sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-062004062844-68.pdf · permasalahan kajian...

14

Upload: others

Post on 22-Oct-2020

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 104

    AKSARA WIJAKSARA DALAM ULAP – ULAP

    MASYARAKAT HINDU DI BALI

    (Suatu Kajian Linguistik Kebudayaan)

    Drs. I Wayan Sugita, M.Si.

    1. Pengantar

    Keberhasilan pembangunan di daerah Bali telah membawa suatu

    perubahan dan pergeseran. Perubahan dan pergeseran ini dirasakan terutama

    dalam tata kehidupan masyarakat Bali yang telah mengalami transisi dan

    tranformasi dari kebudaya agraris ke budaya industry. Begitupula dari orientasi

    budaya etnik menuju orientasi budaya nasional dan global. Bali dikatakan sebagai

    pusat pariwisata dan ajang pergaulan internasional senantiasa bersentuhan dengan

    budaya mancanegara.

    Menyadari akan hal ini, pemerintah daerah Bali telah mengantisipasi

    dengan berbagai terobosan seperti penetapan Perda Nomor 3 Tahun 1992, tentang

    bahasa, aksara, dan sastra Bali. Ketetapan ini diharapkan usaha untuk menggali,

    mengkaji dan mewariskan nilai – nilai luhur bangsa, moralitas, etika, estetika

    yang bersumber pada bahasa dari sastra daerah dapat ditingkatkan. Melalui usaha

    ini dapat diyakini bahwa perkembangan bahasa Bali dalam kontribusi nilai – nilai

    luhur budaya etnis Bali dalam perkembangan sistem budaya nasional.

    Pembangunan daerah Bali telah menetapkan kebudayaan sebagai potensi dasar,

    baik fisik maupun non-fisik senantiasa berwawasan budaya. Oleh karena itu,

    bahasa Bali sebagai media bahasa untuk kebudayaan Bali sudah semestinya

    mendapat posisi yang penting dan perhatian yang sungguh – sungguh dalam

    pembangunan ini. Didorong oleh kesadaran bahwa bahasa, sastra, dan aksara Bali

    mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan masyarakt dan budaya

    Bali, maka usaha pembinaan, pengkajian, pemeliharaan dan pelestarian perlu

    dilakukan secara berlanjut dan terprogram.

    Berlandaskan latar belakang budaya, kebudayaan Bali dengan segala

    bentuknya mendapat pengaruh dari kebudayaan Hindu-Jawa sejak abad X, yang

    mewariskan tradisi sastra Jawa Kuno, yang ditulis dengan aksara Bali. Bahasa

  • 105

    Jawa Kuno digunakan dalam kelompok kekawin dan parwa, sedangkan bahasa

    Sanskerta yang ditulis dengan aksara Bali digunakan dalam kelompok weda.

    Bahasa Bali di samping ditulis dengan kasara Bali, juga ditulis dengan aksara

    latin. Aksara latin pada umumnya digunakan untuk menulis masalah – masalah

    yang bersifat modern, sedangkan masalah yang bersifat tradisional lebih banyak

    ditulis dengan aksara Bali. Masalah tradisional meliputi masalah keagamaan, adat

    istiadat, budaya dan juga masalah – masalah yang menyangkut magis atau gaib,

    banyak memanfaatkan aksara Bali sebagai simbol – simbol.

    Objek kajian ini dibatasi pada wacana ritual ulap – ulap yang terdapat

    pada suatu bangunan baik pada bangunan biasa maupun bangunan suci,

    permasalahan kajian ini meliputi, (1) keberadaan bentuk ulap – ulap wacana

    ritual, (2) penggunaan ulap-ulap wacana ritual, dan (3) nilai – nilai yang

    terkandung dalam ulap-ulap wacana ritual masyarakat Hindu di Bali.

    Tujuan penelitian ini untuk membina, melestarikan dan turut

    mengembangkan kebudayaan Bali. Selain itu tujuan untuk menggali, mengkaji

    dan mendeskripsikan aspek lingual terkait, dengan wacana ritual dalam ulap-ulap

    sebagai sasaran penelitian merupakan fenomena lingual yang memiliki kualitas

    (ciri-ciri data yang alami) sesuai dengan pemahaman deskripsi dan alamiah itu

    sendiri. Data yang dijaring dalam penelitian ini adalah data tentang pemakaian

    wacana ritual dalam bentuk sekstual baik yang berasal dari sumber substantive

    maupun yang berasal dari sumber lokasional.

