sindrom deconditioning
DESCRIPTION
deconditioningTRANSCRIPT
SINDROM DECONDITIONING
Sindrom deconditioning adalah sekumpulan gejala yang menimbulkan kapasitas
fungsional menurun pada beberapa sistem tubuh akibat imobilisasi/gerakan tubuh berkurang
dalam jangka waktu yang lama. Berkurangnya gerakan tubuh dapat sebagian atau seluruh tubuh,
paling sering disebabkan oleh gangguan neuromuskuloskeletal seperti stroke, tumor medulla
spinalis, myocardial infark, dan trauma. Adapun system yang pertama kali terkena adalah system
musculoskeletal. Gambaran dari sindrom deconditoning berbeda-beda tergantung dari derajat
dan lama imobilisasi. Beberapa system yang mengalami deconditioning adalah musculoskeletal,
kardiovaskular, respirasi, kulit, gastrointestinal, genitourinaria, metabolism dan nutrisi, endokrin,
serta neurologi, emosi intelektual.
Sistem muskuloskletal
Pasien yang mengalami tirah baring lama beresiko mengalami kontraktur karena sendi-sendi
tidak digerakkan. Akibatnya timbul rasa nyeri yang menyebabkan seseorang tidak mau
menggerakkan sendi yang kontraktur tersebut. Kontraktur terjadi karena perubahan patologis
oada bagian tulang sendi, otot atau pada jaringan penunjang disekitar sendi. Factor posisi dan
mekanik juga dapat menyebabkan kontraktur pada pasien usia lanjut dengan imobilisasi.
Imobilisasi lama akan mengakibatkan atrofi otot dengan penurunan ukuran dan kekuatan otot.
Penurunan kekuatan otot diperkirakan 1-2 % perhari. Massa otot sebagian besar menurun dari
kaki bawah dan otot-otot tubuh. Posisi imobilisasi juga berperan terhadap beratnya pengurangan
otot, imobilisasi dengan posisi meringkuk akan mengakibatkan pengurangan otot yang lebih
banyak dibandingkan posisi imobilisasi terlentang.
Osteoporosis dapat timbul sebagai akibat ketidakseimbangan antara resorpsi tulang dan
pembentukan tulang. Imobilisasi ternyata meningkatkan resorpsi tulang, dan meningkatkan kadar
kalsium serum akibatnya massa tulang menurun.
Sistem kardiovaskular
Penurunan efisiensi jantung, perubahan tanggapan kardiovaskkular postural dan penyakit
tromboemboli dapat terjadi akibat imobilisasi yang lama. Hipotensi postural merupakan
penurunan tekanan darah sebanyak 10 mmHg dari posisi berbaring ke duduk dengan salah satu
gejala yang sering timbul adalah sinkop. Tirah baring lama akan mengakibatkan respons
kardiovaskular normal menjadi tidak normal yang akan menghasilkan penurunan volume
sekuncup jantung dan curah jantung.
Sistem respirasi
Imobilisasi dikaitkan dengan terjadinya pneumonia akibat dari retensi sputum dan aspirasi lebih
mudah terjadi pada pasien geriatric. Pada posisi berbaring otot diafragma dan interkostal tidak
berfungsi dengan baik sehingga gerakan dinding dada juga menjadi terbatas yang menyebabkan
sputum sulit keluar. Selain itu proses penuaan mengakibatkan perubahan pada tekanan penutup
saluran kecil, kondisi tersebut akan mengurangi asupan O2 dan pernapasan cepat dangkal
sebagai kompensasinya.
Sistem gastrointestinal
Masalah utama pada pasien usia lanjut dengan imobilisasi lama adalah konstipasi, skibala dan
obstruksi usus. Imobilisasi lama akan menyebabkan penurunan sekresi lambung, penurunan
absorbsi, atrofi mucosa intestinal sehingga feces akan lebih lama tinggal di usus.
Kulit
Pasien imobilisasi umumnya tidak bergerak pada malam hari karena tidak adanya gerakan pasif
maupun aktif. Tidak adanya aktivitas ini mengakibatkan peningkatan tekanan pada daerah kulit
yang sama secara terus menerus. Tekanan akan memberikan pengaruh pada daerah kulit sacral
ketika dalam posisi berbaring. Aliran darah akan terhambat pada daerah kulit yang tertekan dan
menghasilkan anoksia jaringan dan nekrosis. Tekanan tersebut juga dapat menyebabkan
kompresi pembuluh darah yang bisa timbul edema.
