(sindonews.com) opini sosial budaya koran sindo 10 juli 2014-22 agustus 2014

155
ISI BANGSA INDONESIA BANGSA BESAR Hajriyanto Y Thohari 5 PUASA, RADIKALISME, DAN INTOLERANSI M Bambang Pranowo 8 SIMBOLISME Sarlito Wirawan Sarwono 12 SYUKURAN DAN SELAMATAN NASIONAL Mohamad Sobary 15 MENDUKUNG PALESTINA Ella Devianti 17 MENGETUK NURANI Mashuri NS 21 BELANDA, BRASIL, DAN LEUSER Hadi S Alikodra 24 1

Upload: ekho109

Post on 29-Nov-2014

413 views

Category:

Self Improvement


1 download

DESCRIPTION

opini para pakar yang dimuat di Koran SINDO dan juga situs www.sindonews.com

TRANSCRIPT

Page 1: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

ISI

BANGSA INDONESIA BANGSA BESAR

Hajriyanto Y Thohari 5

PUASA, RADIKALISME, DAN INTOLERANSI

M Bambang Pranowo 8

SIMBOLISME

Sarlito Wirawan Sarwono 12

SYUKURAN DAN SELAMATAN NASIONAL

Mohamad Sobary 15

MENDUKUNG PALESTINA

Ella Devianti 17

MENGETUK NURANI

Mashuri NS 21

BELANDA, BRASIL, DAN LEUSER

Hadi S Alikodra 24

SIAPKAH KITA MENGHADAPI PERUBAHAN?

1

Page 2: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

Sarlito Wirawan Sarwono 27

MENGATASI RUMOR KERUSUHAN

Triyono Lukmantoro 30

MUDIK, KERINDUAN, & KEMATIAN

Faisal Ismail 33

BERPUASA LAHIR BATIN

Mohamad Sobary 36

PUASA DAN PURIFIKASI BANGSA

Achmad M Akung 39

BERPUASA DI MEKKAH AL-MUKARRAMAH

Hajriyanto Y Thohari 43

THR

Sarlito Wirawan Sarwono 47

MENEMPUH MUDIK BATIN

Ahmad Sahidah 50

PARSEL DAN MAKANAN KEDALUWARSA

Posman Sibuea 53

2

Page 3: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

GAUDEAMUS IGITUR

Sarlito Wirawan Sarwono 57

ALAM DIOLAH, BUAT SIAPA?

Mohamad Sobary 60

PRESIDEN BARU DAN PEMBANGUNAN PEMUDA

Muhammad Arief Rosyid Hasan 63

LUBANG DALAM TATA KELOLA PSDA

Hariadi Kartodihardjo 65

SUSILA

Sarlito Wirawan Sarwono 68

ISIS, SUNNI, DAN SYIAH

Ahmad Syafi’ Mufid 71

MENGONVERSI CPO MENJADI PRODUK PANGAN BARU

Posman Sibuea 74

CAHAYA LILIN DALAM GELAP

Mohamad Sobary 77

KOMODIFIKASI PESAN DALAM PILPRES

3

Page 4: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

Umaimah Wahid 80

OVER-EXPOSE ISIS

Danang Songgo Buwono 83

PEMIMPIN YANG NEGARAWAN

Jannus TH Siahaan 86

RELIGIOSITAS RENUNGAN SUCI PADA HARI PROKLAMASI

Hajriyanto Y Thohari 89

MEMERDEKAKAN RAKYAT DARI KEMISKINAN

Posman Sibuea 92

LOH, KITA SUDAH MERDEKA, TO?

Mohamad Sobary 96

IDEOLOGI PEMBANGUNAN

Ivan Hadar 99

ISIS DAN TANTANGAN KEUTUHAN BANGSA

RN Bayu Aji 102

MEREKA YANG PUNYA KUASA

Dicky Pelupessy 105

4

Page 5: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

Bangsa Indonesia Bangsa Besar

Koran SINDO

Kamis,  10 Juli 2014

KOLOM ini dimulai dengan pertanyaan mengapa bangsa-bangsa jajahan tertinggal dan bangsa-bangsa pewaris imperium besar tetap saja menjadi bangsa yang paling maju dan berkuasa di dunia baik politik, militer, ekonomi, maupun peradaban?

Bangsa-bangsa Barat de facto tetap menjadi penguasa dunia sampai sekarang ini. Dulu mereka menguasai dunia dengan kolonialisme dan imperialisme, sekarang tetap juga "menguasai” dunia melalui modus lain yang lebih canggih. Penguasaan tentu hanya bisa dilakukan oleh bangsa-bangsa yang kuat (strong nation), percaya diri, dan selalu punya pemimpin dengan mental penakluk (conqueror).

Jika tidak dengan kualifikasi demikian, rasanya mustahil mereka berhasil memosisikan negara-negara lain di bawah kendali kekuasaannya selama berabad-abad. Bangsa-bangsa jajahan sebaliknya dikenal, meminjam istilah Gunnar Myrdal dalam Asian Drama, sebagai soft nation, bangsa yang lembek! Sebagai bangsa yang mengalami penjajahan -mitos atau realitas- 350 tahun, bangsa Indonesia ditengarai oleh banyak pihak sebagai mengidap mentalitas inlander.

Novel-novel Pramudya Ananta Toer rasanya banyak mengangkat tema-tema ini: bangsa yang dituding -dan menuding dirinya– sebagai bangsa yang tanpa rasa kepercayaan diri yang kuat, inlander, dan bermental kalah. Anehnya, setelah satu setengah dasawarsa reformasi pun ternyata kita masih berjalan di tempat. Rasa percaya diri kita sebagai bangsa terus merosot. Buktinya, kita malah semakin suka memperolok diri sendiri ketika bicara tentang kemajuan bangsa lain.

Kita Mestinya Bisa

Tetapi, apakah benar kita tidak bisa menjadi bangsa yang besar? Dulu kita memang negara jajahan dan menjadi bangsa pecundang. Tetapi, kini kita meyakini bahwa negara kita ini benar-benar negara besar alias gede banget. Karena itu, kita mestinya bisa menjadi bangsa yang maju dan kuat. Bangsa ini hanya memerlukan pemimpin yang hebat dengan mentalitas conqueror.

Pemimpin yang percaya diri dan mampu membuat bangsa ini percaya diri pula. Quails rex talis grex, demikian rajanya atau pemimpinnya, demikian pula rakyatnya! Jika pemimpinnya

5

Page 6: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

lembek, madek mangu, dan pecundang, demikianlah pula rakyatnya. Regis ed exemplar, melalui teladan pemimpin masyarakat diarahkan!

Para founding fathers kita mewariskan marwah bangsa yang kuat dan bermartabat.Mereka mewarisi darma cinta, ilmu pengetahuan, dan militansi–tiga darma yang oleh Alain Badiou disebut sebagai syarat mutlak bagi setiap individu dalam memajukan sebuah peradaban. Mereka adalah figur-figur saleh yang penuh cinta terhadap bangsa, ilmu pengetahuan, dan militansi demi tegaknya Merah Putih di Kepulauan Nusantara. Mereka mengenal bangsa ini, sebagaimana mereka mengenal dan mencintai diri mereka sendiri.

Dengan pengetahuan, mereka merasa sederajat dengan bangsa lain, pun dengan seorang kolonial! Spirit mereka bagaikan pasukan Sparta yang berperang melawan tentara Persia. Militansi yang tak lekang oleh zaman. Sikap mental begitu penting bagi republik ini sehingga proyek kebangsaan pertama yang digemakan oleh Presiden Soekarno adalah nation and character building.

Soekarno jeli melihat, kemerdekaan politik dan ekonomi hanyalah prasyarat penting bagi kemakmuran dan kesejahteraan bangsa. Tetapi, dua hal itu tidak akan berarti jika bangsa Indonesia yang tergerus mentalitas jajahan selama tiga setengah abad tidak memiliki karakter dan jati diri bangsa yang kuat. Kecemasan Soekarno dan para pendahulu bangsa ini mengenai perlunya karakter dan jati diri bangsa juga kita rasakan.

Kita sesungguhnya adalah bangsa besar yang mempunya watak kuat. Kita mempunyai tradisi politik, ekonomi, dan sosial yang besar. Kita pernah mempunyai sejarah kerajaan dan kesultanan di Nusantara yang disegani dan dikagumi dunia karena memiliki peran strategis dalam bidang politik, ekonomi, sosial, agama, dan keamanan. Kita juga mewarisi peradaban Atlantis jika kita bersetuju dengan tesis dan temuan Prof Aryos Santos dari Brasil itu. Singkat kata, kita tak boleh merasa rendah diri, minder, malu, dan merasa tak sederajat dengan bangsa-bangsa lain.

Kita tak boleh mengutuk diri dalam kesendirian dan kebodohan. Kita adalah bangsa berperadaban besar dan berkemajuan. Nenek moyang kita mewariskan keteladanan berupa rasa percaya diri (self confidence) dan percaya pada orang lain (trust) yang notabene adalah dua karakter dasar bagi suatu bangsa untuk menuju kejayaan peradaban. Dua hal inilah yang harus kita raih dan miliki kembali.

Sejarah modern bangsa Indonesia sebenarnya juga bergelimang prestasi. Kita tengok anak-anak SMA kita yang meraih penghargaan dan medali internasional dalam bidang sains dan teknologi, menyabet emas olimpiade fisika mengalahkan Amerika Serikat, Jepang, Inggris, Prancis, dan negara-negara maju lain. Anak-anak Indonesia banyak pula yang berprestasi di kampus-kampus bergengsi di seluruh dunia. Mereka membuktikan bahwa bangsa kita bangsa besar yang mempunyai prestasi.

Hidupkan Cahaya Peradaban

6

Page 7: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

Kita harus melawan stigma yang tertempel di jidat kita bahwa bangsa Indonesia berkelas sudra yang tak piawai mencapai peradaban dan keadaban tinggi. Kishore Mahbubani dalam bukunya Can Asians Think? secara tegas mengatakan bahwa bangsa Asia termasuk Indonesia memiliki asian values yang membantah mitos jika bangsa Asia itu pemalas.

Kita ini, sebaliknya, adalah bangsa yang giat dan rajin bekerja, biasa berkorban untuk sebuah mimpi dan cita-cita, tak pernah putus asa meski kegagalan kadang menyapa. Selain itu, bangsa Indonesia juga bangsa muslim terbesar di dunia yang dipengaruhi etos kerja Islam yang rasional, menghargai waktu, dan berkeinginan untuk maju. Etos Islam pada dasarnya mirip dengan spirit Protestantisme dan Calvinisme yang menjadi spirit kemajuan bangsa Barat.

Pada dasarnya agama (Islam) mengajarkan kepada umatnya untuk menggapai ”kampung dunia" dan ”kampung akhirat” secara bersamaan. Islam mengajarkan tauhid, keyakinan pada satu Tuhan, sekaligus amal saleh. Seorang muslim yang beriman adalah seseorang yang menerjemahkan keyakinannya pada pencapaian amal saleh melalui sedekah, zakat, dan infak. Itulah etos Islam yang berkemajuan dan itulah subkultur sebagian besar rakyat Indonesia yang bersifat dinamis dan gandrung pada kemajuan dunia untuk meraih surga di akhirat kelak.

Penelitian Clifford Geertz di Mojokuto (Pare, Kediri) membuktikan bahwa spirit dan etos kerja muslim pada hakikatnya adalah etos berkemajuan mirip temuan Max Weber tentang etika Protestan di Eropa Barat. Dalam konteks dan perspektif ini, yang mendesak untuk dilakukan adalah perubahan mentalitas budaya masyarakat Indonesia yang tampaknya masih jauh dari –meminjam istilah Plato– cahaya peradaban.

Bangsa Indonesia pada sejatinya memiliki semua prasyarat untuk maju dan berkemajuan: pengalaman yang sangat kaya, sejarah bangsa yang besar, dan berkali-kali jatuh bangun melakukan perubahan sistem politik dan ekonomi. Ini semua seharusnya cukup untuk mendorong bangsa ini bergerak maju dengan dinamis.

Hambatan kemajuan adalah dan hanyalah mentalitas feodalistik, minder, serta hilangnya konfidensi dan trust. Ini harus segera dipungkasi. Kita berharap demokrasi yang kini tengah mekar dan memasuki era konsolidasi dapat mentransformasi mentalitas kebudayaan bangsa yang kokoh dan berkarakter kuat yakni mentalitas rasional, tekun, dan giat bekerja dalam mencapai kemajuan yang dilandasi prinsip cinta bangsa.

Kita selalu berdoa semoga presiden baru yang janji-janjinya luar biasa hebat itu akan benar-benar mampu membawa bangsa Indonesia yang tengah berubah ini menuju sebuah perubahan transformatif, berkemajuan, dan berkeadaban. Semoga!

HAJRIYANTO Y THOHARIWakil Ketua MPR RI

7

Page 8: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

Puasa, Radikalisme, dan Intoleransi

”Islam” tengah mempertontonkan radikalisme dan intoleransi di Afrika dan Timur Tengah. Boko Haram, organisasi radikal Islam di Nigeria, telah membantai ribuan orang dan menculik ratusan murid-murid perempuan sebuah sekolah di Kota Chibok. 

Sampai hari ini nasib ratusan siswi sekolah tersebut tidak jelas. Dunia pun marah kepada Boko Haram. Tapi, ia tak peduli. Bahkan, pimpinan Boko Haram Abu Bakar Shekau menyatakan, "Aku menikmati pembunuhan-pembunuhan itu, sama seperti menikmati penyembelihan ayam dan kambing jantan." Na’udzubillah! 

Jika di Nigeria ada Boko Haram, di Irak dan Suriah ada ISIL (Islamic State of Iraq in the Levant). ISIL yang biasa disebut Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) ini beroperasi lintas negara di Timur Tengah. Kini ISIL sudah menguasai perbatasan Irak dan Suriah dan mengklaim telah mendirikan negara di wilayah perbatasan itu. Ke depan ISIL berencana mendirikan negara Islam yang wilayahnya meliputi Irak, Suriah, dan Libanon. 

Ketika menyerbu Mosul dan menguasai ibu kota Provinsi Nineveh, Irak, ISIL membantai ribuan warga sipil. Di Suriah, ISIL juga terkenal kekejamannya. Ribuan wanita dan anak-anak dibantai. ISIL berencana mendirikan negara Islam dengan hukum-hukum syariahnya yang ketat. Di samping Boko Haram dan ISIL, organisasi Islam radikal lain seperti Al-Qaeda, Taliban, masih terus mengancam umat manusia. 

Banyak orang bertanya-tanya, kenapa organisasi super-radikal Boko Haram bisa muncul di negeri seperti Nigeria yang 60% penduduknya beragama Islam? Jawabnya sangat kompleks. Ada tali-temali antara kekerasan, ekstremitas, kesenjangan sosial-ekonomi antarwarga, ekstremitas akidah, dan lemahnya negara dalam mengantisipasi gerakan radikal. Menurut Wikipedia, awalnya gerakan Islam yang dibidani Muhamad Yusuf tahun 2002 bertujuan untuk mendirikan negara Islam dengan menegakkan syariah sesuai pandangan mereka. 

Di samping hendak mendirikan negara Islam, mereka juga akan menyingkirkan Barat dan umat Kristen keduanya dianggap sebagai penjajah dan penghancur Islam di Nigeria. Dr Ahmad Murtada dari Islamic Studies Departement, Unversitas Bayero, Nigeria, menyatakan bahwa ideologi Mohamad Yusuf dan Boko Haram adalah hakimiyyah yaitu sebuah ideologi yang menekankan kedaulatan hukum Allah. 

Prinsip ideologi ini adalah Laa hukma illaa Allah (tidak ada hukum kecuali hukum Allah) persis seperti ideologi kaum Khawarij, cikal bakal gerakan Islam radikal yang membunuh Ali bin Abi Thalib. Landasan ilmiahnya merujuk kepada kitab-kitab karya Ibnu Taimiyah dan mereka bersekutu dengan pandangan kelompok Jihadi dan Takfiri. Boko Haram, tulis Ahmad, berhubungan dekat dengan sayap Al-Qaeda di wilayah Maghribi (Afrika Utara). 

8

Page 9: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

Namun di Nigeria, Boko Haram ditolak para pengikut setia tradisi Salafi. Dalam perkembangannya, Boko Haram tak hanya membunuh orang Kristen, tapi juga orang Islam moderat yang pandangannya berseberangan dengannya. Ulama moderat yang sangat dihormati di Nigeria yang pernah mengkritik sepak terjang Boko Haram, Imam Ibrahim Ahmad Abdullah, misalnya, dibunuh. Ibrahim Birkuti, ulama yang bersikap kritis terhadap Boko Haram juga ditembak mati. 

Dan, masih banyak lagi tokoh Islam yang tak sepaham dengan Boko Haram diculik dan kemudian dibunuh. Itulah sebabnya mayoritas umat Islam di Afrika menolak aktivitas Boko Haram. Namun karena sudah telanjur kuat, mayoritas muslim sulit mencegah radikalisme kelompok ini. Menurut pengamat terorisme, Bloom M, merebaknya kekerasan dan radikalisme oleh Boko Haram di Nigeria adalah akibat lemahnya penegakan hukum dan ketidakberanian pemerintah memotong akar gerakan tersebut.

Akibatnya, Boko Haram makin berani melanggar hukum dan berhasil memperkuat jaringan-jaringannya di masyarakat akar rumput dengan mengusung isu kesenjangan sosial ekonomi di Nigeria. Boko Haram mengusung isu ketidakpuasan rakyat kepada pemerintah dan disparitas sosial-ekonomi yang tajam antara umat Islam dan Kristen di Nigeria untuk menarik kaum muda ke dalam organisasinya. 

Dengan tempaan ideologi radikal yang dikampanyekan Al-Qaeda, Boko Haram pun makin hari makin memperkuat ”senjata” radikalismenya. Hasilnya, negara pun tidak berdaya menghadapi aksi-aksi Boko Haram.

*** 

Yang menjadi perhatian, apakah organisasi semacam Boko Haram bisa tumbuh dan berkembang di Indonesia? Inilah yang perlu kita cermati. Sebab, bukan tidak mungkin gerakan semacam Boko Haram tumbuh di Indonesia karena kondisi sosial-ekonomi Indonesia dan Nigeria "nyaris" sama. Keduanya, negara kaya karena tanahnya mengandung minyak bumi dan gas (migas). 

Keduanya adalah negara yang mayoritas penduduknya muslim (60% populasi Nigeria Islam). Keduanya negara korup dan menyimpan bom waktu akibat tingginya kesenjangan sosial-ekonomi. Jika kita amati ceramah dan buku-buku tulisan Imam Samudera (IS) dan Abu Bakar Ba’asyir (ABB), misalnya, jelas terlihat bagaimana mereka mengidolakan negara berideologi hakimiyya seperti ditunjukkan Boko Haram. 

Baik IS dan ABB menganggap radikalisme dan terorisme adalah sebuah keniscayaan untuk membentuk daulah Islamiah. Denny JA, penggagas ”Indonesia Tanpa Diskriminasi”, dalam diskusi tentang perkembangan kelompok Takfiri di Indonesia, di Ciputat School, Tangerang (30/4/2014) lalu, menyatakan bahwa dalam sepuluh tahun terakhir ruang publik di Indonesia makin tidak nyaman akibat berkembangnya kelompok-kelompok yang mengusung ideologi

9

Page 10: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

diskriminasi. 

LSI, kata Denny, pernah membuat survei dengan pertanyaan, apakah orang Islam memperbolehkan membunuh orang kafir (non-Islam), jawabnya makin lama makin banyak yang menjawab boleh. Di tahun 2009 orang Islam yang membolehkan membunuh orang kafir masih di bawah 10%-tapi pada 2013 jumlahnya sudah melebihi 10%. Kondisi ini, kata Denny, sangat mengkhawatirkan masa depan Indonesia yang bhinneka dan plural ini. 

Dr Haedar Bagir, dosen Fakultas Filsafat Universitas Indonesia, menyatakan bahwa umat Islam di Indonesia mulai banyak yang terjerat ideologi takfiri. Ideologi takfiri, tulis Haidar dalam makalahnya pada diskusi di Ciputat School tadi, adalah sebuah doktrin pengkafiran terhadap siapa pun dan kelompok mana pun yang perilakunya dianggap tidak sesuai Alquran (seperti yang mereka pahami). 

Doktrin ini mengafirkan bahkan menghalalkan darah umat Islam yang pandangannya tidak sesuai dengan ideologi mereka, meski orang yang dikafirkan itu mengikuti rukun Iman dan Islam. Dalam berbagai kesempatan, doktrin ini gencar mengampanyekan kekafiran mazhab Syiah, sufisme, tarekat, dan lain-lain. NU, misalnya, menurut kelompok ini, adalah kafir karena dianggap menyembah kuburan. Mereka menjuluki orang-orang NU sebagai ‘mazhab kuburiyyun’. 

Sufisme juga dianggap sesat karena dianggap tidak sesuai dengan sunah Rasul. Di Facebook dan Twitter, kelompok takfiri ini sangat aktif mengunggah status anti-Syiah, anti ”kuburiyyun”, dan anti nyanyian. Yang terakhir ini, menurut kelompok takfiri, akan melemahkan iman dan menjerumuskan orang pada kekafiran. Di Indonesia, ideologi takfirisme, mulai meluas. 

Dengan dukungan dana yang amat besar dari negara-negara petrodolar tertentu di Timur Tengah, gerakan takfiri membangun media massa, baik cetak maupun elektronik di berbagai kota di Indonesia. Mereka mengaku sebagai pewaris ahli sunah yang paling autentik, mirip dengan Boko Haram yang menamakan dirinya Jamii'at ahl as-sunnah lid- da'wa wa-l-jihaad. Di Bandung, Ahad (20/4/2014) lalu, kelompok takfiri ini berhasil menggalang massa untuk mendeklarasikan gerakan anti-Syiah. 

Sedangkan di Gunung Kidul, Provinsi DIY, kelompok ini berusaha mengerahkan massa untuk menghalangi perayaan Natal dan Paskah beberapa waktu lalu. Di Sleman, Yogyakarta, beberapa waktu lalu rumah seorang warga Kristiani dihancurkan hanya karena di rumah itu diselenggarakan doa bersama. Semua gambaran itu menjelaskan bahwa Indonesia bisa terancam gerakan radikal seperti Nigeria dan Irak (Pranowo, 2014). Intoleransi makin merusak kehidupan bangsa yang terkenal ramah ini. 

Di Bulan Puasa, umat Islam seluruh dunia sedang berlatih untuk mengendalikan diri. Mengendalikan nafsu amarah, nafsu serakah, nafsu kuasa, dan lain-lain. Dalam pengendalian diri itu, umat Islam dituntut untuk bisa merasakan kehidupan orang-orang miskin, orang-

10

Page 11: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

orang teraniaya, dan orang terpinggirkan. 

Dengan merasakan lapar dan melapangkan hati untuk merasakan orang-orang teraniaya, umat Islam sudah seharusnya bersikap toleran dan mengembangkan kasih sayang. Puasa Ramadan adalah sarana untuk mengembangkan ajaran paling dasariah dalam Islam: bersikap rahman dan rahim kepada semua manusia tanpa membedakan suku, ras, dan agama. ●

M BAMBANG PRANOWO

Guru Besar UIN Jakarta/Rektor Universitas Mathla’ul Anwar, Banten

11

Page 12: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

Simbolisme

Pada waktu saya kuliah tingkat II di Psikologi UI, ada mata kuliah yang berjudul ”Simbolik”, yaitu kuliah tentang simbol-simbol. 

Mata kuliah itu sekarang tidak ada lagi di fakultas-fakultas psikologi, adanya (mungkin, saya juga tidak tahu pasti) di Fakultas Ilmu Budaya, khususnya sebagai bagian dari mata kuliah Semiotika, yaitu kuliah tentang makna, yang di dalamnya dibahas juga tentang simbol-simbol. Tentunya saya tidak berniat untuk membahas definisi, apalagi teori-teori tentang Simbolisme di rubrik yang terbatas ini. Terlalu bertele-tele dan terlalu akademik.

Tetapi saya ingin berbagi pengalaman tentang apa yang diajarkan oleh almarhum Profesor Slamet Iman Santoso (beliau adalah seorang dokter spesialis psikiatri, bukan guru besar filsafat) ketika itu.

*** 

Dosen saya yang lain, yaitu psikolog yang mengajar Filsafat, Prof Dr Fuad Hassan (beliau pernah menjadi dubes RI di Mesir dan pernah menjadi mendikbud), pernah mengajarkan kepada kami (mahasiswanya) bahwa menurut filsuf Ernst Cassirer, manusia adalah makhluk simbol (man is an animal symbolicum), artinya manusia tidak dapat dilepaskan dari simbol-simbol. Itulah bedanya manusia dengan hewan. 

Kita, manusia, menggunakan simbol-simbol setiap hari dalam kehidupan sehari-hari. Orang ngobrol melalui simbol bahasa lisan. SMS adalah simbol-simbol bahasa tulisan. Bendera merah-putih adalah simbol NKRI. Di Indonesia, di masjid tidak boleh dipasang ornamen binatang atau manusia (haram). Tetapi di atap masjid di Beijing ada patung ular naganya. Di Beijing, walaupun masjid, tetap tidak jauh-jauh dari ular naga.

Lain lagi dengan beduk. Perkusi raksasa yang biasa ditabuh setiap sebelum azan itu, selalu ada di masjid-masjid Pulau Jawa, tetapi absen di Sumatera Barat, atau di Arab. Padahal sama-sama Islam. Lain lagi dengan simbol Kristen yang menyimbolkan agamanya dengan kayu salib. Tetapi jangan salah. Walaupun sama-sama bernabikan Yesus, buat umat Katolik, di salib harus ada patung Yesusnya, sedangkan buat orang Kristen Protestan justru cukup dengan salib polos, tidak boleh ada patung apa pun di atas salib itu. 

Ternyata hebat betul pengaruh simbol itu. Belum seminggu yang lalu, kita melaksanakan pemilu di Indonesia. Ajaib sekali, minggu-minggu menjelang hari pencoblosan, angka ”1” dan angka ”2” jadi bermusuhan. Para pengikut ”1” tiba-tiba tidak mau lagi berfoto dengan mengacungkan dua jari, yang sebelumnya selalu mereka lakukan, sambil mengucapkan ”peace ” (karena dua jari menyimbolkan perdamaian, atau bisa kemenangan juga) dan tangan yang satunya memegang kamera HP untuk berfoto selfie. 

12

Page 13: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

Orang-orang ”2” yang iseng, sengaja mengedit foto teman-temannya yang ”1”, yang sedang action dengan dua jarinya (pasti foto jadul, sebelum pilpres), terus di-upload di Facebook atau media sosial lainnya. Akibatnya si korban marah serius kepada pelaku, padahal sebelumnya teman baik.

*** 

Menurut Prof Slamet Iman Santoso, simbol itu penting sekali buat memahami manusia (itu pekerjaan kami sebagai kami mahasiswa psikologi). Beliau memberikan contoh simbolik pada cerita wayang. Dalam wayang Purwa versi Jawa (Jawa Tengah dan Jawa Barat), ada tokoh Semar dan anak-anaknya (di versi India tidak ada). 

Semar ini, selain pengasuh para ksatria yang luhur budinya, juga merupakan penasihat spiritual mereka, karena sejatinya Semar adalah titisan Batara Ismaya, kakak dari Batara Guru, yaitu rajanya para dewa di Swargaloka. 

Karena itu, ketika ada Dewa Narada datang untuk menemui sang ksatria (misalnya: Arjuna) yang telah lulus ujian bertapa, maka Semar yang biasanya duduk menyembah pada Arjuna, tiba-tiba berdiri dan berbicara dalam bahasa Jawa ngoko (rendah) pada Narada yang juniornya. Sementara itu, Arjuna duduk menyembah dan berbahasa Jawa kromo (halus, tinggi, hormat) kepada Narada yang seorang dewa. 

Buat orang yang tidak memahami cara berpikir orang Jawa, tentu saja pembolak-balikan kedudukan atau status ini sangat membingungkan. Tetapi buat yang paham filsafat Timur, tidak masalah karena buat orang di Timur, dari India sampai Cina, logika itu tidak hitam-putih seperti cara berpikir orang Barat. Buat orang Barat, manusia ya manusia, dewa (angel) ya dewa, tidak bisa ditukar-tukar. Tetapi buat orang Timur, biasa. Dalam lambang Yin dan Yang, di dalam putih ada hitam, dan di dalam hitam ada putih.

Buat orang Jawa, Nyai Roro Kidul (makhluk halus) dipercaya sebagai istrinya Sultan Yogya (manusia biasa). Bahkan, ada orang kaya raya yang punya kesaktian ”babi ngepet”, kalau siang jadi bos, kalau malam jadi babi. Bos beneran, yang orang dari Benua Eropa, tambah bingung, ”Babi ya babi, orang ya orang, dong,” pikir dia. 

Namun, bos Eropa yang kebetulan berbangsa Prancis ini tambah bingung lagi ketika mau menikahi pacarnya yang orang Jawa. Orangnya sangat modern, tinggi semampai, dan cantik karena mantan finalis Miss Indonesia. Tetapi ketika menikah, kok banyak sekali simbol-simbol yang dia nggak ngerti. 

Ada malam midodareni, di rumah pengantin perempuan, di mana ia harus hadir tetapi tidak boleh masuk rumah dan dilarang bertemu dengan pengantin perempuan. Terus ada siraman, yaitu memandikan pengantin dengan air dari tujuh sumber, yang ditaburi tujuh macam bunga? Kenapa harus tujuh? Kenapa tidak satu saja? ”Heran saya,” katanya dalam hati. 

13

Page 14: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

Tetapi jangan salah, sesudah menikah dan bermukim di Prancis beberapa saat, sang istri justru heran melihat suaminya yang suka menangis. Di Indonesia hampir nggak ada cowok menangis, tetapi di Prancis konon laki-laki memang lebih cengeng daripada laki-laki bangsa-bangsa lain. 

Jadi benarlah kata pepatah: lain ladang lain belalang, yang artinya bahwa setiap masyarakat atau budaya mempunyai makna-makna sendiri, yang diwujudkan dalam simbol-simbol yang berbeda-beda. Karena itu, jangan gegabah menilai orang lain kalau kita belum mengenali budaya mereka.

14

Page 15: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

Syukuran dan Selamatan Nasional

Syukuran dan selamatan itu sebetulnya bisa diringkas menjadi satu: alhamdulillah. Ketika suatu pekerjaan penting selesai dengan baik ucapan apa yang paling tepat, cepat, dan spontan, selain alhamdulillah? Apa lagi yang harus dikatakan begitu melihat semua dalam keadaan selamat, selain alhamdulillah? Kenyataan bahwa kita bisa bersyukur pun tak ada sambutan lebih baik selain alhamdulillah.

Di sini, jadinya kita bersyukur karena kita bisa bersyukur. Bisa bersyukur itu sendiri sebuah berkah. Betapa ”menyimpang” tingkah laku kita bila kita tak mampu sekadar bersyukur. Bersyukur tidak selalu mahal dan memang tidak mahal. Asal kita punya hati, niscaya kita bisa bersyukur.

Syukuran, dan dalam konteks lain kita namakan selamatan, memang lebih mahal. Syukuran yang dalam arti tertentu juga selamatan itu wujud syukur yang dibikin lebih sosial dan lebih dari sekadar urusan pribadi. Adapun wujud dan pelaksanaan syukuran yang juga berarti selamatan tadi berbeda dan banyak variasinya antara satu masyarakat dan masyarakat lain. Kita juga bisa mengatakan itu berbeda antara satu jenis kebudayaan dan jenis kebudayaan lain.

Syukuran atau selamatan itu dilaksanakan di dalam bingkai yang sifatnya lebih umum, lebih merangkum, lebih akomodatif: kendurian. Kita tahu, kendurian itu bisa kecil, hanya menampung beberapa keluarga, tetapi bisa juga kendurian mengundang satu dusun atau kampung, satu desa, satu kecamatan, satu kabupaten, dan seterusnya, hingga kita pun mengenal ungkapan ”kenduri nasional”.

***

Kita ini ibaratnya hidup dalam bingkai syukur. 

Ada yang punya anak laki-laki, yang diberi nama Syukur atau Syakir untuk tanda bahwa dia bersyukur atau berharap si anak kelak menjadi anak saleh yang pandai bersyukur. Kalau kita dicermati dengan baik, akan tampak jelas bahwa hidup ini rangkaian syukur demi syukur yang begitu panjang dan kita bikin mapan, kokoh, tapi fleksibel dan rutin di dalam tradisi. Syukur itu kita tradisikan. Kita membangun rumah, syukuran. Memasuki rumah, syukuran. Pindah dari rumah itu, syukuran. Tiba di rumah berikutnya, kita juga syukuran. Pendek kata, kita ini bangsa yang sangat pandai menyelenggarakan syukuran. 

Kita merasakan bahwa syukuran itu bukan lagi unsur luar dari hidup kita. Dia sudah lama menjadi unsur dalam karena syukuran sudah menjadi kebudayaan kita. Mungkin kita ini memang si Syukur atau si Syakir.

