sgd lbm 2 saraf
DESCRIPTION
sarafTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Rasa sakit (nyeri) merupakan keluhan yang sering di dapatkan dalam klinik, walaupun
istilah “sakit” ini nampaknya sulit di definisikan. Persepsi tiap orang akan berbeda-beda
karena keluhan ini berasal dari pengalaman subyektif seseorang yang sulit dilakukan
pengukurannya. Reaksi dan sikap individu terhadap stimulasi yang identik yang
menyebabkan sakit akan berbeda pula. Oleh karena itu, dokter pemeriksa diharapkan
pada tugas untuk mendapatkan informasi yang selengkap mungkin dari pasien dan juga
harus dapat membanyangkan bagaimana pasien bereaksi terhadap rasa sakitnya itu.
Ada banyak rasa sakit yang dijumpai pada pasien salah satunya adalah sakit kepala.
Sakit kepala adalah rasa sakit atau tidak nyaman antara orbita dengan kepala yang berasal
dari struktur sensitif terhadap rasa sakit (Neurology and Neurosurgery illustrated
Kenneth). Prevalensi sakit kepala di USA menunjukkan 1 dari 6 orang (16,54%) atau 45
juta orang menderita sakit kepala kronik dan 20 juta dari 45 juta tersebut merupakan
wanita. 75% dari jumlah di atas adalah tipe tension headache yang berdampak pada
menurunnya konsentrasi belajar dan bekerja sebanyak 62,7%.
Sakit kepala bisa di sebabkan oleh kelainan: (1) vaskular, (2) jaringan saraf, (3) gigi-
geligi, (4) orbita, (5) hidung dan (6) sinus paranasal, (7) jaringan lunak di kepala, kulit,
jaringan subkutan, otot, dan periosteum kepala.
Sakit kepala dapat diklasifikasikan menjadi sakit kepala primer, sakit kepala
sekunder, dan neuralgia kranial, nyeri fasial serta sakit kepala lainnya. Sakit kepala
primer dapat dibagi menjadi migraine, tension type headache, cluster type headache
dengan sefalgia trigeminal/ autonomik, dan sakit kepala primer lainnya.
1.2 Tujuan
a. Agar mahasiswa mampu mengtahui tentang nyeri kepala dan jenis-jenis dari nyeri
kepala
b. Agar mahasisiwa mampu mengetahui tentang penatalaksanaan pasien dengan
nyeri kepala
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Skenario
Seorang pasien wanita 22 tahun datang ke poli saraf RS dengan keluhan nyeri kepala.
Nyeri kepala sejak 1 hari yang lalu, nyeri dirasakan berdenyut terutama di kepala sebelah kiri,
lama nmyeri kurang lebih 30 menit, nyeri kepala didahului seperti melihat kilatan cahaya
kurang lebih selama 5 menit. Nyeri berkurang dengan beristirahat dan tidur. Nyeri kepala
timbul dan bertambah bila mendengar suara bising dan melihat cahaya yang silau. Juga
dirasakan semakin bertambah bila melakukan aktivitas. Nyeri kepala dapat muncul sangat
berat sampai penderita muntah. Frekuensi nyeri kepala dirasakan semakin sering dalam 1
bulan terakhir. Frekuensi dalam 1 hari lebih kurang 2 kali serangan dalam 1 bulan ini dan
diantara serangan pasien bebas dari nyeri kepala.
Pasien mengaku serting menderita sakit sejak SMP ( ± 10 tahun yang lalu). Sejak saat
itu pasien sering menderita nyeri kepala hilang timbul. Pasien hanya meminum obat yang
dibeli di warung (paramex). Riwayat pingsan tidak ada, riwayat kecelakaan dan benturan
kepala tidak ada, riwayat epilepsy tidak ada. Tidak ada anggota keluarga yang sakit seperti
ini. Pasien adalah seorang mahasiswa. Aktivitas fisik kurang. Hasil pemeriksaan viltal sign
semua dalam batas normal. Pemeriksaan fisik ditemukan otot leher dan punggung tegang,
lain-lain dalam batas normal.
2.2 Terminologi
Nyeri
Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosionalyang tidak menyenangkan yang
telah terjadi atau sedang terjadi
Nyeri kepala
Nyeri kepala adalah semua perasaan yang tidak menyenangkan di daerah kepala
yaitu dari daerah orbital sampai daerah oksiput
Epilepsy
Epilepsy adalah diagnose klinis apabila terjadi seragan kejang yang labih dari satu
kali dalam periode waktu tertentu (1 tahun). Epilepsy adalah keadaan serangan
2
klinis akibat cetusan potensial abnormal berlebihan dari sekolompok neuron
korteks/subkorteks, cenderung berulang dan stereotipi dan diluar serangan normal.
2.3 Permasalah
1. Fisiologi nyeri?
2. Sebutkan struktur peka nyeri dan sruktur tidak peka nyeri?
3. Penyebab dan mekanisme ketegangan otot leher dan punggung?
4. Penyebab nyeri bertambah pada saat mendengar suara bisisng dan melihat cahaya
silau?
5. Penyebab nyeri kepala bertambah bila melakukan aktivitas dan berkurang jika
beristirahat dan tidur?
6. Penyebab sakit kepala berdenyut?
7. Penyebab pasien muntah ketika mengalami nyeri kepala yang berat?
2.4 Pembahasan Permasalahan
1. Fisiologi nyeri
Mekanisme timbulnya nyeri di dasari oleh proses multiple yaitu nosisepsi,
sensitisasi perifer, perubahan fenotip, sensitisasi sentral, eksitabilitas ektopik,
reorganisasi structural, dan penurunan inhibisi. Antara stimulus cedera jaringan dan
pengalaman subjektif nyeri terdapat empat proses tersendiri: transduksi, transmisi,
modulasi, dan persepsi.
Transduksi adalah suatu proses dimana akhiran saraf aferen menerjemahkan
stimulus ke dalam impuls nosiseptif. Transmisi adalah sebuah proses dimana impuls
disalurkan menuju kornu dorsalis medulla spinalis, kemudian sepanjang traktus
sensorik menuju otak. Modulasi adalah proses amplifikasi sinyal neural terkait nyeri
(pain related neural signals). Proses ini terutama terjadi di kornu dorsalis medulla
spinalis, dan mungkin juga terjadi di level lainnya. Persepsi adalah kesadaran akan
pengalaman nyeri. Persepsi merupakan hasil dari interaksi proses transduksi,
transmisi, modulasi, aspek psikologis dan karakteristik individu lainnya.
3
2. Sebutkan struktur peka nyeri dan tidak peka nyeri?
Struktur peka nyeri pada extracranium dan intracranium
Struktur peka nyeri yang extracranium:
1. Kulit kepala, periosteum
2. Arteri-arteri yaitu arteri frontalis, arteri temporalis, arteri occipitalis
3. Saraf-saraf yaitu nervus frontalis, nervus temporalis, nervus
occipitalis mayor/minor
4. Otot-otot yaitu muskulus frontalis, muskulus temporalis, muskulus
occipitalis
Struktur peka nyeri intracranium:
1. Duramater (sepanjang arteri meningeal, sekitar sinus venosus, basis
cranii, dan tentorium serebelli)
2. Bagian proximal atau basal arteri, vena, saraf, tertentu (V, IX, X)
3. Sinus Venosus
4
Spinothalamictract
Peripheralnerve
Dorsal Horn Dorsal root
ganglion
Pain
Modulation
Transduction
Ascendinginput
Descendingmodulation
Peripheralnociceptors
Trauma
Adapted from Gottschalk A et al. Am Fam Physician. 2001;63:1981, and Kehlet H et al. Anesth Analg. 1993;77:1049.
Perception
transmission
Struktur yang tidak peka terhadap nyeri :
Tulang kepala, parenchym otak, plexus choroideus, sebagian besar
duramater dan piamater yang meliputi konveksitas otak.
3. Penyebab mekanisme ketegangan otot leher dan punggung?
Adanya stimulus yang berlebihan, lonjakan listrik yang meningkat akibat dari
depolarisasi ion kalium ke dalam sel menyebabkan rangsangan berlebihan. Akibat
dari masuknya ion kalium ke dalam sel akan menstimulus aktin myosin pada otot,
sehingga kerja otot meningkat dan menyebabkan otot leher dan punggung menjadi
tegang.
