sinamot seharga kesuksesan

9
TUGAS ILMU SOSIAL DAN BUDAYA DASAR Sinamot, Emas Kawinnya Orang Batak Toba Disusun Oleh: Santri Devita Sari Gurning 1309005076 FAKULATAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS UDAYANA

Upload: santri-devitasari-gurning

Post on 03-Oct-2015

258 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

isbd

TRANSCRIPT

TUGAS ILMU SOSIAL DAN BUDAYA DASAR

Sinamot, Emas Kawinnya Orang Batak Toba

Disusun Oleh:

Santri Devita Sari Gurning 1309005076

FAKULATAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2015

Pernikahan adalah suatu keadaan dimana dua insan saling mengikat janji suci, dihadapan penghulu, seluruh keluarga, dan Tuhan. Pada umumnya pernikahan merupakan jenjang yang akhirnya ingin dicapai oleh setiap mereka yang menjalin hubungan dengan serius dan memutuskan untuk sehidup-semati sampai selamanya. Oleh karena itu, suatu pernikahan itu dianggap suci dan saklar. Indonesia ini terdiri dari pulau-pulau besar dan banyak pulau kecil. Dalam setiap pulau tersebut terdapat banyak sekali kota-kota atau daerah-daerah yanng membawa ciri khasnya masing-masing. Masing-masing ciri tersebut menjadi perbedaan antara satu dan lainnya. Tidak jarang dikatakan bahwasanya Indonesia itu kaya akan budaya, perbedaa-perbedaan itulah yang menjadikannya kaya.

Seperti disebuah pedesaan yang saya ketahui, desa yang kecil namun memiliki banyak sekali kebudayaan di dalamnya. Tigalingga. Seperti itulah desa itu dinamakan oleh orang-orang yang terdahulu berdomisili di desa tersebut. Kata tigalingga dapat diartikan sebagai berikut; tiga yang artinya tiga buah dan lingga yang merupakan suatu marga dari Suku Batak Karo. Setiap bangsa batak baik itu Batak Karo, Batak Toba, Batak Pak-pak, Batak Simalungun, dll tidak akan pernah terlepas dari yang namanya marga. Marga ini bisa diartikan sebagai nama keluarga yang mana diturunkan dari keluarga pihak laki-laki. Jadi, konon katanya Desa Tigalingga ini didirikan oleh tiga orang dari suku Batak Karo dengan marga Lingga. Maka dari itu, desa tersebut dinamakan Tigalingga.

Seiring dengan berkembangnya zaman, Desa Tigalingga kedatangan para migrant dari banyak daerah di Sumatera Utara yang akhirnya menghadirkan banyak suku di desa tersebut.Tidak hanya Suku Batak, tetapi Suku Jawa pun ada di sana. Nah, setiap suku-suku tersebut memiliki adat dan budaya tersendiri. Seperti halnya untuk sebuah acara pernikahan, masing-masing dari suku tersebut memiliki caranya untuk melangsungkan dan mengenang acara penyatuan dua insan tersebut. Yang menjadi persamaan mereka adalah adanya emas kawin dalam setiap acara pernikahan. Emas kawin ini, dalam Suku Batak Toba dikatakan sebagai sebuah sinamot. Dulunya sinamot ini diwujudkan dalam bentuk barang seperti emas, kerbau, lembu atau barang-barang lain yang bernilai tinggi. Tapi, dengan semakin berkembangnya zaman sinamot diwujudnyatakan dalam bentuk uang dengan pertimbangan lebih efisien dan mudah untuk bertransaksi mengingat lahan pertanian yang sudah semakin sempit pemakaian hewan-hewan tersebut di atas sudah jarang dan bahkan hampir tidak ada lagi. Umumnya di Tigalingga orang-orang bercocok tanam, baik itu dilakukan sebagai pekerjaan utama, ataupun sebagai kerja sampingan saja. Jarang sekali terdapat peternakan di sana, jadi sudah jelas kenapa orang-orang masa kini lebih suka menguangkan sinamot itu.