15

Page 16: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

Sebetulnya syukuran atau selamatan itu konsep yang hidup di dalam alam kesadaran kita. Dia ada di wilayah psikologi. Tapi, kenduri atau kendurian lain lagi. Dia menghuni wilayah sosial kita. Kenduri menjadi wujud organisasi untuk terselenggarakannya gagasan syukuran atau selamatan tadi. Syukuran atau selamatan tanpa kenduri atau tanpa kendurian, si Syukur dan si Slamet akan kelihatan bisu, sunyi, tanpa bunyi tanpa suara, dan tanpa rupa. 

Soalnya, bisa saja syukuran dilaksanakan di dalam hati. Bisa pula suatu jenis selamatan yang dibingkai secara personal, sunyi dalam kesendiriannya, bahkan dalam kesendiriannya tadi bisa tanpa kata-kata.

***

Ada antropolog terkemuka Amerika, almarhum Clifford Geertz, yang mencatat fenomena yang kita bicarakan ini dengan sedikit rasa heran: ”Di pusat seluruh sistem keagamaan orang Jawa terdapat suatu upacara yang sederhana, formal, tidak dramatik, dan hampir-hampir mengandung rahasia: selamatan .” Ini dapat dibaca di dalam bukunya klasiknya, The Religion of Java, atau dalam versi terjemahan bahasa Indonesianya, yang diterbitkan Pustaka Jaya pada 1980-an yang lalu. 

Sesudah menyampaikan pernyataan itu Geertz bingung, ketika menambahkan: kadang-kadang disebut juga dengan kenduren. Bukan. Kenduren bukan sinonim, bukan kata lain, pun bukan sebutan lain dari selamatan tadi. Kenduren, bahasa Indonesianya ”kenduri” atau ”kendurian”, merupakan wadah, organisasi, wujud, dan bentuk event dari selamatan tadi agar selamatan punya dimensi sosial dan tampil ke dalam wilayah sosial kita.

Saat ini kita berada dalam suatu momentum ”kosong” ketika pemilu baru saja selesai. Kita menunggu pengumuman resmi KPU. Memang, dengan begitu, kita tahu pemilu belum selesai secara tuntas, semata karena masih menunggu formalitas pengumuman. Tapi, pemilu lewat dan segalanya berjalan lancar dan selamat, tak terjadi suatu gangguan apa pun. Apa anugerah sebesar ini tak layak kita sambut dengan agak sedikit meriah, boleh ada musik ”jreng” ”jreng”, ”jring” ”jring ”, boleh saja dengan suara-suara yang lebih membahana, seolah menggedor- gedor pintu langit, apa salahnya asal kita khusyuk? Juga tulus hingga ke dasar hati yang terdalam? Kita layak syukuran atau selamatan karena bukankah hajat nasional itu telah berlangsung slamet? 

Syukuran dan selamatan itu layak kita selenggarakan dalam suatu kenduri atau kendurian nasional. Semua pihak kita undang. Bahwa tak semua bisa hadir itu soal lain dan tak kita sebut sebagai ”soal”. Biarlah yang tak hadir itu tak hadir secara fisik, tapi semoga hatinya, jiwanya, bersama kita.

KPU-lah yang paling layak. Kalau budget KPU sudah mendekati kering, bisalah bergabung dengan lembaga lain, terserah, bahkan tidak memakai biaya pun kenduri nasional itu bisa diselenggarakan. Tanya saja pada relawan. Mereka ahli mengelola suatu event besar tanpa biaya. Apa yang dibicarakan dalam kenduri yang akan kita adakan itu? Tidak ada. 

16

Page 17: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

Ini bukan saat ketika kita harus berbicara. Sudah kelewat banyak yang kita bicarakan. Sudah banyak kata-kata kita hamburkan ke langit dan entah sekarang menempel di mana. Sejak kampanye, debat capres dan cawapres itu, kita bicara melulu. Bahkan banyak unsur dalam pembicaraan kita tadi yang bisa di golongan ”omong kosong” karena bicara akan berhenti pada bicara. Jadi bakal tak terlaksana. Lebih baik, kenduri nasional yang tak perlu memakai biaya negara itu diselenggarakan dengan uang rakyat yaitu orang-orang yang sudah luluh dengan ikhlas menjadi sukarelawan itu. Bukankah kalau biaya itu dikeluarkan dari anggaran pemerintah, artinya itu biaya rakyat juga? Tanpa rakyat, pemerintah tak pernah punya uang. 

Di tempat di mana kendurian diselenggarakan, tak perlu pidato, tak perlu sambutan, tak perlu pertanggungjawaban keuangan, karena bukankah tak tersedia uang apa pun dan berapa pun? Yang terjadi ialah kebisuan yang menggapai langit. Dalam bisu, Tuhan Mahatahu apa maksud yang disampaikan. Kita memuji syukur, dan syukur yang dalam, dan ikhlas yang tinggi, karena kita bisa menyelenggarakan pemilu yang bagus dan kita semua selamat. Syukur. Alhamdulillah. Puji Tuhan Yang Maha Terpuji, yang memberi kita keselamatan. Di sini bangsa kita bersyukur. Kita kenduri. Kita selamatan. Kita syukuran.

MOHAMAD SOBARY Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email: [email protected]

17

Page 18: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

Mendukung Palestina

Pecahnya konflik antara Israel dan Palestina pada Ramadan ini menambah daftar panjang konflik yang memakan ratusan korban jiwa di Gaza, Palestina. Israel dengan dalih operasi jaga perbatasan melakukan serangan-serangan brutal yang memakan korban sipil, termasuk perempuan, anak-anak, hingga kaum difabel. 

Meski begitu, masih saja ada kalangan yang menanggapi konflik ini dengan kacamata sinisme. Menganggap organisasi politik Hamas (Harakat Al Muqawwama Al Islamiyyah) pemicu konflik dengan melakukan penculikan terhadap tiga warga Israel meski belum ada bukti terkait keterlibatan Hamas.

Terlepas dari konflik terbaru, dunia tidak seharusnya alpa dengan kondisi Palestina selama ini. Hingga detik ini Palestina masih terjajah di negeri sendiri. Masuknya Palestina sebagai negara peninjau di PBB pada 2012 tampaknya tak berpengaruh banyak terhadap kebijakan luar negeri Israel. 

Tidak terhitung berapa perjanjian dan pelanggaran hak asasi manusia yang dilanggar Israel, termasuk penggusuran paksa wilayah Palestina di Tepi Barat. Israel juga terbukti mencederai demokrasi tepat setelah terpilih organisasi politik Hamas pada pemilu 2006. Alih-alih mengakui kemenangan Hamas, Israel malah memberlakukan blokade ekonomi terhadap Gaza pada 2007.

***

Saya berkesempatan mengunjungi Gaza pada Oktober 2012. Situasi di Gaza saat itu memang memprihatinkan. Sepanjang perjalanan dari perbatasan Rafah menuju Gaza Utara beberapa bangunan hancur terbengkalai. Hanya satu dua mobil tua terlihat melintas. Sesekali tampak gerobak sayur yang ditarik keledai berjalan lambat di jalanan yang lengang.

Geliat ekonomi Gaza baru terasa di tengah kota. Warung internet yang merangkap pusat pembelian sim card telepon didatangi beberapa wartawan dan mahasiswa. Yang menarik, saat saya mengaktifkan sim card lokal, data wilayah yang terbaca bukanlah Jalur Gaza, melainkan Israel. Seorang rekan jurnalis malah tidak bisa mengaktifkan handycam- nya. Tiap kali dinyalakan, layar handycam bertuliskan kalimat pemberitahuan bahwa posisi handycam bisa dilacak melalui satelit. Insiden handycam tak membuat kami jeri. 

Hari itu juga kami putuskan mengitari pusat kota dan mampir ke Pasar Gaza. Sekilas aktivitas jual beli tampak berjalan normal, tapi ternyata mayoritas produk yang dijual buatan Israel. Sisanya berasal dari Tepi Barat Palestina, Turki, dan Mesir. Yang paling menarik adalah penggunaan mata uang shekel, mata uang resmi Israel. Pemerintah di Gaza memang tidak diperbolehkan memiliki mata uang sendiri. Ini artinya kendali ekonomi sepenuhnya di tangan Israel.

18

Page 19: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

Tak puas memegang tali kekang ekonomi Gaza, Israel juga berusaha memutus mata pencaharian warga. Kebun kurma dan buah tin kerap hancur terkena serangan roket. Pabrik-pabrik tutup akibat pelarangan ekspor. Masa depan nelayan juga di ambang krisis. Seorang nelayan saat saya tanya mengenai hasil tangkapan menunjukkan ikan kecil di tangannya. ”Ini bukanlah ikan. Kucing saja tidak akan mau makan!” Ucapnya menahan marah. Sejak blokade diberlakukan, Israel memang melarang nelayan di Gaza melaut lebih dari 300 meter dari bibir pantai. Padahal biasanya mereka menangkap ikan sampai 5 kilometer dari darat. 

Jumlah nelayan akhirnya menyusut drastis dari lima ribu hingga tinggal ratusan saja. Jika melanggar aturan, tentara patroli laut Israel akan memberi tembakan peringatan atau bahkan memenjarakan mereka. Masuk penjara Israel adalah mimpi buruk. Hingga kini ada lima ribuan warga Palestina yang meringkuk di balik penjara Israel. Dua ratus di antaranya ditahan tanpa proses pengadilan. Seribuan lebih yang sakit tidak mendapat perawatan medis. Puluhan lain mengalami sakit mental dan cacat fisik akibat penyiksaan tentara Israel.

Usaha Hamas membebaskan para tahanan tercatat dalam tinta sejarah. Tentara Israel, Gilad Shalit, ditangkap Hamas pada 2006 dan ditahan selama lima tahun sebelum kemudian ditukar dengan seribu lebih tahanan Palestina pada 2011. Pencapaian yang hampir mustahil terjadi lewat jalur diplomasi. Warga Palestina pun menyambut haru kedatangan keluarga hasil pertukaran tahanan. Namun, setelahnya Israel kembali menangkapi puluhan tahanan yang bebas dengan alasan sumir.

Berbagai peristiwa semakin menunjukkan sikap permusuhan Israel terhadap seluruh warga Palestina. Tidak cukup melumpuhkan ekonomi, kebutuhan pokok seperti air pun secara semena-mena dibatasi. Menurut Badan Urusan Perairan Palestina (Palestinian Water Authority), hingga kini Israel menguasai lebih dari 85% suplai air dari seluruh sumber air di wilayah Palestina, dan menyalurkannya ke pemukim Israel. Sementara rakyat Palestina, termasuk Gaza, hanya mendapatkan 15%. Ketidakadilan tersebut berlanjut dengan pemberlakuan tarif air bagi warga Palestina dan gratis bagi warga Israel. Padahal pengelolaan air yang adil sudah pernah dibicarakan dalam Perjanjian Oslo Pasal 40 Tahun 1995. Namun, lagi-lagi, Israel mengkhianati perjanjian. 

Saya merasakan sendiri bagaimana tidak nyamannya mandi di hotel dengan air yang asin dan justru membuat kulit terasa lengket.

***

Sejarah panjang pengingkaran Israel akan berbagai perjanjian turut mencatatkan pesan bahwa dunia tidak berdaya melawan arogansi Israel, bahkan PBB sekalipun. Perundingan demi perundingan berakhir bagai omong kosong. Pada akhirnya Palestina tetap harus berjuang sendiri demi makanan, air bersih, kesehatan, keamanan, dan yang paling penting kemerdekaan negaranya. Jadi mestikah diherankan muncul brigade Al-Qassam saat janji Israel tak lagi bisa dipegang? 

Sayap militer partai Hamas itu bergerak secara gerilya. Tidak ada yang mengetahui identitas

19

Page 20: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

mereka selain keluarganya. Beruntung, saya berhasil menemui satu peleton pasukan Al-Qassam saat patroli malam. Stigma ganas yang melekat pada brigade ini sama sekali tidak terasa saat berbincang dengan mereka. Kebanyakan dari mereka masih muda, bahkan ada yang umurnya baru 16 tahun. Profesinya pun bermacam-macam, mulai dari mahasiswa, dosen, hingga pekerja pabrik. Mereka secara sadar bergabung tanpa dibayar sepeser pun. 

Meski antusiasme warga Palestina tinggi, ada seleksi ketat yang membuat tidak semua orang bisa bergabung. Kriterianya antara lain kemampuan menghafal Alquran, menjalankan salat berjamaah di masjid tiap waktu, hingga tidak memiliki tanggungan utang apa pun dan diikhlaskan keluarganya. Meski berasal dari sipil, kemampuan pasukan Al-Qassam tidak diragukan. Senjata seperti senapan dan granat dirakit sendiri. Beberapa ada yang teknologinya diadopsi dari negara lain. November 2012, Al-Qassam menyentak Israel kala roket Fajr 5 teknologi Iran berhasil menjangkau Tel Aviv.

Inilah pertama kalinya sirene peringatan menggaung keras di ibu kota Israel. Segera setelahnya, Israel mau meneken perjanjian gencatan senjata. Gencatan senjata yang disambut sukacita warga Gaza menunjukkan bahwa bukanlah perang yang diinginkan. Mereka hanya ingin merebut kembali kemerdekaan yang dicerabut paksa. Ketidakadilan yang menimpa bangsa Palestina kadang terlalu samar untuk terdengar ke seluruh penjuru dunia. Saat konflik berkecamuk, barulah dunia teringat kembali bahwa masih ada satu negara di dunia ini yang belum merasakan nikmat kemerdekaan. Maka itu, sudah sepantasnyalah kita mendudukkan perkara Palestina bukan sekadar berteriak mengutuk atau mencari siapa yang lebih dulu menyerang. 

Ini juga bukan persoalan agama. Ada puluhan ribu umat Kristiani yang tinggal di Tepi Barat maupun Gaza. Berbagai suku juga tinggal di sana, termasuk suku Arab Baduy yang hidup nomaden. Mendukung Palestina adalah perkara mengejawantahkan konsistensi kita akan perjuangan melawan penindasan dan ketidakadilan. Ia juga menjadi parameter penghargaan kita terhadap hak untuk merdeka dari segala bentuk penjajahan di muka bumi ini. Seperti yang diucapkan Nelson Mandela, mantan presiden Afrika Selatan, kemerdekaan kita semua sejatinya tidak akan pernah lengkap tanpa kemerdekaan Palestina. 

ELLA DEVIANTIJurnalis

20

Page 21: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

Mengetuk Nurani

Empat tahun silam, tepat sepekan sebelum Ramadan, saya menginjakkan kaki di tanah Gaza, Palestina bersama para relawan dari Tanah Air. Selama hampir dua pekan saya berada di wilayah konflik yang berkepanjangan itu dan melihat langsung bencana kemanusiaan yang menyesakkan hati.

Belakangan ini memori pilu kembali muncul tentang pengungsi yang berdesakan di Camp Jabaliyah akibat zionis Israel membombardir kawasan Gaza, tepatnya di Beit Al Hanun, Beit Lahiya (Gaza Utara) dan wilayah Khan Yunis. Kini kejadian serupa kembali terulang, intensitas serangannya pun cukup gencar dan yang menewaskan ratusan korban sipil yang tak berdosa serta ribuan orang terluka. Mempertahankan diri dijadikan argumen dalam aksi genosida.

Waktu bergulir begitu cepat. Tidak ada perubahan yang mendasar yang tercipta di tanah Palestina meski kita memang harus terus berdoa agar kemerdekaan Palestina benar-benar terwujud, tidak terjadi lagi penjajahan terhadap warga negara Palestina.

***

Dunia seharusnya sadar bahwa penjajahan Israel atas Palestina merupakan aib terhadap peradaban manusia modern yang harus segera dihapus. Pemberitaan soal kepiluan dan penderitaan rakyat Palestina di Jalur Gaza sudah sering menghiasi ruang publik. Berita itu memang fakta yang perlu dipublikasikan agar kita sesama muslim mempunyai empati terhadap saudara-saudara kita yang tengah berjuang membebaskan wilayahnya dari cengkeraman kaum zionis.

Sebenarnya jika kita berkaca, bukan hanya rakyat Palestina yang tengah dalam ujian dari Allah ini, melainkan kita sebagai pribadi muslim di seluruh dunia tengah diuji bagaimana sikap dan kepedulian kita terhadap penderitaan mereka. Ini yang ditegaskan Allah dalam firman-Nya bahwa sesama muslim adalah bersaudara (QS.49:10).

Konflik panjang yang terjadi dan merenggut ribuan nyawa tak berdosa ini memang tidak lepas dari campur tangan asing yang bermain. Sementara negara-negara Islam maupun organisasi yang menaunginya juga tidak berdaya jika sudah terjadi perang berkecamuk. Beberapa negara Islam yang semestinya menjadi ujung tombak sejumlah bantuan untuk rakyat di Palestina justru tengah dilanda konflik internal di negaranya serta ada dalam transisi pucuk kekuasaan.

Kita menyaksikan ada dua negara Arab besar yang memboikot KTT darurat Liga Arab di Doha, Qatar yang sedianya direncanakan menghasilkan keputusan yang ”keras” dan efektif

21

Page 22: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

untuk menghentikan kebiadaban Israel. Mesir yang menjadi negara tetangga Palestina juga tidak berkutik di bawah bayang-bayang Amerika Serikat dan sekutunya. Mesir sebagai negara yang berbatasan langsung dengan Jalur Gaza seharusnya lebih kooperatif segera membuka pintu perbatasannya melalui Raffah agar sejumlah bantuan yang akan masuk, baik peralatan medis, obat-obatan, makanan, maupun relawan dari berbagai negara yang akan masuk lewat Jalur Gaza tidak menemui kendala. Berbagai pihak menyesali kebijakan Mesir yang melakukan buka-tutup gerbang Raffah seolah Mesir menganggap remeh penderitaan para korban.

***

Kita memang harus menggelorakan hasrat kita untuk membantu perjuangan rakyat Palestina yang tengah tertindas. Minimal doa yang bisa kita sampaikan bisa menjadi salah satu upaya untuk memberi spirit warga Palestina yang tengah terluka. Bagaimanapun perang yang terjadi adalah perang yang tidak seimbang. Jika kita menilik sejumlah peralatan perang yang dimiliki kedua belah pihak, terlihat kejomplangan yang luar biasa. Selama ini sayap militer Hamas yaitu Brigade Assyahid Izzuddin Al Qassam ini masih mengandalkan sejumlah peralatan tempur seadanya walaupun sudah memiliki beberapa roket yang cukup canggih.

Sementara pasukan Israel memiliki berbagai senjata modern ditopang teknologi canggih. Mereka memiliki tank Markava yang sudah terkenal hebat di dunia, pesawat tempur F16, heli tempur Apache, serta ribuan ton bom canggih buatan Amerika Serikat. Namun, hasil pertempuran selama ini tidak dapat diprediksi. Hingga kini negara penjajah tersebut kehabisan cara untuk bagaimana menguasai Jalur Gaza sehingga menargetkan kalangan sipil termasuk wanita dan anak-anak dalam setiap serangan. Namun, selalu saja muncul pertolongan Allah yang datang mengiringi pasukan mujahidin yang digambarkan Allah: ”Jika kamu menolong agama Allah, niscaya Dia akan menolongmu sekaligus meneguhkan kedudukanmu.”( QS 47:7)

 ***

Perdamaian di antara dua negara tersebut tampaknya tidak mungkin kita sandarkan kepada Dewan Keamanan PBB (DK PBB). Setiap upaya diplomasi yang dilakukan beberapa negara dalam mencari solusi keamanan selalu menemui jalan buntu. DK PBB gagal menetapkan resolusi dan mengkriminalisasikan pelaku kejahatan perang Israel. Selalu saja negara-negara pembela keadilan bagi Palestina kalah oleh hak veto yang menjadi jurus kunci negara-negara adidaya.

Kita juga tidak bisa menaruh kepercayaan kepada pihak-pihak yang tengah bertikai selama ini. Sebut saja gagasan perdamaian yang digagas dua kubu berseteru yakni Hamas dan Fatah di Palestina sendiri berakhir dengan antiklimaks, nihil. Entah harus berapa banyak lagi nyawa harus melayang untuk menjadikan negara Palestina merdeka, berdaulat, berdiri di atas kaki sendiri.

22

Page 23: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

Kini saatnya Indonesia sebagai salah satu negara dengan penduduk mayoritas muslim terbesar di dunia dan beberapa negara Islam lain bersatu lakukan langkah konkret untuk saudara-saudara kita yang teraniaya oleh zionis. Bukankah jauh sebelumnya pada 1962 presiden pertama kita Bung Karno di forum resmi Perserikatan Bangsa-Bangsa sempat berkata: ”Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, selama itulah bangsa Indonesia berdiri menantang terhadap penjajahan Israel”.

Pemerintah Indonesia harus proaktif melakukan diplomasi menggalang negara-negara nonblok dan Organisasi Kerjasama Islam (OKI) untuk ikut peduli dan bertanggung jawab terhadap penderitaan rakyat Palestina. Jangan merasa sudah cukup hanya melakukan pengecaman terhadap aksi biadab Israel, tapi tidak melakukan langkah konkret dengan cara diplomasi internasional yang akurat dan nyata. Negara-negara Islam yang selama ini tidur juga harus menjadi garda terdepan mengambil langkah konkret dengan upaya menggalang negara-negara nonblok untuk menerjunkan pasukan perdamaiannya menjaga bumi Palestina agar Israel tidak senaknya meluncurkan roket perangnya ke wilayah Palestina.

MASHURI NS Jurnalis SINDO TV

23

Page 24: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

Belanda, Brasil, dan Leuser

Ketika tim Oranje, Belanda, mengalahkan tim Samba, Brasil, di Estadio Nacional, Kota Brasilia, Sabtu (12/7/014) dengan skor 3-0, ingatan saya tiba-tiba tertuju pada kepedulian kedua negara tersebut dalam mengelola lingkungan hidupnya.

Brasil adalah negara besar dengan luas lima kali Indonesia—mempunyai hutan tropis yang amat terkenal di Lembah Amazon. Berbagai cerita menakjubkan tentang hutan belantara Amazon ini sering kita lihat melalui film-film Hollywood. Bagi masyarakat dunia, Amazon adalah sebuah ”tempat konservasi flora fauna terbesar di dunia dengan megadiversiti yang luar biasa banyaknya. Sampai hari ini tiap tahun selalu ditemukan spesies baru di hutan Amazon yang luas tersebut.

Di samping sebagai hutan konservasi yang menyimpan banyak kekayaan alam, Amazon juga berfungsi sebagai ”paru-paru planet bumi” terbesar di jagat ini. Dengan segala kebesarannya, Brasil dengan tim Samba adalah manifestasi dari sebuah negara yang punya tanggung jawab besar untuk menyelamatkan dunia dari deraan global warming dan peningkatan kadar gas karbon dioksida di atmosfer. Apakah ”manifesto” itu yang menyebabkan tim Samba menjadi kesebelasan elite dunia dan Brasil menjadi ”gudang” pemain-pemain bola terbaik di dunia? Wallahualam!

Tapi, apa yang terjadi pada Piala Dunia 2014 di Brasilia? Tim Samba dari negeri besar ini ternyata dikalahkan oleh tim Oranje dari negeri liliput, Belanda. Luas negeri Belanda lebih kecil dari Jawa Barat. Sedangkan luas Brasil lima kali Indonesia. Apakah kekalahan itu terjadi karena Belanda lebih peduli pada alam, sedangkan Brasil tak memedulikannya? Entahlah!

Inilah gambarannya: Kawasan hutan Amazon—hutan tropis terluas di dunia—kini mengalami kerusakan yang parah. Tiap tahun kerusakan hutan di Amazon mencapai 26.130 km persegi atau sekitar enam lapangan bola setiap menit. Hampir separuh kerusakan hutan itu terjadi di Negara Bagian Mato Grosso.

Di Mato Grosso inilah terdapat ladang-ladang kedelai yang amat luas untuk pabrik susu (kedelai) dan produk lainnya. Di Mato Grosso industri kedelai telah merusak hutan secara ilegal. Kondisi itu masih terus berlangsung hingga sekarang. Lebih dari 70% hutan Amazon hilang pada 2004. Seterusnya luas hutan itu tiap tahun makin mengkeret.

Banyak pihak menyalahkan kebijakan Presiden Lula da Silva yang terlalu ambisius untuk melaksanakan program perbaikan ekonomi. Atas nama mengurangi kemiskinan rakyat Brasil, Presiden Lula membuka sawah besar-besaran dan imbasnya menghancurkan hutan tropis Amazon.

Data-data terbaru menunjukkan kerusakan hutan hujan tropis Amazon meningkat hingga

24

Page 25: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

enam kali lipat. Citra satelit terbaru yang dirilis Institut Riset Angkasa Luar Brasil menunjukkan penggundulan hutan meningkat dari 103 km persegi di Maret dan April 2010 menjadi 593 km persegi dalam periode sama, 2011. Sebagian besar kerusakan hutan itu terjadi di negara bagian Mato Grosso, pusat pertanian kedelai di Brasil.

Kini Brasil mengembangkan peternakan sapi besar-besaran, membuka lahan pertanian secara masif dan hasilnya, hutan basah Amazon pun terdegradasi secara sangat memilukan. Akibat itu, dunia menjerit. Paru-paru bumi Amazon yang kini porak-poranda jelas mengakibatkan temperatur bumi naik. Padahal, kenaikan suhu bumi 2 derajat Celsius saja bisa menyebabkan negara-negara pulau di Samudra Hindia dan Pasifik bisa tenggelam. Vanuatu, Karibati, dan Seychelles misalnya kini terus meradang karena wilayahnya makin hari makin terendam air laut.

Lain Brasil lain pula Belanda. Negeri ”seribu” polder untuk mengamankan diri dari luapan air laut ini sekarang menyadari ”kesalahannya” dalam mengelola alam. Bendungan-bendungan raksasa di sepanjang pantai Belanda kini menjadi saksi bisu betapa negeri yang sepertiga wilayahnya berada di bawah permukaan air laut itu tak berdaya menghadapi alam.

Permukiman dan pertanian di lahan hasil reklamasi itu ternyata biayanya amat mahal dan makin lama biayanya makin membumbung. Jika demikian, untuk apa bermukim dan bertani bila biaya untuk mengolah lahan itu terus membumbung? Di bawah master plan for nature yang berwawasan ke depan, pemerintah Negeri Kincir Angin itu membeli lahan hasil reklamasi ratusan ribu hektare dari penduduk untuk menghentikan perusakan lanskap Belanda. Saat ini sudah 240.000 hektare tanah pertanian hasil reklamasi disulap menjadi hutan, rawa, dan danau. Kebijakan tersebut mendapat dukungan Masyarakat Eropa (ME).

ME menyaratkan setiap petani harus menyediakan 15% lahannya untuk mendukung kelestarian lingkungan jika ingin produk pertaniannya berkualitas dan diterima pasar Eropa. Belanda misalnya telah berhasil menghijaukan dan menghutankan wilayah Mijdrecht, 16 km selatan Amsterdam—sebuah wilayah reklamasi yang berada 6 meter di bawah permukaan laut. Wilayah Mijdrecht kini telah dikosongkan dan menjadi padang rumput, rawa, danau, hutan, dan lain-lain yang mendukung keasrian lingkungan. Negeri Belanda yang petani dan peternaknya menghasilkan produk pangan ”terbaik” di dunia kini mulai menyadari betapa pentingnya mengembalikan sebagian lahan pertaniannya untuk mendukung pembangunan ekosistem agar tidak merusak alam.

Belanda—negeri kecil yang menyimpan pemain-pemain bola terbaik di dunia—juga giat ”mengalamkan” lahan-lahan pertanian rekayasa hasil reklamasinya. Tujuannya satu: sustainabilitas kehidupan rakyatnya terus berlangsung tanpa gangguan. Memang mahal, tapi bila dilakukan secara terprogram dan serius, hasilnya sangat bagus. Rakyat sehat, negara aman, dan bibit-bibit pemain bola mumpuni makin tumbuh karena makin banyak tanah lapang untuk latihan sepak bola.

Lalu, bagaimana Indonesia? Indonesia disebut sebagai negeri perusak alam. Mau lihat contohnya?

25

Page 26: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

Datanglah ke hutan lindung, kawasan konservasi, dan taman nasional. Di sana kita akan menemukan ”kerusakan alam” yang mengerikan. Hutan lindung sebagai penyelamat wilayah di sekitarnya, sebagian besar hancur. Perkebunan sawit dan alih fungsi hutan telah merusak hutan lindung yang amat berharga itu. Salah satu kawasan ”mahal” yang kini dirusak secara sistematis adalah Taman Nasional Gunung Leuser yang membentang di punggung Pulau Sumatera. Perusakan di kawasan ekosistem Leuser di wilayah Aceh misalnya diduga dilakukan secara sistematis, bahkan dilegalkan pemerintah.

Status Leuser sebagai kawasan strategis nasional yang memiliki fungsi lindung diabaikan demi mewadahi kepentingan perkebunan, pertambangan, dan infrastruktur lain (Kompas, 13/6/014). Kawasan lindung ekosistem Leuser menjadi tempat berbagai satwa endemis seperti badak sumatera, harimau sumatera, dan orangutan sumatera, dan lain-lain. Sementara gajah yang selama ini hidup aman di kawasan Leuser kini mulai ”keluar” dari habitatnya.

Gajah-gajah itu kini sering ”perang” melawan manusia yang murka. Tentu saja, gajah kalah. Puluhan gajah dibantai dan diracun manusia. Hutan di Leuser, tempat tinggal gajah itu, kini rusak, bahkan hancur. Yang menghancurkannya adalah manusia yang mengatakan ingin membangun perekonomian negara. Padahal apa yang disebutnya ”ekonomi” bila menghancurkan alam sesungguhnya adalah ”degronomi”. Sebuah konsep ekonomi yang mendegradasikan dan merusak masa depan!

HADI S ALIKODRA Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB 

Siapkah Kita Menghadapi Perubahan?26

Page 27: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

Lebih dari 30 tahun yang lalu, para futurolog sudah meramalkan ihwal yang kita alami hari ini. Alfin Toffler dengan Future Shock (1970) meramalkan bahwa di kemudian hari (yaitu: sekarang) manusia akan bergeser dari ihwal yang tahan lama (awet), ke ihwal yang instan. 

Mi instan adalah contohnya dalam bidang kuliner. Ada lagi ballpoint dan pembalut wanita yang sekali pakai buang. Prinsipnya sama semua yaitu Bispak-wang (habis pakai dibuang). Dalam bukunya yang lain, The Third Wave (1980), Toffler meramalkan revolusi teknologi informasi yaitu pengetahuan yang berkembang sangat cepat sehingga kehidupan manusia akan berubah bukan beberapa abad sekali (revolusi gelombang pertama: pertanian) atau beberapa tahun sekali (gelombang kedua: industri), tetapi revolusi akan terjadi setiap hari, padahal tidak ada revolusi yang tidak makan korban. 

Sementara Schumacher dalam bukunya, Small is Beautiful (1973), mengatakan bahwa preferensi manusia akan berubah dari yang serbabesar menjadi serbakecil. Perusahaan besar ambruk, digantikan dengan perusahaan kecil-kecil. Rusia bubar, muncul negara-negara kecil. Di Indonesia daerah-daerah terpecah-pecah menjadi lebih kecil-kecil. KB berubah artinya dari Keluarga Besar menjadi Keluarga Berencana (maksudnya: keluarga kecil). 

Futurolog lain, John Naisbitt dan istrinya, Patricia Abuderne, dalam buku mereka, Mega Trend 2000 (1991), meramalkan bahwa peran wanita akan berubah secara signifikan, manusia akan bertambah makmur, tetapi tidak bertambah bahagia (nepotisme, bunuh diri, penyalahgunaan narkoba dan sebagainya makin banyak). Agama akan hidup kembali, tetapi bukan menimbulkan kedamaian, melainkan justru menimbulkan eksklusivisme, radikalisme, kekerasan, dan konflik sektarian.

Futurolog berikutnya (walaupun bukan yang terakhir) adalah Thomas L Freedman yang menulis buku berjudul The World is Flat (2005). Dia mengatakan bahwa orang sekarang bisa berhubungan dengan siapa saja di seluruh dunia secara langsung dengan real time dan data yang akurat, tanpa harus melalui pihak mana pun (pemerintah, pemimpin, organisasi, dan sebagainya). Cukup dengan Facebook atau Twitter dan sebuah handphone. Dengan begitu, setiap orang punya kesempatan yang sama untuk maju.

***

Para futurolog tersebut bukan nabi atau rasul yang bisa meramal karena mendapat wahyu Tuhan. Mereka orang biasa yang kebetulan berprofesi sebagai ilmuwan yang menggunakan dalil-dalil dan perhitungan-perhitungan ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan. 

Pada 1974 dalam bukunya, The Tao Physics, seorang sarjana fisika bernama Fritjof Capra, mengklaim bahwa dunia fisika modern mempunyai hukum-hukum yang paralel dengan mistik tradisional Timur Kuno. Yang dimaksud oleh Capra adalah temuan fisikawan Max Planck (penerima Hadiah Nobel Tahun 1918) dan kawan-kawannya bahwa atom, sebagai

27

Page 28: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

materi yang terkecil, masih bisa diuraikan lagi dalam bentuk energi yang dinamis sampai sebesar 1/80.000 tipisnya rambut (jembatan Shirathal Mustaqim saja serambut dibelah tujuh). 

Jadi, benda dalam bentuknya yang terkecil bukan berbentuk materi yang masif dan kaku, melainkan energi yang dinamis dan fleksibel. Ilmu fisika yang mempelajari energi-energi terkecil ini disebut quantum physics. Pandangan Capra kemudian mendorong para fisikawan untuk mengolah energi-energi itu sedemikian rupa sehingga bisa mengecilkan benda sampai 1/50.000 dengan mekanisme yang disebut sebagai teknologi nano (lebih kecil dari atom). 