    Penelitian ini menggunakan metode dan teknik pengumpulan data, metode

    dan teknik analisis data, dan metode dan teknik pelaporan hasil penelitian. Teori

    yang digunakan sebagai landasan untuk memecahkan dan menjawab

    permasalahan dalam penelitian ini adalah teori etnografi tulisan (ethnography of

    writing) yang dikemukakan oleh Dell Hynes (1985). Spradley (1997), vhao (1968)

    dan Basso (1985). Teori ini didukung oleh beberapa teori lain terkait dengan

    permasalahan penelitian untuk melihat bentuk, fungsi dan makna ulap-ulap

    sebagai wacana ritual meliputi : (1) teori semiotika dari Noth (1990), Chao (1968)

    dan Gelb (1952) untuk melihat aspek bentuk ulap-ulap wacana ritual, (2) teori

    semiotic social yang dikemukakan oleh Hodge dan Kress (1988) untuk melihat

    aspek fungsi ulap – ulap itu sebagai wacana bagi masyarakat pemakai simbol itu.

  • 106

    Sedangkan makna simbolisasi itu digali dengan adaptasi langsung secara

    metodologi dan empiric. Beberapa teori lain yang memiliki kontribusi dan

    relevansi dengan ketiga permasalahan penelitian ini digunakan secara eklitik.

    Chao (1968 : 101 – 111) dalam bukunya Laguage and Symbolic System

    mengatakan bahwa tulisan sebagai simbol bahasa. Tidak ada manusia di dunia

    yang tidak memiliki tulisan. Simbol visual tidak dilakukan dengan tulisan

    sebelum ada hubungan yang erat dengan bahasa.

    Noth (1990:251 – 266) dalam bukunya Handbook of Semiotics,

    mengatakan bahwa tulisan berfokus pada simbul, grafis dan karakteristik

    linguistik tulisan. Disamping itu, Gelb (1952:12) nebdefinisikan tulisan sebagai

    suatu sistem interkomunikasi manusia dengan alat – alat penanda atau pernarkah

    visual. Sedangkan Jensen (1935-18) menekankan dua aspek yang berbeda dalam

    tulisan yaitu : (1) tulisan adalah campuran melalui sebuah latar belakang aktivitas

    tulisan yang solid dengan alat sebuah grafik atau gambar, (2) tulisan memiliki

    fungsi komunikatif dan menunjuk kepada seseorang atau sebagai tujuan bagi

    penulis sendiri, Trager (1974 : 377) mengatakan bahwa sistem tulisan adalah

    sistem yang bersifat konfesional dengan tanda-tanda, gambar dan arti artefak yang

    mengambarkan ujaran suatu bahasa tertentu.

    Basso (1985:425), Chao dan Noth (1990 : 251 – 266) lebih banyak

    membicarakan bentuk – bentuk sistem tulisan itu yang berlaku dalam beberapa

    masyarakat bahasa di dunia seperti sistem silabis, fonemis, dan orthografis.

    Konsep semiotic social mengacu pada dua hal, yaitu sekaligus pada sistem social

    yang merupakan sinonim dari sistem budaya. Jadi semiotic social merujuk ada

    definisi sistem sosial atau sistem budaya sebagai sistem makna yang secara

    bersama – sama membentuk budaya manusia (Halliday&Hassan, 1985). Bahasa

    merupakan salah satu sistem semiotic, sebuah aspek dalam studi makna, artinya

    bahasa adalah salah satu di antara sejumlah sistem makna di samping bentuk-

    bentuk yang lainnya.

    Hodge dan Kress (1988:261) dalam bukunya Sosial Samiotics mengatakan

    bahwa semiotic social merupakan kajian umum tentang semiosis, yaitu proses,

    efek dari produksi, penerimaan dan sirkulasi makna dalam semua bentuk, yang

    digunakan oleh semua manusia dalam berkomunikasi. Jadi, pada dasarnya

  • 107

    semiotic social meliputi fenomena social baik dalam sumber, fungsi, konteks,

    maupun pengaruhnya, serta berhubungan dengan makna sosial yang dibentuk

    melalui bentuk-bentuk semiotic, teks semiotic dan kebiasaan – kebiasaan

    semiotik.

