sindikasi pemilu dan demokrasi jl. proklamasi no. 65 ...€¦ · sebagai contoh, pada pemilu 2004,...

8
1 Sindikasi Pemilu dan Demokrasi Jl. Proklamasi No. 65, Jakarta Pusat [email protected] │+621 3906072 www.spd-indonesia.com “Konstitusionalitas dan Problematika Alokasi Kursi DPR RI Pemilu Indonesia” Proses penyusunan Regulasi Penyelenggaraan Pemilu 2019 telah mulai. Saat ini Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementrian Dalam Negeri tengah menyusun Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu 2019 (RUU Pemilu). Dari sejumlah materi yang menjadi isu krusial (13 isu krusial) dalam RUU tersebut, isu Alokasi Kursi DPR ke setiap provinsi perlu mendapatkan perhatian serius dan mendalam. Isu alokasi kursi DPR RI ke setiap provinsi dan kemudian dibagikan ke setiap daerah pemilihan (dapil) menjadi satu prasyarat penting untuk menjawab kepentingan politik penduduk yang harus diwakili di lembaga legislatif. Hak untuk mendapatkan keterwakilan kursi DPR secara setara oleh setiap warga negara, merupakan amanat konstitusi, sebagaimana diatur dalam Pasal 27 Ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya. Oleh karena itu, pemilu sebagai sarana untuk membentuk tertib hukum dan pemerintahan, maka prinsip kesetaraan yang menjadi hak setiap warga negara tanpa terkecuali, hendaknya diwujudkan dalam juga dalam hak keterwakilan dengan mengedepankan prinsip non diskriminatif. Konteks keterwakilan dalam Alokasi Kursi DPR RI ke setiap provinsi berdasarkan prinsip kesetaraan/non diskriminatif atau biasa dikenal dengan istilah one person, one vote, one value (Opovov), harusnya menjadi isu yang mengedepan dan memiliki prioritas untuk terlebih dahulu mendapatkan pembahasan. Hal ini penting untuk dipahami, karena sebaik apapun sistem pemilu yang dipilih dan diterapkan, hasilnya tetap akan menciderai hak keterwakilan warga negara sebagaimana konstitusi mengamanatkannya. Dari empat kali pelaksanaan pemilu demokratis paska reformasi, isu Alokasi kursi DPR ke setiap provinsi dan daerah pemilihan selalu luput dari perhatian para pembuat undang- undang. Kesalahan ataupun kekeliruan yang berujung pada pengabaikan hak warga negara untuk diwakili di DPR, tidak pernah menjadi bahan evaluasi agar dilakukan perbaikan. Bahkan, sejak Pemilu 2004 pengabaian ini terus berlanjut hingga Pemilu 2014 lalu. Data-data kepemiluan Indonesia tentang alokasi kursi DPR dari pemilu ke pemilu berikutnya menunjukkan berbagai pergeseran prinsip-prinsip alokasi kursi dan sekaligus pencideraan terhadap amanat konstitusi. Sebagai contoh, pada Pemilu 2004, „prinsip Jawa-Luar Jawa (alokasi kursi berdasarkan prinsip kepadatan penduduk)‟ menghasilkan situasi bahwa harga (kuota) kursi DPR di wilayah Pulau Jawa lebih mahal dibanding dengan harga kursi DPR di luar Pulau Jawa. Namun situasi tersebut bergeser sebaliknya pada Pemilu 2014, di mana kuota kursi DPR justru lebih mahal di luar Pulau Jawa dibandingkan dengan yang terjadi di Pulau Jawa. Demikian juga penambahan jumlah kursi DPR RI pada Pemilu 2009, di mana ketika kursi DPR RI dari 550 (Pemilu 2004) ditambah 10 kursi menjadi 560 (Pemilu 2009), tidak dilakukan alokasi kursi sesuai prinsip opovov. Secara arbitrer (mana suka) hanya 10 kursi yang dibagikan ke beberapa provinsi tanpa diketahui metode dan prinsip alokasi yang digunakan. Pada akhirnya, pencideraan prinsip kesetaraan/non diskriminatif, dan

Upload: others

Post on 18-Jul-2020

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Sindikasi Pemilu dan Demokrasi Jl. Proklamasi No. 65 ...€¦ · Sebagai contoh, pada Pemilu 2004, „prinsip Jawa-Luar Jawa (alokasi kursi berdasarkan prinsip kepadatan penduduk)‟

