sintesis dan karakterisasi scaffold kitosan …
TRANSCRIPT
SINTESIS DAN KARAKTERISASI
SCAFFOLD KITOSAN-TETRASIKLIN
YANG DIIRADIASI GAMMA
SEBAGAI PENGGANTI JARINGAN TULANG GIGI
ISMI NURAKHMAWATI
1113096000019
PROGRAM STUDI KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017 M / 1438 H
SINTESIS DAN KARAKTERISASI
SCAFFOLD KITOSAN-TETRASIKLIN
YANG DIIRADIASI GAMMA
SEBAGAI PENGGANTI JARINGAN TULANG GIGI
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Program Studi Kimia
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Oleh:
ISMI NURAKHMAWATI
1113096000019
PROGRAM STUDI KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017 M / 1438 H
SINTESIS DAN KARAKTERISASI
SCAFFOLD KITOSAN-TETRASIKLIN
YANG DIIRADIASI GAMMA
SEBAGAI PENGGANTI JARINGAN TULANG GIGI
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Program Studi Kimia
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Oleh:
ISMI NURAKHMAWATI
1113096000019
Menyetujui,
Mengetahui,
Ketua Program Studi Kimia
Drs. Dede Sukandar, M.Si
NIP. 19650104 1991031 004
Pembimbing I
Ir. Basril Abbas, M.Si
NIP. 19600813 198210 1 002
Pembimbing II
Nurhasni, M.Si
NIP. 19740618 200501 2 005
PENGESAHAN UJIAN
Skripsi berjudul, “Sintesis dan Karakterisasi Scaffold Kitosan - Tetrasiklin
Yang Diiradiasi Gamma Sebagai Pengganti Jaringan Tulang Gigi” yang
ditulis oleh Ismi Nurakhmawati, NIM 1113096000019 telah diuji dan
dinyatakan “Lulus” dalam Sidang Munaqosah Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal
........................2017. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) Program Studi Kimia.
Menyetujui,
Mengetahui,
Penguji I
Dr. Thamzil Las
NIP. 19490516 197703 1 001
Penguji II
Dr. Hendrawati, M.Si
NIP. 19720815 200312 2 001
Pembimbing I
Ir. Basril Abbas, M.Si
NIP. 19600813 198210 1 002
Pembimbing II
Nurhasni, M.Si
NIP. 19740618 200501 2 005
Ketua Program Studi Kimia
Drs. Dede Sukandar, M.Si
NIP. 19650104 199103 1 004
Dekan Fakultas Sains dan Teknologi
Dr. Agus Salim, M.Si
NIP. 19720816 199903 1 003
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH HASIL
KARYA SAYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI SKRIPSI
ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA
MANAPUN.
Jakarta, 3 Oktober 2017
Ismi Nurakhmawati 1113096000019
ABSTRAK
ISMI NURAKHMAWATI. Sintesis dan karakterisasi scaffold kitosan-tetrasiklin yang
diiradiasi gamma sebagai pengganti jaringan tulang gigi. Dibimbing oleh BASRIL
ABBAS dan NURHASNI
Periodontitis merupakan infeksi atau peradangan pada gusi bersifat kronis yang
merusak jaringan lunak dan tulang pendukung gigi berdampak pada kegoyahan maupun
kehilangan gigi. Efek tulang rahang akibat kehilangan gigi dapat diatasi dengan
mengimplantasi biomaterial berupa scaffold sebagai pengganti jaringan tulang yang
hilang. Pada penelitian ini telah dilakukan sintesis scaffold menggunakan bahan dasar
berupa kitosan kulit udang yang dilarutkan dalam asam asetat 2% (w/v). Slurry kitosan
hasil pre-gelled ditambahkan tetrasiklin dengan variasi 150, 300, dan 450 mg pada 100
mL slurry kitosan. Campuran tersebut diliofilisasi untuk membentuk pori dan scaffold
yang telah kering dipaparkan radiasi gamma pada dosis 15 dan 25 KGy agar
mendapatkan sifat fisikokimia scaffold yang lebih baik. Scaffold yang dihasilkan
dikarakterisasi dengan scanning electron microscopy (SEM) untuk mengetahui morfologi
dan ukuran pori, fourier transform infra red (FTIR) untuk mengetahui gugus fungsi
penyusun scaffold, Chroma Meter CR-200b untuk mengetahui warna scaffold, dan
spektrofotometer UV-Vis untuk mengetahui profil pelepasan tetrasiklin. Scaffold yang
dihasilkan memiliki ukuran pori berkisar 67 sampai 208μm dimana telah sesuai dengan
standar ukuran pori tulang spons yaitu 100 sampai 300μm. Perubahan warna scaffold
berkisar 8,28 sampai 20,07. Rasio pembengkakan scaffold berkisar 331 sampai 726%.
Profil pelepasan tetrasiklin menunjukkan pada scaffold yang diberi dosis radiasi 25 KGy
memiliki kumulatif pelepasan yang tinggi dibandingkan dosis radiasi 0 dan 15 KGy,
dimana kumulatif pelepasan tetrasiklin untuk masing-masing radiasi 0, 15, dan 25 KGy
yaitu 85, 71, dan 83%.
Kata Kunci : iradiasi gamma, kitosan, scaffold, tetrasiklin.
ABSTRACT
ISMI NURAKHMAWATI. Synthesis and characterization of chitosan-tetracycline
scaffold which irradiated gamma as a substitute for teeth bone tissue. Supervised by
BASRIL ABBAS and NURHASNI
Periodontitis is an infection or inflammation of the chronic gums that damage the
soft tissues and bones supporting the teeth impact on shakiness or tooth loss. The effects
of jawbone due to tooth loss can be overcome by implanting scaffold biomaterials in lieu
of missing bone tissue. In this research, scaffold synthesis has been done using basic
material in the form of shrimp shell chitosan dissolved in 2% acetic acid (w/v). Pre-gelled
chitosan slurry was added tetracyclines with variations of 150, 300, and 450 mg in 100
mL of chitosan slurry. The mixture is lyophilized to form dry pores and scaffolds exposed
to gamma radiation at doses of 15 and 25 KGy in order to obtain better scaffold
physicochemical properties. The scaffold produced was characterized by scanning
electron microscopy (SEM) to determine the morphology and pore size, fourier transform
infra red (FTIR) to determine the scaffold constituent function group, Chroma Meter CR-
200b for the color scaffold, and UV-Vis spectrophotometer for profile tetracycline
release. The resulting scaffold has a pore size ranging from 67 to 208μm which is in
accordance with standard sponge bone pore size of 100 to 300μm. Scaffold color changes
range from 8.28 to 20.07. The scaffold swelling ratio ranged from 331 to 726%. The
tetracycline release profile showed that a radiation dose of 25 KGy had a high cumulative
release compared to the radiation dose of 0 and 15 KGy, wherein the cumulative
tetracycline release for each of the radiation 0, 15, and 25 KGy were 85, 71, and 83%
respectively.
Keywords: chitosan , gamma irradiation, scaffold, tetracycline.
vii
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh
Alhamdulillah, segala puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT.
Atas segala rahmat, karunia, dan ridho-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Penulisan skripsi yang berjudul Sintesis dan Karakterisasi Scaffold
Kitosan-Tetrasiklin Sebagai Pengganti Jaringan Tulang Gigi Dengan
Iradiasi Gamma. Skripsi ini disusun untuk memenuhi syarat kelulusan pada
Program Studi Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada Kesempatan ini, penulis mengucapkan terima
kasih kepada:
1. Ir. Basril Abbas, M.Si selaku Pembimbing I yang telah memberikan ilmu
pengetahuan, bimbingan, nasihat serta arahan dalam menyelesaikan penelitian
serta penyususnan skripsi ini.
2. Nurhasni, M.Si, selaku Pembimbing II, yang telah memberikan bimbingan
serta saran kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.
3. Dr. Thamzil Las dan Dr. Hendrawati, M.Si, selaku penguji I dan II, yang
telah memberikan saran terhadap skripsi ini.
4. Drs. Dede Sukandar, M.Si, selaku ketua Program studi Kimia, Fakultas Sains
dan Teknologi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
5. Dr. Agus Salim, selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
viii
6. Kedua Orang Tua, Muchson Arifin dan Dedeh Widyaningsih yang telah
mendo’akan, memberi nasihat, dan memberi semangat kepada penulis
7. Alfian Noor Azis, Teman–teman di Program Studi Kimia khususnya
angkatan 2013, DEMA FST, dan fraternize yang telah memberi semangat dan
motivasi untuk segera menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi
pengembangan ilmu bagi agama, nusa, dan bangsa.
Wassalamu’alaikum Warahmatullah Wabarakatuh
Jakarta, Oktober 2017
Penulis
viii
ix
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR .............................................................................................. vii
DAFTAR ISI ............................................................................................................. ix
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................. xi
DAFTAR TABEL ..................................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................. xiv
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ..................................................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah ............................................................................................. 5
1.3 Hipotesis .............................................................................................................. 5
1.4 Tujuan Penelitian ................................................................................................. 6
1.5 Manfaat Penelitian ............................................................................................... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 7
2.1 Scaffold ................................................................................................................. 7
2.2 Kitosan ................................................................................................................. 10
2.2.1 Pembuatan Kitosan ...................................................................................... 13
2.2.2 Sifat Fisika, Kimia, dan Biologi Kitosan ...................................................... 14
2.3 Tetrasiklin ............................................................................................................. 17
2.4 Freeze Drying ....................................................................................................... 18
2.5 Radiasi ................................................................................................................. 21
2.5.1 Jenis-Jenis Radiasi ...................................................................................... 21
2.5.2 Dosis Radiasi Untuk Teknik Rekayasa Jaringan .......................................... 24
2.5.3 Gamma Cell ................................................................................................ 25
2.6 Scanning Electron Microscopy ( SEM) ..................................................................... 30
2.7 Fourier Transform Infra Red (FTIR) ......................................................................... 33
2.8 Spektrofotometer UV Vis ...................................................................................... 37
2.9 Kolorimetri ........................................................................................................... 38
BAB III METODE PENELITIAN ........................................................................... 41
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ................................................................................ 41
3.2 Alat dan Bahan...................................................................................................... 41
3.2.1 Alat ............................................................................................................. 41
x
3.2.2 Bahan .......................................................................................................... 41
3.3 Prosedur Kerja ...................................................................................................... 42
3.3.1 Pembuatan Scaffold ................................................................................... 42
3.3.2 Karakterisasi Scaffold ................................................................................ 43
3.3.2.1 Analisa Gugus Fungsi .................................................................... 43
3.3.2.2 Uji Warna ...................................................................................... 43
3.3.2.3 Analisa Struktur Pori...................................................................... 43
3.3.2.4 Uji Pelepasan Obat......................................................................... 44
3.3.2.5 Rasio Pembengkakan ..................................................................... 44
3.3.3 Uji Statistik ............................................................................................... 44
3.4 Diagram Alir Penelitian......................................................................................... 45
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN.................................................................... 46
4.1 Scaffold Kitosan-Tetrasiklin .................................................................................. 46
4.2 Karakteristik Scaffold ........................................................................................... 50
4.2.1 Hasil Analisis Gugus Fungsi dengan FTIR ................................................ 50
4.2.2 Hasil Uji Warna ........................................................................................ 55
4.2.3 Hasil Analisis Struktur Pori ....................................................................... 59
4.2.4 Hasil Uji Pelepasan Obat ........................................................................... 63
4.2.5 Rasio Pembengkakan ................................................................................ 69
BAB V SIMPULAN DAN SARAN ........................................................................... 72
5.1 Simpulan ............................................................................................................... 72
5.2 Saran ..................................................................................................................... 72
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 73
LAMPIRAN ............................................................................................................. 85
x
xi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Ilustrasi scaffold yang diimplantasi pada tulang alveolar manusia ............... 7
Gambar 2. Struktur pori-pori scaffold bovine hydroxiapatite........................................ 8
Gambar 3. Struktur kitosan .......................................................................................... 11
Gambar 4. Skema sifat dan aplikasi kitin serta kitosan ................................................. 12
Gambar 5. Skema bentuk kitin dan kitosan setelah diproses ......................................... 13
Gambar 6. Reaksi deasetilasi kitin menjadi kitosan ...................................................... 14
Gambar 7. Struktur tetrasiklin ...................................................................................... 18
Gambar 8. Skema proses directional freezing .............................................................. 20
Gambar 9. Skema bagian luar iradiator gamma cell..................................................... 26
Gambar 10. Ilustrasi efek fotolistrik dan efek compton ................................................ 28
Gambar 11. Ilustrasi pasangan produksi....................................................................... 30
Gambar 12. Komponen scanning electron microscope ................................................ 31
Gambar 13. Skema electron gun pada SEM ................................................................. 32
Gambar 14. Komponen dasar FTIR ............................................................................. 35
Gambar 15. Skema Spektrofotometer UV-Vis ............................................................. 37
Gambar 16. Skema chromameter ................................................................................ 39
Gambar 17. Reaksi antara larutan kitosan dengan ion posfat divalen ........................... 47
Gambar 18. Skema proses freeze drying ...................................................................... 49
Gambar 19. Scaffold yang diproduksi dengan metode freeze drying............................. 49
Gambar 20. Spektrum IR scaffold kitosan dan scaffold kitosan–tetrasiklin ................... 52
Gambar 21. Mekanisme radiolisis kitosan.................................................................... 55
Gambar 22. Morfologi scaffold pada perbesaran 100x ................................................. 60
Gambar 23. Morfologi Pori Scaffold ............................................................................ 62
Gambar 24. Profil pelepasan kumulatif tetrasiklin ....................................................... 64
Gambar 25. Grafik hasil pengukuran swelling ratio ..................................................... 69
Gambar 26. Ilustrasi kompleksasi nanopartikel metode ionik gelasi ....................................... 86
Gambar 27. Spektrum IR tetrasiklin ...................................................................................... 87
Gambar 28. Spektrum IR kitosan .......................................................................................... 87
xii
Gambar 29. Spektrum IR scaffold kitosan 0 KGy .................................................................. 87
Gambar 30. Spektrum IR scaffold kitosan 15 KGy ................................................................ 88
Gambar 31. Spektrum IR scaffold kitosan 25 KGy ................................................................ 88
Gambar 32. Spektrum IR scaffold kitosan-tetrasiklin 6,25mg 0 KGy ..................................... 88
Gambar 33. Spektrum IR scaffold kitosan-tetrasiklin 6,25mg 15 KGy ..................................... 89
Gambar 34. Spektrum IR scaffold kitosan-tetrasiklin 6,25mg 25 KGy ..................................... 89
Gambar 35. Spektrum IR scaffold kitosan-tetrasiklin 12,5mg 0 KGy ....................................... 89
Gambar 36. Spektrum IR scaffold kitosan-tetrasiklin 12,5mg 15 KGy ..................................... 90
Gambar 37. Spektrum IR scaffold kitosan-tetrasiklin 12,5mg 25 KGy ..................................... 90
Gambar 38. Spektrum IR scaffold kitosan-tetrasiklin 18,75mg 0 KGy ..................................... 90
Gambar 39. Spektrum IR scaffold kitosan-tetrasiklin 18,75mg 15 KGy ................................... 91
Gambar 40. Spektrum IR scaffold kitosan-tetrasiklin 18,75mg 25 KGy ................................... 91
Gambar 41. Reaksi antara kitosan dan tetrasiklin .................................................................... 105
Gambar 42. Persen pelepasan kumulatif tetrasiklin 0 KGy ...................................................... 106
Gambar 43. Persen pelepasan kumulatif tetrasiklin 15 KGy .................................................... 106
Gambar 44. Persen pelepasan kumulatif tetrasiklin 25 KGy .................................................... 106
xii
xiii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Bilangan gelombang FTIR ............................................................................ 36
Tabel 2. Gugus fungsi kitosan dan tetrasiklin ............................................................. 50
Tabel 3. Hasil uji warna scaffold kitosan dan scaffold kitosan-tetrasiklin .................... 56
Tabel 4. Perubahan warna scaffold (∆𝐸) ..................................................................... 58
Tabel 5. Diameter pori scaffold kitosan dan scaffold kitosan-tetrasiklin ...................... 61
Tabel 6. Persen kumulatif pelepasan tetrasiklin scaffold kitosan-tetrasiklin................. 67
Tabel 7. Data swelling ratio scaffold kitosan dan scaffold kitosan-tetrasiklin .............. 71
Tabel 8. Massa scaffold kitosan dan scaffold kitosan-tetrasiklin ............................................ 86
Tabel 9. Tests of Between-Subjects Effects L* ........................................................................ 92
Tabel 10. Multiple Comparisons L* ....................................................................................... 92
Tabel 11. Tests of Between-Subjects Effects a* ..................................................................... 93
Tabel 12. Multiple Comparisons a* ....................................................................................... 93
Tabel 13. Tests of Between-Subjects Effects b* ...................................................................... 94
Tabel 14. Multiple Comparisons b* ....................................................................................... 94
Tabel 15. Analisa morfologi scaffold berbagai variasi dan radiasi ................................ 95
Tabel 16. Kumulatif pelepasan massa tetrasiklin scaffold kitosan-tetrasiklin ......................... 103
Tabel 17. Tests of Between-Subjects Effects kumulatif pelepasan .......................................... 104
Tabel 18. Multiple Comparisons kumulatif pelepasan ............................................................ 104
Tabel 19. Rasio pembengkakan scaffold ................................................................................ 107
Tabel 20. Tests of Between-Subjects Effects Swelling Ratio .................................................... 108
Tabel 21. Multiple Comparisons Swelling Ratio ..................................................................... 108
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Scaffold kitosan dan scaffold kitosan-tetrasiklin ..................................... 85
Lampiran 2. Panjang gelombang scaffold kitosan dan scaffold kitosan-tetrasiklin ...... 87
Lampiran 3. Uji warna CIEL*a*b* ............................................................................ 92
Lampiran 4. Morfologi permukaan scaffold ............................................................... 95
Lampiran 5. Pelepasan kumulatif tetrasiklin .............................................................. 102
Lampiran 6. Rasio Pembengkakan............................................................................. 107
Lampiran 7. Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ..................................... 109
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Periodontitis merupakan peradangan yang mengenai jaringan pendukung
gigi, disebabkan oleh mikroorganisme dan dapat menyebabkan kerusakan yang
progresif pada ligamen periodontal, tulang alveolar dan disertai dengan
pembentukan poket (Widyastuti, 2009). Akibat dari periodontitis terjadi destruksi
jaringan yang permanen dengan ciri inflamasi kronis, migrasi epitelium penyatu ke
apikal, kehilangan jaringan ikat dan kehilangan tulang alveolar (Nield-Gehrig dan
Willman, 2003).
Teknologi rekayasa jaringan (tissue engineering) telah dimulai sejak tahun
1980-an sebagai bidang disiplin ilmu yang bertujuan mengembangkan pengganti
jaringan tubuh untuk memulihkan, mengganti, atau meregenerasi jaringan yang
rusak (Karp dan Langer, 2007). Salah satu solusi dalam mengatasi kegoyahan dan
kehilangan gigi akibat periodontitis kronis, adalah dengan cara implantasi scaffold
(perancah) sebagai jaringan pengganti tulang.
Para peneliti berusaha mengembangkan scaffold (perancah) dengan
menggunakan biomaterial yang berbeda untuk mendapatkan hasil struktur dan sifat
semakin baik. Berbagai upaya telah dilakukan untuk merancang scaffold yang
memiliki kesamaan struktur matriks tulang ekstraseluler (Shrivats et al., 2014).
Biomaterial yang berasal dari polimer, keramik, dan logam telah banyak
dikembangkan sebagai bahan dasar pembentukan scaffold dalam teknologi rekayasa
jaringan (Loeffer et al., 2013). Tantangan yang dihadapi peneliti khususnya
1
2
dibidang teknologi rekayasa jaringan ialah mendapatkan scaffold yang memiliki
karakteristik biodegradable, biokompatibel, bioaktif, serta sifat mekanik yang
sesuai dengan jaringan yang di gantikan (Ma et al., 2012). Penelitian yang telah
dilakukan oleh beberapa peneliti untuk mendapatkan scaffold menggunakan
beberapa macam bahan alami seperti: alginat (Pan et al., 2016), gelatin (Correia et
al., 2016), pektin (Mani et al., 2015), kolagen (Elango et al., 2016) dan tulang Sapi
(Solechan dan Saifuddin, 2014) telah dilakukan. Senyawa-senyawa tersebut selain
memiliki sifat fisik seperti biodegradable, stabilitas mekanik, dan biokompatibel
juga mampu mengarahkan respon sel untuk membentuk jaringan baru (Yang et al.,
2001; Dillow et al., 2002 dalam Elango et al., 2016).
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surat Asy-syu'araa’ ayat 78-81:
و الذي هو يطعمني ويسقين الذي خلقني فهو يهدين
والذي يميتني ثم يحيين واذا مرضت فهو يشفين
“(Yaitu Tuhan) yang telah menciptakan Aku, Maka Dialah yang menunjuki Aku.
Dan Tuhanku, yang Dia memberi makan dan minum kepadaKu. Dan apabila aku
sakit, Dialah yang menyembuhkan aku. Dan yang akan mematikan Aku, kemudian
akan menghidupkan aku (kembali)” (Q.S. Asy-syu'araa’ [26] : 78-81)
Dalam Q.S. Asy-syu'araa’: 78-81 menerangkan tentang kekuasaan Allah SWT yang
menciptakan alam semesta dengan segala isinya, termasuk makhluk hidup yang
diciptakan-Nya. Masing-masing makhluk hidup yang diciptakan-Nya telah
ditetapkan pula rezeki yang akan diperoleh serta umur hidupnya. Manusia sebagai
makhluk ciptakan-Nya harus menyadari bahwa apabila manusia sakit haruslah tetap
3
berusaha mencari jalan guna pengobatan dan berpasrah kepada-Nya untuk
memohon kesembuhan. Hakikatnya kesembuhan ialah diberikan oleh Allah SWT
begitu pula dengan memberikan cobaan berupa penyakit. Penelitian ini merupakan
salah satu cara dalam menjalankan usaha guna pengobatan penyakit periodontitis
dengan cara implantasi scaffold yang berbahan dasar kitosan dan tetrasiklin.
Kitosan dapat digunakan sebagai bahan dasar pembentuk scaffold dalam
teknologi rekayasa jaringan (Emanet et al., 2016 ; Gossla et al., 2016 ; Uswatta et
al., 2016 ; dan Yang et al., 2016). Emanet et al (2016) telah melakukan kombinasi
Boron Nitrida Nanotube (BNNTs) dengan kitosan dalam membentuk scaffold.
Gossla et al (2016) telah melakukan pembuatan scaffold berbahan dasar kitosan
untuk teknologi rekayasa jaringan dengan teknik elektrostatik flok (electrostatic
flocking). Uswatta et al (2016) telah melakukan pembuatan scaffold dengan
kombinasi kitosan, natrium tripolyfosfat, dan hidroksiapatit. Yang et al (2016) telah
melakukan pembuatan scaffold dengan kombinasi polylactide-co-glycolide
(PLGA), hidroksiapatit (HA), serta kitosan 2-(hidroksipropiltrimetil ammonium
klorida kitosan, HACC). Kelayakan kitosan sebagai biopolimer yang
dikombinasikan dengan biomaterial lain untuk membuat scaffold dalam teknik
rekayasa jaringan telah dibuktikan pula oleh (Jiang et al., 2006). Kitosan yang
diintegrasikan dengan biomaterial lain dapat meningkatkan sifat biologis dan
mekanik scaffold yang dibentuk, sehingga cocok untuk diaplikasikan di bidang
kesehatan. Sifat yang dihasilkan scaffold yang berbahan dasar kitosan meliputi
hidrofobik, biokompatibel, biodegradable, serta menghambat aktivitas mikroba
(Afshar dan Ghaee 2016; Kumar, 2000).
