serba-serbi masyarakat maritim

106
SERBA-SERBI MASYARAKAT MARITIM SASTRAWIDJAJA SASTRAWIDJAJA PENELITI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT MARITIM Divisi Perbitan Buku Riset Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan Dan Perikanan BADAN RISET KELAUTAN DAN PERIKANAN JAKARTA Editor Tajerin

Upload: sastrawidjaja

Post on 02-Jul-2015

2.315 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

SERBA-SERBI MASYARAKAT MARITIM

SASTRAWIDJAJA

SASTRAWIDJAJA PENELITI SOSIAL EKONOMI

MASYARAKAT MARITIM

Divisi Perbitan Buku Riset

Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan Dan Perikanan

BADAN RISET KELAUTAN DAN PERIKANAN JAKARTA

Editor Tajerin

Perpustakaan Nasional: katalog dalam terbitan (KDT)

Sastrawidjaja

Serba-Serbi Masyarakat Maritim/Sastrawidjaja

Jakarta: Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan Dan Perikanan, 2006

xv…, hlm. 21 cm

Bibliografi: hlm …..

ISBN ……………

1. Sosial. I. Judul. II. Sastrawidjaja

Hak cipta 2006, pada penulis

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi

buku ini dengan cara apapun, termasuk dengan cara

penggunaan mesin fotokopi, tanpa izin sah dari penerbit

Cetakan pertama, 2006

……………………….. Sastrawidjaja

SERBA-SERBI MASYARAKAT MARITIM

Hak penerbitan pada Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan Dan Perikanan

Jakarta

Desain cover oleh ……..

Dicetak di ………………………..

Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan Dan Perikanan Jl. K.S. Tubun Petamburan VI

Jakarta 10260

Telepon: (021) 53670083

Fax : (021) 53650158 E - mail : [email protected]

KATA SAMBUTAN

KEPALA BALAI BESAR RISET SOSIAL EKONOMI

KELAUTAN DAN PERIKANAN

Indonesia sebagai negara kepulauan, maka wajar kalau di dalamnya terdapat banyak

penduduk yang aktivitas kehidupannya berbasiskan maritim, dan daerah pantai yang berhubungan dengannya. Kemudian, bila di kaitkan dengan letak Indonesia yang sangat strategis, yaitu diapit

oleh Samudera Pasifik dan Samudera Hindia serta oleh Benua Asia dan Australia, maka

keuntungan strategis ini jelas sangat mendukung kehidupan masyarakat maritim, dan penduduk Indonesia pada umumnya, karena bangsa Indonesia mendapat keuntungan paling besar dari posisi

maritim global. Melalui tulisan serba-serbi masyarakat maritim ini, sedikit menyadarkan kita

kembali, betapa jati diri kita sebagai bangsa maritim terbesar di dunia, sangatlah penting memposisikannya kembali, bahwa sumber daya maritim yang selama ini hanya di pandang

sebagai “pelengkap”, justru harus di kembalikan sebagai sumber kekuatan maha dahsyat bangsa

di masa depan. Kekuatan maha dahsyat tersebut kalau diukur secara keseluruhan dari nilai

ekonomi total produk maritim (perikanan dan produk bioteknologi perairan Indonesia), diperkirakan mencapai 82 miliar dolar AS per tahun. Potensi ekonomi yang berasal dari minyak

dan gas bumi yang 72 persen produksinya, berasal dari kawasan pesisir dan laut. Ditambah lagi

dengan potensi ekonomi jasa perhubungan yang menggunakan perairan maritim, diperkirakan 12 miliar dolar AS per tahun. Berdasarkan perhitungan 15 tahun terakhir, Indonesia ternyata

mengeluarkan devisa lebih dari 10 miliar dolar AS per tahunnya untuk membayar armada

pelayaran asing yang mengangkut lebih dari 95 persen dari total barang yang di ekspor dan diimpor ke Indonesia, dan yang mengangkut 45 persen dari total barang yang di kapalkan antar

pulau di wilayah Indonesia (Rohmin Dahuri, 2005). Jadi dari sini, sedikit tergambarkan, peran

masyarakat maritim sesungguhnya sangat penting dalam membangun bangsanya, melalui

berbagai kegiatan untuk mensejahterakan bangsanya, yang di ikut sertakan secara total sebagai satu kesatuan konsep holistik bangsa.

Maritim Nusantara ini, juga mengandung kekayaan alam yang sangat besar dan beraneka

ragam, baik yang dapat diperbaharui seperti; ikan, terumbu karang, hutan mangrove, rumput laut, produk-produk bioteknologi, tetapi juga memiliki sumber daya pertambangan yang tidak dapat

diperbaharui seperti minyak dan gas bumi, timah, bijih besi, baukset, serta mineral lainnya.

Kemudian kita juga memiliki sumber energi yang dapat diperbaharui seperti energi maritim yaitu

pasang surut, gelombang, angin, dan OTEC atau Ocean Thermal Energy Convertion; juga ditambah lagi dengan jasa-jasa lingkungan maritim seperti pariwisata bahari dan transportasi

maritim. Pengakuan kehidupan berbasiskan perairan tersebut menjadi lebih nyata dan terasa,

setelah Negara yang berisikan konsepsi Nusantara (Archipelagic State), yang telah di perjuangkan sejak deklarasi Djoeanda (1957) yang kemudian telah diterima masyarakat dunia, dan ditetapkan

dalam Konvensi Hukum Laut PBB, United Nation Convention on Law of the Sea (UNCLOS)

1982, maka wilayah laut Indonesia menjadi sangat luas, yaitu 5,8 juta km, sama dengan tiga perempat dari keseluruhan luas wilayah Indonesia. Setelah pengakuan PBB, maka dengan luas

laut yang demikian besar di dalamnya mengandung lebih dari 17.500 buah pulau, yaitu pulau

besar dan pulau kecil yang ikut di kelilingi oleh garis pantai sepanjang 81.000 km. Garis pantai

sepanjang itu adalah termasuk garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada, dan karenanya Indonesia juga dikenal sebagai negara maritim dan kepulauan terbesar di dunia. Dari

peran geopolitik maritim, jelaslah bagi kita bahwa pengakuan PBB telah juga menempatkan

maritim memiliki peran geoekonomi. Masyarakat yang hidup di kepulauan nusantara sejak memproklamasikan dirinya pada

tanggal 17 Agustus 1945 sebagai bangsa yang merdeka, maka secara kebangsaan masyarakat

yang mendiami nusantara ini menjadi bangsa besar yaitu bangsa Indonesia. Masyarakat bangsa ini merupakan salah satu masyarakat di dunia yang hidup dan berkembang di banyak kepulauan

Indonesia, besar dan kecil , karena berada di tengah-tengah lautan. Sejarah telah membuktikan

pula bahwa masyarakat yang berdiam di pulau-pulau ini tetap mampu melangsungkan

kehidupannya, tidak terkecuali mereka yang hidup di pulau-pulau kecil ter-pencil, walaupun berada jauh di tengah lautan. Oleh karena itu, keunikan yang di miliki oleh bangsa ini perlu

digali dan di ketahui, paling tidak fenomena tentang kehidupan dari sudut ekonomi dan sosial

lainnya. Indonesia sejak pengakuan UNCLOS tahun 1982, sebagai bangsa telah resmi menjadi

negara kepulauan, maka bersamaan dengan itu beribu-ribu pulau-pulau besar dan kecil ikut terhimpun dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari bangsa ini, walaupun pulau-pulau

tersebut dipisahkan oleh lautan yang jaraknya bermil-mil dari satu pulau ke kepulauan lainnya, ini

memberikan kebebasan bagi anak bangsa ini untuk dapat memanfaatkannya bagi manusia Indonesia.

Dalam upaya memperkenalkan beragam corak dan tata cara serba-serbi masyarakat

maritim, baik kehidupan masyarakat yang bersifat sosial dan kebudayaan yang langsung terkait dengan lautan dan perairan atau tidak, maka tulisan ini merupakan sekelumit informasi tentang

serba-serbi kehidupan tersebut. Dan apabila semua elemen yang ada di Indonesia dapat bersinergi

secara total dan holistik membangun sektor maritim, maka bukan tidak mungkin bahwa sektor

maritim akan mampu membuahkan pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan (sustained economic growth), dengan menjadikan sektor maritim dan daratan sebagai dua tungku ekonomi

sebagai sebuah sistem yang mampu mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan menuju

Indonesia yang maju, makmur, dan damai. Pada kontek inilah, maka Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan ikut berperan menyelenggarakan riset, dan mendorong tumbuh

kembangnya kreatifitas dan menerbitkan buah pemikiran dalam ikut serta mencarikan solusi

sebagai masukan, dan dasar dalam mengembangkan ke ilmuan maritim kenusantaraan.

Kepala Balai Besar

Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan

Dr. Agus Heri Purnomo

Kata Pengantar

Indonesia sebagai negara yang di kelilingi oleh samudera dan lautan telah diakui oleh

Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1982, merupakan salah satu negara kepulauan yang besar. Jumlah penduduk negara kepulauan ini yang di proklamasikan pada tanggal 17 Agustus

1945 pada saat pengakuan tersebut telah mencapai 150 juta jiwa dan telah tersebar di seluruh

kepulauan nusantara. Penduduk yang berdiam diseluruh kepulauan ini tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh lautan, apalagi di lihat dari sisi geografisnya yang berada di antara dua

samudera besar, ternyata telah ikut menguntungkan aktivitas kegiatan masyarakatnya. Ternyata

iklim yang ada di nusantara sangat mempengaruhi pola arus angin yang berada di sekitar

kepulauan nusantara. Arus angin yang di pengaruhi oleh Iklim inilah yang telah di manfaatkan oleh penduduk Indonesia untuk menggerakkan perahu-perahu, dan kapal-kapal laut tersebut yang

telah mampu menghubungkan dan mempersatukan pulau-pulau, juga mengangkut dan

memindahkan berbagai kebutuhan hidup masyarakatnya ke berbagai belahan kepulauan di nusantara ini.

Dalam upaya memperkenalkan beragam corak dan tata cara (serba-serbi) masyarakat

maritim, baik kehidupan masyarakat yang bersifat sosial dan kebudayaan yang langsung terkait

dengan lautan dan perairan atau tidak, maka tulisan ini merupakan sekelumit informasi tentang serba-serbi kehidupan tersebut. Tulisan ini hanya membahas, atas dasar pada fenomena yang

dapat di lihat atau di rasakan denyutnya di dalam kehidupan masyarakat maritim berupa pranata

sosial; seperti alam laut dengan sekitarnya, peralatan kehidupan yang di ciptakan dan di gunakan, kehidupan sosial, kegiatan ekonomi dan industri berbasiskan maritim.

Masyarakat maritim yang mendiami pulau-pulau kecil dan pantai-pantai terpencil hampir

tidak dikenal oleh sebagian besar oleh orang di nusantara ini, hal tersebut telah menyebabkan mereka termarjinalkan dari berbagai bidang pembangunan kebangsaan, karena itu perlu ada

upaya mengenali kebudayaannya. Kebudayaan adalah sesuatu kumpulan pedoman atau pegangan

yang kegunaannya operasional dalam hal manusia mengadaptasi diri dengan dan menghadapi

lingkungan tertentu (lingkungan fisik/alam, sosial dan kebudayaan) untuk dapat melangsungkan kehidupannya, yaitu memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dan untuk dapat hidup secara lebih baik

lagi. Karena itu, seringkali, kebudayaan juga dinamakan sebagai blueprint (cetak biru) atau

desain menyeluruh kehidupan masyarakat (Suparlan, 1986; Spradley, 1972). Agar mampu melakukan adaptasi diri, maka perlu dikenali ciri-ciri suatu tindakan sosial. Pertama, yang

bersifat faktual, yaitu suatu tipe tindakan yang terwujud yang berdasarkan pada orientasi atau di

pengaruhi oleh nilai-nilai dan tujuan-tujuan yang hendak dicapai. Kedua, tindakan sosial yang bersifat tradisional, yaitu suatu tipe tindakan sosial yang berorientasi atau dipengaruhi oleh

adanya ikatan tradisi yang ada dalam masyarakat yang bersangkutan. Ketiga, tindakan sosial

yang bersifat afektual, yaitu tindakan sosial yang berorientasi atau sangat di pengaruhi oleh

perasaan, seperti rasa pantas atau tidak pantas, senang atau tidak senang, aman atau tidak aman, bangga atau tidak bangga, dan lain sebagainya.

Di lihat dari kepatuhan masyarakat terhadap tata-nilai yang telah ada di dalam masyarakat,

seperti: kepemimpinan, organisasi/lembaga, manajemen masyarakat maritim ikut dalam penyelenggaraan pemerintahan yang cukup baik dan posisif. Nilai-nilai universal, seperti

kerukunan, kerja keras, dan penghargaan, hal tersebut dapat di lihat dari harmonisnya kehidupan

masyarakat yang senantiasa saling tolong menolong dan saling memperhatikan. Dalam hal

mengikuti program kebaikan yang dianjurkan oleh pemimpinnya, secara fenomial senantiasa memunculkan adanya sikap saling pengertian dengan suasana yang kondusif, saling percaya

antara yang memimpin dengan yang dipimpin, sehingga berbagai ketegangan sosial dengan

mudah dapat diredam. Dalam hal cara mengelola kepentingan bersama di dalam kampung (manajemen dan organisasi), tampak adanya saling keterbukaan, untuk mewujutkan kepentingan

umum secara bersama-sama. Kemudian, berdasarkan hasil pertimbangan yang transfaran melalui

musyawarah yang di landasi dengan hukum adat yang telah ada di dalam masyarakat, dan juga

aturan agama Islam yang berlaku, sehingga kedamaian bersama senantiasa tetap terjaga. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih komprehensip, maka perlu ada batasan

pengertian masyarakat maritim. Definisi yang dianut selama ini, baru sebatas pengertian nelayan,

yang diartikan hanya sebagai orang yang mencari ikan di laut. Batasan ini memberi

penggambaran bahwa nelayan di pandang atau diartikan tidak lebih hanya sebagai tenaga kerja, bukan dalam kontek bagian dari sistem kemasyarakatan masyarakat maritim. Di dalam

hubungannya dengan informasi yang disajikan dalam serbi-serbi ini, penulis lebih menitik

beratkan pada kegiatan sistem kemasyarakatan maritim. Oleh karena itu masyarakat maritim yang dimaksudkan adalah sistem kelompok masyarakat yang berbudaya, bersosial, berekonomi,

berorganisasi, berteknologi yang mewujutkan kehidupannya tersebut di dalam negara kesatuan

Republik Indonesia. Kemudian, pekerjaan seperti menangkap ikan atau mengambil biota laut lainnya atau membudidayakan ikan, pengolah hasil tangkapan, pembuat sarana maritim atau

segala pekerjaan yang terkait langsung dan tidak langsung yang dapat mempengaruhi dan

berpengaruh dengan perairan lautan, termasuk kedalam sistem kehidupan masyarakat maritim.

Serba-serbi tulisan ini mengambil contoh fenomena kehidupan masyarakat maritim di Pasuruan, Kepulauan Riau, Bengkulu Selatan, Lampung Barat, Pandeglang, dan Lombok Timur

adalah untuk sedikit memberikan gambaran tentang aktivitas kehidupan masyarakat maritim yang

ada di sebagian wilayah nusantara. Penyajian informasi sangat bervariasi, tidak mendalam dan juga sangat fenominal, tujuannya hanya ingin mengatakan bahwa masyarakat maritim di

nusantara ini tetap ada dan keberadaannya perlu menjadi perhatian kita bersama. Apapun corak

dan cara, bagaimana mereka hidup dan berkehidupan, tetap saja masyarakat maritim itu bagian integral dan tidak dapat di pisahkan dalam mewujutkan dan membesarkan bangsa maritim yang

besar ini ke dalam negara kesatuan Republik Indonesia.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis sangat menyadari, buku serba-serbi masyarakat maritim ini masih banyak

sekali kekurangan dan kelemahannya disana sini, karena itu sangatlah pantas kalau

penulis memohonkan pengertian dan maklumnya dari siapapun yang berkenan dengan

buku ini. Penulis menulis buku ini mempunyai maksud untuk berbagi cerita, pemikiran

dan idealisme dalam upaya mengisi pembangunan kebangsaan yang tercinta, “Indonesia”

yang terbentuk diatas kawasan yang di dalamnya mempunyai perairan luas dan sempit,

juga mempunyai pulau-pulau besar dan kecil yang bertebaran di Nusantara, dan yang di

dalamnya ada banyak kehidupan. Terdorong oleh keinginan untuk berbagi tersebut, maka

penulisan buku ini adalah baru mampu menyajikan sekelumit informasi kekayaan dunia

maritim yang terangkat dari dalam masyarakat maritim, diantara begitu banyak

kekayaan informasi kehidupan lainnya yang belum mampu terungkapkan. Menyadari

begitu banyak kekurangan dan keterbatasan yang dimiliki penulis, maka selama

menyusun penulisan, penulis merasa sangat beruntung karena banyak dibantu oleh

berbagai pihak yang ikut menyumbangkan pemikiran dan tenaganya, baik secara

langsung maupun secara tidak langsung, dan begitu juga berbagai referensi yang relevan

dengan tulisan buku ini. Sehubungan dengan hal itu, dalam kesempatan ini penulis

mengucapkan juga terimakasih kepada semua pihak, khususnya kepada; Dr. Agus Heri

Purnom, selaku Kepala Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan yang

telah memberikan dorongan dan kesempatan ke pada penulis memperbincangkan

berbagai hal yang terkait dengan buku ini sehingga dapat terwujut menjadi uraian tulisan,

atas segala saran dan dorongannya sangatlah berarti bagi penulis. Ir. Zahri Nasution yang

telah memberikan dorongan agar ada buku yang menginformasikan tentang serba-serbi

kehidupan kemasyarakatan yang berbasiskan perairan, khususnya perairan kelautan. Dari

dorongan tersebut dilakukanlah berbagai perbincangan yang terkait dengan kehidupan

kemasyarakatan maritim, dan hasil perbincangan itu muncullah berbagai inspirasi

penyempurnaan penulisan buku ini. Juga tidak lupa kepada Ir. Manadiyanto yang ikut

menjadi editor, senantiasa memberikan semangat dan melakukan pengkoreksian yang

sangat berarti bagi penyempurnaan penulisan buku ini, yaitu mulai dari wacana hingga

memformulasikan pemikiran-pemikiran yang perlu dikritisi bersama. Dan kepada Ir.

Sapto Adi Pranowo juga tidak kalah besarnya sumbangsih beliau dalam

menyempurnakan penulisan buku ini, baik dari sisi isu informasi yang akan disajikan

maupun yang perlu mendapatkan forsi perhatian khusus. Kemudian khususnya kepada Ir.

Tajerin yang bersedia menjadi editor buku ini, sesuai dengan pengalaman beliau sebagai

anak bangsa yang dilahirkan di lingkungan masyarakat maritim dan ditambah lagi dengan

pengalamannya sebagai peneliti, maka unsur-unsur kepekaan dan kebijakan beliau

sangatlah membantu di dalam mengedit dan menyempurnakan penulisan buku ini. Dan

selanjutnya kepada teman-teman yang ikut membantu hingga terwujutnya buku ini,

penulis mengucapkan banyak-banyak terimakasih.

Penulis

Sastrawidjaja

Daftar Isi

I. MASYARAKAT MARITIM

A. PENDAHULUAN

B. KONSEP PEMIKIRAN

C. PENUTUP

II. MASYARAKAT MARITIM PASURUAN

PENDAHULUAN

KEARIFAN LOKAL.

1. Eksistensi Tata-nilai

2. Sikap Masyarakat Maritim Terhadap Tata-nilai 3. Mekanisme Pengelolaan Sumberdaya Maritim

EKONOMI. 1. Aktifitas Ekonomi

2. Status dan Peranan Masyarakat.

3. Akses Terhadap Sumberdaya Ekonomi. 4. Sistem Bagi Hasil.

5. Tingkat Ketergantungan Terhadap Sumberdaya

POLITIK. 1. Prinsip-prinsip Kepemimpinan.

2. Konflik dan Manajemen Konflik.

3. Akses Aturan Representasi Publik. 4. Sikap Masyarakat Terhadap Keputusan

5. Prinsip-prinsip Hubungan Lokal Dengan Luar.

KELEMBAGAAN.

1. Eksistensi Kelembagaan.

2. Peranan Kelembagaan

3. Akses Masyarakat Terhadap Kelembagaan

PENUTUP

III. MASYARAKAT MARITIM KEPULAUAN RIAU

I.PENDAHULUAN

1.Keadaan Lingkungan Ekologi 2. Gambaran Umum

II.FAKTOR PRODUKSI 1. Perizinan

2. Alat Produksi

3. Produksi 3. Nilai Produksi

III.PENGUSAHAAN MARITIM

1. Pengeluaran Pendapatan Penduduk 2. Penangkapan Ikan.

4. Pembudidayaan Ikan Laut

5. Pengolahan Ikan

IV. PENUTUP

IV. MASYARAKAT MARITIM BENGKULU SELATAN

I.PENDAHULUAN 1. Gambaran Umum

II.FAKTOR PRODUKSI

1. Sarana Tangkap 2. Armada Penangkapan

3. Perikanan Budidaya

4. Pengolahan Produk

III. PENGUSAHAAN MARITIM

1. Kegiatan Usaha Maritim 2. Perikanan Laut

3. Perikanan Darat

4. Pengolahan Produk Maritim

IV.EKONOMI MASYARAKAT MARITIM

V. PENUTUP

V. MASYARAKAT MARITIM LAMPUNG BARAT

I.PENDAHULUAN. 1. Monografi Daerah

II.GAMBARAN PEMBANGUNAN 1. Kebijakan Pembangunan

2. Kebijakan Moneter.

3. Pertumbuhan Ekonomi Lambar 4. Pertumbuhan Ekonomi Maritim.

III. PENGUSAHAAN MARITIM

1. Perikanan Tangkap 2. Perikanan Budidaya

3. Pengolahan Produksi Maritim

4. Masyarakat Maritim

IV. PENUTUP

VI. MASYARAKAT MARITIM PANDEGLANG

PENDAHULUAN

PENGETAHUAN LOKAL.

1. Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Maritim

2. Konservasi Sumberdaya Maritim

3. Penegakan Peraturan

SISTEM RELIGI

1. Agama Yang Dianut

2. Hubungan Agama Dengan Kegiatan Ekonomi Masyarakat 3. Peranan Agama Dalam Kegiatan Sosial Politik Masyarakat.

EKONOMI.

1. Kegiatan Produksi 2. Aktivitas Berproduksi

3. Tingkat Ketergantungan Terhadap Sumberdaya.

4. Distribusi Hasil Kegiatan Ekonomi 5. Tingkat Konsumsi Ikan

KELEMBAGAAN 1. Asal Usul Lembaga

2. Fungsi Lembaga

3. Aturan Main Dalam Lembaga

POLITIK

1. Kepemimpinan Dalam Pemerintahan

2. Penilaian Kepemimpinan Oleh Masyarakat. 3. Proses Aturan Representasi Publik

4. Hubungan Pemegang Kekuasaan Lokal dengan Luar

PENUTUP

VII. MASYARAKAT MARITIM LOMBOK TIMUR

I. PENDAHULUAN

Monografi Kabupaten Lombok Timur

II. GAMBARAN PEMBANGUNAN

1. Indikator Maritim Kabupaten Lotim

2. Penduduk Desa Pantai 3. Kebijakan Fiskal Maritim

4.Pertumbuhan Ekonomi Lotim

III. PENGUSAHAAN MARITIM

1. Kegiatan Usaha Maritim

2. Maritim Laut. 3. Armada Penangkapan

4. Alat Penangkapan di Laut

5. Perikanan Laut

6. Produksi Hasil Penngkapan di Laut 7. Perikanan Budidaya Laut

8. Perikanan Budidaya Rumput Laut.

9. Perikanan Budidaya Darat

10. Pengolahan Hasil Maritim

IV. PENUTUP

DAFTAR TABEL

III. 1. Tabel. 1. Perkembangan Indikator Perikanan di Propinsi Riau Tahun 2000

III. 2. Tabel. 2. Perkembangan Indikator Perikanan Kabupaten Kepulaian Riau Tahun 2000

IV. 3. Tabel. 1. Tabel Luas Daerah Menurut Ketinggian Per Kecamatan di Kabupaten Bengkulu

Selatan Tahun 2000 (Km2)

IV. 4. Tabel. 2. Nama-Nama Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Berdasarkan

Kecamatan di Kabupaten Bengkulu Selatan, Tahun 2000

IV. 5. Tabel 3. Tabel Banyaknya Perahu/Kapal Penangkap Ikan Per Rataan Luas Pantai di Kabupaten Bengkulu Selatan Th. 2000

IV. 6. Tabel 4. Luas Usaha Perikanan Darat Berdasarkan Kecamatan

di Kabupaten Bengkulu Selatan Tahun 2000

IV. 7. Tabel. 5. Biaya Investasi Armada Penangkapan Tradisional Per-Unit

di Bengkulu Selatan, Tahun 2000

IV. 8. Tabel. 6. Produktivitas Perikanan Darat Berdasarkan

Perbandingan Luasan Lahan, Di Bengkulu Selatan. V. 9. Tabel 1. Indikator Perikanan Kabupaten Lampung Barat, Tahun 2000

V. 10. Tabel 2. Pertumbuhan Ekonomi Berdasarkan Lapangan Usaha Tahun 1997 - 2000

V. 11. Tabel 3. Kontribusi Perikanan Atas Dasar Harga Yang Berlaku Terhadap Perikanan Dan PDRB Lampung Barat 1993-2000/ juta Rupiah.

V. 12. Tabel 4. Investasi Usaha Penangkapan Ikan Laut di Lampung Barat, Tahun 2000

VII. 13. Tabel. 1. Indikator Maritim Kabupaten Lombok Timur, Tahun 1996 – 2001.

VII.14. Tabel. 2. Laju Pertumbuhan Persentase PDRB Kabupaten Lotim Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 1993. Tahun 1997 – 2000.

VII.15. Tabel.3. Distribusi Persentase Dan Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten Lotim Atas

Dasar Harga Konstan 1993 Sektor Usaha Perikanan, Peternakan, Kehutanan dan Maritim Tahun 1997 – 2000.

VII.16. Tabel 4. Biaya Investasi Dan Operasi Kegiatan Penangkapan

VII.17. Tabel 5. Biaya Investasi Budidaya Rumput Laut, 2002.

VII.18. Tabel. 6. Pengolahan Produk Pindang Cumi-Cumi, Kabupaten Lombok Timur, Tahun 2002.

DAFTAR GAMBAR

I. 1. Gambar 1. Kerangka Pemikiran Masyarakat maritim.

VI. 2. Gambar 1. Kerangka Pemikiran Sosio dan Antropologi Masyarakat Maritim

BAB.I.

SERBA-SERBI MASYARAKAT MARITIM

A. PENDAHULUAN

Pulau-pulau besar dan kecil bertebaran di nusantara ini, telah banyak dihuni oleh

penduduk asli yang secara turun temurun mendiaminya, karena itu mereka telah mampu

membangun kebudayaan yang bercirikan kenusantaraan. Tebaran kepulauan ini secara alami kesemuanya di kelilingi oleh perairan laut. Karena itu kebudayaan nusantara sering di cirikan

berhubungan erat dengan perairan laut, sehingga ada slogan yang menyebutkan ”nenek

moyangku orang pelaut”, dengan sendirinya, kebudayaan ini dapat juga disebut sebagai bagian

kebudayaan masyarakat maritim. Masyarakat yang hidup di kepulauan nusantara sejak memproklamasikan dirinya pada

tanggal 17 Agustus 1945 sebagai bangsa yang merdeka, maka secara kebangsaan masyarakat

yang mendiami nusantara ini menjadi bangsa besar yaitu bangsa Indonesia. Masyarakat bangsa ini merupakan salah satu masyarakat di dunia yang hidup dan berkembang di banyak kepulauan

Indonesia, besar dan kecil , karena berada di tengah-tengah lautan. Sejarah telah membuktikan

pula bahwa masyarakat yang berdiam di pulau-pulau ini tetap mampu melangsungkan kehidupannya, tidak terkecuali mereka yang hidup di pulau-pulau kecil terpencil, walaupun

berada jauh di tengah lautan. Oleh karena itu, keunikan yang di miliki oleh bangsa ini perlu

digali dan di ketahui, paling tidak fenomena tentang kehidupan dari sudut ekonomi dan sosial

lainnya. Indonesia sejak pengakuan UNCLOS tahun 1982, sebagai bangsa telah resmi menjadi negara kepulauan, maka bersamaan dengan itu beribu-ribu pulau-pulau besar dan kecil ikut

terhimpun dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari bangsa ini, walaupun pulau-pulau

tersebut dipisahkan oleh lautan yang jaraknya bermil-mil dari satu pulau ke kepulauan lainnya, ini memberikan kebebasan bagi anak bangsa ini untuk memanfaatkannya bagi manusia Indonesia.

Adapun pulau-pulau kecil yang bertebaran di nusantara ini telah banyak juga dihuni oleh

penduduk asli yang secara turun temurun mendiaminya, karena itu mereka telah mampu

membangun kebudayaan yang bercirikan laut, sehingga mereka lebih dekat dengan kenyataan dari slogan ”nenek moyangku orang pelaut”. Kenyataan-kenyataan inilah yang kemudian dapat

menguatkan pula bahwa kebudayaan masyarakat yang berbasiskan maritim memang mewujut

dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Masyarakat maritim yang mendiami pulau-pulau kecil hampir-hampir tidak dikenal oleh sebagian besar orang di nusantara ini, karenanya hal

tersebut telah menyebabkan mereka termarjinalkan dari berbagai bidang pembangunan

kebangsaan. Kebudayaan Masyarakat maritim dalam pandangan Emic View atau gambaran sebagaimana yang diakui oleh pendukung suatu gejala tertentu, secara sederhana dapat ditelusuri

dalam tiga aspek, yaitu (1) pengetahuan (cognitive); (2) sikap (attitute); dan (30 praktek

(practice). Dapat dijelaskan, menurut (Hunter & Philip Whitten, 1976) pengertian (meaning)

yang mengacu pada interpretasi yang di letakkan atau di kenakan pada masyarakat yang bersangkutan (secara emic) pada suatu gejala tertentu; biasanya sangat etnosentris dan dari segi

budaya bersifat relatif. Setiap interpretasi dijadikan dasar untuk mendapatkan keahlian. Menurut

aliran struktural Prancis, interpretasi terhadap gejala itu (yang didasari oleh pemiliknya) adalah manifestasi permukaan dari pengertian yang sebenarnya. Pengertian yang sebenarnya seharusnya

ditemukan dalam fenomena biologi, kebudayaan, dan psikologis yang universal bagi kehidupan

masyarakat. Masyarakat maritim mempunyai sumber penghidupan sangat berbeda dengan masyarakat daratan, perbedaannya adalah sumber penghidupan utama mereka tergantung

langsung dari hasil laut, maka fenomena biologi, kebudayaan, dan psikologis teradaptasikan

dengan lingkungan alam laut, dan pengetahuan, sikap dan praktek menjadi ciri spesifik dalam

menjalin hubungan sosial dan ekonomi kepada masyarakat yang berada di dalam atau diluar

kebudayaan mereka.

Pranata sosial adalah sistem antar-hubungan peranan-peranan dan norma-norma yang

terwujud sebagai tradisi untuk usaha-usaha pemenuhan kebutuhan sosial utama tertentu

(Suparlan, 1984; 1986). Lebih lanjut dikatakan bahwa pranata sosiallah yang memungkinkan

kebudayaan dioperasikan dalam kehidupan nyata, yaitu yang terwujud dalam struktur-struktur yang ada dalam masyarakat. Oleh sebab itu, terdapat banyak pranata sosial dalam kehidupan satu

masyarakat, misalnya, pranata kesehatan, ekonomi, politik, kekerabatan, pendidikan, dan lain

sebagainya (Suparlan, 1984 dan Koentjaraningrat, 1979). Pranata sosial di dalam masyarakat maritim seperti yang digambarkan tersebut secara fenomial dapat dijumpai dan dibuktikan

keberadaannya di dalam struktur kehidupan bermasyarakat. Masyarakat yang terpencil umumnya

menjadikan peranan keluarga sangat penting, karena pentingnya itu maka di operasionalkan melalui sistem kekerabatan yang menekankan pada keharusan-keharusan menjaga martabat

keturunan melalui berbagai petunjuk yang ada dalam kebudayaannya. Di dalam masyarakat

maritim peran-peran kekeluargaan menjadi sangat penting dan dikembangkan sedemikian rupa,

sehingga pola hubungan kekerabatan dapat diketahui melalui struktur sosial yang terbentuk dari suatu suku anak bangsa. Karena peran yang penting inilah, maka aspek kehidupan yang

berekenaan dengan budaya, sosial, ekonomi, hukum dan teknologi peralatan kehidupan menjadi

sistem tersendiri, sehingga di pulau-pulau kecil sekalipun peran-peran tersebut tetap berfungsi, dan khusus sistem ekonomi maritim masih mampu menghubungkan pemilik barang dengan

penjual barang dan jasa dalam upayanya memenuhi kebutuhan hidup masyarakat, apakah dia

yang hidup di pulau terpencil di tengah samudera lautan hindia sekalipun.

B. DASAR PEMIKIRAN

Masyarakat maritim yang mendiami pulau-pulau kecil hampir tidak dikenal oleh sebagian besar orang di nusantara ini, hal tersebut telah menyebabkan mereka termarjinalkan dari berbagai

bidang pembangunan kebangsaan, karena itu perlu ada upaya mengenali kebudayaannya. Ilmu

antropologi bicara tentang antar hubungan fungsional dari bagian-bagian suatu kebudayaan, atau tentang integrasi masing-masing bagian itu. Dengan demikian, para ahli antropologi mengartikan

bahwa bagian-bagian yang berbeda-beda dalam satu kebudayaan sebenarnya tidak hanya saling

berkaitan erat, tetapi juga merupakan gabungan fungsional yang mempunyai kegunaan, dan merupakan satuan yang dinamis (Foster dan Anderson, 1986; dan Kalangie, 1986). Oleh sebab

itu, terdapat banyak pranata sosial dalam kehidupan satu masyarakat, misalnya, pranata religi,

kesehatan, ekonomi, politik, kekerabatan, pendidikan, dan lain sebagainya (Suparlan, 1984 dan

Koentjaraningrat, 1979). Sedangkan jarak sosial mengacu pada keadaan jauh dan tidak sesuai yang timbul dalam interaksi antarmanusia dalam satu masyarakat (Suyono, 1985)

Tindakan kebudayaan suatu masyarakat pada dasarnya memiliki hubungan resiprokal

dengan sumberdaya alam dan lingkungan disekitarnya. Sementara dalam wacana masalah pembangunan, derajat sosial dan kebudayaan masyarakat juga tidak dapat dipisahkan oleh

kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Kemudian berdasarkan pada pemahaman

ini maka kebudayaan masyarakat maritim secra fenomial dapat terrepleksikan dalam bentuknya

di kehidupan ke lautan melalui pranata sosial. Fenomena makro sosial dan kebudayaan masyarakat (pranata sosial dalam masyarakat) dan fenomena mikro sosial dan kebudayaan

masyarakat (individu atau pranata sosial dalam keluarga) secara nyata ada dan hidup di negara

maritim ini, Indonesia. Hal ini penting dibaca bersama karena ”individu” memiliki karakter tersendiri pada saat belum terjadi interaksi, namun saat interaksi terjadi (dengan individu lain) di

dalam suatu masyarakat berbangsa, maka yang muncul adalah karakter masyarakat itu sendiri.

Untuk masyarakat maritim dengan jelas dapat dikenali dari lingkungan tempat tinggalnya, peralatan kehidupannya, struktur sosial yang terbentuk dan norma-norma kehidupan yang

diberlakukan dalam menata individu dan individu di dalam masyarakatnya. Karena itu konsep

kebudayaan masyarakat maritim meliputi dan mencakup pranata sosial dalam kehidupan satu

masyarakat, yaitu, pranata religi, kesehatan, ekonomi, politik, kekerabatan, pendidikan. Kondisi kebudayaan tersebut di pandang sebagai cerminan beberapa faktor utama yang menjadi pengenal

kebudayaan masyarakat maritim.

Adapun deskripsi kerangka pemikiran dan ruang tersebut dapat disajikan dalam Gambar 1

sebagai berikut:

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Masyarakat maritim.

1.Kebudayaan Masyarakat

Kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan yang dipunyai oleh makhluk manusia sebagai makhluk sosial; yang isinya adalah perangkat-perangkat model-model pengetahuan yang

secara selektif dapat digunakan untuk memahami dan menginterpretasikan lingkungan yang

dihadapi, dan untuk mendorong dan menciptakan tindakan-tindakan yang diperlukannya. Dalam pengertian ini, kebudayaan adalah sesuatu kumpulan pedoman atau pegangan yang kegunaannya

operasional dalam hal manusia mengadaptasi diri dengan dan menghadapi lingkungan tertentu

Manusia Maritim Pulau-Pulau Besar

dan Kecil

Pranata Sosial

- Kekerabatan, - Religi, - Ekonomi, - Pendidikan, - Kesehatan - Politik - Hukum

Kebudayaan Masyarakat maritim

Adaptasi

Lingkungan

- Fisik/Alam

- Kebudayaan

- Sosial

Masyakarat Maritim Tindakan Sosial - Faktual

- Tradisional

- Afektual

Kebudayaan - Pengetahuan - Sikap

- Praktek Fenomena - Biologis

- Kebudayaan

- Sosial/Psikologis

(lingkungan fisik/alam, sosial dan kebudayaan) untuk dapat melangsungkan kehidupannya, yaitu

memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dan untuk dapat hidup secara lebih baik lagi. Karena itu, seringkali, kebudayaan juga dinamakan sebagai blueprint (cetak biru) atau desain menyeluruh

kehidupan masyarakat (Suparlan, 1986; Spradley, 1972). Masyarakat yang berdiam di pulau-

pulau terpencil seperti di kepulauan Indonesia, dalam hal anggota masyarakatnya mengadaptasi

diri dengan lingkungan alam sekitarnya dan menghadapi lingkungan tersebut yang berupa lingkungan fisik/alam, sosial dan kebudayaan termasuk ekonomi untuk dapat melangsungkan

kehidupannya, adalah usaha yang harus selalu di lakukan agar mampu mempertahankan generasi

ke generasi lanjutannya.

Kehidupan yang telah terbentuk di kepulauan Indonesia, merupakan kehidupan yang

berciri khusus, kekhususan itu dapat di lihat dari kemampuannya beradaptasi dengan segala

situasi baik yang datang dari luar atau yang berasal dari dalam. Upaya adaptasi merupakan upaya bertahan untuk dapat hidup dengan layak menurut kaidah-kaidah kebudayaan mereka sendiri.

Kembali pada cara pandang di dalam ilmu antropologi dan sudah sejak lama dikenal sebagai

trade mark ilmu antropologi, yang beranggapan bahwa batas-batas dari satu pranata dengan

pranata yang lain dalam satu kebudayaan tidak pasti; suatu pranata tidak dapat dipelajari sendiri, namun harus dikaji dalam kontek pranata yang lainnya yang menopang atau ditopang oleh

pranata ”kebudayaan asli Masyarakat maritim di pulau-pulau kecil". Antar pranata yang terjadi

dan terbentuk di dalam masyarakat maritim di kepulauan Indonesia adalah memiliki atau merupakan satu jaringan hubungan sistem yang sudah terpolakan.

