sino nasal bab 2

29
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tumor Ganas Sinonasal Tumor ganas sinonasal merupakan penyebab kesakitan dan kematian di bidang otorinolaringologi di seluruh dunia. Kebanyakan tumor ini berkembang dari sinus maksilaris dan tipe histologi yang paling sering ditemukan adalah karsinoma sel skuamosa (Fasunla dan Lasisi, 2007; Luce et al, 2002). 2.2. Anatomi Kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri (Corbridge, 1998). 2.2.1. Septum Nasi Septum nasi dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada bagian tulang, sedangkan di luarnya dilapisi juga dengan mukosa nasal (Corbridge, 1998). Bagian tulang terdiri dari : Lamina perpendikularis os etmoid Lamina perpendikularis os etmoid terletak pada bagian supero-posterior dari septum nasi dan berlanjut ke atas membentuk lamina kribriformis dan krista gali. Os vomer Os vomer terletak pada bagian postero-inferior. Tepi belakang os vomer merupakan ujung bebas dari septum nasi. Universitas Sumatera Utara

Upload: nisa-iktiarani-m

Post on 31-Dec-2015

29 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tumor Ganas Sinonasal

Tumor ganas sinonasal merupakan penyebab kesakitan dan kematian di bidang

otorinolaringologi di seluruh dunia. Kebanyakan tumor ini berkembang dari sinus

maksilaris dan tipe histologi yang paling sering ditemukan adalah karsinoma sel

skuamosa (Fasunla dan Lasisi, 2007; Luce et al, 2002).

2.2. Anatomi

Kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang, dipisahkan oleh

septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri (Corbridge,

1998).

2.2.1. Septum Nasi

Septum nasi dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Dilapisi oleh perikondrium

pada bagian tulang rawan dan periosteum pada bagian tulang, sedangkan di luarnya

dilapisi juga dengan mukosa nasal (Corbridge, 1998).

Bagian tulang terdiri dari :

• Lamina perpendikularis os etmoid

Lamina perpendikularis os etmoid terletak pada bagian supero-posterior dari

septum nasi dan berlanjut ke atas membentuk lamina kribriformis dan krista gali.

• Os vomer

Os vomer terletak pada bagian postero-inferior. Tepi belakang os vomer

merupakan ujung bebas dari septum nasi.

Universitas Sumatera Utara

• Krista nasalis os maksila

Tepi bawah os vomer melekat pada krista nasalis os maksila dan os palatina.

• Krista nasalis palatina (Corbridge, 1998; Lund, 1997).

Bagian tulang rawan terdiri dari :

• Kartilago septum (kartilago kuadrangularis)

Kartilago septum melekat dengan erat pada os nasal, lamina perpendikularis

os etmoid, os vomer dan krista nasalis os maksila oleh serat kolagen.

• Kolumela

Kedua lubang berbentuk elips disebut nares, dipisahkan satu sama lain oleh

sekat tulang rawan dan kulit yang disebut kolumela (Corbridge, 1998; Lund,

1997).

2.2.2. Perdarahan

Bagian postero-inferior septum nasi diperdarahi oleh arteri sfenopalatina yang

merupakan cabang dari arteri maksilaris (dari a,karotis eksterna). Septum nasi

bagian antero-inferior diperdarahi oleh arteri palatina mayor (juga cabang dari

a.maksilaris) yang masuk melalui kanalis insisivus. Arteri labialis superior (cabang

dari a.fasialis) memperdarahi septum bagian anterior mengadakan anastomose

membentuk fleksus Kiesselbach yang terletak lebih superfisial pada bagian anterior

septum. Daerah ini disebut juga Little’s area yang merupakan sumber perdarahan

pada epistaksis.

Arteri karotis interna memperdarahi septum nasi bagian superior melalui arteri

etmoidalis anterior dan superior.

Vena sfenopalatina mengalirkan darah balik dari bagian posterior septum

ke fleksus pterigoideus dan dari bagian anterior septum ke vena fasialis. Pada

Universitas Sumatera Utara

bagian superior vena etmoidalis mengalirkan darah melalui vena oftalmika yang

berhubungan dengan sinus sagitalis superior (Lund, 1997).

2.2.3. Sinus Paranasal

Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang terletak di

sekitar nasal dan mempunyai hubungan dengan kavum nasi melalui ostiumnya

(Mangunkusumo, 1999). Terdapat empat pasang sinus paranasal, yaitu sinus

frontalis, sfenoidalis, etmoidalis, dan maksilaris. Sinus maksilaris dan etmoidalis

mulai berkembang selama dalam masa kehamilan. Sinus maksilaris berkembang

secara cepat hingga usia tiga tahun dan kemudian mulai lagi saat usia tujuh tahun

hingga 18 tahun dan saat itu juga air-cell ethmoid tumbuh dari tiga atau empat sel

menjadi 10-15 sel per sisi hingga mencapai usia 12 tahun (Jhosephson dan Roy,

1999).