4
Penelitian pembuatan scaffold berbahan baku kitosan telah dilakukan oleh
Yang et al (2010) dan Setiawan (2016). Pada penelitian ini telah dibuat scaffold
menggunakan kitosan yang berasal dari kulit udang yang dikombinasikan dengan
antibiotik tetrasiklin. Tetrasiklin digunakan pada penelitian ini karena memiliki
spektrum yang luas dan memiliki kemampuan untuk membunuh bakteri gram
positif maupun gram negatif (Wei et al., 2011 ; Luo et al., 2011 dalam Yang et al.,
2017). Tetrasiklin juga dikenal sebagai salah satu antibiotik dalam mengatasi
infeksi periodontal yang terjadi pada gigi (Sivashankari dan Prabaharan, 2016).
Selain itu, tetrasiklin merupakan antibiotik yang banyak digunakan di bidang
kedokteran gigi (Lian et al., 2013 dalam Huang et al., 2017) dan telah teruji dapat
membunuh bakteri gram positif maupun gram negatif (Barry, 1976 dalam Jones et
al., 2013). Metode yang digunakan dalam mensintesis scaffold kitosan–tetrasiklin
ialah liofilisasi atau freeze drying. Selain freeze drying pembuatan scaffold dapat
dilakukan pula dengan metode elektrospining dan particulate leaching (Sultana,
2015). Kelebihan metode freeze drying dibandingkan dengan metode lainnya ialah
dapat menghasilkan struktur pori dengan interkonektifitas yang baik dan cepat.
Kelemahan metode ini adalah sulit untuk mengatur ukuran pori yang diinginkan
(Mandal dan Kundu, 2009).
Sintesis scaffold dengan komposisi bahan menggunakan kitosan dan
tetrasiklin selanjutnya akan diradiasi sinar gamma guna mengoptimalkan fungsi
scaffold sebagai pengganti jaringan tulang gigi akibat periodontitis. Iradiasi sinar
gamma pada dosis 25-35 KGy banyak digunakan untuk teknik sterilisasi dimana
sangat efektif dalam mengeliminasi berbagai bakteri, virus dan fungi (Burton et al.,
2014). Selain itu, iradiasi gama mampu memberikan efek yang signifikan yang
5
menyebabkan perubahan pada persebaran bobot molekul serta susunan
makromolekular (Basu dan Tarafdar, 2016). Penelitian yang dilakukan bermaksud
meningkatkan sifat fisikokimia scaffold dengan mengkombinasikan kitosan dan
tetrasiklin serta scaffold yang diproduksi menggunakan metode freeze drying
kemudian diiradiasi gamma Co-60 sebesar 15 dan 25 KGy sebagaimana potensinya
dalam mengatasi penyakit periodontitis.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka masalah pada penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut.
1. Apakah scaffold dengan kombinasi bahan kitosan dan tetrasiklin
menggunakan metode freeze drying dapat dibentuk?
2. Apa pengaruh penambahan tetrasiklin terhadap sifat fisikokimia
scaffold kitosan?
3. Apa pengaruh iradiasi gamma terhadap sifat fisikokimia scaffold
kitosan yang dikombinasikan dengan tetrasiklin?
1.3 Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah:
1. Scaffold dapat dibentuk dari kombinasi bahan kitosan dan tetrasiklin
menggunakan metode freeze drying.
2. Dosis tetrasiklin pada scaffold berpengaruh pada sifat fisikokimia.
3. Iradiasi gamma terhadap scaffold kitosan yang dikombinasikan
tetrasiklin memberi pengaruh terhadap sifat fisikokimia scaffold.
6
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Membuat scaffold dari kitosan yang dikombinasikan tetrasiklin
menggunakan metode freeze drying.
2. Mengkarakterisasi scaffold kitosan yang dikombinasi dengan tetrasiklin
setelah diiradiasi sinar gamma.
1.5 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat membuat dan menghasilkan scaffold kitosan
yang dikombinasikan tetrasiklin sebagai pengganti jaringan tulang gigi yang rusak
akibat infeksi periodontal.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Scaffold
Scaffold (perancah) merupakan suatu struktur tiga dimensi yang digunakan
sebagai media penyangga sementara untuk mendukung proses pertumbuhan dan
pengembangan jaringan baru. Scaffold berguna mengembalikan morfologi serta
fungsi tulang pada trauma yang parah, tumor dan penyebab lain yang
mengakibatkan kecacatan tulang dan tidak dapat disembuhkan dengan sendirinya
(Hutmacher, 2000). Berikut adalah gambar ilustrasi scaffold yang diimplantasikan
ke tulang rahang bawah manusia (Gambar 1).
Gambar 1. Ilustrasi scaffold yang diimplantasi pada tulang alveolar
manusia (Rasperini et al., 2015)
Menurut Yu et al., (2015) Scaffold dapat dirancang untuk dua tujuan yang
berbeda: i) ex vivo, berupa teknik rekayasa jaringan dan ii) in situ, berupa
regenerasi jaringan. Mula-mula, scaffold digunakan sebagai substrat tiga dimensi
7
8
untuk menyusun jaringan pada kondisi ex vivo kemudian tulang yang cacat
diimplantasikan. Di sisi lain, pembuatan scaffold untuk regenerasi tulang secara in
situ telah mengalami kemajuan yang signifikan dalam bidang klinis karena
menggunakan metode prototyping dimana memungkinkan penyusunan atau desain
scaffold dengan cepat, scaffold dibuat dengan morfologi dan pori-pori yang dapat
disesuaikan untuk setiap kasus tertentu (Moroni et al., 2015; Peng et al., 2015;
Giannitelli et al., 2014).
Setiap benda asing yang diimplantasikan akan terjadi interaksi dan reaksi
dari jaringan sekitar. Oleh karena itu biomaterial yang digunakan harus memiliki
karakteristik biokompatibel sehingga tidak memunculkan penolakan oleh jaringan
tubuh. Sifat fisik lain yang juga harus dimiliki oleh scaffold ialah bersaran pori.
Pori - pori yang terdapat pada scaffold memiliki fungsi sebagai ruang bagi sel untuk
menempel dan tumbuh menjadi suatu jaringan tulang baru (Laurencin et al., 2008).
Menurut Klawitter dan Hulbert (1971), ukuran pori scaffold untuk memperbaiki
jaringan tulang berkisar pada rentang 100 – 300 mikron. Berikut gambar pori-pori
scaffold kitosan yang dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Struktur pori-pori scaffold kitosan dengan metode freeze drying a.
cylinder scaffold dan b. planar scaffold (Qian dan Zhang,2010).
9
Scaffold tiga dimensi bertindak sebagai matriks ekstraselular buatan, yang
memungkinkan sel untuk berkembang biak dan menjaga fungsi spesifiknya dalam
pori scaffold tanpa ada efek samping. Disamping itu, scaffold berfungsi sebagai
template untuk pembentukan jaringan baru. Scaffold ideal untuk regenerasi tulang
seharusnya tidak hanya memiliki biokompatibilitas, biodegradable dan non-toksik,
tetapi juga harus mampu mendukung adhesi sel dan mempertahankan fungsi
metabolisme sel-sel (Chan dan Leong, 2008). Pembuatan scaffold harus presisi dan
konsisten berkaitan dengan porositas, ukuran pori, distribusi pori dan
interkonektivitas antar pori (Salgado et al., 2004).
Biodegradasi merupakan suatu proses pemecahan kimiawi secara bertahap
pada biomaterial yang terimplantasi dalam sebuah sistem biologis (Williams dan
Zhong, 1994 dalam Saravanan et al., 2016). Hal tersebut dimulai dengan
pemaparan scaffold kedalam jaringan yang berisi cairan dengan kandungan
berbagai enzim dan zat aktif lainnya, dimana aktivitasnya diatur sesuai kondisi
fisiologisnya. Bahan implantasi harus mengalami degradasi bertahap dari waktu ke
waktu dan memiliki kecocokan dalam pembentukan tulang baru (Azevedo dan
Reis, 2005 dalam Saravanan et al., 2016). Biodegradasi melibatkan penggabungan
ikatan kimia antara unit monomer biopolimer, antara dua polimer atau antara
polimer dan keramik atau nanopartikel yang ditambahkan ke dalam sistem (Heller,
1980 dalam Saravanan et al., 2016)
Komposisi, struktur mikro dan topografi scaffold merupakan aspek penting
yang menentukan berhasil atau gagalnya implantasi jaringan tulang. Dalam hal ini,
scaffold harus menunjukkan topografi yang menjamin adanya adhesi sel, proliferasi
sel, dan fungsi sitoskeletal (Rahmany dan Van Dyke, 2013). Selain itu, produk
10
samping degradasi scaffold diharapkan dapat merangsang diferensiasi sel osteoblas
serta kemotaktik guna meningkatkan migrasi sel menuju lokasi yang sulit dijangkau
oleh scaffold (Amini et al., 2012; Gough et al., 2004; Jones et al., 2007).
Seringkali, kelemahan yang terjadi disebabkan kurangnya aksesibilitas ke lokasi sel
target yang akan berproliferasi baik pada kondisi ex vivo (teknik rekayasa jaringan)
maupun in vivo (in situ, regenerasi jaringan) (Gómez-Cerezo et al., 2016).
Scaffold yang digunakan untuk rekayasa jaringan, terbuat dari material yang
mengandung unsur – unsur yang sama dengan penyusun tulang. Beberapa unsur
penyusun tulang yang utama ialah kalsium(Ca) dan fosfor (P) serta membentuk
senyawa kalsium fosfat. Scaffold yang mengandung unsur – unsur Ca2+ dan P3-
dapat memberikan afinitas kuat terhadap jaringan tulang. Rasio ideal Ca/P sebesar
1,67 karena komponen utama tulang manusia merupakan kalsium fosfat yang
paling stabil di bawah kondisi fisiologi normal dan dapat diterima oleh tubuh
manusia. Namun jika rasio Ca/P tinggi, maka akan memperlambat proses
penguraian (Prabakaran dan Galloway, 2005). Pada regenerasi jaringan tulang, sifat
biomaterial dari scaffold yang terpenting dalam pembentukannya adalah bioaktifitas
dan biodegradebilitas (Kotela et al., 2009).
2.2. Kitosan
Kitosan adalah suatu biopolimer dari D-glukosamin yang dihasilkan dari
proses deasetilasi kitin dengan menggunakan alkali kuat. Kitosan yang mempunyai
rumus umum (C6H11NO4)n adalah salah satu polimer alam populer yang diperoleh
dari hasil ektraksi dinding sel tumbuhan tingkat rendah seperti jamur dan juga
terdapat pada kulit luar hewan tingkat rendah seperti udang, kepiting, dan cumi-
11
cumi. Kitosan dengan rumus molekul poli - ( β -1 – 4 ) - 2 amino – 2 – deoksi - D –
glukopiranosa (Gambar 3) mewakili nama sebagian atau keseluruhan kitin yang
terdeasetilasi (Jones dan Mawhinney, 2006). Kitosan bersifat sebagai polimer
kationik yang tidak larut dalam air, dan larutan alkali dengan pH di atas 6,5 , akan
tetapi mudah larut dalam asam organik seperti asam formiat, asam asetat, dan asam
sitrat (Mekawati et al., 2000).
O
O
NH2H
HO
HOH2C
O
HONH2
HOH2C
Gambar 3. Struktur Kitosan (Kusumaningsih et al., 2004)
Spesifikasi kitosan (Setiawan, 2016):
Bentuk partikel : Serpihan
Bobot molekul : 10.000 – 1.000.000
Kadar air (%) : ≤ 10,0
Kadar abu (%) : ≤ 2,0
Warna larutan : Tidak berwarna
N-deasetilasi (%) : ≥ 90
Stabilitas : Stabil pada suhu kamar, sensitif terhadap suhu dan tidak
dapat dipanaskan diatas suhu 200oC
Kitosan diperoleh dengan menghilangkan sebagian besar gugus asetil pada
kitin disubstitusikan oleh hidrogen menjadi gugus amino dengan penambahan basa
konsentrasi tinggi, proses ini disebut deasetilasi. Pada proses tersebut gugus amina
12
(-NH) dilepaskan sehingga senyawa kitosan memiliki karakteristik kationik
(Ketabchi et al., 2016 ; Lu et al., 2011). Hal ini menyebabkan kitosan dapat
digunakan dalam rekayasa jaringan tulang karena bersifat biokompatibel dan tidak
toksik, memiliki struktur berpori, cocok untuk adhesi sel serta proliferasi,
antimikroba, dan mudah terurai (biodegradable) (Pourhaghgouy et al., 2016;
Muthukumar et al., 2016; Tavakol et al., 2014). Kitosan juga memiliki kemampuan
osteoinduktif dan mampu menginduksi proliferasi osteoblas (Logithkumar et al.,
2016). Namun demikian, kitosan sulit untuk mengontrol degradasi dan sifat
swelling (She et al., 2008). Kitosan merupakan bahan fungsional yang sangat baik
untuk aplikasi biomedis karena memiliki sifat biokompatibilitas tinggi, memiliki
sifat biodegradable, antibakteri, non-antigenicity, dan kemampuan adsorpsi yang
tinggi, sehingga cocok untuk diaplikasikan pada teknik rekayasa jaringan (Gambar
4) (Jayakumar et al., 2011; Muzzarelli et al., 1999; Thein-Han, Stevens, 2004;
Zhang dan Zhang, 2001 dalam Deepthia et al., 2016).
Gambar 4. Skema Sifat dan Aplikasi Kitin serta Kitosan (Deepthia et al., 2016)
13
Keuntungan utama dari kitin dan kitosan ialah fleksibilitasnya. Kitin dan
kitosan dapat diolah menjadi bermacam-macam bentuk, seperti manik-manik, gel,
mikropartikel, nanopartikel, nanofibers, scaffold dan lain-lain (Gambar 5).
Keuntungan lain dari kitosan dapat dimanfaatkan sebagai scaffold pada teknik
rekayasa jaringan dimana scaffold yang terbentuk memiliki pori-pori yang saling
berhubungan dan memberi kemampuan osteokonduktivitas serta meningkatkan
pembentukan tulang baik secara in vitro maupun in vivo (Ehrlich et al., 2010)
Gambar 5. Skema Bentuk Kitin dan Kitosan setelah diproses (Deepthia
et al., 2016)
2.2.1 Pembuatan Kitosan
Secara umum proses pembuatan kitosan meliputi 3 tahap, yaitu
deproteinasi, demineralisasi, dan deasetilasi. Proses deproteinasi bertujuan
mengurangi kadar protein dengan menggunakan larutan alkali encer sekitar 2-3%
dengan pemanasan pada suhu 63-65oC selama 1-2 jam. Proses demineralisasi
dimaksudkan untuk mengurangi kadar mineral (CaCO3). Demineralisasi umumnya
14
menggunakan asam konsentrasi rendah untuk mendapatkan kitin. Proses deasetilasi
bertujuan menghilangkan gugus asetil dari kitin melalui pemanasan dalam larutan
alkali kuat dengan konsentrasi tinggi dan panas (Yunizal et al., 2001). Gambar 6
memperlihatkan proses penghilangan gugus asetil (deasetilasi) pada kitin dengan
alkali kuat NaOH.
Proses deasetilasi dengan menggunakan alkali pada suhu tinggi akan
menyebabkan terlepasnya gugus asetil (CH3CHO-) dari molekul kitin. Gugus amida
pada khitin akan berikatan dengan gugus hidrogen yang bermuatan positif sehingga
membentuk gugus amina bebas –NH2 (Mekawati et al., 2000).
O
O
NH2 HHO
HOH2C
O
HONH2
HOH2C
O
O
NHCOCH3
HHO
HOH2C
O
HONHCOCH3
HOH2C
Chitin Chitosan
NaOH
Gambar 6. Reaksi deasetilasi kitin menjadi kitosan (Rahayu dan Purnavita,
2007)
2.2.2 Sifat Fisika, Kimia, dan Biologi Kitosan
a. Sifat Fisika
Pada umumnya polisakarida alami seperti selulosa, dekstrin, pektin,
alginat, agar-agar, karagenan bersifat netral atau sedikit asam, sedangkan
kitin dan kitosan bersifat basa (Kumar, 2000).
Kitosan merupakan padatan amorf putih yang tidak larut dalam
alkali dan asam mineral kecuali pada keadaan tertentu. Kitosan merupakan
molekul polimer yang mempunyai berat molekul tinggi. Kitosan dengan
15
berat molekul tinggi didapati mempunyai viskositas yang baik dalam
suasana asam (Onsoyen dan Skaugrud, 1990).
Kitosan hasil deasetilasi kitin larut dalam asam encer seperti asam
asetat dan asam formiat. Kitosan dapat membentuk gel dalam N-
metilmorpholin N-Oksida yang dapat digunakan dalam formulasi pelepasan
obat terkendali. Kandungan nitrogen dalam kitin berkisar 5-8% tergantung
pada tingkat deasetilasi sedangkan nitrogen pada kitosan kebanyakan dalam
bentuk gugus amino. Maka kitosan bereaksi melalui gugus amino dalam
pembentukan N-asilasi dan reaksi basa schiff, merupakan reaksi yang
penting (Kumar, 2000).
Selain itu, sifat fisik yang khas dari kitosan yaitu mudah dibentuk
menjadi spons, larutan, gel, pasta, membran dan serat yang sangat berperan
dalam aplikasinya (Kaban, 2009).
b. Sifat Kimia
Sifat kimia kitosan antara lain adalah polimer poliamin berbentuk
linear, mempunyai gugus amino dan hidroksil yang aktif dan mempunyai
kemampuan mengkelat beberapa jenis logam. Adanya gugus amino dan
hidroksil dari kitosan juga menyebabkan kitosan mudah dimodifikasi secara
kimia antara lain dalam reaksi pembentukan N-Asil, O-Asilasi, basa schiff,
N- dan O-Asilasi, eter kitosan, N-Alkil, kitosan nitrat, kitosan fosfat, dan
kitosan sulfat (Kaban, 2009; Allan et al., 1984).
Menurut Rismana (2006), Sifat kimia kitosan diantaranya ialah :
merupakan polimer poliamin berbentuk linear, mempunyai gugus amino
aktif, dan mempunyai kemampuan mengikat beberapa logam.
16
c. Sifat Biologi
Sifat biologi kitosan antara lain: bersifat biokompatibel artinya
sebagai polimer alami sifatnya tidak mempunyai akibat samping, tidak
beracun, tidak dapat dicerna, mudah diuraikan oleh mikroba
(biodegradable) mampu berikatan dengan sel mamalia dan mikroba secara
agresif, bersifat hemostatik, fungistatik, spermisidal, antitumor,
antikolesterol, bersifat sebagai depresan pada sistem saraf pusat.
Berdasarkan kedua sifat tersebut maka kitosan mempunyai sifat fisik khas
yaitu mudah dibentuk menjadi spons, larutan, pasta, membran, dan serat.
yang sangat bermanfaat (Rismana, 2006).
Kitosan dengan bentuk amino bebas tidak larut dalam air pada pH
lebih dari 6,5 sehingga memerlukan asam untuk melarutkannya. Kitosan
larut dalam asam asetat dam asam formiat encer. Adanya dua gugus
hidroksil pada kitin sedangkan kitosan dengan 1 gugus amino dan 2 gugus
hidroksil merupakan target dalam modifikasi kimiawi (Hirano,1986).
Sifat kation kitosan adalah linier polielektrolit, bermuatan positif,
flokulan yang sangat baik dan pengkelat ion – ion logam. Sifat biologi
kitosan adalah non toksik, polimer alami, sedangkan sifat kimia seperti
linier poliamin, gugus amino dan gugus hidroksil yang reaktif. Aplikasi
kitosan dalam berbagai bidang tergantung sifat – sifat kationik, biologi dan
kimianya (Sandford dan Hutchings, 1987).
17
2.3. Tetrasiklin
Tetrasiklin merupakan kelompok antibiotika yang dihasilkan oleh jamur
Streptomyces aureofaciens atau S. rimosus yang dikembangkan secara semisintetik
(Siswandono dan Soekarjo, 2000). Tetrasiklin merupakan derivat dari senyawa
hidronaftasen (oktahidronaftasen) yang terbentuk oleh gabungan 4 buah cincin.
Stereokimianya sangat kompleks disebabkan tetrasiklin memiliki 5 atau 6 pusat
atom C asimetri (Siswandono dan Soekarjo, 2000; Subronto dan Tjahjati, 2001).
Tetrasiklin merupakan antibiotika berspektrum luas yang aktif terhadap bakteri
gram-positif maupun gram-negatif yang bekerja merintangi sintesa protein (Tan
dan Rahardja, 2008 ; Wei et al., 2012 ; Luo et al., 2011). Tetrasiklin merupakan
antibiotik yang bersifat bakteriostatik dan bekerja dengan jalan menghambat
sintesis protein kuman. Tetrasiklin memiliki spektrum yang luas, artinya antibiotik
ini memiliki kemampuan melawan sejumlah bakteri patogen (Yuningsih 2004).
Tetrasiklin merupakan senyawa berwarna kuning dan sedikit larut dalam air.
Pada suhu 28°C kelarutan tetrasiklin dalam air sebesar 1,7 mg/ml sedangkan dalam
metanol lebih dari 20 mg/ml (Schunack et al., 1990). Tetrasiklin bersifat amfoter
karena mengandung gugus-gugus yang bersifat asam seperti hidroksil dan basa
karena memiliki gugus dimetilamino(Siswandono dan Soekarjo, 2000). memiliki
rumus molekul C22H24N2O8 dan memiliki nama IUPAC [4s- (4α,4aα,5aα,6β,12aα)]
-4- (dimetilamino) 1,4,4a,5,5a, 6-11,12a-oktahidro-3,6,10,12,12a-pentahidroksi- 6-
metil -1,11-diokso- 2- naftasenkarboksamida dengan bobot molekul 444,44 g/mol
(Gambar 7)
18
OH O
CH3HOH
OH
HH N(CH3)2
OH
CONH2
OOH
Gambar 7. Struktur Tetrasiklin (Dehdab et al., 2016)
Tetrasiklin berakumulasi dalam sitoplasma melalui sistem transpor yang
bergantung energi. Sistem transpor ini tidak ada dalam sel-sel mamalia. Resistensi
terhadap tetrasiklin terjadi bila bakteri mengalami mutasi melalui suatu cara yang
membuat bakteri tersebut tidak dapat mengakumulasi obat (Stringer, 2006).
Tetrasiklin menghambat sintesis protein bakteri dengan berikatan pada ribosom
bakteri 30S dan mencegah akses amino asil tRNA ketempat akseptor (A) pada
kompleks ribosom mRNA. Obat-obat ini memasuki bakteri gram negatif secara
difusi pasif melalui saluran yang dibentk oleh porin pada membran sel luar dan
secara transpor aktif akan memompa tetrasiklin melewati membran sitoplasma
(Goodman dan Gilman, 2010)
2.4. Freeze Drying
Freeze drying (Pengeringan beku), juga dikenal sebagai liofilisasi, telah
banyak digunakan untuk menyiapkan bahan berpori untuk teknik jaringan dan
aplikasi biologi, (Hutmacher , 2000; Badylak et al., 2009). Disamping itu, freeze
drying juga digunakan dalam industri farmasi untuk meningkatkan stabilitas obat-
oabatan (Tang dan Pikal, 2007). Dalam beberapa tahun terakhir, metode freeze
drying telah digunakan sebagai suatu metode unik untuk mensintesis material
berpori. Berbagai jenis material berpori seperti aligned porous dan hybrid porous,
19
telah berhasil disintesis dengan metode ini (Zhang dan Cooper, 2007; Guti´errez et
al., 2008; Zhang et al., 2005). Tahapan dalam pembuatan material berpori
meliputi: pencucian partikel; emulsi template; pemisahan fase; tiga-dimensi (3D)
pencetakan dan elekrokimia (Schugens et al., 1996; Nam dan Park, 1999; Mikos et
al., 1994; Martina et al., 2005; Macintyre dan Sherrington, 2004).