1

Sindikasi Pemilu dan Demokrasi Jl. Proklamasi No. 65, Jakarta Pusat

[email protected] │+621 3906072

www.spd-indonesia.com

“Konstitusionalitas dan Problematika Alokasi Kursi DPR RI Pemilu Indonesia”

Proses penyusunan Regulasi Penyelenggaraan Pemilu 2019 telah mulai. Saat ini Pemerintah

Republik Indonesia melalui Kementrian Dalam Negeri tengah menyusun Rancangan

Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu 2019 (RUU Pemilu). Dari sejumlah materi yang

menjadi isu krusial (13 isu krusial) dalam RUU tersebut, isu Alokasi Kursi DPR ke setiap

provinsi perlu mendapatkan perhatian serius dan mendalam.

Isu alokasi kursi DPR RI ke setiap provinsi dan kemudian dibagikan ke setiap daerah

pemilihan (dapil) menjadi satu prasyarat penting untuk menjawab kepentingan politik

penduduk yang harus diwakili di lembaga legislatif. Hak untuk mendapatkan keterwakilan

kursi DPR secara setara oleh setiap warga negara, merupakan amanat konstitusi, sebagaimana

diatur dalam Pasal 27 Ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 “Segala warga negara

bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung

tinggi hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya”.

Oleh karena itu, pemilu sebagai sarana untuk membentuk tertib hukum dan pemerintahan,

maka prinsip kesetaraan yang menjadi hak setiap warga negara tanpa terkecuali, hendaknya

diwujudkan dalam juga dalam hak keterwakilan dengan mengedepankan prinsip non

diskriminatif.

Konteks keterwakilan dalam Alokasi Kursi DPR RI ke setiap provinsi berdasarkan prinsip

kesetaraan/non diskriminatif atau biasa dikenal dengan istilah one person, one vote, one value

(Opovov), harusnya menjadi isu yang mengedepan dan memiliki prioritas untuk terlebih

dahulu mendapatkan pembahasan. Hal ini penting untuk dipahami, karena sebaik apapun

sistem pemilu yang dipilih dan diterapkan, hasilnya tetap akan menciderai hak keterwakilan

warga negara sebagaimana konstitusi mengamanatkannya.

Dari empat kali pelaksanaan pemilu demokratis paska reformasi, isu Alokasi kursi DPR ke

setiap provinsi dan daerah pemilihan selalu luput dari perhatian para pembuat undang-

undang. Kesalahan ataupun kekeliruan yang berujung pada pengabaikan hak warga negara

untuk diwakili di DPR, tidak pernah menjadi bahan evaluasi agar dilakukan perbaikan.

Bahkan, sejak Pemilu 2004 pengabaian ini terus berlanjut hingga Pemilu 2014 lalu.

Data-data kepemiluan Indonesia tentang alokasi kursi DPR dari pemilu ke pemilu berikutnya

menunjukkan berbagai pergeseran prinsip-prinsip alokasi kursi dan sekaligus pencideraan

terhadap amanat konstitusi. Sebagai contoh, pada Pemilu 2004, „prinsip Jawa-Luar Jawa

(alokasi kursi berdasarkan prinsip kepadatan penduduk)‟ menghasilkan situasi bahwa harga

(kuota) kursi DPR di wilayah Pulau Jawa lebih mahal dibanding dengan harga kursi DPR di

luar Pulau Jawa. Namun situasi tersebut bergeser sebaliknya pada Pemilu 2014, di mana

kuota kursi DPR justru lebih mahal di luar Pulau Jawa dibandingkan dengan yang terjadi di

Pulau Jawa.

Demikian juga penambahan jumlah kursi DPR RI pada Pemilu 2009, di mana ketika kursi

DPR RI dari 550 (Pemilu 2004) ditambah 10 kursi menjadi 560 (Pemilu 2009), tidak

dilakukan alokasi kursi sesuai prinsip opovov. Secara arbitrer (mana suka) hanya 10 kursi

yang dibagikan ke beberapa provinsi tanpa diketahui metode dan prinsip alokasi yang

digunakan. Pada akhirnya, pencideraan prinsip kesetaraan/non diskriminatif, dan

Page 2: Sindikasi Pemilu dan Demokrasi Jl. Proklamasi No. 65 ...€¦ · Sebagai contoh, pada Pemilu 2004, „prinsip Jawa-Luar Jawa (alokasi kursi berdasarkan prinsip kepadatan penduduk)‟

2

ketimpangan kursi perwakilan antar provinsi yang harusnya diperbaiki dalam pemilu, tetap

berlanjut hingga pelaksanaan pemilu terakhir di tahun 2014.

