sindikasi pemilu dan demokrasi jl. proklamasi no. 65 ...€¦ · sebagai contoh, pada pemilu 2004,...
TRANSCRIPT
1
Sindikasi Pemilu dan Demokrasi Jl. Proklamasi No. 65, Jakarta Pusat
[email protected] │+621 3906072
www.spd-indonesia.com
“Konstitusionalitas dan Problematika Alokasi Kursi DPR RI Pemilu Indonesia”
Proses penyusunan Regulasi Penyelenggaraan Pemilu 2019 telah mulai. Saat ini Pemerintah
Republik Indonesia melalui Kementrian Dalam Negeri tengah menyusun Rancangan
Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu 2019 (RUU Pemilu). Dari sejumlah materi yang
menjadi isu krusial (13 isu krusial) dalam RUU tersebut, isu Alokasi Kursi DPR ke setiap
provinsi perlu mendapatkan perhatian serius dan mendalam.
Isu alokasi kursi DPR RI ke setiap provinsi dan kemudian dibagikan ke setiap daerah
pemilihan (dapil) menjadi satu prasyarat penting untuk menjawab kepentingan politik
penduduk yang harus diwakili di lembaga legislatif. Hak untuk mendapatkan keterwakilan
kursi DPR secara setara oleh setiap warga negara, merupakan amanat konstitusi, sebagaimana
diatur dalam Pasal 27 Ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 “Segala warga negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung
tinggi hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya”.
Oleh karena itu, pemilu sebagai sarana untuk membentuk tertib hukum dan pemerintahan,
maka prinsip kesetaraan yang menjadi hak setiap warga negara tanpa terkecuali, hendaknya
diwujudkan dalam juga dalam hak keterwakilan dengan mengedepankan prinsip non
diskriminatif.
Konteks keterwakilan dalam Alokasi Kursi DPR RI ke setiap provinsi berdasarkan prinsip
kesetaraan/non diskriminatif atau biasa dikenal dengan istilah one person, one vote, one value
(Opovov), harusnya menjadi isu yang mengedepan dan memiliki prioritas untuk terlebih
dahulu mendapatkan pembahasan. Hal ini penting untuk dipahami, karena sebaik apapun
sistem pemilu yang dipilih dan diterapkan, hasilnya tetap akan menciderai hak keterwakilan
warga negara sebagaimana konstitusi mengamanatkannya.
Dari empat kali pelaksanaan pemilu demokratis paska reformasi, isu Alokasi kursi DPR ke
setiap provinsi dan daerah pemilihan selalu luput dari perhatian para pembuat undang-
undang. Kesalahan ataupun kekeliruan yang berujung pada pengabaikan hak warga negara
untuk diwakili di DPR, tidak pernah menjadi bahan evaluasi agar dilakukan perbaikan.
Bahkan, sejak Pemilu 2004 pengabaian ini terus berlanjut hingga Pemilu 2014 lalu.
Data-data kepemiluan Indonesia tentang alokasi kursi DPR dari pemilu ke pemilu berikutnya
menunjukkan berbagai pergeseran prinsip-prinsip alokasi kursi dan sekaligus pencideraan
terhadap amanat konstitusi. Sebagai contoh, pada Pemilu 2004, „prinsip Jawa-Luar Jawa
(alokasi kursi berdasarkan prinsip kepadatan penduduk)‟ menghasilkan situasi bahwa harga
(kuota) kursi DPR di wilayah Pulau Jawa lebih mahal dibanding dengan harga kursi DPR di
luar Pulau Jawa. Namun situasi tersebut bergeser sebaliknya pada Pemilu 2014, di mana
kuota kursi DPR justru lebih mahal di luar Pulau Jawa dibandingkan dengan yang terjadi di
Pulau Jawa.
Demikian juga penambahan jumlah kursi DPR RI pada Pemilu 2009, di mana ketika kursi
DPR RI dari 550 (Pemilu 2004) ditambah 10 kursi menjadi 560 (Pemilu 2009), tidak
dilakukan alokasi kursi sesuai prinsip opovov. Secara arbitrer (mana suka) hanya 10 kursi
yang dibagikan ke beberapa provinsi tanpa diketahui metode dan prinsip alokasi yang
digunakan. Pada akhirnya, pencideraan prinsip kesetaraan/non diskriminatif, dan
2
ketimpangan kursi perwakilan antar provinsi yang harusnya diperbaiki dalam pemilu, tetap
berlanjut hingga pelaksanaan pemilu terakhir di tahun 2014.
