sesudah masehi

16
Sesudah Masehi Perkembangan ilmu kedokteran forensik maju terutama di Eropa, dengan Justinian code (Kitab Justinian). Kitab tersebut digunakan dan diterapkan hingga kurang lebih abad ke-15, dimana Justinian code sudah ditinggalkan dan hanya menjadi barang peninggalan bersejarah saja. Memasuki abad ke-15, dimulailah era baru ilmu kedokteran forensik Eropa yang diambil dari dua kitab hukum Jerman yaitu pada tahun 1507 dari Bamberger code (Coda Bambergensis) dan pada tahun 1553 dari Caroline code (Constitutio Criminalis Carolina). Caroline code yang berdasarakan Bamberger code mengharuskan adanya kesaksian dari ahli medis pada setiap persidangan kasus pembunuhan, keracunan, luka, gantung diri, tenggelam pembunuhan terhadap bayi, aborsi dan setiap keadaan yang disertai perlukaan pada manusia. 1 Dari hasil itu semua negara-negara lainnya mulai mempermasalahkan penilaian hukum yang masih dipengaruhi oleh takhayul seperti Trial by Ordeal (salah atau tidak bersalah) ditentukan dengan cara menjalankan 1 Shafeek S. Sanbar, 2007, “Legal Medicine”, Ed 7 th , Elsevier Health Sciences, American College of Legal Medicine Textbook Committee, USA, hlm. 662.

Upload: andari

Post on 11-Dec-2015

31 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

lji

TRANSCRIPT

Sesudah Masehi

Perkembangan ilmu kedokteran forensik maju terutama di Eropa,

dengan Justinian code (Kitab Justinian). Kitab tersebut digunakan dan

diterapkan hingga kurang lebih abad ke-15, dimana Justinian code sudah

ditinggalkan dan hanya menjadi barang peninggalan bersejarah saja.

Memasuki abad ke-15, dimulailah era baru ilmu kedokteran forensik Eropa

yang diambil dari dua kitab hukum Jerman yaitu pada tahun 1507 dari

Bamberger code (Coda Bambergensis) dan pada tahun 1553 dari Caroline

code (Constitutio Criminalis Carolina). Caroline code yang berdasarakan

Bamberger code mengharuskan adanya kesaksian dari ahli medis pada

setiap  persidangan kasus pembunuhan, keracunan, luka, gantung diri,

tenggelam pembunuhan terhadap bayi, aborsi dan setiap keadaan yang

disertai perlukaan pada manusia.1 Dari hasil itu semua negara-negara

lainnya mulai mempermasalahkan penilaian hukum yang masih dipengaruhi

oleh takhayul seperti Trial by Ordeal (salah atau tidak bersalah) ditentukan

dengan cara menjalankan siksaan, jika tidak terluka atau luka yang ada cepat

sembuh dinyatakan tidak bersalah ).

1 Shafeek S. Sanbar, 2007, “Legal Medicine”, Ed 7th, Elsevier Health Sciences, American College of Legal Medicine Textbook Committee, USA, hlm. 662.

Gambar. Constitutio Criminalis Carolina (Sumber: http://tortury.blox.pl/2007/08/.html)

Perkembangan di benua Asia, terutama terjadi di Negara China.

Dimana masyarakat China menggunakan obat-obatan dan entomology untuk

mengungkapkan kasus-kasus kriminal yang ditemukan di sebuah buku

berjudul Xi Yuan Lu, pada masa Dinasti Song (1248) oleh Song Ci. Negara

China juga pertama kali menggunakan sidik jari sebagai salah satu

otentikasi dokumen bisnis. Xi Yuan Lu (Pembersihan Ketidakbenaran)