4. Penyebab nyeri bertambah pada saat mendengar suara bisisng dan melihat cahaya
silau?
Nyeri bertambah mendengar suara bising dikarenakan suara bising tersebut
merangsang pada salah susunan/ struktur yang peka terhadap nyeri khususnya nervus
aurikulotemporalis. Mual dan muntah mungkin disebabkan oleh kerja dopamin atau
serotonin pada pusat muntah di batang otak (chemoreseptor trigger zone/ CTZ).
Sedangkan pacuan pada hipotalamus akan menimbulkan fotofobia. Proyeksi/pacuan
dari LC ke korteks serebri dapat mengakibatkan oligemia kortikal dan mungkin
menyebabkan penekanan aliran darah, sehingga timbulah aura.
5. Penyebab nyeri kepala bertambah bila melakukan aktivitas dan berkurang jika
beristirahat dan tidur?
Pada saat kerja/aktivitas yang berlebihan tubuh membutuhkan lebih banyak
oksigen akibatnya aliran darah meningkat untuk memenuhi kebutuhan
tersebut, disamping itu pada saat orang bekerja terjadi peningkatan kontraksi
otot, dimana disekitar otot terdapat pembuluh darah dan saraf, karena terjadi
peningkatan kontraksi otot maka pembuluh darah dan nervus disekitar otot
tertekan akibatnya terjadi penyempitan, oksigen tidak dapat tercukupi dan
mengakibatkan nyeri.
Pada saat istirahat, pembuluh darah dan saraf serta otot dalam keadaan rileks,
sehingga tidak terjadi penekanan, dan system sirkulasi menjadi lancar, oksigen
yang diangkut khususnya ke otak tercukupi.
6. Penyebab nyeri kepala berdenyut?
5
Terjadi hiperperfusi namun pembuluh darah tidak mampu menyesuaikan karena telah
terjadi hipodilatasi pada pembuluh darah di daerah korteks oksipital (spreading
depression) oleh karena itu terjadi gangguan aliran darah dan timbulah throbbing
(nyeri kepala yang berdenyut).
7. Penyebab pasien muntah ketika mengalami nyeri kepala yang berat?
Muntah terjadi karena gangguan keseimbangan pada labirin telinga dan metabolisme.
Akibatnya akan merangsang Chemoreseptor Triger Zone (CTZ) dan menyalurkannya
ke pusat muntah, sehingga pada pasien tersebut mengalami muntah-muntah.
2.5 Differential Diagnosis
2.5.1 MIGRAIN
Definisi
Menurut International Headache Society (IHS) migren adalah nyeri kepala
vaskular berulang dengan serangan nyeri yang berlangsung 4-72 jam. Nyeri biasanya
sesisi (unilateral), sifatnya berdenyut, intensitas nyerinya sedang sampai berat, diperberat
oleh aktivitas, dan dapat disertai dengan mual dan atau muntah, fotofobia, dan fonofobia.
Epidemiologi
Dari hasil penelitian epidemiologi,migren terjadi pada hampir 30 juta
penduduk Amerika Serikat, 75 % diantaranya adalah wanita. Migren dapat terjadi pada
semua usia, tetapi biasanya muncul antara usia 10-40 tahun dan angka kejadiannya
menurun setelahusia 50 tahun. Migren tanpa aura umumnya lebih sering dibandingkan
migren disertai aura dengan persentase sebanyak 90%.
Etiologi
Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya migren adalah sebagai berikut :
1. Riwayat penyakit migren dalam keluarga
2. Perubahan hormon (estrogen dan progesteron) pada wanita, khususnya pada
fase luteal siklus menstruasi.
3. Makanan yang bersifat vasodilator (anggur merah, natrium nitrat),
vasokonstriktor (keju, coklat), serta zat tambahan pada makanan.
4. Stres
5. Faktor fisik
6. Rangsang sensorik (seperti cahaya yang silau, bau menyengat)
6
7. Alkohol
8. Merokok
Klasifikasi
Menurut The International Headache Society (1988), klasifikasi migren adalah
sebagai berikut:
1. Migren tanpa aura
2. Migren dengan aura
a. Migren dengan aura yang khas
b. Migren dengan aura yang diperpanjang
c. Migren dengan lumpuh separuh badan (familial hemiflegic migraine)
d. Migren dengan basilaris
e. Migren aura tanpa nyeri kepala
f. Migren dengan awitan aura akut
3. Migren oftalmoplegik
4. Migren retinal
5. Migren yang berhubungan dengan gangguan intrakranial
6. Migren dengan komplikasi
a. Status migren (serangan migren dengan sakit kepala lebih dari 72 jam)
Tanpa kelebihan penggunaan obat
Kelebihan penggunaan obat untuk migren
b. Infark migren
7. Gangguan seperti migren yang tidak terklasifikasikan
Dahulu dikenal adanya classic migraine dan common migraine. Classic migraine
didahului atau disertai dengan fenomena defisit neurologik fokal, misalnya gangguan
penglihatan, sensorik, atau wicara. Sedangkan common migraine tidak didahului atau
disertai dengan fenomena defisit neurologic fokal. Oleh Ad Hoc Committee of the
International Headache Society (1987) diajukan perubahan nama atau sebutan
untukkeduanya menjadi migren dengan aura untuk classic migraine dan migren tanpa
aura untuk common migraine.
7
Patofisiologi
Migren bisa dipahami sebagai suatu gangguan primer otak (primary of the brain)
yang terjadi karena adanya kelainan pada aktivitas saraf sehingga pembuluh darah
mengalami vasodilatasi, yang disusul dengan adanya nyeri kepala berikut aktivasi saraf
lanjutannya. Serangan migren bukanlah didasari oleh suatu primary vascular event.
Serangan migren bersifat episodik dan bervariasi baik dalam setiap individu maupun
antar individu. Variabilitas tersebut paling tepat dijelaskan melalui pemahaman terhadap
kelainan biologik dasar dari migren yaitu disfungsi ion channel pada nuklei aminergik
batang otak yang secara normal berfungsi mengatur input sensoris dan memberikan
kendali neural (neural influences) terhadap pembuluh darah kranial.
Dulu migren oleh Wolff disangka sebagai kelainan pembuluh darah (teori vaskular).
Sekarang diperkirakan kelainan primer di otak. Sedangkan kelainan di pembuluh darah
sekunder. Ini didasarkan atas tiga percobaan binatang:
1. Penekanan aktivitas sel neuron otak yang menjalar dan meluas (spreading
depression dari Leao)
Teori depresi yang meluas Leao (1944), dapat menerangkan tumbuhnya aura
pada migren klasik. Leao pertama melakukan percobaan pada kelinci. Ia menemukan
bahwa depresi yang meluas timbul akibat reaksi terhadap macam rangsangan lokal
pada jaringan korteks otak. Depresi yang meluas ini adalah gelombang (oligemia)
yang menjalar akibat penekanan aktivitas sel neuron otak spontan. Perjalanan dan
meluasnya gelombang oligemia sama dengan yang terjadi waktu kita melempar batu
ke dalam air. Kecepatan perjalanannya diperkirakan 2-5 mm per menit dan didahului
oleh fase rangsangan sel neuron otak yang berlangsung cepat. Jadi sama dengan
perjalanan aura pada migren klasik. Gelombang oligemia tersebut didahului oleh fase
pendek hiperemia yang sangat mungkin berhubungan dengan gejala seperti melihat
kilatan cahaya. Oligemia merupakan respon dari adanya penurunan fungsi neuronal
(depressed neuronal function) yang kelihatan jelas masih berlangsung ketika keluhan
nyeri kepala mulai muncul. Temuan tersebut, bersama dengan bukti langsung yang
menunjukkan bahwa suplai oksigen lokal ternyata lebih dari adekuat,menjadikan
pendapat yang menganggap migraine semata-mata hanya merupakan suatu vascular
headachetidak lagi dapat dipertahankan.
8
Percobaan ini ditunjang oleh penemuan Oleson, Larsen dan Lauritzen (1981). dengan
pengukuran aliran darah otak regional pada penderita-penderita migren klasik. Pada
waktu serangan migren klasik, mereka menemukan penurunan aliran darah pada bagian
belakang otak yang meluas ke depan dengan kecepatan yang sama seperti pada depresi
yang meluas. Mereka mengambil kesimpulan bahwa penurunan aliran darah otak regional
yang meluas ke depan adalah akibat dari depresi yang meluas.
