutan gambut sekunder - - - - - Tidak terdapat hutan gambutHutan mangrove primer 393.62 393.62 393.62 - - Hapsari (2011)Hutan mangrove sekunder 179.38 179.38 179.38 - - Heriyanto & Subiyandono
(2012)Hutan tanaman 37.58 45.39 41.68 4 3.20 Diolah dari berbagai sumber
4.2.3 Bioregion Kalimantan
Kandungan karbon di Kalimantan diantaranya berasal dari Hutan Lindung (HL) Sungai Wain, yang terletak di kelurahan Karang Joang, Kecamatan Balikpapan Utara dan Kelurahan Karingau, Kecamatan Balikpapan Barat, Wilayah Kota Balikpapan, Propinsi Kalimantan Timur. Secara geografis kawasan HL Sungai Wain terletak antara 01°02’ - 01°10’ Lintang Selatan dan 116°47’ - 116°55’ Bujur Timur.
Cadangan biomassa pada tiga tipe hutan di Sungai Wain didominasi oleh tegakan non Dipterokarpa dengan rata-rata kehadiran tegakan berdiameter ≥ 10 cm berkisar 540,74 pohon/ha yang didominasi oleh jenis Syzygium sp, Madhuca sp, Artocarpus sp dan Pternandra sp dengan potensi biomassa rata-rata berkisar 22,46 ton/ha. Pada tegakan Dipterokarpa yang didominasi oleh jenis Shorea spp, Dipterocarpus spp dan Vatica sp dengan rata-rata kehadiran tegakan berdiameter ≥ 10 cm berkisar 83,95 pohon/ha dan potensi biomassa rata-rata berkisar 4,13 ton/ha (Gambar 8).
Hutan Lindung Sungai Wain dibagi menjadi tiga tipe hutan dengan luasan sama dengan pembagian tipe hutan pada analisis potensi tegakan sebelumnya. Secara berurutan biomassa tegakan berdasarkan tipe hutan adalah: (1) tipe hutan berpotensi tinggi seluas 2.445,8 ha dengan biomassa sebesar 77.230,87 ton (warna hijau tua dalam peta); (2) tipe hutan berpotensi sedang seluas 911,63 ha dengan biomassa sebesar 25.020,45 ton (warna hijau muda dalam peta); dan (3) tipe hutan berpotensi rendah seluas 2.490,8 ha dengan biomassa sebesar 5.653,83 ton (warna kuning dalam peta) tersaji pada Gambar 9.
Estimasi cadangan karbon tegakan total yang tersimpan di Hutan Lindung Sungai Wain melalui interpretasi citra digital dan pengukuran langsung di lapangan tersaji pada
Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) • 39
Tabel 23. Cadangan karbon tersimpan dalam tegakan Dipterokarpa di HL Sungai Wain berkisar antara 0,94–3,91 ton C/ha, sedangkan tegakan non Dipterokarpanya memiliki cadangan karbon berkisar antara 10,37–12,37 ton C/ha (Hardjana, et al, 2010).
Gambar 9. Sebaran Cadangan Biomassa berdasarkan Tipe Potensi Hutan di Hutan Lindung Sungai Wain (Hardjana, et al., 2010)
Gambar 8. Cadangan Biomassa Tegakan Dipterokarpa dan Non Dipterokarpa (ton/ha) berdasarkan Tipe Potensi Hutan di Hutan Lindung Sungai Wain (Hardjana, et al., 2010)
40 • Teknik Perhitungan Karbon untuk Perbaikan Faktor Emisi dan Serapan GRK Kehutanan
Tabel 23. Perbandingan Hasil Perhitungan Karbon Total di Hutan Lindung Sungai Wain dengan Interprestasi Citra dan Pengukuran Langsung di Lapangan
No. Tipe HutanPerhitungan Karbon (ton C/ha)
Interpretasi Citra Manual Lapangan
1. Potensi Tinggi 15,79 14,85
2. Potensi Sedang 13,72 13,72
3. Potensi Rendah 1,13 11,31
Jumlah Total C 30,64 39,88
Sebagai perbandingan, hasil penelitian Hiratsuka et al. (2006) menyatakan bahwa hutan sekunder bekas kebakaran hutan sejak 5 tahun lalu di Kalimantan Timur memiliki cadangan biomassa berkisar antara 44,2 – 55,3 ton/ha dan bila dihitung cadangan karbonnya berkisar antara 22,1 – 27,65 ton C/ha. Rahayu et al. (2006) juga menyebutkan bahwa cadangan karbon di atas permukaan tanah pada berbagai sistem penggunaan lahan di Kalimantan Timur berkisar antara 4,2 – 230 ton C/ha.
Informasi cadangan karbon hutan alam bioregion Kalimantan diperoleh juga dari kawasan konservasi di areal PT. Aya Yayang Indonesia, Kab. Tabalong, Kalimantan Selatan, PT. Suka Jaya Makmur (SJM), Kab. Ketapang, Kalimantan Barat, dan PT. Erna Djuliawati, Kab. Seruyan, Kalimantan Tengah. Kandungan biomassa karbon untuk pohon jenis Dipterocarpaceae dengan DBH >20 cm di PT. SJM lebih tinggi dibandingkan dengan dua lokasi lainnya, yaitu sebesar 27,83 ton CO2/ha (dengan menggunakan persamaan Basuki et al., 2009). Kandungan biomassa karbon untuk pohon jenis Dipterocarpaceae dengan DBH <20 cm di PT. AYI lebih tinggi dibandingkan dengan dua lokasi lainnya, yaitu sebesar 152,86 ton CO2/ha (dengan menggunakan persamaan Basuki et al., 2009). Kandungan karbon organik tanah di tiga lokasi penelitian tergolong rendah yaitu berkisar antara 1,12 % - 1,47 %, dengan potensi karbon organik tanah sedalam 20 cm berkisar antara 2,11 ton C/ha – 3,3 ton C/ha.
4.2.4 Bioregion Sulawesi
Informasi kandungan biomasa dan karbon hutan di Bioregion Sulawesi diperoleh dari berbagai daerah, yaitu: 1. Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TN BNW), Sulawesi Utara dan Gorontalo2. Cagar Alam Tangkoko Dua Saudara, Kota Bitung, Sulawesi Utara 3. KPH Poigar, Kabupaten Bolaang Mongondow4. Hutan Lindung Gunung Tumpa, Kota Manado dan Kabupaten Minahasa Utara.
Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) • 41
Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TN BNW) oleh Wahyuni, et al. (2012) secara geografis terletak antara 0⁰20’ – 0⁰51’ LU dan 123⁰06’ – 123⁰18’ BT, serta masuk dalam wilayah dua provinsi yaitu Sulawesi Utara dan Gorontalo. Dari luas keseluruhan 287.115 ha, seluas 117.115 ha (62,32%) berada di Sulawesi Utara dan 110.000 ha (37,68%) termasuk dalam wilayah Gorontalo. Berdasarkan Schmidt dan Ferguson, wilayah TN BNW termasuk dalam tipe iklim A, B dan C, dengan curah hujan rata-rata antara 1.700-2.200 mm per tahun dan suhu rata- rata antara 20⁰-28⁰ C. Sedangkan topografi kawasan ini sangat beragam mulai dari datar hingga berbukit terjal dengan ketinggian antara 50 – 1.970 m dpl.
Kondisi tiga lokasi pengambilan data cukup beragam, mulai dari kawasan Bukit Lingua (SPTN II Doloduo) dengan penutupan tajuk berkisar antara 65-80% yang merupakan hutan sekunder yang biasa dilewati masyarakat saat masuk kawasan hutan untuk memasang jerat. Hal ini sedikit berbeda dengan lokasi di Puncak Biyango dan Kayu Lawang (SPTN III Maelang) yang terletak cukup dekat dengan bekas perambahan pada tahun 2000an. Kedua lokasi ini termasuk dalam hutan sekunder dengan penutupan tajuk berkisar antara 60-70% pada hutan dataran rendah dan 80-90% pada hutan dataran tinggi (Tabel 24).
Dari empat tipe ekosistem, diketahui hutan dataran rendah Maelang memiliki cadangan biomasa dan karbon tertinggi dibandingkan lokasi lainnya sebanyak 2.968,8 ton/ha dan 1.395,35 ton C/ha. Sebaliknya hutan dataran tinggi Maelang memiliki cadangan biomasa dan karbon terendah sejumlah 462,24 ton/ha dan 220,79 ton C/ha. Kedua tipe
Tabel 24. Rata-rata Biomasa dan Karbon di Lokasi Pengukuran
Komponen biomasa
Tipe ekosistem per lokasi
SPTN II Doloduo SPTN III Maelang
Ht Dataran Rendah Lingua
Ht Dataran Rendah
Tumokang
Ht Dataran Rendah Melang
Ht Dataran Tinggi
Maelang
Pohon (ton/ha) 578,05 981,21 2.960,21 462,24
Tumbuhan Bawah (ton/ha) 0,92 0,08 0,74 1,45
Serasah (ton/ha) 4,26 4,12 7,84 6,05
Nekromasa (ton/ha) 0,02 0,01 0,04 0,01
Total biomasa (ton/ha) 583,25 985,41 2.968,8 469,76
Rentang nilai biomasa (ton/ha) 223,24-1053,80
44,43-3.160,27 225,02-21.688,80 280,96-709,12
Total karbon (ton C/ha) 274,13 463,13 1.395,35 220,79
Rentang nilai karbon (ton C/ha) 104,92-495,29 20,88-1.485,33 105,76-10.193,73 132,05-333,29Keterangan: fraksi karbon 0,47 (SNI 7724:2011), selang kepercayaan nilai biomasa α: 0,05
42 • Teknik Perhitungan Karbon untuk Perbaikan Faktor Emisi dan Serapan GRK Kehutanan
ekosistem hutan ini terdapat dalam satu kawasan SPTN, namun memiliki jumlah cadangan biomasa yang berbeda. Walaupun hutan dataran rendah terletak berdekatan dengan Kayu Lawang, yaitu lokasi perambahan yang dijadikan kebun cengkeh oleh masyarakat namun vegetasi di dalam plot pengukuran lebih rapat dibandingkan dengan plot pengukuran pada hutan dataran tinggi.
Beberapa hal yang menyebabkan perbedaan cadangan biomasa tersebut antara lain kondisi tegakan, jumlah pohon dalam plot pengukuran, ketebalan serasah, jumlah tumbuhan bawah dan nekromasa. Jumlah pohon berpengaruh pada penutupan tajuk dan ketebalan serasah. Terdapat lebih banyak serasah pada hutan dataran rendah, hal ini juga berdampak pada jumlah tumbuhan bawah dalam plot pengukuran (Tabel 25).
Berdasarkan data pengukuran, biomasa suatu tegakan sebagian besar disusun oleh biomasa pohon yang nilainya berkisar antara 98-99% dari total biomasa (Tabel 25). Kemudian berturut-turut serasah, tumbuhan bawah dan nekromasa. Dibandingkan tumbuhan bawah, serasah memiliki biomasa yang lebih besar (0,26-1,29%) karena selain tersusun dari daun juga ranting-ranting. Sedangkan nekromasa memiliki jumlah biomasa terkecil hanya 0,001-0,004% bila dibandingkan dengan komponen biomasa yang lain. Sehingga deforestasi sekecil apapun akan berdampak signifikan terhadap cadangan biomasa hutan karena sebagian besar biomasa di lokasi pengukuran tersusun oleh biomasa pohon.
Jenis- jenis pohon yang ditemukan dalam plot pengukuran sebagian besar merupakan jenis yang sering ditemukan di dalam hutan di Sulawesi Utara. Karena lokasi penelitian merupakan hutan alam, maka pohon yang berada dalam plot cukup beragam. Beberapa jenis pohon tersebut antara lain Meliosma nitida Blume., Myristica fatua Houtt., Cratoxylum celebicum Blume., Talauma candolei Blume, Alangium javanicum Wang., Drypetes longifolia (Bl.) Pax.et.Hoffm., Ardisia villosa Roxb., dan Calophyllum soulattri Burm.f.
Tabel 25. Prosentase Tiap Komponen Biomasa terhadap Total Biomasa
Komponen biomasa
Tipe ekosistem per lokasi
SPTN II Doloduo SPTN III Maelang
Hutan Dataran Rendah Lingua
Hutan Dataran Rendah Tumokang
Hutan Dataran Rendah Maelang
Hutan Dataran Tinggi Maelang
Pohon (%) 99,11 99,57 99,71 98,40
Tumbuhan Bawah (%) 0,16 0,01 0,02 0,31
Serasah (%) 0,73 0,42 0,26 1,29
Nekromasa (%) 0,004 0,001 0,001 0,002
Total Biomasa (%) 100 100 100 100
Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) • 43
Selain di TN BNW, informasi kandungan karbon juga terdapat di CA Tangkoko Dua Saudara, KPH Poigar dan HL Gunung Tumpa. Secara geografis CA Tangkoko-Dua Saudara seluas 7.495 ha terletak di antara 125°3’ -125°15’ BT dan 1°30’-1°34’ LU dan termasuk pada wilayah Kota Bitung. Ekosistem yang menyusun kawasan ini adalah hutan pantai, hutan dataran rendah, hutan pegunungan dan hutan lumut. Topografi kawasan ini antara landai sampai bergunung dengan ketinggian 0-1.109 m dpl dan curah hujan 2.500-3.000 mm/tahun. Beberapa jenis vegetasi yang bisa ditemukan adalah beringin (Ficus spp), aras (Duabanga moluccana), nantu (Palaquium obtusifolium), kayu hitam (Diospyros spp), cempaka (Elmerillia ovalis), dan Woka (Livistonia rotundifolia). Kawasan ini juga merupakan habitat bagi beberapa satwa yaitu kera hitam (Macaca tongkeana), tangkasi (Tarsius spectrum), Kus-kus (Phalanger ursinus), maleo (Macrocephalon maleo) dan elang laut (Haliaetus leucogaster).
KPHP Model Poigar memiliki luas areal 41.597 ha yang terbentang dari 0°49’54” hingga 1°13’10” LU dan dari 124°6’23” hingga 124°30’46” BT, dimana secara administratif mencakup dua kabupaten yaitu Kabupaten Bolaang Mongondow dengan luas kawasan hutan 25.014 ha (60,13 %) dan Kabupaten Minahasa Selatan dengan luas kawasan hutan 16.583 ha (39,87 %). Kondisi topografi bervariasi mulai dari landai hingga sangat curam dengan curah hujan tahunan rata-rata 2.411 mm. Kawasan hutan di KPHP Model Poigar termasuk dalam hutan dataran rendah dan pegunungan serta terdapat pula lahan budidaya masyarakat seperti kebun kelapa dan cengkeh. Beberapa jenis vegetasi yang terdapat di sana adalah Jabon (Anthocepallus micropillus Miq), Aras (Ficus variegate), Kenanga (Cananga odorata Hook.f.et.Th), dan Nantu (Palaquium obtusifolium). Sedangkan satwa yang sering dijumpai masyarakat antara lain babi hutan (Sus scrofa), burung taon/ julang Sulawesi (Rhyticeros cassidix), yaki/ kera hitam (Macaca tongkeana), Kus-kus (Phalanger ursinus) dan maleo (Macrocephalon maleo).
Adapun Hutan Lindung Gunung Tumpa memiliki luas 215 ha dan secara geografis terletak antara 1o30’-1o40’ LU dan 124o40’-126o50’ BT. Secara administratif terletak pada dua wilayah yaitu Kota Manado dan Kabupaten Minahasa Utara. Topografi kawasann ini berbukit dengan puncak tertinggi mencapai 610 m dpl dan curah hujan antara 4.000-6.000 mm/tahun. Beberapa jenis vegetasi yang dapat ditemui adalah Caryota sp, Livistoa rotundifolia, Pigafetta filaris, Balanophora sp, Diospyros sp, Dillenia celebica dan Osmoxylon masarangense.
Total biomasa pada tiap tipe hutan merupakan penjumlahan biomasa atas permukaan tanah, biomasa bawah permukaan tanah, biomasa serasah dan biomasa nekromasa. Komponen tanah tidak termasuk dalam penghitungan biomasa karena akan langsung diperoleh nilai karbon organik tanah. Nilai biomasa tiap komponen dan total biomasa berdasarkan ekosistem hutan terdapat dalam Tabel 26.
44 • Teknik Perhitungan Karbon untuk Perbaikan Faktor Emisi dan Serapan GRK Kehutanan
Tabel 26. Kandungan Biomasa dari CA Tangkoko Dua Saudara, KPH Poigar dan HL Gunung Tumpa
Lokasi dan Tipe
Hutan
Komponen Biomasa Total Biomasa* (ton/ha)
AGB BGBNekromasa Serasah
Chave Kettering Litbang Chave Kettering LitbangI. CA Tangkoko-Dua SaudaraHutan Pantai 193.21 231.57 159.20 71.49 85.68 58.91 0.094 3.90 222.10
Hutan Dataran Rendah
269.48 265.91 149.29 99.71 98.39 55.24 8.54 5.72 218.79
Hutan Dataran Tinggi
206.32 254.55 159.27 76.34 94.18 58.93 7.23 3.48 228.92
Hutan Lumut 409.07 326.95 159.09 151.35 120.97 58.86 4.44 7.58 229.97
II. KPHP PoigarHutan Dataran Rendah 240.31 238.51 150.45 88.92 88.25 55.66 0.027 5.14 211.27
Hutan Dataran Tinggi 343.88 321.53 180.72 127.24 118.97 66.87 0.134 4.00 251.72
III. HL Gunung TumpaHutan Dataran Rendah
377.26 594.88 344.44 139.59 220.11 127.44 0.0031 3.22 475.10
Keterangan: AGB = Above Ground Biomass (biomasa di atas permukaan), BGB = Below Ground Biomass (biomasa di bawah permukaan), *nilai AGB dan BGB yang dihitung adalah dari persamaan Litbang (2010)
Nilai biomasa tertinggi berada pada ekosistem hutan dataran rendah Gunung Tumpa sebesar 475,10 ton/ha. Sedangkan nilai biomasa terendah berada pada ekosistem hutan dataran rendah Poigar sebesar 211,27 ton/ha. Komponen penyusun biomasa terbesar secara berturut-turut adalah biomasa atas permukaan, biomasa bawah permukaan, biomasa serasah dan biomasa nekromasa. Jika dilakukan perbandingan biomasa berdasarkan tipe ekosistem yang terdapat di 3 lokasi yaitu hutan dataran rendah, secara berturut-turut lokasi dengan biomasa terbesar hingga terkecil adalah Gunung Tumpa, CA Tangkoko-Dua Saudara dan KPHP Poigar.
Perbedaan nilai total biomasa selain disebabkan oleh lokasi plot di berbagai kawasan mulai hutan konservasi (CA Tangkoko-Dua Saudara) dan hutan lindung (KPHP Poigar dan Gunung Tumpa) serta kondisi vegetasi dan aksesibilitas hutan dari masyarakat. Namun pada kawasan hutan Tangkoko, biomasa hutan pantai, hutan dataran rendah dan hutan lumut tidak jauh berbeda yaitu berkisar 200 ton/ha. Sedangkan nilai biomasa hutan dataran rendah dan hutan dataran tinggi di KPHP Poigar masing-masing sebesar
Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) • 45
211,27 ton/ha dan 251,72 ton/ha. Kondisi di kedua ekosistem ini tidak jauh berbeda namun hutan dataran tinggi terletak pada lokasi yang cukup sulit diakses dengan topografi curam. Sedangkan plot pengukuran di Gunung Tumpa memberikan hasil nilai biomasa tertinggi untuk tipe ekosistem hutan dataran rendah dibandingkan lokasi Poigar dan Gunung Tumpa yaitu sebesar 475,10 ton/ha.
Perbedaan biomasa pada tiap lokasi pengukuran antara lain disebabkan perbedaan keanekaragaman dan kompleksitas komponen penyusun ekosistem tersebut. Kompleksitas ekosistem ini akan mempengaruhi cepat atau lambatnya siklus karbon yang melalui tiap komponennya. Pada lokasi pembuatan plot, perbedaan nilai biomasa pada satu lokasi dengan lokasi lainnya dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain kondisi tegakan, topografi, keragaman vegetasi penyusun dan intensitas gangguan terhadap kawasan.
4.2.5 Bioregion Nusa Tenggara
NTT memiliki kekhasan ekosistem yang berupa savana. Dua jenis dominan di savanna diantaranya adalah ampupu (Eucalyptus urophylla) sebagai jenis dominan pada hutan tanaman dataran tinggi, dan jati (Tectona grandis) sebagai jenis yang dominan pada hutan tanaman dataran rendah. Selain dua jenis di atas, terdapat juga savana huek (Eucalyptus alba), savana gewang (Corypha utan), savana lontar (Borassus flabellifer), savana kasuari (Casuarina junghuhniana), dan savana Acacia leucophloea.
Inventarisasi potensi simpanan karbon pada hutan tanaman ampupu dilakukan di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Simpanan karbon hutan tanaman ampupu pada umur 12 tahun sebesar 38,95 ton/ha, pada umur 26 tahun sebesar 117,94 ton/ha dan pada umur 27 tahun sebesar 166,70 ton/ha.
Inventarisasi potensi simpanan karbon pada hutan tanaman jati (Tectona grandis) dilakukan di 2 (dua) kabupaten di Prop. NTT. Stok karbon tertinggi pada kawasan hutan tanaman jati (Tectona grandis) di Kabupaten Kupang menurut allometrik Ketterings sebesar 148,48 ton/ha dan allometrik Pérez, L.D. & Kanninen sebesar 145,32 ton/ha yang terletak pada kelas umur III. Stok karbon terendah pada kawasan hutan tanaman jati di Kabupaten Kupang menurut allometrik Ketterings sebesar 106,59 ton/ha dan menurut allometrik Pérez, L.D. & Kanninen sebesar 107,04 ton/ha yang terletak pada kelas umur V.
Hutan tanaman jati di Kab. Belu memiliki memiliki keragaman kandungan karbon sesuai kelas umurnya. Tahun tanam tertua adalah 1936, dan tahun tanam termuda adalah tahun 1992, dengan potensi stok karbon disajikan pada Tabel 27.
46 • Teknik Perhitungan Karbon untuk Perbaikan Faktor Emisi dan Serapan GRK Kehutanan
Tabel 27. Potensi Stok/Simpanan Karbon pada KU II
KU Kategori
Biomasa (ton/ha)
Simpanan C (ton/ha)
KeteranganKetterings Pérez, L.D. &
Kanninen Ketterings Pérez, L.D. & Kanninen
II Pohon 5-30 96.07 101.56 44.19 46.72 JT 3x2 m, lokasi Bifemnasi-Sonmahole
Nekromas 30 up 1.66 1.79 0.76 0.82Nekromas 5-30 9.75 9.46 4.48 4.35Seresah 7.45 7.45 3.43 3.43Tumbuhan bawah 0.70 0.09 0.32 0.04Tanah 57.42 57.42Jumlah 115.62 120.35 110.61 112.78
IV Pohon 5-30 138.65 127.14 63.78 58.49 Kelompok hutan Lakaan Mandeu lokasi Fatubesi, tahun tanam 1978, JT 3 x 1 m
Nekromas 5-30 5.03 4.28 2.32 1.97Seresah 3.53 3.53 1.62 1.62Tumbuhan bawah 0.99 0.99 0.46 0.46Tanah 1.12 1.12Jumlah 148.20 135.94 69.29 63.65
V Pohon 30 up 140.61 134.66 64.68 61.94 Kelompok hutan Udukama lokasi Nekasa, tahun tanam 1965, JT 3 x 1 m
Pohon 5-30 172.08 149.22 79.16 68.64Nekromas 5-30 9.88 9.64 4.55 4.43Seresah 4.47 4.47 2.06 2.06Tumbuhan Bawah 2.44 2.44 1.12 1.12Tanah 5.57 5.57Jumlah 329.49 300.42 157.13 143.76
VI Pohon 30 up 132.63 157.36 61.01 72.39 Kelompok hutan Udukama lokasi Nekasa, tahun tanam 1955, JT awal 3 x 1 m
Pohon 5-30 221.73 227.03 102.00 104.44Nekromas 5-30 7.97 7.31 3.67 3.36Seresah 3.78 3.78 1.74 1.74Tumbuhan Bawah 2.52 2.52 1.16 1.16Tanah 1.15 1.15Jumlah 368.64 398.01 170.72 184.23
VII Pohon 30 up 236.88 261.35 108.96 120.22 Kelompok hutan Udukama lokasi Nekasa,tahun tanam 1946, JT 2 x 1 m
Pohon 5-30 121.00 111.39 55.66 51.24Nekromas 30 up 5.43 7.62 2.50 3.50Seresah 4.07 4.07 1.87 1.87Tumbuhan Bawah 0.90 0.90 0.41 0.41Tanah 1.01 1.01Jumlah (ton/ha) 368.27 385.32 170.42 178.26
VIII Pohon 30 up 235.94 264.90 108.53 121.85 Kelompok hutan Udukama lokasi Nekasa, tahun tanam 1937, JT 2 x 1 m
Pohon 5-30 184.67 165.15 84.95 75.97Nekromas 5-30 16.47 11.32 7.58 5.21Seresah 2.03 2.03 0.94 0.94Tumbuhan Bawah 0.72 0.72 0.33 0.33Tanah 1.11 1.11Jumlah 439.83 444.12 203.43 205.41
Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) • 47
Tipe ekosistem savana lain yang dijumpai di Nusa Tenggara Timur adalah ekosistem savana Eucalyptus alba. Potensi karbon per hektar pada ekosistem tersebut menurut metode perhitungan langsung berkisar antara 48,03 – 115,68 ton/ha, atau rata-rata 70,67 ton/ha. Nilai tesebut meliputi karbon di atas tanah, di bawah tanah, tumbuhan bawah, seresah, nekromas tidak berkayu, dan karbon tanah (Tabel 28).
Tabel 28. Kandungan Karbon Eucalyptus alba menurut Klasifikasi Pool Karbon
LokasiBiomasa (ton/ha)
C (ton/ha)Pohon Nekromas Seresah Tumbuhan
bawah Tanah Jumlah
Teba 89.84 11.98 2.01 1.62 11.60 117.06 55.02
Lapeom 111.55 0.99 3.23 2.31 18.00 136.08 63.96
Noebaun 69.06 2.14 3.65 1.45 25.88 102.19 48.03
Naiola 149.02 1.65 1.41 2.84 91.21 246.13 115.68
Rerata 104.87 4.19 2.58 2.06 36.67 150.36 70.67
Gambar 10. Ekosistem Savanna Eucalyptus alba di Nusa Tenggara Timur
48 • Teknik Perhitungan Karbon untuk Perbaikan Faktor Emisi dan Serapan GRK Kehutanan
Adapun potensi simpanan karbon savana gewang (Corypha utan) di Desa Nekbaun
adalah 58,21 ton/hektar dan potensi simpanan karbon savana lontar (Borassus flabellifer)
di Desa Kuanheun adalah 52,68 ton/hektar.
4.2.6 Bioregion Maluku dan Papua
4.2.6.1 Maluku
Besarnya kandungan biomassa pada masing-masing stratum di hutan topis Maluku
diperoleh dari Desa Murnaten dan Desa Soya, Pulau Ambon. Gambaran mengenai kondisi
cadangan biomassa dan besarnya jumlah C tersimpan pada masing-masing strata hutan
di lokasi penelitian dapat dilihat dalam Tabel 29 serta Gambar 11 dan 12.
(a) (b)
Gambar 11. Grafik Jumlah C Tersimpan menurut Strata Hutan Primer (a) dan Strata Hutan Sekunder (b)
di Desa Murnaten
(a) (b)
Gambar 12. Grafik Jumlah C Tersimpan menurut Strata Hutan Primer (a) dan Strata Hutan Sekunder (b)
di Desa Soya
Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) • 49
Tabe
l 29.
Rek
apitu
lasi J
umlah
Kan
dung
an B
iom
assa
dan
Jum
lah C
Ter
simpa
n m
enur
ut S
trata
Hut
an d
i Des
a Mur
nate
n da
n D
esa S
oya
NoTip
e Hut
anPl
otAt
as Pe
rmuk
aan (
ton/
ha)
Bawa
h Per
muk
aan (
ton/
ha)
Sera
sah (
ton/
ha)
Nekr
omas
sa (t
on/h
a)Ta
nah (
ton/
ha)
Tota
l C (t
on/h
a)
Biom
assa
C-te
rsim
pan
Biom
assa
C-te
rsim
pan
Biom
assa
C-te
rsim
pan
Biom
assa
C-te
rsim
pan
Biom
assa
C-te
rsim
pan
Desa
Mur
naten
(Kab
. SBB
)
1Hu
tan Pr
imer
Datar
an
Rend
ah
I15
2.304
471
.5831
56.35
2626
.4857
10.47
384.9
227
0.027
10.0
127
128.9
494
219.1
579
231.9
536
II14
6.831
469
.0108
54.32
7625
.5340
10.09
384.7
441
0.003
90.0
018
101.9
551
211.2
567
201.2
458
III14
3.554
067
.4704
53.11
5024
.9640
3.760
91.7
676
0.001
50.0
007
147.4
211
200.4
314
241.6
239
Rata-
rata
147.5
633
69.35
4754
.5984
25.66
138.1
095
3.811
50.0
108
0.005
112
6.108
521
0.282
022
4.941
1
2Hu
tan
Seku
nder
Datar
an
Rend
ah
I88
.6537
41.66
7232
.8019
15.41
699.1
743
4.311
90.0
109
0.005
113
4.167
393
.1382
177.9
423
II14
9.054
770
.0557
55.15
0225
.9206
8.257
63.8
811
0.033
40.0
157
149.7
336
111.0
792
201.9
408
III12
3.186
057
.8974
45.57
8821
.4220
5.817
02.7
340
0.013
90.0
065
134.9
023
85.64
2917
5.154
5
Rata-
rata
120.2
981
56.54
0144
.5103
20.91
987.7
496
3.642
30.0
194
0.009
113
9.601
196
.6201
185.0
125
Desa
Soya
(Kota
Ambo
n)
1Hu
tan Pr
imer
Datar
an
Rend
ah
IV45
8.330
821
5.415
516
9.582
479
.7037
13.07
206.1
438
0.307
60.1
446
131.3
700
641.2
928
432.7
776
V35
7.684
216
8.111
613
2.343
262
.2013
9.240
84.3
432
0.349
60.1
643
226.3
500
499.6
178
461.1
704
VI43
4.241
620
4.093
616
0.669
475
.5146
3.671
31.7
255
0.909
50.4
275
191.0
100
599.4
918
472.7
711
Rata-
rata
416.7
522
195.8
735
154.1
983
72.47
328.6
614
4.070
80.5
222
0.245
518
2.910
058
0.134
145
5.573
0
2Hu
tan
Seku
nder
Datar
an
Rend
ah
I23
1.676
010
8.887
785
.7201
40.28
850.7
481
0.351
60.1
634
0.076
810
5.610
031
8.307
725
5.214
6
II16
4.619
577
.3712
60.90
9228
.6273
4.295
02.0
187
0.932
10.4
381
151.7
700
230.7
558
260.2
252
III15
3.883
872
.3254
56.93
7026
.7604
1.769
80.8
318
0.000
00.0
000
140.0
600
212.5
906
239.9
776
Rata-
rata
183.3
931
86.19
4867
.8554
31.89
212.2
710
1.067
40.3
652
0.171
613
2.480
025
3.884
725
1.805
8
Sum
ber:
Uni
versi
tas P
attim
ura,
2013
50 • Teknik Perhitungan Karbon untuk Perbaikan Faktor Emisi dan Serapan GRK Kehutanan
Tabel 29 menjelaskan bahwa jumlah kandungan biomassa berbeda antara strata hutan primer dan sekunder. Secara keseluruhan jumlah kandungan biomassa pada strata hutan primer lebih tinggi daripada strata hutan sekunder. Kondisi ini berdampak pula pada jumlah C tersimpan dari kedua strata hutan tersebut, karena 50% total biomassa yang dihasilkan adalah karbon.