pengaruhnya masih dikenal hingga sekarang karena isinya yang sangat

komprehensif, dan merupakan acuan untuk melakukan prosedur-prosedur

penanganan kematian yang tidak wajar secara detail, dan menekankan  pada

langkah-langkah penting yang harus dilakukan dalam investigasi  secara

teliti. Ditambah lagi, pada buku ini juga dicantumkan kesulitan-kesulitan

pemeriksaan akibat pembusukan, luka palsu, luka antemortem, luka

postmortem, dan cara membedakan antara jasad yang ditenggelamkan

setelah dibunuh  atau mati karena tenggelam.  Penemuan buku ini adalah

aplikasi pertama yang tercatat pengetahuan medis untuk solusi kejahatan.2

Perkembangan ilmu kedokteran forensik berikutnya, kami

mengambil dari penemuan mengenai ilmu kimia, yakni seorang ahli kimia

dari Swedia bernama Karl Willhelm Scheele pada tahun 1775 berhasil

mendeteksi racun tersebut pada tubuh mayat, tetapi dalam konsentrasi yang

tinggi. Beberapa dekade setelahnya, ahli kimia dari Jerman bernama Rose

pada tahun 1806 berhasil menemukan cara yang lebih baik lagi.

2 Wecht C.H., The History of Legal Medicine. J Am Acad Psychiatry Law 33:245–51, 2005.

Gambar . Karl Willhelm Scheele (Sumber: www.britannica.com)

Namun, dari literatur yang kami temukan, percobaan terbesar

dilakukan oleh seorang ahli kimia Skotlandia bernama James Marsh ketika

Ia berhasil menemukan cara mengidentifikasi racun arsen sampai

seperseribu miligram, tepatnya yakni pada 1836, yang digunakan selama

percobaan pembunuhan. Hampir satu abad kemudian, pada tahun 1930,

ilmuwan Karl Landsteiner memenangkan Hadiah Nobel untuk

mengklasifikasikan darah manusia ke dalam berbagai kelompok tersebut.

Karyanya tersebut membuka jalan bagi penggunaan masa depan darah

dalam investigasi kriminal. Tes lain dikembangkan pada pertengahan 1900-

an untuk menganalisis air liur, air mani dan cairan tubuh lainnya serta untuk

membuat tes darah yang lebih tepat untuk kepentingan hukum.

Gambar . James Marsh (Sumber: forensicsciencebester.blogspot.com)

Pada awal tahun 1855, Ambroise Auguste Tardieu, ahli toksikologi

terkemuka di Perancis dan ahli medis forensik dari pertengahan abad ke-19,

pertama kali menarik perhatian mengenai keunggulan yang cukup besar

dengan studi definitif tentang korban sesak napas, mencatat perbedaan

patologis di antara mereka yang dihukum gantung dan di antara orang-orang

yang tercekik dari pencekikan, tekanan dada atau menyesakkan, dan

perdarahan petekie yang terjadi pada kematian asfiksia. Dia menemukan

bintik-bintik darah kecil yang terjadi di bawah pleura dan hati dengan

pencekikan yang cepat, yang Ia beri nama Ecchymosis Tardieu, kini biasa

disebut Tardieu’s Spots. Penemuan tersebut pertama kali dijelaskan oleh

Ambroise Auguste Tardieu di tahun 1859.3

Tardieu juga merupakan orang pertama yang menulis pada

pelecehan seksual anak, yang diklasifikasikan sebagai jenis serangan fisik.

Sindrom anak yang disiksa, sekarang diakui secara luas di dunia, yang juga

dikenal sebagai Sindrom Tardieu dalam rangka menghormati jasanya.4

3 Evans, C.,2004, “The second casebook of forensic detection”, Hoboken, NJ: John Wiley and Sons.4 Labbé, Jean., 2005, “Ambroise Tardieu: The man and his work on child maltreatment a century before Kempe. Child Abuse and Neglect”, hlm. 311–324.