Sinamot ini dicapai saat dilakukan marhusip. Ada banyak rangkaian acara yang dilakukan orang Batak Toba untuk suatu pernikahan. Dimulai dari marhusip. Di dalam marhusip inilah terjadi marhata sinamot, dalam Bahasa Indonesia diartikan pengenalan secara resmi calon mempelai laki-laki kepada keluarga calon mempelai perempuan dan mem

buat suatu kesepakatan untuk harga sinamotnya. Sinamot ini sifatnya subjektif. Pada umumnya orang-orang dapat menilai pekerjaan si mempelai wanita dari besarnya sinamot, karna biasanya semakin tinggi jabatan seorang wanita semakin besar sinamot yang diberikan padanya. Ketika harga sinamot itu tinggi sangat berbanggahatilah orang tua dari pihak perempuan karena itu menandakan kehormatan dari putri mereka juga tinggi.

Gambar 1. Sinamot

Sinamot disampaikan kepada keluarga pada saat acara marpudun saut atau manjalo situtungon. Tidak hanya penyerahan sinamot, dalam acara manjalo situtungon ini dibicarakan juga tentang kapan akan martumpol (pernyataan janji dan segala pertimbangan sebelum diberlangsungkannya acara pemberkatan nikah. Di sini kedua mempelai semakin diteguhkan kembali. Ketika terdapat suatu masalah atau mungkin pernyataan tidak sah dari salah satu pihak baik dari masing-masing keluarga atau orang lain yang menghadiri acar tersebut maka pemberkatan nikah bisa dibatalkan dan sinamot dikembalikan. Dan jika tidak, maka tidak ada lagi kesempatan bagi keluarga, orang atau bahkan kedua mempelai untuk membatalkan pemberkatan nikah.) dan kapan acara tarpasu-pasu (pemberkatan nikah). Pemberkatan dilakukan di sebuah gereja.

Gambar 2. Martumpol

Nah di Tigalingga perjalanan tersebut dilakukan sesuai dengan dua cara, berjalan kaki atau dengan kereta kuda alias mobil pribadi. Kalau jarak tempuh antara tempat resepsi rumah dan gereja berdekatan biasanya mempelai akan berjalan keluarga yang diiringi oleh bidadari-bidadari pembawa bunga di barisan depan, pendamping masing-masing mempelai di sebelah mempelai dan para keluarga di barisan belakang. Mereka bak raja dan ratu sehari menuju singgasana. Bedanya raja dan ratu ini melakukan perjalanan dengan berjalan kaki dan bukannya ke singgasana melainkan ke gereja (heheheg). Dan itu akan menjadi tontonan oleh setiap masyarakat setempat. Terkadang penulis bertanya-tanya apakah kedua mempelai ini tidak merasa awkward melakukan hal-hal semacam itu cuman terlintas lagi sebuah pernyatan yang mengakatan ketika dua insan sedang jatuh cinta maka yang ada itu hanyalah aku dan kamu, dunia serasa milik berdua. Tapi setelah dipikir-pikir lagi, ternyata acara pernikahan tersebut akan semakin berkesan ketika kedua mempelai berjalan kaki seperti orang yang mau pawai dari pada mengenakan kendaraan. Satu kerugiannya, capek. Dengan perjalanan seperti itu, di bawah panas terik matahari seperti itu pastilah melelahkan belum lagi masih banyak rangkaian acara yang harus dilakukan.

Gambar 3. Pemberkatan nikah di gereja

Setelah proses tarpasu-pasu dilalui sampailah kedua mempelai di acara resepsi pernikahan atau yang orang batak toba bilang pesta unjuk. Banyak serangkaian acara yang dilakukan di dalamnya. Termasuk salah satunya adalah titi marakkup. Titi marakkup ini sebagai suatu bentuk penghormatan kepada tulang (om atau saudara laki-laki dari ibu mempelai laki-laki). Di adat Batak Toba ada yang namanya marpariban. Pariban ini seperti hubungan sepupu antara mempelai laki-laki dengan putrid dari tulangnya, dan harusnya mempelai laki-laki itu meminang putri dari tulangya ini. Ketika itu tidak terjadi (dan pada zaman sekarang memang sudah sangat jarang terjadi dikarenakan beberpa alasan seperti perkawinan sedarah yang menurut medis itu tidak baik, juga kata hati yang tidak boleh dipaksakan. Cinta kan datangnya seenak maunya saja, ke siapa aja, kapan aja, dan di mana aja.) maka dilakukanlah titi marakkup. Pihak mempelai laki-laki akan memberikan terlebih dahulu kepada pihak tulangnya dengan diiringi musik gondang dan tor-tor. Penghargaan biasanya beruapa uang tunai kemudian dilanjutkan oleh pihak mempelai wanita. Sinamot yang di dapat oleh orang tua mempelai wanita akan dibagikan kepada tulang dari pihak mempelai laki-laki dalam titi marakkup ini. Jadi, dalam adat batak sinamot itu tidak hanya didapat oleh pihak mempelai wanita tetapi juga pihak tulang mempelai laki-laki lewat titi marakkup itu sebagai bentuk penghormatan kepada si tulang.