Khusus untuk pelaksanaan Pemilu 2019 mendatang, isu ini perlu mendapatkan perhatian
serius, bahkan perlu menjadi prioritas dibandingkan pembahasan tentang sistem pemilu itu
sendiri. Hal ini setidaknya berangkat dari beberapa hal. Pertama, agar penghormatan dan
pemenuhan amanat konstitusi dapat terwujud. Kedua, memperbaiki dan sekaligus
memberikan remedi (memulihkan) hak keterwakilan kursi DPR RI di seluruh wilayah NKRI.
Ketiga menyediakan mekanisme alokasi kursi DPR yang dapat dipertanggungjawabkan, baik
secara politik (legitimasi) maupun berbasis konsep (ilmiah). Ketiga aspek tersebut
mendapatkan momen penting pada pelaksanaan Pemilu 2019 mendatang, di mana
penyelenggaraan pemilu, baik memilih anggota legislatif dan memilih presiden/wakil
presiden akan dilakukan secara serentak.
Di mana-mana, sebelum sistem pemilu jalan, yang penting adalah alokasi kursi DPR!
Jika tidak dilakukan perbaikan, maka momen Pemilu 2019 akan menghadapi masalah serius,
di mana “pertumbukan” antara prinsip non opovov (pemilu legislatif) dengan prinsip opovov
(pemilu presiden/wakil presiden) akan terjadi. Situasi ini selanjutnya akan berdampak pada
potensi munculnya “Konflik Kelembagaan antara Lembaga Kepresidenan (Eksekutif) dengan
DPR (Legislatif)”, di mana legitimasi presiden terpilih yang berasal dari dukungan pemilih
(popular vote) tidak mencerminkan dukungan kursi di DPR yang berguna bagi efektivitas
roda pemerintahan.
Atas dasar itu, Sindikasi Pemilu dan Demokrasi – SPD menginisiasi topik diskusi yang secara
khusus dan mendalam membahas isu “Konstitusionalitas dan Problematika Alokasi Kursi
DPR Pemilu Indonesia”. Diskusi ini diharapkan dapat menjadi sarana untuk mengungkap
berbagai problematika yang ada. Melalui pengungkapan probematika ini, diharapkan para
pembuat undang-undang menyadari pentingnya isu ini untuk mendapatkan prioritas
pembahasan. Selanjutnya, melalui diskusi ini membuka ruang bagi gagasan dan ide-ide
alternatif secara mendalam dalam rangka perbaikan kepemiluan dan demokrasi Indonesia di
masa-masa mendatang.
Catatan Permasalahan Alokasi Kursi DPR
1. Daerah Pemilihan dan Jumlah Kursi DPR terlampir sebagai bagian tak
terpisahkan dari undang-undang. Ketentuan ini sekali lagi memberikan isyarat
penting bahwa, isu alokasi kursi tidak menjadi prioritas untuk dilakukan perbaikan.
Dengan demikian kesalahan dan kekeliruan Alokasi Kursi DPR sejak 2004, 2009, dan
2014 tetap dilakukan „pembiaran‟. Efek dari pengabaian ini mengakibatkan
ketimpangan keterwakilan antar satu daerah dengan daerah lainnya. Pada Pemilu
2004, ketimpangan keterwakilan terjadi pada 12 daerah dalam bentuk kekurangan
keterwakilan. Di Pemilu 2009, ketimpangan dalam bentuk kekurangan keterwakilan
terjadi pada 14 daerah. Dan pada Pemilu 2014 ketimpangan keterwakilan terjadi
meliputi 18 daerah dalam bentuk kekurangan keterwakilan.
