serial: boma gendenk...empat orang anak muda berhenti di depan si kakek. salah seorang diantara...

133

Upload: others

Post on 23-Feb-2020

8 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

SERIAL: "BOMA GENDENK"

JUDUL: TOPAN DI BOROBUDUR

Oleh: BASTIAN TITO

HAK CIPTA DAN COPY RIGHT

PADA BASTIAN TITO

DIBAWAH LINDUNGAN UNDANG-UNDANG

Diterbitkan pertama kali Tahun 1997

oleh Penerbit Duta Media, Jakarta

P.O. BOX. NO. A226/JKTJ/13342

Foto cover Depan: Orly Velli Valentine

Vino Giovanni

Dilarang keras memfotokopi atau memperba-nyak sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit.

1 SHOPPING NYAWA

SABTU sore. Di bawah tangga Hard Rock Cafe di gedung Sarinah, di atas sebuah drum plastik, seorang kakek berpakaian kumal duduk memperhatikan keadaan sekitarnya. Terkadang dia terkagum-kagum melihat mobil bagus lewat di depannya. Sesekali dia tersenyum memperhatikan pasangan muda-mudi yang jalan sambil berang-kulan mesra seolah takut roboh ditiup angin yang sore itu memang bertiup agak kencang. Di pang-kuannya ada sebuah kerincingan sedang di ping-gang tergantung sebuah gendang kecil. Dekat ka-kinya yang memakai sendal butut ada sebuah payung kecil, terbuat dari kertas. Sampai hari mulai gelap kakek bermuka cekung keriput, mata belok dan hidung pesek itu masih duduk di tem-pat itu.

Empat orang anak muda berhenti di depan si kakek. Salah seorang diantara mereka yang mengenakan T-shirt merah darah dan blujins yang salah satu lututnya sengaja dirobek, berna-ma Aming, sambil menunjuk pada si kakek ber-kata iseng.

"Wah, ni die orangnya mahluk langka yang bakal jadi bintang tamu di cafe nanti malam."

Teman-teman Aming tertawa gelak-gelak. Si kakek yang duduk di atas drum plastik terse-

nyum monyong hingga deretan giginya yang ton-gos seperti mau melompat keluar.

"Wah, giginya ngetril lu!" kata Aming dan kembali membuat tiga temannya tertawa.

"Ming, kalau lu bilang mahluk langka, musti dilestarikan dong!" Teman Aming yang me-makai jaket biru gelap berkata sambil letakkan tangan kirinya di bahu Aming.

"Dilestarikan gua rasa kurang tepat. Co-coknya diawetkan!" kata Aming pula.

Kembali anak-anak muda itu tertawa ge-lak-gelak. Sementara si kakek sendiri tetap duduk tenang di atas drum plastik biru.

"Kek, kayaknya biasa ngamen ya?" Aming bicara lagi sambil bertolak pinggang.

"Ya, namanya olang cali lejeki. Asal halal" kakek yang ditanya menjawab sambil nyengir.

Ternyata si kakek cadel, tidak bisa menye-but huruf R.

"Wah, tau-tauan halal en haram segala," anak lelaki di ujung kanan berkata. "Bos tua, tau nggak! Jaman sekarang yang haram aja susah apa lagi yang halal."

Dua alis mata si kakek naik ke atas. Mu-lutnya yang tonggos sungingkan senyum.

"Bisanya nyanyi apaan aja Bos?" Aming bertanya lagi.

"Lock bisa, countly hayo, dangdut jangan ditanya. Keloncong gecel. Kasidahan juga nggak nampik..." Habis berkata si kakek tertawa sendiri cekikikan.

Empat anak muda di depannya ikutan ter-tawa. "Kek, dari pada duduk di sini ngerusak pe-mandangan, nih aku kasih duit seceng. Pergi dari sini." Aming, anak muda berkaos merah lempar-kan selembar uang ribuan ke pangkuan si kakek lalu sambil tertawa-tawa ajak teman-temannya tinggalkan tempat itu.

Kakek bermata belok bergigi tonggos perha-tikan uang ribuan di pangkuannya, melirik pada rombongan empat anak muda yang saat itu ten-gah berjalan menuju tangga gedung Sarinah di samping McDonald's. Uang kertas ribuan diam-bilnya. Sambil bersiul-siul kecil dia menggulung uang kertas itu lalu sekali tangan kanannya ber-gerak set! Hampir tidak kelihatan saking cepatnya gulungan uang kertas seribu perak itu melesat ke arah tangga gedung Sarinah.

"Aduh!" Aming yang saat itu tengah menaiki tangga

menjerit keras. Kaki kanannya seperti ditendang lalu ambruk. Tubuhnya menyusul berlutut. Kalau tidak dipegangi teman-temannya pasti jatuh di tangga.

"Eh, Ming, lu kenapa?" salah seorang telah bertanya.

"Kaki gua... Kayak ada yang nendang." Am-ing menjawab sambil pegangi betisnya. Tangan-nya menyentuh sesuatu, Ada sebuah benda me-nancap dl kaki kanan celana jinsnya. Gulungan kertas. Ketika gulungan itu diambil dan dibu-kanya ternyata selembar uang ribuan. "Ini duit...."

Aming jadi pucat. Dia memandang ke arah tangga Hard Rock Cafe. Drum plastik itu masih disana. Tapi kakek berpakaian kumal yang membawa gendang dan kerincingan serta payung tak ada la-gi di tempat itu. Aming merasa tengkuknya din-gin. Tiga temannya terheran-heran bercampur ta-kut.

"Jangan-jangan kakek tadi setan penghuni gedung," ucap Aming dengan suara gemetar.

"Gue memang pernah dengar cerita," teman Aming yang memakai jaket menyahut. "Dulu wak-tu gedung Sarinah dibangun, pernah ada buruh bangunan yang celaka. Jatuh dari tingkat atas. Mati. Mungkin kakek tadi setan buruh bangunan itu..."

Sementara empat anak muda itu cepat-cepat masuk ke dalam gedung dengan perasaan takut, di tangga penyeberangan di depan gedung Sarinah kakek mata belok bermulut tonggos ber-jalan tertawa-tawa. Sesekali dia menoleh ke arah empat orang anak muda itu. Celananya yang gombrong kebesaran merosot ke bawah hingga sebagian pantatnya yang hitam tersingkap. Kakek ini tertawa geli ketika melihat Aming di kejauhan sana melangkah terpincang-pincang.

Tawa geli orang tua ini terhenti ketika mendadak di depannya tahu-tahu telah berdiri seorang yang dari sikapnya jelas-jelas sengaja menghadang si kakek.

Orang ini mengenakan celana dan pakaian hitam. Pada bagian dada bajunya terpampang

gambar gunung berwarna biru dengan latar bela-kang sinar matahari berwarna merah. Di pung-gungnya orang ini mengenakan sehelai mantel yang juga berwarna hitam. Si kakek angkat kepa-lanya memandang wajah orang di hadapannya. Orang ini ternyata seorang pemuda berambut hi-tam tebal, rahang menonjol kokoh. Di keningnya yang tinggi melilit sehelai kain berwarna merah. Di bawah kening sepasang mata menatap dingin dan angker. Dia berdiri sambil mulutnya melahap paha fried chicken.

Walau tidak ada rasa takut di hati si ka-kek, namun wajah tua bermata belok itu serta merta berubah begitu dia mengenali siapa adanya pemuda tinggi kekar di hadapannya.

"Kau...." ucap si kakek. "Ya, aku!" ujar si pemuda. Suaranya tak

enak di dengar karena dia bicara sambil mengu-nyah makanan. Tangan kiri bertolak pinggang. Tangan kanan memegang potongan besar paha ayam. Sepasang kaki tegak mengembang. Seringai bermain di mulutnya. Lalu dia dongakkan kepala, tertawa bergelak. Serpihan paha ayam bermun-cratan dari mulutnya.

Dua orang pelintas jembatan yang kebetu-lan lewat sama terheran-heran melihat dua orang berpenampilan aneh itu. Mula-mula mereka ber-henti ingin tahu siapa adanya dua orang itu dan apa yang tengah terjadi. Tapi salah seorang dari keduanya merasa ada yang tidak beres, cepat-cepat menarik tangan temannya.

"Orang gila. Ayo Pin. Jangan cari urusan..." Temannya mengiyakan. "Bisa juga pura-

pura gila. Begitu kita lengah tahu-tahu ngejamb-ret atau nodong."

Kedua orang pelintas jembatan cepat-cepat melangkah pergi.

"Pangelan Matahali..." kakek di atas jemba-tan penyeberang menyebut nama.

Kembali pemuda di hadapannya tertawa gelak. "Betul sekali! Aku memang Pangelan Mata-hali." Si pemuda sengaja ikutan bicara cadel me-nirukan si kakek. "Dan aku datang tidak sendiri." Dengan potongan paha ayam yang kini hampir tinggal tulang pemuda berpakaian serba hitam itu menunjuk ke belakang. Si kakek melirik. Di bela-kang sana, dekat ujung jembatan penyeberangan, bersandar ke tiang besi tegak seorang kakek bungkuk, berpakaian rombeng, berwajah seputih kain kafan. Dua matanya yang sangat cekung menatap menggidikkan ke arah kakek yang tegak di depan pemuda berpakaian serba hitam. Kalau pemuda ini adalah Pangeran Matahari maka ka-kek di ujung jembatan sana mudah diterka siapa adanya. Yakni bukan lain Si Muka Bangkai alias Si Muka Mayat, guru Pangeran Matahari.

"Ah...." kakek mata belok yang membawa gendang, payung dan kerincingan membuka mu-lut menyeringai lalu berkata. "Gulu dan mulid muncul belsama. Ada apa? Apa lagi mau shop-ping ke Salinah? Banyak duit ni ye? Ha...ha...ha!"

"Pelawak Sinting! tua bangka geblek! Mah-

luk kesasar dari alam Setan!" bentak Pangeran Matahari mulai marah. "Sudah mau mampus ma-sih bicara edan! Aku memang mau shopping. Mau belanja. Belanja nyawamu!"

"Mampus? Siapa yang mampus? Aku? Ha...ha...ha!" Si kakek yang ternyata adalah Pela-wak Sinting tertawa mengekeh lalu goyangkan ke-rincingan di tangan kirinya hingga mengeluarkan suara keras nyaring, menusuk liang telinga. Pan-geran Matahari dan juga Si Muka Bangkai di-ujung jembatan sampai tekap telinga masing-masing, kerahkan tenaga dalam untuk menolak getaran suara yang menyengat.

"Soal mampus bagi aku yang sudah tua bangka begini adalah soal sepele. Bagaimana ka-lau kau yang masih muda sepeltimu telnyata nan-ti mampus duluan?!" Si Pelawak Sinting kembali tertawa gelak-gelak dan goyangkan kerincingan di tangan kirinya. (Siapa adanya Pelawak Sinting bi-sa dibaca dalam kisah petualangan Wiro di Negeri Latanahsilam terdiri dari 18 episode, khususnya Episode berjudul Hantu Tangan Empat)

Rahang Pangeran Matahari menggembung. Pelipisnya bergerak-gerak.

"Tua bangka sinting, kalau kau sendiri menganggap nyawamu sesuatu yang sepele, apa lagi aku! Kau tidak lebih berharga dari ikan lele dalam comberan! Gara-gara kau mencuri Batu Penyusup Batin kau membuat aku dan guruku, bahkan nenek guruku jadi susah!" (Kisah bagai-mana Si Pelawak Sinting Mencuri Batu Penyusup

Batin bisa dibaca dalam serial Boma Gendenk Ep-isode sebelumnya berjudul Tripping). "Walah, cu-ma batu butut palsu saja mengapa halus dili-butkan? Kalau kau mau batu, aku bisa belikan. Besal-besal malah. Kau mau belapa? Tinggal am-bil. Itu di sebelah sana!"

Si kakek menunjuk kearah jalan raya di-mana bertumpukan batu-batu kali besar untuk proyek perbaikan jalan.

"Setan alas! Berani mempermainkan!" Ru-tuk Pangeran Matahari. Paha ayam yang tinggal tulang di tangan kanannya dibantingkan ke lantai jembatan penyeberangan. Tulang ayam itu am-blas padahal lantai jembatan terbuat dari besi tebal. Kekuatan tenaga dalam sang Pangeran sungguh luar biasa, diam-diam membuat Si Pela-wak Sinting tergetar juga hatinya.

Di ujung jembatan penyeberang Si Muka Bangkai menyumpah-nyumpah seorang diri. Ti-dak sabaran kakek muka pucat ini berteriak pada muridnya.

"Pangeran! Tunggu apa lagi! Lekas habisi tua angka sinting itu!" Mendengar perintah gu-runya, Pangeran Matahari keluarkan suara meng-gembor lalu sekali menerjang dia kirimkan satu tendangan ke arah dada si Pelawak Sinting. Jan-gankan dada orang tua yang kurus tipis. Tembok sekalipun pasti akan jebol dilanda tendangan itu!

2 BARU TAHU DIA

HARI Sabtu pagi. Lapangan atletik itu di-penuhi oleh pelajar Kelas II-9 SMU Nusantara III. Di pinggir lapangan Pak Sanyoto Guru Olahraga meniup peluit, memberi tanda pada semua pelajar agar berkumpul untuk diabsen. Ketika nama Bo-ma Tri Sumitro dipanggil, anak itu tidak ada.

"Dasar anak pemalas. Pasti terlambat lagi." Pak Sanyoto berkata menyatakan kekesalan.

Ronny Celepuk, Vino, Firman, Andi, Rio dan Gita Parwati memandang berkeliling, menca-ri-cari.

"Git, kamu tau kemana 'tu anak gendenk?" tanya Ronny berbisik pada Gita yang berdiri di sampingnya.

"Barusan ada. Tau-tau ngilang. Jangan-jangan kabur. Bolos. Tapi kok ya berani banget" Jawab si gemuk Gita.

"Heran juga" kata Sulastri yang berdiri de-kat Pak Sanyoto dan oleh teman-temannya di-panggil Si Centil. "Tadi ada Pak. Kok sekarang nggak nongol."

"Kalau memang ada, dipanggil ya pasti nyahut! Muncul!" kata Pak Sanyoto pula masih kesal. "Sudah, kalian semua masuk ke lapangan. Yang latihan lari siap-siap di track." Lalu Pak Sa-nyoto melangkah ke tempat latihan lompat jauh. Saat itulah Boma muncul, setengah berlari. Pak

Sanyoto hentikan langkah. Memandang pada Bo-ma dengan mata besar berkilat.

"Dari mana kamu?!" Guru Olah Raga itu bertanya dengan suara keras dan kasar.

Sulastri, Si Centil yang berdiri tak jauh dari situ berbisik pada Gita dan Ronny.

"Wah, gawat deh. Kelihatannya Si Umar itu benci banget sama Boma."

Gita diam saja. Ronny juga diam. Tapi anak ini tahu bencinya Pak Sanyoto pada Boma bukan gara-gara soal absen pagi itu. Guru Olah Raga ini menganggap Boma sebagai rivalnya sekaligus penghalang dirinya dalam mendekati Ibu Renata.

Nama Umar dikarang sendiri oleh Sulastri sebagai nama ejekan untuk Pak Sanyoto. Umar singkatan dari Untung Masih Ada Rambut. Ram-but di kepala guru Olah Raga itu memang tinggal sedikit, nyaris botak. Padahal usianya belum mencapai tiga puluh lima tahun.

"Maaf, Pak," jawab Boma. "Perut saya mules. Barusan dari belakang."

"Alasan. Kamu datang terlambat 'kan? Ka-mu memang malas. Saya tahu kamu tidak suka atletik! Tapi kalau main ben, tarik urat tarik sua-ra satu malam suntuk kamu layani! Kenapa ka-mu tidak jadi pengamen saja?!"

Telinga dan hati anak laki-laki itu terasa panas tapi Boma diam saja. Dia merasa tidak per-lu bicara banyak lagi. Dia sudah menerangkan apa adanya. Pak Sanyoto yang memang tidak su-ka pada Boma kembali keluarkan ucapan.

"Ini kali kedua kamu terlambat. Kali ke tiga kamu berbuat sama saya akan laporkan kamu pada Wali Kelas dan Kepala Sekolah!"

Boma masih diam. Dia ingat angka Olah Raga di rapornya waktu di kelas satu. Tidak per-nah beranjak dari angkat empat. Waktu naik ke kelas dua Boma dan juga banyak teman-temannya berharap mata pelajaran Olah Raga ti-dak diajar oleh Pak Sanyoto. Tapi harapan mereka tidak terkabul. Kenyataannya di kelas dua tetap saja Pak Sanyoto yang memegang mata pelajaran olah raga.

Diamnya Boma malah dianggap sebagai si-kap acuh oleh Pak Sanyoto.

"Sudah, kamu lari keliling lapangan lima kali!" Guru Olah Raga itu jatuhkan hukuman. Dia berpaling pada Ronny yang berdiri tidak jauh dari situ. "Awasi dia. Kalau nanti dia lari mengelilingi lapangan kurang dari lima kali, beri tahu saya." Pak Sanyoto meninggalkan tempat itu, melangkah ke tempat latihan lompat jauh.

Ronny mendekati Boma. "Kena lagi gua Ron." "Kamu sih. Waktu di absen nggak ada." "Kamu tau gua ude dateng dari pagi. Malah

duluan gua dari Si Umar. Tapi mendadak perut gua mules. Aku ke belakang dulu. Masa gua mau berak di lapangan! Gila kali! Nggak taunya dia ngabsen waktu gua lagi ke belakang." Boma me-nowel hidungnya. "Ini udah dua kali gua dikerjain sama dia. Dulu cuma tiga kali mutarin lapangan.

Sekarang lima kali. Dia memang nggak senang sama aku. Masa gara-gara begini aja aku musti lari keliling lapangan sampai lima kali."

"Mungkin ini gara-gara kejadian di rumah Ibu Renata seperti yang kamu ceritain itu..."

"Memang ada kejadian apa di rumah Ibu Renata?" Tiba-tiba saja si Centil Sulastri berdiri disamping Ronny dan bertanya.

"Ala, Si Centil. Kamu nggak usah tahu deh" jawab Ronny Celepuk. Sambil memegang bahu Sulastri Ronny berkata. "Temenin si Vino di tem-pat latihan lompat jauh. Katanya kamu naksir dia."

"Sorry ya. Enak azza. Siapa bilang gua naksir dia!" kata Sulastri ketus tapi kemudian tersenyum.

"Ala jangan gitu, bo! Semua temen-temen ngerestuin kok." kata Ronny.

"Au ah, elap!" Sulastri mencibir lalu pergi. Setelah Sulastri pergi Ronny mendatangi

Boma "Udah, lari sana Bom. Tiga kali aja. Nanti

gua bilang udah lima kali." Boma tersenyum, menowel hidungnya dua

kali. Setelah lebih dulu mengencangkan ikatan ta-li sepatunya anak ini mulai lari mengelilingi la-pangan. Larinya santai saja. Membuat Pak Sanyo-to yang diam-diam memperhatikan menjadi tam-bah kesal.

Pada akhir lari mengeliling lapangan yang ketiga kali, Ronny yang berdiri di tepi lapangan

mengangkat tangan. "Udah Bom. Cukup." "Baru tiga kali Ron." "Anggap aja udah lima. Nggak usah kawa-

tir. Biar aku yang lapor sama Si Umar." Sementara Boma duduk keletihan di tepi

lapangan Ronny Celepuk menemui Pak Sanyoto. Memberi tahu kalau Boma sudah lari lima kali mengelilingi lapangan.

"Sudan lima kali?" "Betul Pak. Sudah lima kali," jawab Ronny,

anak jangkung yang hidungnya mancung tapi bengkok seperti paruh burung.

"Panggil Boma. Kalian berdua datang ke si-ni." kata guru Olah Raga itu.

Ronny mendatangi Boma. "Bom, kamu dipanggil Si Umar." "Ngapain lagi?" "Nggak tau. Ayo..." Boma berdiri. Begitu dia dan Ronny sampai

di hadapan Pak Sanyoto, Guru Olah Raga ini per-lihatkan wajah asam.

"Saya tau kamu baru lari tiga kali. Jangan kira saya tidak memperhatikan. Kamu lari tiga kali lagi! Dan kamu..." Pak Sanyoto berpaling pa-da Ronny Celepuk. "Kau saya hukum lari mengeli-lingi lapangan enam kali! Lakukan!"

Boma menowel hidungnya. Ronny Celepuk menggaruk kepala. Sambil mulai berlari Boma berkata.

"Gua bilang apa Ron. Gara-gara ngebohong sekarang kamu juga ketiban sialnya!"

"Heran, kok Si Umar tahu kamu cuma lari tiga lapangan."

"Matanya kan ada empat!" jawab Boma. "Empat gimana? Ngacok aja kamu!" "Kamu nggak tau?" "Brengsek. Nafas gua mulai ngorong nih,"

kata Ronny yang baru lari dua pertiga lapangan. "Si Umar matanya memang empat. Dua di

kepala, dua di dengkul!" Kata Boma. Kedua anak itu lari sambil tertawa-tawa.

Sehabis lari enam kali mengelilingi lapang Ronny Celepuk jatuhkan diri di samping Boma. Hidung kembang kempis, dada turun naik dan nafasnya tersengal-sengal.

"Gila! Kondor gua Bom. Kayaknya gua nggak seperti nginjak tanah. Kaki gua rasanya hi-lang! Gila bener Si Umar itu."

"Dia dendam sama gua Ron. Pasti. Biar. Nanti gua kerjain dia" .

"Kamu jangan macam-macam lagi Bom. Nanti malah tambah ribet! Kamu tau. Pak Sanyoto tour leader ke Borobudur liburan bulan depan. Salah-salah nanti kamu bisa disuruh yang nggak-nggak" kata Ronny.

"Tenang Ron. Liat aja nanti." jawab Boma. Selesai latihan olahraga, masih ada waktu sepe-rempat jam sebelum anak-anak kembali ke seko-lah. Boma, Vino, Ronny, Firman, Andi, Ria serta Allan mangkal dulu di warung dawet dekat ge-dung latihan senam.

"Bom, katanya perut kamu mules. Kok mi-

num cendol sampai dua gelas?!" berkata Andi. "Buat ngedinginin emosi, tau dong." Yang

menjawab Vino. "Ee...ee liat. Si Umar mau pulang," Firman

memberi tahu. Semua anak berpaling ke tempat penitipan

motor. Saat itu Pak Sanyoto kelihatan tengah mengenakan helm lalu menghidupkan motor Honda Bebek tuannya. Tak lama kemudian dia sudah meluncur menuju pintu gerbang keluar.

"Sekarang gua kerjain dia!" Tiba-tiba Boma keluarkan ucapan. Sepasang mata anak ini me-mang tak berkesip, mengikuti sosok Pak Sanyoto. Mata itu kemudian dikedipkan tiga kali. Saat itu juga mendadak mesin motor yang dikendarai guru Olah Raga itu mati. Motor berhenti. Pak Sa-nyoto coba menghidupkan mesin motor kembali. Sampai beberapa kali dicoba mesin Honda Bebek itu tetap saja tak bisa dihidupkan. Pak Sanyoto membuka helmnya. Turun dari motor. Memerik-sa kendaraannya. Tapi tak berhasil menemukan dimana kerusakan motor itu.

Ronny dan semua anak-anak yang ada dis-itu saja tercengang melihat kehebatan Boma. Hanya dengan mengedipkan mata dia bisa mema-tikan mesin motor. Dan dari jarak sejauh itu!

"Ajie Gile lu Bom." kata Ronny. "Kamu punya ilmu apa Bom?" Tanya Andi.

"Pasti ilmu gaib dari nenek aneh yang kau cerita-kan itu." Ujar Vino.

"Sekarang baru tau dia" Kata Boma sambil

menowel hidungnya. "Teman-teman ayo kita per-gi. Lewat pintu belakang."

Setelah membayar cendol anak-anak kelas II-9 itu meninggalkan lapangan atletik lewat pintu belakang stadion atletik.

Sampai di sekolah Ronny dan teman-temannya yang masih penasaran bertanya pada Boma.

"Bom, kamu apain sih motornya Si Umar?" tanya Ronny.

"Bom, kamu beneran punya ilmu ya?" tanya Vino.

"Wah, kamu bisa jadi paranormal Bom" ucap Rio.

"Dukun kali." Menimpali Andi. Yang ditanya cuma senyum-senyum. Me-

nowel hidungnya. Lalu menjawab. "Ilmu apa-an? Paranormal apa-an? Orang

selang bensin Honda Bebek butut itu gua sumpel sama tanah lempung!"