Tingginya jumlah kandungan karbon pada strata hutan primer dibandingkan strata hutan sekunder disebabkan lahan hutan primer mampu menyimpan karbon karbon dalam jumlah lebih besar dibandingkan dengan lahan hutan sekunder. Jumlah kandungan karbon pada strata hutan sekunder lebih sedikit karena lahan hutan sekunder telah terjadi gangguan terhadap tegakannya seperti aktivitas penebangan maupun akibat kebakaran hutan. Hal ini dipertegas juga dalam Anonim, 2010, bahwa pengurangan jumlah karbon pada strata hutan sekunder disebabkan karena kebakaran, ekstraksi kayu, pemanfaatan lahan untuk bercocok tanam dan kejadian atau aktivitas lainnya di kawasan hutan yang menyebabkan berkurangnya potensi biomassa yang berindikasi langsung terhadap kemampuan menyimpan karbon.
Besarnya jumlah kandungan karbon pada masing-masing strata dipengaruhi oleh jumlah kandungan karbon pada masing-masing karbon pool, dengan jumlah kandungan karbon tanah lebih besar daripada karbon pool lainnya. Jumlah kandungan karbon tanah ini salah satunya dipengaruhi oleh faktor kesuburan tanahnya. Kondisi ini yang menyebabkan pada strata hutan sekunder di Desa Murnaten jumlah kandungan karbonnya lebih besar dibandingkan strata hutan primer pada plot II, karena kesuburan tanahnya baik jika dibandingkan dengan plot I dan III.
Dijelaskan pula bahwa untuk kondisi areal penelitian di Desa Murnaten besarnya jumlah C tersimpan pada strata hutan primer berkisar antara 201, 2458 ton/ha – 241,6208 ton/ha, dengan rata-ratanya sebesar 224,9441 ton/ha. Nilai ini masih lebih rendah jika dibandingkan dengan jumlah C tersimpan hasil penelitian Litbang Kehutanan, 2010 pada hutan alam primer dataran rendah sebesar 230,10 ton/ha – 264,70 ton/ha. Untuk strata hutan sekunder besarnya C tersimpan berkisar antara 175,1545 ton/ha – 201,9408 ton/ha, dengan rata-rata 185,0125 ton/ha. Hasil penelitian ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan hasil penelitian litbang kehutanan, 2010 jumlah C tersimpan sebesar 113, 20 ton/ha.
Di desa Soya besarnya jumlah C tersimpan pada strata hutan primer berkisar antara 432, 7776 ton/ha – 472,7711 ton/ha, dengan rata-ratanya sebesar 455,5730 ton/ha. Untuk strata hutan sekunder besarnya C tersimpan berkisar antara 239,9776 ton/ha – 260,2251 ton/ha, dengan rata-rata jumlah C tersimpan sebesar 251,8058 ton/ha. Hasil penelitian ini lebih besar jika dibandingkan dengan hasil penelitian Litbang Kehutanan,
Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) • 51
2010. Perbedaan ini cenderung disebabkan oleh kerapatan vegetasi, struktur dan komposisi tegakan, diameter pohon, jenis pohon serta kondisi lahannya.
Perbedaan kandungan C di kedua lokasi dipengaruhi oleh keadaan lokasi tempat tumbuh dan tingkat kerapatan vegetasi serta ukuran diameter tegakan yang dijumpai pada kedua lokasi penelitian. Areal penelitian di Desa Soya merupakan areal hutan lindung yang termasuk dalam Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Unit XIV propinsi Maluku, sedangkan di Desa Murnaten merupakan hutan produksi yang termasuk dalam Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Unit IV Propinsi Maluku.
4.2.6.2 Papua
Kandungan karbon beberapa tipe hutan di wilayah di Papua telah diinventarisasi dengan metode non destructive dan menggunakan persamaan allometrik yang relevan. Sebagian informasi cadangan karbon berasal dari hutan alam dan sebagian lagi berasal dari Hutan Penelitian yang merupakan hutan tanaman (Tabel 30).
Tabel 30. Kapasitas Simpanan Karbon pada Hutan Alam Papua
Tipe Hutan
Karbon vegetasi (ton C/ha) C tanah (ton C/ha)Total C(ton C/
ha)Pohon AkarTum-
buhan bawah
Nekro-masa
berkayu
Nekro-masa tidak ber-kayu
Jumlah C
vegetasi0-10 cm
10-20 cm
20-30 cm
Jml C tanah
Hutan pegunungan rapat 107.69 26.92 0.96 19.29 1.65 156.51 20.36 18.93 14.97 54.26 210.77
Hutan pegunungan sedang 168.88 42.22 0.83 12.87 2.11 226.91 18.17 13.66 10.9 42.73 269.64
Hutan perbukitan rapat 165.81 41.45 1.37 15.01 1.98 225.62 13.69 10.88 11.22 35.79 261.41
Hutan perbukitan sedang 272.56 68.14 1.04 14.68 2.45 358.87 23.46 19.36 18.05 60.87 419.74
Hutan dataran rendah rapat 55.01 13.75 1.76 14.81 3.02 88.35 8.2 7.39 10.25 25.84 114.19
Hutan dataran rendah sedang 85.64 21.41 0.91 9.2 1.87 119.03 18.09 15.36 14.8 48.25 167.28
Hutan rawa rapat 122.11 12.21 0.67 17.43 1.86 154.28 18.12 17 15.15 50.27 204.55
Hutan rawa sedang 178.43 17.84 1.13 14.52 1.8 213.72 13.71 14.21 13.74 41.66 255.38
Non hutan (kelapa sawit) 12.85 12.85 0.45 0 1.41 27.56 17.03 18.67 16.83 52.53 80.09Sumber: Maulana (2010)
Sebagai komparasi, kapasitas simpanan karbon pada hutan tropis areal konsesi PT Papua Satya Kencana dapat dihitung dari hasil IHMB dengan menggunakan persamaan allometrik berikut.
52 • Teknik Perhitungan Karbon untuk Perbaikan Faktor Emisi dan Serapan GRK Kehutanan
W = 0.11*BJ* D2.62 (Ketterings, et. al., 2001)W = 0,118 D2,53 (Brown, 1997)
Hasil perhitungan dengan menggunakan persamaan allometrik di atas dari data diameter sebagaimana Tabel 31, 32 dan 33 diperoleh bahwa kisaran kandungan karbon hutan di Papua Barat berkisar antara 219,40 ton/ha (menurut persamaan allometrik Ketterings) sampai 289,87 ton/ha (menurut persamaan allometrik Brown) (Tabel 31).
Tabel 31. Estimasi Kandungan Karbon berdasarkan Data IHMB
Kelas diameter Jumlah phn/ha Kettering (ton/ha) Brown (ton/ha)
10-19 cm (nilai tengah 15 cm) 726.25 57,81 81,00
20-29 cm (nilai tengah 25 cm) 180.07 54,65 73,13
>30 up (nilai tengah 45 cm) 75.54 106,94 135,73
Total kandungan C/ha 219,40 289,87
Berdasarkan sumber data IHMB yang sama, kalkulasi kandungan karbon dapat dilakukan dengan menggunakan data volume dan nilai BEF (Biomass Expansion Factor) sebesar 1,3 (kisaran 0,9 – 1,6 untuk hutan alam tropis basah pada level growing stock 120-200m3) (IPCC, 2006). Hasil perhitungan menunjukkan bahwa kandungan karbon hutan Papua Barat antara 89,89 – 159,81 ton/ha denga nilai tengah 129,84 ton/ha (Tabel 32). Nilai tersebut lebih kecil dari hasil perhitungan allometrik Kettering maupun Brown, namun mendekati hutan dataran rendah rapat dan sedang menurut Maulana (2010) sebagaimana Tabel 32.
Tabel 32. Estimasi Kandungan Karbon berdasarkan Data IHMB (Volume) dengan BEF
Kelas diameter Vol (m3/ha)Estimasi biomasa (ton/ha) Estimasi kandungan C (ton/ha)
Kisaran bawah
Kisaran atas
Nilai tengah
Kisaran bawah
Kisaran atas
Nilai tengah
10-19 cm 113.95 61.53 109.39 88.88 30.77 54.70 44.44
20-29 cm 62.63 33.82 60.12 48.85 16.91 30.06 24.43
>30 up 156.35 84.43 150.10 121.95 42.21 75.05 60.98
Jumlah /ha 179.78 319.61 259.69 89.89 159.81 129.84
Adapun kapasitas simpanan karbon pada beberapa jenis hutan tanaman di Papua Barat disajikan pada Tabel 33. Berdasarkan tabel tersebut terlihat adanya variasi yang dibentuk oleh jenis tanaman dan umur tanaman tersebut.
Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) • 53
Tabel 33. Kapasitas Simpanan Karbon pada beberapa Tipe Hutan di Papua Barat
No. Ekosistem / Lokasi Kandungan C (ton/ha) Sumber
1 Potensi karbon jenis endemik Papua 156,6-164,4 Asmoro, 2011
2 Potensi karbon pada jenis Pometia, Palaqium amboinensis dan Swietinia macrophyla di Hutan Tanaman Anggresi, Manokwari, Papua Barat
P. coreacea = 264,67 ton/ha, S. macrophyla = 181,93 ton/ha P. amboinensis = 141,73 ton/ha.
Jonni Marwa, Reinaldus L. Cabuy, Jacob Manusawai, 2012.
3 Tegakan matoa di hutan tanaman wanariset Anggresi Kabupaten Manokwari
257,73 SC Wattimury, 2010
4 Tegakan Araucaria cunninghamii dan Dracontomelum adule di arboretum Angggori, Manokwari.
• Tegakan A. cuninghamii tahun 2010 sebesar 9,4 ton/ha dan pada tahun 2011 sebesar 12,2 ton/ha.
• Tegakan D. edule tahun 2010 sebesar 86,7 ton/ha dan tahun 2011 sebesar 95,5 ton/ha.
Intan Debora OM Ndun, 2011
5 Tegakan Swietinia macrophyla di Hutan Tanaman Wanariset Anggresi Distrik Manokwari Selatan Kabupaten Manokwari.
Jumlah karbon tersimpan pada tahun 2009 adalah 1,05 ton/ha.
Johanes P Sanadi, 2010
6 Tegakan Palaquium amboinensis di Hutan Tanaman Wanariset Anggresi Distrik Manokwari Selatan Kabupaten Manokwari.
8.098 ton/ha/thn Ferdinand K. Yafdas, 2010
4.3 Rekomendasi Teknik Perhitungan Karbon dan Perbaikan Faktor Emisi
Sejak tahun 2009 sampai dengan 2013, RPI 17 telah menghasilkan beberapa informasi penting yang dapat dijadikan sumber acuan di tingkat nasional maupun di tingkat lokal. Beberapa nilai penting tersebut adalah:1. Tambahan database persamaan allometrik pada berbagai ekosistem hutan di Indonesia2. Kandungan karbon sebagai acuan faktor emisi dan faktor serapan lokal dari berbagai
tipe hutan di Indonesia3. Persamaan allometrik hutan savanna dan faktor emisi berbagai jenis tanaman dan tipe
hutan dari Indonesia Bagian Timur (Nusa Tenggara, Maluku dan Papua) merupakan sumbangan yang signifikan bagi database Indonesia.
Berdasarkan temuan ini dapat direkomendasikan untuk perbaikan faktor emisi dan serapan sebagai berikut:1. Penggunaan tambahan persamaan allometrik untuk tanaman pada ekosistem savanna.
54 • Teknik Perhitungan Karbon untuk Perbaikan Faktor Emisi dan Serapan GRK Kehutanan
2. Penetapan default value FE nasional dan sub nasional dalam pendekatan bioregion. Provinsi dapat menggunakan FE menurut region yang sesuai. Usulan angka default disajikan pada Tabel berikut.
Tabel 34. FE/FS pada berbagai Tipe Hutan Tingkat Nasional
Tipe tutupan lahan Nilai min. (ton/ha)
Nilai maks(ton/ha)
Median (ton/ha)
Rerata (ton/ha) N Sd SE
Hutan lahan kering primer 64.21 323.171 178.4 176.10 25 80.79 16.16
Hutan lahan kering sekunder 34.99 216.85 87.43 103.59 29 52.79 9.80
Hutan gambut primer 56.54 200.23 113.33 123.67 8 56.02 19.81
Hutan gambut sekunder 37.51 142.07 92.32 90.26 13 37.14 10.30
Hutan mangrove primer 41.8 393.62 162.00 188.30 5 133.18 59.56
Hutan mangrove sekunder 37.03 142.9 92.14 94.07 10 45.06 14.25
Hutan tanaman 29.92 237.52 77.22 98.38 76 56.97 6.54Keterangan: N = Jumlah data; Sd: Standar deviasi; SE: Standar eror
Tabel 35. FE/FS pada Kebakaran Hutan
Kondisi kebakaran Hutan Gambut(ton/ha)
Hutan Tanaman lahan gambut (ton/ha)
Pasca terbakar 1 tahun 7.85 1.30
Pasca terbakar 3 tahun 22.15 -
Pasca terbakar 8 tahun 33.71 21.42
Sumber: Prakosa, et al. (2012)
Tabel 36. Sisa Cadangan Karbon Pasca Kebakaran di Hutan Alam Gambut
Tingkat keparahan kebakaran di hutan alam gambut Sisa cadangan C (ton/ha)
Aral HA 1 thn pasca kebakaran 1,296
Sisa cadangan karbon pada areal bekas kebakaran ringan 65,14 m3/ha
Sisa cadangan karbon pada areal bekas kebakaran sedang 28,0 m3/ha
Sisa cadangan karbon pada areal bekas kebakaran berat 24,7 ton/ha.
Sumber: Dharmawan, et al. (2013)
Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) • 55
Tabel 37. FE/FS pada berbagai Tipe Hutan untuk Bioregion Sumatera
Tipe tutupan lahanNilai min
(ton/ha)
Nilai maks
(ton/ha)Median (ton/ha)
Rerata (ton/ha) N Sd SE Keterangan
Ht. lahan kering primer 178.4 310.03 305.73 264.72 3 74.79 43.18 Diolah dari berbagai sumber
Ht. lahan kering sekunder 71.48 216.85 77.92 111.04 4 70.67 35.34 Diolah dari berbagai sumber
Ht. gambut primer - - - 126.01 - - - Rochmayanto, et al. (2010)
Ht. gambut sekunder 30.95 126.8 91.12 86.75 9 33.77 11.26 Diolah dari berbagai sumber
Ht. mangrove primer - - - 227.30 - - - Sadelie, et al. (2011)
Ht. mangrove sekunder 24.56 96.44 45.46 52.98 4 30.75 15.37 Diolah dari berbagai sumber
Ht. tanaman 35.7 177.2 66.62 76.70 26 46.74 9.17 Diolah dari berbagai sumberKeterangan: N = Jumlah data; Sd: Standar deviasi; SE: Standar eror
Tabel 38. FE/FS pada berbagai Tipe Hutan untuk Bioregion Jawa
Tipe tutupan lahanNilai min (ton/ha)
Nilai maks
(ton/ha)
Median (ton/ha)
Rerata (ton/ha)
N Sd SE Keterangan
Ht. lahan kering primer 78.84 323.171 118.43 144.28 6 91.78 37.47 Diolah dari berbagai sumberHt. lahan kering sekunder 48.43 172.08 95.19 96.28 8 41.35 14.62 Diolah dari berbagai sumberHt. gambut primer - - - - - - - Tidak terdapat hutan gambutHt. gambut sekunder - - - - - - - Tidak terdapat hutan gambutHt. mangrove primer - - - 393.62 1 - - Hapsari (2011)Ht. mangrove sekunder - - - 179.00 1 - - Heriyanto & Subiyandono (2012)Ht. tanaman 42.172 144.41 64.15 75.19 10 34.78 11.00 Diolah dari berbagai sumber
Keterangan: N = Jumlah data; Sd: Standar deviasi; SE: Standar eror
Tabel 39. FE/FS pada berbagai Tipe Hutan untuk Bioregion Kalimantan
Tipe hutan Nilai min (ton/ha)
Nilai maks (ton/ha)
Rerata (ton/ha)
N Sd Keterangan
Hutan lahan kering primer - - 222 373 138,07 Krisnawati, et al. (2014)
Hutan lahan kering sekunder - - 178 4.686 72,25 Krisnawati, et al. (2014)
Hutan gambut primer - - 157 42 64,31 Krisnawati, et al. (2014)
Hutan gambut sekunder - - 140 1.365 33,78 Krisnawati, et al. (2014)
Hutan mangrove primer - - 162 30 25,96 Krisnawati, et al. (2014)
Hutan mangrove sekunder - - 116 18 29,87 Krisnawati, et al. (2014)
Hutan tanaman - - 54,7 - - Hardjana (2011)Keterangan: N = Jumlah plot; Sd: Standar deviasi; SE: Standar eror
56 • Teknik Perhitungan Karbon untuk Perbaikan Faktor Emisi dan Serapan GRK Kehutanan
Tabel 40. FE/FS pada berbagai Tipe Hutan untuk Bioregion Bali-Nusa Tenggara
Tipe tutupan lahanNilai min
(ton/ha)
Nilai maks(ton/ha)
Median (ton/ha)
Rerata (ton/ha)
N Sd SE Keterangan
Ht. lahan kering primer 64.21 130.58 88.75 93.07 4 30.80 15.40 Diolah dari berbagai sumber
Ht. lahan kering sekunder 34.99 73.55 65.52 59.89 4 17.19 8.60 Diolah dari berbagai sumber
Ht. gambut primer - - - - - - - Tidak ada hutan gambut
Ht. gambut sekunder - - - - - - - Tidak ada hutan gambut
Ht. mangrove primer - - - 41.80 - - - Dinas Kehutanan NTB, 2013
Ht. mangrove sekunder - - - 22.60 - - - Dinas Kehutanan NTB, 2013
Ht. tanaman 34.96 203.43 110.61 110.79 19 52.27 11.99 Diolah dari berbagai sumber
Keterangan: N = Jumlah data; Sd: Standar deviasi; SE: Standar eror
Tabel 41. FE/FS pada berbagai Tipe Hutan untuk Bioregion Sulawesi
Tipe tutupan lahanNilai min
(ton/ha)
Nilai maks(ton/ha)
Median (ton/ha)
Rerata (ton/ha)
N Sd SE Keterangan
Ht. lahan kering primer 148.12 278.29 216.23 214.72 4 53.30 26.65Diolah dari berbagai sumber
Ht. lahan kering sekunder 77.19 274.13 118.20 145.08 5 77.21 34.53Diolah dari berbagai sumber
Ht. gambut primer - - - - - -Tidak ada hutan rawa gambut
Ht. gambut sekunder - - - - - -Tidak ada hutan rawa gambut
Ht. mangrove primer - - - - - - ND
Ht. mangrove sekunder 86.95 103.6 87.84 92.80 3 9.37 5.41Diolah dari berbagai sumber
Ht. tanaman 36.86 237.52 70.10 92.65 15 61.24 15.81Diolah dari berbagai sumber
Keterangan: N = Jumlah data; Sd: Standar deviasi; SE: Standar eror
Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) • 57
Tabel 42. FE/FS pada berbagai Tipe Hutan untuk Bioregion Maluku-Papua
Tipe tutupan lahan Nilai min (ton/ha)
Nilai maks
(ton/ha)
Median (ton/ha)
Rerata (ton/ha)
N Sd SE Keterangan
Ht. lahan kering primer
73.17 290.73 184.43 179.62 6 71.22 29.08 Diolah dari berbagai sumber
Ht. lahan kering sekunder
60.19 129.59 89.76 92.38 7 22.44 8.48 Diolah dari berbagai sumber
Ht. gambut primer 195.88 200.23 - 198.06 2 - - Diolah dari berbagai sumber
Ht. gambut sekunder 92.32 142.07 - 117.20 2 - - Diolah dari berbagai sumber
Ht. mangrove primer - - - 116.79 - - - Prasetyo, et al. (2012)
Ht. mangrove sekunder
- - - 37.03 - - - Prasetyo, et al. (2012)
Ht. tanaman 86.70 264.67 164.4 172.50 7 70.07 26.48 Diolah dari berbagai sumber
Keterangan: N = Jumlah data; Sd: Standar deviasi; SE: Standar eror
Catatan:1. Nilai cadangan karbon pada di atas adalah nilai di atas permukaan tanah, sehingga nilai tersebut tidak
mencakup nilai karbon di bawah permukaan tanah dan karbon tanah.2. Dalam tabel disajikan: nilai minimum dan maksimum (nilai terendah dan tertinggi dari data), media,
dan rata-rata untuk dipilih yang paling kuat representasinya.3. Faktor emisi dan faktor serapan dikonversi dari tabel di atas, dan dapat dilakukan sebagaimana contoh
berikut.Contoh 1 pada level nasional: a. Tipe hutan awal : Hutan Lahan Kering Primer = 176,10 ton/hab. Tipe hutan akhir : Hutan Lahhan Kering Sekunder = 103,59 ton/hac. Maka faktor emisi : 176,10 – 103,59 = 72,51 ton/had. Artinya : Faktor emisi pada kasus HLKP berubah menjadi HLKS sebesar 72,51
ton/ha.Contoh 2 pada level nasional: a. Tipe lahan awal : Tanah terbuka = 0 ton/hab. Tipe hutan akhir : Hutan Tanaman = 98,38 ton/hac. Maka faktor serapan : 98,38 – 0 = 98,38 ton/had. Artinya : Faktor serapan pada kasus Tanah Terbuka berubah menjadi HT sebesar
98,38 ton/ha.Contoh 3 pada level nasional peristiwa kebakaran: a. Tipe hutan awal : Hutan Gambut Sekunder = 103,59 ton/hab. Tipe hutan akhir : Hutan Gambut Sekunder Terbakar pada tahun pertama = 7,85 ton/hac. Maka faktor serapan : 103,59 – 7,85 = 95,74 ton/had. Artinya : Faktor emisi dalam kasus kebakaran pada HGS sebesar 95,74 ton/ha.
3. Jenis tutupan lahan yang tidak termasuk di dalam buku ini (misalnya: padang rumput, tanah terbuka, dll.) dapat mengacu kepada asumsi yang selama ini diacu.
4. FE dan FS Sub Nasional dibangun berdasarkan bioregion menurut pulau besar. Provinsi dapat mengacu nilai FE/FS pada bioregion yang bersangkutan atau memilih data paling relevan pada Bab 4 jika tersedia data.
58 • Teknik Perhitungan Karbon untuk Perbaikan Faktor Emisi dan Serapan GRK Kehutanan
1. Pengayaan faktor serapan diperlukan untuk menggambarkan riap atau pertumbuhan biomassa tahunan dari setiap tipe hutan. Hingga saat ini angka pertumbuhan biomasa belum ada, sehingga hutan yang tetap hutan (tidak ada perubahan lahan) masih dianggap konstan, padahal pada kondisi huutan belum klimaks masih mengalami pertumbuhan.
2. Pengayaan keterwakilan persamaan allometrik dan cadangan karbon di seluruh Indonesia. Distribusi temuan persamaan allometrik dan kandungan biomasa/karbon hutan dapat dicermati pada Gambar 13. Secara spasial, semua pulau besar di Indonesia sudah memiliki keterwakilan allometrik dan informasi kandungan biomasa/karbon hutan. Fokus pengayaan kedepan dapat ditujukan ke provinsi yang belum memiliki keterwakilan persamaan allometrik adalah: Aceh, Sumatera Utara, Bengkulu, Sumatera Barat, Lampung, Jawa, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, NTB, Maluku dan Papua Barat. Adapun provinsi yang belum memiliki keterwakilan informasi kandungan biomasa/karbon dari RPI ini adalah: Aceh, Sumatera Utara, Bengkulu, Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi (kecuali Sulawesi Utara), dan NTB.
Keterangan:
: distribusi persamaan allometrik
: distribusi informasi kandungan biomasa/karbon hutan
Gambar 13. Distribusi Persamaan allometrik dan Kandungan Biomasa/Karbon Hutan dari Kontribusi RPI 17
Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) • 59
5.1 Aplikasi Perhitungan Emisi GRK untuk wilayah Sumatera
Untuk mendukung upaya penurunan emisi yang dapat dihitung (Measurable), dilaporkan (Reportable) dan dapat di verifikasi (Verifiable), diperlukan metode perhitungan emisi yang handal dan diakui internasional. Sampai saat ini metode penghitungan emisi yang dikeluarkan oleh IPCC (International Panel on Climate Change) adalah metode yang digunakan oleh seluruh negara yang meratifikasi UNFCCC.
Aplikasi IPCC Guideline 2006 untuk menghitung emisi, dengan studi kasus di Wilayah Sumatera Selatan, menginventarisasi kebutuhan data dan informasi serta berbagai kendala yang ditemui, guna memberikan masukan atau rekomendasi dalam pelaksanaan Perpres No 61 tahun 2011 tentang RAN GRK dan Perpres 71 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Inventarisasi GRK Nasional. Berdasarkan kajian tersebut diketahui aplikasi IPCC GL, termasuk kebutuhan data dan hambatan pelaksanaan, dan mengetahui besarnya emisi pada sebagian wilayah di Sumatera dengan menggunakan metode perhitungan emisi IPCC GL 2006. Beberapa catatan pentingnya menunjukkan bahwa:1. Aplikasi IPCC GL 2006 untuk menghitung emisi memerlukan dua data pokok, yaitu
data kegiatan dan data faktor emisi atau serapan. Data kegiatan yang berhubungan dengan perubahan lahan perlu disusun dalam bentuk Matriks Perubahan Lahan (Land Change Matrix atau LCM) yang yang didasarkan kepada enam kategori lahan menurut IPCC GL 2006, yaitu: Lahan hutan, lahan pertanian, padang rumput, lahan basah, pemukiman dan lahan lain.
2. Untuk matriks perubahan lahan, institusi yang paling relevan dengan sistim inventarisasi dan monitoring perubahan penutupan lahan di Indonesia adalah Kementerian Kehutanan melalui Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan.
3. Tabel-tabel perhitungan emisi menurut IPCC GL 2006 terdiri dari 39 Tabel yang memerlukan data rinci. Berbagai data pada umumnya belum tersedia, misalnya data faktor emisi pada tanah, jenis dan volume kayu bakar, data illegal logging, serangan hama penyakit, data nekromas, serasah dan data terkait lahan gambut.
4. Pada tahun 2000-2010 Provinsi Sumatera Selatan masih menjadi emiter dengan besarnya emisi dibandingkan dengan serapan. Emisi rata-rata per tahun adalah 27.377.876 ton CO2-e.
Bab 5 Aplikasi Perhitungan Emisi GRK Kehutanan
Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) • 61
5. Sumber emisi terbesar adalah emisi dari lahan gambut yaitu 26% pada tanaman Acacia crassicarpa di lahan gambut dan 27% pada tanaman karet di lahan gambut. Emisi terbesar selanjutnya adalah pemanenan biomasa hutan yang terjadi akibat konversi dan degradasi.
6. Dalam kaitannya dengan perbuahan iklim, hutan juga mempunyai fungsi serapan CO2. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sumber serapan lahan hutan adalah karena perrtumbuhan tegakan atau pertambahan karbon karena pertumbuhan biomasa.
5.2 Aplikasi Template IPCC Guideline 2006 untuk Inventarisasi Emisi Gas Rumah Kaca dari Sektor Kehutanan
Hasil review terhadap penerapan aplikasi template IPCC guideline 2006, pembelajaran dari studi untuk wilayah Kalimantan Barat dan Timur (Tim Badan Litbang Kehutanan dan Ditjen Planologi, 2009), ditemui berbagai hambatan dalam penerapan IPCC GL 2006 yang mengakibatkan tingginya tingkat uncertainty dalam estimasi GRK dari sektor LULUCF, yaitu:1. Untuk skala nasional misalnya dalam penyusunan SNC, data perubahan lahan secara
spasial sesuai dengan kriteria IPCC tidak tersedia, sehingga digunakan data statistik dengan tingkat kerincian yang rendah (Tier 1).
2. Untuk skala propinsi, perbedaan pembagian kategori lahan Kementerian Kehutanan dan IPCC masih merupakan kendala. Selain itu terjadinya penutupan awan menyulitkan identifikasi penutupan lahan.
3. Secara umum masih sulit untuk menyusun land change matrix karena keterbatasan spasial data sesuai kategori IPCC.
4. Keterbatasan data kegiatan lain seperti degradasi: kayu yang dipanen, kebakaran, pengambilan kayu bakar, dan kerusakan lainnya.
5. LULUCF melibatkan juga sektor lainnya yaitu pertanian dan perkebunan. Data kegiatan spasial atau data statistik untuk berbagai komoditi perkebunan dan pertanian masih sangat terbatas.
6. Keterbatasan data menyangkut sumber karbon lainnya misalnya nekromas, serasah, dan tanah
7. Masih terbatasnya data faktor emisi/serapan lokal karena kondisi keanekaragaman tipe hutan dan jenis vegetasi mengakibatkan masih digunakan angka default IPCC dalam perhitungan emisi.
62 • Aplikasi Perhitungan Emisi GRK Kehutanan
Beberapa catatan penting dari kajian tersebut menyatakan bahwa:1. Dalam kegiatan inventarisasi gas rumah kaca (GRK), sektor Kehutanan yang termasuk
dalam sektor LULUCF adalah salah satu sektor penting dengan kontribusi di tingkat nasional mencapai 48%.
2. Metode IPCC Guideline 2006 adalah metode inventarisasi gas rumah kaca yang dikembangkan oleh IPCC (International Panel on Climate Change) dan telah diaplikasikan secara luas oleh negara-negara yang meratifikasi UNFCCC.
3. Metode IPCC GL 2006 membagi kelas lahan kedalam enam kategori yaitu forest land, cropland, grassland, wetland, settlement dan other land. Aplikasi metode IPCC GL memerlukan data dan informasi yang lebih komprehensif mencakup tidak hanya sektor kehutanan tapi juga sektor pertanian. Selain itu diperlukan informasi spesifik mencakup faktor emisi yang tidak hanya menggunakan angka default yang ada dalam IPCC GL guna mendapatkan ketelitian yang lebih tinggi (Tier 2 atau 3).
4. Indonesia penting untuk menerapkan metode IPCC Guideline dalam inventarisasi gas rumah kaca agar hasil inventarisasi lebih akurat dan terpercaya sehingga diakui oleh internasional.
5. Aplikasi IPCC GL juga digunakan untuk penghitungan dalam kegiatan karbon seperti REDD dan proyek karbon lainnya.
Untuk kepentingan inventarisasi gas rumah kaca dari sektor kehutanan dengan menggunakan metode internasional yang disepakati yaitu IPCC Guideline 2006, beberapa hal perlu dilakukan oleh Indonesia, yaitu:1. Menjaga dan menambah permanen plot untuk mendapatkan estimasi pengukuran
karbon pada berbagai kondisi hutan di Indonesia.2. Kerjasama dengan organisasi penelitian (nasional dan internasional) untuk melakukan
penelitian terkait country specific (misal data pertumbuhan untuk masing-masing jenis/hutan dan jenis hutan tanaman, potensi karbon, berat jenis dsb)
3. Membentuk atau menugaskan unit organisasi yang khusus bertanggung jawab terhadap monitoring karbon stok di sektor kehutanan yang juga terintegrasi dengan sektor pertanian.
5.3 Penentuan Reference Emission Level (REL)
Reference Emission Level (REL) dalam mekanisme REDD+ sangat penting untuk menunjukkan besar emisi yang akan terjadi apabila kegiatan REDD+ tidak dilakukan dan besarnya emisi yang akan diturunkan apabila REDD+ dilaksanakan. Penentuan REL berguna untuk mendukung upaya penuruan emisi yang dapat diukur, dilaporkan dan diverifikasi (MRV).