Terdapat persamaan antara percobaan binatang oleh Leao dan migren klinikal, akan
tetapi terdapat juga perbedaan yang penting, misalnya tak ada fase vasodilatasi pada
pengamatan pada manusia, dan aliran darah yang berkurang berlangsung terus setelah
gejala gejala aura. Meskipun demikian, eksperimen perubahan aliran darah memberi
kesan bahwa manifestasi migren terletak primer di otak dan kelainan vaskular adalah
sekunder.
2. Sistem trigemino-vaskular
Pembuluh darah otak dipersarafi oleh serat-serat saraf yang mengandung. substansi P
(SP), neurokinin-A (NKA) dan calcitonin-gene related peptid (CGRP). Semua ini berasal
dari ganglion nervus trigeminus sesisi SP, NKA. dan CGRP menimbulkan pelebaran
pembuluh darah arteri otak. Selain ltu, rangsangan oleh serotonin (5hydroxytryptamine)
pada ujung-ujung saraf perivaskular menyebabkan rasa nyeri dan pelebaran pembuluh
darah sesisi.
Seperti diketahui, waktu serangan migren kadar serotonin dalam plasma meningkat.
Dulu kita mengira bahwa serotoninlah yang menyebabkan penyempitan pembuluh darah
pada fase aura. Pemikiran sekarang mengatakan bahwa serotonin bekerja melalut sistem
trigemino-vaskular yang menyebabkan rasa nyeri kepala dan pelebaran pembuluh darah.
Obat-obat anti-serotonin misalnva cyproheptadine (Periactin®) dan pizotifen
(Sandomigran®, Mosegor®) bekerja pada sistem ini untuk mencegah migren.
9
3. lnti-inti syaraf di batang otak
Inti-inti saraf di batang otak misalnya di rafe dan lokus seruleus mempunyai
hubungan dengan reseptor-reseptor serotonin dan noradrenalin. Juga dengan pembuluh
darah otak yang letaknya lebih tinggi dan sumsum tulang daerah leher yang letaknya
lebih rendah. Rangsangan pada inti-inti ini menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah
otak sesisi dan vasodilatasi pembuluh darah di luar otak. Selain itu terdapat penekanan
reseptor-reseptor nyeri yang letaknya lebih rendah di sumsum tulang daerah leher. Teori
ini menerangkan vasokonstriksi pembuluh darah di dalam otak dan vasodilatasi pembuluh
darah di luar otak, misalnya di pelipis yang melebar dan berdenyut.
Faktor pencetus timbulnya migren dapat dibagi dalam faktor ekstrinsik dan faktor
intrinsik. Dimana faktor eksintrik seperti stress (emosional maupun fisik atau setelah
istirahat dari ketegangan), makanan tertentu (coklat, keju, alkohol, dan makanan yang
mngandung bahan pengawet), lingkungan, dan juga cuaca.
Sedangkan faktor intrinsik, misalnya perubahan hormonal pada wanita yang nyerinya
berhubungan dengan fase laten saat menstruasi. Selain itu, adanya factor genetik,
diketahui mempengarui timbulnya migren.
Mual dan muntah mungkin disebabkan oleh kerja dopamin atau serotonin pada pusat
muntah di batang otak (chemoreseptor trigger zone/ CTZ). Sedangkan pacuan pada
hipotalamus akan menimbulkan fotofobia. Proyeksi/pacuan dari LC ke korteks serebri
dapat mengakibatkan oligemia kortikal dan mungkin menyebabkan penekanan aliran
darah, sehingga timbulah aura.
10
Pencetus (trigger) migren berasal dari:
Korteks serebri: sebagai respon terhadap emosi atau stress.
Talamus: sebagai respon terhadap stimulasi afferen yang berlebihan: cahaya yang
menyilaukan, suara bising, makananBau-bau yang tajam.
Hipotalamus sebagai respon terhadap 'jam internal" atau perubahan "lingkungan"
internal (perubahan hormonal).
Sirkulasi karotis interna atau karotis eksterna: sebagai respon terhadap
vasodilator, atau angiografi.
Manifestasi Klinis
Secara keseluruhan, manifestasi klinis penderita migren bervariasi pada setiap
individu. Terdapat 4 fase umum yang terjadi pada penderita migren, tetapi semuanya tidak
harus dialami oleh tiap individu. Fase-fase tersebut antara lain:
1. Fase Prodormal. Fase ini dialami 40-60% penderita migren. Gejalanya berupa
perubahan mood, irritable, depresi, atau euphoria, perasaan lemah, letih, lesu, tidur
berlebihan, menginginkan jenis makanan tertentu (seperti coklat) dan gejala lainnya.
Gejala ini muncul beberapa jam atau hari sebelum fase nyeri kepala. Fase ini member
pertanda kepada penderita atau keluarga bahwa akan terjadi serangan migren.
2. Fase Aura. Aura adalah gejala neurologis fokal kompleks yang mendahului atau
menyertai serangan migren. Fase ini muncul bertahap selama 5-20 menit. Aura ini
dapat berupa sensasi visual, sensorik, motorik, atau kombinasi dari aura-aura tersebut.
Aura visual muncul pada 64% pasien dan merupakan gejala neurologis yang
paling umum terjadi. Yang khas untuk migren adalah scintillating scotoma (tampak
bintik-bintik kecil yang banyak), gangguan visual homonim, gangguan salah satu sisi
lapang pandang, persepsi adanya cahaya berbagai warna yang bergerak pelan
(fenomena positif). Kelainan visual lainnya adalah adanya scotoma (fenomena
negatif) yang timbul pada salah satu mata atau kedua mata. Kedua fenomena ini dapat
muncul bersamaan dan berbentuk zig-zag. Aura pada migren biasanya hilang dalam
beberapa menit dan kemudian diikuti dengan periode laten sebelum timbul nyeri
kepala, walaupun ada yang melaporkan tanpa periode laten.
3. Fase Nyeri Kepala. Nyeri kepala migren biasanya berdenyut, unilateral dan awalnya
berlangsung didaerah frontotemporalis dan ocular, kemudian setelah 1-2 jam
menyebar secara difus kea rah posterior. Serangan berlangsung selama 4-72 jam pada
11
orang dewasa, sedangkan pada anak-aak berlangsung selama 1-48 jam. Intensitas
nyeri bervariasi, dari sedang sampai berat, dan kadang sangat mengganggu pasien
dalam menjalani aktivitas sehari-hari.
4. Fase Postdormal. Pasien mungkin merasa lelah, irritable, konsentrasi menurun, dan
terjadi perubahan mood. Akan tetapi beberapa orang merasa “segar” atau euphoria
setelah terjadi serangan, sedangkan yang lainnya merasa depresi dan lemas.
Gejala diatas tersebut terjadi pada penderita migren dengan aura, sementara pada
penderita migren tanpa aura, hanya ada 3 fase saja, yaitu fase prodormal, fase nyeri
kepala, dan fase postdormal.
Kriteria Diagnosis
1. Migren tanpa aura
Migren ini tidak jelas penyebabnya (idiopatik), bersifat kronis dengan
manifestasi serangan nyeri kepala 4-72 jam, sangat khas yaitu nyeri kepala unilateral,
berdenyut-denyut dengan intensitas sedang sampai berat dengan disertai mual,
fonofobia, dan fotofobia. Nyeri kepala diperberat dengan adanya aktivitas fisik.
2. Migren dengan aura
Nyeri kepala ini bersifat idiopatik, kronis dengan bentuk serangan dengan
gejala neurologik (aura) yang berasal dari korteks serebri dan batang otak, biasanya
berlangsung 5-20 menit dan berlangsung tidak lebih dari 60 menit. Neri kepaala,
mual, atau tanpa fotofobia biasanya langsung mengikuti gejala aura atau setelah
interval bebas serangan tidak sampai 1 jam. Fase ini biasanya berlangsung 4-72 jam
atau sama sekali tidak ada. Aura dapat berupa gangguan mata homonimus, gejala
hemisensorik, hemifaresis, disfagia, atau gabungan dari gejala diatas.