Teknologi nano inilah yang kemudian memungkinkan para pakar untuk mengembangkan telepon cerdas (smartphone) yang hanya sebesar genggaman tangan, tetapi berisi berbagai features seperti telepon, texting (SMS, WA, BBM), kamera film dan foto, komputer, kalkulator, buku alamat, catatan-catatan, kalender, jam, dan masih banyak lagi, yang kalau dikumpulkan dalam ukuran aslinya bisa memenuhi sebuah hanggar pesawat udara.

Revolusi teknologi lain adalah teknologi genome, yaitu teknologi genetika, yang memungkinkan manusia (melalui ilmu kedokteran) melakukan pencangkokan anggota tubuh, ovulasi dalam tabung (bayi tabung), memperpanjang usia harapan hidup, bahkan mungkin juga kloning manusia. Di bidang rekayasa tanaman, kita sudah menyaksikan semangka yang berbentuk kotak (agar lebih mudah dikemas dalam boks), jeruk tanpa biji, budi daya ikan, unggas, dan ternak sehingga manusia tidak perlu lagi berburu di alam liar dan sebagainya. Akhirnya terjadilah revolusi TI (teknologi informasi) yang memungkinkan hubungan antarpribadi bisa cepat dan akurat, massal, dan real time. 

Berdasarkan temuan-temuan dalam ilmu pengetahuan itulah, para futurolog mengembangkan ramalan-ramalannya tentang perubahan pada masa yang akan datang yang hari ini sudah mulai kita rasakan. Siapa tahu pada masa depan kita bisa mudik Lebaran dengan memasukkan semua oleh-oleh yang mau dibawa ke dalam flashdisc sehingga kita tidak perlu bawa barang berat-berat.

***

Pertanyaan kita sekarang, siapkah kita mengalami perubahan? 

Seperti telah diramalkan Nisbett dan Abuderne, manusia akan bertambah sejahtera, tetapi tidak bertambah bahagia. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), incest, narkoba, terorisme, bullying (sampai menyebabkan korban jiwa, termasuk anak sekolah dasar), dan sebagainya masih terus saja terjadi. Orang kemudian menyalahkan pada kurangnya pendidikan agama dan hilangnya pendidikan budi pekerti. Anggapan ini salah selama hanya dilakukan pada tingkat pengetahuan dan hafalan seperti yang selama ini dilakukan di sekolah-sekolah. 

Apalagi agama. Kalau diajarkan secara rasional saja, justru akan menimbulkan fanatisme dan radikalisme. Jadi, yang kita perlukan sekarang adalah kesiapan mental untuk menghadapi

28

Page 29: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

perubahan-perubahan yang drastis seperti yang disebutkan di atas. Tetapi, siapkah kita menghadapi perubahan peran gender? Sebagai contoh, zaman sekarang kemajuan teknologi memberi peluang yang sama besarnya kepada perempuan dan laki-laki. 

Bahkan tidak jarang perempuan lebih sukses daripada laki-laki. Tetapi, pelajaran di sekolah dasar masih mengajarkan: ”Ayah pergi ke kantor, ibu pergi ke ..... pasar”. Padahal zaman sekarang ayah juga pergi ke pasar (maksudnya: pasar swalayan), tetapi masih banyak sekali ayah yang tidak mengizinkan istrinya bekerja, dan kalau sang istri bekerja dan lebih sukses, sang suami marah dan KDRT pada istrinya.  

SARLITO WIRAWAN SARWONO Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia  

Mengatasi Rumor Kerusuhan

29

Page 30: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

Ada kabar menakutkan saat Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan hasil rekapitulasi Pemilihan Presiden pada 22 Juli 2014.

Kabar yang telanjur merebak itu menyebutkan kerusuhan besar bakal meletus di negeri ini. Bayangan mengenai kekerasan massa yang terjadi pada pertengahan Mei 1998 pun mencuat dalam ingatan. Pusat-pusat perbelanjaan dibakar. Penjarahan terjadi di mana-mana. Aparat keamanan negara lenyap bagai ditelan kekacauan yang berjalan sistematis. Massa yang bertindak anarki menyerang kelompok etnis minoritas. Ternyata kabar itu tidak terbukti. Jakarta, dan kota-kota lain, aman-aman saja.

Kabar tentang kerusuhan yang tidak jelas sumber informasinya itu dinamakan rumor. Dalam bahasa sehari-hari disebut isu. Namun, rumor politik yang serba menyeramkan sehingga publik dicengkeram kecemasan itu, tidak gampang diredakan. Meskipun aparat negara telah menyiagakan ribuan pasukan dan pejabat pemerintah melontarkan pernyataan yang berupaya memadamkan kobaran kabar keliru tersebut, rumor itu justru menjalar semakin besar. Rumor bergerak sebagaimana bola api salju yang siap menelan siapa pun yang diterjangnya. Semakin bola api rumor itu berupaya dipadamkan, ironisnya, justru semakin berkobar-kobar.

Merebaknya rumor politik yang menciptakan ketakutan itu juga tidak terlepas dari hasil hitung cepat (quick count) yang dijalankan lembaga survei. Ada lembaga survei yang memenangkan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Namun, ada pula lembaga survei yang memenangkan Joko Widodo- Jusuf Kalla. Itulah peristiwa pertama dalam pemilihan presiden yang memperlihatkan hasil hitung cepat berbagai lembaga survei terbelah menjadi dua kubu yang berlainan. Hasil hitung cepat lembaga survei itu dijadikan klaim menyatakan kemenangan. Jika rekapitulasi suara yang dilakukan oleh KPU bertentangan dengan hasil hitung cepat yang dijadikan dasar pernyataan, ada potensi konflik politik dan hukum yang memang dapat meletup.

Situasi Kerumunan

Rumor merupakan fenomena yang terjadi dalam suasana kolektivitas, yakni situasi kerumunan manusia. Namun, kerumunan dalam konteks rumor bersifat sangat menyebar, melampaui geografi yang demikian luas. Inilah perbedaan yang kuat antara rumor dan demonstrasi yang berakhir anarki, misalnya. Demonstrasi terjadi dalam ruang geografis yang spesifik. Sementara itu, rumor tidak bisa dipastikan aspek jangkauan geografisnya. Terlebih lagi dengan kehadiran teknologi komunikasi dan informasi, rumor justru tidak gampang dijinakkan.

Demonstrasi yang rusuh dapat dikendalikan oleh ratusan atau ribuan polisi terlatih. Namun, rumor yang mengabarkan tentang kerusuhan tidak dapat dikendalikan oleh aparat negara yang sama. Rumor tidak mudah dijinakkan bukan saja karena alasan geografis, melainkan juga karena aspek psikologis yang ada di dalamnya. Seseorang akan mengingat dan

30

Page 31: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

menyebarkan rumor, demikian Paul B Horton dan Chester L Hunt (Sociology, 1964), menguraikan, apabila rumor itu mampu melepaskan, membenarkan, dan menjelaskan ketegangan-ketegangan yang dialaminya. Jadi, rumor memang terkait demikian kuat dengan tensi sosial yang terjadi.

Semakin tinggi ketegangan sosial yang menimpa masyarakat, maka merebaknya rumor bisa diandaikan layaknya padang ilalang kering yang mulai terbakar pada sebuah bagian kecil. Seiring angin bertiup kencang, dengan sendirinya bagian-bagian yang lebih luas dari padang ilalang itu pun bakal hangus. Ketegangan akibat suhu politik yang terus memanas memang tidaklah mudah diturunkan. Di sinilah tensi dari individu-individu yang mengidentifikasi diri sebagai kelompok-kelompok sosial yang kemungkinan besar dijadikan sebagai objek dalam kerusuhan semakin meningkat.

Merebak pula rumor bahwa kalangan etnis minoritas yang biasa menjadi sasaran amuk massa telah menyiapkan evakuasi ke Singapura. Berbagai aset bisnis yang mereka miliki pun sudah diasuransikan. Ini semua adalah langkah-langkah antisipasi yang sebenarnya rasional dilakukan. Pasalnya, harkat hidup manusia tidak boleh dikorbankan oleh hasrat berkuasa segelintir oknum. Namun pada sisi lain, kalau semua itu tersulut akibat rumor politik merupakan hal yang irasional.

Suasana Ketidakpastian

Rumor, sebagai informasi yang tidak dapat dipastikan kebenarannya, mampu merebak dengan kuat akibat suasana ketidakpastian yang terus merebak. Hasil hitung cepat yang berlainan menjadikan ketidakpastian politik meninggi. Penghitungan suara yang ditingkahi perilaku kecurangan juga memperkeruh suasana yang telah tidak pasti ini.

Terlebih lagi pernyataan-pernyataan dari kalangan elite politik yang terlibat dalam pemilihan presiden makin menajamkan ketidakpastian karena masing-masing pihak telah menyatakan klaim kemenangan. Perbedaan seakan-akan semakin ditajamkan. Akan tetapi, rumor jelas-jelas bisa diredakan jika dikenali sejumlah karakteristiknya.

Ada tiga sifat dasar rumor, ungkap John J Macionis (Sociology: 14th Edition, 2012). Pertama, rumor merebak dalam iklim sosial yang mengalami ketidak-pastian. Kedua, rumor bersifat tidak stabil. Dan ketiga, rumor sulit dihentikan.

Pada sifat yang pertama ditunjukkan bahwa rumor terjadi karena masyarakat tidak memiliki informasi yang jelas dan dijamin kebenarannya pada pokok persoalan tertentu. Pada sifat kedua, rumor gampang sekali berganti-ganti karena setiap individu yang menerima rumor akan melakukan pemelintiran sesuai dengan kepentingannya sendiri-sendiri. Pada ciri ketiga, rumor sulit diredam perluasannya karena setiap orang segera berkirim rumor dalam jejaring sosial dengan menggunakan teknologi yang semakin canggih.

Rumor tentang kerusuhan, ternyata, mampu diatasi dengan sejumlah langkah. Pertama,

31

Page 32: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

negara memberi jaminan keamanan bagi setiap warga. Bukan hanya melalui pernyataan, melainkan juga langkah-langkah nyata. Kedua, aparat keamanan disiagakan dengan melakukan gelar pasukan secara kontinu.

Ketiga, masing-masing calon presiden-wakil presiden selalu mengimbau kepada para pendukungnya untuk tidak mengerahkan massa dan menerima keputusan politik apa pun yang terjadi. Keempat, pihak media massa mampu menyajikan pemberitaan yang benar-benar telah dikonfirmasi, sehingga masyarakat bisa mendapatkan kepastian informasi. ●

TRIYONO LUKMANTORO Dosen Sosiologi Komunikasi, FISIP Universitas Diponegoro Semarang

Mudik, Kerinduan & Kematian

32

Page 33: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

Jauh sebelum Lebaran tiba orang-orang yang akan mudik dari Jakarta dan kota-kota besar lain di Indonesia dengan perasaan berbunga-bunga telah merencanakan pulang kampung. Ada pijar-pijar nostalgia, binar-binar kerinduan, dan gebyar hasrat temu kangen dengan ayah ibu, keluarga, dan kerabat di kampung halaman. Mereka akan saling lepas rindu, bersilaturahmi, dan berlebaran di kampung halaman tercinta.

Untuk keperluan mudik sebagian mereka mulai menyervis mobil pribadi untuk membawa istri dan anak tersayang ke kampung halaman. Sepeda motor pun dipersiapkan untuk mudik dengan menempuh jarak yang jauh. Sebagian pergi ke tempat-tempat penyewaan mobil untuk menyewa mobil. Sebagian lagi memesan tiket pesawat, kereta api, atau bus untuk dirinya sendiri maupun untuk keluarga. Pelayanan pemesanan tiket pesawat dan kereta api dipermudah karena dapat dilakukan melalui internet secara online.

Mudik Lebaran adalah siklus ritual tahunan. Mengapa harus mudik? Jawabannya sangat simpel. Karena ia telah menjadi tradisi yang dilakukan secara turun-temurun, dari generasi ke generasi. Tradisi Lebaran (dengan segala kebiasaan mudiknya) sebenarnya merupakan tradisi khas Melayu (Indonesia dan Malaysia). Di negara-negara Arab di Timur Tengah, Idul Fitri tidak begitu meriah dirayakan. Yang dirayakan secara besar-besaran adalah Idul Adha karena waktunya terkait dengan upacara pelaksanaan ibadah haji. 

Di Indonesia, mudik Lebaran dilakukan karena banyak orang Islam ingin berlebaran di kampung halaman, bersilaturahmi, bersyawalan, memohon maaf kepada orang tua, bermaafan dengan keluarga, sanak saudara, dan kerabat. Tradisi mudik itu bagus. Sebenarnya, ajaran bermaafan dalam Islam tidak harus dilakukan pada saat Lebaran. Segera setelah seorang muslim membuat kesalahan, ia wajib minta maaf kepada orang yang terkena kesalahan.

Untuk memberikan fasilitas, kelancaran, dan kenyamanan kepada para mudik, menjelang Lebaran pemerintah memperbaiki jalan-jalan yang rusak dengan mengeluarkan dana besar. Jalan-jalan di pantai utara Jawa, misalnya, diperbaiki agar para pengguna kendaraan dapat mengendarai kendaraan mereka dengan enak, nyaman, dan aman. Disediakan pula pos-pos pemberhentian dan peristirahatan agar para pengendara dapat beristirahat atau tidur sekadarnya agar segar kembali untuk meneruskan perjalanan. Disediakan kereta api untuk mengangkut kendaraan roda dua ke kota tujuan sebagai bentuk kepedulian pemerintah kepada para pemudik. 

Pelayanan kesehatan juga disediakan di tempat-tempat tertentu untuk memberikan bantuan kepada orang-orang yang perlu mendapat bantuan medis. Biasanya, sejak H-7 Lebaran dan beberapa hari sesudahnya, prosesi mudik menggeliat dan meningkat. Stasiun kereta api, terminal bus, bandara, dan pelabuhan dipadati para pemudik dari pagi sampai malam hari. Situasi menjadi rentan dan mudah menyulut emosi kemarahan yang dibalut perasaan kesal dan kelelahan. 

Terjadi penumpukan penumpang di bandara, stasiun kereta api, dan terminal bus. Para penumpang berjubel di kapal laut sehingga ada orang tua dan anak kecil pingsan akibat saling

33

Page 34: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

desak antarpenumpang. Jalur Nagrek dan Pantura, misalnya, dipenuhi kendaraan sehingga lalu lintas terlihat padat merayap. Pemandangan yang sama terlihat pula ketika arus balik terjadi pada beberapa hari setelah Lebaran. Situasi semacam ini dengan segala kompleksitas permasalahannya berulang lagi setiap tahun pada saat arus mudik dan arus balik di musim Lebaran.

Mudik Lebaran bisa dipandang sebagai obat yang bisa mengobati kerinduan seseorang atau sekelompok orang terhadap orang tua, keluarga, sanak saudara, dan kerabat yang sudah (cukup) lama tidak saling jumpa. Mudik dapat dipandang sebagai obat kerinduan seseorang atau sekelompok orang terhadap kampung halaman itu sendiri, kampung halaman tempat mereka dilahirkan dan dibesarkan, kampung halaman tempat mereka bermain dan bercanda bersama saudara dan kawan di masa kecil. 

Dewasa ini mudik Lebaran bukan lagi sekadar tradisi, tapi sudah menjadi nostalgi, obsesi, dan bahkan ilusi yang mempertaruhkan segalanya. Tak jarang orang harus hutang dulu untuk kebutuhan mudik. Tak jarang orang harus menyewa mobil untuk kepentingan mudik. Berapa banyak uang yang harus dikeluarkan demi keperluan mudik, kurang diperhitungkan secara ekonomis. Yang penting, mudik harus dilakukan dan bayar hutang kemudian. Berapa ratus kilometer jarak yang harus ditempuh kadang-kadang tidak dipertimbangkan. Sadar atau tidak, nyawa pun dipertaruhkan demi memenuhi obsesi dan ilusi mudik. 

Tahun lalu (Lebaran 2013), Kabagpenum Mabes Polri Kompol Agus Rianto di Jakarta memberikan data kecelakaan dan korban yang terjadi sejak dilakukannya Operasi Ketupat pada H-7 sampai dengan H+7. Korban kecelakaan lalu lintas yang meninggal dunia dan luka-luka adalah sebagai berikut: 719 orang tewas, 1.184 luka berat, dan 4.326 luka ringan. Adapun kendaraan yang mengalami kecelakaan: mobil penumpang (858), mobil barang (358), bus (194), kendaraan tidak bermotor (129), dan kendaraan khusus/pribadi (20). Kabagpenum mencatat, bagian terbesar kecelakaan didominasi oleh sepeda motor (4.159). 

Kecelakaan disebabkan oleh faktor kelelahan mental-fisikal (terutama pengendara sepeda motor) yang menempuh jarak jauh (sampai ratusan kilometer), melanggar batas kecepatan, dan tidak menjaga jarak. Kendaraan yang tidak laik pakai dan human error juga menyumbang bagi terjadinya kasus kecelakaan. Kabagpenum Mabes Polri mengklaim, tingkat kecelakaan dan jumlah korban pada Lebaran 2013 turun dibanding dengan jumlah korban dan kecelakaan pada Lebaran 2012. 

Tapi jelas jumlah kecelakaan pada musim Lebaran tahun 2013 di atas yang mengakibatkan 719 orang tewas, 1.184 orang luka berat, dan 4.326 orang luka ringan adalah angka yang masih tinggi. Ini bukan korban konflik SARA, perang suku, atau perang saudara, tapi tragedi pembunuhan dan kematian sia-sia di jalan raya saat arus mudik dan arus balik Lebaran. Keceriaan Lebaran seharusnya identik dengan nuansa kegembiraan, bukan identik dengan pembunuhan. 

Semoga angka kecelakaan kendaraan, korban luka, dan kematian pada arus mudik dan arus

34

Page 35: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

balik Lebaran 2014 jauh lebih menurun lagi. ● 

FAISAL ISMAIL Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

Berpuasa Lahir Batin

35

Page 36: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

Berpuasa itu hidup dalam pencegahan dan pembatasan. Kita sibuk mencegah keinginan agar kita yang menjadi ”raja” dan keinginan kita kendalikan.

Berpuasa juga berarti bahwa kita sibuk membuat pembatasan-pembatasan. Apa yang boleh dilakukan pada bulan-bulan lain dilarang pada bulan puasa. Apa yang halal pada bulan-bulan lain haram pada bulan puasa. Kita tak mengeluh menghadapi pembatasan. Kita sibuk membuat batas-batas terhadap diri kita yang boleh jadi tak mengenal batas. Kemampuan membatasi diri itu tanda bahwa kita berkuasa dan bahwa diri kita tak dikuasai keinginan dan nafsu-nafsu yang cenderung tak pernah merasa cukup. Berpuasa mengajarkan apa yang cukup itu betul-betul cukup.

Di dalam kebudayaan Jawa, terutama Jawa zaman dahulu, Jawa ortodoks, Jawa asli, dan tak terpengaruh warna-warni kebudayaan lain, berpuasa itu menjadi kebajikan sosial, sekaligus keutamaan moral, yang disepakati di dalam masyarakat, menjadi konsensus bersama tanpa dipaksakan. Mereka yang tak pernah bisa melakukannya merasa malu secara sosial, malu pada yang bisa melakukannya, dan malu pada orang banyak. Ada sejenis asketisme yang berhubungan dengan dunia lain, mungkin seperti disebut Weber dengan nama ”other worldly ascetism”, sejenis kesalehan langit, yang mengesankan bahwa warna religious dalam budaya begitu kuat.

Tapi, sebutan kesalehan langit mungkin menjadi tidak terlalu tepat karena kesalehan-kesalehan dan cara hidup yang penuh pembatasan diri itu–Ben Anderson menyebutnya usaha ”mengecilkan diri”–pada kenyataannya menjadi begitu jelas ditujukan untuk ”membesarkan diri”. Puasa di dalam kebudayaan Jawa lebih berat dibandingkan dengan puasa yang kita kenal dalam Islam. Makna ”cegah dahar lawan guling”, mencegah makan dan tidur, dalam pelaksanaannya sungguh tidak mudah, tak semudah mengidungkannya ketika ajaran itu baru berupa kidung ”kinanthi” yang enak dinyanyikan.

Mencegah atau membatasi makan mungkin tak menjadi masalah. Tetapi, mencegah tidur jauh lebih berat. Apalagi bila harus dilakukan dalam tiga hari tiga malam atau tujuh hari tujuh malam, bahkan ada yang sampai mencapai empat puluh hari empat puluh malam, sebagaimana dibakukan di dalam tradisi asketisme yang sekarang barangkali sudah punah dan ditinggalkan orang.

***

Asketisme Jawa bukan hanya ”cegah dahar lawan guling” tadi. Dalam hidup sehari-hari, asketisme mengajarkan agar kita selalu tampil bersahaja, hidup sederhana, menjauhi kemewahan dan apa yang glamor. Kita diajarkan ”manganggoa sawatawis”, berpakaian sederhana, yang mengesankan bersahabat, dan tidak sombong pada siapa pun. Kecuali itu kita juga diminta ”ojo pijer sukan-sukan”, agar menjauhi hidup berfoya-foya, pesta-pesta meriah, alasannya: ”olo wateke wong suko” senang-senang itu jelek karena ”nyudo prayitnaning batin” batin menjadi lalai akan kewajiban mengabdi atau beribadat pada Tuhan.

36

Page 37: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

Senang-senang tak memberi dukungan, bahkan menghalangi kehendak jiwa untuk hidup dalam asketisme yang mulia itu. Bersenang-senang atau berfoya-foya itu bukan hanya semata-mata pemborosan, melainkan juga merusak jiwa. Pemerintah Orde Baru pernah menyadari bahwa korupsi sudah terlalu merajalela dan para pejabat hidup kelewat mewah. Istri-istri mereka yang sombong itu menjadi lebih sombong karena ikut berkuasa. Para istri itu juga kelewat sering belanja secara berlebihan di luar negeri dan minta tiket gratis pada Garuda.

Selebihnya mereka menyelenggarakan pesta-pesta perkawinan buat anak mereka dengan menghambur-hamburkan uang yang tak diragukan lagi uang negara ikut ”hanyut” ke dalamnya. Pejabat yang berpesta itu sudah– setidaknya sebagian– menggunakan uang negara dan para pejabat lain yang menyumbang pun tak mustahil menyumbang dengan menggunakan dana negara, dari apa yang namanya dana taktis, dana tak terduga, dan sebutan lain, yang mereka bikin sendiri untuk menghalalkan korupsi yang mereka tradisikan sebagai sesuatu yang tak perlu dicela, apalagi dikutuk.

Bagaimana ajaran semulia itu tak bisa dilaksanakan dalam hidup untuk mewujudkan kebajikan langit di bumi ini? Mengapa ada jarak begitu jauh antara ajaran dan tindakan? Mengapa kemunafikan dipelihara dengan sebaik=baiknya, melalui anjuran-anjuran ”hidup sederhana”, yang digembar-gemborkan pemerintah melalui media massa, tetapi diam-diam dilanggar di dalam kehidupan dunia hitam yang terlindung dari pandangan hukum dan penegak hukum?

Tokoh-tokoh dunia rohani berteriak-teriak dan mengutuk tindakan itu dari rumah ibadah. Tapi, apa artinya teriakan dari sana, yang berhenti pada teriakan, tanpa tindakan hukum dan penegakan hukum secara nyata? Dari dulu kemunafikan kita memang menonjol. Kita berbicara agama, moral, kemanusiaan, dan keadilan, tapi tindakan kita melawan secara frontal semua dalil rohaniah itu. Itu dahulu. Mungkin itu sudah menjadi bagian dari sejarah moralitas sekaligus sejarah politik yang munafik dalam rezim Orde Baru yang otoriter.

Reformasi tampak terburu-buru ingin menutup semua itu dari ingatan dan tak hendak menjadikannya kenangan. Ada pula yang sok bijaksana yang menyarankan biarlah yang lalu berlalu. Jangan lagi kita melihat ke belakang. Kita diminta melihat hanya ke depan, membaca prospek kehidupan kita yang begitu lama terkoyak-koyak kemunafikan dan keserakahan manusia akan harta benda dan kekuasaan. Ada pula yang menambahkan unsur wanita di dalam tiga ”ta” yang terkenal: harta, tahta, wanita. Ini pun buatan mereka sendiri, yang segera mereka langgar dengan terang-terangan.

Reformasi, dengan segenap semangat, hendak membikin hancur luluh semua itu dalam masa pendek. Apa hasilnya? Keadaan kita lebih baik karena ada bukti-bukti nyata bahwa saat ini kehidupan politik didominasi oleh begitu banyak partai politik Islam? Kita lebih saleh dan lebih mampu berpuasa secara khusyuk, tulus, dan ikhlas, hanya semata kepada Allah karena tokoh-tokoh kita di parlemen, ”berapa” pun ”komisinya”, para tokoh Islam yang dahsyat itu

37

Page 38: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

yang berkuasa, yang bicaranya bisa mengguncang tugu Monas, dan menggetarkan dinding-dinding beton Istana.

Kita bangsa yang saleh? Kita tokoh-tokoh dan orang-orang beragama, yang mampu memberi teladan mulia pada rakyat biasa? Kita tokoh-tokoh rohaniah, yang tak doyan harta yang bukan milik kita? Kita politisi berbasis agama yang hidup lurus, semata mengabdi kebenaran, demi kemuliaan Allah? Kita hidup damai, dan menjauhkan diri dari menyalahkan orang lain, dan menganggap pihak lain kafir, dan hanya kita kekasih Allah?

Apakah berpuasa pada Ramadan tahun ini membuat kita menjadi orang muslim yang benar- benar muslim, yang jauh dari kejahatan kemanusiaan terhadap sesama manusia? Apakah kita sudah bisa berpuasa dengan niat semata untuk Allah, dengan puasa lahir maupun batin? ●

MOHAMAD SOBARY Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email: [email protected]

Puasa dan Purifikasi Bangsa

Tidak terasa, umat Islam di Indonesia telah memasuki sepuluh hari terakhir pada Ramadan 1435 H. Bulan puasa yang penuh berkah, nikmat, dan ampunan terasa sangat cepat berlalu

38

Page 39: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

hingga tinggal tersisa beberapa hari saja.

Padahal kita mungkin merasa belumlah beramal apa-apa. Sementara kita pun tak akan pernah bisa menjamin bahwa ini bukan Ramadan terakhir kita. Saya selalu teringat, setiap kali bulan puasa hadir kiai di kampung saya di Kebumen selalu bertutur tentang seorang Majusi yang menghukum putranya. Apa pasal? Karena, putranya tersebut makan dan minum secara terbuka di area publik. Kiai saya kembali bertutur, betapa seseorang yang menghormati, gembira akan datangnya Ramadan, baginya pahala yang luar biasa besarnya.

Apalagi jika seseorang berkenan mengekang diri dalam lapar dan dahaga di teriknya siang dan menenggelamkan diri dalam ibadah malam yang panjang. ”Ghufirolahu maa taqoddama min dzanbih”, begitu jaminan Tuhan, diampuni dosanya yang telah lalu. Puasa sungguh adalah sebuah anugerah teramat berharga bagi umat muslim. Begitu besarnya anugerah pada bulan puasa itu sehingga banyak orang saleh yang berharap setiap bulan dalam rentang satu tahun itu adalah bulan puasa. Puasa itu, sebagaimana Allah firmankan, disyariatkan bagi orang beriman agar menjadi pribadi yang bertakwa.

Puasa adalah laku priyatin bagi umat Islam, laiknya kawah candradimuka yang menempa kehidupan orang-orang beriman dan membakar segala gejolak nafsu yang rendah untuk menjadi pribadi yang bertakwa (la’allakum tattaquun). Meminjam istilah biologi, puasa laiknya sebuah proses metamorfosis. Kita dari ulat yang rakus menjadi kupu-kupu indah yang mencerahkan.

Puasa mempurifikasi diri kita, menjernih-sucikan manusia dari syahwat dunia, menjadi sosok hamba yang membawa rahmat bagi seluruh alam dengan cahaya iman dan takwa. Derajat takwa yang sejati akan tampak dalam setiap desah nafas dan lelaku langkah kehidupan seseorang. Tidak sekadar ketika ia beribadah, tapi juga ketika seseorang bekerja dan beraktivitas keseharian. Ketakwaan akan memandunya untuk berlaku sesuai sistem nilai agama yang dianutnya, termasuk dalam menjalani reriuh kehidupan berbangsa dan bernegara.

Puasa di Tengah Pesta

Puasa pada 1435 H ini, bagi bangsa Indonesia, sesungguhnya adalah puasa yang sangat istimewa karena ditunaikan saat bangsa kita sedang berpesta demokrasi untuk memilih calon RI 1. Di pundak putra terbaik bangsa inilah, Indonesia lima tahun ke depan diamanahkan. Meskipun konon adalah sebuah pesta, pilpres yang menyandingkan dua pasang calon ini laiknya ”kurusetra” yang tidak hanya melibatkan elite partai dan tim sukses pendukung capres.

Simpatisan dan masyarakat luas pun ikut terimbas oleh tingginya tensi demokrasi ini sejak masa kampanye dimulai. Meski akhirnya tahapan pemungutan suara telah terlaksana dengan aman dan damai, ternyata ”kurusetra ” politik ini belum berakhir. Situasinya sangat tidak sehat karena memaksa alam pikir masyarakat kita untuk mengalami apa yang disebut Leon

39

Page 40: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

Festinger sebagai disonansi kognitif. Ruang batin publik pun seakan terganggu karena informasi yang tidak sinkron, simpang siur, dan centang-perenangnya.

Celakanya, media massa, baik cetak maupun elektronik hingga media sosial, pun turut memanaskan situasi ini. Kondisi ini, prognosisnya masih akan berlangsung setidaknya hingga KPU menetapkan pemenang Pilpres 2014. Jika masih ada pihak yang merasa belum puas karena memandang ada ketidakadilan dan kecurangan, sengketa pemilu ini mesti berakhir di persidangan Mahkamah Konstitusi. Artinya bahwa situasi panas ini mungkin belum akan berakhir.

Massa pendukung yang telah terpapar opini bahwa capres mereka adalah korban (victim) dari kecurangan pemilu yang masif dan sistematis sehingga harus kalah dalam pemilu tentu tidak begitu saja menerima kekalahan di ujung laga. Fanatisme buta dan ikrar berani mati membela capres pujaan tentu bisa menjadi benih-benih kerusuhan. Hanya butuh tersulut dengan provokasi ringan untuk bisa meletup membesar. Kita tentu sama sekali tidak berharap situasi ini menyandung demokrasi kita. Situasi ini justru ujian bagi kedewasaan dan kesantunan masyarakat Indonesia dalam berpolitik dan berdemokrasi.

Oase Ramadan

Adalah anugerah teramat besar ketika melalui tangan KPU, Allah mentakdirkan Pemilu 2014 ini terjadi pada Ramadan ketika sebagian besar rakyat Indonesia tengah menunaikan ibadah puasa. Ramadan sungguh selaksa oase di tengah panasnya sahara perpolitikan di republik ini. Tensi dan dinamika psikologi sosial yang cenderung meninggi semoga kembali bisa turun tersebab mata air Ramadan yang menyejukkan. Betapa tidak? Karena sesungguhnya puasa (ash-shiyaam) bisa dipahami dengan terminologi kunci al-imsaak.

Secara bahasa, ia berarti menahan diri dari melakukan suatu perbuatan seperti menahan tidur, menahan berbicara, menahan makan, dan sebagainya. Sedangkan secara syar’i, shaum bermakna menahan diri dari sesuatu yang membatalkan satu hari lamanya, mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari, dengan niat dan syarat tertentu. Tentu saja kita tidak ingin puasa kita terjerembab pada puasa yang Rasulullah kisahkan bahwa betapa banyak orang yang berpuasa, namun tidak beroleh hikmah pahala, kecuali lapar dan dahaga belaka.

Apa pasal? Jikalau sekadar menahan lapar dan dahaga, barangkali itu soal biasa. Namun, menahan dan mengontrol diri dari melakukan perbuatan tercela tentu bukan soal yang sederhana. Meminjam Al-Ghazali, sekadar berpuasa dalam level awam (shaumul ‘am), sekadar mengendalikan pancaindera dan organ tubuh dari perbuatan yang sia-sia, apalagi perbuatan dosa, terkadang pun kita belum mampu. Tapi, justru inilah yang sedang dilatihkan Tuhan melalui laku priyatin dalam super-training bernama puasa.

Dalam konteks pilpres, semua pihak yang sama-sama mendamba kemenangan semestinya belajar menahan diri untuk tidak terjerumus dalam perbuatan bodoh yang mencederai demokrasi. Dimulai dari setiap diri, baik itu massa pendukung, tim sukses, maupun kandidat

40

Page 41: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

yang tengah berlaga. Tanggung jawab terbesar tentu akan berada di pundak para kandidat capres dan cawapres karena sejatinya mereka figur yang suara dan titahnya paling didengar, diikuti para pendukungnya. Ibarat salat, para jamaah dan makmum hanya akan sami’na waatho’na (mendengar dan taat) kepada imam sahaja.