Semua anak melongo. Lalu semua mulut tertawa riuh.

"Gendenk kau Bom!" kata Rio. "Gila benar!" Kata Ronny. "Ajie Busyet. Bukan gila benar. Tapi ini si

memang bener-bener gila!" Sambung Vino. Tawa riuh memenuhi kelas II-9.

3 DENDAM PANGERAN MATAHARI

KEMBALI ke jembatan penyeberangan di

depan gedung Sarinah. Ketika melihat Pangeran Matahari lancarkan serangan berupa tendangan maut ke dada, si Pelawak Sinting goyangkan ke-rincingan di tangan kirinya lalu melompat ke samping. Punggungnya menabrak pagar besi. Se-perti membalik tubuh kakek ini mental ke depan. Bersamaan dengan itu dia hantamkan kerincin-gannya ke kaki kanan lawan yang menendang tempat kosong.

Walau cuma sebuah kerincingan kaleng, tapi di tangan kakek seperti Si Pelawak Sinting benda itu bisa berubah menjadi senjata sangat berbahaya. Pangeran Matahari cepat tarik kaki kanannya. Dengan mengandalkan daya lenting pada kaki kiri murid Si Muka Bangkai ini melom-pat ke atas. Bergayut pada palang besi pengaman jembatan lalu melayang turun sambil lancarkan tendangan berantai dengan dua kaki, luar biasa cepat dan hebatnya.

Pelawak Sinting yang tahu bahaya segera melompat tiga langkah ke belakang. Tangan kiri yang memegang kerincing diangkat ke atas untuk melindungi kepala. Tangan kanan yang meme-gang kayu kecil penabuh gendang bergerak me-lempar.

"Trang!"

Kerincingan di tangan kiri Pelawak Sinting hancur berantakan. Walau kepalanya selamat da-ri tendangan namun kakek ini terpental hampir satu tombak ke arah ujung jembatan penyebe-rang. Tangan kirinya terasa sakit. Tulang lengan-nya seperti melesak masuk ke dalam siku.

"Kraak!" Kayu kecil penabuh gendang yang dilem-

parkan si kakek ke arah tenggorokan dengan mu-dah dipukul patah dan mental oleh Pangeran Ma-tahajri. Kesal serangannya lagi-lagi gagal Pange-ran Matahari nekad memburu lawan. Sambil me-layang turun dia lepaskan satu pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Namun Pelawak Sinting berhasil menyusup ke depan sambil sodokkan payung kertas.

"Bukk!" "Brett!" "Ngekk!" "Braaakk!" Kepala payung kertas yang dalam keadaan

tidak terkembang itu mendarat tepat di ulu hati Pangeran Matahari. Baju sang Pangeran robek besar. Dari mulutnya menyembur suara gusar seperti orang mau muntah. Begitu kakinya men-ginjak lantai jembatan tubuhnya terhuyung dua langkah.

Di samping kiri pagar besi pelindung jem-batan jebol dihantam pukulan tangan kosong Pangeran Matahari. Saat itu pada ke dua ujung jembatan penyeberang orang banyak mulai berke-

rubung menyaksikan perkelahian itu. Ini satu pemandangan yang tidak pernah terjadi.

Dua orang berkelahi di atas jembatan pe-nyeberang. Dan kedua-duanya berpakaian aneh. Tadinya orang-orang itu hanya hendak melintas. Namun melihat apa yang terjadi mereka memilih tetap berdiri memperhatikan dari kedua ujung jembatan.

"Murid tolol! Hanya menghadapi tua bang-ka bau tanah itu saja kau tidak mampu!"

Pangeran Matahari mendengar suara gu-runya Si Muka Bangkai memaki. Membuat telin-ganya panas dan darah amarah menggejolak. Ra-hang menggembung, pelipis bergerak.

"Guru, jangan kawatir! Bangsat tua ini akan kuhabisi saat ini juga!"

Setelah keluarkan ucapan itu Pangeran Matahari tekuk lutut kirinya sedikit. Tangan ka-nan diangkat ke atas. Jari-jari membentuk kepa-lan. Tiba-tiba kepalan itu memancarkan cahaya. Murid Si Muka Bangkai dari puncak Gunung Me-rapi ini siap melepas pukulan sangat berbahaya yakni pukulan Gerhana Matahari.

Si Pelawak Sinting sebelumnya tidak per-nah berhadapan dengan Pangeran Matahari dan tidak tahu jenis pukulan sakti apa saja yang dimi-liki lawan. Namun dari kepalan yang memancar-kan sinar aneh kakek ini maklum kalau Sang Pangeran hendak melepaskan satu pukulan dah-syat. Maka tidak tunggu lebih lama dia pindahkan payung kertas ke tangan kiri, langsung dikem-

bangkan. Tangan kanan diangkat ke atas, meng-gantung di udara di sisi kanan. Tenaga dalam di-alirkan penuh pada payung dan tangan kanan. Dua kaki menginjak lantai besi jembatan penye-berang laksana dua tiang batu yang kokoh.

Tiba-tiba Pangeran Matahari keluarkan bentakan keras. Bersamaan dengan itu dia hen-takkan tangan kanannya ke depan. Di belakang, Si Muka Bangkai yang gatal tangan dan ingin bu-ru-buru melihat kematian Si Pelawak Sinting tiba-tiba melompat ke belakang muridnya. Telapak tangan kanan ditempelkan ke punggung Pangeran Matahari.

"Wuuttt!" Satu gelombang angin menderu ganas. Tiga

cahaya, kuning, merah dan hitam berkiblat mela-brak ke arah Si Pelawak Sinting. Orang banyak yang menyaksikan kejadian ini pada dua ujung atas jembatan penyeberang keluarkan seru terta-han. Yang berdiri di belakang si kakek serta merta berserabutan lari menuruni tangga. Takut terkena sambaran tiga cahaya aneh menggidikkan

Si kakek tidak tinggal diam. Payung kertas di tangan kiri diputar demikian rupa. Cahaya ke-coklatan berbentuk lingkaran bergelung di udara melindungi dirinya pada sisi sebelah kiri. Semen-tara dari tangan kanan si kakek yang dihantam-kan ke arah lawan, menderu angin deras men-gandung tenaga dalam tinggi.

Cahaya merah, kuning dan hitam serangan Pangeran Matahari disambut oleh cahaya kecok-

latan tangkisan Si Pelawak Sinting. "Dess.... dess... dess!" Tiga letupan yang tidak begitu keras meng-

gema di atas jembatan. Si Pelawak Sinting berse-ru kaget ketika melihat bagaimana tiga cahaya pukulan sakti lawan menggulung cahaya coklat pukulan penangkis yang dilepaskannya. Lalu!

"Braaakk!" Kipas kertas di tangan kiri Si Pelawak Sint-

ing hancur bertaburan. Berubah menjadi kepin-gan-kepingan terbakar. Pukulan mengandung te-naga dalam tinggi yang dilepaskannya dengan tangan kanan terpental ke samping begitu ber-benturan dengan kekuatan pukulan Gerhana Ma-tahari. Membuat jebol dan hangus pagar pelin-dung jembatan seluas hampir dua meter persegi. Di ujung jembatan di belakang si kakek, tiga ca-haya pukulan Gerhana Matahari menghantam tiang-tiang besi dan pagar pengaman jembatan hingga amblas merah dan mengepulkan asap.

Si Pelawak Sinting sendiri terpental ke ujung jembatan penyeberang. Sebagian pakaian dan tubuhnya tampak hangus. Sosok kakek ini kemudian menggelinding di tangga, jatuh terka-par di lantai besi pertengahan tangga. Sebelum orang datang bertambah banyak Pangeran Mata-hari dan Si Muka Bangkai segera lari tinggalkan tempat itu.

Sebenarnya tenaga dalam dan kesaktian yang dimiliki Si Pelawak Sinting masih cukup ampuh untuk menghadapi serangan Pangeran

Matahari. Kalaupun dia kalah akibatnya tidak akan separah seperti yang dialaminya saat itu. Bencana ini terjadi karena Si Muka Bangkai telah menyalurkan kekuatan tenaga dalamnya ke tu-buh muridnya sehingga tenaga dalam Pangeran Matahari jadi berlipat ganda.

Di pertengahan jembatan orang banyak berkerumun berdesakan berusaha melihat sosok Si Pelawak Sinting. Beberapa orang diantaranya adalah Aming dan kawan-kawannya.

Aming memegang lengan kawan di sebe-lahnya. Lalu berbisik dengan suara gemetar.

"Ben, ini kakek yang kita temuin di tangga kafe tadi," Aming mengenali.

"Berarti dia bukan setan buruh yang mati jatuh itu..."

Benny teman Aming mengangguk. "Tapi gua kira sekarang dia udah jadi setan benaran. Ayo kita pergi aja. Bisa-bisa nanti ditanyain Poli-si..."

Beberapa petugas Kepolisian berdatangan beberapa saat kemudian. Salah seorang dari me-reka membawa handy talky. Dengan pesawat ko-munikasi ini anggota Polisi itu menghubungi jaja-ran Kepolisian terdekat, ambulans serta Kodim sementara jembatan penyeberangan itu semakin padat oleh kerumunan orang yang ingin tahu apa yang telah terjadi.

***

AMBULANS itu meluncur sepanjang Jalan Thamrin menuju RS Cipto. Seorang petugas Polisi duduk di sebelah depan samping pengemudi. Di dalam ambulans sosok Si Pelawak Sinting terbu-jur tak bergerak, pingsan berat. Mungkin juga da-lam keadaan sekarat. Satu-satunya pertolongan yang bisa diberikan petugas ambulans adalah me-letakkan selang oksigen dibawah hidungnya. Se-belumnya petugas berusaha memberikan infus. Tapi berkali-kali dicoba, di tangan maupun di ka-ki jarum infus tidak bisa menembus kulit si ka-kek

"Orang tua aneh," kata petugas ambulans yang duduk dibagian belakang kendaraan berdua dengan temannya. "Jarum infus tidak bisa me-nembus kulitnya. Waktu tadi saya paksakan ja-rum infus malah bengkok..."

"Mungkin dia punya ilmu kebal," menyahut petugas satunya. "Yang saya lihat aneh justru ce-laka yang dia alami. Tidak ada api, tapi tubuhnya hangus. Hangusnya cuma sebelah. Korban kece-lakaan seperti ini biasanya bikin susah kita saja. Tidak ada KTP. Tidak ada identitas sama sekali..." Sambil berkata petugas ini memandang ke luar lewat kaca belakang. Saat itulah dia melihat se-suatu. Segera dia memberi tahu temannya.

Di tengah keramaian lalu lintas jalan raya sekitar jam delapan malam itu seorang kelihatan berdiri sepanjang tepi jalan, berusaha mengejar ambulans yang membawa Si Pelawak Sinting. Sambil berlari orang ini tiada hentinya mengelua-

rkan ucapan. Memanggil-manggil. "Labudung.... Labudung. Tunggu aku... La-

budung!" "Lihat, ada orang lari. Kayaknya ngejar

mobil ini." petugas ambulans yang duduk sebelah belakang memberi tahu.

Kawan yang diberi tahu melihat keluar. Memperhatikan, lalu memandang pada sosok ka-kek yang terbujur di depannya.

"Aneh lagi..." "Ada apa?" "Coba kau perhatikan. Orang yang lari ke

arah mobil itu, ciri-cirinya persis sama dengan kakek yang ada dalam ambulans ini. Lihat pa-kaiannya, wajahnya...."

Menjelang Bundaran Ha. arus lalu lintas yang padat membuat ambulans terpaksa terpaksa meluncur perlahan. Walau Sirine dibunyikan dan lampu merah dinyalakan namun kepadatan lalu lintas sulit diterobos. Sementara itu orang yang mengejar semakin dekat ke ambulans.

"Kayaknya bakal ada yang tidak beres. Be-ri tahu Polisi di depan."

Kaca pemisah ruang pengemudi dengan bagian belakang ambulans digeser.

"Pak... Pak...!" "Kraaakk!" Kunci pintu belakang ambulans berderak

patah karena dibuka paksa. Seorang kakek ber-pakaian kumal, membawa kerincingan, gendang dan payung kertas melompat masuk ke dalam

ambulans. Dua petugas berteriak. Pengemudi ambulans hentikan kendaraan. Polisi di sebelah depan melompat ke luar. Ketika petugas ini sam-pai di bagian belakang kendaraan, sosok kakek yang sebelumnya terbujur dalam ambulans tidak ada lagi. Dua petugas ambulans berteriak sambil menunjuk-nunjuk ke seberang jalan,

"Dibawa lari Pak! Kakek dalam mobil diba-wa lari!"

Anggota Polisi memperhatikan ke arah yang ditunjuk. Di arah jalan yang menuju ke Blo-ra dia melihat ada orang berlari cepat sekali sam-bil memanggul sesosok tubuh di bahu kirinya. Ti-dak tunggu lebih lama lagi anggota Polisi ini sege-ra lari mengejar. Para pengemudi mobil yang ter-kejut karena jalannya mendadak terhalang oleh orang yang lari sambil memanggul sesosok tubuh dan terhalang oleh Polisi yang mengejar membu-nyikan klakson berulangkali. Banyak pengemudi mobil memperlambat atau menghentikan kenda-raan mereka karena ingin tahu apa yang terjadi. Copet bukan, todong juga bukan. Aneh keliha-tannya. Ada Polisi mengejar seorang kakek yang lari sambil mendukung sosok seorang tua! Untuk beberapa lamanya jalan menjadi macet.

Di mulut Jalan Blora anggota Polisi yang mengejar kehilangan jejak orang yang dikejarnya. Dengan nafas tersengal petugas ini kembali ke ambulans. Dia meminta pengemudi ambulans menuju Pos Polisi terdekat.

4 WADAM TAMAN LAWANG

KAKEK berpakaian kumal itu lari seperti bayangan setan menyusuri rel kereta api. Sepan-jang jalan dia terus-terusan berucap. "Labu-dung... Labudung jangan mati. Jangan mati sebe-lum kau memberi tahu diriku. Siapa memperla-kukan dirimu seperti ini. Labudung... Labu-dung..."

Di satu tempat gelap si kakek hentikan la-rinya. Dia merunduk memperhatikan wajah Si Pe-lawak tinting yang dipanggulnya sambil jari-jari tangannya memegang urat besar di leher kakek itu. Memang masih terasa denyutan nadi. Tapi perlahan sekali dan terputus-putus.

"Labudung. Jangan mati! Beri tahu aku siapa yang berbuat jahat padamu!"

Kakek itu memandang ke ujung rel di bela-kangnya. Kawatir ada orang yang mengejar dia la-ri kembali. Cukup jauh berlari, di bawah satu po-hon besar antara rel dan kali dia kembali berhen-ti. Kakek ini tidak tahu di tempat apa dia sebe-narnya saat itu berada. Tempat itu adalah kawa-san Taman Lawang tempat mangkalnya para Wa-dam Ibukota. Apa lagi malam itu malam Minggu. Jumlah wadam yang beroperasi di tempat itu le-bih ramai dari malam-malam hari biasa.

Sosok kakek yang dipanggul diturunkan, dibaringkan di tanah lalu orang tua ini tempelkan

dua tangannya di dada Si Pelawak Sinting. Perla-han-lahan dia alirkan hawa sakti.

"Labudung, adikku.... Bangunlah... sadar-lah. Bicara padaku. Katakan padaku siapa yang memperlakukanmu begini rupa."

Begitu hawa sakti masuk ke tubuhnya, Si Pelawak Sinting yang tengah sekarat seolah men-dapat kekuatan, perlahan-lahan membuka mata.

"Labudung... Labudung adikku..." "Si... siapa yang memanggil na...namaku?"

Pelawak Sinting keluarkan ucapan. Suaranya per-lahan dan terputus-putus.

"Ah... syukur... Syukur kau sadar. Labu-dung, aku Labodong, kakak kembarmu." Kakek bernama Labodong letakkan kepala Si Pelawak Sinting di pangkuannya. Rupanya orang yang te-lah melarikan Si Pelawak Sinting adalah kakak kembarnya sendiri.

"Labodong.... Kaa...kau ada di sini? Ki...kita dimana?"

"Ya, aku Labodong kakak kembarmu. Mu-kamu rusak begini. Didempul satu truk juga tak bakal utuh. Dengar adikku, kau tak usah bicara banyak. Cukup memberi tahu siapa yang mence-lakai dirimu seperti ini!"

Labudung alias Si Pelawak Sinting kum-pulkan sisa tenaga yang ada, baru menjawab.

"Seolang pem...pemuda. Beljul... juluk Pan-gelan Matahali. Dia... dia tidak sendili. Dia meng-hantamku belsama gulunya. Kakek muka putih Beljuluk Si Muka Bangku. Eh bukan, bukan

bangku. Tapi Bangkai... Si Muka Bangkai...." Suara Si Pelawak Sinting terputus. Dua matanya tertutup. "Labubung! Jangan mati!" teriak Labodong. "Labod... Labodong. Kenapa kau jadi baik

tel... telhadapku?" Si Pelawak Sinting alias Labu-dung bertanya tanpa membuka kedua matanya.

"Adikku, jangan kau berkata begitu. Sema-sa di Latanahsilam aku memang sering berbuat kurang ajar, mengotori namamu dengan berbagai perbuatan jahat. Aku sering mencemarkan na-mamu, memalsukan diri mengaku sebagai Si Pe-lawak Sinting untuk mencari keuntungan sendiri. Tapi hari ini aku bertobat. Benar-benar mengaku salah..." Suara Labodong bercampur isak.

"Kak, kakak.... Sebelum mati aku ada satu permintaan..."

"Katakan adikku. Ucapkan..." kata Labo-dong sambil membelai rambut kusut masai adik kembarnya.

"Seolang nenek sakti belnama ... Sin... Sin-to Gendeng...pel...pelnah mengikat janji untuk kawin denganku. Kalau aku mati, cal... cali nenek itu. Wakilkan diliku menjadi sua.... suaminya."

Labodong tersentak kaget. Isakannya lang-sung berhenti dan matanya yang tidak kalah be-lok dengan saudara kembarnya kelihatan bertam-bah mendelik.

"Apa kau bilang adikku? Kau menyuruh aku mewakili dirimu kawin dengan... dengan sia-pa?"

"Namanya Sinto Gendeng. Kau... kau tak akan menyes... menyesal kawin dengan nenek itu... Kakak, jang...jangan kau belani menolak pel...pelmintaanku..."

Labodong menahan nafas. Dia geleng-geleng kepala berulangkali. "Jangan meno-lak...jangan menampik. Kau... kau halus lakukan hal itu. Kau hal... halus kawin dengan Sin... Sinto Gendeng..."

"Labudung, aku tidak kenal nenek itu. Ba-gaimana orangnya aku tidak pernah melihat"

"Gam... gampang mencalinya. Kalau berte-mu kau pasti tahu itu olangnya. Di... di kepalanya ada lima tusuk konde pelak. Lalu... lalu olangnya bau pesing..."

"Ah...." Labodong tersentak, suaranya se-rak.

"Satu lagi pelmintaanku, Kakak..." "Ya... ya. Katakanlah." "Kau halus meneluskan jalan hidupku di

kota ini. Jadilah pengamen. Kau bakal banyak uaang. Halap kau menghapal baik-baik Kopi Dangdut..."

"Kopi Dangdut? Binatang apa itu?" tanya Labodong.

"Itu bu... bukan binatang. Tapi nyanyian. Lagu dangdut. Banyak olang suka. Kalau kau bi-sa nyanyikan itu sebagai pengamen kau bakal mudah dapat uang."

"Ya... ya... aku akan hapalkan nyayian itu," kata Labodong pula yang mengiyakan saja uca-

pan saudaranya yang sedang sekarat itu karena tidak mau bicara berpanjang-panjang. Tapi tiba-tiba dia ingat sesuatu. "Labudung, mengapa aku musti menghapal Kopi Dangdut. Bukannya Tenda Biru..." Rupanya Labodong pernah juga menden-gar nyanyian Tenda Biru yang populer dibawakan penyanyi Dessy Ratnasari itu.

"Jangan... Tenda Bilu bukan lagu dang-dut," ucap Si Pelawak Sinting. Lalu sambungnya. "La... lagi pula lagu itu tidak cocok untukmu. Tenda Bilu lagu olang putus cinta, diting... tinggal kawin kekasih. Padahal... kau... kau tidak diting-gal kawin, malah mau.. mau kawin sama Sinto Gendeng..."

Labodong hanya bisa goleng-goleng kepala mendengar kata-kata adik kembarnya itu.

"Kak, aku pelgi Kakak. Jangan lupa, laksa-nakan niat kawin dengan Sin... Sin..."

Suara Si Pelawak Sinting terputus. Kepa-lanya terkulai.

"Labudung! jangan mati! Biar kau saja yang kawin dengan nenek bau pesing itu..." Labo-dong goncang tubuh adiknya.

Tiba-tiba kepala Si Pelawak Sinting yang barusan terkulai bergerak tegak kembali.

"Eeeh, Labudung, adikku... Kau... kau ti-dak jadi mati?" Suara Labodong bertanya serak. Matanya melotot.

"Ada yang kelupaan, Kak. Ada yang kel... kelupaan..."

"Apa? " tanya sang kakak kembar.

"Aku punya jimat. Dibungkus kain hitam. Akan.... akan kubelikan padamu..."

"Adikku, jangan pikir segala jimat..." "Ini bukan jimat sembalangan. Halap kau

suka mengambil sendili..." Tidak mau menolak permintaan adiknya

yang tengah sekarat Labodong berkata. "Baik, akan kuambil. Dimana kau menyimpannya? Da-lam saku pakaian...?"

"Bu... bukan... Bukan di situ... Jimat itu aku sim... simpan di bawah pelut, di selang... se-langkanganku. Masukkan tanganmu ke celanaku. Kau pasti menemukan. Begitu kau pegang lekas kau sentakkan. Kau copot! Begitu dapat tempel-kan di se... selangkanganmu..."

"Gila!" maki Labodong dalam hati. Dia go-leng-goleng kepala. Walau tidak suka tapi Labo-dong terpaksa ikuti permintaan adik kembarnya yang mau mati itu. Dia susupkan tangannya ke dalam celana sang adik. Tangan itu meraba-raba, bergerak-gerak mencari-cari.

Sepasang mata Si Pelawak Sinting keliha-tan meram melek seperti orang keenakan.

"Sud... sudah kau dapatkan jim...jimat itu Labodong?"

"Kurasa sudah" jawab sang kakek. "Tunggu apa lagi. Lek... lekas kau betot..." "Baik, akan aku lakukan," kata Labodong

pula. Tangannya yang didalam celana digerakkan menyentak.

"Aduh!" Labudung menjerit keras. "Gila

kau! Teganya kau menyakiti diliku yang sudah mau mati ini!"

"Gila bagaimana?!" teriak Labodong. "Kau tad yang menyuruh betot!"

"Yang balusan kau betot bukan jimat. Ta... tapi bijiku! Huah sakitnya! Untung tidak copot!"

"Hah?!" Labodong kaget ada, kasihan ada, ge1i juga ada.

Tangannya bergerak lagi. Akhirnya dia ber-hasil meraba sebuah benda kecil, terasa hangat-hangat basah. Hati-hati benda ini ditariknya. Benda yang satu ini memang jimat benaran. Begi-tu jimat yang terbungkus kain hitam itu lepas da-ri tubuh Si Pelawak Sinting Labudung, kepalanya kembali terkulai. Sekali ini nafasnya ikut me-layang.

"Labudung....!" Labodong terpekik. Dia ta-hu kalau kali ini adik kembarnya itu benar-benar sudah meninggal. Labodong peluk tubuh Labu-dung. Tubuhnya berguncang menahan ledakan tangis

Pada saat itu tiba-tiba dari balik pohon muncul seseorang. Lalu ada suara menegur. Sua-ra itu terdengar merdu menyerupai suara perem-puan tapi agak besar.

"lihh... Siapa yang main di tempat terang begin. Gila kali!"

Sambil terus memeluk tubuh adiknya La-bodong angkat kepala. Kakek ini terkejut karena tak mengira yang menegur adalah seorang pe-rempuan muda berkulit putih, bertubuh tinggi

semampai, berambut pirang sebahu, berwajah cantik sekali seperti Indo. Si cantik ini mengena-kan rok super mini hingga dari tempatnya duduk menjelepok di tanah memeluk saudaranya, Labo-dong dapat melihat bagian teratas dua paha si cantik. Si cantik ini mengenakan blus yang po-tongannya begitu indah dan terbelah di sebelah tengah membuat dadanya yang besar putih keli-hatan jelas menyembul kencang dan menantang.