(Lampiran I: Daerah atau Propinsi yang kekurangan keterwakilan dan kelebihan
keterwakilan)
2. Pergeseran Secara Diam-diam Prinsip Keterwakilan Jawa non-Jawa.
Pada Pemilu 2004, harga kursi (kuota) DPR di daerah pemilihan ditentukan
berdasarkan prinsip kepadatan dan non kepadatan jumlah penduduk, sebagaimana
3
diatur dalam undang-undang. Untuk daerah yang berkepadatan penduduk tinggi
(Jawa), maka berlaku ketentuan harga (kuota) satu kursi DPR setara dengan 425.000
penduduk. Sedangkan untuk daerah berkepadatan penduduk rendah (Luar Jawa),
kuota atau harga kursi DPR setara 325.000 penduduk. Prinsip ini pada pada Pemilu
2009 dan Pemilu 2014 bergeser dari misi semula. Pada awalnya harga kursi DPR
termahal berada di daerah-daerah yang berlokasi di Pulau Jawa (Pemilu 2004).
Sedangkan pPemilu 2009 dan 2014, berubah, di mana justru kursi DPR di luar Jawa
lah yang termahal.
(Lampiran I: Daerah atau Propinsi yang kekurangan keterwakilan dan kelebihan
keterwakilan)
3. Langgengnya kesalahan alokasi kursi DPR Pemilu 2014 akibat kesalahan alokasi
kursi DPR Pemilu 2004. Misalnya, Papua, Sulawesi Utara dan Maluku menjadi
korban kehilangan kursi masing-masing 3, 1 dan 3 akibat penerapan prinsip „akal-
akalan‟ provinsi induk dan pemekaran. Provinsi Papua semula 13 kursi perwakilan di
DPR, kemudian turun menjadi 10 kursi, oleh karena adanya pemekaran provinsi baru.
3 kursi Papua harus dikurangi untuk diberikan kepada Irian Jaya Barat. Sebaliknya,
ketentuan provinsi induk dan pemekaran tidak diberlakukan kepada Provinsi Sulawesi
Selatan yang dimekarkan dengan Provinsi Sulawesi Barat. Sulawesi Selatan tetap
mendapatkan 24 kursi, tanpa dikurangi 3 kursi untuk provinsi baru yang dimekarkan.
Situasi ini menimbulkan pengabaian prinsip kesetaraan perlakuan atau non
diskriminatif yang harusnya dijaga dalam pemilu.
Kasus lain adalah, „dicurinya‟ satu kursi NTB di Pemilu 2004 (dari 11 menjadi 10)
yang pada akhirnya tidak dilakukan pemulihan (dikembalikan). Situasi ini
mengakibatkan kesenjangan harga kursi DPR yang sangat timpang antara Provinsi
NTB dibandingkan dengan Provinsi NTT untuk Pemilu 2014, yaitu 539.857 per kursi
untuk NTB berbanding 411.069 per kursi untuk NTT, meskipun dua provinsi tersebut
berada di satu pulau yang sama.
4. Perbedaan mencolok harga kursi DPR pada Pemilu 2014. Sebagai ilustrasi, untuk
kursi DPR Daerah Pemilihan Kepulauan Riau, satu kursi DPR seharga 631.863
penduduk. Sedangkan untuk daerah pemilihan Jawa Barat III, harga kursi DPR setara
dengan 323.220 penduduk. Dalam kasus ini, terdapat perbedaan mencolok, di mana
harga kursi di Kepulauan Riau dua kali lipat lebih mahal dibandingkan harga kursi di
Jawa Barat III.
(Lampiran II: Perbedaan harga kursi setiap daerah pemilihan)
5. Senjang yang mencolok alokasi dan harga kursi antar daerah pemilihan dalam
satu provinsi yang sama. Sebagai ilustrasi, Provinsi Jawa Barat mendapatkan alokasi
91 kursi DPR RI dan terbagi menjadi 11 daerah pemilihan (dapil).
CONTOH ALOKASI KURSI DPR 2014 PROVINSI JAWA BARAT.