Khusus untuk pelaksanaan Pemilu 2019 mendatang, isu ini perlu mendapatkan perhatian

serius, bahkan perlu menjadi prioritas dibandingkan pembahasan tentang sistem pemilu itu

sendiri. Hal ini setidaknya berangkat dari beberapa hal. Pertama, agar penghormatan dan

pemenuhan amanat konstitusi dapat terwujud. Kedua, memperbaiki dan sekaligus

memberikan remedi (memulihkan) hak keterwakilan kursi DPR RI di seluruh wilayah NKRI.

Ketiga menyediakan mekanisme alokasi kursi DPR yang dapat dipertanggungjawabkan, baik

secara politik (legitimasi) maupun berbasis konsep (ilmiah). Ketiga aspek tersebut

mendapatkan momen penting pada pelaksanaan Pemilu 2019 mendatang, di mana

penyelenggaraan pemilu, baik memilih anggota legislatif dan memilih presiden/wakil

presiden akan dilakukan secara serentak.

Di mana-mana, sebelum sistem pemilu jalan, yang penting adalah alokasi kursi DPR!

Jika tidak dilakukan perbaikan, maka momen Pemilu 2019 akan menghadapi masalah serius,

di mana “pertumbukan” antara prinsip non opovov (pemilu legislatif) dengan prinsip opovov

(pemilu presiden/wakil presiden) akan terjadi. Situasi ini selanjutnya akan berdampak pada

potensi munculnya “Konflik Kelembagaan antara Lembaga Kepresidenan (Eksekutif) dengan

DPR (Legislatif)”, di mana legitimasi presiden terpilih yang berasal dari dukungan pemilih

(popular vote) tidak mencerminkan dukungan kursi di DPR yang berguna bagi efektivitas

roda pemerintahan.

Atas dasar itu, Sindikasi Pemilu dan Demokrasi – SPD menginisiasi topik diskusi yang secara

khusus dan mendalam membahas isu “Konstitusionalitas dan Problematika Alokasi Kursi

DPR Pemilu Indonesia”. Diskusi ini diharapkan dapat menjadi sarana untuk mengungkap

berbagai problematika yang ada. Melalui pengungkapan probematika ini, diharapkan para

pembuat undang-undang menyadari pentingnya isu ini untuk mendapatkan prioritas

pembahasan. Selanjutnya, melalui diskusi ini membuka ruang bagi gagasan dan ide-ide

alternatif secara mendalam dalam rangka perbaikan kepemiluan dan demokrasi Indonesia di

masa-masa mendatang.

Catatan Permasalahan Alokasi Kursi DPR

1. Daerah Pemilihan dan Jumlah Kursi DPR terlampir sebagai bagian tak

terpisahkan dari undang-undang. Ketentuan ini sekali lagi memberikan isyarat

penting bahwa, isu alokasi kursi tidak menjadi prioritas untuk dilakukan perbaikan.

Dengan demikian kesalahan dan kekeliruan Alokasi Kursi DPR sejak 2004, 2009, dan

2014 tetap dilakukan „pembiaran‟. Efek dari pengabaian ini mengakibatkan

ketimpangan keterwakilan antar satu daerah dengan daerah lainnya. Pada Pemilu

2004, ketimpangan keterwakilan terjadi pada 12 daerah dalam bentuk kekurangan

keterwakilan. Di Pemilu 2009, ketimpangan dalam bentuk kekurangan keterwakilan

terjadi pada 14 daerah. Dan pada Pemilu 2014 ketimpangan keterwakilan terjadi

meliputi 18 daerah dalam bentuk kekurangan keterwakilan.

(Lampiran I: Daerah atau Propinsi yang kekurangan keterwakilan dan kelebihan

keterwakilan)

2. Pergeseran Secara Diam-diam Prinsip Keterwakilan Jawa non-Jawa.

Pada Pemilu 2004, harga kursi (kuota) DPR di daerah pemilihan ditentukan

berdasarkan prinsip kepadatan dan non kepadatan jumlah penduduk, sebagaimana

Page 3: Sindikasi Pemilu dan Demokrasi Jl. Proklamasi No. 65 ...€¦ · Sebagai contoh, pada Pemilu 2004, „prinsip Jawa-Luar Jawa (alokasi kursi berdasarkan prinsip kepadatan penduduk)‟

3

diatur dalam undang-undang. Untuk daerah yang berkepadatan penduduk tinggi

(Jawa), maka berlaku ketentuan harga (kuota) satu kursi DPR setara dengan 425.000

penduduk. Sedangkan untuk daerah berkepadatan penduduk rendah (Luar Jawa),

kuota atau harga kursi DPR setara 325.000 penduduk. Prinsip ini pada pada Pemilu

2009 dan Pemilu 2014 bergeser dari misi semula. Pada awalnya harga kursi DPR

termahal berada di daerah-daerah yang berlokasi di Pulau Jawa (Pemilu 2004).