Maka hampir secara otomatis para ahli antropologi menyerahkan perhatian mereka pada

seluruh sistem. Artinya, para ahli antropologi bicara tentang antar hubungan fungsional dari bagian-bagian suatu kebudayaan, atau tentang integrasi masing-masing bagian itu. Dengan

demikian, para ahli antropologi mengartikan bahwa bagian-bagian yang berbeda-beda dalam satu

kebudayaan sebenarnya tidak hanya saling berkaitan erat, tetapi juga merupakan gabungan

fungsional yang mempunyai kegunaan, dan merupakan satuan yang dinamis (Foster dan Anderson, 1986; dan Kalangie, 1986). Ditambah dengan unsur lainnya yang sering disebut

perspektif antropologi yakni relativisme kebudayaan atau suatu sikap yang menunjukkan

kemauan untuk memandang dengan simpati bentuk-bentuk budaya dari masyarakat lain dan tidak menilai kebudayaan kebudayaan masyarakat maritim menurut norma umumnya, tetapi sesuai

dengan nyatanya, maka ilmu antropologi akan menyumbang banyak hal bagi ilmu-ilmu

antropologi dan sosial.

2.Ekonomi Masyarakat Dalam kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat maritim yang tidak

dapat dipenuhi sendiri, usaha ini, sebagaimana dikatakan (Suparlan, 1986 ), ada tiga wujud (atau

kecenderungan ) yang memberi ciri suatu tindakan sosial. Pertama, yang bersifat faktual, yaitu suatu tipe tindakan yang terwujud yang berdasarkan pada orientasi atau dipengaruhi oleh nilai-

nilai dan tujuan-tujuan yang hendak dicapai. Kedua, tindakan sosial yang bersifat tradisional,

yaitu suatu tipe tindakan sosial yang berorientasi atau dipengaruhi oleh adanya ikatan tradisi yang ada dalam masyarakat yang bersangkutan. Ketiga, tindakan sosial yang bersifat afektual,

yaitu tindakan sosial yang berorientasi atau sangat dipengaruhi oleh perasaan, seperti rasa pantas

atau tidak pantas, senang atau tidak senang, aman atau tidak aman, bangga atau tidak bangga,

dan lain sebagainya.

Pembahasan tulisan tentang masyarakat maritim dari pranata ekonomi, adalah lebih

diarahkan pada ciri tindakan sosial yang bersifat faktual tentang ekonomi, yaitu kasus

masyarakat di pulau kepulauan Indonesia. Tinjauan tulisan bersifat pengamatan fenomial lokal yang berkenaan dengan; aktifitas ekonomi (menyangkut aspek produksi dan konsumsi), status dan

peranan masyarakat, akses terhadap sumberdaya ekonomi, sistem bagi hasil, dan tingkat

ketergantungan terhadap sumberdaya.

3.Aktifitas Ekonomi Di daerah pedesaan, seperti halnya di banyak kepulauan Indonesia, diduga tindakan

sosial itu cenderung bercirikan tradisional dan afektual. Oleh sebab itu, pertanyaannya mengapa

masyarakat tetap bertahan hidup dipulau terpencil, hal ini mungkin di latarbelakangi oleh sikap-

sikap tradisional dan afektual tersebut. Masalahnya untuk meningkatkan pemberdayaan masyarakat maritim dimasa depan bagaimana keadaannya disikapi dalam situasi empirik dan

secara konseptual, inilah yang perlu pengkajian lebih dalam.

Ciri tradisional dalam persfektive yaitu suatu tipe tindakan sosial yang berorientasi atau dipengaruhi oleh adanya ikatan tradisi yang ada dalam masyarakat yang bersangkutan.

Masyarakat maritim di kepulauan Indonesia mata pencaharian utamanya dari kegiatan

menangkap ikan dan mengambil biota laut lainnya dan bertani. Pekerjaan ini secara rutin di lakukan oleh hampir semua orang yang berdiam di desa tersebut. Kebiasaan waktu bekerja yang

telah menjadi bagian kehidupan bersama yaitu dimulai sejak pagi hari hingga sore hari. Pekerjaan

utama yang di lakukan adalah mencari nafkah hidup yang bersumber dari daratan, lautan atau

peternakan. Penduduk kepulauan Indonesia pedoman kerjanya lebih didasarkan pada hukum-hukum alam yang terjadi disekitar kehidupan mereka, termasuk curahan tenaga kerjanya

disesuaikan dengan waktu-waktu yang telah tertentu pula. Ada sebagian masyarakat maritim,

mereka mulai pergi melaut sekitar jam 4.30 pagi dan pulang kembali mendarat sekitar jam 16.00 sore harinya. Ikan hasil tangkapan langsung dibawa pulang dan kemudian ibu rumah tangga

melakukan pekerjaan untuk di olah menjadi produk ikan olahan asin yang seterusnya dijual

kepenampung ikan. Siklus kerja masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya berlangsung terus setiap

hari, dan ini dapat juga disebut sebagai tindakan sosial yang bersifat afektual, yaitu tindakan

sosial yang berorientasi atau sangat dipengaruhi oleh perasaan, seperti rasa pantas atau tidak

pantas, senang atau tidak senang, aman atau tidak aman, bangga atau tidak bangga, dan lain sebagainya (Suparlan, Parsudi (Ed.), 1986). Perwujutan dari sifat afektual ini dapat dengan

mudah dikenali contohnya pada hari-hari tertentu yang berlaku bagi semua masyarakat di

kepulauan Indonesia, seperti hari raya atau pesta adat semua masyarakat di pulau berhenti sejenak melakukan kegiatan penangkapan atau perikanan, dan begitu juga kalau ada anggota keluarga

yang mempunyai hajat perkawinan atau menemui kemalangan. Rasa solidaridas sosial di dalam

masyarakat sangat tinggi, hal ini diwujutkan dengan bentuk parsisipasi secara aktif terhadap

kegiatan kemasyarakatan. Kemampuan menyisihkan nilai hasil pekerjaan untuk investasi salah satunya dapat di lihat

dari pembangunan sarana perumahan, banyak juga ditemukan rumah-rumah permanen dari bahan

kayu dengan lingkungan yang asri, termasuk bangunan tempat ibadah Masjid. Kesemua hal yang tersebut tadi memberikan indikasi bahwa masyarakat maritim kepulauan Indonesia telah mampu

mengatur kehidupan sosialnya dengan baik, dalam artian mampu melakukan hidup yang lebih

hemat. Kalau ditinjau dari investasi sarana ekonomi dalam bentuk pembelian dan perbaikan peralatan penangkapan perahu (Non powered boat), jaring (nettings) dan mesin (machines),

tampaknya tidak banyak melakukan investasi secara besar-besaran kepada peralatan

penangkapan, hal ini terlihat dengan ukuran, dan volume perahu yang kecil-kecil dan masih

banyak yang menggunakan dayung. Sampai sekarang armada penangkapan yang tergolong kecil ini masih mendominasi dan diperkirakan lebih dari 70% dari total armada penangkapan yang ada.

4.Status dan Peranan Masyarakat. Pekerjaan yang ada di dalam masyarakat maritim telah terdeferensiasi menurut sifat

pekerjaannya. Di lihat dari gender, kaum laki-laki melakukan pekerjaan penangkapan ikan

ditengah laut, sedangkan kaum perempuan melakukan pekerjaan perdagangan ikan, pengolahan dan ada juga yang ikut membantu memperbaiki jaring. Jenis-jenis pekerjaan yang berdasarkan

spesialisasi atau keterampilan ini yang telah di lakukan secara turun temurun, telah menciptakan

kondisi kerja yang saling tergantung secara harmoni. Sifat pekerjaan yang menuntut lebih banyak di perairan di lakukan oleh laki-laki (berlayar, menangkap ikan, menyelam, memperbaiki mesin,

memperbaiki perahu, memasang jaring dan menentukan arus dan musim ikan). Adapun sifat

pekerjaan yang menuntut lebih banyak di lakukan di darat, umumnya adalah pekerjaan

perempuan (mendagangkan ikan/udang (shrimp), melakukan pengolahan pengawetan ikan, mengatur rumah tangga selama lakinya ke laut) dan pekerjaan sosial lainnya.

Bentuk hubungan positif antara spesialisasi dan reward and punishment (tercermin dari

sharing system) hal ini dapat di lihat dan diketahui secara jelas. Setiap pekerjaan spesialis mendapat pengakuan dan dihargai dengan prosentase atau bagian tertentu yang berbeda dengan

bagian orang yang tidak mempunyai spesialisasi. Dari hasil tangkapan setiap kali mendarat,

langsung di lakukan pembagian hasil berdasarkan sistem bagi hasil yang telah berlaku dan diakui secara umum oleh setiap anggota masyarakat maritim di kepulauan Indonesia. Pembagian bagi

hasil ini, untuk pemilik mendapatkan 2,5 (dua) bagian, nakhoda 1,5 (satu setengah) bagian dan

anggota lainnya masing-masing 1 (satu) bagian. Jadi kisaran total bagian adalah antara 4 (empat)

bagian hingga 5 (lima) bagian. Kemampuan membangun kerjasama secara nyata untuk menyelesaikan pekerjaan tertentu

diantara anggota masyarakat maritim telah terjalin dengan baik sekali, baik dalam hubungan

sosial, kekerabatan dan keagamaan. Di dalam perahu, pembagian pekerjaan telah sangat jelas dan harus di lakukan secara bersama-sama, sehingga setiap orang yang ada diatas perahu

kemampuannya menbangun kerjasama sangat besar, karena nasib mereka secara bersamaan

tergantung dari kerjasamanya tersebut. Jadi budaya bekerja bersama-sama diatas perahu, selama pelayaran, antar perahu nelayan dan antar anggota masyarakat satu kaum merupakan kerjasama

mutlak yang harus di lakukan, prinsip ketaatan kepada aturan-aturan yang diberlakukan untuk

membangun keharmonisan kerjasama telah menjadi bagian yang diutamakan secara bersama-

sama. Jaringan kerja sama kolektif telah menjadikan hubungan yang mampu saling memberi

antara lain: 1) jaminan subsistensi terhadap buruh/nelayan yang paling bawah dan 2)

interdependensi antar elemen. Jaminan subsistensi adalah memberikan kesempatan kepada semua anggota masyarakat maritim yang ingin bekerja di laut dengan cara mengikuti pelayaran pada

perahu-perahu yang akan pergi menangkap ikan, statusnya adalah sebagai anak buah perahu

(ABK), dan atas jasanya itu maka diberikan bagian hasil. Di lihat dari interdependensi antar

elemen, ternyata antar masyarakat maritim saling memberikan informasi dan kesempatan untuk ikut melakukan kegiatan usaha penangkapan di lokasi fishing ground yang sama, bersamaan

dengan itu terbentuk pula jaringan perdagangan hasil tangkapan ikan atau biota laut lainnya

udang (shrimp) , kepiting (mud crubs), dan lain lain. Ditinjau dari sini, maka ada hubungan timbal balik yang saling membutuhkan antara nelayan penangkap (marine fishing), para bakul

(retailers) ikan/udang (shrimp)/kepiting (mud crubs) dan juga ibu rumah tangga yang berfungsi

menjualkan hasil tangkapan atau mengolahnya menjadi produk ikan olahan.

5.Akses Terhadap Sumberdaya Ekonomi.

Struktur yang baik apabila jika terjadi interdependensi yang simetris (bargaining

position/power sharing) terhadap akses ke sumberdaya ekonomi. Interdependensi yang simetris secara ideal agak sulit dikenali tanpa adanya riset yang mendalam mengenai ekonomi maritim.

Interdependensi masih dapat dikenali secara umum melalui struktur kegiatan ekonomi yang di

lakukan oleh masyarakat maritim mulai dari pengeksploitasian sumberdaya, pemasaran hasil dan sistem bagi hasil yang diberlakukan pada umumnya oleh sebagian besar masyarakat maritim.

Setiap anggota masyarakat maritim yang ada di kepulauan Indonesia mempunyai

kesempatan yang sama untuk melakukan kegiatan penangkapan di laut setiap saat, faktor pembatasnya hanyalah terletak pada peralatan tangkap yang mereka miliki saja. Dari sisi

kesempatan untuk berusaha melakukan penangkapan tidak ada deskriminasi yang diakibatkan

karena hak kepemilikan, sumberdaya laut adalah menjadi hak milik bersama. Untuk menjaga agar

belum terjadi eksploitasi berlebihan, maka alat tangkap yang dianggap merusak habitat ikan ( mini trawl atau modifikasinya) di lakukan pelarangan dan agar ditaati bersama. Pelanggaran

terhadap komitmen bersama inilah sebenarnya yang menjadi penyebab adanya konflik ditengah

laut yang kadang-kadang terjadi dan berakibat kepada kerusakan material atau kehilangan jiwa.

Pemasaran hasil tangkapan umumnya di lakukan oleh pedagang yang ada di tempat atau di kepulauan Indonesia, dan selanjutnya dipasarkan kepada pihak lainnya yang ada diluar kepulauan

Indonesia. Nelayan penangkap bebas melakukan penjualan hasil tangkapannya kepada siapa saja

yang mereka inginkan, terkecuali mereka yang terikat karena perjanjian (tertulis atau tidak tertulis) yang diakibatkan karena adanya pinjaman lebih dahulu kepada juragan sebelum

melakukan penangkapan di laut. Untuk menjaga keseimbangan hubungan sosial akibat kegiatan

ekonomi, maka sistem bagi hasillah yang dipakai sebagai sarana ekonomi masyarakat maritim dalam melakukan kegiatan usaha penangkapannya di laut.

Keterampilan fungsional yang terkait dengan kehidupan sehari-hari, khususnya

masyarakat maritim adalah keterampilan yang terkait langsung dengan ekonomi yaitu kegiatan

penangkapan, pengolahan, pembuatan peralatan penangkapan, pemasaran dan pembiayaan. Kegiatan penangkapan merupakan keterampilan kelompok fungsional yang umumnya dimiliki

oleh kaum laki-laki, sehingga pergi ke laut untuk melakukan penangkapan merupakan bagian

utama pekerjaan mereka. Pengolahan produk hasil tangkapan umumnya banyak di lakukan oleh kaum perempuan, sehingga kelompok keterampilan ini seolah-olah menjadi bagian kehidupan

perempuan. Produk olahan yang mereka buat umumnya masih terbatas pada produk olahan

tradisional, seperti ikan asin, pengasapan, pemindangan atau pembuatan ebi. Adapun kelompok fungsional pembuatan peralatan penangkapan, untuk pembuatan perahu

umumnya di lakukan oleh laki-laki, sedangkan pembuatan jaring atau bubu kadang-kadang di

lakukan juga oleh perempuan, termasuk perbaikannya. Kelompok fungsional pemasaran hasil

tangkapan untuk skala kecil dan masih berada disekitar Kepulauan Indonesia banyak di lakukan oleh perempuan, sedangkan pemasaran dalam jumlah partai besar umumnya telah di lakukan oleh

laki-laki. Dari pola ini tergambarkan pembagian pekerjaan antara laki-laki dengan perempuan;

keterampilan pemasaran ditingkat pengecer di lakukan oleh perempuan dan sedangkan pemasaran ditingkat pengumpul telah di lakukan oleh laki-laki. Adapun pengelolaan pembiayaan usaha

sering di lakukan oleh perempuan, khususnya pada skala usaha kecil (pengecer, persiapan biaya

eksploitasi), tetapi pada tingkatan skala yang lebih besar maka pengelolaan pembiayaan di

lakukan oleh laki-laki, termasuk meminjamkan pada pihak ketiga (nelayan penangkap, dan nelayan pengecer).

Persepsi terhadap sumberdaya alam terkait konsepsi hak kepemilikan (sea tenure) menjadi

bagian penting bagi seluruh anggota masyarakat maritim di Kepulauan Indonesia. Sumberdaya alam yang dipersepsikan oleh masyarakat maritim adalah merupakan hak milik Allah, karena itu

wajib dipelihara bersama dan hasilnya dimanfaatkan bersama-sama. Dalam merealisasikan

persepsi ini ada juga sebagian masyarakatnya memandang bahwa ikan di laut itu tidak akan habis, karena itu boleh saja melakukan usaha kegiatan penangkapan kapanpun seseorang itu mau selagi

dia mampu. Dari persepsi yang mengatakan sumberdaya alam dapat dieksploitasi sepanjang

waktu, telah menyebabkan terjadinay pertambahan alat tangkap, karena daerah fishing ground

yang dimiliki bersama terbatas telah menyebabkan terjadinya keluhan bahwa mulai ada penurunan hasil tangkapan. Penurunan hasil tangkapan oleh sebagian besar anggota masyarakat

maritim Kepulauan Indonesia penyebab utamanya dikarenakan oleh nelayan pendatang yang

melakukan pencurian di wilayah penangkapan mereka dengan menggunakan alat tangkap yang lebih besar dan alat tangkap aktif seperti mini trawl. Reaksi masyarakat adalah menentangnya

dengan keras, sehingga sering terjadi konflik sosial.

6.Sistem Bagi Hasil.

Sistem bagi hasil merupakan alat bantu ekonomi yang mengatur mekanisme usaha kegiatan penangkapan antara pemilik modal (perahu, jaring dan mesin) dengan tenaga kerja yang

melakukan penangkapan atau sering disebut sebagai anak buah perahu (ABK). Mempelajari

sistem bagi hasil yang telah diterapkan tampaknya masih mengundang pertanyaan yaitu "Apakah

pembagian insentif yg ada telah menggambarkan sebaran kontribusi dari masing2 pelaku kegiatan". Susunan pembagian hasil tangkapan umumnya adalah untuk bagian kasko 1 bagian,

jaring 1 bagian, mesin 1 bagian, eksploitasi 1 bagian dan anak buah perahu 1 bagian, sehingga

total bagian adalah 5 bagian. Dari besaran pembagian ini tampaknya sebaran kontribusi dari masing-masing pelaku kegiatan sudah terpenuhi, tetapi prinsip keadilannya sering belum tercapai

karena kasko, jaring dan mesin sering dibiayai oleh juragan (supplier), sehingga ada keterkaitan

tidak langsung setiap kali menjualkan hasil tangkapannya harus kepada pemberi modal kerja (suppliernya).

Pembagian insentif melalui sistem bagi hasil yang telah ada, dapat dikatakan apabila usaha

kegiatan penangkapan tidak tergantung pada juragan (supplier) sebagai pemberi pinjaman modal

kerja, sebenarnya telah dapat memberikan peluang kesejahteraan kepada maritim di Kepulauan Indonesia. Adanya peranan juragan menjadi semakin penting di dalam menjalankan kehidupan

ekonomi masyarakat dikarenakan banyak anggota masyarakat maritim yang permodalan kerjanya

terbatas, sehingga menyebabkan mereka tidak dapat pergi ke laut apabila tidak meminjam modal kerja ke juragan.

7. Ketergantungan Terhadap Sumberdaya. Masyarakat maritim kepulauan Indonesia menjadikan laut sebagai sumber mata

pencaharian utamanya dalam menggantungkan hidup. Dengan demikian sumberdaya laut adalah

hidup matinya masyarakat mereka, maka ditinjau dari pandangan ini sangatlah beralasan mereka

sangat tergantung pada sumberdaya maritim yang berada disekitar kampung mereka dan selalu siap untuk memanfaatkannya dan menjaganya bersama-sama.

Diversifikasi mata pencaharian alternatif yang dikembangkan oleh masyaraka maritim

adalah terkait erat dengan hasil sumberdaya maritimnya, seperti perikanan tangkap atau dari perikanan budidaya. Mata pencaharian alternatif di lihat dari struktur diversifikasi kegiatan usaha

seperti penangkapan, pengolahan, perdagangan, pembuatan peralatan penangkapan tampaknya

masih terbatas. Dihubungkan dengan pertanyaan "seberapa jauh tersedia dan mau menjalankan

mata pencaharian alternatif di dalam maupun diluar sektor ke lautan "?. Pertanyaan ini masih sulit dijawab, karena sifat masyarakatnya yang menetap dan usaha kegiatannya cenderung

berkembang sedikit (stagnant), yang dicirikan perahunya masih kecil-kecil. Perkembangan alat

penangkapan yang terjadi di daerah lainnya yang telah merubah perahu kecilnya menjadi perahu yang lebih besar tidak mempunyai pengaruh terhadap perbahan dinamika ekonomi masyarakat

maritim di wilayah kepulauan Indonesia pada umumnya. Untuk kasus kepulauan Indonesia

diketahui agak sulit menerima pengembangan dari luar secara cepat (drastic), hal ini terjadi, dimana ada suatu kondisi masyarakatnya cenderung tetap mempertahankan keadaan yang telah

ada selama ini. Jadi mata pencaharian alternatif, terutama yang berasal di luar masyarakatnya

akan sulit diterima, terkecuali orang tersebut keluar dari desanya.

Ciri tradisional mata pencaharian utama dari kegiatan menangkap ikan dan mengambil biota laut lainnya dan bertani karena ada ikatan tradisi di dalam masyarakat maritim di kepulauan

Indonesia. Dari sifat afektualnya dapat dikenali pada hari-hari tertentu berlaku bagi semua

masyarakat di kepulauan Indonesia, seperti hari raya atau pesta adat yang mempunyai solidaritas tinggi, semua masyarakat di pulau berhenti sejenak melakukan kegiatan penangkapan atau

perikanan, dan begitu juga kalau ada anggota keluarga yang mempunyai hajat perkawinan atau

menemui kemalangan. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, ditinjau dari investasi sarana ekonomi dalam bentuk pembelian dan perbaikan peralatan penangkapan seperti; perahu, jaring dan mesin,

menyatakan tidak banyak melakukan investasi secara besar-besaran kepada peralatan

penangkapan, hal ini terlihat dari ukuran, volume perahu yang kecil-kecil dan masih banyak yang

menggunakan dayung. Pekerjaan yang ada di dalam masyarakat telah terdeferensiasi menurut sifat pekerjaannya.

Di lihat dari gender, kaum laki-laki melakukan pekerjaan penangkapan ikan ditengah laut,

sedangkan kaum perempuan melakukan pekerjaan perdagangan ikan, pengolahan dan ada juga

yang ikut membantu memperbaiki jaring. Bentuk hubungan positif antara spesialisasi dan reward and punishment yang tercermin dari sistem bagi hasil (sharing system), setiap pekerjaan spesialis

telah mendapat pengakuan dan dihargai dengan prosentase atau bagian tertentu yang berbeda

dengan bagian orang yang tidak mempunyai spesialisasi. Kemampuan membangun kerjasama secara nyata untuk menyelesaikan pekerjaan tertentu diantara anggota masyarakat telah terjalin

dengan baik sekali, baik dalam hubungan sosial, kekerabatan dan keagamaan. Di lihat dari

interdependensi antar elemen, ternyata antar elemen ekonomi saling memberikan informasi dan kesempatan untuk ikut melakukan kegiatan usaha penangkapan di lokasi penangkapan (fishing

ground) yang sama, bersamaan dengan itu terbentuk pula jaringan perdagangan hasil tangkapan

ikan atau biota laut lainnya. Setiap anggota masyarakat yang ada di kepulauan Indonesia

mempunyai kesempatan yang sama untuk melakukan kegiatan penangkapan di laut setiap saat, faktor pembatasnya hanyalah terletak pada peralatan tangkap yang mereka miliki saja.

Keterampilan fungsional yang terkait dengan kehidupan sehari-hari, adalah keterampilan yang

terkait langsung dengan ekonomi yaitu kegiatan penangkapan, pengolahan, pembuatan peralatan penangkapan, pemasaran dan pembiayaan.

Persepsi terhadap sumberdaya alam yang di kaitkan dengan konsepsi hak kepemilikan

(sea tenure) menjadi bagian penting bagi seluruh anggota masyarakat di kepulauan Indonesia. Dari persepsi yang mengatakan sumberdaya alam dapat dieksploitasi sepanjang waktu, telah

menyebabkan terjadinya pertambahan alat tangkap, karena daerah fishing ground yang dimiliki

bersama terbatas telah menyebabkan terjadinya keluhan bahwa mulai ada penurunan hasil

tangkapan. Sistem bagi hasil merupakan alat bantu ekonomi yang mengatur mekanisme usaha kegiatan penangkapan antara pemilik modal (perahu, jaring dan mesin) dengan tenaga kerja yang

melakukan penangkapan atau sering disebut sebagai anak buah perahu (ABK). Peranan juragan

semakin penting di dalam menjalankan kehidupan ekonomi masyarakat, karena banyak anggota masyarakat yang permodalan kerjanya terbatas, telah menyebabkan mereka tidak dapat pergi ke

laut apabila tidak meminjam modal kerja ke juragan.

Diversifikasi mata pencaharian alternatif yang perlu dikembangkan oleh masyarakat harus

terkait erat dengan hasil sumberdaya maritim. Mata pencaharian alternatif di lihat dari struktur diversifikasi kegiatan usaha seperti penangkapan, pengolahan, perdagangan, pembuatan peralatan

penangkapan masih terbatas. Untuk mengatasi hal tersebut, maka perlu ada program

pemberdayaan ekonomi secara khusus dan berbasiskan kekhususan masyarakat maritim yang ada di kepulauan Indonesia. Sarana perhubungan yang secara tradisional dimiliki oleh masyarakat

maritim perlu didukung dengan sarana perhubungan yang lebih besar. Pengembangan sarana ini

di kaitkan langsung dengan keunggulan sumberdaya kepulauan Indonesia, seperti pariwisata ke lautan.

C. PENUTUP

Dari gambaran tentang masyarakat maritim yang di dalamnya mengandung pemaknaan proses adaptasi lingkungan, tindakan social, untuk selanjutnya menciptakan kebudayaan,

membentuk system nilai-nilai melalui pranata social yang terbentuk kemudian, dan di dalamnya

ada nilai-nilai yang berkaitan dengan kekerabatan, religi, ekonomi, pendidikan, kesehatan dan politik serta hukum, maka masyarakat maritim tidaklah dapat dimaknai hanya sebagai objek

tunggal anse, tetapi dia harus dimaknai sebagai objek multi-dimensional yang mempunyai

system nilai-nilai tersendiri. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih komprehensip, maka perlu ada batasan pengertian masyarakat maritim. Definisi yang telah dianut selama ini, masyarakat

maritim itu di identikkan dengan nelayan, yang di maknai pengertiannya tidak lebih hanya

diartikan sebagai orang yang mencari ikan di laut. Batasan ini memberi paradigma bahwa nelayan

adalah tidak lebih berfungsi hanya sebagai tenaga kerja, bukan dalam kontek bagian dari system nilai-nilai kemasyarakatan maritim. Masyarakat maritim yang dimaksudkan pada uraian tulisan

ini lebih menitik beratkan pada pendekatan system nilai-nilai kemasyarakatan maritim yang

sumber penghidupannya berbasiskan kemaritiman, sehingga masyarakat yang terbentuk adalah

masyarakat yang berbudaya dan bersosial berbasis perairan, yang berekonomi, yang berhukum, yang berteknologi dan yang berpengetahuan spesifik mengikuti kaedah-kaedah ekologi

kemaritiman. Dengan demikian nelayan dapat dipahami adalah sebutan orang yang kehidupannya

sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh lingkungan perairan, sehingga nelayan adalah orang yang mengerti kemaritiman, keilmuan maritim, keteknologian maritim, kebudayaan dan kesosialan

maritim, hukum-hukum kemaritiman dan ekonomi kemaritiman. Oleh karena itu nelayan yang

dimaksudkan adalah sub kelompok masyarakat maritim yang bekerja menangkap atau membudidayakan ikan, sedangkan sub-sub kelompok masyarakat nelayan lainnya dapat di lihat

sebagai pengolah hasil tangkapan, dan pembuat sarana kemaritiman tetapi harus lebih luas

seperti; pengangkut barang dan orang dengan perahu atau kapal, pemandu wisata bahari,

penyelam atau perenang, pekerja tambang bawah laut, seniman, pemangku adat dan lain-lainnya..

DAFTAR PUSTAKA

Foster, George M. & Barbara G. Anderson, 1986. Antropologi Kesehatan (terjemahan), Jakarta:

Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press).

Hunter, David E., Philip Whitten, 1976. Encyclopedia of Anthropology, New York: Harper & Row, Publishers, Inc.

Kalangie, Nico S, 1986. Kerangka Konseptual Sistem Perawatan Kesehatan, dalam Berita

Antropologi, No. 44 Thn XII, Jakarta: Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik Universitas Indonesia.

Koentjaraningrat, 1979. Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Aksara Baru.

Spradley, James P. (Ed), 1972. Foundation of Cultural Knowledge, dalam James P. Spradley

(Ed), Culture and Cognation: Rules, Maps, dan Plans, San Francisco: Chandler Publishing Company.

Suparlan, Parsudi (Ed.), 1984. Kemiskinan di Perkotaan, Jakarta: Sinar Harapan dan Yayasan

Obor Indonesia.

Suparlan, Parsudi (Ed.), 1986. Kebudayaan dan Pembangunan, dalam Terbitan Berkala Media IKA, No. 11, Thn XIV, Jakarta: Ikatan Kekerabatan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial

dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, hlm. 106-135.

Suyono, Aryono, 1985. Kamus Antropologi, Jakarta: Akademika Prasindo.

BAB II

MASYARAKAT MARITIM PASURUAN

PENDAHULUAN

Masyarakat maritim yang berdiam di wilayah Kabupaten Pasuruan, daerah Propinsi Jawa

Timur, telah sejak lama memanfaatkan sumberdaya maritim yang berada disekitar wilayahnya

sebagai tempat hidup dan mencari kehidupan. Kehidupan sosial budaya masyarakat maritim di

Pasuruan secara umum pada dasarnya memiliki hubungan resiprokal dengan sumberdaya alam dan lingkungan disekitarnya. Disamping itu dalam masalah pembangunan, kehidupan sosial

budaya masyarakat maritim tidak pula dapat dipisahkan dari kebijakan-kebijakan yang

dikeluarkan oleh pemerintah, yaitu pemerintah daerah dan propinsi, bahkan pemerintah Pusat. Persoalan yang sering menjadi kendala adalah proses mempertemukan peranan pemerintah dan

masyarakat secara egaliter sehingga menjadi pendorong kemajuan dan mutlak diperlukan di

dalam konsep pemberdayaan. Berdasarkan pada pemahaman ini maka kondisi sosial budaya masyarakat maritim yang terkait dengan permasalahan pemberdayaan tidak dapat dilepaskan dari

aspek-aspek sosiologi dan antropologi (Wiradi, Gunawan. 1997). Pemahaman terhadap kedua

aspek ini menjadi penting karena fenomena makro sosial budaya masyarakat dari sistem sosial di

dalam masyarakat dan fenomena mikro sosial budaya masyarakat dari individu atau sistem sosial dalam keluarga adalah sesuartu yang tidak bisa dipisahkan. Pemahaman atas fenomena sosial

budaya secara menyeluruh tersebut penting di lakukan mengingat manusia sebagai ”individu”

memiliki karakter tersendiri pada saat tidak melakukan atau terjadi interaksi dengan manusia lain. Namun saat terjadi interaksi dengan individu lain di dalam suatu masyarakat, kejadian yang

umumnya muncul adalah karakter masyarakat. Khusus masyarakat maritim di Pasuruan, maka

karakter yang muncul dalam kehidupan sosial (kearifan lokal), ekonomi, politik dan kelembagaan

adalah karakter masyarakat maritim Pasuruan. Fenomina ini dapat diketahui dari pola kehidupan, mereka membentuk dan menyesuaikan diri dengan sistem ekologi yang berlaku di wilayahnya

(Taryoto, Andin. 1999).

Menurut Dahuri (2000), secara parsial pembangunan sektor kelautan dan perikanan belum berdasarkan kondisi masyarakat nelayan yang masih termarjinalkan tersebut, maka pemberdayaan

sosial ekonomi masyarakat merupakan paradigma yang penting dalam pelaksanaan pembangunan

sektor kelautan dan maritim saat ini. Paradigma pemberdayaan bukan saja berupa tuntutan atas pembagian secara adil aset ekonomi tetapi juga merupakan semangat untuk meruntuhkan

dominasi birokrasi dalam mengatur dan menentukan berbagai bidang kehidupan rakyat (Hikmat,

2001). Hal ini mengingat dua elemen terpenting di dalam konsep pemberdayaan adalah

mempertemukan peranan pemerintah dan masyarakat secara egaliter. Masyarakat dengan potensi sosial (social capital)-nya serta pemerintah dengan kebijakannya, secara bersama-sama akan

memberikan corak warna terhadap sumberdaya dan pengelolaannya. Hal inilah yang akan

menjadi fokus terpenting di dalam penentuan konsep pemberdayaan. Lebih lanjut, (Pranadji, T, 2003) mengartikan bahwa pemberdayaan sebagai pemahaman secara psikologis pengaruh kontrol

individu terhadap keadaan sosial, kekuatan politik dan hak-haknya menurut peraturan

perundangan yang ada. Selain itu disebutkan juga bahwa pemberdayaan merupakan sebuah upaya untuk mengaktualisasikan potensi yang sudah dimiliki oleh masyarakat. Atau dengan kata

lain, pemberdayaan diletakkan pada kekuasaan tingkat individu dan sosial (Hikmat, 2001). Dalam

wacana pembangunan masyarakat, konsep ini sangat terkait dengan konsep mandiri, partisipasi,

jaringan kerja dan keadilan. Sehingga keberhasilan dalam pemberdayaan masyarakat dalam

konteks pembangunan antara lain bermakna bahwa suatu masyarakat tersebut menjadi bagian dari

pelaku pembangunan itu sendiri. Sifat sumberdaya maritim yang ”common property” dan ”open access” membentuk

kondisi sosial budaya masyarakat nelayan yang khas dan relatif berbeda dengan masyarakat

pedesaan lainnya (terrestrial villagers). Hal ini seringkali diabaikan di dalam perumusan

kebijakan pemberdayaan masyarakat nelayan yang masih lebih banyak mengadopsi hasil kajian sosial budaya masyarakat daratan (terrestrial). Oleh karena itu, sosial budaya masyarakat

maritim dapat difungsikan juga dalam upaya mendukung kegiatan pemberdayaan masyarakat

baik di perairan pesisir, pulau-pulau kecil serta perairan pedalaman (Dahuri, R. 2003). Dengan adanya pengetahuan mengenai potensi dan kendala, diharapkan program pemberdayaan

masyarakat maritim, khususnya di Pasuruan dapat dicapai secara lebih baik dan sempurna.

KEARIFAN LOKAL.

Kearifan lokal yang dimaksudkan adalah berkenaan dengan sifat-sifat kearifan tentang;

eksistensi tata-nilai, sikap masyarakat maritim masyarakat terhadap tata-nilai, serta mekanisme

pengelolaan sumberdaya maritim (internal dan eksternal). Tulisan ini lebih banyak didasarkan pada pengamatan fenomena yang terjadi dalam masyarakat maritim, sehingga bahasannyapun

cenderung berpihak pada pengamatan indra yang terjadi di masyarakat maritim pada umumnya.

Wilayah pengamatan fenomena kehidupan masyarakat maritim, untuk memberikan sedikit gambaran didasarkan pada masyarakat maritim yang ada di Pasuruan.

1. Eksistensi Tata-Nilai. Dari hasil wawancara dan diskusi dengan penduduk setempat yang pekerjaannya sebagai

nelayan, dapat disimak bahwa mereka pada umumnya cenderung menjalankan dan

mempertahankan tata-nilai yang di pandang positif bagi masyarakat pada umumnya. Tata-nilai

yang positif bagi masyarakat maritim Pasuruan antara lain adanya pengakuan terhadap norma-norma adat yang bersifat kesederhanaan yaitu masyarakat yang berpegang teguh hanya pada satu

nilai dalam menghadapi suatu permasalahan hidupnya. Kecenderungan ini dapat di lihat dari

adanya rasa malu dan harga diri yang tinggi dari masyarakatnya serta sangat rentan dan reaksioner terhadap setiap informasi dan permasalahan yang dihadapinya. Kemampuan untuk

menghindari berbuat yang bertentangan dengan kaidah umum yang berlaku setempat dibuktikan

oleh masyarakatnya dengan tidak banyak yang melakukan kegiatan penangkapan lebih dari satu

hari atau melakukan andon ketempat lainnya. Mereka menghindari kebiasaan yang telah berlaku sejak lama ini dengan melanggarnya, seperti melakukan kegiatan penangkapan dengan perahu

yang lebih besar dan bermalam di tempat fishing ground yang bukan fishing ground milik

masyarakat mereka. Kondisi masyarakat dalam budaya kesederhanaan cenderung membelenggu, dan akan

membangun patron klien yang sempit serta ketundukkan yang mutlak dan emosional terhadap elit

yang memiliki pengaruh, baik pengaruh sumberdaya ekonomi, kekuasaan, maupun agama (Koentjaraningrat, 1979). Dengan kondisi ini, masyarakat menghadapi inovasi menjadi sangat

lamban, keadaan ini dapat di lihat dari perkembangan fisik peralatan penangkapannya (perahu)

yang ukurannya relatif tetap dan jumlah power mesin juga relatif tetap, sehingga pengoperasian

perahu cukup di lakukan oleh 2 (dua) atau 3 (tiga) orang saja. Dari pengamatan dan informasi yang ditemukan melalui tokoh masyarakatnya diketahui

masih sederhananya kemampuan untuk memanfaatkan dan mengubah (rekayasa) hasil temuan

baru dari luar maupun dalam yang berimplikasi terhadap perbaikan kinerja usaha kegiatan masyarakat maritim setempat. Belum antusiasnya penerimaan masyarakat maritim terhadap

inovasi teknologi ini, karena masyarakatnya yang kental patron clien masih cenderung menutup

diri, mereka masih mengidentifikasikan dirinya dan tergantung dengan sikap kelompok elit masyarakatnya ( tokoh masyarakat).

Dari sisi kompetisi atau prestasi kerja, masyarakat maritim Pasuruan masih tergolong

sederhana, hal ini dapat diketahui dari sifat rutinitas kerjanya yang one day fishing, artinya kegiatan penangkapan hanya di lakukan dalam waktu pendek dan tidak mengejar volume

penangkapan yang berlebihan. Hasil tangkapan apabila telah dapat menutup biaya operasional

dan sedikit memberikan keuntungan di pandang oleh masyarakat telah berhasil baik untuk hari

itu.

2. Sikap Masyarakat Maritim Terhadap Tata-nilai

masyarakat maritim masyarakat dengan menyikapi nilai seperti ini mengandung nilai-nilai positif yang dimiliki oleh anggota masyarakat, yaitu tidak mengejar pendapatan sebanyak-

banyaknya dengan mengabaikan lingkungan alamnya. Jadi dengan sifat budaya kesederhanaan

yang mereka miliki, wajarlah kalau mereka mempunyai rasa harga diri yang kuat secara kolektif, bilamana daerah fishing ground mereka disatroni oleh nelayan datangan lainnya. Jadi upaya

mempertahankan diri telah mengubah sikap pembelaan berlebihan yang cenderung agressif pula,

dan bagi pihak lain dianggap melawan hukum negara.