"Idih opa-opa! Gila!" kata si cantik begitu melihat Wajah Labodong. Lalu cepat-cepat si can-tik ini yang bukan lain adalah wadam Taman La-wang tinggalkan tempat itu. Dia pergi menemui seorang temannya. Memberi tahu kalau ada ka-kek-kakek lagi main di bawah pohon sana.

Setelah ditinggal sendiri bersama jenazah adiknya Labodong berkata. "Labudung adikku, aku terpaksa meningalkanmu. Aku ingin memba-wamu, menguburmu di satu tempat. Tapi kau ta-hu sendiri aku tidak tahu segala urusan pema-kaman. Lagipula kabarnya tanah makam cukup mahal di Jakarta ini. Dan... dan tidak ada jami-nan tidak bakal digusur di kemudian hari. Hik...hik.. hik. Jadi sebaiknya kau mati menurut cara orang di negeri kita sana. Kembali ke tanah asal leluhur kita. Aku pergi adikku. Selamat ting-gal... Selamat jalan."

Perlahan-lahan Labodong turunkan kepala adik kembarnya dari pangkuan. Lalu dia bangkit berdiri. Setelah pandangi Si Pelawak Sinting un-tuk terakhir kali dia segera tinggalkan tempat itu.

Tak lama setelah Labodong pergi terjadi suatu keanehan dengan sosok mayat Si Pelawak Sinting. Kakek yang berasal dari Latanahsilam Negeri 12 ribu tahun silam ini tubuhnya perla-han-lahan berubah seolah leleh. Lelehan berubah menjadi cairan putih kental yang menggenang di-tanah.

Wadam yang tadi melihat Labudung di ba-wah pohon menemui seorang temannya, membe-ritahu apa yang barusan dilihatnya.

"Ada kakek maen sama teman kita? Ah, kau bohong aja!"

"Swear deh sial tujuh turunan. Gue sampai ngibrit ngeliatnya." Sang wadam pakai bersumpah tujuh turunan segala. Padahal satu turunan saja tidak bakalan punya. "Ih, gila juga! Teman kita siapa? Biasanya sih si Angela yang suka Slordeg, suka ngambil langganan sembarangan. Kalau ike sama kakek-kakek prei dulu la yaouw! Siapa yang doyan terong bonyok. Ike rasa pasti deh Si Ange-la."

"Nggak tau. Nggak keliatan. Abis dikekepin terus. Lagian gelap. Kalo nggak percaya ayo kita liat barengan."

Ketika dua orang wadam itu sampai di ba-wah pohon mereka hanya menemui genangan cai-ran putih kental di tanah.

"Mana, kok nggak ada siapa-siapa? Ah, bener 'kan? Lu bohong aja!" Kata wadam yang di-ajak temannya. Lalu wadam ini melihat cairan putih kental yang menggenang di tanah. Dia

membungkuk. Lalu menjerit perlahan. "Iiihhhh.... gila! Kok bisa banyak begini. Ampe seember. Ihhh...."

Wadam satunya memandang berkeliling terheran-heran.

"Aneh, tadi ada disini. Berduaan. Asyik banget. Gue liat si kakek masih bisa goyang kok! Nafasnya gue dengar sampai ngosngosan!" pa-dahal goyang dan ngosngossannya si kakek Labo-dong yang dilihat wadam ini adalah getaran dan sesak nafas karena menahan isak tangis yang mau meledak.

Tiba-tiba genangan cairan putih kental be-rubah menjadi asap. Bau aneh seperti bau keme-nyan terbakar memenuhi tempat itu. Dua orang wadam tadi terkejut pucat.

"Mira.... Mira," bisik wadam satunya me-nyebut nama temannya. "Jangan-jangan yang gue liat tadi setan rel kereta..."

"Aduh mami, ike jadi pengen pipis!" Dua wadam sama-sama memekik lalu ter-

birit-birit tinggalkan tempat itu.

5 RENCANA PEMBUNUHAN BOMA

JAM 03.00 dinihari, menjelang pagi hari

Minggu. Lopo Tuak "Tao Toba" dalam keadaan gelap

dan sepi. Satu-satunya penerangan adalah nyala

lampu 10 watt di bagian luar, tergantung di ba-wah atap. Pemilik lapo dan anak istrinya tertidur nyenyak di bagian belakang bangunan papan ke-dai minuman itu. Tidak mengetahui kalau dalam kedai ada dua orang tamu gelap asyik menjarah tuak.

Tamu pertama seorang kakek duduk di ujung meja sebelah kiri. Berpakaian rombeng se-perti pengemis. Saat itu dia telah menghabiskan tiga botol besar tuak. Orang biasa jika minum se-banyak itu kulit wajahnya akan menjadi merah. Tapi orang ini walau dalam gelap, mukanya keli-hatan putih pucat dan angker. Dia bukan lain adalah dedengkot golongan hitam rimba persila-tan Si Muka Bangkai alias Si Muka Mayat.

Di hadapan Si Muka Bangkai, di ujung me-ja sebelah kanan duduk muridnya. Pangeran Ma-tahari. Pendekar jahat yang dijuluki Pangeran se-gala cerdik, segala akal, segala ilmu, segala licik, segala congkak, musuh bebuyutan Pendekar 212 Wiro Sableng, murid nenek sakti Sinto Gendeng dari puncak Gunung Gede.

Sang Pangeran seka mulutnya dengan be-lakang telapak tangan, memandang pada gurunya lalu berkata.

"Guru, dari tadi kau diam saja. Mukamu kelihatan asam. Ada sesuatu yang kau jengkel-kan. Apa kau tidak senang kalau hari ini aku berhasil membunuh seorang manusia tua bangka keparat yang selama ini telah membuat kita su-sah?"

Si Muka Bangkai tidak segera menjawab. Dia mengambil botol tuak keempat, menenggak isinya sampai ludas lalu tertawa mengekeh.

"Jangan terlalu sombong dengan apa yang telah kau lakukan hari ini. Si Pelawak Sinting yang kau bunuh hanyalah mahluk tak berguna dari negeri duaribu dua ratus tahun silam..."

"Guru, apa kau lupa? Gara-gara bangsat itu semua urusan jadi berantakan. Dia yang men-curi Batu Penyusup Batin yang kau berikan pa-daku. Walau kemudian kau mengakui batu itu cuma batu palsu. Apa semua yang terjadi ini bu-kan kualat karena kau menipu diri sendiri dan menipu muridmu ini?"

"Murid kurang ajar! Setiap aku berbuat se-suatu. Ada sebabnya1" bentak Si Muka Bangkai dengan nada marah sekali karena si murid men-gungkit-ungkit soal batu palsu yang diberikannya tempo hari. "Aku yang mengatur! Kau hanya jadi pelaksana! Ingat itu baik-baik! Yang jadi sasaran sebenarnya saat ini adalah anak lelaki bernama Boma. Dan kau belum mampu berbuat sesuatu apa terhadap anak itu!"

"Guru, aku sudah menyelidik. Aku sudah tahu anak itu sekolah dimana. Dalam waktu be-berapa hari ini aku akan menghabisinya."

"Dalam waktu beberapa hari. Mengapa be-gitu lama?"

"Guru, aku punya firasat. Sejak beberapa waktu belakangan ini ada seseorang menguntit gerak-gerikku. Mungkin sekali Sinto Gendeng...!"

"Kalau kau tahu yang menguntitmu Sinto Gendeng, apa kau kira akan bisa menghabisi anak bernama Boma itu selama Sinto Gendeng ti-dak kau habisi lebih dulu? Nenek Gendeng itu adalah pelindung Boma. Mungkin telah menjadi-kan anak itu sebagai muridnya. Mungkin juga dia telah menyuruh muridnya Pendekar 212 Wiro Sableng untuk berjaga-jaga. Bukankah aku dan guruku pernah bilang bahwa ada seorang pemuda yang hendak dijadikan sebagai Pendekar Tahun 2000 oleh orang-orang rimba persilatan golongan putih. Aku hampir yakin anak bernama Boma itu-lah orangnya! Pangeran tolol, kau harus me-nyingkirkan Sinto Gendeng lebih dulu. Dendamku padanya sudah berkarat. Mulai dari saat dia me-rampas Batu Penyusup Batin. Lalu perbuatan ku-rang ajarnya menelanjangi guruku Kunti Api tem-po hari. Jahanam!" Si Muka Bangkai gerakkan sepuluh jari tangannya hingga mengeluarkan su-ara bergemeletakan. "Kalau Sinto Gendeng sudah jadi satu dengan tanah! Kau mudah saja meng-habisi anak itu!"

"Guru, walau aku bilang Sinto Gendeng menguntit, tapi secara nyata sulit melacak kebe-radaannya. Nenek itu tidak beda dengan setan. Dicari susah bertemu tapi tahu-tahu, secara mendadak dia bisa saja muncul."

"Murid congkak tapi tolol!" sembur Si Muka Bangkai. "Aku tidak mau tahu segala macam ke-sulitan yang kau hadapi. Kau aku gembleng den-gan segala macam ilmu kepandaian justru untuk

menghadapi kesulitan. Aku hanya mau melihat kau membawa kepala Sinto Gendeng ke hada-panku!"

Dua kali sang guru menyebutnya tolol di-tambah congkak. Telinga dan hati Pangeran Ma-tahari jadi panas.

"Guru, soal Sinto Gendeng bukan menjadi tanggungjawabku. Itu adalah tanggung jawabmu. Bukankah nenek itu keluar dari sarangnya gara-gara dulu kau dan kekasih gelapmu Nyi Ragil membunuh Datuk Mudo Carano Ameh sepupu Tua Gila, kekasih Sinto Gendeng!"

"Pangeran setan kurang ajar! Jangan kau menuduh aku berbuat mesum dengan Nyi Ragil! Jangan kau menuduh aku membunuh Datuk sia-lan itu. Nyi Ragil yang membunuh saudara sepu-pu Tua Gila itu karena dia punya dendam terha-dap Sinto Gendeng. Nenek keparat dari puncak Gunung Gede itu di masa mudanya pernah mere-but kekasih Nyi Ragil!" (Kisah terbunuhnya Datuk Mudo Carano Ameh bisa diikuti dalam serial Wiro Sableng berjudul "Si Cantik Dalam Guci")

Pangeran Matahari menyeringai. "Guru, kau boleh menyangkal. Tapi aku

tahu banyak hubunganmu dengan setan betina bernama Nyi Ragil itu. Mulai dari perselingkuhan sampai semua rencana dan perbuatanmu meng-hancurkan para tokoh silat golongan putih," kata Pangeran Matahari berani sekali.

Sepasang mata cekung Si Mata Bangkai memancarkan kilatan menggidikkan.

"Braaak!" Si Muka Bangkai menggebrak meja kayu

di hadapannya. Empat kaki meja amblas sampai setengah

jengkal ke ubin lantai. Tapi luar biasa deretan bo-tol-botol tuak yang ada di atas meja tidak satu-pun yang roboh, bahkan bergoyangpun tidak!

"Pangeran Matahari! Jangan kau berani bi-cara kurang ajar! Jangan kau berani menolak pe-rintahku dengan membual segala macam ucapan kotor! Jangan tunjukkan kesombongan dan ke-cerdikan licik padaku! Saat ini aku masih dalam berduka! Pendekar 212 Wiro Sableng telah mem-bunuh Nyi Ragil Tawangalu!" (Kisah terbunuhnya Nyi Ragil Tawangalu alias Si Manis Penyebar Maut dapat pembaca ikuti dalam serial Wiro Sableng pada Episode berjudul Kutukan Sang Badik yang akan segera terbit).

Sang murid yang punya sifat congkak ma-na perdulikan duka cita Si Muka Bangkai. Dia membuka mulut.

"Guru..." "Diam!" Bentak Si Muka Bangkai dengan

mata membeliak besar. Sang murid jadi tergetar juga hatinya lalu

walau dia putar kepala memandang ke jurusan lain tapi dimulutnya tersungging seringai seolah mengejek sang guru.

Si Muka Bangkai teguk tuak dibotol beri-kutnya sampai setengah. Sambil menyeka bibir dia memandang ke luar kedai minuman lewat

jendela kawat. Dalam hati kakek ini membatin. "Tak lama lagi pagi segera datang. Mengapa dia belum muncul juga?"

Tiba-tiba ada angin bertiup. Pintu kedai terbuka. Sesosok tubuh, laksana bayangan setan berkelebat masuk. Di lain kejap seorang nenek bermantel biru tebal, berambut merah riap-riapan tahu-tahu telah duduk di kursi di samping meja sebelah kiri, antara Si Muka Bangkai dan Pange-ran Matahari. Nenek ini punya sepasang mata merah seperti menyala. Mukanya yang angker ter-tutup dandanan tebal mencorong hingga tam-pangnya kacau tidak karuan. Ketika dua tangan-nya diletakkan di meja, kuku-kukunya yang pan-jang-panjang juga kelihatan merah menggidikkan.

"Eyang Guru!" Seru Si Muka Bangkai begi-tu melihat dan mengenali orang yang duduk di sampingnya.

"Nenek Guru!" Ucap Pangeran Matahari. Si Muka Bangkai dan muridnya segera

bangkit berdiri dari kursi masing-masing lalu membungkuk hormat dalam-dalam.

Si nenek bermantel biru berambut merah riap-riapan yang dikenal dengan nama Kunti Api dongakkan kepala lalu tertawa mengekeh.

"Aku lihat ada minuman enak di atas meja! Mengapa kalian guru dan murid malah berteng-kar dalam kenikmatan ini?!"

"Eyang, harap maafkan. Pangeran Matahari muridku telah berani menolak perintah," berkata Si Muka Bangkai. Lalu kakek ini jelaskan persoa-

lan yang tengah mereka hadapi. Dia juga mene-rangkan kematian Si Pelawak Sinting yang dibu-nuh Pangeran Matahari.

Si nenek goleng-goleng kepala. "Aku melihat tidak ada masalah yang perlu

dipertengkarkan!" Kata Kunti Api pula. Tampang Si Muka Bangkai berubah jadi

asam Pangeran Matahari sunggingkan senyum. "Hai! Minuman apa yang tengah kalian

nikmati ini?" Tiba-tiba Kunti Api bertanya sambil melotot

pandangi belasan botol besar di atas meja. "Kami minum tuak Eyang." Jawab Si Muka

Bangkai. "Tuak? Enak?" "Enak Eyang. Silahkan kalau mau menco-

ba." Si Muka Bangkai cepat mengambil botol

tuak yang masih penuh lalu menyerahkan pada gurunya. Kunti Api sambuti botol, tengadahkan kepala dan membuka mulut.

"Gluk...gluk...gluk" Sebentar saja tuak satu botol besar itu lu-

das masuk ke dalam perutnya. "Aahhh.... Memang enak. Sedap sekali. Tu-

buhku jadi hangat." Kunti Api seka mulutnya lalu mengekeh perlahan. "Dengar kalian berdua. Anak lelaki bernama Boma itu harus kalian cari, harus disingkirkan cepat-cepat jadi tugas utamamu Pangeran Matahari! Aku menyirap kabar anak itu

akan berada di kawasan Candi Borobudur dua minggu dimuka. Borobudur termasuk kawasan Gunung Merapi, daerah kekuasaanmu! Kau harus bisa membunuhnya dengan mudah di tempat itu. Apa lagi Borobudur jauh dari Gunung Gede sa-rangnya si nenek keparat Sinto Gendeng. Dia pas-ti sulit mengetahui anak itu dalam bahaya. Tapi, bagaimanapun juga, jika kau mampu menghabi-sinya di sini lakukanlah! Makin cepat anak itu mati makin baik! Mengenai Sinto Gendeng biar aku mengatur kematian nenek keparat itu bersa-ma gurumu! Dia pernah menelanjangi diriku se-cara kurang ajar! Sebagai balasan aku bersumpah akan mengelupas sekujur kulit muka dan tubuh-nya!" Kunti Api pentang sepuluh jari tangannya yang memiliki kuku panjang mengerikan. Selain bisa mengeluarkan api, sepuluh kuku jari itu juga bisa membeset lawan secara ganas mengerikan.

Si Muka Bangkai tatap mata muridnya le-kat-lekat.

"Pangeran Matahari, Eyang Guru telah be-rucap. Apa jawabmu?!"

Pangeran Matahari rapatkan dua tangan di depan kepala. Lalu berkata. "Guru, Nenek Guru, aku akan lakukan apa yang guru dan Nenek Guru perintahkan."

"Kalau begitu kau tunggu apa lagi?" ujar Si Muka Bangkai pula.

Pangeran Matahari tatap wajah gurunya sesaat. Rahangnya tampak mengembung dan pe-lipisnya bergerak-gerak pertanda ada emosi berge-

jolak dalam dirinya. Sesaat kemudian, sambil membawa sebotol tuak, tanpa berkata apa-apa dia tinggalkan kedai minuman itu.

Begitu Pangeran Matahari lenyap dalam kegelapan malam di luar sana Kunti Api berpaling pada muridnya.

"Suro Ageng Kalamenggolo," Kunti Api me-manggil Si Muka Bangkai dengan nama aslinya, "Mungkin karena Pangeran Matahari tahu kalau kau bukan gurunya sebenarnya, hanya saudara kembar Si Muka Bangkai yang asli. Maka dia ke-lihatan begitu keras kepala terhadapmu."

Si Muka Bangkai menyeringai. "Walaupun aku bukan gurunya yang asli, tetapi aku sejuta layak dihormatinya sebagai guru. Aku tahu ba-nyak tentang dirinya seperti aku mengenal dua telapak tanganku sendiri. Sebaliknya dia tidak tahu banyak mengenai diriku. Kalau dia berani macam-macam aku akan membuat hidupnya sengsara selama-lamanya...."

Si Muka Bangkai keluarkan ucapan seperti itu tanpa mengetahui kalau saat itu sebenarnya Pangeran Matahari sengaja menyelinap dibalik dinding kedai minuman. Sepasang mata sang Pangeran keluarkan kilatan menggidikkan. Serin-gai setan bermain di mulutnya. "Kau tahu diriku, tapi kau tidak tahu hantu. Aku juga bisa mem-buat dirimu sengsara seumur-umur. Kau bisa jadi ular sanca. Tapi aku juga bisa jadi seekor ko-bra..." Pangeran Matahari teguk tuak dalam botol sampai setengahnya lalu sekali berkelebat sosok-

nya lenyap dalam udara malam menjelang pagi yang dingin. Di kejauhan terdengar suara anjing meraung panjang. (Dalam cerita silat Serial Wiro Sableng diriwayatkan kematian Si Muka Bangkai yang asli di tangan Bujang Gila Tapak Sakti. Ha-rap baca Episode terakhir Wasiat Iblis berjudul Kiamat Di Pangandaran).

***

JAM lima lewat, pagi hari Minggu itu seper-ti biasanya Marihot Sinaga pemilik kedai tuak Tao Boba telah bangun dari tidurnya. Turun dari ran-jang dia ke kamar mandi dulu, baru pergi ke de-pan. Begitu memasuki kedai pandangan matanya langsung membentur deretan botol-botol tuak di atas meja.

"Hah?!" kejutnya. Setengah melompat dia mendekat meja di tengah kedai. Tidak percaya pada penglihatannya dia hidupkan lampu besar. Terbelalak mata Marihot antara percaya dan ti-dak. Belasan botol tuak bergeletakan dalam kea-daan kosong di atas meja. Di tengah meja terletak sebuah kendi terbuat dari tanah. Marihot Sinaga mengangkat kendi tanah. Dibalikkannya. Tak ada cairan yang keluar. Suara mengeram keluar dari tenggorokan pemilik Lapo Tuak itu.

"Kosong! Tuak murniku!" Suara Marihot Sinaga bergetar. Matanya membeliak garang me-mandang seputar kedai.

Siapa yang datang? Siapa yang minum se-

mua tuak dalam botol ini? Juga tuak murni da-lam kendi tanah? Dia ingat betul, sebelum tidur semua meja telah dibersihkan. Tak ada tamu yang datang untuk meminum. Dia sendiri yang menutup, mengunci pintu kedai. Marihot paling-kan kepala ke arah pintu kedai. Dilihatnya pintu dalam keadaan terbuka.

"Apa ini? Kejadian apa ini?!" kata pemilik kedai tuak itu sambil melangkah mengeliling meja yang penuh dengan deretan botol kosong. Akhir-nya dia terduduk disalah satu kursi.

Lalu dia mulai berteriak-teriak memanggil istrinya.

"Saroha! Saroha! Bangunlah kau! Lihat... lihat apa yang terjadi di kedai kita! Ini gara-gara kau mengajak aku tidur siang-siang. Maling ma-suk aku tak tahu! Maling jahanam! Habis tuakku dijarahnya! Habis daganganku! Hancur modalku! Sial besar! Saroha! Saroha!"

Yang muncul bukannya Saroha tetapi seo-rang berpakaian seragam dan bertopi pet hijau. Hansip. Mukanya kusam matanya kuyu tanda baru bangun tidur.

"Tulang... Tulang, ada apa Tulang?!" "Komang! Kau Hansip di sini! Kau menjadi

keamanan di sini?!" "Tentu saja Tulang" jawab Hansip yang

bernama Komang. "Maling masuk lapoku! Menjarah habis

tuak di kedai ini! Kau tidak tahu! Apa saja kerja-mu?!"

"Astaga? Masa’ iyaa Tulang? Bagaimana mungkin?!"

"Bagaimana mungkin! Bagaimana mung-kin! Lihat! Puluhan botol tuak pada kosong. Satu kendi tuak murni habis dibantai maling itu! Se-mua dihabisi di kedaiku! Kalau tahu aku siapa orangnya kupancung batang lehernya!" teriak Ma-rihot Sinaga. Diambinya guci tanah di atas meja lalu dibantingkannya ke lantai di depan kaki Ko-mang. Tak ampun lagi guci tanah itu hancur be-rantak Komang melompat kaget. Waktu turun sa-lah satu tumit sepatu botnya terpeleset. Tak am-pun lagi Komang jatuh bergedebuk di lantai.

"Hanssip sial! Kau pasti tidur!" Teriak Ma-rihot Sinaga. "Kau pasti molor!"

"Tulang, empat kali saya melintasi warung Tulang malam ini. Saya tidak melihat siapa-siapa..."

"Empat kali atau sepuluh kali! Pantatlah sama kau!" maki pemilik kedai tuak itu, Komang didorongnya keluar kedai. Pintu kedai ditutupnya dengan bantingan keras.

Di luar kedai Hansip Komang tegak terhe-ran-heran. Sambil geleng-geleng kepala dia berka-ta.

"Aneh, ada maling kok bukannya nyikat te-levisi tapi menengggak tuak! Ah! Jangan-jangan Si Tulang itu mabok. Dia sendiri yang geludesin tuak, bilang ada maling. Sial, aku yang kena damprat. Dibilang pantat!" Hansip itu akhirnya ngeloyor tinggalkan Lapo Tuak Tao Toba.

6 BERITA DALAM SURAT KABAR MINGGU

MINGGU pagi Sumitro Danurejo sibuk mengerjakan sablon lima ratus kaos oblong pesa-nan langganan. Di dapur istrinya tengah mema-sak. Bram pagi-pagi telah berangkat ke Bogor un-tuk satu keperluan. Di kamarnya di tingkat atas Boma belum mandi, baru saja selesai membaca tiga surat kabar terbitan hari Minggu itu. Semua memuat berita peristiwa perkelahian di Jembatan penyeberangan di Jalan Thamrin, di depan ge-dung Sarinah. Dalam berita disebutkan seorang lelaki tua dan seorang pemuda mengeroyok sam-pai mati seorang kakek pengamen. Dua penge-royok lenyap melarikan diri. Diperkirakan ketiga orang itu adalah orang-orang sakti dari "Banten". Karena dalam perkelahian jelas terlihat sambaran cahaya aneh setiap masing-masing melancarkan serangan. Ciri-ciri dua pengeroyok telah diketahui oleh pihak berwajib dan penyelidikan lebih lanjut tengah dilakukan. Keanehan disusul dengan kea-nehan lain. Ketika pengamen tua yang tengah se-karat dilarikan dengan ambulans ke RSCM, di tengah jalan muncul seorang lelaki tua yang ciri-cirinya sangat sama dengan korban mengejar am-bulans. Kakek misterius ini kemudian menculik sosok kakek pengamen yang kemungkinan telah jadi mayat lalu melarikannya ke arah Jalan Blora. Polisi yang coba mengejar kehilangan jejak.

Lama Boma terduduk di ujung tempat ti-dur, bersandar ke dinding. Kemudian kembali di-ambilnya tiga surat kabar Minggu. Dibacanya sa-tu persatu, perlahan-lahan dan hati-hati seolah tidak mau satu katapun terlewat. Bagian yang di-bacanya adalah mengenai ciri-ciri pengeroyok yang muda.