    2. Analisis Bentuk, Fungsi dan makna Ulap-ulap : Wacana Ritual

    Masyarakat Hindu Bali

    Dalam kajian bentuk, fungsi dan makna ulap – ulap wacana ritual dapat

    digolongkan atas dua, yaitu (1) ulap-ulap wacana ritual yang terdapat pada

    bangunan suci, dan (2) ulap-ulap wacana ritual pada bangunan biasa. Hal ini

    didasarkan atas perspektif tentang ruang sebagai salah satu manifestasi kesadaran

    budaya secara esensial banyak dipengaruhi oleh asas – asas logika yang bersifat

    elementer. Atas pemikiran itu dijelaskan melalui suatu konsepsi kosmos yang

    bersifat klasifikasi simbolika. Dalam dimensi ruang yang lebih besar

    (makrokosmos) seperti yang terdapat dalam konsepsi orang Bali bahwa alam

    semesta ini bentuknya seperti wadah dengan batas – batas yang jelas dan tidak

    berubah – ubah. Sebagai suatu wadah alam semesta dipersepsikan mempunyai isi

    yaitu elemen – elemen yang terdiri atas berbagai bentuk yang terlibat dan yang

    tidak terlibat masing- masing berdiri dan berfungsi sendiri tetapi saling

    mempengaruhi. Sebagai logika elementer seluruh isi alam itu dikelompokkan ke

    dalam golongan – golongan yang saling bertentangan. Misalnya golongan yang

    bersifat baik akan mengisi elemen – elemen alam semesta yang diangap

    membawa dan mencerminkan kebaikan, yaitu kehidupan, kesuburan,

    kebahagiaan, kesejahteraan, kesehatan dan yang lainnya.

    Secara universal, dalam konsep Bali elemen – elemen alam yang dijadikan

    kerangka lanasan dalam logika klasifikasi simbolik seperti pertentangan antara

    arah matahari terbit dengan matahari terbenam, pertentangan antara gunung dan

    laut, dan unsur – unsur lainnya : tinggi dengan rendah, arah (kompas), api dengan

    air, warna, dan lain sebagainya. Oleh karena itu dalam banyak aspek kegiatan

    kebudayaannya, orang Bali bersandar kepada konsepsi tersebut termasuk

    pedoman atau ketentuan dalam arsitektur tradisionalnya yang disebut “Asta

    Kosal-kosali” dan “Asta Bumi” (Arsana, dkk. 1991 : 3).

  • 108

    Wacana ritual yang terdapat pada bangunan suci, yaitu ulap – ulap padma.

    Simbol padma pada ulap – ulap memiliki makna kesucian yang dilukis berdaun

    delapan yang melambangkan delapan pancaran sifat agung kemahakuasaan dari

    Tuhan yang disebut dengan Asta Iswarya, yang meliputi :

    1. Anima ialah sifat Tuhan yang mahakecil

    2. Mahima ialah sifat Tuhan yang mahabesar

    3. Lagima ialah sifat Tuhan yang maharingan

    4. Praptima ialah sidat Tuhan sampai pada tujuan

    5. Pramakamya ialah sifat Tuhan kehendak-Nya tercapai

    6. Isitwa ialah sifat Tuhan maharaja

    7. Wasitwa ialah sifat tuhan menguasai segala-galanya

    8. Yatrakama wasitwa ialah sifat Tuhan yang tdak ada yang menentang

    kodrat-Nya.

    Padma disebut dengan teratai, seroja, tunjung dan pangkaja, yaitu jenis

    tumbuh-tumbuhan yang biasa hidup di telaga. Pada hakikatnya padma hidup

    melalui tanah, air, udara dan ujungnya selalu menjulang tinggi ke atas serta

    kelopak bunganya senantiasa menunjukkan kea rah kiblatnya mata angin. Padma

    atau teratai ini dilukis sedemikian rupa indahnya mengandung beberpa simbol,

    yaitu sebagai simbol kesucian, tumbuh di dalam lumpur namun tidak terlekati

    oleh lumpur atau kotoran sebagai lendirnya mengelincirkan segala kotoran.