Sangat indah apabila putra terbaik bangsa tersebut memberikan pernyataan yang sejuk dan meneduhkan sebagai panduan bijak para pendukungnya. Bukan sebaliknya, memberikan pernyataan provokatif yang membakar para pendukung untuk memberlakukan hukum perang, berbuat onar, rusuh, serta membela mereka mati-matian untuk beroleh tahta dan kuasa. Sangat bijak apabila para kandidat memberi teladan positif kepada pendukungnya.

Menerima dengan legawa dan besar hati, apa pun kehendak rakyat yang tertuang dalam real count KPU sebagai lembaga berwenang. Seandainya terjadi sengketa, izinkan instrumen hukum bernama MK yang bekerja menjadi pengadil yang seadil-adilnya. Kawal, bantu, dan doakan KPU dan MK jujur mengemban amanah konstitusi ini. Tentu para kandidat capres dan cawapres adalah negarawan sejati yang tidak berkehendak melihat sesama anak bangsa bertikai dan berseteru membela mereka.

Sesungguhnya kita sesama anak bangsa yang berharap Indonesia menjadi lebih baik meski dengan ijtihad politik capres pilihan yang barangkali berbeda. Kita semua adalah saudara yang dinaungi merah putih Indonesia yang sama, bukan musuh yang harus saling mengalahkan dan menghancurkan. Semestinya kita terjaga bahwa seteru sejati kita adalah sama, imperialisme modern yang berkehendak menjajah dan menguasai kekayaan alam Indonesia.

Bukankah Indonesia adalah negeri teramat kaya yang diincar imperialis manapun dengan cara apa pun dan bagaimana pun. Kita patut waspada bahwa musuh bersama (common enemy) inilah yang sesungguhnya bermaksud melemahkan Indonesia, menebar ”jebakan batman”, melakukan intervensi, mengadudomba, dan memecah belah kita. Saatnya kita terjaga, bahu-membahu, dan membisik bangun kebersamaan untuk menjaga amanah besar bernama Indonesia raya tercinta.

Puasa ini semoga men-tarbiyah (mendidik) kita untuk lebih bertakwa sehingga lebih bijaksana menjaga negeri ini kini, esok, dan nanti. Izinkan puasa mengajari kita lebih bijaksana menahan diri, mempurifikasi diri kita dari noda berbangsa, meliberasi kita dari amarah, nafsu, dan keserakahan. Siapa pun yang menang, semoga bisa merangkul semua elemen bangsa, tetap rendah hati, dan mampu menahan diri untuk tidak ‘umuk’ (omong besar). Sementara yang kalah, semoga mampu bersabar dan berbesar hati, menahan diri untuk tidak ngamuk, berbuat onar, maupun rusuh.

Sambutlah hasil pemilu dengan sukacita, laiknya menyambut hari raya Lebaran, sukacita kemenangan dengan saling memaafkan, bukan ketakutan, hingga harus mengurung diri di rumah. Siapa pun presiden yang menang sungguh adalah kemenangan bersama seluruh rakyat Indonesia. Adalah tugas kita bersama untuk senantiasa mendukung dan ”menyengkuyung”

41

Page 42: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

agar bisa menjaga amanah menyejahterakan Indonesia hingga menjadi negeri yang hebat bermartabat. ●

ACHMAD M AKUNG Dosen Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro Semarang

Berpuasa di Mekkah Al-Mukarramah

Islam itu di mana pun dan kapan pun adalah agama rakyat. Ada sedikit protokoler, tetapi tidak primer. Agama yang sangat populis dan bersemangat egaliter. 

42

Page 43: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

Coba pada Ramadan ini datang dan lihatlah suasana di Masjidilharam di Mekkah al-Mukarramah, Masjid Nabawi di Madinah, dan Masjid al-Aqsha di Yerusalem. Masjid yang terhampar sangat luas dan besar itu dari ujung ke ujung, dari sudut ke sudut, dipenuhi orang dari seluruh penjuru dunia yang bisa tidur di dalam masjid seenaknya. Mereka hanya bangun untuk salat dan setelah itu kembali tidur lagi. Pada Ramadan perilaku seperti itu dibiarkan saja karena sudah menjadi tradisi dari tahun ke tahun dan dari abad ke abad. 

Berpuasa Ramadan di Mekkah al-Mukarramah dan Madinah al-Munawwarah memang sangat mengesankan. Meski Masjidilharam sedang mengalami renovasi dan pembangunan besar-besaran sejak dua tahun terakhir ini, kesemarakan bulan Ramadan di sana tetap terus terpancar terpendar-pendar bagaikan mercusuar. Jamaah umrah dari seluruh dunia semakin membeludak membanjiri Kota Suci (al-Haram), Mekkah dan Madinah. Beberapa orang menyatakan kesaksiannya bahwa pada sepuluh ketiga pada Ramadan jumlah jamaah umrah di Masjidilharam hampir menyamai jumlah jamaah haji di musim haji. 

Tak heran jika harga sewa hotel di Mekkah pada sepuluh hari terakhir pada Ramadan mahalnya berkali-kali lipat dibandingkan dari hari-hari biasa. Sebuah kamar kelas junior suite sebuah hotel berbintang lima di samping Masjidilharam bahkan dipatok USD10.000 semalam. Harga kamar kelas eksekutif sedikit di bawah itu. Kamar-kamar hotel dan penginapan-penginapan lain yang lebih sederhana habis dipesan dan full booked jauh-jauh hari sebelumnya. 

Tetapi unik dan hebatnya harga-harga makanan dan minuman yang sifatnya konsumsi tidak mengalami kenaikan yang signifikan sebagaimana akomodasi. Sempitnya ruang (space) Mekkah dengan pusatnya Masjidilharam barangkali yang menjadikan tingginya biaya akomodasi di sana. Secara fisik suasana di Masjidilharam sekarang ini kurang nyaman. Bukan hanya ada ribuan pekerja yang siang-malam melakukan pembangunan atau renovasi Masjidilharam besar-besaran di sana, melainkan juga tampak terlihat ada ratusan alat-alat berat yang ada di lantai dalam dan luar masjid. 

Bahkan juga ada ratusan (bukan puluhan!) mesin jungkit di atap atap masjid yang terus beroperasi siang-malam tanpa berhenti melakukan aktivitas pembangunan. Bisa diduga, meski tidak kelihatan, debu beterbangan di mana-mana. Untung saja ribuan petugas kebersihan selalu siap sedia di setiap sudut dan jengkal masjid untuk selalu mengepel membersihkan debu di lantai dan sampah-sampah kotoran lainnya. Dalam soal yang satu ini kita angkat topi dengan kesigapan pemerintah menjaga kebersihan demi keanggunan Masjidilharam tersebut. 

Demikian juga secara fisik. Pemerintah Arab Saudi memang all out untuk membangun infrastruktur fisik dan sumber daya manusia untuk melayani jamaah haji dan umrah yang sangat besar itu. Bangunan-bangunan lama di sekitar masjid diruntuhkan untuk menampung dan menata bangunan-bangunan baru akibat dari gerak perluasan masjid. Jalan-jalan layang, jalan-jalan bawah tanah, dan terowongan terus bertambah di segala jalan dan penjuru sekitar

43

Page 44: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

masjid. Meski sedang ada renovasi besar-besaran, suasana Masjidilharam tetap khas. 

Berbuka puasa bersama di masjid sungguh sangat nikmat. Ada banyak sekali dermawan yang menyediakan buka puasa bagi seluruh jamaah yang mencapai ratusan ribu orang itu. Saya tidak tahu pasti bagaimana mengorganisasi dan mengatur jadwal para dermawan memberikan buka puasa sepanjang bulan Ramadan di Masjidilharam dan Masjid Nabawi. Yang pasti setiap buka puasa makanan itu tersedia di masjid. 

***

Mengapa menginjak sepuluh ketiga atau sepertiga terakhir Ramadan jumlah jamaah umrah menjadi begitu sangat besar? Space Kota Mekkah menjadi sangat kecil untuk menampung jamaah umrah pada akhir Ramadan. Tradisi semacam ini memang sudah berlangsung sejak dulu kala, tetapi menjadi semakin dramatis beberapa puluh tahun terakhir. Tak heran jika umrah pada akhir Ramadan ongkosnya beberapa kali lipat umrah hari biasa, bahkan tiga atau empat kali lipat dengan ongkos umrah awal dan pertengahan Ramadan. 

Umrah pada Ramadan, apalagi di sepertiga terakhir Ramadan, yang semula dimaksudkan agar lebih serius dan khusyuk, kini dengan semakin ramainya para jamaah umrah semakin sulit diwujudkan. Suasana Mekkah di sepertiga terakhir Ramadan terlalu penuh sesak, ramai, dan mahal. Tetapi, tetap saja jamaah berdatangan ke Mekkah untuk berumrah, apalagi diajarkan bahwa umrah pada Ramadan itu kebaikannya sama dengan haji. 

Orang juga pergi umrah pada Ramadan sekalian berusaha mendapatkan anugerah lailatulkadar yaitu malam pada Ramadan yang kebaikannya melebihi seribu bulan itu. Kapan persisnya lailatulkadar itu diturunkan oleh Allah SWT? Tidak ada seorang pun yang bisa memastikannya. Tetapi, Nabi Muhammad SAW memberikan beberapa petunjuk yang bersifat indikatif, tanda-tanda, atau isyarat. Pertama, lailatulkadar diturunkan pada satu malam di tanggal-tanggal sepuluh terakhir Ramadan. Maka itu, sepuluh malam terakhir itu jangan dilewatkan untuk salat, berdoa, tadarus, itikaf, dan ibadah lain. 

Jika dalam sepuluh malam itu seseorang beribadah secara intensif dan ekstensif, pastilah akan mendapatkan lailatulqadar. Kedua, lailatulqadar diturunkan pada malam-malam ganjil di sepuluh terakhir Ramadan. Mungkin malam 21, 23, 25, 27, atau 29 Ramadan. Ketiga, ada dikatakan bahwa malam lailatulqadar itu jatuh pada malam tanggal 27 Ramadan. Ada juga diriwayatkan bahwa tanda-tanda pada malam lailatulqadar antara lain malam itu suasana sangat tenang dan hening, langit tampak jernih dan bening, bulan bersinar sangat terang, angin bertiup sepoi-sepoi, pepohonan pun tenang dengan daun-daun yang tidak bergerak banyak, dan lain-lain. 

Di Masjidilharam (Mekkah al-Mukarramah) sebagaimana juga di Masjid Nabawi (Madinah al-Munawwarah) dan Masjid al-Aqsha (Baitul Maqdis, al-Quds, Yerusalem) pada sepuluh malam terakhir Ramadan itu diselenggarakan, sebut saja, salat qiyamullail di samping salat tarawih. Tarawih diselenggarakan seusai salat isya sebanyak 20 rakaat dengan dua rakaat

44

Page 45: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

salam. Pada malam-malam itu jamaah salat tarawih membeludak bukan hanya sampai halaman masjid, melainkan sampai jalan-jalan raya di belakang Hotel Hilton, belakang Hotel Intercontinental, dan jalan belakang hotel atau tower Jam Zaman! Bahkan jamaah salat meluber sampai jembatan layang Misfalah. Mereka membentuk saf-saf sendiri di sepanjang jalan itu. 

Demikianlah juga di arah di luar bukit Shafa dan Marwah. Kira-kira dari titik pusat Kakbah jamaah berlingkar-lingkar dan berkumpar-kumpar dalam radius 2 kilometer! Meskipun jauh suara bacaan imam salat tetap saja terdengar jelas, jernih, dan lantang berkat teknologi sound system yang sangat besar dan canggih. Salat tarawih di Masjidilharam dan Masjid Nabawi memang sangat khusyuk, panjang, dan lama. Surat-surat yang dibaca imam salat sangatlah panjang. Rukuk dan sujud pun panjang-panjang. Tak heran salat 20 rakaat itu berlangsung hampir jam 24.00 malam. 

Tetapi, jangan kaget, qiyamullail yang dimulai jam 01.00 dini hari berlangsung jauh lebih panjang lagi. Salat yang hanya terdiri 10 rakaat dengan dua rakaat salam ditambah dengan salat witir tiga rakaat (dibagi dua rakaat salam dan satu rakaat salam) bisa berlangsung sampai jam 03.00 dini hari! Panjangnya qiyamullail bukan hanya karena rukuk dan sujudnya panjang sekali, melainkan karena surat-surat Alquran yang dibaca memang surat-surat yang sangat panjang dan lama. Tetapi, bukan hanya itu, doa qunut pada rakaat terakhir salat witir sangat panjang dan mengharukan. 

Imam selalu berdoa dengan suara serak dan parau menangis tersedu-sedu. Para jamaah yang mencapai ratusan ribu, bahkan jutaan, itu selalu menyambut satu potong doa dari sang imam dengan ucapan “amin” dengan sedu sedan penuh tangisan. Ada beberapa imam salat tarawih (seusai isya) dan qiyamullail (dini hari sekitar jam 01.00) di Masjidilharam yang sering menangis tersedu-sedan ketika membaca surat-surat Alquran dan doa dalam salat-salat itu. Para jamaah pun terbawa suasana jiwa yang syahdu dan khusyuk itu sehingga tidak mampu menahan tangis tersedu mengikuti tangisan sang imam. 

Suasana betul-betul sangat religius dan emosional, bukan sentimentil. Ketika imam membaca doa qunut yang amat sangat panjang, fasih, dan untaian kalimatnya indah sekali itu, jamaah menyambutnya setiap potong doa dengan “amin”. Maka bisa dibayangkan betapa membahananya ucapan “amin” dari ratusan ribu jamaah di satu tempat itu. Ketika imam mulai berdoa sambil menangis, jamaah pun menyambut “amin” dengan tangisan pula. Apalagi sang imam tahu betul memilih doa-doa yang menyentuh kalbu jamaah, terutama doa-doa untuk mohon ampunan atas dosa-dosa kita. Sungguh sebuah pengalaman kerohanian yang luar biasa menyejukkan hati. 

Agama memang bukan hanya konsumsi akal dalam bentuk pemikiran-pemikiran filosofis semata. Agama juga menyangkut soal kedalaman jiwa, perasaan atau intuisi, dan kehangatan kerohanian. Agama yang terlalu rasional menjadikan kehidupan spiritual kita terasa kering. Jiwa kita perlu kesejukan spiritual dan kehalusan mistis. Berumrah dan beribadah di Masjidilharam di sepertiga terakhir Ramadan sangat menyentuh jiwa. Sayang, ongkosnya

45

Page 46: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

mahal sekali. ●

HAJRIYANTO Y THOHARIWakil Ketua MPR RI

THR

Saya dan istri saya punya beberapa pegawai: dua PRT, dua sopir, dan saya punya staf pribadi (spri). Semua mau Lebaran masing-masing (mau beli baju anak-anak, mau ke Kebun Binatang sama keluarga, mau mudik, dan sebagainya), tetapi ongkosnya dibebankan ke kami,

46

Page 47: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

bosnya. 

Padahal mereka cuti sampai 2-3 minggu, kami harus bayar full gajinya plus THR (satu bulan gaji full juga). Padahal di mana-mana, orang cuti melebihi jatah, dipotong gaji, minimal dapat SP (surat peringatan), tetapi saya malah harus tambah satu bulan gaji. Tambah celaka lagi spri saya yang nonmuslim pun ikut-ikutan minta THR. Alasannya keluarganya banyak yang muslim. Lah, keluarganya yang muslim, kok saya yang menanggung Lebaran-nya? Ini dari mana logikanya? Padahal dari uang pensiun PNS, saya enggak ada THR. 

Saya kerja di PTS (perguruan tinggi swasta) juga enggak ada THR dalam kontrak saya. Honor sebagai konsultan dan penasihat di sana-sini juga enggak ada THR-THR-an. Jadi tiap Lebaran yang ada saya dan istri pusing saja berduaan urus RAPBRTR (Rencana Anggaran dan Belanja Rumah Tangga Ramadan) yang awut-awutan. Untung, anak-anak semua sudah mandiri, jadi enggak usah dipikirkan lagi. Tetapi, THR itu sudah telanjur jadi kebiasaan, bahkan adat, bahkan sudah jadi budaya. Budaya yang salah kaprah. Artinya yang benar jadi salah (enggak kasih THR) dan yang salah jadi benar (harus memberi THR). 

***

Lebaran yang jor-joran hanya khas Indonesia. Di negara-negara lain orang Lebaran biasa-biasa saja. Agama pun menganjurkan puasa dan Idul Fitri diisi dengan memperbanyak ibadah, bukan dengan makan-makan, baju baru, Kebun Binatang, dan mudik. Kebiasaan ini justru sering menimbulkan masalah bagi pihak-pihak tertentu. Sebagai contoh seorang kapolsek (kepala polisi sektor, setingkat kecamatan) mengeluh karena ia bersama rekan-rekan kapolsek lain barusan menerima perintah dari kapolres (kepala kepolisian resor, setingkat kabupaten) untuk memberi THR kepada anak buah masing-masing. 

THR itu hanya Rp100.000 per anggota (relatif rendah dibandingkan dengan gaji polisi yang minimal sekitar Rp2.500.000). Tetapi, karena di polseknya ada 60 anggota, kapolsek harus menyiapkan dana sebesar Rp6.000.000. Padahal dana THR tidak disiapkan dalam anggaran Polri, baik dalam PGPol (peraturan gaji polisi) maupun dalam dana operasional. Maka itu, kapolsek yang rata-rata hanya berpangkat AKP (ajun komisaris polisi, setingkat kapten) atau kompol (komisaris polisi, setingkat mayor) pusing sendiri karena perintah kapolres harus ditanggungnya sendiri, padahal gaji penuhnya sendiri sebagai polisi lebih rendah dari dana THR yang harus disiapkannya. 

Maka itu, dibutuhkan kreativitas yang luar biasa tinggi dari kapolsek untuk keluar dari masalah ini. Ada kapolsek yang bisa melakukannya, tetapi lebih banyak yang kena migrain. Lagi pula tugas siaga I menjelang pilpres yang lalu membuat kapolsek harus fokus kepada tugasnya. Tetapi, itulah faktanya, THR sudah telanjur jadi adat, malah sudah jadi budaya. Kesalahannya di sini adalah kapolres perintahkan, kapolsek yang tanggung. Terang saja kapolsek kelimpungan. 

Memangnya kapolsek pabrik uang? Ini pola pikir Orde Baru, di mana para kasatwil dianggap

47

Page 48: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

take it for granted bisa memanfaatkan jabatannya untuk berbagai keperluan (di zaman KPK kok masih ada pikiran begini, ya ?). Sementara itu, para kapolsek (dan bawahan umumnya) juga rata-rata enggak punya nyali untuk bertanya kepada kapolres (atasan), ”Izin, mohon petunjuk, sumber dana bisa diperoleh dari mana saja, ndan?” Biar kapolresnya yang pusing untuk menjawab pertanyaan yang mengandung kontradiksi itu. 

Tetapi, kalau sudah jadi budaya, mau tidak mau harus diadakan. Ibaratnya adat pengantin Jawa, air siraman harus dari tujuh sumber dan kembang setaman harus tujuh rupa. Tidak masuk akal sama sekali. Tetapi, itulah tuntutan adat budaya, jadi harus dipenuhi. Kalau tidak, kualat. Begitu juga THR. 

***

Dari sudut ilmu manajemen maupun dari sudut agama, sangat dianjurkan untuk memberi imbalan yang sangat layak kepada orang-orang yang sudah bekerja dengan baik. Negara dan bangsa dibangun dengan bekerja, kata orang bijak. Bahkan ada Hadis Rasulullah yang menyatakan bahwa orang yang sudah bekerja wajib dibayar upahnya sebelum keringatnya kering. Di perusahaan swasta ada bonus, di perkebunan ada tantiem, yang besarnya bergantung pada besar-kecil laba perusahaan. Di lingkungan PNS (pegawai negeri sipil) ada gaji ke-13. 

Itulah sistem imbalan yang benar yang bergantung pada sistem merit, bukan pada adat, apalagi agama. Kalau memakai kriteria agama, malah rancu. Muslim enggak muslim sama-sama dapat THR karena terlalu ribet untuk menciptakan sistem THNt (tunjangan hari Natal), THNy (tunjangan hari Nyepi), THW (tunjangan hari Waisak), dan THI (tunjangan hari Imlek) yang terpisah-pisah. Belum kalau ada pegawai-pegawai yang gonta-ganti agama. Tentu saja saya tidak bisa ikut-ikut mencarikan jalan keluar karena saya bukan ulama, pejabat publik, atau komandan. Tetapi, semangatnya adalah marilah kita kembali ke khitah Idul Fitri yang aslinya tidak ada satu pun ayat dan hadis tentang THR. 

Jadi mari kita ber-Idul Fitri tanpa THR. Mau belanja baju buat anak-anak, mau mudik, mau bagi-bagi duit ke anak-anak tetangga, silakan. Tetapi, dengan uang sendiri, yang sudah ditabung sejak beberapa bulan sebelumnya. Ibaratnya kalau kita mau mengawinkan anak, mau pakai air dari tujuh sumber atau pakai kembang setaman tujuh rupa, silakan saja, tapi duitnya jangan minta bos. 

Sementara itu, saya pernah mendapat cerita tentang seorang tauke (sekarang dipanggil bos) yang marah-marah pada pegawainya, ”Giliran Lebaran, lo minta THR! Giliran Imlek, lo minta angpau! Kapan giliran gua ... haaa ?”  

SARLITO WIRAWAN SARWONO Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

48

Page 49: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

Menempuh Mudik BatinKoran SINDO

Kamis,  31 Juli 2014

49

Page 50: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

PADA pertengahan Juni 2014, puluhan buruh migran ilegal meregang nyawa karena tenggelam di perairan negeri jiran. Mereka ingin pulang kampung untuk menunaikan puasa dan merayakan Lebaran.

Sebagai pekerja tanpa dokumen resmi, mereka jelas tidak mempunyai pilihan selain pulang dengan kapal tongkang melalui jalan tikus ke kampung halaman. Malangnya, tekong dan pemilik kapal tak memikirkan keselamatan, karena moda transportasi ini memang ilegal. Tak ada badan yang mengawasi sebagaimana dilakukan pada maskapai penerbangan. Apa daya, pulang adalah cara mereka menemukan jati dirinya.

Mudik wajib ditunaikan. Hari-hari menjelang Lebaran, polisi Malaysia acap kali menangkap buruh migran yang mencoba pulang melalui kapal yang tak selamat itu. Operasi Ramadan dijalankan hingga akhir puasa untuk memastikan tidak ada lagi pekerja Indonesia dan negara asing lain kembali ke negaranya melalui jalur tidak resmi. Selain berisiko, peristiwa ini makin memburukkan negara tetangga sebagai pusat perdagangan manusia (human trafficking).

Namun, betapa pun pemerintahan jiran berusaha sekuat tenaga, selalu ada celah bagi para pekerja ini untuk menerobos ketatnya penjagaan di pelbagai titik, sebagaimana ini juga sering terjadi pada penyelundupan barang tanpa cukai. Lagi-lagi, di hari ke-17 puasa, kapal tongkang karam. Dua orang meregang nyawa. Namun demikian, pada masa yang sama, ada ratusan ribu pekerja yang mudik dengan tenang karena mereka mengantongi izin kerja dan menggunakan moda angkutan yang jauh lebih selamat.

Meskipun mereka harus merogoh kantong lebih dalam untuk pulang, mengingat harga tiket penerbangan naik tajam, kegembiraan berlebaran bersama keluarga di kampung halaman jauh lebih bernilai. Pendapatan selama bekerja seakan-akan hanya dihabiskan untuk membiayai kepulangan dan berhari raya bersama keluarga. Setelah itu mereka kembali lagi bekerja. Sebuah lingkaran yang perlu diretas agar nasib mereka beranjak dari pemenuhan kebutuhan dasar semata-mata.

Linguistik

Ferdinand de Saussure, ahli bahasa, mengandaikan hubungan penanda dan petanda yang lahir dari sebuah kesepakatan (convention). Mudik sebagai penanda adalah berupa suara atau huruf yang mengandaikan konsep tertentu, yaitu kepulangan orang dari rantau ke tanah kelahiran. Menjelang hari raya, peristiwa ini betul-betul massal. Ada 27 juta orang dengan pelbagai moda angkutan memenuhi jalan dan udara untuk pulang ke kampung halaman.

Secara konseptual, ia merujuk pada sistem kekerabatan dalam budaya kita, di mana hubungan persaudaraan mesti dijaga. Mudik adalah salah satu cara untuk mengekalkan tradisi turun-temurun. Tentu, makna mudik juga berkait dengan medan semantik lain, seperti silaturahmi, ketupat, dan halal bihalal. Di tengah semakin sedikit waktu untuk bertemu dalam keadaan santai, silaturahmi mengandaikan perjumpaan manusia dalam keadaan riang.

50

Page 51: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

Hubungan-hubungan selama ini yang mengandaikan pekerja dan majikan tak lagi bekerja. Mereka hadir sebagai manusia yang setara. Demikian pula, ketupat yang berasal dari lepat, yang bermakna memaafkan kesalahan menunjukkan bahwa lambang ini bukan sekadar penyeri Idul Fitri, tetapi juga kesediaan manusia untuk menerima kekurangan orang lain. Pada akhirnya, mereka akan kembali bersua dalam momen halal bihalal, yang menunjukkan secara terbuka bahwa masing-masing bersedia untuk kembali merajut kebersamaan.

Tentu, pengucapan selamat hari raya mohon maaf lahir dan batin, yang biasanya diiringi kata minal aidin wal faizin meriuh. Kata keramat ini berhamburan memenuhi udara. Ia meluncur begitu saja, tanpa kita bisa mengurai makna yang paling dalam dari kata ini. Kata majemuk ini hadir untuk melengkapi pertemuan di hari kemenangan.

Selebihnya, kita tak pernah memeriksa adalah permohonan ini benar-benar dari batin? Ketika ia hanya terucap secara lisan, maka penyakit hati seperti dengki, hasut, dan iri hati tumbuh subur. Padahal, kesatuan dari wujud lahir dan batin mengandaikan satunya kata dan perbuatan.

Arus “Ba(l)ik”

Mengingat mudik itu tak melulu fisik, tetapi batin, mungkin tak arif memisahkan keduanya. Hanya, kepulangan fisik menjadikan pemudik berisiko. Keadaan jalan raya yang tak layak, pemeriksaan kendaraan yang tak terjamin, dan faktor kelelahan karena macet membuat mereka terpapar pada kecelakaan.

Tak ayal, laporan arus mudik dan balik selalu menyisipkan berita kemalangan yang merenggut nyawa. Kendaraan terperosok karena jalan yang berlubang. Bus terperosok ke jurang karena rem blong akibat pemeriksaan rutin yang diabaikan. Bagaimana kejadian ini berulang setiap tahun, sementara nilai-nilai puasa mengandaikan kesabaran, kejujuran, dan kesejahteraan?

Puasa yang secara harfiah bermakna menahan diri (imsak) semestinya bergeser pada makna epistemologis sebagai kemampuan menahan diri dari hawa nafsu biologis dan hedonis. Tentu saja, kita bisa dengan mudah mengidentifikasi yang pertama, tapi memeriksa yang terakhir, perilaku hedonisme, merupakan tantangan karena pemuasan hawa nafsu terhadap materi acap kali dikaburkan dengan perayaan hari raya.

Pasaraya bersolek sedemikian rupa, seperti pemindahan suasana Timur Tengah di lantai bawah: bangunan masjid, unta, dan padang pasir. Menjelang Lebaran, masjid dan surau semakin sunyi, sementara pusat perbelanjaan semakin berseri. Ironis! Padahal, selain pada akhir Ramadan malam Seribu Bulan mungkin turun, di 10 terakhir inilah, kita diselamatkan dari api neraka.

Malangnya, alih-alih terelakkan, kita memasuki neraka lain, hedonisme. Betapapun kita

51

Page 52: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

dianjurkan untuk mengakhiri puasa dengan Idul Fitri seraya menggunakan baju baru, secara hakikat pesan moralnya bukan pada kebaruan pakaian, tetapi penghormatan pada hari suci. Justru, akhir puasa wajib disempurnakan dengan pembagian zakat fitrah sebagai penyucian diri, bukan bersolek agar diri tampak molek. Kepedulian kepada orang-orang terpinggir adalah puncak dari ibadah ini.

Kalau puasa berakhir dengan mudik yang hiruk-pikuk dan gebyar kemewahan, mungkin sudah saatnya kita hanya perlu mudik batin. Sementara itu, ongkos mudik disedekahkan kepada fakir-miskin. Bukankah ini tantangan menahan diri yang tak pernah dilakukan secara bersama-sama?

AHMAD SAHIDAHDosen Filsafat dan Etika Universitas Utara Malaysia@AhmadSahidah

Parsel dan Makanan Kedaluwarsa

Jika Anda sering mendapat kiriman parsel dari rekan bisnis saat jelang Lebaran, kini Anda harus waspada. Bukan karena semata ada larangan dari Komisi Pemberantasan Korupsi

52

Page 53: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

(KPK) terhadap para penyelenggara negara untuk menerima bingkisan berupa parsel, tetapi keranjang parsel yang dikemas dengan kertas warna-warni yang menawan itu kerap berisi makanan dan minuman kedaluwarsa dan ilegal.

Dari pengamatan dan pengawasan yang dilakukan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) setiap tahun selama Ramadan terhadap peredaran parsel yang berisi makanan menunjukkan berbagai produk makanan kerap mengalami kerusakan dan melampaui batas kedaluwarsa serta ilegal. Bahkan ada produk tidak terdaftar dan tidak memenuhi syarat pelabelan. Kenyataan itu menggambarkan bahwa parsel yang beredar berpotensi mencederai kesehatan konsumen.

 Ini diperkuat oleh sejumlah laporan konsumen yang diterima YLKI tentang kian marak makanan kedaluwarsa yang beredar menjelang Lebaran. Keluhan klasik lain adalah kemasan makanan yang rusak, penggunaan pengawet secara berlebihan, dan belum terdaftar di Kementerian Kesehatan. Peredaran makanan kaleng yang sudah tak layak dikonsumsi kerap menjadi berita aktual setiap datang Lebaran dan hari-hari besar keagamaan lain.

Pemberitaan di sejumlah media cetak acap menyebutkan di sejumlah supermarket di ibu kota provinsi masih banyak beredar makanan kedaluwarsa. Produk ini biasa ditempatkan di rak-rak penjualan di pasar swalayan, bersama makanan kaleng yang kondisinya masih baik dan belum kedaluwarsa.

Bisnis Menguntungkan

Lalu lintas pengiriman parsel setiap menjelang Lebaran meningkat secara signifikan. Betapa tidak, bisnis yang satu itu selalu mendatangkan untung besar bagi pengelolanya. Ada dugaan pebisnis parsel memilih bahan makanan kedaluwarsa atau nyaris kedaluwarsa karena potongan harga menggiurkan sekitar 50% lebih murah. Pengiriman parsel pada mulanya jauh dari aktivitas ekonomi karena semata alat silaturahmi.

Namun, kini menjelma menjadi media multifungsi dan sudah digunakan sebagai pelicin bisnis atau langkah pendahuluan untuk “lobi-lobi” politik tertentu guna mendapatkan posisi atau jabatan. Itu menjadikan parsel menjadi bisnis yang bisa meraup laba gede dalam hitungan waktu singkat. Peluang itulah yang kerap dimanfaatkan pengusaha parsel, apalagi dipermudah dengan sistem teknologi komunikasi yang makin baik. Hanya dengan mengangkat telepon atau kirim SMS misalnya parsel sudah diantar dan sampai ke tujuan sesuai pesanan.

Kecenderungan yang terjadi selama ini, penerima parsel biasanya tak mau atau sungkan mengklaim kepada pengirimnya jika memperoleh makanan kedaluwarsa karena tidak tahu ke mana harus mengadu atau rasa segan lainnya. Si pengirim parsel tanpa menyadari telah membeli barang busuk yang berbahaya bagi kesehatan dengan harga lebih mahal pula untuk tujuan mulia, silaturahmi.

53

Page 54: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

Peredaran makanan kedaluwarsa secara umum merupakan produk ekonomi cuci gudang yang kerap dilakukan menjelang Lebaran. Barang-barang lama yang tak laku dijual kembali dengan potongan harga. Makanan kemasan yang diobral konon termasuk jenis barang perishables (mudah rusak) diibaratkan sebagai bom waktu yang siap mencederai kesehatan konsumen. Sedihnya, komoditas perishables ini bukan cuma diobral, melainkan menjadi isi parsel yang harganya bisa meningkat 2-3 kali lipat.

Bahaya di balik makanan kedaluwarsa patut diwaspadai. Cemaran aflatoksin— senyawa beracun dari jamur aspergillus flavus dan A parasiticus yang amat berbahaya bagi kesehatan—akan mudah terbentuk pada produk olahan kacang-kacangan. Kandungan lemak kacang dapat teroksidasi menjadi asam lemak bebas dan manolaldehid yang ditandai dengan bau yang tajam. Bau tengik menjadi salah satu tanda bahwa makanan mulai memproduksi aflatoksin.

Sementara itu, makanan kaleng yang berisi daging, ikan, atau sayur dengan pH di atas 4,6 jika sudah lewat masa kedaluwarsanya akan bersemayam bakteri clostridium botulinum dan pada gilirannya memproduksi racun botulinin yang mematikan. Bakteri yang amat berbahaya ini suka berdomisili pada tempat yang tak ada udara dan melindungi diri dengan membentuk spora sehingga tahan pada gempuran suhu tinggi.

