sindrom kompartemen pada gigitan ular
DESCRIPTION
sindrom kompartemen pada gigitan ularTRANSCRIPT
REFERAT BEDAH PLASTIK
SINDROM KOMPARTEMEN PADA GIGITAN ULAR
Oleh :
Akrim Permitasari G99141173
Diena Haniefa G99141174
I Nyoman Surya AW G99142038
Firza Fatchya G99141117
Pembimbing :
dr. Amru Sungkar, Sp. B, Sp. BP-RE
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2015
BAB I
PENDAHULUAN
Gigitan ular adalah salah satu masalah kesehatan masyarakat yang paling
diabaikan di masyarakat pedesaan miskin terutama yang tinggal di daerah tropis.
Insiden gigitan ular relatif lebih tinggi di negara-negara tropis seperti dibandingkan
dengan negara-negara maju (Gupta dan Shah, 2006).
Gigitan ular adalah keadaan darurat medis yang penting dan penyebab masuk
rumah sakit pada banyak wilayah di wilayah Asia Tenggara. Berbagai
kasuskomplikasi hingga kematian atau cacat kronis banyak ditemukan orang muda
yang aktif, terutama mereka yang bekerja di sektor pertanian dan perkebunan.
Namun, skala sebenarnya dari mortalitas dan morbiditas akut serta kronis dari gigitan
ular masih belum jelas karena pelaporan yang tidak memadai di hampir setiap daerah.
Untuk memperbaiki kekurangan ini, sangat disarankan bahwa gigitan ular harus
dilaporkan di semua negara di wilayah Asia Tenggara. (Alirol et al., 2010; WHO,
2010).
Pada setiap kasus yang dilaporkan sebagai gigitanular, harus dipastikan
apakah gigitan tersebut disebabkan ular berbisa. Hal tersebut dapat ditentukan antara
lain dari luka bekas gigitan yang terjadi. Jika identifikasi sulit ditentukan, gejala dan
tanda akibat gigitan bisa ular menjadi dasar untuk menegakkan diagnosis (Niasari dan
Latief, 2003).
Campuran protein dengan sitotoksik, proteolitik, dan / atau enzim neurotoksik
pada ular beracun bervariasi tergantung dari spesies. Pengobatan di lapangan terdiri
dari identifikasi spesies ular dan transportasi yang cepat dari pasien ke fasilitas
pelayanan kesehatan terdekat. Pembengkakan, memar, dan gejala sistemik dapat
muncul setelah gigitan ular. Sindrom kompartemen dapat berkembang pada anggota
badan yang terkena karena edema dan nekrosis jaringan (Anz et al., 2010).
Dalam menghadapi kasus gigitan ular berbisa diperlukan tata laksana yang
cepat, baik dalam menegakkan diagnosis maupun terapinya, oleh karena dapat
menimbulkan kecacatan dan mengancam jiwa
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Sindrom kompartemen adalah salah satu kegawatan dalam bidang
traumatologi. Sindrom kompartemen adalah kondisi yang disebabkan oleh
peningkatan tekanan intra kompartemen pada sebuah kompatemen yang tertutup
sebingga mengganggu sirkulasi. Sebagian besar terjadi pada lengan, tangan dan kaki.
Diagnosis ditentukan dengan pemeriksaan fisik dan pengukuran tekanan intra
kompartemen. Tekanan kompartemen yang lebih besar dari 30mmHg
mengindikasikan adanya sindrom kompartemen (Via et al, 2015). Gigitan ular
merupakan salah satu penyebab dari sindrom kompartemen. Sindrom kompartemen
pada gigitan ular ditandai dengan area gigitan yang tidak dapat digerakkan , bengkak,
dingin dan tidak teraba nadinya. Tanda-tanda klasik sindrom kompartemen sulit
diamati pada gigitan ular (WHO, 2010)
B. Jenis Ular Dan Cara Mengidentifikasinya
Ular berbisa kebanyakan termasuk dalam famili Colubridae, tetapi pada
umumnya bisa yang dihasilkannya bersifat lemah. Contoh ular yang termasuk famili
ini adalah ular sapi (Zaocys carinatus), ular tali (Dendrelaphis pictus), ular tikus atau
ular jali (Ptyas korros), dan ular serasah (Sibynophis geminatus). Ular berbisa kuat
yang terdapat di Indonesia biasanya masuk dalam famili Elapidae, Hydropiidae, atau
Viperidae.