Sedangkan pPemilu 2009 dan 2014, berubah, di mana justru kursi DPR di luar Jawa

lah yang termahal.

(Lampiran I: Daerah atau Propinsi yang kekurangan keterwakilan dan kelebihan

keterwakilan)

3. Langgengnya kesalahan alokasi kursi DPR Pemilu 2014 akibat kesalahan alokasi

kursi DPR Pemilu 2004. Misalnya, Papua, Sulawesi Utara dan Maluku menjadi

korban kehilangan kursi masing-masing 3, 1 dan 3 akibat penerapan prinsip „akal-

akalan‟ provinsi induk dan pemekaran. Provinsi Papua semula 13 kursi perwakilan di

DPR, kemudian turun menjadi 10 kursi, oleh karena adanya pemekaran provinsi baru.

3 kursi Papua harus dikurangi untuk diberikan kepada Irian Jaya Barat. Sebaliknya,

ketentuan provinsi induk dan pemekaran tidak diberlakukan kepada Provinsi Sulawesi

Selatan yang dimekarkan dengan Provinsi Sulawesi Barat. Sulawesi Selatan tetap

mendapatkan 24 kursi, tanpa dikurangi 3 kursi untuk provinsi baru yang dimekarkan.

Situasi ini menimbulkan pengabaian prinsip kesetaraan perlakuan atau non

diskriminatif yang harusnya dijaga dalam pemilu.

Kasus lain adalah, „dicurinya‟ satu kursi NTB di Pemilu 2004 (dari 11 menjadi 10)

yang pada akhirnya tidak dilakukan pemulihan (dikembalikan). Situasi ini

mengakibatkan kesenjangan harga kursi DPR yang sangat timpang antara Provinsi

NTB dibandingkan dengan Provinsi NTT untuk Pemilu 2014, yaitu 539.857 per kursi

untuk NTB berbanding 411.069 per kursi untuk NTT, meskipun dua provinsi tersebut

berada di satu pulau yang sama.

4. Perbedaan mencolok harga kursi DPR pada Pemilu 2014. Sebagai ilustrasi, untuk

kursi DPR Daerah Pemilihan Kepulauan Riau, satu kursi DPR seharga 631.863

penduduk. Sedangkan untuk daerah pemilihan Jawa Barat III, harga kursi DPR setara

dengan 323.220 penduduk. Dalam kasus ini, terdapat perbedaan mencolok, di mana

harga kursi di Kepulauan Riau dua kali lipat lebih mahal dibandingkan harga kursi di

Jawa Barat III.

(Lampiran II: Perbedaan harga kursi setiap daerah pemilihan)

5. Senjang yang mencolok alokasi dan harga kursi antar daerah pemilihan dalam

satu provinsi yang sama. Sebagai ilustrasi, Provinsi Jawa Barat mendapatkan alokasi

91 kursi DPR RI dan terbagi menjadi 11 daerah pemilihan (dapil).

CONTOH ALOKASI KURSI DPR 2014 PROVINSI JAWA BARAT.

DAERAH PEMILIHAN PENDUDUK ALOKASI KURSI HARGA KURSI

JABAR VI 3.691.500 6 615.250

JABAR VII 5.182.247 10 518.225

JABAR VIII 4.355.716 9 483.968

JABAR IX 3.837.116 8 479.640

Page 4: Sindikasi Pemilu dan Demokrasi Jl. Proklamasi No. 65 ...€¦ · Sebagai contoh, pada Pemilu 2004, „prinsip Jawa-Luar Jawa (alokasi kursi berdasarkan prinsip kepadatan penduduk)‟