DAERAH PEMILIHAN PENDUDUK ALOKASI KURSI HARGA KURSI
JABAR VI 3.691.500 6 615.250
JABAR VII 5.182.247 10 518.225
JABAR VIII 4.355.716 9 483.968
JABAR IX 3.837.116 8 479.640
4
JABAR II 4.512.574 10 451.257
Kuota Rata-rata 39.910.274 91 438.574
JABAR XI 4.261.942 10 426.194
JABAR X 2.749.479 7 392.783
JABAR I 2.728.679 7 389.811
JABAR V 3.489.223 9 387.691
JABAR IV 2.192.819 6 365.470
JABAR III 2.908.979 9 323.220
Data penduduk berdasarkan surat keputusan KPU 9 Maret 2013, maka harga kursi
termahal ada di JABAR VI (Kota Bekasi dan Kota Depok). Terhadap kuota rata-rata
JABAR (438.574), harga kursi JABAR VI sama dengan 140,28 persen atau 40,28
persen lebih mahal dibandingkan kuota rata-rata. Secara mencolok, jika dibandingkan
dengan harga kursi termurah, yaitu JABAR III (Kuota: 323.220), harga kursi di
JABAR VI hampir dua kali lipatnya (190,35 persen alias 90,35 persen lebih mahal.
Dari alokasi kursi daerah pemilihan berdasarkan UU No. 8/2012 dapat dinyatakan
bahwa, Alokasi kursi di Provinsi JABAR berbenturan dengan prinsip konstitusi. Hal
ini dikarenakan mencederai asas persamaan, derajat keterwakilan lebih tinggi, dan
proporsionalitas. Sebagai konsekuensinya, alokasi kursi DPR dan Daerah Pemilihan
untuk Provinsi Jawa Barat harus dilakukan alokasi ulang
Jika dilakukan alokasi ulang.
PROVINSI JAWA BARAT KURSI SEHARUSNYA
DAPIL
KABUPATEN/
KOTA PENDUDUK
KURSI
UU
KUOTA
UU
PORSI
KURSI KURSI KUOTA
SELISIH
TERHADAP
UU
JABAR I
KOTA
BANDUNG 2.728.679 7 389.811 6,22 6 454.780 1
JABAR II KAB BANDUNG 4.512.574 10 451.257 10,29 10 451.257 0
JABAR III KAB CIANJUR 2.908.979 9 323.220 6,63 6 484.830 3
JABAR IV
KAB
SUKABUMI 2.192.819 6 365.470 5,00 6 365.470 0
JABAR V KAB BOGOR 3.489.223 9 387.691 7,96 8 436.153 1
JABAR VI KOTA BEKASI 3.691.500 6 615.250 8,42 8 461.438 -2
JABAR VII
KAB
PURWAKARTA 5.182.247 10 518.225 11,82 12 431.854 -2
JABAR VIII KAB CIREBON 4.355.716 9 483.968 9,93 10 435.572 -1
JABAR IX
KAB
MAJALENGKA 3.837.116 8 479.640 8,75 9 426.346 -1
JABAR X KAB CIAMIS 2.749.479 7 392.783 6,27 6 458.247 1
JABAR XI KAB GARUT 4.261.942 10 426.194 9,72 10 426.194 0
JABAR JUMLAH 39.910.274 91 438.574 91 438.574
*Minus berarti kurang dari kursi sebenarnya. Plus berarti kelebihan kursi.
5
Jika alokasi kursi ulang dilakukan, maka dapil-dapil yang kelebihan masing-masing 1
kursi adalah Jabar I, Jabar V dan Jabar X. Dapil Jabar III akan terkoreksi 3 kursi.
Sedangkan dapil yang kekurangan masing-masing 1 kursi adalah Jabar IX dan Jabar
VIII. Dan Dapil yang kekurangan 2 kursi masing-masing adalah Jabar VI dan Jabar
VII.
Catatan: Kasus serupa juga terjadi pada Daerah Pemilihan di Provinsi Banten, DKI
Jakarta, Jatim, Jateng dan Sulawesi Selatan misalnya.