Keamanan Pangan

Perdagangan makanan ilegal yang ditemukan BPOM selama Ramadan 2014 ini hanyalah salah satu dari segudang persoalan keamanan pangan di Indonesia. Peredaran produk pangan olahan yang mengandung bahan tambahan yang dilarang dapat menjadi contoh lain benang kusut keamanan pangan yang sulit diurai. Makanan dan minuman yang mengandung zat pewarna rhodamineB atau methanyl yellow, pemanis buatan siklamat atau sakarin, mi basah, daging ayam, dan ikan basah mengandung formalin masih tetap beredar di pasaran.

Dalam kasus peredaran produk pangan kedaluwarsa, kita patut lebih berhati-hati memilih produk makanan yang tidak jelas asal usulnya. Makanan kaleng yang sudah menunjukkan tanda-tanda kerusakan seperti kembung, penyok, bocor, dan berkarat sebaiknya tidak dikonsumsi karena rentan mengakibatkan keracunan. Keracunan makanan terjadi ketika ada bahan-bahan beracun yang terbentuk dalam makanan dan ikut masuk ke dalam tubuh saat kita makan. Mekanisme ini disebut intoksikasi.

Mikroba patogen yang masuk ke dalam tubuh lalu berkembang biak sampai menimbulkan gangguan atau penyakit disebut infeksi. Gejala keracunan muncul tak lama setelah menelan makanan yang mengandung racun, bahkan bisa terjadi tak lebih dari 24 jam. Rasa sakit mulai terasa pada saluran pencernaan seperti mual, muntah, perut melilit, diare, atau kolik.

Bisa juga menyerang susunan syaraf sehingga menimbulkan rangsangan syaraf seperti tegang otot atau kejang-kejang. Kondisi yang lebih parah, si penderita menunjukkan rasa kantuk yang berlebihan sampai koma (pingsan). Pada kondisi itu kematian sering terjadi karena

54

Page 55: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

pernafasan terhambat atau kerja jantung terganggu. Kasus keracunan makanan acapkali meminta korban jiwa manusia.

Dari berbagai kasus keracunan yang terjadi selama ini korban bukan hanya sakit, melainkan juga bersifat fatal dan meninggal dunia. Sumber keracunan dapat dibagi menjadi empat kelompok yakni makanan jajanan, makanan olahan pabrikasi, jasa boga atau katering, dan industri rumah tangga.

Hal yang sama juga masih terdapat di negara maju seperti Amerika Serikat yang sudah amat peduli terhadap perlindungan konsumen. Diperkirakan korban meninggal dunia akibat keracunan makanan mencapai 9.100 orang per tahun dengan kerugian hampir Rp5 miliar dolar per tahun.

Perhatikan Label

Untuk memastikan aman bagi kesehatan, sebelum dikonsumsi perhatikan dan bacalah label pada setiap makanan kemasan yang ada dalam parsel secara seksama. Label pada produk makanan olahan adalah sarana yang memberi informasi secara jelas mengenai produk tersebut. Lewat label dapat diketahui batas akhir penggunaan makanan tersebut (kedaluwarsa), kandungan zat gizinya, bahan pengawet yang digunakan, dan nama perusahaan yang memproduksi.

Dari label juga diketahui apakah suatu produk pangan dibuat di Indonesia atau didatangkan dari luar negeri. Hal lain yang tak kalah penting, masyarakat amat mengharapkan pemerintah menindak tegas pengedar dan penjual parsel yang berisi makanan kedaluwarsa dengan mengajukan mereka ke pengadilan sebagai bentuk kepedulian pemerintah terhadap perlindungan konsumen pangan.

Selama ini pelaku pengedar makanan kedaluwarsa di pengadilan dianggap sebagai tindak pidana ringan. Bukankah makanan kedaluwarsa berisiko menimbulkan penyakit yang acap minta korban jiwa? Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan memberi jaminan kepada konsumen pangan untuk mendapatkan makanan yang aman bagi kesehatan.

Menindak secara tegas sesuai hukum yang berlaku akan memberi efek jera kepada pedagang parsel untuk tercipta iklim perdagangan yang jujur dan bertanggung jawab. ●

POSMAN SIBUEA

Guru Besar Tetap di Jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan Unika Santo Thomas. Pendiri dan Direktur Center for National Food Security Research (Tenfoser)

55

Page 56: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

Gaudeamus Igitur

Gaudeamus igitur (Mari kita bersenang-senang) Juvenes dum sumus. (Selagi masih muda) Post jucundam juventutem (Setelah masa muda yang penuh keceriaan) Post molestam senectutem (Setelah masa tua yang penuh kesukaran) Nos habebit humus. (Tanah akan menguasai kita) Vivat academia! (Panjang umur akademi!) Vivant professores! (Panjang

56

Page 57: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

umur para pengajar!) Vivat membrum quod libet (Panjang umur setiap pelajar!) Vivant membra quae libet (Panjang umur seluruh pelajar!) Semper sint in flore. (Semoga mereka terus tumbuh berkembang!) 

Hampir setiap orang yang pernah diwisuda, pernah mendengar lagu ini. Yang pernah ikut padus (paduan suara) acara wisuda malah masih hafal liriknya dan kadang mendendangkannya sambil mandi... gebyar-gebyur (bunyi air mandi). Saya sendiri mengetahui lagu ini pertama kali ketika masuk UI pada 1961, kemudian di rumah saya menyanyikannya dengan bapak dan ibu saya yang pernah jadi mahasiswa di zaman Belanda karena lagu ini sudah menjadi lagu tradisi wisuda di semua universitas Eropa dan negara- negara jajahan Eropa sejak abad XIII. 

Belanda membawanya ke Afrika Selatan dan Indonesia. Dua bait yang dikutip di atas adalah yang biasa dibawakan di upacara wisuda yang merupakan bagian paling sopan dari seluruh lagu yang terdiri atas 10 bait. Bait-bait lainnya berisi ungkapan-ungkapan hurahura mahasiswa yang dalam versi mars UI (sebelum diubah pada 1966) disebut Buku, Pesta, dan Cinta. Hidup ini terlalu singkat, selayaknyalah kita ber-Gaudeamus Igitur (sambil minum-minum bir).

*** 

Sebentar lagi musim wisuda di kampus-kampus. Untuk yang kesekian juta kalinya sejak 11 abad terakhir orang akan merinding, terharu mendengar lagu itu. Di satu sisi senang karena telah menamatkan pendidikan tinggi, di sisi lain sedih karena harus meninggalkan kehidupan kampus (kedengarannya seperti orang yang gembira menyongsong hari kemenangan Idul Fitri, tetapi sekaligus sedih meninggalkan Ramadan). 

Tetapi, perasaan yang ditimbulkan dari lagu ini akan sama sekali berbeda ketika dinyanyikan oleh Mario Lanza, seorang penyanyi tenar bersuara tenor, sekaligus bintang film Holywood pada 1950-an (lagu-lagunya yang lain: Arriverde ci Roma, Santa Lucia, Silent Night, dan banyak lagi). 

Didendangkan oleh Mario Lanza, kita akan merasakan keindahannya lagu itu, tetapi tidak ada perasaan haru-biru wisuda yang menyebabkan para wisudawan meneteskan air mata, sementara para mahasiswa baru anggota padus yang mendendangkan lagu itu dengan penuh semangat bertanya dalam hati, ”Kapan saya bisa duduk di kursi wisudawan?” Perasaan haru-biru wisuda timbul karena Gaudeamus Igitur dinyanyikan dalam konteks prosesi wisuda. 

Disaksikan oleh para wisudawan, staf pengajar, para orang tua wisudawan, dan para undangan lain, prosesi (barisan) guru besar yang berjubah-jubah, dipimpin oleh rektor, berjalan perlahan menuju mimbar. Prosesi ini dipandu seorang pedel (petugas pembawa tongkat wisuda) sampai semua anggota prosesi naik mimbar dan menduduki tempat masing-masing. 

57

Page 58: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

Saat itulah lagu Gaudeamus Igitur berhenti, ”Hadirin dipersilakan duduk kembali!” Sesudah itu ada pidato-pidato, lagu-lagu, janji sarjana, lagu-lagu lagi, dan seterusnya sampai upacara selesai. Prosesi kembali ke tempat dengan iringan lagu Gaudeamus Igitur lagi. Prosesi seperti ini mirip sekali dengan prosesi gereja Katolik. Saya pernah menghadiri upacara sakramen pernikahan putri seorang teman baik saya di Gereja Katedral. 

Kebetulan saya mendapat tempat di dalam gereja sehingga merasakan betul ruh yang sedang terjadi di dalam upacara perkawinan itu. Urut-urutan acaranya sangat mirip dengan upacara wisuda: diawali dengan prosesi rohaniwan yang dipimpin uskup, dipandu petugas membawa tongkat keuskupan, diiringi lagu yang sangat menggetarkan jiwa, walaupun saya tidak tahu lagunya (saya hanya tahu lagu-lagu Natal yang kami mainkan di lounge hotel kalau the Profesor Band kena giliran main menjelang hari Natal), prosesi naik mimbar, pidato, lagu lagi, janji pernikahan, lagu lagi, kutipan ayat-ayat suci, lagu lagi, dan seterusnya sampai prosesi meninggalkan ruangan, diiringi lagu lagi, dan upacara pun dinyatakan selesai. Saya yang muslim pun, di tengah suasana seperti itu, bisa ikut terharu-biru.

Tetapi, analogi wisuda dan prosesi gereja Katolik bukan kebetulan. Perlu diketahui bahwa sebelum abad XVII, semua universitas (semuanya di Eropa, benua Amerika belum ditemukan) diselenggarakan oleh gereja sebagai satu-satunya sumber ilmu dan agama. Karena itu, banyak tradisi gereja yang adopsi oleh universitas dan berkelanjutan sampai hari ini, termasuk universitas-universitas sekuler (baru lahir sesudah zaman Renesans pada abad XVII). 

Di universitas-universitas Islam pun, di Indonesia, tradisi prosesi ini tetap dilaksanakan walaupun lagu pengantarnya bukan lagi Gaudeamus Igitur, melainkan Salawat Badar (pujian-pujian pada Allah dan Rasulullah). Demikian pula di negara-negara Anglo-Saxon dan bekas jajahannya (Inggris, Amerika, Australia, Malaysia, dan lainnya) lagu Gaudeamus Igitur tidak dikenal. Masing-masing kampus punya lagu wisuda masing-masing. 

Upacara di negara-negara dengan aliran Anglo Saxon pun berbeda misalnya upacara lebih singkat, dalam satu hari bisa tiga shift upacara, atau bisa juga dilaksanakan paralel dan lainnya. Tetapi, satu yang jelas, apa pun negaranya, prosesi dan toga tidak pernah lepas karena semua berawal dari tradisi gereja. 

Sayangnya, saya belum pernah ke universitas-universitas di negara-negara Timur Tengah sehingga tidak tahu bagaimana tradisi wisuda di sana. Namun, bagaimanapun, kemiripan antara lembaga pendidikan tinggi dan lembaga keagamaan yang terjadi hampir di seluruh dunia ini menunjukkan betapa kuatnya tradisi kalau sudah membudaya. 

Ribuan tahun, berbagai revolusi, resolusi, reformasi, bahkan restorasi zaman sekarang tidak akan mampu mengubah itu. Vivat academia! Vivant Professores!

58

Page 59: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

Alam Diolah, Buat Siapa?

Dua corak kehidupan menandai dua corak peradaban manusia. Pada zaman yang disebut “prasejarah”, manusia hidup tanpa teknologi. 

Tapi, tunggu dulu. Peradaban yang disebut zaman “prasejarah” itu sebetulnya juga zaman

59

Page 60: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

sejarah dan menghasilkan sejarah pula. Itu namanya sejarah zaman “prasejarah”. Adapun mengenai teknologinya, zaman itu juga sudah punya teknologi. Di dalam disiplin keilmuan, yang disebut sosiologi, ada kategori teknologi sederhana, ada teknologi madya, ada teknologi canggih, modern, dan tingkat tertinggi dari pencapaian perkembangan teknologi sekarang ini mungkin saja kita menyebutnya teknologi supramodern. Di mana ada peradaban, di situ ada teknologi. 

Pada zaman “prasejarah” tadi masyarakatnya mengembangkan teknologi sederhana. Zaman batu, ketika batu merupakan teknologi paling relevan, jelas menjadi bagian dari zaman teknologi sederhana. Zaman itu sambung-menyambung, dengan perbaikan teknologi di sana-sini, seiring penemuan-penemuan tembaga, besi, dan jenis-jenis logam lain. Pada sekitar abad ke-16, tanda dimulai zaman modern, kita baru mulai berbicara tentang teknologi modern, yang mengikuti perkembangan zamannya. Kita tidak boleh mempersulit diri dengan menyebutkan bahwa teknologi berhubungan dengan mesin-mesin canggih, hasil penemuan para ahli. 

Teknologi memang berhubungan pula dengan mesin. Tapi, mesin itu hanya alat. Jadi orang sosiologi mendefinisikan teknologi secara sederhana: alat. Mesin-mesin pesawat, mesin Apollo, dan semua jenis pesawat angkasa luar, secanggih apa pun, semua hanya alat. Sederhana sekali. Mesin-mesin yang digunakan di dunia pertambangan, yang bisa menggali tambang jauh sekali di dalam tanah, mesin itu alat. Mesin yang digunakan untuk menggali tambang minyak di dalam lautan, namanya juga hanya alat. Sebagai alat, teknologi tidak hanya berarti mesin. 

Teknologi tampil dalam berbagai wujud yang beragam dan berbeda-beda. Tapi, dia hanya alat. Sebagai alat, teknologi bisa dikendalikan manusia. Tapi, pada zaman ini makin hari makin terasa bahwa teknologi mengendalikan nafsu-nafsu manusia. Kelihatannya kita bangga berada di bawah kendali teknologi. Mereka yang memahami seluk beluk teknologi menjadi lebih bangga lagi di depan mereka yang buta teknologi dan gagap teknologi. Mereka yang paham teknologi itu merasa diri mereka modern, lebih modern dibanding orang-orang lain. Lalu kita bersikap sinis terhadap kehidupan masa lalu. 

Kita selalu mengejek “zaman batu” sebagai ukuran keterbelakangan yang memalukan. Sebentar-sebentar orang berkata, dengan konotasi merendahkan: kita tak mungkin kembali ke zaman batu. Tentu saja kita tak bakal, karena memang tak perlu, kembali ke zaman batu. Tapi, zaman batu bukan tonggak sejarah yang membolehkan teknologi modern dan supramodern mengolah alam dan merusaknya hingga ke titik di mana perbaikan, biarpun kecil, tak mungkin dilakukan lagi. Teknologi dan penggunaan teknologi ada di dalam pengendalian kita. Bukan sebaliknya.

Saya pernah berkunjung ke Freeport dan kagum melihat kehebatan teknologi modern yang bisa menggali emas di dalam tubuh gunung yang tinggi yang habis diporak-porandakan. Gunung itu hilang. Emasnya juga hilang. Orang Papua tak kebagian apa-apa. Rakyat dalam jumlah sedikit, yang miskin, tetap miskin. Perut gunung itu dibedah hingga lebih 200 meter

60

Page 61: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

ke dalam tanah, lingkungan di situ hancur, dan sungai-sungai hancur untuk pembuangan “tail”, yang berupa limbah berbahaya. 

Sungai yang tadinya bersih seperti air di dalam mesin pendingin di dapur, yang begitu jernih dan segar, yang bisa diminum tanpa menimbulkan gangguan kesehatan, berkat “tail “ itu “surga” itu hancur luluh. Teknologi modern dan penerapannya membawa hasil luar biasa besar dan kita tak pernah melihat emasnya seperti apa karena biji-biji emas itu sudah ditampung dengan teknologi mutakhir yang memungkinkan mereka langsung tiba di negeri orang putih yang menggalinya. 

Kita bangga atas temuan-temuan yang menandai modernitas hidup kita. Kita bangga atas prestasi teknologi yang tak terbayangkan. Tapi, kita lupa bahwa kebanggaan itu telah mencapai titik puncak yang berlebihan hingga kita buta terhadap kehancuran yang merajalela, yang akibat-akibatnya diderita manusia juga. Banjir bandang, polusi air, polusi udara, dan polusi politik merupakan bahaya terbesar. Jakarta mudah dikendalikan oleh polusi politik. Perpanjangan izin operasi mudah dibuat. 

Duit tak menjadi masalah bagi penambang. Bagi politisi dan pejabat di Jakarta, duit itu godaan besar. Ketika berkunjung ke Freeport tadi, seorang teman mengkritik kerusakan itu dengan bahasa yang tak dibungkus-bungkus. Jawabnya, juga tak memakai bungkus apa pun, khas jawaban orang teknologi, yang hanya tahu satu jenis kemajuan: memangnya kita harus kembali ke zaman batu?

Para petani Rembang, di daerah perbatasan Rembang dan Bojonegoro, di bagian timur pegunungan Kendeng, maupun Pati, di bagian barat, sedang bersikukuh mempertahankan hak-hak mereka atas tanah dan atas keutuhan lingkungan. 

Lawan mereka bukan Freeport yang menggali tambang, melainkan dua pabrik semen: swasta dan BUMN. Sudah lama ketegangan itu berkembang. Pada intinya rakyat tak ingin ada pabrik semen di desa mereka. Gunung itu bagi mereka sumber air bersih, udara bersih, dan tempat menanam segala jenis tanaman buat kehidupan mereka. Sumber itu tak boleh hancur. “Alam tidak boleh diolah?” Boleh. Dengan cara mereka, cara tradisional, yang memiliki kearifan lokal, yang tak menghasilkan banyak, tapi cukup. 

Kata cukup lebih penting daripada kata banyak, berkah lebih mulia daripada jumlah. Mereka fasih berbicara mengenai berkah. Tak begitu “kemrungsung “ mengejar jumlah. Pengolahan alam bagi mereka sederhana. Tanah dicangkul, tanaman ditanam di sana, dan tumbuh subur. Hasilnya, yang tak banyak, tapi cukup, memberi mereka berkah. Berkah itu yang mereka pertahankan. 

“Alam bisa diolah secara modern dengan hasil yang luar biasa.” Mereka tak butuh segala yang luar biasa. Petani sekadar perlu yang biasa-biasa. Tapi, alam terpelihara, lestari, sumber air terjaga, sumber penghidupan tak dirusak. Tanah itu warisan leluhur dan akan diwariskan lagi pada anak cucu, para cicit, dan generasi penerus.

61

Page 62: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

Tanah mereka bukan milik mereka. Tapi, mereka wajib mempertahankannya dari tangan-tangan keserakahan yang bicara tentang hasil yang luar biasa besar tadi. Mereka tahu, lebih baik ini tanah tak terjamah. Senyari bumi tak ternilai harganya. Tak diolah tak menjadi soal. Sebab ketika diolah, buat siapa hasilnya? Mereka tahu jawabnya.● 

MOHAMAD SOBARY Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email: [email protected]

Presiden Baru dan Pembangunan PemudaKoran SINDOKamis,  7 Agustus 2014

TAHAPAN demi tahapan pemilihan presiden dan wakil presiden (Pilpres) tahun ini telah selesai. Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan Joko Widodo dan Muhammad

62

Page 63: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

Jusuf Kalla sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih pada 22 Juli lalu. Saat ini kita tinggal menunggu hasil sidang sengketa Pilpres di Mahkamah Konstitusi.

Pemegang mandat lembaga kepresidenan kelak akan dihadapkan pada kompleksnya permasalahan yang melilit bangsa ini. Salah satu masalah mendasar adalah rendahnya daya saing manusia Indonesia jika dibandingkan bangsa-bangsa lain. Laporan The Global Competitiveness Index yang dirilis World Economic Forum akhir tahun lalu, peringkat daya saing bangsa Indonesia menempati posisi ke-38 dari 148 negara yang disurvei, naik drastis dari tahun sebelumnya di posisi ke-50.

Daya saing dalam hal ini ditentukan faktor-faktor yang menentukan tingkat produktivitas suatu negara. GCI misalnya dihitung dengan menghimpun setidaknya 12 kategori di antaranya makroekonomi, kesehatan dan pendidikan, tenaga kerja, perkembangan pasar keuangan, kesiapan teknologi, infrastruktur, dan lingkungan. 

Peringkat ini tentu bukan ukuran mutlak untuk mengukur setangguh apa daya saing kita sebagai bangsa dibanding bangsa-bangsa lain, namun bisa menjadi gambaran umum untuk menilai keunggulan dan kelemahan pembangunan kualitas manusia Indonesia.

Postur Demografi dan Daya Saing

Kita tahu di tengah peningkatan persaingan global, arus barang dan jasa yang masuk lewat perdagangan bebas akan semakin besar, apalagi tahun depan kita mulai memasuki ASEAN Economic Community. Pemerintah mendatang perlu mematangkan strategi baru untuk meningkatkan daya saing sebagai syarat mutlak ketahanan bangsa. Dilihat dari postur demografi Indonesia, jumlah pemuda menempati puncak. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2013 saja jumlah pemuda mencapai 62,6 juta orang.

Artinya, hampir dari seperempat penduduk Indonesia tak lain isinya ya pemuda ini. Karena itu, dalam pembicaraan mengenai daya saing dan masa depan bangsa, pemuda adalah subjek utama yang harus diperhatikan kesiapannya. Dengan begitu, strategi pemerintah terhadap pembangunan manusia Indonesia, terutama pemuda, punya arti yang sangat penting. Pada rentang 2015-2035 Indonesia diproyeksikan mengalami bonus demografi. Pada rentang tahun ini jumlah penduduk usia kerja (15-64 tahun) akan mencapai 70%. Sisanya 30% adalah penduduk tidak produktif.

Dilihat dari jumlahnya, penduduk usia produktif dan penduduk tidak produktif bisa mencapai rasio 3 berbanding 1. Periode bonus demografi ini dapat menjadi jendela kesempatan (windows of opportunity) bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat, namun bila tak dikelola dengan baik, bakal menjadi jendela malapetaka (windows of disaster). Kesempatan untuk meningkatkan kesejahteraan dapat kita capai karena beban penduduk tidak produktif yang ditanggung penduduk produktif semakin mengecil.

Dengan kecilnya beban, produktivitas dapat dikelola agar menjadi modal bagi pembangunan

63

Page 64: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

ekonomi. Jika kita hendak menjadikan momentum ini untuk melonjakkan produktivitas, pilihannya tak ada yang lain kecuali mempersiapkan perbaikan kualitas sumber daya manusia. Dalam hal ini saya memiliki keyakinan bahwa investasi dalam pengembangan sumber daya manusia pemuda Indonesia adalah yang utama.

Peta Jalan Pembangunan Pemuda

Untuk itulah, kita butuh intervensi kebijakan pemerintah yang tepat. Pola pembinaan pemuda yang telah disusun dan dilaksanakan oleh pemerintah sebelumnya melalui 21 institusi yang membidangi kepemudaan harus dilaksanakan secara berkelanjutan. Penyelenggaraan kegiatan kepemudaan mestinya bukan semata diposisikan sebagai kegiatan sesaat, namun harus berdasar kerangka kebijakan pemerintah serta arah pembangunan pemuda yang terukur, jelas, dan visioner.

Jika tidak, kita akan terus mengulangi permasalahan kepemudaan yang sama saat kebutuhan semakin mendesak dipenuhi. Menimbang perubahan tingkat kebutuhan dan pergantian prioritas dalam penentuan target kebijakan, selalu dibutuhkan kerja sama banyak pihak melalui lintas kelembagaan untuk urun rembuk merumuskan kembali peta jalan pembangunan pemuda Indonesia. Program kepemudaan harus dirancang bersama sesuai prioritas kebutuhan yang relevan.

Tidak bisa lagi program kepemudaan diselenggarakan hanya untuk tujuan instrumentatif pemenuhan program, berhenti di tengah jalan tanpa ada aspek keberlanjutan. Pembangunan aspek sumber daya manusia selalu membutuhkan kecermatan dan ketelatenan karena yang dihadapi adalah manusia dengan berbagai aspek kehidupannya. Butuh keberpihakan yang kuat dari siapa pun pemerintahan yang terpilih kelak untuk mendorong rumusan kebijakan agar tak hanya hebat di atas kertas.

Kita menaruh harapan terhadap pemuda sebagai penentu jalannya keberlangsungan pembangunan bangsa ke depan. Intervensi kebijakan yang tepat dari pemerintahan yang terpilih kelak akan memberi dampak bukan hanya tiga atau lima tahun ke depan, namun juga bisa memberikan pengaruh bagi satu generasi bangsa.

MUHAMMAD ARIEF ROSYID HASANKetua Umum PB HMI

Lubang dalam Tata Kelola PSDA

Pada 9 Agustus ini, ada momen yang penting sebagai pengingat kita dalam melaksanakan pembangunan, namun sering terlewatkan, yaitu hari masyarakat adat internasional. 

Peringatan ini penting karena harus ada keselarasan antara pembangunan yang jelas

64

Page 65: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

diperlukan untuk memajukan bangsa ini serta perhatian terhadap masyarakat adat di Indonesia. Pembangunan nasional seperti telah diperbincangkan dalam berbagai pembahasan isi draf RPJMN (2015-2019) sangat mengandalkan peran pengelolaan sumber daya alam (PSDA). Berbagai target dan sasaran pembangunan antara lain seperti pengembangan infrastruktur ekonomi, energi terbarukan, swasembada dan kedaulatan pangan, peningkatan pemanfaatan sumber daya kelautan, membutuhkan dasar pijakan tata kelola (governance) PSDA yang baik. 

Tata kelola dikatakan baik apabila dapat dialokasikan dan dikelola SDA secara efisien, efektif, dan pantas. Tata kelola yang baik ditandai dengan sikap publik menghormati kepastian hukum, transparansi dan aliran informasi yang bebas, keikutsertaan warga negara dalam pengambilan keputusan secara signifikan, kesetaraan, akuntabilitas yang tinggi, manajemen segala bentuk sumber daya publik secara efektif, serta pengendalian terjadinya korupsi Sayangnya, praktik-praktik pelaksanaan peraturan dan perundangan di lapangan sampai saat ini cenderung menghasilkan tata kelola yang buruk. 

Kondisi tersebut dikonfirmasi, misalnya, oleh hasil kajian UNDP Indonesia (2013) di sepuluh provinsi di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua yang menunjukkan indeks tata kelola hutan dan lahan rata-rata 2,33 dari nilai maksimum 5. Praktik-praktik PSDA di pusat, provinsi, dan kabupaten mempunyai rata-rata indeks masing-masing 2,78, 2,39 dan 1,80. Kajian tersebut juga sejalan dengan kajian ICEL di tahun yang sama, di Kalimantan Tengah dan Nusa Tenggara Barat. 

***

Setidaknya terdapat lima praktik tata kelola di lapangan yang secara signifikan dapat menghambat target dan sasaran pembangunan ke depan yang diuraikan berikut ini. Pertama, SDA menurut peraturan-perundangan dikuasai oleh negara (state property resources), namun di lapangan tidak terurus dengan baik, informasi mengenai kekayaan dan pengendaliannya sangat minimal, sehingga secara de facto bersifat terbuka bagi siapa saja (open access). 

Untuk sektor kehutanan, hal demikian itu disebabkan lemahnya pelaksanaan pengukuhan kawasan hutan negara. Persoalan paling mendasar yaitu dalam pelaksanaan pengukuhan tersebut lebih berorientasi pada penyelesaiannya secara administratif dan sah (legal) melalui penandatanganan berita acara tata batas (BATB) oleh panitia tata batas yang diketuai oleh bupati, namun adanya hak-hak pihak lain di dalam kawasan hutan negara tidak diselesaikan dengan baik, sehingga berbagai bentuk klaim tetap terjadi. 

Dalam bidang pertambangan, permasalahannya terletak pada masih rendahnya kapasitas pemerintah daerah dalam menggunakan izin sebagai instrumen pengendalian. Kajian reviu perizinan yang dilakukan di sembilan kabupaten di tiga provinsi, yaitu Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan Jambi yang saat ini masih sedang berjalan, misalnya, menunjukkan bahwa dokumen perizinan sebagai instrumen pengendalian izin dan jumlah produksinya yang dimiliki oleh pejabat pemberi izin kurang dari 50%. 

65

Page 66: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

Kedua, kelemahan isi peraturan-perundangan, rendahnya kapasitas birokrasi terutama dalam pelaksanaan pengendalian izin serta ketidaklengkapan informasi kekayaan alam menjadi penyebab mudahnya terjadi state capture maupun ekonomi biaya tinggi yang berupa suap/peras dalam hampir seluruh mata rantai perizinan. Kajian KPK (2013) menunjukkan bahwa di dalam seluruh mata rantai perizinan kehutanan mulai dari pengurusan izin, perencanaan hutan, pelaksanaan produksi, tata niaga hasil hutan, serta pengawasan dan pengendalian perizinan terdapat biaya suap/peras. 

Misalnya dalam pelaksanaan pengurusan izin usaha kehutanan yang dialami pelaku usaha untuk mendapatkan rekomendasi bupati/gubernur dihargai antara Rp50.000-100.000 per hektare dan antara Rp10-15 miliar untuk sebuah izin pertambangan. Untuk mengesahkan rencana kerja usaha kehutanan perlu membayar sekitar Rp250 juta, sementara mengangkut kayu bulat harus membayar sekitar Rp500.000 per pos jaga dengan jumlah antara 20-30 pos jaga. Selain itu, dalam hal pengawasan oleh aparat terdapat kebiasaan mengganti biaya pelaksanaan surat perintah tugas (SPT) oleh perusahaan. 

Secara umum, perusahaan menerima 100 sampai 150 SPT per tahun. Aparat pemerintah yang melakukan pengawasan itu meminta informasi yang hampir sama kepada perusahaan. Fenomena seperti itu menunjukkan bahwa kerusakan hutan dan sumber daya alam bukan kurang pengawasan, melainkan justru kelebihan pengawasan, namun hanya menghasilkan laporan administratif tanpa bermakna sebagai instrumen pengendalian izin.

Ketiga, mahalnya biaya pengurusan dan pelaksanaan perizinan serta rendahnya pelayanan publik, terutama bagi masyarakat adat/lokal, menyebabkan setidaknya dua masalah. Masalah pertama, saluran mendapatkan legalitas untuk memanfaatkan sumber daya alam secara de facto terbatas disediakan bagi usaha besar, karena masyarakat adat/lokal tidak mampu membayarnya. Oleh karena itu, meskipun pemerintah telah menyediakan kesempatan berusaha bagi masyarakat adat/lokal melalui berbagai skema pengelolaan hutan, seperti hutan desa, hutan kemasyarakatan, dan hutan tanaman rakyat, secara finansial masyarakat tidak mampu menjangkaunya. 

Kenyataan seperti itu secara nasional ditunjukkan oleh tidak bergeraknya peran masyarakat adat/lokal untuk mampu meningkatkan ketahanan ekonomi rumah tangganya. Angka sampai akhir 2013 menunjukkan perbandingan luas pemanfaatan hutan oleh usaha besar dengan usaha kecil yaitu 96%:4%. Masalah kedua, dalam setiap urusan penyelesaian konflik penggunaan kawasan hutan negara, pertambangan maupun perkebunan, siapa yang paling berhak memanfaatkan sumber daya alam itu adalah siapa saja yang mampu menunjukkan bukti legalitas sesuai peraturan perundangan. 

Usaha besar mampu mendapatkan syarat legalitas itu walaupun harus membayar mahal, tetapi masyarakat adat/lokal tidak. Pelayanan yang memihak ini di berbagai tempat menjadi pemicu kecemburuan, perasaan tertekan dan frustrasi, serta rasa pelakuan tidak adil yang sangat mendalam. Bentuk-bentuk konflik pemanfaatan hutan dan lahan antara perusahaan

66

Page 67: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

dan masyarakat yang pemicunya dapat disebabkan oleh hal-hal yang tidak penting (sepele), sesungguhnya di pihak masyarakat mempunyai akar masalah yang sangat mendalam seperti itu. 

Keempat, lembaga-lembaga pemerintah beserta kultur dan mental block yang ada di dalamnya secara umum sudah terjebak melayani kebutuhan administrasi dan indikator kinerja yang bersifat jangka pendek, serta didasarkan oleh peraturan-perundangan yang cenderung tidak diinterpretasikan sejalan dengan kondisi, kapasitas dan kebutuhan masyarakat adat/lokal. Sikap pemihakan bagi masyarakat adat/lokal yang diperlukan saat ini tertimpa oleh kepentingan kelompok untuk mendapat untung secara individual. 

Kelima, akumulasi dari keempat hal di atas secara visual menghadirkan kenyataan bahwa pengelolaan sumber daya alam seperti hanya menguras kekayaan alam tanpa menghasilkan penguatan untuk membangun dasar-dasar kapasitas modal sosial dan modal ekonomi yang mampu bertahan dalam jangka panjang. 

***

Masyarakat adat/lokal sudah lama melihat jalan buntu untuk mampu keluar dari lubang yang dalam persoalan tata kelola PSDA itu. Untuk itu, praktik-praktik nyata di lapangan, transaksi-transaksi perizinan, kekuatan-kekuatan sosial-politik yang menyertainya maupun kapasitas dan kapabilitas lembaga dan unit kerja pemerintahan, terutama di daerah, perlu digunakan sebagai dasar penetapan strategi pembangunan nasional. 