Pandangan masyarakat terhadap tata-nilai yang mereka miliki merupakan kebanggaan kelompok, karena itu ikatan kerjasama kelompok masyarakat maritim Pasuruan sangat kuat.

Kekuatan ini dibuktikan oleh sikap kuat mempertahankan diri yang secara kolektif melakukan

penyerangan balik kepada setiap nelayan pendatang yang mengganggu wilayah penangkapan mereka, yang mana secara tradisional telah menjadi milik mereka menjadi terganggu atau

diganggu. Dari sikap yang dimiliki inilah maka bagi nelayan luaran Pasuruan sering dianggap

menjalankan tradisi kepemimpinan keras, opini ini berlaku karena sikap agresif dari masyarakat maritim Pasuruan mempertahankan wilayah penghidupannya yaitu laut yang telah diakui sebagai

tempat penangkapan ikan yang berlaku hanya bagi masyarakat maritim penduduk Pasuruan

menurut pandangan mereka sendiri.

Masyarakat maritim yang sederhana ini di lihat dari keterbukaannya terhadap IPTEK, kalau di lihat secara fhisik dapat dikatakan belum, hal ini diketahui oleh lambannya IPTEK itu

sendiri diterima sebagai masukan baru bagi masyarakatnya, untuk melakukan perbaikan dan

perubahan mutu atau kualitas teknik penangkapan (palka insulasi atau perpanjangan waktu operasi penangkapan) yang hampir belum terjadi. Apabila ditinjau dari keterbukaan terhadap

pendidikan, masyarakat maritim Pasuruan telah cukup maju, hal ini ditunjukkan oleh adanya

beberapa anggota keluarga masyarakat maritim yang telah mampu menyelesaikan pendidikannya

setara Sarjana. Dari sisi pendidikan, jadi ada keinginan kearah kemajuan. IPTEK bagi masyarakat maritim baru di pandang sebagai informasi, belum menjadi bagian langsung penggerak kemajuan

dan menjadi innovator perubahan sosial di dalam kehidupan bermasyarakat.

3. Mekanisme Pengelolaan Sumberdaya Maritim

Keberadaan sumberdaya maritim yang terletak di wilayah pantai Utara Jawa, berada

dibagian Barat Kabupaten Pasuruan. Perairan ini sifat penangkapannya open access, artinya setiap orang mempunyai kesempatan yang sama untuk dapat melakukan penangkapan ikan di

daerah fishing ground yang sama. Di lihat dari pertambahan armada penangkapannya, dari tahun

ke tahun cenderung sesuai dengan laju pertambahan penduduknya. Penduduk masyarakat maritim

Pasuruan cenderung menetap, maka wilayah penangkapan menjadi kewajiban bersama untuk menjaganya dari kegiatan penangkapan yang di lakukan oleh nelayan datangan. Keberadaan

mekanisme pengelolaan, menyangkut fishing ground, pengaturan alat tangkap, musim

penangkapan dan fishing right di lakukan secara bersama-sama, dan hal ini tercerminkan dari acara petik laut. Upacara tersebut biasanya diikuti oleh semua lapisan masyarakat maritim. Hak

kepemilikan fishing ground adalah dimiliki bersama, tidak ada hak kepemilikan perorangan,

dengan demikian musim penangkapan sangat tergantung dari keberadaan musim ikan dan udang (shrimp). Musim penangkapan umumnya di lakukan pada bulan-bulan Mei hingga Nopember

untuk musim banyak ikan, dan bulan-bulan berikutnya hasil tangkapannya menjadi menurun,

tetapi tidak pernah mengalami paceklik total. Pelanggaran terhadap fishing ground dan alat tangkap biasanya diselesaikan melalui delik

pengaduan kepada pemuka masyarakat (tokoh agama). Dengan telah adanya lembaga Dewan

Perwakilan Desa, maka sekarang pengaduannya dapat pula disalurkan melalui DPD, kemudian

apabila tidak dapat juga diselesaikan, baru kemudian diajukan ke Kepala Desa untuk diselesaikan secara musyawarah di lembaga Desa. Bentuk dan mekanisme sanksi atas pelanggaran hukum adat

yang berlaku di masyarakat maritim menjadikan peranan kepala Desa dan tokoh masyarakat

mempunyai posisi dan menjadi sangat penting dan strategis dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang muncul di dalam masyarakat maritim.

Keberadaan dan penerapan sanksi atas pelanggaran hukum adat harus didukung oleh

kepemimpinan yang kuat dari kepala Desa, ini dapat terjadi apabila kepala Desa didukung oleh semua komponen yang ada di dalam masyarakat maritim. Untuk masyarakat maritim di Pasuruan

persyaratan dukungan cukup besar, karena pemimpin buat mereka adalah panutan atau contoh

keteladanan. Persyaratan keteladanan akan menjamin keamanan terkendali dengan baik.

EKONOMI.

Ekonomi yang dimaksudkan adalah berkenaan dengan sifat-sifat yang ditinjau dari;

aktifitas ekonomi, status dan peranan masyarakat, akses terhadap sumberdaya ekonomi, sistem bagi hasil, dan tingkat ketergantungan terhadap sumberdaya.

1. Aktifitas Ekonomi Berdasarkan curahan energi fisik masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya maritim

per-satuan waktu, dan ketekunannya dalam memanfaatkan waktu, sehingga keberadaan aktifitas

ekonomi di sektor maritim ini dapat dikenali hingga sampai sekarang. Masyarakat maritim di

Pasuruan, mata pencaharian utamanya dari kegiatan menangkap ikan dan mengambil biota laut lainnya. Pekerjaan ini secera rutin di lakukan oleh hampir semua orang yang berdiam di desa-

desa maritim yang terletak di wilayah pesisir tersebut. Waktu kerja yang telah menjadi bagian

kehidupan bersama yaitu dimulai sejak sebelum sembahyang subuh hingga selesai sembahyang subuh. Penduduk Pasuruan yang sebagian terbesar adalah muslim, maka pedoman bekerjanyapun

lebih di dasarkan pada hukum-hukum agama Islam. Keadaan tersebut dapat di lihat dari curahan

tenaga kerjanya yang telah banyak disesuaikan dengan waktu-waktu yang berhubungan dengan

hukum Islam. Sebagai contoh; mereka mulai bekerja pergi ke laut sekitar jam 4.30 pagi dan pulang kembali mendarat sekitar jam 16.00 sore harinya. Ikan hasil tangkapan langsung dibawa

pulang dan ibu rumah tangga akan melakukan pekerjaan pengolahan ikan, atau dijual ke

penampung ikan atau udang. Siklus kerja seperti ini berlangsung terus setiap hari, tetapi pada hari Jum'at, semua nelayan tidak pergi ke laut dan begitu juga kalau ada anggota keluarga yang

menemui keseripahan (kemalangan). Jadi rasa solidaridas sosial masyarakatnya sangat tinggi,

sehingga aktifitas ekonomi dapat ditunda sejenak, dan hal ini diwujutkan dengan tidak ada yang pergi ke laut.

Kemampuan menyisihkan nilai hasil pekerjaan untuk investasi salah satunya dapat di lihat

dari pembangunan sarana perumahan yang telah cukup baik, keadaan tersebut dapat di lihat dari

banyak juga ditemukan rumah-rumah permanen dengan lingkungan yang asri, termasuk bangunan tempat ibadah (Masjid) yang besar-besar dan terawat rapi. Kesemua hal yang tersebut

tadi memberikan indikasi bahwa masyarakat maritim Pasuruan telah mampu mengatur kehidupan

sosialnya dengan baik, dalam artian mampu melakukan hidup yang lebih hemat. Kalau ditinjau dari investasi sarana ekonomi dalam bentuk pembelian dan perbaikan peralatan penangkapan

(perahu, jaring dan mesin), tampaknya tidak banyak melakukan investasi secara besar-besaran

kepada peralatan penangkapan, hal ini terlihat dengan ukuran, dan volume perahu yang cenderung tidak banyak mengalami perubahan (5-8 ton) saja. Dengan ukuran armada

penangkapan yang relatif kecil, memberikan gambaran pula, masyarakat maritim Pasuruan

cenderung hanya memanfaatkan sumberdaya yang tersedia hanya di lingkungan dan wilayah

mereka sendiri, tidak banyak melakukan eksploitasi maritim ke tempat-tempat lainnya. Kalaupun ada, sifatnya hanya temporal.

2. Status dan Peranan Masyarakat.

Pekerjaan yang ada di dalam masyarakat maritim telah terdeferensiasi menurut sifat pekerjaannya. Di lihat dari gender, kaum laki-laki melakukan pekerjaan penangkapan ikan

ditengah laut, sedangkan kaum perempuan melakukan pekerjaan perdagangan ikan, pengolahan

dan perbaikan jaring. Jenis-jenis pekerjaan yang berdasarkan spesialisasi (keahlian) ini yang di lakukan secara turun temurun, telah menciptakan kondisi kerja yang saling tergantung secara

harmoni. Sifat pekerjaan yang menuntut lebih banyak di perairan di lakukan oleh laki-laki adalah;

berlayar, menangkap ikan, menyelam, memperbaiki mesin, memperbaiki perahu, memasang jaring dan menentukan arus dan musim ikan. Adapun sifat pekerjaan yang menuntut lebih banyak

di lakukan di darat, umumnya adalah pekerjaan perempuan ialah; mendagangkan ikan atau udang,

melakukan pengolahan pengawetan ikan, mengatur rumah tangga selama kaum laki-lakinya ke

laut serta pekerjaan sosial lainnya. Bentuk hubungan positif antara spesialisasi dan reward and punishment dapat di lihat dari

sharing system, dalam prakteknya hal ini dapat di lihat dan diketahui secara jelas. Setiap

pekerjaan spesialis mendapat pengakuan dan dihargai dengan prosentase atau bagian tertentu yang berbeda dengan bagian orang yang tidak mempunyai spesialisasi. Dari hasil tangkapan

setiap kali mendarat, langsung di lakukan pembagian hasil berdasarkan sistem bagi hasil yang

telah berlaku dan diakui secara umum oleh setiap anggota masyarakat maritim di Pasuruan. Pembagian bagi hasil ini, untuk pemilik mendapatkan 2,5 (dua) bagian, nakhoda 1,5 (satu

setengah) bagian dan anggota lainnya masing-masing 1 (satu) bagian. Jadi kisaran total bagian

adalah antara 4 (empat) bagian hingga 5 (lima) bagian.

Kemampuan membangun kerjasama secara nyata untuk menyelesaikan pekerjaan tertentu

diantara anggota masyarakat maritim telah terjalin dengan baik sekali, baik dalam hubungan sosial, kekerabatan dan keagamaan. Di dalam perahu, pembagian pekerjaan telah sangat jelas dan

harus di lakukan secara bersama-sama, sehingga setiap orang yang ada diatas perahu

kemampuannya menbangun kerjasama sangat besar, karena nasib mereka secara bersamaan

tergantung dari kerjasamanya tersebut. Jadi budaya bekerja bersama-sama diatas perahu, selama pelayaran, antar perahu nelayan dan antar anggota masyarakat satu kaum merupakan kerjasama

mutlak yang harus di lakukan, prinsip ketaatan kepada aturan-aturan yang diberlakukan untuk

membangun keharmonisan kerjasama telah menjadi bagian yang diutamakan secara bersama-sama.

Jaringan kerja sama kolektif telah menjadikan hubungan yang mampu saling memberi

antara lain dapat di lihat dari: 1) jaminan subsistensi terhadap buruh nelayan yang paling bawah dan 2) interdependensi antar elemen yang membentuk jaringan kerjasama kolektif yang bersifat

simetris (Pranadji, T. 2003). Adapun yang dimaksud dengan jaminan subsistensi, adalah

memberikan kesempatan kepada semua anggota masyarakat maritim yang ingin bekerja di laut

dengan cara mengikuti pelayaran pada perahu-perahu yang akan pergi menangkap ikan, statusnya adalah anak buah perahu (ABK), dan atas jasanya itu maka diberikan bagian hasil. Kemudian

kalau di lihat dari interdependensi antar elemen, ternyata antar nelayan saling meberikan

informasi dan kesempatan untuk ikut melakukan kegiatan usaha penangkapan di lokasi fishing ground yang sama, bersamaan dengan itu terbentuk pula jaringan perdagangan hasil tangkapan

ikan atau biota laut lainnya Udang (shrimp), kepiting (mud crubs), dll. Ditinjau dari sini, maka

ada hubungan timbal balik yang saling membutuhkan antara nelayan penangkap, para bakul (pedagang) ikan/udang (shrimp)/kepiting (mud crubs) dan juga ibu rumah tangga yang berfungsi

menjualkan hasil tangkapan atau mengolahnya menjadi produk ikan olahan.

3. Akses Terhadap Sumberdaya Ekonomi. Berdasarkan pendekatan struktur, struktur yang baik adalah apabila dapat terjadi

interdependensi yang simetris (bargaining position/power sharing) terhadap akses ke sumberdaya

ekonomi. Interdependensi yang simetris secara ideal agak sulit dikenali tanpa adanya riset yang mendalam mengenai ekonomi maritim. Interdependensi masih dapat dikenali secara umum

melalui struktur kegiatan ekonomi yang di lakukan oleh masyarakat maritim, yaitu mulai dari

pengeksploitasian sumberdaya, pemasaran hasil dan sistem bagi hasil yang diberlakukan

umumnya oleh sebagian besar masyarakat maritim. Setiap anggota masyarakat maritim yang ada di Pasuruan mempunyai kesempatan yang

sama untuk melakukan kegiatan penangkapan di laut setiap saat, faktor pembatasnya hanyalah

terletak pada peralatan tangkap yang mereka miliki saja. Dari sisi kesempatan untuk berusaha melakukan penangkapan tidak ada deskriminasi yang diakibatkan karena hak kepemilikan,

sumberdaya maritim adalah menjadi hak milik bersama. Untuk menjaga agar tidak terjadi

eksploitasi berlebihan, maka alat tangkap yang dianggap merusak habitat ikan seperti, mini trowl atau modifikasinya, di lakukan pelarangan dan ditaati bersama. Pelanggaran oleh seseorang

terhadap komitmen bersama inilah yang sebenarnya menjadi penyebab adanya konflik ditengah

laut, dan akibatnya kadang-kadang yang terjadi adalah kerusakan materi atau kehilangan jiwa.

Adapun pemasaran hasil tangkapan, umumnya di lakukan oleh pedagang yang ada di tempat atau di Pasuruan, dan selanjutnya dipasarkan kepada pihak lainnya yang ada diluar

Pasuruan. Nelayan penangkap, ada kecenderungan bebas melakukan penjualan hasil

tangkapannya kepada siapa saja yang mereka inginkan, terkecuali mereka yang terikat karena perjanjian (tertulis atau tidak tertulis) yang diakibatkan karena adanya pinjaman lebih dahulu

kepada juragan sebelum melakukan penangkapan di laut. Untuk menjaga keseimbangan

hubungan sosial akibat kegiatan ekonomi, maka sistem bagi hasillah yang dipakai sebagai sarana ekonomi masyarakat maritim dalam melakukan kegiatan usaha penangkapannya di laut.

Keterampilan fungsional yang terkait dengan kehidupan sehari-hari, khususnya

masyarakat maritim adalah keterampilan yang terkait langsung dengan ekonomi yaitu kegiatan penangkapan, pengolahan, pembuatan peralatan penangkapan, pemasaran dan pembiayaan.

Kegiatan penangkapan merupakan keterampilan kelompok fungsional yang umumnya dimiliki

oleh kaum laki-laki, sehingga pergi ke laut untuk melakukan penangkapan merupakan bagian

utama pekerjaan mereka. Pengolahan produk hasil tangkapan umumnya banyak di lakukan oleh kaum perempuan, sehingga kelompok keterampilan ini seolah-olah menjadi bagian kehidupan

perempuan. Produk olahan yang mereka buat umumnya masih terbatas pada produk olahan

tradisional, seperti ikan asin, pengasapan, pemindangan atau pembuatan ebi. Adapun kelompok fungsional pembuatan peralatan penangkapan, untuk pembuatan perahu

umumnya di lakukan oleh laki-laki, sedangkan pembuatan jaring atau bubu kadang-kadang di

lakukan juga oleh perempuan, termasuk perbaikannya. Kelompok fungsional pemasaran hasil tangkapan untuk skala kecil dan masih berada disekitar Pasuruan banyak di lakukan oleh

perempuan, sedangkan pemasaran dalam jumlah partai besar umumnya telah di lakukan oleh laki-

laki. Dari pola ini tergambarkan pembagian pekerjaan antara laki-laki dengan perempuan;

keterampilan pemasaran ditingkat pengecer di lakukan oleh perempuan dan sedangkan pemasaran ditingkat pengumpul telah di lakukan oleh laki-laki. Dari sisi pengelolaan pembiayaan usaha

sering di lakukan oleh perempuan, khususnya pada skala usaha kecil (pengecer, persiapan biaya

eksploitasi), tetapi pada tingkatan skala yang lebih besar maka pengelolaan pembiayaan di lakukan oleh laki-laki, termasuk meminjamkan pada pihak ketiga (nelayan penangkap, dan

nelayan pengecer).

Persepsi terhadap sumberdaya alam yang terkait konsepsi hak kepemilikan (sea tenure) menjadi bagian penting bagi seluruh anggota masyarakat maritim di Pasuruan. Sumberdaya alam

yang dipersepsikan oleh masyarakat maritim adalah merupakan hak milik Allah, karena itu wajib

dipelihara bersama dan hasilnya dimanfaatkan bersama-sama. Dalam merealisasikan persepsi ini

ada juga sebagian masyarakatnya memandang bahwa ikan di laut itu tidak akan habis, karena itu boleh saja melakukan usaha kegiatan penangkapan kapanpun seseorang itu mau selagi dia

mampu. Dari persepsi yang mengatakan sumberdaya alam dapat dieksploitasi sepanjang waktu,

telah menyebabkan terjadinya pertambahan alat tangkap. Konsekkwensi dari pertambahan alat tangkap, karena daerah fishing ground yang dimiliki bersama terbatas, telah menyebabkan

terjadinya keluhan bahwa mulai ada penurunan hasil tangkapan. Penurunan hasil tangkapan oleh

sebagian besar anggota masyarakat maritim Pasuruan penyebab utamanya ada yang menduga

dikarenakan oleh nelayan pendatang yang melakukan pencurian di wilayah penangkapan mereka dengan menggunakan alat tangkap yang lebih besar dan alat tangkap aktif seperti mini trawl.

Dugaan seperti ini memerlukan pembuktian ilmiah, karena itu sangatlah penting peranan riset

maritim dapat ditingkatkan, sehingga mampu mengimbangi informasi yang kebenarannya belum teruji. Masyarakat akan menjadi tentram, kepastian usahapun akan berpihak pada masyarakat

maritim. Reaksi masyarakat akan menjadi lebih bijasana dan terkendali, sehingga kemungkinan

terjadinya konflik sosial secara frontal dapat dihindari bersama, masyarakat dan pemerintah.

4. Sistem Bagi Hasil.

Sistem bagi hasil merupakan alat bantu ekonomi yang mengatur mekanisme usaha

kegiatan penangkapan antara pemilik modal (perahu (board), jaring dan mesin) dengan tenaga kerja yang melakukan penangkapan atau sering disebut sebagai anak buah perahu (ABK).

Mempelajari sistem bagi hasil yang telah diterapkan tampaknya masih mengundang pertanyaan

yaitu "Apakah pembagian insentif yang ada telah menggambarkan sebaran kontribusi dari masing2 pelaku kegiatan". Susunan pembagian hasil tangkapan umumnya yang banyak

dilakukan adalah untuk bagian kasko 1 bagian, jaring 1 bagian, mesin 1 bagian, eksploitasi 1

bagian dan anak buah perahu 1 bagian, sehingga total bagian adalah 5 bagian. Dari besaran pembagian ini tampaknya sebaran kontribusi dari masing-masing pelaku kegiatan sudah

terpenuhi, karena masing-masing pelaku mendapatkan bagiannya. Akan tetapi apabila dicermati

lebih dalam di lihat dari prinsip keadilannya, tampaknya sering belum tercapai, karena yang

membiayai permodalan untuk pembelian kasko, jaring dan mesin hanya dibiayai oleh juragan atau pemilik modal yang bertindak sebagai supplier. Dari fenomena di lapangan tampak seperti

ada keterkaitan langsung atau tidak langsung akibat dari kepemilikan tersebut terhadap setiap kali

menjualkan hasil tangkapannya yaitu kecenderungan harus kepada pemberi modal kerja sebagai

juragan atau suppliernya. Pembagian insentif melalui sistem bagi hasil yang telah ada, dapat dikatakan, apabila

usaha kegiatan penangkapan tidak tergantung pada juragan sebagai pemilik modal atau supplier

sebagai pemberi pinjaman modal kerja, sebenarnya telah dapat memberikan peluang kesejahteraan kepada nelayan di Pasuruan. Juragan menjadi semakin penting karena peranannya

di dalam menjalankan kehidupan ekonomi masyarakat maritim adalah berkedudukan strategis,

bukan saja dari sisi ekonomi, tetapi peranannya dari aspek social dan kepemimpinan. Peranan tersebut secara social diakui oleh masyarakat sampai saat ini, hal tersebut terjadi dikarenakan

banyak anggota masyarakat maritim yang permodalan kerjanya terbatas, sehingga menyebabkan

mereka tidak dapat pergi ke laut apabila tidak meminjam modal kerja ke juragannya.

5. Tingkat Ketergantungan Terhadap Sumberdaya.

Masyarakat maritim di Pasuruan menjadikan laut sebagai sumber mata pencaharian

utamanya dalam menggantungkan hidup. Dengan demikian sumberdaya laut dapat dikatakan mempunyai peran yang sangat penting dalam mendukung keberlanjutan kehidupan mereka.

Dalam kata lain, mungkin dapat juga dikatan sumberdaya maritim ikut menentukan hidup

matinya masyarakat mereka, maka ditinjau dari pandangan ini sangatlah beralasan mereka sangat tergantung pada sumberdaya maritim yang berada disekitar kampung mereka dan selalu siap

untuk memanfaatkannya dan menjaganya bersama-sama.

Diversifikasi mata pencaharian alternatif yang dikembangkan oleh masyarakat nelayan adalah

terkait erat dengan hasil sumberdaya maritimnya, baik dari usaha penangkapan atau dari usaha pembudidayaan. Kemudian mata pencaharian alternatif ini, apabila dicoba untuk melihatnya dari

struktur diversifikasi kegiatan usaha seperti; penangkapan, pengolahan, perdagangan, pembuatan

peralatan penangkapan, tampaknya masih terbatas. Dihubungkan dengan pertanyaan "seberapa jauh tersedia dan mau menjalankan mata pencaharian alternatif di dalam maupun diluar sektor

maritim)"?. Untuk menjawab pertanyaan ini tentu membutuhkan keseriusan pengamatan dari

berbagai aspek yang mendukung kehidupan masyarakat maritim. Dan pertanyaan ini masih sulit

dijawab, karena dengan sifat masyarakatnya yang menetap dan usaha kegiatannya ada yang cenderung perkembangannya terbatas, terutama di lihat dari aspek ekonominya, yaitu yang

dicirikan perahunya masih kecil-kecil, jarak penangkapannya ke fishing ground terbatas, lama

penangkapan lebih banyak one day fishing, serta jenis ikan yang tertangkap juga terbatas dengan volume tangkapannya masih sedikit, tidak terselektif, jadi diversifikasi mata pencahariannya

belum ikut berkembang. Kemudian, ada daerah lain yang menunjukkan perkembangan armada

penangkapan, dengan ditandai oleh adanya perubahan ukuran kasko kapal, alat penangkapan, juga jumlah ABK, tetapi tidak menjadi pemicu ikut berubahnya jumlah mata pencaharian

alternatif. Hal ini berhubungan dengan sifat kegiatan yang tercipta dari sumber daya maritim itu

sendiri. Secara umum tampak yang terjadi di masyarakat maritim, walaupun ada beberapa daerah

yang telah merubah perahu kecilnya menjadi perahu yang lebih besar, hal ini tidak selalu diikuti dengan perubahan secara proporsional pada kegiatan usaha penangkapan lainnya. Oleh karena itu

keadaan masyarakat maritim belum banyak berubah dan mempunyai pengaruh terhadap

perubahan dinamika ekonomi masyarakat maritim pada umumnya. Untukmasyarakat maritim di Pasuruan, terlihat agak lamban menerima perubahan dan pengembangan dari luar secara cepat,

hal ini terjadi, karena sikap masyarakat yang cenderung tetap mempertahankan keadaan yang

telah ada selama ini. Jadi mata pencaharian alternatif, terutama yang berasal dari luar komunitas masyarakatnya akan diseksi secara social, ekonomi dan teknik, karena dampak negatif yang

mungkin tidak mereka inginkan, akan mengganggu keberlangsungan kehidupan masyarakat, jadi

resiko yang mungkin timbul sedapat mungkin dikecilkan secara bersama-sama.

POLITIK.

Politik yang dimaksudkan adalah berkaitan dan berkenaan dengan sifat-sifat dari; prinsip-

prinsip kepemimpinan, konflik dan manajemen konflik, akses aturan representasi publik, sikap masyarakat terhadap keputusan yang diambil, dan prinsip-prinsip hubungan pemegang kekuasaan

lokal dengan luar.

1. Prinsip-prinsip Kepemimpinan.

Prinsip kepemimpinan yang dimaksudkan adalah mencakup dan mengenai visi, integritas,

daya empati, sistematik atau terorganisir, komunikatif dan rasionalitas, dan Inspiring and directing yang telah ada dan dipraktekkan di dalam masyarakat maritim Pasuruan.

Kepemimpinan formal yang dikehendaki oleh masyarakat maritim, sesuai dengan resiko yang

ditimbulkan oleh lingkungan pekerjaannya di laut, ternyata ada yang ikut mempengaruhi sikap

bertindak, adalah diantaranya dicirikan bersikap tegas. Untuk mewujutkan itu maka pemimpin yang umumnya muncul adalah yang berasal dari tokoh masyarakat, pilihan tersebut terjadi karena

mempunyai kaitan dengan sejarah keturunan seseorang, sehingga kebaikan kepemimpinannya

ikut diingat dan dipuji, sehingga bagi masyarakat menjadi kroteria calon pemimpin mereka yang akan terpilih. Berkenaan dengan visi adalah menyangkut seberapa jauh pemimpin yang ada

memiliki visi yang jelas dan meyakinkan. Sejauh mana visi tersebut dapat dipahami, menjadi

bagian pengetahuan dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat dimasa datang. Visi yang dimiliki pemimpin masyarakat tergantung darimana dia berasal, untuk kriteria pertama umumnya

memiliki visi untuk meningkatkan kesejahteraan dan menjaga kedamaian masyarakat

maritimnya. Kedua umumnya mempunyai visi lebih menekankan kepada penciptaan

keharmonian pada kepemimpinannya. Kesejahteraan yang dimaksud adalah kesejahteraan yang didapat dengan cara-cara yang baik dan menurut aqidah agama (Islam), dan kedamaian yang

dicapai melalui kegiatan keagamaan atau kegiatan sosial yang syarat dengan pesan moral

kebaikan yang ditandai oleh tidak bohong, angkuh, atau mau menang sendiri. Untuk keharmonisan biasanya dapat di lihat dari rasa tentram yang dimiliki oleh anggota

masyarakatnya, ketentraman dicirikan dengan adanya kewibawaan, keengganan dan dan rasa

terlindungi dari pemimpinnya.

Berkaitan dengan integritas adalah seberapa jauh anggota masyarakat setempat memberikan penilaian terhadap tokoh/pemimpinnya di lihat dari aspek kejujuran, mengemban

kepercayaan dan menerapkan prinsip keadilan serta memiliki kematangan emosional. Pada

umumnya integritas pemimpin yang dikehendaki adalah pemimpin yang sepenuhnya mencurahkan perhatiannya untuk mengayomi masyarakatnya sehingga masyarakatnya memiliki

kebanggaan atas kepemimpinannya, masyarakat merasa punya orang yang mampu mengangkat

harkat pribadinya dihadapan masyarakat kelompok lainnya. Pemimpin dalam masyuarakat saat ini adalah yang mempunyai empati tinggi karena memiliki daya menyangkut kemampuan

memahami dan menempatkan diri pada kondisi persepsi pihak lain yaitu anggota masyarakat

untuk mendapatkan manfaat bersama apabila ada permasalahan. Prinsip ini juga dapat di lihat

dari seringnya kepala desa dengan aparatnya yang lain ikut terjun langsung menyelesaikan setiap permasalahan yang muncul dari masyarakat maritimnya, baik berkenaan dengan sesama

masyarakat maritim atau dengan masyarakat maritim desa lainnya. Pengorbanan yang diberikan

adalah seringnya tidak kenal pamrih dalam setiap kali melaksanakan tugas-tugas desanya sehingga kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinannya semakin besar. Dari kepercayaan

yang diperoleh tersebut ternyata mampu dan telah dapat digunakan untuk menggerakkan

kemajuan ekonomi masyarakat maritim setempat lebih cepat dan terarah. Dari sisi pengorganisasian dalam menjalankan setiap rencana kerja, tampaknya pemimpin

dari tokoh masyarakatnya telah mampu untuk saling mengisi kerjasama yaitu antara DPD dengan

Kepala Desa dan Tokoh masyarakat lainnya, hal ini tercemin dari adanya kemampuan memahami

tentang pentingnya melakukan pekerjaan secara terencana, logis dan terukur yang di lakukan secara bersama-sama, sehingga kesalahan paham dan kesalahan tafsir terhadap berbagai

informasi yang dating, akan dengan cepat sekali dapat diluruskan secara bersama-sama.

Komunikatif dan rasionalitas yang dimiliki oleh seseorang pemimpin, adalah berhubungan

dengan kepemimpinan yang memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik dengan anggota masyarakat yang dipimpinnya. Dimana saja pemimpin desanya berada senantiasa disambut

dengan empati, dan ini menunjukkan bahwa pemimpin desa dan tokoh masyarakat adalah

kebanggaan mereka yang patut dibanggakan, apalagi terhadap tamu yang datang dari luaran, jarang ada nada miring yang diperdengarkan. Hal ini adalah hasil dari kekentalan berkomunikasi

dan komunikasi yang disampaikan ternyata dihargai dan dihormati oleh masyarakatnya dengan

mengindahkan segala petunjuk dan tuntunan yang diberikan oleh aparat desanya dan hasilnya kemudian tokoh masyarakatnya ikut berperan aktif sebagai penjelas masyarakat lebih lanjut.

2. Konflik dan Manajemen Konflik.

Sejauhmana pemimpin memiliki kemampuan dalam pemecahan konflik yang terjadi di masyarakat dan menggalang kebersamaan secara sukarela untuk mencapai win-win solution.

Konflik yang terjadi antar komunitas, akar permasalahannya tidak disebabkan oleh faktor

tunggal, tetapi muncul dari berbagai faktor multidimensional yang melibatkan persoalan yang terkait dengan status dan harga diri, kekuasaan serta perebutan sumberdaya yang langkah. Yang

terkait dengan status dan harga diri lebih banyak terkait dengan dimensi politik yang diikuti oleh

berbagai kelompok masyarakat yang berbeda. Perselisihan yang diakibatkan olehnya melalui kepemimpinan yang bijaksana dapat meredam ketegangan konflik antar masyarakat maritimnya.

Tokoh yang mewakili masyarakat yang ada di DPD telah mampu memfungsikan dirinya

sebagai perwakilan masyarakat pendukungnya, sehingga pemecahan konflik dapat diredam dan

tidak menyebar. Contoh sebuah peristiwa, peristiwa perselisihan antar kampung maritim senantiasa dapat diredam dan diselesaikan dengan baik oleh kedua belah pihak dan begitu juga

terhadap peristiwa perselisihan lainnya juga ikut dapat dipulihkan seperti sediakala. Ini

merupakan bentuk kepemimpinan dalam masyarakat yang taat kepada pemimpinnya. Adapun ekses negatif dari kegiatan pemilu-pemilu yang diselenggarakan oleh pemerintah baik di tingkat

nasional ataupun local tidak berkelanjutan meruncing, kesadaran masyarakat dapat difasilitasi

oleh tokohnya masing-masing dan kebersamaan dalam masyarakat mampu diwujutkan, dan hal

ini dapat dibuktikan dengan kondusifnya kehidupan bermasyarakat, semua orang merasa aman dan dapat melaksanakan kegiatan sosial dan ekonominya masing-masing. Faktor lain yang

berpotensi dapat memicu konflik antar warga masyarakat maritim, adalah umumnya karena

terbatasnya sumberdaya maritim di perairan pantai laut Jawa dan Kabupaten Pasuruan khususnya. Masyarakat maritim di Pasuruan dengan kepemimpinan yang dipimpin oleh lurah desa yang

diterima oleh semua anggota warganya yang menerapkan azas kebersamaan dan lembut telah

mampu mengajak masyarakat untuk kembali ke norma-norma kehidupan kampung yang harmoni dan rukun. Kepemimpinan ini diterima karena lurahnya dapat dan empati mengakomodir semua

keluhan dan informasi masyarakatnya dengan sempatik dan serius.

Sejauhmana pemimpin memiliki kemampuan mengajarkan penggunaan rasionalitas yang

tinggi pada setiap pengambilan keputusan. Penggunaan pendekatan rasionalitas dapat diwujutkan karena kepemimpinan pemimpin masyarakat maritim di Pasuruan yang berwawasan dan banyak

yang berpengalaman dan intelektualitas. Dengan adanya kemampuan intelektualitas ditambah

dengan wawasan dan kemampuan kepemimpinan, yang ditopang juga oleh kesejarahan cikal bakal seseorang pemimpin yang baik keadaan tersebut, telah menjadikannya sebagai pemimpin

yang dapat diterima oleh semua orang. Atas dasar kekuatan tersebutlah maka keputusan-

keputusan yang dibuat oleh aparat desa di masyarakat maritim dapat diterima dan dipahami, karena keputusan yang dibuat umumnya senantiasa telah mempertimbangkan berbagai dampak

negatif dan positifnya yang mungkin terjadi di dalam masyarakat.

3. Akses Aturan Representasi Publik. Azas transfaransi yang dijadikan bahan sebagai dasar pengambilan keputusan adalah

menyangkut sejauhmana faktor2 yang dijadikan dasar pengambilan keputusan boleh diketahui

secara luas oleh anggota dan mencerminkan sesuatu yang memang penting sesuai permasalahan

yang dihadapi bersama secara rasional. Sebagai contoh, dari hasil perbincangan pertemuan dengan Lurah Desa Kalirejo yang

memaparkan program kerja kelurahan yang terkait dengan pemberdayaan masyarakat maritim

yang ada di desa kelurahannya. Dari pemaparan yang telah diberikan, dapat diketahui bahwa kelurahan sangat berupaya untuk meningkatkan sumberdaya manusia melalui pendidikan, baik

mulai dari tingkat Sekolah Dasar hingga ke jenjang Perguruan tinggi. Disadari pula pendidikan

yang mampu diikuti masih terbatas, karena pada umumnya masih di tingkatan SD, sedangkan yang mampu melanjutkan ke SMP, SMA dan perguruan tinggi masih sedikit sekali.

Program kelurahan dalam bidang peningkatan sumber daya manusia ini diikuti pula

dengan program-program pemberdayaan masyarakat maritim, termasuk di dalamnya adalah

penataan kelembagaan masyarakat, manajemen pemerintahan, prosedur pemilihan kepemimpinan di kelurahan serta penyelenggaraan pemerintahan desa semakin ditingkatkan. Untuk desa

Kalirejo, prinsip-prinsip demokrasi dan transfaransi selalu dikedepankan dalam menanggulangi

berbagai macam persoalan di desa, seperti proses pengusulan calon lurah, pembuatan rencana pembangunan desa melalui musyawarah, meningkatkan kerjasama yang lebih erat dengan Dewan

Perwakilan Desa (DPD), sehingga keinginan-keinginan masyarakat dapat ditampung dan

disalurkan dengan benar. Hasil yang dicapai hingga saat ini adalah terciptanya keamanan kampung, karena sebelumnya ada terjadi berbagai benturan dan sekarang telah menghilang,

kehidupan masyarakat lebih rukun dan punya saling pengertian, pencurian juga berkurang.

Terhadap program pemerintah, kepercayaan masyarakat juga mulai tumbuh dengan kesadaran

berpartisipasi aktif, seperti keikut sertaan dalam program PEMP, dan ternyata bagi masyarakat program ini dianggap dapat membantu ekonomi masyarakat.

4. Sikap Masyarakat Terhadap Keputusan Yang Diambil. Untuk desa masyarakat maritim, factor-faktor yang dinilai penting, yang mencerminkan

alur pemikiran yang dapat diterima secara kolektif, adalah memakai prinsip-prinsip demokrasi

dan transfaran, yang harus selalu dikedepankan dalam menanggulangi berbagai macam persoalan

di desa, seperti proses pengusulan calon lurah, pembuatan rencana pembangunan desa melalui musyawarah, meningkatkan kerjasama yang lebih erat dengan Dewan Perwakilan Desa (DPD),

dengan demikian sehingga keinginan-keinginan masyarakat dapat ditampung dan disalurkan

dengan benar. Masyarakat yang diberi kebebasan untuk melakukan komunikasi langsung kepada lurahnya, baik secara perorangan maupun dengan kelompok untuk menyampaikan berbagai saran

atau usulan demi kebaikan kampungnya. Cara seperti ini memberikan dampak positif tersendiri

kepada percepatan pembangunan daerah yang mempunyai anggota masyarakat maritim. Demikian pula masyarakat diberi kesempatan untuk melakukan penilaian dan pengawasan

terhadap kelemahan pada penerapan azas rasionalitas dan akuntabilitas, sehingga keputusan yang

telah diambil dapat dikaji kembali secara transfaran dan bersama-sama secara adil, dan apabila

perlu membuat keputusan baru lagi. Keterbukaan adalah keinginan bersama yang didambakan banyak pihak yang saling berkepentingan.

5. Prinsip-prinsip Hubungan Lokal Dengan Luar. Hubungan pemegang kekuasaan lokal dengan luar di lihat dari Conflict of interest hal ini

ada kaitannya dengan benturan kepentingan. Benturan kepentingan umumnya tidaklah

diakibatkan oleh faktor tunggal tetapi seringkali terjadi karena tatanan yang multi dimensional, termasuk di dalamnya kadang-kadang karena konflik yang terpendam yang tidak terselesaikan.

Sehingga, ada juga disaat tertentu terjadi upaya instabilitas internal kampung. Apabila kondisi

memungkinkan maka goncangan dapat timbul dengan tiba-tiba. Untuk mengurangi dan

menghindarinya maka perlu ada. Pertama alam demokrasi perlu ditumbuhkan secara perlahan dengan tidak mengenyampingkan ketokohan tradisional, kedua ada upaya perbaikan kondisi

ekonomi yang memadai, ketiga peningkatan intelektualitas dan keempat yaitu terhadap moral

masyarakat. Apabila keempat faktor ini dapat ditumbuh kembangkan dalam budaya masyarakat,

maka pola hubungan kekuasaan lokal dengan luar akan berjalan lebih transfaran dan harmonis, saling menghargai dan bermartabat.