12
3. Migren Hemiplegik familial
Migren dengan aura termasuk hemiparesis dengan criteria klinik yang sama seperti
diatas dan sekurang-kurangnya salah satu anggota keluarga terdekatnya mempunyai
riwayat migren yang sama
4. Migren basilaris
Migren dengan aura yang jelas berasal dari batang otak atau dari kedua lobi
oksipitales. Kriteria klinik sama dengan yang diatas dengan tambahan dua atau lebih dari
gejala aura seperti berikut ini:
Gangguan lapangan penglihatan temporal dan nasal bilateral
Disartia
Vertigo
Tinitus
Penurunan pendengaran
Diplospi
Ataksia
Parastesia bilateral
Parestesia bilateral dan penurunan kesadaran
5. Migren aura tanpa nyeri kepala
Migren jenis ini memiliki gejala aura yang khas tetapi tanpa diikuti oleh nyeri kepala.
Biasanya terdapat pada individu yang berumur lebih dari 40 tahun.
6. Migren dengan awitan aura akut
Migren dengan aura yang berlangsung penuh kurang dari 5 menit. Kriteria
diagnosisnya sama dengan criteria migren dengan aura, dimana gejala neurologik (aura)
13
terjadi seketika lebih kurang 4 menit, nyeri kepala teradi selama 4-72 jam (bila tidak
diobati atau dengan pengobatan tetapi tidak berhasil), selama nyeri berlangsung
sekurangnya disertai dengan mual atau muntah, fonofobia/fotofobia. Untuk
menyingkirkan TIA maka dilakukan pemeriksaan angiografi dan pemeriksaan jantung
serta darah.
7. Migren oftalmoplegik
Migren jenis ini dicirikan oleh serangan yang berulangpulang yang berhubungan
dengan paresis satu atau lebih saraf otak okular dan tidak didapatkan
kelainan organik. Kriteria diagnosis terdiri dari sekurang-kurangnya 2 serangan disertai
paresisi saraf otak III, IV, dan VI serta tidak didapatkan kelainan serebrospinal.
8. Migren retinal
Terjadi serangan berulang kali dalam bentuk skotoma monokular atau buta tidak lebih
dari satu jam. Dapet berhubungan dengan nyeri kepala atau tidak. Gangguan ocular dan
vascular tidak dijumpai.
9. Migren yang berhubungan dengan gangguan intrakranial
Migren dan gangguan intracranial berhubungan dengan awitan secara temporal. Aura
dan lokasi nyeri kepala berhubungan erat dengan lesi intracranial. Keberhasilan
pengobatan lesi intrakranial akan diikuti oleh hilangnya serangan migren.
` KRITERIA DIAGNOSIS MIGREN RETINAL
Sekurang-kurangnya terdiri dari 2 serangan sebagaimana tersebut di bawah ini:
A. Skotoma monokular yang bersifat reversibel atau buta tidak lebih dari 60
menit, dan dibuktikan dengan pemeriksaan selama serangan atau
penderita menggambarkan gangguan lapangan penglihatan monokular
selama serangan tersebut.
B. Nyeri kepala yang mengikuti gangguan visual dengan interval bebas
nyeri tidak lebih dari 60 menit, tetapi kadang-kadang lebih dari 60 menit.
Nyeri kepala bisa tidak muncul apabila penderita mempunyai jenis migren
lain atau mempunyai 2 atau lebih keluarga terdekat yang mengalami migren.
C. Pemeriksaan oftalmologik normal di luar serangan. Adanya emboli dapat
dapat disingkirkan dengan peneriksaan angiografi, CT scan, pemeriksaan
jantung dan darah.
14
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang bertujuan untuk menyingkirkan diagnosis banding.
1. CT scan dan MRI kepala
2. Pungsi lumbal
Terapi
1. Terapi Medikamentosa
Pendekatan terapi migraine dapat dibagi kedalam terapi nonfarmakologis dan
farmakologis. Terapi nonfarmakologis meliputi:
a. edukasi kepada penderita mengenai penyakit yang dialaminya
b. mekanisme penyakit
c. pendekatan terapeutik, dan
d. mengubah pola hidup dalam upaya menghindari pemicu serangan migraine.
e. Tidur yang teratur
f. Makan yang teratur
g. Olahraga
h. Mencegah puncak stres melalui relaksasi,serta mencegah makanan pemicu.
Pesan yang penting adalah, penderita lebih baik berupaya menjaga keteraturan
hidup (regularity of habits), daripada membatasi beragam makanan dan aktivitas.
Yang tidak dapat diketahui adalah sensitivitas dari otak terhadap pemicu-pemicu pada
waktu tertentu. Ketidakpastian ini mengakibatkan banyak penderita menjadi putusasa
menghadapi fakta bahwa berbagai upaya yang dilakukannya untuk menghindari
15
KRITERIA DIAGNOSIS MIGREN DENGAN GANGGUAN
INTRAKRANIAL
A. Sekurang-kurangnya terdapat satu jenis migren
B. Gangguan intracranial dibuktikan dengan pemeriksaan klinik dan
neuro imaging
C. Terdapat satu atau keduanya dari:
1. Awitan migren sesuai dengan awitan gangguan intrakranial
2. Lokasi aura dan nyeri sesuai dengan lokasi gangguan
intracranial
D. Bila pengobatan gangguan intracranial berhasil maka migren
akan hilang dengan sendirinya
terpicunya serangan migren memberikan hasil yang berbeda pada hari yang berlainan.
Penting dijelaskan pada penderita sifat alamiah dari variabilitas tersebut diatas. Saat
ini telah dipublikasikan evidence-based review dari pendekatan nonfarmakologis
dalam terapi migraine.
Medikamentosa untuk terapi migraine dapat dibagi menjadi: obat yang
diminumkan setiap hari tidak tergantung dari ada atau tidak nyeri kepala yang
bertujuan mengurangi frekuensi dan tingkat keparahan serangan (terapi preventif),
dan obat yang diminumkan untuk menghentikan serangan saat kemunculannya (terapi
abortif).
Terapi untuk menghentikan serangan akut (terapi abortif) dapat dibagi menjadi:
terapi nonspesifik dan terapi spesifik migraine (migraine-specific treatments). Yang
tergolong kedalam terapi nonspesifik seperti:
a. Aspirin
b. Acetaminophen
c. Nonsteroidalantiinflammatory drugs (NSAID)
Pada banyak penderita, migraine menunjukkan respon yang baik menggunakan
terapi sederhana yang diberikan pada waktu serangan. Terdapat sejumlah kunci
bagi keberhasilan penggunaan analgetik dan NSAID, setelah terlebih dahulu
mempertimbangkan keinginan penderita dan kontraindikasi: obat harus diminum
sesegera mungkin begitu komponen nyeri kepala dari serangan mulai dirasakan;
dosis obat harus adekuat, sebagai contoh, 900 mg aspirin, 1000 mg
acetaminophen, 500 sampai 1000 mg naproxen, 400 sampai 800 mg ibuprofen,
atau kombinasinya dengan dosis yang memadai. Penambahan menggunakan
antiemetik atau obat yang meningkatkan motilitas gaster dapat meningkatkan
absorpsi obat utama, sehingga juga akan membantu meredakan serangan.
Penggunaan yang terlalu sering dari kelompok obat-obatan ini harus dihindari;
sebagai contoh, penggunaan tidak boleh melebihi dua sampai tiga hari dalam
seminggu, dan catatan harian (headache diary) penderita perlu diperiksa dan
dipantau untuk mengetahui adanya peningkatan penggunaan obat-obatan. Yang
penting diketahui adalah bahwa tingkat keparahan serangan migraine dan
responnya terhadap pengobatan dapat berubah-ubah; sehingga suatu ketika
penderita dapat hanya memerlukan satu macam obat, sementara dilain waktu
dapat memerlukan sejumlah macam obat untuk mengatasi serangan yang lebih
berat.
16
d. Opiat .Sebenarnya penggunaan opiat saat ini dihindari karena hanya meredam
nyeri tanpa menekan mekanisme patofisiologi yang melatarbelakangi serangan,
dan seringkali menimbulkan gangguan kognitif; penggunaannya juga dapat
menimbulkan adiksi, serta pada sebahagian besar penderita tidak memberikan
khasiat yang melebihi obat spesifik untuk migraine (migraine-specific therapy).
e. Analgetik kombinasi juga dipergunakan untuk mengatasi beragam gangguan
nyeri.