Para perencana pembangunan dan penentu kebijakan nasional diharapkan mampu menerjemahkan fakta-fakta lapangan itu menjadi strategi pembangunan dengan subyek utama masyarakat adat/lokal, sehingga tidak terbuai pada angka-angka agregat nasional maupun indikator-indikator makro ekonomi yang senantiasa menjanjikan.

HARIADI KARTODIHARDJOGuru Besar Kebijakan Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Anggota Presidium Dewan Kehutanan Nasional

Susila

Banyak orang Jawa bernama Susilo (termasuk nama Presiden kita, SBY), yang jika di-bahasa indonesia-kan menjadi ”susila”, yang artinya sopan santun.

Dengan demikian, hal-hal yang terkait dengan kesopanan dan kesantunan disebut kesusilaan. Dalam bahasa filsafatnya disebut: etika. Etika, logika, dan estetika, adalah tiga hal yang

67

Page 68: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

dibahas dalam filsafat. Etika adalah tentang kesopanan, logika adalah tentang kebenaran, dan estetika adalah tentang keindahan. Yang ideal adalah jika kita bisa mencapai ketiganya sekaligus: benar, indah, dan santun.

Tetapi nyatanya tidak bisa selalu begitu. Lukisan Picasso yang menurut penggemarnya sangat indah, sehingga harganya bukan alang kepalang mahalnya, menabrak logika sejadi-jadinya, karena mata bisa terletak di kaki dan kuping terbang melayang entah ke mana. Begitu juga seni wayang orang yang penuh keindahan seni tari, seni musik, seni drama, seni busana, dan seni rupa banyak mengandung hal yang tidak logis, misalnya mau berperang kok menyanyi dulu. Film India juga begitu, mau bercinta selalu menyanyi dan menari dulu, berkejaran dan bersembunyi di balik pohon atau tiang bendera. Tentu saja ketahuan. Tidak logis, bukan? Tetapi yang tidak logis itulah yang digemari orang.

Begitu juga dengan etika. Dalam pertemuan, rapat, atau kuliah, yang datang duluan tidak mau duduk paling depan. Saf yang di belakang dulu diisi, sehingga ketika acara akan dimulai deretan paling depan kosong. Kalau MC (master of ceremony) atau dosen meminta hadirin mengisi saf-saf paling depan, barulah dengan enggan hadirin beringsut, itu pun hanya satu atau dua baris ke depan, sehingga saf paling depan tetap kosong. Dihubungkan dengan logika, maka kesimpulannya ”Jaka Sembung” alias gak nyambung.

***

Walaupun Jaka Sembung, orang Indonesia sangat memperhatikan etika. Dalam upacara pernikahan adat Batak, misalnya, ada acara di mana semua anggota keluarga kedua mempelai, satu per satu memberi nasihat kepada pengantin. Waktu untuk tiap penyambut tidak dibatasi, sehingga jika banyak anggota keluarga yang menyambut acara pun bisa berlangsung berjam-jam. Buang-buang waktu, kata logika. Tetapi kalau ada satu saja anggota keluarga yang terlewatkan, tidak tertutup kemungkinan perkawinan batal dilaksanakan.

Dalam bahasa Jawa, ada tiga sampai empat tingkatan bahasa, dari yang paling rendah (ngoko) yang digunakan antarteman atau oleh orang yang lebih tinggi martabatnya kepada yang lebih rendah (misalnya orang tua pada anak), lebih tinggi (kromo madyo) yang digunakan oleh yang lebih rendah kepada yang lebih tinggi (anak kepada orang tua), lebih tinggi lagi (kromo), yaitu dari bawahan kepada atasan atau bangsawan, sampai tertinggi (kromo inggil) yang biasa diucapkan oleh masyarakat atau bangsawan biasa kepada sultan. Jadi, untuk satu kata dalam bahasa Indonesia, misalnya: kepala, bisa ada empat kata padanannya dalam bahasa Jawa, yaitu (urut dari yang tertinggi sampai ke yang terendah): mustoko, sirah, endas, dan gundul. Jadi sebetulnya lebih sulit belajar bahasa Jawa daripada belajar bahasa Inggris hanya karena ada satu kata untuk kepala: head.

Setiap masyarakat atau suku bangsa punya tata susila atau etika sendiri-sendiri. Bahkan etika satu masyarakat bisa berganti-ganti dari masa ke masa. Dulu kalau bapak-bapak atau ibu-ibu saling bertemu paling-paling hanya bersalaman, atau kalau cara Sunda: munjungan. Tetapi kemudian di zaman Bung Karno kebiasaannya kalau bapak-bapak elite bertemu ibu-ibu elite

68

Page 69: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

saling cipika-cipiki. Di zaman Soeharto tidak ada lagi cipika-cipiki antarjenis kelamin, tetapi Bu Tien Soeharto mulai membiasakan cipika-cipiki di antara ibu-ibu.

Di zaman Habibie mulai ada cipika-cipiki di antara bapak-bapak, dan saya lihat Jokowi punya kebiasaan men-jedut-kan kepala kepada lawan bersalamannya yang sesama laki-laki (kebiasaan seperti ini saya lihat sudah ada di lingkungan perwira tinggi Polri sejak lama). Jangan heran kalau nantinya masyarakat pun saling men-jedut-kan kepala sebagai pengganti cipika-cipiki. Itulah susila yang bukan SBY.

Di sisi lain, kita lihat sekarang kesusilaan banyak dilanggar. Logika lebih penting. Daripada etika dalam berlalu lintas, misalnya, bukan hanya kesopanan berlalu lintas, tetapi undang-undang pun dilanggar. Jalanan macet total karena sepeda motor menyemut, melawan arus. Kalau ada pengendara lain yang menegur, yang melanggar itu justru lebih galak marahnya, seakan-akan hanya dia yang benar dan orang lain salah.

Sikap mau benar sendiri inilah yang merupakan akar kisruhnya tatanan masyarakat kita. Apalagi kalau ”kebenaran” itu tidak perlu diuji lagi, melainkan bisa dibeli. Buktinya, kebenaran yang harusnya dijaga baik-baik oleh Mahkamah Konstitusi berdasarkan undang-undang bisa jebol juga. Kalau ketua MK ketika itu, Akil Mochtar, mempunyai etika yang tinggi, kasusnya tidak akan terjadi, dan citra MK masih selamat sampai hari ini.

Sayangnya, etika ini tidak mendapat perhatian cukup dalam proses pendidikan sejak anak usia dini sampai remaja, baik di sekolah maupun di rumah. Pendidikan etika tidak sama dengan pendidikan budi pekerti atau pelajaran agama, yang hanya berupa pengetahuan dan hafalan. Pendidikan etika adalah pendidikan untuk bisa menghayati mana yang baik dan mana yang tidak baik (bukan mana yang benar, mana yang salah).

Penghayatan akan etika hanya bisa dilakukan melalui latihan perilaku yang berulang-ulang, dengan contoh konkret dari orang tua, guru, atau pendidik yang lain. Kebiasaan berbahasa Jawa berjenjang, jika diajarkan secara konsisten sejak kecil, mau tidak mau akan mendorong orang untuk berbahasa sesuai tata krama yang tepat, sampai anak itu dewasa.

Tetapi ketika pendidikan sekarang lebih mengutamakan matematika daripada etika, jangan heran kalau ulama dan profesor korupsi, bahkan anak tega membunuh orang tua sendiri gara-gara tidak dikasih duit buat beli narkoba.

SARLITO WIRAWAN SARWONO Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

69

Page 70: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

ISIS, Sunni, dan, Syiah

Kontroversi Islamic State of Irak and Syria (ISIS) kian merebak sekaligus membingungkan. Kekejaman ISIS dalam membantai musuh-musuhnya, terutama yang berasal dari Mazhab Syiah benar-benar membuat merinding siapa pun. 

Jejeran kepala manusia yang dipenggal oleh tentara ISIS, seperti ditunjukkan dalam Youtube,

70

Page 71: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

benar-benar mengesankan bahwa “Islam” sedang menuju zaman barbar. Bendera ISIS yang berisi kalimat tauhid, sangat kontras dengan makna kalimat tauhid tersebut. Paham radikal dan ekstrem yang ditunjukkan ISIS ternyata tidak mengarah pada pembelaan terhadap Palestina yang tengah dibombardir Israel. Sebaliknya, ISIS malah menyerang Pemerintah Irak dan Suriah yang dipimpin orang-orang Syiah. 

Dari fakta-fakta tersebut, ISIS tampaknya lebih concern untuk menghabisi muslim Syiah ketimbang memerangi Bangsa Yahudi yang selama ini menjadi monster menakutkan di Palestina. Yang menarik, ISIS mengklaim dirinya sebagai pengikut Sunni. Sedangkan negeri-negeri yang tengah diserangnya, Suriah dan Irak, dicap sebagai negeri Syiah. Dengan mendikotomikan sunni dan syiah inilah, ISIS berhasil memengaruhi para pengikut muslim sunni, termasuk di Indonesia. Propaganda anti-Syiah yang masih di Indonesia menjadikan kaum Syiah seperti musuh yang harus dienyahkan. 

Sunni ala ISIS versus Sunni Indonesia 

Islam mazhab Sunni adalah mazhab atau aliran dalam Islam yang eksis dan dominan sepanjang sejarah, khususnya di kawasan Nusantara. Diawali dengan hubungan dagang antara penduduk pribumi dengan pedagang Arab, Persia, India, danChina, penduduk Nusantara juga mengenal dan mengikuti agama dan mazhab yang mereka anut. Dalam kerangka ini kaum sayid yang berasal dari Hadramaut (Hadrami) mengambil peran penting dalam membangun model keberagaman penduduk Nusantara, karena selain berdagang, mereka juga menyebarkan agama Islam dan membangun tradisi. 

Mereka ini umumnya menganut mazhab Syafi’i dan mendominasi corak keislaman pesisir Samudera Hindia (Alatas, 2010). Secara harfiah, Ahlusunah Waljamaah (Aswaja) adalah para pengikut tradisi Nabi Muhammad SAW, sahabat dan ijmak ulama. Istilah Aswaja sering digunakan untuk menyebut kaum atau komunitas yang menganut paham teologi (kalam) asyariyah-maturidiyah, menganut fikih empat mazhab, utamanya Syafi’iyah dan tasawuf mengikuti pola pemikiran Imam al-Ghazali dan Syaikh Junaid al Bagdadi. Dahulu, mereka yang berpandangan seperti ini adalah orang-orang Nahdlatul Ulama (NU). Kaum NU inilah yang disebut dengan Aswaja. 

Doktrin Aswaja juga menjadi ciri utama dalam kurikulum pendidikan dan pelatihan kader organisasi seperti Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor), Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU), dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Muhammadiyah, Persatuan Islam, Syarikat Islam, Al Irsyad, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, meski jelas-jelas menganut paham Ahlusunah Waljamaah tidak pernah disebut sebagai kaum Aswaja. Sebabnya, Muhammadiyah dan organisasi-organisasi tersebut dalam pemahaman dan pengamalan Islam lebih menekankan kepada kembali kepada Alquran dan Sunah, menolak taqlid kepada ulama, pemurnian aqidah, dan pengamalan tasawuf tanpa tarekat (Azra, 2012: xiii). Sementara, NU sebagai pendukung Aswaja, menambah praksis ibadah dengan taqlid kepada ulama, mengamalkan apa yang disebut dengan fadha’il al-a’mal, dan tarekat.

71

Page 72: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

Paham Aswaja dalam pandangan kiai di Jawa memiliki pengertian yang lebih sempit, tidak hanya untuk membedakan dengan paham dan penganut Syiah tetapi juga untuk membedakan dengan kelompok Islam modernis. Perbedaan antara kelompok Aswaja dengan kelompok modernis pada waktu lalu memang cukup tajam. Aswaja sering kali juga disebut “aliran lama” yang dianut oleh “kaum tua” berhadapan dengan “aliran baru” dengan penganut “kaum muda”. 

Tetapi dalam tiga puluh tahun belakangan, telah terjadi konvergensi antara kelompok Aswaja dengan modernis. Banyak pengikut NU atau Aswaja, terutama di perkotaan yang mengikuti praktik ibadah salat Tarawih delapan rakaat dan salat Idul Fitri maupun Idul Adha di lapangan. Sebaliknya, penganut “aliran baru” juga tidak menolak diajak istigasah, selamatan dengan membaca tahlil dan surat Yasin. Sekat budaya (cultural barrier) yang memisahkan keduanya telah runtuh. Hal itu disebabkan terjadinya dialog wacana dan dialog kehidupan yang intensif antara keduanya. 

Munculnya generasi muda dari kedua belah pihak yang mengakui adanya pluralitas, sehingga muncul paham “agree in disagreement”, membuat mereka memandang perbedaan pemahaman keagamaan dalam perspektif yang luas. Pertukaran pendidikan di antara kedua kelompok ini juga terjadi secara masif. Banyak anak orang NU yang sekolah di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi Muhammadiyah, dan sebaliknya banyak anak Muhammadiyah yang masuk pesantren milik kiai NU. 

Paham Ahlusunah Waljamaah di kalangan NU juga sudah tidak lagi sempit, isolatif, tertutup apalagi eksklusif, melainkan telah menjadi “paham terbuka” yang harus menerima pikiran-pikiran dari luar yang mengayakan (Ismail, 2004: 131-134). NU dan Muhammadiyah sepakat bahwa keduanya adalah organisasi keagamaan dan kemasyarakatan yang tidak lagi menempatkan pertarungan politik sebagai tujuan yang dominan.

Paham dan gerakan Salafi pada masa kini juga mengklaim dirinya sebagai Aswaja, padahal dalam hal furu’ mereka berbeda dengan kelompok NU. Mereka tampil beda dengan mengenakan jubah panjang (jalabiyah), sorban (imamah), celana yang menggantung (isbal), dan memelihara jenggot (lihyah). Perempuannya mengenakan pakaian hitam-hitam yang menutupi semua tubuh dan wajah mereka, kecuali mata. Jika menyelenggarakan walimah, undangan dipisahkan dengan tabir antara laki-laki dan perempuan. Khutbah, ceramah dan pengajian yang mereka lakukan selalu dimulai dengan iftitah yang standar dan sama, mengacu pada iftitah khutbah Nabi SAW. Oleh banyak ahli, kelompok ini disebut gerakan neo-fundamentalism non-revolusioner (Atho Mudzhar, 2012). 

Menurut Mudzhar, Salafisme kontemporer merupakan Wahabisme yang dikemas ulang mengikuti pikiran Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahab serta merujuk kepada pemegang otoritas fatwa Wahabi kontemporer seperti Abdul Azis bin Abdullah bin Baz (1912-1999) dan Muhammad Nasirudin Al-Bani (wafat 1999). Lantas, di mana posisi ISIS dalam konstelasi tersebut di atas? Apakah klaim Sunni-nya benar?

72

Page 73: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

ISIS pimpinan Al Baghdadi sebelumnya adalah pimpinan Al Qaeda Irak. Sebagaimana kita ketahui, Al Qaeda adalah gerakan yang mengusung paham radikal dan karenanya menafikan "liyan" dan bahkan menyebut sebagai kafir. Bagi mereka orang yang sudah diputus kafir, boleh diperangi atau dibunuh. Inilah yang harus kita cermati. Kita bangsa Indonesia yang mempunyai dasar negara Pancasila, jelas terlarang “mengikuti” jejak ISIS yang barbar, yang berseberangan dengan sifat Ar-Rahman dan Ar- Rahim Allah.

Klaim Al-Baghdadi sebagai khalifah Islam juga tak bisa dibenarkan karena basis kekhalifahan adalah umat (Islam), bukan bangsa. Para pengusung ide khilafah, seperti Hizbut Tahrir, tidak dapat menerima kekhalifahan Al Baghdadi karena cara pengangkatan khalifah tidak memenuhi ketentuan syariat. 

Bagi bangsa Indonesia yang umumnya juga menganut mazhab Sunni, pandangan dan gerakan ISIS tidak sesuai bahkan bertentangan. Saat ini ketika dunia sudah terdiri dari berbagai bangsa dan negara yang penduduknya meliputi berbagai agama, klaim kekhalifahan menjadi ahistoris. Negara-negara Arab yang mayoritas penduduknya menganut agama Islam dan berbicara dalam satu bahasa, nyatanya menganut berbagai sistem pemerintahan seperti republik, emirat, kerajaan, dan Republik Islam. Dalam konteks inilah kenapa Menag Lukman Hakim Saifuddin melarang bangsa Indonesia berbaiat ke ISIS. Indonesia adalah negara Bhineka Tunggal Ika dan Pancasila adalah dasar negara yang sudah final.

AHMAD SYAFI’ MUFIDPeneliti Utama Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kementerian Agama

Mengonversi CPO Menjadi Produk Pangan Baru

Indonesia menempati posisi pertama dalam produksi minyak sawit mentah (CPO) di dunia, disusul Malaysia. Dalam International Oil Palm Conference (IOPC), di Nusa Dua, Bali, pada 17 hingga 19 Juni 2014 bertema ”Green Palm Oil for Food Security and Renewable Energy” , pemerintah menargetkan produksi minyak kelapa sawit nasional mencapai 40 juta ton pada

73

Page 74: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

2020. 

Sayangnya, nilai ekspor produk turunan CPO dari Indonesia masih lebih kecil dibanding dari Malaysia. Produksi CPO Indonesia pada 2012 mencapai 25 juta ton, hanya 7 juta ton digunakan untuk konsumsi dalam negeri, sisanya 18 juta ton diekspor. Pemerintah dapat meningkatkan ekspor produk turunan CPO dan nilai tambah yang diperoleh dapat digunakan untuk memacu kemajuan kesejahteraan warga. Minyak sawit yang biasa digunakan sebagai minyak goreng ternyata mengandung komposisi asam lemak yang unik dan komponen mikronutrien yang menakjubkan seperti provitamin A dan vitamin E. Pemerintah diharapkan dapat mendorong masyarakat semakin inovatif dalam mengonversi CPO sebagai sumber pangan nutrasetikal dan produk pangan baru yang bermanfaat untuk kesehatan. 

Lebih lengkap 

Minyak kelapa sawit memiliki tingkat kegunaan yang luas di bidang pangan. Produk yang dihasilkan bisa berupa minyak goreng, minyak sawit merah, salad, shortening, margarin, cocoa butter substitute (CBS), food emulsifier, dan berbagai formulasi produk pangan lainnya. Hampir 90% minyak kelapa sawit yang diproduksi di dunia digunakan sebagai bahan makanan. Kandungan gizi minyak sawit lebih lengkap dibandingkan dengan minyak kedelai dan jagung. Selain mengandung provitamin A, minyak sawit kaya dengan vitamin E (tokoferol dan tokotrienol) dan zat bioaktif lain seperti riboflavin dan likopen. 

Minyak sawit mentah dapat menjadi sumber pangan fungsional yang tinggi kandungan karotenoid (500-700 ppm) dan vitamin E (1000 ppm). Minyak sawit mentah berwarna merah kecokelatan menandakan kandungan karotenoid yang tinggi. Pengembangan minyak sawit sebagai sumber betakaroten atau provitamin A dan vitamin E dapat dilakukan dalam bentuk produk minyak sawit merah (MSM, red palm oil, RPO). Teknologi produksinya kini mulai berkembang dan diminati industri pangan fungsional. Pada minyak makan merah ini hampir 90% kandungan karoten dan vitamin E dari minyak sawit mentah dapat dipertahankan sehingga dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi produk nutrifikan makanan, nutrasetikal, dan farmasetikal. 

Namun, minyak sawit merah pernah dituduh sebagai sumber saturated fat (asam lemak jenuh tinggi). Efeknya disebut meningkatkan kolesterol darah. Padahal, kandungan asam lemak jenuh dan kandungan asam lemak tidak jenuh dalam minyak sawit sebanding dan sangat menguntungkan untuk menurunkan kolesterol darah. Tuduhan ini tidak lepas dari persaingan bisnis minyak nabati di tingkat global. Minyak sawit merah kini mulai terkenal di pasaran dunia, khususnya Amerika Serikat dan menjadi ancaman bagi petani dan industri kedelai yang juga menghasilkan minyak goreng. Guna mempertahankan kandungan betakaroten yang tinggi pada minyak sawit merah, proses pengolahan dilakukan tanpa pemucatan (bleaching). 

Dengan modifikasi proses pemurnian ini, kandungan betakaroten dipertahankan lebih tinggi dibanding pada minyak goreng pada umumnya. Laju penurunan betakaroten saat pemakaian dapat bertahan pada batas akhir kandungan betakaroten yakni sampai 400 ppm selama 6,0

74

Page 75: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

bulan. Produk minyak sawit merah secara komersial telah dikembangkan dalam skala industri di Malaysia dan India. Sejak 1937 India sudah sukses dalam studi ini. Penyerapan sumber betakaroten dengan media minyak paling tinggi dibandingkan dengan sumber penyerapan karoten yang lain. Untuk RPO, penyerapannya bisa sampai 90%. 

Dalam bidang kesehatan, betakaroten berguna untuk meningkatkan imunitas dan mengurangi risiko penyakit kanker, jantung, dan katarak. Minyak sawit merah yang kaya betakaroten tidak cocok lagi dijadikan untuk minyak goreng, melainkan untuk produk salad oil. Betakaroten yang merupakan provitamin A dapat mengalami kerusakan pada temperatur di atas 2000C. Karena itu, minyak sawit merah harus disimpan dalam tempat tertutup, terjaga dari sinar matahari, dan disimpan dalam temperatur yang relatif rendah. 

Produk Baru 

Mengonversi CPO menjadi produk baru pangan nutrasetikal menjadi amat penting pada masa datang. Dengan semakin populernya penggunaan senyawa alami untuk bahan industri farmasi, prospek pengembangan berbagai produk pangan baru berbasis minyak sawit semakin terbuka. Hasil penelitian menunjukkan nilai ekonomi minyak sawit dapat meningkat seiring pengembangan industri baru berbasis minyak sawit yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat petani. Produk healthy oil hingga saat ini masih merupakan produk impor dengan harga yang relatif mahal dan umumnya produk karoten yang digunakan merupakan senyawa sintetik, bukan senyawa alami seperti pada minyak sawit. 

Lebih lanjut, pemanfaatan minyak sawit sebagai sumber provitamin A juga dapat diharapkan untuk mengatasi salah satu masalah gizi di Indonesia yakni defisiensi vitamin A yang dapat menyebabkan gangguan penglihatan hingga kebutaan, terutama bagi balita dan anak-anak. Hingga saat ini kebutuhan vitamin A di Indonesia masih dipenuhi produk impor. Suplemen Palm Vitee salah satu produk makanan nutrasetikal yang kini dikembangkan di Malaysia, dibuat dari fraksi minyak sawit kaya tokotrienol (tocotrienol rich fraction, TRF). Konsentrat karotenoid minyak sawit juga dikembangkan dalam bentuk kapsul, bubuk, ataupun emulsi untuk aplikasi nutrasetikal. 

Selain itu juga dikembangkan minyak sawit merah (red palm oil) dan red palm olein yang mengandung karotenoid tinggi. Dari perspektif ilmu gizi, minyak sawit merah dapat berfungsi ganda. Selain sebagai sumber antioksidan yang andal untuk mencegah penuaan dini, penyakit jantung koroner, dan kanker, MSM juga diharapkan dapat menggantikan kapsul vitamin A yang selama ini digunakan untuk mengatasi defisiensi vitamin A di Indonesia. Hingga kini hampir separuh anak balita Indonesia masih mengalami defisiensi vitamin A subklinis. 

Kebijakan World Health Organization (WHO) untuk meningkatkan ketersediaan vitamin A pada makanan sehari-hari guna mengurangi defisiensi vitamin A pada balita dan anak-anak dapat memberi nilai tambah minyak sawit merah. Masyarakat Amerika kini mencampurkan

75

Page 76: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

MSM dengan minyak canola sebagai minyak salad dengan kandungan provitamin A tinggi. Kandungan retinol dalam MSM sama dengan yang terkandung dalam serum retinol bagi anak. MSM dapat dijadikan alternatif jangka panjang dalam menanggulangi masalah defisiensi vitamin A. 

Mengonversi CPO secara lebih inovatif erat kaitannya dengan penanggulangan masalah defisiensi vitamin A di Indonesia untuk kemajuan bangsa dan meningkatkan mutu sumber daya manusia (SDM) pada masa datang. Dengan melakukan modifikasi proses pemurnian, tanpa bleaching, kandungan betakaroten dalam MSM dapat dipertahankan. Proses pengolahan ini tidak menambah biaya lagi untuk melakukan fortikasi vitamin A dalam minyak goreng (cooking oil). 

Maka itu, mengonsumsi minyak sawit merah lima belas gram per hari (satu sendok teh tiga kali sehari) sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan vitamin A anak balita dan minyak sawit goreng tidak perlu difortifikasi dengan vitamin A. ●

POSMAN SIBUEAGuru Besar Tetap di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas Sumatera Utara, Pendiri dan Direktur Center for National Food Security Research (Tenfoser)

Cahaya Lilin dalam GelapKORAN SINDO

12 Agustus 2014

Makin berbeda, makin jelas di mana titik-titik persamaan kita (Gus Dur) Gus Dur itu ibarat orang yang menyalakan lilin dalam kegelapan. Banyak aspek kebudayaan kita gelap. Struktur kehidupan sosial-politik kita juga gelap. 

Pertama, penguasa otoriter, dan mereka yang masih tetap bertangan besi, kelihatan jelas ingin

76

Page 77: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

hidup seenaknya seperti di zaman kegelapan beberapa abad yang lalu. Kedua, kelompok- kelompok sosial keagamaan— terutama para pembawa misi perjuangan agama, yang membolehkan sikap dan tingkah laku serbakeras dan memuja kekerasan— tampak makin terbuka untuk mendominasi kehidupan, seolah hidup ini milik mereka sendiri. 

Di tengah proses di mana hidup makin tertata secara terbuka dan adil serta manusiawi banyak kekuatan budaya, kekuatan kemasyarakatan, dan politik, yang merasa bersukacita hidup dalam kegelapan etis maupun kemanusiaan, seolah fajar baru kemanusiaan di zaman ini bukan hanya tak memengaruhi mereka, melainkan bahwa dengan sengaja mereka musuhi.

Pagi ini ada sebuah media yang mengenang kembali Gus Dur. Karikaturnya, yang khas Gus Dur, ditampilkan di bawah penjelasan ”Mengenang Gus Dur”. Ungkapan bijaknya dikutip kembali: ”Agama melarang ada perpecahan, bukan perbedaan”. Ada penjelasan tambahan: Gus Dur dikenal sebagai tokoh bangsa yang memberikan tempat lebih layak bagi kaum minoritas di Indonesia. Kata ”dikenal” di sini sebuah ”kredit” yang diberikan kepadanya. 

Tapi, kelihatannya, ini ”kredit kecil” atau hanya berskala ”menengah”, yang jelas tak disengaja, malah ”mendegradasikan” apa yang dapat kita sebut ”life achievement” Gus Dur. Lain soal bila di sana disebutkan: Gus Dur merupakan tokoh bangsa yang berdiri di garis paling depan, sejauh menyangkut pembelaannya untuk memberi tempat lebih layak bagi kaum minoritas di negeri ini. 

Komentar ini bukan hanya sekadar berbicara mengenai ”tata bahasa” dan cara memberinya apresiasi, melainkan mengenai makna penghormatan yang— sekali lagi jelas tak dimaksudkan— untuk malah mengurangi arti perjuangannya di bidang keadilan budaya, hukum, dan politik yang kejam terhadap kaum minoritas. Kita tahu, selain Gus Dur, dalam perjuangan itu ada juga Cak Nur, orang saleh, militan, dan tulus berbicara mengenai keadilan, demokrasi, dan kemanusiaan. 

Platform Cak Nur membela ”nilai-nilai” dan tak pernah bicara membela teman, golongan, atau kelompok-kelompok dalam masyarakat yang bisa saja salah. Tapi, perjuangan dan pemihakan terhadap nilai-nilai tidak. Cak Nur sering terlalu lembut, hati-hati, dan bijaksana yang bisa saja menyembunyikan suatu rasa takut tertentu. Gus Dur keras, berani sekali, sering sangat tidak hati-hati, dan lebih sering kelihatan nekat. 

Tapi, nekat di sini bukan fenomena psikologi massa yang menggambarkan sikap kehilangan ”kepala”, tidak rasional, dan ”kalap”. Gus Dur sangat berani dan nekat dengan perhitungan; siapa berani menangkap ”panglima” umat yang jumlahnya maharaksasa di bumi kita ini? Kalau sudah sampai di sini, apa yang nekat tadi sebetulnya bukan nekat, apa lagi ”kalap”, melainkan sikap yang didasarkan pada perhitungan politik yang sangat cermat, sangat rasional. 

Dia menikmati suasana psikologi politik menjadi orang ”pemberani” yang bisa diberi penghormatan ”dies only once”, dan penuh keagungan, bukan ”pengecut” yang sebutannya

77

Page 78: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

”dies many times”, dan mungkin penuh keresahan. Dia bilang, seorang pemberani itu bukan orang yang tak pernah mengenal takut. 

Pemberani itu orang yang juga takut, tapi bisa mengelola ketakutannya sedemikian rupa dengan perhitungan dan strategi sehingga ketakutannya kalah. Salah satu keberaniannya yang tak mungkin kita lupakan karena tak ada seorang pun yang mau melakukannya saat itu dalam suasana mencekam, penuh teror dan ketakutan, pada Jumat pekan pertama setelah terjadi apa yang kita kenal sebagai peristiwa Tanjung Priok pada 1985. 

Tidak ada khatib pada salat Jumat yang saat itu berani naik mimbar karena dipelototi tentara dan intel yang ganas. Tapi, Gus Dur tampil. Mungkin atas persetujuan Pak Benny Moerdhani atau berdasarkan sikap lain. Gus Dur pun naik mimbar dan memberi apresiasi pada sikap dan perjuangan Amir Biki dan anak buahnya. 

Tapi, Gus Dur juga mengkritik mereka sebagaimana tampak dalam buku Jejak Guru Bangsa: Meneladani Kearifan Gus Dur, yang saya tulis dan diterbitkan Gramedia pada 2010. Di sana Gus Dur mengatakan, berjuang tidak cukup hanya dengan keberanian, tapi harus juga mengingat perlu saling menimbang nasihat yang bijak, dan di atas segalanya berjuang itu juga perlu kesabaran. Pada mulanya Gus Dur juga gentar kalau tiba-tiba ditembak di atas mimbar. Tapi, itu tak terjadi, kita tahu itu. Turun mimbar dengan selamat membuatnya lega. 

Tokoh-tokoh Islam Tanjung Priok lega, tentara lega, intel juga lega atas langkah berani yang bijak itu. Kita semua tahu Gus Dur tak pernah ragu sedikit pun, menaruh dirinya di dalam banyak kemungkinan risiko tak mengenakkan, yang tempo hari, pada 1990-an, dilempari banyak tuduhan: agen Yahudi, kadang-kadang ”agen Israel”, yang keduanya kurang lebih sama. Sikap populisnya yang jelas dan berwarna ”pluralis”, yang memberi tempat lebih layak pada kaum minoritas seperti disebut tadi. 

Sejumlah tokoh Islam sendiri ada yang tak memahami sikap dan perjuangannya, ada yang curiga, ada yang marah, ada juga yang memprotes karena terlalu baik hati pada kaum minoritas dan sering sangat keras kepada anak-anaknya sendiri, golongan Islam. Gus Dur mendengarkan semua itu bukan untuk menurutinya, melainkan untuk mencari celah di mana kelemahan argumen mereka. 

Gus Dur menikmati perdebatan karena dia tahu perdebatan itu jalan menemukan titik persamaan. Tapi, yang terpenting, perdebatan itu proses pendewasaan umat. Dia sangat sadar bahwa di dalam perjuangan keumatan di dalam NU maupun Islam pada umumnya tak banyak tokoh yang terlalu peduli, apalagi dengan serius, untuk menjadikan diskursus di bidang ini sebagai kapital mengembangkan diskursus ”Islam dan demokratisasi”. Ini wilayah ” tak terjamah” seperti lahan ”tidur” yang tak digarap siapa pun. Para tokoh lain berbeda cara melihatnya. 

Gus Dur suka akan perbedaan macam itu. Baginya, makin berbeda makin jelas di mana titik-titik persamaan kita seperti dikutip di atas. Dia pun tak takut akan kegelapan sebab dia bisa

78

Page 79: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

menyalakan lilin yang bisa meneranginya. Bagi negeri ini, dia mungkin ibarat ”cahaya lilin dalam gelap”. ●

MOHAMAD SOBARY Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email: [email protected]

Komodifikasi Pesan dalam Pilpres

Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) 2014 yang belum lama usai memberikan kita banyak pengalaman. Salah satunya adalah pola komunikasi dalam kampanye. 

Dalam Pilpres 2014, isu-isu agama menjadi isu dominan yang diusung para capres dan tim suksesnya. Isu-isu agama menjadi polemik yang keras di antara para pendukung kedua capres, sebagai upaya untuk menarik perhatian dan memperebutkan dukungan pemilih. 

79

Page 80: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

Dalam upaya memperebutkan simpati massa atau pemilih Islam, masing-masing capres berusaha mengubah penampilan keduanya agar tampil sedekat mungkin dengan Islam, yaitu dengan menggunakan simbol dan atribut Islam, dan menunjukkan gambar-gambar bahwa yang bersangkutan adalah umat yang taat. Komodifikasi tersebut dilakukan kedua capres secara vulgar. 

