sigella dysenteriae

Upload: ardhuha

Post on 10-Jul-2015

1.141 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Shygella dysenteriaeOleh: Dr. Mudatsir, M.Kes Bagian Mikrobiolofi FK Unsyiah Shigella merupakan penyebab disentri basiler yang ditemukan oleh ahli mikrobiologi Jepang Kiyoshi Shiga pada tahun 1898. Terdapat 4 spesies yaitu Shigella. dysenteriae yang umum terjadi di negara tropis (berat), Shigella flexneri, Shigella boydii (sedang) dan Shigella sonnei (ringan). Shigella termasuk anggota famili Enterobacteriaceae. Bakteri bersifat nonmotil, tidak membentuk spora, berbentuk batang Gram negatif, katalase positif, oksidase negatif, dan fakultatif anaerob. Produksi asam tanpa gas dari glukosa, bersifat mesofil dengan suhu pertumbuhan antara 10 45 oC, pH optimum 6 8 dan peka terhadap panas. Di daerah tropis yang tersering ditemukan ialah Shigella dysenteri dan Shigella flexneri, sedangkan Shigella sonnei lebih sering dijumpai di daerah sub tropis atau daerah industri. Klasifikasi Shigella dysenteriae: Divisio Subdivisio Clasiss Ordo Familia Tribe Genus Species : Monomychota : Schizomycetea : Schizomycetes : Eubacteriales : Enterobacteriaceae : Eschericeae : Shigella : Shigella dysenteriae

1

Morfologi & Sifat Biakan A. Ciri-ciri Khas Organisme: Shigela adalah batang Gram-negatif ramping, bentuk kokobasil, dan tidak berflagel B. Biakan: Shigella bersifat fakultatif anaerob tetapi paling baik tumbuh secara aerobik. Koloni pada media diferensial (SS agar, EMB, Endo Agar dan Mac Conkey): bulat, kecil, halus transparan dengan pinggir-pinggir utuh, diameter koloni kira-kira 2 mm pada pembiakan setelah 24 jam. C. Sifat-sifat Pertumbuhan: Semua Shigela meragikan glukosa. Bakteri ini tidak meragikan laktosa, kecuali Shigella sonnei Ketidakmampuannya untuk meragikan laktosa membedakan bakteri-bakteri Shigela pada perbenihan diferensial. Bakteri ini membentuk asam dari karbohidrat, tetapi jarang menghasilkan gas. Bakteri ini dapat juga dibagi menjadi bakteri yang meragikan manitol dan yang tidak (Tabel 1). Tabel 1 Spesies Shigella yang patogen Nama Sekarang Sh. dysenteriae Sh. flexneri Sh. bodi Sh. sonnei Struktur Antigen Semua Shigella mempunyai susunan antigen O. beberapa strain tertentu memiliki antigen K. Terdapat tumpang tindih dalam hal sifat serologik pelbagai spesies ini dan sebagian besar kuman mempunyai antigen O yang juga dimiliki oleh kuman enterik lainnya. Antigen somatik O shigela tersusun atas lipopolisakarida. Spesifisitas serologiknya bergantung pada polisakarida itu. Terdapat lebih dari 40 serotipe. Klasifikasi shigela didasarkan pada sifat-sifat biokimia dan antigennya. Golongan dan Jenis A B C D Manitol + + + Ornitin Dekarboksile +

2

Faktor-faktor Patogenitas 1. Daya Invasi Kuman menembus masuk ke dalam lapisan sel epitel permukaan mukosa usus di daerah ileum terminal kolon. Pada lapisan epitel tersebut kuman Shigella memperbanyak diri. Sebagai reaksi tubuh terjadi peradangan diikuti dengan kematian sel dan mengeluapasnya lapisan tersebut, terjadilah tukak. Kuman Shigella tidak invasive dan tidak mampu. 2. Enterotoksin Enterotoksin yang dihasilkan Shigella adalah termolabil dan menyebabkan penggumpalan cairan di ileum. Aktivitas enterotoksin terutama pada usus halus yang berbeda bila dibandingkan dengan disentri basiler klasik, dimana yang terkena adalah usus besar. Beberapa penelitian menunjukkan peranan enterotoksin pada disentri basiler belum jelas. Beberapa mutan Shygella dysenteriae tipe 1 yang nontoksigenik tetapi mempunyai daya invasi dapat menimbulkan penyakit. Diduga enterotoksin bertanggung jawab atas terjadinya watery diarrhea pada tahap dini dan kemudian timbul gejala klasik disentri basiler setelah organism meninggalkan usus halus dan masuk ke usus besar. 3. Eksotoksin Shigella dysenteriae tipe 1 (basil Shiga) memproduksi eksotoksin tidak tahan panas yang dapat mempengaruhi saluran pencernaan dan susunan saraf pusat. Eksotoksin merupakan protein yang bersifat antigenik (merangsang produksi antitoksin) dan mematikan hewan percobaan. Sebagai enterotoksin, zat ini dapat menimbulkan diare, sebagaimana halnya enterotoksin E coli yang tak tahan panas, mungkin dengan mekanisme yang serupa. Pada manusia, eksotoksin ini juga menghambat absorpsi gula dan asam amino pada usus kecil. Sebagai neurotoksin zat ini ikut berperan dalam menyebabkan keparahan penyakit dan sifat fatal infeksi