Gambar. Ambroise Auguste Tardieu (Sumber: www.zeno.org)

Dalam perkembangan selanjutnya, ilmu kedokteran forensik

mengalami perkembangan yang pesat. Pada tahun 1863, Taylor dan Wilkes

menulis sebuah makalah tentang penentuan waktu sejak kematian dari

penurunan suhu tubuh, memperkenalkan banyak konsep saat ini. Diketahui

pula, pada tahun yang sama, mereka telah mencatat rata-rata penurunan

suhu tubuh pasca kematian, sehingga perkembangan ilmu pengetahuan

mengenai kematian mulai berkembang.5 Bukti lainnya yang kami dapatkan

ialah pada tahun 1880, Burman menggunakan grafik suhu untuk

menentukan waktu sejak kematian. Dalam catatan yang dibuat oleh Burman,

Ia menemukan bahwa pengukuran suhu di aksila menunjukkan penurunan

suhu paling cepat setelah kematian, hal tersebut diperkirakan karena suhu

aksila erat berkorelasi dengan kulit daripada inti temperatur.

Setelah penemuan Taylor dan Wilkes, Womack digunakan

matematika yang kompleks, termasuk kalkulus, yang melibatkan Hukum

5 Wilson, C., and Wilson, D. 2003. Written in blood: A history of forensic detection. New York: Carroll and Graf Publishers.

Newton pendinginan serta penggunaan massa tubuh dan luas permukaan.6 Ia

juga yang pertama menggunakan unit suhu dikonversi dari Fahrenheit ke

Celcius dan juga mengakui efek tubuh meliputi metode

thanatochronometry. Selanjutnya, pada tahun 1955 De Saram berusaha

untuk mengukur, melalui rumus matematika, hilangnya panas dari tubuh

oleh radiasi termal, konveksi termal dan termal konduksi, dengan mengukur

efek dari suhu lingkungan, kelembaban udara, permukaan daerah,

penguapan dan lain-lain pada tingkat post-mortem pendinginan dari 41

tahanan yang dieksekusi. Ia juga menggunakan pengukuran suhu rektal yang

diambil pada kedalaman 3 sampai 4 inci (7.62cm ke 10.16cm).

Penemuan selanjutnya yang masih berkaitan yakni pada tahun 1959,

Fiddes dan Patten memperkenalkan metode persentase, di mana mereka

membangun kurva eksponensial yang menjadi linear ketika diplot pada

grafik algoritmik. Mereka mengamati tingkat pendinginan dari 1,5° F

selama 12 jam pertama, memiliki berbagai variasi hingga 70% di kedua sisi.

Mereka menyatakan bahwa faktor eksternal seperti pakaian yang

membungkus tubuh dan suhu lingkungan memiliki pengaruh untuk proses

penurunan suhu dan untuk pertama kalinya, menggunakan model silinder

panjang tak terbatas untuk menjelaskan post-mortem pendinginan. Pada

tahun 1965, Shapiro adalah penulis pertama yang menggunakan istilah

“post-mortem penurunan suhu” untuk mengacu pada tingkat awal yang

lambat inti pendinginan, yang saat ini terdapat pada praktek.

Perkembangan ilmu forensik selanjutnya, tercatat pertama kali pada

abad ke 19 di Perancis Josep Bonaventura Orfila pada suatu pengadilan

dengan percobaan keracunan pada hewan dan dengan buku toksikologinya

dapat meyakinkan hakim, sehingga menghilangkan anggapan bahwa

kematian akibat keracunan disebabkan oleh mistik.7

6 F. Womack, 1887, “The rate of body cooling after death”, St Barts Hosp. Rep., hlm. 193.

Gambar . Josep Bonaventura (Sumber: www.britannia.com)

Pada pertengahan abad ke 19, pertama kali ilmu kimia, mikroskopi,

dan fotografi dimanfaatkan dalam penyidikan kasus kriminal.8 Revolusi ini

merupakan gambaran tanggungjawab dari petugas penyidik dalam

penegakan hukum.