Dalam proses penghitungan besarnya REL tingkat nasional, data perubahan penutupan lahan pada Tabel 43 digunakan untuk menyusun matriks perubahan lahan
Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) • 63
(LCM, Land Change Matrix) berdasarkan kategori IPCC 2006. Dalam IPCC Guidline 2006 kelas penutupan lahan dibedakan menjadi 6, yaitu: (1) Forestland; (2) Cropland; (3) Grassland; (4) Wetland; (5) Settlement; dan (6) Otherland. Sedangkan kelas penutupan lahan dari data landsat & ETM+ berdasarkan kategori penutupan lahan Direktorat Jenderal Planalogi Kementerian Kehutanan sebanyak 23 kelas. Sehingga diperlukan penyesuaian dari 23 kelas menjadi 6 kelas penutupan lahan IPCC 2006.
5.3.1 Perubahan Lahan di Indonesia
Penggunaan lahan di Indonesia sejak tahun 2000 sampai dengan 2011 mengalami perubahan. Dalam rentang waktu 11 tahun telah terjadi penurunan tutupan hutan seluas 6,46 juta ha, atau laju penurunan sebesar 587,7 ribu ha per tahun. Seiring dengan penurunan luas hutan, terjadi peningkatan luas areal non hutan sebesar 6,59 juta ha, dengan laju peningkatan sebesar 598,7 ribu ha per tahun.
Tutupan hutan yang paling banyak berkurang adalah hutan lahan kering primer dan hutan rawa sekunder, yaitu masing-masing 5,54 juta ha dan 1,89 juta ha. Di sisi lain ditemukan peningkatan hutan lahan kering sekunder seluas 1,65 juta ha dan hutan gambut sekunder seluas 6,2 ribu ha, sehingga terindikasi banyak terjadi degradasi hutan (Tabel 43).
Perubahan areal non hutan yang secara keseluruhan mengalami peningkatan, ditemukan penambahan luas paling besar terjadi pada perkebunan, pertanian lahan kering dan hutan gambut terdegradasi. Hal ini mengindikasikan bahwa perubahan hutan (deforestasi) sebagian besar mengarah kepada perkebunan, lahan pertanian, dan beberapa diantaranya dibiarkan terlantar menjadi belukar di hutan rawa gambut (terdegradasi berat) (Tabel 43).
Analisis lebih lanjut menemukan bahwa hutan berubah menjadi kebun (tanaman perkebunan), lahan pertanian, sawah, belukar, lahan basah dan pemukiman. Luasnya bervariasi antar periode, namun terlihat dominan menjadi padang rumput/belukar. Hal ini mengindikasikan bahwa telah terjadi degradasi hebat dimana hutan ditebang kemudian terlantar menjadi semak belukar. Perubahan hutan yang besar lainnya ditemukan menjadi lahan pertanian dan perkebunan (Tabel 44).
Tabel 43. Perubahan Penutupan Lahan Indonesia tahun 2000-2011
No. Jenis Penutupan Lahan Perubahan (ha) Keterangan
A. Hutan
1 Hutan lahan kering primer (5.536.760,08) Berkurang
2 Hutan lahan kering sekunder 1.645.670,50 Bertambah
3 Hutan lahan gambut primer (57.787,66) Berkurang
4 Hutan lahan gambut sekunder 6.203,44 Bertambah
5 Hutan rawa primer (554.102,68) Berkurang
6 Hutan rawa sekunder (1.893.650,19) Berkurang
7 Hutan mangrove primer (101.642,19) Berkurang
8 Hutan mangrove sekunder (116.104,93) Berkurang
9 Hutan tanaman * 143.223,26 Bertambah
Jumlah Hutan (6.464.950,53)
Laju penurunan luas hutan per tahun (587.722,78)
B. Non Hutan
10 Hutan lahan gambut terdegradasi 1.095.883,25 Bertambah
11 Semak/Belukar 150.954,07 Bertambah
12 Belukar rawa 627.378,62 Bertambah
13 Savana 149.798,00 Bertambah
14 Perkebunan 1.853.021,90 Bertambah
15 Pertanian lahan kering 1.409.639,71 Bertambah
16 Pertanian lahan kering dan Semak 361.373,49 Bertambah
17 Transmigrasi 1.917,72 Bertambah
18 Sawah 93.412,64 Bertambah
19 Tambak 141.539,66 Bertambah
20 Tanah terbuka 570.363,30 Bertambah
21 Pertambangan 190.008,44 Bertambah
22 Permukiman 187.233,99 Bertambah
23 Rawa (248.666,13) Berkurang
24 Pelabuhan Udara/Laut 1.702,99 Bertambah
25 Badan air (17,83)
Jumlah Non Hutan 6.585.543,80
Laju peingkatan areal non hutan per tahun 598.685,80
64 • Aplikasi Perhitungan Emisi GRK Kehutanan
(LCM, Land Change Matrix) berdasarkan kategori IPCC 2006. Dalam IPCC Guidline 2006 kelas penutupan lahan dibedakan menjadi 6, yaitu: (1) Forestland; (2) Cropland; (3) Grassland; (4) Wetland; (5) Settlement; dan (6) Otherland. Sedangkan kelas penutupan lahan dari data landsat & ETM+ berdasarkan kategori penutupan lahan Direktorat Jenderal Planalogi Kementerian Kehutanan sebanyak 23 kelas. Sehingga diperlukan penyesuaian dari 23 kelas menjadi 6 kelas penutupan lahan IPCC 2006.
5.3.1 Perubahan Lahan di Indonesia
Penggunaan lahan di Indonesia sejak tahun 2000 sampai dengan 2011 mengalami perubahan. Dalam rentang waktu 11 tahun telah terjadi penurunan tutupan hutan seluas 6,46 juta ha, atau laju penurunan sebesar 587,7 ribu ha per tahun. Seiring dengan penurunan luas hutan, terjadi peningkatan luas areal non hutan sebesar 6,59 juta ha, dengan laju peningkatan sebesar 598,7 ribu ha per tahun.
Tutupan hutan yang paling banyak berkurang adalah hutan lahan kering primer dan hutan rawa sekunder, yaitu masing-masing 5,54 juta ha dan 1,89 juta ha. Di sisi lain ditemukan peningkatan hutan lahan kering sekunder seluas 1,65 juta ha dan hutan gambut sekunder seluas 6,2 ribu ha, sehingga terindikasi banyak terjadi degradasi hutan (Tabel 43).
Perubahan areal non hutan yang secara keseluruhan mengalami peningkatan, ditemukan penambahan luas paling besar terjadi pada perkebunan, pertanian lahan kering dan hutan gambut terdegradasi. Hal ini mengindikasikan bahwa perubahan hutan (deforestasi) sebagian besar mengarah kepada perkebunan, lahan pertanian, dan beberapa diantaranya dibiarkan terlantar menjadi belukar di hutan rawa gambut (terdegradasi berat) (Tabel 43).
Analisis lebih lanjut menemukan bahwa hutan berubah menjadi kebun (tanaman perkebunan), lahan pertanian, sawah, belukar, lahan basah dan pemukiman. Luasnya bervariasi antar periode, namun terlihat dominan menjadi padang rumput/belukar. Hal ini mengindikasikan bahwa telah terjadi degradasi hebat dimana hutan ditebang kemudian terlantar menjadi semak belukar. Perubahan hutan yang besar lainnya ditemukan menjadi lahan pertanian dan perkebunan (Tabel 44).
Tabel 43. Perubahan Penutupan Lahan Indonesia tahun 2000-2011
No. Jenis Penutupan Lahan Perubahan (ha) Keterangan
A. Hutan
1 Hutan lahan kering primer (5.536.760,08) Berkurang
2 Hutan lahan kering sekunder 1.645.670,50 Bertambah
3 Hutan lahan gambut primer (57.787,66) Berkurang
4 Hutan lahan gambut sekunder 6.203,44 Bertambah
5 Hutan rawa primer (554.102,68) Berkurang
6 Hutan rawa sekunder (1.893.650,19) Berkurang
7 Hutan mangrove primer (101.642,19) Berkurang
8 Hutan mangrove sekunder (116.104,93) Berkurang
9 Hutan tanaman * 143.223,26 Bertambah
Jumlah Hutan (6.464.950,53)
Laju penurunan luas hutan per tahun (587.722,78)
B. Non Hutan
10 Hutan lahan gambut terdegradasi 1.095.883,25 Bertambah
11 Semak/Belukar 150.954,07 Bertambah
12 Belukar rawa 627.378,62 Bertambah
13 Savana 149.798,00 Bertambah
14 Perkebunan 1.853.021,90 Bertambah
15 Pertanian lahan kering 1.409.639,71 Bertambah
16 Pertanian lahan kering dan Semak 361.373,49 Bertambah
17 Transmigrasi 1.917,72 Bertambah
18 Sawah 93.412,64 Bertambah
19 Tambak 141.539,66 Bertambah
20 Tanah terbuka 570.363,30 Bertambah
21 Pertambangan 190.008,44 Bertambah
22 Permukiman 187.233,99 Bertambah
23 Rawa (248.666,13) Berkurang
24 Pelabuhan Udara/Laut 1.702,99 Bertambah
25 Badan air (17,83)
Jumlah Non Hutan 6.585.543,80
Laju peingkatan areal non hutan per tahun 598.685,80
Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) • 65
Tabel 44. Perubahan Tutupan Hutan menjadi Penutupan Lahan Lain di Indonesia
Perubahan hutan menjadi areal lain
Periode tahun
2000-2003 2003-2006 2006-2009 2009-2011
Kebun 30.793,28 135.030,81 154.304,89 18.669,31
Pertanian 108.401,05 347.350,91 321.788,25 111.037,15
Sawah 278,21 2.280,53 15.920,32 602,53
Pd rumput/belukar 504.477,93 747.468,44 778.200,46 225.344,00
Lahan basah 661,88 10.889,16 6.719,61 15.012,73
Pemukiman 532,21 4.761,10 5.622,95 499,05
Lainnya 89.421,47 229.947,99 302.861,71 207.090,36
ND 839,98 5.038,44 0,00 2.128,87
Dengan mencermati pola perubahan antar waktu, sebagian puncak perubahan terjadi pada periode tahun 2006-2009 untuk belukar dan kebun, sedangkan puncak perubahan lahan pertanian terjadi pada periode tahun 2003-2006. Secara kumulatif, perubahan hutan paling progresif selama 11 tahun sejak tahun 2000 sampai tahun 2011 adalah perubahan menjadi belukar, lahan pertanian dan lahan kebun/perkebunan. Semua konversi/perubahan menurun pada periode 2009-2011 (Gambar 14).
Gambar 14. Pola Perubahan Tutupan Hutan menjadi Tutupan Lain antar Periode (Kiri) dan Kumulatif
Perubahan Luas Selama Periode Analisis (Kanan)
Hal ini diperkuat dengan data perkembangan komoditas perkebunan besar di Indonesia. Dari beberapa komoditas perkebunan besar, perkebunan kelapa sawit merupakan komoditas dengan perkembangan paling pesat sejak tahun 1995. Peningkatan tajam luas perkebunan kelapa sawit terjadi pada periode 1995-1998 dan periode 2007-2010 (Gambar 15).
66 • Aplikasi Perhitungan Emisi GRK Kehutanan
Gambar 15. Kecenderungan Luas Perkebunan Utama di Indonesia
Sebaliknya, selama periode 2000-2011 teridentifikasi telah terjadi perubahan tutupan lahan lain menjadi hutan. Tutupan lahan lain yang dimaksud meliputi lahan pertanian, padang rumput/belukar, lahan basah, pemukiman dan tipe lahan lainnya. Adapun hutan dibedakan menjadi hutan primer, hutan sekunder dan hutan tanaman (Tabel 45).
Tabel 45. Perubahan Tutupan Lahan Lain Menjadi Hutan di Indonesia
No. Perubahan Sub kategoriPeriode Tahun
2000-2003 2003-2006 2006-2009 2009-2011
1. CL dikonversi ke FL HKP 582,06 13,37 0,00 0,00
HKS 6.677,77 1.682,48 29,65 3.944,85
HT 626,40 7.079,17 47.455,40 3.293,08
Jumlah (1) 7.886,23 8.775,02 47.485,05 7.237,93
2. GL dikonversi ke FL HKP 14.168,97 32,85 0,00 0,00
HKS 2.695,05 1.950,70 12.264,19 8.962,04
HT 32.847,70 101.492,87 76.011,48 11.579,31
Jumlah (2) 49.711,72 103.476,42 88.275,67 20.541,35
3. WL dikonversi ke FL HKP 15,01 0,00 68,97 0,00
HKS 980,59 0,00 5.349,40 74,03
HT 3.959,61 39.340,68 48.004,76 79.802,03
Jumlah (3) 4.955,21 39.340,68 53.423,13 79.876,06
Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) • 67
No. Perubahan Sub kategoriPeriode Tahun
2000-2003 2003-2006 2006-2009 2009-2011
4. S dikonversi ke FL HKP 0,00 0,00 0,00 0,00
HKS 0,00 1,10 0,00 0,00
HT 0,00 204,29 37,87 48,07
Jumlah (4) 0,00 205,39 37,87 48,07
5. OL dikonversi ke FL HKP 89,97 27,79 0,00 0,00
HKS 176,96 40,32 26,83 310,63
HT 43.766,05 51.560,92 102.799,19 45.027,70
Jumlah (5) 44.032,98 51.629,03 102.826,02 45.338,33
Perubahan lahan menjadi hutan tertinggi berasal dari padang rumput/belukar seluas
262.005,16 ha, disusul oleh lahan lain (tanah kosong/penggunaan lain) dan lahan basah
masing-masing seluas 243.826,36 ha dan 177.595,08 ha. Pola perubahannya terlihat ada
2 macam, yaitu dengan puncak dan tanpa puncak perubahan. Asal hutan yang memiliki
puncak perubahan adalah padang rumput/belukar (dengan pucak perubahan tertinggi
terjadi pada periode tahun 2003-2006) dan pertanian serta tipe tutupan lain (dengan
puncak perubahan tertinggi pada periode tahun 2006-2009). Adapun lahan basah menjadi
hutan terlihat polanya tanpa puncak selama periode, dimana cenderung meningkat terus
dari periode ke periode. (Gambar 16).
Gambar 16. Pola Perubahan Lahan menjadi Hutan antar Periode (Kiri) dan Kumulatif Perubahan selama
Periode Analisis (Kanan)
68 • Aplikasi Perhitungan Emisi GRK Kehutanan
Gambaran tersebut menunjukkan bahwa selama periode 2000-2011 telah terjadi reforestasi yang dapat berasal dari berbagai program. Program dimaksud dapat berupa rehabilitasi, hutan rakyat atau reforestasi secara alami akibat suksesi alam. Namun demikian, jika dibandingkan dengan perubahan hutan menjadi non hutan di Indonesia, reforestasi jauh lebih kecil jumlahnya dibanding deforestasi.
5.3.2 Tingkat Emisi Rujukan Nasional
Berdasarkan perubahan tutupan lahan sebagaimana pada pembahasan sebelumnya, maka prediksi emisi dan serapan dapat dilakukan. Selama periode tahun 2000-2011 pada sektor kehutanan dan lahan gambut berhasil melakukan serapan C sebesar 443,18 Mt, namun memiliki emisi sebesar 2.379,60 Mt. Dengan demikian pada periode tersebut terdapat net emisi sebesar 1.936,42 Mt. Perilaku serapan antar periode bersifat fluktuatif, dengan serapan tertinggi terjadi pada periode tahun 2003-2006. Berbeda dengan serapan, perilaku emisi terlihat cenderung terus meningkat baik emisi antar periode maupun rata-rata emisi tahunannya (Tabel 46).
Tabel 46. Pendugaan Tingkat Serapan dan Emisi Sektor Kehutanan dan Lahan Gambut
Uraian UnitPeriode tahun
2000-2003 2003-2006 2006-2009 2009-2011
Tingkat Serapan Ton C 115.600.916,72 110.702.692,81 109.234.790,50 107.639.153,38
Tingkat Emisi Ton C (557.798.135,43) (599.317.247,88) (615.678.398,38) (606.806.624,52)
Net Emisi Ton C (442.197.218,72) (488.614.555,07) (506.443.607,88) (499.167.471,14)
Net Sequestrasi Ton C 0,00 0,00 0,00 0,00
Rata-rata Emisi C Ton C/th (147.399.072,91) (162.871.518,36) (168.814.535,96) (249.583.735,57)
Mt C/th (147,40) (162,87) (168,81) (249,58)
Rata-rata Emisi CO2 Ton CO2/th (540.463.267,32) (597.195.567,31) (618.986.631,86) (915.140.363,76)
Mt CO2/th (540,46) (597,20) (618,99) (915,14)
Data historis dapat menghasilkan alat bantu persamaan regresi yang dapat digunakan untuk memproyeksikan emisi pada tahun-tahun berikutnya. Persamaan yang dihasilkan adalah:
Y = 348.386,8038 + 174,1535X
Dimana Y = Emisi (Mega ton C) X = Tahun[R2: 99,34%; SE: 49,68]
Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) • 69
Menurut pendekatan historis, proyeksi emisi dari sektor kehutanan dan lahan gambut
pada tahun 2020 diketahui sebesar 3.403,27 Mega ton C atau setara dengan 12.478,64
Mega ton CO2-e. Proyeksi emisi tersebut terlihat bersifat linier karena secara historis
kenaikan emisi juga mendekati bentuk linier (Gambar 17).
Gambar 17. Tingkat Emisi Rujukan Sektor Kehutanan dan Lahan Gambut Indonesia
Selain pendekatan historis, pendekatan lain yang dapat digunakan adalah historical adjusted yang menggunakan faktor lain untuk menduga emisi. Faktor tersebut dipilih
karena kaitannya secara kausal berkorelasi kuat dengan perubahan tutupan lahan.
Dalam kajian ini adjustment factor yang digunakan adalah jumlah penduduk dan
PDB perkapita. Kedua faktor tersebut memiliki hubungan kausal yang sangat kuat, dimana
pertumbuhan penduduk akan menyebabkan tekanan terhadap lahan semakin tinggi.
Kebutuhan lahan dapat terbagi ke dalam beberapa kebutuhan, antara lain pemukiman serta
sumber ekonomi (pertanian dan perkebunan). Adapun PDB per kapita memiliki hubungan
kausal dimana sumberdaya hutan merupakan asset ekonomi yang dapat berkontribusi
terhadap PDB secara makro maupun sumber ekonomi masyarakat secara mikro. Dengan
demikian semakin tinggi penggunaan sumberdaya hutan untuk aktivitas ekonomi dapat
berkontribusi terhadap peningkatan PDB dan PDB per kapita.
Jumlah penduduk Indonesia dan PDB per kapita yang memiliki korelasi kuat dapat
digunakan dalam melakukan proyeksi emisi pada masa yang akan datang. Persamaan
regresi yang diperoleh adalah sebagai berikut.
70 • Aplikasi Perhitungan Emisi GRK Kehutanan
1. Persamaan penduga emisi dari jumlah penduduk Indonesia
Y = -12846.017 + 0.06197*P
Dimana Y = emisi (Mega ton C) P = jumlah penduduk Indonesia (jiwa)[R2: 99,41%; SE: 46,99]
2. Persamaan penduga emisi dari PDB per kapita
Y = -242.387+(7.283658*10-5)*PKDimana
Y = emisi (Mega ton C) PK = PDB per kapita (Rp.)[R2: 97,59%; SE: 94,77]
Menurut pendekatan historical adjusted ini diperoleh proyeksi emisi pada tahun 2020 adalah 3.248,94 Mega ton C (atau setara dengan 11.912,79 Mega ton CO2-e) dari faktor populasi penduduk Indonesa. Adapun pendekatan historical adjusted dari faktor PDB per kapita menghasilkan proyeksi emisi tahun 2020 sebesa 3.335,28 Mega ton C (setara dengan 12.229,38 Mega ton CO2-e) (Gambar 18).
Gambar 18. REL Menurut Pendekatan Historical Adjusted
Dengan membandingkan dua pendekatan penentuan REL terlihat pada Gambar 19 ternyata tidak berbeda jauh (dilihat dalam satuan Mt C maupun CO2). Namun demikian, tidak berbarti berbeda nyata diantara keduanya. Dari gambar tersebut dapat dicatat bahwa pendekatan REL dengan metode historis menghasilkan proyeksi emisi lebih tinggi dibanding metode adjusted. Pada metode adjusted sendiri yang menggunakan 2 parameter, diketahui bahwa parameter PDRB per kapita menghasilkan proyeksi emisi lebih tinggi daripada parameter populasi penduduk.
Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) • 71
Gambar 19. Komparasi REL menurut pendekatan historis dengan historical adjusted
Gambar 19 juga mengindikasikan bahwa pengaruh jumlah penduduk dan PDB per kapita bersifat linier. Berbeda dengan dugaan sebelumnya bahwa pertumbuhan penduduk umumnya bersifat eksponensial, namun dalam kasus ini tidak berlaku. Perilaku eksponensial bisa jadi dapat ditemukan pada pertambahan penduduk dalam rentang waktu yang panjang, sementara pada periode 2000-2020 tergolong rentang waktu pendek sehingga menunjukkan perilaku linier.
5.4 Identifikasi Kegiatan-Kegiatan yang Mengurangi Emisi Karbon Melalui Peningkatan Serapan Karbon dan Stabilisasi Simpanan Karbon Hutan
Berdasarkan hasil analisis terhadap kegiatan-kegiatan sektor kehutanan, diketahui potensi penurunan emisi yang besar (diperbandingkan dari nilai tengah potensi penurunan emisi masing-masing kegiatan) menurut laporan Ekawati, et al. (2012). Lima kegiatan paling tinggi potensinya adalah: rehabilitasi hutan dan lahan, pengendalian perambahan, pembangunan HKm, dan pengendalian konversi hutan. Adapun kegiatan HTR, pengendalian kebakaran, pengendalian illegal logging dan SFM berperan relatif kecil dalam penurunan emisi, di bawah 100 juta ton C (Gambar 20). Namun perlu disadari bahwa potensi ini sangat dipengaruhi oleh target mitigasi yang sering sangat ambisius jika dibandingkan dengan rata-rata realisasi dalam lima tahun terakhir.
72 • Aplikasi Perhitungan Emisi GRK Kehutanan
Sumber: Sumber: Ekawati, et al., 2012
Gambar 20. Nilai Tengah Estimasi Penurunan Emisi Sektor Kehutanan tahun 2020
Jika dibandingkan dengan target penurunan emisi menurut RAN GRK pada sektor kehutanan dan lahan gambut, ternyata potensi penurunan emisi dari Restorasi Ekosistem, RHL, dan pengendalian perambahan masing-masing sudah memenuhi target penurunan emisi 26% (0,672 Gton CO2e) maupun 41% (1,039 Gton CO2e). Namun demikian, potensi penurunan emisi tersebut berasal dari kegiatan sektor kehutanan dengan tingkat ketidakpastian dan resiko tinggi. Pencapaian target dari ketiga kegiatan tersebut sangat membutuhkan kondisi pemungkin yang benar-benar kuat dan melibatkan berbagai sektor, tidak hanya sektor kehutanan. Pada tabel 47 dapat dilihat secara detail potensi penurunan emisi dari masing-masing kegiatan sektor kehutanan yang dapat diperbandingkan satu sama lain.
Tabel 47. Ringkasan Potensi Pengurangan Emisi dari Berbagai Kegiatan di Tingkat Nasional
No Kegiatan
Target Pembangunan 2020 (ha) EF Potensi Penurunan Emisi (tC) Biaya
Kegiatan (Rp/ha)BAU Mitigasi Rendah
(tC/ha)Tinggi
(tC/ha/) Rendah Tinggi
A. Peningkatan Serapan Karbon
1. HTI 2.052.047 4.500.000 40 177 96.694.144 433.777.272 12.111.875 - 16.662.034
2. HKm 178.936 4.800.000 43,88 266,64 202,772,288.32 1,232,160,504.96 10.483.588
Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) • 73
No Kegiatan
Target Pembangunan 2020 (ha) EF Potensi Penurunan Emisi (tC) Biaya
Kegiatan (Rp/ha)BAU Mitigasi Rendah
(tC/ha)Tinggi
(tC/ha/) Rendah Tinggi
3. HTR 17.105,20 463.149,6 39,51 264,67 17.623.221 118.054.616 9.000.000 – 12.000.000
4. RHL 2.907.528 9.090.000 13,25 344,73 81.917.754 2.131.283.573 13.599.000- 17.958.000
5. RE 557.438 5.500.000 55,65 193,1 565,798,351.47 736,774,567.26 4.500.000 – 6.000.000
B. Stabilisasi Simpanan Karbon
1. Hutan Desa 62.400 900.000 103,16 358,87 86.406.816 300.589.512 500.000 -600.000
2. Pengendalian kebakaran
902.672,2 677.004,2 81,0 225,0 18.279.108 50.775.300 8.150.477
3. Penanganan illegal logging
350.000.000 262.500.000 0,4 0,8 17.500.000 35.000.000 103.000 – 141.625
4. Pengendalian perambahan
• Kebun sawit 16.171.913 4.204.697 70 90 837.705.073 1.077.049.379 103.000 – 141.625
• Tambang 16.824.713 4.374.425 31.5 49.8 78.516.493 124.054.664 103.000 – 141.625
5. Pencegahan konversi
4.480.974,72 3.315.921,29 103,16 358,87 120.186.911,55 418.102.723,42
6. SFM
1. TPTI 61,70 juta 9,59 juta 127 223,45 -9.599.097.450 -10.199.174.250
2. RIL - 9,59 juta - - 41.583.756 73.162.277,14
3. Silin 232.750 232.750 12,86 - 10.150.030,68 -
Sumber: Ekawati, et al., 2012
Biaya pelaksanaan masing-masing kegiatan dapat juga dijadikan sebagai indikator penilaian. Kegiatan berikut terurut dari yang membutuhkan biaya paling murah sampai paling mahal, yaitu: (1) Penanganan illegal logging; (2) Penanganan perambahan; (3) Pembangunan hutan desa; (4) Restorasi ekosistem hutan; (5) Pembangunan HKm; (6) Pengendalian kebakaran; (7) Pembangunan HTR; dan (8) Pembangunan HTI. Dalam konteks biaya ini, biaya pencegahan konversi belum tersedia datanya karena memang secara prinsip tidak terdapat alokasi biaya untuk melakukan pencegahan konversi. Pendakatan biaya pencegahan konversi dapat dilakukan melalui biaya oportunitas kebun sawit dan pertambangan.
74 • Aplikasi Perhitungan Emisi GRK Kehutanan
Pada tingkat provinsi urutan potensi penurunan emisi berbeda dengan tingkat nasional dan juga berbeda untuk masing-masing provinsi. Berdasarkan nilai tengah estimasi potensi penurunan emisi, urutan potensi penurunan emisi tinggi ke rendah di Provinsi Sumatera Selatan adalah: Restorasi ekosistem hutan, pencegahan konversi hutan dan pembangunan HTI (Gambar 21 dan Tabel 47).
Sumber: Ekawati, et al., 2012
Gambar 21. Nilai Tengah Estimasi Penurunan Emisi Provinsi Sumatera Selatan tahun 2020
Adapun untuk Provinsi Jawa Timur urutan potensi penurunan emisi yang terbesar adalah hutan tanaman (kelas perusahaan jati dan lain-lain pada Perum Perhutani), pencegahan konversi hutan, pencegahan perambahan dan pengendalian kebakaran hutan. Pembangunan hutan tanaman merupakan kegiatan penurunan emisi terbesar menunjukkan bahwa kontribusi hutan yang dikelola Perum Perhutani dapat diandalkan dalam kegiatan mitigasi di Jawa khususnya di Jawa Timur. Kegiatan lain tidak terlihat signifikan kontribusinya terhadap penurunan emisi karena berkaitan dengan karakteristik hutan dan sosial ekonomi di Jawa yang berbeda (Tabel 49).
Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) • 75
Tabel 48. Ringkasan Potensi Pengurangan Emisi dari Berbagai Kegiatan di Sumatra Selatan
No Kegiatan
Target Pembangunan 2020 (ha) EF Potensi Penurunan Emisi (tC)
BAU Mitigasi Rendah (tC/ha)
Tinggi (tC/ha/) Rendah Tinggi
A. Peningkatan Serapan Karbon
1. HTI 589.429 723.450 48 100 6.486.603 13.402.072
2. HKm - - - - - -
3. HTR 844,2 31,18 48,4 100,0 39.350 81.302
4. RHL 16.264 38,141 27,92 63,69 610.802 1.393.338
5. REKI 182.595 1.441.269 55,65 63,0 70,045,197.24 79,296,449.70
B. Stabilisasi Simpanan Karbon
1. Hutan Desa - - - - - -
2. Pengendalian kebakaran
90.351,5 67.763,6 81,7 119,0 1.845.431 2.687.960
3. Penanganan illegal logging
12.286.070 9.214.553 0,3 0,8 460.728 1.228.607
4. Pengendalian perambahan
- - - - - -
5. Pencegahan konversi hutan
395.640,99 292.774,33 138 178,44 14.195.598,72 18.355.526,35
6. SFM
4. TPTI 56.000 56.000 81,65 119 -3.155.600 -3.328.640
5. RIL 56.000 56.000 - - 156.768 228.480
6. Silin 3.920 3.920 12,86 - 21.392,20 -Sumber: Ekawati, et al., 2012
Tabel 49. Potensi Pengurangan Emisi dari Berbagai Kegiatan di Jawa Timur
No Kegiatan
Target Pembangunan 2020 (ha) EF Potensi Penurunan Emisi (tC)
BAU Mitigasi Rendah (tC/ha)
Tinggi (tC/ha/) Rendah Tinggi
A. Peningkatan Serapan Karbon1. HT (Perhutani) 678.304 900.000 113 198 25.007.331 43.895.848
2. HKm - - - - - -3. HTR - - - - - -4. RHL 3.483 N/A 99 123 N/A N/A5. RE
76 • Aplikasi Perhitungan Emisi GRK Kehutanan
No Kegiatan
Target Pembangunan 2020 (ha) EF Potensi Penurunan Emisi (tC)
BAU Mitigasi Rendah (tC/ha)
Tinggi (tC/ha/) Rendah Tinggi
B. Stabilisasi Simpanan Karbon
1. Hutan Desa - - - - - -
2. Pengendalian kebakaran
11.242,1 8.431,6 99,0 161,0 278.240 452.491
3. Penanganan illegal logging
370.000 277.500 0,4 0,8 18.500 37.000
4. Pengendalian perambahan
3.725 968 43.8 266.6 120.722 734.804
5. Pencegahan konversi hutan
72.171,45 53.406,87 216 297 4.053.148,63 5.573.079,37
6. SFM
7. TPTI - - - - - -
8. RIL - - - - - -
9. Silin - - - - - -
Sumber: Ekawati, et al., 2012
Sementara di Provinsi Provinsi Papua, potensi penurunan emisi yang terbesar adalah pembangunan HTI, pencegahan konversi hutan dan pelaksanaan Reduced Impact Logging (RIL). Ketiga kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang berbasis pada pemanfaatan maksimal kawasan hutan Papua yang saat ini terancam konversi untuk pembangunan daerah.