Proses freeze drying terdiri dari tiga tahap: pembekuan, pengeringan primer
dan pengeringan sekunder (Tang dan Pikal, 2004; Chen dan Wang, 2007; Liu,
2006) Proses pembekuan dilakukan dengan cara memberi kontak terhadap sampel
cair atau menempatkannya dalam wadah dengan suhu yang rendah . Sampel beku
kemudian ditempatkan dalam freeze dryer untuk menghilangkan pelarut beku
dengan sublimasi. Selama proses freeze drying, sampel beku harus disimpan pada
suatu tabung dengan perubahan suhu atau perubahan titik leleh dan pelarut beku
dihilangkan dengan cara vacuum.(Chen dan Wang, 2007; Liu, 2006). Pori-pori
struktur akan terbentuk akibat kehilangan pelarut. Dengan demikian, pelarut beku
bertindak sebagai porogen untuk menghasilkan bahan berpori.
a. Pembekuan
Tahap pembekuan sangat penting untuk menghasilkan struktur berpori
sesuai dengan yang diinginkan. Selama proses pembekuan, pelarut berubah
menjadi kristal tetapi tidak dengan molekul zat terlarut, proses ini berlangsung
sampai sampel benar-benar menjadi beku. Kondisi tertentu pada pembekuan
seperti temperatur, konsentrasi zat terlarut, jenis pelarut, dan arah pembekuan
merupakan faktor penentu dalam keberhasilan pembentukan struktur pori yang
dihasilkan. Saat pelarut berair membeku di dalam nitrogen cair yang memiliki
temperatur rendah (-196oC) maka akan terbentuk inti beku dan kristal yang
20
berukuran kecil. Namun, bila pembekuan dilakukan pada suhu yang lebih
tinggi (misalnya -20oC), inti beku terbentuk secara lambat dan cenderung
membentuk kristal yang lebih besar, dimana material yang terbentuk akan
memiliki pori yang besar dan acak seusai proses freeze drying.
Arah pembekuan juga memiliki efek besar terhadap morfologi pori-pori
(Zhang dan Cooper, 2007), dengan mengontrol arah pembekuan maka
pembentukan kristal diorientasikan ke satu arah, proses ini disebut directional
freezing (Gambar 8).
Gambar 8. Skema Proses Directional Freezing (Qian dan Zhang,
2010)
b. Pengeringan
Proses pengeringan biasanya dilakukan dalam instrumen pengering
beku dengan temperature-controlled shelves. Pengeringan primer terjadi
ketika pelarut beku menyublim saat tekanan dikurangi. Tahap ini biasanya
memakan waktu cukup lama dimana prosesnya berhubungan langsung laju
penyubliman yang ditentukan oleh faktor-faktor seperti tingkat vakum,
pengatur suhu (shelf temperature), volume sampel, luas permukaan terluar,
dan ketahanan produk. Pengeringan sekunder dilakukan untuk membawa
pelarut yang tidak beku untuk berikatan dengan polimer, proses ini
21
dilakukan pada tingkat vakum yang lebih rendah dibandingkan
pengeringan primer yang berfungsi menghilangkan ikatan dengan air.
Proses pengeringan sekunder ini sangat penting dalam aplikasi farmasi
(Tang dan Pikal, 2004).
2.5. Radiasi
Radiasi adalah pancaran energi atau partikel energi atau foton oleh suatu
sumber. Ada beberapa sumber radiasi yang kita kenal disekitar kehidupan kita,
contohnya seperti televisi, lampu penerangan, alat pemanas makanan (microvawe
oven), komputer dan lain-lain.
Selain benda-benda diatas ada sumber-sumber radiasi yang bersifat unsur
alamiah dan berada di udara, air ataupun lapisan bumi. Beberapa diantaranya
adalah Uranium dan Thorium di dalam lapisan bumi, Karbon dan Radon di udara
serta Tritium dan Deutrium yang ada didalam air.
2.5.1 Jenis - Jenis Radiasi
Secara garis besar radiasi digolongkan ke dalam radiasi pengion dan radiasi
non-pengion.
1. Radiasi Pengion
Radiasi pengion adalah jenis radiasi yang dapat menyebabkan proses
ionisasi (terbentuknya ion positif dan ion negatif) apabila berinteraksi dengan
materi. Partikel alpha, beta, gamma, sinar-X dan neutron termasuk radiasi
pengion. Jenis-jenis radiasi ini memiliki karakterisasi khusus diantaranya dapat
dijelaskan dibawah ini:
22
a. Partikel alpha (α)
Mempunyai ukuran (volum) dan muatan listrik positif yang besar dan
tersusun dari dua proton dan dua neutron, sehingga identik dengan inti atom
Helium. Daya ionisasi partikel alpha sangat besar, kurang lebih 100 kali daya
ionisasi beta dan 10.000 kali daya ionisasi sinar gamma. Karena mempunyai
muatan listrik yang besar maka partikel alpha mudah dipengaruhi oleh medan
listrik yang ada disekitarnya. Partikel alpha tidak mampu menembus pori-pori
kulit kita pada lapisan yang paling luar sekalipun karena mempunyai ukuran
yang besar.
b. Partikel beta (β)
Mempunyai ukuran dan muatan listrik lebih kecil dari partikel alpha.
Daya ionisasi di udara 1/100 kali daya ionisasi partikel alpha. Partikel beta
mempunyai daya tembus lebih besar dari partikel alpha karena ukurannya
lebih kecil.
c. Sinar gamma (γ)
Sinar gamma merupakan sebuah bentuk energi dari radiasi
elektromagnetik yang diproduksi oleh radioaktivitas. Selain itu, sinar gamma
juga membentuk spektrum elektromagnetik energi tertinggi akibat produksi
dari transisi energi karena percepatan elektron.
Sinar gamma adalah gelombang elektromagnetik yang bergerak dengan
kecepatan sangat tinggi. Arahnya tidak dipengaruhi oleh medan magnet dan
daya ionisasinya kecil serta daya tembusnya tinggi (Wahyudi et al., 2005).
Sumber radiasi gamma yang banyak digunakan adalah isotop radioaktif dan
sumber radiasi elektron yang berasal dari mesin berkas elektron. Isotop
23
radioaktif yang banyak digunakan ialah nuklida Co-60 dan Cs-137. Reaksi
pembentukan isotop Co-60 dapat ditulis sebagai berikut:
5927
𝐶𝑜 + 10
𝑛 → 6027
𝐶𝑜 → 6028
𝑁𝑖∗ + 0
−1𝛽 →
6028
𝑁𝑖 + 00
𝛾1 + 00
𝛾2
Pembentukan isotop Cs-137 melalui proses pembelahan inti yang terjadi
pada atom U-235 atau Pu-239. Atom U-235 atau Pu-239 akan membelah
menjadi unsur radioaktif, dan berinteraksi dengan neutron untuk
menghasilkan radiasi gamma (γ) dan beta (β) (Marnada,2007).
d. Sinar-X
Mempunyai kemiripan dengan sinar gamma, yaitu dalam jangkau pada
suatu media dan pengaruhnya oleh medan listrik. Yang membedakan antara
keduanya adalah proses terjadinya sinar gamma dihasilkan dari proses
peluruhan zat radioaktif yang terjadi pada inti atom, sedangkan sinar-X
dihasilkan pada waktu elektron berenergi tinggi yang menumbuk suatu target
logam.
e. Partikel neutron
Partikel neutron memiliki ukuran kecil dan tidak mempunyai muatan
listrik, serta memiliki daya tembus yang tinggi. Partikel meutron dapat
dihasilkan dari reaksi nuklir antara satu unsur tertentu dengan unsur lainnya.
2. Radiasi Non Pengion
Radiasi non-pengion adalah jenis radiasi yang tidak akan menyebabkan
efek ionisasi apabila berinteraksi dengan materi. Yang termasuk dalam jenis
radiasi non-pengion antara lain adalah gelombang radio (yang membawa
informasi dan hiburan melalui radio dan televisi), gelombang mikro (yang
digunakan dalam microwave oven dan transmisi seluler handpone), sinar
24
inframerah (yang memberikan energi dalam bentuk panas), cahaya tampak
(visble) dan sinar ultra violet (yang dipancarkan matahari) (Alatas, 2005).
2.5.2 Dosis Radiasi Untuk Teknik Rekayasa Jaringan
Radiasi sinar gamma telah efektif digunakan untuk sterilisasi bahan
implantasi tulang (Glowacki, 2005). Dosis 25 kGy merupakan dosis tertinggi
yang digunakan oleh bank jaringan di Negara Inggris, dimana dosis tersebut
memberikan tingkat jaminan sterilitas 10-9 untuk bakteri vegetatif (Angermann
dan Jepsen, 1991), namun tidak cukup untuk meninaktivasi human
immunodeficiency virus (HIV) serta virus lainnya yang radioresisten (Currey et
al., 1997; Kitchen et al., 1989; Sullivian et al., 1971 dalam Ahmed et al., 2007 ),
dan spora bakteri (Tsuji et al., 1981 dalam Ahmed et al., 2007). Namun, dosis
yang lebih tinggi telah terbukti merugikan osteoinduktif protein dan kekuatan
struktural tulang dalam cara pemberian dosisnya (Currey et al., 1997; Anderson
et al., 1992; Fideler et al., 1995; Gibbons et al.,1991 dalam Ahmed et al., 2007)
Dalam prakteknya, dosis sebesar 10 kGy didefinisikan sebagai dosis
yang diperlukan untuk menghilangkan 90% dari populasi mikroorganisme.
Faktor ini digunakan sebagai evaluasi efektivitas sterilisasi melalui radiasi
pengion (Kaminski et al., 2010). Meskipun dosis 15 KGy dianggap sebagai
dosis minimum yang diperlukan untuk mencapai tingkat sterility assurance level
(SAL), beberapa laporan mengindikasikan bahwa tingkat radiasi sinar gamma
tidak dapat dianggap sebagai metode inaktivasi virus yang signifikan untuk bone
allograft (Nguyen et al., 2007). Di sisi lain, telah dilaporkan bahwa sterilisasi
lengkap dari patogen resistif radiasi dicapai melalui dosis radiasi hingga 70 kGy
(Barth et al., 2011).
25
Mekanisme kerusakan akibat efek langsung dari iradiasi gamma terjadi
pada konstituen dan struktur mikro dari tulang (Cheung et al., 1990;. Bailey,
1967;. Hamer et al., 1999 dalam Allaveisi dan Mirzaei, 2016). Pengaruh
langsung terjadi pada rantai polipeptida kolagen kering (polypeptide chain
breakage of dried collagen), di mana sebagai efek tidak langsung terjadi pada
tulang basah (Kaminski et al., 2010). Pengaruh tidak langsung tersebut terjadi
beruntun termasuk radiolisis ikatan air, membentuk radikal bebas sangat reaktif
(terutama hidroksil (OH*)), dan efek crosslinking pada inter dan intra-molekul
(Salehpour et al., 1995; Dziedzic-Goclawskaetal., 2005 dalam Allaveisi dan
Mirzaei, 2016). Radikal bebas pada saat bereaksi akan menghasilkan reaksi
berantai antara satu sama lain, jaringan molekul organik, oksigen, dan konstituen
jaringan air (Kolagen, serat, protein, enzim, garam, mineral, andhydroxyapatite)
(Nather et al., 2006). Pada reaksi tersebut produk utama yang terbentuk ialah
hidrogen peroksida (H2O2), radikal hydroperoxy (HO*2), dan radikal peroksi
organik (RO*2), yang menghambat sintesis DNA dari organisme hidup serta
memiliki efek yang merugikan (Nather et al., 2006; Hall dan Giaccia, 2006).
2.5.3 Gamma Cell
Gamma cell adalah fasilitas iradiasi Co-60 untuk tujuan penelitian telah
digunakan dalam pekerjaan ini dengan aktivitas 10038 Ci. Co-60 memancarkan
foton dengan energi sekitar 1,17 dan 1,33 MeV dalam proporsi yang hampir
sama. Ini memiliki masa paruh 5.261 tahun. Gamma cell merupakan iradiator
yang berperisai langsung dari wadahnya, dengan volume iradiasi yang terbatas
(Rushdi, 2005).
26
Dalam IAEA Safety Series No 107, ada 4 kategori fasilitas gamma
irradiator sesuai dengan desain fasilitas, gamma cell merupakan iradiator
kategori I, dimana iradiator dengan sumber terbungkus seluruhnya berada di
dalam tempat penyimpanan kering (kontainer) yang terbuat dari material-
material padat, sumber tersebut berada di dalam kontainer tersebut sepanjang
waktu dan akses orang ke sumber tersebut dan ruangan iradiasi tidak
dimungkinkan secara fisik.
Gambar 9 menggambarkan bagian luar gamma cell yang terdiri dari
sumber annular, dilampirkan secara permanen dalam perisai timbal, laci silinder
yang membawa sampel ke dan dari posisi iradiasi, dan mekanisme penggerak
untuk bergerak laci naik atau turun sepanjang garis tengah sumber vertikal.
Ruang yang terkandung di dalam laci, bisa menampung sampel berdiameter
kira-kira enam inci dan tingginya delapan inci. Tabung akses di bagian atas laci
dapat mengenalkan koneksi cairan, gas, listrik atau mekanis ke dalam bilik.
Timer digital bertenaga listrik secara otomatis menandakan laci untuk
menaikkan saat penghentian iradiasi sampel (Rushdi, 2005).
Gambar 9. Bagian luar iradiator gamma cell (Rushdi, 2005)
27
Radiasi pengion yang dipancarkan oleh peluruhan atom yang tidak stabil
Co-60 disebut radiasi Beta dan Gamma. Radiasi Gamma yang dipancarkan oleh
Co-60 sangat tembus; oleh karena itu sumber Co-60 harus dikelilingi oleh bahan
perisai mengurangi tingkat radiasi sampai tingkat yang dapat diterima pada
setiap akses lokasi (IAEA,2002).
Ionisasi yang dihasilkan oleh partikel adalah proses dimana satu atau
lebih banyak elektron terbebaskan dalam tumbukan partikel dengan
atom atau molekul. Hal ini dapat dibedakan dari eksitasi, yang merupakan
transfer elektron ke tingkat energi yang lebih tinggi di atom atau molekul dan
umumnya membutuhkan sedikit energi. Bila partikel bermuatan melambat
cukup, ionisasi menjadi kurang mungkin atau tidak mungkin dan partikelnya
semakin merosot sisa energi dalam proses lain seperti eksitasi atau elastis
penyebaran. Jadi di dekat ujung jangkauan mereka, bermuatan partikel itu
pengion menjadi non-pengion (Rushdi, 2005).
Radiasi elektromagnetik (foton) menghasilkan ionisasi melalui mengetuk
beberapa partikel bermuatan di medium. Sebuah Xray atau sinar gamma foton
tidak bermuatan dan tidak menimbulkan langsung ionisasi atau eksitasi materi
yang melaluinya. Deteksi sinar gamma sangat bergantung pada menyebabkan
foton sinar gamma mengalami interaksi itu mentransfer semua atau sebagian
energi foton ke elektron di menyerap materi Ada tiga proses utama, yaitu
uraikan interaksi sinar gamma dengan materi. Mereka adalah (1) efek
fotoelektrik, (2) Efek Compton dan (3) pasangan produksi (Benny, 2003).
28
a. Efek fotoelektrik
Dalam proses fotolistrik, foton melepaskan semua energinya (E) ke
elektron terikat yang kemudian dikeluarkan dari atom dengan kinetik.
Energi (E1) sama dengan energi foton yang kurang mengikat
energi (Eb) elektron (E1 = E - Eb) (Gambar 10). Probabilitas dari
Pengusiran elektron maksimal saat energi foton menyala
lebih tinggi dari energi pengikat elektron. Fotolistrik
Penampang melintang bervariasi dengan energi kira-kira 1/E3 dan
massa koefisien penyerapan bervariasi kira-kira sebagai Z3 dimana Z
adalah nomor atom medium. Oleh karena itu efek fotolistrik
meningkat dengan bertambahnya jumlah atom penyerap dan dengan
mengurangi energi sinar gamma. Efek fotolistrik adalah proses
absorpsi yang benar (Benny, 2003).
Gambar 10. Ilustrasi efek fotolistrik dan efek compton (Rushdi, 2005)
b. Efek compton
Efek Compton melibatkan tumbukan foton dengan elektron,
yang dianggap bebas. Foton memindahkan sebagian energinya
ke elektron, yang mundur, dan sisa energi muncul sebagai energi dari
29
gambar foton yang tersebar (Gambar 10). Sebagian besar dari suatu
unsur (kecuali hidrogen) memiliki jumlah yang hampir sama
elektron per gram, maka penyerapan dengan proses ini adalah
hampir sama untuk semua bahan. Penutupan compton total
sangat sedikit pada energi rendah dari foton dan jatuh pada tinggi
energi. Dalam proses compton, hanya ada penurunan energi foton,
tingkat penurunan ini semakin besar semakin besar baik energi awal
maupun sudut hamburan (Benny, 2003).
c. Pasangan produksi
Produksi berpasangan adalah konversi foton menjadi sepasang positif
dan elektron negatif di medan nuklir (Gambar 11). Sejak pembuatan
pasangan ini membutuhkan energi minimal 1,02 MeV (yang mana
adalah dua kali sisa energi massa elektron). Kecuali fotonnya
memiliki setidaknya 1,02 MeV, prosesnya tidak akan terjadi. Energi
lebih dari 1,02 MeV dibagi rata dalam bentuk kinetik
energi pasangan terbentuk. Elektron positif telah kehilangan nya
Energi kinetik saat melintasi medium menggabungkan dengan
sebuah elektron negatif yang menyebabkan munculnya radiasi
pemusnahan di bentuk foton masing-masing dengan 0,51 MeV
bergerak berlawanan arah. Produksi pasangan meningkat dengan
cepat dengan atom nomor sebagai Z2 per atom (Benny, 2003).
30
Gambar 11. Ilustrasi pasangan produksi (Rushdi, 2005)
Semua proses ini menyebabkan disipasi energi dengan pengion radiasi
dalam sistem terbuka saat melintasi materi, radiasi elektromagnetik dapat
menjalani ketiga proses di dalamnya derajat yang bervariasi. Proses yang
mendominasi bergantung pada energi dari radiasi dan sifat media. Probabilitas
dari kejadian dikaitkan dengan setiap proses, yang disebut sebagai fotolistrik,
compton atau pasangan koefisien atenuasi produksi. Koefisien atenuasi total
adalah jumlah dari ketiga ketiganya koefisien (Benny, 2003). Pada energi
rendah, koefisien redaman massa total adalah terdiri dari proses fotolistrik. Dari
100 keV sampai 10 MeV, kontribusi utamanya berasal Proses Compton. Pada
1,02 MeV, produksi pasangan dimulai dan meningkat dengan energi (Rushdi,
2005).
2.6. Scanning Electron Microscope (SEM)
Analisa dengan SEM ini digunakan untuk melihat pembesaran suatu
material, dan dapat menerangkan unsur-unsur yang terkandung dalam suatu
material. Kelebihan dari SEM dibandingkan dengan mikroskop biasa adalah
pembesaran pada material yang akan diamati 1000 kali lebih besar dari mikroskop
biasa. Hal tersebut dapat dimanfaatkan untuk melihat struktur yang kecil pada
material yang akan diamati.
31
Menurut Swapp (2012), Pada sebuah mikroskop elektron (SEM) terdapat
beberapa peralatan utama antara lain (Gambar 12):
1. Pistol elekron, biasanya berupa filamen yang terbuat dari unsur yang
mudah melepas elektron misal tungsten.
2. Lensa untuk elektron, berupa lensa magnetis karena elektron yang
bermuatan negatif dibelokkan oleh medan magnet.
3. Sistem vakum, karena elektron yang berjalan menuju sasaran akan
terpancar oleh tumbukan sebelum mengenai sasaran sehingga
menghilangkan molekul udara menjadi sangat penting.
Gambar 12. Komponen scanning electron microscope (Anonim,
2008)
SEM adalah mikroskop elektron yang dapat digunakan untuk melihat unsur
renik yang tidak dapat dilihat dengan mikroskop optik, karena pembesaran yang
dihasilkan jauh lebih tinggi, yakni bisa mencapai 100.000x. Prinsip kerja SEM
adalah menembak permukaan sampel dengan berkas elektron yang dihasilkan oleh
electron gun. Ketika sampai pada permukaan spesimen, berkas elektron bekerja
memindai permukaan seperti gerakan menyapu atau menscan permukaan spesimen
32
tersebut (Gunawarman, 2013). Kerja SEM bermula dari electron beam yang
dihasilkan oleh sebuah filamen pada electron gun (Gambar 13). Pada umumnya
electron gun yang digunakan adalah tungsten hairpin gun dengan filamen berupa
lilitan tungsten yang berfungsi sebagai katoda. Tegangan diberikan kepada lilitan
yang mengakibatkan terjadinya pemanasan. Anoda kemudian akan membentuk
gaya yang dapat menarik elektron melaju menuju ke anoda. Kemudian electron
beam difokuskan ke suatu titik pada permukaan sampel dengan menggunakan dua
buah condenser lens. Condenser lens kedua (atau biasa disebut dengan lensa
objektif) memfokuskan beam dengan diameter yang sangat kecil, yaitu sekitar 10-
20 nm. Hamburan elektron, baik Secondary Electron (SE) atau Back Scattered
Electron (BSE) dari permukaan sampel akan dideteksi oleh detektor dan
dimunculkan dalam bentuk gambar pada layar CRT (Prasetyo, 2011).
Gambar 13. Skema electron gun pada SEM (Prasetyo, 2011)
33
SEM memiliki beberapa detektor yang berfungsi untuk menangkap
hamburan elektron dan memberikan informasi yang berbeda-beda. Detektor-
detektor tersebut antara lain:
Detektor EDX, yang berfungsi untuk menangkap informasi mengenai
komposisi sampel pada skala mikro.
Backscatter detector, yang berfungsi untuk menangkap informasi mengenai
nomor atom dan topografi.
Secondary detector, yang berfungsi untuk menangkap informasi mengenai
topografi.
Pada SEM, terdapat sistem vakum pada electron-optical column dan sample
chamber yang bertujuan antara lain:
Menghilangkan efek pergerakan elektron yang tidak beraturan karena
adanya molekul gas pada lingkungan tersebut, yang dapat mengakibatkan
penurunan intensitas dan stabilitas.
Meminimalisasi gas yang dapat bereaksi dengan sampel atau mengendap
pada sampel, baik gas yang berasal dari sampel atau pun mikroskop. Karena
apabila hal tersebut terjadi, maka akan menurunkan kontras dan membuat
gelap detail pada gambar.
Semua sumber elektron membutuhkan lingkungan yang vakum untuk beroperasi
(Prasetyo, 2011).
2.7. Fourier Transform Infra Red (FTIR)
Spektroskopi inframerah adalah teknik yang didasarkan adanya vibrasi
(getaran) dari atom pada suatu molekul. Spektrumnya diperoleh dari
sinar radiasi inframerah yang diserap oleh sampel pada energi tertentu (Carey
34
et al., 2000 ; Rohman, 2014). Spektrum IR merupakan jenis spektrum yang bersifat:
(1) spesifik terhadap suatu molekul; yang akan memberikan informasi yang
menyatu (inheren), termasuk jenis dan interaksi-interaksinya; (2) sidik jari
(fingerprint); (3) kuantitatif, yang mana intensitas puncak berkolerasi dengan
konsentrasi, (4) nondestruktif (tidak merusak), yang berarti bahwa pada jenis
penanganan sampel tertentu seperti dengan attenuated total reflectance
(ATR),sampel yang telah dianalisis dengan IR dapat dianalisis dengan metode
analisis yang lain dan (4) bersifat universal, dalam persyaratan pengambilan
sampelnya, baik sampel padat, cair, gas, sampel antara padat dan cair atau gas
(Rohman, 2014).