Sedangkan terapi spesifik yang meliputi:
a. Derivat Ergon
Kelebihan umum dari derivat ergot (ergotamine dan dihydroergotamine) adalah
biaya pengobatan yang rendah dan pengalaman dari sejarah panjang
penggunaannya. Kekurangannya adalah aspek farmakologinya yang kompleks,
farmakokinetiknya yang sulit diperhitungkan (erratic pharmacokinetics),
kurangnya pembuktian mengenai dosis yang efektif, efek vasokonstriktor
menyeluruhnya yang bersifat poten dan menetap, yang dapat menimbulkan
gangguan vaskular yang merugikan, serta adanya resiko tinggi terjadinya overuse
syndromes dan rebound headaches.
b. Triptan
Dibandingkan dengan derivat ergot, golongan triptan memiliki banyak kelebihan
terutama, farmakologi yang bersifat selektif, farmakokinetik yang jelas dan konsisten,
aturan penggunaan yang telah menjalani pembuktian (evidence-based
prescriptioninstructions), efikasi yang telah dibuktikan melalui sejumlah uji klinis
(well-designed controlledtrials), efek samping berderajat sedang, dan tingkat
keamanan pemakaian yang telah diketahui (well-established safetyrecord).
Kekurangan yang paling penting dari golongan triptan adalah biaya pengobatan yang
tinggi dan keterbatasan penggunaannya pada keadaan adanya penyakit kardiovaskular
termasuk perdarahan subarachnoid dan menginitis.
17
2.5.2 TENSION TYPE HEADACHE
Definisi
Tension-type Headache (TTH) merupakan suatu keadaan yang melibatkan sensasi nyeri atau
rasa tidak nyaman di daerah kepala bilateral yang menekan (pressing/ squeezing), mengikat,
tidak berdenyut, tidak dipengaruhi dan tidak diperburuk oleh aktivitas fisik, bersifat ringan
hingga sedang, tidak disertai (atau minimal) mual dan atau muntah, serta disertai fotofobia
atau fonofobia.
Tension type headache memiliki multisinonim yaitu psychomyogenic headache,
strees headache, ordinary headache, idiopathic headache, dan psychogenic hadache.
Epidemiologi
Sekitar 93% laki-laki dan 99% perempuan pernah mengalami nyeri kepala. TTH dan nyeri
kepala servikogenik adalah dua tipe nyeri kepala yang paling sering dijumpai. TTH adalah
bentuk paling umum nyeri kepala primer yang mempengaruhi hingga dua pertiga populasi.
Sekitar 78% orang dewasa pernah mengalami TTH setidaknya sekali dalam hidupnya. TTH
episodik adalah nyeri kepala primer yang paling umum terjadi, dengan prevalensi 1 tahun
sekitar 38–74%. Rata-rata prevalensi TTH 11-93%. Satu studi menyebutkan prevalensi TTH
sebesar 87%.
TTH dapat menyerang segala usia. Usia terbanyak adalah 25-30 tahun, namun puncak
prevalensi meningkat di usia 30-39 tahun. Sekitar 40% penderita TTH memiliki riwayat
keluarga dengan TTH, 25% penderita TTH juga menderita migren. Prevalensi seumur hidup
pada perempuan mencapai 88%, sedangkan pada laki-laki hanya 69%. Perempuan:laki-laki
adalah 5:4. Onset usia penderita TTH adalah dekade ke dua atau ke tiga kehidupan, antara 25
hingga 30 tahun. Meskipun jarang, TTH dapat dialami setelah berusia 50-65 tahun.
Etiologi
Penyebab terjadinya TTH adalah stress, depresi dan kecemasan, kelaparan (kebiasaan makan
tidak teratur), dehidrasi, beban yang terlalu berat (overexertion), sleep disorder, caffeine
withdrawal, dan fluktuasi hormonal wanita. Stres dan konflik emosional adalah pemicu
tersering TTH. Faktor resiko tension type headache yaitu:
Seorang wanita
18
Satu studi menemukan bahwa hampir 90% wanita dan sekitar 70% pria mengalami
nyeri kepala type tension sepanjang hidup mereka. Pada suatu penelitian dengan
PET Scan, ternyata membuktikan bahwa kecepatan biosintesa serotonin pada pria
jauh lebih cepat 52% dibandingkan dengan wanita. Dengan bukti tersebut
diasumsikan bahwa memang terbukti angka kejadian depresi pada wanita lebih
tinggi 2-3 kali dari pada pria.
Usia setengah baya
Kejadian nyeri kepala type tension memuncak pada usia 40an, meskipun orang-
orang dari segala usia dapat terkena sakit kepala ini.
Patofisiologi
Patofisiologi TTH masih belum jelas diketahui. Pada beberapa literature dan hasil
penelitian disebutkan beberapa keadaan yang berhubungan dengan terjadinya TTH sebagai
berikut: 1) Disfungsi system saraf pusat yang lebih berperan dari pada system saraf perifer
dimana disfungsi system saraf perifer lebih mengarah kepada ETTH sedangkan disfungsi
system saraf pusatmengarah kepada CTTH, 2) Disfungsi saraf perifer meliputi kontraksi otot
yang involunter dan permanen tanpa disertai iskemia otot, 3) Transmisi nyeri TTH melalui
nucleus trigeminus servikalis pars kaudalis yang akan mensensitasi second orderneuron. Pada
nucleus trigeminal dan kornu dorsalis (aktivasi molekul NO) sehingga meningkatkan input
nosisptive pada jaringan perikranial dan neufacial lalu akan terjadi regulasi mekanisme
perifer yang akan meningkatkan aktivitas otot perikranial. Hal ini akan meningkatkan
19
pelepasan neurotransmitter pada jaringan miofacial, 4) Hiperflexibilitas neuron central
nosiseptive pada nucleus trigeminalis, thalamus, dan kortex serebri yang diikuti
hipersensitivitas supraspinal (limbic) terhadap nosiseptive.
Pada kasus dijumpai adanya stress yang memicu sakit kepala. Ada beberapa teori yang
menjelaskan hal tersebut yaitu 1) Adanya stress fisik (kelelahan akan menyebabkan
pernafasan hiperventilasi sehingga kadar CO2 dalam darah menurun yang akan menganggu
keseimbangan asam basa dalam darah hal ini akan menyebabkan terjadinya alkalosis yang
selanjutnya akan mengakibatkan ion kalsium masuk ke dalam sel menimbulkan kontraksi
otot yang belebihan sehingga terjadinya nyeri kepala, 2) Stress mengaktivasi saraf simpatis
sehingga terjadi dilatasi pembuluh darah otak selanjutnya akan mengaktivasi nosiseptor lalu
aktivasi aferen gamma trigeminus yang akan menghasilkan neuropepside (substansi P).
neuropeptida akan merangsang ganglion trigeminus (pons), 3) Stress dapat dibagi menjadi 3
tahap yaitu alarm reaction, stage of resistance dan stage of exhausted. Alarm reaction dimana
stress menyebabkan vasokonstriksi perifer yang akan mengakibatkan kekurangan asupan
oksigen lalau terjadilah metabolism anaerob. Metabolism anaerob akan mengakibatkan
penumpukan asam laktat sehingga merangsang pengeluaran bradikini dan enzim proteolitik
yang selanjutnya akan menstimulasi jaras nyeri. Stage of resistance dimana sumber energy
yang digunakan berasal dari glikogen yang akan merangsang peningkatan aldosteron, dimana
aldosteron akan menjaga simpanan ion kalium. Stage of exhausted dimana sumber energy
yang digunakan berasal dari protein dan aldosteron pun menurun sehingga terjadi depresi K+.
deplesi ion ini akan mengakibatkan disgungsi saraf.