Analisis kegiatan yang berpotensi menurunkan emisi memperlihatkan bahwa di tingkat nasional kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan, pengendalian perambahan, pembangunan Hkm, Restorasi Ekosistem Hutan dan pencegahan konversi memiliki potensi penurunan emisi yang tinggi. Dengan demikian, konsentrasi pemerintah (sektor kehutanan) dapat difokuskan kepada implementasi 5 (lima) kegiatan ini tanpa mengesampingkan peran kegiatan lain dalam penurunan emisi. Pengesampingan kegiatan lain dapat berimplikasi kepada hilangnya fungsi dan manfaat lain selain penurunan emisi. Kegiatan lain seperti pembangunan HTR, pembangunan hutan desa dan SFM memberi kontrisbusi yang relatif rendah. Upaya peningkatan serapan karbon dan peningkatan simpanan karbon hutan dapat dialokasikan sebagai upaya reabilitasi lahan dan pemberdayaan masyarakat namun tidak menjadi prioritas dalam penurunan emisi (Tabel 50).
Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) • 77
Pembangunan HTI memiliki kontribusi tinggi juga dalam penurunan emisi, karena HTI berperan sebagai serapan karbon. Fungsi ini hanya dapat dicapai ketika pembangunan HTI dilakukan di areal terdegradasi seperti padang alang-alang atau LOA dengan potensi sangat rendah. Sebaliknya kegiatan HTI dapat berperan sebagai sumber emisi jika dilakukan di areal hutan sekunder atau primer. Dengan demikian, lebih lanjut harus dipastikan bahwa pembangunan dan pemberian izin HTI ke depan berada pada areal hutan yang terdegradasi. Konsentrasi kegiatan-kegiatan sektor kehutanan yang berpotensi besar menurunkan emisi tidak berlaku umum di semua provinsi. Setiap daerah memiliki
Tabel 50. Ringkasan Potensi Pengurangan Emisi dari Berbagai Kegiatan di Papua
No Kegiatan
Target Pembangunan 2020 (ha) EF Potensi Penurunan Emisi (tC)
BAU Mitigasi Rendah (tC/ha)
Tinggi (tC/ha/) Rendah Tinggi
A. Peningkatan Serapan Karbon
1. HTI 630 425.000 96 165 40.527.335 69.893.739
2. HKm - - - - - -
3. HTR 55.158,2 2.037,12 95,5 164,7 5.073.073 8.749.058
4. RHL 23.128 N/A 13,25** 344,73** N/A N/A
5. RE
B. Stabilisasi Simpanan Karbon
1. Hutan Desa - - - - - -
2. Pengendalian kebakaran
30.140,0 22.605,0 88,4 213,7 666.094 1.610.230
3. Penanganan illegal logging
- - - - - -
4. Pengendalian perambahan
- - - - - -
5. Pencegahan konversi hutan
480.616,92 355.656,52 225,62 358,87 28.193.565,27 44.844.538,46
6. SFM
TPTI 6.874.228 3.588.466 88,35 213,72 -930.367.764,26 -1.185.078.527,84
RIL 3.670.802 3.670.802 - - 10.869.976,15 26.294.638,41
Silin 259.117 259.117 12,86 - 1.414.054,19 -Sumber: Ekawati, et al., 2012
78 • Aplikasi Perhitungan Emisi GRK Kehutanan
karakteristik wilayah dan karakteristik transisi hutan yang berbeda-beda, sehingga prioritas pemerintah dalam penurunan emisi harus diperlakukan berbeda.
Di Sumatera (khususnya Sumatera Selatan) prioritas penurunan emisi dapat dikonsentrasikan dari Restorasi Ekosistem Hutan, pencegahan konversi hutan dan pembangunan HTI. Hal tersebut berkenaan dengan sudah mulai banyaknya areal hutan produksi yang potensinya menurun akibat dari kegiatan pengelolaan hutan yang tidak lestari sebelumnya. Di Jawa (khususnya Jawa Timur) prioritas penurunan emisi dapat dikonsentrasikan dari kegiatan pengelolaan hutan tanaman dan pencegahan konversi hutan. Keberhasilan pengelolaan hutan tanaman oleh Perum Perhutani yang mempertimbangkan peran serta masyarakat selain mampu menjadi sumber penurunan emisi, namun berimplikasi juga terhadap penurunan kehilangan hutan karena penyerobotan maupun kebakaran. Di Papua (khususnya Provinsi Papua) prioritas penurunan emisi dapat dikonsentrasikan dari kegiatan pembangunan HTI, pencegahan konversi hutan dan pelaksanaan Reduced Impact Logging (RIL). Jumlah hutan yang masih banyak perlu dipertahankan sedemikian rupa dengan memberi kompensasi bagi pemerintah daerah dan masyarakatnya dalam bentuk lain, karena sumberdaya hutan merupakan aset pembangunan daerah. Jika kompensasi tidak berhasil diberikan, maka penurunan emisi akan sulit dicapai dari kegiatan ini, karena Papua merupakan provinsi yang sedang berkembang sehingga membutuhkan lahan dan dana besar untuk membangun daerahnya.
Beberapa kegiatan memliliki target mitigasi yang sangat tinggi (seperti HKm dan Hutan Desa, RHL, Restorasi Ekosistem Hutan), dan jika dikomparasikan dengan capaian per tahun, kendala operasional, masalah sosial ekonomi dan kondisi pemungkin yang masih minimal. Oleh karena itu diperlukan rasionalisasi target mitigasi oleh pemerintah dengan cara menurunkan rencana/target jangka panjang dan/atau melalui penyiapan kondisi pemungkin melalui upaya yang luar biasa. Percepatan penatapan dan operasionalisasi KPH serta tata batas kawasan hutan sebagai kondisi pemungkin dalam menajemen hutan secara administratif akan sangat membantu capaian target mitigasi yang telah ditetapkan oleh pemerintah pada semua kegiatan.
Biaya setiap kegiatan bersumber dari anggaran pemerintah dengan nilai yang bervariasi. Secara relatif pembangunan hutan desa memiliki kebutuhan biaya paling rendah menurut pengalaman lapangan Warsi tahun 2012, yaitu Rp. 500.000 – 600.000,-/ha. Aktivitas yang relatif murah selanjutnya adalah pembangunan HKm dan HTR. Rendahnya kebutuhan biaya Hutan Desa dan HKm tersebut disebabkan oleh sifat pembangunannya yang berasal dari hutan yang ada (existing). Realisasinya merupakan proses penunjukkan formal untuk legalisasi, sehingga tidak terdapat aktivitas penanaman. Pembiayaan oleh pemerintah hanya dilakukan untuk penetapan dan sosialisasi. Adapun kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan tergolong aktivitas yang membutuhkan biaya tinggi (Tabel 51).
Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) • 79
Tabel 51. Rangkuman Biaya per Kegiatan
No Sumber Kegiatan Satuan Standar Biaya
1. Harga Satuan Pokok (HSPK) 2012
a. Rehabilitasi hutan dan lahan Rp/Ha 13.599.000 - 17.958.000
b. Rehabilitasi mangrove Rp/Ha 8.395.500 - 27.987.500
c. Hutan Kemasyarakatan Rp/Ha 10.483.588
d. Hutan Kota Rp/Ha 6.486.000 -7.870.000
2. Permenhut P.57/Menhut-II/2011
a. Pengendalian kebakaran hutan Rp 57,02 milyar
b. Penanganan perambahan pada 2 provinsi prioritas, pengelolaan ekosistem esensial, restorasi ekosistem,dll.
Rp 50,48 milyar
c. Pengendalian Perambahan Hutan dan Illegal Logging
Rp 63,99 milyar
d. Tata batas sepanjang 16.000 km Rp 76,54 milyar
e. Pembangunan 60 KPH Rp 21,29 milyar
f. Konversi Hutan* Rp 14,72 milyar
3. Permenhut No. P64/Menhut-II/2009
a. Pembangunan HTI Rp/Ha 12.111.875 - 16.662.034
b. Pembangunan HTR RpHa 2.602.126
4. Wawancara dan Review Literatur
Pembangunan Hutan Desa Rp/Ha 500.000 – 600.000
Keterangan: *) Biaya konversi hutan diasumsikan sebagai biaya pengendalian penggunaan kawasan hutan untuk pembangunan di luar kegiatan kehutanan
Sumber: Kementerian Kehutanan, 2011; Zunariyah, 2012; hasil wawancara, 2012)
Berdasarkan potensi serapan karbon yang dapat dicapai per ha dari masing-masing
kegiatan, dari 5 (lima) kegiatan (RHL, pembangunan HKm, HTR, HTI, dan Hutan
Desa) terlihat bahwa pembangunan Hutan Desa merupakan kegiatan paling efisien
dengan biaya abatasi sebesar Rp. 2.164,36 – 2.597,23 /ton karbon. Pada urutan kedua
adalah kegiatan pembangunan HKm dengan biaya abatasi sebesar Rp. 67.538,32/ton
karbon. Urutan ketiga adalah kegiatan pembangunan HTR membutuhkan biaya abatasi
sebesar Rp. 59.935,05 – 82.859,63 /ton karbon dan urutan keempat adalah kegiatan
RHL dengan biaya abatasi Rp. 75.976,31 – 100.329,63 /ton. Adapun pembangunan
HTI menduduki urutan ke-5 dengan biaya abatasi Rp. 111.784,73-153.779,73/ton
karbon. Sayangnya kajian ini tidak bisa membandingkan kegiatan-kegiatan pengendalian
illegal loging, pengendalian perambahan, pengendalian kebakaran hutan, dan pencegahan
konversi hutan akibat faktor ketidakpastian yang sangat tinggi.
80 • Aplikasi Perhitungan Emisi GRK Kehutanan
5.5 Kontribusi penurunan emisi sektor kehutanan
Kontribusi penurunan emisi sektor kehutanan dihitung dengan menganalisis kecenderungan emisi yang telah lalu sebagai basis terhadap estimasi perhitungan sampai tahun 2020. Selain itu diperhitungkan juga kebijakan mitigasi yang ada, upaya penuruan emisi (REDD, pencegahan deforestasi dan kebakaran) serta berbagai rencana penanaman seperti HTI, HTR, HR, GN RHL, OMOT dan kegiatan lainnya. Berbagai asumsi berdasarkan referensi dilakukan terkait dengan activity data serta faktor emisi dan serapan untuk mitigasi.
Beberapa tinjauan pentingnya adalah sebagai berikut:1. Kehutanan yang dalam konteks perubahan iklim dimasukan dalam kategori
LULUCF (Land use, land use change and forestry), atau kemudian dikenal dengan AFOLU (Agriculture, Foretsry and Land Use) memainkan peranan penting dalam siklus karbon global. Emisi GRK sektor kehutanan dari Indonesia, masih yang terbesar dibandingkan dengan sektor lain atau 48%. Indonesia berkomitmen untuk menurunkan tingkat emisi 26% sampai tahun 2020, sehingga kontribusi penurunan emisi dari sektor kehutanan menjadi sangat penting.
2. Dari hasil kajian skenario emisi BAU ini, diketahui bahwa kontribusi emisi terbesar adalah dari deforestasi dan juga degradasi. Deforestasi masih akan terjadi karena perkembangan jumlah penduduk dan kepentingan pembangunan seperti pengembangan perkebunan dan pertanian, pemekaran wilayah, pertambangan dan pemukiman. Meskipun demikian deforestasi dan degradasi yang tidak terkendali seperti penebangan liar; penambangan liar, kebakaran hutan, serta perambahan sedapat mungkin harus dikurangi. Dengan mengurangi deforestasi dan degradasi akan terjadi penurunan emisi yang sangat signifikan, yang akan mendukung target penurunan emisi sampai tahun 2020.
3. Selain itu, upaya penurunan emisi juga dapat dilakukan dengan penanaman. Berbagai kegiatan penanaman yang telah dan akan dilakukan seperti kegiatan pembangunan HTI, HR, HTR, kegiatan Gerakan Penghijauan Nasional (Gerhan), serta kegiatan penanaman lainnya memiliki dampak yang positif dalam meningkatkan kapasitas hutan dalam menyerap karbon dan mengurangi emisi.
4. Hasil kajian ini menunjukkan kisaran deforestasi tahunan BAU mencapai 700.000 sampai 1.500.000 ha per tahun. Sedangkan BAU penanaman berkisar antara 150.000 – 300.000 ha per tahun. Opsi penentuan BAU sangat tergantung dari ketersediaan data serta asumsi yang digunakan. Dengan upaya mitigasi melalui berbagai program atau kegiatan pencegahan deforestasi serta peningkatan penanaman, target penurunan emisi dari sektor kehutanan yang sejalan dengan kegiatan pengelolaan hutan lestari (SMF) akan dapat dicapai.
Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) • 81
5. Hasil estimasi perhitungan dengan BAU tingkat emisi dari kehutanan pada tahun 2020 sebesar 525 juta tCO2. Dengan upaya mitigasi penanaman dan penurunan laju deforestasi pada tahun 2020 sektor kehutanan menyumbang emisi sebesar 334.1 juta ton CO2-e C. Angka tersebut belum termasuk emisi dari kebakaran gambut.
6. Persentasi penurunan emisi dibanding tahun 2000 sebesar 649 juta CO2-e, untuk BAU turun 19 % dan untuk mitigasi turun 48.5 %.
7. Hasil estimasi tersebut sangat tergantung dari berbagai asumsi yang digunakan khususnya terkait angka activity data serta faktor serapan/emisi dari sumber emisi dan serapan
8. Untuk itu perlu tindak lanjut kebijakan dan kegiatan serta dana yang mendukung upaya penanaman dan penurunan laju deforestasi.
9. Hasil kajian dari kalimantan Timur menunjukkan adanya kesadaran dan upaya untuk menjalankan program kaltim Hijau. Pemerintah daerah dan umumnya semua stakeholder berkomitmen tinggi untuk mewujudkan Kaltim sebagai provinsi percontohan DA REDD.
5.6 Rekomendasi
Terkait dengan aplikasi teknik perhitungan emisi GRK dapat direkomendasikan beberapa hal, yaitu:1. Data yang tersedia masih terbatas. Disamping data aktivitas dan FE, masih diperlukan
upaya pelengkapan data secara detail untuk: data faktor emisi pada tanah, jenis dan volume kayu bakar, data illegal logging, serangan hama penyakit, penebangan hutan, dll.
2. Metode perhitungan REL tingkat nasional cukup menggunakan historical based. Metode ini lebih sederhana dan lebih murah dibandingkan metode historical adjusted dan menghasilkan estimasi penurunan emisi yang tidak berbeda secara signifikan dengan metode historis.
3. Indonesia bisa memfokuskan kegiatan penurunan emisi kepada 5 aktivitas, yaitu: rehabilitasi hutan dan lahan, pengendalian perambahan, pembangunan HKm, restorasi ekosistem, dan pengendalian konversi hutan.
82 • Aplikasi Perhitungan Emisi GRK Kehutanan
Perhitungan emisi dari sektor LULUCF pada umumnya memiliki tingkat ketidak pastian yang tinggi karena kurangnya data serta penggunaan data default yang berbeda dengan kondisi sebenarnya. Oleh sebab itu penelitian untuk mendapatkan data lokal spesifik masih sangat diperlukan guna meningkatkan ketelitian hasil estimasi. Diperlukan kerjasama dengan litbang, oganisasi lain untuk melakukan penelitian terkait data lokal, misalnya data pertumbuhan untuk masing-masing jenis, hutan dan jenis hutan tanaman, BEF, berat jenis, dan lain-lain. Selain itu, diperlukan kerjasama/koordinasi dengan insititusi yang telah atau akan membangun PSP agar penempatan PSP dilakukan pada lokasi-lokasi yang dapat merepresentasikan tipe tutupan hutan yang ada di daerah.
Indonesia penting untuk menerapkan metode IPCC Guideline dalam inventarisasi gas rumah kaca agar hasil inventarisasi lebih akurat dan terpercaya sehingga diakui oleh internasional. Aplikasi IPCC GL juga digunakan untuk penghitungan dalam kegiatan karbon seperti REDD, proyek karbon lainnya serta monitoing capaian target penurunan emisi. Hal ini juga mendukung pelaksanaan Perpres 61 tahun 2011 tentang RAN GRK dan Perpres 71 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Inventarisasi GRK Nasional.
Kontribusi emisi terbesar adalah dari lahan gambut yang terdrainase, maka strategi pengurangan emisi adalah dengan mencegah pemanfaatan lahan gambut yang mengakibatkan drainase dan emisi. Strategi ini sejalan dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 14/Permentan/Pl.110/2/2009 tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Budidaya Kelapa Sawit yang melarang pemanfaatan lahan gambut dengan dalam lebih dari tiga meter untuk tanaman kelapa sawit dan moratorium pemanfaatan lahan gambut dari LOI Indonesia dan Norwegia.
Terkait dengan rencana penurunan emisi, maka strategi yang harus dilakukan adalah meningkatkan serapan dengan meningkatkan penanaman dan mengurangi emisi akibat deforestasi dan degradasi. Disamping itu, untuk kepentingan pengawasan implementasi di tingkat nasional dan daerah perlu adanya kelembagaan MRV yang bertanggung jawab terhadap ketersediaan/kelengkapan data inventarisasi dan untuk monitoring target penurunan emisi.
Bab 6 Penutup
Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) • 83
Daftar Pustaka
Akbar, A., E. Priyanto, E. Suryanto, LJ. Eriyanto. 2013. Model hubungan berat jenis dengan kedalaman gambut untuk menghitung kandungan karbon. Lpoarn Hasil Penelitian Tahun 2012. Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru. Banjarbaru.
Akbar, A. dan E. Priyanto. 2011. Perhitungan karbon untuk perbaikan faktor emisi dan serapan grk kehutanan pada hutan alam gambut. Laporan Hasil Penelitian Tahun 2010. Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru. Banjarbaru.
Angelson, A., Boucher D, Bown S, Merckx V, Streck C and Zarin D. 2011. Guidelines for REDD+ Reference Levels: Principles and Recommendation. Meridian Institute.
Anonim. 2007. Pengertian Karbon. http://id.shvoong.com/exact-sciences-chemistry-2119913-karbon/#ixzz4OdC0tn5U [12 Oktober 2012]
Asmoro, J.P.P. 2011. Potensi Karbon Jenis Endemik Papua: Pometia pinnata JR Forst & G. Forst. Jurnal Penelitian Sosial Ekonomi Kehutanan VOl. 8 No. 4: 299-305.
[BPS] Badan Pusat Statistik Papua Barat. 2012. Papua Barat dalam Angka Tahun 2012. Bada Pusat Statistik. Manokwari.
Badan Standardisasi Nasional. 2011. Standar Nasional Indonesia 7724:2011 tentang pengukuran dan penghitungan cadangan karbon – pengukuran lapangan untuk penaksiran cadangan karbon hutan (ground based forest carbon accounting)
Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu, 2010. Laporan Kegiatan Inventarisasi Potensi Vegetasi Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah (Tahap II). Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu, Palu.
Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu, 2012. Laporan Kegiatan Monitoring Potensi Flora pada Plot Permanen Inventarisasi di Bora Bidang Pengelolaan Taman Nasional Wilayah I Saluki. Wilayah II Makmur.
Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah (BPKH) XVI Palu, 2012. Pendugaan Cadangan Biomassa Karbon Pada Penutupan Hutan Lahan Kering Primer dan Sekunder Berdasarkan Data Enumerasi Permanent Sample Plot (PSP) di Provinsi Sulawesi Tengah. Palu.
Balinda, L. 2008. Pendugaan Simpanan Karbon di Atas Permukaan Tanah pada Tegakan Pinus di RPH Leuwiliang KPH Bogor Perum Perhutani III Jawa Barat dan Banten [Skripsi]. Bogor. Institut Pertanian Bogor.
Bappeda Kabupaten Kotabaru dan Puslitbang Perubahan Iklim dan Kebijakan. 2011. Penentuan Reference Emission Level (REL) Di Kabupaten Kotabaru, Propinsi Kalimantan Selatan.
Bappeda Provinsi Jawa Tengah, 2012. Rencana Aksi Daerah (RAD) Provinsi Jawa Tengah, Semarang.
Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) • 85
Bappeda Provinsi Sulawesi Tengah, 2012. Rencana Aksi Daerah (RAD) Provinsi Sulawesi Tengah, Palu.
Bappenas, 2011. Pedoman Penyusunan Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK), Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional.
Basuki, T.M., P.E. Van Laake, A.K. Skidmore, Y.A. Hussin. 2009. Allometric Equations for Estimating The Above-Ground Biomass in Tropical Lowland Dipterocarp Forest. Elsevier - Jurnal Forest Ecology and Management 257 (2009): 1684-1694.
Baumert, K.A, T. Herzog and J. Pershing. 2005. Navigating the Numbers: Greenhouse Gas Data and International Climate Policy. World Resource Institute.
Boer, R., Hendri and Gintings, N.: 1999. ‚Emissions and uptake of greenhouse gases by Indonesian forest‘. Paper delivered to F7 network.
BPK Aek Nauli. 2012. Pembangunan Plot SampelPermanen (PSP) Sebagai Upaya Penyediaan Data dan Monitoring Stok Karbon serta Perubahan Stok Karbon Pada Berbagai Tipe Tutupan Hutan di Hutan Nagari, Provinsi Sumatera Barat. Laporan Kegiatan. BPK Aek Nauli bekerjasama dengan FCPF Puspijak. Aek Nauli.
BPK Palembang. 2012. Monitoring Carbon Stock Dan Carbon Change Pada Berbagai Tipe Hutan Di Sumatera Selatan Dengan Permanent Sample Plots (PSP). BPK Palembang bekerjasama dengan FCPF Puspijak. Palembang.
Brown S and Masera O. 2003. Supplementary methods and good practice guidance arising from the Kyoto Protocol, section 4.3 LULUCF projects Good Practice Guidance For Land Use, Land-Use Change and Forestry, Intergovernmental Panel on Climate Change National Greenhouse Gas Inventories Programme ed J Penman, M Gytartsky, T Hiraishi, T Krug,D Kruger, R Pipatti, L Buendia, K Miwa, T Ngara, K Tanabe and F Wagner (Kanagawa: Institute for Global Environmental Strategies (IGES)) pp 4.89–4.120.
Brown, S., 1997. Estimating biomass and biomass change of tropical forests: a primer. FAO. Forestry Paper 134, Rome, 87 pp.
Busch, J., Strassburg B, Cattaneo A, Lubowski R, Bruner A, Richard Rice R, Creed A, Ashton R, and Boltz F. 2009. Comparing climate and cost impacts of reference levels for reducing emissions from deforestation. Enviromental Research Letter 4 (2009). IOP Publishing. UK
Chave, J, Andalo, E.C, Brown, E.S, Cairns, M.A, Chambers, J.Q, Eamus, E.D, Folster, E.H, Fromard, E.F, Higuchi, N, Kira, E.T, Lescure, E.J.P, Nelson, E.B.P, Ogawa, H, Puig, E.H, Riera, E.B, Yamakura, E.T, 2005. Tree allometry and improved estimation of carbon stocks and balance in tropical forests. Oecologia (2005) 145: 87–99. DOI 10.1007/s00442-005-0100-x. _ Springer-Verlag 2005
86 • Daftar Pustaka
Clark, D.A., Brown, S., Kicklighter, D.W., Chambers, J.Q., Thomlinson, J.R., Ni, J., Holland, E.A., 2001. Net primary production in tropical forests: an evaluation and synthesis of existing field data. Ecological Application 11 (2), 371–384.
Dahlan, I Nengah Surati Jaya, Istomo. 2005. Estimasi Karbon Tegakan Acacia mangium Willd Menggunakan Citra Landsat ETM+ dan SPOT-5: Studi Kasus di BKPH Parung Panjang KPH Bogor. Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV “Pemanfaatan Efektif Penginderaan Jauh Untuk Peningkatan Kesejahteraan Bangsa” Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya 14-15 September 2005.
Cooper, H and L. Hedges. -. Research Synthesis as a Scientific Process. De Gier, A., 2003. In: Roy, P. (Ed.), A New Approach to Woody Biomass Assessment
in Woodlands and Shrublands. Geoinformatics for Tropical Ecosystems, India pp. 161–198.
Departemen Kehutanan, 2002. Data dan Informasi Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah. Jakarta, Indonesia.
Departemen Kehutanan, Badan Planologi, 2008. Penghitungan Deforestasi Indonesia tahun 2008.
Dewi, S., Ekadinata, A., Galudra, G., dan Johana, F., 2011. LUWES: Land Use Planning for Low Emission Development Strategy. World Agroforestry Centre-ICRAF SEA Office, Bogor, Indonesia.
Dharmawan, I. W. S. 2010. Estimation of aboveground biomass carbon stock in project plot of CI-Daikin at Nagrak Resort, Gede Pangrango National Park. Research Report. Collaboration of CI and Daikin.
Dharmawan, I. W. S., V. B. Arifanti, A. Wibowo and N. D. Atmojo. 2011. Analysis of land use, land cover change and the association carbon stock change to establish project baseline. Technical Report No. 10. Center for Climate Change and Policy Research and Development, ITTO, Meru Betiri National Park and LATIN.
Dinas Kehutanan (Dishut) Provinsi Jawa Tengah, 2011. Data dan Informasi Strategis Provinsi Jawa Tengah 2011. Semarang.
Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah, 2011. Rencana Strategis 2011-2016. Palu, Indonesia.
Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah, 2012. Data Planologi Kehutanan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah, tersedian online di http://dishut.sulteng .go.id/attachments/
article/99/DATA%20PLANOLOGI.pdf (diunduh tanggal 10 Januari 2012).Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. 2010. Laporan Perkembangan Pemanfaatan
dan Penggunaan Hutan Produksi Triwulan IV (Oktober – Desember 2009). Kementerian Kehutanan, Jakarta.
Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) • 87
Direktorat Jenderal Planologi Kementerian Kehutanan (DitjenPlan Kemenhut), 2010. REL/RL and MRV System Development , bahan presentasi pada ASEAN Rgional Training Workshop and Sharing Lesson on REL/RL and The MRV System Development for REDD+ pada tanggal 22 September 2012.
Down to Earth. 2011. Tanah Papua: Perjuangan yang Berlanjut untuk Tanah dan Penghidupan. Buletin Down to Earth Edisi Khusus no. 89-90, November 2011. England.
Ekadinata A, Agung P, Johana F, Galudra G, Palloge A, dan Usman G, Aini N. 2011. Merencanakan Pembangunan Rendah Emisi di Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi. Brief No 18. Bogor, Indonesia. World Agroforestry Centre ICRAF, SEA Regional Office
Ekawati, S., Kirsfianti L Ginoga, Yanto Rochmayanto, Zahrul Mustaqin Fentie Salaka, Ari Wibowo, Subarudi, Endang Savitri. 2012. Identifikasi Kegiatan-Kegiatan Yang Mengurangi Emisi Karbon Melalui Peningkatan Serapan Karbon Dan Stabilisasi Simpanan Karbon Hutan. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan dan Forest Carbon Partnership Facility. Bogor.
First National Communication. 1999. The Indonesia First National Communication to the UNFCCC. KLH. Indonesia.
Ginoga K, Ngaloken Ginting, Ari Wibowo. 2008. Isu pemanasan global, UNFCCC, Kyoto Protocol dan Peluang Aplikasi A/R CDM di Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Jakarta
Grant, William E., Pedersen, Ellen K., Marin, Sandra L., 1997. Ecology and Natural Resource Management (System Analysis and Simulation). John Willey and Sons, Inc., New York.
Hairiah K, Rahayu S. 2007. Pengukuran ‘Karbon Tersimpan’ di Berbagai Macam Penggunaan Lahan. Bogor. World Agroforestry Centre – ICRAF, SEA Regional Office, University of Brawijaya, Indonesia. 77 p.
Hairiah K, SM Sitompul, Meine van Noordwijk and Cheryl Palm. 2001.Carbon Stocks of Tropical Land Use Systems as Part of the Global C Balance: Effects of Forest Conversion and Options for ‘Clean Development’ Activities. International Center for Research in Agroforestry.
Hairiah, K dan Rahayu. S. 2007. Petunjuk praktis pengukuran karbon tersimpan di berbagai macam penggunaan lahan. World Agroforestry Centre, ICRAF Southeast Asia, Bogor.
Hardjana, A.K., F.N. Rahimahyuni, I.S. Tumakaka, A. Rojikin. 2010. Pendugaan stok karbon kelompok jenis tegakan berdasarkan tipe potensi hutan di kawasan hutan
88 • Daftar Pustaka
lindung Sungai Wain. Laporan Hasil Penelitian. Balai Besar Penelitian Dipterokarpa. Samarinda.
Harja,D., Dewi, S., van Noordwijk,M., Ekadinata, A., dan Rahmanulloh, A., 2011. REDD Abacus SP – User Manual and Software, Bogor, Indonesia. World Agroforestry Centre – SEA Regional Office, 89 halaman.
Haygreen, JG dan Bowyer JL. 1989. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu, Suatu Pengantar. Hadikusumo SA, penerjemah; Prawiro H, editor. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Forest Product and Wood Science: An Introduction.
Herold and Skutsch (2009) ‘Measurement, reporting and verification for REDD+: objectives, capacities and institutions’, In Angelsen, A. (Ed.) Realising REDD+. National strategy and policy options. CIFOR, Bogor, Indonesia.
ICRAF. 2012. Mengenai Skenario Baseline Sebagai Dasar Penentuan REL/RL. Training Luwes-Abacus ICRAF-FORDA. Bulungan, 15 – 16 Oktober 2012
IFCA. 2008. Reducing Emission from Deforestation and Degradation in Indonesia. Consolidation Report
Indriyanto. 2005. Ekologi Hutan. Jakarta. PT Bumi Aksara.Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), 2003. IPCC Guidelines for National
Greenhouse Gas Inventories, disiapkan oleh National Greenhouse Gas Inventories Programme, Eggleton, H. S., Buendia, L., Miwa, K., Ngara, T., dan Tanabe, K. (editor), IGES, Jepang.
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), 2006. IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories. Prepared by The National Greenhouse Gas Inventories Programme, Eggleston, H.S., Buendia,L., Miwa, K., Ngara,T., dan Tanabe, K. (editor). IGES, Jepang.
[IPCC] Intergovermental Panel on Climate Change. 2006. 2006 IPCC Guideline for National Green House Gass Inventories. Volume 4 Agriculture, Forestry and Other Land Use. National Green House Gass Inventories Programme. IGES. Japan.
---------. 1996. Revised 1996 IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories. IGES, Japan. IPCC
---------. 2001. IPCC Third Assessment ReportIswanto, AH. 2008. Sifat Fisis Kayu: Berat Jenis dan Kadar Air pada Berbagai Jenis Kayu
[Karya Ilmiah]. Universitas Sumatera Utara. Medan.Japan Aerospace Exploration Agency. 2008. ALOS data users handbook revision C. Earth
Observation Research and Application Center.Jaya, I N S. 2007. Analisis citra dijital: perspektif penginderaan jauh untuk pengelolaan
sumberdaya alam. Bogor. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) • 89
Jaya, I.N.S., B. Saleh. 2011. Road Map MRV Sektor Kehutanan. Pusat Inventarisasi Hutan. Kementerian Kehutanan. Jakarta.
JICA [ Japan International Cooperation Agency]. 2002. Demonstration study on carbon fixing forest management project. Progress report of the project 2001-2002.
Johana F, Agung P, Galudra G, Ekadinata A, Fadila D, Bahri S dan Erwinsyah. 2011. Merencanakan pembangunan rendah emisi di Kabupaten merangin propinsi Jambi. Brief No. 17. Bogor, Indonesia. World Agroforestry Centre ICRAF, SEA Regional Office.
Jones, G. 1979. Topics in Applied Geography Vegetation Productivity. Longman London and New York.
Junaedi, A. 2007. Dampak Pemanenan Kayu dan Perlakuan Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Terhadap Potensi Kandungan Karbon dalam Vegetasi Hutan Alam Tropika (Studi Kasus di Areal IUPHHK PT Sari Bumi Kusuma, Kalimantan Tengah). Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Kementerian Kehutanan. 2009. Peta Deforestasi Periode Tahun 2003-2006. http://www.
dephut.go.id/files/Atlas_Tematik_Kehutanan_2009/Def_Papua.pdf. [diakses pada tanggal 19 Oktober 2012].