KELEMBAGAAN.

Untuk aspek lembaga, ini berkenaan dengan sifat-sifat yang terkait dengan kelembagaan; eksistensi kelembagaan, peranan kelembagaan, akses masyarakat terhadap kelembagaan dan

reposisi.

1. Eksistensi Kelembagaan.

Eksistensi yang dimaksudkan adalah tentang fungsi penyaluran kelembagaan yaitu

keberadaan lembaga yang berfungsi menyalurkan aspirasi masyarakat kedalam penyelenggaraan pemerintahan di tingkat Kabupaten atau Kota. Di dalam lembaga formal pemerintahan di tingkat

desa telah dibentuk lembaga-lembaga yang dibutuhkan yang disesuaikan dengan peraturan

pemerintah yang berlaku. Lembaga yang ada di dalam pemerintahan setingkat kelurahan ialah

Dewan Perwakilan Desa (DPD) dan Lurah. Selain dari itu lembaga-lembaga resmi pemerintahan lainnya melaksanakan program

kerjanya ditingkat desa di lakukan secara fungsional dengan berkoordinasi ke Kecamatan, seperti

kesehatan, pendidikan, agama, keamanan dan lain-lainnya. Kelembagaan formal di tingkat desa ini ini secara organisatoris mempunyai hirarki langsung ke organisasi yang lebih tinggi yaitu

Kecamatan dan selanjutnya ke Bupati. Aspirasi masyarakat maritim, baik bersifat perorangan

ataupun kelompok yang ingin disalurkan, kelembagaan yang berwenang menampung dan

menyalurkan aspirasi tersebut yaitu DPD, karena anggota DPD dipilih langsung oleh masyarakat maritimnya. Aspirasi yang bersifat kelompok umumnya dibawa dan diajukan oleh tokoh

masyarakat informal yang kepemimpinannya diakui oleh masyarakat. Pemimpin informal ini

dikenal sebagai Kiay, atau Tokoh yang disegani seperti nakhoda, atau juragan adalah kepemimpinan yang mempunyai kekuatan riil di dalam masyarakat. Apalagi masyarakat maritim

umumnya masih sebagian besar menganut kepemimpinan tradisional, yaitu kepemimpinan yang

dicirikan dengan kekerabatan atau kesamaan etnis dan suku, dalam kehidupan masyarakat maritim masih terasa sangat kental.

2. Peranan Kelembagaan

Dari hasil pengamatan terhadap fenomena lembaga-lembaga yang ada di dalam masyarakat maritim, dan hal ini di kaitkan dengan pola kerja berbasiskan gender, juga informasi

dari beberapa pemuka masyarakat didapat kesan bahwa peranan kelembagaan informal dan

formal masih berfungsi. Sebagai contoh kelembagaan formal DPD sebagai representasi dari masyarakat maritim, mereka mampu menjalin kerjasama yang harmonis yang ditunjukkan oleh

dedikasi anggota DPD yang tinggi dan transfaran. Aspirasi masyarakat dapat juga mempengaruhi

atau digunakan untuk pengambilan keputusan. Aspirasi masyarakat nelayan yang datang dapat melalui kelompok atau perorangan. Untuk aspirasi yang datang dari kelompok, dan kelompok ini

tampaknya mendapat dukungan dan legalitas pemimpin informalnya, umumnya akan

mendapatkan perhatian yang sunguh-sungguh, seperti dari DPD dan kelembagaan kelurahan yang

berkepentingan seperti lurah, dan pihak keamanan. Oleh sebab itu peranan kelembagaan DPD akan menjadi nyata apabila mampu menjalin kerjasama yang erat dengan berbagai kalangan

masyarakat, karena keberadaannya memang dibutuhkan. Apabila aspirasi tersebut di pandang

perlu untuk ditindak lanjuti ke lembaga yang lebih tinggi lagi, maka Kepala desa akan

menyalurkannya ke Kecamatan untuk dicarikan jalan keluarnya, yaitu dapat berupa program-

program kebijakan.

3. Akses Masyarakat Terhadap Kelembagaan.

Akses masyarakat untuk dapat menjadi pemimpin di suatu lembaga banyak dipengaruhi

oleh asal usul atau kemampuan yang dimiliki oleh seorang calon pemimpin. Kemampuan sering dihubungkan dan erat kaitannya dengan kepemimpinan seseorang. Besarnya kekuatan dan saluran

yang efektif bagi masyarakat untuk mengontrol pelaksanaan keputusan sangat dipengaruhi oleh

sifat kepemimpinan yang tumbuh dan berkembang di daerah, hal dapat terlihat dari dua ciri utama. Pertama kepemimpinan yang dicirikan datang dari masyarakat yang menggunakan

keberanian dan kekuatan, dan Kedua, kepemimpinan yang datang dari masyarakat yang disegani

karena kebaikannya secara moral dan keluarga terpandang. Kelembagaan yang terbentuk dari lembaga formal (Kelurahan) kadangkala diisi oleh kedua lapisan kepemimpinan ini yang datang

silih berganti. Dari pengamatan di lapangan kedua cirri ini ada juga ditemukan, sehingga kesan

yang diberikan oleh anggota warganya, ada sifat kepemimpinan yang dirasakan di dalam

masyarakat yaitu agak menekan atau memaksakan, sedangkan sifat kepemimpinan lainnya dikesankan sebagai pemimpin yang mengayomi. Akibat dari pola kedua kepemimpinan ini

manfaatnya bagi masyarakat sudah dapat dirasakan dan dinilai bersama. Dengan adanya

kelembagaan DPD, maka kedua kepentingan dalam masyarakat nelayan yang tercermin melalui pemimpin yang dipilihnya tersebut mulai dapat terakomodir bersama. Masing-masing kelompok

masyarakat aspirasinya dapat tertampung, sehingga mereka merasa mampu melaksanakan

pengontrolan terhadap keputusan kebijakan yang dibuat oleh Lurah atau instansi resmi lainnya yang dianggap merugikan kepentingan kelompok masyarakatnya.

4. Reposisi Nelayan.

Pengontrolan pelaksanaan suatu keputusan yang di lakukan di berbagai tingkatan,

kebiasaan yang masih berlaku umumnya masih bersandarkan pada pemimpin kelompoknya masing-masing. Masyarakat yang kental kepemimpinannya dibawah pembinaan seorang Kiay,

maka Kiaylah yang dianggap mampu mewakili mereka dan karena itu informasi apapun yang

disampaikan oleh Kiaynya akan dianggap benar dan cukup dimengerti untuk ditaati. Jadi pola kepemimpinan patron client di masyarakat maritim masih sangat kental, karenanya ketokohan

seseorang sangat terkait dengan asal usul dari tokoh itu sendiri. Kekuatan dan saluran yang efektif

bagi masyarakat untuk mengontrol pelaksanaan keputusan yang ada sampai saat ini masih belum terlalu jelas dan tegas bagi semua orang. Masyarakat nelayan telah diberi kekuatan dan saluran

melalui lembaga formal, seperti DPD, untuk turut memperbaiki kebijakan yang dirasakan tidak

sesuai oleh lembaga yang berwenang, akan tetapi lembaga formal seperti DPD, sekarang ini

masih dianggap belum optimal, karena masih baru sehingga pelaksanaannya kadang-kadang masih mengalami berbagai hambatan yang bersifat dilematis. Pada satu sisi ingin berfungsi tegas,

lugas dan sesuai aturan yang berlaku, tetapi masyarakat merasa bukan kulturnya seperti itu dan

pada sisi lain bertindak dan bersikap sesuai dengan irama keinginan masyarakat, tetapi kadangkala dianggap DPD tidak mampu tegas mendukung dan memperjuangkan aspirasi

masyarakatnya. Reposisi nelayan adalah cara memberikan kekuatan melalui saluran formal dan

informal terhadap proses mempertemukan bottom-up ke top-down dari proses perancangan kepentingan umum sampai ke pelaksanaan sebuah kegiatan yang terkait langsung dan tidak

langsung dengan hajat kehidupan masyarakat maritim. Wadah yang ideal adalah demokratisasi

pemilihan anggota DPD dan Lurah secara terbuka dan trasfaran bagi semua masyarakat maritim

yang ada di Pasuruan.

PENUTUP

Sifat sumberdaya maritim yang ”common property” dan ”open access” membentuk

kondisi sosial budaya masyarakat maritim yang khas dan relatif berbeda dengan masyarakat

pedesaan lainnya (terrestrial villagers). Hal ini seringkali diabaikan di dalam perumusan

kebijakan pemberdayaan masyarakat maritim yang masih lebih banyak mengadopsi hasil kajian sosial budaya masyarakat daratan (terrestrial). Oleh karena itu, sosial budaya masyarakat

maritim dapat difungsikan juga dalam upaya mendukung kegiatan pemberdayaan masyarakat

baik di perairan pesisir, pulau-pulau kecil serta perairan pedalaman (Dahuri, R. 2003). Dengan adanya pengetahuan mengenai potensi dan kendala, diharapkan program pemberdayaan

masyarakat maritim, akan dapat dicapai secara lebih baik dan sempurna. Untuk itu perlu juga

dikenali makna dari kearifan lokal, kearifan adalah berkenaan dengan sifat-sifat tentang; eksistensi tata-nilai, sikap masyarakat maritim terhadap tata-nilai, serta mekanisme pengelolaan

sumberdaya maritim (internal dan eksternal). Tulisan ini lebih banyak mendasarkan pada

pengamatan fenomena yang terjadi dalam masyarakat maritim, sehingga bahasannyapun

cenderung berpihak pada pengamatan indra yang terjadi di masyarakat maritim pada umumnya. Wilayah pengamatan fenomena kehidupan masyarakat maritim agar dapat memberikan sedikit

gambaran, maka fenomenanya didasarkan pada masyarakat maritim yang ada di Pasuruan. Dari

pandangan fenomena tersebut dapat juga diketahui bahwa masyarakat maritim Pasuruan juga telah mengenal dan mempraktekkan ekonomi maritim. Yang dimaksudkan dengan ekonomi

maritim ditinjau dari pemaknaan fenomena, maka yang dimaksudkan adalah sifat-sifat yang

terlihat aktifitas ekonomi, status dan peranan masyarakat, akses terhadap sumberdaya ekonomi, sistem bagi hasil, dan tingkat ketergantungan terhadap sumberdaya. Kesemua sifat-sifat tersebut

menampakkan pengaplikasiannya yang spesifik maritim, sehingga menjadi satu kesatuan

pembentuk kehidupan bermasyarakat. Kehidupan masyarakat maritim juga telah mengenal

kaedah-kaedah moral yang dapat mempersatukan masyarakat maritim secara harmoni dan berdaya guna. Untuk itu pengenalan terhadap praktek politik di dalam masyarakat maritim perlu

juga dipahami. Pemahaman politik yang dimaksudkan adalah berkaitan dengan sifat-sifat dari

prinsip-prinsip kepemimpinan, konflik dan manajemen konflik, akses aturan representasi publik, sikap masyarakat terhadap keputusan yang diambil, dan prinsip-prinsip hubungan pemegang

kekuasaan lokal dengan luar. Di dalam masyarakat maritim kesemua sifat-sifat tersebut secara

fenomial dapat dikenali sebagai sistem kehidupan. Kemudian dalam prakteknya dapat dikenali

juga telah ada kelembagaan yang ekses di dalam masyarakat maritim. Untuk itu aspek lembaga yang berkenaan dengan sifat-sifat yang terkait dengan eksistensi kelembagaan, peranan

kelembagaan, dan akses masyarakat terhadap kelembagaan ternyata juga dapat ditemukan di

berbagai daerah dari masyarakat maritim yang ada di nusantara.

DAFTAR PUSTAKA

Dahuri, R. 2000. Pendayagunaan Sumberdaya Kelautan Untuk Kesejahteraan Rakyat. Lembaga

Informasi dan Studi Pembangunan Indonesia, LISPI, Jakarta. 146 p.

Dahuri, R. 2003. Paradigma Baru Pembangunan Indoensia Berbasis Kelautan. Orasi Ilmiah. Guru

Besar Tetap Bidang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Perikanan Bogor. Bogor. 233 p.

Hikmat, R. Harry., 2001. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Humaniora Utama Press. Bandung.

Cetakan Pertama. 260 p. Pranadji, T. 2003. Menuju Transformasi Kelembagaan Dalam Pembangunan Perikanan dan

Pedesaan. Puslitbang Sosial Ekonomi Perikanan. Badan Litbang Perikanan

Departemen Perikanan. Bogor. 175p.

Taryoto, Andin. 1999. Internalisasi Aspek-Aspek Sosial Budaya dalam Proses Industrialisasi

Perikanan. dalam I.W.Rusastra dkk (Eds.). Dinamika Inovasi Sosial Ekonomi dan Kelembagaan Perikanan. Hal. 7575-582. Pusat Penelitian Sosek Perikanan. Badan

Litbang Perikanan. Departemen Perikanan. Jakarta.

Wiradi, Gunawan. 1997. Rekayasa Sosial Dalam Menghadapi Era Industrialisasi Perikanan.

dalam T. Sudaryanto dkk (Penyunting). Prosiding Industrialisasi, Rekayasa Sosial dan Peranan Pemerintah Dalam Pembangunan Perikanan. Hal.63-70. Pusat

Penelitian Sosial Ekonomi Perikanan. Badan Litbang Perikanan. Departemen

Perikanan. Jakarta. Koentjaraningrat, 1979. Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Aksara Baru.

BAB III

III.MASYARAKAT MARITIM RIAU KEPULAUAN

I.PENDAHULUAN

Tulisan ini didasarkan pada informasi yang didapat sebelum Propinsi Riau terbagi

menjadi dua Propinsi, yaitu Propinsi Riau Kepulauan. Masyarakat maritim yang dimaksudkan

dalam tulisan ini adalah masyarakat yang sumber penghidupannya dari perairan, sehingga arah pengungkapan akan lebih di tekankan pada hasil-hasil komoditi perikanan. Komoditi perikanan

inilah yang menjadi dasar-dasar pembahasan terhadap masyarakat maritim yang ada di Riau

kepulauan. Riau Kepulauan terdiri dari banyak gugusan pulau-pulau kecil. Wilayah kepulauan riau di batasi; sebelah Utara dengan Kabupaten Natuna dan Malaysia Timur, sedang ke Selatan

dengan Propinsi Sumatra Selatan dan Propinsi Jambi, sebelah Barat dengan Kabupaten Karimun

Kota Batang, kemudian ke arah Timur dengan Propinsi Kalimantan Barat. Luas perairan lautnya

96.474,40 Km2 (95,73%) dan daratannya 4.303, 35 Km

2 (4, 27%) yang membentuk gugusan

pulau-pulau yaitu: 1. Bintan, 2. Singkep, 3. Lingga, 4. Senayang 5. Tambelan serta ratusan pulau-

pulau kecil lainnya dengan total luas wilayah 3.010,13 Km2 atau 3, 18% dari luas Propinsi Riau

yang 329.867,65 Km2. Penduduknya sebagian terbesar penghidupannya tergantung pada

perairan laut. Riau kepulauan adalah penghasil produksi maritim terbesar, pada tahun 2000

produksi ikannya mencapai 165.897,7 Ton (53,7%) dari total produksi di Propinsi Riau yang sebesar 308.808,8 Ton. Produksi terbesar adalah ikan, yaitu mencapai 93,4% dari produksi laut,

dan sisanya 6,7 % berasal dari perairan umum, tambak dan kolam. Nilai produksi maritim pada

tahun 1999 mencapai Rp1.021,92 miliar dan di tahun 2000 terjadi peningkatan menjadi Rp 1.163,59 miliar. Dari informasi ini berarti di sektor maritim mempunyai prospek yang cukup

baik dalam menopang pertumbuhan ekonomi daerah, dan hal tersebut ditandai oleh banyaknya

bidang usaha yang bergerak di sector produksi kemaritiman, pengolahan, perdagangan, transportasi dan warung makanan. Sebagai contoh, saat ini ada tercatat kelompok usaha bersama

(KUB) sebanyak 20 buah. Bentuk usaha tersebut adalah berbentuk “ Koperasi/KUD” sebanyak 5

buah, sedangkan yang bergerak di bidang “ lokasi Pantai di sektor maritim” tercatat 30 unit.

Bidang usaha yang ada berupa: Pengumpul atau Expor ikan segar, teri kering, ikan kerapu hidup, dan napoleon, ikan hidup, udang (shrimp) segar, ikan Rasbora, ikan beku, pengolahan sarimi

beku, tepung ikan. Usaha yang telah mempunyai badan hokum untuk usaha berupa KUD (4

buah), CV (5 buah), PT (18 buah), Primkopal Lanal (1 buah), Puskopal (1 buah), dan perorangan (1 buah) atau (Dinas Perikanan Propinsi Riau, 2001). Dengan banyaknya bidang usaha yang

telah tumbuh di sektor maritim, maka Riau kepulauan pertumbuhan ekonominya sangat terkait

erat dengan kegiatan masyarakat maritim yang ada di kepulauan tersebut. Pelaksanaan Otonomi Daerah khususnya menyangkut kebijakan perancangan

pembangunan menyebabkan beberapa masalah yang muncul, permasalah itu antara lain

berkenaan dengan kewenangan yang cenderung masih di multitafsirkan. Sebagai contoh,

menurut kewenangan, Kabupaten atau Kota seharusnya mempunyai kebijakan yang menyangkut operasional didaerahnya, sedangkan di Propinsi memfasilitasi kegiatan operasional kabupaten

atau kota. Untuk menghindari kesalahan cara pandang berfikir dalam membuat perencanaan

pembangunan, maka pengertian otonomi hendaknya diartikan pemberian sebagian kewenangan dari daerah Propinsi ke Kabupaten atau Kota, jadi seharusnyalah ada dokumen perencanaan

pembangunan daerah yang terdiri dari “Pola Dasar” (Poldas), Pola Pembangunan Daerah

(Propeda) dan Rencana Strategis Pembangunan Daerah (Renstrada). Dengan demikian

pelaksanaan kebijakan khususnya di bidang Fiskal tidak akan tumpang tindih baik secara kebijakan (Policy) maupun dalam teknis Operasional.

1.Keadaan Lingkungan Ekologi

Riau Kepulauan setelah dimekarkan pada pertengahan tahun 2000 menjadi 3 (tiga) kabupaten, yakni Kabupaten Natuna, Kabupaten Karimun, dan Riau Kepulauan berdasarkan

Undang-Undang No.13 Tahun 2000, maka Riau Kepulauan luas wilayahnya menjadi 100.777,75

Km2 dengan perbandingan luas daratan 4.303, 35 Km

2 (4,27%) dan luas lautannya 96.474,40

Km2 (95,23%). Daratannya sendiri memiliki 513 buah pulau besar dan kecil yang tersebar di

Daerah Selat Malaka dan Laut Cina Selatan. Adapun sungai- sungai yang mengalir di Riau

kepulauan umumnya adalah sungai- sungai kecil dan dangkal, tidak cukup untuk pelayaran.

Kemudian di daerah Kecamatan Singkep, Kundur dan Karimun banyak ditemukan bekas galian Timah dan masyarakat menyebutnya sebagai kolong, yang mempunyai luas antara 1 Ha s/d 3 Ha.

Kolong-kolong ini mulai dimanfaatkan untuk pemeliharaan ikan air tawar, tetapi hasilnya belum

memuaskan. Kedalaman air disekitar Riau kepulauan sekitar 40 m dengan salinitas 28 %, untuk lepas pantai 35 %. Kecepatan arus dan perbedaan pasang surut tidak sebesar di Selat Malaka, arus

disini dicirikan dengan cara bergantian karena di pengaruhi oleh masa air yang datang dari Laut

Cina Selatan dan Laut Jawa.

Iklim yang terjadi adalah iklim tropis basah, dimana setiap setengah tahun berubah antara musim kemarau dan musim hujan dan berdasarkan mata angin yang berlaku ada musim

Utara, Selatan, Barat, dan Timur. Musim- musim ini sangat mempengaruhi aktivitas usaha

maritim, yaitu baik usaha penagkapan maupun usaha budi daya ikan. Penduduk yang ada sampai tahun 2000 adalah 318.566 jiwa dengan perbandingan 159.721 jiwa laki-laki dan 158.845 jiwa

perempuan, sedangkan mata pencaharian utamanya sebagai nelayan atau petani ikan sekitar

48.372 jiwa atau 17,4 %. Sarana Transportasi yang digunakan umumnya adalah transportasi laut, sehingga telah menjadi urat nadi kegiatan di berbagai bidang usaha. Untuk mendukung

transportasi tersebut pihak swasta banyak yang bergerak di sektor usaha ini, pemerintah telah

membangun 2 (dua) Pelabuhan Nusantara yaitu Pelabuhan Sri Payung di Tanjung Pinang dan

Pelabuhan Sri Bay Intan di Kijang yang dapat disandari kapal ukuran besar.

2.Gambaran Umum

Kebijakan di bidang ekonomi, pemerintah daerah melalui strategi pembangunan sektor maritim, Riau Kepulauan Tahun 2000 kebijakannya masih mengacu kepada kebijakan

Pembangunan Maritim Nasional dengan menitik beratkan pada tujuan pembangunan, yaitu

meningkatkan dan merangsang Investasi pada sektor maritim, terutama pada usaha skala kecil

dan menengah. Dari krisis Moneter yang terjadi sejak tahun 1997 yang ditandai oleh tingkat Inflasi yang tinggi mencapai 80% pada tahun 1998, telah menyebabkan kegiatan usaha di

berbagai sektor mengalami kegagalan sehingga memunculkan banyak pengangguran. Untuk

sektor maritim di Riau kepulauan justru aktivitas usaha mengalami sebaliknya, yaitu adanya peningkatan pendapatan bagi masyarakat maritim karena hasil-hasil maritim yang bernilai ekspor

dijual dengan berpedoman pada tingkat kenaikan kurs US$ terhadap rupiah. Tetapi pernyataan

ini hanya diberikan oleh beberapa pengusaha sector maritim, akan tetapi kejadian ini ini secara resmi belum tercatat di dalam statistik BPS kabupaten baik volume maupun nilainya. Dari

kekuatan pasar yang terbentuk, dan posisi strategis geografis yang di miliki Riau kepulauan,

telah menguntungkan usaha maritim penangkapan, budidaya dan pengolahan produk, sebab hasil

produksinya di nilai dan dihargai sesuai dengan kurs yang berlaku, ini berarti sangat menguntungkan nelayan.

Di sektor maritim pada saat terjadinya krisis moneter, di Riau kepulauan, belum terjadi

pengurangan lapangan pekerjaan, justru ada penambahan bidang usaha, seperti meningkatnya jumlah rumah tangga maritim (RTP), alat produksi, perizinan penangkapan. Perubahan ini dapat

menjadi indikator bahwa gejolak krisis moneter secara nasional tidak berpengaruh negatif

terhadap sektor maritim sebagaimana tergambarkan dalam perkembangan indicator maritim di Propinsi Riau Tahun 2000 pada (Tabel 1) dan (Tabel 2). Akan tetapi saat ini kebijakan

pendukung ekonomi di sektor maritim belum juga terbentuk, walaupun krisis ekonomi itu tidak

mampu menerpa ketahanan sector maritim, tetapi sampai sekarang hampir belum juga ada

lembaga keuangan yang secara pasti ikut menjamin sektor maritim, seperti kebijakan bunga bank, kebijakan penjaminan bank, perkreditan khusus dan lain-lain kebijakan ekonomi yang mampu

mendorong perkembangan ekonomi di sektor maritim Riau kepulauan. Kebijakan pembangunan

di sektor maritim Riau kepulauan telah menghasilkan berbagai dampak yang dapat di lihat dari

perkembangan indikator maritimnya. Dampak secara keseluruhan dapatlah disebut juga sebagai hasil dari kebijakan ekonomi yang dijalankan oleh pemerintah daerah yang mampu mendorong

pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Gambaran makro tentang keberhasilan perkembangan

ekonomi di sektor maritim di Riau Kepulauan terbaca dalam (Tabel 2) berikut dengan indikator perubahannya.

Tabel. 1. Perkembangan Indikator Maritim Di Propinsi Riau, Tahun 2000

NO Komoditi 1999 2000 % 1. Jumlah Ikan total (Ton)

Harga Ikan Total (Rp1000) Harga rata-rata (Rp/Kg)

284,595 1.162.340

4.084

308,808 1.324.733

4.200

2,85

116

2. Ikan Laut (Ton) Harga Ikan (Rp1000) Harga Rata-rata (Rp/Kg)

263,475 1.021.924

9.921

286,290 1.163.593

4.064

5857

59,03

3. Ikan Budidaya Laut (Ton) Harga Ikan (Rp1000) Harga Rata-rata (Rp/Kg)

2,368 50.447 21.304

2,182 57.935 26.540

+5236 24,58

NO Komoditi 1999 2000 %

4. Ikan Perairan Umum (Ton) Harga Ikan (Rp1000) Harga Rata-rata (Rp/Kg)

12,558 52,289 4.165

13,285 61.597 4.636

+471 11,31

5. Ikan Tambak (Ton) Harga Ikan (Rp1000) Harga Rata-rata (Rp/Kg)

0,297 5.437 2.367

0,617 5.269 8.540

6173 260

6. Ikan Kolam (Ton) Harga Ikan (Rp1000) Harga Rata-rata (Rp/Kg)

3,224 30.092 5.471

5,827 34.033 5.662

191 3,49

7. Ikan Keramba (Ton) Harga Ikan (Rp1000) Harga Rata-rata (Rp/Kg)

0,395 2.150 5.442

0,422 2.306 5.462

20

0,36

Sumber: Dinas Perikanan di Propinsi Riau, 2001

Di dalam laporan buku tahunan statistik maritim di Propinsi Riau tahun 2000,

Pemerintah di Propinsi Riau melalui Dinas Perikanan ada menerakan rata-rata harga ikan, yaitu antara tahun 1999-2000 per kgramnya. Untuk ikan laut ternyata mengalami penurunan 59,03%,

ikan perairan umum naik 11,31% , ikan tambak naik 260%, ikan kolam naik 3,49% dan ikan

keramba mengalami kenaikan 0,36%, sedangkan rata-rata total kenaikanya adalah 2,86%. Kalau

di hubungkan dengan pergeseran atau fluktuasi harga per komoditi maritim, informasi yang didapat adalah bahwa ada kecenderungan harga ikan meningkat selama periode 1999-2000, tetapi

gerakannya sangatlah kecil. Faktor penyebab kecenderungan perubahan yang kecil tersebut

karena fluktuatif harga kurs dollar Amerika tidak terlalu tajam dan juga ditandai dengan ada kecenderungan yang semakin menurun juga, kisaran penurunan antara antara U$ 1=Rp 9000-

Rp12000, dan pada tahun 2002 justru telah mencapai di bawah Rp 9000. (Dinas Perikanan,

2001) Indikator ekonomi berdasarkan rata-rata harga ikan memberikan gambaran umum,

bahwa yang terjadi di daerah Riau kepulauan dan sekitarnya menunjukkan pembentukan harga

ikan melalui mekanisme pasar tampak tidak terlalu berjalan normal, hal tersebut terindikasi dari

penurunan harga yang terjadi di sektor penangkapan. Kegiatan penangkapan yang selama ini

dikenal dengan banyak ketergantungannya kepada pihak luar. Pihak luar ini yang mengendalikan pasar dan mereka adalah pemilik modal (Tauke), karena yang paling mudah terkena perubahan

harga, sehingga mereka kurang mampu membuat posisi tawar yang lebih kuat, dengan demikian

perubahan ekonomi justru berdampak langsung terhadap tingkat pendapatan yang mereka terima.

Tetapi secara umum, pengaruh gejolak ekonomi tidak terlalu berpengaruh di sektor penangkapan dan maritim lainnya, hal tersebut dapat di lihat dari jumlah rumah tangga maritim dari 1998-2000

yang menunjukan kenaikan yang signifikan (RTP tahun 2000 sebesar 12.093) dibandingkan

dengan jumlah kapal maritim yang mencapai 8.864 unit, ini berarti perbandingannya adalah 1 : 0,73 unit di tahun 2000 atau dengan kata lain setiap RTP memiliki kurang dari satu kapal.

Perbandingan total jumlah jiwa dengan jumlah jiwa masyarakat maritim yang bidang usahanya

penangkapan adalah 318.566 : 684.65 atau 4,6 : 1, dan kalau di asumsikan setiap RTP terdiri dari 8 jiwa, maka jadilah sektor penangkapan masih cukup besar perannya dalam sektor ekonomi atau

menjadi sumber usaha masyarakat.

Di lihat dari rumah tangga maritim berdasarkan perkembangan yang terjadi, maka sejak

dari tahun 1998 sampai dengan tahun 2000, perkembangannya dapat tergambarkan sebagai berikut; untuk kegiatan masyarakat maritim di usaha penangkapan mengalami kenaikan 42,75%,

untuk usaha budidaya laut mengalami kenaikan 67,47%, dan kemudian usaha budi daya air tawar

juga ikut mengalami kenaikan sebesar 86,36%. Jadi dari indikator RTP, dapat dikatakan semua kegiatan masyarakat maritim dalam pengusahaann penangkapan dan pembudidayaan

menunjukkan ada peningkatan. Angka peningkatan ini mengindikasikan bahwa masyarakat

maritim yang kegiatan usahanya pada sektor penangkapan dan pembudidayaan tetap menjadi tumpuan sumber penghidupan mereka. Di lihat dari variasi kegiatan usaha juga mengalami

pertumbuhan, hal ini yang ditunjukan dari usaha pembudidayaan ikan mencapai 0,16%.

Walaupun terlihat kecil, tapi mengingat luasnya wilayah, ini adalah prospek bagi masyarakat

maritim.

I. FAKTOR PRODUKSI

Faktor produksi yang dimaksudkan adalah berkenaan dengan upaya yang diperlukan untuk dapat menghasilkan produksi baik dalam bentuk volume ataupun nilai. Maka kisaran uraian

hanya terbatas pada aspek-aspek perizinan, alat produksi, produksi, dan nilai produksi saja.

1.Perizinan Untuk mengatur usaha di sector maritim, pemerintah telah mengeluarkan berbagai

kebijakan, yaitu berupa perizinan. Perizinan bentuk dan macamnya dapat di lihat dari jenis-jenis

perizinan yang dibuat dan dikeluarkan sesuai dengan bidang usaha yaitu: 1) Penangkapan ikan, 2) Pengumpul atau pengangkut dan 3) TGKP. Adapun dasar penerbitan izin adalah perda tahun. I

Riau No.9 /89/ Tanggal 15 September 1863 berupa “Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) dan Surat

Izin Kapal Perikanan (SIKP) yang terbit tahun 2000. Karena perizinan ini penting maka diharapkan partisipasi masyarakat maritim dan peranan pelayanan pemerintah ikut menentukan

keberhasilan ditaatinya perizinan tersebut. Sampai saat ini pelaksanaan perizinan belum optimal,

karena masih banyak kendala yang dihadapi, yaitu seperti keterbatasan aparat pengawas dan

kesadaran masyarakat penggunanya.

2.Alat Produksi

Alat produksi yang dimaksudkan adalah peralatan yang digunakan oleh masyarakat maritim untuk memanfaatkan sumber daya maritimnya. Peralatan tersebut dapat berupa perahu,

jaring, jala, pancing, keramba, dan lain-lainnya. Jumlah secara total peralatan ini telah mencapai

19.488 pada tahun 2000. Apabila jumlah peralatan dibandingkan dengan dengan jumlah RTP yang sebanyak 12.700 perbandingannya adalah 1 : 1,5 dan angka ini menunjukkan bahwa setiap

RTP tidak hanya mempunyai satu peralatan produksi untuk usaha, tetapi peralatannya lebih dari

satu. Dengan jumlah peralatan lebih banyak disbanding RTP, maka tampak bahwa gambaran

usahanya telah bervariasi dan masyarakat maritim Riau kepulauan dalam berusaha telah mengenal rasionalisasi sehingga tidak merugi dan mereka tidak hanya menggantungkan untuk

dapat memenuhi kebutuhan hidupnya pada satu alat produksi saja.

Apabila di lihat dari pertumbuhan per-alat produksi, dapat tergambarkan juga yang

menunjukkan kemajuan yang cukup berarti bila membandingkannya antara tahun 1998 dengan tahun 2000. Per-alat tangkap pertumbuhannya dapat terlihat sebagai berikut, untuk penangkapan

ikan perubahanya 65,40 %, kemudian kapal motor perubahanya 95,49%, sedangkan motor

tempel perubahanya justru mengalami minus 51,11%, dan untuk perahu tanpa motor perubahanya berubah menjadi 22,05%, yang selanjutnya diikuti juga oleh perubahan keramba yang mengalami 63,28%. Di lihat dari perubahan yang terjadi, ini menunjukkan arah yang

proporsional dan signifikan, karena besarnya prosentase angka perubahan yang terjadi. Dari

perubahan-perubahan ini, justru perubahan yang menarik adalah terjadinya pergeseran alat

produksi motor tempel yang turun ( 51,11%) dengan sebaliknya terjadinya penigkatan kapal motor yang mencapai 95,49%. Berarti di dalam masyarakat maritim memberikan juga gambaran, ada kecenderungan untuk lebih mengefisienkan alat produksi mereka ke arah yang mampu

memberikan pendapatan yang lebih besar, hal ini tercermin dari pergeseran peralatan produksi

yang mereka gunakan. Untuk kegiatan usaha keramba budidaya maritim disekitar Riau kepulauan

ikut menunjukan perkembangan yang cukup berarti, dari 1.054 kantong tahun 1998 telah menjadi 1.721 kantong atau mengalami peningkatan sebanyak 63,28%. Jadi alat produksi di masyarakat

maritim Riau kepulauan, setelah krisis moneter, justru terdorong kearah perkembangan baru.

Fenomena ini cukup menggembirakan bagi masyarakat maritim, karena komoditi maritim ternyata mempunyai kekuatan pasar tersendiri, maka usaha di sector maritim membuktikan ikut

mempunyai prospek yang baik.

3.Produksi

Kegiatan masyarakat maritim di lihat dari di lihat dari produksi ikan yang dapat dihasilkan

dari usaha penangkapan dan budidaya laut, dan budidaya air tawar, tampak dengan jelas

mengindikasikan ada perubahan yang positif bila membandingkan angka produksi th 1998 dengan tahun 2000. Besaran perubahan apabila di lihat secara presentase, gambarannya adalah

sebagai berikut; untuk usaha penangkapan mengalami perubahan 76,08%, sedangkan untuk

budidaya laut perubahanya 203,74%, dan kemudian bagi budidaya air tawar ternyata mengalami perubahan sekitar 40,62%. Dari perobahan secara poresentase tersebut, dapat di ketahui dan

tergambarkan dengan jelas bahwa usaha masyarakat maritim di Riau kepulauan memberikan

prospek yang cukup baik, yaitu ditandai dengan perubahan-perubahan yang bernilai positif.

Usaha kegiatan penangkapan mengalami peningkatan hasil produksi cukup signifikan (76,08%), keadaan tersebut terjadi salah satu penyebabnya karena wilayah ini berdekatan dengan Pusat

kegiatan ekonomi yang transaksi ekonominya cukup tinggi. Akibat dari transaksi ekonomi yang

tinggi tersebut telah ikut mendorong terciptanya pasar-pasar sekunder dan terseir di sector usaha maritim, dan juga mempunyai ampak positif pada sektor usaha penagkapan. Pada tahun 1998

rata-rata harga ikan Tongkol (Eastern little tunas) Rp 5.958, Kembung (Indian mackerels) Rp

8625, Selar (Trevalies) Rp9.625, Tenggiri (Narrow barred king mackerels) Rp 18.717 dan Udang besar segar (Giant tiger shrimp) Rp 52.083 dan Udang kecil (Small shrimp) Rp 21.583.

Keadaan ini bila dibandingkan dengan tahuna tahun 2000 ternyata mengalami banyak perubahan

juga, seperti adanya kenaikan presentase harga ikan, masing-masing untuk Tongkol 37,05%,

Kembung 68,11%, Selar 54,10%, Tenggiri 36,55% dan Udang besar 24,80% dan Udang kecil 38,99%. (BPS Kabupaten Kepulauan Riau, 2000). Penggambaran perubahan yang tercatat di

dalam statistik, ikut memberikan kejelasan penggambaran tentang gerakan ekonomi yang berasal

dari komoditi maritim, yang ternyata sangat memberikan prospek kesejahteraan bagi kehidupan masyarakat maritim. Untuk selanjutnya dengan informasi perubahan harga ikan dan udang

(shrimp) yang positip terhadap gejolak pasar, sehingga dimasa datang tentulah diharapkan secara

signifikan akan ikut mempengaruhi aktivitas usaha untuk berproduksi bagi pelaku usaha maritim.