"Menurut saksi mata, salah seorang penge-royok masih muda. Diduga berusia sekitar dua pu-luh lima tahun. Yang menarik dari pemuda ini dia mengenakan pakaian serba hitam dengan gambar gunung di dada kiri. Di punggungnya dia memakai sehelai mantel hitam seperti mantel Superman. Be-rambut gondrong dengan kening diikat secarik kain merah..."

"Berambut gondrong dengan kening diikat secarik kain merah...." Boma mengulang memba-ca kalimat itu sampai berkali-kali. Lalu anak ini letakkan surat kabar di atas tempat tidur, melipat kaki dan kembali bersandar ke dinding kamar di belakangnya. Dua matanya memandang ke luar kamar lewat jendela yang terbuka. Di ambang jendela yang terbuka Boma seperti melihat bayangan satu wajah nenek keriput, bermuka ce-kung kulit hitam dengan lima tusuk konde dari perak menancap sebagai hiasan dan juga sebagai senjata di atas kepalanya.

"Aku jadi ingat nenek itu..." Boma berkata dalam hati. "Terakhir sekali muncul di kamar ini, dia mengatakan sesuatu. Tentang seseorang yang katanya... katanya hendak membunuhku..." Bo-

ma menowel hidungnya lalu tangannya bergerak menyapu tengkuknya yang mendadak terasa din-gin dan lembab oleh keringat. Dalam keadaan se-pi itu Boma ingat hampir semua pembicaraan dengan si nenek.......

"Anak Gendeng, Anak Setan dengar. Aku ti-dak bisa lama-lama di tempat ini. Aku datang ka-rena ada firasat dirimu dalam bahaya..."

"Bahayanya sudah lewat Nek. Nenek tau sendiri. Waktu saya dikeroyok orang, mau dibu-nuh. Bukankah Nenek ikut menolong?"

"Bahaya yang sudah lewat perlu apa aku urus. Yang aku maksud adalah bahaya yang bak-al datang. Ada orang yang akan membunuhmu. Petunjuk memberi tahu kau bakal dipateni di seko-lahan. Besok kamu masuk sekolah?"

Boma mengangguk. "Siapa orang jahat itu Nek? masih kawanan

lima pengeroyok itu?" "Dia mahluk dari alamku. Dikenal dengan

nama Pangeran Matahari. Berpakaian serba hitam. Ada gambar gunung dan matahari di dadanya. Dia juga pakai mantel warna hitam. Kepalanya diikat secarik kain merah. Dia merupakan suruhan para dedengkot golongan hitam yang tak suka kemun-culan dirimu sebagai Pendekar Tahun 2000."

"Apa Nek, saya Pendekar Tahun 2000? Nek setiap muncul kau membawa keanehan. Sulit bisa dipercaya."

"Dalam rimba persilatan keanehan hanya selangkah jaraknya dari kematian. Itu sebabnya

setiap keanehan harus kau perhatikan, harus kak pecahkan sebelum keanehan memecah kepalamu! Mahluk bernama Pangeran Matahari itu ilmunya tinggi. Selain itu mata biasa tidak bisa melihat ujudnya karena dia sudah diusap dengan benda ini oleh gurunya yang bernama Si Muka Bang-kai..."

Dari balik baju hitam bututnya di bawah ketiak kiri si nenek keluarkan sebuah benda ber-bentuk dan sebesar telur burung merpati, ber-warna biru bercahaya.

"Apa itu Nek?" tanya Boma. "Batu Penyusup Batin," jawab si nenek. "Ji-

ka batu ini kau genggam, ujudmu tak kan terlihat oleh siapapun. Kau lenyap, menghilang dari pe-mandangan mata manusia. Jika Pangeran Mata-hari muncul orang lain tak bisa melihat dirinya, ta-pi kau bisa."

"Kalau saya bisa menghilang wah enak ju-ga Nek," kata Boma.

"Enaknya?" tanya si nenek. "Saya bisa gentayangan kemana-mana.

Masuk bioskop nggak bayar. Ngintip orang paca-ran. Ngintipin cewek mandi. Masuk ke kamar pen-ganten baru..."

"Anak Setan!" bentak si nenek. "Ilmu apa sa-ja kalau dipergunakan salah, untuk kejahatan bisa kualat makan diri sendiri."

"Nek, gimana kalau setelah menghilang saya tidak bisa kembali ke alam nyata? Bisa cela-ka saya seumur-umur."

"Dasar anak gendenk! Tubuhmu tidak ludes, tidak menghilang benaran. Yang kejadian mata manusia tidak bisa melihat sosokmu. Itu bisa melindungi dirimu dari segala macam bahaya! Bu-kan buat ngintip cewek kencing!"

Boma mengusap bahu kanan, bagian di bawah tulang belikat. Disitu ada daging tubuhnya yang menonjol.

"Nek, saya tetap nggak mau menerima batu itu. Ngeri Nek."

"Kalau jadi anak tolol boleh saja. Tapi jan-gan kelewatan. Aku sudah bilang dirimu terancam bahaya maut. Pangeran Matahari akan muncul mau membunuhmu. Aku pinjamkan batu ini sela-ma beberapa hari padamu."

"Saya nggak berani Nek. Tetap nggak bera-ni. Takut..."

"Takut apa jijik?! Karena batu ini barusan aku keluarkan dari ketiakku hah?!"

Boma menowel hidungnya. "Tidak, bukan karena itu Nek..." "Jangan dusta Anak Setan!" "Saya nggak dusta Nek. Sumpah..." "Jangan suka bersumpah! Urusan sumpah-

mu sama guru cantik itu belum beres. Sekarang kamu sumpah lagi sama nenek jelek ini! Bisa tam-bah celaka kamu!"

"Kok.,.. kok Nenek tau saya sumpah sama Ibu Renata?" Tanya Boma heran.

"Apa yang aku tidak tahu mengenai dirimu. Yang tersembunyi dalam celana di bawah perutmu

itu juga aku tahu! Ada tahi lalat di lempengan se-belah kiri! Hik... hik.. hik!"

Boma melengak kaget. Kaget karena apa yang dikatakan si nenek memang benar adanya. Tak sadar dia turunkan tangan meraba bagian bawa celananya. Tawa cekikikan si nenek tambah keras "Anak Setan, kau tetap tidak mau menerima Batu Penyusup Batin ini?!"

Boma gelengkan kepala? Tangan kirinya masih menekap bagian bawah perut.

Si nenek tampak kesal. "Terserah kamu!" katanya. "Kalau kau cela-

ka jangan salahkan aku!" Perempuan tua berwa-jah angker dengan lima tusuk konde di kepalanya itu melangkah mendekati Boma. Anak lelaki itu mundur.

"Kamu takut?" Si nenek menyeringai. "Nek, Nenek ini siapa sih sebenarnya?" "Kalau aku beri tahu namaku apa kau mau

menerima batu sakti ini?" "Nggak Nek, nggak. Biar saja saya nggak

tau nama Nenek,.." Si muka angker tertawa panjang. "Bagus,

kau rupanya tidak mempan disogok! Hiik,,. hik..hik!"

Nenek itu maju lagi satu langkah. Tiba-tiba tangan kirinya ditepukkan ke bahu kanan Boma seraya berkata. "Kau akan menyesal tidak mau kupinjamkan batu sakti itu. Aku pergi sekarang!"

Boma merasa bahunya yang ditepuk men-jadi pegal dan berat.

"Nek, pintu keluar sebelah sana," kata Bo-ma ketika dia melihat si nenek melangkah ke arah jendela yang tertutup.

"Siapa bilang aku keluar lewat pintu!" jawab si nenek sambil tertawa lebar. Tangannya berge-rak membuka daun jendela. "Anak tolol, dengan baik-baik. Batu Penyusup Batin sudah aku su-supkan ke dalam bahu kanan di bawah tulang be-likatmu. Jika kau mengusap bahumu satu kali, so-sokmu akan menjadi samar. Jika kau mengusap kedua kali tubuhmu akan lenyap dari pemandan-gan mata manusia. Jika kau mengusap sekali lagi, ujudmu akan kembali seperti semula."

Boma tersentak kaget. Dirabanya bahu ka-na di bawah tulang belikat. Astaga, ada sesuatu yang menonjol pada daging dibawa tulang beli-katnya. Selagi Boma bingung, kaget dan juga ta-kut si nenek kembali tertawa cekikikan. Lalu se-kali dia berkelebat sosoknya melesat keluar lewat jendela. Boma mengejar ke jendela, namun dia hanya melihat kegelapan di luar sana. Si nenek tak kelihatan lagi......

***

Di atas tempat tidur Boma raba bahu ka-nannya. Daging di bahu itu masih menonjol tanda Batu Penyusup Batin masih ada di situ. Dipan-danginya surat kabar Minggu yang bertebaran di atas tempat tidur.

"Ciri-ciri Pangeran Matahari yang dis-

ebutkan nenek aneh itu sama dengan pemuda yang diberitakan di koran. Apa bener Pangeran Matahari itu ada betulan? Kalau dia benar ada la-lu apa benar dia mau membunuh aku? Apa sa-lahku? Pendekar Tahun 2000. Kata si nenek ka-rena aku Pendekar Tahun 2000. Orang-orang go-longan hitam mau mateni aku karena aku Pende-kar Tahun 2000. Gila! Ini dunia nyata, bukan ce-rita silat." Boma menowel hidungnya. Dia men-gambil salah satu dari tiga surat kabar itu dan membacanya sekali lagi, ia kembali merenung bersandar ke dinding kamar. "Tapi gimana kalau apa yang dibilang nenek aneh itu benar? Buk-tinya waktu batu ini aku gosok dua kali, bokap nggak ngeliat aku. Padahal aku dalam kamar di depan jidatnya! Lalu waktu Ibu Renata yang me-meluk aku tak sengaja menekan batu sampai dua kali, sosokku juga lenyap."

Sambil merenung mengingat-ingat seperti itu tidak sadar Boma usap bahu kanannya satu kali.

"Pangeran Matahari, mungkin aku musti hati-hati. Aneh memang. Tapi aku ingat. Si nenek bilang keanehan hanya selangkah jaraknya dari kematian." Boma menowel hidungnya. Mengeliat satu kali. Tidak sadar dia mengusap bahu kanan-nya sekali lagi lalu turun dari tempat tidur

"Saatnya aku musti turun ke bawah. Ban-tuin bokap nyablon sebelum dia nyap-nyap."

Sebelum pergi ke halaman samping rumah tempat ayahnya sibuk menyablon, Boma ke ruang

makan dulu. Saat itu ibunya tengah menyiangi ikan di dapur. Dari dapur perempuan ini bisa me-lihat ke ruang makan. Mula-mula dia kerenyitkan kening heran. Rasa heran kemudian berubah menjadi takut ketika dilihatnya tudung plastik di-atas meja naik, terbuka ke atas. Padahal dia tidak melihat siapapun berdiri di sekitar meja makan.

Boma yang membuka tudung plastik itu hanya melihat sebuah piring kecil berisi sambel.

"Laper, tapi cuman ada sambel..." Kata Boma dalam hati lalu tudung plastik ditutupkan-nya kembali. Anak ini pergi ke tempat ayahnya bekerja.

"Ayah, mari Boma bantuin nyablon." kata Boma pada ayahnya.

"Gini hari baru bangun kamu," kata ayah Boma, Sumitro Danurejo lelaki pensiunan De-partemen Penerangan tanpa berpaling. "Sini, ka-mu bawa masuk kaos yang sudah disablon. Su-sun di kursi tamu. Ikat sepuluh-sepuluh...." Lalu tak acuh lelaki ini berpaling. Pekerjaannya me-nyablon langsung berhenti. Barusan ia jelas men-dengar suara anaknya berkata mau membantu pekerjaannya. Dia mendengar suara tapi orang-nya tidak kelihatan.

"Anak itu, katanya mau nolong. Kok malah pergi?! Boma?! Eeehhh!" Sumitro Danurejo ter-sentak ketika dia melihat susunan kaos oblong yang sudah kering disablon bergerak sendiri, te-rangkat dari meja di ujung sana lalu seolah me-layang bergerak sepanjang samping rumah, me-

luncur ke ruang tamu. Sumitro Danurejo melang-kah cepat-cepat ke ruang tamu. Dia tidak melihat siapa-siapa.

"Boma?! Kau dimana?" "Ayah bilang bawa kaos ini ke ruang ta-

mu?" Jawab Boma. Dia memperhatikan air muka ayahnya. Pucat seperti ada sesuatu yang mena-kutkan. "Aku berdiri di sini, dia tidak melihat. Jangan-jangan..," Boma sadar. Tangan kirinya di-gerakkan ke bahu hendak mengusap tonjolan daging bahu yang disusupi Batu Penyusup Batin. Tapi otaknya cepat bekerja. Kalau sosoknya yang tadi tidak kelihatan tiba-tiba muncul dan terlihat di tempat itu oleh ayahnya, lelaki itu bukan saja terkejut tapi buntut-buntutnya dia bisa susah ka-rena ayahnya pasti akan mengajukan seribu satu macam pertanyaan padanya. Boma masuk ke da-lam rumah. Di ruang tengah dia mengusap dulu Batu Penyusup Batin satu kali. Sosoknya serta merta muncul dalam ujud nyata. Boma pegang wajahnya sendiri, usap-usap sekujur tubuhnya. Setelah yakin kalau tubuhnya kini benar-benar berada dalam ujud nyata, anak ini keluar kembali ke ruang tamu.

"Ayah manggil Boma?" tanya Boma pura-pura.

Sumitro Danurejo turunkan kaca mata te-balnya ke bawah hidung, pandangi anaknya dari kepala sampai ke kaki. Melirik ke arah kursi tamu dimana tersusun kaos oblong yang tadi disuruh-nya Boma membawa masuk ke dalam situ.

"Aneh...." ucapnya perlahan. Dia kembali ke samping rumah ke meja tempat dia menyab-lon. Untuk beberapa lamanya lelaki ini tegak ter-diam berpikir-pikir.

Tiba-tiba istrinya muncul, mendatangi dengan langkah bergegas. Wajah perempuan ini kelihatan pucat.

"Ada apa Bu?" tanya Sumitro Danurejo pa-da istrinya.

"Saya melihat sesuatu yang menakutkan di meja makan Pak" jawab Hesti, Ibu Boma.

"Kau melihat hantu?" Perempuan itu menggeleng. "Saya tidak

melihat siapa-siapa. Tapi saya melihat tudung plastik di atas meja makan terbuka dan tertutup sendirinya...."

"Kau yakin melihat...." "Pak, saya tidak dusta...." Sumitro Danure-

jo angkat tangan kirinya, memberi isyarat agar sang istri menghentikan ucapannya. Lalu dengan suara perlahan lelaki ini berkata. "Barusan aku juga mengalami satu keanehan. Aku mendengar suara Boma, katanya mau menolong pekerjaan-ku. Aku suruh dia membawa kaos yang sudah disablon ke dalam. Ke ruang tamu. Lalu kaos-kaos itu seperti melayang di udara. Aku ikuti. Ternyata kaos itu sudah berada di atas kursi ruang tamu. Anehnya aku sama sekali tidak me-lihat Boma."

Dua suami istri itu terdiam sesaat. "Jangan-jangan ada hantu di rumah ini"

Bisik Sumitro Danurejo. "Puluhan tahun kita tinggal di sini pak.

Masa’ sih baru sekarang ada hantunya..." "Mungkin saja. Wong hantunya baru seka-

rang. Hantunya menyerupai anak kita. Boma." "Bapak ini bicara apa? masakan anak sen-

diri dibilang hantu? Barusan aku melihat anak itu diruang tamu. Merapikan susunan kaos ob-long"

"Sulit aku menerangkan Bu. Tapi ada se-suatu yang tidak beres di rumah ini." Kata Sumi-tro Danurejo pula.

Di ruang tamu Boma mendengar semua pembicaraan kedua orang tuanya itu. Anak ini menowel hidungnya beberapa kali.

"Batu Penyusup Batin. Bikin urusan saja," ucap Boma dalam hati. "Kalau nenek itu datang aku akan suruh dia mengambil batu ini kembali."

7 BOMA TIDAK IKUT KE BOROBUDUR

JAM ISTIRAHAT pertama. Gita Parwati, Vi-no, Rio, Firman, Andi dan Ronny serta Allan ngo-brol di taman. Mereka membicarakan berita yang dimuat di surat kabar Minggu mengenai peristiwa perkelahian dua orang aneh di jembatan penyebe-rangan di depan gedung Sarinah.

"Boma kemana?" tanya Rio.

"Tu, lagi ke sini," kata si gendut Gita sambil monyongkan bibirnya ke arah Boma yang berjalan mendatangi.

"Teman-teman, kayaknya ogut nggak bisa ikut ke Borobudur sama-sama kalian minggu de-pan."

"Nggak salah dengar nih?!" ujar Gita. "Dwita aja anak kelas lain ikut gabung. Kok

kamu dedengkot kelas H-9 malah nggak!" ujar Firman ceking.

"Aku tahu," kata Vino. "Aku bisa nebak. Mungkin kawan kita ini nggak ikut karena yang jadi tour leader Si Umar musuh bebuyutan."

"Benar Bom?" tanya Ronny. "Acuh aja! Guru kayak gitu nggak usah dipikirin."

Boma tidak menjawab, hanya menowel hi-dungnya dua kali.

"Kalau tebakan gue tadi salah, masih ada tebakan cadangan," Vino berkata lagi. "Teman ki-ta nggak ikut justru karena Dwita ikut."

"Itu sih ngawur!" kata Rio. "Kau tahu dong gimana hatinya Dwi sama kita pe teman dan hati kita pe teman terhadap tu cewek. Iya 'kan Bom?"

Boma tersenyum, masih belum mau bicara. "Tunggu dulu," kata Vino belum mau ka-

lah. "Gue pikir-pikir. Kayaknya ini bukan cuma permainan hati tapi nyangkut harga diri."

"Ah, sok tahu lu!" Kata Ronny sambil men-geplak kepala Vino. Tapi dia juga bertanya. "Harga diri apa? Siapa?"

"Kita semua tahu Dwita mau ikut orang tu-

anya pindah ke luar negeri. Bokapnya dapat tugas baru di PBB New York. Boma "taunya juga dari ki-ta-kita. Bukan langsung dari Dwita. Teman kita merasa kurang dianggap. Kira-kira gitu ceri-tanya."

"Brengsek! Bisa juga kamu ngarang!" Boma keluarkan ucapan juga pada akhirnya.

"Habis cuma kamu doang yang nggak ikut ke Borobudur. Teman-teman, ini merupakan satu tragedi, Bo!"

"Kamu ada halangan apa? Uang tour kalau nggak salah kamu udah bayar." Kata Ronny pula

Boma menowel hidungnya. Dia mau men-jawab. Tiba-tiba Pak Zakir, penjaga dan pengawal kebersihan sekolah datang. Memberi tahu kalau Boma dipanggil Pak Sanyoto.

Boma menowel hidungnya kembali. "Wah, kira-kira ada apa 'ni Bom?" ujar Gita.

"Jangan-jangan dia tahu aku yang ngerjain motornya," jawab Boma. "Kalian tunggu, aku per-gi nemuin Si Umar dulu."

Waktu istirahat tinggal beberapa menit lagi ketika Boma keluar dari Ruang Guru SMU Nu-santara III, melangkah tenang-tenang saja men-dapatkan kawan-kawannya.

"Gimana Bom?" tanya Ronny yang bersama teman-teman lainnya tak sabar mau tahu menga-pa Boma dipanggil guru Olahraga Pak Sanyoto.

"Yang jelas bukan soal motor," kata Boma. "Pak Sanyoto mau kasih aku kerjaan banyak. Ngebantuin dia soal tour ke Borobudur. Mulai

ngurusin karcis kereta api, ngurusin penginapan, konsumsi, keamanan. Pokoknya banyak."

"Kok Si Umar jadi shobib banget sama ka-mu? Jangan-jangan ada apa-apanya." berkata Ronny Celepuk.

"Tapi." kata Boma meneruskan. "Si Umar langsung clep diem waktu ogut bilang ogut nggak ikut. Habis diem mulutnya nyerocos ngomong yang enggak-enggak. Aku dibilang mau nyabot tour. Katanya kalau sampai ada anak-anak lain yang nggak ikut gara-gara aku, dia mau lapor ke Kepala Sekolah dan aku bakal dikenain sanksi berat."

"Kalau gitu kita semua pada nggak ikut aja!" Kata Vino pula.

"Jangan gitu. Kasihan teman-temen yang lain kalau acara jadi rusak." kata Boma lalu me-nowel hidungnya.

"Habis kamu juga sih yang jadi gara-gara konyol. Tour macam begini nggak tiga taon seka-li." Ucap Gita Parwati.

"Gua rasa Si Umar cuma belagak marah kamu nggak ikut. Padahal sebenarnya hatinya pasti happy." kata Vino pula.

"Kok kamu bisa ngomong gitu?" tanya Bo-ma.

"Kalau kamu nggak ada berarti Si Umar nggak punya rival. Bebas deh dia ngedeketin Ibu Renata." Jawab Vino.

"Dari mana kau tahu Ibu Renata juga ikut Vino tertawa tapi tak menjawab.

"Pasti dari Si Centil!" kata Gita Parwati. Ayo ngaku, bener kan?!" Tangan kiri Gita Parwati hendak menjewer telinga Vino.

Anak lelaki itu cepat-cepat jauhkan kepala "Ho-o. Memang aku tau dari Sulastri." Vino

mengaku. "Cewek lu 'kan?" ujar Gita. "Enak aja lu!" "Jangan bohong!" kata Rio sambil nyengir.

"Ada anak yang lihat kamu pulang sekolah naik mikrolet berdua sama Sulastri. Turun di Atrium Senen."

"Anak yang ngeliat pasti matanya lamur," kata Vino. "Pokoknya terserah kalian mau ngo-mong kek!"

Boma duduk diam di bangku taman. Se-mua anak menduga-duga apa yang ada di benak teman mereka ini.

"Sebenarnya kenapa sih kamu nggak mau ikut Bom?" Bertanya Ronny Celepuk.

"Betul, kami semua juga pengen tau," kata Andi pula.

"Pak Sanyoto juga nanya' begitu," jawab Boma. "Kalian ingat kejadian orang yang diram-pok di bajaj?"

"Yang buntut-buntutnya kamu diclurit lalu terpaksa ngerem di rumah sakit," kata Ronny.

Boma mengangguk. "Sidang Pengadilan pertama akan dilangsungkan minggu depan. Aku nggak tahu hari tanggal berapa. Tapi yang jelas minggu depan. Aku saksi utama. Sudah dipesan

oleh orang Kejaksaan agar aku harus hadir. Surat panggilan akan menyusul. Paling lambat lusa."

Semua anak yang ada di tempat itu jadi terdiam. "Yaaah, kalau memang begitu mau di-apain lagi..." kata Ronny.

Bel tanda masuk berdentang. Anak-anak itu melangkah memasuki kelas tanpa ada yang bicara lagi. Begitu duduk di bangku masing-masing Ronny berpaling pada Boma.

"Kalau Ibu Renata tau kamu nggak ikut, mungkin dia juga bakalan nggak pergi."

"Mungkin itu yang dikawatirin Si Umar. Jadi marahnya Si Umar sama kamu bukan kare-na kamu nggak ikut tapi takut ibu Renata juga batal ikut."

Boma pandangi Vino yang barusan menge-luarkan ucapan itu.

"Apa perlu gua kasi tahu Ibu Renata? Biar Si Umar tau rasa?" tanya Vino pula.

"Nggak usah. Jangan...." jawab Boma. Per-cakapan terhenti ketika guru yang akan mengajar memasuki kelas.

***

JAM istirahat kedua, anak-anak itu ber-kumpul lagi di taman.

"Aku nggak habis pikir," kata Rio. "Sehabis peristiwa buah anggur yang dia gilas sama motor bututnya, Si Umar kok nggak malu masih terus ngincerin Ibu Renata..."

"Orang ngedablek macam begitu mana punya malu. Jangan-jangan kemaluan juga nggak punya!" ujar Vino.

Suara tawa memenuhi pinggiran lapangan basket.

"Mulutlu brengsek Vin!" kata Gita sambil mencubit pinggang Vino hingga anak lelaki ini melintir kesakitan. "Dosa lu ngatain guru kayak begitu!"

"Sstt teman-teman, ada orang penting da-tang" Andi berkata sambil goyangkan kepala ke kiri.

Semua anak memandang ke arah goyangan kepala Andi.