Sinus maksilaris adalah sinus paranasal pertama yang mulai berkembang dalam

janin manusia. Sinus ini mulai berkembang pada dinding lateral nasal sekitar hari

65 kehamilan. Sinus ini perlahan membesar tetapi tidak tampak pada foto polos

sampai bayi berusia 4-5 bulan. Pertumbuhan dari sinus ini bifasik dengan periode

pertama di mulai pada usia tiga tahun dan tahap kedua di mulai lagi pada usia tujuh

hingga 12 tahun. Selama tahap kedua ini, pneumatisasi meluas secara menyamping

hingga dinding lateral mata dan bagian inferior ke prosesus alveolaris bersamaan

dengan pertumbuhan gigi permanen. Perluasan lambat dari sinus maksilaris ini

berlanjut hingga umur 18 tahun dengan kapasitasnya pada orang dewasa rata-rata

14,75 ml. Sinus maksilaris mengalirkan sekret ke dalam meatus media (Jhosephson

dan Roy, 1999; Russel, 2000)

Universitas Sumatera Utara

Sel etmoid mulai berkembang dalam bulan ketiga pada proses perkembangan

janin. Sinus etmoidalis anterior merupakan evaginasi dari dinding lateral nasal dan

bercabang ke samping dengan membentuk sinus etmoidalis posterior dan terbentuk

pada bulan keempat kehamilan. Saat dilahirkan sel ini diisi oleh cairan sehingga

sukar untuk dilihat dengan rontgen. Saat usia satu tahun sinus etmoidalis baru bisa

dideteksi melalui foto polos dan setelah itu membesar dengan cepat hingga usia

12 tahun. Sinus etmoidalis anterior dan posterior ini dibatasi oleh lamina basalis.

Jumlah sel berkisar 4-17 sel pada sisi masing-masing dengan total volume rata-rata

14-15 ml. Sinus etmoidalis anterior mengalirkan sekret ke dalam meatus media,

sedangkan sinus etmoidalis posterior mengalirkan sekretnya ke dalam meatus

superior. Menurut Kennedy, diseksi sel-sel etmoid anterior dan posterior harus

dilakukan dengan hati-hati karena terdapat dua daerah rawan. Daerah pertama

adalah daerah arteri etmoid anterior yang merupakan cabang arteri oftalmika,

terdapat di atap sinus etmoidalis dan membentuk batas posterior resesus frontal.

Arteri ini berada pada dinding koronal yang sama dengan dinding anterior bula

etmoid. Daerah yang kedua adalah variasi anatomi yang disebut dengan sel onodi.

Sel onodi adalah sel udara etmoid posterior yang berpneumatisasi ke postero-lateral

atau postero-superior terhadap dinding depan sinus sfenoidalis dan melingkari

nervus optikus dan dapat dikira sebagai sinus sfenoidalis (Jhosephson dan Roy,

1999; Russel, 2000).

Sinus frontalis mulai berkembang sepanjang bulan keempat kehamilan,

merupakan satu perluasan ke arah atas dari sel etmoidal anterosuperior. Sinus

frontalis jarang tampak pada pemeriksaan foto polos sebelum umur lima atau enam

tahun setelah itu perlahan tumbuh, total volume 6-7 ml. Pneumatisasi sinus frontalis

Universitas Sumatera Utara

mengalami kegagalan pengembangan pada salah satu sisi sekitar 4-15% populasi.

Sinus frontalis mengalirkan sekretnya ke dalam resesus frontalis (Jhosephson dan

Roy, 1999; Russel, 2000).

Sinus sfenoidalis mulai tumbuh sepanjang bulan keempat masa kehamilan

yang merupakan evaginasi mukosa dari bagian superoposterior kavum nasi. Sinus

ini berupa suara takikan kecil di dalam os sfenoid sampai umur tiga tahun ketika

mulai pneumatisasi lebih lanjut, Pertumbuhan cepat untuk mencapai tingkat sella

tursika pada umur tujuh tahun dan menjadi ukuran orang dewasa setelah umur

18 tahun, total volume 7,5 ml. Sinus sfenoidalis mengalirkan sekretnya ke dalam

meatus superior bersama dengan etmoid posterior (Jhosephson dan Roy, 1999).

Mukosa sinus terdiri dari ciliated pseudostratified, columnar epithelial cell, sel

Goblet, dan kelenjar submukosa menghasilkan suatu selaput lendir bersifat

melindungi. Selaput lendir mukosa ini akan menjerat bakteri dan bahan berbahaya

yang dibawa oleh silia, kemudian mengeluarkannya melalui ostium dan ke dalam

nasal untuk dibuang (Jhosephson dan Roy, 1999).

2.3. Epidemiologi

Tumor ganas rongga nasal dan sinus paranasal diperkirakan sebesar 1% dari

seluruh neoplasma ganas manusia dan 3% dari jumlah ini ditemukan pada kepala

dan leher. Secara tipikal ditemukan pada dekade ke lima dan ke tujuh kehidupan

dan rasio perbandingan antara pria dan wanita adalah sebesar 2:1 (Bailey, 2006;

Barnes, Eveson, Reichart, Sidransky, 2005).