Tabel 2. Perkembangan Indikator Maritim Kabupaten Kepulauan Riau, Tahun 1998-2000

Indikator Satuan Tahun

1998 1999 2000

Rumah Tangga

Perikanan

1.Penangkapan RTP 8.471 8.740 12.093

2.Budidaya Laut RTP 329 367 551

3.Budidaya Air Payau RTP - - -

4.Budidaya Air Tawar RTP 30 56 56

Alat Produksi 1. Penangkapan Ikan Unit 7.849 9.233 12.983

2. Kapal Motor Unit 2.219 3.904 4.338

3. Motor Tempel Unit 135 149 66

4. Perahu Tanpa Motor Unit 3.654 4.347 4.460

5. Keramba Kantong 1.054 1.202 1.721

Produksi 1. Penangkapan Ton 20.334,9 25.766,0 35.806,8

2. Budidaya Laut Ton 18,1 428,3 449,853

3. Budidaya Air Payau Ton - - -

4. Budidaya Air Tawar Ton 4,800 5,500 6,750

Nilai Produksi 1. Penangkapan Rp. 1000 110.151.600,00 142.381.864,90 212.813.228,00

2. Budidaya Laut Rp. 1000 9.274.800,00 21.767.300,00 21.184.470,00

3. Budidaya Air Payau Rp. 1000 - - -

4. Budidaya Air Tawar Rp. 1000 57.600,00 62.000 6,750

Volume Pemasaran 1. Ekspor Ton 3.239,25 4.419,03 5.674,23

2. Antar Pulau Ton 226,62 421,12 3.810,94

3. Lokal Ton 16.428,02 19.942,98 27.532,36

Nilai Pemasaran

1. Ekspor Rp. 1000 8.831.452,50 14.765.520,00 26.281.028,00

2. Antar Pulau Rp. 1000 1.219.210,00 1.757.342,50 24.169.946,00

3. Lokal Rp. 1000 92.299.302,00 115.582.283,50 160.287.772,00

Pendapatan RTP 1. Penangkapan Laut Rp. 1000 9.102,36 11.171,07 12.318,64

2. Budidaya Laut Rp. 1000 19.733,19 41.518,01 34.878,21

3. Budidaya Air Payau Rp. 1000 - - -

4. Budidaya Air Tawar Rp. 1000 1.344,00 1.510,00 1.742,00

Konsumsi Kg - - 70,53

Tabel 2. Perkembangan Indikator Maritim Kabupaten Kepulauan Riau, Tahun 1998-2000

Indikator Satuan Tahun

Perizinan 1. Penangkapan Ikan Buah 295/108 295/109 304/106

2. Pengumpul atau

Pengangkut

Buah 71/8 59/10 62/12

3. TDKP Buah - 378 150

Kelembagaan Nelayan 1. Jumlah Kelompok Klp 121 129 140

2. Jumlah Anggota Orang 1.278 1.359 1.459

3. Jumlah KUD Buah 9 12 14

4. Jumlah Anggota KUD Orang 4.778 4.838 5.001

Sarana Penunjang 1. Pabrik Es Buah 13 17 17

2. Kapasitas Pabrik Es Ton/HariI - - 86

3. Gold Storage Buah 2 2 2

4. TPI Atau PPI Buah 1 1 1

5. Pelabuhan Maritim Buah - - -

Sumber: Dinas Kelautan Riau Kepulauan,2001

4.Nilai Produksi

Dari produksi yang telah dihasilkan masyarakat maritim dari kegiatan penangkapan dan pembudidayaan ikan, ternyata sector maritim ikut mampu menyumbangkan nilai devisa yang

cukup berarti. Nilai produksi hasil maritim adalah indikator yang dapat memberikan gambaran

tentang besaran volume ekonomi dari sektor maritim. Di lihat dari besaran perubahan presentase

nilai produksi yang terjadi selama kurun waktu antara 1998-2000, untuk berbagai kegiatan usaha adalah sebagai berikut; kegiatan usaha penangkapan mencapai 93,20%, sedangkan budidaya

Laut (Mariculture) ada sebanyak 128,41%, dan kemudian dari budidaya Air Tawar (Freshwater

pond) 32,04%. Maka sumbangan pertumbuhan yang memberikan kontribusi terbesar ada di sektor budidaya laut, karena berdasarkan besaran pertumbuhanya yang cukup tinggi

dibandingkan dengan kegiatan usaha lainnya, seperti penangkapan dan budidaya air tawar. Dari

angka presentase, tampaknya budidaya laut berprospek cukup baik di wilayah maritim Riau kepulauan. Prospek tersebut dipicu dengan makin membaiknya permintaan ikan hidup baik

dipasaran lokal maupun pasar Internasional, seperti Singapura, Hongkong, Thailand, dan

Malaysia serta lain-lain. Angka ekspor ikan hidup memang masih sulit ditentukan, tetapi dari

hasil wawancara dan peninjauan di lapangan memberikan indikasi, budidaya laut semakin diminati masyarakat. Produksi hasil budidaya laut pasarnya tetap terbuka dan lancar. Pasar ini

tetap baik karena pasar ikan hidup mempunyai karakteristik sendiri, dimana kapal pengangkut

ikan hidup secara rutin datang ke pembudidaya untuk membeli ikan-ikan yang dibesarkan oleh pembudidaya ikan laut di dalam keramba jaring apung disekitar kepulauan Riau.

III.PENGUSAHAAN MARITIM Pengusahaan maritim yang dimaksudkan adalah berkenaan dengan kegiatan yang

dilakukan masyarakat maritim dalam upaya pengusahaan sumber daya maritim. Pengusahaan

tersebut adalah melalui kegiatan usaha. Usaha yang dilakukan adalah berkaitan dengan

kemaritiman, dan untuk tulisan ini hanya dibatasi pada kegiatan usaha penangkapan ikan,

pembudidayaan ikan dan pengolahan ikan serta pengaruhnya terhadap pengeluaran pendapatan

masyarakat maritim. Berdasarkan laju pertumbuhan ekonomi atau wilayah secara agregat, dari informasi Bappeda Riau kepulauan tahun 2000 ada gambaran yang memberikan tentang

pertumbuhan yang terjadi. Pertumbuhan rata-rata tahun 2000 adalah sebesar 5,63%, angka ini

lebih tinggi dibandingkan dari tahun 1999 yang hanya 4,20%. Pertumbuhan sebesar tersebut,

adalah merupakan kontribusi dari berbagai sector. Untuk sektor maritim yang diwakili oleh perikanan menyumbang pertumbuhan 4,43%. Riau kepulauan yang luas lautnya, lebih luas dari

daratan, maka kontribusi sektor maritim terhadap perikanan cukup besar atau lebih dari

kesetaraan 3,8 ribu Ton (Dinas Perikanan Kepri, Tahun 2000). Daerah Kecamatan yang paling banyak menangkap atau berproduksi adalah di daerah Senayang sebanyak 7.556,5 Ton, Bintan

Timur 6.773,4 Ton, sedangkan produksi dari Kecamatan lainnya dibawah 5.000 Ton (BPS Kepri,

2000). Adapun daerah ini di lihat dari pendapatan perkapita, baik berdasarkan dari harga yang berlaku maupun atas dasar harga konstan, telah mengalami kenaikan yang cukup berarti. Sebagai

gambaran, pada tahun 1999 “Pendapatan Perkapita” adalah 4,78 Juta Rupiah dan pada tahun 2000

meningkat menjadi 5,20 Juta Rupiah, ini berarti ada kenaikan 7,45%. Bila di lihat dari

Pendapatan Perkapita atas dasar harga konstan 1993, pada tahun 2000 mengalami kenaikan 1,98%, yaitu dari 2.17 Juta Rupiah di tahun 1999 menjadi 2.22 Juta Rupiah pada tahun 2000.

Maka jelas sektor maritim ikut memegang peranan penting dalam mengundang pertumbuhan

ekonomi daerah Riau kepulauan.

1.Pengeluaran Pendapatan Penduduk

Krisis moneter ternyata telah ikut menyebabkan terjadinya pergeseran komposisi pengeluaran pendapatan dari penduduk yang berdiam di Riau kepulauan. Tendensi adanya

pergeseran pengeluaran dapat diketahui dari, tadinya pada tahun 1995 samapi 1998 pengeluaran

bukan hanya untuk pangan, tetapi sejak tahun 1998, walaupun terjadi juga pertumbuhan ekonomi,

pengeluaran ternyata lebih terkonsentrasi hanya untuk memenuhi kebutuhan makanan. Dari angka presentase pengeluaran dapat diketahui, perbandingan komposisi pengeluaran, di tahun

1998 pengeluaran untuk makanan mencapai 68,37%, sedangkan di tahun 1995 pengeluaran untuk

makanan hanya sebesar 63,11%, jadi di lihat dari pengeluaran non pangannya poerbandingannya adalah 31,68% dan 39,67%. Hal tersebut memberikan gambaran bahwa pergeseran pengeluaran

yang cukup besar terjadi setelah krisis moneter, masyarakat lebih mengutamakan untuk makanan

dibandingkan pengeluaran lainya. (BPS Kepri, 2000). Implikasi dari pergeseran pengeluaran ini

tampak pada tahun 2000, adanya stagnasi pembangunan Fisik dan juga banyak pencari kerja yang tidak mampu disalurkan. Pada tahun 2000 perbandingan antara pencari kerja dengan

angkatan kerja yaitu 1:15 yang artinya, dalam setiap 15 orang angkatan kerja terdapat seorang,

dari mereka yang mencari lapangan pekerjaan. Perubahan pergeseran pengeluaran perkapita tersebut jelas memberikan indikator adanya pertumbuhan ekonomi yang belum mampu banyak

mendorong kesejahteraan, yang ditandai dengan besarnya perbedaan antara penawaran dan

permintaan tenaga kerja. Penawaran tenaga kerja sering lebih besar dari permintaan, sehingga tenaga kerja yang dapat di tempatkan jauh lebih sedikit dari pencari kerja. Keadaan ini jelas

masih menjadi beban pembangunan, sehingga harus ada upaya prioritas pengeluaran pendapatan

penduduk bergeser kearah investasi barang dan jasa, sehingga penciptaan lapangan pekerjaan

baru dapat terjadi.

2.Penangkapan Ikan.

Usaha kegiatan penangkapan ikan dalam kenyataanya merupakan bagian kegiatan

masyarakat maritim dalam upaya mereka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Penangkapan ikan memerlukan kelengkapan teknologi yang harus sesuai dengan karakteristik perairan dimana

ikan atau biota laut itu berada. Pada daerah tertentu, penangkapan ikan sering di kaitkan secara

langsung dengan alat produksi yang merupakan peralatan penangkapan yang mereka gunakan

seperti: Penangkap ikan dengan jarring (Nets), pancing (Hook and line), bagan (Raft net) , tangkul atau Serok (Scoop net), bubu (Portable traps) atau lainnya. Di Riau kepulauan masyarakat

maritimnya sering pula mengelompokkan orang (nelayan) sesuai dengan alat tangkap yang

mereka gunakan itu. Pada tahun 2000 secara total peralatan produksi ada sebanyak 12.983 buah.

Disamping dengan peralatan produksi, pengelompokan juga sering dengan pendekatan armada maritim yang digunakan, yaitu yang didasarkan pada besar kecilnya armada, atau kapal atau

perahu yang digunakan. Dari pengelompokan ini tahun 2000 total armada maritim tercatat 8.864

unit yang terdiri dari; dengan pembagian kelompok untuk kapal motor sebanyak 4.338 unit 48,93%, dan kapal motor tempel sebanyak 66 unit 0,74%, serta perahu tanpa motor sebanyak

4.460 unit 50,31%. (Dinas Perikanan, 2001).

Dari hasil beberapa informasi, untuk setiap unit penangkapan, kebutuhan biaya investasinya per unit usaha yang siap di pakai operasi penangkapan untuk kegiatan usaha skala

kecil pada tahun 2000, gambaran umumnya adalah sebagai berikut.

1) Nelayan jaring dengan Kapal motor 7 PK (8 Th).

a. Kasko Rp.3.000.000

b. Mesin 7 PK Rp.1.000.000 c. Jaring 10 Pis Rp.1.500.000

d. Peralatan Lainnya Rp. 750.000

e. Perizinan Rp. 150.000 --------------------

Total Modal Rp.6.400.000

f. Modal Operasi Kerja Rp. 500.000

-------------------- g. Total Kebutuhan Modal Rp.6.900.000

2). Nelayan Pancing Dengan Perahu Tanpa Motor (10 Th)

a. Kasko Rp. 2.000.000

b. Pancing 500 mata Rp. 750.000

c. Peralatan Lainnya Rp. 250.000 d. Perizinan Rp. 75.000

e. --------------------

Total Modal Rp. 3.075.000 f. Modal Opersi Kerja Rp. 300.000

--------------------

g. Total Kebutuhan Modal Rp. 3.375.000

3). Nelayan Bagan. (7 Th).

Nelayan bagan adalah yang menggunakan bagan tancap yang berada disekitar kepulauan Bintan.

a. Kayu untuk Bagan Rp. 5.000.000

b. Paku dan Tali pengikat Rp. 500.000 c. Tenaga kerja pemasangan Rp. 750.000

d. Jaring Bagan Rp. 1.000.000

e. Perahu tanpa motor Rp. 1.500.000 f. Peralatan lainnya (lampu) Rp. 500.000

g. Perizinan Rp. 100.000

-------------------- Total modal Rp. 9.350.000

h. Modal operasi kerja Rp. 250.000

--------------------

i. Total kebutuhan Modal Rp. 9.600.000

4). Nelayan Tangkul (Serok). (15 Th).

Untuk dapat menangkap ikan dengan tangkul dibutuhkan perlengkapan sebagai berikut.

a. Kayu untuk Tangkul Rp. 1.500.000

b. Paku dan Tali pengikat Rp. 200.000 c. Tenaga kerja pemasangan Rp. 250.000

d. Jaring Tangkul Rp. 500.000

e. Perahu tanpa motor Rp. 750.000

f. Peralatan lainnya (lampu) Rp. 150.000 g. Perizinan Rp. 50.000

--------------------

Total modal Rp. 3.400.000 h. Modal operasi kerja Rp. 100.000

--------------------

i. Total kebutuhan Modal Rp. 3.500.000

5). Nelayan Bubu (5 Th)

Nelayan bubu adalah nelayan yang menggunakan alat tangkap utamanya adalah bubu. Pada

sekitar tahun 1990 nelayan masih menggunakan bahan dasar bubu dari bambu dan rotan, tetapi sekarang dengan kawat baja yang dijalin berbentuk kassa, dan ukuran rata-rata per bubu adalah

40 x 60 x 40 m.

a. Bubu siap jadi 10 x Rp.150.000 Rp. 1.500.000 b. Perahu Tanpa Motor Rp. 2.500.000

c. Tali dan Pemberat atau Timah Rp. 500.000

d. Peralatan Lain Rp. 250.000

e. Perizinan Rp. 50.000

Total modal Rp. 4.300.000

f. Modal kerja Rp. 500.000

g. Total Kebutuhan modal Rp. 4.800.000

3. Pembudidayaan Ikan Laut

Pembudidayaan ikan laut di lapangan dapat ditemukan dari kelompok masyarakat nelayan yang mengusahakan pembudidayaan ikan di air laut (Mari Culture), sekarang ini banyak

menggunakan teknik jaring apung. Bahan peralatan jarring apung adalah terdiri dari: jaring, kayu,

tali pengikat, drum kosong (dari plastik atau seng) dan dilengkapi perahu (board), serta pondok

pekerjaan.

Untuk setiap unit usaha, rata-rata kotak jaring apungnya berukuran 3 x4 x 2 m memiliki 3

keramba, dan ikan yang di budidayakan umumnya terdiri dari ikan Kerapu, Napoleon, Kakap merah. Pada tahun 2000, jumlah unit usaha budidaya ikan di laut (Keramba) berjumlah 1.721

unit, jumlah tersebut dimiliki oleh 551 RTP, dengan demikian ini berarti setiap RTP memiliki 3 unit yang setiap unitnya mempunyai rata-rata 3 keramba. Di lihat dari total produksi, ternyata

pembudidaya keramba di laut telah mampu menghasilkan 449,891 Ton, dan nilai yang

dihasilkannya sebesar Rp. 21.184.470.000. Adapun menurut catatatn Dinas Kelautan, pendapatan pembudidayaan ikan laut dengan teknik keramba ini ternyata sebesar Rp. 34.878.210,- (Dinas

Perikanan Riau Kepulauan, 2001). Jadi kegiatan usaha pembudidayaan ikan di laut memberikan

prospek yang mampu pada akhirnya mendorong kesejahteraan masyarakat.

4.Pengolahan Ikan

Sebagai gambaran tentang kegiatan usaha yang dilakukan masyarakat maritim setelah

hasil sumber daya maritim dapat diambil dari habitatnya, missal ikan ikan yang berhasil ditangkap dari penggunaan peralatan produksi, atau dari pembudidayaan ikan. Hasil tangkapan

atau pembudidayaan, sebagian ada yang dijual segar, tetapi ada juga yang membutuhkan

penanganan lebih lanjut, berupa pengolahan. Produk olahan yang diolah oleh masyarakat maritim pada tahun 2000, baik berupa dalam bentuk segar, dikeringkan dengan penggaraman,

menurut (Dinas Perikanan Riau Kepulauan, tahun 2001) hasil masing-masing adalah: segar

sebanyak 20.976,3 Ton, kering/garam ada 13.551,1 Ton dan jumlah produksi ikan olahan Kepri sebanyak 35.806,8 Ton. Kemudian dari jenis-jenis ikan yang diolah mencapai 31 jenis,

diantaranya adalah ikan parang ( 2.198,1 Ton ( 6,13 %), selar 2.059,3 Ton ( 5,75 %), Teri

(Anchovies) 2.482,3 Ton ( 6,93 %), Tembang (Fringescale Sardinella) 2.085,3 Ton ( 5,82 %),

Kembung (Indian Mackerels) 1.404,9 Ton ( 3,92 %), Tenggiri (Narrow barred king mackerels) 2.523,5 Ton ( 7,04 %), Tongkol (Eastern little tunas) 3.493,2 Ton ( 9,75 %), Udang (Shrimp)

1.283,3 Ton ( 3,58 %), Ekor Kuning (Yelow tails) 3.649,9 Ton ( 10,19 %) dan bawal (Pomfret)

1.216,8 Ton ( 3,39 %) dan Jenis ikan lainnya rata-rata dibawah satu Ton. Jadi masyarakat maritim secara budaya mempunyai juga teknologi pemrosesan ikan agar menjadi lebih awet dan

mempunyai nilai ekonomi. Ini adalah pengetahuan spesifik yang dimiliki masyarakat maririm,

dan pengetahuan inilah yang menjamin keberlangsungan masyarakat maritim tetap hidup. Kalau di lihat dari tingkatan teknologi yang digunakan, maka tampak bahwa usaha

pengolahan umumnya masih di golongkan pada usaha tradisional, karena proses teknologinya

masih sederhana dan di lakukan dengan sederhana pula. Alat Bantu pengawetan yang umumnya

digunakan yaitu garam untuk pengolahan kering/garam, dan es untuk mempertahankan kesegaran ikan segar. Kegiatan pengusahaan dapat digolongkan masih dalam skala kecil atau usaha kecil

dan menengah, dan hasil produksinya dijual ke pasar local. Ada sebagian pedagang menjadi

pengumpul yang disebut sebagai pedagang besar, produk dari masyarakat maritim ini kemudian sebagian di ekspor ke singapura, Malaysia atau Hongkong.

IV.EKONOMI MASYARAKAT MARITIM

Sektor maritim di Riau kepulauan, sesuai dengan kondisi geografis wilayah yang perairanya lebih luas dari daratannya, dan terdiri dari pulau-pulau kecil yang tersebar dikawasan

dengan total luas 3.000,13 Km2 mempunyai prospek usaha kegiatan kemaritiman yang cukup

menjanjikan. Masyarakat maritim di Riau kepulauan banyak aktivitas usahanya terkait secara

langsung dengan perairan laut yang mengelilingi pulau-pulau tempat tinggal mereka, maka sektor

maritim adalah salah satu unsur penting yang memberikan kontribusi ekonomi. Pemerintah Daerah telah menjadikan sektor maritim sebagai landasan kuat bagi pertumbuhan ekonominya,

sehingga peran sector maritim menjadi andalan sebagai pemicu utama pembangunan wilayah ini.

Dalam jangka panjang diharapkan dengan adanya kemajuan di sektor maritim, maka

pertumbuhan ekonomi dapat terjadi, sekaligus mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.

Dalam upaya mensejahterakan masyarakat, pendekatan pengaturan sector maririm

didekati dengan mengeluarkan kebijakan fiscal. Tujuan kebijakan yang dibuat karena ada keinginan agar sumberdaya maritim dapat dimanfaatkan dan mensejahterakan masyarakat melalui

perencanaan yang baik. Ketahanan sektor maritim di Riau kepulauan secara kuantitatif

indikatornya menunjukan nilai positif, yang berarti ada pertumbuhan kegiatan ekonomi di sektor maritim. Dari Indikator-indikator Rumah Tangga Perikanan, Alat Produksi, Produksi, Nilai

Produksi, Volume Pemasaran, Nilai Pemasaran dan Pendapatan RTP dari sub sektor kegiatan

usaha penangkapan, budidaya laut, budidaya air tawar, cukup baik. Angka ini didapat dari

perbandingan antara tahun 1998 sampai dengan tahun 2000, kesemuanya menunjukan angka yang meningkat. Maka jelaslah bahwa dari indikator maritim, dapat memberikan prospek bahwa sektor

maritim mampu diandalkan untuk masa depan sebagai penyumbang PAD daerah, apalagi

kelebihan sector maritim karena sifatnya yang dapat diperbaharui. Di lihat dari perhitungan PDRB tahun 2000 Riau kepulauan mengalami pertumbuhan

ekonomi sebesar 5,63% dibanding tahun 1999 yang hanya 4,43%, apabila didasarkan pada harga

konstan 1993. Dari pertumbuhan tersebut maka pendapatan perkapita atas dasar harga yang berlaku dan konstan, juga ikut naik yaitu dari 4,76 Juta menjadi 5,20 Juta, atau mengalami

kenaikan 7,45%. Sumbangan pendapatan ini juga berasal dari sektor maritim, dan jelas peranan

sektor maritim bagi Riau kepulauan makin menjadi penting dan strategis. Secara umum,

walaupun Riau kepulauan mengalami ada perbaikan ekonomi, tetapi kalau ditinjau dari komposisi pengeluaran pendapatan, maka terlihat jelas prioritas pengeluaran masyarakat masih untuk

memenuhi kebutuhan makanan sebesar (68,37%), (Badan Pusat Statistik, 2000). Prosentase

pengeluaran ini menggambarkan juga berarti pertumbuhan belum mampu dalam waktu yang singkat ikut memulihkan kesejateraan masyarakat, sehingga belanja barang dan jasa belum

menjadi menonjol, dengan demikian investasi dibeberapa sector juga ikut masih tersendat.

Gambaran sektor rill maritim yang di lakukan oleh masyarakat maritim melalui kegiatan

usaha penangkapan, pembudidayaan ikan dan pengolahan produk ikan dapat ditunjukan oleh dan dari alat usaha penangkapan yang tercatat sebanyak 12.983 buah dan total armada penangkapan

8.864 buah. Maka sebenarnya keberadaan sektor maritim, sumber dayanya telah mampu

mendukung aktivitas usaha sektor rill maritim melalui berbagi upaya pengusahaan ekonomi, utamanya usaha sektor penangkapan. Adapun usaha sektor pembudidayaan yang berkembang

adalah keramba jaring apung, pada tahun 2000 usaha ini telah mencapai 1.721 unit, dan dimiliki

oleh 551 RTP, dan dari nilai produksinya rata-ratanya/RTP mencapai Rp 34.878.210. Sektor pengolahan produk juga ikut berkembang, khususnya dari hasil kegiatan usaha penangkapan, dan

total produksi olahan baik segar ataupun pengeringan/garam mencapai 35.806,8 Ton. Sektor

maritim ternyata memberikan sumbangan ekonomi yang cukup signifikan dalam perekonomian

Riau kepulauan. Masyarakat nelayan sebagai pelaku utama usaha kegiatan di sektor maritim menanggapi dengan positif kebijakan pemerintah di bidang ekonomi sepanjang diterapkan secara

adil dan terbuka, mereka menyadari kemajuan Riau kepulauan juga menjadi bagian tanggung

jawab mereka sebagai bagian dari penduduk yang berdiam dan hidup di daerah ini. Upaya pengoptimalan implementasi program pemanfaatan sumberdaya maritim yang

secara pengelolaan terbagi oleh tiga legalitas, yaitu di tingkat Nasional, di Propinsi dan

Kabupaten, di lapangan masih menemui berbagai hambatan teknis. Hambatan yang terjadi karena kewenangan di Propinsi dan Kabupten ada juga terjadi tumpang tindih. Untuk itu perlu ada

kesamaan paradigma pelaksanaan program pembangunan sesuai dengan kewenangan masing-

masing sehingga pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya melalui kebijakan ekonomi tidak

membahayakan kelestarian sumberdaya itu sendiri dan akhirnya mampu mensejahterakan masyarakat.

V. PENUTUP

Riau kepulauan adalah wilayah yang bercirikan kepulauan dan luas daratannya lebih sedikit dibanding perairan lautnya, daerah ini mempunyai sumberdaya maritim yang secara

pontensial dapat diandalkan untuk menopang kesejateraan masyarakat maritim dan masyarakat

pada umumnya. Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya maritim harus didasari oleh prundang-undangan dan peraturan yang jelas, terutama dalam hal kebijakan ekonomi, sehingga kehilangan

pendapatan dari sektor maritim yang dapat berkelanjutan mampu dihindari, karena kebijakan

didukung oleh masyarakat penggunanya (Stakeholder). Pengaruh krisis moneter di sektor maritim tidak tampak menghambat pertumbuhan ekonomi usaha kegiatan masyarakat nelayan, hal ini

tercermin dengan masih adanya kecenderungan peningkatan kegiatan usaha penangkapan,

pembudidayaan dan pengolahan produk. Nilai kurs Dollar yang berfluktuasi meningkat, justru

memberikan nilai tambah tersendiri pada komoditi maritim, harga udang (shrimp) dan kerapu hidup naik mengikuti kenaikan kurs Dollar di pasar Internasional. Perkembangan indikator

maritim dari RTP, alat produksi, produksi, nilai produksi, volume pemasaran, nilai pemasaran,

pendapatan RTP, perizinan dan kelembagaan kesemuanya dari tahun 1998 sampai dengan tahun 2000 menunjukan trend yang meningkat, maka dapat dikatakan performance ekonomi maritim,

berdasarkan indikator yang ada, tetap memberikan prospek yang cerah dan dapat diandalkan

sebagai pendukung utama kesejahteraan. Berdasarkan PDRB, pendapatan regional dan pengeluaran pendapatan penduduk pertumbuhan ekonomi rata-rata pada tahun 2000 sebesar

5,63% lebih tinggi dibandigkan tahun 1999 atas dasar harga konstan tahun 1993. Gambaran

dilapangan tentang performance kegiatan usaha maritim dapat di lihat dari diversifikasi bidang

usaha yang terdiri dari penangkapan, budidaya ikan laut (keramba), pengolahan produksi hasil tangkapan. Bidang-bidang usaha ini diketahui masyarakat maritim tetap bertahan, dan keberadaan

kegiatan usaha tersebut ditandai oleh kemampuannya menghasilkan produksi dan nilai produksi.

Jadi masyarakat maritim dalam praktek yang lebih luas terkait juga dengan system pemerintahan. Oleh karena itu untuk mendapatkan gambaran yang lebih komprehensip, maka perlu dipahami

dengan utuh batasan pengertian masyarakat maritim. Pengertian yang dianut selama ini, tersirat

makna bahwa masyarakat maritim itu di identikkan dengan nelayan, yang di maknai

pengertiannya tidak lebih hanya sebagai orang yang mencari ikan di laut atau biota lainnya. Batasan ini memberi paradigma bahwa nelayan adalah tidak lebih hanya sebagai tenaga kerja,

bukan dalam kontek bagian dari sistem kemasyarakatan maritim. Masyarakat maritim sebenarnya

lebih menitik beratkan pada pengertian pendekatan sistem kemasyarakatan maritim yang sumber penghidupannya berbasiskan kemaritiman, sehingga masyarakat yang terbentuk adalah

masyarakat yang berbudaya dan bersosial berbasis perairan, yang berekonomi, yang berhukum,

yang berteknologi dan yang berpengetahuan spesifik mengikuti hukum-hukum kemaritiman. Nelayan adalah sebutan orang yang kehidupannya sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh

lingkungan perairan, sehingga nelayan adalah orang yang mengerti kemaritiman, keilmuan

maritim, keteknologian maritim, kebudayaan dan kesosialan maritim, hukum-hukum kemaritiman

dan ekonomi kemaritiman. Oleh karena itu nelayan yang dimaksudkan adalah sub kelompok masyarakat maritim yang bekerja menangkap atau membudidayakan ikan, sedangkan sub-sub

kelompok masyarakat nelayan lainnya dapat di lihat sebagai pengolah hasil tangkapan, dan

pembuat sarana kemaritiman, pengangkut barang dan orang dengan perahu atau kapal, pemandu wisata bahari, penyelam atau perenang, pekerja tambang bawah laut, seniman, pemangku adat

dan lain-lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Dinas Perikanan Propinsi Riau, 2001. Laporan Pelaksanaan Tugas Sub Dinas Pengolahan Dan

Pemasaran Hasil, Pekanbaru.

Badan Pusat Statistik, 2000. Riau Dalam Angka, di Propinsi Riau.

Badan Pusat Statistik, 2000. Kepulauan Riau Dalam Angka. Kerjasama Bappeda dan Badan Pusat

Statistik Kabupaten Kepulauan Riau.

Dinas Perikanan , 2001. Laporan Tahunan Dinas Perikanan Kabupaten Kepulauan Riau, Tanjung

Pinang.

BAB IV

MASYARAKAT MARITIM BENGKULU SELATAN

I. PENDAHULUAN

Sebagai konsekuensi logis berlakunya undang-undang No. 22/1999 dan Undang- undang

No. 25/1999 serta PP. No. 25/2000, maka Kabupaten Bengkulu Selatan mengubah paradigma

pembangunannya ke arah paradigma pembangunan baru. Arah perubahan adalah mendasarkan dan mengandung semangat desentralisasi, berpola pendekatan wilayah, serta berorientasi pada

pengembangan keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Kebijakan pembangunan

pemerintah Kabupaten Bengkulu Selatan berpedoman pada pernyataan kehendak masyarakat, hal ini menunjukkan pembaharuan disegala bidang, terutama sektor ekonomi, politik, hukum serta

agama dan sosial budaya sebagai upaya penanggulangan krisis. Oleh karena itu strategi

pembangunannya adalah; penyelamatan pembangunan ekonomi kerakyatan, mengatasi

kemiskinan, menciptakan lapangan kerja baru dan perluasan lapangan kerja serta menjaga hubungan harmonis terhadap tugas-tugas dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Adapun untuk

meningkatkan pendapatan daerah yaitu melalui kebijakan fiskal, berupa penarikan pajak dan

retribusi yang dibuat melalui Peraturan Daerah. Kebijakan ini menjadi sangat penting, karena itu harus juga mempertimbangkan azas keadilan, dan akhirnya diharapkan mampu melakukan

peningkatan kesejahteraan masyarakat dan penjaminan pembagian pendapatan secara merata.

Pembangunan daerah Kabupaten merupakan bagian integral dari pembangunan nasional dan pembangunan Propinsi, yang antara lain bertujuan untuk meningkatkan taraf kesejahteraan

masyarakat secara berkelanjutan, sehingga dicapai suatu kehidupan masyarakat yang adil dan

makmur. Sektor maritim adalah bagian integral pembangunan daerah yang sangat penting, karena

itu pemerintah Kabupaten bersama-sama masyarakat maritim mendorong perekonomian daerah untuk menjadi menjadi lebih baik. Peran pemerintah menyediakan dan mengembangkan sarana

dan prasarana pembangunan, seperti dermaga, pelabuhan, jalan, listrik. Adapun peran masyarakat

sebagai partisipasi pada kegiatan pembanguna sektor maritim, hal ini dicerminkan dari kontribusinya pada pembentukan pendapatan asli daerah melalui kebijakan fiskal daerah.

Sehubungan dengan hal-hal tersebut maka tulisan ini akan meninjau hal-hal yang berkenaan

dengan; faktor produksi maritim yang meliputi penangkapan, pembudidayaan dan pengolahan, serta pengusahaan maritim dan ekonomi masyarakat maritim. Dan kemudian diharapkan tulisan

ini sedikit memberikan gambaran terhadap kegiatan masyarakat maritim yang ada di Kabupaten

bengkulu Selatan.

Keadaan Umum.

Kabupaten Bengkulu Selatan adalah bagian dari wilayah Propinsi Bengkulu yang secara

administrasi dibatasi oleh : - Sebelah Utara berbatasan dengan Kodya Bengkulu, Sebelah Timur dengan Propinsi Sumatera Selatan, sebelah selatan dengan Propinsi Lampung dan sebelah barat

dengan Samudera Indonesia. Luas wilayah Kabupaten Bengkulu Selatan adalah 594.914 Ha.

(5.949.14 Km2) yang diairi + 60 sungai besar dan kecil yang hulunya berada disisi Bukit Barisan

dan mengalir ke Barat Samudera Indonesia dan beriklim tropis yang dipengaruhi angin pesat dengan kecepatan rata-rata 10 km/jam dan bersuhu rata-rata antara 25

0C dengan maksimum 31.4

0

C s/d 32.50C, serta kelembabannya rata-rata 80%. Penduduk yang berdiam di Kabupaten

Bengkulu Selatan pada tahun 1999 tercatat 366.094 jiwa, penduduk laki-laki 183.709 jiwa sedangkan perempuan 182.385 jiwa, adapun kepadatan jiwa/km

2 adalah 62.62 orang.

Sumberdaya manusia dapat di lihat dari struktur umur penduduk dimana proporsi penduduk usia

produktif semakin meningkat dan gambaran angkatan kerja tyang mencari kerja menurut kelompok pendidikan pada tahun 1999 adalah SLTP 25 orang, SLTA 150 orang, Sarmud/DPL

82 orang dan Sarjana 186 orang. Dari peraturan Daerah Bengkulu Selatan No. 6 Tahun 1996,

tanggal 26 Agustus 1996, Tentang Rencana Umum Tata Ruang, penggunaan, pemanfaatan ruang

dibagi dua kawasan, yaitu budi daya dan non budi daya dengan pembagian untuk: a.). Kawasan

Budidaya 421.414 Ha. yang terdiri dari; 1.Perkebunan 146.687,50 Ha. 2. Lahan Basah 85.250 Ha. 3. Lahan Kering 173.477,50 Ha, dan 4. Maritim laut/tambak 15.999 Ha. Dan untuk b). Adalah

kawasan Non Budidaya seluas 173.500 Ha. (Bappeda, 2000).

Wilayah pembangunan perikanan darat ada di satuan wilayah pembangunan (SWP II)

yang berpusat di kota Tais (Kecamatan Seluma, Kecamatan Mas Mambang, dan Kecamatan Talo). Sedangkan di SWP III yang berPusat di kota Bintuhan, pembangunan maritim menjadi

titik berat pembangunannya. Untuk merealisasikan pembangunan di wilayah masing-masing

daerah sangat ditentukan oleh factor iklim, fisik wilayah, dan sosial budaya. Permasalahan pembangunan yang banyak dihadapi di sektor maritim, ketiga faktor tersebut diatas masih sangat

berperan, sehingga perkembangannya sangat lamban. Kegiatan ekonomi yang berbasiskan

maritim ternyata belum menjadi andalan, walaupun potensi kemaritiman begitu besar, pilihan kegiatan masyarakat masih lebih mengutamakan berbasiskan daratan. Tampaknya pilihan tersebut

sangat beralasan, karena luas daerah di lihat dari ketinggiannya antara 0 – 25 m hanya 68.868 km2

(11.58%) kalau dibandingkan dengan dengan total luasan 594.10 km2. Sebagai gambaran dapat

di lihat pada Tabel. 1 yang menyajikan data luas daerah menurut ketinggian berdasarkan Kecamatan.

Tabel 1. Tabel Luas Daerah Menurut Ketinggian Per Kecamatan di Kabupaten Bengkulu

Selatan Tahun 2000 (Km2)

Kecamatan 0 – 25 m 25-100 m 100-500 m 500-1000 1000 m+ Jumlah

1. Kaur Selatan 2. Nasal

3. Maje 4. Kaur Tengah 5. Kinal 6. Kaur Utara 7. Tj. Kemuning 8. Manna 9. Kota Manna 10. Kedurang

11. Seginim 12. Pino 13. Pino Raya 14. Talo 15. S. Alas 16. S. Alas Maras 17. Seluma 18. Sukaraja

1.675 775

2.075 650 250

0 2.400 1.862 2.250

0

0 0

3.280 14.400

1.200 6.065 9.584

22.400

6.210 8.450

5.000 6.950 3.350

19.675 1.525 4.264 6.132 8.900

8.992 4.800

19.920 17.152 22.938

240 24.010 14.400

6.479 12.800

11.200 14.000 11.380 12.710

0 0 0

9.890

9.250 17.600 4.630

14.500 14.929

0 15.025 12.800

227 17.600

14.400 12.800 4.800 9.400

0 0 0

4.800

2.800 1.600

400 9.450

10.150 0

13.200 9.600

519 16.000

8.000 6.400

0 18.600

0 0 0

7.000

200 0 0

3.700 3.500

0 500 300

15.110 55.625

40.675 40.800 19.780 60.385

3.925 6.126 8.382

30.590

21.242 24.000 28.230 59.202 52.717

6.305 62.319 59.500

Jumlah 68.866 182.908 167.193 111.227 64.719 549.913

0.115758 0.307453 0.2810377 0.186963 0.108787335 1

Persentase 11.57581 30.745434 28.103773 18.69635 10.87873353 100

Dari data dalam tabel, ternyata daerah potensial yang berhadapan langsung dengan

maritim adalah Kecamatan Tolo, Semidang Alas Maras, Seluma dan Sukaraja. Untuk pengembangan kawasan maritim dapat dilakukan di Kecamatan Talo dan Sukaraja. Kecamatan

ini mempunyai rata-rata jumlah anggota rumah tangga untuk wilayah Kecamatan; Talo (4.3 = 51

jiwa per km.2), Semidang Alas Maras (4.4 = 71 jiwa per km.

2), Seluma (4.1 = 64 jiwa per km

2),

dan Sukaraja (4.0 = 77 jiwa per km2), yang kesemuanya masih sangat jarang. Dari kenyataan

yang ada maka sektor maritim masih menghadapi berbagai kendala untuk dapat

mengembangkannya.

II. FAKTOR PRODUKSI

Faktor produksi yang dimaksudkan pada tulisan ini adalah faktor-faktor yang ikut mempengaruhi kegiatan ekonomi masyarakat maritim yang terbatas pada kegiatan penangkapan

perikanan dalam upaya mereka memenuhi kebutuhan hidupnya. Faktor produksi tersebut meliputi

sarana dan peralatan penangkapan ikan di laut, peralatan pembudidayaan ikan dan proses

pengolahan produk maritim.

1.SaranaTangkap

Sarana tangkap adlah perangkat keras yang membantu atau memfasilitasi kegiatan penangkapan ikan sejak dari persiapan di darat hingga mendaratkan kembali hasil tangkapan

ikannya. Kalau memperhatikan kesungguhan program pembangunan di sector maritim, yang

terealisasi sampai dengan tahun 2000, ternyata jumlah tempat pelelangan ikan (TPI) yang telah menjadi binaan Dinas Kelautan dan Perikanan ada sebanyak 16 unit. TPI tersebut tersebar di

berbagai Kecamatan yang ada kegiatan maritimnya, khususnya disekitar kegiatan maritim

tangkap. Kalau mempelajari data yang diterbitkan oleh Bengkulu Selatan dalam angka tahun

2000, ternyata dapat diketahui, Pusat-Pusat kegiatan maritim yang banyak aktifitasnya ada di; Kecamatan Kaur Selatan 3 (tiga) TPI, juga di Semidang Alas Maras dengan 2 (dua) TPI,

sedangkan di Kecamatan lainnya hanya satu TPI.