"Uh! Segala kucing garong aja lu bilang orang penting. Tak u~u la yauw!" kata Gita Par-wati sambil mencibir.

Yang datang Trini Damayanti. Di tangan ki-rinya di menenteng sebuah kantong plastik hitam. "Teman-teman, aku bawa tempe goreng." Dari jauh Trini sudah berteriak sambil mengangkat tinggi-tinggi kantong plastik hitam.

Gita Parwati yang memang tidak pernah berbaikan dengan Trini kembali mencibir.

"Uh... baru tempe aja bangga amat. Teman-teman, Ogut pergi dulu ya. Ogut akan kembali se-telah pesan-pesan berikut ini. Huaaahh!" Gita mencibir. Sebelum Trini sampai di tempat itu ce-wek paling gemuk di seluruh SMU Nusantara III itu sudah melangkah pergi.

Vino berpaling pada Allan.

"Lan, cabut sono buruan. Lu mau di PHK sama Gita? Apa lagi kalau kamu sampai makan tempenya si Trini."

Allan jadi serba salah. Akhirnya dengan suara agak dikeraskan agar terdengar Trini anak lelaki ini berkata.

"Aku mau kencing dulu. Sisain tempenya." "Bukan basa basi ni ye?" Rio meledek. Sebelum Trini sampai Allan bergegas ke

bagian belakang sekolah. Namun setengah jalan membelok ke jurusan lain.

8

ORANG GILA MENGAMUK DI SMU NUSANTARA III

SORE itu sehabis latihan basket Boma, Vi-no, Ronny dan Allan pulang sama-sama. Mereka pulang paling belakang. Teman-teman yang lain sudah lebih dulu. Sambil jalan menuju pintu ger-bang keluar Ronny berkata.

"Bom, maen lu jelek amat sekali ini. Bola yang masuk bisa diitung."

"Kurang vitamin dia Ron," menimpali Vino. Boma tersenyum. Mengusap hidungnya. "Ulangan juga jeblok semua. Matematika dapet empat. Fisi-ka kemaren cuman tiga..."

"Itu sih udah langganannya Boma," Allan ikut bicara. "Yang heran masa’ sih ulangan Baha-

sa Indonesia juga dapat lima." "Gua rasa temen kita ini udah keberatan

cewek," ucap Ronny sambil memain-mainkan bola basket yang dibawanya.

"Maksudlu keberatan cewek gimana?" Bo-ma akhirnya keluarkan suara juga.

"Maksud gue keberatan kebanyakan. Su-dah ada Trini, Dwita kamu suka juga. Eh, Ibu Renata masih kamu lirik."

"Gue nggak ngerasa mereka cewek gua. Gue biasa-biasa aja sama mereka."

"Justru karena biasa-biasa maka jadi luar biasa!" kata Vino pula disambut ketawa Allan dan Ronny

"Ala kalian semua cuma bisa ngenyek!" "Bukan ngenyek Bom." kata Ronny. "Kami

cuma pengen tau kamu ini lagi kenapa? Kadang-kadang aku liat kamu dikelas seperti ngelamun. Kadang-kadang gelisah. Lalu aku sering liat kamu sebentar-sebentar memandang ke luar kelas. Ka-lau lagi di luar kelas mata kamu suka jelalatan kemana-mana. Kalau pulang sekolah sekarang langsung pulang. Dulu kamu sering ngajak nge-liat pameran ama jalan kemana aja..."

"Jangan-jangan temen kita udah dipingit Ron. Nggak boleh kemana-mana." Kata Vino sam-bil senyum-senyum.

"Kalau gitu aku jadi mau tahu siapa yang mingit," ucap Ronny pula. "Biar jelek begini aku nggak nolak kalau ada yang mau mingit gua!"

"Nenek jompo, lu mau Ron?" tanya Vino.

"Sialan. Itu sih kelewatan. Tapi biar jompo kalau jutawan rasanya gua nggak nolak!" Ronny tertawa membahak.

Allan dan Vino ikut gelak-gelak. "Ketawa situ sampai mulut kalian robek!"

Kata Boma mulai kesal. "Terus terang gua me-mang lagi gelisah."

"Maksudlu gelisah geli-geli basah?" ujar Vi-no membuat Allan dan Ronny kembali tertawa.

"Aku nggak becanda. Ada yang mau nge-bunuh aku," menerangkan Boma.

Allan, Vino dan Ronny langsung hentikan langkah mereka.

"Kamu ngacok atau mabok Bom?" tanya Al-lan

"Siapa yang mau ngebunuh kamu?" tanya Vino. "Si Anton?"

Boma menggeleng. "Kaki tangan suruhannya si Anton? Kan

orangnya udah ketangkep semua." Boma menggeleng lagi. "Mungkin teman-teman rampok di bajaj,

dendam sama kamu?" "Bukan juga," jawab Boma. "Lalu siapa?" "Aku belum pernah liat orangnya. Tapi ba-

gaimana ciri-cirinya aku sudah tau..." "Ini bener-bener aneh!" Kata Ronny. Dia

pegang lengan Boma. "Bom, kamu nggak lagi de-mam panas 'kan?"

"Memangnya kenapa?" tanya Boma.

"Kamu bilang ada yang mau bunuh kamu. Tidak pernah liat orangnya tapi tau ciri-cirinya. Kalau gitu, kenapa kamu nggak lapor polisi saja. Minta perlindungan..."

"Kamu semua sudah baca 'kan di koran pe-ristiwa perkelahian orang-orang aneh di jembatan penyeberangan Sarinah."

"Jelas sudah baca. Hari Senin kemarin kamu sendiri yang bawa korannya ke sekolah."

"Orang yang berpakaian serba hitam, pakai ikat kepala kain merah yang disebut dalam koran, itu orangnya yang mau ngebunuh aku."

Ronny, Vino dan Allan memandang wajah Boma lekat-lekat lalu ke tiga anak ini saling pan-dang satu sama lain. Ronny yang duluan tertawa, diikuti Vino lalu Allan.

"Kalian pasti nggak percaya! Ya sudah!" Boma melangkah.

"Tunggu!" kata Ronny sambil pegang len-gan temannya. "Dalam surat kabar disebut orang-orang yang berkelahi itu adalah orang-orang sakti dari Banten..."

Boma menggeleng. "Bukan, mereka bukan orang Banten. Itu

dugaan wartawan saja. Yang mau bunuh aku itu namanya Pangeran Matahari. Dia bukan mahluk dari alam kita."

"Ajie Busyet! Sebangsa hantu? Jin? tanya Allan.

"Di koran kalau aku nggak salah, nama orang itu nggak disebut-sebut. Dari mana kamu

tau Bom, kalau orang itu namanya Pangeran Ma-tahari. Nama aneh..."

"Ada yang memberi tau." Jawab Boma. "Siapa?" "Aku nggak bisa ngasih tau." "Aneh lagi!" Kata Ronny sambil perhatikan

wajah Boma dan mainkan bola basket di tangan-nya. Entah bagaimana bola itu terpelanting, ber-gulir di atas aspal, meluncur ke arah pintu ger-bang sekolah.

Di pintu gerbang sekolah satu kaki mema-kai sandal kulit menahan bola basket merah yang hendak bergulir ke jalan raya. Orang ini masih muda. Bertubuh tinggi besar. Mengenakan celana hitam, kemeja hitam. Rambutnya yang gondrong dikuncir ke belakang. Di keningnya melilit sehelai kain berwarna merah. Di punggung tergantung sehelai mantel hitam. Dari jauh Boma tidak dapat melihat jelas gambar yang tertera di kemeja hitam orang itu. Tapi dia yakin itu adalah gambar gu-nung dan sinar matahari.

Boma terbelalak. "Pangeran Matahari..." ucapnya dengan su-

ara gemetar. Dia pegang lengan Rony dan berka-ta.

"Ron... Itu.... itu orangnya yang mau nge-bunuh aku."

"Ronny, Vinno dan Allan memperhatikan ke arah pintu gerbang sekolah.

"Bom, kalau gua liat," kata Ronny. "Dari dandanannya aja orang yang kamu sebut Pange-

ran Matahari ini nggak lebih dari orang gila!" Pemuda berpakaian dan bermantel hitam

yang menahan bola basket di pintu gerbang seko-lah berpaling pada Pak Saud penjaga pintu yang duduk di rumah penjagaan.

"Yang pakai kaos putih, rambut pendek itu Pak?"

"Betul, itu Boma saudaranya situ yang situ cari."

"Ah, dia sudah besar. Tinggi lagi. Saya hampir tak mengenali," kata pemuda berpakaian serba hitam sambil anggukkan kepala dan serin-gai aneh bermain di mulutnya. Kakinya bergerak ke bawah, menekan bola basket. Bola itu pecah dengan mengeluarkan letusan keras.

Di dalam rumah jaga Pak Saud tersentak kaget. Mukanya sampai pucat dan badannya sampai lemas.

"Gila! Bola gue dipecahin!" Ronny berteriak marah. Dia melangkah hendak mendatangi orang itu tapi Boma cepat memegang tangannya.

Di depan sana pemuda berpakaian serba hitam yang memang adalah Pangeran Matahari mulai melangkah ke arah Boma dan kawan-kawan.

"Hati-hati Ron. Kalau dia memang orang gi-la, berarti kalau dia ngebunuh kita, dia nggak bakal dituntut!"

"Gila kek, nggak kek pokoknya gua hajar dulu. Enak aja mecahin bola gua..."

"Ron, kamu liat sendiri. Mana ada orang

mampu mecahin bola basket dengan injakan ka-ki. Dia punya tenaga luar biasa. Bola itu medel seperti dilindas ban truk!"

Ronny hentikan langkahnya. Dia sadar apa yang dikatakan Boma memang benar. Kini gan-tian Allan yang meradang.

"Ron, aku setuju. Biar gila musti kita hajar dulu!"

"Biar badannya gede jangkung, kalau kita keroyok berempat masa’ sih nggak ngejengkang!" kata Vino. Memang keempat anak itu walau cek-ing-ceking tapi memiliki badan rata-rata tinggi. Boma 174 Cm. Ronny 176, Allan dan Vino 172 Cm. Sedang orang yang bakal mereka hadapi pal-ing tidak sekitar 175 tingginya dan bobotnya be-sar kokoh.

Pangeran Matahari hanya tinggal sekitar sepuluh langkah dari hadapan ke empat anak itu.

"Ron, Vino, Allan. Kalian lari! Lari!" Boma menyuruh kawan-kawannya lari.

"Lari? Gue nggak sepengecut itu Bom. Satu lawan satu aja gua rasa gua nggak bakalan ka-lah!" Kata Ronny yang kembali timbul semangat-nya mendengar ucapan Vino tadi.

"Jangan sok jago! Jangan tolol! Kita berha-dapan bukan dengan manusia biasa! Lari! Ayo!" Boma setengah berteriak lalu tangannya kiri ka-nannya mendorong Ronny dan Vino ke samping. Dia berputar ke belakang mendorong dada Allan. "Lari!" teriak Boma. "Berpencar!"

Ronny, Vino dan Allan jadi bingung. Tiga

anak ini jelas tidak takut kalau harus berkelahi dengan pemuda tinggi besar yang mereka anggap orang gila itu. Tapi ketika melihat Boma lari ke balik pohon besar, ketiganya sesaat jadi bimbang. Ketika Pangeran Matahari melompat berusaha mengejar Boma ke balik pohon. Alan, Vino dan Ronny serta merta lari berpencaran.

"Bukan orang gila Ron!" kata Vino sambil lari. "Orang mabok! Teller! Aku mencium bau al-kohol waktu tadi dia melesat di sampingku!"

Melompat ke balik pohon besar Pangeran Matahari tidak menemukan Boma.

"Bocah edan! Kamu lari kemana hah?!" Pangeran Matahari pukul pohon besar itu

dengan tangan kiri hingga batang pohon yang be-sarnya sepemelukan itu hancur berkeping-keping. Pangeran Matahari memandang ke atas pohon. "Kurang ajar!" Dia tidak melihat Boma di atas po-hon itu.

Karena tidak berhasil menemukan Boma, Pangeran Matahari kini mengalihkan perhatian-nya pada Ronny, Allan dan Vino. Ronny yang pal-ing dekat. Dia segera melompat mengejar Ronny. Pak Saud, penjaga Pintu gerbang sekolah heran ada kaget juga ada ketika melihat pemuda berpa-kaian hitam berikat kepala merah itu mengejari anak sekolah.

"Wong sinting! Tadi katanya nyari Boma saudaranya. Sekarang kok nguberin anak-anak!" Pak Saud segera keluar dari rumah jaga mengejar Pangeran Matahari.

"Hai! Apa-apaan ini? Sampeyan mau bikin apa sama anak-anak?!"

Pangeran Matahari berpaling. Menyeringai. Tangan kirinya bergerak. Sekali dia mendorong Pak Saud yang kurus kering itu terlempar sama beberapa meter, jatuh terbanting, kepalanya membentur aspal. Pak Saud pingsan tak berkutik lagi.

Di jalan raya, orang-orang yang lalu lalang pedagang kaki lima dan pengemudi ojek yang me-lihat kejadian itu segera berkerubung. Mereka mengira ada orang gila mengamuk di halaman se-kolah SMU Nusantara III.

Ronny begitu melihat Pak Saud didorong keras sampai tak sadarkan diri, jadi beringas. Ka-lau tadi karena disuruh Boma dia lari, kini dia malah berbalik mengejar ke arah Pangeran Mata-hari. Allan dan Vino ragu-ragu. Tapi hanya seben-tar. Kedua anak ini menyusul Ronny, mengha-dang Pangeran Matahari.

"Kalian mau mati? Mau mati barengan?!" Kertak Pangeran Matahari. "Mana Boma?! Mana Boma?!"

Ronny menjawab dengan mengacungkan tinjunya. Di samping kiri dan kanan Allan dan Vino siap pula menerjang.

Pangeran Matahari tertawa bergelak. "Bo-cah-bocah tolol! Biar aku bikin geger sekolahan ini! Kupecahkan semua kepala kalian! Kowe du-luan!" Teriak Pangeran Matahari. Tubuhnya kelu-arkan suara menderu ketika melesat ke arah

Ronny. Ronny yang pernah ikut Karate melihat pe-

rut Pangeran Matahari dalam keadaan terbuka segera hantamkan tinjunya ke perut lawan dalam pukulan yang disebut Gyaku Tzuki.

"Bukk!" Bersamaan dengan mendaratnya telak jo-

tosan tangan kanannya di perut Pangeran Mata-hari, Ronny menjerit kesakitan sambil mengibas-ngibaskan tangan kanan. Dia seperti memukul batu.

Pangeran Matahari tertawa bergelak. Lima jari tangan kanannya mengeluarkan suara berke-retakan. Lima jari tangan itu kemudian memben-tuk tinju. Didahului bentakan keras Pangeran Matahari berkelebat. Tubuhnya melayang setinggi pinggang. Tangan kanannya laksana kilat meng-gebuk ke batok kepala Ronny.

Ronny yang masih belum menyadari sepe-nuhnya dengan siapa dia berhadapan rundukkan badan sambil silangkan dua tangan melindungi kepala. Jangankan tangan biasa. Sekalipun dua batangan besi yang melindungi kepala Ronny saat itu, pukulan Pangeran Matahari akan mematah-kan batangan besi itu lalu menembus menghan-curkan kepalanya!

"Bukkk!" Ronny terheran-heran ketika melihat di

hadapannya Pangeran Matahari terhuyung-huyung sambil pegangi tengkuk. Dari mulutnya keluar makian marah.

"Kurang ajar! Setan dari mana berani me-mukul tengkukku?"

"Bukkk!" Pangeran Matahari menjerit kesakitan. Kini

tangannya beralih memegangi telinga kanannya. Matanya mendelik memandang pada Ronny. Lalu pada Vino dan Allan. Dia tahu betul, tidak seo-rangpun dari tiga anak ini yang memukul telinga kanannya. Lalu siapa?!

"Jahanam! Kalau kubunuh salah satu dari bangsat ini, masakan setan itu tidak unjukkan di-ri!"

Pangeran Matahari keluarkan suara meng-gereng. Tiba-tiba sekali dia melompat ke arah Vi-no. Anak inilah yang akan dijadikannya korban pertama!

Tapi setengah jalan tubuh Pangeran Mata-hari tertahan lalu krakk!

Pangeran Matahari meraung keras sambil pegangi tulang iganya di sebelah kanan. Dua ka-kinya mundur terhuyung. Matanya membeliak besar. Bukan memancarkan amarah atau kega-nasan tapi benar-benar karena kesakitan dan ada rasa kecut.

"Kurang ajar... Mungkin Sinto Gendeng yang membantu anak itu. Nenek pengecut! Tidak berani unjukkan diri! Rasakan nanti pembalasan-ku!"

Sambil pegangi dadanya sebelah kanan, terbungkuk-bungkuk Pangeran Matahari lari me-ninggalkan halaman sekolah. Di pintu gerbang,

orang banyak yang berkerumun menyaksikan ke-jadian itu cepat-cepat menyingkir sebelum kena tabrak sosok besar tinggi Pangeran Matahari yang mereka anggap orang gila itu.

"Boma, mana Boma?" tanya Ronny. "Tadi aku liat dia lari ke balik pohon besar

itu!" kata Vino sambil menunjuk ke arah pohon besar yang dipukul hancur batangnya oleh Pange-ran Matahari.

Ronny, Vino dan Allan segera lari ke pohon besar. Benar saja. Dibalik pohon Boma mereka temui duduk menjelepok di tanah, meringis kesa-kitan sambil pegangi tangan kanannya yang bengkak merah.

"Kenapa tanganmu Bom?" tanya Ronny. "Waktu lari ke balik pohon ini, gue kepele-

set Ron. Gue coba nahan sama tangan kanan. Mungkin salah jatuh. Tangan ogut kedengklek. Gila! Sakitnya! Mana orang gilanya?!" Boma ber-pegangan ke pohon dengan tangan kiri lalu berdi-ri sambil ulurkan kepala ke balik pohon.

"Udah kabur!" jawab Ronny. "Aneh, dia ka-bur kesakitan. Kayaknya ada yang mukulin dia."

"Mukulin dia? Kalian yang mukul?" ujar Boma.

"Boro-boro mukulin. Kalau nggak ada keja-dian aneh itu kami bertiga mungkin udah awara-hum!" jawab Vino.

"Teman-teman, ayo kita tolong Pak Saud..." kata Allan.

"Tunggu," Vino pegangi bahu Ronny den-

gan tangan kiri. "Kita-kita pasti bakalan dipanggil sama Kepala Sekolah. Kita harus kasi keterangan sama. Ada orang gila masuk ke halaman sekolah. Nguberin kita."

"Rebes!" kata Ronny. "Ayo.." "Tunggu," kata Boma lagi. "Wartawan pasti

nyariin kita. Nanyain kita. Jawab dengan cerita yang sama. Oke?"

"Oke!" jawab Allan. Vino dan Ronny baren-gan.

"Sekarang kita tolong Pak Saud." kata Bo-ma. Sambil melangkah cepat dia melanjutkan ucapannya. "Aku takut kalau penjaga sekolah itu sampai koit. Urusan jadi tambah kagak karuan. Gua lagi yang jadi bulan-bulanan Polisi."

Beberapa orang telah menolong Pak Saud ketika Boma dan kawan-kawannya sampai.

9 SINTO GENDENG MENGOBATI TANGAN BOMA

MALAM itu Boma tertidur nyenyak setelah

tangannya diperban lalu diguyur arak gosok yang dibawa Allan. Di luar langit terkembang gelap tanpa bulan tanpa bintang. Angin bertiup agak kencang. Daun pohon di depan jendela kamar Boma bergoyang-goyang mengeluarkan suara ge-merisik halus. Tiba-tiba sesiur angin lebih ken-cang bertiup. Dan jendela kamar yang tadinya ter-tutup rapat mendadak terpentang lebar. Satu

bayangan hitam entah dari mana datangnya me-lesat masuk ke dalam kamar Boma lewat jendela yang terbuka.

Seorang nenek bungkuk, berkulit hitam, tinggi kurus tegak menyeringai disamping tempat tidur Boma. Lima tusuk konde perak bergoyang-goyang di atas kepalanya. Kamar itu serta merta dipenuhi bau pesing.

Si nenek perhatikan tangan Boma yang di-perban dan dibasahi arak gosok. Dia tundukkan kepala mendekatkan hidungnya ke tangan yang dibalut.

"Arak gosok. Cara pengobatan tolol! Paling cepat satu minggu baru tanganmu sembuh! Hik....hik!"

Si nenek yang bukan lain Sinto Gendeng melangkah mundar mandir di samping tempat ti-dur Boma. Lalu berhenti dia cabut sehelai rambut putih dikepalanya. Sambil tertawa-tawa nenek ini memasukan rambut ke telinga Boma lalu diputar-putar. Karuan saja dalam tidurnya Boma keliha-tan tersentak-sentak kepalanya. Si nenek tertawa senang. Dari telinga, dia berpindah ke hidung. Ujung rambut dimasukannya ke salah satu lo-bang hidung Boma. Lalu diputar-putar. Cuping hidung Boma bergerak-gerak. Mulut anak ini ikut komat-kamit. Sinto Gendeng masukkan ujung rambut lebih dalam. Tiba-tiba Boma bersin keras langsung terbangun. Anak ini setengah terduduk di atas tempat tidur, menggosok-gosokkan hi-dungnya yang berair dengan tangan kiri. Saat itu-

lah dia mencium bau pesing santar sekali. Teng-kuk Boma langsung dingin. Dia melirik ke samp-ing dan melihat sosok hitam itu.

"Nek!" "Hik...hik...hik! Memang aku!" Boma bersurut ke belakang, duduk ber-

sandar ke dinding. "Anak Gendenk! Kenapa tanganmu?" tanya

Sinto Gendeng. "Bengkak Nek. Keseleo. Kedengklek..." "Kenapa bengkak? Kenapa keseleo? Kenapa

kedengklek?! Apa itu kedengklek?!" "Anu Nek, saya berkelahi Nek." "Hemm... Ngaku juga kamu. Berkelahi sa-

ma siapa?" "Sama Pangeran Matahari." Sinto Gendeng terkejut. Undur dua lang-

kah. Menatap Boma tak berkesip lalu tertawa mengekeh. "Sekarang kau percaya kalau yang namanya Pangeran Matahari itu benaran ada?!"

"Saya percaya Nek," jawab Boma. "Sekarang kau percaya kalau Pangeran Ma-

tahari benar-benar mau membunuhmu?!" "Percaya Nek." "Bagus! Berarti otakmu sudah lempeng.

Hik...hik...hik. Dimana kejadiannya?" Tanya si nenek.

"Di sekolahan Nek... sore-sore. Sehabis la-tihan basket sama teman-teman."

"Hemm... Aku sudah duga. Kau perguna-kan batu sakti ketika Pangeran Matahari hendak

membunuhmu?" "Benar Nek. Terpaksa. Kalau tidak...." "Kau pergunakan tangan kananmu memu-

kul Pangeran Matahari?!" "Benar Nek. Nggak mempan. Tangan saya

malah jadi bengkak begini." Si nenek tertawa cekikikan. "Kau tidak mempergunakan tangan kiri

yang sudah aku isi hawa murni?" "Pergunakan Nek. Saya memukulnya dua

kali. Satu kali menjotos telinganya. Lalu sekali la-gi memukul dadanya. Saya mendengar suara tu-lang patah. Tapi dia tidak mati. Dulu Nenek per-nah memberi tau jika saya memukul orang den-gan tangan kiri ini bisa mati...."

"Nyatanya Pangeran Matahari tidak mati! Cuma luka dan patah tulang."

"Betul Nek...." "Pangeran Matahari bukan manusia biasa.

Dia mahluk dari alamku. Pukulan tangan kirimu bisa mencederainya tapi belum tentu bisa mem-bunuh. Kecuali kalau kau gebuk perabotan di se-langkangannya. Hik...hi...hik...Yang bisa mati ke-na hantaman tangan kirimu adalah manusia bi-asa. Jadi kau tetap harus berhati-hati memper-gunakan tangan kiri itu. Sekarang buka balutan di tangan kananmu..."

"Kenapa Nek?" "Aku mau mengobati tanganmu. Tanya-

tanya segala!" "Sudah diobati Nek. Pakai arak," kata Bo-

ma menerangkan. "Jangan pakai obat itu, tolol. Satu minggu

bengkak tanganmu belum tentu sembuh. Ayo le-kas luka balutan itu!"

Boma terpaksa membuka perban basah di tangan kanannya.

"Turunkan tangan kananmu. Ulurkan ke depan sini."