4

JABAR II 4.512.574 10 451.257

Kuota Rata-rata 39.910.274 91 438.574

JABAR XI 4.261.942 10 426.194

JABAR X 2.749.479 7 392.783

JABAR I 2.728.679 7 389.811

JABAR V 3.489.223 9 387.691

JABAR IV 2.192.819 6 365.470

JABAR III 2.908.979 9 323.220

Data penduduk berdasarkan surat keputusan KPU 9 Maret 2013, maka harga kursi

termahal ada di JABAR VI (Kota Bekasi dan Kota Depok). Terhadap kuota rata-rata

JABAR (438.574), harga kursi JABAR VI sama dengan 140,28 persen atau 40,28

persen lebih mahal dibandingkan kuota rata-rata. Secara mencolok, jika dibandingkan

dengan harga kursi termurah, yaitu JABAR III (Kuota: 323.220), harga kursi di

JABAR VI hampir dua kali lipatnya (190,35 persen alias 90,35 persen lebih mahal.

Dari alokasi kursi daerah pemilihan berdasarkan UU No. 8/2012 dapat dinyatakan

bahwa, Alokasi kursi di Provinsi JABAR berbenturan dengan prinsip konstitusi. Hal

ini dikarenakan mencederai asas persamaan, derajat keterwakilan lebih tinggi, dan

proporsionalitas. Sebagai konsekuensinya, alokasi kursi DPR dan Daerah Pemilihan

untuk Provinsi Jawa Barat harus dilakukan alokasi ulang

Jika dilakukan alokasi ulang.

PROVINSI JAWA BARAT KURSI SEHARUSNYA

DAPIL

KABUPATEN/

KOTA PENDUDUK

KURSI

UU

KUOTA

UU

PORSI

KURSI KURSI KUOTA

SELISIH

TERHADAP

UU

JABAR I

KOTA

BANDUNG 2.728.679 7 389.811 6,22 6 454.780 1

JABAR II KAB BANDUNG 4.512.574 10 451.257 10,29 10 451.257 0

JABAR III KAB CIANJUR 2.908.979 9 323.220 6,63 6 484.830 3

JABAR IV

KAB

SUKABUMI 2.192.819 6 365.470 5,00 6 365.470 0

JABAR V KAB BOGOR 3.489.223 9 387.691 7,96 8 436.153 1

JABAR VI KOTA BEKASI 3.691.500 6 615.250 8,42 8 461.438 -2

JABAR VII

KAB

PURWAKARTA 5.182.247 10 518.225 11,82 12 431.854 -2

JABAR VIII KAB CIREBON 4.355.716 9 483.968 9,93 10 435.572 -1

JABAR IX

KAB

MAJALENGKA 3.837.116 8 479.640 8,75 9 426.346 -1

JABAR X KAB CIAMIS 2.749.479 7 392.783 6,27 6 458.247 1

JABAR XI KAB GARUT 4.261.942 10 426.194 9,72 10 426.194 0

JABAR JUMLAH 39.910.274 91 438.574 91 438.574

*Minus berarti kurang dari kursi sebenarnya. Plus berarti kelebihan kursi.

Page 5: Sindikasi Pemilu dan Demokrasi Jl. Proklamasi No. 65 ...€¦ · Sebagai contoh, pada Pemilu 2004, „prinsip Jawa-Luar Jawa (alokasi kursi berdasarkan prinsip kepadatan penduduk)‟

5

Jika alokasi kursi ulang dilakukan, maka dapil-dapil yang kelebihan masing-masing 1

kursi adalah Jabar I, Jabar V dan Jabar X. Dapil Jabar III akan terkoreksi 3 kursi.

Sedangkan dapil yang kekurangan masing-masing 1 kursi adalah Jabar IX dan Jabar

VIII. Dan Dapil yang kekurangan 2 kursi masing-masing adalah Jabar VI dan Jabar

VII.

Catatan: Kasus serupa juga terjadi pada Daerah Pemilihan di Provinsi Banten, DKI

Jakarta, Jatim, Jateng dan Sulawesi Selatan misalnya.

6. Tidak dikenalnya Alokasi Kursi Ulang dan Hilangnya Instrumen Pertumbuhan

Wilayah. Pelaksanaan empat kali pemilu di Indonesia tanpa ada satupun preseden

Alokasi Kursi Ulang, telah menghilangkan hak dan kesempatan bagi setiap penduduk

yang berada di wilayah NKRI untuk diwakili secara setara di lembaga perwakilan

(DPR). Hanya di Indonesia dan tidak ditemui di negara-negara lain adanya prinsip

bahwa “Alokasi Kursi DPR Tidak Boleh Kurang Dari Pemilu Sebelumnya”. Prinsip

ini pada akhirnya, menjadi hambatan bagi peluang untuk dilakukannya Alokasi Ulang

Kursi DPR. Dengan demikian, pemilu tidak dapat menjadi instrumen pertumbuhan

wilayah maupun koreksi dan penyesuaian bagi hak keterwakilan (Bandingkan

misalnya dengan AS pada saat berusia 70 tahun).