Elapidae memiliki taring pendek dan tegak permanen. Beberapa contoh
anggota famili ini adalah ular cabai (Maticora intestinalis), ular weling (Bungarus
candidus), ular sendok (Naja sumatrana), dan ular king kobra (Ophiophagus
hannah).
Viperidae memiliki taring panjang yang secara normal dapat dilipat ke bagian
rahang atas, tetapi dapat ditegakkan bila sedang menyerang mangsanya. Ada dua
subfamili pada Viperidae, yaitu Viperinae dan Crotalinae. Crotalinae memiliki
organ untuk mendeteksi mangsa berdarah panas (pit organ), yang terletak di antara
lubang hidung dan mata. Beberapa contoh Viperidae adalah ular bandotan (Vipera
russelli), ular tanah (Calloselasma rhodostoma), dan ular bangkai laut (Trimeresurus
albolabris)
Gambar 2.1. Jenis ular Cobra(kiri) dan viper(kanan) yang banyak terdapat di
Indonesia
Gambar 2 .2 Jenis-jenis ular berbisa (atas) Spesies Ular berbisa di Indonesia (bawah)
Kategori 1 : Ular berbisa yang tersebar luas dan mengakibatkan angka kesakitan,
kecacatan dan kematian yang tinggi
Kategori 2 : Ular berbisa yang mengakibatkan angka kesakitan, kecacatan dan
kematian yang tinggi tetapi berdasarkan data epidemiologi jarang terjadi karena
habitat dan perilaku ular yang jauh dari populasi manusia.
Gigitan ular berbisa memiliki ciri khas adanya fang mark berupa gigi bisa. Gigi bisa
berjumlah 2 dan berukuran lebih besar dari ukuran gigi yang lain. Pada luka bekas
gigitan terasa nyeri, bengkak dan terbakar. Gigitan ular berbisa memiliki tanda lokal
pada area gigitan berupa bula, kehitaman, nyeri, bengkak, limfangitis, nekrosis dan
abses.
Sedangkan ular tidak berbisa memiliki ciri-ciri gigitan sebagai berikut:
1. Anamnesis
Terdapat riwayat digigit ular dengan ciri-ciri kepala berukuran kecil, berbentuk oval,
pupil bulat, dan tidak ada pit antara mata dan lubang hidung. Bila dilihat dari sisi atas,
kepala ular tidak berbentuk segitiga.
2. Pemeriksaanfisik
- Tampak bekas gigitan berbentuk pola semisirkuler yang terlihat seperti bentuk
senyuman pada permukaan kulit (Torpy JM, Schwartz LA, et al., 2012).
- Tidak ada tanda-tanda heamtotoksik dan neurotoksik.
Perbedaan Ular Berbisa dan Ular Tidak Berbisa
Tidak berbisa Berbisa
Bentuk Kepala Bulat Elips, segitiga
Gigi Taring Gigi Kecil 2 gigi taring besar
Bekas Gigitan Lengkung seperti U Terdiri dari 2 titik
Warna Warna-warni Gelap
Gambar 2.3. Perbedaan ular berbisa dengan ular tidak berbisa
Gambar 2.4. Perbedaan gigitan ular berbisa dengan tidak berbisa
C. Epidemiologi.
Gigitan ular sering terjadi di Asia Tenggara karena secara geografis, ular
banyak hidup di daerah tersebut. Namun tidak terdapat data epidemiologis yang pasti
mengenai jumlah gigitan ular tersebut. Hal ini disebabkan karena banyak dari kasus
gigitan ular di Asia Tenggara diobati secara tradisional. Bagian penelitian statistik
WHO memperkirakan terdapat sekitar setengah juta gigitan ular dan 30.000 hingga
40.000 kemtian karena gigitan ular tiap tahunnya di dunia. 25.000-35.000 diantaranya
terjadi di asia. Gigitan ular banyak dialami oleh petani, pekerja kebun dan nelayan
(WHO, 2010).
Gigitan ular sangat jarang menimbulkan sindrom kompartemen. Namun
sindrom kompartemen karena gigitan ular dilaporkan paling banyak terjadi pada
gigitan ular di tangan dan di lengan (Evers et al., 2010).