Klasifikasi
1. Tension Type Headache Episodik
Tension type headache episodik diklasifikasikan menjadi 2 yaitu:
a. Tension type headache episodik yang infrequent
Kriteria diagnosis:
- Paling tidak terdapat 10 episode serangan dengan rata-rata <1
hari/bulan (<12 hari/ tahun)
- Nyeri kepala paling tidak terdapat 2 gejala khas, yaitu:
1. Lokasi bilateral
2. Menekan atau mengikat (tidak berdenyut)
3. Intensitas ringan hingga sedang
20
4. Tidak diperberat oleh aktifitas rutin seperti berjalan
atau naik tangga
- Tidak didapatkan:
1. Keluhan mual atau muntah (bisa anoreksia)
2. Lebih dari satu keluhan: fotofobia atau fonofobia
Tension type headache episodik yang infrequent diklasifikasikan menjadi 2 yaitu:
1. Tension type headache episodik yang infrequent yag berhubungan dengan
nyeri tekan perikranial. Hal ini ditandai dengan meningkatnya nyeri tekan
perikranial pada palpasi manual.
2. Tension type headache episodik yang infreqent yang tidak berhubungan
dengan nyeri tekan perikranial.
b. Tension type headache episodik yang frequent
Kriteria diagnosis:
- Paling tidak terdapat 10 episode serangan dalam 1-15 hari/bulan
selama paling tidak 3 bulan
- Nyeri kepala paling tidak terdapat 2 gejala khas, yaitu:
1. Lokasi bilateral
2. Menekan atau mengikat (tidak berdenyut)
3. Intensitas ringan hingga sedang
4. Tidak diperberat oleh aktifitas rutin seperti berjalan
atau naik tangga
- Tidak didapatkan:
1. Keluhan mual atau muntah (bisa anoreksia)
2. Lebih dari satu keluahan: fotofobia atau fonofobia
Tension type headache episodik yang frequent diklasifikasikan menjadi 2 yaitu:
1. Tension type headache episodik yang infrequent yag berhubungan dengan
nyeri tekan perikranial. Hal ini ditandai dengan meningkatnya nyeri tekan
perikranial pada palpasi manual.
2. Tension type headache episodik yang infreqent yang tidak berhubungan
dengan nyeri tekan perikranial.
2. Tension Type Headache Kronik (CTTH)
Kriteria diagnosis:
- Serangan nyeri kepala tiap hari/ serangan episodik
- Nyeri kepala berlangsung beberapa jam atau terus menerus
21
- Nyeri kepala paling tidak terdapat 2 gejala khas, yaitu:
1. Lokasi bilateral
2. Menekan atau mengikat (tidak berdenyut)
3. Intensitas ringan hingga sedang
4. Tidak diperberat oleh aktifitas rutin seperti berjalan
atau naik tangga
- Tidak didapatkan:
1. Keluhan mual atau muntah (bisa anoreksia)
2. Lebih dari satu keluahan: fotofobia atau fonofobia
Tension type headache kronik (CTTH) diklasifikasikan menjadi 2 yaitu:
1. Tension type headache kronik yang berhubungan dengan nyeri tekan
perikranial. Hal ini ditandai dengan meningkatnya nyeri tekan perikranial
pada palpasi manual.
2. Tension type headache kronik yang tidak berhubungan dengan nyeri tekan
perikranial.
Diagnosis
Pemeriksaan Fisik
Anamnesis, pemeriksaan fisik umum dan pemeriksaan neurologis
komprehensif adalah kunci evaluasi klinis TTH dan dapat menyediakan petunjuk
potensial terhadap penyebab penyakit (organik, dsb) yang mendasari terjadinya TTH.
Pada palpasi manual gerakan memutar kecil dan tekanan kuat dengan jari ke dua dan
ke tiga di daerah frontal, temporal, masseter, pterygoid, sternocleidomastoid, splenius,
dan otot-otot trapezius, dijumpai pericranial muscle tenderness, dapat dibantu dengan
palpometer Pericranial tenderness dicatat dengan Total Tenderness Score. Menurut
referensi lain, prosedurnya sederhana, yaitu: delapan pasang otot dan insersi tendon
(yaitu: otot-otot masseter, temporal, frontal, sternocleidomastoid, trapezius,
suboccipital, processus coronoid dan mastoid) dipalpasi. Palpasi dilakukan dengan
gerakan rotasi kecil jari kedua dan ketiga selama 4-5 detik.
Pemeriksaan penunjang
Diagnostik penunjang TTH adalah pencitraan (neuroimaging) otak atau
cervical spine, analisis CSF, atau pemeriksaan serum dengan laju endap darah
(erythrocyte sedimentation rate), atau uji fungsi tiroid. Neuroimaging terutama
22
direkomendasikan untuk: nyeri kepala dengan pola atipikal, riwayat kejang, dijumpai
tanda/gejala neurologis, penyakit simtomatis seperti: AIDS (acquired immunodefi
ciency syndrome), tumor, atau neurofi bromatosis. Pemeriksaan funduskopi untuk
papilloedema atau abnormalitas lainnya penting untuk evaluasi nyeri kepala sekunder.
Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan adalah reduksi frekuensi dan intensitas nyeri kepala (terutama TTH)
dan menyempurnakan respon terhadap terapi abortive. Terapi dapat dimulai lagi bila nyeri
kepala berulang.
Terapi TTH episodik pada anak: parasetamol, aspirin, dan kombinasi analgesik.
Parasetamol aman untuk anak. Asam asetilsalisilat tidak direkomendasikan pada anak berusia
kurang dari 15 tahun, karena kewaspadaan terhadap sindrom Reye. Pada dewasa, obat
golongan anti-infl amasi non steroid efektif untuk terapi TTH episodik. Hindari obat
analgesik golongan opiat (misal: butorphanol). Pemakaian analgesik berulang tanpa
pengawasan dokter, terutama yang mengandung kafein atau butalbital, dapat memicu
rebound headaches. Beberapa obat yang terbukti efektif: ibuprofen (400 mg), parasetamol
(1000 mg), ketoprofen (25 mg). Ibuprofen lebih efektif daripada parasetamol. Kafein dapat
meningkatkan efek analgesik. Analgesik sederhana, nonsteroidal anti-infl ammatory drugs
(NSAIDs), dan agen kombinasi.
Suntikan botulinum toxin (Botox) diduga efektif untuk nyeri kepala primer, seperti:
tension-type headache, migren kronis, nyeri kepala harian kronis (chronic daily headache).
Botulinum toxin adalah sekelompok protein produksi bakteri Clostridium botulinum.
Mekanisme kerjanya adalah menghambat pelepasan asetilkolin di sambungan otot,
menyebabkan kelumpuhan flaksid. Botox bermanfaat mengatasi kondisi di mana
hiperaktivitas otot berperan penting. Riset tentang Botox masih berlangsung.
Intervensi nonfarmakologis misalnya: latihan relaksasi, relaksasi progresif, terapi
kognitif, biofeedback training, cognitive-behavioural therapy, atau kombinasinya. Solusi lain
adalah modifikasi perilaku dan gaya hidup.
Pendekatan multidisiplin adalah strategi efektif mengatasi TTH. Edukasi baik untuk
anak dan
dewasa, disertai intervensi nonfarmakologis dan dukungan psikososial amat diperlukan.
Terapi Akut TTH
23
Medikamentosa Dosis Level rekomendasi
Parasetamol/asetaminofen 500-1000mg A
Aspirin 500-1000 mg A
Ibu profen 200-800 mg A
Ketoprofen 25-50 mg A
Naproxen 375-550 mg A
Diclofenac 12,5-100 mg A
Caffeine 65-200 mg B
Keterangan: Level A: effective, Level B: probably effective
Komplikasi
Penggunan obat penghilang nyeri pada pasien dengan tension type headache yang berlebihan
akan menyebabkan terjadinya overdosis obat tersebut dan dapat berkembang menjadi
rebound headache.
Prognosis
TTH biasanya merespon dengan baik pengobatan, tanpa gejala sisa. Meskipun TTH tidak
berbahaya secara medis, namun TTH kronis dapat berdampak negatif pada kualitas hidup dan
produktivitas kerja.
Pada penderita TTH dewasa berobat jalan yang diikuti selama lebih dari 10 tahun,
44% TTH kronis mengalami perbaikan signifikan, sedangkan 29% TTH episodik berubah
menjadi TTH kronis.
Studi populasi potonglintang Denmark yang ditindaklanjuti selama 2 tahun
mengungkapkan rata-rata remisi 45% di antara penderita TTH episodik frekuen atau TTH
kronis, 39% berlanjut menjadi TTH episodik dan 16% TTH kronis. Secara umum, dapat
dikatakan prognosis TTH baik.