Insiden tumor ganas rongga nasal dan sinus paranasal (tumor ganas sinonasal)

rendah pada kebanyakan populasi (<1,5/100.000 pada pria dan <0,1/100.000 pada

Universitas Sumatera Utara

wanita). Insiden tertinggi keganasan sinonasal ditemukan di Jepang yaitu 2-3,6 per

100.000 penduduk pertahun, juga ditemukan di beberapa tempat tertentu di Cina

dan India. Di Departemen THT FKUI RS Cipto Mangunkusumo, keganasan ini

ditemukan pada 10-15% dari seluruh tumor ganas THT. Laki-laki ditemukan lebih

banyak dengan rasio laki-laki banding wanita sebesar 2:1 (Roezin, 2007). Rifqi

mengemukakan data yang dikumpulkannya dari rumah sakit umum di sepuluh kota

besar di Indonesia bahwa frekuensi tumor hidung dan sinus adalah 9,3–25,3% dari

keganasan THT dan berada pada peringkat kedua setelah tumor ganas nasofaring

(Tjahyadewi dan Wiratno, 1999). Di RSUP H. Adam Malik Medan selama Januari

2002 sampai dengan Desember 2008 pasien yang dirawat dengan diagnosis

karsinoma hidung dan sinus paranasal adalah sebanyak 52 kasus.

Insidensi di India sekitar 0,44% dari seluruh keganasan di India dengan

perbandingan antara pria dan wanita adalah 0,57% banding 0,44%. Insiden pada

tahun 2000 adalah 0,3 per 100.000 penduduk. Kebanyakan melibatkan sinus

maksila diikuti dengan sinus etmoid, frontal dan sfenoid. Penyakit ini sering pada

usia 40-60 tahun (Dhingra, 2007).

Karsinoma sel skuamosa merupakan jenis yang paling sering ditemukan. Enam

puluh persen tumor sinonasal berkembang di dalam sinus maksilaris,

20-30% di dalam rongga nasal, 10-15% di dalam sinus etmoidalis, dan 1%

di dalam sinus sfenoidalis dan frontalis. Apabila hanya melibatkan sinus-sinus

paranasal tersendiri, 77% tumor maligna muncul di dalam sinus maksilaris, 22%

di dalam sinus etmoidalis dan 1% di dalam sinus sfenoidalis dan frontalis.

Neoplasma maligna pada tempat-tempat ini dapat mengakibatkan kematian dan

Universitas Sumatera Utara

kecacatan dalam jumlah yang signifikan (Barnes, Eveson, Reichart, Sidransky,

2005).

2.4. Etiologi

Etiologi tumor ganas sinonasal belum diketahui dengan pasti, tetapi diduga

beberapa zat kimia atau bahan industri merupakan penyebab antara lain nikel, debu

kayu, kulit, formaldehid, kromium, isopropyl oil dan lain-lain. Pekerja di bidang ini

mendapat kemungkinan terjadi keganasan sinonasal jauh lebih besar. Alkohol, asap

rokok, makanan yang diasin atau diasap diduga meningkatkan kemungkinan terjadi

keganasan, sebaliknya buah-buahan dan sayuran mengurangi kemungkinan terjadi

keganasan (Roezin, 2007; Myers, 1989; D’Errico, Pasian, Baratti, Zanelli, Alfonzo,

Gilardi, 2009).

Paparan yang terjadi pada pekerja industri kayu, terutama debu kayu keras

seperti beech dan oak, merupakan faktor resiko utama yang telah diketahui untuk

tumor ganas sinonasal. Peningkatan resiko (5-50 kali) ini terjadi pada

adenokarsinoma dan tumor ganas yang berasal dari sinus. Efek paparan ini mulai

timbul setelah 40 tahun atau lebih sejak pertama kali terpapar dan menetap setelah

penghentian paparan. Paparan terhadap thorotrast, agen kontras radioaktif juga

menjadi faktor resiko tambahan (Roezin, 2007; Myers, 1989; Dhingra, 2007).

2.5. Gambaran Klinis

Tumor nasal dan sinus paranasal dalam keadaan tertentu tidak memberikan

gejala yang tetap. Mungkin hanya berupa rasa penekanan atau nyeri, atau tidak

dijumpai rasa nyeri. Sumbatan nasal satu sisi dapat diduga suatu tumor sampai

Universitas Sumatera Utara

dapat dibuktikan dengan pemeriksaan-pemeriksaan penunjang lain. Sekret dapat

encer, serosanguinosa atau purulen. Mungkin ditemukan parastesia, anestesia atau

paralisis saraf-saraf otak. Nyeri apabila dijumpai, lebih terasa di malam hari atau

bila pasien berbaring. Mungkin pula gejalanya menjalar ke gigi atas atau gigi palsu

bagian atas terasa menjadi tidak pas lagi. Dapat terjadi pembengkakan wajah

sebelah atas seperti sisi batang nasal dan daerah kantus medius, penonjolan daerah

pipi, pembengkakan palatum durum, palatum mole, tepi alveolar atau lipatan

mukosa mulut dan epistaksis. Pada 9% hingga 12% pasien sering asimtomatik

sehingga diagnosis sering terlambat dan penyakit telah memasuki stadium lanjut

(Bailey, 2006; Ballenger, 1994).

Perubahan daerah orbita pada tumor sinus relatif sering ditemukan. Dapat pula

terdapat gangguan persarafan otot-otot eksterna bola mata. Isi rongga orbita dapat

terdorong ke berbagai arah dengan akibat timbulnya proptosis dan enoftalmus.