Kementerian Kehutanan. 2009. Peta Penggunaan Lahan dan Deforestasi. http://www.
dephut.go.id/files/Atlas_Tematik_Kehutanan_2009/PL_Papua.pdf. [diakses pada tanggal 19 Oktober 2012].
Kementerian Kehutanan, 2011. Statistik Kehutanan Indonesia. Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, Kementerian Kehutanan. Jakarta.
Kementerian Kehutanan, 2012. Statistik Kehutanan Indonesia 2011. Kementerian Kehutanan, Jakarta, Indonesia.
Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), 2012. Pedoman Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional Buku I Pedoman Umum. Kementerian Lingkungan Hidup, Jakarta, Indonesia.
Kementerian Lingkungan Hidup, 2012a. Pedoman Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional Buku II, Volume 3 Metodologi Penghitungan Tingkat Emisi dan Penyerapan Gas Rumah Kaca: Pertanian, Kehutanan, dan Penggunaan Lainnya. Kementerian Lingkungan Hidup, Jakarta, Indonesia.
Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2007. Rencana aksi nasional dalam menghadapi perubahan iklim. Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Jakarta
Ketterings Q M, Richard C, Meine Van Noordwijk, Yakub A, Cherly A Palm. 2001. Reducing uncertainty in use of allometric biomass equation for predicting above-ground tree biomass in mixed secondary forest. Forest Ecology and Management. -146:199-209.
90 • Daftar Pustaka
Kittredge, J. 1944. Estimation of The Amount of Foliage of Trees and Stands. J.For. 42: 905 – 912.
KLH. 2009. Indonesia: Second National Communication under the United Nation Framework Convention on Climate Change. KLH.
Kompas. 2002. Potensi karbon kehutanan 33 juta ton pertahun. Terbitan tanggal 1 Maret 2002. Jakarta.
Krisnawati, H., Adinugroho, W. C., dan Imanuddin, R., 2012. Monograf: Model-Model Alometrik untuk Pendugaan Biomasa Pohon pada Berbagai Tipe Ekosistem Hutan di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Bogor, Indonesia.
Leischner, B., and Elsasser, P., 2010. Reference Emission Levels for REDD: Implications of Four Different Approaches Applied to Past Period’s Forest Area Development in 84 Countries, Landbauforschung – vTI Agriculture and Forestry Research 3 (60): 119-130.
Lu, D.S., 2006. The potential and challenge of remote sensing-based biomass estimation. International Journal of Remote Sensing, 27(7): 1297-1328.
MacDicken, K.G. 1997. A Guide to Monitoring Carbon Storage in Forestry and Agroforestry Projects. Winrock International Institute for Agricultural Development. Washington, DC.
Mansur, M., N. Hidayati dan T. Juhaeti. 2011. Struktur dan komposisi vegetasi pohon serta estimasi biomassa, kandungan karbon dan laju fotosintesis di Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Jurnal Teknologi Lingkungan Vol. 12 No. 2. Hal. 161-169.
Marina, I. dan A.H. Dharmawan. 2011. Analisis konflik sumberdaya hutan di kawasan konservasi. Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia Vol. 5, No. 1.
Martin, J.G., B.D. Kloeppel, T.L. Schaefer, D.L. Kimbler, and S.G. McNutly. 1998. Aboveground Biomass and Nitrogen Allocation of Ten Deciduous Southern Appalachian Tree Species. J.For. Res. 28: 1648 – 1859.
Marwa, J., R.L. Cabuy, J. Manusawai. 2012. Carbon Stock in Pometia, Palaqium amboinensis and Swietinia macrophyla standing tree at Anggresi Plantation Forest, Manokwari, West Papua. Proc Soc Indon Biodiv Intl Conf Vol 1 July 2012. Article in press.
Maulana, S.I. 2010. Pendugaan Densitas Karbon Tegakan Hutan Alam di Kabupaten Jayapura, Papua. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 7 No. 4: 261-274. Edisi Khusus. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan. Bogor.
Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) • 91
Menteri Kehutanan RI. 2003. Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 175 Tahun 2003 tentang Penunjukan Kawasan Hutan Halimun dan Salak sebagai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak.
Morikawa, Y. 2002. Biomass Measurement in Planted Forest In and Around Benakat, Fiscal Report of Assessment on The Potentiality of Reforestation and Afforestation Activities in Mitigating the Climate Change 2001, 58-63. JIFRO, Tokyo, Japan.
Ndun, I.D.O.M. 2011. Pengaruh ukuran dimensi pohon terhadap jumlah karbon tersimpan pada tegakan Araucaria cunninghamii dan Dracontomelum adule di arboretum Angggori. Skripsi. Universitas Papua. Manokwari.
Nelson, B.W., Mesquita, R., Pereira, J.L.G., de Souza, S.G.A., Batista, G.T., Couta, L.B., 1999. Allometric regressions for improved estimate of secondary forest biomass in the Central Amazon. Forest Ecology and Management 117, 149–167.
Noor’an, R.F., A. Saridan, Giono, R. Rombe, A. Rustami. 2012. Perhitungan Karbon Untuk Perbaikan Faktor Emisi Dan Serapan Grk Kehutanan Pada Hutan Alam Tanah Mineral. Laporan Hasil Penelitian. Balai Besar Penelitian Dipterokarpa. Samarinda.
Parresol, B.R. 1999. Assessing Tree and Stand Biomass: A Review with Examples and Critical Comparisons. For. Sci. 45(4): 573 – 593.
Patrick E. Van Laake . 2010. Review of methodologies for the establishment of Reference Emission Levels and Reference Levels for REDD in Viet Nam [Final Report]. Consultancy report for Output 1.2 of UN-REDD Programme for Viet Nam (UNJP/VIE/044/UNJP).
PEACE. 2007. Indonesia and Climate Change: Current Status and Policies. DFID, World Bank.
Pearson T, Walker S and Brown S. 2005. Sourcebook for land use, land-use change and forestry projects Winrock International and the BioCarbon Fund of the World Bank p 57.
Pemerintah Republik Indonesia, 2011. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 71 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca. Pemerintah Republik Indonesia, Jakarta.
Pemerintah Republik Indonesia, 2011a. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca. Pemerintah Republik Indonesia, Jakarta.
Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 46 Tahun 2008 tentang Dewan Nasional Perubahan Iklim.
Perry, A., N. Hammond. 2002. Systematic Review: the Experience of a PhD Student. Psychology Learning and Teaching 2 (1): 32-35.
92 • Daftar Pustaka
Petrova, S., Stolle, F. and Brown, S., 2007, Carbon and Co-Benefits from Sustainable Land-use Management: Deliverable 22: Quantification of carbon benefits in conservation project activities through spatial modeling: East Kalimantan, Indonesia as a Case Study. Winrock International, Report submitted to USAID.Cooperative Agreement NoEEM-A-00-03-00006-htttp:// www.winrock.org/ ecosystems/files/Deliverable22 GEOMODmodeling-Indonesia -2-2007.pdf
Plant Resources of South East Asia. 1994. Timber trees: Lesser-known commercial Pokja Perubahan Iklim Badan Litbang Kehutanan. 2010. STRATEGI REDD
INDONESIA FASE READINESS 2009-2012 dan progress implementasinya. Badan Litbang Kehutanan. Kementrian Kehutanan
Post W M, Izaurralde R C, Mann L K and Bliss N.,1999. Monitoring and verification of soil organic carbon sequestration Proc. Symp. Carbon Sequestration in Soils Science, Monitoring and Beyond (December) ed N J Rosenberg, R C Izaurralde and E L Malone (Columbus, OH: Batelle Press) p 41.
Prakosa, M., H. Arisanti, I. Marlina, J. Tampubolon. 2011. Perhitungan Karbon untuk Perbaikan Faktor Emisi dan Serapan GRK Kehutanan pada Hutan Tanaman Gambut. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Palembang. Palembang.
Rahmat, M, A. Sumadi, A.B. Hidayat. 2007b. Pendugaan Serapan Karbon Hutan Tanaman Acacia crassicarpa Umur 2 dan 3 Tahun di HTI PT. SBA Wood Industries. Prosiding Workshop Sintesa Hasil Litbang Hutan Tanaman. Tanggal 14 Desember 2007. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Bogor.
Rauf, A., 2012. Tingkat Emisi Acuan (REL, Reference Emission Levels) Bidang Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah. Tersedia online http://www.unredd.net/index.php?option=com_docman&task=doc_download&gid=8899&Itemid=53 (diunduh tanggal 31 Januari 2013).
Rauste Y, Lönnqvst A, Ahola H. 2006. Processing and Analysis of ALOS PALSAR Imagery. Kaukartoituspäivät: VVT Technical Research Centre of Finland (diunduh 14 Desember 2012)
Ravindranath N. H. and M. Ostwald. 2008. Carbon Inventory Methods: Handbook for Greenhouse Gas Inventory, Carbon Mitigation and Roundwood Production Projects.
Rused, ES. 2009. Nilai Ekonomi Kegiatan Rehabilitasi dalam Menghasilkan Air dan Menyerap Karbon di Blok S Cipendawa Megamendung, Bogor. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Ruslandi. 2012. Penyempurnaan National Forest Inventory untuk Inventarisasi Stok dan Estimasi Emisi Karbon Hutan Tingkat Provinsi untuk Mendukung Inventarisasi
Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) • 93
Gas Rumah Kaca Nasional. Kemenhut RI, UN-REDD, FAO, UNDP, UNEP. Website: www.un-redd.or.id.
Saleh, M B. 2011. Citra radar. Dalam Modul Pelatihan Penggunaan PALSAR dalam Pemetaan Penutupan Lahan/Hutan. Bogor 7-12 Pebruari 2011.
Samalca, Irvin K., 2007. Estimation of Forest Biomass and Its Error, A Case in Kalimantan-Indonesia [Thesis]. International Institute for Geo-Information Science and Earth Observation. Enschede, The Netherlands.
Sanadi, J.P. 2010. Pendugaan nilai biomasa dan karbon tersimpan pada tegakan Swietinia macrophyla di Hutan tanaman Wanariset Anggresi Distrik Manokwari Selatan Kabupaten Manokwari. Skripsi. Universitas Papua. Manokwari.
Santilli, M., Moutinho, P., Schwartzman, S., Nepstad,D., Curran, L., Mobre,C., 2005. Tropical Deforestation and the Kyoto Protocol, Climate Change 71 (3): 267-276.
Satgas Persiapan Kelembagaan REDD+ Indonesia. 2012. Strategi Nasional REDD+. Satgas REDD Plus. Jakarta
Satgas REDD, 2012. Strategi dan Rencana Implementasi Pengukuran, Pemantauan dan Pelaporan yang terverifikasi (MRV) untuk REDD+ (Draft). Jakarta, Indonesia.
Second National Communication. 2010. Indonesia Second National Communication, Under UNFCCC, Ministry of Environment, Republic of Indonesia. Jakarta, November 2010.
Shimada M, Isoguchi O, Tadano T, Isono K. 2009. PALSAR Calibration Factor Updated. http://auig.eoc.jaxa.jp/auigs/en/doc/an/200901109en _3.html
Siregar, C. A. 2007. Potensi serapan karbon di Taman Nasional Gede Pangrango, Cibodas, Jawa Barat. Info Hutan Vol. IV No. 3. P: 233-244.
Siregar, C. A. Dan I. W. S. Dharmawan. 2009. Sintesa hasil-hasil penelitian jasa hutan sebagai penyerap karbon. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.
Siswanto. 2010. Systematic Review sebagai Metode Penelitian untuk Mensintesis Hasil-Hasil Penelitian (Sebuah Pengantar). Buletin Penelitian Sistem Kesehatan Vol 13 No 4 Oktober 2010: 326-333.
SNI 7724:2011. 2011. Pengukuran dan Penghitungan Cadangan Karbon – Pengukuran Lapangan untuk Penaksiran Cadangan Karbon Hutan (Ground Based Forest Carbon Accounting). Badan Standardisasi Nasional. Jakarta.
SNI 7725:2011. 2011. Penyusunan Persamaan Alometrik untuk Penaksiran Cadangan Karbon Hutan Berdasar Pengukuran Lapangan (Ground Based Forest Carbon Accounting). Badan Standardisasi Nasional. Jakarta.
94 • Daftar Pustaka
Sanadi, J.P. 2010. Pendugaan nilai biomasa dan karbon tersimpan pada tegakan Swietinia macrophyla di Hutan tanaman Wanariset Anggresi Distrik Manokwari Selatan Kabupaten Manokwari. Skripsi. Universitas Papua. Manokwari.
Soerianegara, I. Dan A. Indrawan. 1998. Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium Ekologi Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Solichin, C.A.S. Putra dan A.D. Saputra. 2011. Tehnik Pendugaan Cadangan Karbon Hutan. Merang REDD Pilot Project, German International Cooperation – GIZ. Palembang.
Solichin. 2012. Pembelajaran dari Forclime Terkait dengan REL Di Tingkat Kabupaten. FGD Kajian Penentuan REL, Puslitbang Perubahan Iklim dan Kebijakan, Bogor 1 November 2012.
Stern, N. 2007. ‘The Stern Review: The Economics of Climate Change. Cambridge University Press. Cambridge.
Stewart, J. 1998. Kalkulus. Edisi Keempat. Susila I. N., H. Gunawan, penerjemah; Mahanani N., W. Hardani, editor. Penerbit Erlangga. Jakarta. Terjemahan dari: Calculus, Fourth Edition.
Stewart, J.L., Dunsdon, A.J., Hellin, J.J., Hughes, C.E., 1992. Wood biomass estimation of Central American dry zone species. Tropical Forestry Papers 26. Oxford Forestry Institute, Department of Plant Sciences, University of Oxford.
Suhendang, E. 2002. Pengantar Ilmu Kehutanan. Yayasan Penerbit. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sumargo, W., S.G. Nanggara, F.A. Nainggolan, I. Apriani. 2011. Potret Keadaan Hutan Indonesia Periode Tahun 2000-2009. Forest Watch Indonesia. Bogor.
Suryadi, I. 2012. Petunjuk Teknis Perhitungan Reference Emission Level untuk Sektor Berbasis Lahan. UN-REDD Program Indonesia.
Suryadi, I., dan Rauf, A., 2012. Reference Emission Level Methodological Option for Central Sulawesi. UNREDD Indonesia Programme, dapat diunduh online di http://www.afcunetwork.net/images/afcu2012/doc/ presentations/2-1-sur-REL%20Methodological%20Options%20for% 20Sulteng%20-Indrawan.pdf (diakses 31 Januari 2013).
Suryadi,I., 2012. Statistik Karbon Hutan Sulawesi Tengah 1990-2011. UN-REDD Program Indonesia, Jakarta.
Sutaryo, D. 2009. Penghitungan Biomassa Sebuah Pengantar untuk Studi Karbon dan Perdagangan Karbon. Wetlands International Indonesia Programme. Bogor.
Tiryana, T. 2011. Pendugaan biomasa hutan menggunakan citra PALSAR. Dalam Modul Pelatihan Penggunaan PALSAR dalam Pemetaan Penutupan Lahan/Hutan. Bogor 7-12 Pebruari 2011.
Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) • 95
Tosiani, A. 2012. Penghitungan REL (Refeence Emission Level) Sektor Kehutanan Tingkat Nasional. FGD Kajian Penentuan REL, Puslitbang Perubahan Iklim dan Kebijakan, Bogor 1 November 2012.
Umemiya C, M Amano dan S Wilamart. 2010. Assessing data availability for the development of REDD-plus national reference levels. http://www.cbmjournal.com/content/pdf/1750-0680-5-6.pdf
Undang-undang No.6 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Framework Convention On Climate Change (Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa bangsa Mengenai Perubahan Iklim).
Universitas Pattimura. 2013. Pembangunan PSP pada Berbagai Type Hutan di Maluku. Laporan Akhir. Program Pasca Sarjana Universitas Pattimura. Ambon.
Wahyuni, I. N., A. Suryawan, S. Tabba, Y. Kafiar. 2012. Pendugaan Biomasa Dan Karbon Tersimpan Di Atas Permukaan Tanah Pada Kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Manado. Manado.
Wang, H., Hall, C.A.S., Scatena, F.N., Fetcher, N., Wu, W., 2003. Modeling the Spatial and temporal variability in climate and primary productivity across the Luquillo mountains, Puerto Rico. Forest Ecology and Management 179, 69–94.
Wattimury, S.C. 2010. Nilai karbon tersimpan pada tegakan matoa di hutan tanaman wanariset Anggresi Kabupaten Manokwari. Skripsi. Universitas Papua. Manokwari.
www.rtrwpapuabarat.info. 2012. Rencana Tata Ruang Wilayah Papua Barat. http://www.rtrwpapuabarat.info/fakta/lahan.php, diakses pada tanggal 20 Oktober 2012.
Yafdas, F.K. 2010. Estimasi nilai karbon tersimpan pada tegakan Palaquium amboinensis di Hutan Tanaman Wanariset Anggresi Distrik Manokwari Selatan Kabupaten Manokwari. Skripsi. Universitas Papua. Manokwari.
Yuniati, D. 2012. Estimasi Simpanan Karbon Jenis Casuarina Junghuhniana Pada Hutan Savana Di Pulau Timor Untuk Mendukung Upaya Mitigasi Perubahan Iklim Melalui Mekanisme REDD. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Kupang. Kupang.
Yuniati, D., H. Kurniawan, F. Banani. 2012. Penyusunan Persamaan Allometrik Borassus flabellifer dan Corypha utan Untuk Pendugaan Simpanan Karbon Hutan Savana Di Propinsi Nusa Tenggara Timur. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kupang. Kupang.
Zhu, X. 2011. Forestry Clean Development Mechanism. Pacific Regional CDM Capacity Building Workshop 24-28 January 2011, Suva, Fiji.
96 • Daftar Pustaka
Lampiran
Lam
piran
1.
Pers
amaa
n Allometrik
men
urut
Bio
regi
on
1.1
Bior
egio
n Su
mat
era
Jeni
s po
hon/
Ek
osis
tem
Pers
amaa
n da
n Ke
tera
ngan
nya
Info
rmas
i St
atis
tika
(R2 , S
E, S
A, S
R, d
ll)In
form
asi S
ingk
at M
etod
olog
iDe
skrip
si B
iofis
ikPu
blik
asi *
)
Huta
n ta
nam
an
Acac
ia cr
assic
arpa
Y =
5.4
78,5
9 PC
1(-0,0
0642
9
PC1)
Y: n
ilai s
impa
nan
biom
assa
(K
arbo
n)
PC1:
nila
i pixe
l pad
a cit
ra
yang
telah
dip
rose
s dg
m
etod
e PC
A.
R² =
0.8
3M
etod
e tra
nsfo
rmas
i citr
a te
rbaik
unt
uk
men
gest
imas
i kan
dung
an b
iom
assa
(k
arbo
n) p
ada
HTI je
nis
A. c
rass
icarp
a ad
alah
deng
an m
engg
unak
an m
etod
e Pr
incip
le C
ompo
nent
Ana
lysis
(PCA
). Es
timas
i sim
pana
n bi
omas
sa (k
arbo
n)
pada
tega
kan
huta
n ta
nam
an A
. cr
assic
arpa
men
ggun
akan
met
ode
rem
ote
sens
ing
dan
GIS
men
ghas
ilkan
ting
kat
kete
litian
diat
as 8
0%.
Area
l ber
upa
lahan
bas
ah (r
awa
leba
k da
n ra
wa g
ambu
t), to
pogr
afi d
atar
(kel
eren
gan
0-8
%) d
an k
etin
ggian
tem
pat 0
-8 m
dpl
. Je
nis
tana
h te
rdiri
dari:
Org
anos
ol, G
leiso
l da
n Al
uvial
den
gan
jeni
s ba
tuan
form
asi
Aluv
ium
dan
gro
up m
arin
. Tip
e ikl
im B
, de
ngan
cur
ah h
ujan
bul
anan
terti
nggi
354
m
m p
ada
bulan
Mar
et d
an c
urah
huj
an
tere
ndah
98
mm
, pad
a bu
lan J
uni.
Prak
osa,
dkk
(2
011)
Sepu
ngol
Y =
1.8
12,4
x2,41
80,
99Pe
rsam
aan
ini d
iper
oleh
den
gan
mela
-ku
kan
pene
bang
an p
ada
mas
ing-m
asing
jen
is (d
estru
ctio
n sa
mpl
ing).
Hasil
Pra
kosa
, dk
k (2
011)
per
sam
aan
allom
etrik
ini a
kan
digu
naka
n un
tuk
men
ghitu
ng b
iom
assa
pa
da m
asing
-mas
ing je
nis p
ohon
ting
kat
panc
ang,
den
gan
hany
a m
engu
kur
diam
eter
nya
saja.
Laha
n ga
mbu
tPr
akos
a, d
kk
(201
1)
Sam
akY
= 1
4.33
7x-1
4300
0,88
Laha
n ga
mbu
tPr
akos
a, d
kk
(201
1)
Prep
atY
= 6
22,9
7x3,
4022
0,99
Laha
n ga
mbu
tPr
akos
a, d
kk
(201
1)
Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) • 99
Jeni
s po
hon/
Ek
osis
tem
Pers
amaa
n da
n Ke
tera
ngan
nya
Info
rmas
i St
atis
tika
(R2 , S
E, S
A, S
R, d
ll)In
form
asi S
ingk
at M
etod
olog
iDe
skrip
si B
iofis
ikPu
blik
asi *
)
Beria
ngY
= 5
.073
,5ln
(x) +
427
8,4
0,73
Laha
n ga
mbu
tPr
akos
a, d
kk
(201
1)
Geru
ngga
ngY
= 1
.897
e0,70
39x
0,92
Laha
n ga
mbu
tPr
akos
a, d
kk
(201
1)
Gelam
Y =
1.7
71,8
x2,19
090,
995
Laha
n ga
mbu
tPr
akos
a, d
kk
(201
1)
Acac
ia cr
assic
arpa
W =
0,3
9891
8D H
bcHb
c =
ting
gi b
ebas
cab
ang
R-Sq
(adj
) seb
esar
0,
99 d
an
simpa
ngan
bak
u se
besa
r 0,0
62.
met
ode
dest
rukt
if. Ju
mlah
poh
on s
ampe
l ya
ng d
iambi
l seb
anya
k 40
poh
on y
ang
mer
upak
an p
ohon
-poh
on y
ang
mew
akili
popu
lasi s
etiap
kel
as d
iamet
er d
ari 4
ke
las d
iamet
er p
ohon
dala
m te
gaka
n.
Mas
ing-
mas
ing
kelas
diam
eter
ters
ebut
di
ambi
l dar
i are
al te
gaka
n be
rdas
ar k
elas
um
ur te
rtent
u (2
,3,4
,5 ta
hun)
seh
ingg
a di
angg
ap m
ewak
ili te
gaka
n po
hon
deng
an u
mur
ber
turu
t-tur
ut 2
,3,4
, dan
5
tahu
n te
rseb
ut. P
emilih
an p
ohon
sam
pel
dilak
ukan
den
gan
met
ode
purp
osive
sa
mpl
ing.
HTI la
han
gam
but,
jeni
s Ac
acia
cras
sicar
pa d
i Pel
alawa
n, R
iau. j
enis
tana
h or
gano
sol h
emik,
fibr
ik se
luas
52.
845
ha, d
an o
rgan
osol
sap
rik, h
emik
selu
as
22.7
95 h
a. A
real
ini t
erle
tak
pada
DAS
(Dae
rah
Alira
n Su
ngai)
Sel
ampa
yan
Kana
n, S
ubDA
S Se
lampa
yan
Kiri,
den
gan
ketin
ggian
20
-160
m d
pl. M
enur
ut k
lasifik
asi
Schm
idt d
an F
ergu
sson
iklim
di d
aera
h in
i te
rmas
uk ti
pe A
, den
gan
rata
-rat
a cu
rah
hujan
2.3
23 m
m/ta
hun
dan
bany
akny
a ha
ri hu
jan 1
50 h
ari/t
ahun
.
Yuni
awat
i, Bu
dim
an, d
an
Elias
(201
1)
Logg
ed o
ver
Fore
stW
= 0
.206
284
D 2.
4511
Di
bent
uk d
ari 3
0 po
hon
dom
inan
den
gan
dbh
5-64
cm
. Set
elah
pen
eban
gan,
po
hon
diba
gi 4
frak
si: b
atan
g, d
ahan
, ca
bang
, ran
ting
dan
daun
Huta
n lah
an g
ambu
t Mer
ang,
PT
Rim
ba
Huta
ni M
asNo
vita
(201
0)
Burn
t For
est
W =
0.1
5310
8 D
2.4
Dibe
ntuk
dar
i 30
poho
n do
min
an d
enga
n db
h 5-
30 c
m. S
etel
ah p
eneb
anga
n,
poho
n di
bagi
4 fr
aksi:
bat
ang,
dah
an,
caba
ng, r
antin
g da
n da
un
Huta
n lah
an g
ambu
t Mer
ang,
PT
Rim
ba
Huta
ni M
asW
idya
sari
(201
0)
100 • Persamaan Allometrik menurut Bioregion
Jeni
s po
hon/
Ek
osis
tem
Pers
amaa
n da
n Ke
tera
ngan
nya
Info
rmas
i St
atis
tika
(R2 , S
E, S
A, S
R, d
ll)In
form
asi S
ingk
at M
etod
olog
iDe
skrip
si B
iofis
ikPu
blik
asi *
)
Huta
n Ta
nam
an
Acac
ia cr
assic
arpa
Biom
asa
à W
T =
0,1
65D2,
399
Carb
on
à CT
= 0
,083
D2,39
9
Adrio
no
(200
9)
Huta
n ta
nam
an
acac
ia cr
assic
arpa
WT
= 0
,165
D2,33
9
CT =
0,0
63D2,
339
Met
ode
karb
onas
i ra
ta-r
ata
pote
nsi
sera
pan
karb
on
men
urut
kel
as
umur
1-8
tahu
n da
ri ba
gian
aka
r, ba
tang
, cab
ang
dan
daun
45,6
4 to
n/ha
Huta
n lah
an g
ambu
t PT
SBA
Woo
d In
dust
ries
Adrio
no, 2
009
1.2
Bio
regi
on J
awa
Jeni
s Po
hon/
Ekos
iste
mPe
rsam
aan
dan
Kete
rang
anny
a
Info
rmas
i St
atis
tika
(R2 ,
SE, S
A,
SR, d
ll)
Info
rmas
i Si
ngka
t M
etod
olog
i
Desk
ripsi
Bi
ofis
ikSu
mbe
r
Ekos
istem
hut
an a
lam
Gunu
ng H
alim
un S
alak
• Ch
ave
, et.a
l (20
05):
Y =
0,0
509
x µ
x DB
H2 x
T, di
man
a: Y
= b
iom
asa
tota
l (g)
; µ
= b
erat
jeni
s ka
yu (g
/cm
3 );
DBH
=
diam
eter
set
ingg
i dad
a(cm
) dan
T =
ting
gi
poho
n (m
)•
Kette
rings
, et
. Al (
2001
): Y
= 0
,11
µ DB
H2,62
• Si
rega
r dan
Dha
rmaw
an (2
009)
; Y =
0,
1728
x D
BH 2,
2234
Arifa
nti,
dkk
(201
2)
Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) • 101
Jeni
s Po
hon/
Ekos
iste
mPe
rsam
aan
dan
Kete
rang
anny
a
Info
rmas
i St
atis
tika
(R2 ,
SE, S
A,
SR, d
ll)
Info
rmas
i Si
ngka
t M
etod
olog
i
Desk
ripsi
Bi
ofis
ikSu
mbe
r
Ekos
istem
hut
an a
lam
Brom
o Te
ngge
r •
Chav
e, e
t.al (
2005
): Y
= 0
,050
9 x
µ x
DBH
2 x
T; d
iman
a: Y
= b
iom
as to
tal (
g);
µ =
ber
at je
nis
kayu
(g/c
m3 );
DBH
=
diam
eter
set
ingg
i dad
a(cm
) dan
T =
ting
gi
poho
n (m
)•
Kette
rings
, et.
al (2
001)
: Y =
0,1
1 µ
DBH2,
62
• Si
rega
r dan
Dha
rmaw
an (2
009)
; Y =
0,
1728
x D
BH 2,
2234
Noor
’an,
dkk
(201
3)
Acac
ia m
angi
umY
= 0
.12D
BH2.
28Ko
relas
i Pe
arso
n =
0.
812
Dest
ruct
ive
sam
plin
gM
arib
aya,
Bog
orSi
rega
r, dk
k (2
013)
Pinu
s m
erku
siiY
= 0
.1DB
H2.29
Sda
Sda
Cian
ten,
Bog
or
Shor
ea le
pros
ula
Y =
0.1
5DBH
2.3
Sda
Sda
Ngas
uh, B
ogor
P.fa
lcata
riaY
= 0
.147
9DBH
2.29
89Sd
aSd
aSu
kabu
mi
P.fa
lcata
riaY
= 0
.283
1DBH
2.06
3Sd
aSd
aKe
diri
Avice
nnia
mar
ina
Y =
0.2
901D
BH2.
2607
Sda
Sda
Cias
em
Aleu
rites
mol
ucca
naY
= 0
.064
DBH
2.47
53Sd
aSd
aKu
taca
ne, A
ceh
Teng
ah
Agat
his
lora
nthi
folia
Y =
0.4
725
DBH2.
0112
Sda
Sda
Batu
rade
n
Rhizo
phor
a m
ucro
nata
Y =
0.1
366D
BH2.