3

Shigella dysenteriae, serta menimbulkan reaksi susunan saraf pusat (meningismus, koma). Penderita dengan infeksi Shigella flexneri atau Shigella sonnei membentuk antitoksin yang menetralkan eksotoksin S dyseaterzae in vitro. Aktivitas yang bersifat toksik ini berbeda dengan sifat invasif Shigella pada disentri. Keduanya dapat bekerja berurutan, toksin menyebabkan diare awal yang encer dan tidak berdarah, dan invasi usus besar mengakibatkan disentri lebih lanjut dengan tinja yang disertai darah dan nanah. 3. Neurotoksin dan Sitotoksin Neurotoksin dan sitotoksin adalah protein eksotoksin yang dikeluarkan oleh Shygella dysenteriae tipe 1, Shygella flexneri tipe 2a dan Shigella sonnei. Peranan neurotoksin dan sitotoksin pada patogenesis penyakit disentri basiler belum jelas.

Patogenesis & Patologi Infeksi Shigella hampir selalu terbatas pada saluran pencernaan; invasi ke aliran darah sangat jarang. Shigela sangat menular; untuk menimbulkan infeksi diperlukan dosis kurang dari 103 organisme (sedangkan untuk Salmonela dan Vibrio adalah 105-108). Proses patologik yang penting adalah invasi epitel mukosa; mikroba yang menginvasi pada dinding usus besar dan ileum terminal mengakibatkan nekrosis selaput mukosa, ulserasi superfisial, perdarahan, dan pembentukan pseudomembran pada daerah ulkus. Pseudomembran ini terdiri atas fibrin, leukosit, sisa sel, selaput mukosa yang nekrotik, dan bakteri. Bila proses mulai membaik, jaringan granulasi mengisi. ulkus dan terbentuk jaringan perut.

4

Patofisiologi Sebanyak 200 basil Shigella masuk ke dalam usus dapat mengakibatkan infeksi dan Shigella dapat bertahan terhadap keasaman sekresi lambung selama 4 jam. Sesudah masuk melalui mulut dan mencapai usus, bakteri invasif ini di dalam usus besar memperbanyak diri. Shigella sebagai penyebab diare mempunyai 3 faktor virulensi yaitu : - Dinding polisakarida sebagai antigen halus - Kemampuan mengadakan invasi enterosit dan proliferasi - Mengeluarkan toksin sesudah menembus sel Struktur dari dinding sel kimiawi tubuh

bakteri ini dapat berfungsi sebagai antigen O (somatik) adalah sesuatu yang penting dalam enterosit. proses interaksi tahun tahun bakteri shigella dengan sel Dupont 1972 dan Levine

1973 mengutarakan bahwa Shigella seperti Salmonella setelah menembus enterosit dan berkembang didalamnya sehingga menyebabkan kerusakan sel enterosit tersebut. Peradangan mukosa memerlukan hasil metabolit dari kedua bakteri dan enterosit, sehingga merangsang proses endositosis sel-sel yang bukan fagositosik untuk menarik bakteri ke dalam vakuola intrasel, yang mana bakteri akan memperbanyak diri sehingga menyebabkan sel pecah dan bakteri akan menyebar ke sekitarnya serta menimbulkan kerusakan

5

mukosa usus. Sifat invasif dan pembelahan intrasel dari bakteri ini terletak dalam plasmid yang luas dari kromosom bakteri Shigella. Invasi bakteri ini mengakibatkan terjadinya infiltrasi sel-sel polimorfonuklear dan menyebabkan matinya sel-sel epitel tersebut, sehingga terjadilah tukak-tukak kecil didaerah invasi yang menyebabkan sel-sel darah merah dan plasma protein keluar dari sel dan masuk ke lumen usus serta akhirnya ke luar bersama tinja. Shigella juga mengeluarkan toksin (Shiga toksin) yang bersifat nefrotoksik, sitotoksik (mematikan sel dalam benih sel) dan enterotoksik (merangsang sekresi usus) sehingga menyebabkan sel epithelium mukosa usus menjadi nekrosis.