Kedua capres sangat bergairah agar terlihat oleh masyarakat bahwa mereka dekat dan bagian dari ormas Islam terbesar di Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Keduanya melakukan safari ke pesantren dan ulama sebagai representasi masyarakat Islam Indonesia. Bahkan, kedua kubu melakukan klaim politik bahwa para ulama yang dipercaya dan berpengaruh ikut mendukung mereka. Klaim tersebut kemudian menjadi perdebatan dalam proses sosialisasi dan kampanye politik dalam Pilpres 2014 ini.

*** 

Simbol dan atribut agama menjadi komoditas yang “diperjualbelikan” oleh capres sesuai dengan tujuan dan target politik. Mereka tidak peduli bahwa apa yang mereka lakukan dapat “merusak” persepsi masyarakat mengenai agama Islam. Para politisi dan kandidat hanya berpikir apa yang dapat menguntungkan mereka pada saat itu saja. 

Simbol dan atribut politik yang dimanfaatkan oleh para politisi dalam kampanye, di satu sisi mampu mendekatkan diri mereka sekaligus membentuk persepsi dan opini publik yang positif. Di sisi lain, penggunaan simbol dan atribut Islam justru menciptakan persoalan baru di masyarakat. Masyarakat menilai secara sepihak bahwa tampilan para politisi dan kandidat dalam kampanye tersebut merupakan sesuatu yang nyata, terintegrasi dalam diri politisi dan kandidat. 

Dalam upaya mencapai realitas tersebut, para kandidat dan politisi melakukan komodifikasi dan dibungkus dengan simbol-simbol dan atribut agama. Sehingga mereka seolah-olah tampak “baik”, agamais dan jujur. Nyatanya telah terjadi komodifikasi secara terencana dan masif oleh kedua belah pihak yang didukung oleh para relawan dan pendukung masing-masing capres. 

Media kemudian menjadi bagian dari kekuatan politik yang dimanfaatkan secara maksimal oleh capres dan timses serta didukung oleh pemilik media dalam upaya menciptakan persepsi positif kepada khalayak dengan isu-isu yang dekat dengan khalayak tersebut. Bahkan, media secara “sadar” melakukan manipulasi kesadaran masyarakat dengan beragam pesan kampanye positif dan negatif, atau bahkan apa yang disebut belakangan dengan kampanye hitam. 

Capres dan timses sangat menyadari bahwa pemanfaatan simbol agama dan atribut sosial- budaya seperti peci, sarung, dan sorban dapat mendongkrak citra dan penerimaan mereka oleh masyarakat. Para politisi telah berhasil menciptakan sebuah sistem komunikasi politik

80

Page 81: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

yang pada dasarnya merupakan realitas integral dalam kehidupan sosial budaya masyarakat. 

Mereka melakukan konstruksi makna simbol dan atribut tersebut agar mempunyai kekuatan dan nilai ekonomi dalam pasar politik. Inilah yang menurut Mosco (1996) sebagai bentuk komodifikasi yaitu telah terjadi proses transformasi barang dan jasa dari nilai gunanya menjadi komoditas yang berorientasi pada nilai tukarnya di pasar. Dalam konteks itu, capres dan cawapres merupakan sebuah komoditas yang dirancang sedemikian rupa sebagaimana produk yang mempunyai nilai ekonomi. 

Artinya realitas yang muncul bukanlah realitas tanpa pertimbangan atau asal hadir saja, melainkan realitas yang terencana dengan segala aspek komunikasinya seperti komunikator, pesan, media, khalayak, efek bahkan feedback apa yang sedang dirancang dalam proses kampanye tersebut. Hal itu dapat dijelaskan dengan kategori komodifikasi Mosco yaitu komodifikasi isi media, komodifikasi khalayak selaku konsumen, dan komodifikasi pekerja media.

*** 

Proses politik membutuhkan kampanye politik. Kampanye politik harus dilakukan secara maksimal untuk memunculkan persepsi sesuai kepentingan komunikator politik. Atas dasar pertimbangan itulah, komodifikasi terjadi dalam proses konstruksi konten atau isi media. Komodifikasi yang berlangsung tidak mungkin terbantahkan karena khalayak sebagai pemilih juga menginginkan politisi yang “memiliki kedekatan” dengan nilai-nilai sosial, budaya, ideologi bahkan agama pemilih. 

Konstruksi makna terletak pada pikiran khalayak. Kekuatan pikiran yang berupa persepsilah yang menciptakan pemahaman bersama mengenai suatu realitas. Pemahaman bersama khalayak pemilih terhadap kandidat/politisi yang berimplikasi pada terpilihnya kandidat itulah yang kemudian dapat dijelaskan bahwa khalayaklah yang menentukan makna bukan realitas itu sendiri. 

Pemahaman tersebut tercipta karena makna di dalam pikiran khalayak (Mulyana dan Rakhmat, 1996) atau disebut juga dengan intentional meaning, yaitu makna yang dipersepsikan oleh si pemakai lambang. Makna tak dapat divalidasi empiris. Makna ada pada pikiran orang. “Words don’t mean, people means.” Khalayaklah yang menentukan seorang kandidat atau politisi terpilih atau tidak dalam proses politik. 

Upaya agar memperoleh opini dan persepsi yang positif inilah yang mendorong secara integral dalam setiap perilaku kampanye yang disebut oleh Vincent Mosco dengan komodifikasi. Makna adalah milik khalayak yang tercipta dari proses komunikasi, yaitu proses transformasi isi pesan yang diciptakan oleh pekerja media dan disampaikan kepada khalayak sebagai target. Konten atau isi pesan diharapkan bernilai ekonomi tinggi sehingga pasar politisi naik dan memenangkan proses politik. 

81

Page 82: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

Dalam proses tersebut, muncul upaya mendekatkan diri dengan pemahaman dan nilai-nilai yang dekat dengan khalayak merupakan sebuah keharusan, walaupun realitas tersebut adalah “semu” atau palsu semata. Kekuatan simbol dan nilai agama terbukti mampu menciptakan makna yang positif di tengah khalayak pemilih. 

Menjadi persoalan bila individu-individu yang menggunakan simbol dan atribut tersebut hanya “komodifikasi” saja, maka muncul pemahaman yang semu, di mana politisi digambarkan lekat dengan simbol dan atribut agama. Kondisi tersebut kerap ditemui dalam beberapa kasus korupsi. Politisi tetap melakukan korupsi, manipulasi, dan kolusi yang sangat tidak koheren dengan simbol-simbol yang mereka gunakan dalam proses kampanye.

UMAIMAH WAHID

Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Budi Luhur, Jakarta

Over-Expose ISIS

Koran SINDO

15 Agustus 2014

Kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) secara tiba-tiba menjadi isu hangat media massa secara nasional, baik cetak maupun elektronik akhir-akhir ini. 

82

Page 83: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

Beragam berita tentang ISIS di media, di satu sisi sejatinya menjadi upaya waspada (warning) terhadap paham yang sudah distempel terlarang oleh pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenkopolhukam). Ekspos berita tentang ISIS dengan demikian menjadi sebentuk kontrol sosial agar masyarakat tidak terpengaruh terhadap paham ini. 

Namun di sisi lain, ekspos berlebihan (over-expose) terhadap ISIS justru berdampak sebaliknya. Bukan semata-mata kewaspadaan, melainkan ketertarikan. Alih-alih menjadi kontrol sosial membentengi masyarakat untuk waspada dan berhati-hati, media secara tidak langsung telah ikut memperkenalkan dan menyosialisasi ajaran ISIS, sekaligus memperbesar kuriusitas masyarakat untuk semakin ingin tahu seluk beluk dan gerak-gerik kelompok ini. 

Artinya, dengan demikian, over-expose media menjadi pisau bermata dua. Menyebarkan paham sekaligus mengajak masyarakat menyelami ideologi ISIS. Persoalannya, perspektif dan cara pandang (world view) masyarakat tentang relasi agama dan negara berbeda-beda, terutama kaitan khilafah islamiyah yang diembuskan oleh kelompok ini, meski kajian tentang hal tersebut telah lama dituntaskan oleh para ulama Indonesia bahwa ijtihad NKRI dan Pancasila adalah pilihan terbaik bagi bangsa ini. 

ISIS sejatinya hanyalah kelompok baru yang hadir karena problematika politik lokal dan dinamika perseteruan ideologis di Irak dan sebagian negara Arab yang secara kultur dan politik sama sekali berbeda dengan konteks Indonesia. Munculnya ISIS di Indonesia dengan demikian, semestinya tidak disikapi secara berlebihan, apalagi melibatkan instrumen ideologis dan dogmatis. 

Jika disadari, kelompok ini bukanlah satu-satunya jenis organisasi impor yang hadir di Indonesia. Sebab ada kelompok lain yang mendeklarasikan diri sebagai partai islam internasional (Hizbut Tahrir) yang, meskipun berbeda corak, namun mempunyai tujuan yang serupa, yakni khilafah islamiyah sebagai ideologi internasionalisme baru. 

Faktanya, kelompok ini pun tidak mampu menggeser bangunan kebangsaan Indonesia (NKRI) dan nilai ideologi Pancasila. Dalam bangunan perpolitikan nasional sekalipun, ada pihak yang secara mindset masih mengedepankan simbolisasi islam dalam konteks negara sebagai bentuk minimalis dari cita-cita khilafah islamiyah. 

Meski demikian, NKRI tetaplah utuh dan Pancasila tetap kukuh. Tak hanya ekstrem kanan, isu kemunculan ekstrem kiri (komunisme) pun menjadi bagian tak terpisahkan dari dinamika ke-Indonesia-an. Namun demikian, baik ekstrem kanan maupun ekstrem kiri hanya akan selalu menjadi minoritas tanpa mampu menggeser mainstream kebangsaan kita. 

Hal ini telah diyakini sejak lama oleh dua ormas keagamaan terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Saya yakin selama dua ormas terbesar yang saya sebut sebagai fondasi keumatan dan kebangsaan Indonesia ini masih dalam komitmen keindonesiaan, maka

83

Page 84: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

ideologi impor manapun tak akan mampu menggoyahkan konstruksi NKRI. Dengan demikian, pemberitaan over-ekspos atas ISIS hanyalah kekhawatiran berlebihan terhadap kelompok minoritas baru itu. 

Over-Expose 

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) secara resmi telah mengeluarkan surat edaran kepada lembaga penyiaran berjaringan nasional (televisi swasta nasional) agar tidak lagi menyiarkan secara berlebihan berita tentang ISIS. Keputusan ini diambil didasarkan atas dampak negatif over-expose penyiaran. Surat edaran menegaskan pentingnya media sebagai pilar demokrasi yang niscaya membentengi NKRI dan Pancasila dari ancaman nilai-nilai destruktif- eksternal, yakni dengan meminimalisasi segala pemberitaan over-expose tentang ISIS. 

Pertama, over-expose dapat menjadi bentuk lain dari sosialisasi ajaran ISIS. Dalam fungsinya sebagai the windows of reality (McLuhan: 1980), media akan mengungkap setiap fakta. Namun di titik ini, terdapat sekian banyak fakta yang dapat diberitakan sesuai kategori nilai berita (news values) masing-masing. Jikapun fenomena kelompok ISIS dianggap sebagai fakta dengan tingkat news value tinggi, maka ia akan terus diurai, dieksplorasi dan dikabarkan terus menerus. 

Namun demikian, uraian fakta ini kerap diulang dan terus diperdetail, selain untuk menyajikan fakta paling menarik kepada pemirsa, terdapat kepentingan industri dibalik produktivitas berita ISIS, yakni rating-share, iklan, kebutuhan keunikan fakta, dan seterusnya. Pengulangan pemberitaan dan ekspos berlebihan tentang fenomena ISIS harus disadari sebagai sosialisasi gratis bagi kian merebaknya nilai ideologis kelompok ini. 

Kedua, over-expose memojokkan dan mendiskreditkan ISIS dapat menimbulkan simpati masyarakat terhadap kelompok ini. Kondisi ini dapat dianalogikan dengan dampak underdog effect dalam pola pencitraan dalam disiplin ilmu komunikasi, yakni munculnya dampak empatik dan emosional dari masyarakat terhadap seseorang atau kelompok tertentu yang diposisikan tidak menguntungkan. 

Hal ini semestinya disadari oleh semua pihak, terutama pihak media. Janganlah terlampau membesar-besarkan kelompok kecil bernama ISIS ini. Yang dibutuhkan kini adalah tindakan konkret pemerintah melalui program riil di lapangan, baik melalui konsolidasi antar elemen ulama, tokoh masyarakat, ormas Islam dan seterusnya, hingga program literasi nilai keagamaan inklusif dan seterusnya sebagaimana program-program yang telah dijalankan selama ini oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). 

Kini tinggal bagaimana maksimalisasi program agar dapat dicapai sesuai tujuan dan target grup. Ekspos media tanpa diiringi dengan program riil hanya akan menimbulkan syakwasangka, munculnya kuriusitas publik hingga dampak underdog effect yang justru semakin menguntungkan kelompok yang disinyalir sebagai ekstremis baru ini. 

84

Page 85: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

Ketiga, over-expose media mendedahkan kondisi baru media, terutama televisi, bahwa transparansi informasi dalam segala hal telah melampaui ambang batas normal sebuah pemberitaan menuju keadaan yang disebut Baudrillard (1987: 135) sebagai ekstasi komunikasi (The Ecstasy of Communication). Maknanya, hampir seluruh dimensi kehidupan masyarakat dituntun oleh logika objektivisme kapitalistik yang menawarkan keterbukaan, kebaruan, perubahan dan percepatan konstan. 

Dalam keadaan demikian, isu ISIS mendapatkan momentumnya, setelah masyarakat jenuh dengan tarik ulur isu politik nasional yang sedemikian riuh dan emosional. Over-expose atas pemberitaan kelompok ISIS diposisikan sebagai obyek untuk senantiasa mencari kebaruan. Kebaruan inilah yang kerap tidak disadari telah menggantikan nilai kearifan dan kebijaksanaan dalam pemberitaan media. 

Segenap elemen bangsa ini segera menyadari bahwa apapun fakta yang disajikan, apabila diekspos terlampau berlebihan, maka akan mengakibatkan dampak negatif terhadap publik. Media semestinya tak semata-mata mencari kebaruan dan keunikan sebuah fakta, namun sekaligus mencari makna dibalik berita yang akan dipublikasikan. 

Dengan demikian, media akan benar-benar berfungsi sebagai pilar keempat demokrasi Indonesia, yang santun, berkeadaban, objektif, dan edukatif. ●

DANANG SONGGO BUWONO

Komisioner KPI Pusat

Pemimpin yang Negarawan

Koran SINDO

15 Agustus 2014

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah mempertemukan Prabowo Subianto dengan Joko Widodo. Pertemuan terjadi di sepuluh hari terakhir bulan Ramadan; bulan yang sangat disucikan kaum muslimin dan diyakini mengandung berjuta berkah. 

85

Page 86: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

Dalam beberapa hari terakhir, karena persaingan yang ketat, kedua kubu sempat berada di titik yang mengkhawatirkan. Padahal pemilu hanyalah alat, persatuan dan kesatuan bangsa adalah tujuan. Persatuan adalah tujuan mulia dari diperjuangkannya kemerdekaan Indonesia, dan telah disepakati sebagai salah satu di antara lima sila dari Pancasila. Karena persatuan adalah tujuan, setiap upaya yang akan mengganggu apalagi mengancam rusaknya persatuan, dapat pula dimaknai telah mengganggu dan mengancam Pancasila. 

Di sinilah urgensi pertemuan kedua tokoh itu di Istana Negara. Presiden telah mengamankan Pancasila. Setelah mengalami pasang-surut suksesi kepemimpinan, kita ternyata masih belum sampai pada kesadaran transendental tentang hakikat hidup bermasyarakat dalam balutan Ketuhanan Yang Maha Esa. Kita sudah memiliki negarawan besar seperti Bung Karno, Pak Harto, Pak Habibie, Gus Dur, Bu Mega, dan Pak SBY. 

Layaknya manusia, mereka juga punya kekurangan dan kelebihan. Namun, kita akan selalu butuh pemimpin dengan jiwa kenegarawanan. Negarawan sejati, dalam angan-angan kami bangsa Indonesia, adalah sosok yang selalu berada dalam kadar keikhlasan yang tinggi. Keikhlasannya selalu melampaui kepentingan pribadinya.

Pemimpin yang negarawan akan selalu menempatkan Tuhan sebagai alasan kenapa ia beramal. Dia telah menjadikan Tuhan sebagai kampung halamannya. Maka ke mana pun pergi, dia tak akan pernah lupa jalan pulang. Baginya, mengabdi kepada sesama adalah jalan pulang paling cepat menuju Tuhan. Semakin lama dia mengabdi pada kemanusiaan akan semakin banyak jalan pulang menuju Tuhan. 

Semakin banyak pendukung yang dia himpun dalam kafilah menujuTuhan, akan semakin kecil kemungkinan baginya menjauh dari Tuhan. Hanya amal dengan keikhlasan sejati yang dapat mendekatkan hamba kepada Tuhan. Karena manfaat kekhalifahannya itu, dia akan selalu berada dalam Garis Tuhan. 

Lari kepada Tuhan 

Menurut riwayat, orang yang takut akan sesuatu dan sesuatu itu mengancam keselamatannya, maka ia akan lari menjauh menghindari perjumpaan dengannya. Tetapi orang yang takut kepada Tuhan dan keselamatan kehidupan bangsanya terancam oleh seseorang atau sekelompok orang karena ambisi, angkara murka, akibat haus kekuasaan dan karena gemar menumpuk kekayaan, maka ia akan lari mendekat kepada Tuhan. Tempatnya mengadu hanyalah Tuhan karena tak ada kampung halaman sejati kecuali Tuhan. 

Gambaran lainnya tentang sosok pemimpin yang negarawan adalah bahwa ia akan selalu memberi nasihat, pertimbangan, masukan, sumbangan pemikiran kepada penguasa. Memberi nasihat, baginya sebuah kewajiban. Penguasa yang lalim adalah musuh abadinya. Penguasa yang tiran adalah pesaingnya dalam perjalanan menuju Tuhan. Jika menyaksikan bangsanya terancam oleh para penguasa, ia tak segan serukan jihad melawan sang tiran. 

86

Page 87: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

Tentu saja, pemimpin negarawan akan selalu tinggal bersama, dan akan senantiasa berada di tengah-tengah masyarakatnya. Pantang baginya meninggalkan masyarakat yang tengah membutuhkan kehadirannya. Sebagai pemimpin, ia mewarisi tugas-tugas profetik. Ia menyelam hingga dasar terdalam samudra kehidupan bangsanya. Tak ada palung yang tak diawasi, tak ada teluk yang terlewat dari perlindungannya. 

Semua selat menjadi langganan pelesirannya. Ia akan selalu ada di sana, di hati bangsanya. Para pemimpin yang negarawan adalah sedikit orang di antara yang sedikit. Mereka adalah manusia pilihan, setelah Tuhan tak lagi mengirim para nabi dan rasul sebagai utusan-Nya. 

Mereka telah berproses sedemikian ketatnya sehingga, begitu istilah Erich Fromm, mereka telah berada dalam gaya hidup yang berbeda dengan kebanyakan orang. Kebahagiaan mereka berada pada bagaimana ”menjadi” dan bukan lagi pada tahap ”memiliki”. 

Perspektif Kebahagiaan 

Dari sekian pola hidup berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat kita, sering kali dunia politik lebih digandrungi karena para politisi menatap adanya kebahagiaan di dalam sana. Mendapat jabatan politik, berarti mendapat kesenangan dan kenikmatan. Hal-hal yang biasanya hanya diangankan, akan lebih mudah menggapainya dengan memegang jabatan politik. Mereka meletakkan kebahagiaan pada apa yang mereka miliki. 

Sesuatu dianggap telah membuatnya senang dan bahagia karena ia telah memilikinya. Sama sekali bukan karena barang, jabatan, dan derajat sosial itu berguna baginya dan bagi lingkungannya. Ia sangat bergantung pada apa yang dimilikinya. Kalau ia menjadi anggota legislatif, status itu telah menjadi miliknya. Ia akan mempertahankan mati-matian statusnya, sebab tanpa status itu ia bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa. 

Perspektif hidup semacam ini yang potensial menutup pintu bagi lahirnya para pemimpin negarawan. Fromm memvonis, gaya hidup memiliki adalah jenis lain dari pribadi yang patologis. Hidupnya amat ditentukan oleh apa yang dimilikinya. Memiliki jabatan presiden, anggota DPR, gubernur, bupati, wali kota, adalah tujuan hidupnya. Begitu masa pemerintahannya tercoreng, tercoreng pula hidupnya. 

Ketika jabatan presiden lepas, masa jabatan anggota DPR berakhir, maka lepas dan berakhir pula masa ”hidupnya”. Jika demikian perspektif hidupnya, pemimpin seperti ini tidak akan pernah ”menjadi” pemimpin yang negarawan. Para pemimpin yang negarawan adalah mereka yang bergaya hidup ”menjadi”. Ia sudah selesai dengan dirinya sendiri. Ia sudah selesai dengan keluarganya, sudah selesai pula dengan perusahaannya. Ia memiliki ambisi, tetapi ambisi untuk menularkan kebahagiaan kepada lingkungan dan sesamanya. 

Kebahagiaannya diperoleh bukan karena ia telah menerima tapi karena telah memberi.

87

Page 88: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

Semakin banyak memberi semakin bahagia dia. Dalam gambaran seperti inilah, kita sepatutnya menempatkan Prabowo Subianto dan Joko Widodo. ●

JANNUS TH SIAHAAN

Pengamat Politik dan Masalah-Masalah Sosial 

Religiositas Renungan Suci pada Hari Proklamasi

Koran SINDO

15 Agustus 2014

88

Page 89: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

PERAYAAN 17 Agustus di setiap tahun biasanya terdiri atas rangkaian acara dan upacara yang panjang dan sudah menjadi konvensi nasional. 

Hari ini Presiden Republik Indonesia menyampaikan pidato kenegaraan (speech to the nation) di depan sidang Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Tanggal 16 Agustus pukul 24.00 WIB, tengah malam, upacara apel kehormatan dan renungan suci. Tanggal 17 Agustus pukul 10.00 upacara peringatan Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia di halaman Istana Merdeka. 

Pukul 17.00 upacara penurunan bendera negara sang Merah Putih dan pukul 20.00 resepsi kenegaraan peringatan proklamasi kemerdekaan di Istana Merdeka. Saya ingin menyoroti acara-acara yang kedua dalam rangkaian perayaan 17 Agustus yaitu upacara apel kehormatan dan renungan suci. Demikianlah nama aslinya yang resmi sebagaimana yang tercetak dalam undangan. 

Saya berusaha untuk selalu hadir dalam seluruh rangkaian acara perayaan tersebut, termasuk di dalamnya upacara kehormatan dan renungan suci (untuk selanjutnya saya akan menyebutnya ”renungan suci”) tersebut. Sungguh acara tersebut, terakhir inilah, yang selalu menyita pikiran saya sehabis menghadirinya. 

Kurang Mistis, Kurang Religius 

Setiap pulang dari mengikuti renungan suci pada malam 17 Agustus dini hari di Taman Makam Pahlawan Nasional, Kalibata, saya benar-benar selalu merenungkan acara itu. Merenung bukan hanya pada soal mengapa acara itu berlangsung begitu singkat (tidak sepadan dengan lamanya menunggu waktu dimulai acara atau upacara yang tepat dimulai pukul 24.00 dan juga kedatangan Presiden RI) atau jalannya acara yang terkesan terlalu formal dan militeristis, melainkan juga saya berpikir bahwa acara itu kurang bernuansa sakral, mistis, atau spiritual-religius.

 Saya tidak tahu apa yang dirasakan para pejabat tinggi negara lainnya, tetapi yang pasti demikianlah setidaknya yang saya rasakan di dalam hati saya! Acara renungan suci, demikianlah nama resmi acara tersebut sebagaimana yang tertulis dalam surat undangan, mestinya menjadi semacam doa untuk bangsa. Sebagai bangsa yang beragama dan ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, bangsa Indonesia menyatakan bahwa kemerdekaan yang diraih dengan susah payah dan dengan pengorbanan jiwa itu pada hakikatnya adalah atas berkat rahmat Tuhan Allah Yang Maha Kuasa. 

Pembukaan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea ketiga menyatakan bahwa ”Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”. Maka itu, sangatlah tepat jika acara renungan suci pada malam peringatan kemerdekaan 17 Agustus dapat disebut sebagai doa untuk bangsa atau prayer for our nation. 

89

Page 90: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

Acara renungan ini dipimpin presiden Republik Indonesia, diikuti wakil presiden dan para pejabat tinggi negara, panglima TNI/Kapolri lengkap dengan pasukannya, dan dilangsungkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Acara itu dikemas dalam suasana kegelapan lewat tengah malam (midnight) sampai menjelang dini hari, tanpa penerangan kecuali beberapa lilin agar mereka yang bertugas dapat membaca teks ikrar, naskah doa, dan renungan-renungan suci lain. 

Tentu pilihan waktu dan tempat tersebut bukanlah suatu truisme belaka yang tanpa disengaja dan tanpa maksud apa pun. Saya yakin dipilihnya waktu seperti itu untuk mendapatkan keheningan dan kesyahduan agar renungan berlangsung hening dan syahdu. Dus, acara itu memang harus hening dan syahdu. Tidak bising dan penuh kebisingan, apalagi hiruk-pikuk. Dalam kaitan ini, pembacaan janji dan ikrar anak bangsa, apalagi doa, harus disampaikan dengan bagus, syahdu, hening, dan syukur, ada sedikit suasana mistis. 

Doa: Pertama dan Utama 

Dalam suatu kunjungan kerja ke Kabupaten Biak dan Kabupaten Merauke beberapa tahun lalu saya kagum dan belajar banyak pada sebuah acara di sana yang sangat baik dan mulia. Jika di daerah-daerah lain, juga di Jakarta, pembacaan doa itu ditaruh di ujung acara ketika acara akan selesai dan ditutup, di Indonesia bagian timur, terutama di Papua/Papua Barat, Maluku/Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur (NTT) atau Sulawesi Utara, acara doa itu mengawali setiap resepsi atau pertemuan resmi. 

Ini saya rasa merupakan kebiasaan atau tradisi yang sangat baik dan benar. Dalam renungan suci di TMP Kalibata dini hari acara doa bukan hanya ditaruh di belakang di penghujung acara, melainkan juga dibacakan secara kurang syahdu dan mistis. Sayang sekali, doa yang biasanya dibacakan oleh Menteri Agama tersebut terasa tidak dipersiapkan dengan sungguh-sungguh sebagai prayer for our nation yang bagus sehingga secara kejiwaan akan mengena di hati sanubari. 

Isi doanya pastilah bagus dan baik, tetapi narasi dan cara penyampaiannya tidak pas, tidak mengena, dan kurang menimbulkan efek mistis dan sakral. Rasa nasionalisme, patriotisme, atau katakanlah cinta bangsa dan Tanah Air memerlukan juga aspek spiritualisme berdasarkan agama. Penulis tidak tahu pasti bagaimana semestinya mengemas acara renungan suci atau prayer for our nation tersebut sehingga menjadi terasa lebih mistis atau sakral. Satu hal yang pasti adalah pembacaan doa menjadi sangat penting sehingga harus dipentingkan. 

Begitu pentingnya doa, acara tersebut harus meletakkan doa pada bagian yang pertama dan utama. Saya berpikir dan mengusulkan pembacaan doa dalam acara renungan suci itu haruslah menjadi acara yang pertama dan utama. Doa harus mengawali semua acara peringatan kemerdekaan RI, termasuk di dalamnya acara renungan suci pada malam 17 Agustus itu. Dalam konteks dan perspektif seperti ini pula, bukan hanya acara renungan suci

90

Page 91: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

pada malam peringatan 17 Agustus, melainkan ke depan pembacaan doa haruslah dilakukan pada awal setiap acara resmi kenegaraan dan disiapkan dengan sungguh-sungguh dan terbaik. 

Ketentuan protokoler perlu direformasi agar acara renungan suci ini tidak ”terlalu” negara. Dimensi yang (mungkin pemilihan kata ini kurang tepat) terlalu militeristis atau terlalu tentara perlu juga dikurangi dengan mengundang pemimpin-pemimpin masyarakat. Sekali lagi, buatlah narasi dan untaian doa yang bagus, indah, dan menyentuh. Bukan doa yang kering yang disampaikan dengan datar dan hambar, yang tidak menyentuh jiwa kita.

Narasi doa haruslah sedemikian rupa sehingga mampu menimbulkan resonansi mistis dan reperkusi religius terhadap nasionalisme dan patriotisme kita sebagai bangsa. Doa itu di samping manifestasi dari sikap tahu diri dan rendah hati, juga melambangkan transendensi dari kerja-kerja pengabdian kita. Karena itu, doa penting dan harus dipentingkan! Nasionalisme dan patriotisme memerlukan spiritualitas dan religiositas juga. Upacara apel kehormatan dan renungan suci bisa dikemas sedemikian rupa untuk mengarah ke sana. Percayalah! 

HAJRIYANTO Y THOHARI

Wakil Ketua MPR RI

Memerdekakan Rakyat dari Kemiskinan

Koran SINDO

16 Agustus 2014

91

Page 92: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

Pekik kemerdekaan akan kembali bergema ketika HUT Kemerdekaan RI diperingati pada 17 Agustus 2014 untuk ke-69. Pertanyaan yang kerap muncul adalah bagaimana anak bangsa ini mengisi kemerdekaan itu? Apa arti kemerdekaan bagi warga miskin?

Dua pertanyaan ini sengaja diajukan untuk mengisi ruang kontemplasi yang dalam bagi para pengelola negara sebagai pengemban amanat konstitusi. Cita-cita proklamasi adalah Indonesia menjadi bangsa merdeka, berdaulat, adil, dan makmur. Namun, bila ditanyakan arti kemerdekaan kepada petani miskin yang susah membeli pupuk bersubsidi, kemerdekaan bagi mereka merupakan omong kosong. 

Secara formal Indonesia sudah merdeka, namun secara substansial tidak. Di usianya yang ke-69 tahun– usia yang lebih dari cukup untuk mengisi kemerdekaan– ketenangan dan kematangan hidup sebagai bangsa dan negara yang merdeka belum tercapai. Hasil yang bisa dipetik dari perjalanan kemerdekaan belum menggembirakan. Sekadar contoh, ketika sejumlah negara di dunia mengalami krisis pangan dan berharap banyak pada produk pertanian, kita tidak segera menangkap gejala itu guna memperbaiki sektor pertanian yang sudah lama terpuruk di negeri ini. 

Ironisnya, sebagai bangsa agraris, sebagian warga Indonesia terpaksa mengonsumsi nasi aking karena belum merdeka dari kemiskinan. Empat juta lebih anak-anak hidup dalam bayang-bayang gizi buruk dan busung lapar. Mereka terancam menjadi sumber lost generation. 

The Silent Tsunami 

Setidaknya 100 juta orang miskin di Indonesia, versi Bank Dunia, terancam kelaparan akibat krisis pangan global yang terjadi belakangan ini. Mereka menjadi warga miskin setelah kenaikan harga BBM pada 2013 dan kian melambungnya harga pangan. Kita cemas, warga yang terancam kelaparan makin banyak di negeri ini. World Food Programme menyebutnya sebagai the silent tsunami, petaka yang melanda diam-diam. 

Krisis pangan global tidak lepas dari kecenderungan kenaikan harga gandum, kedelai, beras, jagung, susu, minyak goreng, dan daging. Kendati krisis pangan baru terasa signifikan saat ini, prosesnya sudah berlangsung lama seiring perkembangan sistem penyediaan pangan yang berorientasi pada pasar kapitalistik global. Ketika pangan diperlakukan seperti komoditas pada umumnya bukan sebagai hak dasar manusia untuk hidup, orientasinya akan berubah sesuai hukum pasar. 

Bahan pangan tertentu yang memiliki permintaan tinggi untuk dikonversi menjadi bahan bakar nabati akan diutamakan dengan mengabaikan dampaknya terhadap ketahanan pangan. Fenomena inilah yang terjadi saat ini. Amerika Serikat dengan tatanan dunia baru (New World Order ) yang dikembangkan dalam bungkus perdamaian dunia berambisi untuk menguasai pangan. Lewat dalil Henry Kissinger, ”Control oil and you control nations, control food and you control the people ”, AS kian memantapkan eksplorasinya terhadap

92

Page 93: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

biofuel. 

Konversi jagung ke etanol dapat menjadi contoh untuk menyebut perwujudan ambisi polisi dunia ini untuk terus menguasai dunia lewat monopoli pangan. Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon telah mengingatkan, jika tidak ditangani dengan tepat, krisis pangan dapat memicu kejatuhan pemerintah yang berkuasa. 

Kombinasi harga minyak yang mahal dengan permintaan biji-bijian untuk biofuel dan dampak pemanasan global telah meningkatkan harga pangan. Ini telah memicu kerusuhan berupa peningkatan ketidakstabilan sosial terutama di negara-negara miskin dengan penduduk yang lebih dari setengah penghasilan mereka dialokasikan untuk pangan. Sebelum pemanasan global menjadi suatu isu penting, PBB selalu optimistis mengenai ketersediaan pangan. 