    Sebagai simbolis Singhasana Sang Hyang Widhi sehingga disebut teratai troja.

    Sebagai simbol dari kemahakuasaan Tuhan yang dilukiskan berdaun bunga

    delapan yang disebut dengan Asta Dala sebagai simbol Asta Iswarya.

    Di samping simbol padma, di dalam ulap-ulap terdapat juga ekaksara [ Oi

    ] Ongkara yang merupakan aksara suci (modre) yang memiliki peran sentral

    dalam filsafat ketuhanan Hindu. Aksara ongkara sebagai perwujudan pencipta dan

    ciptaannya yaitu alam semesta ini. Ongkara merupakan simbol dari alam semesta

    (makrokosmos) yang terdiri atas / u / nada sebagai simbul angin, tenaga,

    bintang, windu /o/ simbol sinar, api, tarung/ mpt º/ sebagai simbol angkasa, langit

    yang memenuhi dunia ini. Aksara AU atau angka tiga /3/ adalah simbol Tri

  • 109

    Bhuwana, yaitu Bhur, Bwah, Swah yang merupakan simbol Tuhan dan ciptaan-

    Nya (dunia dan alam semesta) yaitu disimbolkan dengan aksara ongkara.

    Kesadaran dan keseimbangan antara alam semesta dan penciptanya harus

    senantiasa dijaga sehingga akan mendatangkan kebahagiaan dan kesejahteraan di

    dunia ini dan di dunia yang lain. Dalam praktek kehidupan sehari – hari konsep

    ini dijabarkan dalam upacara – upacara keagamaan terutama yang berkaitan

    dengan Bhuta Yadnya. Untuk menunjang pelaksanaan upacara atau yadnya yang

    pada intinya bertujuan menjaha keseimbangan hubungan antara dunia dengan

    segala isinya. Simbol ongkara diatas berkembang menjadi pengider-ider.

    Pengider-ider adalah arah mata angin yang masing – masing merupakan

    kedudukan manifestasi Sang Hyang Widhi (Dewa Penguasa arah mata angin

    dengan simbol warna, senjata dan aksara masing – masing).

    Ulap–ulap wacana ritual pada bangunan biasa, dapat ditemui pada

    bangunan meten atau gedong. Dilihat dari struktur dan isinya terdiri atas beberapa

    aksara suci dan modre seperti aksara Ong, Ang, Yang. Tata urutan aksara itu

    secara vertical, yaitu dari atas ke bawah merupakan cerminan dari rwa-bhineda.

    Aksara Ong, Ang, dan Yang mempunyai makna untuk mohon doa restu dari Yang

    Maha Kuasa yang merupakan manifestasi Dewa Brahma dan Dewa Siwa agar

    kesucian bangunan meten atau gedong tetap terjaga atau terpelihara. Disamping

    itu gedong atau meten merupakan tempat peristirahatan serta tempat tidur. Aksara

    Ang yang dihadirkan pada ulap-ulap diatas terkait dengan rwa-bhineda yang

    merupakan suatu simbol masuk atau membuka segala hal yang baik dan buruk

    maupun kotor (cuntaka) kemudian dinetralisir oleh aksara Ing (Isan). Sedangkan

    variasi aksara suci yang dibuat pada ulap-ulap itu (Isana). Sedangkan variasi

    aksara suci yang dibuat pada ulap-ulap itu merupakan suatu nilai kemagisan yang

    sulit untuk diungkapkan seperti suara alam lyuwung.

    Ada beberapa fungsi dasar aksara dalam ulap-ulap menurut pandangan

    masyarakat Hindu di Bali. Adapun fungsi tersebut adalah sebagai alat penyucian,

    sebagai penolakan bala, dan sebagai fungsi budaya.

    1) Sebagai alat Penyucian

  • 110

    Dalam fungsi ini secara religious ulap-ulap memiliki nilai yang sangat

    penting pada bangunan masyarakat Hindu di Bali karena pada hakikatnya orang

    baru berani menempati bangunan tersebut bila telah disucikan secara ritual dan

    telah dipasang ulap-ulap. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Hindu di Bali

    dalam membuat bangunan tidak bias lepas dari unsur ke Tuhannya. Masalah

    kepercayaan dan keyakinan terhadap Tuhan telah meresap dan merekat di hati

    masyarakat Hindu sehingga segala praktek kehidupannya selalu dikaitkan dengan

    adanya Tuhan, yaitu memohon anugrah-Nya agar segala yang dikerjakannya

    mendapatkan kebaikan dan karunia dari Tuhan Yang Maha Kuasa.