24
2.5.3 CLUSTER HEADACHE
Definisi
Nyeri kepala klaster (cluster headache) merupakan nyeri kepala vaskular yang juga
dikenal sebagai nyeri kepala Horton, sfenopalatina neuralgia, nyeri kepala histamine,
sindrom Bing, erythrosophalgia, neuralgia migrenosa, atau migren merah (red migraine)
karena pada waktu serangan akan tampak merah pada sisi wajah yang mengalami nyeri.
Epidemiologi
Cluster headache adalah penyakit yang langka. Dibandingkan dengan migren, cluster
headache 100 kali lebih lebih jarang ditemui. Di Perancis prevalensinya tidak diketahui
dengan pasti, diperkirakan sekitar 1/10.000 penduduk, berdasarkan penelitian yang dilakukan
di negara lainnya. Serangan pertama muncul antara usia 10 sampai 30 tahun pada 2/3 total
seluruh pasien. Namun kisaran usia 1 sampai 73 tahun pernah dilaporkan. Cluster headache
sering didapatkan terutama pada dewasa muda, laki-laki, dengan rasio jenis kelamin laki-laki
dan wanita 4:1. Serangan terjadi pada waktu-waktu tertentu, biasanya dini hari menjelang
pagi, yang akan membangunkan penderita dari tidurnya karena nyeri.
Etiologi
Etiologi cluster headache adalah sebagai berikut:
Penekanan pada nervus trigeminal (nervus V) akibat dilatasi pembuluh darah sekitar.
Pembengkakan dinding arteri carotis interna.
Pelepasan histamin.
Letupan paroxysmal parasimpatis.
Abnormalitas hipotalamus.
Penurunan kadar oksigen.
Pengaruh genetik
Diduga faktor pencetus cluster headache antara lain:
Glyceryl trinitrate.
Alkohol.
Terpapar hidrokarbon.
Panas.
Terlalu banyak atau terlalu sedikit tidur.
Stres.
25
Positron emision tomografi (PET) scanning dan Magnetic resonance imaging (MRI)
membantu untuk memperjelas penyebab cluster headache yang masih kurang dipahami.
Patofisiologi dasar dalam hipotalamus gray matter. Pada beberapa keluarga, suatu gen
autosom dominan mungkin terlibat, tapi alel-alel sensitif aktivitas kalsium channel atau nitrit
oksida masih belum teridentifikasi. Vasodilatasi arteri karotis dan arteri oftalmika dan
peningkatan sensitivitas terhadap rangsangan vasodilator dapat dipicu oleh refleks
parasimpatetik trigeminus. Variasi abnormal denyut jantung dan peningkatan lipolisis
nokturnal selama serangan dan selama remisi memperkuat teori abnormalitas fungsi otonom
dengan peningkatan fungsi parasimpatis dan penurunan fungsi simpatis. Serangan sering
dimulai saat tidur, yang melibatkan gangguan irama sirkadian. Peningkatan insidensi sleep
apneu pada pasien-pasien dengan cluster headache menunjukan periode oksigenasi pada
jaringan vital berkurang yang dapat memicu suatu serangan.
Patofisiologi
Patofisiologi cluster headache masih belum diketahui dengan jelas, akan tetapi teori
yang masih banyak dianut sampai saat ini antara lain:
Cluster headache timbul karena vasodilatasi pada salah satu cabang arteri karotis
eksterna yang diperantarai oleh histamine intrinsic (Teori Horton).
Serangan cluster headache merupakan suatu gangguan kondisi fisiologis otak dan
struktur yang berkaitan dengannya, yang ditandai oleh disfungsi hipotalamus yang
menyebabkan kelainan kronobiologis dan fungsi otonom. Hal ini menimbulkan
defisiensi autoregulasi dari vasomotor dan gangguan respon kemoreseptor pada
korpus karotikus terhadap kadar oksigen yang turun. Pada kondisi ini, serangan dapat
dipicu oleh kadar oksigen yang terus menurun. Batang otak yang terlibat adalah
setinggi pons dan medulla oblongata serta nervus V, VII, IX, dan X. Perubahan
pembuluh darah diperantarai oleh beberapa macam neuropeptida (substansi P, dll)
terutama pada sinus kavernosus (teori Lee Kudrow).
Manifestasi Klinis
Nyeri kepala yang dirasakan sesisi biasanya hebat seperti ditusuk-tusuk pada separuh
kepala, yaitu di sekitar, di belakang atau di dalam bola mata, pipi, lubang hidung, langit-
langit, gusi dan menjalar ke frontal, temporal sampai ke oksiput. Nyeri kepala ini disertai
gejala yang khas yaitu mata sesisi menjadi merah dan berair, konjugtiva bengkak dan merah,
hidung tersumbat, sisi kepala menjadi merah-panas dan nyeri tekan. Serangan biasanya
26
mengenai satu sisi kepala, tapi kadang-kadang berganti-ganti kanan dan kiri atau bilateral.
Nyeri kepala bersifat tajam, menjemukan dan menusuk serta diikuti mual atau muntah. Nyeri
kepala sering terjadi pada larut malam atau pagi dini hari sehingga membangunkan pasien
dari tidurnya.
Serangan berlangsung sekitar 15 menit sampai 5 jam (rata – rata 2 jam) yang terjadi
beberapa kali selama 2-6 minggu. Sedangkan sebagai faktor pencetus adalah makanan atau
minuman yang mengandung alkohol. Serangan kemudian menghilang selama beberapa bulan
sampai 1-2 tahun untuk kemudian timbul lagi secara cluster (berkelompok).
Gambar 2.1 Ciri khas Cluster Headache
Gambar 2.2 Gejala Klinis Cluster headache
Diagnosis
27
Diagnosis nyeri kepala klaster menggunakan kriteria oleh International Headache
Society (IHS) adalah sebagai berikut:
a. Paling sedikit 5 kali serangan dengan kriteria seperti di bawah
b. Berat atau sangat berat unilateral orbital, supraorbital, dan atau nyeri temporal selama
15 – 180 menit bila tidak di tatalaksana.
c. Sakit kepala disertai satu dari kriteria dibawah ini :
1. Injeksi konjungtiva ipsilateral dan atau lakriimasi
2. Kongesti nasal ipsilateral dan atau rhinorrhea
3. Edema kelopak mata ipsilateral
4. Berkeringat pada bagian dahi dan wajah ipsilateral
5. Miosis dan atau ptosis ipsilateral
6. Kesadaran gelisah atau agitasi
d. Serangan mempunyai frekuensi 1 kali hingga 8 kali perhari
e. Tidak berhubungan dengan kelainan yang lain.
Pada tahun 2004 American Headache Society menerbitkan kriteria baru untuk
mendiagnosa cluster headache. Untuk memenuhi kriteria diagnosis tersebut, pasien
setidaknya harus mengalami sekurang-kurangnya lima serangan nyeri kepala yang terjadi
setiap hari selama delapan hari, yang bukan disebabkan oleh gangguan lainnya. Selain itu,
nyeri kepala yang terjadi parah atau sangat parah pada orbita unilateral, supraorbital atau
temporal, dan nyeri berlansung antara 18 sampai 150 menit jika tidak diobati, dan disertai
satu atau lebih gejala-gejala berikut ini: injeksi konjungtiva atau lakrimasi ipsilateral, hidung
tersumbat atau rinore ipsilateral, edema kelopak mata ipsilateral, wajah dan dahi berkeringat
ipsilateral, ptosis atau miosis ipsilateral, atau kesadaran gelisah atau agitasi. Cluster headache
episodik didefinisikan sebagai setidak-tidaknya terdapat dua periode cluster yang
berlangsung tujuh sampai 365 hari dan dipisahkan periode remisi bebas nyeri selama satu
bulan atau lebih. Sedangkan cluster headache kronis adalah serangan yang kambuh lebih dari
satu tahun tanpa periode remisi atau dengan periode remisi yang berlangsung kurang dari satu
bulan.
28
Gambar 2.3 Lokasi nyeri pada Cluster headache
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan medis terhadap cluster headache dapat dibagi ke dalam pengobatan
terhadap serangan akut, dan pengobatan preventif, yang bertujuan untuk menekan serangan.
Pengobatan akut dan preventif dimulai secara bersamaan saat periode awal cluster. Pilihan
pengobatan pembedahan yang terbaru dan neurostimulasi telah menggantikan pendekatan
pengobatan yang bersifat merugikan.