Awal 2000-an FAO memprediksi untuk 30 tahun ke depan peningkatan produksi pangan, terutama di negara-negara maju, akan lebih besar daripada pertumbuhan penduduk dunia. Prediksi ini didasarkan pada data historis, peningkatan produksi pangan di dunia rata-rata per tahun mencapai 2,1%. Sedangkan laju pertumbuhan penduduk hanya 1,6% per tahun. Namun, dalam beberapa tahun belakangan ini, masalah kecukupan pangan dunia menjadi isu penting. 

Banyak kalangan yakin dunia sedang menghadapi krisis pangan sejak 2007 karena laju pertumbuhan penduduk di dunia yang tetap tinggi setiap tahun. Di sisi lain lahan yang tersedia untuk kegiatan pertanian cenderung semakin sempit. Pandangan ini persis peringatan dalam teori Malthus yang memprediksi suatu saat dunia akan dilanda kelaparan karena defisit produksi pangan. 

Kealpaan akan peringatan Malthus dapat menyebabkan optimisme berlebihan terhadap produksi pangan dalam negeri. Kekhawatiran ini mengingatkan kita pada pernyataan pemerintahan SBY beberapa tahun lalu, Indonesia tidak akan kekurangan pangan (beras) sebab bakal tercapai surplus beras hingga 10 juta ton. Namun, di tengah optimisme surplus beras yang ternyata hanya isapan jempol, masih banyak warga miskin perkotaan dan perdesaan mengonsumsi nasi aking. 

Baby Booming 

Pemenuhan hak atas pangan bisa terabaikan jika pemerintah lalai mengendalikan laju pertumbuhan penduduk. Program Keluarga Berencana (KB) untuk mengendalikan kelahiran kini mulai terabaikan seiring otonomi daerah. Akibat itu, Indonesia mengalami ledakan jumlah penduduk atau baby booming yang diestimasikan menjadi 250 juta jiwa pada 2015 dan 300 juta jiwa pada 2025. 

Pertambahan penduduk pemakanan nasi misalnya mencapai tiga juta jiwa lebih setiap tahun karena laju pertumbuhan penduduk Indonesia yang masih tinggi sekitar 1,4%. Ini identik

93

Page 94: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

dengan pertambahan produksi beras nasional sekitar 420.000 ton setiap tahun. Konsekuensinya, harus ada perluasan lahan sawah sebesar 162.500 ha, dengan produktivitas 4 ton padi/ha/tahun. 

Meski petani sudah menggunakan varietas unggul untuk meningkatkan produksi padi, hasil yang diperoleh tidak dapat lagi dikatrol. Jelas ini masalah serius bangsa. Ledakan jumlah penduduk akan menambah beban terhadap ketersediaan lapangan pekerjaan, daya tampung lahan permukiman, kecukupan pangan, pendidikan, dan kesehatan. Implikasi ledakan jumlah penduduk terhadap sektor kesehatan tidak akan terlalu besar jika peningkatan jumlah penduduk itu terjadi di kalangan warga menengah ke atas. 

Masalahnya, saat ini fenomena banyak anak justru muncul di kalangan masyarakat menengah ke bawah sehingga menambah beban ekonomi keluarga yang berdampak terhadap pemenuhan gizi bayi serta peningkatan angka pengangguran. Program pengendalian kelahiran harus dilakukan secara serius. Dampaknya baru terasa dalam jangka panjang, masalah kependudukan sering terabaikan. 

Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat juga turut memicu meningkatkan angka kelahiran. Makin tinggi tingkat pendidikan, seseorang cenderung menunda usia pernikahan dan makin sadar beratnya beban yang ditanggung jika memiliki banyak anak. Memerdekakan warga dari kelaparan jelas membutuhkan pemimpin yang kuat dan mampu memberikan inspirasi bagi rakyat untuk keluar dari masalah. 

Negara yang sedang mengalami persoalan besar seperti Indonesia selain memberikan Raskin (Beras untuk Warga Miskin) dan Bantuan Langsung Tunai (BLT), warga yang tergolong miskin dan terancam kelaparan menunggu pemberian kail pemberdayaan ekonomi supaya bisa menangkap ikan. Jika rakyat terlalu sering antre BLT, mereka akan terbentuk menjadi pengemis-pengemis baru. 

Karena itu, kebijakan pembangunan ekonomi pemerintahan baru hasil Pemilu 2014 patut berpihak kepada petani di perdesaan yang selama ini menjadi ”korban” kebijakan pembangunan. Pembangunan ketahanan pangan yang memerdekakan warga dari kemiskinan dan kelaparan hanya bisa tercapai jika kepentingan petani tidak dikorbankan. 

Saatnya inspirasi ini kita aktualisasikan sehingga gaung peringatan proklamasi kemerdekaan yang ke-69 tidak sekadar menjadi momentum seremonial yang hampa tanpa makna. Harus ada komitmen baru yang tulus dari pemerintah untuk memberi keadilan dan kemakmuran kepada rakyat.

POSMAN SIBUEA

94

Page 95: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

Guru Besar Tetap Unika Santo Thomas SU Medan. Pendiri dan Direktur Center for National Food Security Research (Tenfoser)

Loh, Kita Sudah Merdeka To?

Koran SINDO

18 Agustus 2014

”Alangkah hebatnya kejadian-kejadian tahun yang lalu, 365 hari lamanya kita bekerja keras, berjuang, menderita, dan menghadapi berbagai-bagai kesulitan yang sebagai gunung

95

Page 96: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

besarnya. 350 tahun lamanya kita mengalami hidup di dalam penjajahan Belanda, sekarang dengan secara kilat pada tanggal 17 Agustus 1945 kita telah memproklamirkan kita punya kemerdekaan. Karena kita sudah tahu bahwa kita punya proklamasi itu sudah sepatutnya dan sistem penjajahan harus diberhentikan setelah 350 tahun.” Ini petikan Pidato Presiden Soekarno dalam memperingati satu tahun Hari Kemerdekaan Indonesia, (17 Agustus 1946), dihimpun di dalam buku yang berisi pidato-pidato Presiden Soekarno, Dari Proklamasi sampai Takari, 1945-1965 . 

Dalam rentang waktu selama 20 tahun itu, tiap tahun, yaitu pada setiap tanggal 17 Agustus, saat hari kemerdekaan kita peringati, kita diberi tahu bahwa kita ini bangsa yang sudah merdeka. Kita tahu bagaimana bertingkah laku sebagai bangsa merdeka, yang diminta mengisi kemerdekaan itu dengan kerja, kerja, dan kerja untuk membuktikan kepada dunia bangsa kita bangsa merdeka. 

Menyadari bahwa kita sudah merdeka itu kita bangga. Ekspresi kebanggaan diwujudkan dengan pawai kemerdekaan yang gegap gempita. Di kampung-kampung, anak-anak sekolah membawa bendera kecil, dari kertas, berjalan sepanjang beberapa kilometer menuju ke lapangan, tempat upacara seluruh sekolah di kota kecamatan diselenggarakan. Bapak-bapak, ibu-ibu kaum tani, ikut ambil bagian di dalam pawai kemerdekaan itu, dengan memperlihatkan hasil-hasil panen dari sawah dan kebun mereka, untuk menunjukkan: beginilah bangsa merdeka, yang berkarya dalam kemerdekaannya, dan menyatakan bahwa semua hasil karya itu bisa diperoleh karena kemerdekaan. 

Pendeknya, itu pameran hasil karya, tapi juga pameran rasa syukur dan terima kasih kepada Tuhan karena kita bisa merdeka semata berkat Rahmat-Nya. Murid-murid sekolah yang kecil-kecil membawa bendera-bendera kertas kecil-kecil tadi merasa makin kecil saja melihat Sang Saka Merah Putih dari kain yang besar yang dikerek di dalam upacara di lapangan dan makin naik, makin naik, berkibar-kibar, ”klebet-klebet ” ditiup angin kencang. Jiwa kita, anak-anak yang belum mengerti apa-apa itu, ikut bergetar, dengan rasa kagum pada bendera kain yang besar, dan bangga menikmati ritus tahunan, memperingati hari kemerdekaan bangsa. 

***

Kita selalu tahu bahwa kita bangsa merdeka. Kita tahu bahwa revolusi belum selesai. Tapi, pidato demi pidato peringatan Hari Kemerdekaan RI di Istana Merdeka tak pernah melibatkan kita. Seolah kita juga tidak tahu bahwa mereka sedang memperingati Hari Kemerdekaan, 17 Agustus 1945. Peringatan selalu di Istana, tertutup dari rakyat, dan tak ada rakyat jelata bisa ikut, atau disuruh ikut. Lapangan Monas seluas itu selalu mubazir. Peringatan hari kemerdekaan atau hari-hari besar lain tak pernah diselenggarakan di sana. 

Tapi, kalau gelandangan tidur di tempat itu, pasti dengan sigap aparat ketertiban kota mengusirnya. Apa kira-kira arti kemerdekaan bagi kaum gelandangan yang baru mau merebahkan diri untuk beristirahat sejenak di taman itu, tapi segera diusir seperti mengusir

96

Page 97: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

anjing geladak? Apanya yang merdeka kalau warga negara yang belum pernah kebagian apa-apa ini dilarang menikmati ”kemerdekaan” berguling-guling di taman saja tak diperbolehkan? Kira-kira apa jawaban sepasang suami-istri yang sudah berusia setengah abad, memiliki tiga anak yang tak bisa sekolah, tak bisa bekerja, dan mereka sendiri, dua warga negara dewasa itu, tak pernah mempunyai pekerjaan, dan tak punya sekeping pun tanah, di tanah airnya sendiri? 

Apakah bagi mereka kata ”merdeka” juga punya arti? Bagaimana kira-kira makna kemerdekaan dipahami oleh makelar pajak, bocah yang baru meniti awal kariernya, tetapi sudah sangat kaya, dan sudah terampil menggelapkan pajak, dan dibela oleh ”lawyer ” kawakan yang mengaku pejuang demokrasi, pejuang keadilan hukum dan kemanusiaan? 

Akankah demokrasi ini tumbuh selama dia masih berbuat begitu? Apakah kemanusiaan dan keadilan tak terancam hancur luluh jika orang-orang macam itu dibiarkan merajalela semaunya, seolah hukum itu warisan kakek buyut dan para moyangnya? Apa orang-orang ini bukan perusak kehidupan bangsa? Apa mereka bukan pengkhianat bagi kita semua?

 ***

Tak usah kita melihat jauh-jauh pada kepentingan ekonomi politik yang begitu rakus dari pihak asing. Mereka orang asing yang tak punya kewajiban membela kita. Jadi kita bisa memahaminya jika mereka berbuat durjana secara ekonomi dan politik, di negeri kita tak perlu jauh-jauh melihat orang asing. Kita sendiri, yang merasa bertanggung jawab pada sesama, bangsa, dan negara yang sudah telanjur merdeka ini, mengapa kita tega merusak? Apa makna ”merdeka” bagi anak pejabat, ketua partai, yang ikut mengatur uang dalam aliansi politik antarpartai? 

Anak itu belum seberapa usianya, tapi tentang harta dunia, dia ibaratnya mandi duit. Kecemasan apa yang ada pada orang tuanya? Malah bangga pada anaknya? Kiblat moralnya hancur, tak menjadi masalah? Lalu, apa makna ”merdeka” bagi kita semua, golongan kere, rakyat jelata, kaum kesrakat dan sampah masyarakat, serta kalangan ”sinting” yang mandi uang, bergelimang harta dunia yang diperoleh bukan dengan kerja keras dan berjuang mati-matian, melainkan dengan menggunakan kekuasaan bapaknya dengan perlindungan partainya? Apa makna ”merdeka” di situ kalau kemudian mereka terjerumus di penjara yang gelap gulita? 

Orang tuanya masih tak merasa cepat melihat hari depan anaknya, yang sejak sangat muda, sudah bergelimang harta, yang diperoleh bukan dari kerja keras, melainkan dengan manipulasi politik, dan tipu-menipu? Banyak keruwetan muncul ketika kita bersyukur dan merenungkan makna ”merdeka” di tengah kolonialisasi modern yang jauh lebih kejam. Para pejabat pemerintah juga bikin ruwet. Mereka tak becus mengelola apa makna ”merdeka”. Kita sering kaget. 

Dalam hidup di mana pekerjaan langka, sumber ekonomi tertutup, cara untuk menunjukkan

97

Page 98: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

bahwa kita perlu hidup layak pun tak ada, apa artinya kita ini? Lalu tiap tanggal 17 Agustus tiba, kita dibikin kaget setengah mati: Loh, kita ini sudah merdeka to? ”Merdeka kok begini.....?”

MOHAMAD SOBARYEsais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email: [email protected] 

Ideologi Pembangunan

Koran SINDO

20 Agustus 2014

Para pendiri bangsa sebenarnya telah sepakat bahwa Pancasila adalah ideologi terbaik bagi bangsa Indonesia yang memiliki beragam suku dan agama serta sumber daya berlimpah dalam upaya menuju sebuah masyarakat yang adil dan makmur. 

98

Page 99: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

Sayangnya, setelah menapaki hampir tujuh dekade kemerdekaan, Pancasila sering menjadi sekadar bahan hafalan ujian para murid atau calon pejabat yang mengikuti fit and proper test, untuk kemudian dilupakan. Lebih dari itu, Pancasila sebagai ideologi memerlukan teori dan praksis dalam implementasi nilai-nilainya. 

Sayangnya, sebagai kecenderungan global, pragmatisme telah ikut mempengaruhi negeri ini. Berbarengan dengan berakhirnya konflik antara Barat dan Timur, dua orientasi utama pembangunan yang berangkat dari teori modernisasi dan dependensia, seakan dicampakkan ke tong sampah sejarah ideologi. 

Krisis Ideologi Pembangunan 

Paling tidak terdapat empat penyebab krisis ideologi pembangunan. Pertama, sebagai teori, baik modernisasi maupun dependensia, kita tidak merasa perlu menganalisis diferensiasi dalam istilah “negara berkembang”. Kedua, meskipun beberapa kali sempat dilanda krisis, tetapi menanjaknya Korea Selatan empat dekade terakhir menjadi sebuah negara yang mampu bersaing dengan negara-negara industri maju, misalnya, tidak dapat diterangkan dengan berbagai teori yang ada. 

Menurut teori dependensia, pengintegrasian sebuah negara ke dalam pasar dunia, hanya akan “memicu keterbelakangan”. Ternyata, meski ditandai oleh berbagai hal negatif seperti relatif rendahnya gaji buruh dan berbagai perusakan lingkungan hidup pada awal perkembangannya, Korea Selatan telah menghasilkan berbagai kemajuan signifikan. Sebuah fenomena yang juga tidak bisa diterangkan oleh teori modernisasi, yang pada awalnya menyebut “etika Konfusius” sebagai penyebab keterbelakangan, lalu setelah mengamati keberhasilan beberapa negara Asia Timur berbalik menyebut etika tersebut sebagai prasyarat keberhasilan. 

Hal yang sama terjadi pada asumsi ekonomi pembangunan klasik, yang awalnya mempropagandakan bahwa reduksi peran negara berdampak positif bagi pembangunan, untuk kemudian menyebut intervensi negara sebagai prasyarat percepatan pertumbuhan ekonomi. Target pertumbuhan ekonomi inilah penyebab ketiga dari krisis teori pembangunan. Untuk waktu yang sangat lama, semua sepakat tentang tujuan mengejar ketertinggalan dalam proses industrialisasi. Perdebatan hanya tentang “jalan yang tepat” menuju tujuan tersebut, yaitu antara paham sosialisme dalam tradisi Marx dengan paham neoklasik menurut Adam Smith. 

Berbagai tampilan krisis ekologi menunjukkan dengan jelas tentang keterbatasan model pembangunan industrial dan upaya mencontohnya oleh semua negara di muka bumi. Penyebab keempat, kegagalan teori adalah kandasnya segala bentuk utopia dan model berbagai teori pembangunan tersebut di atas. Pada sisi teori, berbagai perkembangan tersebut telah menyebabkan melemahnya aspek dogmatik yang tadinya mewarnai perdebatan sepanjang 1970-an. 

99

Page 100: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

Saat ini, selain para ekonom neoklasik dengan kepercayaan buta kepada pasar yang diyakini mampu mengatur segala-galanya, nyaris tiada seorang pun yang mengaku memegang kebenaran mutlak. Kompleksitas (under development) hanya bisa digambarkan secara utuh setelah menelusuri sejarah kolonial sebuah negara, menganalisis dampak pasar global dan pengaruh berbagai faktor lokal. Studi dengan pendekatan pluralisme teori yang kini mulai banyak dipraktikkan, menghasilkan asumsi yang lebih mendekati kenyataan riil tentang sebuah situasi atau tentang sebuah kelompok masyarakat. 

Selain itu, setelah cukup lama terjebak dalam pemikiran murni-ekonomi, muncul perdebatan tentang ekologi dan kesetaraan gender dalam teori pembangunan. Setelah KTT Lingkungan pertama di Rio de Janeiro, tuntutan yang mengemuka adalah restrukturisasi radikal masyarakat industrial. Tuntutan yang kini semakin melunak dengan lebih banyak berupa pertanyaan tentang cara menjinakkan kapitalisme agar tidak terlalu merusak pembangunan “berkelanjutan”. 

Pembangunan Mandiri 

Emoh teori dan pluralisme teori saat ini mengandung bahaya bahwa semua yang berbau ideologi ditinggalkan, sehingga tidak memiliki acuan dan terombang-ambing dalam pusaran wind of change usai Perang Dingin, ketika angin yang berembus berasal dari arah neoliberal. Padahal, meski harus diakui bahwa terdapat banyak elemen yang mubazir dan salah dalam berbagai teori selain teori neoliberal, banyak pula hal-hal yang berguna menjadi terlupakan. 

Ambil contoh teori terkait heterogenitas struktural. Hal ini, dalam era globalisasi, sebenarnya masih tetap penting dan diperlukan untuk memahami fenomena keterbelakangan. Konsep ini misalnya bisa menerangkan mengapa Bangkok, atau bahkan Jakarta, sebagai metropol sebuah negara berkembang lebih terkait dengan pasar dunia ketimbang dengan hinterland-nya sendiri. Begitu pula dengan konsep landreform sebagai persyaratan pembangunan, mempunyai nilai pencerahan yang tinggi. 

Pertanyaan tentang penyebab vakumnya teori berbarengan dengan ambruknya model sosialisme negara, juga di kalangan kiri nonortodoks, belum memberikan jawaban memuaskan. Padahal, sosialisme demokrasi, anarkhisme utopis dan renungan Gandhi tentang ekonomi autarki belum diwacanakan secara mendalam. Sama halnya dengan konsep “berdikari” yang diajukan Bung Karno, berupa proteksi terhadap ekonomi global, paling tidak membuka kesempatan bagi perdebatan terkait pembangunan yang mandiri, agar terbebas dari “pemaksaan” persyaratan neo-liberalistik perekonomian global. 

Pancasila, sebagai ideologi dan orientasi pembangunan yang cukup lama terbengkalai, sebenarnya memberikan ruang yang luas dalam mengupayakan pembangunan berkeadilan, baik bagi bangsa Indonesia maupun masyarakat global. ● 

100

Page 101: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

IVAN HADAR Direktur Eksekutif Indonesian Institute for Democracy Education (IDe), Ketua Dewan Pengurus IGJ (Indonesia for Global Justice)

ISIS dan Tantangan Keutuhan Bangsa

Koran SINDO

20 Agustus 2014

Terdapat dua isu yang menarik untuk dicermati pada bulan Agustus ini, yakni ramainya isu Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS) dan peringatan 69 tahun kemerdekaan Indonesia. Dua

101

Page 102: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

isu ini sangat berkaitan dengan refleksi sebuah eksistensi Indonesia sebagai bangsa dan negara ke depan.

Beredarnya tayangan video deklarasi warga negara Indonesia mendukung ISIS membuat Presiden SBY menginstruksikan Tifatul Sembiring selaku Menkominfo agar tayangan tersebut diblokir sehingga tidak beredar secara luas di Indonesia melalui dunia maya. Hal ini bukan tanpa alasan karena fenomena gerakan penyebaran ISIS begitu cepat di Indonesia seperti cendawan di musim hujan. 

Bahkan beberapa kelompok terutama di Bima, Malang, Lamogan, Poso, Solo, serta Tangerang Selatan menyatakan diri berbaiat kepada Abu Bakar Al-Baghdadi, pimpinan ISIS yang berkuasa nun jauh di Iraq. Bendera ISIS pun berkibar di daerah tersebut sebagai bentuk formal dukungan terhadap eksistensi ISIS. 

Nasionalisme di Era Modern 

Perjalanan panjang sejarah Indonesia tidak pernah lepas dari isu dan wacana penerapan syariat Islam dan pembentukan negara Islam. Mulai dari penyusunan dasar negara Indonesia yakni Pancasila, sidang konstituante tahun 1950-an, amendemen UUD 1945 di MPR periode 1999-2002, isu penerapan syariat Islam dan pembentukan negara Islam selalu (di)muncul(kan) kembali. 

Sebuah negara di era modern seperti yang dikatakan oleh Ben Anderson dalam Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism menunjukkan bahwa dalam persatuan sebuah “komunitas-komunitas terbayang” diperlukan perekat hubungan antarmasyarakat dalam satu ikatan kultural dan juga politis. Determinasi ideologi, produksi sejarah resmi beserta perayaan tokoh pahlawan, sistem pendidikan, dan peranan media massa sebagai sumber informasi menjadi alat budaya penting untuk menyebarkan rasa nasionalisme modern sebuah “komunitas-komunitas terbayang” tersebut. 

Komponen ideologis dan estetika itu dapat tersedia pula dengan berkembangnya budaya populer, meskipun tidak bersifat mutlak dan bukan satu-satunya jalan. Konsekuensi logis dalam pembentukan nasion dan nasionalisme tersebut mengindikasikan bahwa kesamaan etnis, budaya, bahasa tidak dengan sendirinya mendasari pembentukan sebuah nasion atau bangsa. 

Begitu sebaliknya, perbedaan etnis, budaya, dan bahasa tidak selalu menghalangi pembentukan sebuah bangsa karena di era modern ini ikatan dalam sebuah bangsa memiliki sifat yang cair sehingga bisa ditembus dan dipertukarkan sejauh mana imaji bangsa dan negara mana yang lebih kuat dibayangkan. Latar belakang nasion dan nasionalisme yang terbentuk di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari adanya kolonialisasi yang dilakukan oleh Belanda. Pada era kolonial, perlawanan terhadap dominasi dalam bidang politik, kebudayaan dan juga ekonomi dilakukan oleh founding fathers dan para elite pergerakan nasional. 

102

Page 103: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

Apabila dikaitkan dengan kolonialisme, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana kelanjutan nasionalisme di saat sebuah negara telah memperoleh kemerdekaan dan tidak terjajah lagi? Apakah kesadaran nasional dan nasionalisme juga akan selesai dengan sendirinya? Slamet Muljana menyatakan bahwa manifestasi nasionalisme tidak hanya ada dalam tataran perlawanan terhadap kolonialisme. Apabila kesadaran itu bergantung pada kolonialisme, maka nasionalisme akan berhenti setelah kolonialisme berakhir. 

Realitas historis menunjukkan rasa nasionalisme tetap ada, meski kolonialisme telah berakhir. Bahkan rasa nasionalisme bisa tumbuh tanpa adanya kolonialisme. Dalam konteks Indonesia, kesadaran ini merupakan bentuk dari nasionalisme bebas yang artinya tanpa ada tekanan dari kolonialisme. 

Pada hakikatnya, nasionalisme ini termanifestasikan dalam pengabdian terhadap bangsa dan negara tanpa adanya pembatasan waktu. Setelah negara-negara merdeka dan terbebas dari kolonialisme, nasionalisme masih tetap berfungsi dalam rangka nation building serta menjadi proses kebudayaan nasional, pembentuk kepribadian identitas nasional, dan pembentuk kesadaran nasional yang perlu dibudayakan. 

Reaktualisasi Ideologi Pancasila 

Bangsa Indonesia pada dasarnya terbentuk dengan mengatasi segala macam perbedaan kultural, suku, dan agama. Artinya, bangsa dan negara Indonesia dibangun atas dasar nilai plural dan perbedaan multikultural yang telah ada dan eksis jauh sebelum ditemu-ciptakannya Indonesia oleh para founding father. 

Ben Anderson pun menyebut bangsa Indonesia adalah bangsa yang paling artifisial di seluruh dunia karena berhasil mengatasi segala perbedaan tersebut menjadi sebuah komunitas yang dibayangkan kuat sebagai bangsa Indonesia. Pluralitas dan perbedaan multikultural tersebut berhasil direkatkan oleh founding fathers Indonesia melalui kesamaan visi dan tujuan untuk hidup bersama melalui ideologi Pancasila yang kemudian secara sah dijadikan sebagai dasar negara oleh PPKI pada 18 Agustus 1945. 

Apabila kesamaan visi dan tujuan tersebut tidak dirawat secara holistik dan terus-menerus, bukan tidak mungkin bangsa Indonesia akan tercerai-berai dengan masuknya ideologi dari luar yang sifatnya radikal dan dapat memutus imaji keindonesiaan. Indonesia dan Yugoslavia pernah diprediksi oleh pakar nasionalisme pecah menjadi negara-bangsa kecil-kecil. Indonesia diprediksi pecah menjadi lima negara yakni, negara Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi dan Indonesia Timur (NTT sampai Papua). 

Prediksi terhadap Yugoslavia terbukti, namun di Indonesia belum terjadi atau bahkan tidak akan terjadi karena Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi bangsa masih ampuh menjadi perekat Indonesia dalam kerangka NKRI. Karena itu, reaktualisasi nilai-nilai ideologi Pancasila menjadi mutlak dibutuhkan oleh bangsa Indonesia melalui ranah pendidikan yang terus-menerus dan berkelanjutan. 

103

Page 104: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

Proses pendidikan itu tentunya dengan praktik nyata antara pendidik dan peserta didik yang tidak lagi mengawang-awang seperti era Orde Baru. ● 

RN BAYU AJI Dosen Luar Biasa PPKN Universitas Airlangga dan Ilmu Sosial Budaya Dasar di Universitas Ciputra Surabaya

Mereka yang Punya Kuasa

Koran SINDO

22 Agustus 2014

Dalam beberapa bulan belakangan ini pemilu, baik pemilu legislatif maupun pemilu presiden, sejatinya menyajikan perlombaan memperoleh kuasa (power). 

104

Page 105: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

Saat pemilu legislatif, para caleg dari partai-partai politik peserta pemilu bersaing untuk memperoleh kuasa dengan menjadi anggota DPRD atau DPR. Saat pemilu presiden, para capres dan cawapres bersaing untuk memperoleh kuasa dengan menjadi presiden dan wakil presiden. Baik saat pemilu legislatif maupun pemilu presiden, berbagai macam cara ditempuh para caleg dan capres dan cawapres untuk memenangkan persaingan.

Ada yang menggunakan cara-cara yang baik dan sesuai aturan, namun ada pula yang menggunakan cara-cara yang tidak baik dan tidak sesuai aturan. Semua cara yang dilakukan—apa pun itu—tertuju pada satu hal, yaitu kuasa. Karena soal kuasa ini pulalah, di salah satu partai politik yaitu Partai Golkar terjadi keributan. Keributan terjadi tatkala Partai Golkar melakukan pemecatan terhadap beberapa kadernya yang dianggap melakukan pembangkangan dengan mendukung Jokowi-JK dalam pemilu presiden. Akibat keputusan pemecatan tersebut, kader-kader yang dipecat melakukan perlawanan. 

Dalam perlawanannya, tiga kader yang dipecat: Poempida Hidayatullah, Agus Gumiwang, dan Nusron Wahid berencana untuk menggugat Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie ke Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tata Usaha Negara. Ada yang menyesakkan dalam rencana gugatan tersebut, yaitu gugatan sebesar Rp1 triliun yang apabila dimenangi akan diserahkan kepada korban lumpur Lapindo. Menyesakkan karena secara tiba-tiba korban lumpur Lapindo dijadikan agenda. Namun dengan menggunakan akal sehat, kita tahu bahwa korban lumpur Lapindo sebatas sedang dijadikan permainan politis. 

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membahas Partai Golkar dan ketiga individu kader Partai Golkar yang dipecat. Tulisan ini dimaksudkan untuk membahas kuasa dan mereka yang memiliki kuasa vis-à-vis mereka yang kurang kuasa (powerless) berkaca pada kasus rencana gugatan Rp1 triliun.

Wujud Kuasa 

Ada banyak definisi dari kuasa di dalam khasanah ilmu sosial. Isaac Prilleltensky (2008), seorang psikolog komunitas terkemuka, mengemukakan bahwa kuasa merujuk pada kemampuan dan kesempatan yang dimiliki orang atau sekelompok orang untuk memenuhi kebutuhan personal, relasional, dan kolektifnya. Artinya, orang yang memiliki kuasa adalah orang yang memiliki kemampuan dan kesempatan untuk mewujudkan apa yang dibutuhkannya secara individual dan bersama orang lain. 

Dengan kata lain, Prilleltensky menegaskan bahwa kuasa memberikan kesempatan kepada orang atau sekelompok orang untuk mendatangkan apa yang baik bagi dirinya atau diri mereka dan bagi bersama orang lain. Namun demikian, kuasa tidak selalu sama dengan membawa kebaikan. Kuasa pun bisa mendatangkan penderitaan karena kuasa memiliki tiga wujud yang berbeda, yaitu kuasa untuk melakukan penindasan (power to oppress), kuasa untuk menciptakan kesejahteraan (power to promote wellness), dan kuasa untuk melawan penindasan dan memperjuangkan pembebasan (power to resist oppression and strive for

105

Page 106: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

liberation). 

Dalam kasus rencana gugatan Rp1 triliun di atas, korban lumpur Lapindo tidak lebih sebagai mereka yang tidak punya kuasa di hadapan mereka yang punya kuasa– Partai Golkar dan ketiga kader di atas. Cukup mudah membedakan mana yang punya kuasa: Partai Golkar yang pernah berkuasa lama, runner-up dalam pemilu legislatif 2014, dan satu dari ketiga orang di atas adalah peraih suara terbanyak di Partai Golkar dalam Pemilu Legislatif 2014; dan mana yang tidak punya kuasa: korban lumpur Lapindo (digarisbawahi: korban). 

Dan, korban lumpur Lapindo saat ini sedang dipermainkan. Korban lumpur Lapindo dapat diibaratkan sebagai balon yang baru ditiup dan kemudian dilempar ke sana kemari dijadikan mainan oleh sekelompok politisi. Saat mereka yang punya kuasa masih bersekutu, kita tidak pernah mendengar ada rencana untuk mengumpulkan dan menyumbangkan uang gugatan sebesar Rp1 triliun untuk korban lumpur Lapindo. Baru saat terjadi perselisihan di antara merekalah, kita mendengar ada rencana memberikan uang hingga sebesar Rp1 triliun kepada korban lumpur Lapindo. 

Rencana itu pun sekadar keinginan, bukan kemauan yang tulus untuk memperjuangkan korban lumpur Lapindo. Rencana itu terkesan hanya untuk mencari perhatian. Agenda pokok gugatan Rp1 triliun adalah tentang memenangkan kuasa di antara mereka yang punya kuasa. Mereka yang punya kuasa sedang mempertontonkan kepada publik bahwa mereka menggunakan kuasa untuk menghadapi satu sama lain dengan memanfaatkan mereka yang tidak punya kuasa. 

Mereka yang punya kuasa tidak lebih sedang menunjukkan penindasan atas mereka yang tidak punya kuasa. Dan, penindasan itu bersembunyi di balik pernyataan bernada menunjukkan simpati kepada korban. Mereka yang punya kuasa tidak sedang dalam upaya serius menciptakan kesejahteraan dan memperjuangkan pembebasan bagi mereka yang nirkuasa. Menurut Nietzsche (1968), kuasa adalah kapasitas untuk mendefinisikan realitas. Kuasa menjadikan suatu kondisi terlegitimasi saat menjadikannya nyata dan bermoral. 

Kasus rencana gugatan sebesar Rp1 triliun amat jelas menunjukkan kapan saat korban lumpur Lapindo dianggap sebagai realitas dan bukan realitas itu sendiri. Korban lumpur Lapindo didefinisikan sebagai realitas yang patut diperhatikan, disuarakan, dan dibantu hanya saat mereka yang punya kuasa melihatnya penting bagi kepentingannya. Dan kepentingan mereka tak lain dan tak bukan adalah kuasa itu sendiri. Kepentingan korban, yaitu mendapat perlindungan, pemulihan, dan keadilan, bukanlah kepentingan utama para pemilik kuasa yang sedang bertikai. 

Korban lumpur Lapindo menjadi korban sudah sejak lama, sedangkan pertikaian para pemilik kuasa itu baru-baru ini saja terjadi. Atas dasar moral apakah korban lumpur Lapindo, baru sekarang menjadi realitas yang penting? Atas dasar moral kemanusiaan atau politik kuasakah? Pertanyaan berikutnya: sampai kapankah korban lumpur Lapindo akan dimanfaatkan sebagai permainan politik, wahai politisi? Wallahu a’lam…. ●

106

Page 107: (Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014

DICKY PELUPESSYDosen dan Mantan Ketua Pusat Krisis Fakultas Psikologi UI, kandidat doktor dalam Psikologi Komunitas di Victoria University Melbourne, Australia

107