sindrom sturge weber

Upload: sri-yuliastini

Post on 02-Mar-2016

29 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

medical

TRANSCRIPT

Pendahuluan

Pendahuluan

Sindrom Sturge-Weber adalah salah satu dari sindrom yang diklasifikasikan dalam fakomatosis karena kelainan yang ditimbulkan dapat terjadi pada kulit, mata, dan otak.1-3 Schirmer pada tahun 1860 pertama kali melaporkan deskripsi sindrom Sturge-Weber dengan manifestasi okular. Schirmer melaporkan seorang pasien dengan nevus flammeus pada wajah dan buftalmos ipsilateral.4-6 Kemudian Sturge melaporkan seorang pasien dengan gejala yang serupa disertai dengan kelainan neurologi. Hal ini berkaitan dengan abnormalitas pembuluh darah otak, mata dan kulit. Weber menegaskan kelainan neurologi tersebut dengan pemeriksaan radiologi.6

Penderita sindrom Sturge-Weber dapat mengalami komplikasi glaukoma. Komplikasi tersebut terjadi pada 30-40% penderita dan 60% timbul pada usia dibawah 3 tahun. Glaukoma pada sindrom Sturge-Weber diyakini meningkat resikonya jika terdapat hemangioma pada kelopak mata. Tidak terdapat predileksi pada jenis kelamin atau ras tertentu.6

Kelainan mata yang timbul umumnya unilateral. Pemeriksaan histopatologi menunjukkan suatu malformasi hamartomatous pembuluh darah sefalik dan menyebabkan hemangioma pada kulit, meninges, dan mata. Kalsifikasi terjadi pada jaringan otak disebelah hemangioma dan mengakibatkan timbulnya gejala klinis seperti demam, retardasi mental, hemiparesis, dan hemianopia. Lesi fasial atau port-wine stain memiliki distribusi serupa dengan cabang-cabang dari nervus trigeminal.7 Manifestasi okular antara lain coroidal, episklera, dan konjungtiva hemangioma, glaukoma, dan heterokromia iris.1 Pada pemeriksaan funduskopi ditemui gambaran tomato-catsup berwarna oranye kemerahan jika terdapat coroidal hemangioma. Choroidal hemangioma biasanya timbul pada polus posterior dan menyebabkan penurunan tajam penglihatan. Penurunan tajam penglihatan ini diakibatkan antara lain oleh hyperopia, retinal detachment eksudativ, cystoid macular edema, dan fibrosis serta atrofi epitel pigmen retina.6,7

Komplikasi glaukoma yang dapat timbul dalam perjalanan penyakit penderita dapat mengakibatkan kebutaan jika tidak diterapi secara optimal. Berdasarkan hal tersebut maka saripustaka ini dibuat untuk mempelajari sindrom Sturge-Weber ditinjau dari patogenesis, diagnosis, dan penatalaksanaan yang dikaitkan dengan komplikasi glaukoma yang ditimbulkan.Patogenesis

Patogenesis glaukoma pada sindrom Sturge-Weber masih belum diketahui secara pasti. Beberapa teori mengenai patogenesis tersebut antara lain hipersekresi atau transudasi dari coroidal hemangioma2, produksi akuos humor meningkat karena rangsangan saraf3, hambatan aliran akuos humor karena malformasi sudut bilik mata depan, dan peninkatan tekanan episklera.

Peneliti-peneliti menemukan adanya abnormalitas anyaman trabekulum dan diyakini sebagai mekanisme utama dari timbulnya glaukoma pada sindrom Sturge-Weber. Barkan4 pada tahun 1957 melaporkan goniotomi memberikan hasil baik pada penderita sindrom Sturge-Weber. Hal tersebut menjelaskan bahwa terdapat suatu membran yang menutupi sudut bilik mata dan menghambat aliran akuos humor. Goniotomi melepaskan membran ini dari sudut bilik mata depan dan melancarkan aliran akuos humor. Barkan menduga bahwa membran tersebut secara langsung mengakibatkan glaukoma pada penderita sindrom Sturge-Weber.

Christiansen dan Records5 melaporkan bahwa letak insersi pangkal iris dan korpus siliaris pada anyaman trabekulum mengalami perubahan yaitu lebih ke anterior. Hal ini dikaitkan dengan abnormalitas yang terjadi pada sudut bilik mata depan yang terlihat pada penderita sindrom Sturge-Weber.

Penelitian patologi yang dilakukan oleh Cibis et al6 menunjukkan bahwa anyaman trabekulum penderita sindrom Sturge-Weber memiliki kemiripan dengan anyaman trabekulum orang usia lanjut dan penderita glaukoma sudut terbuka. Hal ini mendukung teori yang mengatakan bahwa gangguan aliran humor akuos adalah penyebab utama dari timbulnya glaukoma pada penderita sindrom Sturge-Weber.