4377
Sda
Sda
Cias
em,
Purw
akar
ta
102 • Persamaan Allometrik menurut Bioregion
Jeni
s Po
hon/
Ekos
iste
mPe
rsam
aan
dan
Kete
rang
anny
a
Info
rmas
i St
atis
tika
(R2 ,
SE, S
A,
SR, d
ll)
Info
rmas
i Si
ngka
t M
etod
olog
i
Desk
ripsi
Bi
ofis
ikSu
mbe
r
Huta
n Ta
nam
an d
i ta
nah
kerin
gY
= 0
.172
8 DB
H2.22
354
sda
Sda
Bogo
r, M
arib
aya,
Ci
ante
n, N
gasu
h,
Suka
bum
i, Ke
diri,
Ku
taca
ne, d
an
Batu
rade
n
Huta
n Ta
nam
an d
i ta
nah
man
grov
eY=
Cias
em,
Purw
akar
ta d
an
Cias
em, S
uban
g
1.3
Bior
egio
n Ka
liman
tan
Jeni
s po
hon/
Ekos
iste
mPe
rsam
aan
dan
Kete
rang
anny
aIn
form
asi S
tatis
tika
(R2 ,
SE, S
A, S
R, d
ll)In
form
asi S
ingk
at
Met
odol
ogi
Desk
ripsi
Bio
fisik
Publ
ikas
i *)
Alau
(Dac
ridiu
m
pect
inat
um D
e La
ub)
TAGB
= 0
,132
(DBH
)2,51
3
TAGB
= to
tal b
iom
asa
atas
(kg)
Dbh
= d
iamet
er (c
m)
TBGB
= 0
,027
(DBH
²TBH
)0,75
2
TBGB
= to
tal b
iom
asa
bawa
h (k
g)Db
h =
diam
eter
(cm
)Tb
h =
ting
gi to
tal (
m)
R2 = 0
,80,
sig
nifik
ansi
0,00
0
R2 = 0
,46,
N =
20
poho
n
N =
6 p
ohon
Non-
Dipt
eroc
arpa
ceae
yan
g be
rloka
si di
Hut
an A
lam
gam
but K
abup
aten
Bar
ito
Selat
an
Akba
r dan
Priy
anto
(2
011)
Bint
angu
r (Ca
loph
yllum
so
ulat
ri)TA
GB =
0,1
75(D
BH)2,
523
TAGB
= to
tal b
iom
asa
atas
(kg)
Dbh
= d
iamet
er (c
m)
R2 = 0
,96,
sig
nifik
ansi
0,00
0N
= 2
0 po
hon
Non-
Dipt
eroc
arpa
ceae
yan
g be
rloka
si di
Hut
an A
lam
gam
but K
abup
aten
Bar
ito
Selat
an
Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) • 103
Jeni
s po
hon/
Ekos
iste
mPe
rsam
aan
dan
Kete
rang
anny
aIn
form
asi S
tatis
tika
(R2 ,
SE, S
A, S
R, d
ll)In
form
asi S
ingk
at
Met
odol
ogi
Desk
ripsi
Bio
fisik
Publ
ikas
i *)
TBGB
= 0
,001
(DBH
²TBH
)1,21
6
TBGB
= to
tal b
iom
asa
bawa
h (k
g)Db
h =
diam
eter
(cm
)Tb
h =
ting
gi to
tal (
m)
R2 = 0
,63,
N =
20
poho
n
Nyat
oh (P
alaqu
ium
co
chle
ria)
TAGB
= 0
,118
(DBH
)2,58
6
TAGB
= to
tal b
iom
asa
atas
(kg)
Dbh
= d
iamet
er (c
m)
TBGB
= 0
,027
(DBH
²TBH
)0,87
5
TBGB
= to
tal b
iom
asa
bawa
h (k
g)Db
h =
diam
eter
(cm
)Tb
h =
ting
gi to
tal (
m)
R2 = 0
,93,
sig
nifik
ansi
0,00
0
R2 = 0
,93,
N =
20
poho
n
N =
5 p
ohon
Non-
Dipt
eroc
arpa
ceae
yan
g be
rloka
si di
Hut
an A
lam
gam
but K
abup
aten
Bar
ito
Selat
an
Shor
ea fa
rvifo
lia D
yer
TAGB
= 0
,09
(DBH
)2,58
TAGB
= to
tal b
iom
asa
atas
(kg)
Dbh
= d
iamet
er (c
m)
R2 = 0
,99,
sig
nifik
ansi
0,00
0Di
pter
ocar
pace
ae y
ang
berlo
kasi
di H
utan
Alam
ga
mbu
t Kab
upat
en B
arito
Se
latan
Dipt
eroc
arpu
s ke
rrii K
ing
TAGB
= 0
,217
(DBH
)2,38
TAGB
= to
tal b
iom
asa
atas
(kg)
Dbh
= d
iamet
er (c
m)
R2 = 0
,96,
sig
nifik
ansi
0,00
0Di
pter
ocar
pace
ae y
ang
berlo
kasi
di H
utan
Alam
ga
mbu
t Kab
upat
en B
arito
Se
latan
Coty
lelo
bium
bur
ckii H
ein
TAGB
= 0
,30
(DBH
)2,29
R2 = 0
,97,
sig
nifik
ansi
0,00
0Di
pter
ocar
pace
ae y
ang
berlo
kasi
di H
utan
Alam
ga
mbu
t Kab
upat
en B
arito
Se
latan
104 • Persamaan Allometrik menurut Bioregion
Jeni
s po
hon/
Ekos
iste
mPe
rsam
aan
dan
Kete
rang
anny
aIn
form
asi S
tatis
tika
(R2 ,
SE, S
A, S
R, d
ll)In
form
asi S
ingk
at
Met
odol
ogi
Desk
ripsi
Bio
fisik
Publ
ikas
i *)
Dipt
eroc
arpa
ceae
W
= 0
,161
797D
bh2,
5993
6 To
tal b
iom
assa
poh
on b
agian
ata
s (k
g)
R2 =
0,9
9Pe
rsam
aan
diba
ngun
un
tuk
biom
assa
di a
tas
tana
h je
nis
Dipt
erok
arpa
be
rdas
arka
n pe
nguk
ur-
an-p
engu
kura
n co
ntoh
se
cara
des
trukt
if m
elalu
i pen
gum
pulan
ko
mpo
nen
biof
isik,
se
perti
diam
eter
set
ing-
gi d
ada
(D),
tingg
i poh
on
tota
l (H)
dan
ber
at je
nis
kayu
(WD)
.
PT. I
ntra
cawo
od
Man
ufac
turin
g, K
ab.
Bulu
ngan
, Kali
man
tan
Tim
ur.
W =
0,0
1872
1Dbh
1,50
3819
Tota
l bio
mas
sa p
ada
bagi
an c
aban
g po
hon
(kg)
R2 =
0,9
3Pe
rsam
aan
diba
ngun
un
tuk
biom
assa
di a
tas
tana
h je
nis
Dipt
erok
arpa
be
rdas
arka
n pe
nguk
ur-
an-p
engu
kura
n co
ntoh
se
cara
des
trukt
if m
elalu
i pen
gum
pulan
ko
mpo
nen
biof
isik,
se
perti
diam
eter
set
ingg
i da
da (D
), tin
ggi p
ohon
to
tal (
H) d
an b
erat
jeni
s ka
yu (W
D).
PT. I
ntra
cawo
od
Man
ufac
turin
g, K
ab.
Bulu
ngan
, Kali
man
tan
Tim
ur.
Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) • 105
Jeni
s po
hon/
Ekos
iste
mPe
rsam
aan
dan
Kete
rang
anny
aIn
form
asi S
tatis
tika
(R2 ,
SE, S
A, S
R, d
ll)In
form
asi S
ingk
at
Met
odol
ogi
Desk
ripsi
Bio
fisik
Publ
ikas
i *)
W =
0,0
6887
Dbh1,
8704
8
Tota
l bio
mas
sa p
ada
bagi
an k
ulit
poho
n (k
g)
R2 =
0,7
9Pe
rsam
aan
diba
ngun
un
tuk
biom
assa
di a
tas
tana
h je
nis
Dipt
erok
arpa
be
rdas
arka
n pe
nguk
uran
co
ntoh
sec
ara
dest
rukt
if m
elalu
i pen
gum
pulan
ko
mpo
nen
biof
isik,
se
perti
diam
eter
set
ingg
i da
da (D
), tin
ggi p
ohon
to
tal (
H) d
an b
erat
jeni
s ka
yu (W
D).
PT. I
ntra
cawo
od
Man
ufac
turin
g, K
ab.
Bulu
ngan
, Kali
man
tan
Tim
ur.
Huta
n Al
am Ta
nah
Min
eral
B =
0,1
85 D
2,03
5 R2 (a
dj) 9
8,60
%,
Biom
asa
poho
n ba
gian
at
asta
nah
min
eral
area
l PT.
Inhu
tani
I W
ilaya
h Ta
raka
n UM
H Ku
nyit,
Kab
. Nun
ukan
, Ka
liman
tan
Tim
ur d
an d
i ar
eal P
T. In
huta
ni I
Wila
yah
Tara
kan
UMH
Pim
ping
, Kab
. Bu
lung
an, K
alim
anta
n Ti
mur
Noor
’an
dkk
(201
2)
B =
0,4
1 D0,
349
R2 (adj
) 92,
20%
.bi
omas
sa p
ada
bagi
an
daha
n at
au c
aban
g po
hon
(kg/
caba
ng
poho
n)
tana
h m
iner
al ar
eal P
T. In
huta
ni I
Wila
yah
Tara
kan
UMH
Kuny
it, K
ab. N
unuk
an,
Kalim
anta
n Ti
mur
dan
di
area
l PT.
Inhu
tani
I W
ilaya
h Ta
raka
n UM
H Pi
mpi
ng, K
ab.
Bulu
ngan
, Kali
man
tan
Tim
ur
Noor
’an
dkk
(201
2)
B to
t = 0
,272
9 D3,
53 T
bc-0
,332
, D
= d
iamet
er s
eting
gi d
ada
(cm
) dan
Tb
c =
ting
gi b
ebas
cab
ang
(m)
R2 (adj
) = 9
6,10
%bi
omas
sa to
tal d
i ata
s pe
rmuk
aan
tana
hPT
Hut
an S
angg
am
Laba
nan
Lest
ari (
PT H
LL),
Kab.
Ber
au, K
alim
anta
n Ti
mur
Noor
’an
dkk
(201
2)
106 • Persamaan Allometrik menurut Bioregion
Jeni
s po
hon/
Ekos
iste
mPe
rsam
aan
dan
Kete
rang
anny
aIn
form
asi S
tatis
tika
(R2 ,
SE, S
A, S
R, d
ll)In
form
asi S
ingk
at
Met
odol
ogi
Desk
ripsi
Bio
fisik
Publ
ikas
i *)
Keru
ing
(Dyp
tero
carp
us
verru
cosu
s)B
= 0
,187
1D2,
3729
R =
0,9
95R2
= 0
,990
SE =
0,1
31N
= 9
Biom
asa
tota
l diat
as
perm
ukaa
n ta
nah.
Dest
rukt
if sa
mpl
ing,
di
amet
er p
ohon
mul
ai da
ri 10
cm
hin
gga
³ 60
cm
Huta
n ala
m ta
nah
min
eral
di a
real
PT G
raha
Sen
tosa
Pe
rmai.
Lok
asi k
ec.
Sana
man
Man
tikai,
Kab
. Ka
tinga
n, K
alim
anta
n Te
ngah
. Jen
is ta
nah
kam
biso
l, po
dsol
ik da
n as
osias
i kam
biso
l pod
solik
.cu
rah
hujan
253
,60
mm
/th,
jum
lah C
H 18
4 /th
n. S
uhu
udar
a 22
,62-
32,9
7o C.
Harja
na d
kk (2
013)
Keru
ing
(Dyp
tero
carp
us
tem
pehe
s)B
= 0
,573
3D2,
1408
R =
0,9
81R2
= 0
,962
SE =
0,2
66N
= 8
Biom
asa
tota
l diat
as
perm
ukaa
n ta
nah,
di
amet
er p
ohon
mul
ai da
ri 10
cm
hin
gga
³ 60
cm
Huta
n ala
m ta
nah
min
eral
di a
real
PT G
raha
Sen
tosa
Pe
rmai.
Lok
asi k
ec.
Sana
man
Man
tikai,
Kab
. Ka
tinga
n, K
alim
anta
n Te
ngah
. Jen
is ta
nah
kam
biso
l, po
dsol
ik da
n as
osias
i kam
biso
l pod
solik
.cu
rah
hujan
253
,60
mm
/th,
jum
lah C
H 18
4 /th
n. S
uhu
udar
a 22
,62-
32,9
7o C.
Harja
na, d
kk, 2
013
Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) • 107
Jeni
s po
hon/
Ekos
iste
mPe
rsam
aan
dan
Kete
rang
anny
aIn
form
asi S
tatis
tika
(R2 ,
SE, S
A, S
R, d
ll)In
form
asi S
ingk
at
Met
odol
ogi
Desk
ripsi
Bio
fisik
Publ
ikas
i *)
Keru
ing
(Dyp
tero
carp
us
conf
ertu
s)B
=1,
8842
D1,84
01R
= 0
,919
R2 =
0,8
44SE
= 0
,254
N =
5
Biom
asa
tota
l diat
as
perm
ukaa
n ta
nah,
de
stru
ctive
sam
plin
g di
amet
er p
ohon
mul
ai da
ri 10
cm
hin
gga
³ 60
cm
Huta
n ala
m ta
nah
min
eral
di a
real
PT G
raha
Sen
tosa
Pe
rmai.
Lok
asi K
ec.
Sana
man
Man
tikai,
Kab
. Ka
tinga
n, K
alim
anta
n Te
ngah
. Jen
is ta
nah
kam
biso
l, po
dsol
ik da
n as
osias
i kam
biso
l pod
solik
.cu
rah
hujan
253
,60
mm
/th,
jum
lah C
H 18
4 /th
n. S
uhu
udar
a 22
,62-
32,9
7o C.
Harja
na d
kk (2
013)
Euca
lyptu
s pe
llita
(Hut
an Ta
nam
an)
Biom
assa
tota
l = 0
,090
D2,
651
R2 = 9
7%; S
E =
0,0
29De
stru
ctive
sam
plin
g,
umur
tana
man
1 s
/d 4
ta
hun,
asa
l biji
dan
klon
Kond
isi a
real
landa
i, tip
e ta
nah
pods
olik
mer
ah
kuni
ng, l
okas
i Kab
. Kuk
ar,
Kaltim
Akba
r (20
12)
Acac
ia m
angi
um (H
utan
Ta
nam
an)
Biom
assa
tota
l = 0
,071
D2,
715
R2 = 9
9%; S
E =
0,0
06De
stru
ctive
sam
plin
g,
umur
tana
man
1 s
/d 5
ta
hun
Kond
isi a
real
landa
i, tip
e ta
nah
pods
olik
mer
ah
kuni
ng, l
okas
i Kab
. Kuk
ar,
Kaltim
Mau
lana
(201
0)
Shor
ea le
pros
ula
Miq
. (T
anam
an P
MUM
HM d
i Hu
tan
Alam
Pro
duks
i)
Biom
assa
tota
l = 0
,067
D2,
859
R2 = 9
9%; S
E =
0,1
09De
stru
ctive
sam
plin
g,
umur
tana
man
1 s
/d 6
ta
hun
Kond
isi a
real
berg
elom
bang
, tip
e ta
nah
pods
olik
mer
ah
kuni
ng, l
okas
i Kab
. PPU
, Ka
ltim
Noor
’an
(201
1)
Dipt
erok
arpa
cam
pura
nBi
omas
sa d
i ata
s pe
rmuk
aan
tana
h Bt
ot =
0,1
6179
7 D2,
5993
6
R2 = 9
9%De
stru
ctive
sam
plin
g,
diam
eter
poh
on m
ulai
dari
7 cm
hin
gga
³ 120
cm
Kond
isi a
real
berg
elom
bang
, tip
e ta
nah
pods
olik
mer
ah k
unin
g, lo
kasi
Kab.
Bu
lung
an, K
altar
a
Noor
’an
(201
1)
108 • Persamaan Allometrik menurut Bioregion
Jeni
s po
hon/
Ekos
iste
mPe
rsam
aan
dan
Kete
rang
anny
aIn
form
asi S
tatis
tika
(R2 ,
SE, S
A, S
R, d
ll)In
form
asi S
ingk
at
Met
odol
ogi
Desk
ripsi
Bio
fisik
Publ
ikas
i *)
Dipt
erok
arpa
cam
pura
nBi
omas
sa d
i ata
s pe
rmuk
aan
tana
hBt
ot =
0,2
291
D2,31
Btot
= 0
,293
1 D2,
55 T
tot-0
,341
Btot
= 0
,272
9 D2,
53 T
bc-0
,332
R2 = 9
5%R2 =
96%
R2 = 9
6%
Dest
ruct
ive s
ampl
ing,
di
amet
er p
ohon
mul
ai da
ri 20
cm
hin
gga
³ 80
cm
Kond
isi a
real
berg
elom
bang
, tip
e ta
nah
pods
olik
mer
ah
kuni
ng, l
okas
i Kab
. Ber
au,
Kaltim
Noor
’an
(201
1)
Shor
ea le
pros
ula
Miq
. (T
anam
an P
MUM
HM d
i Hu
tan
Alam
Pro
duks
i)
Biom
assa
tota
l = 0
,067
D2,
859
R2 = 9
9%; S
E =
0,1
09De
stru
ctive
sam
plin
g,
umur
tana
man
1 s
/d 6
ta
hun
Kond
isi a
real
berg
elom
bang
, tip
e ta
nah
pods
olik
mer
ah
kuni
ng, l
okas
i Kab
. PPU
, Ka
ltim
Noor
’an
(201
1)
Euca
lyptu
s pe
llita
(Hut
an Ta
nam
an)
Biom
assa
tota
l = 0
,090
D2,
651
R2 = 9
7%; S
E =
0,0
29De
stru
ctive
sam
plin
g,
umur
tana
man
1 s
/d 4
ta
hun,
asa
l biji
dan
klon
Kond
isi a
real
landa
i, tip
e ta
nah
pods
olik
mer
ah
kuni
ng, l
okas
i Kab
. Kuk
ar,
Kaltim
Noor
’an
(201
1)
Acac
ia m
angi
um (H
utan
Ta
nam
an)
Biom
assa
tota
l = 0
,071
D2,
715
R2 = 9
9%; S
E =
0,0
06De
stru
ctive
sam
plin
g,
umur
tana
man
1 s
/d 5
ta
hun
Kond
isi a
real
landa
i, tip
e ta
nah
pods
olik
mer
ah
kuni
ng, l
okas
i Kab
. Kuk
ar,
Kaltim
Akab
ar (2
012)
Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) • 109
1.4
Bior
egio
n Su
law
esi
Jeni
s po
hon/
Ekos
iste
mPe
rsam
aan
dan
Kete
rang
anny
aIn
form
asi S
tatis
tika
(R2 ,
SE, S
A, S
R, d
ll)In
form
asi S
ingk
at
Met
odol
ogi
Desk
ripsi
Bio
fisik
(Pro
v/Ka
b)Pu
blik
asi *
)
Huta
n lah
an k
erin
g se
kund
erY
= 9
501,
80 +
987
,38*
HHR2
adj
= 0
,875
RMSE
2,0
2Pe
ndug
aan
biom
asa
men
ggun
akan
citr
a sa
telit.
Mod
el di
buat
un
tuk
men
geta
hui
apak
ah c
itra
ALOS
PA
LSAR
dap
at
men
ggam
bark
an
kore
lasi a
ntar
a nil
ai- n
ilai h
ambu
ran
balik
(bac
ksca
tter)
deng
an n
ilai b
iom
asa
di la
pang
an. N
ilai
biom
asa
mer
upak
an
jumlah
tota
l dar
i ko
mpo
nen-
kom
pone
n bi
omas
a ya
ng d
iukur
ya
itu p
ohon
, tum
buha
n ba
wah,
ser
asah
dan
ne
krom
asa.
Tam
an N
asio
nal B
ogan
i Na
ni W
arta
bone
, Sul
awes
i Ut
ara.
Tip
e ikl
im A
, B d
an
C, d
enga
n cu
rah
hujan
ra
ta-r
ata
anta
ra 1
.700
-2.
200
mm
per
tahu
n da
n su
hu ra
ta-
rata
ant
ara
200 -
280 C
. Sed
angk
an
topo
graf
i kaw
asan
ini
sang
at b
erag
am m
ulai
dari
data
r hin
gga
berb
ukit
terja
l den
gan
ketin
ggian
an
tara
50-
1.97
0 m
dpl
. pe
nutu
pan
taju
k be
rkisa
r an
tara
60-
70%
pad
a hu
tan
data
ran
rend
ah d
an 8
0-90
% p
ada
huta
n da
tara
n tin
ggi
Wah
yuni
dkk
(201
2)
Huta
n ra
kyat
logW
= -
0.70
1+2.
4 lo
gDR2 0
,99
Tota
l sel
uruh
poh
on
term
asuk
aka
rSu
lawes
i Uta
raKr
isnaw
ati d
kk (2
012)
Huta
n ra
kyat
logW
= -
1,06
1+2,
49 lo
gDR2 0
,98
Sda
Sulaw
esi U
tara
Krisn
awat
i dkk
(201
2)
Huta
n ra
kyat
logW
= -
2,09
2+2,
51 lo
gDR2 0
,96
Sda
Sulaw
esi U
tara
Krisn
awat
i dkk
(201
2)
Huta
n ra
kyat
logW
= -
1,62
0+2,
39 lo
gDR2 0
,98
Sda
Sulaw
esi U
tara
Krisn
awat
i dkk
(201
2)
Huta
n ra
kyat
logW
= -
2,04
6+2,
47 lo
gDR2 0
,96
Sda
Sulaw
esi U
tara
Krisn
awat
i dkk
(201
2)
Huta
n ra
kyat
logW
= -
0,86
3+1,
63 lo
gDR2 0
,89
Sda
Sulaw
esi U
tara
Krisn
awat
i dkk
(201
2)
110 • Persamaan Allometrik menurut Bioregion
Jeni
s po
hon/
Ekos
iste
mPe
rsam
aan
dan
Kete
rang
anny
aIn
form
asi S
tatis
tika
(R2 ,
SE, S
A, S
R, d
ll)In
form
asi S
ingk
at
Met
odol
ogi
Desk
ripsi
Bio
fisik
(Pro
v/Ka
b)Pu
blik
asi *
)
Huta
n ra
kyat
logW
= -
4,0+
2,49
logD
R2 0,7
4Sd
aSu
lawes
i Uta
raKr
isnaw
ati d
kk (2
012)
Huta
n ra
kyat
logW
= -
1,52
0+2,
29 lo
gDR2 0
,95
Sda
Sulaw
esi U
tara
Krisn
awat
i dkk
(201
2)
Huta
n ra
kyat
logW
= -
1,19
0+2,
71 lo
gDR2 0
,99
Sda
Sulaw
esi U
tara
Krisn
awat
i dkk
(201
2)
Huta
n ra
kyat
logW
= -
1,58
+2,
79 lo
gDR2 0
,99
Sda
Sulaw
esi U
tara
Krisn
awat
i dkk
(201
2)
Huta
n ra
kyat
logW
= -
2,67
8+2,
88 lo
gDR2 0
,98
Sda
Sulaw
esi U
tara
Krisn
awat
i dkk
(201
2)
Huta
n ra
kyat
logW
= -
2,04
1+2,
49 lo
gDR2 0
,98
Sda
Sulaw
esi U
tara
Krisn
awat
i dkk
(201
2)
Huta
n ra
kyat
logW
= -
2,63
8+2,
89 lo
gDR2 0
,98
Sda
Sulaw
esi U
tara
Krisn
awat
i dkk
(201
2)
Huta
n ra
kyat
logW
= -
1,2+
1,83
logD
R2 0,9
4Sd
aSu
lawes
i Uta
raKr
isnaw
ati d
kk (2
012)
Huta
n ra
kyat
logW
= -
0,14
8+0,
624l
ogD
R2 0,7
7Sd
aSu
lawes
i Uta
raKr
isnaw
ati d
kk (2
012)
Huta
n ra
kyat
logW
= -
2,0+
2,67
logD
R2 0,9
7Sd
aSu
lawes
i Uta
raKr
isnaw
ati d
kk (2
012)
Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) • 111
Lam
piran
2.
Sim
pana
n K
arbo
n M
enur
ut B
iore
gion
2.1
Bior
egio
n Su
mat
era
Tipe
Hut
an/J
enis
St
ok K
arbo
n (to
n/ha
)In
form
asi S
ingk
at M
etod
olog
iDe
skrip
si B
iofis
ikPu
blik
asi *
)
Huta
n ra
wa g
ambu
t prim
er
126,
01No
n de
stru
ctive
sam
plin
g, h
anya
mel
iput
i ka
rbon
veg
etas
i poh
on, t
idak
term
asuk
se
resa
h, tu
mbu
han
bawa
h da
n ta
nah
gam
but
Pelal
awan
, Riau
Roch
may
anto
dkk
(2
010)
Huta
n ra
wa g
ambu
t se
kund
er
83,4
9No
n de
stru
ctive
sam
plin
g, h
anya
mel
iput
i ka
rbon
veg
etas
i poh
on, t
idak
term
asuk
se
resa
h, tu
mbu
han
bawa
h da
n ta
nah
gam
but
Pelal
awan
, Riau
Roch
may
anto
dkk
(2
010)
HTI A
cacia
cra
ssica
rpa
4,59
-39,
51No
n de
stru
ctive
sam
plin
gUm
ur 1
-5 ta
hun,
di P
elala
wan,
Riau
Roch
may
anto
dkk
(2
010)
HTI A
cacia
cra
ssica
rpa
29,9
2-48
,35
Non
dest
ruct
ive s
ampl
ing
Umur
2 d
an 3
tahu
n, P
T SB
A, S
umat
era
Selat
anRa
hmat
dkk
(200
7)
HTI A
cacia
cra
ssica
rpa
64,1
4No
n de
stru
ctive
sam
plin
gHT
I PT.
Seba
ngun
Bum
i And
alas
Woo
dbas
ed In
dust
ries.
Met
ode
konv
ersi
biom
assa
: rat
a-ra
ta
pote
nsi s
erap
an k
arbo
n m
enur
ut k
elas
um
ur (1
-8 th
) dar
i bag
ian a
kar,
bata
ng,
caba
ng d
an d
aun
Andr
iono
(200
9)
Area
l HT
8 th
n pa
sca
keba
kara
n 21
,42
Non
dest
ruct
ive s
ampl
ing
Sum
ater
a Se
latan
Prak
osa
dkk
(201
1)
112 • Simpanan Karbon Menurut Bioregion
Tipe
Hut
an/J
enis
St
ok K
arbo
n (to
n/ha
)In
form
asi S
ingk
at M
etod
olog
iDe
skrip
si B
iofis
ikPu
blik
asi *
)
Aral
HA 1
thn
pasc
a ke
baka
ran
1,29
6No
n de
stru
ctive
sam
plin
gSu
mat
era
Selat
an ,
dian
tara
nya
mer
upak
an k
ompo
nen
poho
n m
ati
sebe
sar 0
,452
ton/
ha
Prak
osa
dkk
(201
1)
Sisa
cad
anga
n ka
rbon
pad
a ar
eal b
ekas
keb
akar
an
ringa
n
65,1
4 m
3/ha
Non
dest
ruct
ive s
ampl
ing
Prak
osa
dkk
(201
1)
Sisa
cad
anga
n ka
rbon
pad
a ar
eal b
ekas
keb
akar
an
seda
ng
28,0
m3/
haNo
n de
stru
ctive
sam
plin
gPr
akos
a dk
k (2
011)
Sisa
cad
anga
n ka
rbon
pad
a ar
eal b
ekas
keb
akar
an
bera
t
24,7
ton/
ha.
Non
dest
ruct
ive s
ampl
ing
Prak
osa
dkk
(201
1)
Huta
n lah
an k
erin
g se
kund
er89
,60
ton/
haNo
n de
stru
ctive
sam
plin
g, m
enur
ut
pers
amaa
n all
omet
rik D
harm
awan
dan
Si
rega
r (20
09),
Huta
n Na
gari
Sim
ancu
ng, S
umat
era
Bara
tBP
K Ae
k Na
uli,
2012
huta
n ta
nam
an A
cacia
cr
assic
arpa
Um
ur 2
dan
3 ta
hun
29,9
2 to
n/ha
dan
48
,35
ton/
haDe
stru
ctive
sam
plin
gPT
SBA
Woo
d In
dust
ry, S
umat
era
Selat
an.
Rahm
at d
kk (2
007)
Sera
pan
bers
ih H
T Ac
acia
cras
sicar
pa57
,87
ton/
haNo
n de
stru
ctive
sam
plin
gHT
laha
n ga
mbu
t di P
T SB
A W
ood
Indr
ustie
s. Te
rleta
k di
Kab
upat
en O
gan
Kom
erin
g Ilir
, Sum
ater
a Se
latan
. Tid
ak
term
asuk
em
isi d
ari t
anah
, ket
ingg
ian
tem
pat 0
-8 m
dpl.
Rahm
at (2
010)
Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) • 113
Tipe
Hut
an/J
enis
St
ok K
arbo
n (to
n/ha
)In
form
asi S
ingk
at M
etod
olog
iDe
skrip
si B
iofis
ikPu
blik
asi *
)
HT A
cacia
cra
ssica
rpa
133,
10 (5
thn)
76,0
9 (4
thn)
36,2
3 (3
thn)
12,0
9 (2
thn)
Met
ode
dest
rukt
if. Ju
mlah
poh
on s
ampe
l ya
ng d
iambi
l seb
anya
k 40
poh
on y
ang
mer
upak
an p
ohon
-poh
on y
ang
mew
akili
popu
lasi s
etiap
kel
as d
iamet
er d
ari 4
ke
las d
iamet
er p
ohon
dala
m te
gaka
n.
Mas
ing-
mas
ing
kelas
diam
eter
ters
ebut
di
ambi
l dar
i are
al te
gaka
n be
rdas
arka
n ke
las u
mur
terte
ntu
(2,3
,4,5
tahu
n)
sehi
ngga
dian
ggap
mew
akili
tega
kan
poho
n de
ngan
um
ur b
ertu
rut-t
urut
2,
3,4,
5 ta
hun
ters
ebut
. Pem
ilihan
po
hon
sam
pel d
ilaku
kan
deng
an m
etod
e pu
rpos
ive s
ampl
ing
HTI la
han
gam
but,
jeni
s Ac
acia
cras
sicar
pa d
i Pel
alawa
n, R
iau. j
enis
tana
h or
gano
sol h
emik,
fibr
ik se
luas
52
.845
ha
dan
sapr
ik, h
emik
selu
as
22.7
95 h
a. A
real
ini t
erle
tak
pada
DAS
(D
aera
h Al
iran
Sung
ai) S
elam
paya
n Ka
nan,
Sub
DAS
Sel
ampa
yan
Kiri
deng
an k
etin
ggian
20-
160
m d
pl.
Men
urut
klas
ifikas
i Sch
mid
t dan
Fe
rgus
son
iklim
di d
aera
h in
i ter
mas
uk
Tipe
A d
enga
n ra
ta-r
ata
cura
h hu
jan
2.32
3 m
m/ta
hun
dan
bany
akny
a ha
ri hu
jan 1
50 h
ari/t
ahun
.