D. Etiologi dan Faktor Risiko
Sindrom kompartemen yang disebabkan oleh gigitan ular terjadi karena
komponen sitotoksik yang menyerang jaringan sehingga terjadi edema (Blaylock RS,
2005). Edema ini dapat menyebabkan peningkatan tekanan intra kompartemen
sehingga menimbulkan sindrom kompartemen. Penyebab lain dari sindrom
kompartemen diantaranya adalah fraktur, injuri yang berakibat pada iskemia,
perdarahan, luka tembus pada pembuluh darah, pemasangan gips, pemasangan bidai,
penggunaan bebat yang terlalu lama, crush injury dan luka bakar (Evers et al., 2010).
E. Patofisiologi
Bisa ular mengandung berbagai protein. Peptida dan
polipeptida tersebut bekerja sebagai enzim sitotoksik dan
preteolitik. Aktivitas dari enzim tersebut menyebabkan lisis sel,
perembesan kapiler, gangguan koagulasi dan gangguan hantaran
saraf. Protein tersebut berperan dalam menyebabkan injuri otot.
Injuri yang dapat terjadi berupa nekrosis otot, edema jaringan dan
palsi saraf perifer. Nekrosis otot dan edema jaringan dapat
menyebabkan peningkatan tekanan intra kompartemen sehingga
menyebabkan sindrom kompartemen. (Anz A et al., 2010)
Peningkatan tekanan intra kompartemen akan menganggu drainasi vena dan
limfa pada area yang terkena gigitan ular (Hamdi MF et al., 2010). Hal ini menambah
peningkatan tekanan intra kompartemen. Peningkatan yang terus berlanjut dapat
menyebabkan gangguan pada arteri sehingga terjadi penurunan perfusi. Penurunan
perfusi ini menimbulkan iskemia dan kematian pada jaringan. Tekanan intra
kompartemen secara normal hampir mendekati 0 pada otot yang tidak berkontraksi.
Jika tekanan meningkat hingga 30mmHg atau lebih, dapat terjadi penekanan pada
arteriol yang nantinya dapat menurunkan aliran darah ke kompartemen tersebut
(Evers L et al., 2010). Sindrom kompartemen yang tidak diobati dapat menyebabkan
kematian otot dan saraf yang irreversibel (Hon K et al., 2005)
F. Gejala
Gejala klinis yang dapat terjadi pada sindrom kompartemen karena gigitan
ular adalah:
1. Nyeri yang sangat berat.
2. Kelemahan otot intra kompartemen.
3. Nyeri pada kontraksi pasif pada otot intrakompartemen.
4. Hipoestesi pada kulit yang dipersarafi oleh saraf yang melalui kompartemen
tersebut.
5. Kaku dan keras pada palpasi.
6. Pada palpasi teraba dingin.
7. Edema.
8. Nadi melemah atau tidak teraba. (WHO, 2010)
G. Diagnosis (Dhar D, 2015)
1. Anamnesis- Tergigit ular
2. Pemeriksaan fisik- Tampak2 bekas gigitan ular- Pucat- Perubahanwarna kulit- Nadi hilang- Nyeri- Parestesi- paralisis- teraba dingin- edema
3. Pemeriksaan penunjang- Pemeriksaan laboratorium darah
- Cekdarah: Hemoglobin, leukosit, trombosit, ureum, kreatinin, ,elktrolit, PT, APTT, INR, D-Dimer, faalhepar, golongandarah.
- Pemeriksaan urin: hematuria, glikosuria, proteinuria- EKG
Pengawasan ketat dan pengukuran tekanan kompartmen merupakan pendekatan standar dalam mendiagnosis sindroma kompartmen. Namun, tidak semua pasien langsung menunjukkan tanda-tanda sindrom kompartmen. Pasien gigitan ular, khususnya pasien asimptom, tidak dapat tinggal di rumah sakit terus menerus hanya untuk memonitor perkembangan pasien. Selain itu pengukuran tekanan intra compartment pada semua pasien untuk deteksi dini sindrom kompartmen akut pun dinilai tidak praktis tanda-tanda sindromkompartmen, kecuali nyeri berat, adalah tanda yang mucul terakhir sehingga tidak dapat dijadikan patokan untuk diagnosis dini sindrom kompartmen (Hsu CP, Chuang JF, et al., 2015).
Tidak direkomendasikan untuk mengukur intracompartmental pressure (ICP) ketika secara klinis sudah dapat membuktikan adanya sindrom kompartmen. Kunci
utama sindrom kompartmen adalah ketika pasien merasakan sakit yang melebihi dengan keadaan klinisnya (Dhar D, 2015)
H. Perbedaan Sindrom Kompartemen pada Gigitan Ular dengan Penyebab yang Lain
Gambar 2.5. Sindrom kompartemen akibat gigitan ular (WHO, 2015).