Gejala Klinis Gejala klinis yang didapat pada Shigellosis adalah diare cair yang banyak bercampur darah dan lendir. Demam tinggi mendadak sampai mencapai 42 C nyeri perut, tenesmus, neusea dan vomitus dan dehidrasi. Penderita dengan kasus ringan gejalanya berlangsung selama 3-5 hari, kemudian sembuh sempurna. Pada tipe fulminant yang berat, penderita dapat mengalami kolaps dan mendadak diikuti dengan menggigil, demam tinggi dan muntah-muntah disusul dengan penurunan temperatur, toksemia yang berat dan diakhiri dengan kematian penderita. Diagnosis Dasar untuk menentukan diagnosis adalah dengan memperhatikan gejalagejala klinik dan pemeriksaan makroskopik dan mikroskopik atas tinja untuk membedakan dengan infeksi oleh kuman lain misalnya amebiasis. Pemeriksaan darah rutin kadang didapatkan leukopenia dan apabila sudah terjadi komplikasi HUS

6

(Hemolytic Uremic Syndrom) maka didapatkan gambaran anemia hemolitik dan trombositopenia. Biakan tinja sebaiknya berasal dari hapusan rectum, akan dapat menentukan dengan pasti kuman penyebab penyakit. Biasanya pasien datang sudah dalam keadaan dehidrasi. Pada infeksi akut, pemeriksaan proctoscopy menunjukkan radang mukosa usus yang difus, membengkak dan sebagian besar tertutup eksudat. Ulkus ulkus dapat pula dijumpai, dangkal, bentuk dan ukurannya tidak teratur dan tertutup oleh eksudat yang purulen. Pada infeksi kronis, terlihat parut pada kolon, proses ulserasi tidak aktif, sedangkan gejala-gejala klinik berganti-ganti antara stadium remisi dan eksaserbasi. Pada waktu kambuh, penderita mengalami demam, diare dengan darah dan lendir serta serta eksudat seluler dalam tinja. Penderita dengan infeksi kronis, seringkali mengalami kepekaan yang berlebih terhadap beberapa macam makanan misalnya susu, sehingga menimbulkan defisiensi nutrisi.

Penatalaksanaan 1. Penanganan Dehidrasi. Yang perlu dihindari apabila terserang diare adalah mencegah terjadinya dehidrasi, sebab ini bisa berakibat fatal. Tingkat keparahan dehidrasi dapat digolongkan sbb: 1. Dehidrasi ringan (kehilangan cairan sekitar 5% dari berat badan semula). Diare berlangsung sekali tiap 2 jam atau lebih. Gejala lain: rasa haus, gelisah, tapi elastisitas kulit bila dicubit masih baik dan penderita masih sadar.

7

2.

Dehidrasi sedang (kehilangan cairan 5-10% dari berat badan semula). Diare semakin sering dengan volume lebih besar. Gejala lain terasa haus, gelisah, pusing jika berubah posisi, pernapasan terganggu, ubun-ubun dan mata cekung, elastisitas kulit lambat.

3.

Dehidrasi berat (kehilangan cairan lebih dari 10% dari berat badan semula). Diare hebat disertai muntah. Gejala lain: mengantuk, lemas, berkeringat dingin, kulit kaki dan tangan keriput, kejang otot, pernapasan cepat dan dalam, ubun-ubun dan mata sangat cekung, elastisitas kulit sangat lambat. Dalam keadaan darurat, dehidrasi ringan dapat diatasi dengan memberikan

cairan elektrolit/oralit yang cukup dilarutkan dalam air minum. Bila larutan oralit tidak tersedia, kita dapat membuat larutan gula-garam dengan komposisi 1 sendok teh gula pasir + 1/4 sendok teh garam + 200 cc air matang hangat. Atau bisa juga dicoba dengan air beras, air kelapa atau kaldu sayuran (tanpa lemak). Sedangkan pada dehidrasi sedang sampai berat, dalam keadaan darurat juga diberikan oralit sebelum dibawa ke rumah sakit. Penderita perlu segera dilarikan ke rumah sakit terutama kalau penderita muntah terus sehingga oralit tidak bisa masuk, tidak kencing selama 6 jam, tinja telah bercampur darah, terus menerus diare tanpa henti. Di rumah sakit biasanya pasien segera diberi cairan rehidrasi parenteral seperti Ringer Laktat atau Darrow Glukosa. Oralit atau garam rehidrasi oral tadi merupakan campuran garam dan gula dalam perbandingan mirip dengan cairan tubuh. Larutan ini penting diberikan pada penderita diare, terutama pada penderita anakanak atau lansia, guna menggantikan air yang hilang akibat diare, muntah, berkeringat.