Penonjolan di belakang tepi infraorbital atau tepi supraorbital dapat teraba.

Sumbatan saluran lakrimalis dapat timbul. Trismus merupakan gejala yang

mengganggu dan ini merupakan pertanda perluasan penyakit ke arah daerah

pterigoid. Perluasan ke arah nasofaring dapat menimbulkan gejala sumbatan tuba

Eustachius, seperti nyeri telinga, tinnitus dan gangguan pendengaran (Ballenger,

1994).

Metastasis regional dan jauh sering tidak terjadi meskipun penyakit telah

berada dalam stadium lanjut. Insidensi metastasis servikal pada gejala awal

bervariasi dari 1% hingga 26%, dari kasus yang pernah dilaporkan yang terbanyak

adalah kurang dari 10%. Hanya 15% pasien dengan keganasan sinus paranasal

berkembang menjadi metastasis setelah pengobatan pada lokasi primer. Jumlah ini

Universitas Sumatera Utara

berkurang hingga 11% pada pasien yang mendapat terapi radiasi pada leher (Bailey,

2006).

2.6. Diagnosis

2.6.1. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara seksama, dengan penekanan pada

regio sinonasal, orbita dan syaraf-syaraf kranial, juga harus dilakukan endoskopi

nasal. Meskipun bukan patognomonik, mati rasa (kebas) atau hypesthesia syaraf

infraorbital (V2) atau supraorbital (V3) secara kuat merupakan sangkaan invasi

keganasan. Temuan-temuan lain seperti proptosis, kemosis, kelemahan otot

ekstraokular, dan adanya massa di pipi, gingival atau sulkus gingivobuccal juga

sangkaan adanya tumor sinonasal (Bailey, 2006).

2.6.2. Radiologic Imaging

Radiologic imaging penting untuk menentukan staging. Plain film

menunjukkan destruksi tulang, meskipun demikian pada beberpa kasus dapat

menunjukkan keadaan normal (Bailey, 2006).

Screening computed tomography (CT) scan lebih akurat daripada plain film

untuk menilai struktur tulang sinus paranasal dan lebih murah daripada plain film.

Pasien beresiko tinggi dengan riwayat terpapar karsinogen, nyeri persisten yang

berat, neuropati kranial, eksoftalmus, kemosis, penyakit sinonasal dan dengan

simtom persisten setelah pengobatan medis yang adekuat seharusnya dilakukan

pemeriksaan dengan CT scan axial dan coronal dengan kontras atau magnetic

resonance imaging (MRI). CT scanning merupakan pemeriksaan superior untuk

menilai batas tulang traktus sinonasal dan dasar tulang tengkorak. Penggunaan

Universitas Sumatera Utara

kontras dilakukan untuk menilai tumor, vaskularisasi dan hubungannya dengan

arteri karotid (Bailey, 2006).

MRI dipergunakan untuk membedakan sekitar tumor dengan soft tissue,

membedakan sekresi di dalam nasal yang tersumbat dari space occupying lesion,

menunjukkan penyebaran perineural, membuktikan keunggulan imaging pada

sagital plane, dan tidak melibatkan paparan terhadap radiasi ionisasi. Coronal MRI

image terdepan untuk mengevaluai foramen rotundum, vidian canal, foramen ovale

dan optic canal. Sagital image berguna untuk menunjukkan replacement signal

berintensitas rendah yang normal dari Meckel cave signal berintensitas tinggi dari

lemak di dalam pterygopalatine fossa oleh signal tumor yang mirip dengan otak

(Bailey, 2006; Maroldi et al, 2004).

Positron emission tomography (PET) sering digunakan untuk keganasan kepala

dan leher untuk staging dan surveillance. Kombinasi PET/CT scan ditambah

dengan anatomic detail membantu perencanaan pembedahan dengan cara melihat

luasnya tumor. Meskipun PET ini banyak membantu dalam menilai keganasan

kepala dan leher tetapi sangat sedikit kegunaannya untuk menilai keganasan pada

nasal dan sinus paranasal (Bailey, 2006).

Angiography dengan carotid-flow study digunakan untuk penderita yang akan

menjalani operasi dengan tumor yang telah mengelilingi arteri karotid. Tes balloon

exclusion digunakan dengan single-photon emission CT (SPECT), xenon CT scan

atau trnascranial Doppler, dianjurkan apabila diduga terjadi resiko infark otak

iskemik jika areteri karotid internal dikorbankan. Tes ini tidak dapat memprediksi

iskemik pada area marginal (watershed) atau fenomena embolik (Bailey, 2006).

Universitas Sumatera Utara

CT scan dada dan abdomen direkomendasikan untuk pasien dengan tumor

yang bermetastasis secara hematogen, seperti sarkoma, melanoma dan karsinoma

kistik adenoid. Penilaian metastasis penting jika reseksi luas dipertimbangkan untuk

dilakukan. Lumbar dan brain puncture serta spine imaging direkomendasikan jika

tumor telah menginvasi meningen atau otak (Bailey, 2006).

Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi. Jika tumor

tampak di kavum nasi atau rongga mulut, maka biopsi mudah dan harus segera

dilakukan melalui tindakan rinoskopi atau melalui operasi Caldwell-Luc yang

insisinya melalui sulkus ginggivo-bukkal (Roezin, 2007).

2.7. Tumor Ganas Regio Nasal dan Sinonasal

Tipe histologi utama yang sering ditemukan pada tumor ganas regio nasal

dan sinonasal terdiri dari karsinoma sel skuamosa atau karsinoma epidermoid

(46%), limfoma maligna (14%), adenokarsinoma (13%) terutama berasal dari

kelenjar salivari minor atau disebut juga Schneiderian carcinoma dan melanoma

maligna (9%) (Abecasis et al, 2004; Koss dan Leopold, 2006).

Universitas Sumatera Utara

Berikut ini adalah klasifikasi histologi tumor ganas di daerah hidung dan sinus

paranasal menurut WHO:

Gambar 2.1. Klasifikasi histologi WHO tumor rongga hidung dan sinus paranasal

2.7.1. Karsinoma Sel Skuamosa

Karsinoma sel skuamosa merupakan neoplasma epitelial maligna yang berasal

dari epitelium mukosa kavum nasi atau sinus paranasal termasuk tipe keratinizing

dan non keratinizing (Barnes et al, 2005; Wolpoe et al, 2006).

Karsinoma sel skuamosa sinonasal terutama ditemukan di dalam sinus

maksilaris (sekitar 60-70%), diikuti oleh kavum nasi (sekitar 10-15%) dan sinus

sfenoidalis dan frontalis (sekitar 1%) (Barnes et al, 2005; Dhingra, 2007; Dhingra,

2007; Adams, 1997).

Simtom berupa rasa penuh atau hidung tersumbat, epistaksis, rinorea, nyeri,

parastesia, pembengkakan pada hidung, pipi atau palatum, luka yang tidak kunjung

Universitas Sumatera Utara

sembuh atau ulkus, adanya massa pada kavum nasi, pada kasus lanjut dapat terjadi

proptosis, diplopia atau lakrimasi. Pemeriksaan radiologis, CT scan atau MRI

didapatkan perluasan lesi, invasi tulang dan perluasan pada struktur-struktur yang

bersebelahan seperti pada mata, pterygopalatine atau ruang infratemporal (Barnes

et al, 2005; Joong et al, 2009).

Secara makroskopik, karsinoma sel skuamosa kemungkinan berupa exophytic,

fungating atau papiler. Biasanya rapuh, berdarah, terutama berupa nekrotik, atau

indurated, demarcated atau infiltratif (Barnes et al, 2005).

2.7.1.1. Mikroskopik Keratinizing Squamous Cell Carcinoma

Secara histologi, tumor ini identik dengan karsinoma sel skuamosa dari lokasi

mukosa lain pada daerah kepala dan leher. Ditemukan diferensiasi skuamosa,

di dalam bentuk keratin ekstraseluler atau keratin intraseluler (sitoplasma merah

muda, sel-sel diskeratotik) dan/atau intercellular bridges. Tumor tersusun di dalam

sarang-sarang, massa atau sebagai kelompok kecil sel-sel atau sel-sel individual.

Invasi ditemukan tidak beraturan. Sering terlihat reaksi stromal desmoplastik.

Karsinoma ini dinilai berupa diferensiansi baik, sedang atau buruk (Barnes et al,

2005; Wolpoe et al, 2006).

2.7.1.2. Mikroskopik Non-Keratinizing (Cylindrical Cell, transitional) Carcinoma

Tumor ini merupakan tumor yang berbeda dari traktus sinonasal yang

dikarakteristikkan dengan pola plexiform atau ribbon-like growth pattern. Dapat

menginvasi ke dalam jaringan dibawahnya dengan batas yang jelas. Tumor ini

dinilai dengan diferensiasi sedang ataupun buruk. Diferensiasi buruk sulit dikenal

sebagai skuamosa, dan harus dibedakan dari olfactory neuroblastoma atau

karsinoma neuroendokrin (Barnes et al, 2005).

Universitas Sumatera Utara

Gambar. 2.2. Karsinoma sel skuamosa, non-keratinizing. Pulau-pulau sel-sel tumor kohesif menginvasi ke dalam stroma dibawahnya. Permukaan karsinoma in situ terlihat

(Barnes et al, 2005). 2.7.2. Undifferentiated Carcinoma

Undifferentiated carcinoma merupakan karsinoma yang jarang ditemukan,

sangat agresif dan histogenesisnya tidak pasti. Undifferentiated carcinoma berupa

massa yang cepat memperbesar sering melibatkan beberapa tempat (saluran

sinonasal) dan melampaui batas-batas anatomi dari saluran sinonasal. Gambaran

mikroskopik berupa proliferasi hiperselular dengan pola pertumbuhan yang

bervariasi, termasuk trabekular, pola seperti lembaran, pita, lobular, dan organoid.