7. Prinsip Non Opovov Alokasi Kursi DPR. Selain menciderai konstitusi, juga

bertentangan dengan Asas Undang-undang Pemilu:

Asas UU Pemilu Legislatif

No. 12 Tahun 2003 No. 10 Tahun 2008 No. 8 Tahun 2012

umum, adil (kesempatan sama bagi semua warganegara, non diskriminatif, proporsional,

derajat keterwakilan sama)

Ukuran keadilan adalah

si/S = vi/V

Derajat Keterwakilan

vi/si = V/S

Ukuran Proporsionalitas, misalnya Gallagher Index

8. Potensi konflik kelembagaan antara Eksekutif dengan Legislatif.

Potensi konflik ini akan muncul dikemudian hari dan menemukan momennya pada

pelaksanaan penyelenggaraan pemilu serentak 2019 mendatang. Konflik kelembagaan

ini apada akhirnya dapat memberi pengaruh terhadap efektivitas roda pemerintahan.

Hal ini muncul karena pertentangan antara prinsip Opovov yang dianut dalam

pemilihan presiden dengan prinsip non Opovov yang terjadi dalam pemilihan anggota

legislatif.

Page 6: Sindikasi Pemilu dan Demokrasi Jl. Proklamasi No. 65 ...€¦ · Sebagai contoh, pada Pemilu 2004, „prinsip Jawa-Luar Jawa (alokasi kursi berdasarkan prinsip kepadatan penduduk)‟

6

Contoh: Hasil Pemilu 2014. Koalisi partai pendukung presiden terpilih meraup 41

persen suara pemilih, namun penguasaan kursi di DPR hanya 36 persen kursi.

9. Tingginya Disproporsionalitas Pemilu.

Pembentukan 77 Daerah Pemilihan DPR 2014, menunjukkan terjadinya

disproporsionalitas pemilu yang tinggi. Hal ini disumbangkan oleh faktor antara lain:

- Kuota kursi antar daerah pemilihan yang sangat mencolok (JABAR III berkuota

323.220, KEPRI berkuota 631.863);

- Kuota kursi antar dapil di dalam provinsi (JATIM XI berkuota 482.711, JATIM

IX berkuota 375.977 atau JABAR VI berkuota 615.250, JABAR III berkuota

323.220 atau BANTEN I berkuota 373.460, BANTEN III berkuota 534.049 dsb.

- Kuota antar dapil yang bertetanggaan dalam satu pulau (SULSEL III berkuota

396,464 bertetanggan dengan SULBAR yang berkuota 529.721, SULTRA yang

berkuota 538.325 dan SULTENG yang berkuota 489.224 dan sebagainya).

Saran dan Rekomendasi

Alokasi kursi DPR dilakukan ulang dengan berdasarkan prinsip Opovov agar

berkesesuaian dengan prinsip Opovov yang dianut dalam Pilpres. Preseden ini

sebelumnya pernah terjadi pada Pemilu DPR tahun 1955, dimana alokasi kursi DPR ke

setiap provinsi didasarkan pada prinsip Opovov, bahkan pada tingkat yang mendekati

sempurna (Lihat Lampiran III)

Alokasi kursi DPR hendaknya dilakukan dengan menggunakan data yang berbasiskan

sensus penduduk terakhir, dan hasil alokasi dapat dipergunakan setidaknya minimal dua

kali pemilu. Sebagaimana diketahui, sensus penduduk di Indonesia dilakukan setiap 10

tahun sekali.

Prinsip-prinsip alokasi kursi dapat melibatkan berbagai metode penghitungan yang

tersedia dan dapat didasarkan pada berbagai misi dalam rangka penciptaan keadilan

keterwakilan. Misalnya: mendekatkan rasio pemilih dengan penduduk, rasio penduduk

yang berkepadatan tinggi dan rendah, ataupun memperpendek rasio ketimpangan

keterwakilan antar provinsi dan sebagainya.