Perkembangan terus berlanjut, ilmu forensik mulai digunakan untuk

mengungkapkan kasus-kasus kriminal. Ada sekitar 100 negara di dunia ini

yang menggunakan sidik jari sebagai alat penyelidikan forensik. Sidik jari

masih dianggap alat paling akurat untuk mengidentifikasi pelaku kejahatan.

Bentuk sidik jari setiap manusia memang sangat khas.  Di dunia ini tidak

ada dua manusia yang sidik jarinya sama. Semua sidik jari manusia berbeda.

Perubahan fisik manusia, ternyata tidak mengubah sidik jarinya. 

Dalam penyelidikan forensik modern, sidik jari mulai digunakan

tahun 1915, bersamaan dengan dibentuknya International Association

for Identification (IAI). Kemudian di tahun 1977 IAI mulai memberlakukan

standar sertifikasi untuk para penguji sidik jari. Sebelum tahun 1800-an,

lembaga penegak hukum menggunakan memori tampilan visual untuk

7 Gonzales, T.A., M. Vance dan M. Klepern. Legal Medicine and Toxicology. New York: D. Appleton, Century, 1937.8 Eckert, W.G., 1980, Introduction to Forensic Sciences, The C.V. Mosby Company, St.

Louis, Missori.

mengidentifikasi pelaku kejahatan. Namun ternyata cara ini tidak efektif,

karena tampilan visual seseorang bisa dengan mudah diubah.

Sekitar tahun 1870, antropolog asal Prancis, Alphonse Bertillon

mendorong penggunaan sistem identifikasi berdasar ciri khas tulang organ

tubuh tertentu. Sistem ini lebih masuk akal karena tulang khas seseorang

juga tidak mudah untuk diubah.

Gambar. Alphonse Bertillon (Sumber:

http://ilmuta.weebly.com/crime-investigation/fingerprint)

Selang kurang lebih 20 tahun setelahnya, yakni pada tahun 1892, Sir

Francis Galton, seorang Antropolog Inggris dan sepupu dari Charles

Darwin, menerbitkan  buku pertama tentang sidik jari. Dalam bukunya,

Galton mengidentifikasi individualitas dan keunikan  sidik jari. Ia juga

mendirikan sistem pertama untuk mengklasifikasikan sidik jari.

Karakteristik unik dari sidik jari, seperti yang diidentifikasi oleh Galton,

akan  resmi menjadi dikenal sebagai hal-hal kecil, namun mereka kadang-

kadang masih disebut sebagai  "Galton Detail". Empat tahun kemudian, Sir

Edward Henry, Komisaris Kepolisian Metropolitan London,

mengembangkan sistem sendiri pada tahun 1896 berdasarkan arah, aliran,

pola dan karakteristik lain di sidik jari. Sejak saat itu, klasifikasi “The

Henry” menjadi standar untuk teknik fingerprinting atau penyelidikan sidik

jari pada kasus kriminal di seluruh dunia.9

Pada tahun yang sama (1986), Juan Vucetich membuat identifikasi

sidik jari kriminal pertama. Ia mampu mengidentifikasi  bekas tangan dari

seorang wanita yang membunuh dua putranya dan memotong

tenggorokannya sendiri dalam upaya  untuk menyalahkan orang lain. Bekas

darah  yang tersisa di pos pintu, membuktikan  identitasnya sebagai

pembunuh. 10

Gambar. Juan Vucetich (Sumber: www.entrelineas.info)

Perkembengan di bidang lain yang menunjang ilmu forensik itu

sendiri yakni pada pertengahan abad ke 19, pertama kali ilmu kimia,

mikroskopi, dan fotografi dimanfaatkan dalam penyidikan kasus kriminal.11

Revolusi ini merupakan gambaran tanggungjawab dari petugas penyidik

dalam penegakan hukum. Alphonse Bertillon (1853-1914) adalah seorang

ilmuwan yang pertamakali secara sistematis meneliti ukuran tubuh manusia

sebagai parameter dalam personal indentifikasi. Sampai awal 1900-an

9 Gross, Hans. Criminal Investigations: A Practical Handbook for Magistrates, Police Officers and Lawyers. Diterjemahkan oleh John Adam dan J. Collyer Adam. London: The Specialist Press, 1907.