    2) Sebagai Penolak Bala

    Dalam fungsi ini, ulap-ulap dilihat secra magis mengandung arti bahwa

    dalam membuat bangunan keyakinan dan kepercayaan terhadap adanya Tuhan

    diwujudkan dalam bentuk ulap-ulap dengan maksud untuk memohon kekuatan

    agar bangunan itu mempunyai kekuatan tertentu yang dapat memberikan

    kemantapan jiwa dan kesucian lahir dan batin. Bila kita kaji lebih jauh bahwa

    ulap-ulap mengandung suatu kekuatan mistik atau kekuatan gaib yang betul –

    betul memberi arti dan nilai pada bangunan masyarakat Hindu. Maslah mistik

    dalam ajaran suci Tantrayana ada disebutkan antara lain, mistik selalu menjadi

    simbol dalam pemujaan pada dewa – dewa atau Tuhan Yang Maha Kuasa dengan

    maksud untuk mempermudah berhubungan dengan dewa-dewa. Mistik yang

    dipakai sebagai simbol pemuja terhadap Tuhan akan dapat membuat praktek-

    praktek ajaran agama untuk membuktikan kebenaran yang tertinggi di dunia ini

    dan akan memberikan kemantapan jiwa dalam memuja kebesaran Tuhan.

    Pemujaan Tuhan diharapkan menggunakan mantra-mantra. Mantra merupakan

    suatu yang sudah umum digunakan untuk pemujaan di dalam agama Hindu.

    Disamping itu mantra-mantra itu secara wacana merupakan simbol-simbol dari

    ucapan yang terdapat didalam ilmu filsafat yang sangat mendalam mengenai ilmu

    kebenaran yang disebut dengan pranawa yang sering diucapkan dengan kata

    Om,Om atau pranawa yang terdiri dari dua vocal dan satu konsonan yaitu A (kara)

    sebagai sombol dari ciptaan, U (kara) sebagai simbol dari pemeliharaan dan M

    (kara) sebagai simbol dari pelebur.

  • 111

    3) Sebagai Fungsi Budaya

    Nilai budaya merupakan gugusan nilai-nilai dan ide-ide luhur yang

    mendasari alam pikiran dan tingkah laku manusia baik sebagai makhluk pribadi

    maupun makhluk sosial dalam memahami dan menghayati dunia dan

    lingkungannya. Nilai budaya sangat erat kaitannya dengan agama karena agama

    mempunyai arti, peranan, dan sumbangan yang sangat penting serta berharga bagi

    kehidupan manusia. Agama merupakan sumber daya kreatif dan sublimatif bagi

    pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan. Bahkan dapat dikatakan bahwa

    kebudayaan ialah diilhami dan dilatarbelakangi oleh nilai-nila dan ide-ide yang

    berakar dan bersumber pada agama. Agama merupakan aspek azasi dari suatu

    kebudayaan, sebab pada dasarnya agamalah yang memberikan spiritual yang

    sangat besar pengaruhnya bagi perkembangan kebudayaan. Di dalam kemajuan

    teknologi sekarang ini, agama memang peranan yang sangat penting karena

    manusia tanpa dilandasi oleh agama tentu akan mengundang berbagai akibat

    sampingan seperti kekosongan dalam batin, keterasingan dan kemelaratan.

    Keadaan seperti ini lambat laut akan lepas dari kendali manusia dan bias jadi

    berbalik arah menghancurkan diri sendiri, masyarakat dan kebudayaan atau

    lingkungannya. Dengan kuatnya iman dan mantapnya keagamaan maka

    kebudayaan itu semakin kokoh dan lestari karena yang diungkapkan adalah agama

    dengan kebudayaan yang merupakan dua hal yang tak agama maka ulap-ulap

    yang terdapat pada bangunan suci dan bangunan biasa mempunyai nilai-nilai

    budaya yang sangat tinggi dan luhur dalam ajaran agama Hindu. Ulap-ulap itu

    dilukis sedemikian rupa disertai dengan tulisan aksara Bali sesuai dengan bentuk

    dan fungsi dari bangunan itu, seperti lukisan Acintya, Padma dan lukisan senjata

    dari Dewa Nawa Sanga, merupakan perwujudan dari Tuhan dengan

    kemahakuasaan-Nya. Dengan adanya lukisan – lukisan itu maka rasa seni

    berkembang yang menimbulkan suatu budaya yang tinggi dan luhur di samping

    memberikan rasa kemantapan jiwa atau pikiran dalam memuja dan menyembah

    Tuhan.