Sistem Genitourinaria
Aliran urin juga akan terganggu akibat tirah baring yang lama kemudian menyebabkan infeksi
saluran kemih mudah terjadi. Inkotinensia urin juga sering terjadi pada pasien usia lanjut dengan
imobilisasi yang umumnya disebabkan ketidakmampuan ke toilet, berkemih yang tidak
sempurna. Retensi urin akan memudahkan terjadinya infeksisaluran kemih dan bila dibarengi
dengan hiperkalsiuria akan mengakibatkan terjadinya pembentukan batu ginjal.
Sistem metabolisme dan nutrisi
Imobilisasi ternyata juga berperan pada terjadinya hipoalbuminemia, mempengaruhi system
metabolic yang akibatnya akan terjadi perubahan terhadap metabolism zat gizi. Penurunan nafsu
makan dapat mengakibatkan penurunan berat badan. Keadaan tidak beraktivitas dan imobilisasi
akan meningkatkan ekskresi nitrogen urin, sehingga pasien akan mengalami hipoprotenimia dan
edema.
Sistem endokrin
Pasien lanjut usia yang mengalami imobilisasi akan mengalami intoleransi glukosa karena sensor
insulin menurun yang mengakibatkan penurunan sensitivitas otot untuk sirkulasi insulin. Selain
itu terjadi gangguan circardian rhythm, gangguan temperatur dan respon keringat, gangguan
regulasi gangguan hormon paratiroid, gangguan tiroid, gangguan adrenal, gangguan pituitary,
growth, dan gangguan androgen.
Sistem neurologis, emosi dan intelektual
Kemampuan sensoris pada pasien lansia yang imobilisasi lama akan mengalami penurunan
seperti atensi menurun, bingung, disorientasi, gangguan eye-hand coordination. Kapasitas
intelektual pun ikut menurun. Selain itu, terjadi gangguan emosi dan perilaku. Ambang
pendengaran pun menigkat sehingga pasien lansia hanya dapat mendengar suara yang keras dan
pasien ini biasanya berbicara dengan keras pula. Kemampuan visual pun ikut menurun.
Penatalaksanaan
Non farmakologis
Penatalaksanaan non farmakologis memegang peranan penting dalam mencegah terjadinya
sekumpulan sindrom ini akibat imobilisasi. Berbagai upaya yang dapat dilakukan `dengan
beberapa terapi fisik dan latihan jasmani secara teratur. Pada pasien yang mengalami tirah baring
total, perubahan posisi secara teratur dan latihan ditempat tidue dapat dilakukan sebagai upaya
mencegah terjadinya kelemahan dan kontraktur otot serta sendi. Selain itu, mobilisasi dini berupa
turun dari tempat tidur ke kursi dan latihan fungsional dapat dilakukan secara bertahap, untuk
mencegah terjadinya kontraktur otot dapat dilakukan gerakan pasif sebanyak satu-dua kali sehari
selama 20 menit.
Untuk mencegah terjadinya ulkus dekubitus, hal yang harus dilakukan adalah menghilangkan
penyebab terjadinya ulkus yaitu bekas tekanan pada kulit. Untuk itu dapat dilakukan perubahan
posisi lateral 30 derajat, penggunaan kasur anti dekubitus, atau menggunakan bantal berongga.
Program latihan jasmani yang dilakukan harus disesuaikan dengan kondisi pasien, berdasarkan
ada tidaknya penyakit, status imobilisasi, tingkat aktivitas, dan latihannya. Control tekanan darah
secara teratur dan penggunaan obat-obatan. Monitor asupan cairan dan makanan mengandung
serat perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya konstipasi. Selain itu juga perlu dilakukan
evaluasi dan pengkajian terhadap kebiasaan buang air besar pasien. Pemberian nutrisi yang
adekuat perlu diperhatikan untuk mencegah terjadinya malnutrisi pada pasien imobilisasi.
Farmakologis
Penatalaksanaan farmakologis dapat diberikan sebagai salah satu upaya pencegahan terhadap
terjadinya thrombosis. Pemberian antikoagulan merupakan terapi farmakologik yang dapat
diberikan untuk mencegah terjadinya thrombosis pada pasien geriatric dengan imobilisasi. Low
dose heparin (LDH) dan low molecular weight heparin (LMWH) merupakan profilaksis yang
aman dan efektif untuk pasien geriatric dengan imobilisasi dan resiko thrombosis non
pembedahan terutama strok. Namun pemberian antikoagulan ini perlu dilakukan dengan hati-hati
dan penuh pertimbangan. Penurunan faal ginjal dan hepar serta adanya interaksi obat perlu
diperhatikan juga.