10 Shafeek S. Sanbar, op.cit. hlm. 445-44711 Eckert, W.G., 1980, Introduction to Forensic Sciences, The C.V. Mosby Company, St.

Louis, Missori.

metode dari Bertillon sangat ampuh digunakan pada personal indentifikasi.

Bertillon dikenal sebagai bapak identifikasi kriminal (criminal

identification).

Gambar . Alphonse Bertillon (Sumber: www.britannia.com)

Dalam perkembangan selanjutnya semakin banyak bidang ilmu yang

dilibatkan atau dimanfaatkan dalam penyidikan suatu kasus kriminal untuk

kepentingan hukum dan keadilan. Ilmu pengetahuan tersebut sering dikenal

dengan Ilmu Forensik. Pada tahun 1835 , Scotland Yard Henry Goddard

menjadi orang pertama yang menggunakan analisis fisika untuk

menghubungkan peluru untuk senjata pembunuhan. Pemeriksaan Bullet

menjadi lebih tepat pada tahun 1920 , ketika dokter Amerika Calvin

Goddard menciptakan mikroskop perbandingan untuk membantu

menentukan peluru yang berasal dari selongsong peluru. Selanjutnya, pada

tahun 1970, sebuah tim ilmuwan di Aerospace Corporation di California

mengembangkan metode untuk mendeteksi residu tembakan menggunakan

pemindaian mikroskop elektron.

Dokter berkebangsaan Italia, Fortunatus Fidelis, diakui sebagai

orang pertama untuk praktek kedokteran forensik modern. Dimana mulai

pada tahun 1598, Ia yang menyatakan kedokteran forensik adalah penerapan

pengetahuan medis untuk pertanyaan hukum. Ini menjadi cabang diakui

kedokteran di awal abad ke-19.

Pada tahun 1900, Spesialis Forensik awal adalah otodidak. Tidak ada

sekolah khusus, program universitas atau pelatihan formal. Pembentukan

kurikulum ilmu forensik pada tahun 1902 di Swiss oleh Profesor RA Reiss

yang bekerja di University of Lausanne, merupakan salah satu langkah

pertama menuju pembentukan ilmu forensik sebagai disiplin akademis.

Tidak sampai awal tahun 1930-an, bahwa Universitas mulai menawarkan

kursus dan gelar dalam ilmu hukum pidana dan ilmu kepolisian. Pada tahun

1950, University of California di Berkeley mendirikan salah satu

departemen akademik pertama kriminologi atau ilmu hukum pidana, dan

American Academy of Forensic Science (AAFS) dibentuk di Chicago.  

Dengan semua teknik forensik baru yang muncul di awal abad ke-20,

penegak hukum menemukan bahwa dibutuhkan tim khusus untuk

menganalisa bukti yang ditemukan di TKP. Untuk itu, Edmond Locard,

seorang profesor di University of Lyons, mendirikan laboratorium kriminal

polisi pertama di Perancis pada tahun 1910 . Untuk kepeloporannya dalam

kriminologi forensik, Locard dikenal sebagai ”Sherlock Holmes Perancis.“

Agustus Vollmer, Kepala Kepolisian Los Angeles, mendirikan laboratorium

kriminal polisi Amerika pertama pada tahun 1924. Ketika Federal Bureau of

Investigation (FBI) pertama kali didirikan pada tahun 1908, tidak memiliki

laboratorium kriminal forensik sendiri yang tidak diatur sampai tahun

1932.12

12 Eric Staufer, MS., 2004, “Dr. Edmond Locard and Trace Evidence Analysis In Criminalistics In The Early 1900s: How Forensic Sciences Revolve Around Trace Evidence”, USA.