8

Pasangan glukosa dan garam Na dapat diserap baik oleh usus penderita diare. Na merupakan ion yang berfungsi allosterik (berhubungan dengan penghambatan enzim karena bergabung dengan molekul lain), dengan kemampuan meningkatkan pengangkutan dan meninggikan daya absorbsi gula melalui membran sel. Gula dalam larutan NaCl (garam dapur) juga berkhasiat meningkatkan penyerapan air oleh dinding usus secara kuat (sekitar 25 x lebih banyak daripada biasanya). Takaran umum oralit, 1 bungkus oralit 200 cc dimasukkan ke dalam 1 gelas belimbing air, diaduk sampai larut. Oralit diberikan ke penderita sedikit demi sedikit dengan sendok, jangan sekaligus banyak. Jika penderita muntah, berikan 1 sendok oralit, tunggu 5- 10 menit, lanjutkan lagi sedikit demi sedikit. Usahakan jumlah yang diberikan 10-15 cc/kg BB/jam. Jumlah ini sesuai dengan kecepatan pengosongan lambung. Efek samping hanya dapat terjadi pada takaran terlalu tinggi atau terlalu pekat yang bisa mengakibatkan rasa kantuk, lidah bengkak, denyut jantung cepat, kulit menjadi merah. Untuk menghindari terbukanya luka-luka usus atau perdarahan, hendaknya penderita diare beristirahat total. Perlu juga melakukan diet makanan yang merangsang (asam, pedas) serta makanan yang tidak mudah dicerna (berserat tinggi) dan berlemak. 2. Pengobatan. Dasar pengobatan pada Shigellosis yaitu dengan penggunaan antibiotik, memperbaiki dan mencegah dehidrasi dan mengendalikan gejala penyerta. Penatalaksanaan dehidrasi pada umumnya sama dengan diare oleh sebab yang lain. Pengobatan dengan suportif yaitu memperbaiki kehilangan cairan dan elektrolit yang dapat menimbulkan dehidrasi, asidosis, syok dan kematian.

9

Penatalaksanaan

terdiri

dari

penggantian

cairan

dan

memperbaiki

keseimbangan elektrolit secara oral atau intravena, menurut keadaan masing-masing penderita. Selain pemberian cairan, pemberian makanan juga harus diperhatikan. Terapi diatetik disesuaikan dengan status gizi penderita yang didasarkan pada umur dan berat badan. Antibiotik yang digunakan adalah Ampicillin sebagai drug of choice, tetapi banyak yang sudah resisten terhadap obat ini sehingga digunakan antibiotik lain. Trimethoprim-Sulfamethoxazole (Kotrimoksasol) merupakan pilihan efektif untuk Shigellosis. Obat golongan Sefalosporin generasi ketiga seperti Cefriaxone ataupun Cefixime bagi pasien yang mempunyai kontraindikasi terhadap pemberian Kotrimoksasol. Obat golongan Quinolone generasi pertama (Nalidixic acid) juga efektif bagi pasien yang alergi terhadap Sulfas dan Sefalosporin. Kotrimoksasol pada orang dewasa dapat diberikan dengan dosis 160 mg/kali per oral sedangkan untuk anak dibawah 2 bulan tidak dianjurkan. Untuk anak dosisnya 8-10 mg/kg/ kali per oral diberikan selama 5 hari. Obat ini tidak boleh digunakan pada penderita anemia megaloblastik dan defisiensi G-6PD. Cefriaxone pada orang dewasa dapat diberikan 2 g IV/IM sekali pakai atau dibagi menjadi 2 kali pemberian. Untuk dosis pediatrik 50 mg/kg/kali IV/IM diberikan sekali sehari. Untuk Cefixime pada dewasa diberikan 400 mg/kali per oral sekali sehari atau dibagi menjadi 2 kali sehari, dosis pediatrik 15 mg/kg per oral sebagai dosis awal lalu dilanjutkan 8 mg/kg/kali per oral untuk 5 hari. Nalidixic acid pada dewasa diberikan 1 gr per oral 4 kali sehari. Untuk dosis pediatrik 55 mg/kg/kali per oral dibagi dalam 4 kali pemberian selama 5 hari.