Boma ulurkan tangan kanannya ke dekat lutut si nenek.

Sinto Gendeng singsingkan kain panjang hitamnya yang basah oleh air kencing.

"Awas! jangan kau berani menarik tangan-mu!" Kata si nenek pula. Lalu dia pelintir dan pe-ras kain hitam yang basah oleh air kencing itu hingga air kencing yang ada di kain mengucur ja-tuh membasahi tangan kanan Boma yang beng-kak.

Boma kerenyitkan hidung pejamkan mata. Nafasnya sudah sesak tidak tahan mencium bau pesing yang amat santar.

"Tanganmu terasa dingin atau hangat?" Sinto Gendeng tiba-tiba bertanya.

Boma masih mengerenyit dan pejamkan mata.

"Anak Gendenk! Aku bertanya apa kau tu-li!"

"Anu Nek.... Kau tanya apa tadi Nek?" "Budek! Aku tanya tanganmu terasa dingin

apa hangat?" "Hangat-hangat dingin Nek," jawab Boma

"Anak Gendenk!" si nenek merutuk. "Den-gar. Besok pagi tanganmu kujamin sembuh. Aku memberi bukti bukan janji!"

Boma batuk-batuk. "Seperti iklan saja Nek!" kata Boma.

Sinto Gendeng tertawa geli lalu turunkan kakinya kembali. Boma tarik tangannya. Dia me-narik ujung seperei tempat tidur. Hendak menye-ka kencing yang membasahi tangannya.

"Jangan diseka! Biar kering sendiri!" kata Sinto Gendeng. "Agar lebih cepat sembuhmu dan lebih afdol, nanti kalau tidur tangan itu kau cium-cium!"

"Tobat deh Nek. Mana tahan!" Sinto Gendeng tertawa cekikikan. "Anak

Gendenk! Sekarang kau dengar baik-baik. Pange-ran Matahari pasti akan mencarimu kembali un-tuk melaksanakan niatnya. Kau harus berhati-hati. Kau boleh membawa terus Batu Penutup Batin ditubuhmu..."

"Nek, karena saya punya batu, saya mung-kin bisa selamat dari tangan Pangeran Matahari. Tapi bagaimana dengan teman-teman saya?"

Sinto Gendeng terdiam. Lalu nenek ini angguk-anggukkan kepala beberapa kali. Dalam hati dia berkata. "Anak baik... Anak baik. Tidak pernah mengingat diri dan kepentingan sendiri. Selalu ingat teman-temannya."

"Aku akan pikirkan ucapanmu itu. Aku akan cari jalan. Tapi aku tanya dulu. Yang mau kau selamatkan teman-temanmu yang mana?"

"Semua Nek. Tentu saja semua." "Oo, jadi bukan cewek genit yang namanya

Si Trini itu. Juga bukan cuma cewek cakep yang namanya Si Dwita itu. Hik...hik...hik. Lalu bagai-mana dengan cewek satu lagi?"

"Nek, saya nggak ngarti. Semua mereka teman-teman saya. Saya....."

"Huss... Diam dulu. Yang aku mau tanya bagaimana dengan cewek satunya lagi."

"Cewek yang mana?" "Hik...hik...hik. Guru Bahasa Inggris yang

cantik itu. Ibu Renata. Yang aku lihat kau peluki di kamarnya waktu dia lagi sakit itu. Hik...hik...hik..."

Boma menowel hidungnya. Anak ini lupa. Semula dia hendak mempergunakan tangan ka-nannya yang basah oleh air kencing. Tapi begitu ingat dia segera ganti dengan tangan kiri.

"Anak Gendenk, dengar. Yang penting kau harus hati-hati. Harus menjaga diri. Pangeran Matahari pasti akan berusaha kembali menghabi-simu. Setiap saat harus waspada. Mengenai te-man-temanmu ada yang akan memperhatikan."

"Siapa?" Boma ingin tahu. "Nanti saja. Kau akan tahu sendiri." jawab

Sinto Gendeng. "Sekarang kau boleh melanjutkan tidur. Awas, jangan kau mimpikan cewek-cewek itu. Salah-salah kau bisa mandi basah, mandi ju-nub. Hik...hik... hik..."

Sinto Gendeng susun jari-jari tangan ki-rinya di atas bibir. Sambil melayangkan tangan

itu dia berkelebat ke arah jendela. Bersamaan dengan lenyapnya sosok si nenek di luar sana, jendela yang tadi terbuka kini tertutup kembali.

Boma usap-usap tengkuknya. Dia sudah sering bertemu dengan nenek itu. Setiap bertemu rasa takut selalu menyelimuti dirinya.

***

PAGI keesokan begitu bangun yang perta-ma sekali dilakukan Boma adalah melihat tangan kanannya. Dia hampir tak bisa percaya. Bengkak dan warna merah di tangan itu lenyap. Hanya sa-tu yang masih tertinggal. Bau pesing kencing si nenek.

***

PAGI hari itu setelah masuk sekolah baru para pelajar SMU Nusantara III mengetahui apa yang terjadi sore kemarin. SMU Nusantara III menjadi geger. Boma, Allan, Vino dan Ronny dike-rubungi. Bukan saja oleh anak-anak Kelas II-9 tapi hampir semua pelajar mulai dari Kelas I sampai Kelas III. Seperti sudah diduga ke empat anak ini dipanggil Kepala Sekolah. Sesuai dengan perjanjian keempatnya mengarang cerita seperti skenarionya sama.

Setelah keempat anak itu meninggalkan ruangan Pak Nugroho Kepala Sekolah SMU Nu-santara III berpikir-pikir sambil pegangi kening.

Sepertinya ada yang tidak klop antara apa yang diceritakan Boma dan kawan-kawannya dengan apa yang dibacanya di surat kabar. Untuk me-mastikan diambilnya satu dari beberapa surat kabar terbitan pagi yang ada di atas meja. Dia membaca kembali berita yang tadi sudah diba-canya.

Orang gila Mengamuk di SMU Nusantara III Sore kemarin (Selasa) seorang pemuda gila

berdandanan aneh mengamuk di SMU Nusantara III. Menurut keterangan Saud, penjaga sekolah, mula-mula pemuda kurang waras itu datang mem-beri tahu mau mencari saudaranya, seorang pela-jar bernama Boma. Sore itu Boma (anak kelas 2) dan beberapa temannya (Allan, Ronny dan Vino) baru saja selesai latihan basket di lapangan seko-lah ketika Boma dan kawan-kawan pulang, di ha-laman sekolah pemuda gila itu langsung menye-rang. Penjaga sekolah yang coba menolong sempat jatuh pingsan karena didorong secara keras dan jatuh diaspal. Pemuda gila kemudian melarikan di-ri. Ada yang melihat ketika lari telinga kanan pe-muda gila itu mengucurkan darah. Pihak berwajib segera akan melakukan pengusutan sehubungan dengan pengakuan gila itu bahwa Boma adalah saudaranya.

Beberapa waktu lalu di jembatan penyebe-rangan Sarinah terjadi pengeroyokan hingga tewas terhadap diri seorang pengamen tua. Salah seo-rang pengeroyok memiliki ciri-ciri yang sama den-gan orang gila itu. Jenazah pengamen tua itu ke-

mudian diculik secara aneh dalam perjalanan ke RSCM. Sampai saat ini jenazah itu tidak pernah di-temukan.

Boma sendiri adalah pelajar yang tahun la-lu pernah mengalami celaka di Gunung Gede. Anak itu putera seorang pensiunan Departemen Pene-rangan adalah juga anak yang pernah menolong seorang wanita yang hendak dirampok di Jl. Kra-mat Raya. Sidang pengadilan perkara ini diha-rapkan akan dilangsungkan minggu depan..

***

Di dalam kelas, sebelum jam pelajaran di-mulai. Ronny mengeluarkan surat kabar yang sama dengan yang dibaca Pak Nugroho.

"Aku udah baca di rumah pagi tadi..." kata Boma

"Sialan," ucap Ronny. "Nama gua ditulis Ronno"

"Untung bukan Rondo," sahut Vino yang membuat semua anak yang ada disitu tertawa ge-li.

Boma memberikan surat kabar itu pada Vino dan Allan yang belum membacanya.

"Masalah berat Ron," ucap Boma selanjut-nya. "Wartawan menghubungkan pemuda gila itu dengan peristiwa pengeroyokan di jembatan pe-nyeberangan Sarinah. Kita pasti kebawa-bawa. Polisi bakal nyariin kita..."

"Bukan bakal Bom. Memang udah datang!"

kata Ronny sambil memandang ke pintu kelas. Boma mengangkat kepalanya, memandang

ke pintu. Di situ berdiri Kepala Sekolah, mene-mani dua orang petugas Kepolisian.

Di dalam Ruang Kepala Sekolah Boma dan kawan-kawan diminta menceritakan secara leng-kap apa yang terjadi sore hari Selasa itu. Bebera-pa orang guru diantaranya Pak Bugi Ibrahim wali kelas II-9, Ibu Renata dan Pak Sanyoto turut ha-dir di ruangan itu. Pak Saud juga ada di situ. Se-belumnya polisi telah menanyai penjaga sekolah ini.

"Orang itu mengaku saudara Dik Boma. Benar?" tanya salah seorang Polisi.

"Nggak benar Pak. Kenal juga nggak, saya baru sekali kemarin ngeliat orang itu," jawab Bo-ma.

"Namanya orang gila Pak," kata Ronny. "Dia bisa saja mengaku sudara siapa saja. Ke-mungkinan dia tahu nama Boma. Lalu bilang saudara Boma."

Dua anggota Polisi itu kemudian berganti-ganti mengajukan pertanyaan lalu mengajak anak-anak itu menunjukan tempat kejadian. Ke-tika meninggalkan Ruang Kepala Sekolah Boma dan kawan-kawan mendengar ada seseorang mengeluarkan kata-kata tidak enak.

"Ini akibat dari gara-gara punya ilmu yang bukan-bukan. Nama sekolah jadi tercemar..."

Boma berpaling. Dia tidak melihat orang-nya, terlindung di balik sosok Kepala Sekolah.

Tapi Boma tahu yang barusan berkata adalah Pak Sanyoto, Guru Olah Raga.

"Sialan, enak aja kuya itu ngomong. Bu-kannya prihatin kita muridnya mau digebukin orang gila eh malah nyap-nyap nggak karuan. Bi-ar gua datengin Bom." kata Ronny.

Boma pegang tangan kawannya dan berbi-sik.

"Tenang aja Ron. Easy... easy my friend." Boma tersenyum dan kedipkan matanya lalu me-nowel hidungnya dua kali.

10 BOMA! BOMA! BOMA!

DI DALAM gerbong kereta Senja Utama

yang dipenuhi guru dan para pelajar SMU Nusan-tara III yang akan berangkat ke Yogyakarta itu ada tiga wajah menunjukkan rasa girang gembira. Mereka adalah Ibu Renata. Trini Damayanti dan Dwita Tifani.

Ibu Renata memperhatikan arloji di perge-langan tangan kirinya. Jika tidak terjadi penun-daan kereta akan segera meninggalkan Stasiun Gambir lima menit lagi. Kegelisahan terbayang di wajah cantik guru Bahasa Inggris ini. Lewat kaca jendela dia menatap ke arah peron yang terletak di tingkat paling atas bangunan stasiun. Hatinya mengharap sesuatu keajaiban akan terjadi. Na-mun harapan tinggal harapan. Begitu banyak

orang di peron sepanjang jalur 4 dan 3. Namun orang yang diharapkannya muncul tidak keliha-tan.

Ibu Renata menyadari apa yang diha-rapkannya tidak mungkin terjadi. Pandangan pe-nuh harapan guru Bahasa Inggris itu berubah kosong. Dia sengaja tidak mengalihkan mata keti-ka Pak Sanyoto bersama Ronny Celepuk melewati kursinya, memeriksa dan mencocokkan daftar anak-anak kelas II-9 SMU Nusantara III. Kecuali Boma yang tidak ikut, semua anak lengkap dan telah duduk di kursi masing-masing.

Lima menit menunggu berangkatnya kereta terasa begitu lama bagi Ibu Renata. Perasaan itu membuat hati dan pikirannya kacau. Saat ini ra-sanya dia ingin turun saja dari kereta. Dia baru tahu kalau Boma Tri Sumitro tidak ikut setelah para pelajar SMU Nusantara III berkumpul di Sta-siun Gambir. Sebelumnya Ibu Renata hanya tahu kalau Pak Bugi Ibrahim, Wali Kelas II-9 yang ti-dak ikut karena ada hajatan di kampungnya di Pandegelang. Kalau saja dia tahu Boma tidak ikut hatinya mungkin tak akan tergerak untuk pergi.

Boma, mengapa dia tidak ikut? Mengapa dia tidak memberitahu kalau tidak ikut? Perta-nyaan itu muncul tidak henti-hentinya dalam hati Ibu Renata. Salah satu dari teman-temannya pas-ti tahu sebelumnya kalau Boma tidak ikut. Juga tentu tahu apa sebabnya. Namun tidak seorang-pun memberitahu padanya. Seperti sengaja me-rahasiakan?

Boma...Boma, di mana kau? Tiba-tiba ada satu perasaan dan dugaan

menyelinap dalam hati Ibu Renata. Mungkinkah Boma sengaja tidak ikut dalam tour itu karena Boma tidak suka dirinya pergi bersama dengan Pak Sanyoto? Sejauh dan sedalam itukah pera-saan anak itu? Atau sebaliknya. Anak itu sengaja memberi kesempatan pada Pak Sanyoto agar bisa lebih mendekati dirinya?

Ibu Renata mengalihkan pandangannya ke dalam gerbong. Di deretan kursi ujung sebelah ki-ri, dia melihat Vino dan Firman. Di depan mereka duduk Sulastri bersebelahan dengan Gita Parwati

Firman tiba-tiba berdiri lalu menepuk bahu Sulastri yang duduk di depannya.

"Lastri, aku pindah ke tempat duduk ka-mu. Kamu duduk di sini di samping Vino."

"Eeh cowok ceking! Jangan ngeledek ka-mu!" kata Sulastri sambil memutar duduknya lalu mencubit lengan Firman yang kurus.

"Kamu yang jangan belagak," jawab Fir-man. "Lagian aku 'kan cuma disuruh sama Vino."

"Brengsek lu!" teriak Vino seraya menarik temannya itu hingga Firman terhenyak ke kursi.

Ibu Renata tersenyum seperti dipaksakan ketika melihat senda gurau anak-anak itu. Ma-tanya kemudian dialihkan ke jurusan lain.

Di deretan kursi sebelah kanan, bersisian dengan Gita, duduk Allan bersebelahan dengan Andi. Dia tahu kalau Allan suka sama Gita tapi Andi tidak usil seperti Firman. Tidak menyuruh

Allan agar pindah duduk di samping Gita. Kemudian Ibu Renata melihat Rio duduk

berdampingan dengan Trini. Diperhatikannya wa-jah anak perempuan itu. Trini kelihatan tenang-tenang saja, tapi jelas ada bayangan ketidak ce-riaan di wajahnya. Dia lebih banyak diam dari pada ikut ngobrol dan bercanda dengan teman-teman di sekitarnya. Sekali-sekali kepalanya dis-andarkan ke kursi dan matanya dipejamkan.

Ibu Renata menduga. Ketidak ceriaan Trini itu, apakah sama penyebabnya seperti apa yang saat itu dirasakannya? Karena Boma tidak ikut?

Gita Parwati yang rupanya sejak tadi meli-hat sikap Trini, berbisik pada Sulastri yang du-duk di sebelahnya.

"Lastri, coba kamu liat si Kucing Garong itu. Kereta belon jalan udah ngantuk. Begitu kere-ta jalan pasti deh dia ngorok. Ileran lagi!"

Gita dan Sulastri tertawa cekikikan. "Ei dut!" kata Vino dari belakang. "Jangan

ngakak melulu. Nanti ngompol kamu!" "Sialan, emangnya gue orok!" Gita menya-

huti dengan wajah cemberut sambil memukul sandaran kursi di samping kepalanya.

Satu baris di depan kursi Rio dan Trini ada dua bangku kosong. Satu yang bakal diduduki Ronny. Satu lagi mungkin kursi yang seharusnya diduduki Boma. Lalu Pak Sanyoto akan duduk di mana? Seolah baru menyadari Ibu Renata me-mandang pada kursi kosong di samping kanan-nya.

Mata Ibu Renata mencari-cari seseorang. Orang yang dicarinya itu duduk di deretan kursi sebelah kiri, dekat pintu. Menatap keluar jendela. Dwita Tifani. Anak perempuan ini sesekali mem-buka majalah yang dibawanya. Tapi Ibu Renata tahu perhatian Dwita tidak sepenuhnya pada ma-jalah itu. Sebentar-sebentar dia menarik nafas panjang memandang ke luar jendela lalu kembali membuka-buka halaman majalah.

Ibu Renata ikut-ikutan menarik nafas da-lam. Kembali hatinya menduga. Tidak cerianya Trini, gelisahnya Dwita diakibatkan oleh sebab yang sama. Boma?

Ketika Dwita mengalihkan pandangan ke dalam gerbong, Ibu Renata melambaikan tangan tetapi Dwita tidak melihat. Beberapa kali dico-banya tetap saja anak perempuan itu tidak meli-hat. Anak perempuan yang duduk di samping Dwita yang kebetulan melihat gerakan tangan Ibu Renata akhirnya memberitahu Dwita kalau guru Bahasa Inggris itu memanggilnya.

Dwita tidak segera berdiri. Dia memandang ke urusan Ibu Renata. Tersenyum, namun dibalik senyum itu hatinya bertanya-tanya. Mengapa dia dipanggil? Dia senang sama Ibu Renata. Orang-nya baik, cantik dan cara mengajarnya mudah di-cerna. Tapi sejak dia mendengar cerita teman-temannya bahwa Ibu Renata pernah mengajak Boma menonton, Dwita merasa seolah dia kehi-langan sesuatu. Sesuatu itu bernama keper-cayaan. Dia merasa hilang kepercayaan pada

guru bahasa Inggris itu. Dia juga hilang keper-cayaan terhadap Boma. Lebih dari itu dia merasa hilang kepercayaan pada diri sendiri. Dan saat itu hatinya bertanya. Apa memang ada gunanya dia ikut tour ke Borobudur itu. Bersama anak-anak yang bukan teman satu kelas dengan dia? Walau mereka semua baik padanya. Mungkin dia telah melakukan satu ketololan yang sia-sia.

Ibu Renata kembali melambaikan tangan. Dwita berdiri.

Ketika melewati kursi Andi, anak lelaki ini berdiri dan berbisik. "Dwita, kamu duduk aja di bangku kosong di samping Ibu Rena. Jangan sampai Pak Sanyoto duduk di sebelahnya."

"Memangnya kenapa?" Tanya Dwita. "Kami teman-teman yang ikut, mewakili

Boma. Kami enggak suka sama Si Umar..." "Si Umar? Siapa Si Umar?" "Maksud gua Pak Sanyoto. Gede kepala dia

kalau bisa duduk di samping Ibu Rena." jawab Andi.

"Oo, jadi kalian ini semua mata-matanya Boma? Dibayar berapa kalian ngejagain Ibu Rena-ta?"

"Nggak, bukan dibayar. Ini cuma tanda se-tia kawan."

"Kalian kok sayang banget sih sama Ibu Renata? Boma juga gitu ya?"

"Boma sayangnya kan cuma sama kamu," Andi sambil tertawa. "Udah pergi sana. Ibu Rena manggil kamu."

"Ibu memanggil saya?" tanya Dwita begitu sampai di hadapan Ibu Renata.

"Kursi di samping saya kosong. Duduk saja sini. Saya nggak ada teman ngobrol."

"Boleh?" "Kenapa tidak?" "Saya kira itu kursi buat Pak Sanyoto." Ibu Renata tidak menyangka Dwita akan

kata begitu. Dia menutupi air muka keterkeju-tannya dengan tersenyum.

"Kita mencarter seluruh gerbong ini. Siapa boleh duduk di tempat yang disukainya."

Dwita akhirnya duduk di samping Ibu Re-nata. Guru Bahasa Inggris, ini menarik nafas le-ga. Paling tidak saat itu dia telah terlepas dari sa-tu hal yang akan membuatnya tidak enak sepan-jang perjalanan. Yaitu kalau Pak Sanyoto sampai duduk di sebelahnya. Sebaliknya, setelah duduk di samping Ibu Renata, Dwita merasa dia telah melakukan satu kekeliruan. Seharusnya tadi dia menolak duduk di samping guru Bahasa Inggris ini. Dari cerita yang didengarnya, Dwita sudah bi-sa menduga bagaimana sebenarnya perasaan gu-runya itu terhadap Boma.

Dwita terduduk diam. Sampai dilihatnya Ibu Renata melihat jam di pergelangan tangan kiri jam 19.20. Sama dengan waktu yang ditunjukkan jam bulat besar yang tergantung di bawah atap peron.

"Seharusnya kereta sudah berangkat," Su-ara Ibu Renata seolah bicara pada dirinya sendiri.

"Mungkin sebentar lagi, Bu." Kata Dwita. Anak ini melirik. Dia melihat Ibu Renata meman-dang ke arah tangga peron seolah mencari-cari seseorang.

Dwita tahu siapa yang dicari Ibu Renata. Dan ia juga tahu orang yang dicarinya itu jelas-jelas tidak akan muncul. Apalagi di saat-saat ke-reta hendak berangkat seperti itu.

Trini membuka matanya yang sejak tadi dipejamkan. Dia melirik pada Rio.

"Rio, kamu tau sebenarnya kenapa Boma nggak ikut?" Pertanyaan ini sejak tadi disimpan Trini dalam dadanya.

Rio yang tidak menyangka akan ditanya seperti itu sesaat jadi terdiam.

"Ayo, kamu jangan bohong. Kamu pasti tau kenapa."

"Kayaknya sih dia ada halangan." "Pasti. Nggak ikut karena ada halangan.

Tapi halangan apa? Halangan 'kan juga bisa dibi-kin-bikin."

"Kalau nggak salah dia pernah bilang. Minggu ini dia harus menghadiri sidang pengadi-lan..." Lalu Rio menceritakan peristiwa perampo-kan yang sampai membuat Boma celaka kena clurit itu.

"Kasihan juga Boma kalau begitu," kata Trini sambil melunjurkan dua kakinya selurus mungkin. "Tapi kok dia nggak ngasi tau sama aku sih?"

"Boma aja ngasi tau kita-kita mendadak.

Kita semua pada kesel. Tapi mau dibilang apa. Mungkin tu anak lagi banyak pikiran. Inget nggak kejadian dia, Ronny, Allan dan Vino diserang orang gila beberapa hari lalu." kata Rio pula.

Dari pengeras suara di peron petugas memberitahu bahwa kereta Senja Utama jurusan Yogyakarta siap untuk berangkat.

Putuslah harapan Ibu Renata. Dwita ter-diam, Trini memandang sayu keluar jendela.

Di ujung peron Stasiun Gambir terdengar suara peluit. Kereta mulai bergerak. Ibu Renata merasa seperti ada sesuatu yang menyekat teng-gorokannya. Tiba-tiba sepasang mata bening guru Bahasa Inggris ini membesar. Tangannya men-cekal lengan kursi, tapi yang dipegang justru len-gan Dwita membuat anak perempuan ini berpal-ing memandangi wajah Ibu Renata lalu mengikuti pandangan mata guru Bahasa Inggris itu ke arah peron.

Di peron sana, di antara orang banyak, seorang anak lelaki bertopi pet biru, memakai T-shirt putih dan jins serta tas besar menempel di punggungnya muncul keluar dari tangga pada ja-lur 4, berlari searah kereta yang bergerak perla-han.

"Boma...!" Ucap Ibu Renata antara percaya dan tidak. Suaranya cukup keras, membuat se-mua anak di dalam gerbong itu memalingkan ke-pala ke arah peron.

Vino berdiri dari kursinya. Dia menunjuk ke luar jendela. Di luar sana, Boma berlari ken-

cang sepanjang peron menuju pintu kereta yang terbuka.

"Eeii bener lu! Itu Boma!" "Teman-teman! Liat! Boma!" "Ah! Gendenk bener 'tu anak! Katanya

nggak mau ikutan!" Ronny, Gita, Allan dan Firman berdiri dari

kursi. "Bom! Cepetan Bom!" teriak Vino. "Tancep Boma!" teriak si gemuk Gita. Semua pelajar dalam gerbong, termasuk

Ibu Renata berdiri pula dari kursi mereka, sama-sama berteriak.