Sinar inframerah (infra red = IR) mempunyai panjang gelombang yang lebih
panjang dipandingkan dengan UV – Vis, sehingga energinya lebih rendah dengan
bilangan gelombang antara 600 – 4000 cm-1 atau sekitar (1,7 x 10-3 cm sampai
dengan 2,5 x 10-4 cm) (Sitorus, 2009). Prinsip kerja FTIR adalah mengenali gugus
fungsi suatu senyawa dari absorbansi inframerah yang dilakukan terhadap senyawa
tersebut. Pola absorbansi yang diserap oleh tiap-tiap senyawa berbeda-beda,
sehingga senyawa-senyawa dapat dibedakan dan dikuantifikasikan (Sankari et al.,
2010).
Komponen dasar FTIR ditunjukkan pada Gambar 14 terdiri atas sumber
radiasi, sampel kompartemen, monokromator, detektor, dan amplifier. Radiasi yang
berasal dari sumber sinar dilewatkan melalui interferometer ke sampel sebelum
mencapai detektor berupa TGS (Tetra Glycerine Sulphate) atau MCT (Mercury
Cadmium Telluride). Selama penguatan (amplifikasi) sinyal, yang mana kontribusi-
kontribusi frekuensi tinggi telah dihilangkan dengan filter, maka data diubah ke
35
bentuk digital dengan suatu analog-to-digital conventer dan dipindahkan ke
komputer untuk menjalani transformasi fourier.
Gambar 14. Komponen Dasar FTIR (Bhavanavedantam, 2014)
Gugus fungsi dalam suatu molekul dapat menyerap radiasi inframerah
sehingga dapat menyebabkan vibrasi. Besarnya absorpsi suatu tipe ikatan
tergantung dari jenis vibrasi ikatan tersebut sehingga tipe ikatan mengabsorpsi
radiasi pada panjang gelombang yang berlainan pula (Maulidiyah et al. 2015).
Berikut tabel Bilangan Gelombang Spektrofotometer FTIR (Sastrohamidjojo,
2013).
Ada Beberapa metode yang dilakukan untuk menangani sampel
dalam bentuk padatan antara lain dengan mencampurkan padatan sampel dengan
serbuk KBr, kemudian campuran tersebut dipress dengan tekanan tinggi.
Dibawah tekanan ini KBr akan melebur dan akan membentuk matrix (Pavia et al.,
2001.
36
Tabel 1. Bilangan Gelombang FTIR (Sastrohamidjojo, 2013)
Gugus
Fungsi
Jenis Vibrasi Frekuensi
(cm-1)
Intensitas
C – H (Csp3) alkana (rentang)
-CH3 (Bengkok )
3000 – 2850
1450 – 1375 Tajam
Sedang
-CH2- (Bengkok )
(Csp2) alkena (rentang)
1465 – 1450 3100 – 3000
Sedang Sedang
(keluar bidang ) 1000 – 650 Tajam
Aromatik (rentang ) 3150 – 3050 Lemah
(keluar bidang ) 900 – 690 Sedang
(Csp) alkuna (rentang) 3300 Sedang C – H Aldehida 2900 – 2800 Lemah
2800 – 2700 Lemah
Amidana
1350 – 1000 Sedang – lemah C = C Alkena 1680 – 1600 Sedang – lemah
Aromatik 1600 – 1475 Sedang – lemah C ≡ C Alkuna 2250 – 2100 Sedang – lemah C = O Aldehida 1740 – 1720 Tajam
Keton 1725 – 1705 Tajam
Asam karboksilat 1725 – 1700 Tajam
Ester 1750 – 1730 Tajam
Amida 1670 – 1640 Tajam
Anhidrida 1810 – 1760 Tajam
Klorida asam 1800 Tajam
C – O Alkohol, ester, eter, asam
karboksilat, anhidrida 1300 – 1000 Tajam
O – H Alkohol , fenol, -bebas 3650 – 3600 Sedang
ikatan –H 3500 – 3200 Sedang
Asam karboksilat 3400 – 2400 Sedang
Amida primer dan
N – H sekunder dan amina 3500 – 3100 Sedang
(rentang)
Bengkok 1640 – 1550 Sedang – tajam C = N Imina dan oksin 1690 – 1640 Lemah – tajam C ≡ N Nitril 2260 – 2240 Tajam
X= C = Y Allena, ketena, isosianat,
Isotiosianat 2270 – 1450 Lemah – tajam
N = O Nitro (R-NO2) 1550 dan 1350 Tajam
S – H Merkaptan 2250
Lemah S = O Sulfon, sulfonil-klorida 1375 – 1300 Tajam
Sulfat dan sulfanamiad 1200 – 1140 Tajam
37
2.8 Spektrofotometer UV - Vis
Spektrofotometer UV-Vis bermanfaat untuk penentuan konsentrasi
senyawa-senyawa yang dapat menyerap radiasi pada daerah ultraviolet (200-400
nm) atau daerah sinar tampak (400-800 nm). Biasanya cahaya terlihat merupakan
campuran dari cahaya yang mempunyai berbagai panjang gelombang (λ), dari
400-800 nm (Tahir et al., 2009).
Prinsip dari spektroskopi UV-Vis adalah adanya transisi elektronik suatu
molekul yang disebabkan oleh peristiwa absorpsi (penyerapan) energi berupa
radiasi elektromagnetik pada frekuensi yang sesuai oleh molekul tersebut
(Rohman, 2007). Komponen-komponen pokok dari spektrofotometer UV-Vis
meliputi: (1) sumber tenaga radiasi yang stabil, (2) sistem yang terdiri atas lensa-
lensa, cermin, celah-celah dan lain-lain. (3) monokromator untuk mengubah radiasi
menjadi komponen-komponen panjang gelombang tunggal (monokromatik) (4)
sel/kuvet tempat cuplikan yang transparan dan (5) detektor (photomultiplier) radiasi
yang dihubungkan dengan sistem meter dan pencatat. Berikut skema dari
instrumentasi spektrofotometer Uv-Vis ditunjukkan pada Gambar 15.
Gambar 15. Skema spektrofotometer UV-Vis (Owen, 2000)
38
Molekul mempunyai tingkat energi elektron yang analog dengan energi
elektron dalam atom. Tingkat energi molekul ini disebut orbital molekul. Orbital
molekul timbul dari interaksi orbital atom didalam molekul. Orbital berenergi
rendah disebut orbital ikatan dan orbital yang berenergi tinggi disebut orbital
antiikatan (Kurniasari, 2006). Jika molekul menyerap cahaya tampak dan UV maka
akan terjadi perpindahan elektron dari keadaan dasar menuju keadaan tereksitasi.
Perpindahan elektron ini disebut transisi elektronik. Interaksi antara energi dengan
gugus kromofor menyebabkan terjadinya transisi elektronik (Neldawati dan
Gusnedi, 2013).
Radiasi elektomagnetik berinteraksi dengan benda berupa berkas sinar yang
disebut foton. Energi setiap foton berbanding langsung dengan frekuensi radiasi
Foton yang memiliki frekuensi (υ) yang tinggi (λ pendek) mempunyai energi yang
lebih tinggi dari pada foton yang berfrekuensi rendah (λ panjang). Intensitas
berkas sinar sebanding dengan jumlah foton yang tak tergantung pada energi setiap
foton. Bila cahaya jatuh pada senyawa maka sebagian dari cahaya akan diserap
oleh molekul-molekul sesuai dengan struktur dari molekul (Khopkar,2003).
2.9 Kolorimetri
Kolorimetri lebih dikenal dengan istilah kromameter menggunakan sensor
fotodioda, seperti halnya fungsi color matching retina mata manusia yang bisa
mendeteksi tiga nilai warna primer. Ketiga nilai dasar inilah yang nantinya
mendasari perhitungan color space CIEL*a*b*/CIEL*c*h*.
Kolorimeter/kromameter dapat mengukur tiga warna primer dengan mudah.
39
Kolorimeter mempunyai keterbatasan, yaitu tidak bisa mengukur metamerisme
dan juga color strength.
Kolorimeter merupakan alat yang digunakan untuk mengukur warna dari
permukaan suatu objek. Prinsip dasar dari alat ini ialah interaksi antara energi
cahaya diffus dengan atom atau molekul dari objek yang dianalisis. Menurut
Darmawan (2009), prinsip kolorimeter (Gambar 16) adalah pengukuran perbedaan
warna melalui pemantulan cahaya oleh permukaan sampel. Alat ini terdiri atas
ruang pengukuran dan pengolah data. Ruang pengukuran berfungsi sebagai
tempat untuk mengukur warna objek dengan diameter tertentu. Setiap
kolorimeter dengan tipe berbeda memiliki ruang pengukuran dengan diameter
yang berbeda pula. Sumber cahaya yang digunakan yaitu lampu xenon. Lampu
inilah yang akan menembak permukaan sampel yang kemudian dipantulkan
menuju sensor spektral. Selain itu, enam fotosel silikon sensitifitas tinggi dengan
sistem sinar balik ganda akan mengukur cahaya yang direfleksikan oleh sampel
(Anonim, 1991).
Gambar 16. Skema chromameter (Anonim, 1991)
Skema pengukuran dari kolorimeter yaitu sampel diberi cahaya diffus dan
diukur pada sudut tertentu. Cahaya diffus yang mengenai sampel dipantulkan
40
pada sudut tertentu, kemudian diteruskan ke sensor spektral, lalu dihitung
menggunakan komputer mikro (Boedi, 2004).
CIEL*a*b* merupakan koordinat ditetapkan oleh Komisi Internationale de
l’Eclairage (CIE), ruang warna L*a*b* dimodelkan setelah teori warna
lainnya yang menyatakan bahwa dua warna tidak bisa merah dan hijau pada
waktu yang sama atau kuning dan biru pada saat yang sama waktu. Unit dalam
sistem L*a*b* memberikan persepsi yang sama tentang perbedaan warna pada
pengamat manusia (Abid et al., 2017).
Nilai L* mendeskripsikan kecerahan warna, L*=0 untuk hitam dan
L*=100 untuk putih, nilai a* mendeskripsikan jenis warna hijau–merah, dimana
angka negatif a* mengindikasikan warna hijau dan angka positif a*
mengindikasikan warna merah, nilai b* mendeskripsikan jenis warna biru-kuning,
dimana angka negatif b* mengindikasikan warna biru dan angka positif b*
mengindikasikan warna kuning (Renuka et al., 2010).
CIEL*a*b* adalah ruang warna yang paling lengkap. Ruang warna ini
menggambarkan semua warna yang dapat dilihat oleh mata manusia dan dibuat
sedemikian rupa sehingga bersifat mandiri tidak tergantung pada alat maupun
proses, sehingga ICC – International Color Corsortium menggunakan ruang warna
CIEXYZ dan CIELAB sebagai dasar perhitungan komunikasi warna (PCS –
Profile Communication Space) dalam Color Management System, dan CIELAB
dipergunakan untuk mendeskripsikan warna, perbedaan warna serta toleransi
dalam standar internasional ISO 12647 (Hoffman, 2008).
41
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Mei 2017 di
Laboratorium Bidang Proses Radiasi, Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi, Badan
Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), Pasar Jumat, Lebak Bulus, Jakarta Selatan.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah oven (Memmert),
magnetic stirrer (Hanten), sealer machine, peralatan gelas, freezer (Sanyo Ultra
Low), pH meter (Metller Toledo), homogenizer (IKA Homogenizer) dan freeze
dryer (Coolsafe Scanvac). Karakterisasi scaffold di uji menggunakan FTIR
(Shimadzu IR Prestige-21), SEM (HITACHI SU3500), spektrofotometer UV-Vis
(Carry 100 UV-Vis), kolorimeter (Chroma Meter CR-200b, Minolta), gamma cell
iradiator Cobalt-60, dan inkubator (Memmert).
3.2.2 Bahan
Bahan yang digunakan adalah tetrasiklin yang diproduksi oleh PT. Pyrous,
kitosan (BATAN), akuades, asam asetat glacial (Merck®), NaOH (Merck®),
Na2HPO4 (Merck®), etanol (Merck®) dan HCl (Merck®).
41
42
3.3 Prosedur Kerja
3.3.1 Pembuatan scaffold (Yang et al., 2010)
Scaffold dibuat dari kitosan dengan konsentrasi 2% (w/v) yang dilarutkan
dalam asam asetat 1%, lalu campuran dihomogenkan menggunakan stirrer selama
5 jam pada suhu ruang. Setelah cukup homogen, campuran dihomogenkan lebih
lanjut dengan homogenizer selama 10 menit hingga terbentuk slurry (bubur)
kitosan. Slurry kitosan disimpan di freezer pada suhu 4℃ selama 30 menit. Slurry
kitosan ditambahkan larutan Na2HPO4 5% setetes demi setetes hingga mencapai
pH 7. Tetrasiklin sebanyak 150 mg, 300 mg, dan 450 mg masing-masing
ditambahkan kedalam slurry kitosan 50 mL, lalu diaduk selama 30 menit hingga
campuran homogen.
Campuran dicetak ke dalam cetakan well dengan ukuran diameter 1 cm
dan tinggi 2 cm. Sebelum slurry kitosan – tetrasiklin dicetak, cetakan well ditetesi
asam asetat glacial 100% hingga permukaannya tertutupi lalu secara perlahan-
lahan slurry kitosan-tetrasiklin sebanyak 2 mL dituang ke dalam cetakan. Sampel
diinkubasi selama 24 jam dengan suhu 37℃ lalu dibekukan menggunakan freezer
selama 24 jam pada temperatur -80℃. Scaffold yang telah membeku kemudian
dikering bekukan menggunakan freeze dryer selama 8 jam pada temperatur -
107℃ dan tekanan 0,055 mbarr. Setelah kering, scaffold dari masing-masing
perlakuan diiradiasi menggunakan gamma cell Co-60 dengan dosis 15 KGy dan
25 KGy, masing-masing selama 2 jam 21 menit dan 3 jam 55 menit, pada laju
radiasi 6340,2 Gy/jam dan aktivitas radiasi sebesar 8589 Ci sesuai dengan ISO
11137:2011, dengan menggunakan dosis 15 KGy dan 25 KGy diharapkan
memberikan pengaruh terhadap sifat fisikokimia scaffold.
43
3.3.2 Karakterisasi Scaffold
3.3.2.1 Analisa Gugus Fungsi (Gossla, 2016)
Karakterisasi ini dilakukan terhadap sampel scaffold kitosan baik
yang dikombinasikan dengan tetrasiklin maupun tidak. Sampel diletakkan pada
sample holder. Sampel dianalisis dengan jangkauan energi inframerah dalam
pengukuran bilangan gelombang 4000 - 400 cm-1.
3.3.2.2 Uji Warna (Perkasa et al., 2013)
Perubahan warna dari scaffold kitosan-tetrasiklin diukur
menggunakan kolorimeter. Sampel diletakkan pada lubang yang terdapat di
tengah plat putih sampai lubang terisi penuh atau dipadatkan kemudian
dipotret. Hasil potret akan mucul dalam skala warna CIEL*a*b* dimana dapat
mengukur relatif perubahan warna scaffold kitosan–tetrasiklin. Perbedaan
warna (ΔE) dihitung menggunakan persamaan berikut, menurut Arzate-
Vázquez et al. (2011).
Dimana ΔL* = L* - L0*, Δa* = a* - a0*, Δb* = b* - b0* di mana L*, a* dan b*
adalah nilai warna scaffold kitosan-tetrasiklin dan L0*, a0
*, b0* nilai warna dari
scaffold kitosan.
3.3.2.3 Analisa Struktur Pori (ASTM E 112-113)
Morfologi scaffold dianalisis menggunakan SEM (Scanning Elctron
Microscopy). Metode analisa morfologi scaffold mengikuti metode pada
ASTM (american standard testing and material) E 112-113. Scaffold dipotong
menjadi 2 bagian, yaitu bagian atas dan tengah untuk melihat morfologi
44
permukaan scaffold dan interkonektifitas porinya. Scaffold di lapisi emas
menggunakan ion sputter sebelum dianalisis menggunakan SEM.
3.3.2.4 Uji Pelepasan Obat (Thakur et al., 2011)
Sampel hidrogel / scaffold kitosan – tetrasiklin ditempatkan didalam
botol vial kemudian ditambahkan larutan PBS 20 mL untuk scaffold kitosan –
tetrasiklin dosis 6,25 mg, 12,5 mg, dan 18,75 mg dengan suhu 37oC selama 60
menit. Setelah 60 menit diukur serapannya menggunakan Spektrofotometer
UV-Vis pada daerah Ultraviolet dengan panjang gelombang 269 nm. Hal ini
dilakukan secara berulang-ulang hingga didapatkan konsentrasi minimum
tetrasiklin yang dilepas oleh scaffold kitosan – tetrasiklin hingga 24 jam.
3.3.2.5 Swelling Ratio/Rasio Pembengkakan (Emanet et al., 2016)
Sampel hidrogel/scaffold kitosan–tetrasiklin ditimbang dan hasilnya
dicatat sebagai bobot awal (Wo). scaffold kitosan–tetrasiklin direndam dalam 2
mL larutan buffer fosfat selama 2 jam dengan suhu 37oC. Setelah inkubasi,
scaffold dibilas dengan aquades kemudian disaring guna menghilangkan air
yang masuk ke dalam pori-pori scaffold. Scaffold ditimbang dan dicatat sebagai
bobot basah (Ww). Swelling Ratio dihitung dengan rumus, 100 x (Ww – Wo) /
Wo.
3.3.3 Uji Statistik
Percobaan dilakukan secara rangkap tiga dan perbedaan antara mean
perlakuan ditentukan oleh prosedur ANNOVA dan tukey pada p <0,05 dengan
menggunakan statistik SPSS. Nilai yang dinyatakan adalah mean ± standar
error pengukuran triplikat.
45
3.4 Diagram Alir Penelitian
Campuran dibuat dengan cara kitosan dengan
konsentrasi 2% (w/v) dilarutkan dalam asam asetat 1%
Slurry Kitosan
- Disimpan pada suhu 4℃ selama 30 menit
- Ditambah Na2HPO4 hingga pH 7
150 mg
tetrasiklin
Dihomogenkan selama 6 jam
Ditambahkan
300 mg
tetrasiklin
450 mg
tetrasiklin
Dicetak
Dicetak Dicetak
Scaffold Kitosan Scaffold Kitosan-
Tetrasiklin 6,25 mg
Scaffold Kitosan-
Tetrasiklin 12,5 mg
Scaffold Kitosan-
Tetrasiklin 18,75 mg
0
KGy
15
KGy
25
KGy
0
KGy
15
KGy
25
KGy 0
KGy
15
KGy
25
KGy
Scaffold dikarakterisasi untuk mengetahui sifat
fisikokimia nya (pori, gugus fungsi, warna, swelling
ratio,dan pelepasan obat)
0
KGy
15
KGy
25
KGy
Dicetak
46
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Scaffold Kitosan – Tetrasiklin
Scaffold kitosan – tetrasiklin dibuat dengan menggunakan larutan kitosan
termogelasi yang ditambahkan fosfat anorganik. Pada penelitian sebelumnya
dilaporkan bahwa penambahan larutan fosfat anorganik terhadap larutan asam
asetat kitosan mampu meningkatkan nilai pH dalam menjadi 7 atau netral disertai
gelasi pada suhu 37oC, selain itu penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat
potensi larutan kitosan-anorganik fosfat merupakan suatu sistem yang berguna
sebagai pembawa sel dalam matriks (Nair et al., 2007).
Scaffold kitosan – tetrasiklin dibentuk dari larutan kitosan yang disimpan
terlebih dahulu pada suhu 4oC kemudian ditambahkan fosfat anorganik guna
menetralisasi kitosan hingga mencapai pH diatas 6,2 yaitu 7 tanpa terjadi
presipitasi kitosan akibat gelasi yang terjadi secara spontan pada penambahan
fosfat anorganik diatas pKa nya. Hal tersebut telah dibuktikan pada penelitian
sebelumnya, larutan kitosan yang dinetralisasi menggunakan fosfat organik
seperti β-gliserofosfat (βGP) dan garam fosfat anorganik seperti ammonium
dihidrogen fosfat (NH4H2PO4) pada suhu rendah dapat membentuk larutan gel
serta mencegah terjadinya presipitasi akibat kenaikan pH (Nair et al., 2007). Pada
penelitian ini digunakan fosfat anorganik Na2HPO4 sebagai agen netralisasi
kitosan yang menghasilkan larutan kitosan-anorganik fosfat termogelasi, dimana
ion fosfat divalen dari Na2HPO4 tidak menginduksi ikatan sambung silang murni.
Hal tersebut mengindikasikan bahwa tidak adanya interaksi elektrostatik antara
46
47
rantai polimer kitosan dan ion fosfat divalen secara signifikan. Reaksi yang terjadi
antara larutan kitosan dengan ion fosfat divalen dapat dilihat pada Gambar 17.
Gambar 17. Reaksi antara larutan kitosan dengan ion fosfat divalen
(Zambito, 2013)
Proses gelasi ionik digunakan untuk membentuk suatu nanopartikel karena
metode yang digunakan sederhana dan ringan (Tsai et al., 2008). Proses ini dapat
dilakukan secara ikatan silang kimia maupun secara fisik. Kitosan memiliki
densitas kelompok amina yang tinggi dan jika terprotonasi akan membentuk
gugus (-NH3+) dalam larutan asam (Kafshgari et al., 2011). Proses gelasi terjadi
pada saat kitosan dilarutkan pada larutan dengan pH asam untuk mengubah gugus
amina (-NH2) menjadi terionisasi positif (-NH3+). Gugus yang telah terionisasi
positif ini selanjutnya mampu membentuk interaksi ionik dengan obat yang
bermuatan negatif (Bhumkar dan Pokharkar, 2006). Secara keseluruhan, sistem
yang terbentuk cenderung menyisakan gugus amonium bebas yang akan saling
tolak-menolak sehingga melemahkan kompleks nanopartikel yang telah terbentuk.
Oleh karena itu, perlu ditambahkan adanya suatu pengikat silang (crosslinker)
dimana mana penelitian ini yaitu ion divalen fosfat yang mampu menstabilkan
muatan positif yang tersisa.
Gel yang terbentuk pada pH 7 - 7,2 tidak memiliki sifat thermoreversible.
Hal ini menunjukkan bahwa efek gabungan elektrostatik daya tarik dan interaksi
O
O
NH2 H
HO
HOH2C
n
+O
O
NH3 H
HO
HOH2C
nH3C
C
OH
O
Kitosan Asam Asetat
O
O
NHH
HO
HOH2C
n
P
OO
O
Na2HPO4
48
hidrofobik meningkat dalam mempromosikan termogelasi dari larutan kitosan-
fosfat anorganik (Nair et al., 2007). Sifat slurry scaffold dipengaruhi oleh
interaksi elektrostatik antara anionik fosfat divalen dan kitosan. Interaksi kitosan-
fosfat anorganik ini bergantung pada: struktur molekul anionik, densitas muatan
dan konsentrasi molekulernya, pH larutan kitosan, dan sifat fisik kitosan, yaitu
berat molekul dan derajat deasetilasi (Gupta dan Jabrail, 2007).
Penambahan asam asetat glacial pada permukaan cetakan well bertujuan
mencegah scaffold tidak melekat terlalu kuat dengan cetakan, sehingga
mengakibatkan scaffold tidak terbentuk/hancur. Hal tersebut terjadi karena sistem
ini memiliki kelemahan yaitu stabilitasnya sangat dipengaruhi oleh tingkat
keasaman, di mana variasi pH akan mempengaruhi ionisasi kitosan yang pada
akhirnya mempengaruhi kekuatan ikatan pada kompleks (Lopez-Leon et al.,
2005).