10

Obat-obat yang berkhasiat menghentikan diare secara cepat seperti anti spasmodik/spasmolitik tidak dianjurkan untuk dipakai, karena akan memperburuk keadaan. Obat ini dapat menyebabkan terkumpulnya cairan di lumen usus, dilatasi usus, gangguan digesti dan absorpsi lainnya. Obat ini hanya berkhasiat untuk menghentikan peristaltik usus saja tetapi justru akibatnya sangat berbahaya. Diarenya terlihat tidak ada lagi tetapi perut akan bertambah kembung dan dehidrasi bertambah berat. Obat-obat absorben (pengental tinja) seperti kaolin, pectin, norit, dan sebagainya, telah terbukti tidak bermanfaat. Obat-obat stimulans seperti adrenalin, nikotinamide dan sebagainya, tidak akan dapat memperbaiki syok atau dehidrasi beratnya karena penyebabnya adalah kehilangan cairan (hipovolemic shock), sehingga pengobatan yang paling tepat yaitu pemberian cairan secepatnya. Penderita Shigellosis harus istirahat penuh di tempat tidur. Makanan harus kaya akan protein dan vitamin serta mudah dicerna. Obat penenang diberikan apabila diperlukan saja. Epidemiologi, Pencegahan, dan Pengendalian Shigela ditularkan melalui makanan, jari, tinja, dan lalat dari orang ke orang (food, fingers, feces, and flies). Sebagian besar kasus infeksi Shigella terjadi pada anak-anak di bawah usia 10 tahun. Shigella dysenteriae tersebar luas. (Pada tahun 1969 di Guatemala terdapat 110.000 kasus dengan 8000 yang mati). Kemoprofilaksis massal selama waktu yang terbatas (misalnya pada anggota tentara) telah dicoba, tetapi strain-strain Slhigela yang resisten cenderung muncul dengan cepat. Karena manusia merupakan inang utama yang diketahui dan shigela yang patogen, usaha pengendalian harus diarahkan pada pembersihan bakteri dari sumber-sumber dengan cara (1) pengendalian sanitasi air, makanan, dan susu; pembuangan sampah; dan pengendalian lalat; (2) isolasi penderita dan disinfeksi ekskreta; (3) penemuan kasuskasus subklinik dan pembawa bakteri, khususnya pada para pengurus makanan.

11

Prognosis Pada kebanyakan anak sehat, Shigellosis merupakan penyakit yang dapat sembuh sendiri (self-limiting) dan biasanya sembuh spontan. Kadang-kadang organisme tersebut dapat dibiakkan hingga 3 bulan setelah suatu periode shigellosis akut. Peningkatan morbiditas dan mortalitas tampak pada populasi tertutup seperti rumah sakit jiwa, atau pada negara-negara yang belum berkembang dimana malnutrisi sering ditemukan. Shigella menyebabkan disentri basiler pada manusia dan primata. Dosis infeksi rendah, sekitar 10-100 organisme. Periode inkubasi beragam dari 7 jam sampai 7 hari walaupun KLB asal pangan umumnya dicirikan dengan periode inkubasi yang lebih singkat sampai 36 jam. Gejala yang timbul meliputi sakit perut, muntah, demam, diare berdarah, yang menyertai diare yang dapat berkisar dari gejala disentri klasik tinja berdarah, dalam kasus Shigella dysenteriae, Shigella flexneri, Shigella boydii sampai diare berair dengan Sh. sonnei. Penyakit berlangsung selama 3 hari sampai 14 hari dalam sebagian kasus dan tahap kerier (pembawa penyakit) dapat berlangsung selama beberapa bulan. Bentuk penyakit yang lebih ringan bersifat sembuh sendiri dan tidak memerlukan pengobatan, tetapi infeksi Shigella dysenteriae sering memerlukan penggantian cairan dan elektrolit serta terapi antibiotik. Kasus shigelosis asal pangan dikenal tidak umum, dengan kisaran inang yang lebih terbatas, sehingga masalah penyakit asal pangan relatif kurang nyata dibanding salmonelosis. Dalam kasus asal pangan umumnya melibatkan kerier manusia yang mempersiapkan makanan.

12

DAFTAR PUSTAKABrooks, GF. Butel, JS and Morse, SA. 2004. Jawetz, Melnick & Adelberg Microbiology, MCGraw-Hill Companies Inc. Boston Collier, L, Topley & Wilsons .2001. Microbiology and Microbial Infections, 9th edition, Volume 4 : Medical Mycology, Arnold, London.*

Finegold, Sydney M, 1991, Diagnostic Microbiology, CV Moby Company, USA

13