Alokasi Kursi DPR berdasarkan hasil pemilu. Alternatif ini dapat digunakan sebagai

terobosan baru dalam pemilu Indonesia. Jika biasanya alokasi kursi DPR dan DPRD

ditetapkan sebelum pemilu dilaksanakan, maka alternatif ini juga sebaliknya. Dengan

demikian, besar kecil alokasi kursi yang diterima oleh setiap provinsi, didasarkan pada

tinggi rendahnya tingkat partisipasi pemilih pada pemilu. Sehingga memecut parpol-

parpol buat memobilisasi massanya. Bukan seperti sekarang, meskipun partisipasi

pemilih rendah, tidak akan berpengaruh pada jumlah alokasi kursi.

Cara lain: berdasarkan hasil pemilu per provinsi dengan sudah ditetapkannya jumlah

kursi provinsi, kemudian baru dibagikan ke setiap dapil.

Jakarta, 18 September 2016

Sindikasi Pemilu dan Demokrasi

CP: August Mellaz (081218560749)

Pipit R. Kartawidjaja (085697898489)

Page 7: Sindikasi Pemilu dan Demokrasi Jl. Proklamasi No. 65 ...€¦ · Sebagai contoh, pada Pemilu 2004, „prinsip Jawa-Luar Jawa (alokasi kursi berdasarkan prinsip kepadatan penduduk)‟