Liofilisasi atau freeze drying digunakan sebagai metode yang mampu
mengeringkan serta meningkatkan stabilitas dari produk hasil teknik rekayasa
jaringan. Freeze drying terdiri atas tiga tahap: pembekuan (pemadatan),
pengeringan primer (sublimasi es) dan pengeringan sekunder (desorpsi air yang
tidak beku) (Franks, 1990). Tahapan-tahapan yang dilalui suatu produk pada
metode freeze drying akan menyebabkan terbentuknya pori-pori. Skema proses
freeze drying ditampilkan pada Gambar 18.
49
Gambar 18. Skema proses freeze drying (Priharyadi. 2013)
Scaffold yang dibuat dengan perlakuan gelasi (pregelled) memiliki
keunggulan dalam sistem penghantaran obat. Penghantaran obat akan menjadi
optimal karena lebih banyak obat yang terkirim ke lokasi sasaran, meminimalkan
paparan total tubuh terhadap obat, serta membantu mempertahankan tingkat obat
yang efektif pada cairan cervicular gingival untuk menghasilkan efek klinis yang
diinginkan. Scaffold yang dibuat memiliki biokompatibilitas dan bioadhesivitas
yang lebih tinggi dengan membiarkan adhesi pada mukosa di saku gigi, sehingga
dapat dieliminasi melalui jalur katabolik normal, mengurangi risiko iritasi atau
reaksi alergi di lokasi pengaplikasian (Patel et al., 2012). Berikut ini adalah
gambar scaffold yang dihasilkan dengan metode freeze drying, seperti yang
disajikan pada Gambar 19.
Gambar 19. Scaffold yang diproduksi dengan metode freeze drying
a. scaffold kitosan dosis radiasi 0 KGy dan b. scaffold kitosan-tetrasiklin 12,5
mg dosis radiasi 0 KGy.
b
atas bawah samping
a
atas bawah samping
50
4.2 Karakteristik scaffold
4.2.1 Hasil Analisis Gugus Fungsi dengan FTIR
Scaffold kitosan–tetrasiklin dikarakterisasi menggunakan instrumen FTIR
untuk mengetahui gugus fungsi dan memberikan informasi strukturalnya.
Rentang bilangan gelombang yang digunakan adalah 4000-400 cm-1. Pola
spektrum FTIR untuk kitosan dan tetrasiklin disajikan pada Gambar 27 dan 28
pada Lampiran 2.
Pola spektrum FTIR dari kitosan dan tetrasiklin (Gambar 27 dan 28)
menunjukkan puncak-puncak yang mengidentifikasikan gugus-gugus fungsi
penyusun senyawa kitosan dan tetrasiklin sebagai bahan baku scaffold kitosan-
tetrasiklin. Gugus fungsi penyusun kitosan dan tetrasiklin ditunjukkan pada
Tabel 2.
Tabel 2. Gugus fungsi kitosan dan tetrasiklin
Bahan Bilangan Gelombang (cm-1)
Gugus Fungsi Hasil Analisis Literatur*
Kitosan
3449, 3342 3600-3000 O-H streching berimpitan dengan
N-H (-NH2) streching 3399 3500-3300
2926 3000–2850 CH (-CH2-) streching asym
2874 3000–2850 CH (-CH2-) streching sym
1650 1900-1650 C=O (-NHCOCH3-) streching
1580 1640–1550 N-H bending
1537 1640-1500 C-N streching
1415 1465-1400 CH (-CH2-) bending asym
1385 1385-1355 CH (-CH2-) bending sym
1156 1300-1000 C-O (-C-O-C-) streching sym
Tetrasiklin
3615,3305 3600-3000 O-H streching
3363 3500-3300 N-H (-NH2) streching
2928 3000–2850 CH (-CH2-) streching asym
2861 3000–2850 CH (-CH2-) streching sym
1670 1900-1650 C=O (-NHCOCH3-) streching
1616 1640–1550 N-H bending
1541 1640-1500 C-N streching
1456 1465-1400 CH (-CH2-) bending asym
1357 1385-1355 CH (-CH2-) bending sym
*Sastrohamidjojo, 2013
51
4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500
20
25
30
35
40
45
50
55
60
Tra
nsm
ittan
ce (
%)
Bilangan Gelombang (1/cm)
25 KGy
15 KGy
0 KGy
Karakteristik puncak spektrum khas yang dimiliki kitosan terdapat pada
bilangan gelombang 1650 dan 1580 cm-1 untuk gugus C=O dari amida dan N-H
bending dari amina primer, serta puncak pada bilangan gelombang 3449 cm-1
untuk gugus O-H yang berhimpitan dengan NH2 (Huang et al., 2017).
Karakteristik puncak spektrum khas tetrasiklin terdapat pada bilangan
gelombang 3615 cm-1 untuk gugus O-H, bilangan gelombang 1616 cm-1 untuk
gugus amina sekunder, dan bilangan gelombang 1670 cm-1 untuk gugus C=O
dari amida (Niamlang et al., 2017). Hal ini membuktikan bahwa pola spektrum
FTIR yang dihasilkan mampu membuktikan gugus fungsi kitosan dan tetrasiklin
serta mampu mengkonfirmasi bahwa bahan yang digunakan merupakan kitosan
dan tetrasiklin.
a
O-H
N-H
C-H C=O
C-N
PO4
C-O
4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Tra
nsm
ittan
ce (
%)
Bilangan Gelombang (1/cm)
0 KGy
15 KGy
25 KGy
b
O-H
N-H
C-H
C=O
C-N
PO4
C-O
52
4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500
10
20
30
40
50
60
70
80
Tra
nsm
itta
nce
(%
)
Bilangan Gelombang (1/cm)
0 KGy
15 KGy
25 KGy
4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
55
60
65
70
75
80
85
Tra
nsm
itta
nce
(%
)
Bilangan Gelombang (1/cm)
0 KGy
15 KGy
25 KGy
Gambar 20. Spektrum IR scaffold kitosan dan scaffold kitosan–tetrasiklin
a. scaffold kitosan b. scaffold kitosan-tetrasiklin 6,25 mg c. scaffold kitosan-
tetrasiklin 12,5 mg d. scaffold kitosan-tetrasiklin 18,75 mg
Berdasarkan spektrum IR gugus fungsi scaffold kitosan dan scaffold
kitosan–tetrasiklin pada Gambar 20, memperlihatkan pola yang sama disetiap
variasi dan tidak jauh berbeda dengan spektrum bahan penyusunnya. Pada
spektrum IR gugus fungsi scaffold kitosan (Gambar 20a), menunjukkan
kemiripan pola spektrum dengan spektrum bahan penyusunnya yaitu kitosan
(Gambar 28 pada Lampiran 2) dan tidak muncul puncak yang baru atau gugus
fungsi baru. Meskipun scaffold kitosan terkandung Na2HPO4 yang ditambahkan
guna meningkatkan pH, hal ini tidak mempengaruhi pola spektrum yang
c
O-H
N-H
C-H
C=O
C-N
PO4
C-O
d
O-H
N-H
C-H
C=O
C-N
PO4
C-O
53
dihasilkan. Ion fosfat menghasilkan puncak spektrum pada 1300-900 cm-1
(Aufan et al., 2014). Spektrum IR scaffold kitosan menunjukkan seiring
bertambahnya dosis radiasi intensitas puncak pada area bilangan gelombang
3500-2400 cm-1 menjadi lebih lebar, hal tersebut mengidentifikasikan terjadinya
tumpang tindih (overlapping) pada gugus fungsi OH, NH2, serta CH scaffold
kitosan terutama pada dosis radiasi 25 KGy dimana pada scaffold tersebut terjadi
overlapping antar gugus fungsi OH, NH2, serta CH dalam jumlah banyak akibat
terpapar dosis radiasi yang cukup tinggi sehingga memiliki intensitas puncak
yang lebih lebar berbeda dengan dosis lainnya.
Pada spektrum IR scaffold kitosan–tetrasiklin (Gambar 20b, 20c, 20d)
menunjukkan pola yang sama disetiap variasi dan tidak jauh berbeda dengan
spektrum bahan penyusunnya. Kitosan dan tetrasiklin memiliki sebagian besar
gugus fungsi yang sama pada strukturnya, sehingga spektrum IR nya memiliki
beberapa kemiripan. Ketika keduanya digunakan sebagai bahan penyusun
scaffold, spektrum IR yang dihasilkan memiliki kecenderungan serupa. Pola
spektrum scaffold kitosan–tetrasiklin menunjukkan terjadinya pelebaran
intensitas puncak pada bilangan gelombang 3500-2400 cm-1. Pelebaran
intensitas puncak tersebut disebabkan overlapping gugus OH, NH2, dan CH
dimana gugus fungsi tersebut mendominasi didalam struktur senyawa kitosan
maupun tetrasiklin serta pengaruh peningkatan dosis radiasi yang diberikan
terhadap scaffold. Niamlang et al (2017) menjabarkan hal yang serupa dalam
pembuatan film polivinil alkohol (PVA) yang dipadupadankan dengan
nanopartikel kitosan kuartener dan tetrasiklin, pelebaran intensitas puncak yang
54
terjadi pada bilangan gelombang 3500-2400 cm-1 mengidentifikasikan
keberhasilan enkapsulasi tetrasiklin pada nanopartikel kitosan kuartener.
Radiasi pengion dapat menyebabkan berbagai perubahan pada struktur
rantai polimer tergantung pada kondisi saat iradiasi. Perubahan yang terjadi
meliputi pemotongan rantai, crosslink dan pembukaan cincin yang berdampak
pada perubahan struktur kimia secara irreversibel. Pemotongan cincin dapat
dibuktikan dengan berkurangnya bobot molekul yang berbanding lurus dengan
besarnya dosis radiasi (Gryczka et al., 2009). Berdasarkan berbagai penelitian
mengenai reaktivitas radikal terhadap karbohidrat, diketahui bahwa semua gugus
CH dan CH2OH pada cincin piranosa terlibat dalam proses pembentukan
senyawa radikal, meski dengan selektivitas yang sangat rendah terhadap radikal
reaktif (seperti OH radikal). Gugus keton, aldehid, dan karboksil merupakan
struktur yang terbentuk pada karbohidrat teradiasi dengan senyawa radikal
terpusat pada posisi C1, C4 dan C5 dalam rantai piranosa. Pada keadaan
dibawah suhu ruang, proses yang terjadi yaitu β-scission yang berdampak pada
pembukaan cincin (radikal C5) dan pemotongan rantai (radikal C1 dan C4).
Apabila radiasi diaplikasikan pada kitosan, maka akan diperoleh spesies baru A,
B, C dan D seperti ditunjukkan dalam Gambar 21.
55
Gambar 21. Mekanisme radiolisis kitosan (Gryczka et al., 2009)
4.2.2 Hasil Uji Warna
Uji warna scaffold kitosan dan scaffold kitosan-tetrasiklin menggunakan
sistem warna trisimulus CIEL*a*b* dalam menentukan parameter warna pada
scaffold. Hasil uji warna scaffold kitosan dan scaffold kitosan-tetrasiklin
disajikan pada Tabel 3.
56
Tabel 3. Hasil uji warna scaffold kitosan dan scaffold kitosan-tetrasiklin
Tabel 3 menunjukkan nilai L* yaitu kecerahan pada scaffold dimana
terjadi kecenderungan penurunan kecerahan seiring dengan meningkatnya dosis
radiasi yang diterima. Nilai a* pada scaffold yang dihasilkan yaitu warna
kemerahan dimana terjadi kecenderungan peningkatan kemerahan seiring
dengan meningkatnya dosis radiasi yang diterima. Nilai b* pada scaffold yang
dihasilkan yaitu warna kekuningan dimana nilai yang dihasilkan untuk scaffold
kitosan meningkat seiring bertambahnya dosis radiasi sedangkan pada scaffold
kitosan-tetrasiklin menunjukkan warna optimum pada dosis radiasi 15 KGy. Uji
statistik yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui secara kuantitatif pengaruh
Sampel Nilai Warna Hunter
L* a* b*
Scaffold Kitosan
0 KGy
83,6±3,779b 17,85±0,335a 12,55±2,551a
Scaffold Kitosan-
Tetrasiklin 6,25 mg 72,9±3,779b 15,4±0,335a 21,3±2,551a
Scaffold Kitosan-
Tetrasiklin 12,5 mg 74,2±3,779b 14,4±0,335a 26,65±2,551a
Scaffold Kitosan-
Tetrasiklin 18,75 mg 65,15±3,779b 15,05±0,335a 28,1±2,551a
Scaffold Kitosan
15 KGy
80,75±3,779ab 18,45±0,335ab 20,3±2,551a
Scaffold Kitosan-
Tetrasiklin 6,25 mg 62±3,779ab 16,45±0,335ab 26,6±2,551a
Scaffold Kitosan-
Tetrasiklin 12,5 mg 69±3,779ab 14,55±0,335ab 35,25±2,551a
Scaffold Kitosan-
Tetrasiklin 18,75 mg 74,2±3,779ab 14,9±0,335ab 29,3±2,551a
Scaffold Kitosan
25 KGy
78,45±3,779a 18,2±0,335b 21,4±2,551a
Scaffold Kitosan-
Tetrasiklin 6,25 mg 57,65±3,779a 16,65±0,335b 18,9±2,551a
Scaffold Kitosan-
Tetrasiklin 12,5 mg 54,5±3,779a 15,5±0,335b 23±2,551a
Scaffold Kitosan-
Tetrasiklin 18,75 mg 56,05±3,779a 16,3±0,335b 25,35±2,551a
57
radiasi terhadap nilai L*a*b* (Lampiran 3). Hasil uji lanjutan tukey
menunjukkan nilai L* memiliki perbedaan secara signifikan saat diberikan dosis
radiasi 0 KGy dan 25 KGy, sedangkan pada dosis radiasi 15 KGy tidak terjadi
perbedaan secara signifikan. Dosis radiasi 25 KGy yang dipaparkan pada
material dapat memberi pengaruh nyata terhadap kecerahan scaffold. Nilai a*
memiliki perbedaan secara signifikan saat diberikan dosis radiasi 0 KGy dan 25
KGy sedangkan pada dosis radiasi 15 KGy tidak terjadi perbedaan secara
signifikan. Dosis radiasi 25 KGy yang dipaparkan pada material dapat memberi
pengaruh nyata terhadap warna kemerahan scaffold. Nilai b* baik yang
dipaparkan dosis radiasi 0 KGy, 15 KGy, dan 25 KGy tidak memiliki perbedaan
secara signifikan, baik dosis 0, 15, dan 25 KGy tidak memiliki pengaruh nyata
terhadap warna kuning scaffold.
Paparan sinar gamma terhadap kitosan dapat menyebabkan penampakan
fisik kitosan yang lebih kecoklatan karena bertambahnya ikatan rangkap dalam
struktur kitosan akibat terjadinya radiolisis (Nagasawa et al., 2000), viskositas
yang lebih rendah (Choi et al., 2002), derajat deasetilasi yang lebih besar
(Rashid et al., 2012), serta ukuran mikropartikel yang dihasilkan menjadi lebih
kecil (Desai dan Park, 2006).
58
Tabel 4. Perubahan warna scaffold (∆𝐸)
Sampel
Nilai Warna
Kontrol (0 KGy)
Nilai Warna Sampel ∆E
L0* a0* b0* L* a* b*
Scaffold Kitosan
83,6 17,85 12,55 15 KGy 80,75 18,45 20,3 8,28
83,6 17,85 12,55 25 KGy 78,45 18,2 21,4 10,25
Scaffold
Kitosan-Tetrasiklin
6,25 mg
72,9 15,4 21,3 15 KGy 62 16,45 26,6 12,17
72,9 15,4 21,3 25 KGy 57,65 16,65 18,9 15,49
Scaffold
Kitosan-Tetrasiklin
12,5 mg
74,2 14,4 26,65 15 KGy 69 14,55 35,25 10,05
74,2 14,4 26,65 25 KGy 54,5 15,5 23 20,07
Scaffold
Kitosan-Tetrasiklin
18,75 mg
65,15 15,05 28,1 15 KGy 74,2 14,9 29,3 9,13
65,15 15,05 28,1 25 KGy 56,05 16,3 25,35 9,59
Tabel 4 menunjukkan perubahan warna pada scaffold kitosan dan
scaffold kitosan-tetrasiklin berkisar antara 8,28 - 20,07. Perubahan warna pada
masing-masing scaffold dapat dilihat secara kualitatif. Bila nilai ∆E kurang dari
1,5 maka perbedaan warna di antara keduanya tidak berpengaruh, sedangkan
ketika nilai ∆E pada rentang 1,5-5, maka perbedaan warna dapat dikenali oleh
mata yang terlatih. Perbedaan warna menjadi jelas bagi kebanyakan orang ketika
nilai ∆E lebih besar dari 5 (Obon et al., 2009). Perubahan warna yang terjadi
diakibatkan oleh paparan radiasi yang diberikan. Apabila suatu radiasi ionisasi
(elektron, sinar gamma) mengenai molekul polimer maka akan terjadi reaksi
kimia yang pada akhirnya akan menentukan sifat polimer tersebut. Perubahan
kimia yang terjadi dapat berupa pembentukan ikatan silang (crosslingking);
59
degradasi; pembentukan gas seperti H2, CO, CH4; perubahan dalam ketidak
jenuhan (pembentukan berbagai ikatan rangkap antara atom karbon); dan
oksidasi (dengan adanya udara atau oksigen) (Darwis dan Abbas, 2010). Nilai
∆E pada scaffold kitosan dan scaffold kitosan-tetrasiklin bertambah seiring
dengan bertambahnya dosis radiasi yang diberikan.
4.2.3 Hasil Analisis Struktur Pori
Besaran pori merupakan salah satu sifat fisik yang perlu diperhatikan dari
scaffold. Pori-pori yang terdapat pada scaffold memiliki fungsi sebagai ruang bagi
sel untuk menempel dan tumbuh menjadi suatu jaringan tulang baru (Laurencin et
al., 2008). Jika pori yang dimiliki scaffold terlalu kecil, maka akan terjadi
penyumbatan pada sel. Hal tersebut dapat menghalangi penetrasi sel, produksi
matriks ekstraseluler, dan neovaskularisasi bagian dalam scaffold (Salgado et al.,
2004). Penggunaan metode freeze drying terbukti dapat menghasilkan scaffold
dengan sifat porus. Morfologi scaffold dapat dilihat pada Gambar 22. Pori yang
dimiliki scaffold berbentuk bulat dan berdiameter pada kisaran rentang 10-300
μm. Pori pada scaffold terbentuk karena hilangnya molekul air pada scaffold
akibat disublimasi sehingga molekul air dalam bentuk kristal es akan langsung
diangkat dan membentuk lubang berupa pori pada scaffold. Morfologi scaffold
kitosan dan scaffold kitosan-tetrasiklin pada perbesaran 100x disajikan pada
Gambar 22.
60
Gambar 22. Morfologi scaffold pada perbesaran 100x a. scaffold kitosan 0
KGy b. scaffold kitosan-tetrasiklin 0 KGy
Hasil analisis morfologi scaffold kitosan dosis radiasi 0 KGy pada
perbesaran 100 kali memiliki diameter pori permukaannya yaitu 112,3; 93,24;
71,90; 42,70; 19,10 dan 16,85 μm. Morfologi permukaan scaffold kitosan-
tetrasiklin 18,75mg 0 KGy pada perbesaran 100 kali memiliki diameter pori
permukaannya yaitu 169,6; 75,27; 40,44; 195,5; 94,37 dan 29,21 μm. Morfologi
permukaan scaffold kitosan 15 KGy pada perbesaran 100 kali memiliki diameter
a
b
61
pori permukaannya yaitu 57,30; 161,5; 311,2; 204,5 dan 309 μm. Morfologi
permukaan scaffold kitosan-tetrasiklin 18,75 mg 15 KGy pada perbesaran 100 kali
memiliki diameter pori permukaannya yaitu 83,13; 205,6; 71,90; 105,6; 92,12;
26,96 dan 52,81 μm. Diameter pori pada permukaan scaffold kitosan dan scaffold
kitosan-tetrasiklin dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Diameter pori scaffold kitosan dan scaffold kitosan-tetrasiklin
Ukuran pori tidak dipengaruhi oleh dosis radiasi yang dipaparkan. Hal
tersebut dibuktikan pada penelitian ini bahwa kenaikan dan penurunan ukuran pori
yang tidak teratur terhadap kenaikan dosis radiasi. Tahap pembekuan pada tahap
awal freeze drying sangat penting untuk menghasilkan struktur berpori sesuai
dengan yang diinginkan. Faktor-faktor pada pembekuan seperti temperatur,
konsentrasi zat terlarut, jenis pelarut, dan arah pembekuan merupakan faktor
penentu dalam keberhasilan pembentukan struktur pori yang dihasilkan. Arah
pembekuan juga memiliki efek besar terhadap morfologi pori (Zhang dan Cooper,
2007).
Jika dibandingkan antara scaffold kitosan dan scaffold kitosan-tetrasiklin,
pori-pori yang dimiliki scaffold kitosan tidak teratur sedangkan scaffold kitosan-
tetrasiklin memiliki pori-pori yang teratur dan padat. Hal tersebut terjadi karena
pada scaffold kitosan-tetrasiklin, gugus hidroksil yang terdapat pada tetrasiklin
serta pada rantai kitosan berinteraksi membentuk ikatan glikosida antara kitosan
Sampel Diameter Pori
(μm)
Scaffold Kitosan 0 KGy 19 - 112
Scaffold Kitosan-Tetrasiklin 18,75 mg 0 KGy 40 - 195
Scaffold Kitosan 15 KGy 57 - 309
Scaffold Kitosan-Tetrasiklin 18,75 mg 15 KGy 71 - 205
62
dan tetrasiklin dengan melepaskan gugus H2O, sehingga jarak antar rantai kitosan
menjadi lebih rapat. Gambar 23 menunjukkan perbandingan morfologi pori
scaffold kitosan pada perbesaran 250 kali dan scaffold kitosan-tetrasiklin pada
perbesaran 500 kali.
Gambar 23. Morfologi Pori Scaffold a. scaffold kitosan 15 KGy pembesaran
250x dan b. scaffold kitosan-tetrasiklin 18,75 mg 15 KGy pembesaran 500x
Selain ukuran pori, morfologi lain yang penting untuk pertumbuhan sel
adalah interkoneksitas antarpori. Interkoneksitas antarpori memungkinkan sel-sel
serta nutrisi-nutrisi untuk pertumbuhan sel bermigrasi (Nwe et al., 20010). Dari
kedua scaffold tersebut, interkoneksitas antarpori yang dimiliki scaffold kitosan-
tetrasiklin lebih baik karena memiliki jumlah pori yang lebih banyak, lebih halus,
dan lebih seragam daripada scaffold kitosan.
Menurut Klawitter (2004), ukuran pori scaffold untuk memperbaiki
jaringan tulang berkisar pada rentang 100–300 μm. Ukuran makroporos tersebut
membantu dalam vaskularisasi matriks yang merupakan bagian terpenting dalam
perbaikan sel jaringan tulang (Lin et al. 2004). Scaffold yang dibuat dari bahan
kitosan menghasilkan ukuran pori sebesar 100-300 μm (Aufan et al., 2012).
Ukuran diameter pori permukaan bagian atas scaffold kitosan dan scaffold
a b
63
kitosan-tetrasiklin yaitu 100-300 μm dimana telah memenuhi standar ukuran
diameter pori scaffold. Ukuran pori pada bagian atas lebih besar daripada ukuran
pori bagian tengah. Hal tersebut karena permukaan atas scaffold letaknya dekat
dengan udara sehingga laju pendinginan lebih lambat dari pada di bagian bawah.