Pengobatan Serangan Akut
Serangan cluster headache biasanya singkat, dari 30 sampai 180 menit, sering
memberat secara cepat, sehingga membutuhkan pengobatan awal yang cepat. Penggunaan
obat sakit kepala yang berlebihan sering didapatkan pada pasien-pasien cluster headache,
biasanya bila mereka pernah memiliki riwayat menderita migren atau mempunyai riwayat
keluarga yang menderita migren, dan saat pengobatan yang diberikan sangat tidak efektif
pada serangan akut, seperti triptan oral, acetaminofen dan analgetik agonis reseptor opiate.
Oksigen: inhalasi oksigen, kadar 100% sebanyak 10-12 liter/menit selama 15 menit
sangat efektif, dan merupakan pengobatan yang aman untuk cluster headache akut.
Triptan: Sumatriptan 6 mg subkutan, sumatriptan 20 mg intranasal, dan zolmitriptan 5
mg intranasal efektif pada pengobatan akut cluster headache. Tiga dosis zolmitriptan
dalam dua puluh empat jam bisa diterima. Tidak terdapat bukti yang mendukung
penggunaan triptan oral pada cluster headache.
29
Dihidroergotamin 1 mg intramuskular efektif dalam menghilangkan serangan akut
cluster headache. Cara intranasal terlihat kurang efektif, walaupun beberapa pasien
bermanfaat menggunakan cara tersebut.
Lidokain: tetes hidung topikal lidokain dapat digunakan untuk mengobati serangan
akut cluster headache. Pasien tidur telentang dengan kepala dimiringkan ke belakang
ke arah lantai 30° dan beralih ke sisi sakit kepala. Tetes nasal dapat digunakan dan
dosisnya 1 ml lidokain 4% yang dapat diulang setekah 15 menit.
Pengobatan Pencegahan
Pilihan pengobatan pencegahan pada cluster headache ditentukan oleh lamanya
serangan, bukan oleh jenis episodik atau kronis. Preventif dianggap jangka pendek, atau
jangka panjang, berdasarkan pada seberapa cepat efeknya dan berapa lama dapat digunakan
dengan aman. Bnayak ahli sekarang ini mengajukan verapamil sebagai pilihan pengobatan
lini pertama, walaupun pada beberapa pasien dengan serangan yang singkat hanya perlu
kortikosteroid oral atau injeksi nervus oksipital mungkin lebih tepat.
Verapamil lebih efektif dibandingkan dengan placebo dan lebih baik dibandingkan
dengan lithium. Praktek klinis jelas mendukung penggunaan dosis verapamil yang
relatif lebih tinggi pada cluster headache, tentu lebih tinggi dari pada dosis yang
digunakan untuk indikasi kardiologi. Setelah dilakukan pemeriksaan EKG, pasien
memulai dosis 80 mg tiga kali sehari, dosis harian akan ditingkatkan secara bertahap
dari 80 mg setiap 10-14 hari. Pemeriksaan EKG dilakukan setiap kenaikan dosis dan
paling kurang sepuluh hari setelah dosis berubah. Dosis ditingkatkan sampai serangan
cluster menghilang, efek samping atau dosis maksimum sebesar 960 mg perhari. Efek
samping termasuk konstipasi dan pembengkakan kaki dan hiperplasia ginggiva
(pasien harus terus memantau kebersihan giginya).
Kortikosteroid dalam bentuk prednison 1 mg/kg sampai 60 mg selama empat hari
yang diturunkan bertahap selama tiga minggu diterima sebagai pendekatan
pengobatan perventif jangka pendek. Pengobatan ini sering menghentikan periode
cluster, dan dapat digunakan tidak lebih dari sekali setahun untuk menghindari
nekrosis aseptik.
Lithium karbonat terutama digunakan untuk cluster headache kronik karena efek
sampingnya, walaupun kadang digunakan dalam berbagai episode. Biasanya dosis
lithium sebesar 600 mg sampai 900 per-hari dalam dosis terbagi. Kadar lithium harus
diperiksa dalam minggu pertama dan secara periodik setelahnya dengan target kadar
serum sebesar 0,4 sampai 0,8 mEq/L. Efek neurotoksik termasuk tremor, letargis,
30
bicara cadel, penglihatan kabur, bingung, nystagmus, ataksia, tanda-tanda
ekstrapiramidal, dan kejang. Penggunaan bersama dengan diuretik yang mengurangi
natrium harus dihindari, karena dapat mengakibatkan kadar lithium meningkat dan
neurotoksik. Efek jangka panjang seperti hipotiroidisme dan komplikasi renal harus
dipantau pada pasien yang menggunakan lithium untuk jangka waktu yang lama.
Peningkatan leukosit polimorfonuklear adalah reaksi yang timbul karena penggunaan
lithium dan sering salah arti akan adanya infeksi yang tersembunyi. Penggunaan
bersama dengan indometasin dapat meningkatkan kadar lithium.
Topiramat digunakan untuk mencegah serangan cluster headache. Dosis biasanya
adalah 100-200 mg perhari, dengan efek samping yang sama seperti penggunaannya
pada migraine.
Melatonin dapat membantu cluster headache sebagai preventif dan salah satu
penelitian terkontrol menunjukan lebih baik dibandingkan placebo. Dosis biasa yang
digunakan adalah 9 mg perhari.
Obat-obat pencegahan lainnya termasuk gabapentin (sampai 3600 perhari) dan
methysergide (3 sampai 12 mg perhari). Methysergide tidak tersedia dengan mudah,
dan tidak boleh dipakai secara terus-menerus dalam pengobatan untuk menghindari
komplikasi fibrosis. Divalproex tidak efektif untuk pengobatan cluster headache.
Injeksi pada saraf oksipital: Injeksi metilprednisolon (80 mg) dengan lidokain ke
dalam area sekitar nervus oksipital terbesar ipsilateral sampai ke lokasi serangan
mengakibatkan perbaikan selama 5 sampai 73 hari. Pendekatan ini sangat membantu
pada serangan yang singkat dan untuk mengurangi nyeri keseluruhan pada serangan
yang memanjang dan pada cluster headache kronis.
Pendekatan Bedah: Pendekatan bedah modern pada cluster headache didominasi oleh
stimulasi otak dalam pada area hipotalamus posterior grey matter dan stimulasi nervus
oksipital. Tidak terdapat tempat yang jelas untuk tindakan destruktif, seperti
termoregulasi ganglion trigeminal atau pangkal sensorik nervus trigeminus.
31
BAB IV
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Jadi pasien pada skenario mengalami migrain dengan aura, dapat dilihat dari gejala
nyeri kepala yang dirasakan berdenyut terutama di kepala sebelah kiri, lama nyeri kurang
lebih 30 menit, nyeri kepala didahului seperti melihat kilatan cahaya kurang lebih selama 5
menit. Nyeri berkurang dengan beristirahat dan tidur. Nyeri kepala timbul dan bertambah
bila mendengar suara bising dan melihat cahaya yang silau. Juga dirasakan semakin
bertambah bila melakukan aktivitas. Nyeri kepala dapat muncul sangat berat sampai
penderita muntah. Frekuensi dalam 1 hari lebih kurang 2 kali serangan dalam 1 bulan ini dan
diantara serangan pasien bebas dari nyeri kepala.
32
DAFTAR PUSTAKA
Anurogo, Dito (Neuroscience Departement, Brain and Circulation Institute of Indonesia
(BCII)).2014.”Tension Type Headache”. available from:
www.kalbemed.com/portals/6/07_214Tension%20Type%20Headache.pdf (accessed
24 april 2014)
Bahrudin, Moch. 2013.”Neurologi Klinis”.Edisi 1.Universitas Muhammadiyah Malang:
Malang
Dewanto, George. Dr, Sp.S, dkk. 2009. “Diagnosis & Tata Laksana Penyakit Saraf”. EGC :
Jakarta
Harsono. “Kapita Selekta Neurologi”. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta
Harsono. 2011.”Buku Ajar Neurologi Klinis”. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta
Marjono, Mahar & Sidharta, Priguna.2010. “Neurologi Klinis Dasar”. Dian Rakyat: Jakarta
Sidharta, Priguna.”Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum”. Dian Rakyat: Jakarta
33