  • 112

    Ulap-ulap pada hakikatnya merupakan suatu sarana pendidikan

    keagamaan untuk memupuk kreatifitas seni budaya dalam menghayati ajaran

    agama Hindu yang dapat memberikan pengaruh positif pada perkembangan

    kebudayaan khususnya dan kemantapan jiwa dalam menjalankan ajaran agama

    Hindu pada umumnya sehingga keserasian dan keharmonisan akan tercapai dalam

    kehidupan beragama merupakan modal utama dalam mencapai tujuan hidup.

    3. Penutup

    Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ulap-ulap wacana ritual

    masyarakat Hindu di Bali memiliki variasi bentuk, fungsi, dan makna. Ulap-ulap

    wacana ritual merupakan satu kesatuan bentuk (integral) yang terdiri atas aksara

    dan simbol. Aksara yang terdapat pada ulap-ulap wacana ritual meliputi : aksara

    Omkara yang disebut dengan istilah pranawa atau ekaksara yang diwujudkan

    dalam bentuk omkara atau ongkara/ /, rwa-bhineda yang disebut dengan

    dwiaksara melambangkan Ang / / dam Ah / / yaitu perusa dan pradana,

    triaksara adalah aksara yang tiga, yaitu Ang/ / Ung/ /, dan Mang/ / yang

    merupakan lambang Trimurti, yaitu Brahma, Wisnu dan Siwa, pancaksara adalah

    Na/ /, Ma/ /, Si/ /, Wa/ /, Ya/ /, dasakara adalah gabungan dari Pancabrahma

    dan pancaksara, dan sodasaksara yang terdiri atas Ongkara, Dwiaksara, Triaksara

    dan Dasaksara.

    Simbol-simbol yang terdapat pada ulap-ulap wacana ritual meliputi (1)

    simbol wacana ulap-ulap pada bangunan suci yang berupa Acintya, Padma dan

    senjata para Dewa yang disesuaikan dengan arah mata angin dan (2) simbol ulap-

    ulap pada bangunan biasa yang berupa senjata para dewa (Dewa Nawa Sanga)

    yang disesuaikan dengan arah mata angin sehingga dalam fungsinya sebagai ulap-

    ulap bangunan juga disesuaikan dengan letak bangunan itu dalam pekarangan.

    DAFTAR PUSTAKA

    Alfin (ed.) 1985. Persepsi Masyarakat tentang Kebudayaan. Jakarta : Gramedia

    Arsana, I G. K.G. dkk. 1991/1993. "Kesadaran Budaya tentang tata ruang pada

    Masyarakat di Daerah Bali". Jakarta : Departemen Pendidikan dan

    Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan.

  • 113

    Bagus, I G.N 1980. Aksara dalam Kebudayaan Bali suatu kajian Antropologi.

    Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Antropologi

    Budaya. Denpasar : Fakultas Sastra Universitas Udayana.

    Ginarsa, ketut. 1980. "Sepintas tentang Sejarah Aksara Bali". Singaraja : Balai

    Penelitian Bahasa.

    Granoka, Ida Wayan Oka. 1998. "Pemburuan ke Prana Jiwa". Denpasar : Sanggar

    Banjra Sandhi bekerjasama dengan Seraya Bali Style.

    Halliday, M.A.K dan Ruqaiya Hasan. 1989. Language, Context and Text :

    Aspects of Language in a Social-semiotic Perspective. Victoria : Deskin

    University Press.

    Noth, Winfriend. 1990. Handbook of Semiotics. Indiana University Press.

    Soebadio, Haryati. 1985. Jnanasiddhanta. Jakarta : Jambatan.

    Sudaryanto. 1990. Menguak Fungsi Hakiki Bahasa. Yogyakarta : Duta