"Boma! Boma!" "Cepeeetttt Bom...!" Gerbong yang ditumpangi anak-anak SMU

Nusantara III hanya tinggal dua puluh meter lagi dari ujung peron. Pada saat itulah sosok tubuh Boma laksana terbang melesat memasuki pintu. Dua kakinya mendarat di lantai kereta. Seisi kere-ta bersorak riuh. Boma berdiri berpegangan pada tiang besi. Bahunya turun naik. Diantara nafas-nya yang tersengal-sengal dia masih bisa berucap.

"Alhamdulillah. Untung masih keburu!" Boma menowel hidungnya berulang kali.

Saat itu juga hampir semua anak yang ada dalam kereta menyerbu Boma. Ronny menekan topi pet di kepala Boma hingga terbenam sampai ke alis. Vino memeluki temannya itu. Gita Parwati usap-usap dagu Boma. Firman bergelantungan di pinggang. Trini memencet hidung Boma. Ketika

Ronny dan Boma saling tos anak-anak lain di se-kitar situ mengikuti.

"Lagi-lagi kamu bikin kejutan Bom!" kata Ronny. "Lu bilang nggak bisa ikut! Sekarang muncul!"

"Lompatan 'lu tadi boleh juga Bom. Kayak lompatan Jet Li aja!" kata Andi.

"Gila, lemes gua!" kata Boma tapi wajah yang keringatan memancarkan kegembiraan. "Ogut duduk dimana? Masih ada kursi kosong nggak?"

"Kamu tinggal pilih Bom. Mau duduki samping Den Ayu Trini Damayanti, atau di sebelah Den Putri Dwita Tifani atau di dekat Sri Ratu Rena-ta...?" kata Ronny. Anak-anak bersorak riuh. Ibu Renata kelihatan tersipu, wajahnya tampak keme-rahan.

"Atau di depan disamping Den Mas Masinis kereta saja!" kata Vino yang membuat gerbong ke-reta itu kembali riuh oleh sorak dan gelak tawa. Satu-satunya orang yang seolah tidak dapat me-nerima kenyataan itu adalah Guru Olah Raga Pak Sanyoto. Dia duduk terdiam di kursi yang sebe-lumnya ditempati Dwita, memperhatikan anak-anak yang sebentar-sebentar bersorak dan terta-wa-tawa lalu melirik ke arah Ibu Renata, Dwita dan Trini. Sekali lagi dia memandang ke arah Dwita. Hatinya kesal. Tadi anak itu duduk di kur-si yang kini didudukinya. Kenapa pindah ke samping Ibu Renata? Seharusnya dia yang duduk disamping Guru Bahasa Inggris itu.

Munculnya Boma merubah suasana di da-lam perjalanan menjadi jauh lebih ceria. Tiga wa-jah yang sebelumnya tampak lesu tidak bergairah kini kelihatan banyak senyum penuh ceria. Ketiga orang ini adalah Ibu Renata, Dwita Tifani dan Tri Damayanti.

Boma duduk di kursi di sebelah Ronny. Vi-no, Rio, Gita, Andi dan Firman berdiri di sekeliling mereka.

"Sekarang cerita Bom. Kok kamu men da-dak muncul." Kata Ronny.

"Kayak diuber setan!" kata Vino. "Bener Bom! Sebelumnya kamu bilang

nggak bisa ikut karena ada sidang pengadilan." Ujar Gita.

"Baru tadi sore, jam setengah enam dapat kabar. Kabarnya kabur! Sidang pengadilan diun-dur sampai awal bulan depan. Hakim yang me-mimpin sidang masih berada di Medan..." Boma menerangkan.

"Syukur." Ucap Gita. "Tu Hakim nggak balik lagi juga nggak apa-

apa," kata Vino. "Biar nanti gua yang mimpin si-dang!"

"Uhh! Sok tau!" kata Firman sambil melin-tir telinga Vino.

"Teman-teman, bayangin aja! Jam setengah enam terima kabar. Siap-siap habis setengah jam. Jalan ke sini hampir satu jam. Mana macet lagi. Udah gitu dipintu masuk ke peron aku ditahan sama penjaga! Dia curiga ngeliat ogut lari-lari.

Nggak bawa karcis lagi. Aku bilang aku rombon-gan pelajar Nusantara III yang mau tour ke Yogya. Tetap aja nggak dikasih masuk. Sialan! Nekat aku nyelonong aja!"

Semua anak tertawa mendengar cerita Bo-ma. "Kita semua senang kamu bisa ikut Bom. Ta-pi ada lagi yang lebih senang..." kata Ronny pula.

"Ah, lu mulai deh. Becanda..." "Becanda tapi nyata." Kata Vino. "Ron, lu sebut dong siapa aja yang lebih

senang." "Pokoknya ada tiga orang! Tebak aja sendi-

ri!" jawab Ronny sambil tertawa lebar. "Tapi kalian bisa nebak nggak," kata Andi.

"Rasanya ada satu orang yang jadi sebel dengan kemunculan teman kita ini!"

"Itu sih ude kebaca! Apa perlu gue sebut nih!" kata Vino.

"Jangan Vin... Juaaangan!" kata Firman sambil pencongkan mulutnya. Semua anak pada tertawa

"Terus-terang gue juga senang banget ka-mu bisa ikut Bom," kata Ronny Celepuk. "Soalnya sekarang gue bisa timbang terima serahkan tugas dari Si Umar sama kamu."

"Enak aja!" jawab Boma sambil membuka topi petnya. "Tapi, ya sudah. Kau tetap wakilnya Si Umar. Aku dan teman-teman pasti ngebantuin. Oke 'kan?"

"Ntar dulu," jawab Ronny. "Gue mau nowel hidung dulu!" Lalu dia menirukan gaya Boma

menowel hidung. Kembali gelak tawa memenuhi gerbong kereta yang meluncur ke arah timur me-nuju Yogyakarta.

"Bom, kamu lari segitu jauh pasti haus. Ini ada yang ngasi minuman selamat datang buat kamu! Rio mendekat sambil mengulurkan sebuah botol plastik. Tapi bukan botol air minum melain-kan botol berlabel pembersih closet.

"Brengsek. Lu aja minum duluan!" kata Boma sambil memukul botol itu hingga jatuh ke lantai.

Gerbong lagi-lagi riuh oleh gelak tawa. "Ada-ada aja lu. Dapet dari mana tu botol?"

tanya Ronny pada Rio. "Aku nemuin di kolong kursi," jawab Rid

sambil nyengir. Ketika Rio hendak kembali ke kursinya Ronny pegang tangan temannya ini dan berbisik.

"Kok kamu tumben-tumbenan mau duduk dekat Trini? Mau jaga muntah ya."

"Enak aja. Gue ude duduk duluan. Dia nyelonong duduk di samping gue. Mau pindah ke kursi lain semua udah pada didudukin. Mendin-gan kan, dari pada duduk di samping Si Umar?" Rio menyengir lagi lalu kembali ke kursinya. Kere-ta meluncur semakin cepat.

11 SOSOK DI BALIK STUPA

LEWAT tengah malam suasana dalam ger-

bong kereta yang dicarter oleh para pelajar SMU Nusantara III mulai sepi. Tak terdengar suara anak-anak menyanyi, tidak terdengar lagi riuhnya suara gelak tawa. Memang ada satu dua anak-anak yang masih ngobrol, namun kemudian sua-ra merekapun lenyap. Beberapa anak lelaki yang tadi asyik bermain kartu kini terduduk letih di kursi masing-masing dengan mata terpejam. Ke-cuali Pak Sanyoto.

Guru Olahraga yang menjadi pimpinan rombongan ini melangkah sepanjang gerbong memeriksa dan memperhatikan para pelajar. Dis-amping kursi Ibu Renata Pak Sanyoto berdiri agak lama. Wajah guru Bahasa Inggris yang sedang ti-dur itu dilihatnya lebih cantik dari biasanya. Ini kali pertama dia melihat Ibu Renata dalam kea-daan tidur. Wajah itu begitu anggun mempesona. Pak Sanyoto mengusap kepalanya beberapa kali, menegakkan kerah jaket lalu kembali ke kur-sinya. Duduk pejamkan mata, mencoba tidur.

Boma menyikut lengan Ronny yang duduk di sebelahnya. Lalu berbisik. "Ron, lu liat nggak?"

"Hem...Ngapain dia berdiri lama-lama di samping Ibu Renata?"

"Mungkin mau ngajak ngomong. Tapi Ibu Renatanya tidur," jawab Boma.

Kereta meluncur terus. Suara roda-roda besi yang berbenturan dengan sambungan rel me-rupakan irama berkesinambungan yang lama ke-lamaan enak juga terdengarnya. JAM 06.15 pagi kereta memasuki stasiun Yogya-karta.

"Selamat datang di Kota Gudeg!" kata Ron-ny sambil berdiri dari kursi lalu menggeliat.

"Yogya...Yogya! We are coming!" seorang anak berteriak.

"Yogya...Yogya! I love you!" Seorang anak lainnya berseru.

"Ooiii!" Vino berteriak. "Buka mulut jangan lebar-lebar! Bau! Belon gosok gigi!"

"Lu sendiri buka mulut selebar ember!" Ba-las seorang anak di deretan kursi belakang. Se-saat gerbong itu riuh oleh suara tawa. Suara tawa pertama dan terakhir dalam gerbong pada pagi itu.

Sebuah bis besar carteran telah menunggu dan membawa rombongan ke sebuah penginapan di Jalan Kolonel Sugiyono. Selesai mandi dan sa-rapan, jam 10.00 tepat rombongan meninggalkan penginapan, berangkat menuju Candi Borobudur.

Turun dari bis Ronny bersiul-siul kecil sambil rapikan letak kacamata biru menyalanya. Rio yang memegang tustel mulai sibuk jetret sana jetret sini.

"Kamu kenapa nggak ajak Sarah cewek lu, Ron?" tanya Boma.

"Die sih pengen ikut. Tapi nyokapnya lagi sakit," jawab Ronny. Sarah adalah murid kelas II SMU Nusantara III juga tapi tidak satu kelas den-gan Ronny dan Boma.

Langit cerah, sang surya bersinar cukup terik dan angin bertiup. Beberapa topi yang dige-lar di tepi jalan beterbangan. Dikejar-kejar si mbok penjualnya. Merupakan pemandangan yang lucu.

"Aneh, kok ora biasane. Kok barate banter banged tino iki." Seorang pedagang barang-barang cindera mata di pinggir jalan berkata sambil me-megangi gantungan baju-baju kaos yang melam-bai-lambai ditiup angin.

"Git, si mbok tukang dagang itu tadi ngo-mong apaan?" tanya Boma pada Gita Parwati yang berjalan di sebelahnya berdampingan den-gan Allan. Disamping Allan berjalan Dwita. Di se-belah depan Trini, Vino dan Sulastri serta bebera-pa anak berjalan dalam satu kelompok.

Gita Parwati tertawa mendengar perta-nyaan Boma itu. Dia berpaling pada Dwita.

"Dwita, ini namanya orang aneh!" kata Gi-ta. "Katanya orang Jawa, tapi nggak ngarti omon-gan Jawa. Gimana sih Mas?"

"Ala, yang Jawa kan bokap sama nyokap gua," sahut Boma. "Kalau gua sih Indo Betawi!"

Dwita dan Gita tertawa geli. Di sebelah de-pan Trini berpaling dan ikutan tertawa.

"Indo apaan! Doyan pete ama jengkol!" Dari samping berteriak Andi.

"Nah, kena lu Bom!" kata Ronny. "Tapi pete sama jengkol enak kan?" jawab

Boma walau selama ini dia tidak pernah makan pete dan jengkol.

"Yang bau biasanya memang rada-rada enak!" ucap Vino.

"Sok tau lu!" nyeletuk Andi. "Kata orang. Gua sih emang belon tau yang

bau-bau," jawab Vino, membuat teman-temannya jadi senyum-senyum.

"Git, kamu belum jawab yang tadi gua tanya." kata Boma.

"Nih, biar Gusti Raden Ayu Diwita Tifani yang menjawab pertanyaan sampean" kata Gita Parwati sambil menudingkan jempol tangan ka-nannya pada Dwita dan seraya membungkukkan badan seolah menghormat. Dwita tertawa lebar mendengar ucapan dan gaya si gemuk Gita Par-wati.

Boma menowel hidungnya. "Iyaa, Dwita. Apa sih yang diucapkan mbok-mbok itu tadi?"

"Katanya begini," jawab Dwita Tifani. "Aneh, kok tidak seperti biasanya. Kok angin kencang se-kali hari ini."

"Nah, Den Mas Boma, sampean udah den-gar. Puas sekarang?"

Boma anggukkan kepala pada Gita, terse-nyum pada Dwita. Dalam hati dia mengulangi apa yang barusan dikatakan Dwita. "Aneh, kok tidak seperti biasanya. Kok angin kencang sekali hari ini."

Ronny menepuk punggung Boma. "Kok habis dikasi tau kamu sekarang ja-

lannya kayak setengah ngelamun?" "Ron, perasaan ogut nggak enak," jawab

Boma. "Kamu kebelet beol?" tanya Ronny. "Brengsek kamu. Aku bilang yang nggak

enak perasaan ogut, bukan perut." kata Boma la-lu menowel hidungnya. "Aku nggak liat Si Umar, Ron." Boma mengalihkan pembicaraan.

"Gampang nyarinya. Dimana ada Ibu Rena-ta, pasti dia ada disitu. Tu...lu nengok deh ke be-lakang."

Boma menoleh ke belakang. Memang be-nar. Di kelompok rombongan paling belakang ber-jalan Pak Sanyoto, memegang tustel, berdampin-gan dengan Si Centil Sulastri. Di sebelah Sulastri Ibu Renata dan beberapa anak lainnya. Sambil melangkah mundur-mundur Rio memotret ke-lompok Pak Sanyoto ini.

Di sebuah lapangan, dengan latar belakang Candi Borobudur di kejauhan, rombongan mem-buat foto bersama. Selesai berfoto, sebelum me-nuju candi, Pak Sanyoto selaku pimpinan tour memberi beberapa pengarahan. Melihat begitu banyaknya pengunjung tidak mungkin mereka yang berjumlah hampir tiga puluh orang itu bisa selalu berada dalam satu kelompok. Jika sampai berpencaran maka pulangnya mereka langsung menuju bis di lapangan parkir.

Pak Sanyoto melihat ke arloji di tangan ki-

rinya "Saat ini jam sebelas kurang lima. Rom-

bongan akan menunggu sampai jam empat sore. Cukup banyak waktu bagi kalian semua untuk makan, melihat-lihat dan membeli cindera mata. Yang, penting kalian sudah berada di bis sebelum jam empat sore!"

Ronny tertawa bergelak. Beberapa anak yang mendengar ucapan Boma tadi ikut tertawa. Ronny melirik ke arah Pak Sanyoto. Guru Olahra-ga yang menjadi pimpinan wisata itu agaknya ti-dak mendengar apa yang diucapkan Boma tadi.

Begitu rombongan mulai bergerak ke arah Candi Borobudur, Trini langsung mendekati Bo-ma, memegang lengan anak lelaki ini dan berkata.

"Bom, aku barengan sama kamu ya? Bo-leh?"

Boma tersenyum. "Boleh aja." "Memangnya kenapa?" tanya Boma. Trini Damayanti melirik sekilas pada Dwi-

ta. "Aku baru sekali ini ke Borobudur. Tang-

ganya tinggi, curam. Orang yang naik banyak banget. Aku suka gamang kalau berada di keting-gian. Boleh 'kan barengan kamu?"

Boma menowel hidungnya kembali. "Kok dari tadi nowelin hidung terus sih!

Jawab dong! Boleh nggak?" Boma tertawa. "Boleh boleh aja." Trini tertawa lega. Dari dalam tas yang di-

bawanya dia mengeluarkan sebuah kamera. Saat itu Rio tiba-tiba muncul di depan Bo-

ma dan Trini dengan tustelnya. Trini langsung menebar senyum di wajah dan tangan kirinya memegang mesra lengan Boma, kepala agak dimi-ringkan ke bahu anak lelaki itu.

Blits tustel Auto Focus menyala. "Nah, lu!" celetuk Ronny pada Vino yang

kini berada di sampingnya. "Alamat Boma nggak bisa kemana-mana. Kasihan deh Dwita..."

"Kasihan juga Ibu Renata. Gua rasa dia pengen dekat-dekat Boma. Tapi Si Umar kagak tau malu. Nempel terus kaya perangko." kata Gita Parwati.

"Rio, tunggu!" seru Trini. "Tolong potretin!" Trini menyerahkan tustel miliknya pada Rio. "Tinggal mencet."

Rio beraksi dengan kamera milik Trini. "Tunggu, sekali lagi!" kata Rio. Kamera mi-

lik Trini itu ada perangkat zoomnya. Rio menekan tombol zoom hingga wajah Boma dan Trini mun-cul besar dalam satu frame. Klik! Rio senyum-senyum kembalikan kamera pada Trini.

Boma melangkah, kakinya terasa berat. Dia menowel hidungnya beberapa kali. Ketika di meli-rik ke arah Ronny, anak ini meledek dengan me-mencongkan mulutnya. Dengan suara perlahan Ronny berkata pada Vino yang kini ada di sam-pingnya.

"Lu tanya sono sama Si Centil. Dia suka gamang nggak kalau ditempat tinggi."

"Ooo... Si Centil sih lain. Makin di atas dia makin seneng!" jawab Vino.

"Eee, apa-an nyebut-nyebut nama Ogut? Siapa yang seneng di atas?!"

Tahu-tahu Si Centil alias Sulastri sudah berada di belakang Ronny dan Vino. Anak perem-puan ini lalu menerobos di antara kedua anak le-laki itu. Ronny langsung diam, Vino senyum-senyum, serba salah tapi menjawab juga.

"Nggak, si Ronny bilang anak cewek suka gamang kalau berada di tempat tinggi. Tapi aku bilang kamu nggak. Kamu malah senang di tem-pat tinggi. Seneng di atas. Iyya kan?"

"Nggak tu. Aku malah suka kepingin kenc-ing kalau berada di tempat tinggi!" jawab Sulastri polos, entah benar entah tidak. "Jadi nanti kamu musti pegangin aku kalau naik ke atas candi sa-na."

"Nah, atu lagi teman gua kena batunya." kata Ronny sambil usap-usap dagunya.

Rio yang tadi entah memotret di mana begi-tu Vino dan Sulastri berjalan rapat berdampingan tahu-tahu muncul kembali. Vino acungkan jem-pol tangan kirinya. Klik! Lampu kilat menyambar. Rio ngacir lagi ke tempat lain.

Boma menyuruh Trini berjalan lebih dulu. Dia berlutut pura-pura membetulkan tali sepatu ketsnya. Ketika Ronny lewat disampingnya Boma cepat berbisik.

"Ron, lu temenin Dwita. Gua nanti nyari akal gimana bisa lolos dari Trini."

"Rebes Bom. Tapi gua pinjem dulu seceng buat beli rokok. Duit gue ketinggalan di kantong celana satunya."

"Alesan aja lu," jawab Boma. Dari kantong blujinsnya dia keluarkan uang kertas seribu pe-rak lalu diberikan pada Ronny. "Lu jangan pamer rokok di depan Si Umar. Salah-salah lu disuruh lari ngelilingin lapangan enam kali lagi, baru tau ente!"

"Oo... tidak bissya Bom. Ini Yogya, bukan Jakarta. Salah-salah dia yang minta rokok sama aku!" jawab Ronny pula.

***

KELOMPOK Boma, Trini, Firman dan Andi berada di tingkat pertama bangunan Candi Boro-budur. Di sebelah depan berjalan kelompok Vino dan Sulastri bersama Gita dan Allan. Di belakang menyusul kelompok Ronny, Dwita lalu Rio dan beberapa orang pelajar kelas II-9.

Seorang pemandu laki-laki tengah membe-rikan penjelasan pada serombongan wisatawan. Tiga kelompok pelajar SMU Nusantara III kelas II-9 tadi berhenti dan bergabung, ikut mendengar-kan cerita sang pemandu.

"Bangunan Candi Borobudur ini didirikan sekitar tahun 800 Masehi. Terdiri dari tiga tingkat yang masing-masing punya nama sendiri-sendiri. Tingkat pertama yaitu dimana kita berada saat ini disebut Kamadhatu artinya Dunia Keinginan.

Tingkat kedua bernama Rupadhatu yang berarti Dunia Bentuk atau Dunia Ujud. Tingkat ketiga bernama Arupadhatu berarti Dunia Tidak Berbentuk atau Dunia Tanpa Ujud..."

Sambil terus mendengarkan cerita sang pemandu Ronny berkata pada Boma. "Si Umar, gua rasa cocoknya tinggal di Arupadhatu."

Boma dan teman-temannya sama tertawa mendengar kata-kata Ronny. Sang pemandu yang rupanya sempat mendengar ucapan Ronny me-mandang pada anak-anak itu lalu sambil terse-nyum dia berkata.

"Arupadhatu adalah alam tanpa ujud. Jadi orang yang namanya Si Umar atau Si Umir tidak mungkin hidup di alam itu..."

"Wah Ron. Kasihan Si Umar. Terpaksa dia balik ke alam Rupadhatu." Kata Boma pula yang mengundang tawa semua anak dan sang peman-du termasuk juga para wisatawan lain yang ada di tempat itu.

Pemandu wisata melanjutkan keterangan-nya.

"Candi Borobudur ini dibangun dari poton-gan batu berjumlah sekitar dua juta buah. Saat ini di sini terdapat 1472 buah Stupa serta 432 Ar-ca Buddha. Di sepanjang dinding candi terdapat ratusan relief yang menceritakan berbagai kisah. Jika semua relief itu disambung satu dengan yang lain maka panjangnya bisa mencapai tiga kilome-ter. Bayangkan..."

Di sebelah belakang Vino berbisik. "Dia tau

dari mana. Apa pernah ngitung...?" Ucapan Vino terputus karena lengannya

disengat cubitan Sulastri. Anak perempuan ini berbisik. "Jangan ngomong sembarangan kamu. Kalau dia denger..."

Vino cuma bisa nyengir sambil usap-usap lengannya yang merah bekas cubitan.

Ketika pemandu wisata mengajak rombon-gan wisata berpindah ke tempat lain, Trini men-dekati orang ini.

"Pak, mau tanya." "Ya, boleh. Anak ini rombongan dari Jakar-

ta pasti?" Trini mengangguk. "Mau tanya apa?" "Itu Pak, Area yang orang-orang suka pe-

gang, tempatnya di sebelah mana?" "Katanya kalau bisa megang, apa yang jadi

niat bisa terkabul. Apa betul Pak?" tanya si ge-muk Gita Parwati.

"Semua tergantung niat, dan tergantung Gusti Allah serta berpulang pada kepercayaan ki-ta masing-masing," jawab sang pemandu sambil tersenyum. "Arcanya disebut Arca Bimo. Letaknya di tingkat ke tiga, tingkat Arupadhatu. Sebelah timur, persis kanan tangga naik." Sang pemandu menunjuk ke arah timur.

"Terima kasih Pak..." kata Trini. Selagi Trini dan Gita bicara dengan sang

pemandu dan selagi sang pemandu menjawab pertanyaan kedua anak perempuan itu Boma berdiri sambil matanya memandang ke berbagai

jurusan. Di atasnya, pada tingkatan kedua ban-gunan candi serombongan wisatawan asing ten-gah membuat foto. Beberapa diantara mereka adalah wanita-wanita kulit putih yang berpakaian agak seronok. Sepasang mata Boma memandang ke atas bukan memperhatikan wisatawan asing itu, tapi memperhatikan sosok seorang yang agak terlindung dibalik sebuah stupa. Walau yang ter-sembul dari sosok orang ini hanya sebagian sisi kanan tubuhnya kepalanya tidak kelihatan, na-mun Boma yakin dari balik stupa orang itu ten-gah memperhatikan ke arahnya.

Boma menggeser tegaknya mendekati Ron-ny. Suaranya bergetar.

"Ron, kamu ingat nggak orang gila yang nyerang kita di sekolahan?"

Karena tengah asyik mendengar keteran-gan sang pemandu Ronny tidak begitu memper-hatikan pertanyaan temannya.

"Apa Bom?" "Ingat cerita ada orang yang mau membu-

nuh aku?" Ronny berpaling. Menatap wajah Boma.

"Memangnya kenapa?" "Putar kepalamu pelan-pelan. Liat lurus-

lurus ke atas. Perhatikan stupa nomor tiga dari ujung kanan. Orang itu ada di balik stupa. Pa-kaian item, rambut gondrong. Kali ini rambutnya nggak dikuncir. Tapi dibiarkan lepas."