Phelps7 mengajukan suatu teori alternatif. Phelps memeriksa 21 penderita sindrom Sturge-Weber dengan glaukoma. Peningkatan tekanan episklera didapatkan pada mata yang menderita glaukoma dibandingkan dengan mata yang sehat. Phelps juga membandingkan tekanan episklera penderita dengan tekanan episklera orang normal. Selain itu dari penelitiannya terlihat bahwa darah di dalam pembuluh darah episklera mudah mengalami refluks ke dalam kanal Schlemm. Phelps menyimpulkan bahwa peningkatan tekanan pembuluh darah episklera menyebabkan peningkatan tahanan pada aliran akuos humor dan hal ini menimbulkan glaukoma pada penderita sindrom Sturge-Weber.

Teori terbaru adalah kombinasi dari hambatan aliran humor akuos oleh malformasi sudut bilik mata depan dan peningkatan tekanan episklera menyebabkan glaukoma pada penderita sindrom Sturge-Weber.9 Beberapa peneliti menduga bahwa malformasi sudut bilik mata depan berkaitan dengan glaukoma early-onset dan peningkatan tekanan episklera berkaitan dengan timbulnya glaukoma later-onset pada penderita sindrom Sturge-Weber.Diagnosis

Diagnosis glaukoma pada penderita sindrom Sturge-Weber ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan oftalmologi.

Pemeriksaan fisik didapatkan nevus flammeus. Nevus flammeus adalah suatu angioma pada kulit wajah dan hanya ditemukan pada salah satu sisi wajah atau unilateral. Distribusi lesi mengikuti distribusi cabang-cabang nervus trigeminus pada wajah. Lesi ini juga sering disebut dengan port-wine stain. 4 (gambar 1)

Gambar 1. Lesi kulit unilateral pada wajah penderita sindrom Sturge-Weberdikutip dari kepustakaan 4

Pemeriksaan lampu celah memperlihatkan adanya anyaman pembuluh darah episklera yang padat dan pembuluh darah konjungtiva yang mengalami dilatasi. (gambar 2) Pemeriksaan oftalmoskopi terlihat papil glaukomatosa dan dapat dijumpai gambaran fundus tomato-catsup berwarna oranye kemerahan jika terdapat coroidal hemangioma. Pemeriksaan gonioskopi terlihat sudut bilik mata depan terbuka, dan isolated trabekulogenesis dimana insersi iris terlihat sampai ke garis Schwalbe. Iris pada daerah ini tampak mendatar atau cekung menutupi daerah trabekulum.6,7

Gambar 2. Anyaman pembuluh darah episklera yang padat dan injeksi konjungtivadikutip dari kepustakaan 6Penatalaksanaan

Penatalaksanaan glaukoma pada sindrom Stuger-Weber masih sulit dan kontroversial. Terapi medikamentosa diberikan sebagai terapi awal pada anak-anak. Golongan obat-obatan yang diberikan adalah golongan topikal beta blocker seperti timolol 0,25% dan inhibitor karbonik anhidrase seperti diamox. Dosis diamox yang diberikan adalah 10-15 mg/kgBB/hari. Jika terapi ini gagal maka diperlukan tindakan intervensi bedah.

Tindakan intervensi bedah yaitu goniotomi atau trabekulotomi umumnya dilakukan pada bayi baru lahir dengan trabeculodysgenesis. Sedangkan kombinasi trabekulektomi dan trabekulotomi sangat baik dilakukan pada glaukoma early-onset. Hal ini berdasarkan pada trabekulotomi dilakukan untuk membebaskan hambatan aliran humor akuos dan trabekulektomi dilakukan untuk menurunkan tekanan episklera.