6. Tidak dikenalnya Alokasi Kursi Ulang dan Hilangnya Instrumen Pertumbuhan
Wilayah. Pelaksanaan empat kali pemilu di Indonesia tanpa ada satupun preseden
Alokasi Kursi Ulang, telah menghilangkan hak dan kesempatan bagi setiap penduduk
yang berada di wilayah NKRI untuk diwakili secara setara di lembaga perwakilan
(DPR). Hanya di Indonesia dan tidak ditemui di negara-negara lain adanya prinsip
bahwa “Alokasi Kursi DPR Tidak Boleh Kurang Dari Pemilu Sebelumnya”. Prinsip
ini pada akhirnya, menjadi hambatan bagi peluang untuk dilakukannya Alokasi Ulang
Kursi DPR. Dengan demikian, pemilu tidak dapat menjadi instrumen pertumbuhan
wilayah maupun koreksi dan penyesuaian bagi hak keterwakilan (Bandingkan
misalnya dengan AS pada saat berusia 70 tahun).
7. Prinsip Non Opovov Alokasi Kursi DPR. Selain menciderai konstitusi, juga
bertentangan dengan Asas Undang-undang Pemilu:
Asas UU Pemilu Legislatif
No. 12 Tahun 2003 No. 10 Tahun 2008 No. 8 Tahun 2012
umum, adil (kesempatan sama bagi semua warganegara, non diskriminatif, proporsional,
derajat keterwakilan sama)
Ukuran keadilan adalah
si/S = vi/V
Derajat Keterwakilan
vi/si = V/S
Ukuran Proporsionalitas, misalnya Gallagher Index
8. Potensi konflik kelembagaan antara Eksekutif dengan Legislatif.
Potensi konflik ini akan muncul dikemudian hari dan menemukan momennya pada
pelaksanaan penyelenggaraan pemilu serentak 2019 mendatang. Konflik kelembagaan
ini apada akhirnya dapat memberi pengaruh terhadap efektivitas roda pemerintahan.
Hal ini muncul karena pertentangan antara prinsip Opovov yang dianut dalam
pemilihan presiden dengan prinsip non Opovov yang terjadi dalam pemilihan anggota
legislatif.
6
Contoh: Hasil Pemilu 2014. Koalisi partai pendukung presiden terpilih meraup 41
persen suara pemilih, namun penguasaan kursi di DPR hanya 36 persen kursi.
9. Tingginya Disproporsionalitas Pemilu.
Pembentukan 77 Daerah Pemilihan DPR 2014, menunjukkan terjadinya
disproporsionalitas pemilu yang tinggi. Hal ini disumbangkan oleh faktor antara lain:
- Kuota kursi antar daerah pemilihan yang sangat mencolok (JABAR III berkuota
323.220, KEPRI berkuota 631.863);
- Kuota kursi antar dapil di dalam provinsi (JATIM XI berkuota 482.711, JATIM
IX berkuota 375.977 atau JABAR VI berkuota 615.250, JABAR III berkuota
323.220 atau BANTEN I berkuota 373.460, BANTEN III berkuota 534.049 dsb.
- Kuota antar dapil yang bertetanggaan dalam satu pulau (SULSEL III berkuota
396,464 bertetanggan dengan SULBAR yang berkuota 529.721, SULTRA yang
berkuota 538.325 dan SULTENG yang berkuota 489.224 dan sebagainya).
Saran dan Rekomendasi
Alokasi kursi DPR dilakukan ulang dengan berdasarkan prinsip Opovov agar
berkesesuaian dengan prinsip Opovov yang dianut dalam Pilpres. Preseden ini
sebelumnya pernah terjadi pada Pemilu DPR tahun 1955, dimana alokasi kursi DPR ke
setiap provinsi didasarkan pada prinsip Opovov, bahkan pada tingkat yang mendekati
sempurna (Lihat Lampiran III)
Alokasi kursi DPR hendaknya dilakukan dengan menggunakan data yang berbasiskan
sensus penduduk terakhir, dan hasil alokasi dapat dipergunakan setidaknya minimal dua
kali pemilu. Sebagaimana diketahui, sensus penduduk di Indonesia dilakukan setiap 10
tahun sekali.
Prinsip-prinsip alokasi kursi dapat melibatkan berbagai metode penghitungan yang
tersedia dan dapat didasarkan pada berbagai misi dalam rangka penciptaan keadilan
keterwakilan. Misalnya: mendekatkan rasio pemilih dengan penduduk, rasio penduduk
yang berkepadatan tinggi dan rendah, ataupun memperpendek rasio ketimpangan
keterwakilan antar provinsi dan sebagainya.