Gambar 2.6 Fang mark yang menunjukkan bekas gigitan dari taring ular (WHO, 2015)
Gambar 2.7. Sindrom kompartemen pada gigitan ular. Tampak adanya bengkak, lepuh dan memar pada daerah sekitar bekas gigitan ular Malayan pit Viper (WHO, 2015).
Gambar 2.8 Sindrom kompartemen akibat dislokasi subtalar (Baba et al., 2013) tampak perbedaan dengan sindrom kompartemen akibat gigtan ular dimana daerah lebih cerah dan tidak tampak bula pada ekstremitas.
Gambar 2.9 Sindrom kompartemen akibat fraktur pada tibia (Orthopaedicsone, 2012).
I. Terapi1. Bedah
- FasiotomiTindakan fasiotomi jarang dilakukan namun dapat dipertimbangkan apabila tekanan kompartement > 30 mmHg sehingga dapat mencegah morbiditas jangka panjang dan amputasi (Dhar D, 2015). Apabila pasien didiagnosis dengan sindrom kompartmen maka harus segera dilakukan fasiotomi secepatnya untuk mencegah kerusakan otot dan saraf pada ekstremitas yang sakit (Hsu CP, Chuang JF, et al, 2015).
2. Non bedah- Antivenom
Merupakan terapi definitive, namun tidak semua kasus memerlukan terapi antivenom. Antivenom diberikan secara intravena. Pemberian injeksi antivenom secara subkutis ataupun intramuscular tidak direkomendasikan, walaupun maksudnya untuk menghindari efek samping. Salah satu efek samping antivenom serum sickness disease yang ditandai dengan adanya bintik-bintik merah, gatal, nyeri sendi, demam, limfadenopati, malaise, dan gagal ginjal. Efek samping lainnya adalah alergi (Hifumi T, Sakai A, et al, 2015)
I. PrognosisTidak ada keterkaitan yang signifikan secara statistic antara waktu rawat inap,
ukuran gigitan, jenis kelamin, umur, waktu sampai IGD, nilai INR atau PT, seberapa banyak antiserum venom yang diberikan, dan pemberian antibiotic terhadap hasil keluaran (Alkaabi JM, Neyadi AM, et al., 2011).
Komplikasi (Hsu CP, Chuang JF, et al., 2015)- Iskemik- Nekrosis jaringan- amputasi
BAB III
KESIMPULAN
Gigitan ular pada anggota badan, meskipun tidak jarang di negeri ini, masih
memerlukan pemantauan secara intersive di rumah sakit untuk memantau komplikasi
sistemik dan lokal. Pasien yang telah menerima penanganan dini yang tepat tetapi
berkembang menjadi sindrom kompartemen maka pasien tersebut harus dibawa ke
ruang operasi untuk dilakukan fasiotomi. Semua dokter harus bisa mengenali gejala-
gejala awal dan tanda-tanda sindrom kompartemen. Fasiotomi pada pasien dengan
tepat waktu akan mencapai hasil fungsional yang sangat baik. Intervensi bedah
terbukti sangat diperlukan. Pasien juga harus diberitahu tentang prognosis pemulihan
untuk tindakan fasiotomi.
DAFTAR PUSTAKA
Ali H, Amir J, Mohammad H. 2013. Dosage Comparison of Snake Anti-Venomon
Coagulopathy. Iranian Journal of Pharmaceutical Research (2014), 13 (1): 283-
289
Alirol E, Sharma SK, Bawaskar HS, Kuch U, Chappuis F (2010) Snake Bite in South
Asia: A Review. PLoS Negl Trop Dis 4(1): e603.