Laju pendinginan lambat menyebabkan kristal es yang terbentuk pada proses
pembekuan dapat mengalami perkembangan ukurannya. Kristal es yang
berkembang tersebut kemudian mengalami perubahan menjadi fase gas sehingga
menghasilkan pori yang lebih besar (Lin et al. 2004).
4.2.4 Hasil Uji Pelepasan Obat
Uji pelepasan obat dari tetrasiklin dalam scaffold bertujuan untuk
mengevaluasi profil pelepasan tetrasiklin secara bertahap guna meningkatkan
efektivitas scaffold dalam memulihkan peradangan akibat penyakit periodontitis.
Formulasi antibiotik yang ideal digunakan dalam sistem penghantaran obat yang
terkontrol guna membunuh mikroba pada peradangan periodontitis harus
menunjukkan karakteristik seperti, mudah untuk diaplikasikan dan disimpan
dalam jaringan periodontal, pelepasan obat yang terkontrol, mudah untuk
diproduksi dan tidak meninggalkan sisa pada jaringan periodontal dengan
biodegradasi dan/atau peleburan (Jones et al., 1996). Profil pelepasan kumulatif
tetrasiklin disajikan pada Gambar 24.
64
Gambar 24. Profil pelepasan kumulatif tetrasiklin a.dosis radiasi 0 KGy
b. dosis radiasi 15 KGy c. dosis radiasi 25 KGy
a
b
c
65
Profil kumulatif pelepasan tetrasiklin pada Gambar 24 menunjukkan
pelepasan cepat (burst effect) pada awalnya diikuti pelepasan lambat dan konstan
seiring bertambahnya waktu. Pola ini menegaskan perilaku pelepasan terkontrol
dari formulasi. Efek semburan awal (burst effect) bermanfaat untuk antibiotik
karena membantu mencapai konsentrasi obat terapeutik dalam waktu minimal
diikuti oleh pelepasan konstan untuk mempertahankan pelepasan obat terlama dan
kontrol (Gupta dan Sharma, 2009). Efek semburan terjadi pada obat yang
berikatan lemah atau obat yang teradsorpsi pada permukaan matriks yang luas.
Gambar 19 juga menunjukkan profil kumulatif pelepasan tetrasiklin yang berbeda
pada setiap scaffold akibat adanya perbedaan homogenitas. Homogenitas yang
baik akan menyebabkan scaffold memiliki kerapatan yang tinggi serta relatif stabil
terhadap penyerapan obat (Elgadir et al., 2015).
Pelepasan obat dipengaruhi oleh ukuran partikel. Partikel yang lebih kecil
memiliki luas permukaan yang lebih besar, oleh karena itu, sebagian besar obat
yang berikatan berada pada atau di dekat permukaan partikel, yang menyebabkan
profil pelepasan obat cepat. Partikel yang berukuran lebih besar memiliki inti
yang besar memungkinkan jumlah obat yang lebih banyak akan disiapkan untuk
perlahan menyebar (Diaz et al., 2013). Namun pada kenyataannya partikel yang
lebih kecil mudah berdifusi keluar sedangkan pada partikel yang lebih besar
produk terdegradasi lebih bayak terbentuk dan memiliki kecenderungan berada
dalam matriks scaffold dalam jangka waktu lebih lama untuk autokatalisis
degradasi polimer. Maka partikel yang besar lebih efektif dalam degradasi dan
pelepasan obat. (Nagal dan Singla, 2013)
66
Profil pelepasan tetrasiklin yang dipaparkan dosis radiasi 25 KGy
menunjukkan pelepasan kumulatif yang lebih cepat dibandingkan lainnya.
Kemungkinannya scaffold tersebut memiliki homogenitas yang baik serta partikel
yang lebih kecil dibandingkan lainnya. Scaffold yang dipaparkan dosis radiasi 25
KGy mampu melepaskan obat dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan
yang lainnya dalam waktu yang bersamaan. Walaupun kemampuan
terdegradasinya masih belum diketahui, tetapi scaffold tersebut memiliki
kemampuan yang efektif dalam membunuh bakteri gram positif dan gram negatif.
Formulasi scaffold kitosan-tetrasiklin yang dikembangkan menunjukkan
persen kumulatif pelepasan obat disajikan pada Tabel 16 dalam Lampiran 5, Dosis
radiasi 0 KGy sebesar 82,73% untuk 6,25 mg tetrasiklin, 85,03% untuk 12,5 mg
tetrasiklin, dan 64,31% untuk 18,75 mg tetrasiklin setelah 24 jam. Pada dosis
radiasi 15 KGy sebesar 77,81% untuk 6,25 mg tetrasiklin, 71,54% untuk 12,5 mg
tetrasiklin, dan 64% untuk 18,75 mg tetrasiklin setelah 24 jam. Pada dosis radiasi
25 KGy sebesar 70,65% untuk 6,25 mg tetrasiklin, 83,82% untuk 12,5 mg
tetrasiklin, dan 71,78% untuk 18,75 mg tetrasiklin setelah 24 jam. Hasil tersebut
menunjukkan adanya pengaruh radiasi pada formulasi scaffold kitosan-tetrasiklin
sehingga menghasilkan profil pelepasan yang terkontrol. Hal ini menunjukkan
profil pelepasan kumulatif scaffold kitosan-tetrasiklin yang diproduksi telah sesuai
dengan profil pelepasan kumulatif scaffold yang telah diproduksi sebelumnya oleh
Liu et al (2017), yaitu scaffold carboxymethyl chitosan (CMC) menunjukkan
pelepasan karbamazepin setelah 24 jam berkisar 70-80%.
67
Tabel 6. Bobot kumulatif pelepasan tetrasiklin scaffold kitosan-tetrasiklin (mg)
Waktu
(Jam)
Scaffold Kitosan-Tetrasiklin 6,25 mg Scaffold Kitosan-Tetrasiklin 12,5 mg Scaffold Kitosan-Tetrasiklin 18,75 mg
0 KGy 15 KGy 25 KGy 0 KGy 15 KGy 25 KGy 0 KGy 15 KGy 25 KGy
1 3,21 ± 0,494b 2,40 ± 0,805a 2,73 ± 0,419b 5,57 ± 1,281b 4,38 ± 0,858a 5,68 ± 0,844b 3,37 ± 0,401b 3,77 ± 1,323a 6,12 ± 1,714b
2 3,80 ± 0,462b 2,86 ± 0,780a 3,19 ± 0,444b 7,02 ± 1,518b 5,50 ± 1,095a 6,91 ± 1,297b 4,62 ± 0,302b 5,28 ± 1,300a 7,23 ± 1,767b
3 4,09 ± 0,492b 3,11 ± 0,756a 3,42 ± 0,470b 7,99 ± 1,747b 6,19 ± 1,275a 7,44 ± 1,356b 5,51 ± 0,151b 6,22 ± 1,406a 7,95 ± 1,661b
4 4,27 ± 0,456b 3,25 ± 0,708a 3,55 ± 0,454b 8,50 ± 1,812b 6,54 ± 1,327a 7,70 ± 1,362b 6,08 ± 0,157b 6,85 ± 1,490a 8,42 ± 1,62b
5 4,40 ± 0,402b 3,42 ± 0,604a 3,65 ± 0,460b 8,80 ± 1,796b 6,85 ± 1,394a 7,94 ± 1,386b 6,71 ± 0,096b 7,33 ± 1,541a 8,98 ± 1,465b
6 4,48 ± 0,395b 3,51 ± 0,567a 3,72 ± 0,437b 8,97 ± 1,763b 7,04 ± 1,387a 8,13 ± 1,331b 7,25 ± 0,063b 7,80 ± 1,590a 9,42 ± 1,399b
7 4,55 ± 0,390b 3,59 ± 0,540a 3,79 ± 0,412b 9,09 ± 1,743b 7,19 ± 1,364a 8,29 ± 1,286b 7,67 ± 0,081b 8,25 ± 1,590a 9,83 ± 1,312b
8 4,62 ± 0,385b 3,71 ±0,467a 3,84 ± 0,397b 9,28 ± 1,760b 7,48 ± 1,385a 8,48 ± 1,298b 8,10 ± 0,131b 8,69 ± 1,662a 10,2 ± 1,256b
9 4,71 ± 0,385b 3,83 ± 0,407a 3,9 ± 0,393b 9,50 ± 1,759b 7,72 ± 1,415a 8,68 ± 1,314b 8,56 ± 0,139b 9,18 ± 1,783a 10,6 ± 1,201b
10 4,74 ± 0,389b 3,92 ± 0,379a 3,94 ± 0,382b 9,62 ± 1,717b 7,89 ± 1,353a 8,78 ± 1,297b 8,88 ± 0,147b 9,55 ± 1,708a 10,95 ± 1,161b
11 4,83 ± 0,406b 4,08 ± 0,359a 4,11 ± 0,394b 9,84 ± 1,761b 8,08 ± 1,381a 8,99 ± 1,239b 9,16 ± 0,161b 9,90 ± 1,775a 11,42 ± 1,130b
12 4,99 ± 0,360b 4,16 ± 0,324a 4,14 ± 0,386b 10,03 ± 1,725b 8,17 ± 1,375a 9,09 ± 1,222b 9,68 ± 0,111b 10,18 ± 1,823a 11,64 ± 1,135b
13 5,02 ± 0,354b 4,22 ± 0,303a 4,18 ± 0,38b 10,16 ± 1,737b 8,26 ± 1,373a 9,17 ± 1,207b 9,94 ± 0,083b 10, 45 ± 1,844a 11,87 ± 1,111b
14 5,04 ± 0,355b 4,25 ± 0,301a 4,20 ± 0,374b 10,22 ± 1,726b 8,33 ± 1,365a 9,23 ± 1,189b 10,20 ± 0,077b 10,64 ± 1,862a 12,05 ± 1,109b
15 5,08 ± 0,336b 4,29 ± 0,289a 4,24 ± 0,369b 10,34 ± 1,752b 8,39 ± 1,350a 9,28 ± 1,175b 10,46 ± 0,049b 10,81 ± 1,868a 12,23 ± 1,110b
16 5,11 ± 0,325b 4,35 ± 0,298a 4,27 ± 0,381b 10,41 ± 1,742b 8,48 ± 1,353a 9,37 ± 1,154b 10,74 ± 0,061b 11,01 ± 1,869a 12,42 ± 1,126b
24 5,22 ± 0,339b 4,88 ± 0,349a 4,42 ± 0,31b 10,77 ± 1,576b 8,943 ± 1,182a 9,73 ± 0,957b 12,06 ± 0,101b 12 ± 1,773a 13,46 ± 1,130b
68
Formulasi scaffold kitosan-tetrasiklin yang dikembangkan telah mengikuti
karakteristik formulasi ideal dalam sistem pengahantaran obat. Scaffold kitosan-
tetrasiklin mudah untuk diproduksi karena pada prinsipnya formulasi didapatkan
hanya dengan mencampurkan seluruh bahan hingga homogen. Formulasi yang
dikembangkan juga mudah untuk diaplikasikan karena formulasi yang terbentuk
berupa slurry dimana sangat fleksibel untuk dibentuk sehingga mudah disesuaikan
dengan jaringan periodontal tempat implantasi scaffold.
Tabel 6 menunjukkan bahwa radiasi memiliki pengaruh nyata terhadap
pelepasan tetrasiklin. Dosis radiasi 15 KGy memiliki pengaruh yang berbeda
dengan dosis radiasi 0 dan 25 KGy. Sedangkan pada pemberian dosis radiasi 0
dan 25 KGy memiliki hasil kumulatif pelepasan tetrasiklin yang tidak berbeda
nyata. Faktor lainnya yang diamati yaitu perbandingan bobot tetrasiklin 6,25;
12,5; dan 18,75 mg menunjukkan pengaruh yang berbeda terhadap masing-
masing profil kumulatif pelepasan tetrasiklin. Hal ini menegaskan bahwa radiasi
menyebabkan bertambahnya ikatan rangkap dalam struktur kitosan (Nagasawa et
al., 2000), viskositas yang lebih rendah (Choi et al., 2002), serta ukuran
mikropartikel yang dihasilkan menjadi lebih kecil (Desai dan Park, 2006), dimana
pada dosis radiasi 25 KGy yang memiliki ikatan rangkap lebih banyak dan ukuran
partikel yang dihasilkan lebih kecil menyebabkan pelepasan tetrasiklin nya lebih
cepat dibandingkan dosis 15 KGy. kumulatif pelepasan tetrasiklin dosis radiasi 0
KGy dipengaruhi oleh homogenitas pada saat proses pembuatan scaffold kitosan-
tetrasiklin.
69
4.2.5 Rasio Pembengkakan (Swelling Ratio)
Scaffold harus memiliki karakteristik kompatibilitas yang baik.
Pengukuran rasio pembengkakan (swelling ratio) bertujuan untuk mengetahui
karakteristik biokompatibel yang dimiliki scaffold kitosan dan scaffold kitosan-
tetrasiklin. Grafik hasil pengukuran swelling ratio disajikan pada Gambar 25.
Gambar 25. Grafik hasil pengukuran swelling ratio scaffold kitosan dan
scaffold kitosan-tetrasiklin
Rasio pembengkakan pada scaffold kitosan dan scaffold kitosan-tetrasiklin
pada Gambar 25 menunjukkan rasio pembengkakan yang dimiliki tidak teratur.
Jika dibandingkan antara scaffold kitosan dan scaffold kitosan-tetrasiklin, rasio
pembengkakan yang dimiliki scaffold kitosan lebih tinggi dibandingkan scaffold
kitosan-tetrasiklin. Ketidakteraturan yang terjadi disebabkan masing-masing
scaffold memiliki homogenitas yang berbeda. Scaffold kitosan-tetrasiklin 18,75mg
yang memiliki kepadatan cukup tinggi dibandingkan scaffold lainya menujukkan
rasio pembengkakan yang cukup tinggi. Suatu scaffold yang memiliki kepadatan
yang tinggi memiliki rasio pembengkakan yang rendah akibat interaksi antara air
0
100
200
300
400
500
600
700
800
Scaffold K ScaffoldKT 6,25
mg
ScaffoldKT 12,5
mg
ScaffoldKT 18,75
mg
Swelling Ratio 0 KGy
Swelling Ratio 15 KGy
Swelling Ratio 25 KGy
70
dan polimer yang cukup sulit terjadi akibat kepadatan yang dimiliki scaffold.
Menurut Emanet et al (2016), meskipun scaffold kitosan memiliki sebagian besar
sifat yang diinginkan seperti biodegradabilitas, biokompatibilitas dan sifat
antimikroba, terdapat beberapa kekurangan seperti degradasi yang tidak
terkontrol, rasio pembengkakan tinggi dan kekuatan mekanik yang rendah.
Scaffold termasuk dalam kelompok sistem pengiriman obat yang
dikendalikan pembengkakan (Colombo et al., 2000). Bila rantai polimer
berinteraksi dengan larutan berair, kompatibilitas termodinamika dari rantai
polimer dan air akan menyebabkan terjadinya proses pembengkakan (Brannon-
Peppas, 1995). Saat air menembus di dalam gelas jaringan, suhu kaca polimer
menurun, dan scaffold menjadi karet. Scaffold telah dimanfaatkan secara luas
untuk aplikasi biomedis karena kandungan airnya yang tinggi, yang mengandung
biokompatibilitas yang sangat baik (Kost dan Langer, 1986). Kandungan air yang
tinggi dan ukuran pori-pori sebagian besar scaffold sering mengakibatkan
pelepasan obat yang relatif cepat, beberapa jam atau hari. Scaffold telah
dilaporkan sebagai vektor baru untuk sistem pelepasan obat terkontrol karena
mereka menunjukkan perubahan dramatis pada perilaku pembengkakan, struktur
jaringan, permeabilitas, atau kekuatan mekanik sebagai respons terhadap
rangsangan yang berbeda.
71
Tabel 7. Data swelling ratio scaffold kitosan dan scaffold kitosan-
tetrasiklin
Sampel Swelling Ratio (%)
0 KGy 15 KGy 25 KGy
Scaffold Kitosan 726,88±11,913a 688,98±4,684a 600,02±1,189a
Scaffold Kitosan-
Tetrasiklin 6,25 mg 568,77±83,586a 409,13±62,755a 479,22±106,592a
Scaffold Kitosan-
Tetrasiklin 12,5 mg 397,17±48,284a 400,77±82,651a 331,94±75,042a
Scaffold Kitosan-
Tetrasiklin 18,75 mg 712,29±33,359a 522,86±148,664a 507,33±167,679a
Hasil swelling ratio scaffold kitosan dan scaffold kitosan-tetrasiklin
disajikan pada Tabel 7 menunjukkan nilai hasil rasio pembengkakan tidak teratur.
Hasil analisa kuantitatif menunjukkan bahwa paparan radiasi yang diberikan
memberi pengaruh yang berbeda secara signifikan pada sampel scaffold kitosan
dan scaffold kitosan-tetrasiklin. Hal tersebut menunjukkan bahwa radiasi tidak
memiliki pengaruh terhadap rasio pembengkakan scaffold kitosan dan scaffold
kitosan-tetrasiklin. Keteraturan rasio pembengkakan yang terjadi disebabkan
biokompatibilitas masing-masing scaffold kitosan dan scaffold kitosan-tetrasiklin,
dimana sangat menentukan dalam berinteraksi dengan air (Brannon-Peppas,
1995).
Hasil swelling ratio scaffold kitosan dan scaffold kitosan-tetrasiklin yaitu
331-726% menunjukkan hasil swelling ratio yang serupa dengan scaffold kitosan
yang diproduksi oleh Reys et al (2017) yaitu sebesar 500-800%. Hal ini
menunjukkan bahwa sebagian besar scaffold yang diproduksi memiliki
biokompatibilitas yang baik karena memenuhi standar swelling ratio.
72
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa:
1. Scaffold kitosan dan scaffold kitosan-tetrasiklin dapat dibuat dengan
perlakuan pre-gelled dan metode liofilisasi.
2. Karakteristik perubahan warna scaffold kitosan dan scaffold kitosan-
tetrasiklin berkisar pada 8,28-20,07.
3. Karakteristik ukuran pori scaffold kitosan dan scaffold kitosan-tetrasiklin
yang dihasilkan 67-208 μm dan telah memenuhi standar diameter pori
scaffold yaitu berkisar 100–300 μm.
4. Profil pelepasan kumulatif tetrasiklin untuk masing-masing dosis radiasi 0,
15, dan 25 KGy yaitu 85, 71, dan 83% dalam 24 jam sedangkan scaffold
carboxymethyl chitosan (CMC) komersil memiliki profil pelepasan
kumulatif karbamazepin sebesar 70-80% dalam 24 jam.
5. Karakteristik derajat pembengkakan scaffold kitosan dan scaffold kitosan-
tetrasiklin yang dihasilkan yaitu 331-726% sedangkan scaffold kitosan-
pektin komersil memiliki derajat pembengkakan 500-800%.
5.2 Saran
Saran yang diberikan terhadap hasil penelitian,yaitu:
1. Scaffold kitosan-tetrasiklin memiliki potensi yang besar dalam memulihkan
penyakit periodontitis yang diaplikasikan pada manusia, namun sebaiknya
dilakukan karakterisasi secara in vitro dan in vivo terlebih dahulu.
2. Scaffold kitosan dan scaffold kitosan-tetrasiklin dapat dilakukan uji sitotoksik
menggunakan hemositometer.
72
73
DAFTAR PUSTAKA
Abid OM, Menouer S, Yakoubi A, Khachai H, Omran SB, Murtaza G, Prakash D,
Khenata R, Verma K D. 2016. Superlattice Microstruct. 93: 171–185.
Afshar and Ghaee. 2016. Preparation Of Aminated Chitosan/Alginate Scaffold
Containing Halloysite Nanotubes With Improved Cell Attachment: Carbohydrate
Polymers, 151:1120–1131.
Ahmed N, Maureen D, Chris S, Ed Wood. 2007. Biology of Disease. Taylor and Franics
Group: United Kingdom.
Alatas Z. 2005. Efek Teratogenik Radiasi Pengion: Buletin Alara, 3 (6):133-142.
Allan, GG, Altman LC, Bensinger RE, Ghosh DK, Hirabayashi Y, Neogi AN, Neogi S,
1984. Biomedical Applications of Chitin and Chitosan: Chitin, Chitosan and
Related Enzymes, p.19.
Allaveisi F, Mirzae M. 2016. Effects of High-Dose Gamma Irradiation on Tensile
Properties of Human Cortical Bone: Comparison of Different Radioprotective
Treatment Methods: Journal of the Mechanical Behaviour of Biomedical
Materials, 61:475-483.
Amini, Laurencin, Nukvarapu. 2012 Bone tissue engineering: recent advances and
challenges: Crit. Rev. Biomed. Eng. 40 : 363-408.
Angermann, Jepsen. 1991. Procurement, Banking And Decontamination Of Bone and
Collagenous Tissue Allografts Guidelines For Infection Control: J Hosp Infect,
17:159–69.
Archana, Laxmi U, Tewari RP, Joydeep D, Huang YB, Dutta PK. 2012. Chitosan-Pectin-
Alginate As A Novel Scaffold For Tissue Engineering Application: Indian Journal
of Biotechnology.12:475-482.
ASTM International. 2005. Standard Test Method for Determining Average Grain Size
(ASTM E 112-113), United State : ASTM International
ASTM International. 2015. Standard Test Methods for Apparent Porosity, Water
Absorption, Apparent Specific Gravity, and Bulk Density of Burned Refractory
Brick and Shapes by Boiling Water (ASTM C 20-00), United State : ASTM
International
Aufan MR, Daulay AH, Indriani D, Nuruddin A, Purwasasmita BS. 2012. Sintesis
Scaffold Alginat-Kitosan-Karbonat Apatit Sebagai Bone Graft Menggunakan
Metode Freeze Drying. Jurnal Biofisika 8 (1): 16-24
Badylak, Freytes, Gilbert. 2009. Extracellular Matrix As A Biological Scaffold Material :
Structure And Function: J. Acta Biomaterial 5:1–13.
73
74
Barth, Zimmermann, Schaible, Tang, Alliston, Ritchie. 2011. Characterization Of The
Effects Of X-Ray Irradiation On The Hierarchical Structure and Mechanical
Properties Of Human Cortical Bone: Journal Biomaterials 32(34):1–13.
Basu T and Tarafdar S. 2016. Influence of Gamma Irradiation On The Electrical
Properties of LiClO4-gelatin Solid Polymer Electrolytes: Modelling Anomalous
Diffusion Through Generalized Calculus: Journal Radiation Physics and
Chemistry, 125:180-198.
Benny. 2003. Guidelines on Control and Validation of Processes in Radiation Facilities.
Canada.
Bhumkar DR dan Pokharkar VB. 2006. Studies on effect of pH on Cross-linking of
Chitosan with Sodium Tripolyphosphate: A Technical Note, AAPS PharmSciTech,
7(2): E1-E6
Burton B, Anne G, David J, Jindra T, Marc DG, Thomas W. 2014. Bone Embrittlement
and Collagen Modifications Due To High-Dose Gamma-Irradiation Sterilization:
Journal Bone, 6:71-81.
Carey JJ, Justyna Z, Dino AJ, Klaas W. 2000. Noncausal Time Response in Frustrated
Total Internal Reflection? : Physical Review Letters, 7 (84): 1431-1434.
Chan B, Leong K. 2008. Scaffolding In Tissue Engineering: General Approaches and
Tissue Specific Considerations: Eur. Spine. J. 17:467-479.
Chen C and Wang W. 2007. Role of freeze drying in nanotechnology. J. Dry Technol.,
25:29–35.