Alokasi Kursi DPR berdasarkan hasil pemilu. Alternatif ini dapat digunakan sebagai
terobosan baru dalam pemilu Indonesia. Jika biasanya alokasi kursi DPR dan DPRD
ditetapkan sebelum pemilu dilaksanakan, maka alternatif ini juga sebaliknya. Dengan
demikian, besar kecil alokasi kursi yang diterima oleh setiap provinsi, didasarkan pada
tinggi rendahnya tingkat partisipasi pemilih pada pemilu. Sehingga memecut parpol-
parpol buat memobilisasi massanya. Bukan seperti sekarang, meskipun partisipasi
pemilih rendah, tidak akan berpengaruh pada jumlah alokasi kursi.
Cara lain: berdasarkan hasil pemilu per provinsi dengan sudah ditetapkannya jumlah
kursi provinsi, kemudian baru dibagikan ke setiap dapil.
Jakarta, 18 September 2016
Sindikasi Pemilu dan Demokrasi
CP: August Mellaz (081218560749)
Pipit R. Kartawidjaja (085697898489)
7
PROPINSI POPULASI KURSI KUOTATHD KUOTA
TERENDAH PROPINSI POPULASI KURSI KUOTA
THD KUOTA
TERENDAH PROPINSI POPULASI KURSI KUOTA
THD KUOTA
TERENDAH
JABAR 38.059.552 90 422.884 108,24% KEPRI 1.393.897 3 464.632 114,20% KEPRI 1.895.590 3 631.863 140,51%
JATENG 32.114.351 76 422.557 108,15% JABAR 40.707.250 91 447.332 109,95% RIAU 6.456.322 11 586.938 130,52%
JATIM 36.234.550 86 421.332 107,84% SUMUT 13.319.525 30 443.984 109,12% NTB 5.398.573 10 539.857 120,05%
DKI JAKARTA 8.622.065 21 410.575 105,09% JATENG 34.034.177 77 442.002 108,64% SULTRA 2.691.623 5 538.325 119,71%
SUMUT 11.890.399 29 410.014 104,94% SUMSEL 7.508.091 17 441.652 108,55% LAMPUNG 9.586.492 18 532.583 118,43%
LAMPUNG 6.945.786 17 408.576 104,58% NTB 4.364.141 10 436.414 107,26% SULBAR 1.589.162 3 529.721 117,80%
BANTEN 8.977.896 22 408.086 104,45% JATIM 37.872.044 87 435.311 106,99% KALTIM 4.154.954 8 519.369 115,50%
SUMSEL 6.503.918 16 406.495 104,04% YOGYA 3.441.614 8 430.202 105,74% KALBAR 5.193.272 10 519.327 115,49%
R I A U 4.425.100 11 402.282 102,96% BENGKULU 1.715.689 4 428.922 105,42% SUMUT 15.227.719 30 507.591 112,88%
NTB 4.015.102 10 401.510 102,77% RIAU 4.715.437 11 428.676 105,36% JAMBI 3.532.126 7 504.589 112,21%
YOGYAKARTA 3.209.405 8 401.176 102,68% BANTEN 9.245.075 22 420.231 103,28% SUMSEL 8.528.719 17 501.689 111,56%
KALBAR 3.958.448 10 395.845 101,32% SULTENG 2.521.327 6 420.221 103,28% BENGKULU 1.996.538 4 499.135 111,00%
INDONESIA 214.884.220 550 390.699 RATA-RATA KALBAR 4.165.308 10 416.531 102,38% SULTENG 2.935.343 6 489.224 108,79%
KALTIM 2.712.492 7 387.499 99,18% LAMPUNG 7.348.623 18 408.257 100,34% BALI 4.227.705 9 469.745 104,46%
KEPRI 1.152.132 3 384.044 98,30% INDONESIA 227.845.868 560 406.868 RATA-RATA MALUKU 1.866.248 4 466.562 103,75%
BENGKULU 1.521.200 4 380.300 97,34% JAMBI 2.805.297 7 400.757 98,50% JAKARTA 9.603.417 21 457.306 101,69%
SULTRA 1.881.512 5 376.302 96,32% SULTRA 2.003.744 5 400.749 98,50% BANTEN 9.938.820 22 451.765 100,46%