Tabel 2: Nama-Nama Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Berdasarkan

Kecamatan di Kabupaten Bengkulu Selatan, Tahun 2000

Kecamatan TPI Desa/Kelurahan

1. Kaur Selatan 2. Nasal 3. Maje 4. Kaur Tengah

5. Kinal 6. Kaur Utara 7. Tanjung Kemuning 8. Manna 9. Kota Manna 10. Kedurang 11. Seginim 12. Pino 13. Pino Raya

14. Talo 15. Semidang Alas 16. Semidang Alas Maras 17. Seluma 18. Sukaraja

W. Hawang Pasar Lama

Sekunyit

Merpas Linau

Tj. Padan

Mentiring

Tanjung Bulan

Pasar Bawah Sulau

Pasar Pino

Pasar Talo

Maras-maras Padang Bakung Pasar Seluma Pasar Ngalam

W. Hawang Pasar Lama

Sekunyit

Merpas Linau

Padang Baru

Mentiring

Tj. Bulan

Ps. Bawah Air Sulau

Pasar Pino

Pasar Talo

Talang Alai Padang Bakung Pasar Seluma Pasar Ngalam

Jumlah 16 TPI

Dengan banyaknya TPI yang ingin dikembangkan oleh Dinas Kelautan dan

Perikanan, sebenarnya tertumpu harapan bagi daerah bahwa sektor maritim dapat menjadi andalan ekonomi daerah. Permasalahan yang dihadapi bagi daerah dan dianggap cukup berat,

adalah kenyataan sarana dan prasarana yang telah dibangun tidak tahan lama. Ketidak tahanan

tersebut disebabkan oleh topografi daerah yang labil dan bersamaan dengan itu juga karena besarnya arus dan gelombang pantai barat. Gelombang besar ini terjadi karena berhadapan

langsung dengan samudera Indonesia, dan akibat lebih lanjut menyebabkan beban biaya

pemeliharaan dan pembangunan menjadi sangat besar dan berat. Berdasarkan kenyataan di

lapangan, pada beberapa tahun terakhir, ada beberapa TPI tidak dapat difungsikan lagi karena tergusur oleh gelombang atau kadang-kadang posisi tempat pendaratan terpaksa berpindah tempat

karena adanya perobahan pola arus air laut.

2.Armada Penangkapan Luas daratan pantai Kabupaten Bengkulu Selatan adalah 68.866 km

2 dengan rata-rata

kepadatan armada penangkapan per-km2 untuk setiap 1 unit armada penangkapan di setiap

Kecamatan antara 9 – 2,489 km2. Maka tampak jelas tentang ketidak merataan jumlah armada

pada setiap Kecamatan yang ada di Bengkulu Selatan, keadaan seperti itu dengan demikian

merupakan kendala tersendiri bagi pemberdayaan daerah maritim. Kepadatan armada

penangkapan yang sangat jarang ini kalau juga dibandingkan dengan rata-ratanya luasan pantai, maka ternyata setiap 1 unit armada memiliki 91 km

2. Dari perbandingan ini, maka dapat

dikatakan bahwa Kabupaten Bengkulu Selatan masih memberikan peluang untuk menambah

armada penangkapannya, apalagi setiap armada hanya mampu menampung volume 23.134 kg

saja. Hal ini juga mengandung arti produktivitas kapasitas armada terpasang dibandingkan dengan luasan pantainya masih sangat rendah untuk setiap km-nya.

Tabel 3: Tabel Banyaknya Perahu/Kapal Penangkap Ikan Per Rataan Luas Pantai

di Kabupaten Bengkulu Selatan Th. 2000 Kecamatan Perahu/Kpl

Tidak Bermotor

Motor Tempel

Kapal Motor

Jumlah Luas Pantai

Rata2/ Luas (km2)

1. Kaur Selatan 2. Nasal 3. Maje

4. Kaur Tengah 5. Kinal 6. Kaur Utara 7. T. Kemuning 8. Manna 9. Kota Manna 10. Kedurang 11. Seginim

12. Pino 13. Pino Raya 14. Talo 15. Semidang Alas 16. S. Alas Maras 17. Seluma 18. Sukaraja

50 8 14

25 16 0 34 0 2 3 0

0 18 73 0 25 10 9

118 22 27

18 13 0 12 200 116 4 0

0 16 40 0 39 9 0

7 0 0

0 0 0 0 0 0 0 0

0 0 0

150 0 0 0

175 30 41

43 29 0 46 0

118 7 0

0 34

113 0 64 19 9

1.675 775

2.075

650 250 0

2.400 1.862 2.250

0 0

0 3.280 14.400 1.200 6.065 9.584 22.400

10 26 51

15 9 0 52 9 19 0 0

0 96 127 8 95 504

2.489

Jumlah 287 434 7 728 66.416 91

Rata2 kapasitas/Kg. 1.500 2.000 3.000 7.000 23.134

Total Kapasitas 430.500 1.085.000 21.000 1.536.500

*) Angka yang diolah

Berdasarkan informasi yang tersedia, jumlah total kapasitas terpasang sebanyak

1.536.500 kg atau rata-rata kapasitas 7000 kg saja. Apabila di lihat per armada, untuk yang tidak

bermotor 430.500 kg atau rata-rata kapasitas 1.500 kg, motor Tempel (Out board motor)

1.085.000 kg atau rata-rata kapasitasnya 2.000kg dan kapal Motor (In board motor) hanya 21.000 kg dengan rata-rata kapasitas 3.000 kg. dan apabila total kapasitas terpasang dibandingkan

dengan luasan pantainya, maka ternyata setiap km2 potensi eksploitasinya baru 23.134 kg.

Memperhatikan sifat maritim yang dapat diperharui, sebenarnya realisasi produksi yang dapat dihasilkan dengan mengekploitasi sumber daya alam yang masih tersedia amatlah menjanjikan

untuk dimasa yang akan datang, tetapi perlu keseriusan prencanaan yang rasional dan terintegrasi.

Dari perkembangan armada periode tahun 1996 – 2000 ternyata tidak mengalami lonjakan yang

berarti, dimana pada tahun 1996 (620), 1997 (679), 1998 (570), 1999 (693), dan 2000 (728), maka deretan angka tersebut menggambarkan armada penangkapan di Bengkulu Selatan

perkembangannya relatif lambat. Perkembangan yang lambat tersebut banyak disebabkan karena

pantainya curam dan bergelombang besar, lautnya adalah laut lepas, sehingga tempat pendaratan

ikan sulit dikembangkan, hal tersebut menyebabkan resiko penangkapan nelayan menjadi besar, dan faktor tersebut mengakibatkan masyarakat maritim enggan mengembangkan dirinya.

3. Perikanan Budidaya Perikanan budidaya di Bengkulu Selatan kegiatan usahanya adalah terbagi pada pada

perairan umum (Inland open freshwater) 4.505 Ha, Kolam (Freshwater pond) 856 Ha, Sawah

(Paddy field) 352 Ha, sedangkan Tambak (Brackis water) Baru 5 Ha, sedangkan Keramba ( Inponding net culture) belum ada. Sebagaimana dalam Tabel 4. dapat terlihat luasan usaha

perikanan daratnya sebagai berikut.

Tabel 4: Luas Usaha Perikanan Darat Berdasarkan Kecamatan

di Kabupaten Bengkulu Selatan Tahun 2000 Kecamatan Perairan

Umum (Ha) Kolam (Ha)

Sawah (Ha) Tambak (Ha)

Keramba (Ha)

Jumlah

1. Kaur Selatan 2. Nasal

3. Maje 4. Kaur Tengah 5. Kinal 6. Kaur Utara 7. T. Kemuning 8. Manna 9. Kota Manna 10. Kedurang

11. Seginim 12. Pino 13. Pino Raya 14. Talo 15. Semidang Alas 16. Semidang Alas Maras 17. Seluma 18. Sukaraja

91 59.6

76 217.6

183 213.1

138 116 82

373

515 175 162 137 179 120

1.226 440

3 2

2 7 5 8

13 26 32

129

193 216 121 19 14 12 59 5

2 1

2 3 1 2 4

19 18

137

129 12 8 3 4 2

66.05.0 5

0 0

0 0 0 0 0 0 0 0

0 0 0 0 0 0 0 5

0 0

0 0 0 0 0 0 0 0

0 0 0 0 0 0 0 0

96 63

80 228 189 223 155 161 132 639

827 403 291 159 197 134

1.285 455

Jumlah 4.505 856 352 5 0 5.718

2000 4.504.50 856.4 41803 5 0

1999 4.496.00 553 415.1 0 0

1998 4.542.00 532 421 0 0

1997 4.698.00 535 296.6 0 0

1996 4.483.00 535 409.6 0 0

Luas usaha perikanan budidaya sebanyak 5.718 Ha, dan dibandingkan dengan luas daratannya yang 594.913 km

2 adalah sangat kecil, yaitu hanya 0.000961 % saja, jadi sangatlah

kecil sumber daya yang diusahakan tersebut. Daerah yang mempunyai kegiatan usaha perikanan

darat yang potensial adalah Kecamatan Kaur Tengah (217.6 Ha), Kaur Utara (213.1 ha), Kedurang (373 Ha), Seginim (515 Ha), Seluma (1.226 Ha) dan Sukaraja (440 Ha). Maka tampak

dengan jelas kegiatan usaha perikanan pembudidayaan, masyarakat maritim di daerah ini masih

tergolong ketinggalan dibandingkan dengan daerah lainnya. Jadi masyarakat perlu pendorongan

tentang potensi ekonomi yang tersedia dari sector pembudidayaan. Apabila potensi ini termanfaatkan dengan baik, yaitu dari teknik budidaya, social kemasyarakatan, pemasaran dan

pengaruh dari aspek budaya, maka realisasi potensi tersebut dapat ikut mensejahterkan

masyarakatnya.

4. Pengolahan Produk Kegiatan usaha masyarakat maritim yang ada di kawasan pesisir dan dekat sungai di

daerah Kabupaten Bengkulu Selatan belum banyak di lakukan. Kegiatan usaha pengolahan

produk dari ikan dan biota laut lainnya, baik melalui hasil tangkapan yang di lakukan masyarakat

maritim, di daerah ini belum menjadi kegiatan usaha utama sebagai sumber penghidupan keluarga, karena itu usaha industri produk maritim pada skala rumah tangga maupun skala

menengah belum ada. Indikasi bahwa kegiatan usaha ini belum menjadi kegiatan usaha utama

dapat diketahui di dalam statistik Bengkulu Selatan Dalam Angka 2000, yaitu belum ditemukan adanya data-datanya. Pengolahan produk dari hasil maritim untuk wilayah pesisir di Bengkulu

Selatan akan dapat dikembangkan, apabila hasil penangkapan dapat ditingkatkan lagi. Tetapi

peningkatan tersebut mengalami kesulitan, termasuk juga diversifikasi produknya. Memperhatikan luasan kawasan dengan panjangnya garis pantai yang dimiliki dan lautan yang

langsung ke ZEE, sebenarnya daerah ini memiliki potensi besar untuk usaha sektor penangkapan.

Kalau potensi itu termanfaatkan dengan baik, maka usaha pengolahan produk hasil maritim juga

dapat didorong, karena ketersediaan hasil tangkapan ikan laut yang secara terus menerus dapat diadakan. Dari kenyataan-kenyataan yang ada, terlihat dengan gambling bahwa usaha

penangkapan skala menengah ke atas yang sesuai untuk di kembangkan. Agar perkembangan itu

dapat terwujut, tentulah perlu ada dorongan intensif kebijakan spesifik yang mampu membuat pengusaha penangkapan ikan di laut dapat bersaing dan menguntungkan.

III.PENGUSAHAAN MARITIM Pengusahaan maritim yang dimaksudkan pada tulisan ini adalah hanya memberikan

penggambaran tentang kegiatan masyarakat maritim dalam upaya mereka memenuhi kebutuhan

hidupnya melalui kegiatan usaha di sub kegiatan perikanan. Adapun cakupan ulasan yang

dikemukakan hanya terbatas pada kegiatan usaha maritim, perikanan laut, perikanan darat dan pengolahan produk maritim. Dari penggambaran yang ada, diharapkan ada pemahaman bahwa

sektor maritim tidak hanya diartikan sebagai orang yang berkecimpung di air, tetapi maritim

memberikan kehidupan bagi manusia, karena itu sumber daya maritim akan termanfaatkan bagi kehidupan manusia apabila dimengerti dengan baik tentang kharakterisitk kemaritiman tersebut.

Dengan demikian ilmu yang diperlukan haruslah mencakup berbagai bidang yang berbasiskan

kemaritiman, seperti teknologi yang berbasiskan maritim atau perairan, sifat-sifat produk yang

dihasilkan, aspek-aspek ekonomi yang sesuai dengan kemaritiman, aspek sosial dan budaya yang berlaku bagi masyarakat maritim. Jadi pengusahaan maritim merupakan upaya penggabungan

dari berbagai bidang yang diperlukan yang terkait dengan kemaritiman.

1. Kegiatan Usaha Maritim

Usaha maritim adalah kegiatan ekonomi yang berbasiskan kemaritiman. Dalam hal ini

kegiatan usaha tersebut dibatasi pada penangkapan ikan yang dilakukan oleh anggota masyarakat maritim. Usaha kegiatan penangkapan ikan di laut di Bengkulu Selatan tergolong masih belum

berkembang, keadaan ini dapat di lihat dari teknologi yang dipakai yaitu masih tradisional. Ciri

ketradisionalan yaitu armada penangkapannya yang kebanyakan masih berupa perahu tidak

bermotor lebih banyak, sedangkan yang bermotor berukuran kecil jumlahnya mendominasi. Alat tangkap yang digunakan berupa jaring, di lihat dari ukurannya juga tidak terlalu besar, dan jenis

jaring yang banyak digunakan adalah gill net, pancing dan jaring udang (shrimp). Di lihat dari

kapasitas rata-rata untuk perahu/kapal tidak bermotor baru 1.500 kg, dan motor tempel 2000 kg, sedangkan untuk kapal motor 3000 kg. Jadi dari gambaran kemampuan yang ada, maka upaya

yang di lakukan masyarakat maritim masih minim sekali. Kalau membandingkan dengan usaha

perikanan budidaya, juga menunjukkan usahanya masih terbatas, keterbatasannya dapat di lihat dari skala usaha yang masih setingkat rumah tangga. Adapun untuk usaha industri pengolahan

yang bahan bakunya berupa ikan dari hasil tangkapan di laut, menampakkan juga belum

berkembang optimal.

2. Perikanan Laut

Usaha penangkapan dengan perahu/kapal yang tidak bermotor dan kapal di Bengkulu

Selatan gambaran pengusahaannya adalah sebagai berikut. Untuk dapat berusaha di kegiatan penangkapan, persyaratan yang harus dipenuhi adalah: 1) ada investasi terhadap sarana

penangkapan, 2) biaya operasi penangkapan, 3) administrasi izin usaha perahu motor/kapal

maritim (Perda No. 16 Tahun 2001), 4) melakukan pelelangan hasil penangkapan di tempat Pelelangan Ikan (TPI) berdasarkan (Perda No. 15 Tahun 2001) dan membayar retribusi di TPI.

Kegiatan usaha penangkapan dapat dikelompokkan menurut jenis armadanya.

Berdasarkan data yang tersedia dari hasil wawancara bulan April 2002, didapat informasi, untuk setiap unit penangkapan biaya investasi per unit usaha armada penangkapan adalah di dalam

Tabel. 5 sebagai berikut:

Tabel. 5. Biaya Investasi Armada Penangkapan Tradisional Per-Unit

di Bengkulu Selatan, Tahun 2000

Armada Penangkapan Investasi

P/KTM (Rp) MT (Rp) KM (Rp)

A. Investasi

a. Kasko b. Mesin c. Jaring d. Pancing e. Perizinan f. Modal operasi g. Lain-lain

Total

2.500.000 -

1.250.000 500.000

- 250.000 50.000

4.550.000

3.500.000 1.000.000 2.000.000

500.000 40.000

300.000 75.000

7.415.000

8.000.000 4.000.000 3.000.000

500.000 100.000

1.000.000 150.000

16.750.000

B. Biaya Operasional a. Oli/Bensin b. Rokok c. Ransum d. Cadangan

Total

-

15.000 15.000

5.000 35.000

17.500 15.000 15.000 10.000 57.500

50.000 20.000 25.000 25.000

120.000

Total Kebutuhan Biaya 4.585.000 7.472.500 16.870.000

Melihat jumlah total biaya investasi per unit usaha berdasarkan jenis armada

penangkapannya, maka usaha penangkapan membutuhkan investasi yang cukup besar, terutama

bagi masyarakat maritim yang tingkat pendapatannya masih rendah, biaya ini masih dianggap sangat memberatkan. Dengan kondisi lingkungan ekologi laut yang berombak besar dan

berhadapan langsung dengan laut lepas, jelas kegiatan usaha penangkapan di daerah pantai Barat

sangat sulit berkembang atau dikembangkan. Agar masyarakat maritim mampu mengembangkan

diri diusaha penangkapan, jelaslah bantuan peranan pemerintah menjadi penting, dan juga sangat perlu mempunyai program bantuan berbasiskan kebutuhan masyarakat penangkap ikan. Seperti

perkreditan khusus nelayan, sarana penunjang tempat pendaratan, jalan dan pasar ikan yang

dilengkapi air bersih, es dan sarana transportasi khusus ikan dan hasil perairan.

3. Perikanan Darat

Usaha perikanan darat, terutama yang di lakukan di perairan umum, kolam, sawah dan

tambak masih sangat terbatas. Usaha yang ada belum berkembang dengan baik, umumnya berada di perairan umum dan kolam. Sampai saat ini, daerah yang banyak mengusahakan perikanan

perairan umum terdapat di daerah Kecamatan Kaur Tengah (217.6 Ha), Kaur Utara (213.1 Ha),

Kedurang (373 Ha), Seginim (515 Ha), Seluma (1.226 Ha) dan Sukaraja (440 Ha). Adapun

pengusahaan di kolam (Freshwater pond) masih tergolong sedikit, yang cukup maju hanyalah di Kedurang (129 Ha), Seginim (183 Ha) dan Pino (121 Ha). Kalau usaha perikanan ini di lihat dari

kemampuan berproduksi, kelihatannya masih rendah, karena pengushaannya masih sangat

tradisional, belum banyak peran teknologi, masih sangat mengandalkan alam. Kenyataan tersebut dapat di lihat dari perbandingan antara luasan lahan ( Ha ) dengan produksinya, dari angka lima

tahun terakhir ini memberikan penggambaran sebagai berikut:

Tabel. 6. Produktivitas Perikanan Darat Berdasarkan

Perbandingan Luasan Lahan, Di Bengkulu Selatan. Tahun Perairan

Umum/ha Kolam (Ha)

Jumlah (Ha)

Produksi (Ton)

Produktivitas (Kg)

1996 1997

1998 1999 2000

4.483 4.698

4.542 4.496 4.504

535 535

532 553 856

5018 5233

5074 5049 5360

1.228 1.042

1.082 1.414 1.192

244.719 199.121

213.244 280.05 222.59

Sumber : Bengkulu Selatan dalam angka 2000

Gambaran lima tahun terakhir jelas menunjukan produktivitas produksi perikanan darat

masih sangat rendah produksi per Kolam hanya sekitar 200 kg saja. Jadi campur tangan teknologi secara umum dapat dikatakan di daerah Bengkulu Selatan masih sangat sedikit, pengetahuan

masyarakat tampaknya hanya berbasiskan cerita keluarga secara turun temurun. Dengan potensi

wilayah yang besar, maka peran pemerintah untuk mampu mendongkrak pertumbuhan perikanan di darat ini peranannya masih sangat besar. Praktek pembudidayaan ikan mas dan ikan lainnya

masih sangat dipengaruhi oleh peran keluarga dan adat istiadat daerah setempat, yaitu

berdasarkan kebiasaan yang berlaku di daerah Kecamatan masing-masing. Dengan demikian dapat disimpulkan, daerah ini dalam upaya pengusahaan kolam ikan belum intensif dan masih

menggantungkan dengan alam, jadi belum banyak perubahan cara dengan memanfaatkan

teknologi mutakhir.

4. Pengolahan Produk Maritim

Usaha dalam bentuk industri rumah tangga atau berbentuk badan usaha yang menjadikan

produk maritim sebagai industri pengolahan belum banyak di lakukan masyarakat. Pengolahan produk hasil maritim masih terbatas untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dalam bentuk

sayur mayur, belum menjadi industri usaha. Karena itu produk ikan olahan seperti ikan asin, ikan

asap, apa lagi produk ikan olahan seperti nuget, sosis dan lain-lain hampir tidak dikenal, dan tidak dapat ditemukan dengan mudah. Bentuk usaha yang di lakukan baru terbatas pada hasil

tangkapan nelayan, atau hasil kolam langsung di jual ke pasar dalam bentuk segar atau hidup

tanpa perlakuan tertentu seperti pengepakan. Untuk hasil tangkapan udang (shrimp),

pemasarannya melalui agen-agen khusus dan umumnya di jual ke luar daerah dari Bengkulu Selatan.

III. EKONOMI MASYARAKAT MARITIM Kabupaten Bengkulu Selatan secara geografis daratannya lebih luas dari perairan laut,

sungai, dan danaunya, maka peranan sektor maritim dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya

belumlah signifikan dalam membentuk pertumbuhan ekonominya. Dari prospek ke depan, sektor maritim diharapkan dapat berkembang apabila sarana, prasarana dan sektor finansial dapat

mendukung. Untuk membangun dan mempersiapkan prasarana dan sarana dengan kondisi

topografi pantai yang curam dengan gelombang besar membutuhkan banyak pembiayaan.

Apabila dicermati lebih lanjut, kendala lainnya bukan hanya bersifat fisik, tetapi juga non-fisik, seperti sumber daya manusia masyarakat maritimnya. Tofografi wilayah yang berbukit-bukit,

pantainya berhadapan langsung pada lautan samudera dengan arus dan gelombang yang kuat,

tentulah kegiatan usaha di sektor kemaritiman harus sesuai dengan kondisi kemaritimannya tersebut. Tampaknya usaha kemaritiman yang sesuai adalah armada yang besar dengan padat

modal dan tenaga nelayan yang terampil. Keadaan seperti tersebut sulit di lakukan oleh nelayan

yang ada sekarang ini, karena keterbatasan berbagai faktor diluar jangkauan mereka.

Pemerintah Kabupaten Bengkulu Selatan setelah otonomi daerah di terapkan, program pertama berupaya memberdayakan sumber daya maritim yang mereka miliki, salah satunya

adalah membuat beberapa kebijakan fiskal. Perda yang mengandung fiskal dan termasuk retribusi

di dalamnya adalah Perda No. 16 Tahun 2001 dan No. 15 Tahun 2001. Dari Perda ini diharapkan akan dapat mendorong kegiatan usaha sektor maritim, meningkatkan kesejahteraan, membuka

lapangan kerja dan meningkatkan PAD. Berdasarkan kenyataan di lapangan yang masih memiliki

berbagai keterbatasan, maka pelaksanaan Perda-perda tersebut belum dapat di lakukan optimal. Memperhatikan keadaan tersebut, kebijakan yang diambil, untuk sementara belum dilaksanakan

secara ketat, tetapi masih bertujuan untuk mensosialisasikan pentingnya Perda dalam mendukung

roda pemerintahan dari sektor maritim, sekaligus penginventarisasian permasalahan yang

sesungguhnya dihadapi oleh nelayan. Ketahanan sektor maritim di Bengkulu Selatan dapat di lihat dari indikator maritim,

meliputi armada penangkapan, budidaya dan pengolahan produk. Adapun untuk kegiatan usaha

penangkapan, kegiatannya lebih ke arah penangkapan ikan di laut dan di perairan umum. Potensi wilayah dibandingkan dengan armada ternyata setiap armada memiliki 91 km

2 wilayah jelajah,

jadi masih sangat jarang, tetapi belum didukung oleh kemampuan produksi, secara rata-rata per-

unit armada penangkapan baru mencapai 23.13 Kg. Dari sub kegiatan pembudidayaan, Bengkulu Selatan masih membutuhkan pengusaha yang mampu memanfaatkan potensi sumber daya lahan

budidaya yang tersedia, peluangnya masih terbuka, dimana lahan yang diusahakan baru mencapai

0.000961% dari 594.913 m2. Menilik dari angka ini maka realisasi sumber daya budidaya

sangatlah kecil dibanding dengan potensinya. Kalaupun di lihat dari tingkat produktivitasnya, juga masih rendah, yaitu baru 222 Kg/Ha. Hal ini mencerminkan juga, ternyata usaha budidaya

ikan masih belum berkembang dan menjadi sumber penghidupan utama masyarakat Bengkulu

Selatan. Untuk pengolahan produk dari hasil maritim, sampai saat ini belum ada yang

mengusahakannya menjadi industri rumah tangga, apalagi yang berbentuk perusahaan. Maka sub sektor pengolahan belumlah menjadi prospek ekonomi Bengkulu Selatan. Industri pengolahan

memang erat kaitannya dengan tingkat pemanfaatan dan pengusahaan sumber dayanya.

Kegiatan usaha maritim memberikan gambaran, bahwa sektor ini tingkat kegiatannya masih rendah, dan sebagai contoh tentang rendahnya kegiatan tersebut salah satunya dari

besaran modal investasi usaha. Untuk armada penangkapan per-unitnya antara Rp. 4.550.000 –

Rp. 16.750.000 yang relatif kecil, tapi mahal bagi masyarakat maritim. Biaya investasi yang dirasakan mahal ini juga berpengaruh terhadap peningkatan kemampuan masyarakat maritim

berinvestasi. Pengaruhnya adalah aktivitas penangkapan masih sederhana, dan usaha

penangkapan belum berkembang. Untuk usaha perikanan darat, masih berupa usaha sambilan

ditingkat keluarga yang ada hubungannya dengan kegiatan budaya atau adat istiadat. Jadi belum bersifat komersial. Adapun sub sektor pengolahan juga masih belum berkembang.

V. PENUTUP Berdasarkan indikator maritim; yaitu maritim tangkap, armada penangkapan, budi daya

dan pengolahan produk maritim yang memberikan indikasi tingkat kegiatannya masih sederhana

yaitu sejak tahun 1996 – 2000, maka dapat diinformasikan bahwa performance activitas pemanfaatan sumber daya sektor maritim masih belum berkembang dengan baik. Untuk

meningkatkan kemampuan usaha maritim baik di sektor penangkapan, budi daya maupun

pengolahan memerlukan program-program yang berpihak kepada masyarakat, seperti pembinaan,

zonasi wilayah, sistem perbankan dan Co. Manajemen. Dari gambaran indikator ekonomi maritim, pertumbuhan ekonomi Bengkulu Selatan,

memberikan gambaran, pemerintah daerah telah berupaya untuk memacu pertumbuhan dengan

membuat berbagai program, khususnya di sektor maritim. Peranan sektor maritim di tahun-tahun yang akan datang diharapkan akan semakin menjadi penting. Berdasarkan gambaran di lapangan

dapat diketahui, kegiatan-kegiatan usaha maritim masih sederhana, hal ini tercermin dengan

skala usaha dan diversifikasi usaha kegiatan masih terbatas. Kegiatan usaha penangkapan masih

skala kecil dengan alat tangkap dan armadanya tradisional, begitu juga budidaya ikan belum berkembang ke arah intensifikasi, serta bidang kegiatan pengolahan produk belum mengarah

pada usaha yang bersifat industri. Dari gambaran ini maka secara umum kegiatan maritim pada

tatanan yang belum berkembang. Untuk mendorong berkembangnya usaha sektor maritim, maka perlu pendorongan dari semua pihak yaitu masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, dan

pemerintah, yang menjadikan sektor maritim sebagai aset pertumbuhan riil daerah.

DAFTAR PUSTAKA

Bappeda, 2000, Data Pokok Perencanaan Pembangunan Kabupaten Bengkulu Selatan,

Pemerintah Kabupaten Bengkulu Selatan, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. Pemda Bengkulu Selatan, 2000, Bengkulu Selatan Dalam Rangka Kerja sama Pemerintah Daerah

Bengkulu Selatan Dengan Badan Pusat Statistik, Kabupaten Bengkulu Selatan.

Perda, 2001, Peraturan daerah No. 15 Tahun 2001 Tentang Retribusi Tempat Pelelangan Ikan (TPI), Lembaran Daerah Kabupaten Bengkulu Selatan.

Perda, 2001, Peraturan daerah No. 16 Tahun 2001 Tentang Retribusi izin Usaha Maritim dan Izin

Perahu Motor/Kapal MaritimLembaran Daerah Kabupaten Bengkulu Selatan.

BAB V

V.MASYARAKAT MARITIM LAMPUNG BARAT

I. PENDAHULUAN.

Pembangunan Daerah Kabupaten Lampung Barat (Lambar) tidak dapat dipisahkan dengan pembangunan Provinsi, yaitu bertujuan meningkatkan kesejateraan masyarakat secara

berkelanjutan, sehingga dicapai suatu kehidupan masyarakat yang adil dan makmur. Kegiatan

pembangunan yang di lakukan oleh pemerintah kabupaten membutuhkan dana yang bersumber dari PAD dan dari pendapatan bukan PAD (non – PAD). Menurut UU No. 22 Tahun 1999,

sumber PAD Kabupaten adalah: 1.) Hasil Pajak Daerah, 2.) Hasil Retribusi Daerah, 3). Hasil

Perusahaan Milik Daerah, 4). Lain-lain pendapatan Daerah yang sah. Sedangkan sumber non- PAD adalah dari: 1). Dana Perimbangan, 2). Pinjaman Daerah, dan 3). Lain-lain pendapatan

daerah yang sah. Dengan telah berlakunya UU No. 22/1999, UU No. 25/1999 dan PP No.

25/2000, maka kabupaten Lampung Barat yang merupakan bagian kesatuan wilayah Indonesia

harus mengubah paradigma pembangunannya dengan yang baru, yaitu melakukan perubahan mendasar dan mengandung semangat desentralisasi, berpola pendekatan wilayah, serta

berorientasi pada pengembangan keunggulan komperatif dan keunggulan kompetitif.

Salah satu komponen penting dalam pembangunan Daerah Kabupaten adalah peran Pemerintah bersama-sama masyarakat mendorong perekonomian regional menjadi semakin maju.

Kebijakan Ekonomi adalah instrumen legalitas yang dapat membantu pencapaian pembangunan,

pemerintah melakukan fungsi pelayanan umum dan masyarakat sebagai partisipan dalam kegiatan pembangunan yang di cerminkan oleh kontribusi mereka dalam pembentukan pendapatan PAD.

Kabupaten Lambar terletak pada 40 47’ 16”- 5

0 56’ 42” LS dan 103

0 35’ 8’’- 104

0 33’ 51”

BT dengan luas Daerah 4.950,40 km² (4.950,40Ha) atau 13,99% dari luas provinsi lampung.

Batas wilayah adalah dengan; Sebelah Utara dengan: Kabupaten Bengkulu Selatan dan Ogan Komering Ulu, Sebelah Selatan dengan Samudra Indonesia, Sebelah Barat dengan Samudra

Indonesia, Sebelah Timur dengan Kabupaten Tanggamus, Lampung Utara dan Lampung Tengah.

Lambar terletak pada ketinggian 0-1200 m dpl yang dibagi menjadi wilayah daratan berbukit (500-1000 m dpl) dan wilayah pesisir (0-500 m dpl). Disamping itu tanahnya di dominasi oleh

endapan gunung berapi dengan jenis Andisol, Ultisol, dan Inseptisol. Tanahnya relatif subur dan

juga mengandung mineral tipe galian C. Musimnya adalah Barat dan Barat Laut pada bulan

November- Maret dan Timur dan Tenggara bulan Juli- Agustus dengan temperatur antara 330C-

220C yang beriklim tropis. Penduduk yang berdiam di daerah Lambar pada tahun 2000 sebanyak

365,999 jiwa yang tersebar di 6 (enam) Kecamatan dengan rata-rata kepadatan per Km2 sama

dengan 74 jiwa/Km2. Sumber maritim yang ada, yaitu di lihat dari batas kewenangan

pengelolaan wilayah laut pembagian untuk pemerintah daerah se tingkat Kabupaten/Kota.

II. GAMBARAN PEMBANGUNAN.

1. Kebijakan Pembangunan

Pada pasal 1 UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan bahwa Otonomi

Daerah adalah kewenangan daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan

peraturan perundang-undangan. Pasal 1 ini memberikan pungutan bahwa daerah harus mampu:

a). Berinisiatif sendiri (menyusun kebijakan daerah dan rencana pelaksanaannya). b). Memiliki alat pelaksanaan sendiri yang berkualitas. c). Membuat peraturan sendiri (dengan Perda). d).

Menggali sumber-sumber keuangan sendiri menetapkan pajak (Fiscal), retribusi dan lain-lain

usaha yang sah sesuai dengan perda yang berlaku.

Tabel 1. Indikator Perikanan Kabupaten Lampung Barat, Tahun 2000

Indikator Satuan Tahun

1996 1997 1998 1999 2000

I. RTP.

1. Penangkapan. RTP 3.330 3.643 3.650 3.743 3.850

2. Perairan Umum. RTP 819 845 867 895 897

3. Budidaya Kolam. RTP 631 643 698 764 798

4. Mina padi. RTP 951 1.003 1.032 1.045 1.070

5. Keramba/Jarpun RTP 54 59 66 69 76

6. Pedagang Ikan. RTP 52 59 68 79 88

II. Alat Produksi.

1. Perahu Tanpa Motor. Unit 417 432 487 492 497

2. Motor Tempel. Unit 111 123 124 126 129

3. Kapal Motor. Unit 13 8 8 18 28

4. Alat Tangkap. Unit 1412 2.967 2043 2.977 2045

III. Produksi.

1. Penangkapan di Laut. Ton 6.298 6.373,2 6.702,1 6.737,3 6.773,6

2. Perairan Umum. Ton 330,9 321,3 323,7 324 459,6

3. Keramba/Jarpun Ton 11,4 12,5 13,5 9,4 11,6

4. Tambak. Ton 294,5 262,3

5. Kolam. Ton 306,9 296 302

6. Mina Padi. Ton 233,3 224,4 230,6 252,7 262,3

VIII. Konsumsi Kg/Kap/Th 17,50 17,90 19,81 19,90 20

IX. Perizinan

1. Penangkapan 4 4 4 6 9

2. Pengumpul 4 4 4 4 5

X. Kelembagaan Nelayan

1. Kelompok Buah 713 723 733 735 763

2. KUD Buah 19 19 19 19 19

3. TPI Buah 2 2 2 2 2

4. Pengusaha Buah 17 17 17 19 21

Otonomi daerah pada daerah kabupaten meletakkan dasar semakin banyak urusan-urusan,

baik jumlah maupun jenisnya, dari pemerintah Pusat dan atau pemerintah daerah propinsi yang diserahkan kepada pemerintah kabupaten, termasuk fiskal. Bagi daerah otonomi setingkat

Kabupaten, terbuka peluang memanfaatkan sumberdayanya, temasuk sektor kelautan dan

perikanan bagi kepentingan peningkatan PAD. Sesuai pasal 79 Undang-undang No.22/1999 dan pasal 3 Undang-undang No. 25/1999 tentang perimbangan antara Pusat dan Daerah, disebutkan

PAD terdiri atas; a). Hasil Pajak Daerah. b).Hasil Retribusi Daerah. c). Hasil Perusahaan Milik

Daerah, d).Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah Yang Dipisahkan. e). Lain-Lain Pendapatan

Daerah Yang Sah. Adapun PAD yang berasal dari pajak daerah dan hasil retribusi daerah, besar atau kecil penerimaannya dapat dipengaruhi oleh: a).Besar atau Kecil obyek pajak atau retribusi.

b). Kemampuan Aparatur Pemungut. c). Tingkat Kesadaran Hukum Wajib Pajak Retribusi.

Dengan demikian betapa pentingnya penerimaan pajak dan retribusi daerah bagi pengembangan ekonomi suatu daerah. Pajak daerah adalah iuran wajib yang di lakukan oleh

orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat

dipaksakan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah. Retribusi daerah adalah

pemungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus

disediakan atau diberikan oleh pemda untuk kepentingan orang pribadi atau badan.

Dengan adanya Undang-undang No. 18/1997 tentang Pajak dan Rertibusi Daerah, telah terjadi pembatasan jumlah pajak dan retribusi yang dapat dipungut oleh Pemda. Menurut

ketentuan, terdapat 6 jenis pajak daerah, 3 (tiga) golongan retribusi daerah, dimana sebelumnya

terdapat lebih dari 40 jenis pajak retribusi daerah.

a). 6 Jenis pajak daerah: 1).Pajak Hotel Dan Restoran. 2).Pajak Hiburan. 3).Pajak Reklame. 4).

Pajak Penerangan Jalan. 5). Pajak Pengambilan Dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C. 6). Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan.

b). Sedangkan 3 (tiga) Golongan Retribusi Daerah ialah: 1). Retribusi Jasa Umum. 2). Retribusi

jasa Usaha. 4). Retribusi Untuk Perizinan Tertentu.

Di sektor Maritim, retribusi (Retribution)sangat populer diterapkan sebelum tahun 1997,

maka dengan adanya UU No.18/1997, di dalamnya ada penjelasan pasal 2 tentang batasan pajak

dan retribusi, pemda menjadi jelas ruang lingkupnya dalam menciptakan perda di daerahnya. Agar sektor maritim dapat memberikan kontribusi pada PAD, upaya pembuatan Perda di sektor

maritim, Lambar sedang mengusahakan pembuatan rancangannya, yaitu berkenaan dengan

retribusi ke tiga golongan tersebut yang akan diterapkan di maritim. Mengingat potensi maritim; laut, darat dan pengolahan yang cukup menjanjikan, maka diharapkan sektor pontensial

penyumbang pendapatan asli daerah secara bertahap dapat digali dan di penuhi oleh sektor

maritim Lambar. Untuk saat ini, kontribusi tersebut masih sangat minim, dan perda khusus di

sektor maritim tentang retribusi belum terwujud. Masyarakat maritim sebagai pemanfaat sumberdaya masih bebas melakukan usahanya tanpa ada kewajiban yang di atur perda untuk

membayar pajak atau retribusi daerah. Mereka baru dikenai dengan perda No.02/1999 tentang

Retribusi Pasar Grosir dan atau Pertokoan yang objeknya di TPI Krui dan TPI Biha.

2. Pertumbuhan Ekonomi Maritim.

Pertumbuhan ekonomi maritim tidak dapat terpisah dari pertumbuhan ekonomi Lampung Barat. Pada tahun 1998 ada pertumbuhan 5,20%, dan pada tahun 1997 pertumbuhan tersebut

masih mengalami minus, yaitu –1,42%. Tingkat pertumbuhan mulai mengalami perbaikan,

walaupun masih relatif sederhana, di mana pada tahun 1999 pertumbuhan terjadi 6,92%, dan di

tahun 2000 justru mengalami penurunan menjadi 5,64%, tetapi angka ini masih menunjukan pertumbuhan yang positif. Dalam 4 (empat) tahun terakhir, secara makro regional, tanda

perbaikan ekonomi menunjukan cenderung ke arah pertumbuhan. Ketahanan ekonomi ditopang

oleh pertumbuhan yang selalu positif, dari lapangan usaha listrik dan air bersih serta pengangkutan dan komunikasi, adapun sektor usaha lainya pernah mengalami pertumbuhan

negatip. Untuk sektor perikanan masih menunjukan kekuatan pemulihan yang tinggi, yaitu pada

periode tiga (3) tahun terakhir yang selalu positif dengan angka pertumbuhan relatif baik.

Ketahanan tersebut tidak lepas dari kontribusi sektor maritim sejak tahun 1993 – 2000 yang tidak pernah mengalami pertumbuhan negatip.