doi:10.1371/journal.pntd.0000603
Alkaab JM, Neyadi MA, Darei FA, Mazrooei MA, Yazedi JA, Abdulle AM. 2011. Terrestrial Snakebite in the South East of the Arabian Peninsula: patient characteristics, clinical presentation, and Management. PLoS ONE, 6(9): 1-6
Anz A, Halvorson J, Bushnell B, Stenberg M, Koman A. 2010. Management of
Venomous Snakebite Injury in the Extremity. J Am Acad Orthop Surg. 18:749-
759
Baba MA, Hawlai MA, Mir BA, Bashir A, Wani M. 2013. Medial Subtalar Dislocation of the Foot Associated with an Acute Compartment Syndrome: A Case Report. The Foot and Ankle Online Journal.doi: 10.3827/faoj.2013.0606.0001
Blaylock RS. 2005. The identification and Syndromic Management of Snakebite in
South Africa. SA Farm Pract. 47(9): 48-53
David V, John A, Curtis J. 2011. Toxicol Rhabdomyolysis and Compartment
Syndrome Following Acute Diphenhydramine Overdose. DOI. 7:213–219
Dhar D. 2015.Compartment syndrome following snake bite.Oman Med J, 30 (2): 1-3
Eric A, Charles R, Edward L,Richard C, Vaishali K, Eric J. Surgical Considerations
in the Management of Pit Viper Snake Envenomation. 2013. the American
College of Surgeons ISSN 1072-7515
Evers L, Bartscer T, Lange T, Mailander P. 2010. Adder Bite: An Uncommon Cause
of Compartment Syndrome in Northern Hemisphere. Scandinavian Journal of
Trauma, Resuscitation and Emergency Medicine. 18: 50
Frink MD, Hildebrand MD. 2010. Compartment Syndrome of the Lower Leg and
Foot. Clin Orthop Relat Res 468:940–950
Gupta BD, Shah VN. 2006. Clinical Profiles, Treatment and Complications of Snake
Bites. A One-Year Retrospective Study. JIAFM, 2006 : 28 (3) ISSN : 0971-
0973
Hamdi MF, Baccari S, Dahfous M, Tarhouni L. 2010. Upper Limb Compartement
Syndrome After an Adder Bite: A Case Report. Chin J Traumatol. 13(2): 117-
119
Hifumi T, Sakai A, Kondo Y, Yamamoto A, Morine N, Ato M, Shibayama K, et al. 2015. Venomous snake bites: clinical diagnosis and treatment. Journal of Intensive Care, 3(16): 1-9
Hon K, Chow C, Cheung K, Leung T. 2005. Snakebite in a Child: Could We Avvoid
the Anaphylaxis or Fasciotomies?. Ann Acad Med Singapore. 34:454-6
Hsu CP, Chuang JF, Hsu YP, Wang SY, Fu CY, Yuan KC, Chen CH, et al. 2015.Predictors of the development of post-snakebite compartment syndrome.Scandinavian Journal of Trauma, Resuscitation and Emergency Medicine, 23:97
Kalana M, Geoffrey K, Isbister. 2014. Current Treatment for Venom-Induced
Consumption Coagulopathy Resulting from Snakebite PLOS Neglected
Tropical Diseases. Vol8
KLE Hon, CM Chow, KL Cheung, Leung. 2005 Snakebite In A Child: Could We
Avoid The Anaphylaxis Or The Fasciotomies?.Ann Acad Med
Singapore;34:454-6
Mery, J-P, and Mostefa, S, Annals of Internal. 1975. Snake and snake bite. Medicine,
83, 581.
Mohamed F, Sayed B Mehdi D and Lamjed T 2010 Upper limb compartment
syndrome after an adder bite: a case report.. Chinese Journal of Traumatology
2010; 13(2):117-119
Niasari N, Latief A. 2003. Gigitan Ular Berbisa. Sari Pediatri, Vol. 5, No. 3,
Desember 2003: 92 – 98
Reid H, Theakston R. 1983. The management of snake bite Bulletin ofthe World
Health Organization, 61 (6): 885-895
Ryan M, Taylor, Matthew P, Sullivan, Samir. 2012. Acute compartment syndrome:
obtaining diagnosis, providing treatment, and minimizing medicolegal risk
Musculoskelet Med 5:206–213
Schweppe M, Halvorson J, Bushnell B, Stenberg M, Koman LA. 2010. Management
of Venomous Snakebite Injury to the Extremities. J Am Acad Orthop Surg
2010;18:749-759
Tibia Fracture with Compartment Syndrome. OrthopaedicsOne Cases . In: OrthopaedicsOne - The Orthopaedic Knowledge Network . Created Apr
24, 2012 14:49. Last modified Jul 16, 2012 05:13 ver.12. Retrieved 2015-12-15, from http://www.orthopaedicsone.com/x/YQD5B.
Torpy JM, Schwartz LA, Golub RM. Snakebite. JAMA, 307(15): 1657.
Via A, Olivia F, Spoliti M, Maffull N. 2015. Acute Compartment Syndrome. Muscle,
Ligaments and Tendons Journal. 5(1):18-22
WHO. 2010. Guidelines for the Management of Snake-bites