Altuna et al1 dan Yang et al10 meneliti efek pemberian latanaprost pada penderita sindrom Sturge-Weber. Altuna mendapatkan 3 dari 18 pasien mengalami penurunan tekanan intraokular sebanyak 20% setelah pemberian latanaprost selama 6 bulan. Sedangkan Yang mendapatkan 2 dari 6 pasien mengalami penurunan tekanan intraokular yang signifikan. Hal ini disimpulkan oleh mereka bahwa efek latanaprost dalam penurunan tekanan intraokular dikaitkan dengan onset glaukoma pada sindrom Sturge-Weber. Kedua kelompok penderita dalam penelitian mereka adalah glaukoma early-onset.Van Emlen et al11 melaporkan pemberian terapi medikamentosa dan disertai dengan krioterapi. Terapi kombinasi tersebut dilaporkan membuat tekanan intraokular stabil yaitu kurang dari 21 mmHg pada seluruh penderita.Sidoti et al12 melaporkan bahwa trabekulektomi dengan mitomycin C sebagai terapi alternatif. Tekanan intraokular dari 59% dari 29 penderita terkontrol antara 5 mmHg dan 21 mmHg selama 3 tahun tanpa disertai intervensi lain ataupun komplikasi. Namun 5 penderita mengalami infeksi yaitu blebitis dan endoftalmitis. Ali et al13 melaporkan keberhasilan trabekulektomi tanpa disertai mitomycin C pada 7 mata dari 6 penderita.Mandal14 melaporkan bahwa kombinasi trabekulektomi dan trabekulotomi memberikan hasil yang baik tanpa diperlukan pemberian terapi medikamentosa pada penderita. Namun hal ini tidak didapatkan pada penelitian yang dilakukan oleh Board dan Shields15 dan Agarwal16 yang juga melakukan kombinasi terapi tersebut untuk mengatasi glaukoma pada penderita sindrom Stuger-Weber.Budenz et al17 dan Hamush et al18 melaporkan penggunaan implant pada penderita glaukoma pada sindrom Sturge-Weber. Budenz melaporkan bahwa penggunaan Baerveldt device dapat menjaga tekanan intraokular tetap berada dibawah 21 mmHg. Humush melaporkan bahwa penggunaan Ahmed implants dapat menjaga tekanan intraokular tetap berada dibawah 21 mmHg pada 79% dari 11 mata dalam 2 tahun, 59% dalam 3,5 tahun, dan 30% dalam 5 tahun.Iwach et al19 melakukan penelitian pada 36 mata penderita sindrom Sturge-Weber dengan glaukoma. Penelitian mereka mempelajari jenis terapi intervensi bedah, alasan dari intervensi bedah dan waktu dilakukan terapi intervensi bedah. Mereka mendapatkan bahwa 45% penderita dilakukan terapi intervensi bedah dengan alasan perubahan yang terjadi pada nervus optikus sedangkan 55% dilakukan dengan alasan peningkatan tekanan intraokular yang terjadi. Seluruh modalitas terapi dilakukan pada penelitian ini dan didapatkan bahwa goniotomi yang disertai dengan terapi medikamentosa adalah terapi yang paling efektif.Daftar Rujukan

1. Altuna J, Greenfield D, et al. Latanoprost in glaucoma associated with Sturge-Weber syndrome: Benefits and side effects. J Glaucoma. 1999;8:199-203.

2. Mehney G. Naevus flammeus associated with glaucoma. Arch Ophthalmol. 1937;17:1018-23.

3. Font RL and Ferry AP. The phakomatoses. IntOphthalmol Clin. 1972;12(1):11-22.

4. Barkan O. Goniotomy for glaucoma associated with nevus flammeus. Am J Ophthalmol. 1957;43:545-9.

5. Christiansen G, Records R. Glaucoma and expulsive hemorrhage mechanisms in the Sturge-Weber syndrome. Ophthalmology. 1979;86:1360-6.

6. Cibis G, Tripathi R, Tripathi B. Glaucoma in Sturge-Weber syndrome. Ophthalmology. 1984;91:1061-71.

7. Phelps C. The pathogenesis of glaucoma in Sturge-Weber syndrome. Ophthalmology. 1978;85:276-86.

8. Phelps C, Armaly M. Measurement of episcleral venous pressure. Arch Ophthalmol. 1978;85:35-42.

9. Weiss D. Dual origin of glaucoma in encephalotrigeminal haemangiomatosis. Trans Ophthalmol Soc UK. 1973;93:477-91.

10. Yang C, Freedman S, et al. Use of latanoprost in the treatment of glaucoma associated with Sturge-Weber syndrome. Arch Ophthalmol. 1998;126:600-2.

11. Van Emlen C, Goethals M, et al. Treatment of glaucoma in children with Sturge-Weber syndrome. J Ped Ophthalmol Strabismus. 2000;37:29-34.

12. Sidoti P, Belmonte S, et al. Trabeculectomy with Mitomycin-C in the treatment of pediatric glaucomas. Ophthalmology. 2000;107:422-9.

13. Ali M, Fahmy I, Spaeth G. Trabeculectomy for glaucoma associated with Sturge-Weber syndrome. Ophthalmic Surg. 1990;21(5):352-5.

14. Mandal AK. Primary combined trabeculotomy-trabeculectomy for early-onset glaucoma in Sturge-Weber syndrome. Ophthalmology. 1999;106(8):1621-7.

15. Board RJ, Shields B. Combined trabeculotomy-trabeculectomy for the management of glaucoma associated with Sturge-Weber syndrome. Ophthalmic Surg. 1981;12(11):813-7.

16. Agarwal HC, Sandramouli S, et al. Sturge-Weber syndrome: Management of glaucoma with combined trabeculotomy-trabeculectomy. Ophthalmic Surg. 1993;24(6):399-402.

17. Budenz D, Sakamoto D, et al. Two-staged Baerveldt glaucoma implant for childhood glaucoma associated with Sturge-Weber syndrome. Ophthalmology. 2000;107:2105-10.

18. Hamush N, Coleman A, Wilson MR. Ahmed glaucoma valve implant for management of glaucoma in Sturge-Weber syndrome. Arch Ophthalmol. 1999;128:750-60.

19. Iwach A, Hoskins D Jr, et al. Analysis of surgical and medical management of glaucoma in Sturge-Weber syndrome. Ophthalmology. 1990;97:904-9.

PAGE 8