Tabel 2. Pertumbuhan Ekonomi Berdasarkan Lapangan Usaha Tahun 1997 - 2000 No Lapangan Usaha 1997 1998 1999 2000

1 2 3 4 5 6 7 8

9

Perikanan Pertambangan & Penggalian Industri Pengolahan Listrik dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel & Restoran Pengangkutan & Komunikasi Keuangan & Perawatan

Jasa – Jasa

9,12 9,21 13,79 27,77 8,95 3,85 9,90 2,84

1,06

27,80 -38,95 -2,33 5,78 -38,03 -15,05 20,68 -7,91

-5,20

2,33 -3,82 11,73 18,58 -1,08 20,16 17,17 -16,16

19,46

3,99 11,98 2,91 2,88 12,99 11,92 8,84 4,99

1,67

PDRB -1,49 5,20 5,92 5,64

Sektor usaha perikanan termasuk maritim yang ikut membentuk PDRB, dilihat dari peranan sektor perikanan dibandingkan dengan sektor lainnya (tanaman bahan makanan, tanaman

perkebunan, peternakan dan hasil – hasilnya, kehutanan dan maritim) masih yang terbesar.

Perkembangannya dari tahun 1997 sebesar 55,65%, dan tahun 1998 meningkat menjadi 72,41%,

tahun 1999 turun menjadi 67,12% dan pada tahun 2000 menjadi 69,70%. Dari deretan angka

presentase ini, jelas terlihat kontribusi perikanan dalam menggerakan ekonomi Lambar sangatlah

dominan. Perikanan yang merupakan sub sektor maritim, kontribusinya terhadap PDRB gambarannya di lapangan usaha perikanannya seperti berikut.

Tabel 3. Kontribusi Perikanan Atas Dasar Harga Yang Berlaku Terhadap

Perikanan Dan PDRB Lampung Barat 1993-2000/ juta Rupiah.

Tahun Angka Absolut

Perikanan

Kontribusi

Perikanan PDRB

1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999

2000

5.948 7.134 9.870 12.774 16.846 24.719 43.200

44.772

6,17 5,12 6,14 6,68 8,00 4,16 6,65

6,17

3,34 2,90 3,33 3,77 4,52 3,51 4,47

4,30

Dari kontribusi presentase terhadap PDRB, jelas memperlihatkan tendensi yang bersifat

positip terhadap pertumbuhan ekonomi. Dari angka ini terbaca ada kecenderungan investasi usaha

terjadi pada pembangunan ekonomi sektor maritim, yaitu ada konsistensinya antara kontribusi

maritim terhadap perikanan dan PDRB yang semakin meningkat (Tabel 3). Dari sisi moneter memperlihatkan pada ketahanannya terhadap gejala fluktuasi moneter yang ditandai dengan kurs

rupiah terhadap US $ yang semakin melemah, justru berdampak positip terhadap sektor maritim,

karena masih mengalami pertumbuhan positip. Potensi maritim sebagaimana tercantum dalam laporan-laporan dinas Perikanan dan Kelautan (2001), jelas apabila dapat ditingkatkan

realisasinya, maka akan mampu memacu pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi lagi. Sampai

periode tahun 2000 sub sektor perikanan dalam berperan mendorong pembangunan ekonomi

telah dapat melakukan dan menghasilkan kebijakan program yaitu:

1. produksi mencapai 7.819,4 Ton atau mengalami kenaikan sebesar 2,65% dibanding tahun

1999. Produksi penangkapan di laut adalah sumber produksi paling besar yaitu mencapai 6.773,6 Ton atau sebesar 83,16% dari total produksi.

2. Pendapatan petani ikan dan nelayan mengalami penigkatan yaitu untuk nelayan 4,52% dan

pertani ikan sebesar 11,67% 3. Konsumsi ikan mengalami penigkatan 1,75% atau mencapai 21,46 Kg/ kapita/Tahun.

4. Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sub sektor maritim menigkat 62,15% dari Rp 9.405.000

menjadi Rp 15.250.000.

5. Armada penangkapan ikan berkembang 1,78% dan jumlah alat tangkap ikut meningkat 0,77% dari tahun sebelumnya.

Untuk meningkatkan jumlah produk dan tumbuhnya usaha dibidang pengolahan, upaya pemukiman di lakukan dengan cara membuat kelompok kerja di 6 lokasi dengan total jiwa 120

orang. Daerah pemasaran ikan segar atau olahan dari Lambar ke Telukbetung, Batu Raja, Muara

Dua, Palembang, dan Jakarta di upayakan terus meningkat. Di tahun 2000 ini ada peningkatan pemasaran ikan, hal ini terjadi karena ada dukungan sarana dan prasarana transportasi serta

peranan koperasi mina. Maka jelaslah peran serta sektor maritim masih dapat ditingkatkan, tetapi

faktor-faktor penghambat teknis seperti Geografi wilayah yang tidak dapat diabaikan dan non

Teknis tentang ketepatan perencanaan dan pelaksanaan program, masih memerlukan perbaikan dan peningkatan, baik SDM-nya maupun anggarannya.

III. PENGUSAHAAN MARITIM

Pengusahaan maritim yang dimaksudkan dalam uraian tulisan ini hanya terbatas pada

pengusahaan perikanan, yaitu perikanan tangkap dan perikanan budidaya, termasuk pengolahannya dan masyarakat maritim. Pengusahaan di sektor maritim sebenarnya mencakup

bukan saja pengusahaan perikanan, tetapi juga banyak bidang kegiatan usaha-usaha yang ada

kaitannya dengan sumber daya maritim, seperti; wisata maritim, transportasi maritim,

pertambangan bawah laut, jasa kemaritiman dan lain-lainnya.

1. Perikanan Tangkap

Luas wilayah administrasi pengelolaan pemanfaatan perairan Laut, masing-masing memiliki potensi sumber daya maritim dalam Ton/Tahunnya. Untuk pemda kabupaten Lambar

yang memiliki 4 mil Laut sumber daya maritimnya sebesar 16.500 Ton/Tahun, pemda provinsi

lampung memiliki 8 mil laut sumber daya maritimnya sebesar 33.000 Ton/Tahun, dan pemerintah Pusat memiliki 200 mil laut sumber daya maritimnya sebesar 90.000 Ton/Tahun. Produksi

tongkol pada tahun 2000 telah mencapai 6.737,6 Ton dan tahun 1999 sebesar 6.737,3 ton, dan

tahun 1998 sebanyak 6.702,1 Ton. Jadi ada kencenderungan meningkat dari tahun ketahun dan

rata-rata peningkatannya sebesar 0,26%. Ini memberikan gambaran nelayan di lampung barat berusaha di sektor penangkapan mulai melihat bidang usaha maritim dapat memberikan prospek

ekonomi kehidupan. Untuk melihat kencenderungan tersebut tercermin dari perkembangan

armada penangkapannya, di di pesisir tengah (312 unit), pesisir Utara (140 unit) dan pesisir selatan (178 unit). Armada penangkapan ini juga didukung alat tangkap sebanyak 2.092 unit, dan

sejak tahun 1998 sampai sekarang mengalami kenaikan juga. Gambaran kegiatan usaha tangkap

yang ada saat ini masih di dominasi oleh perahu tanpa motor (500 unit) atau 79,37% nya dari total armada penangkapan. Jumlah armada yang tercatat untuk motor tempel sebanyak (122 Unit) atau

19,36% sedangkan kapal motor hanya 8 buah atau 1,26% saja, jadi komposisi armadanya masih

sangat timpang. Di lihat dari alat tangkap yang digunakan ternyata Rawai Hanyut (Drift long line)

600 unit atau jaring Insang 630 Unit atau sedangkan armadanya masih perahu tanpa motor yang mendominasi, maka kegiatan usaha penangkapan ini jelas dalam bentuk sederhana, skala kecil

dan beraktivitas di tepi pantai yang terseleksi. Di lihat dari rata-ratanya, setiap armada

mengoperasikan lebih dari satu alat tangkap, yaitu (2097: 630 = 3,3). Untuk dapat melakukan kegiatan usaha penangkapan perlu memiliki modal Investasi,

untuk setiap unit perahu skala kecil, biaya investasi minimal yang perlu disediakan seperti terlihat

pada Tabel 4. berikut ini;

Tabel 4. Investasi Usaha Penangkapan Ikan Laut di Lampung Barat, Tahun 2002 Keterangan PTM MT KM

I. Investasi 1. Kasko 2. Mesin

3. Alat tangkap; -Rawai Hanyut (Drift long line) -Jaring Insang (Gill nets) -Pancing Tangan (Hook and line) - Pancing Tanda (Troll line)

4. Alat Bantu -Jangkar -Tali Temali

- Surat Izin 5. Modal Kerja

1.000.000

-

500.000 500.000 300.000 400.000

75.000 58.000

- 150.000

2.500.000 1.250.000

750.000

1.250.000 -

750.000

75.000 75.000

- 250.000

2.000.000 2.500.000

1.500.000 1.250.000

- 750.000

100.000 100.000

- 580.000

Total Investasi 2.975.000 6.900.000 11.000.000

Jumlah Armada 500 122 8

Jumlah Alat Tangkap 2097 Buah.

Sumber: Data lapangan diolah, 2002.

PTM = Perahu Tanpa Motor ;MT = Motor Tempel ;KM= Kapal Motor

Dari Tabel 4, kegiatan usaha penangkapan, minimal baru dapat di lakukan bila mampu

berinvestasi sebesar Rp. 2.975.000 dan untuk usaha yang lebih besar lagi membutuhkan biaya investasi yang lebih banyak. Armada penangkapan yang digunakan tergolong Tradisional dan

lautan yang dihadapi adalah lautan lepas atau samudra, maka tampak sekali kemampuan

masyarakat untuk memanfaatkan sumberdaya laut seperti Ikan, biota laut Lainya, sangatlah

terbatas. Upaya pemberdayaan maritim laut dalam waktu pendek sangat sukar ditingkatkan, mengingat kondisi alamnya yang menuntut investasi besar, kalau dapat dilakukan maka baru

mampu mendapatkan hasil yang lebih baik, armada penangkapan akan mampu menambah

kemampuan jelajah dan jua peningkatan keterampilan teknis dan Non Teknis termasuk manajemen usaha.

2. Perikanan Budidaya Peluang usaha budidaya laut yang dapat dikembangkan adalah teknik pembudidayaan

dengan jaring keramba apung. Ikan yang dapat di budidayakan adalah teripang, kakap (Giant sea

perch), kerapu dan baronang, tetapi sayang, peluang usaha pembudidayaan ini belum banyak

dapat dilakukan, karena sarana pasar sebagai pendukung belum tersedia. Adapun kegiatan usaha yang di lakukan masyarakat baru terbatas pada skala kecil. Berdasarkan potensi lahan untuk air

payau, lahan yang tersedia ada 6.500 Ha, dan yang teletak di Kecamatan Pesisir Selatan dan

Kecamatan Bengkunat 5.000 Ha sedangkan Kecamatan Pesisir Utara 1.500 Ha, akan tetapi potensi yang tersedia ini belum diusahakan secara komersial. Dari potensi lahan air tawar,

Lambar memiliki cukup banyak yaitu 944 Ha, dan pemanfaatannya baru mencapai 258,9 Ha atau

sekitar (27,43%). Kemudian jenis-jenis ikan yang di budidayakan adalah; ikan mas (Common carp), mujair (Mozammbique tilapia), tawes (Java barb) , nila (Nile tilapia), lele (Cat fishes),

patin, dan bawal. Adapun dari sifat usaha, kegiatannya masih tradisional, sehingga

produktivitasnya tergolong masih sederhana. Padahal kalau dilihat peluang usaha, untuk usaha

skala besar, wilayahnya memberikan dukungan, sebab jenis perairan yang dimiliki sangat beragam dan luas. Berdasarkan lokasi, pemerintah mengarahkan di wilayah Kecamatan Belalau,

yaitu seluas 2117 Ha serta Balik Bukit, dan Sukau seluas 4.084 Ha.

Dari luas lahan air tawar yang ada 10.234 Ha, dan lahan ini baru dapat dimanfaatkan seluas 1.600 Ha, inipun tingkat produktifitasnya masih rendah. Sebagian masyarakat

membudidayakan ikannya dengan cara memanfaatkan lahan perairan umum yang di tanami padi,

teknik pembudidayaan ini dikenal dengan mina padi (Paddy field culture), dan baru meliputi

58,68% dari luas seluruh lahan persawahan teknis dan tradisional. Kegiatan usaha di perikanan darat dapat dibagi menjadi 3 (tiga) upaya usaha pemanfaatan, yaitu melalui budidaya ikan di

kolam, perairan umum dan pemanfaatan mina padi. Kegiatan usaha budidaya ini masih

dilaksanakan secara tradisional, belum dengan skala bisnis usaha besar. Modal usaha yang dibutuhkan masih sederhana, karena itu skala usaha yang di lakukan petani ikan di Lambar

belum dapat berkembang pesat dan menghasilkan produksi yang mampu memasok daerah

lainnya. Pemanfaatan lahan pembudidayaan di Kecamatan Balik Bukit, dan Sukau yang memanfaatkan jenis perairan Danau dan Sungai dengan luas perairan yang tersedia 4.084 Ha

dengan potensi budidaya 1.633 Ha, baru dimanfaatkan oleh 22 Unit keramba jaring apung dengan

produksi 150 Kg per unitnya/musim dengan waktu tanam selama 6 bulan.

Pemanfaatan usaha pembudidayaan dengan sistem mina padi di lahan sawah tradisional seluas 2.772,6 Ha, sampai saat ini rata-rata produksi per Ha-nya baru mencapai 100 Kg/Hanya.

Kegiatan usaha pembudidayaan dengan KJA, biaya investasi yang dibutuhkan per-unit adalah Rp

500.000, biaya ini belum termasuk biaya operasi dan tenaga kerja. Sedangkan mina padi yang dilakukan masyarakat masih berbentuk sambilan, setiap musim tanam, bibit ikan yang dibutuhkan

300 ekor, dan harga per ekornya Rp 150 sehingga biaya bibit = Rp.45.000. Adapun hasil

pemanenan rata-rata keberhasilannya baru sebanyak 100 Kg, dan harga rata-rata per Kg-nya laku dijual seharga Rp 7.500 . Maka tambahan pendapatan kotornya menjadi sebesar Rp 750.000/tons.

3. Pengolahan Produksi Maritim

Dari produksi ikan tahun 2000 tercatat sebesar 7.819,4 Ton diolah dalam bentuk: 1). Segar 6.705,7 Ton, dari ikan laut 5.825,1 Ton dan Air Tawar 880,5 Ton, dan 2). Dalam bentuk

olahan menghasilkan produk jadi 712,75 Ton atau setara dengan 1.113,7 Ton berat ikan basah

dengan rendemen pengolahan 64%. Kegiatan usaha pengolahan adalah sebagian ekonomi

maritim, karena itu ada hubungan langsung antara sumberdaya-penangkapan/ pembudidayaan- pengolahan- dan pemasaran- baru sampai pada konsumsi yaitu bahan baku industri maritim atau

konsumsi langsung. Produk olahan yang dihasilkan industri skala kecil (traditional) hanya berupa

pengasinan dan pemanggangan atau pengasapan. Untuk meningkatkan jumlah produk dan tumbuhnya usaha dibidang pengolahan, upaya

di lakukan dengan cara membuat kelompok kerja di 6 lokasi dengan total jiwa 120 orang. Daerah

pemasaran ikan dari Lambar dalam bentuk segar atau olahan ditujukan ke Telukbetung, Batu Raja, Muara Dua, Palembang, dan Jakarta. Di tahun 2000 ini ada peningkatan pemasaran ikan,

hal ini terjadi karena ada dukungan sarana dan prasarana transportasi serta peranan koperasi

Mina. Usaha yang mengembangkan hasil olahan ikan baik dari hasil tangkap di laut, perairan

umum atau Mina Padi belum menjadi bidang usaha yang di tekuni masyarakat sebagai sumber penghidupan utama, tetapi masih sambilan. Dari data wawancara di lapangan belum didapatkan

secara sempurna masyarakat yang menjadikan kegiatan pengolahan menjadi sebuah usaha bisnis

tersendiri.

4. Masyarakat Maritim

Unsur penting dalam pembangunan masyarakat maritim, adalah peranan pemerintah bersama-sama dengan masyarakat mendorong perekonomian regional menjadi semakin maju.

Kabupaten Lampung Barat secara geografis memiliki daerah yang subur, baik tanahnya maupun

perairannya, dan sektor maritim dapat memberikan kontribusi yang berarti terhadap pendapatan

regional, karena besarnya potensi sumberdaya yang tersedia. Dengan jumlah penduduk sebanyak 365.999 jiwa, yang mendiami kawasan seluas 4.950,40 Km

2 atau setara dengan 13,99% dari luas

Provinsi Lampung, sangat pontensial bagi kemajuan Lambar. Partisipasi bersama masyarakat

maritim agar optimal dalam mendorong ekonomi kearah berkembang yang lebih baik, perlu diatur di dalam kebijakan Daerah. Dasar legalitas kebijakan seperti berkenaan dengan fiskal,

telah sangat jelas di dalam UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah. Landasan legalitas itu

juga didukung oleh UU No 25/1999 tentang perimbangan antara Pusat dan Daerah, dengan

demikian, telah ada hak sebagai kewenangan pemda mendapatkan pendapatan dari daerahnya. Pemda kabupaten Lambar sampai tahun 2002, belum memiliki perda di sektor maritim, sehingga

pelaksanaan fiskal belum optimal dan untuk obyek retribusi, tarif atau iuran dari sektor maritim

Laut (Marine), Perairan Umum (Inland open water) dan Pengolahan (Processing) masih menggunakan perda yang dibuat Provinsi Lampung.

Potensi maritim yang berkontribusi pada PDRB Lampung berdasarkan lapangan usaha

cukup berarti, itu dapat ditandai oleh presentase pertumbuhan perikanan yang positif pada 3 (tiga) tahun terakhir1998,1999, 2000. Sumbangan ke PDRB untuk masing-masing tahun tersebut

tercatat sebesar 27,80%, 2,33% dan 3,99%. Sub sektor maritim secara presentase atas dasar harga

yang berlaku sejak tahun 1993 ssampai dengan tahun 2000 menyumbang secara positif dengan

angka presentase antara 2,90% hingga 4,52%. Di lihat dari presentase dan nilai absolut maritim antara Rp. 5. 948.000 – Rp 8.000.000 yang dibandingkan dengan potensi sumberdaya yang ada

(Laut 16.500 Ton/Th, air payau 6.500 Ha, air tawar 944 Ha), adalah masih sangat jauh dengan

realisasi kemampuan saat ini. Apabila upaya kemampuan ditingkatkan 2½ % saja, maka kontribusi ekonomi sektor maritim akan mampu menyediakan lapangan pekerjaan lebih banyak

lagi. Adapun dilihat dari dukungan sarana dan prasarana yang tersedia, yang terprogramkan

menunjukkan adanya keinginan kemajuan yang berarti. Dari pembinaan program Dinas Perikanan dan Kelautan dapat ditunjukan oleh: 1). Program ketahanan pangan nasional

(budidaya ikan keramba, motorisasi perahu nelayan, pembinaan gizi anak sekolah, peningkatan

produksi benih ikan air tawar, re-stoaking), 2). Pengembangan agribisnis maritim, 3).

Pengembangan sarana atau prasarana maritim. Di lihat dari indikator maritim, maka daya dukung yang tersedia (RTP, Alat Produksi, Produksi, Nilai Produksi, Pemasaran, Pendapatan RTP,

Perizinan dan Kelembagaan) masih bisa ditingkatkan lagi, yaitu dengan cara mengefektifkan

kebijakan fiskal sektor maritim, penganggaran dan sumberdaya manusia maritim.

Kegiatan usaha maritim yang di lakukan langsung oleh pelaku maritim seperti Nelayan Penangkap Ikan, Pembudidaya dan Pengolahan ikan, menunjukkan indikator usaha yang masih

bersifat tradisional, keadaan tersebut ditandai oleh adanya keterbatasan kemampuan fisik dan Non

Fisik. Dari ukuran fisik, armada penangkapan dan alat tangkap yang tersedia, yang digunakan oleh masyarakat nelayan, masih sangat lemah dibandingkan dengan karateristik laut yang ganas

dan bersifat samudra. Dengan kemampuan peralatan yang mereka miliki untuk mengekspoitasi

hasil sumberdaya ikan atau biota laut di dalamnya maka sangatlah lemah. Untuk mengatasi kendala kelemahan ini, maka program pemerintah untuk sektor laut haruslah dibuat yang sesuai

dengan sifat pengusahaan dan kemampuan masyarakat maritim yang ada. Program yang

bersesuaian tersebut dilihat oleh masyarakat maritim sebagai peluang perbaikan kehidupan

melalui upaya bersama-sama. Pendekatan manajemen yang dapat dikembangkan yaitu menjadikan masyarakat maritim sebagai pelaku kegiatan usaha di sektornya. Kenyataan yang ada

saat ini, dimana keikut sertaan masyarakat maritim yang masih di dominasi oleh armada

penangkapan Tanpa Motor (29,37%) sebagai kendala perluasan, karena itu kemampuan sumber daya manusia maritim perlu juga ditingkatkan, karena merekalah sebagai basis yang menjadi

pendukung utama perkembangan maritim laut.

Untuk perikanan budidaya, sumber dayanya secara pontensial selalu dapat diperbaharui dan dengan lahan 10.234 Ha, adalah prospek yang cukup baik. Prospek ini dapat terwujut apabila

pendekatannya dapat tepat lokasi, kebudayaan, dan kegiatan usaha yang ditumbuhkan dari

bottom-up. Pendekatan berbasis bottom-up akan mengurangi ketidak sinkronisasian program

pemerintahan dengan daya dukung pelaku masyarakat maritim. Lapangan usaha pengolahan produk hasil maritim masih sedikit ditekuni masyarakat, dan memperhatikan sumberdaya yang

ada, maka untuk memberikan peluang tumbuh kembangnya industri pengolahan hasil sektor

maritim, pendekatanya lebih di titik beratkan pada pengolahan segar, dan untuk jangka panjang adalah pemanfaatan hasil laut dalam bentuk olahan yang di diversifikasikan untuk ekspor ikan-

ikan laut segar, lobster, udang (shrimp), kerapu (Giant sea perch), beronang dan ikan laut yang

memiliki nilai komersial tinggi lainnya. Sarana pendukungnya harus terintegrasi, mulai dari

rancangan kasko, penanganan di atas kapal, penanganan selama transportasi, penanganan selama proses pengolahan, penanganan pemasaran dan hingga konsumen.

IV.PENUTUP Kabupaten Lampung Barat yang merupakan bagian kesatuan wilayah Indonesia

mengubah paradigma pembangunannya dengan melakukan perubahan yang mengandung

semangat desentralisasi, berpola pendekatan wilayah, serta berorientasi pada pengembangan keunggulan komperatif dan keunggulan kompetitif. Salah satu komponen penting dalam

pembangunan Daerah Kabupaten adalah peran Pemerintah bersama-sama dengan masyarakat

ikut mendorong perekonomian regional menjadi semakin maju. Kebijakan ekonomi dilandasi

instrumen legalitas yang dapat membantu pencapaian pembangunan, pemerintah melakukan fungsi pelayanan umum dan masyarakat sebagai partisipan dalam kegiatan pembangunan yang di

cerminkan oleh kontribusi mereka dalam pembentukan pendapatan PAD. Kebijakan

pembangunan di sektor maritim yang diterapkan oleh Pemda Kabupaten Lampung Barat

berupa upaya pembuatan perda meliputi retribusi jasa umum, jasa usaha dan perizinan.

Pelaksanaan fiskal masih mengacu pada perda yang dikeluarkan Provinsi yang terkait

dengan sektor maritim. Potensi maritim cukup besar dan sumberdaya pendukung lainya juga

mulai digalakkan, sehingga sektor maritim dimasa depan diharapkan sebagai penyumbang PAD,

dan melalui kebijakan fiskal yang tepat dan layak bagi masyarakat pengguna sumberdaya maritim

seperti; laut, perairan umum dan pengolahan agar mampu kontribusinya dapat ditingkatkan. Dari indikator ekonomi maritim, pertumbuhan ekonomi Lambar masih memperlihatkan keterbatasan

dan juga masih perlu banyak upaya-upaya kearah perbaikan yang lebih baik. Keterbatasan yang

terjadi bukan karena semata- mata faktor internal, tetapi juga dipengaruhi faktor eksternal, yaitu

dana pembangunan, investasi yang rendah, sumber daya manusia yang menyandarkan usaha ekonominya di sektor maritim masih terbatas, serta partisipasi masyarakat yang masih

memerlukan motivasi dan dorongan agar ikut memajukan maritim. Kontribusi sektor maritim

terhadap PDRB pada beberapa tahun terakhir selalu menunjukan posisi positip, tetapi presentasenya masih rendah. Dengan angka kontribusi yang positip dari sektor maritim, hal ini

menunjukan bahwa sektor maritim tetap tahan terhadap goncangan krisis ekonomi, dan walaupun

kurs US $ terhadap rupiah makin menguat, berarti rupiah semakin lemah, tetapi kegiatan usaha di sektor maritim Kabupaten Lambar tetap mampu bertahan. Jadi prospek ekonomi sektor maritim

pondasinya cukup kuat, maka perlu mendapat prioritas pembangunan. Kondisi geografis yang

berbukit-bukit, dengan jumlah penduduk yang mendiami wilayah masih sedikit yang mendiami

wilayah Kabupaten begitu luas, maka keadaan tersebut menjadi penghambat utama pemacuan kemajuan sektor maritim diberbagai bidang dan lapangan, temasuk pengolahan produk dan

pemasaran hasil-hasil maritim. Alternatip pemacuan pembangunan adalah dengan pendekatan

agroindustri yang terintegratif antara sumberdaya, industri pengolahan, pariwisata dan sarana transportasi perairan dan daratan yang saling menunjang atau melengkapi. Untuk

mewujudkannya perlu riset yang mendalam dengan kepastian dukungan administrasi dan legalitas

pemerintah dan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

PDRB, 2000. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Lampung Barat. Kerja Sama Badan

Pusat Statistik Dan Bappeda Kabupaten Lampung Barat, Liwa.

Laporan Tahunan, 2001. Laporan Tahunan Dinas Perikanan Dan Kelautan Kabupaten Lampung Barat, Liwa.

Laporan Tahunan, 2002. Laporan Tahunan Dinas Perikanan Dan Kelautan Kabupaten Lampung

Barat, Liwa.

Laporan Tahunan, 2000. Laporan Tahunan Dinas Perikanan Dan Kelautan Kabupaten Lampung Barat, Liwa.

Laporan Tahunan, 1999. Laporan Tahunan Dinas Perikanan Dan Kelautan Kabupaten Lampung

Barat, Liwa. Laporan Tahunan, 1998. Laporan Tahunan Dinas Perikanan Dan Kelautan Kabupaten Lampung

Barat, Liwa.

Pendapatan Asli Daerah, 2001. Inventarisasi Dan Penggalian Sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Lampung Barat Tahun Anggaran 2001. Kerjasama Bappeda

Kabupaten Lampung Barat Dengan Lembaga Penelitian Universitas Lampung, Bandar

Lampung, 2001.

BAB VI

VI.MASYARAKAT MARITIM BANTEN BARAT

I. LATAR BELAKANG

Kehidupan sosial budaya suatu masyarakat, pada dasarnya memiliki hubungan resiprokal

dengan sumberdaya alam dan lingkungan disekitarnya. Sementara dalam wacana masalah pembangunan, kehidupan sosial budaya masyarakat, juga tidak dapat dipisahkan oleh kebijakan-

kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Kemudian berdasarkan pada pemahaman ini, maka

kondisi sosial budaya masyarakat maritim adalah ada kaitannya dengan masalah-masalah

pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan merupakan upaya meningkatkan peran hidup mereka dalam ikut mensejahterakan mereka, untuk mewujutkannya dapat dilakukan melalui rekayasa

sosial. Oleh karena itu pemahaman yang menyeluruh terhadap fenomena masyarakat maritim

menjadi sangat penting, dengan adanya pemahaman yang utuh maka inti permasalahan yang terjadi di sebuah masyarakat dapat ditemui dan dikenali secara gamblang dan jelas. Praktek

pemberdayaan, akhirnya dapat di lakukan dengan menggunakan dua pendekatan, yaitu pertama

secara sosiologi dan kedua secara antropologi. Keduanya digunakan untuk mengkaji fenomena makro sosial budaya masyarakat maritim (sistem sosial dalam masyarakat) dan fenomena mikro

sosial budaya masyarakat (individu atau sistem sosial dalam keluarga). Fenomena makro dan

mikro sama pentingnya di dalam struktur sosial budaya masyarakat maritim. Sebagai contoh,

kedudukan sosial budaya masyarakat ”individu”, mereka memiliki karakter tersendiri pada saat sebelum terjadi interaksi, namun saat interaksi terjadi yaitu dengan individu lain di dalam suatu

masyarakat, maka yang muncul adalah karakter masyarakat itu sendiri. Keterkaitan kedua

fenomena tersebut, merupakan poin terpenting di dalam upaya melihat potensi-potensi yang ada, sehingga akan didapatkan gambaran potensi dari masyarakat atau individu, mana yang menjadi

penghambat ataupun pendorong dalam upaya pemberdayaan.

Adapun deskripsi kerangka pemikiran tersebut diatas disajikan dalam Gambar 1 sebagai berikut:

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Sosio dan Antropologi Masyarakat Maritim

Di dalam konsep pemberdayaan, mempertemukan peranan pemerintah dan masyarakat

secara egaliter merupakan hal yang mutlak diperlukan. Masyarakat dengan potensi sosial (social capital)-nya serta pemerintah dengan kebijakannya, secara bersama-sama akan memberikan

corak warna terhadap sumberdaya dan pengelolaannya. Hal inilah yang perlu diketahui dan yang

bersumber dari masyarakat maritim, baik secara langsung maupun secara tidak langsung, salah satunya melalui penelaahan fenomena yang terjadi di lapangan. Kondisi sosial budaya yang di

lihat berdasarkan fenomena yang terjadi 1mencakup kearifan lokal, sistem religi, ekonomi,

Sosiologi

Masyarakat Sumberdaya Pemerintah

Sosial Budaya Masyarakat Maritim

- Pengetahuan lokal - Sistem Religi - Ekonomi - Kelembagaan - Politik

Masyarakat Maritim

Antropologi

Keadilan

Partisipasi

Kemandirian Jaringan kerja

politik dan kelembagaan. Kondisi sosial budaya tersebut di pandang sebagai cerminan beberapa

faktor utama yang diharapkan menjadi potensi pemberdayaan masyarakat. Karena untuk dapat melakukan pemberdayaan yang pada intinya adalah cara mengaktualisasikan potensi masyarakat

itu sendiri perlu kedekatan pemahaman mendasar tentang karakteristik proses kehidupan

masyarakat. Pemahaman terhadap proses dapat juga melalui pendekatan sosiologi maupun

antropologi, dan kemudian di integrasikan dengan konsep kemandirian, partisipasi, jaringan kerja dan keadilan yang selanjutnya digunakan untuk mengidentifikasikan kondisi-kondisi sosial

budaya tersebut. Dari pendekatan konsep ini, sehingga pada akhirnya di dapatkan potensi maupun

kendala atau hambatan pada tingkat unit individu atau keluarga dan juga pada tingkat komunitas atau masyarakat dalam upaya pengenalan masyarakat maritim.

Desa masyarakat maritim Banten Barat yang tercermin di desa Labuhan Teluk, desa Carita

dan desa Pasauran, lokasi desa-desa tersebut secara geografis di lihat dari tofografinya hampir sama, yaitu terletak di pantai Barat yang berhadapan langsung dengan lautan Samudera Hindia.

Pantai Barat ini mempunyai ciri yaitu memiliki daerah pantai yang sempit dan curam dengan

gelombang lautnya besar. Kemudian daerah ini juga sedikit memiliki pantai yang berpasir luas

dengan gelombang yang tenang, tempat-tempat tersebut sangat terbatas, dan hal ini telah menyebabkan jumlah konsentrasi masyarakat maritim relatif kecil dan terpencar-pencar.

Masyarakat maritim yang hidup dan mencari penghidupan di daerah ini, di lihat dari asal-usul

sukunya adalah berbeda-beda. Suku-suku tersebut adalah dari sunda, cirebon dan bugis. Masing-masing suku mempunyai kebiasaan menggunakan alat tangkap tertentu, karena itu dari cara

melakukan penangkapan ikan atau memanfaatkan sumberdaya ke lautan dapat di lihat dari

peralatan penangkapan ciri kesukuan tersebut, seperti bagan tancap dan bagan apung, dominan dari suku bugis, sedangkan payang dan pancing banyak di lakukan oleh masyarakat nelayan

sunda, kemudian untuk jaring arad dan purse-seine oleh masyarakat nelayan dari Cirebon. Dilihat

dari pola kehidupan, masyarakat nelayan didaerah ini ada yang menetap, dan ada juga yang tidak

menetap. Masyarakat maritim yang suka menetap terutama dari masyarakat nelayan yang berasal dari Pandeglang dan Serang, dan juga dari suku Bugis. Sedangkan masyarakat maritim dari

Cirebon dan Rembang melakukan perpindahan secara teratur mengikuti waktu musim ikan. Dari

peralatan penangkapan, seperti perahu, jaring dan mesin serta peralatan lainnya cukup bervariasi. Adapun volume hasil tangkapan dan tempat penangkapannya dipengaruhi oleh alat tangkapnya.

Jaring purse-seine menggunakan ukuran perahu yang lebih besar dengan GT mencapai 20 - 30

ton, bermesin in-board dan jaring ukuran panjangnya mencapai 150 meter. Untuk perahu dengan

kapasitas 3 - 5 ton, bermesin motor tempel biasanya menggunakan jaring payang dengan panjang sekitar 25 meter, juga pancing dan arad. Kegiatan penangkapan umumnya di lakukan hanya satu

hari melaut (one day fishing) dengan lokasi sekitar 4 - 5 mil laut dari pantai. Untuk penangkapan

ikan yang menggunakan bagan, perahu (board) yang dipakai adalah ukuran kecil dan bagannya di tempatkan tidak terlalu jauh dari tempat tinggal mereka.

II. Dinamika Masyarakat Maritim

PENGETAHUAN LOKAL.

Batasan pengetahuan lokal bagi masyarakat maritim yang dimaksudkan dalam uraian ini, adalah hanya berkenaan dengan pengelolaan dan pemanfaatan, konservasi, dan penegakan

peraturan.

1. Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Maritim. Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya maritim akan di lihat dari persepsi yang

tumbuh di dalam masyarakat maritim tentang sistem dan mekanisme pengelolaan dan

pemanfaatan. Persepsi masyarakat maritim lebih ditekankan kepada konsepsi hak kepemilikan dalam pengaturan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya maritim. Persepsi terhadap

sumberdaya alam yang terkait konsepsi hak kepemilikan (sea tenure) menjadi bagian penting

bagi seluruh anggota masyarakat maritim Banten Barat di desa Labuhan Teluk, desa Carita dan desa Pasauran. Sumberdaya alam yang dipersepsikan oleh masyarakat maritim merupakan hak

milik Yang Maha Kuasa (Allah), karena itu wajib dipelihara bersama dan hasilnya dimanfaatkan

bersama-sama. Dalam merealisasikan persepsi ini, paling tidak ada dua pandangan sistem

pengelolaan dan pemanfaatan yang terjadi; Pertama, ada sebagian masyarakatnya memandang bahwa ikan di laut itu tidak akan habis, karena itu boleh saja melakukan usaha kegiatan

penangkapan, kapanpun seseorang itu mau selagi dia mampu. Kedua, sumberdaya laut apabila

tidak dikendalikan dengan baik, ikan yang ada di dalamnya akan berkurang. Sistem pengelolaan dan pemanfaatan berdasarkan persepsi pertama menghasilkan

pandangan, bahwa sumberdaya laut dapat dieksploitasi sepanjang waktu, karena bersifat open

acceses. Property right, system yang menyangkut fishing ground karena sifatnya milik bersama, pengelolaannya diserahkan kepada masyarakat penangkap sendiri tanpa ada pembatasan yang

tegas. Dalam upaya pemanfaatan, maka setiap anggota masyarakat bebas melakukan usaha

penangkapan di daerah tersebut tanpa ada aturan yang tegas dan ketat. Adapun yang berkenaan

dengan pengaturan alat tangkap dan musim penangkapan, masyarakat nelayan hingga sampai sekarang, belum mempunyai tatacara pengaturan penangkapan yang berasal dari dan oleh

masyarakat nelayan sendiri. Karena belum ada pengaturan yang tegas tadi, telah menyebabkan

terjadinya pertambahan alat tangkap, tetapi karena daerah fishing ground yang dimiliki bersama terbatas, hal tersebut telah menyebabkan terjadinya keluhan terhadap penurunan hasil tangkapan.

Mekanisme Pengelolaan Sumberdaya Maritim dari internal dan eksternal. Keberadaan

sumberdaya maritim tangkap terletak di wilayah pantai Barat Pulau Jawa, berada dibagian Lautan Hindia. Perairan ini sifat penangkapannya open access, artinya setiap orang dari penduduk desa

Teluk, desa Carita dan desa Pasauran mempunyai kesempatan yang sama untuk dapat melakukan

penangkapan ikan di daerah fishing ground yang sama. Pertambahan armada penangkapannya

dari tahun ke tahun cenderung sesuai dengan laju pertambahan penduduknya yang tidak terlalu tinggi. Penduduk masyarakat maritim Banten Barat di desa Labuhan Teluk, desa Carita dan desa

Pasauran sifatnya menetap, maka penjagaan wilayah penangkapan menjadi kewajiban bersama,

untuk menjaganya dari kegiatan penangkapan yang di lakukan oleh nelayan datangan. Keberadaan mekanisme pengelolaan, menyangkut fishing ground, pengaturan alat tangkap,

musim penangkapan dan fishing right di lakukan secara bersama-sama. Hak kepemilikan fishing

ground adalah dimiliki bersama, tidak ada hak kepemilikan perorangan, dengan demikian musim

penangkapan sangat tergantung dari keberadaan musim ikan dan udang (shrimp). Musim penangkapan umumnya di lakukan pada bulan-bulan April hingga Desember dan tiga bulan

sisanya dianggap musim paceklik. Akibat kurangnya kemampuan mengendalikan daerah fishing

ground, sebagian besar anggota masyarakatmaritim Banten Barat di desa Labuhan Teluk, desa Carita dan desa Pasauran dalam upaya melakukan penjagaan fishing ground yang mereka miliki,

telah melakukan reaksi penentangan terhadap nelayan pendatang. Masyarakat maritim, pada

umumnya menyatakan penyebab utama hasil penangkapan mereka berkurang, karena adanya nelayan pendatang yang melakukan pencurian di wilayah penangkapan mereka, mereka datang

menggunakan alat tangkap yang lebih besar dan alat tangkap aktif seperti mini trawl atau arad.