BALI 3.357.113 9 373.013 95,47% KALTIM 3.088.322 8 386.040 94,88% BABEL 1.349.199 3 449.733 100,01%
SULTENG 2.215.449 6 369.242 94,51% BALI 3.372.335 9 374.704 92,09% INDONESIA 251.824.296 560 449.686 RATA=RATA
J A M B I 2.575.731 7 367.962 94,18% JAKARTA 7.706.175 21 366.961 90,19% KALTENG 2.640.070 6 440.012 97,85%
SULUT 2.131.685 6 355.281 90,93% SULUT 2.199.701 6 366.617 90,11% JABAR 39.910.274 91 438.574 97,53%
SULSEL 8.233.375 24 343.057 87,81% BABEL 1.059.481 3 353.160 86,80% YOGYA 3.458.029 8 432.254 96,12%
KEP. BABEL 982.068 3 327.356 83,79% MALUKU 1.407.921 4 351.980 86,51% SULUT 2.583.511 6 430.585 95,75%
ACEH 4.227.000 13 325.154 83,22% SULBAR 1.050.928 3 350.309 86,10% JATIM 37.269.885 87 428.389 95,26%
MALUKU 1.277.414 4 319.354 81,74% KALTENG 2.019.117 6 336.520 82,71% JATENG 32.578.357 77 423.096 94,09%
SUMBAR 4.466.697 14 319.050 81,66% NTT 4.230.028 13 325.387 79,97% PAPUA 4.224.232 10 422.423 93,94%
NTT 4.083.639 13 314.126 80,40% ACEH 4.228.726 13 325.287 79,95% MALUT 1.258.354 3 419.451 93,28%
KALTENG 1.832.185 6 305.364 78,16% SUMBAR 4.549.356 14 324.954 79,87% NTT 5.343.902 13 411.069 91,41%
GORONTALO 883.099 3 294.366 75,34% MALUT 970.443 3 323.481 79,51% SUMBAR 5.617.977 14 401.284 89,24%
KALSEL 3.181.130 11 289.194 74,02% SULSEL 7.606.500 24 316.938 77,90% SULSEL 9.368.107 24 390.338 86,80%
MALUT 855.627 3 285.209 73,00% GORONTALO 945.001 3 315.000 77,42% ACEH 5.015.234 13 385.787 85,79%
PAPUA 1.966.800 10 196.680 50,34% KALSEL 3.407.423 11 309.766 76,13% GORONTALO 1.147.528 3 382.509 85,06%
IRJABAR 391.300 3 130.433 33,38% PAPBAR 690.349 3 230.116 56,56% KALSEL 4.145.843 11 376.895 83,81%
PAPUA 2.152.823 10 215.282 52,91% PAPBAR 1.091.171 3 363.724 80,88%
Alokasi Kursi berdasarkan Lampiran UU No. 12 Tahun 2008 Tentang Pileg
Perbandingan alokasi kursi antar provinsi tidak menggambarkan perbandingan alokasi kursi antar Dapil
DPR 2009-2014
unde
rrep
rese
nted
over
repr
esen
ted
Lampiran I: Daerah atau Propinsi yang kekurangan keterwakilan dan kelebihan keterwakilan
DPR 2014-2019
Keputusan Komisi Pemilihan Umum, Nomor 93 s/d 125/Kpts/KPU/TAHUN 2013,
Tanggal 9 MARET 2013
Alokasi Kursi Berdasarkan Lampiran UU No. 8 Tahun 2012 Tentang Pileg
unde
rrep
rese
nted
over
repr
esen
ted
*)Lampiran II Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 640 Tahun 2003 tanggal 20
November 2003 mengenai Penetapan Daerah Pemilihan dan Tata Cara Perhitungan
Jumlah Kursi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat untuk Setiap Provinsi Seluruh Indonesia
dalam Pemilihan Umum Tahun 2004
Data Penduduk menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 2008
Tentang Kode dab Data Wilayah Administrasi Pemerintahan,
www.depdagri.go.id/pages/data-wilayah
unde
rrep
rese
nted
overrepresented
DPR 2004-2009
8
Lampiran II: Perbedaan harga kursi setiap daerah pemilihan