Yuni
awat
i dkk
(201
1)
Huta
n ta
nam
an S
wiet
enia
mac
roph
ylla
64,1
-166
,6M
etod
e de
stru
ctive
sam
plin
g pa
da h
utan
ta
nam
an S
. mac
roph
ylla
umur
16-
20
tahu
n
Huta
n Ta
nam
an B
enak
at, S
umat
era
Selat
anGi
ntin
gs (1
997)
Huta
n ta
nam
an A
cacia
m
angi
um91
,2M
etod
e de
stru
ctive
sam
plin
g pa
da h
utan
ta
nam
an A
. man
gium
um
ur 6
tahu
n Hu
tan
Tana
man
Ben
akat
, Sum
ater
a Se
latan
Gint
ings
(199
7)
Huta
n ta
nam
an P
eron
ema
cane
scen
s35
,7-7
1,8
Met
ode
dest
ruct
ive s
ampl
ing
pada
hut
an
tana
man
P. c
anes
cens
um
ur 1
0-25
ta
hun
Huta
n Ta
nam
an B
enak
at, S
umat
era
Selat
an d
an S
tasiu
n Pe
neliti
an H
utan
Ta
njun
gan,
Lam
pung
Gint
ings
(199
7)
Huta
n ta
nam
an S
chim
a wa
llichi
i74
,4M
etod
e de
stru
ctive
sam
plin
g pa
da h
utan
ta
nam
an S
. wall
ichii u
mur
25
tahu
n St
asiu
n Pe
neliti
an H
utan
Tanj
unga
n,
Lam
pung
Gint
ings
(199
7)
114 • Simpanan Karbon Menurut Bioregion
Tipe
Hut
an/J
enis
St
ok K
arbo
n (to
n/ha
)In
form
asi S
ingk
at M
etod
olog
iDe
skrip
si B
iofis
ikPu
blik
asi *
)
Huta
n ta
nam
an A
leur
ites
mol
ucca
na69
,1-1
77,2
Met
ode
dest
ruct
ive s
ampl
ing
pada
hu
tan
tana
man
A. m
oluc
cana
um
ur
25 ta
hun
di S
tasiu
n Pe
neliti
an H
utan
Ta
njun
gan,
Lam
pung
; met
ode
dest
ruct
ive s
ampl
ing
pada
hut
an
tana
man
A. m
oluc
cana
um
ur 1
5 ta
hun
di K
ecam
atan
Kut
acan
e, K
abup
aten
Ace
h Te
ngga
ra d
enga
n pe
rsam
aan
allom
etrik
bi
omas
a di
ata
s pe
rmuk
aan
tana
h Y
=
0,04
86(D
BH)2
,501
6
Gint
ings
(199
7);
Sire
gar d
an
Dhar
maw
an (2
008)
Huta
n be
kas
teba
ngan
ke
rapa
tan
tingg
i13
8De
stru
ctive
sam
plin
g, m
elip
uti c
arbo
n po
ol d
iatas
per
muk
aan
tana
h, d
i baw
ah
perm
ukaa
n ta
nah,
kay
u m
ati,
poho
n m
ati
dan
sere
sah
Mer
ang
REDD
Pilo
t Pro
ject
(MRP
P),
Sum
ater
a Se
latan
Solic
hin
dkk
(201
2)
Huta
n be
kas
teba
ngan
ke
rapa
tan
seda
ng11
9De
stru
ctive
sam
plin
g, m
elip
uti c
arbo
n po
ol d
iatas
per
muk
aan
tana
h, d
i baw
ah
perm
ukaa
n ta
nah,
kay
u m
ati,
poho
n m
ati
dan
sere
sah
Mer
ang
REDD
Pilo
t Pro
ject
(MRP
P)So
lichi
n dk
k (2
012)
Huta
n se
kund
er d
idom
inas
i m
ahan
g56
Dest
ruct
ive s
ampl
ing,
mel
iput
i car
bon
pool
diat
as p
erm
ukaa
n ta
nah,
di b
awah
pe
rmuk
aan
tana
h, k
ayu
mat
i, po
hon
mat
i da
n se
resa
h
Mer
ang
REDD
Pilo
t Pro
ject
(MRP
P)So
lichi
n dk
k (2
012)
Sem
ak17
Dest
ruct
ive s
ampl
ing,
mel
iput
i car
bon
pool
diat
as p
erm
ukaa
n ta
nah,
di b
awah
pe
rmuk
aan
tana
h, k
ayu
mat
i, po
hon
mat
i da
n se
resa
h
Mer
ang
REDD
Pilo
t Pro
ject
(MRP
P)So
lichi
n dk
k (2
012)
Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) • 115
Tipe
Hut
an/J
enis
St
ok K
arbo
n (to
n/ha
)In
form
asi S
ingk
at M
etod
olog
iDe
skrip
si B
iofis
ikPu
blik
asi *
)
Huta
n ya
ng b
aru
pene
bang
an26
Dest
ruct
ive s
ampl
ing,
mel
iput
i car
bon
pool
diat
as p
erm
ukaa
n ta
nah,
di b
awah
pe
rmuk
aan
tana
h, k
ayu
mat
i, po
hon
mat
i da
n se
resa
h
Mer
ang
REDD
Pilo
t Pro
ject
(MRP
P)So
lichi
n dk
k (2
012)
Laha
n be
kas
terb
akar
24De
stru
ctive
sam
plin
g, m
elip
uti c
arbo
n po
ol d
iatas
per
muk
aan
tana
h, d
i baw
ah
perm
ukaa
n ta
nah,
kay
u m
ati,
poho
n m
ati
dan
sere
sah
Mer
ang
REDD
Pilo
t Pro
ject
(MRP
P)So
lichi
n dk
k (2
012)
Pada
ng ru
mpu
t0
Dest
ruct
ive s
ampl
ing,
mel
iput
i car
bon
pool
diat
as p
erm
ukaa
n ta
nah,
di b
awah
pe
rmuk
aan
tana
h, k
ayu
mat
i, po
hon
mat
i da
n se
resa
h
Mer
ang
REDD
Pilo
t Pro
ject
(MRP
P)So
lichi
n dk
k (2
012)
Huta
n ala
m p
rimer
17
8,44
Met
ode
non
dest
ruct
ive s
ampl
ing,
tida
k te
rmas
uk k
arbo
n ta
nah
Tam
an N
asio
nal B
ukit
Baris
an S
elat
an,
Sum
ater
a Se
latan
Pras
etyo
dkk
(201
0)
Huta
n se
kund
er
81,6
5M
etod
e no
n de
stru
ctive
sam
plin
g, ti
dak
term
asuk
kar
bon
tana
hTa
man
Nas
iona
l Buk
it Ba
risan
Sel
atan
, Su
mat
era
Selat
anPr
aset
yo d
kk (2
010)
Agro
fore
stry
kop
i tua
63,6
9M
etod
e no
n de
stru
ctive
sam
plin
g, ti
dak
term
asuk
kar
bon
tana
hTa
man
Nas
iona
l Buk
it Ba
risan
Sel
atan
, Su
mat
era
Selat
anPr
aset
yo d
kk (2
010)
Agro
fore
stry
kop
i mud
a27
,92
Met
ode
non
dest
ruct
ive s
ampl
ing,
tida
k te
rmas
uk k
arbo
n ta
nah
Tam
an N
asio
nal B
ukit
Baris
an S
elat
an,
Sum
ater
a Se
latan
Pras
etyo
dkk
(201
0)
Agro
fore
stry
kak
ao m
uda
14,0
4M
etod
e no
n de
stru
ctive
sam
plin
g, ti
dak
term
asuk
kar
bon
tana
hTa
man
Nas
iona
l Buk
it Ba
risan
Sel
atan
, Su
mat
era
Selat
anPr
aset
yo d
kk (2
010)
Sem
ak b
eluk
ar10
,51
Met
ode
non
dest
ruct
ive s
ampl
ing,
tida
k te
rmas
uk k
arbo
n ta
nah
Tam
an N
asio
nal B
ukit
Baris
an S
elat
an,
Sum
ater
a Se
latan
Pras
etyo
dkk
(201
0)
Alan
g-ala
ng3,
57M
etod
e no
n de
stru
ctive
sam
plin
g, ti
dak
term
asuk
kar
bon
tana
hTa
man
Nas
iona
l Buk
it Ba
risan
Sel
atan
, Su
mat
era
Selat
anPr
aset
yo d
kk (2
010)
116 • Simpanan Karbon Menurut Bioregion
Tipe
Hut
an/J
enis
St
ok K
arbo
n (to
n/ha
)In
form
asi S
ingk
at M
etod
olog
iDe
skrip
si B
iofis
ikPu
blik
asi *
)
Pada
ng ru
mpu
t1,
47M
etod
e no
n de
stru
ctive
sam
plin
g, ti
dak
term
asuk
kar
bon
tana
hTa
man
Nas
iona
l Buk
it Ba
risan
Sel
atan
, Su
mat
era
Selat
anPr
aset
yo d
kk (2
010)
Man
grov
e 22
7,3
tonC
/ha
Kom
bina
si m
etod
e jal
ur b
erpe
tak
berd
asar
kan
plot
sam
pel m
enur
ut H
airiah
et
al.
(200
1) d
enga
n da
ta h
ipot
etis
untu
k je
nis
yang
sam
a di
loka
si lai
n. P
lot u
tam
a be
ruku
ran
5x40
m, d
igun
akan
unt
uk
men
ginv
enta
risas
i dan
men
guku
r poh
on
berd
iamat
er 5
-30
cm. A
pabi
la te
rdap
at
poho
n be
rdiam
ater
lebi
h da
ri 30
cm
, m
aka
plot
dip
erbe
sar m
enjad
i 20x
100
m.
Ekos
istem
pes
isir T
aman
Nas
iona
l Se
mbi
lang,
Kab
upat
en B
anyu
asin
, Pr
ovin
si Su
mat
era
Selat
an
Sade
lie d
kk (2
011)
Acac
ia m
angi
um62
,08
tonC
/ha
Kom
bina
si m
etod
e jal
ur b
erpe
tak
berd
asar
kan
plot
sam
pel m
enur
ut H
airiah
dk
k (2
001)
den
gan
data
hip
otet
is un
tuk
jenis
yang
sam
a di
loka
si lai
n. P
lot u
tam
a be
ruku
ran
5x40
m, d
igun
akan
unt
uk
men
ginv
enta
risas
i dan
men
guku
r poh
on
berd
iamat
er 5
-30
cm. A
pabi
la te
rdap
at
poho
n be
rdiam
ater
lebi
h da
ri 30
cm
, m
aka
plot
dip
erbe
sar m
enjad
i 20x
100
m.
Dita
nam
di p
erba
tasa
n ar
ea p
ada
ekos
istem
pes
isir T
aman
Nas
iona
l Se
mbi
lang,
Kab
upat
en B
anyu
asin
, Pr
ovin
si Su
mat
era
Selat
an
Sade
lie d
kk (2
011)
Euca
lyptu
s sp
.75
,89
tonC
/ha
Kom
bina
si m
etod
e jal
ur b
erpe
tak
berd
asar
kan
plot
sam
pel m
enur
ut H
airiah
dk
k (2
001)
den
gan
data
hip
otet
is un
tuk
jenis
yang
sam
a di
loka
si lai
n. P
lot u
tam
a be
ruku
ran
5x40
m, d
igun
akan
unt
uk
men
ginv
enta
risas
i dan
men
guku
r poh
on
berd
iamat
er 5
-30
cm. A
pabi
la te
rdap
at
poho
n be
rdiam
ater
lebi
h da
ri 30
cm
, m
aka
plot
dip
erbe
sar m
enjad
i 20x
100
m.
Dita
nam
di p
erba
tasa
n ar
ea p
ada
ekos
istem
pes
isir T
aman
Nas
iona
l Se
mbi
lang,
Kab
upat
en B
anyu
asin
, Pr
ovin
si Su
mat
era
Selat
an
Sade
lie d
kk (2
011)
Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) • 117
Tipe
Hut
an/J
enis
St
ok K
arbo
n (to
n/ha
)In
form
asi S
ingk
at M
etod
olog
iDe
skrip
si B
iofis
ikPu
blik
asi *
)
Huta
n be
kas
teba
ngan
ke
rapa
tan
seda
ng11
1,40
Data
diam
bil d
enga
n m
etod
e no
n de
stru
ctive
sam
plin
g sa
mpl
ing
pada
45
plot
con
toh
berb
entu
k bu
jur s
angk
ar
yang
dile
takk
an s
ecar
a st
ratif
ied.
Ekos
istem
gam
but t
erse
but b
erad
a di
di
Keca
mat
an B
ayun
g Le
ncir,
Kabu
pate
n M
usi B
anyu
asin
, Sum
ater
a Se
latan
.
Solic
hin
dkk
(201
2)
Huta
n be
kas
teba
ngan
ke
rapa
tan
tingg
i12
6,80
Data
diam
bil d
enga
n m
etod
e no
n de
stru
ctive
sam
plin
g pa
da 4
5 pl
ot
cont
oh b
erbe
ntuk
buj
ur s
angk
ar y
ang
dile
takk
an s
ecar
a st
ratif
ied.
Ekos
istem
gam
but t
erse
but b
erad
a di
di
Keca
mat
an B
ayun
g Le
ncir,
Kabu
pate
n M
usi B
anyu
asin
, Sum
ater
a Se
latan
.
Solic
hin
dkk
(201
2)
Belu
kar
55,1
9Da
ta d
iambi
l den
gan
met
ode
non
dest
ruct
ive s
ampl
ing
pada
45
plot
co
ntoh
ber
bent
uk b
ujur
san
gkar
yan
g di
leta
kkan
sec
ara
stra
tifie
d.
Ekos
istem
gam
but t
erse
but b
erad
a di
di
Keca
mat
an B
ayun
g Le
ncir,
Kabu
pate
n M
usi B
anyu
asin
, Sum
ater
a Se
latan
.
Solic
hin
dkk
(201
2)
Sem
ak11
,75
Data
diam
bil d
enga
n m
etod
e no
n de
stru
ctive
sam
plin
g pa
da 4
5 pl
ot
cont
oh b
erbe
ntuk
buj
ur s
angk
ar y
ang
dile
takk
an s
ecar
a st
ratif
ied.
Ekos
istem
gam
but t
erse
but b
erad
a di
di
Keca
mat
an B
ayun
g Le
ncir,
Kabu
pate
n M
usi B
anyu
asin
, Sum
ater
a Se
latan
.
Solic
hin
dkk
(201
2)
Teba
ngan
30,9
5Da
ta d
iambi
l den
gan
met
ode
non
dest
ruct
ive s
ampl
ing
pada
45
plot
co
ntoh
ber
bent
uk b
ujur
san
gkar
yan
g di
leta
kkan
sec
ara
stra
tifie
d.
Ekos
istem
gam
but t
erse
but b
erad
a di
di
Keca
mat
an B
ayun
g Le
ncir,
Kabu
pate
n M
usi B
anyu
asin
, Sum
ater
a Se
latan
.
Solic
hin
dkk
(201
2)
Terb
uka
17,3
4Da
ta d
iambi
l den
gan
met
ode
non
dest
ruct
ive s
ampl
ing
pada
45
plot
co
ntoh
ber
bent
uk b
ujur
san
gkar
yan
g di
leta
kkan
sec
ara
stra
tifie
d.
Ekos
istem
gam
but t
erse
but b
erad
a di
di
Keca
mat
an B
ayun
g Le
ncir,
Kabu
pate
n M
usi B
anyu
asin
, Sum
ater
a Se
latan
.
Solic
hin
dkk
(201
2)
Mah
ang
84,3
3Da
ta d
iambi
l den
gan
met
ode
non
dest
ruct
ive s
ampl
ing
pada
45
plot
co
ntoh
ber
bent
uk b
ujur
san
gkar
yan
g di
leta
kkan
sec
ara
stra
tifie
d.
Ekos
istem
gam
but t
erse
but b
erad
a di
di
Keca
mat
an B
ayun
g Le
ncir,
Kabu
pate
n M
usi B
anyu
asin
, Sum
ater
a Se
latan
.
Solic
hin
dkk
(201
2)
118 • Simpanan Karbon Menurut Bioregion
Tipe
Hut
an/J
enis
St
ok K
arbo
n (to
n/ha
)In
form
asi S
ingk
at M
etod
olog
iDe
skrip
si B
iofis
ikPu
blik
asi *
)
Rum
put
0,00
Data
diam
bil d
enga
n no
n de
stru
ctive
sa
mpl
ing
pada
45
plot
con
toh
berb
entu
k bu
jur s
angk
ar y
ang
dile
takk
an s
ecar
a st
ratif
ied.
Ekos
istem
gam
but t
erse
but b
erad
a di
di
Keca
mat
an B
ayun
g Le
ncir,
Kabu
pate
n M
usi B
anyu
asin
, Sum
ater
a Se
latan
.
Solic
hin
dkk
(201
2)
Huta
n lah
an k
erin
g pr
imer
31
0,03
ton/
haPe
ndug
aan
pote
nsi k
arbo
n pa
da m
asin
g-m
asin
g tip
e tu
tupa
n lah
an (v
eget
asi)
ters
ebut
dila
kuka
n te
rhad
ap 6
poo
l ya
itu s
eras
ah, t
umbu
han
bawa
h, s
emai,
pa
ncan
g da
n tia
ng, n
ecro
mas
a da
n po
hon.
pot
ensi
karb
on p
ohon
(Ø >
2
cm) d
igun
akan
met
ode
non
dest
rukt
if,
dan
untu
k tu
mbu
han
bawa
h da
n se
rasa
h di
guna
kan
met
ode
dest
ruct
ive s
ampl
ing.
Ju
mlah
sam
pel p
lot u
ntuk
mas
ing-
mas
ing
jeni
s tu
tupa
n lah
an a
dalah
20
plot
. uku
ran
plot
poh
on a
dalah
20
m x
20
m, p
lot p
anca
ng d
an ti
ang
10m
x
10 m
, dan
plo
t tum
buha
n ba
wah
dan
sera
sah
adala
h 1
m x
1 m
. bio
mas
sa
mer
upak
an fu
ngsi
dari
diam
eter
, yait
u: B
=
0,1
18 (d
bh)2
,53.
Sed
angk
an u
ntuk
tu
mbu
han
bawa
h da
n se
rasa
h di
lakuk
an
anali
sis L
abor
ator
ium
(Lab
orat
oriu
m
Faku
ltas
Perta
nian
Uni
vers
itas
Syiah
Ku
ala).
Huta
n Ga
yo L
ues,
Kabu
pate
n Ga
yo L
ues,
NAD
Fauz
i dkk
(200
9)
Huta
n lah
an k
erin
g se
kund
er
216,
85 to
n/ha
Huta
n pi
nus
161,
38 to
n/ha
Huta
n ra
kyat
140,
56 to
n/ha
Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) • 119
Tipe
Hut
an/J
enis
St
ok K
arbo
n (to
n/ha
)In
form
asi S
ingk
at M
etod
olog
iDe
skrip
si B
iofis
ikPu
blik
asi *
)
Sem
ak b
eluk
ar
20,0
0 to
n/ha
Huta
n pr
imer
Ba
tang
Toru
305,
73 to
n/ha
In to
tal 2
0 pl
ots
were
est
ablis
hed
and
mea
sure
d wi
th s
ize 2
0x20
met
er
squa
re e
stab
lishe
d. P
lot l
ocat
ions
wer
e ch
osen
thro
ugh
purp
osive
sam
plin
g an
d sy
stem
atic
sam
plin
g. T
hese
stu
dies
will
appl
y in
tegr
ated
fiel
d st
udie
s an
d re
mot
e se
nsin
g ap
proa
ches
to c
alcul
ate
fore
st
carb
on s
tock
.
Prim
ary
fore
st in
Aek
Sile
mes
Are
a an
d Ae
k Ga
me-
gam
e ar
eas.
Adm
inist
rativ
ely,
• Ae
k Si
lem
es lo
cate
d in
Sim
ardi
ngian
g Vi
llage
Pah
ae J
ulu
Sub-
dist
rict,
North
Ta
panu
li Dist
rict
• Ae
k Ga
me-
gam
e lo
cate
d in
Tapi
an
Naul
i Villa
ge, T
ukka
Sub
dist
rict,
Cent
ral
Tapa
nuli D
istric
t. Pr
imar
y ra
in fo
rest
dom
inat
es th
eve
geta
tion
cove
r, wh
ich g
rows
on
stee
p hi
llsid
es w
ith m
ore
than
a 6
0-de
gree
slo
pe a
nd m
ount
ainou
s ar
ea w
ith
high
est p
eat a
t Mt.
Lubu
k Ra
ya (1
.856
m
eter
abo
ve s
ea le
vel).
The
regi
on is
m
ount
ainou
s an
d th
e re
sults
of h
istor
ic vo
lcani
c ac
tivity
call
ed To
ba S
uper
Vo
lcano
and
the
form
atio
n of
geo
logy
is
Volca
nic
Toba
Tuff
as th
e do
min
ant
geol
ogy
rock
type
. Soi
l typ
e is
dom
inat
ed
by P
odso
lic R
ed-Y
ello
w an
d Al
uvial
Perb
atak
usum
a dk
k (2
008)
120 • Simpanan Karbon Menurut Bioregion
Tipe
Hut
an/J
enis
St
ok K
arbo
n (to
n/ha
)In
form
asi S
ingk
at M
etod
olog
iDe
skrip
si B
iofis
ikPu
blik
asi *
)
Huta
n se
kund
er
Bata
ng To
ru74
,18
ton/
haIn
tota
l 6 p
lots
wer
e es
tabl
ished
and
m
easu
red
with
size
50x
50 m
eter
sq
uare
est
ablis
hed.
Plo
t loc
atio
ns w
ere
chos
en th
roug
h pu
rpos
ive s
ampl
ing
and
syst
emat
ic sa
mpl
ing.
The
se s
tudi
es w
ill ap
ply
inte
grat
ed fi
eld
stud
ies
and
rem
ote
sens
ing
appr
oach
es to
calc
ulat
e fo
rest
ca
rbon
sto
ck.
Seco
ndar
y fo
rest
s in
logg
ed a
reas
:•
Telu
k Na
uli t
imbe
r con
cess
ion.
Ad
min
istra
tivel
y, lo
cate
d in
Ang
goli
Villa
ge S
ibab
angu
n Su
b-di
stric
t, Ce
ntra
l Tap
anul
i Dist
rict
• Si
buali
-bua
li Nat
ure
Rese
rve.
Ad
min
istra
tivel
y, lo
cate
d in
Aek
Na
bara
Villa
ge, M
aran
car S
ub-d
istric
t, So
uth
Tapa
nuli D
istric
t. In
this
loca
tion,
Perb
atak
usum
a dk
k (2
008)
Prim
ary
rain
fore
st d
omin
ates
the
vege
tatio
n co
ver,
which
gro
ws o
n st
eep
hills
ides
with
mor
e th
an a
60-
degr
ee
slope
and
mou
ntain
ous
area
with
hi
ghes
t pea
t at M
t. Lu
buk
Raya
(1.8
56
met
er a
bove
sea
leve
l). T
he re
gion
is
mou
ntain
ous
and
the
resu
lts o
f hist
oric
volca
nic
activ
ity c
alled
Toba
Sup
er
Volca
no a
nd th
e fo
rmat
ion
of g
eolo
gy
is Vo
lcani
c To
ba Tu
ff as
the
dom
inan
t ge
olog
y ro
ck ty
pe. S
oil t
ype
is do
min
ated
by
Pod
solic
Red
-Yel
low
and
Aluv
ial
Huta
n Ta
nam
an A
cacia
cr
assic
arpa
64
,14
ton/
haM
etod
e ko
nver
si bi
omas
sa: r
ata-
rata
po
tens
i ser
apan
kar
bon
men
urut
kel
as
umur
(1-8
th) d
ari b
agian
aka
r, ba
tang
, ca
bang
dan
dau
n:
(HTI
PT.
Seba
ngun
Bum
i And
alas
Woo
dbas
ed In
dust
ries)
Adirio
no (2
009)
Huta
n ta
nam
an A
cacia
cr
assic
arpa
45,6
4 to
n/ha
Met
ode
karb
onas
i rat
a-ra
ta p
oten
si se
rapa
n ka
rbon
men
urut
kel
as u
mur
1-8
ta
hun
dari
bagi
an a
kar,
bata
ng, c
aban
g da
n da
un
Huta
n lah
an g
ambu
t PT
SBA
Woo
d In
dust
ries
Adrio
no (2
009)
Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) • 121
Tipe
Hut
an/J
enis
St
ok K
arbo
n (to
n/ha
)In
form
asi S
ingk
at M
etod
olog
iDe
skrip
si B
iofis
ikPu
blik
asi *
)
Huta
n Da
mar
(Sho
rea
javan
ica) A
grof
ores
tri
Pote
nsi k
arbo
n tu
mbu
han
bawa
h da
n se
rasa
h (k
g/ha
): La
ntai
huta
n re
pong
da
mar
yan
g tid
ak d
iber
sihka
n (1
.780
,11)
Lant
ai hu
tan
deng
an p
ola
pem
bers
ihan
tu
mbu
han
bawa
h (1
.139
,81)
Fase
keb
un te
gaka
n um
ur 1
5 th
(8
87,6
6)Te
gaka
n um
ur 7
th (9
65,8
4)Fa
se d
arak
(965
,84)
Tum
buha
n ba
wah
tidak
ber
kayu
(30,
54)
Sera
sah
(14,
37)
Pote
nsi K
arbo
n pa
da F
ase
Repo
ng
Dam
ar (k
g/ha
): ta
npa
pem
bers
ihan
tu
mbu
han
bawa
h (2
36.2
73,9
8): (
poho
n:
228.
924,
60; t
iang:
6.4
28,1
5; p
anca
ng:
921,
22)
Yang
dib
ersih
kan
tum
buha
n ba
wahn
ya
(344
.734
,24)
: (po
hon:
338
.237
,36;
tia
ng: 5
.449
,13;
pan
cang
: 1.0
47,7
5)Po
tens
i kar
bon
pada
fase
keb
un (k
g/ha
): Um
ur te
gaka
n 15
th (7
2.62
0,67
): (p
ohon
: 56.
072,
798,
tian
g: 1
4.93
2,42
; pa
ncan
g: 1
.615
,45)
Umur
7 th
(32.
667,
35):
(tian
g:
22.9
26,3
7; p
anca
ng: 9
.740
,98)
Pote
nsi k
arbo
n pa
da d
arak
(kg/
ha):
tega
kan
tingk
at p
anca
ng: 1
.986
,00
Biom
assa
tota
l bag
ian p
ohon
diat
as
tana
h pa
da fa
se k
limak
dar
i pen
gelo
laan
huta
n da
mar
agr
ofor
est y
aitu
fase
re
pong
dam
ar y
ang
dipe
role
h de
ngan
m
engg
unak
an p
ersa
maa
n all
omet
rik W
=
aDb
Loka
si di
Kab
upat
en L
ampu
ng B
arat
Rizo
n (2
005)
122 • Simpanan Karbon Menurut Bioregion
Tipe
Hut
an/J
enis
St
ok K
arbo
n (to
n/ha
)In
form
asi S
ingk
at M
etod
olog
iDe
skrip
si B
iofis
ikPu
blik
asi *
)
Kelap
a sa
wit
Sesu
ai um
ur
1 th
= 0
,70
ton/
ha2
th =
1,0
0 to
n/ha
9 th
= 1
1,88
ton/
ha11
th =
13,
07to
n/ha
13 th
= 1
2,49
ton/
ha17
th =
16,
43to
n/ha
18 th
= 1
4,88
ton/
ha
Agro
ekos
istem
kel
apa
sawi
t di la
han
gam
but
PTPN
IV A
jamu,
Kab
.Lab
uan
Batu
, Su
mat
era
Utar
aYu
liant
i (20
09)
Kebu
n ca
mpu
r: Ke
miri,
du
rian,
cen
gkeh
, kay
u m
anis,
alp
ukat
99,0
0 to
n/ha
Sore
l (20
07)
Kebu
n ka
ret d
an c
oklat
113,
85 to
n/ha
Sore
l (20
07)
Karb
on ta
nah
min
eral
Sesu
ai ke
dalam
an:
0-5
cm =
12,
36 to
n 5-
10cm
= 1
7,96
ton
10-2
0cm
= 3
3,48
ton
20-3
0cm
= 3
8,51
ton
Loka
si di
hut
an ta
nam
an S
hore
a jav
anica
, De
sa P
ahm
unga
n, K
ec. K
rui,
Lam
pung
Ba
rat
Rizo
n (2
005)
Karb
on ta
nah
gam
but
Sesu
ai ke
dalam
an:
146c
m =
2.0
50 to
n/ha
28 c
m =
341
ton/
ha34
cm
= 2
66 to
n/ha
Kem
atan
gan
gam
but s
aprik
, hem
ik da
n fe
brik
Lubu
k Ga
ung,
Kec
. Sun
gai S
embi
lan,
Dum
ai (k
elap
a sa
wit r
akya
t)Sa
fitri
(201
0)
Karb
on ta
nah
gam
but
Keda
laman
362
cm =
6.3
94,5
2ton
/ha
Tana
h ra
wa g
ambu
t di P
arits
icin,
Ka
bupa
ten
Roka
n Hi
lir, R
iauYu
ono
(200
9)
Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) • 123
Tipe
Hut
an/J
enis
St
ok K
arbo
n (to
n/ha
)In
form
asi S
ingk
at M
etod
olog
iDe
skrip
si B
iofis
ikPu
blik
asi *
)
Karb
on ta
nah
gam
but
Sesu
ai ke
dalam
an:
343,
65cm
= 2
.800
352,
51cm
= 2
.602
127,
42cm
= 7
9940
4,95
cm =
3.1
3450
2,92
cm =
4.0
0548
3,98
cm =
3.5
7747
9,05
cm =
4.5
16
Laha
n ga
mbu
t yan
g di
tana
mi s
awit
Labu
an B
atu,
Sum
ater
a Ut
ara
Yulia
nti (
2009
)
Man
grov
e se
kund
er41
,79
Met
ode
trans
ek ra
ndom
dar
i pin
ggir
laut
men
uju
dara
t. Uk
uran
plo
t 10x
100
m
deng
an s
ub p
lot 1
0x10
m, 5
x5m
dan
2x
2m. J
umlah
plo
t seb
anya
k 14
plo
t.
SM K
aran
g Ga
ding
, Lan
gkat
Tim
ur L
aut I
, Ka
bupa
ten
Deli S
erda
ng, S
umut
.Ya
sri (
2010
)
Man
grov
e se
kund
er24
,56-
49,1
3Uk
uran
plo
t 50x
50 m
, seb
anya
k 2
plot
, non
des
truct
ive s
ampl
ing,
di a
tas
perm
ukaa
n ta
nah.
Allo
met
rik y
ang
digu
naka
n ad
alah
Brow
n (1
997)
Sung
ai Su
bele
n, S
iber
ut, j
enis
dom
inan
10
jeni
s: R
yzop
hora
sp,
dan
Bru
guer
a sp
, Xy
loca
rpus
sp,
Bar
ingt
onia
sp, C
erio
ps
sp, A
egyc
eras
sp,
Lum
initz
era
sp d
an
Avice
nia
sp.
Bism
ark
dkk
(200
8)
2.2
Bior
egio
n Ja
wa
Tipe
Hut
an/J
enis
Stok
Kar
bon
(tn
/ha)
Info
rmas
i Sin
gkat
Met
odol
ogi
Desk
ripsi
Bio
fisik
/Lok
asi
Publ
ikas
i *)
Huta
n ala
m p
rimer
pad
a ta
nah
min
eral
di T
NGHS
323,
171
tC/h
aTo
tal k
arbo
n pa
da 5
poo
l, pe
rsam
aan
allom
etrik
ya
ng d
igun
akan
unt
uk k
arbo
n di
ata
s pe
rmuk
aan
adala
h Ch
ave,
et.a
l (20
05)
Arifa
nti d
kk (2
012)
Huta
n ala
m p
rimer
ker
apat
an
tingg
i di T
aman
Nas
iona
l Bro
mo
teng
ger
78,8
4 tC
/ha
Tota
l kar
bon
pada
4 p
ool (
min
us k
arbo
n ta
nah)
Tipe
sub
alp
in (>
2.40
0m d
pl);
Huta
n ala
m
cem
ara
kera
pata
n tin
ggi d
i Cem
oro
Kand
ang
dan
jarak
ijo
Noor
’an
dkk
(201
3)
124 • Simpanan Karbon Menurut Bioregion
Tipe
Hut
an/J
enis
Stok
Kar
bon
(tn
/ha)
Info
rmas
i Sin
gkat
Met
odol
ogi
Desk
ripsi
Bio
fisik
/Lok
asi
Publ
ikas
i *)
Huta
n ala
m p
rimer
ker
apat
an
rend
ah d
i Tam
an n
asio
nal B
rom
o Te
ngge
r
80,8
44 tC
/ha
Tota
l kar
bon
pada
4 p
ool (
min
us k
arbo
n ta
nah)
Di C
emor
o ka
ndan
g, T
ipe
sub
alpin
(>2.
400
m d
pl)
Noor
’an
dkk
(201
3)
Huta
n ala
m s
ekun
der k
erap
atan
tin
ggi
69,7
8 tC
/ha
Tota
l kar
bon
pada
4 p
ool (
min
us k
arbo
n ta
nah)
Ireng
-iren
g, T
ipe
ekos
istem
sub
mon
tane
(750
-1.
500
m d
pl) ,
mon
tane
(1.5
00-2
400
m
Noor
’an
dkk
(201
3)
Huta
n ala
m s
ekun
der k
erap
atan
re
ndah
77
,18
tC/h
aTo
tal k
arbo
n pa
da 4
poo
l (m
inus
kar
bon
tana
h)Ire
ng-ir
eng,
Tip
e ek
osist
em s
ub m
onta
ne 7
50-
1.50
0 m
dpl
) No
or’a
n dk
k (2
013)
Sava
na d
i Tam
an N
asio
nal
Brom
o Te
ngge
r5,
33 tC
/ha
Tota
l kar
bon
pada
2 p
ool (
tum
buha
n ba
wah
dan
sera
sah)
Di Te
letu
bbis,
Tip
e ek
osist
em m
onta
ne (1
.500
-2.