Ronny menatap wajah temannya sesaat la-lu perlahan-lahan angkat kepalanya, memandang

lurus ke arah tingkat ke tiga candi. Mengawasi stupa yang dimaksudkan Boma.

"Aku nggak liat apa-apa Bom..." "Masa sih? Aku liat orang itu masih disana.

Malah sebagian wajahnya kini menyembul dari balik stupa,"

Ronny buka kaca mata birunya. Tetap saja dia tidak melihat apa-apa.

"Aku nggak ngeliat apa-apa Bom. Maksud kamu orang aneh bernama Pangeran Matahari itu?"

Boma mengangguk. Dia ingat ucapan si nenek. Bahwa Boma bisa melihat orang itu tapi orang lain tidak.

Boma mengusap tengkuknya. Saat itu te-riknya sang surya cukup membakar. Tapi Boma merasa tengkuknya dingin.

"Ron, kamu sama Trini, sama yang lain-lain tunggu di sini..."

"Kamu mau kemana?" "Aku nggak lama." Saat itu tiba-tiba angin bertiup kencang

sekali. Suara derunya terdengar menggidikkan. Beberapa orang berseru kaget karena topi yang mereka pakai mencelat diterbangkan angin. Seo-rang anak kecil sampai jatuh terduduk di batu candi. Ketika angin reda Boma tak ada lagi di tempat itu.

"Boma kemana?" Tanya Trini pada Ronny. "Katanya dia turun sebentar. Mau kenc-

ing." Jawab Ronny berdusta karena dia juga tidak

tau pergi kemana temannya itu. Ronny kembali memandang ke arah stupa di atas sana. Dia meli-hat banyak orang disekitar stupa itu. Tapi tidak ada orang berpakaian serba hitam, berambut gondrong, kepala diikat kain merah dan berman-tel.

"Gila kali kalau ada orang siang bolong be-gini pakai mantel!" kata Ronny dalam hati. "Jan-gankan orang setan juga gerah!"

***

PANGERAN Matahari beranjak dari balik stupa. Hatinya mendadak gelisah. Barusan dia melewati beberapa orang di sekitar tempat itu. Semua orang memperhatikan ke arahnya dengan pandangan agak lain dan beberapa diantara me-reka berbisik-bisik

"Kesaktian Batu Penyusup Batin yang di-usapkan guru ke tubuhku mungkin sekali telah habis. Orang dapat melihat ujudku dengan mata telanjang. Keadaan bisa berbahaya. Aku harus bertindak cepat."

Pangeran Matahari memandang ke bawah. Ke arah rombongan anak-anak SMU Nusantara III. Wajahnya berubah. Boma tidak ada lagi di an-tara para pelajar itu. Murid Si Muka Bangkai ini berpindah ke bagian candi yang lebih tinggi. Ma-tanya menyelidik ke seluruh penjuru. Namun Boma tetap tidak kelihatan.

Serombongan wisatawan lewat di samping-

nya, memperhatikan. Ada yang senyum-senyum. Tapi begitu Pangeran Matahari pelototkan mata, orang yang tertawa palingkan muka, pura-pura memandang ke jurusan lain.

"Aku curiga..." Membatin Pangeran Mata-hari. "Jangan-jangan Sinto Gendeng memberikan Batu Penyusup Batin yang dirampasnya kepada anak itu...." Lalu dia ingat peristiwa di halaman sekolah beberapa hari lalu. Kepala dan tubuhnya cidera. Dipukuli orang yang tidak kelihatan ujud-nya.

"Kalau anak itu memang memiliki Batu Pe-nyusup Batin, aku harus mencari akal..." Pange-ran Matahari menyeringai lalu tinggalkan tempat itu. Lagi-lagi menjadi perhatian orang yang dipa-pasinya.

***

BEBERAPA langkah meninggalkan Ronny dan kawan-kawannya, terhalang di balik sebuah stupa Boma mengusap bagian bahu di bawah tu-lang belikat sebelah kanan, dua kali berturut-turut.

Empat orang anak perempuan yang berada di hadapan Boma terkejut. Cewek paling depan hentikan langkah, berpaling pada teman di samp-ing kanannya.

"Tik, kamu liat nggak? Tadi di depan kita ada cowok kece rambut cepak pakai jins robek dengkulnya. Kok tau-tau lenyap?"

Motik, anak perempuan yang diajak bicara menyahuti. "Aku kira cuma aku yang heran.."

"Aku juga ngeliat." Kata anak perempuan di sebelah belakang.

"Jangan-jangan setan..." kata Motik. "Masa' sih. Aku nggak pernah denger cerita ada setan di Candi Borobudur."

"Teman-teman, baiknya kita pindah aja ke tempat lain." Motik mengajak. Lalu mendahului melangkah meninggalkan tempat itu. Teman-temannya mengikuti.

***

BOMA sampai di belakang stupa besar di mana tadi dia melihat sosok Pangeran Matahari. Tapi disitu dia tidak menemui Pangeran Matahari. Yang ada hanya beberapa orang pengunjung ten-gah berfoto. Boma mengitari stupa, lewat bebera-pa kali di depan orang-orang itu tanpa satupun dari mereka melihat kehadirannya. Anak ini yakin bahwa Batu Penyusup Batin yang ada di bahu kanannya memiliki kesaktian luar biasa. Namun anak ini tetap merasa kawatir.

"Aku bisa menghilang, bisa nggak keliatan. Tapi bagaimana teman-teman? Kalau Pangeran Matahari berbuat jahat terhadap mereka?"

Boma memeriksa bagian candi sekitar stu-pa besar itu sekali lagi. Tetap saja dia tidak me-nemukan orang yang dicarinya.

12 MUNCULNYA PENDEKAR 212 WIRO SABLENG

PENGUNJUNG candi ramai sekali di sepu-tar Stupa Bimo. Yang paling banyak para pelajar dari SMU Nusantara III. Melalui lobang-lobang berbentuk belah ketupat orang banyak mema-sukkan tangan ke dalam stupa, berusaha meme-gang Arca Bimo di dalamnya.

Di salah satu sisi stupa, Trini mengulurkan tangannya dalam-dalam, menggapai-gapai. Tapi jari-jarinya tidak mampu menyentuh tangan apa lagi bagian tubuh arca. Rio mengambil foto Trini waktu berusaha memegang arca ini.

"Wah Rin! Maksud lu nggak kesampean!" kata Rio.

"Coba ogut. Kayaknya deket aja." Kata Ronny Celepuk. Dia memasukkan tangan kanan-nya dari sebelah belakang, coba memegang pung-gung dan kepala area. Tidak kena. Dia pindah ke sebelah depan. Ujung tangannya menggantung di udara, tidak mampu menyentuh tangan area.

"Ajie Gile. Gua rasa tangan gua paling pan-jang. Tapi kok nggak bisa nyampe?" Ronny Cele-puk gosok-gosok tangannya satu sama lain.

Vino, Rio, Allan, Andi dan Firman juga mencoba. Tapi tidak satupun dari mereka bisa menyentuh Arca Bimo.

Giliran si gemuk Gita Parwati. Saking pe-nasarannya anak ini mencoba dari empat sisi.

Depan, kiri kanan dan belakang. "Aneh, kok nggak bisa kepegang ya?" kata

Gita sambil menarik tangannya yang terasa pegal. "Kamu nggak mandi kali tadi pagi!" kata Vino.

"Lu juga nggak bisa megang. Berarti nggak mandi juga!" sahut Gita cemberut.

Pak Sanyoto tidak mau ketinggalan. Dia memasukkan tangannya pada lobang di sisi ka-nan arca. Sampai kecapaian sambil geleng-geleng kepala dia keluarkan tangan dari dalam lobang. Lalu berpaling pada Ibu Renata.

"Ibu nggak mau coba?" tanya Pak Sanyoto. Ibu Renata mendekat ke stupa. Sesaat ia

bingung mau memasukkan tangan kanan atau ki-ri. Akhirnya dia masukkan tangan kanan ke celah belah ketupat. Tiba-tiba Guru Bahasa Inggris ini memekik. Anak-anak mengintip lewat lobang.

"Kena!" teriak Vino. "Kepegang!" pekik Trini. Jari-jari tangan Ibu Renata yang halus ba-

gus memang berhasil memegang tangan Arca Bi-mo, bukan cuma tangan tapi juga kaki arca.

"Wah Ibu Renata hebat!" ujar Pak Sanyoto "Niatnya apa tadi bu?" tanya Ronny. "Nggak niat apa-apa." Jawab Ibu Renata

tersenyum lebar dan mengeluarkan tangannya dari dalam stupa.

"Bom! Lu diem aja! Nggak pengen megang?" Vino bertanya pada Boma.

Dari samping Ronny menarik tangan kanan Boma lalu dimasukkan ke dalam lobang. Ronny

mengintip. Lalu anak ini berteriak. "Liat!" Beberapa anak mengintip. Tangan kanan

Boma kelihatan menggenggam tangan Arca Bimo. Anak-anak bersorak ramai. Boma tenang saja. Saat itu dia merasa ada hawa aneh sejuk menga-lir dari tangan Arca Bimo, masuk ke dalam tan-gannya, terus mengalir ke seluruh tubuh. Boma merasa tengkuknya dingin.

"Hebat temen gue!" kata Ronny sambil te-puk-tepuk punggung Boma.

"Kok yang bisa cuma Boma sama Ibu Rena-ta?" Si Centil Sulastri membuka mulut. "Wah, ar-tinya apa nih?"

Boma tersenyum masih berdiri di depan stupa sambil mengelusi lengan kanannya. Mu-kanya tampak pucat. Sementara Ibu Renata juga tersenyum tapi wajahnya bersemu merah.

"Eh Dwita mana? Dwita belum nyoba!" Tiba-tiba Firman berteriak. "Bener, Dwita belon!" kata Andi. Semua anak memandang berkeliling, men-

cari-cari. Tapi Dwita memang tidak ada. "Kok Dwita nggak ada?" ucap Gita. "Ngilang kemana tu anak?" kata Vino pula. "Kayaknya dari tadi, lama juga dia nggak

keliatan," kata Ronny baru menyadari. "Dia mungkin pergi kemana. Ada yang di-

tinggali pesan?" Pak Sanyoto bertanya. Tidak ada yang menjawab. Pak Sanyoto memandang berkeliling. Lalu

berkata. "Mungkin dia ada di dekat-dekat sini. Nanti juga muncul..."

Boma mendekati Ronny. "Ron, semua teman-teman kita ada di sini.

Cuma Dwita yang nggak keliatan. Aku kawatir. Gimana kalau kita sama teman-teman mencari."

"Aku rasa nggak perlu kawatir. Dwita pal-ing mencar. Nanti juga dia bisa kembali ke bis. Pak Sanyoto tadi udah ngasi pengarahan."

"Kalau dia mencar, kenapa cuma sendi-rian?" ujar Boma.

Ronny terdiam. Tiba-tiba angin bertiup kencang sekali.

Anak-anak perempuan berpekikan dan jatuhkan diri lantai candi, berlindung di balik stupa.

Lalu mendadak dari berbagai arah tampak orang-orang berlarian ke arah selatan. Beberapa di antara mereka menunjuk-nunjuk. Makin lama makin banyak orang yang lari ke jurusan itu.

"Orang-orang itu, mereka takut angin..." Vino.

"Mungkin mau turun badai? Topan?" Fir-man.

Boma memandang ke arah selatan. Lalu berkata. "Orang-orang itu bukan takut topan Vin. Aku...,"

Pak Sanyoto mencegat salah seorang yang berlari dan bertanya. "Ada apa Pak?"

Orang yang ditanya berhenti. "Ada kejadian aneh! Ada orang dalam stu-

pa."

Seorang lelaki yang kebetulan lewat sambil berjalan cepat menambahkan. "Orang gila mencu-lik gadis! Gadisnya dikurung dalam stupa!"

Ada gadis dikurung dalam stupa. Ini satu hal yang tidak mungkin terjadi. Ronny dan Boma saling berpandangan.

Semua anak SMU Nusantara III meman-dang pada Pak Sanyoto. Lalu berpaling ke arah selatan. Boma berdiri tak bergerak, mata terpe-jam.

"Pangeran Matahari," membatin Boma. "Pasti dia."

"Ron! Ikut gua!" kata Boma lalu mendahu-lui lari ke arah selatan. Di satu tempat dia menye-linap ke balik sebuah stupa, membiarkan Pak Sa-nyoto dan teman-temannya melewati stupa. Lalu anak ini sap Batu Penyusup Batin.

Ronny, Pak Sanyoto dan semua anak SMU Nusantara III termasuk Ibu Renata sama-sama la-ri ke arah selatan candi.

Di Candi Borobudur arah selatan terdapat jajaran stupa yang didalamnya berisi Arca Budd-ha yang disebut Arca Amoghasidi. Sikap tangan kiri Arca Amoghasidi diletakkan di pangkuan se-dang tangan kanan diangkat setinggi pinggang dengan telapak terbuka menghadap ke depan. In-ilah sikap tangan yang disebut Abayamudra yang berarti mengisyaratkan ketidak gentaran, jangan takut.

Salah satu dari Arca Amoghasidi itu di keli-lingi oleh banyak orang. Tapi orang-orang ini ti-

dak berani terlalu dekat. Di samping stupa sebelah kanan berdiri

seorang pemuda tinggi besar. Tampangnya tam-pak garang. Pandangan matanya angker. Pa-kaiannya serba hitam, dilengkapi sehelai mantel di sebelah belakang. Di bagian dada bajunya ada gambar gunung berwarna biru dan larikan-larikan sinar matahari berwarna merah. Di ke-ningnya melintang sehelai kain berwarna merah. Orang ini menatap dingin ke arah semua orang yang ada di depannya, menyeringai angker.

"Aku Pangeran Matahari! Jangan berani mendekat kalau tidak mau mati!" Tiba-tiba pe-mudi disamping stupa berteriak keras sambil kaki kanannya dihentakkan. Bangunan candi terasa bergetar. Orang banyak menjauh ketakutan.

Yang membuat semua orang tambah ter-cengang adalah ketika menyaksikan di dalam stupa di samping orang yang mengaku bernama Pangeran Matahari itu, tergeletak pingsan sesosok tubuh, ramping anak perempuan, berkulit putih, mengenakan jins merah, blus biru bergaris putih kuning dan merah. Tak ada satupun dari orang banyak yang dapat mengerti bagaimana anak pe-rempuan itu bisa berada di dalam stupa.

Ketika Pak Sanyoto, Ibu Renata dan rom-bongan anak-anak SMU Nusantara III sampai di tempat itu, Ronny, Vino dan Allan segera menge-nali. Pemuda berpakaian serba hitam yang tegak dl samping stupa adalah orang gila yang menye-rang mereka di sekolah sehabis pulang latihan

basket! "Ron, dia Ron," kata Vino dengan suara

bergetar Ronny dan Allan terkesiap. Wajah sama pucat "Bagaimana orang ini

bisa berada disini?" ucap Ronny. Tiba-tiba terdengar suara pekik anak pe-

rempuan. Suara Trini dan Sulastri. Kedua anak ini tadi menyeruak diantara kerumunan orang banyak. Ketika memandang ke arah stupa, mere-ka melihat sosok Dwita yang tergeletak pingsan di dalam sana. Langsung keduanya menjerit.

"Dwita! Itu Dwita!" teriak Sulastri sambil menunjuk ke dalam stupa.

Di samping stupa Pangeran Matahari don-gakkan kepala lalu tertawa bergelak. Tiba-tiba suara tawanya lenyap. Dari mulutnya menggele-gar bentakan.

"Boma! Mana anak bernama Boma!" Pak Sanyoto, Ibu Renata dan semua pelajar SMU Nu-santara III tentu saja jadi terkejut mendengar ucapan itu. Mengapa orang aneh di atas sana mencari Boma? Mengapa Dwita ada di dalam stu-pa? Bagaimana mungkin? Apa orang yang men-gaku bernama Pangeran Matahari itu yang men-culiknya lalu memasukkannya ke dalam stupa? Jika seseorang masuk atau dimasukkan ke dalam stupa, satu-satunya cara ialah dengan mengang-kat stupa. Stupa itu ratusan kilo bahkan mung-kin lebih dari satu ton. Siapa manusia yang mampu mengangkat lalu memasukkan Dwita Ti-

fani ke dalamnya? Pak Sanyoto memandang ber-keliling. Ibu Renata ikut mencari-cari. Tapi Boma tidak kelihatan.

"Tadi dia lari lebih dulu dari kita. Mestinya sudah sampai disini duluan," kata Ronny.

"Pengecut! Anak Pengecut! Kalian akan menyaksikan kematian seorang anak manusia di dalam stupa hanya karena kepengecutan seorang anak bernama Boma!"

Di atas sana Pangeran Matahari kembali keluarkan ucapan keras.

"Boma....Boma, dimana anak itu?" Ronny dan kawan-kawan saling pandang, lalu meman-dang seputar candi.

"Aku akan lihat! Mungkin nyawa harus le-pas lebih dulu sebelum berani unjukkan diri! Ter-lambat! Terlambat!"

Pangeran Matahari angkat tangan kanan-nya ke atas. Tangan itu bergetar pertanda ada hawa sakti mengalir. Lalu tangan itu memancar-kan warna aneh. Merah, kuning dan hitam. Pan-geran Matahari siap melepas pukulan Gerhana Matahari. Udara mendadak redup sebaliknya ti-upan angin kembali kencang mengeluarkan suara aneh menggidikkan

Pangeran Matahari membungkuk, mengin-tai diantara lobang-lobang stupa lalu berkata.

"Anak perempuan di dalam stupa. Nasibmu malang sekali! Orang yang katanya mengasihimu lebih suka melihat kau jadi mayat mengenaskan dari pada menunjukkan keberanian memperli-

hatkan diri! Ha...ha...ha!" Pangeran Matahari tertawa bergelak. Tiba-

tiba tawanya lenyap. Lalu tangannya dihantam-kan ke arah stupa di dalam mana tergeletak Dwi-ta Tifani dalam keadaan pingsan. Beberapa orang keluarkan seruan keras. Anak-anak perempuan menjerit. Ada yang berteriak memanggil nama Dwita dan Boma

Tiba-tiba dua sosok berkelebat di dekat stupa. Satu entah dari mana datangnya, laksana burung besar menyambar ke arah Pangeran Ma-tahari. Yang satu lagi menyeruak dari kerumunan orang banyak, melompat ke dekat stupa di lantai atas.

"Pangeran Matahari! Kau mencari mati!" "Tunggu! Aku Boma!" Dua teriakan mengumandang di antara de-

ru angin dan ketersiapan semua orang yang ada di tempat itu. Lalu ada sinar putih berkiblat ke arah tangan Pangeran Matahari yang memukul.

Satu letupan keras menggetarkan seantero candi. Orang banyak kembali berpekikan. Sinar kuning, hitam dan merah yang menyambar keluar dari tangan kanan Pangeran Matahari ke arah stupa terpental buyar ke atas oleh hantaman ca-haya putih yang menghampar hawa panas.

Orang banyak berpekikan lalu berlarian menjauhi tempat itu.

Pangeran Matahari terjajar beberapa lang-kah, hampir jatuh duduk kalau tidak tertahan oleh stupa yang ada di belakangnya. Di hadapan-

nya berdiri dua orang. Yang pertama bukan lain adalah Boma. Anak ini yang tadi tidak kelihatan sosoknya karena kesaktian Batu Penyusup Batin, karena ancaman Pangeran Matahari mau tak mau segera unjukkan dirinya kembali yaitu dengan mengusap batu sakti untuk ke tiga kalinya.

Orang kedua seorang pemuda berambut gondrong berpakaian serba putih bertubuh kekar. Tampangnya keren dan sebentar-sebentar layangkan senyum sambil garuk-garuk kepala.

Boma melirik ke arah si gondrong yang ba-rusan menolong Dwita dari hantaman pukulan maut Gerhana Matahari. Si gondrong juga berpal-ing ke arahnya, tertawa lebar dan kedipkan mata kirinya. Tiupan angin membuat baju putihnya tersibak. Pada dadanya kelihatan tatto tiga buah angka. 212!

Boma ingat. Pemuda gondrong ini adalah orang yang pernah datang dalam mimpinya. Me-nolong dirinya ketika dikeroyok oleh kawan-kawan perampok wanita di bajaj. Mimpi! Apakah saat itu dia juga tengah bermimpi! Mungkin ini yang oleh si nenek sebagai orang yang akan me-nolong teman-temannya.

"Abang..." sapa Boma. Si gondrong tertawa lebar. Dia kembali garuk kepalanya.

Boma membalas dengan menowel hidung. Dua-duanya lalu sama-sama tersenyum. "Anak keren berambut cepak! Eyang Guru

biasa memanggilmu Anak Gendenk. Betul? Ha...ha...! Bagus! Kau masih ingat diriku. Walau

kau cuma pernah melihat aku dalam mimpi. Ha...ha.. Kita berjodoh untuk bertemu!"

"Abang, bagaimana mungkin Dwita bisa be-rada dalam stupa? Gila bener!"

Si gondrong menyeringai. "Tenang saja. Ini urusan kecil. Siapkan

hawa sakti di tangan kirimu." Berkata si gondrong. Sebenarnya saat itu

dia juga bingung bagaimana cara mengeluarkan anak perempuan itu dari dalam stupa.

Boma angkat tangan kirinya. "Bangsat Pendekar 212!" Tiba-tiba Pange-

ran Matahari membentak. "Apa hubunganmu dengan anak ini?"

Si gondrong yang bukan lain adalah Pen-dekar 212 Wiro Sableng murid nenek sakti Sinto Gendeng dari Gunung Gede tersenyum. "Kau dengar sendiri. Dia memanggil aku dengan sebu-tan Abang. Berarti dia adalah saudaraku!"

Pak Sanyoto, Ibu Renata dan anak-anak SMU Nusantara III yang mendengar jelas semua percakapan itu jadi melengak kaget. Tapi karena masing-masing diselimuti ketegangan, tak satu-pun yang keluarkan suara.

Pangeran Matahari memandang mendelik pada Boma.

"Anak bau kencur! Kau boleh punya tangan mengandung hawa murni sakti! Kau boleh men-gandalkan pemuda gondrong berotak sableng itu. Tapi apa kalian mampu membebaskan anak pe-rempuan ini tanpa menghancurkan stupa warisan

para leluhur? Apa kalian mampu membebaskan anak perempuan tanpa melangkahi mayatku?"

"Apa salah Dwita? Kau membuat keonaran, mencelakai temanku dan mau merusak bangunan agung dan suci ini! Kau manusia jahat!"

"Boma, dia bukan manusia! Tapi sebangsa dedemit yang gentayangan antara langit dan bu-mi?!" kata Pendekar 212 lalu tertawa bergelak.

Pangeran Matahari keluarkan suara meng-gembor marah. Dia melompat ke hadapan Pende-kar 212.

"Pangeran jelek! Jangan kesusu! Gurumu Si Muka Bangkai sudah kena diringkus Eyang Sinto Gendeng! Kau yang punya ilmu sedalam comberan masih berani jual lagak! Gendeng kali!"

Pangeran Matahari terkejut mendengar ucapan Wiro. Otaknya bekerja. Sambil menyerin-gai dia kemudian berkata.

"Jangan menipu. Aku Pangeran segala ak-al, segala cerdik, segala licik tak mungkin bisa di-tipu oleh pemuda sinting sepertimu!"

"Lu yang sinting!" teriak Boma. "Lepaskan Dwita dari dalam stupa!"

Pangeran Matahari tertawa bergelak. Ra-hangnya menggembung. Didahului bentakan ke-ras dia berkelebat menyerang Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng. Tapi cahaya menggidikkan yang kemudian melesat dari tangan kanannya justru menghantam ke arah Boma Tri Sumitro. Inilah satu serangan tipuan yang tidak terduga baik oleh pendekar 212 maupun oleh

Boma. "Boma awas!" teriak Wiro. Dia bukan saja

harus menyelamatkan anak itu tapi juga menye-lamatkan bangunan candi dari pukulan Telapak Matahari yang dilancarkan Pangeran Matahari.

TAMAT

BERHASILKAN PENDEKAR 212 WIRO

SABLENG MENYELAMATKAN BOMA DAN BANGUNAN CANDI BOROBUDUR DARI PUKULAN MAUT PANGERAN MATAHARI? BISAKAH DWITA DIKELUARKAN DARI DALAM SEKAPAN STUPA YANG BERATNYA LEBIH DARI SERIBU KILOGRAM ITU? JAWABANNYA HANYA BISA PEMBACA IKUT! DALAM SERIAL

"Tenda Biru Candi Mendut" Scan/E-Book: Abu Keisel Juru Edit: Fujidenkikagawa