Dalam titi marakkup ini akan dikenal filosofi orang batak toba, yakni dalihan natolu. Dalihan natolu mencakup somba marhula-hula, manat mardongan tubu, dan elek marboru. Somba marhula-hula artinya kelompok orang yang dihormati yakni pihak tulang. Manat mardongan tubu diartikan sebagai hubungan yang baik kepada sesama marga karna hubungannya sangat sensitive apabila terjadi perselisihan karena hubungan satu marga diharapkan selalu bersatu bagaikan memotong air yang tidak akan putus. Dan yang terakhir adalah elek marboru yang artinya kelompok boru atau pihak mempelai perempuan yang hormat kepada hula-hula atau tulang. Yang paling ditonjolkan di titi marakkup ini adalah dalilah yang pertama yakni somba marhula-hula dan yang ketiga yakni elek marboru.

Selain kepada hula-hula atau tulang (disebut juga upa tulang) mempelai laki-laki sinamot tadi masih akan dibagi juga kepada pihak kerabat yang berhak yakni; Suhut (bagian orang tua dari mempelai perempuan), Si Jalo Bara (bagian saudara laki-laki ayah dari mempelai perempuan), Si Jalo Todoan (bagian saudara laki-laki mempelai perempuan), Upa Pariban (bagian saudara perempuan dari ibu mertua atau bibi dari mempelai perempuan) dan para undangan pihak perempuan (parboru) yang hadir walaupun jumlah bilangannya sedikit sebagai bukti (tuhor ni boru). Di sini filosofi yang ditonjolkan adalah dalihan yang kedua yakni manat mardongan tubu.

Belum cukup pengorbanan mempelai laki-laki untuk mendapatkan mempelai wanita di sinamot dan titi marakkup, mempelai laki-laki harus sudah berkorban lagi dalam tahap panandaion. Dalam tahap ini, pihak mempelai laki-laki akan memberikan amplop yang berisi uang tunai kepada semua pihak yang memberikan ulos kepada kedua mempelai. Ulos merupakan kain khas Suku Batak Toba yang tidak pernah terlepas dari setiap acara yang dilakukan oleh orang batak toba. Mangulosi adalah hal yang dilakukan pihak mempelai wanita kepada pihak mempelai laki-laki dan kedua mempelai. Juga semua yang ada di acara tersebut kepada kedua mempelai. Terkadang kerabat seperti teman kerja itu memberikan kado bukannya ulos. Ada empat jenis ulos dalam hal ini yakni ulos parsamot (dari pihak mempelai wanita kepada orang tua mempelai laki-laki), ulos hela (dari pihak mempelai wanita kepada mempelai laki-laki), suhi ni ampang na opat (kepada bapak tua/bapak uda (saudara laki laki ayah mempelai), namboru (saudara perempuan ayah mempelai laki-laki), ito (saudara perempuan mempelai laki-laki), appara (saudara laki-laki mempelai laki-laki)) dan yang terakhir ulos holong (dari undangan kepada kedua mempelai).

Gambar 4. Mangulosi

Sinamot dan sekawanannya yang telah dijelaskan di atas masih sebagian dari rangkaian upacara pernikahan orang batak toba. Dan sudah bisa dilihat sendiri biaya yang harus dikeluarkan oleh orang tua mempelai laki-laki mangalap boru tu anakna (melamar mempelai perempuan untuk putranya). Makanya perlu persiapan yang matang bagi orang tua untuk menikahkan anak mereka. Tak jarang orang tua akan terlihat semakin tua ketika menikahkan anaknya dari pada borunya (putrinya :D). Dan pastinya sangat ribet kalau menikah dengan orang batak, apalagi jika calonnya itu yang bukan orang batak, akan lebih repot lagi urusannya. Makanya kalo mau nikah ama orang batak dipikirkan dengan matang ya, apalagi sama penulis batak yang satu ini. Heheheg sekilas intermezzo.