7

PROPINSI POPULASI KURSI KUOTATHD KUOTA

TERENDAH PROPINSI POPULASI KURSI KUOTA

THD KUOTA

TERENDAH PROPINSI POPULASI KURSI KUOTA

THD KUOTA

TERENDAH

JABAR 38.059.552 90 422.884 108,24% KEPRI 1.393.897 3 464.632 114,20% KEPRI 1.895.590 3 631.863 140,51%

JATENG 32.114.351 76 422.557 108,15% JABAR 40.707.250 91 447.332 109,95% RIAU 6.456.322 11 586.938 130,52%

JATIM 36.234.550 86 421.332 107,84% SUMUT 13.319.525 30 443.984 109,12% NTB 5.398.573 10 539.857 120,05%

DKI JAKARTA 8.622.065 21 410.575 105,09% JATENG 34.034.177 77 442.002 108,64% SULTRA 2.691.623 5 538.325 119,71%

SUMUT 11.890.399 29 410.014 104,94% SUMSEL 7.508.091 17 441.652 108,55% LAMPUNG 9.586.492 18 532.583 118,43%

LAMPUNG 6.945.786 17 408.576 104,58% NTB 4.364.141 10 436.414 107,26% SULBAR 1.589.162 3 529.721 117,80%

BANTEN 8.977.896 22 408.086 104,45% JATIM 37.872.044 87 435.311 106,99% KALTIM 4.154.954 8 519.369 115,50%

SUMSEL 6.503.918 16 406.495 104,04% YOGYA 3.441.614 8 430.202 105,74% KALBAR 5.193.272 10 519.327 115,49%

R I A U 4.425.100 11 402.282 102,96% BENGKULU 1.715.689 4 428.922 105,42% SUMUT 15.227.719 30 507.591 112,88%

NTB 4.015.102 10 401.510 102,77% RIAU 4.715.437 11 428.676 105,36% JAMBI 3.532.126 7 504.589 112,21%

YOGYAKARTA 3.209.405 8 401.176 102,68% BANTEN 9.245.075 22 420.231 103,28% SUMSEL 8.528.719 17 501.689 111,56%

KALBAR 3.958.448 10 395.845 101,32% SULTENG 2.521.327 6 420.221 103,28% BENGKULU 1.996.538 4 499.135 111,00%

INDONESIA 214.884.220 550 390.699 RATA-RATA KALBAR 4.165.308 10 416.531 102,38% SULTENG 2.935.343 6 489.224 108,79%

KALTIM 2.712.492 7 387.499 99,18% LAMPUNG 7.348.623 18 408.257 100,34% BALI 4.227.705 9 469.745 104,46%

KEPRI 1.152.132 3 384.044 98,30% INDONESIA 227.845.868 560 406.868 RATA-RATA MALUKU 1.866.248 4 466.562 103,75%

BENGKULU 1.521.200 4 380.300 97,34% JAMBI 2.805.297 7 400.757 98,50% JAKARTA 9.603.417 21 457.306 101,69%

SULTRA 1.881.512 5 376.302 96,32% SULTRA 2.003.744 5 400.749 98,50% BANTEN 9.938.820 22 451.765 100,46%

BALI 3.357.113 9 373.013 95,47% KALTIM 3.088.322 8 386.040 94,88% BABEL 1.349.199 3 449.733 100,01%

SULTENG 2.215.449 6 369.242 94,51% BALI 3.372.335 9 374.704 92,09% INDONESIA 251.824.296 560 449.686 RATA=RATA

J A M B I 2.575.731 7 367.962 94,18% JAKARTA 7.706.175 21 366.961 90,19% KALTENG 2.640.070 6 440.012 97,85%

SULUT 2.131.685 6 355.281 90,93% SULUT 2.199.701 6 366.617 90,11% JABAR 39.910.274 91 438.574 97,53%

SULSEL 8.233.375 24 343.057 87,81% BABEL 1.059.481 3 353.160 86,80% YOGYA 3.458.029 8 432.254 96,12%

KEP. BABEL 982.068 3 327.356 83,79% MALUKU 1.407.921 4 351.980 86,51% SULUT 2.583.511 6 430.585 95,75%

ACEH 4.227.000 13 325.154 83,22% SULBAR 1.050.928 3 350.309 86,10% JATIM 37.269.885 87 428.389 95,26%

MALUKU 1.277.414 4 319.354 81,74% KALTENG 2.019.117 6 336.520 82,71% JATENG 32.578.357 77 423.096 94,09%

SUMBAR 4.466.697 14 319.050 81,66% NTT 4.230.028 13 325.387 79,97% PAPUA 4.224.232 10 422.423 93,94%

NTT 4.083.639 13 314.126 80,40% ACEH 4.228.726 13 325.287 79,95% MALUT 1.258.354 3 419.451 93,28%

KALTENG 1.832.185 6 305.364 78,16% SUMBAR 4.549.356 14 324.954 79,87% NTT 5.343.902 13 411.069 91,41%

GORONTALO 883.099 3 294.366 75,34% MALUT 970.443 3 323.481 79,51% SUMBAR 5.617.977 14 401.284 89,24%

KALSEL 3.181.130 11 289.194 74,02% SULSEL 7.606.500 24 316.938 77,90% SULSEL 9.368.107 24 390.338 86,80%

MALUT 855.627 3 285.209 73,00% GORONTALO 945.001 3 315.000 77,42% ACEH 5.015.234 13 385.787 85,79%

PAPUA 1.966.800 10 196.680 50,34% KALSEL 3.407.423 11 309.766 76,13% GORONTALO 1.147.528 3 382.509 85,06%

IRJABAR 391.300 3 130.433 33,38% PAPBAR 690.349 3 230.116 56,56% KALSEL 4.145.843 11 376.895 83,81%

PAPUA 2.152.823 10 215.282 52,91% PAPBAR 1.091.171 3 363.724 80,88%

Alokasi Kursi berdasarkan Lampiran UU No. 12 Tahun 2008 Tentang Pileg

Perbandingan alokasi kursi antar provinsi tidak menggambarkan perbandingan alokasi kursi antar Dapil

DPR 2009-2014

unde

rrep

rese

nted

over

repr

esen

ted

Lampiran I: Daerah atau Propinsi yang kekurangan keterwakilan dan kelebihan keterwakilan

DPR 2014-2019

Keputusan Komisi Pemilihan Umum, Nomor 93 s/d 125/Kpts/KPU/TAHUN 2013,

Tanggal 9 MARET 2013

Alokasi Kursi Berdasarkan Lampiran UU No. 8 Tahun 2012 Tentang Pileg

unde

rrep

rese

nted

over

repr

esen

ted

*)Lampiran II Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 640 Tahun 2003 tanggal 20

November 2003 mengenai Penetapan Daerah Pemilihan dan Tata Cara Perhitungan

Jumlah Kursi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat untuk Setiap Provinsi Seluruh Indonesia

dalam Pemilihan Umum Tahun 2004

Data Penduduk menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 2008

Tentang Kode dab Data Wilayah Administrasi Pemerintahan,

www.depdagri.go.id/pages/data-wilayah

unde

rrep

rese

nted

overrepresented

DPR 2004-2009

Page 8: Sindikasi Pemilu dan Demokrasi Jl. Proklamasi No. 65 ...€¦ · Sebagai contoh, pada Pemilu 2004, „prinsip Jawa-Luar Jawa (alokasi kursi berdasarkan prinsip kepadatan penduduk)‟

8

Lampiran II: Perbedaan harga kursi setiap daerah pemilihan