Sel-sel tumor berukuran sedang hingga besar dan bentuk bulat hingga oval dan

memiliki inti sel pleomorfik dan hiperkromatik, anak inti menonjol, sitoplasma

eosinofilik, rasio inti dan sitoplasma tinggi, aktivitas mitosis meningkat dengan

gambaran mitosis atipikal, nekrosis tumor dan apoptosis. Pemeriksaan tambahan

seperti imunohistokimia, mikroskop elektron dan biologi molekuler seringkali

diperlukan dalam diagnosis undifferentiated carcinoma dan dapat membedakan

keganasan ini dari neoplasma ganas lainnya.

Universitas Sumatera Utara

2.7.3. Limfoma Maligna

Kebanyakan limfoma yang timbul di dalam kavum nasi berasal dari sel natural

killer (NK). Meskipun demikian, beberapa laporan kasus mengindikasikan bahwa

limfoma primer dapat juga berasal dari sel B dan T. Limfoma pada nasal jarang

ditemukan di western countries, umumnya dijumpai di negara-negara Asia

(Kitamaru et al, 2005).

Dikarakteristikkan dengan infiltrat limfomatosa difus yang meluas ke mukosa

nasal dan sinus paranasal, dengan pemisahan yang luas dan destruksi mukosa

kelenjar sehingga memperlihatkan clear cell change. Nekrosis koagulatif luas dan

apoptotic bodies selalu ditemukan. Dinding pembuluh darah sering ditemukan

angiosentrik, angiodestruksi dan deposit fibrinoid. Sel-sel limfoma ukurannya

bervariasi mulai dari kecil, medium hingga berukuran besar. Sel-sel memiliki

sitoplasma pucat dan granul azurofilik pada sitoplasmanya yang dapat dilihat

dengan pewarnaan Giemsa. Beberapa kasus berhubungan dengan infiltrat

inflamatori yang mengandung limfosit kecil, histiosit, sel-sel plasma dan eosinofil.

Terkadang hiperlasia pseudoepiteliomatosa pada pelapis epitel skuamosa dapat

ditemukan, menyerupai karsinoma sel skuamosa berdiferensiasi baik (Barnes et al,

2005).

Gambar 2.3. Nasal NK/T cell lymphoma. A. Mukosa intak dan terlihat sebaran infiltrat sel-sel limfoma. B. Infiltrat limfoid mukosa merusak kelenjar mukosa hingga tidak

tampak lagi struktur kelenjar (Barnes et al, 2005).

Universitas Sumatera Utara

2.7.4. Adenokarsinoma

Sinonasal adenokarsinoma dikenal sebagai tumor glandular maligna dan tidak

menunjukkan gambaran spesifik. Adenokarsinoma dijumpai 10 hingga 14% dari

keseluruhan tumor ganas nasal dan sinus paranasal. Secara klinis merupakan

neoplasma agresif lokal, sering ditemukan pada laki-laki dengan usia antara

40 hingga 70 tahun. Tumor ini timbul di dalam kelenjar salivari minor dari traktus

aerodigestivus bagian atas. Sering ditemukan pada sinus maksilaris dan etmoid.

Simtom primer berupa hidung tersumbat, nyeri, massa pada wajah dengan

deformasi dan/atau proptosis dan epistaksis, bergantung pada lokasinya (Myers,

1989; Abecasis et al, 2004).

Adenokarsinoma menunjukkan tiga pola pertumbuhan yaitu sessile, papilari

dan alveolar mucoid. Adenokarsinoma menyebar dengan menginvasi dan merusak

jaringan lunak dan tulang di sekitarnya dan jarang bermetastasis (Myers, 1989).

Prognosis jelek dan biasanya penderita meninggal dunia disebabkan

penyebaran lokal tanpa adanya metastasis (Leivo, 2007).

2.7.5. Melanoma Maligna

Biasanya ditemukan pada usia 50 tahun. Tidak ada perbedaan yang signifikan

antara pria dan wanita, dapat ditemukan pada kedua jenis kelamin. Secara

makroskopik, massa polipoid berwarna keabu-abuan atau hitam kebiru-biruan pada

45% kasus. Di dalam kavum nasi, lokasi yang sering ditemukan melanoma maligna

ini adalah daerah posterior septum nasal diikuti dengan turbinate medial dan

inferior. Tumor menyebar melalui aliran darah atau limfatik. Metastasis nodul

servikal dapat ditemukan pada pemeriksaan awal (Myers, 1989; Dhingra, 2007;

Hansom, 2002).

Universitas Sumatera Utara

2.8. Klasifikasi TNM dan Sistem Staging

Cara penentuan stadium tumor ganas hidung dan sinus paranasal yang terbaru

adalah menurut American Joint Committee on Cancer (AJCC) 2006 yaitu:

Tumor Primer (T)

• Sinus maksilaris

TX Tumor primer tidak dapat ditentukan

T0 Tidak tampak tumor primer

Tis Karsinoma in situ

T1 Tumor terbatas pada mukosa sinus maksilaris tanpa erosi dan destruksi

tulang (Gambar 2.4)

T2 Tumor menyebabkan erosi dan destruksi tulang hingga palatum dan atau

meatus media tanpa melibatkan dinding posterior sinus maksilaris dan

fossa pterigoid (Gambar 2.5)

T3 Tumor menginvasi dinding posterior tulang sinus maksilaris, jaringan

subkutaneus, dinding dasar dan medial orbita, fossa pterigoid, sinus

etmoidalis (Gambar 2.6)

T4a Tumor menginvasi bagian anterior orbita, kulit pipi, fossa pterigoid,

fossa infratemporal, fossa kribriformis, sinus sfenoidalis atau frontal

(Gambar 2.7 A,B)

T4b Tumor menginvasi salah satu dari apeks orbita, duramater, otak, fossa

kranial medial, nervus kranialis selain dari divisi maksilaris nervus

trigeminal V2, nasofaring atau klivus (Gambar 2.8)

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.4. T1 terbatas pada mukosa sinus maksilaris (Greene, 2006).