Choi, WY, Park HJ, Ahn DJ, Lee J, Lee, CY. 2002. Wettability of chitosan coating
solution on ‘Fuji’ apple skin : Journal of Food Science, 67(7), 2668-2672.
Colombo P, Bettini R, Santi P, Peppas NA. 2000. Swellable matrices for controlled drug
delivery: gel-layer behaviour, mechanisms and optimal performance : Pharm. Sci.
Technol., 3:198-204
Correia, Ferreira, Vaz, Alves, Figueiredo, Correia, Coimbra. 2016. Development of UV
Cross-Linked Gelatin Coated Electrospun Poly(caprolactone) Fibrous Scaffolds
For Tissue Engineering: Journal Biological Macromolecules, 16:72-91.
Darwis D dan Abbas B. 2010.Aplikasi Isotop Dan Radiasi Dalam Pembuatan Dan
Pengembangan Bahan Biomaterial Untuk Keperluan Klinis. Seminar Nasional
Keselamatan Kesehatan dan Lingkungan VI Jakarta, 15-16 Juni 2010
Deepthia, Venkatesanb, Se‐Kwon Kimb, Joel D. Bumgardenerc, Jayakumar R. 2016. An
Overview Of Chitin or Chitosan/Nano Ceramic Composite Scaffolds For Bone
Tissue Engineering: Journal Biological Macromolecules, 16:1-70.
75
Dehdab M, Zahra Y, Mahdieh D, Afshar B. 2016. The Inhibition of Carbon-Steel
Corrosion in Seawater by Streptomycin and Tetracycline Antibiotics: An
Experimental and Theoretical Study: Desalination, 400:7-17.
Desai KGH and Park HJ. 2006. Effect of manufacturing parameters on the characteristics
of vitamin C encapsulated tripolyphosphate- chitosan microspheres prepared by
spray drying: J. Microencapsulation, 23:91-103.
Díaz MR, Vivas-Mejia PE. 2013. Nanoparticles as drug delivery systems in cancer
medicine: emphasis on RNAi-containing nanoliposomes : Pharmaceuticals
6:1361-1380.
Ehrlich, Ilan, Maldonado, Muricy, Bavestrello, Kljajic, Carballo, Schiaparelli,
Ereskovsky, Schupp, Born, Worch, Bazhenov, Kurek, Varlamov, Vyalikh,
Kummer, Sivkov, Molodtsov, Meissner, Richter, Steck, Richter, Hunoldt,
Kammer, Paasch , Krasokhin, Patzke, Brunner. 2010. Three-Dimensional Chitin-
Based Scaffolds From Verongida Sponges (Demospongiae: Porifera). Part I.
Isolation And Identification Of Chitin: Int. J Biol. Macromol. 47:132-140.
Elango J, Jingyi Z, Bin B, Krishnamoorthy P, Shujun W,Wenhui W, Jeya SR. 2016.
Rheological, Biocompatibility and Osteogenesis Assessment Of Fishcollagen
Scaffold For Bone Tissue Engineering: Int. Journal Of Biological Macromolecules,
91:51-59.
Elgadir MA, Udin MS, Sahena F, Aishah A, Ahmed JKC, Sarker MZI. 2015. Impact of
chitosan composites and chitosan nanoparticle composites on various drug delivery
systems: A review. journal of food and drug analysis. 23:619-629
Emanet M, Emine K, Zehra Ç, and Mustafa Ç. 2016. Boron Nitride Nanotubes Enhance
Properties Of Chitosan Based Scaffolds: Journal Carbohydrate Polymers, 16:1-27.
Erizal, Basril A, Sulistioso GS, and Dhena RB. 2015. Synthesis and Characterization
Superabsorbent Hydrogels of Partially Neutralized Acrylic Acid Prepared using
Gamma Irradiation; Swelling and Thermal Behavior: Indones. J. Chem, 3:281-287.
Friel JJ. 2003. X-Ray and Image Analysis In Electron Microscopy. Amerika (US):
Princeton Gamma-Tech.
Giannitelli, Accoto, Trombetta, Rainer. 2014. Current Trends In The Design Of Scaffolds
For Computer-aided Tissue Engineering: Journal Acta Biomater., 10 (5):80–94.
Glowacki J. 2005. A Review Of Osteoinductive Testing Methods and Sterilization
Processes For Demineralized Bone: Journal Cell Tissue Bank, 6: 3–12.
Gómez-Cerezo, Sánchez-Salcedo, Izquierdo-Barba, Arcos, and Vallet-Regí, In Vitro
Colonization Of Stratified Bioactive Scaffolds By Pre-Osteoblast Cells: Acta
Biomaterialia,3040 (16):1-9.
76
Goodman dan Gilman. 2010. Manual Farmakologi dan Terap,i Alih Bahasa Elin et al.
ECG, Jakarta
Gossla E, Robert T, Anne B, Martin K, Rolf-Dieter H, Dilibar A, Chokri C, Michael G.
2016. Electrostatic Flocking Of Chitosan Fibres Leads To Highly Porous, Elastic
and Fully Biodegradable Anisotropic Scaffolds: Journal Acta Biomaterialia.,
http://dx.doi.org/10.1016/j.actbio.2016.08.022
Gough, Jones, Hench. 2004. Nodule Formation and Mineralisation Of Human Primary
Osteoblasts Cultured On A Porous Bioactive Glass Scaffold:. Journal
Biomaterials, 25:2039-2046.
Gunawarman. 2013. Konsep dan Teori Metalurgi Fisik. Yogyakarta : Andi Offset.
Gupta H dan Sharma A. 2009. Ion activated bioadhesive in situ gel of clindamycin for
vaginal application. International Journal of Drug Delivery 1(2009) 32-40
Gupta KC, Jabrail FH, Controlled-release formulations for hydroxyl urea and rifampicin
using polyphosphate-anion-crosslinked chitosan microspheres, J Appl Polym Sci,
104, 1942-1956, 2007.
Guti´errez MC, Ferrer L and del Monte F. 2008. Ice-templated materials : sophisticated
structures exhibiting enhanced functionalities obtained after unidirectional freezing
and ice-segregation induced self-assembly: J. Chem Mater, 20:634–648.
Hall and Giaccia. 2006. Radiobiology for the Radiologist. Lippincott Williams &
Wilkins, Philadelphia.
Hirano S, 1986. Chitin and Chitosan. In Ullmann’s Encyclopedia of Industrial Chemistry.
Completely revised edition. Weinheim: New York.
Hoffmann G. 2008. CIELab Color Space, Illustrasi dan Visualisasi.
Huang B, Yunguo L, Bin Li, Shaobo L, Guangming Z, Zhiwei Z, Xiaohua W, Qimeng N,
Bohong Z, Chunping Y. 2017. Effect Of Cu(II) Ions On the Enhancement Of
Tetracycline Adsorption By Fe3O4@Sio2-Chitosan/Graphene Oxide
Nanocomposite: Journal Carbohydrate Polymers, 16:1-31
Hutmacher DW. 2000. Scaffolds in Tissue Engineering Bone and Cartilage: Journal
Biomaterials, 21:2529–2543.
Jiang Sheng-Dan, Lei-Sheng Jiang, Li-Yang Dai. 2006. Mechanism of Osteoporosis in
Spinal Cord Injury: Clinical Endocrinology, 5 (65):555-565.
Jones DS, Woolfson AD, Jasmina D, Coulter WA. 1996. Develompment and mechanical
characterization of bioadhesive semi-solid, polymeric systems containing
tetracycline for the treatment of periodontal diseases: Pharmaceutical Research.
13(11) : 1734-1738
77
Jones Mawhinney. 2006. Chitosan Handbook of Pharmaceutical Excipient. 5th edition.
American Pharmaceutical Association and The Pharmaceutical Press: 159-162.
Jones RN, Michael LW, Melvin PW, Matthew GS, Rodrigo EM. 2013. Contemporary
Potencies of Minocycline and Tetracycline HCl Tested Against Gram-Positive
Pathogens: SENTRY Program Results Using CLSI and EUCAST Breakpoint
Criteria: Diagnostic Microbiology and Intectious Disease, 75:402-405.
Jones, Tsigkou, Coates, Stevens, Polack, Hench. 2007. Extracellular Matrix Formation
And Mineralization On A Phosphate-Free Porous Bioactive Glass Scaffold Using
Primary Human Osteoblast (HOB) Cells: Journal Biomaterials, 28:1653-1663.
Kaban J. 2009. Modifikasi Kimia dari Kitosan dan Aplikasi Produk yang Dihasilkan.
Pidato Pengukuhan Guru Besar. Kimia FMIPA USU, Medan.
Kafshgari MH, Khorram M, Khodadoost M, and Khavari S. 2011. Reinforcement of
Chitosan Nanoparticles Obtained by an Ionic Cross-linking Process : Iranian
Polymer Journal 20 (5) : 445-456.
Kaminski, Uhrynowska-Tyszkiewicz, Stachowicz. 2010. Sterilisation by Irradiation. In:
Galea Gs (Ed.), Essentials of Tissue Banking, London, New York, Heidelberg, pp.
123–38.
Karp and Langer. 2007. Development and Therapeutic Application Of Advanced
Biomaterials: Current Opinion in Biotechnology, 18:454-459.
Ketabchi, Naghibzadeh, Mahdi Adabi, Seyedeh S. Esnaashari. 2016. Preparation and
Optimization of Chitosan / Polyethylene Oxide Nanofiber Diameter Using
Artificial Neutral Networks: The Natural Computing Applications.
Khopkar S. M. 2003. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: Universitas Indonesia.
Klawitter JJ and Hulbert SF. 1971. Application of Porous Ceramics for The Attachment
of Load Bearing Internal Orthopedic Application: J. Biomed. Mater. Res., 24 (1):
483-501
Kotela, Podporska, Soltysiak, Konsztowicz, Blazewicz. 2009. Polymer Nanocomposites
For Bone Tissue Substitutes. Ceramics International. 32: 2475-2480
Kumar Vimal. 2016. Why Chitosan? From Properties To Perspective Of Mucosal Drug
Delivery : Int. J. Biol. Macromol.
Kumar, M.N.V.R., 2000. Chitin and Chitosan for Versatile Applications.
http://members.tripod.com (17 Januari 2017).
Kurniasari Indah. 2006. Metode Cepat Penentuan Flavanoid Total Meniran (Phyllantus
niruri L) Berbasis Teknik Spektrofotometri Inframerah Dan Kemometrik. IPB,
Bogor.
78
Kusumaningsih T, Masykur A, Arief U. 2004. Pembuatan Kitosan dari Kitin Cangkang
Bekicot (Achatina fulica): Bioinformasi, 2 (2):29-33.
Laurencin C, Nair L, Roshan J, Syam N, Sangamesh K. 2008. Electrospun Poly (Lactic
Acid-co-Glycolic Acid) Scaffolds For Skin Tissue Engineering: Journal
Biomaterial, 29:4100-4107.
Laurencin CT, Sangamesh GK, Syam PN, Roshan J, Nair LS. 2008. Electrospun
poly(lactic acid-co-glycolic acid) scaffolds for skin tissue engineering. Journal
Biomaterials 29 (2008) 4100–4107
Liu J. 2006. Physical Characterization Of Pharmaceutical Formulations In Frozen and
Freeze Dried Solid States : Techniques and Applications In Freeze Drying
Development: PharmDev Technol. 11:3–28.
Loeffler, Scannell, Peindl, Connor, Davis, Hoelscher, Norton, Hanley, Gruber. 2013. Cell
Based Tissue Engineering Augments 33 Tendon To Bone Healing In a Rat
Supraspinatus Model: J. Orthop. Res. 31:407-412
Logithkumar, Keshavnarayan, Dhivya, Chawla, Saravanan, Selvamurugan. 2016. A
Review of Chitosan and its Derivatives in Bone Tissue Engineering: Carbohydr.
Polym, 151:172–188.
Lu Jin-Ying, Yu-Yi Lin, Jin-Chuan Sheu, June-Tai Wu, Fang-Jen Lee, Yue Chen, Min-I
Lin, Fu-Tien Chiang, Tong-Yuan Tai, Shelleey Berger, Yingming Zhao, Keh-Sung
Tsai, Heng Zhu, Lee-Ming Chuang, Jef D. Boeke. 2011. Acetylation of Yeast
AMPK Controls Intrinsic Aging Independently of Caloric Restriction: Journal
Cell, 146: 969-979.
Luo Yu, Genji Qin, Jun Zhang, Yuan Liang, Yingqi Song, Meiping Zhao, Tomohiko
Tsuge, Takashi Aoyama, Jingjing Liu, Hongya Gu, Li-Jia Qu. 2011. D-Myo-
Inositol-3-Phosphate Affects Phosphatidylinositol-Mediated Endomembrane
Function In Arabidopsis and is Essential for Auxin-Regulated Embryogenesis: The
Plant Cell, 4 (23): 1352-1372.
Lόpez-Leόn T, Carvalho ELS, Seijo B, Ortega-Vinuesa JL, Bastos-Gozáles D, 2005,
Physicochemical characterization of chitosan nanoparticles: elestrokinetic and
stability behavior, J. Colloid and Interface Sci., 283: 344-351
Ma, Peter, Jennifer E. 2012. Review of Scaffolding in Tissue Engineering: Biomed Eng
Online.
Macintyre and Sherrington. 2004. Control of Porous Morphology in Suspension
Polymerized Poly(divinylbenzene) Resins Using Oligomeric Porogens: Journal
Macromolecules, 37:7628–7636.
Mandal and Kundu. 2009. Osteogenic and Adipogenic Differentiation Of Rat Bone
Marrow Cells On Nonmulberry And Mulberry Silk Gland Fibroin 3D Scaffolds:
Journal Biomaterials, 30 (50):19–30.
79
Mani V, Rajkumar D, Shen-Ming C, Sea-Fue W, Parvathy D, Yian T. 2015.
Electrodeposition of copper nanoparticles Using Pectin Scaffold at Graphene
Nanosheets For Electrochemical Sensing of Glucose and Hydrogen Peroxide:
Electrochimica Acta, 176:804-810.
Marnada Nada. 2007. Risalah Seminar Ilmiah Aplikasi Isotop dan Radiasi. Badan
Tenaga Nuklir Nasional, Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi, Jakarta.
Martina, Graf and Hilborn. 2005. Macroporous Poly(dicyclopentadiene) Beads: J Appl
Polym Sci, 96:407–415.
Maulidiyah, Dwiprayogo W, Hikmawati, Richard S, Nurdin M. 2015. Preparation and
Characterization of Activated Carbon from Coconut Shell - Doped TiO2 in Water
Medium: Oriental Journal of Chemistry, 4 (31):2337-2342.
Mekawati, Fachriyah, and Sumardjo. 2000. Aplikasi Kitosan Hasil tranformasi Kitin
Limbah Udang (Penaeus merguiensis) untuk Adsorpsi Ion Logam Timbal: Jurnal
Sains and Matematika, FMIPA Undip, Semarang, 8 (2):51-54.
Mikos, Thorsen, Czerwonka, Bao, Langer, Winslow. 1994. Preparation and
Characterization of Poly(l-lactic acid) Foams; Journal Polymer, 35:1068–1077.
Moroni, Nandakumar, de Groot FB, Van Blitterswijk, Habibovic. 2015. Plug and Play:
Combining Materials and Technologies To Improve Bone Regenerative Strategies:
J. Tissue Eng. Regen. Med. 9:745–759.
Muthukumar, Aravinthan, Sharmila, N.S. Kim, J. Kim. 2016. Collagen/Chitosan Porous
Bone Tissue Engineering Composite Scaffold Incorporated With Ginseng
Compound K: Carbohydr. Polym., 14: 33-43.
Nagal A, Singla RK. 2013. Nanoparticles in different delivery systems: a brief review :
Indo. Glob. J. Pharm. Sci. 3 : 96-106.
Nagasawa N, Mitomo H, Yoshii F, Kume T. (2000). Radiation-induced degradation of
sodium alginate. Polymer Degradation and Stability, 69, 279-285.
Nam YS and Park TG. 1999. Porous Biodegradable Polymeric Scaffolds Prepared By
Thermally Induced Phase Separation: J Biomed Mater Res, 47:8–17.
Nather, Hilmy, and Yusof. 2006. Radiation In Tissue Banking- Basic Science And
Clinical Applications Of Irradiated Tissue Allografts: World Scientific Publishing
Co. Ptc. Ltd, Singapore.
Neldawati and Gusnedi. 2013. Analisis Nilai Absorpsi dalam Penentuan Kadar Flavonoid
untuk Berbagai Jenis Daun Tanaman Obat: Jurnal. Pillar of Physics, 2:76-83.
80
Nguyen, Morgan, Forwood. 2007. Sterilization of Allograft Bone: Effects of Gamma
Irradiation on Allograft Biology and Biomechanics: Cell Tissue Bank. 8 (2):93–
105.
Niamlang P, Titiyaporn T, Pongpol E, Piyachat C, Pitt S. 2017. Preparation,
characterization and biocompatibility of poly(vinyl alcohol) films containing
tetracycline hydrochloride-loaded quaternized chitosan nanoparticle. Journal of
Drug Delivery Science and Technology 38 (2017) 36-44
Nield-Gehrig and Willman. 2003. Foundation Of Periodontics For The Dental Hygienist.
Maryland: Lippincot Williams and Wilkins, 36, 43, 61, 75, 81-98, 103-105, 111,
120-128, 183.
Ninga, Bohong Z, Yanga C. 2017. Effect of Cu(II) ions on the enhancement of
tetracycline adsorption by Fe3O4@SiO2-Chitosan/ Graphene oxide
nanocomposite.Carbohydrate polymers 14 : 35-43.
Nwe N, Tetsuya F, and Hiroshi Ta. 2010. Production of Fungal Chitosan by Enzymatic
Method and Applications in Plant Tissue Culture and Tissue Engineering: 11 Years
of Our Progress, Present Situation and Future Prospects. Biopolymer
Obón JM, Castellar MR, Alacid M, Fernández-López JA, 2009. Production of a red-
purple food colorant from Opuntia stricta fruits by spray drying and its application
in food model systems: Journal of Food Engineering. 90 : 471–479.
Onsoyen E, Skaugrud O. 1990. Metal Recovery Using Chitosan: J Chem Technol
Biotechnol, 49:395
Pan Ting, Wenjing Song, Xiaodong Cao, Yingjun Wang. 2016. 3D Bioplotting of
Gelatin/Alginate Scaffolds for Tissue Engineering: Influence of Crosslinking
Degree and Pore Architecture on Physicochemical Properties: Materials Science
and Technology, 21 (6):1-17.
Pavia, Lampman, and George Kris. 2001. Introduction to Spectroscopy : A Guide for
Students of Organic Chemistry (Third Edition). Washington : Thomson Learning.
Peng, Tang, Liu, Peng. 2015. Rapid Prototyping-Assisted Maxillofacial Reconstruction:
Journal Ann. Med, 47:186–208.
PerkasaDP, Erizal, and Basril A. 2013. Polymeric Biomaterials Film Based on Poly(Vinyl
Alcohol) and Fish Scale Collagen by Repetitive Freeze-Thaw Cycles Followed by
Gamma Irradiation: Indo. J. Chem, 13 (3):221-228.
Pourhaghgouy, Zamanian, Shahrezaee, Pourbaghi. 2016. Physicochemical Properties and
Bioactivity Of Freeze-Cast Chitosan Nanocomposite Scaffolds Reinforced With
Bioactive Glass: Mater. Sci. Eng. C. 58:180–186.
Prabakaran and Galloway. 2005. Strain Measurement In Shape Memory Alloy With Strain
Gauges. Old Dominion University, Norfolk, USA
81
Prasetyo Yudi. 2011. Scanning Electron Microscope.
https://yudiprasetyo53.wordpress.com/2011/11/07/scanning-electron-microscope-
sem-dan-optical-emission-spectroscope-oes/. Diakses pada 31 Agustus 2017
Qian Lei and Zhang Haifei. 2010. Controlled Freezing and Freeze Drying: a versatile
route for porous and micro-/nano-structured materials: J Chem Technol Biotechnol,
86:172–184
Rahayu LH, Purnavita S. 2007. Optimasi Pembuatan Kitosan Dari Kitin Limbah
Cangkang Rajungan (Portunus pelagicus) Untuk Adsorben Ion Logam Merkuri:
Reaktor, 1 (11):45-49.
Rahmany and Van Dyke. 2013. Biomimetic Approaches To Modulate Cellular Adhesion
In Biomaterials: A review, Acta Biomater, 9:5431–5437.
Rashid, T., Mizanur, M., Kabir, S., Shamsuddin, S., & Khan, M. A. (2012). A new
approach for the preparation of chitosan from girradiation of prawn shell: effects of
radiation on the characteristics of chitosan. Polymer International, 61, 1302-1308.
Rasperini G, Pilipchuk SP, Flanagan CL, Park CH, Pagni G, Hollister SJ, and Giannobile
WV. 2015. 3D-printed Bioresorbable Scaffold for Periodontal Repair: JDR
Clinical Research Supplement, 94(9):153s- 157s
Renuka N, Radha P, Anjuli S, Amrik SA, Radhika B, Santosh B, Rajendra S, Yashbir SS,
Lata N. 2010. Exploring the efficacy of wastewater-grown microalgal biomass as a
biofertilizer for wheat. Environ Sci Pollut Res:1-13
Rismana, 2006. Serat Kitosan Mengikat Lemak. http://www.kompas.com (17 Januari
2017).
Rohman Abdul. 2007 . Kimia Farmasi Analisis. Jakarta: Pustaka Pelajar
Rohman Abdul. 2014. Spektroskopi Inframerah dan Kemometrika Untuk Analisis
Farmasi. Pustaka Pelajar : Yogyakarta
Rushdi M. 2005. Calibration of Gammacell 220 E Irradiator Using Fricke and Alanine
Dosimeters. Nuclear Physics, Sudan University for Science and Technology.
Salgado Antonio, Olga Coutinho, Rui Reis. 2004. Bone Tissue Engineering: State of the
Art and Future Trends: J. Macromol. Bioscience, 4:743-765.
Sanford and Hutchings. 1987. World Market of Chitin and Its Derivatives. Di da lam
Varum KM, Domard A and Smidsrod O, editors. Advances in Chitin Science. Vol
VI. Trondheim, Norway.
Sankari, Krishnamoorthy, Jayakumaran, Gunasekaran, Vishnu Priya, Shyama
Subramaniam, Subramaniam, Surapaneni Krishna Mohan. 2010. Analysis of
Serum Immunoglobulins Using Fourier Transform Infrared Spectral
Measurements: Biology and Medicine, 2 (3):42-48.
82
Saravanan S, Leena RS and Selvamurugan N. 2016. Chitosan Based Biocomposite
Scaffolds for Bone Tissue Engineering: J. Biological Macromolecules, 3:1-15
Sastrohamidjojo H. 2013. Dasar – Dasar Spektrokopi. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Schugens C, Maquet C, Grandfils C, Jerome R and Teyssie P. 1996. Biodegradable and
Macroporous Polylactide Implants For Cell Transplantation:1. Preparation Of
Macroporous Polylactide Supports by Solid-Liquid Phase Separation. Journal
Polymer 37:1027–1038.
Schunack W, Mayer K, Haake M. 1990. Senyawa Obat. Edisi kedua. Penerjemah: Joke
Wattimena dan Sriewoelan Soebito. Yogyakarta. Penerbit Universitas Gadjah
Mada.
Setiawan Harles. 2016. Sintesis dan Karakterisasi Scaffold Kitosan yang Diiradiasi
Dengan Sinar Gamma. Fakultas Farmasi, Universitas Pancasila, Jakarta.
She Z, Zhang B, Jin C, Feng Q, Y Xu. 2008. Preparation and In Vitro Degradation Of
Porous Three-Dimensional Silk Fibroin/Chitosan Scaffold: Polym. Degrad. Stab.,
93:1316–1322.