400
m d
pl)
dan
pada
sub
alp
in (>
2.40
0 m
dp
l)
Noor
’an
dkk
(201
3)
Huta
n ala
m c
ampu
ran
Acac
ia de
curre
ns,m
etig
i dan
hut
an
tana
man
Aca
cia d
an c
emar
a gu
nung
di T
aman
Nas
iona
l Br
omo
Teng
ger
23,0
6 tC
/ha
Tota
l kar
bon
pada
4 p
ool (
min
us k
arbo
n ta
nah)
Di A
rgow
ulan
, Tip
e Su
b Al
pin
(>2.
400
m d
pl)
Noor
’an
dkk
(201
3)
Huta
n M
angr
ove
179,
38In
vent
arisa
si je
nis
man
grov
e di
lakuk
an d
i tig
a tit
ik (lo
kasi)
pad
a hu
tan
man
grov
e di
sep
anjan
g Su
ngai
Sego
ro A
nak.
Pad
a se
tiap
titik
loka
si di
buat
tiga
plo
t con
toh
ukur
an 1
0x10
m u
ntuk
in
vent
arisa
si po
hon
dan
jarak
ant
ar p
lot 2
5 m
, da
lam p
lot t
erse
but d
ibua
t sub
plo
t uku
ran
5 m
x
5 m
unt
uk in
vent
arisa
si tin
gkat
bel
ta, d
an 2
m x
2
m u
ntuk
inve
ntar
isasi
tingk
at s
emai.
Ca
rbon
poo
l yan
g di
ukur
mel
iput
i veg
etas
i sem
ai sa
mpa
i poh
on d
i ata
s pe
rmuk
aan
tana
h.Pe
rhitu
ngan
men
ggun
akan
Bro
wn 1
997.
Loka
si di
TN
Alas
Pur
wo, d
enga
n ty
pe ik
lim
men
urut
Sch
mid
th d
an F
ergu
son
(195
1),
D sa
mpa
i E. T
ingk
at k
erap
atan
tega
kan
15
poho
n/25
m2,
did
omin
asi o
leh
Rhizo
phor
a, B
rugu
iera
, Avic
enni
dan
Xylo
carp
us
mol
ucen
sis.
Heriy
anto
&
Subi
yand
ono
(201
2)
Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) • 125
Tipe
Hut
an/J
enis
Stok
Kar
bon
(tn
/ha)
Info
rmas
i Sin
gkat
Met
odol
ogi
Desk
ripsi
Bio
fisik
/Lok
asi
Publ
ikas
i *)
Huta
n M
angr
ove
393,
62De
stru
ctive
sam
plin
g de
ngan
mem
buat
pe
rsam
aan
allom
etrik
terle
bih
dahu
lu, y
aitu
B =
0,1
13D-
1,32
H2,2
9.Sa
mpe
l diam
bil s
ecar
a pu
rpos
ive, d
enge
n ke
terw
akila
n tin
ggi t
anam
an (<
50 c
m, 5
0-10
0 cm
dan
>10
0 cm
), m
asin
g-m
asin
g 3
sam
pel.
Peni
mba
ngan
dila
kuka
n un
tuk
selu
ruh
bagi
an
poho
n te
rmas
uk a
kar.
Desa
Saw
ah L
uhur
, Ser
ang,
Ban
ten.
Jen
is ta
nam
an c
ampu
ran.
Haps
ari (
2011
)
2.3
Bior
egio
n Ka
liman
tan
Tipe
Hut
an/J
enis
St
ok K
arbo
n
(ton/
ha)
Info
rmas
i Sin
gkat
Met
odol
ogi
Desk
ripsi
Bio
fisik
Publ
ikas
i *)
Huta
n lin
dung
Dipt
eroc
arpa
=
0,9
4-3,
91
ton/
ha N
on
Dypt
eroc
arpa
=
10,3
7-12
,37
ton/
ha
Karb
on d
i ata
s pe
rmuk
aan
tana
hHL
Sun
gai W
ain k
elur
ahan
Kar
ang
Joan
g,
Keca
mat
an B
alikp
apan
Uta
ra d
an K
elur
ahan
Ka
ringa
u, K
ecam
atan
Bali
kpap
an B
arat
, Wila
yah
Kota
Bali
kpap
an, P
ropi
nsi K
alim
anta
n Ti
mur
. Se
cara
geo
graf
is ka
wasa
n HL
Sun
gai W
ain
terle
tak
anta
ra 0
1°02
’-01°
10’ L
inta
ng S
elat
an
dan
116°
47’-1
16°5
5’ B
ujur
Tim
ur. D
idom
inas
i ol
eh te
gaka
n no
n Di
pter
okar
pa je
nis
Syzy
gium
sp
, Mad
huca
sp,
Arto
carp
us s
p da
n Pt
erna
ndra
sp
den
gan
pote
nsi b
iom
assa
rata
-rat
a be
rkisa
r 22
,46
ton/
ha. T
egak
an d
ipte
roka
rpa
dido
min
asi
oleh
jeni
s Sh
orea
spp
, Dip
tero
carp
us s
pp d
an
Vatic
a sp
.
Hard
jana
dkk
(201
0)
126 • Simpanan Karbon Menurut Bioregion
Tipe
Hut
an/J
enis
St
ok K
arbo
n
(ton/
ha)
Info
rmas
i Sin
gkat
Met
odol
ogi
Desk
ripsi
Bio
fisik
Publ
ikas
i *)
Karb
on o
rgan
ik ta
nah
min
eral
2,11
ton
C/ha
-3,
3 to
n C/
haKe
dalam
an 2
0 cm
Kawa
san
kons
erva
si di
are
al PT
. Aya
Yay
ang
Indo
nesia
, Kab
. Tab
along
, Kali
man
tan
Selat
an,
PT. S
uka
Jaya
Mak
mur
(SJM
), Ka
b. K
etap
ang,
Ka
liman
tan
Bara
t, da
n PT
. Ern
a Dj
uliaw
ati,
Kab.
Se
ruya
n, K
alim
anta
n Te
ngah
.
Huta
n di
pero
karp
a15
2,86
ton
CO2/
haje
nis
Dipt
eroc
arpa
ceae
den
gan
DBH
<20
cm
Kawa
san
kons
erva
si di
are
al PT
. Aya
Yay
ang
Indo
nesia
, Kab
. Tab
along
, Kali
man
tan
Selat
an,
Euca
lyptu
s pe
llita
(Hut
an Ta
nam
an)
Biji =
20,
19Kl
on =
18,
89De
stru
ctive
sam
plin
g, u
mur
tana
man
1
s/d
4 ta
hun,
asa
l biji
dan
klon
Kond
isi a
real
landa
i, tip
e ta
nah
pods
olik
mer
ah
kuni
ng, l
okas
i Kab
. Kuk
ar, K
altim
Akba
r (20
12)
Acac
ia m
angi
um (H
utan
Ta
nam
an)
54,7
0De
stru
ctive
sam
plin
g, u
mur
tana
man
1
s/d
5 ta
hun
Kond
isi a
real
landa
i, tip
e ta
nah
pods
olik
mer
ah
kuni
ng, l
okas
i Kab
. Kuk
ar, K
altim
Mau
lana
(201
0)
Shor
ea le
pros
ula
Miq
. (T
anam
an P
MUM
HM d
i Hu
tan
Alam
Pro
duks
i)
0,15
-2,7
7De
stru
ctive
sam
plin
g, u
mur
tana
man
1
s/d
6 ta
hun
Kond
isi a
real
berg
elom
bang
, tip
e ta
nah
pods
olik
mer
ah k
unin
g, lo
kasi
Kab.
PPU
, Kalt
imNo
or’a
n (2
011)
Keru
ing
(Dip
tero
carp
us
sp) (
Huta
n Al
am P
rodu
ksi)
53,1
4De
stru
ctive
sam
plin
g, d
iamet
er p
ohon
m
ulai
dari
10 c
m h
ingg
a ³ 6
0 cm
Kond
isi a
real
berg
elom
bang
, tip
e ta
nah
pods
olik
mer
ah k
unin
g, lo
kasi
Kab.
Kat
inga
n, K
alten
gNo
or’a
n (2
011)
Huta
n lah
an k
erin
g pr
imer
222
Pada
3 m
acam
car
bon
pool
(AGB
, ak
ar, w
oody
deb
ris d
an s
eres
ah).
Untu
k AG
B m
engg
unak
an 3
73 p
lot
deng
an n
on d
estru
ktif
sam
plin
g
Berb
agai
loka
si ya
ng te
rseb
ar d
i Kali
man
tan
Teng
ah. D
ata
bera
sal d
ari d
ata
NFI,
KFCP
, IHM
B,
dan
peta
k co
ntoh
per
man
en B
adan
Litb
ang
Kehu
tana
n.
Krisn
awat
i dkk
(201
4)
Huta
n lah
an k
erin
g se
kund
er17
8Pa
da 3
mac
am c
arbo
n po
ol (A
GB,
akar,
woo
dy d
ebris
dan
ser
esah
). Un
tuk
AGB
men
ggun
akan
4.6
86 p
lot
deng
an n
on d
estru
ktif
sam
plin
g
Berb
agai
loka
si ya
ng te
rseb
ar d
i Kali
man
tan
Teng
ah. D
ata
bera
sal d
ari d
ata
NFI,
KFCP
, IHM
B,
dan
peta
k co
ntoh
per
man
en B
adan
Litb
ang
Kehu
tana
n.
Krisn
awat
i dkk
(201
4)
Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) • 127
Tipe
Hut
an/J
enis
St
ok K
arbo
n
(ton/
ha)
Info
rmas
i Sin
gkat
Met
odol
ogi
Desk
ripsi
Bio
fisik
Publ
ikas
i *)
Huta
n lah
an g
ambu
t pr
imer
157
Pada
3 m
acam
car
bon
pool
(AGB
, ak
ar, w
oody
deb
ris d
an s
eres
ah).
Untu
k AG
B m
engg
unak
an 4
2 pl
ot
deng
an n
on d
estru
ctive
sam
plin
g
Berb
agai
loka
si ya
ng te
rseb
ar d
i Kali
man
tan
Teng
ah. D
ata
bera
sal d
ari d
ata
NFI,
KFCP
, IHM
B,
dan
peta
k co
ntoh
per
man
en B
adan
Litb
ang
Kehu
tana
n.
Krisn
awat
i dkk
(201
4)
Huta
n lah
an g
ambu
t se
kund
er
140
Pada
3 m
acam
car
bon
pool
(AGB
, ak
ar, d
an w
oody
deb
ris).
Untu
k AG
B m
engg
unak
an 1
.365
plo
t den
gan
non
dest
ruct
ive s
ampl
ing
Berb
agai
loka
si ya
ng te
rseb
ar d
i Kali
man
tan
Teng
ah. D
ata
bera
sal d
ari d
ata
NFI,
KFCP
, IHM
B,
dan
peta
k co
ntoh
per
man
en B
adan
Litb
ang
Kehu
tana
n.
Krisn
awat
i dkk
(201
4)
Huta
ng m
angr
ove
prim
er
162
Pada
3 m
acam
car
bon
pool
(AGB
, ak
ar, d
an w
oody
deb
ris).
Untu
k AG
B m
engg
unak
an 1
.365
plo
t den
gan
non
dest
ruct
ive s
ampl
ing
Berb
agai
loka
si ya
ng te
rseb
ar d
i Kali
man
tan
Teng
ah. D
ata
bera
sal d
ari d
ata
NFI,
KFCP
, IHM
B,
dan
peta
k co
ntoh
per
man
en B
adan
Litb
ang
Kehu
tana
n.
Krisn
awat
i dkk
(201
4)
Huta
ng m
angr
ove
seku
nder
116
Pada
3 m
acam
car
bon
pool
(AGB
, ak
ar, d
an w
oody
deb
ris).
Untu
k AG
B m
engg
unak
an 1
.365
plo
t den
gan
non
dest
ruct
ive s
ampl
ing
Berb
agai
loka
si ya
ng te
rseb
ar d
i Kali
man
tan
Teng
ah. D
ata
bera
sal d
ari d
ata
NFI,
KFCP
, IHM
B,
dan
peta
k co
ntoh
per
man
en B
adan
Litb
ang
Kehu
tana
n.
Krisn
awat
i dkk
(201
4)
Euca
lyptu
s pe
llita
(Hut
an Ta
nam
an)
Biji =
20,
19Kl
on =
18,
89De
stru
ctive
sam
plin
g, u
mur
tana
man
1
s/d
4 ta
hun,
asa
l biji
dan
klon
Kond
isi a
real
landa
i, tip
e ta
nah
pods
olik
mer
ah
kuni
ng, l
okas
i Kab
. Kuk
ar, K
altim
Akba
r (20
12)
Acac
ia m
angi
um (H
utan
Ta
nam
an)
54,7
0De
stru
ctive
sam
plin
g, u
mur
tana
man
1
s/d
5 ta
hun
Kond
isi a
real
landa
i, tip
e ta
nah
pods
olik
mer
ah
kuni
ng, l
okas
i Kab
. Kuk
ar, K
altim
Mau
lana
(201
1)
Shor
ea le
pros
ula
Miq
. (T
anam
an P
MUM
HM d
i Hu
tan
Alam
Pro
duks
i)
0,15
-2,7
7De
stru
ctive
sam
plin
g, u
mur
tana
man
1
s/d
6 ta
hun
Kond
isi a
real
berg
elom
bang
, tip
e ta
nah
pods
olik
mer
ah k
unin
g, lo
kasi
Kab.
PPU
, Kalt
imNo
or’a
n (2
011)
Keru
ing
(Dip
tero
carp
us
sp) (
Huta
n Al
am P
rodu
ksi)
53,1
4De
stru
ctive
sam
plin
g, d
iamet
er p
ohon
m
ulai
dari
10 c
m h
ingg
a ³ 6
0 cm
Kond
isi a
real
berg
elom
bang
, tip
e ta
nah
pods
olik
mer
ah k
unin
g, lo
kasi
Kab.
Kat
inga
n, K
alten
gNo
or’a
n (2
013)
128 • Simpanan Karbon Menurut Bioregion
2.4
Bior
egio
n Su
law
esi
Tipe
Hut
an/J
enis
Stok
Kar
bon
(to
n/ha
)In
form
asi S
ingk
at M
etod
olog
iDe
skrip
si B
iofis
ikPu
blik
asi *
)
Huta
n lah
an k
erin
g da
tara
n re
ndah
sek
unde
r 27
4,13
Peng
ukur
an p
ohon
(AGB
), tu
mbu
han
bawa
h,
sere
sah
dan
nekr
omas
a.60
plo
t pen
guku
ran
pada
tiga
loka
si ya
ng
terd
apat
pad
a SP
TN II
Dol
oduo
dan
SPT
N III
Mae
lang
Huta
n da
tara
n re
ndah
Lin
gua.
Tip
e ikl
im A
, B
dan
C, d
enga
n CH
rata
-rat
a 1.
700-
2.20
0 m
m/th
n, s
uhu
rata
- ra
ta 2
00 -280 C
. Top
ogra
fi da
tar-b
erbu
kit te
rjal d
enga
n ke
tingg
ian 5
0-1.
970
m d
pl. K
awas
an B
ukit
Ling
ua (S
PTN
II Do
lodu
o) p
enut
upan
taju
k 65
-80%
.
Wah
yuni
dkk
(201
2)
Huta
n lah
an k
erin
g da
tara
n re
ndah
463,
13Pe
nguk
uran
poh
on (A
GB),
tum
buha
n ba
wah,
se
resa
h da
n ne
krom
asa.
60 p
lot p
engu
kura
n pa
da ti
ga lo
kasi
yang
te
rdap
at p
ada
SPTN
II D
olod
uo d
an S
PTN
III M
aelan
g
Huta
n da
tara
n re
ndah
Tum
okan
g. T
ipe
iklim
A,
B da
n C,
den
gan
CH ra
ta-r
ata
1.70
0-2.
200
mm
/thn,
suh
u ra
ta-
rata
200 -
280 C
. Top
ogra
fi da
tar-b
erbu
kit te
rjal d
enga
n ke
tingg
ian 5
0-1.
970
m d
pl. K
awas
an B
ukit
Ling
ua (S
PTN
II Do
lodu
o) p
enut
upan
taju
k 65
-80%
.
Wah
yuni
dkk
(201
2)
Huta
n lah
an k
erin
g da
tara
n tin
ggi
220,
79Pe
nguk
uran
poh
on (A
GB),
tum
buha
n ba
wah,
se
resa
h da
n ne
krom
asa.
60 p
lot p
engu
kura
n pa
da ti
ga lo
kasi
yang
te
rdap
at p
ada
SPTN
II D
olod
uo d
an S
PTN
III M
aelan
g
Huta
n da
tara
n tin
ggi M
aelan
g. T
ipe
iklim
A,
B da
n C,
den
gan
CH ra
ta-r
ata
1.70
0-2.
200
mm
/thn,
suh
u ra
ta-
rata
200 -
280 C
. Top
ogra
fi da
tar-b
erbu
kit te
rjal d
enga
n ke
tingg
ian 5
0-1.
970
m d
pl. K
awas
an B
ukit
Ling
ua (S
PTN
II Do
lodu
o) p
enut
upan
taju
k 80
-90%
.
Wah
yuni
dkk
(201
2)
Huta
n m
angr
ove
seku
nder
44
6,59
Peng
ukur
an n
on d
estru
ctive
sam
plin
g de
ngan
SN
I 772
4:20
11, p
ada
3 po
ol k
arbo
n: A
BG,
sere
sah,
dan
nek
rom
asa.
Jum
lah p
lot 1
5.
Huta
n m
angr
ove
seku
nder
, jen
is So
nner
atia
sp. d
i Des
a Bl
ongk
o, k
ec. S
inon
saya
ng, K
ab.
Min
ahas
a Se
latan
Kete
balan
man
grov
e da
ri te
pi la
ut 0
-80
m
Wah
yuni
dkk
(201
3)
Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) • 129
Tipe
Hut
an/J
enis
Stok
Kar
bon
(to
n/ha
)In
form
asi S
ingk
at M
etod
olog
iDe
skrip
si B
iofis
ikPu
blik
asi *
)
Huta
n m
angr
ove
87,8
4Pe
nguk
uran
non
des
truct
ive s
ampl
ing
deng
an
SNI 7
724:
2011
, pad
a 3
pool
kar
bon:
ABG
, se
resa
h, d
an n
ekro
mas
a. J
umlah
plo
t 15.
Huta
n m
angr
ove
seku
nder
, jen
is do
min
an
Sonn
erat
ia sp
., So
nner
atia
alba,
dan
Ri
zoph
ora
sp. B
rugu
era
sp.,
Cerio
ps s
p.
Loka
si di
Des
a Ti
woho
, kec
. Wor
i, Ka
b.
Min
ahas
a Ut
ara.
Kete
balan
man
grov
e da
ri te
pi la
ut 0
-300
m
Wah
yuni
dkk
(201
3)
Huta
n ka
mpu
s Un
ivees
itas
Halu
oleo
211.
66Ke
ndar
i, Su
lawes
i Ten
ggar
aHa
mid
in
Huta
n m
angr
ove
132,
33Pe
sisir
Arak
an-W
awon
tulap
, TN
Buna
ken.
Di
dom
inas
i Rhi
zopo
ra, A
vicen
nia,
Son
nera
tia
sp.
Mur
diya
rso
dkk
(200
9)
Huta
n m
angr
ove
86,9
5Ke
lura
han
Mer
as, M
anad
o. J
enis
dom
inan
: Rh
izoph
ora
apicu
lata,
Avic
enni
a alb
a,
Sonn
erat
ia alb
a, S
onne
ratia
cas
eolar
is,
Avice
nia
mar
ina.
Ahm
ad (2
011)
Huta
n ra
kyat
mur
ni61
.50
48.7
0Ca
dang
an k
arbo
n ta
nah
Seca
ra u
mum
bio
mas
sa p
ohon
dite
ntuk
an
seca
ra ti
dak
langs
ung
mel
alui p
ersa
maa
n all
omet
rik y
ang
disu
sun
untu
k m
endu
ga
biom
asa
poho
n. B
eber
apa
pers
amaa
n all
omet
rik y
ang
telah
dike
mba
ngka
n ol
eh
Brow
n (1
987)
; Bro
wn e
t al.
(198
9);
Kette
rings
et a
l. (2
001)
unt
uk je
nis-
jeni
s po
hon
di h
utan
trop
is.
Jeni
s ta
nah
Ando
sol,
keda
lam ta
nah:
0-1
0 cm
. Ked
alam
tana
h: 1
0-20
cm
Desa
Mas
aran
g, K
ab M
inah
asa,
Sul
awes
i Ut
ara
Lang
i (20
07)
130 • Simpanan Karbon Menurut Bioregion
Tipe
Hut
an/J
enis
Stok
Kar
bon
(to
n/ha
)In
form
asi S
ingk
at M
etod
olog
iDe
skrip
si B
iofis
ikPu
blik
asi *
)
Huta
n ra
kyat
cam
pura
n70
.10
52.8
0Ca
dang
an k
arbo
n ta
nah
Seca
ra u
mum
bio
mas
sa p
ohon
dite
ntuk
an
seca
ra ti
dak
langs
ung
mel
alui p
ersa
maa
n all
omet
rik y
ang
disu
sun
untu
k m
endu
ga
biom
asa
poho
n. B
eber
apa
pers
amaa
n all
omet
rik y
ang
telah
dike
mba
ngka
n ol
eh
Brow
n (1
987)
; Bro
wn e
t al.
(198
9);
Kette
rings
et a
l. (2
001)
unt
uk je
nis-
jeni
s po
hon
di h
utan
trop
is.
Jeni
s ta
nah
Ando
sol.
Keda
lam ta
nah:
0-1
0 cm
Keda
lam ta
nah:
10-
20 c
mDe
sa Ta
rera
n, K
ab. M
inah
asa
Sulaw
esi U
tara
Lang
i (20
07)
Agro
fore
stry
42.3
8-15
8.39
Sulaw
esi U
tara
Tim
PI B
adan
Litb
ang
Kehu
tana
n (2
010)
Huta
n pr
imer
278.
29Su
lawes
i Ten
gah
Mon
de (2
009)
, Nur
hadi
dkk
(2
012)
Huta
n se
kund
er13
6.85
26
9.82
Sulaw
esi T
enga
hM
onde
(200
9), N
urha
di d
kk
(201
2)
Agro
fore
stry
16.1
7-31
.68
Sulaw
esi T
enga
hM
onde
(200
9), N
urha
di d
kk
(201
2)
Huta
n ra
kyat
mur
ni
cem
paka
70.7
12St
ok k
arbo
n di
ata
s pe
rmuk
aan
tana
h pa
da h
utan
tana
man
. Sec
ara
umum
bi
omas
sa p
ohon
dite
ntuk
an s
ecar
a tid
ak
langs
ung
mel
alui p
ersa
maa
n all
omet
rik y
ang
disu
sun
untu
k m
endu
ga b
iom
asa
poho
n.
Bebe
rapa
per
sam
aan
allom
etrik
yan
g te
lah
dike
mba
ngka
n ol
eh B
rown
(198
7); B
rown
et
al.
(198
9); K
ette
rings
et a
l. (2
001)
unt
uk
jeni
s-je
nis
poho
n di
hut
an tr
opis.
Desa
Mas
aran
g, K
ab. M
inah
asa,
Sul
awes
i Ut
ara
Lang
i (20
07)
Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) • 131
Tipe
Hut
an/J
enis
Stok
Kar
bon
(to
n/ha
)In
form
asi S
ingk
at M
etod
olog
iDe
skrip
si B
iofis
ikPu
blik
asi *
)
Huta
n ra
kyat
cam
pura
n16
.686
Stok
kar
bon
di a
tas
perm
ukaa
n ta
nah
pada
hut
an ta
nam
an. S
ecar
a um
um
biom
assa
poh
on d
itent
ukan
sec
ara
tidak
lan
gsun
g m
elalu
i per
sam
aan
allom
etrik
yan
g di
susu
n un
tuk
men
duga
bio
mas
a po
hon.
Be
bera
pa p
ersa
maa
n all
omet
rik y
ang
telah
di
kem
bang
kan
oleh
Bro
wn (1
987)
; Bro
wn
et a
l. (1
989)
; Ket
terin
gs e
t al.
(200
1) u
ntuk
je
nis-
jeni
s po
hon
di h
utan
trop
is.
Desa
Tare
ran,
Kab
. Min
ahas
a, S
ulaw
esi U
tara
Lang
i (20
07)
Huta
n ra
kyat
mur
ni
wasia
n87
.677
Stok
kar
bon
di a
tas
perm
ukaa
n ta
nah
pada
hut
an ta
nam
an. S
ecar
a um
um
biom
asa
poho
n di
tent
ukan
sec
ara
tidak
lan
gsun
g m
elalu
i per
sam
aan
allom
etrik
yan
g di
susu
n un
tuk
men
duga
bio
mas
a po
hon.
Be
bera
pa p
ersa
maa
n all
omet
rik y
ang
telah
di
kem
bang
kan
oleh
Bro
wn (1
987)
; Bro
wn
et a
l. (1
989)
; Ket
terin
gs e
t al.
(200
1) u
ntuk
je
nis-
jeni
s po
hon
di h
utan
trop
is.
Desa
Mas
aran
g, K
ab. M
inah
asa,
Sul
awes
i Ut
ara
Lang
i (20
07)
Huta
n ra
kyat
cam
pura
n21
.494
Stok
kar
bon
di a
tas
perm
ukaa
n ta
nah
pada
hut
an ta
nam
an. S
ecar
a um
um
biom
assa
poh
on d
itent
ukan
sec
ara
tidak
lan
gsun
g m
elalu
i per
sam
aan
allom
etrik
yan
g di
susu
n un
tuk
men
duga
bio
mas
a po
hon.
Be
bera
pa p
ersa
maa
n all
omet
rik y
ang
telah
di
kem
bang
kan
oleh
Bro
wn (1
987)
; Bro
wn
et a
l. (1
989)
; Ket
terin
gs e
t al.
(200
1) u
ntuk
je
nis-
jeni
s po
hon
di h
utan
trop
is.
Desa
Tare
ran,
Kab
. Min
ahas
a, S
ulaw
esi U
tara
Lang
i (20
07)
Tana
man
hut
an ra
kyat
42.3
833
.45
Cem
paka
Was
ian K
abup
aten
Min
ahas
a,
Sulaw
esi U
tara
Tim
Pi P
uspi
jak, B
alitb
angh
ut,
2012
132 • Simpanan Karbon Menurut Bioregion
Tipe
Hut
an/J
enis
Stok
Kar
bon
(to
n/ha
)In
form
asi S
ingk
at M
etod
olog
iDe
skrip
si B
iofis
ikPu
blik
asi *
)
Huta
n ra
kyat
cam
pura
n16
.686
Stok
kar
bon
di a
tas
perm
ukaa
n ta
nah
pada
hut
an ta
nam
an. S
ecar
a um
um
biom
assa
poh
on d
itent
ukan
sec
ara
tidak
lan
gsun
g m
elalu
i per
sam
aan
allom
etrik
yan
g di
susu
n un
tuk
men
duga
bio
mas
a po
hon.
Be
bera
pa p
ersa
maa
n all
omet
rik y
ang
telah
di
kem
bang
kan
oleh
Bro
wn (1
987)
; Bro
wn
et a
l. (1
989)
; Ket
terin
gs e
t al.
(200
1) u
ntuk
je
nis-
jeni
s po
hon
di h
utan
trop
is.
Desa
Tare
ran,
Kab
. Min
ahas
a, S
ulaw
esi U
tara
Lang
i (20
07)
Huta
n ra
kyat
mur
ni
wasia
n87
.677
Stok
kar
bon
di a
tas
perm
ukaa
n ta
nah
pada
hut
an ta
nam
an. S
ecar
a um
um
biom
asa
poho
n di
tent
ukan
sec
ara
tidak
lan
gsun
g m
elalu
i per
sam
aan
allom
etrik
yan
g di
susu
n un
tuk
men
duga
bio
mas
a po
hon.
Be
bera
pa p
ersa
maa
n all
omet
rik y
ang
telah
di
kem
bang
kan
oleh
Bro
wn (1
987)
; Bro
wn
et a
l. (1
989)
; Ket
terin
gs e
t al.
(200
1) u
ntuk
je
nis-
jeni
s po
hon
di h
utan
trop
is.
Desa
Mas
aran
g, K
ab. M
inah
asa,
Sul
awes
i Ut
ara
Lang
i (20
07)
Huta
n ra
kyat
cam
pura
n21
.494
Stok
kar
bon
di a
tas
perm
ukaa
n ta
nah
pada
hut
an ta
nam
an. S
ecar
a um
um
biom
assa
poh
on d
itent
ukan
sec
ara
tidak
lan
gsun
g m
elalu
i per
sam
aan
allom
etrik
yan
g di
susu
n un
tuk
men
duga
bio
mas
a po
hon.
Be
bera
pa p
ersa
maa
n all
omet
rik y
ang
telah
di
kem
bang
kan
oleh
Bro
wn (1
987)
; Bro
wn
et a
l. (1
989)
; Ket
terin
gs e
t al.
(200
1) u
ntuk
je
nis-
jeni
s po
hon
di h
utan
trop
is.
Desa
Tare
ran,
Kab
. Min
ahas
a, S
ulaw
esi U
tara
Lang
i (20
07)
Tana
man
hut
an ra
kyat
42.3
833
.45
Cem
paka
Was
ian K
abup
aten
Min
ahas
a,
Sulaw
esi U
tara
Tim
Pi P
uspi
jak, B
alitb
angh
ut,
2012
Tipe
Hut
an/J
enis
Stok
Kar
bon
(to
n/ha
)In
form
asi S
ingk
at M
etod
olog
iDe
skrip
si B
iofis
ikPu
blik
asi *
)
Huta
n ra
kyat
cam
pura
n14
.421
Cada
ngan
kar
bon
pada
kaw
asan
non
hut
an
(Cad
anga
n ka
rbon
tana
h pa
da b
erba
gai
tipe
jeni
s ta
nah
dan
keda
laman
ber
kisar
an
tara
5,7
0-6.
394
ton/
ha).
Seca
ra u
mum
bi
omas
sa p
ohon
dite
ntuk
an s
ecar
a tid
ak
langs
ung
mel
alui p
ersa
maa
n all
omet
rik y
ang
disu
sun
untu
k m
endu
ga b
iom
asa
poho
n.
Bebe
rapa
per
sam
aan
allom
etrik
yan
g te
lah
dike
mba
ngka
n ol
eh B
rown
(198
7); B
rown
et
al.
(198
9); K
ette
rings
et a
l. (2
001)
unt
uk
jeni
s-je
nis
poho
n di
hut
an tr
opis.
Desa
Tare
ran,
Kab
. Min
ahas
a Su
lawes
i Uta
raLa
ngi (
2007
)
Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) • 133
136 •
Cetakan Kedua
Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory)
Sintesis Penelitian Integratif
Oleh:
Yanto RochmayantoAri WibowoMega LuginaTigor ButarbutarRM Mulyadin Wahyuning HanurawatiI Wayan Susi Dharmawan
ISBN 978-602-7672-60-4
Kementerian Lingkungan Hidup dan KehutananBadan Penelitian, Pengembangan dan InovasiPusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan IklimJl. Gunung Batu No. 5 Bogor; Telp.: 0251 8633944; Fax: 0251 8634924;Email: [email protected];
www.dephut.litbang.puspijak.go.id atau www.puspijak.org
KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANANBADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASIPUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN DAN PERUBAHAN IKLIM