 

Gambar 2.5. T2 menyebabkan erosi dan destruksi tulang hingga palatum dan atau meatus media tanpa melibatkan dinding posterior sinus maksilaris dan fossa pterigoid (Greene, 2006).

 

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.6. Tumor menginvasi dinding posterior tulang sinus maksilaris, jaringan subkutaneus, dinding dasar dan medial orbita, fossa pterigoid, sinus etmoidalis (Greene, 2006).

Gambar 2.7. A. T4a menunjukkan invasi tumor pada anterior orbita. B. T4a menunjukkan invasi tumor pada sinus sfenoidalis dan fossa kribriformis

(Greene, 2006).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.8. Pandangan koronal T4b menunjukkan tumor menginvasi apeks orbita dan atau dura, otak atau fossa kranial medial (Greene, 2006).

• Kavum Nasi dan Sinus Etmoidalis

TX Tumor primer tidak dapat ditentukan

T0 Tidak tampak tumor primer

Tis Karsinoma in situ

T1 Tumor terbatas pada salah satu bagian dengan atau tanpa invasi tulang

(Gambar 2.9)

T2 Tumor berada di dua bagian dalam satu regio atau tumor meluas dan

melibatkan daerah nasoetmoidal kompleks, dengan atau tanpa invasi

tulang (Gambar 2.10)

T3 Tumor menginvasi dinding medial atau dasar orbita, sinus maksilaris,

palatum atau fossa kribriformis (Gambar 2.11)

Universitas Sumatera Utara

T4a Tumor menginvasi salah satu dari bagian anterior orbita, kulit hidung

atau pipi, meluas minimal ke fossa kranialis anterior, fossa pterigoid,

sinus sfenoidalis atau frontal (Gambar 2.12)

T4b Tumor menginvasi salah satu dari apeks orbita, dura, otak, fossa kranial

medial, nervus kranialis selain dari V2, nasofaring atau klivus

Gambar 2.9. Pada kavum nasi dan sinus etmoidalis, T1 didefinisikan sebagai tumor yang terbatas pada salah satu bagian, dengan atau tanpa invasi tulang (Greene, 2006).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.10. T2 didefinisikan sebagai tumor yang menginvasi dua bagian di dalam satu regio atau meluas hingga melibatkan regio yang berdekatan di dalam daerah

nasoetmoidalis kompleks (kavum nasi dan etmoid) dengan atau tanpa invasi tulang

(Greene, 2006).

Gambar 2.11. Dua pandangan dari T3 menunjukkan tumor menginvasi sinus maksilaris dan palatum (kiri) dan meluas ke dasar orbita dan fossa kribriformis (kanan) ((Greene,

2006).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.12. T4a menginvasi salah satu dari bagian anterior orbita, kulit hidung atau pipi, meluas minimal ke fossa kranialis anterior, fossa pterigoid, sinus sfenoidalis atau

frontal (Greene, 2006).

Gambar 2.13. Dua pandangan dari T4b. Pandangan koronal kiri menunjukkan invasi di dalam apeks orbita dan otak. Kanan, tumor menginvasi klivus (Greene, 2006).

Universitas Sumatera Utara

Kelenjar getah bening regional (N) (Gambar 2.14)

NX Tidak dapat ditentukan pembesaran kelenjar

N0 Tidak ada pembesaran kelenjar

N1 Pembesaran kelenjar ipsilateral ≤3 cm

N2 Pembesaran satu kelenjar ipsilateral 3-6 cm, atau multipel kelenjar

ipsilateral <6 cm atau metastasis bilateral atau kontralateral < 6 cm

N2a Metastasis satu kelenjar ipsilateral 3-6 cm

N2b Metastasis multipel kelanjar ipsilateral, tidak lebih dari 6 cm

N2c Metastasis kelenjar bilateral atau kontralateral, tidak lebih dari 6 cm

N3 Metastasis kelenjar limfe lebih dari 6 cm

Gambar 2.14. Klasifikasi kelenjar getah bening regional (N) untuk seluruh keganasan kepala dan leher kecuali karsinoma nasofaring dan tiroid (Greene, 2006).

Universitas Sumatera Utara

Metastasis Jauh (M)

MX Metastasis jauh tidak dapat dinilai

M0 Tidak ada metastasis jauh

M1 Terdapat metastasis jauh (Greene, 2006).