Shrivats, AR, McDermott MC, Hollinger JO. 2014. Bone Tissue Engineering: State Of
The Union. Journal Drug Discovery Today, 19:781-786.
Siswandono dan SoekardjoB. (2000). Kimia Medisinal. Edisi 2. Surabaya: Airlangga
University Press.
Sitorus Marham. 2009. Spektroskopi Elusidasi Struktur Molekul Organik. Graha ilmu:
Yogyakarta.
Sivashankari PR and Prabaharan M. 2016. Prospects of chitosan-based scaffolds for
growth factor release intissue engineering: Int. J. of Biol. Macromolecules,
http://dx.doi.org/10.1016/j.ijbiomac.2016.02.043.
Solechan, Saifuddin Alie Anwar. 2014. Karakterisasi Scaffold Bovine Hidroksiapatit dari
Tulang Sapi Limbah Bakso Balungan untuk aplikasi Implan Tulang Mandibula
menggunakan metode kalsinasi. Prosiding SNATIF I. ISBN: 978-602-1180-04-4.
Stringer Janet L. 2006. Konsep Dasar Farmakologi: Panduan Untuk Mahasiswa, Alih
Bahasa Huriawati Hartanto. EGC, Jakarta
Subronto and Tjahjati. 2001. Pedoman Pengobatan pada Hewan Ternak. Bentang
Pustaka.
Suhartono and Maggy Thenawidjaja. 2006. Pemanfaatan kitin, kitosan dan
kitooligosakarida. Food review Indonesia Edisi Juli 2006.
83
Sultana N. 2015.Composite Synthetic Scaffolds for Tissue Engineering and Regenerative
Medicine: SpringerBriefs in Materials. DOI 10.1007/978-3 319- 09755-8_2
Swapp Susan. University of Wyoming: Scanning Electron Microscope.
http://serc.carleton.edu/research_education/geochemsheets/techniques/SEM.html
(3 Februari 2017).
TahirMN, Filipe N, Helen AT, Aswani Y, Nadine M, Shah MR, Enrico M, Ru¨diger B,
Patrick T, Heinz-Christoph S, Werner EGM, and Wolfgang T. 2009. Enzyme-
Mediated Deposition of a TiO2 Coating onto Biofunctionalized WS2 Chalcogenide
Nanotubes: Adv. Funct. Mater., 19 :285-291.
Tan HT and Rahardja K. 2008. Obat-Obat Penting Kasiat, Penggunaan Dan Efek-Efek
Sampingnya. Edisi ; 6. Kompas-Gramedia. Jakarta.
Tang X and Pikal MJ. 2007. Design of Freeze Drying Processes For Pharmaceuticals :
Practical Advice: Pharm Res, 21:191–200.
Tavakol M, Reza N, Elham H, Behnaz B, Tavakol, Rezayat SM. 2014. Investigating The
Effects of Particle Size and Chemical Structure On Cytotoxicity and Bacteriostatic
Potential Of Nano Hydroxyapatite / Chitosan / Silica and Nano Hydroxyapatite /
Chitosan / Silver ; As Antibacterial Bone Substitutes: J Nanopart Res., 16:2622.
Thakur, Wanchoo, and Singh. 2011. Hydrogels of Poly(acrylamide-co-acrylic acid): In-
vitro Study on Release Of Gentamicin Sulfate: J. Chem. Biochem. Eng. 25 (4):471-
482.
Tsai ML, Bai SW, Chen RH. 2008. Cavitation effects versus stretch effects resulted in
different size and polydispersity of ionotropic gelation chitosansodium
tripolyphosphate nanoparticle: Carbohyd Polym. 71, 448-457.
Tsuji K, Kane M, Rahn P, Steindler K. 1981. Cobalt-60 Irradiation For Sterilization Of
Veterinary Mastitis Products Containing Antibiotics And Steroids: Radiat. Phys.
Chem., 18:583–93.
Uswatta, Israel Okeke, Ambalangodage Jayasuriya. 2016. Injectable Porous Nano-
Hydroxyapatite/Chitosan/Tripolyphosphate Scaffolds with Improved Compressive
Strength for Bone Regeneration: Material and Science Technology, 16:1-29
Wahyudi P, Untung S, Harsoyo, Aris M, Dwi W. 2005. Pengaruh Pemaparan Sinar
Gamma Isotop Cobalt - 60 Dosis 0,25 - 1 kGy Terhadap Daya Antagonistik
Trichoderma harzianun Pada Fusarium oxysporum: Berk. Panel. Hayati, 10:143 -
151.
Wei D, Jacobs S, Modla S, Zhang S, Young CL, Cirino R, Caplan J, Czymmek K. 2012.
High-Resolution Three-Dimensional Reconstruction of a Whole Yeast Cell Using
Focused-Ion Beam Scanning Electron Microscopy: Biotechniques, 53 (1):1-8.
84
Widyastuti R. 2009. Periodontitis dan Perawatannya: JITEKGI, 6(1): 32-35.
Yang Bing, XingYi Li, Shuai Shi, XiangYe Kong, Gang Guo, MeiJuan Huang, Feng Luo,
YuQuan Wei, Xia Zhao, ZhiYong Qian. 2010. Preparation and Characterization of
a Novel Chitosan Scaffold: Carbohydrate Polymers, 80:860–865
Yang Ying, Shengbing Yang, Yugang Wang, Zhifeng Yu, Haiyong Ao, Hongbo Zhang,
Ling Qin, Olivier Guillaume,David Eglin,R. Geoff Richards, Tingting Tang.
2016. Anti-infective Efficacy, Cytocompatibility and Biocompatibility 1 of a 3D-
printed Osteoconductive Composite Scaffold Functionalized With Quaternized
Chitosan: Acta Biomaterilia, 16:1-46.
Yang Yuanxiu, Xinjiang Hua, Yunlin Zhao, Lihua Cui, Zhujian Huang, Jianliang Long,
Jiawen Xu, Jianbin Deng, Cuiyu Wu, Wenwei Liao. 2017. Decontamination of
Tetracycline by Thiourea-Dioxide–Reduced Magnetic Graphene Oxide: Effects of
pH, Ionic Strength, and Humic Acid Concentration: Journal of Colloid and
Interface Science, 495:68-77.
Yu X, Tang X, Gohil SV, Laurencin CT. 2015. Biomaterials For Bone Regenerative
Engineering: Adv. Healthc. Mater., 4:1268-1285.
Yuningsih. 2004. Keberadaan Residu Antibiotika Dalam Produk Peternakan (Susu dan
Daging). Di Dalam: Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan.
Bogor: Balai Penelitian Veteriner.
Yunizal, Indriati. Murdinah, Wikana. 2001. Pemanfaatan Kulit Udang sebagai Bahan
Baku Makanan: J. Agritech, 2:1-3.
Zhang H and Cooper AI. 2007. Aligned Porous Structures by Directional Freezing: Adv.
Mater., 19:1529–1533.
Zhang H, Hussain I, Brust M, Butler MF, Rannard SP, and Cooper AI. 2005. Aligned
Two - and Three-Dimensional Structures By Directional Freezing Of Polymers
And Nanoparticles: Nat Mater., 4:787–79
85
LAMPIRAN
Lampiran 1. Scaffold kitosan dan scaffold kitosan-tetrasiklin
85
Scaffold Kitosan 0 KGy
Scaffold Kitosan 15 KGy
Scaffold Kitosan 25 KGy
Scaffold Kitosan-Tetrasiklin 6,25 mg 0 KGy
Scaffold Kitosan-Tetrasiklin 6,25 mg 15 KGy
Scaffold Kitosan-Tetrasiklin 6,25 mg 25 KGy
Scaffold Kitosan-Tetrasiklin 12,5 mg 0 KGy
Scaffold Kitosan-Tetrasiklin 12,5 mg 15 KGy
Scaffold Kitosan-Tetrasiklin 12,5 mg 25 KGy
Scaffold Kitosan-Tetrasiklin 18,75 mg 0 KGy
Scaffold Kitosan-Tetrasiklin 18,75 mg 15 KGy
Scaffold Kitosan-Tetrasiklin 18,75 mg 25 KGy
atas bawah samping atas bawah samping
atas bawah samping atas bawah samping
atas bawah samping atas bawah samping
atas bawah samping
86
Tabel 8. Massa scaffold kitosan dan scaffold kitosan-tetrasiklin
No Jenis Scaffold Massa
Scaffold (g) Mean ± SE
1 Scaffold Kitosan
0,1136
0,1204±0,004
0,1246
0,1211
0,1332
0,1096
2 Scaffold Kitosan-Tetrasiklin
6,25 mg
0,0999
0,1064±0,003
0,1085
0,0998
0,1109
0,1128
3 Scaffold Kitosan-Tetrasiklin
12,5 mg
0,108
0,0985±0,005
0,1111
0,0985
0,089
0,0858
4 Scaffold Kitosan-Tetrasiklin
18,75 mg
0,1053
0,1129±0,002
0,1157
0,1166
0,1164
0,1103
Gambar 26. Ilustrasi kompleksasi nanopartikel metode ionik gelasi a. interaksi
intermolekular b. struktur nanosphere (Martien et al., 2012)
a b
87
Lampiran 2. Panjang gelombang scaffold kitosan dan scaffold kitosan-tetrasiklin
Gambar 27. Spektrum IR tetrasiklin
Gambar 28. Spektrum IR kitosan
Gambar 29. Spektrum IR scaffold kitosan 0 KGy
O-H
N-H
C-H C=O
C-N
O-H
N-H
C-H
C=O
C-N
C-O
88
Gambar 30. Spektrum IR scaffold kitosan 15 KGy
Gambar 31. Spektrum IR scaffold kitosan 25 KGy
Gambar 32. Spektrum IR scaffold kitosan-tetrasiklin 6,25mg 0 KGy
89
Gambar 33. Spektrum IR scaffold kitosan-tetrasiklin 6,25mg 15 KGy
Gambar 34. Spektrum IR scaffold kitosan-tetrasiklin 6,25mg 25 KGy
Gambar 35. Spektrum IR scaffold kitosan-tetrasiklin 12,5mg 0 KGy
90
Gambar 36. Spektrum IR scaffold kitosan-tetrasiklin 12,5mg 15 KGy
Gambar 37. Spektrum IR scaffold kitosan-tetrasiklin 12,5mg 25 KGy
Gambar 38. Spektrum IR scaffold kitosan-tetrasiklin 18,75mg 0 KGy
91
Gambar 39. Spektrum IR scaffold kitosan-tetrasiklin 18,75mg 15 KGy
Gambar 40. Spektrum IR scaffold kitosan-tetrasiklin 18,75mg 25 KGy
92
Lampiran 3. Uji warna CIEL*a*b*
Tabel 9. Tests of between-subjects effects
dependent variable: L*
Source Type III Sum
of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected
Model 909,076a 5 181,815 6,368 ,022
Intercept 57194,117 1 57194,117 2003,063 ,000
Scaffold 570,481 3 190,160 6,660 ,024
Radiasi 338,595 2 169,298 5,929 ,038
Error 171,320 6 28,553
Total 58274,513 12
Corrected Total 1080,396 11
a. R Squared = ,841 (Adjusted R Squared = ,709)
Tabel 10. Multiple comparisons
dependent variable: L*
Tukey HSD
(I) Dosis
Radiasi
(J) Dosis
Radiasi
Mean
Difference (I-
J)
Std. Error Sig.
0 KGy 15 KGy 2,4750 3,77845 ,797
25 KGy 12,3000* 3,77845 ,040
15 KGy 0 KGy -2,4750 3,77845 ,797
25 KGy 9,8250 3,77845 ,090
25 KGy 0 KGy -12,3000* 3,77845 ,040
15 KGy -9,8250 3,77845 ,090
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 28,553.
*. The mean difference is significant at the 0,05 level.
93
Tabel 11. Tests of between-subjects effects
dependent variable: a*
Source Type III Sum
of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected
Model 21,115a 5 4,223 25,119 ,001
Intercept 3126,641 1 3126,641 18597,120 ,000
Scaffold 19,147 3 6,382 37,963 ,000
Radiasi 1,968 2 ,984 5,853 ,039
Error 1,009 6 ,168
Total 3148,765 12
Corrected Total 22,124 11
a. R Squared = ,954 (Adjusted R Squared = ,916)
Tabel 12. Multiple comparisons
dependent variable: a*
Tukey HSD
(I) Dosis
Radiasi
(J) Dosis
Radiasi
Mean
Difference (I-
J)
Std. Error Sig.
0 KGy 15 KGy -,4125 ,28994 ,388
25 KGy -,9875* ,28994 ,033
15 KGy 0 KGy ,4125 ,28994 ,388
25 KGy -,5750 ,28994 ,197
25 KGy 0 KGy ,9875* ,28994 ,033
15 KGy ,5750 ,28994 ,197
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = ,168.
*. The mean difference is significant at the 0,05 level.
94
Tabel 13. Tests of between-subjects effects
dependent variable: b*
Source Type III Sum
of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected
Model 294,815a 5 58,963 4,532 ,047
Intercept 6945,641 1 6945,641 533,838 ,000
Scaffold 207,984 3 69,328 5,329 ,040
Radiasi 86,830 2 43,415 3,337 ,106
Error 78,065 6 13,011
Total 7318,520 12
Corrected Total 372,879 11
a. R Squared = ,791 (Adjusted R Squared = ,616)
Tabel 14. Multiple comparisons
dependent variable: b*
Tukey HSD
(I) Dosis
Radiasi
(J) Dosis
Radiasi
Mean
Difference (I-
J)
Std. Error Sig.
0 KGy 15 KGy -5,7125 2,55057 ,142
25 KGy -,0125 2,55057 1,000
15 KGy 0 KGy 5,7125 2,55057 ,142
25 KGy 5,7000 2,55057 ,143
25 KGy 0 KGy ,0125 2,55057 1,000
15 KGy -5,7000 2,55057 ,143
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 13,011.
95
Lampiran 4. Morfologi permukaan scaffold kitosan dan scaffold kitosan-tetrasiklin
Tabel 15. Analisa morfologi scaffold berbagai variasi dan radiasi
Sampel Perbesaran
(Kali) Morfologi Pori Scaffold
Scaffold
Kitosan 0
KGy
30
250
96
500
1000
1500
97
Scaffold
Kitosan 15
KGy
30
250
500
98
1000
1500
Scaffold
Kitosan-
Tetrasiklin
0 KGy
30
99
250
500
1000
100
1500
Scaffold
Kitosan-
Tetrasiklin
15 KGy
30
250
101
500
1000
102
Lampiran 5. Pelepasan kumulatif tetrasiklin
Rumus perhitungan % pelepasan:
1. 𝑦 = 𝑎 + 𝑏𝑥
dimana:
y = Absorbansi
x = Kadar analit
2. 𝐶𝑠 = 𝑥 + 𝐹𝑝
dimana:
Cs = Kelarutan (konsentrasi jenuh bahan dalam bahan pelarut)
x = Kadar analit
Fp = Faktor pengenceran
3. % Pelepasan =Cs x V
𝑚 𝑥 1000 x 100%
dimana:
Cs = Kelarutan (konsentrasi jenuh bahan dalam bahan pelarut)
V = Volume pelarut PBS (mL)
w = Massa tetrasiklin pada scaffold (mg)
103
Tabel 16. Persen kumulatif pelepasan massa tetrasiklin scaffold kitosan-tetrasiklin (%)
No 0KGy 15 KGy 25 KGy
6,25mg 12,5mg 18,75mg 6,25mg 12,5mg 18,75mg 6,25mg 12,5mg 18,75mg
1 51,30±7,896 44,54±10,246 17,96±2,138 38,45±12,875 35,05±6,866 20,08±7,055 43,61±6,705 45,4±6,748 32,63±9,142
2 60,73±7,392 56,12±12,142 24,63±1,608 45,75±12,478 43,97±8,763 28,14±6,935 51,07±7,106 55,26±10,375 38,57±9,425
3 65,46±7,873 63,96±13,979 29,36±0,807 49,71±12,095 49,52±10,197 33,19±7,499 54,78±7,525 59,52±10,844 42,39±8,857
4 68,35±7,292 68,03±14,493 32,43±0,838 52,01±11,33 52,34±10,618 36,51±7,948 56,73±7,265 61,59±10,899 44,93±8,642
5 70,42±6,434 70,38±14,371 35,78±0,512 54,73±9,612 54,76±11,154 39,11±8,219 58,46±7,353 63,49±11,086 47,88±7,813
6 71,48±6,161 71,76±14,105 38,68±0,335 56,09±8,949 56,28±11,094 41,6±8,482 59,54±6,989 65,71±10,745 50,22±7,466
7 72,35±5,946 72,66±13,962 40,92±0,431 57,34±8,437 57,54±10,915 43,99±8,478 60,58±6,585 67,61±10,517 52,42±6,998
8 73,28±5,738 74,19±14,092 43,22±0,699 59,18±7,202 59,8±11,08 46,34±8,862 61,49±6,357 69,85±10,844 54,4±6,701
9 74,67±5,78 75,98±14,09 45,67±0,739 61,16±6,232 61,79±11,316 48,98±9,507 62,41±6,29 72,08±11,269 56,53±6,406
10 75,33±5,86 76,93±13,755 47,35±0,783 62,51±5,793 63,1±10,827 50,94±9,108 63,09±6,112 73,54±11,429 58,39±6,19
11 76,55±6,107 78,69±14,104 48,88±0,86 65,02±5,453 64,6±11,044 52,81±9,464 65,69±6,309 75,89±11,339 60,92±6,027
12 79,16±5,368 80,22±13,814 51,62±0,59 66,32±4,901 65,36±11,002 54,29±9,723 66,3±6,181 77,36±11,658 62,08±6,052
13 79,68±5,28 81,23±13,916 53,02±0,445 67,29±4,559 66,11±10,985 55,74±9,837 66,86±6,081 78,67±11,99 63,29±5,927
14 80,06±5,282 81,73±13,823 54,42±0,413 67,93±4,534 66,63±10,918 56,76±9,929 67,26±5,982 79,83±12,267 64,29±5,917
15 80,63±4,987 82,04±13,626 55,76±0,261 68,51±4,347 67,14±10,796 57,63±9,961 67,76±5,906 80,93±12,596 65,21±5,918
16 81,15±4,811 82,76±13,12 57,26±0,324 69,46±4,476 67,85±10,828 58,73±9,97 68,39±6,096 81,53±12,297 66,24±6,004
24 82,73±4,922 85,03±11,399 64,31±0,541 77,81±5,439 71,54±9,459 64±9,457 70,65±4,956 83,82±10,416 71,78±6,027
104
Tabel 17. Tests of between-subjects effect
dependent variable: kumulatif pelepasan
Source Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Corrected
Model 773,403a 4 193,351 78,591 ,000
Intercept 7790,707 1 7790,707 3166,660 ,000
Radiasi 28,843 2 14,422 5,862 ,004
Massa
Tetrasiklin 740,521 2 370,261 150,498 ,000
Error 364,114 148 2,460
Total 8944,823 153
Corrected
Total 1137,517 152
a. R Squared = ,680 (Adjusted R Squared = ,671)
Tabel 18. Multiple comparisons
dependent variable: kumulatif pelepasan
Tukey HSD
(I) Dosis
Radiasi
(J) Dosis
Radiasi
Mean
Difference (I-J) Std. Error Sig.
0 KGy 15 KGy ,8141* ,31216 ,027
25 KGy -,2828 ,30911 ,632
15 KGy 0 KGy -,8141* ,31216 ,027
25 KGy -1,0970* ,31067 ,002
25 KGy 0 KGy ,2828 ,30911 ,632
15 KGy 1,0970* ,31067 ,002
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 2,460.
*. The mean difference is significant at the 0,05 level.
105
OCH3
OH
H
HO HH
N(CH3)2
OH
H2NOC
O
HO
O
O
NHH
HO
HOH2C
O
ONH3
HOH2C
P
O
O
O
OH O
CH3HOH
OH
HH N(CH3)2
OH
CONH2
OOH
+
O
O
NHH
HO
HOH2C
O
HONH3
HOH2C
P
O
O
O
H2O
Kitosan posfat
Tetrasiklin
Gambar 41. Reaksi antara kitosan dan tetrasiklin (Niamlang et al., 2017)
106
Gambar 42. Persen pelepasan kumulatif tetrasiklin 0 KGy
Gambar 43. Persen pelepasan kumulatif tetrasiklin 15 KGy
Gambar 44. Persen pelepasan kumulatif tetrasiklin 25 KGy
107
Lampiran 6. Derajat pembengkakan
Tabel 19. Rasio pembengkakan scaffold kitosan dan scaffold kitosan-tetrasiklin
No Sampel Radiasi n Massa Scaffold (g)
t = 0 Jam t = 24 Jam
1 Scaffold Kitosan
0 KGy
1 0,1094 0,9321
2 0,0983 0,798
3 0,0978 0,7356
2 Scaffold Kitosan-
Tetrasiklin 6,25 mg
1 0,0963 0,7959
2 0,0996 0,6354
3 0,0962 0,5213
3 Scaffold Kitosan-
Tetrasiklin 12,5 mg
1 0,105 0,4209
2 0,1156 0,6374
3 0,1044 0,563
4 Scaffold Kitosan-
Tetrasiklin 18,75 mg
1 0,1094 0,9321
2 0,1158 0,9714
3 0,1178 0,8788
5 Scaffold Kitosan
15 KGy
1 0,1065 0,8403
2 0,0976 0,7651
3 0,09632 0,774
6 Scaffold Kitosan-
Tetrasiklin 6,25 mg
1 0,0984 0,5139
2 0,1103 0,4351
3 0,1003 0,6125
7 Scaffold Kitosan-
Tetrasiklin 12,5 mg
1 0,0941 0,3165
2 0,0946 0,5376
3 0,095 0,5678
8 Scaffold Kitosan-
Tetrasiklin 18,75 mg
1 0,1058 0,4148
2 0,1179 1,0618
3 0,0935 0,5385
9 Scaffold Kitosan
25 KGy
1 0,1081 0,8056
2 0,0976 0,7946
3 0,1003 0,8552
10 Scaffold Kitosan-
Tetrasiklin 6,25 mg
1 0,0862 0,3806
2 0,1065 0,8403
3 0,1068 0,5416
11 Scaffold Kitosan-
Tetrasiklin 12,5 mg
1 0,1048 0,2956
2 0,0989 0,4946
3 0,1003 0,5152
12 Scaffold Kitosan-
Tetrasiklin 18,75 mg
1 0,1172 0,4585
2 0,1113 1,0434
3 0,1032 0,5091
108
Tabel 20. Tests of between-subjects effects
dependent variable: swelling ratio
Source Type III Sum
of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected
Model 145718,967a 5 29143,793 3,550 ,077
Intercept 3355299,461 1 3355299,461 408,683 ,000
Scaffold 109664,941 3 36554,980 4,452 ,057
Radiasi 36054,027 2 18027,013 2,196 ,192
Error 49260,143 6 8210,024
Total 3550278,571 12
Corrected Total 194979,111 11
a. R Squared = ,747 (Adjusted R Squared = ,537)
Tabel 21. Multiple comparisons
Dependent variable: swelling ratio
(I) Dosis (J) Dosis Mean
Difference (I-J) Std. Error Sig.
0 KGy 15 KGy 91,2850 64,07037 ,388
25 KGy -39,6250 64,07037 ,816
15 KGy 0 KGy -91,2850 64,07037 ,388
25 KGy -130,9100 64,07037 ,183
25 KGy 0 KGy 39,6250 64,07037 ,816
15 KGy 130,9100 64,07037 ,183
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 8210,024.
109
Lampiran 7. Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian
Tetrasiklin Kitosan Freeze Dryer
Kolorimetri FTIR
SEM Homogenizer