Stadium tumor ganas nasal dan sinus paranasal

0 Tis N0 M0

I T1 N0 M0

II T2 N0 M0

III T3 N0 M0

T1 N1 M0

T2 N1 M0

T3 N1 M0

IVA T4a N0 M0

T4a N1 M0

T1 N2 M0

T2 N2 M0

T3 N2 M0

T4a N2 M0

IVB T4b Semua N M0

Semua T N3 M0

IVC Semua T Semua N M1 (Greene, 2006)

Universitas Sumatera Utara

2.9. Penatalaksanaan

2.9.1. Pembedahan

2.9.1.1. Drainage/Debridement

Drainage adekuat (seperti nasoantral window) seharusnya dibuka pada pasien

dengan sinusitis sekunder dan pada pasien yang mendapat terapi radiasi sebagai

pengobatan primer (Bailey, 2006).

2.9.1.2. Resection

Surgical resection selalu direkomendasikan dengan tujuan kuratif. Palliative

excision dipertimbangkan untuk mengurangi nyeri yang parah, untuk dekompresi

cepat dari struktur-struktur vital, atau untuk debulking lesi massif, atau untuk

membebaskan penderita dari rasa malu. Pembedahan merupakan penatalaksanaan

tunggal untuk tumor maligna traktus sinonasal dengan angka ketahanan hidup

5 tahun sebesar 19% hingga 86% (Bailey, 2006).

Dengan kemajuan-kemajuan terbaru dalam preoperative imaging,

intraoperative image-guidance system, endoscopic instrumentation dan material

untuk hemostasis, teknik sinonasal untuk mengangkat tumor nasal dan sinus

paranasal mungkin merupakan alternatif yang dapat dilakukan untuk traditional

open technique. Pendekatan endoskopik dapat dipakai untuk melihat tumor dalam

rongga nasal, etmoid, sfenoid, medial frontal dan sinus maksilaris medial. Frozen

section harus digunakan untuk melihat batas bebas tumor (Bailey, 2006; Zinreich,

2006; Nicolai et al, 2008; Lund et al, 2007; Poetker et al, 2005).

Universitas Sumatera Utara

2.9.2. Rehabilitasi

Tujuan utama rehabilitasi post operasi adalah penyembuhan luka primer,

memelihara atau rekonstruksi bentuk wajah dan pemulihan oronasal yang terpisah

kemudian memperlancar proses bicara dan menelan. Rehabilitasi setelah reseksi

pembedahan dapat dicapai dengan dental prosthesis atau reconstructive flap seperti

flap otot temporalis dengan atau tanpa inklusi tulang kranial, pedicled atau

microvascular free myocutaneous dan cutaneous flap (Bailey, 2006).

2.9.3. Terapi Radiasi

Radiasi digunakan sebagai metode tunggal untuk membantu pembedahan atau

sebagai terapi paliatif. Radiasi post operasi dapat mengontrol secara lokal tetapi

tidak menyebabkan kelangsungan hidup spesifik atau absolut. Sel-sel tumor yang

sedikit dapat dibunuh, pinggir tumor non radiasi dapat dibatasi sepanjang

pembedahan dan penyembuhan luka post operasi lebih dapat diperkirakan (Bailey,

2006).

2.9.4. Kemoterapi

Peran kemoterapi untuk pengobatan tumor traktus sinonasal biasanya paliatif,

penggunaan efek cytoreductive untuk mengurangi rasa nyeri dan penyumbatan, atau

untuk mengecilkan lesi eksternal massif. Penggunaan cisplatin intrarterial dosis

tinggi dapat digunakan secara bersamaan dengan radiasi pada pasien dengan

karsinoma sinus paranasal. Angka ketahanan hidup 5 tahun sebesar 53%. Pasien

yang menunjukkan resiko pembedahan yang buruk dan yang menolak untuk

dilakukan operasi dipertimbangkan untuk mendapatkan kombinasi radiasi dan

kemoterapi (Bailey, 2006).

Universitas Sumatera Utara

2.10. Prognosis

Pada umumnya prognosis kurang baik. Banyak sekali faktor yang

mempengaruhi prognosis keganasan nasal dan sinus paranasal, cara tepat dan

akurat. Faktor-faktor tersebut seperti perbedaan diagnosis histologi, asal tumor

primer, perluasan tumor, pengobatan yang diberikan sebelumnya, status batas

sayatan, terapi adjuvan yang diberikan, status imunologis, lamanya follow up dan

banyak lagi faktor lain yang dapat berpengaruh terhadap agresifitas penyakit dan

hasil pengobatan yang tentunya berpengaruh juga terhadap prognosis penyakit ini.

Walaupun demikian, pengobatan yang agresif secara multimodalitas akan

memberikan hasil yang terbaik dalam mengontrol tumor primer dan akan

meningkatkan angka ketahanan hidup 5 tahun sebesar 75% untuk seluruh stadium

tumor (Roezin, 2007; Nazar et al, 2004).

Universitas Sumatera Utara

2.11. Kerangka Konsepsional

Suspek Tumor Ganas Sinonasal

Paparan

karsinogen lingkungan

Genetik ?

Tipe histologi

Stadium klinis

Jenis kelamin

Umur

Suku

Keluhan Utama

Lama Menderita

Lokasi tumor

Tumor Ganas Sinonasal

CT scan

= yang akan diteliti

Gambar 2.15. Skema Kerangka Konsepsional

Universitas Sumatera Utara