2. Konservasi Sumberdaya Maritim Konsepsi upaya konservasi sumberdaya maritim, di runut dari kesejarahan, ternyata

masyarakat maritim di sekitar pantai Barat Kabupaten Pandeglang dan Serang telah mengenal

konservasi. Konservasi yang mereka maksudkan adalah adalah upaya melindungi dari kerusakan di lokasi-lokasi tertentu secara bersama Bentuk perlindungan adalah berupa memberikan

pemberitaan bahwa di daerah tertentu tersebut memiliki bahaya tertentu yang dapat

mengakibatkan celaka bagi pelanggarnya (Koentjaraningrat, 1994). Berita kecelakaan biasanya membuat orang berhati-hati pada saat berada di daerah karang yang dilindungi. Dengan cara

penuturan yang sakral, maka kepatuhan nelayan untuk tidak menghampiri atau melakukan

kegiatan penangkapan di daerah tersebut membantu dapat terjaganya daerah tersebut dengan baik

dalam waktu yang cukup lama. Adapun upaya konservasi yang dikenalkan secara formal oleh institusi pemerintah, masyarakat maritim belum mengenalnya secara luas. Terhambatnya

pengenalan tersebut, karena konsep konservasi yang dimaksudkan, belum menjadi bagian

kehidupan bersama, disamping itu konservasi yang dimaksudkan kadang kala artinya berbeda

dengan daerah larangan yang dimaksudkan oleh masyarakat. Mekanisme penerapan upaya konservasi sumberdaya maritim, sesuai dengan konsepsi

yang dianut oleh masyarakat, yaitu daerah larangan bersama yang terlindungi karena

kesakralannya. Maka penerapan konservasi melalui nilai-nilai kesakralan, caranya penghormatan perlindungan di lakukan melalui upacara-upacara keagamaan tertentu berdasarkan keyakinan,

yang telah diturunkan secara turun temurun. Prakteknya dalam masyarakat maritim dapat berupa

sedekah laut atau nadran yang dilakukan pada bulan Maulud. Upacara ini biasanya dilakukan beramai-ramai menandai adanya rasa syukur. Kemudian kehidupan masyarakat dapat dapat

berjalan lebih baik, sumber daya maritim memberikan hasilnya lebih banyak, karena itulah ada

timbal balik untuk saling menghormati. Sebagai contoh yang lain, untuk perahu (board) yang

baru selesai dibuat dan siap pertama kali diturunkan ke laut, dalam bahasa keseharian masyarakat maritim disebut temurunan, perlu juga dilakukan upacara tolak bala. Upacara tolak bala terkait

juga sebenarnya dengan konservasi daerah maritim. Untuk itu yang mengikuti upacara

pembacaan doa atau tolak bala, biasanya mengawalinya dengan melakukan upacara ritual. Agar upacara ini dianggap sempurna, maka perlu memenuhi berbagai macam persyaratan, seperti

adanya kembang-kembangan, buah-buahan, kemenyan, nasi kuning atau tumpengan dan lain-

lainnya. Persyaratan tersebut disesuaikan dengan kebiasaan setempat. Maksud dari upacara adalah agar pemilik dan pemakai kapal senantiasa mentaati kesakralan di daerah maritim,

dimanapun mereka melakukan kegiatan penangkapan ikan supaya tidak ikut membahayakan

masyarakat maritm secara keseluruhannya dan mereka tetap selamat.

3. Penegakan Peraturan

Mekanisme penegakan peraturan tentang pemanfaatan, pengelolaan dan konservasi

sumberdaya maritim, dan di lihat dari sanksi atas pelanggaran peraturan. Mekanisme sanksi atas pelanggaran pemanfaatan sumber daya maritim yang di lakukan oleh masyarakat maritim Banten

Barat di Desa nelayan Labuhan Teluk, dan desa Carita Kabupaten Pandeglang dan di desa

Pasauran Kabupaten Serang untuk menegakkan peraturan biasanya dilakukan melalui beberapa

tahapan. Pertama apabila terjadi pelanggaran, masyarakat menyerahkannya kepada tokoh masyarakat atau pemuka agama (Kiay), agar diberi sanksi sesuai dengan hukum kebiasaan yang

telah berlaku menurut adat istiadat setempat, hal ini berlaku kalau pelanggarnya dari penduduk

setempat. Kedua, apabila permasalah pelanggaran tidak dapat juga diselesaikan, langkah selanjutnya masyarakat mengadukannya kepada aparat yang berwenang, yaitu Dinas Perikanan

dan Kelautan, Polisi Air atau aparat hukum lainnya. Maksud pengaduan ini agar dapat diproses

lebih lanjut untuk dapat ditetapkan sanksinya sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan negara yang berlaku.

Adapun mekanisme sanksi atas pelanggaran pengelolaan proses tahapannya sama dengan

pelanggaran pemanfaatan, tetapi penekanannya kepada masyarakat mengajak supaya ikut

berpartisipasi bersama. Pertama, pelanggar diberitahukan kepada tokoh masyarakat atau pemuka agama (Kiay) telah terjadi pelanggaran pengelolaan, seperti pengambilan batu karang seenaknya.

Pemuka masyarakat akan mengingatkan pentingnya ikut berpartisipasi mengelola sumberdaya

maritim, karena itu adalah sumber penghidupan mereka. Pembangkangan terhadap hukum kebiasaan yang telah berlaku menurut adat istiadat setempat adlah berupa sanksi sosial. Kalau

akibat yang disebabkannya merusak kepentingan umum masyarakat, maka dilanjutkan dengan

proses pengaduan ke lembaga formal. Kedua, aparat yang berwenang dari Dinas Perikanan dan Kelautan, juga Polisi Air atau aparat hukum lainnya, menindak lanjutinya dengan memberikan

informasi sanksi-sanksi terhadap pengelola yang mengabaikan peraturan dan perundang-

undangan negara yang berlaku. Kalau masalah pelanggarannya bersifat perdata, maka

penyelesaiannya melalui hukum perdata. Mekanisme dan bentuk sanksi atas pelanggaran pengaturan sumberdaya maritim dari

masyarakat datangan, terutama berkenaan dengan penegakan peraturan yang pelaksanaannya

secara efektif,. Untuk mengetahuinya, hal ini memerlukan banyak informasi dan data yang

terpercaya yang ada di dalam masyarakat maritim. Berdasarkan pengamatan fenomena di lapangan, masyarakat nelayan pendatang dengan masyarakat maritim Banten Barat asli di desa

Labuhan Teluk, dan desa Carita dapat bersosialisasi dengan erat, mereka saling membutuhkan.

Dapat diketahui, banyak masyarakat nelayan pendatang yang melakukan kegiatan penangkapan secara regulir di daerah pantai Barat Banten. Pendatang tersebut umumnya berasal dari daerah

Cirebon, dan daerah Rembang, masyarakat dari kedua daerah tersebut ternyata dapat

melaksanakan kegiatan penangkapannya dengan tidak mengalamai hambatan dan gangguan dari masyarakat tempatan. Bentuk-bentuk sanksi yang diberlakukan dapat dijalankan dan dipatuhi

dengan baik, khususnya terhadap masyarakat maritim yang mematuhi hukum kebiasaan yang

berlaku di tempat yang mereka datangi. Bukti kepatuhan, ternyata masing-masing nelayan dapat

melakukan kerjasama penangkapan di lokasi yang sama walaupun berbeda asal usulnya, dengan tanpa menimbulkan kerusuhan atau ketegangan social.

SISTEM RELIGI. Sistem religi yang dimaksudkan adalah berkaitan dengan agama yang dianut, hubungan

antara agama dengan kegiatan ekonomi dan peranan agama dalam kegiatan sosial politik

masyarakat.

1. Agama.

Agama yang dianut oleh sebagian besar masyarakat maritim di pantai Barat Propinsi

Banten adalah agama Islam, jumlah pemeluknya lebih dari 99,00%, dan mereka telah menjadikannya sebagai dasar pandangan kehidupan. Agama yang yang diyakini oleh masyarakat

maritim Banten Barat di desa Labuhan Teluk, desa Carita dan desa Pasauran adalah Islam, maka

kehidupan bermasyarakatnya didasarkan pada nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Islam. Berdasarkan fenomena di lapangan melalui pengamatan kehidupan masyarakat, maka di lihat dari

tempat ibadah dan kegiatan keagamaan yang ada, sarana pendukungnya banyak ditemukan,

seperti mushollah, masjid, pendidikan yang bernafaskan Islam dan juga pengajian-pengajian atau

majelis taklim. Dari sarana pendukung dan bentuk-bentuk kegiatan yang ada tersebut, maka telah mencerminkan bahwa masyarakat maritim di daerah ini terhadap Agamanya ada kepatuhan.

Apalagi, apabila kita berbicara tentang nilai-nilai kehidupan, maka sendi-sendi kehidupan

bermasyarakat dalam menjalankan kegiatan ekonomi akan banyak diargumentasikan dan di dasarkan pada nilai-nilai agama.

Dalam menjalin hubungan kehidupan, masyarakat telah memadukan hubungan mereka

secara vertikal terhadap Allah swt, dan hubungan horizontal terhadap manusia dan alam sekitarnya. Jalinan hubungan yang bersifat horizontal syarat dan di isi dengan nilai-nilai ajaran

agama Islam. Karena itu apabila ada perselisihan antar kehidupan yang berkenaan dengan

kemanusiaan, alternatif jalan penyelesaiannya, lebih didasarkan pada ajaran agama untuk di

selesaikan secara kekeluargaan dan ridho serta ikhlas kepadaNya. Penyadaran seperti ini, maka di masyarakat maritim seolah-olah telah mendarah dagiing, sehingga telah mampu menciptakan

hubungan sosial dan ekonomi yang harmonis, saling menjaga nilai-nilai yang baik bagi semua

golongan yang ada di masyarakat. Adapun hubungan mereka sebagai manusia terhadap alam, sesuai dengan ajaran agama yang mereka terima dan amalkan, bahwa alam beserta segala isinya

adalah ciptaan Allah dan milik Allah, sedangkan kita hanya diberi kesempatan untuk

memanfaatkannya, oleh sebab itu setiap orang telah dituntut untuk ikut menjaga alam sekitarnya, djangan ada nafsu berlebihan untuk merusaknya.

2. Hubungan Agama Dengan Kegiatan Ekonomi.

Pandangan dan kepercayaan tentang hubungan antara agama dengan kegiatan ekonomi masyarakat tampak cukup erat. Sumberdaya alam yang telah dipersepsikan oleh masyarakat

maritim, adalah merupakan hak milik Yang Maha Kuasa (Allah), karena itu wajib dipelihara

bersama dan hasilnya dimanfaatkan bersama-sama pula. Hubungan antara agama dengan

ekonomi dapat di lihat dalam pembentukan nilai-nilai baik dan bijak, seperti semua orang tidak boleh berbuat curang, setiap tindakan hendaknya didasari oleh niat ibadah, dalam hal

melaksanakan pembagian hasil tangkapan harus di lakukan secara adil, dan kekayaan alam yang

terkandung di dalam laut tidak boleh dieksploitasi sewenang-wenang dan merusak, kekayaan laut yang ada di dalamnya harus dijaga bersama, supaya terpupuk kesadaran tidak akan

menghancurkan sumber kehidupan anak cucu dimasa depan. Jadi nilai-nilai dari ajaran-ajaran

agama telah ikut mempengaruhi kegiatan ekonomi, terutama dalam hal cara-cara pemanfaatannya. Di dalam upaya memanfaatkan sumberdaya alam, yaitu kegiatan melakukan

penangkapan ikan atau pengambilan biota di laut, sebagian besar masyarakat sebelum

melakukannya masih tidak lupa memanjatkan permohon melalui doa kepada Yang Maha Kuasa.

Permohonan doa ini dapat dilakukan melalui upacara kenduri (selamatan), yaitu mengumpulkan sebagian warga anggota masyarakat maritim menghadiri syukuran di suatu tempat tertentu atau di

salah satu rumah warga. Tujuan kenduri, dengan memunajatkan doa bersama kepada Khalik,

mudah-mudahan permohonannya Kabul, yaitu agar diberi kemudahan rezki yang banyak dan keselamatan selama mencari rezki ditengah laut.

3. Peranan Agama Dalam Kegiatan Sosial Politik Peranan agama dalam kegiatan sosial politik secara langsung dan tidak langsung ikut

berpengaruh. Pengaruh yang dimaksudkan oleh masyarakat maritim adalah pengaruh dalam

bersikap terhadap suatu keputusan politik tertentu yang kadangkala telah diterjemahkan dalam

bentuk program-program kebijakan. Indikasi bahwa sebuah kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah untuk meningkatkan peran serta dalam pembangunan, yaitu dengan jalan ikut

berpartisipasi aktif memanfaatkan hasil pembangunan tersebut, pembangunannya kadangkala

dapat berbentuk bangunan fisik. Pemanfaatan dari suatu hasil pembangunan yang bersifat fisik, kadangkala acapkali tidak dimanfaatkan optimal. Kenapa menjadi tidak optimal termanfaatkan,

rupanya banyak factor yang ikut mempengaruhinya, seperti peranan pemuka masyarakat sebagai

tokoh agama yang kurang di ikut sertakan dalam proses pembangunannya. Jadi peranan tokoh

agama dalam kegiatan social politik ikut menjadi penting, karena ada anggapan, rendahnya partisipasi seorang tokoh dalam proses pembangunan, hal ini mengindikasikan bahwa

pembangunan tersebut tidak memberikan manfaat kemaslahatan lebih besar pada masyarakat.

Pengambilan keputusan dalam kegiatan sosial politik masyarakat kerapkali dipengaruhi oleh tokoh-tokoh agama, hal ini dapat terjadi karena tokoh masyarakat khususnya para Kiay

adalah orang yang dapat dipercaya. Karena dia merupakan orang kepercayaan dalam masyarakat

yang bersangkutan. Contohnya adalah pada saat menentukan kesepakatan siapa yang sebaiknya memimpin desa setingkat RT, RW atau Kepala Desa, masyarakat biasanya senantiasa melakukan

konsultasi sebelum menentukan pilihannya. Adapun terhadap pertanyaan yang terkait dengan

penggunaan konsepsi atau paham agama dalam mendukung atau menolak suatu program

pembangunan, hal ini memerlukan penelusuran jawaban yang harus hati-hati. Konsepsi agama dalam mendukung program pembangunan pada dasarnya selalu tidak

bertentangan dengan tujuan baik pembangunan tersebut yang diselenggarakan oleh pemerintah

atau oleh masyarakat sendiri. Permasalahan yang muncul, adalah seringkali berkenaan dengan teknis pelaksanaan pembangunan itu sendiri, yaitu yang akan menyentuh kebutuhan langsung

masyarakat maritim sebagai penggunanya. Teknis pelaksanaan yang tidak melibatkan secara utuh

kehidupan masyarakat maritim, seperti aspek sosial, agama dan hukum menyebabkan tertolaknya rencana pelaksanaan pembangunan itu sendiri. Jadi dari sudut sosial politik masyarakat, peranan

agama ternyata ikut berperan dalam menentukan berhasil tidaknya sebuah proses pembangunan

di dalam masyarakat maritim. Karena itu peranan tokoh-tokoh agama dari sudut sosial politik

masyarakat, kenyataannya ikut memainkan peranan penting dan menjadi titik sentral keberhasilan dan kegagalan sebuah proses pembangunan dalam jangka panjang.

EKONOMI.

Ekonomi yang dimaksudkan adalah berkenaan dengan sifat-sifat yang ditinjau dari; orientasi kegiatan berproduksi, aktifitas produksi, tingkat ketergantungan terhadap sumberdaya,

distribusi hasil kegiatan ekonomi dan tingkat konsumsi ikan.

1. Kegiatan Berproduksi.

Orientasi masyarakat maritim Banten Barat di sekitar Kabupaten Pandeglang dan Serang,

tujuan utamanya melakukan kegiatan penangkapan ikan dan pengambilan biota laut lainnya untuk menyambung penghidupan, oleh karena itu setiap hasil tangkapan yang didapat dari kegiatan

penangkapan akan langsung di jual kepada pembeli. Maka jelaslah bahwa kegiatan penangkapan

ikan untuk memenuhi kebutuhan pasar yang tersedia di sektor maritim, dan melalui cara jual beli

ikan atau bentuk lainnya, maka cara-cara inilah yang telah menjamin sistem pasar jual beli ikan dan biota laut lainnya di lingkungan masyarakat maritim terus menerus dapat berlanjut. Volume

hasil tangkapan yang dikhususkan untuk konsumsi rumah tangga, berdasarkan pengamatan

fenomena di lapangan, mereka umumnya mempunyai kecenderungan mengatakan sedikit sekali, yaitu sekitar 15% saja. Kecilnya untuk konsumsi, dikarenakan ikan hasil tangkapan prioritas

utamanya untuk memenuhi pembiayaan keluarga. Padahal kalau diperhatikan, mereka hampir

setiap hari mendapatkan ikan, akan tetapi ternyata ikan-ikan tersebut dan biota laut lainnya lebih diutamakan untuk dijual ke pasar. Pemasaran hasil tangkapan, umumnya secara tradisional telah

di lakukan oleh pedagang yang ada di tempat atau di desa Labuhan Teluk, desa Carita dan desa

Pasauran, dan selanjutnya pedagang-pedagang inilah yang memasarkannya kepada pihak lainnya

yang ada diluar daerah mereka. Nelayan penangkap bebas melakukan penjualan hasil tangkapannya kepada siapa saja yang mereka inginkan, terkecuali mereka yang terikat karena

perjanjian yang bersifat tertulis atau tidak tertulis, atau yang diakibatkan karena adanya pinjaman

lebih dahulu kepada juragan sebelum melakukan penangkapan ikan di laut. Untuk menjaga keseimbangan hubungan sosial akibat dari kegiatan ekonomi, maka sistem bagi hasillah yang

dipakai sebagai sarana ekonomi masyarakat maritim dalam melakukan kegiatan usaha

penangkapannya di laut.

Pandangan terhadap inovasi, adalah berkenaan dengan keadaan kemampuan masyarakat, untuk dapat memanfaatkan atau merekayasa hasil temuan baru dari luar maupun dari dalam,

yang berimplipikasi terhadap perbaikan kinerja usaha maritim setempat (Nasution, Z., dkk, 2004

). Dari hasil pengamatan fenomena di lapangan, sejak tahun 1985 hingga tahun 2004, di lihat dari peralatan kehidupan yang masyarakat maritim gunakan, seperti perahu, jaring dan mesin hampir

tidak mengalami perubahan yang signifikan. Adapun kemampuan peralatan yang lebih baik bagi

penangkapan, hingga sekarang masih jarang ditemukan. Kebutuhan peralatan penangkapan masyarakat maritim mengharapkan ada peralatan yang mampu menghasilkan hasil tangkapan

ikan lebih banyak dan efisein. Dari inovasi teknologi yang terjadi, tampaknya baru sebatas

penggunaan palka berinsulasi tempat ikan untuk kapal yang menggunakan jaring purse-sein,

sedangkan kapal/perahu lainnya masih menggunakan palka tanpa insulasi. Alat bantu penanganan ikan diatas perahu yang di praktekkan oleh nelayan adalah baru sebatas termos es besar atau

kotak es yang terbuat dari busa plastik untuk sebagai tempat menempatkan ikan hasil tangkapan.

Dengan kenyataan bahwa teknologi penangkapan belum banyak berubah, maka kinerja yang terbentuk selama ini mulai dari diatas kapal, setelah pendaratan, selama penjualan yang

meliputi pentransfortasian dan pelelangan, mereka masih menggunakan cara-cara tradisional.

Adapun pembagian pekerjaan, caranya masih berdasarkan pada fungsi-fungsi kepemilikan kapal, juragan/pedagang besar yang juga merangkap sebagai pemilik modal, dan nelayan penangkap

yang sifatnya tetap saja, ternyata banyak yang tidak menguasai harga pasar ikan yang

dijualkannya tersebut. Peranan anak buah perahu/kapal masih diwakili oleh pemilik perahu/kapal

atau orang suruhan dari pemilik modal dan mereka masih berposisi sebagai penerima hasil transaksi akhir. Cara berkomunikasi yang cepat berubah, hanyalah terjadi di tingkat pemilik

kapal/perahu saja, juragan yang sifat kerjanya sangat mobile, mereka telah mampu menggunakan

teknologi komunikasi yang lebih canggih. Pengaruh dari alat komunikasi ini, adalah penguasaan

informasi pasar yang tetap pengendaliannya berada lebih besar di tangan mereka. Nelayan penangkap tetap saja berada dipihak yang lemah dan belum mengalami inovasi, yaitu mulai dari

teknik penangkapannya, kerjasamanya ataupun kemampuan memanfaatkan peluangnya yang

terjadi akibat bergesernya cara-cara berkomunikasi secara tradisonal kearah yang lebih maju. Perubahan tersebut yang mampu memanfaatkannya hanyalah juragan dan pemilik kapal/perahu

saja.

2. Aktivitas Berproduksi.

Alat tangkap dominan yang digunakan mayarakat maritim di desa Labuhan Teluk, desa

Carita dan desa Pasauran dalam mendapatkan hasil sumber daya maritim, guna menunjang proses

produksi atau pemanenan adalah perahu kayu, mulai dari ukuran kecil hingga sedang, dan alat tangkapnya berupa jaring purse-seine, payang, pancing yang dibantu dengan mesin penggerak

untuk mesin in-boat dan out-boat. Alat tangkap yang lainnya dapat berupa bagan tancap dan juga

bagan apung. Perahu yang dipakai masyarakat maritim adalah perahu kayu yang umumnya dibuat oleh masyarakat sendiri, khusus untuk perahu-perahu ukuran kecil dibantu dengan mesin

penggerak motor tempel ber-merk Yamaha atau Donfeng. Perahu kayu ini belum dilengkapi

dengan palka berinsulasi yang baik untuk menahan es supaya tidak hilang meleleh. Nelayan yang menggunakan peralatan tangkap seperti ini, umumnya adalah pemakai jaring payang, dan arad.

Daerah penangkapan mereka tidak terlalu jauh dari lepas pantai yaitu sekitar 2 - 4 mil laut dengan

lama kegiatan penangkapan hanya satu hari, yaitu dimulai dari jam 04.30 pagi dan mendarat

kembali sekitar jam 15.00 sore hari. Hasil tangkapan umumnya adalah ikan tembang, kembung kecil dan tongkol kecil. Untuk kapal besar yang kaskonya masih terbuat dari kayu, telah membuat

yang baik, sebagian palkanya berinsulasi yaitu terdiri dari kayu, busa plastik, kayu dan kadang-

kadang dilapisi fiber-glass, sehingga ikan hasil tangkapan dapat ditangani dengan baik, mutunya tidak cepat rusak. Kapal jenis ini menggunakan alat tangkap umumnya purse-seine dan payang

besar dengan jumlah ABK dari 15 sampai 20 orang, lama operasi bisa mencapai 2 (dua) dan 3

(tiga) hari dengan lokasi penangkapan mencapai sekitar Selat Sunda dan Ujung Kulon. Hasil

tangkapan dapat berupa cakalang (Skipjack Tuna), tongkol (Eastern Little Tunas), tembang (Fringescale Sardinella), kembung (Indian Mackerels), tenggiri (Narrow Barred King

Mackerels), layur (Hardtail/Cutlas fishes) dan lain-lainnya.

Keterampilan fungsional yang dimilki masyarakat maritim yang terkait dengan kehidupannya sehari-hari, sebagai pelaku ekonomi maritim adalah berupa keterampilan yang

terkait langsung dengan kegiatan usaha ekonomi, yaitu kegiatan usaha penangkapan, usaha

pengolahan, usaha pembuatan peralatan penangkapan, usaha pemasaran dan pembiayaan. Kegiatan usaha penangkapan merupakan keterampilan kelompok fungsional yang umumnya

hanya dimiliki oleh kaum laki-laki, sehingga pergi ke laut untuk melakukan penangkapan

merupakan bagian utama pekerjaan mereka. Usaha pengolahan produk hasil tangkapan,

umumnya banyak di lakukan oleh kaum perempuan, sehingga kelompok fungsional keterampilan ini seolah-olah menjadi bagian kehidupan perempuan. Hasil produk olahan yang mereka buat,

umumnya masih terbatas pada produk olahan tradisional, seperti ikan asin, pengasapan,

pemindangan. Adapun kelompok fungsional pembuatan peralatan penangkapan, untuk pembuatan perahu umumnya di lakukan oleh laki-laki, sedangkan pembuatan jaring kadang-kadang di

lakukan juga oleh perempuan, termasuk perbaikannya. Kelompok fungsional pemasaran hasil

tangkapan untuk skala kecil dan masih berada disekitar desa Labuhan Teluk, desa Carita dan desa Pasauran banyak di lakukan oleh perempuan, sedangkan pemasaran dalam jumlah partai besar

umumnya telah di lakukan oleh laki-laki. Dari pola ini tergambarkan pembagian pekerjaan antara

laki-laki dengan perempuan; keterampilan pemasaran ditingkat pengecer di lakukan oleh

perempuan dan sedangkan pemasaran ditingkat pengumpul telah di lakukan oleh laki-laki. Pengelolaan pembiayaan usaha sering di lakukan oleh perempuan, khususnya pada skala usaha

kecil setingkat pengecer, atau mempersiapkan pembiayaan untuk eksploitasi, tetapi pada

tingkatan skala yang lebih besar, maka pengelolaan pembiayaan di telah lakukan oleh laki-laki,

termasuk meminjamkan pada pihak ketiga seperti nelayan penangkap, dan nelayan pengecer. Kemampuan masyarakat maritim dalam membangun kerjasama secara nyata untuk

menyelesaikan pekerjaan tertentu yang memerlukan tenaga kerja lebih dari satu orang dalam

proses produksi telah terjalin dengan baik sekali, baik dalam hubungan sosial, kekerabatan dan keagamaan. Di dalam perahu agar dapat menghasilkan produksi hasil tangkapan yang baik,

pembagian pekerjaannya telah sangat jelas dan harus di lakukan secara bersama-sama, sehingga

setiap orang yang ada diatas perahu, kemampuannya menbangun kerjasama yang didasarkan pada fungsi kerja masing-masing telah mempunyai kemampuan sangat besar, karena, nasib mereka

secara bersamaan tergantung dari kerjasamanya tersebut. Jadi budaya bekerja bersama-sama

diatas perahu, selama pelayaran, antar perahu nelayan dan antar anggota masyarakat satu kaum

merupakan kerjasama mutlak yang harus di lakukan, prinsip ketaatan kepada aturan-aturan yang diberlakukan untuk membangun keharmonisan kerjasama telah menjadi bagian yang diutamakan

secara bersama-sama pula.

3. Tingkat Ketergantungan Pada Sumberdaya.

Masyarakat nelayan desa Labuhan Teluk, desa Carita dan desa Pasauran kebanyakan telah

menjadikan laut sebagai sumber mata pencaharian utamanya dalam menggantungkan hidup. Dengan demikian sumberdaya laut menjadi bagian penting di dalam mendukung kehidupan

masyarakat maritim, maka ditinjau dari pandangan ini, sangatlah beralasan mereka sangat

memperhatikan sumberdaya maritim yang berada disekitar kampung mereka, dan kalau mereka

anggap ada hal-hal yang akan bermanfaat dan mengganggu sumber penghidupannya, mereka selalu siap untuk memanfaatkannya dan juga menjaganya bersama-sama. Dilihat dari tingkat

ketergantungan terhadap sumberdaya maritim, ternyata juga berkaitan langsung dengan

pembiayaan investasi untuk dapat memanfaatkan sumber daya tersebut. Sebagai contoh, dalam upaya nelayan melakukan investasi pada usaha penangkapan ikan. Sesuai dengan keahlian yang

dimiliki oleh masing-masing nelayan, dari fenomena yang ada tampak secara perorangan di lihat

dari kemampuan menyisihkan nilai hasil pekerjaannya untuk melakukan investasi ke sarana

ekonomi dalam bentuk pembelian dan perbaikan peralatan penangkapan, yaitu perahu, jaring dan mesin, mereka belum banyak melakukannya. Sebagai gambaran, investasi secara besar-besaran

kepada peralatan penangkapan belum terlihat nyata, hal ini diindikasikan dengan ukuran, dan

volume perahu yang cenderung tidak banyak mengalami perubahan. Kegiatan usaha penangkapan yang menggunakan kapal pukat cincin (purse-sein board), bobotnya hanya antara 20 GT hingga

40 GT dengan kapasitas dari 10 ton hingga 20 ton saja. Dari nelayan skala kecil yang jarak

operasinya ke daerah penangkapan hanya 2 hingga 4 mil laut, juga tampak fenomena tentang nyisihan hasil tangkapan untuk investasi, juga cenderung tidak banyak mengalami perkembangan,

bahkan ada lkecenderungan beberapa perahu tidak dapat lagi beroperasi karena biaya

operasionalnya tidak mampu ditutupi dengan nilai hasil tagkapannya.

Kemudian yang juga cukup menarik dari tiga desa masyarakat maritim, kelakuan apabila di lihat dari kemampuan menyisihkan hasil pendapatan mereka dari kegiatan penangkapan untuk

investasi masa depan secara fenomial dapat diamati dalam bentuk pembangunan perumahan.

Pertama, untuk desa Labuhan Teluk rata-rata masyarakat maritim memiliki perumahan yang masih sederhana dengan tipe-tipe; bangunan semi permanen, sebagian ada juga yang permanen.

Kalau keadaan ini dilihat dari fenomena perbandingan antara tahun 1985 dengan tahun 2004

memang menunjukkan adanya perubahan, tetapi perubahan yang terjadi tidaklah pesat. Kedua, untuk desa Carita, nelayannya juga kurang mengalami kemajuan yang berarti, padahal disekitar

perkampungan mereka telah berdiri beragam hotel dan tempat rekreasi pantai yang cukup baik

dan terkenal serta selalu ramai pengunjung, tetapi dampaknya terhadap perekmbangan desa

masyarakat maritim disekitarnya belum begitu menggembirakan, kenapa hal ini ikut terjadi, tampaknya masih memerlukan peninjauan tersendiri yang lebih mendalam lagi. Ketiga, di desa

Pasauran, perkampungan mereka masih sederhana dengan kehidupan ekonomi juga sederhana,

kesederhanaan terjadi karena peralatan penangkapan yang mereka gunakan umumnya dalam

bentuk skala kecil. Perkembangan yang terjadi apabila di kaitkan dengan diversifikasi mata pencaharian alternatif. Diversivikasi mata pencaharian alternatif akan ikut dikembangkan oleh

masyarakat maritim, berdasarkan dari fenomena yang ada, sangat jelas terkait erat dengan hasil

sumberdaya maritimnya, baik dari maritim tangkap atau dari budidaya. Mata pencaharian alternatif di lihat dari struktur diversifikasi kegiatan usaha seperti penangkapan, pengolahan,

perdagangan, pembuatan peralatan penangkapan tampaknya masih terbatas. Perkembangan alat

penangkapan yang terjadi di daerah lainnya yang telah menjadikan daerah mereka sebagai daerah penangkapan baru yang di lakukan secara reguler yang datang dari Cirebon dan Rembang,

ternyata juga tidak merubah banyak perahu kecilnya menjadi perahu yang lebih besar, dan tidak

pula mempunyai pengaruh terhadap perubahan dinamika ekonomi masyarakat maritim di wilayah

pantai Barat Banten pada umumnya. Untuk desa Labuhan Teluk, dari pengamatan sejak tahun 1980 hingga sekarang belum

terlalu banyak mengalami perubahan sarana maritim yang lebih baik dengan manajemen yang

juga baik. Dari beberapa pengamatan, kesulitan menerima pengembangan dari luar secara drastis atau cepat, hal ini dapat terjadi, karena masyarakatnya ada kecenderungan tetap mempertahankan

keadaan yang telah ada selama ini. Jadi mata pencaharian alternatif, terutama yang berasal dari

luar masyarakatnya akan sulit diterima, mereka tidak ingin menambah resiko baru bagi kestabilan kehidupan mereka. Sikap bertahan ini terjadi mungkin terkait dengan pantai Barat Pulau Jawa

yang bergelombang ganas dan pantainya sempit serta tidak terlindung, kondisi alam yang

sedemikian ganas dengan kemampuan yang sangat terbatas, telah menyulitkan mereka untuk

menerima hal-hal baru dari luar, alas an utamanya karena resiko keamanan yang akan mereka dapatkan mungkin lebih besar lagi.

4. Distribusi Kegiatan Ekonomi. Saling ketergantungan fungsional dalam kegiatan ekonomi sektor maritim adalah

keterkaitan antar sumberdaya, peralatan penangkapan, pasar dan manusia. Kegiatan ekonomi

adalah merupakan representasi dari adanya permintaan dan penawaran . Penawaran terjadi karena

adanya hasil produksi dari exploitasi sumberdaya, dan permintaan terjadi karena adanya pasar, sedangkan teknologi penangkapan dan manusia merupakan sarana penggeraknya (Dahuri, R.

2003). Keterkaitan ini dapat ditinjau dari dua sisi, pertama, keterkaitan secara langsung dan

kedua, keterkaitan secara tidak langsung. Keterkaitan langsung adalah peran dari sumberdaya ikan dan biota lainnya, dan kegiatan penangkapan yang menghasilkan produksi hasil tangkapan

dalam bentuk segar dan olahan, dan pasar menciptakan penawaran dan permintaannya, kemudian

keterkaitan ini dapat pula disebut sebagai hubungan positif. Keterkaitan yang tidak bersifat langsung, yaitu peranan kegiatan yang di lakukan oleh para pemegang modal, pedagang kecil

dan besar, dan juga komisioner atau perantara. Peranan mereka menggerakkan kegiatan ekonomi

cukup besar, karena mekanisme pasar sebagian terbesar berada dibawah pengendalian mereka,

dab bentuk pengendalian seperti mempertemukan pembeli lokal dan pembeli dari luar, juga termasuk norma-norma pasar yang berlaku di daerah yang menjadi pengendalian mereka. Apabila

memperhatikan pekerjaan spesialis, tampak dengan jelas setiap pekerjaan spesialis mendapat

pengakuan dan dihargai dengan prosentase atau bagian tertentu yang berbeda dengan bagian orang yang tidak mempunyai spesialisasi yang diatur dan tercermin secara jelas dalam sistem

bagi hasil. Peran dari sistem bagi hasil adalah mengatur mekanisme mulai dari persiapan

penangkapan, hasil tangkapan setiap kali mendarat, dan pelaksanaan pembagian hasil produksi tangkapan berdasarkan sistem bagi hasil yang telah berlaku dan diakui secara umum oleh setiap

anggota masyarakat nelayan di desa Labuhan Teluk, desa Carita dan desa Pasauran. Pembagian

bagi hasil ini, untuk pemilik mendapatkan 2,5 (dua) bagian, nakhoda 1,5 (satu setengah) bagian

dan anggota lainnya masing-masing 1 (satu) bagian, sedangkan pemberi pinjaman mendapat 10% dari raman kotor setiap kali kapal/perahu mendarat dan menjual hasil tangkapannya. Potongan

10% tidak mengurangi jumlah modal pinjaman yang diberikan oleh peminjam, terkecuali kalau

seluruh modal pinjamannya di kembalikan secara kontan. Adapun kisaran jumlah total bagian

yang dibagikan adalah antara 4 (empat) bagian hingga 5 (lima) bagian untuk kapal ukuran antara 3 hingga 7 GT, sedangkan Kapal purse-sein bisa mencapai 25 bagian. Jadi jelas sekali peran

sistem bagi hasil dalam mewujutkan kegiatan ekonomi masyarakat maritim, dan sistem inilah

yang mengakar dalam kehidupan mereka, termasuk hubungan sosial dan moral yang hidup dalam masyarakat, semuanya terkait dengan peranan sistem bagi hasil tersebut.

Distribusi kegiatan ekonomi kalau dilihat dari strukturnya, maka berdasarkan

keseimbangan pendistribusian terjadi interdependensi yang simetris, yaitu dimana berdasarkan posisi tawar menawar atau pembagian kekuatan (bargaining position/power sharing) terhadap

akses ke sumberdaya ekonomi berada pada titik berimbang. Interdependensi yang simetris secara

ideal agak sulit dikenali tanpa adanya riset yang mendalam mengenai ekonomi maritim.

Interdependensi secara kasar masih dapat dikenali secara umum melalui struktur kegiatan ekonomi yang di lakukan oleh masyarakat maritim melalui pembagian pekerjaannya, mulai dari

pengeksploitasian sumberdaya, pemasaran hasil dan sistem bagi hasil yang diberlakukan, dan

masyarakat maritim mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, apabila di lihat dari interdependensi antar elemen, ternyata antar nelayan mempraktekkan saling

memberikan informasi dan kesempatan untuk ikut melakukan kegiatan usaha penangkapan di

lokasi fishing ground yang sama, bersamaan dengan itu terbentuk pula jaringan perdagangan hasil tangkapan ikan atau biota laut lainnya, yaitu ikan, udang (shrimp), kepiting (mud crubs), dan

biota laut lainnya. Begitu juga hubungan timbal balik akibat dari kegiatan ekonomi, juga terjadi

antara kegiatan usaha yang dilakukan laki-laki, seperti penangkapan ikan dengan kegiatan usaha

yang dilakukan perempuan, seperti pedagang kecil di tingkat retailer atau kegiatan pengolahan ikan. Ditinjau dari sini, maka ada hubungan timbal balik yang saling membutuhkan antara

nelayan penangkap, dengan kaum perempuan yang umumnya adalah para pelaku usaha pengecer

ikan/udang (shrimp)/kepiting (mud crubs) atau biota laut lainnya, dan juga ibu rumah tangga yang merangkap sebagai yang menjualkan hasil tangkapan atau mengolahnya menjadi produk ikan

olahan.

Pekerjaan yang ada di dalam masyarakat maritim telah terdeferensiasi menghasilkan

struktur kerja menurut sifat pekerjaannya (Taryono, Andin. 1999). Di lihat dari gender, kaum laki-laki melakukan pekerjaan penangkapan ikan ditengah laut, sedangkan kaum perempuan

melakukan pekerjaan perdagangan ikan, pengolahan dan perbaikan jaring. Jenis-jenis pekerjaan

yang berdasarkan spesialisasi atau keahlian ini telah di lakukan secara turun temurun. Maka pekerjaan di masyarakat maritim telah menciptakan kondisi kerja yang saling tergantung secara

harmoni. Keharmonian itu dapat dilihat, pekerjaan yang menuntut lebih banyak di perairan, di

lakukan oleh laki-laki seperti berlayar, menangkap ikan, menyelam, memperbaiki mesin, memperbaiki perahu, memasang jaring dan menentukan arus dan musim ikan. Adapun pekerjaan

yang menuntut lebih banyak di lakukan di darat, umumnya telah menjadi pekerjaan perempuan,

seperti mendagangkan ikan, udang (shrimp), melakukan pengolahan pengawetan ikan, dan

mengatur rumah tangga selama suaminya dan kaum lelakinya ke laut. Kemampuan membangun kerjasama secara nyata, untuk menyelesaikan pekerjaan tertentu

diantara anggota masyarakat maritim telah terjalin dengan baik sekali, baik dalam hubungan

sosial, kekerabatan dan keagamaan (Wahyono dkk, 2001) . Pembagian pekerjaan tersebut dengan jelas sekali terlihat di dalam perahu atau kapal. Pembagian pekerjaan yang telah sangat jelas dan

harus di lakukan secara bersama-sama ini tujuannya adalah agar setiap orang yang ada diatas

perahu selamat. Kemampuan membangun kerjasama yang sangat besar tercipta karena didorong supaya nasib mereka tidak celaka, kecelakaan itu dapat dihindari apabila secara bersamaan

mampu menciptakan keharmonisan kerja yang bertanggung jawab. Jadi budaya bekerja bersama-

sama diatas perahu, selama pelayaran, antar perahu nelayan dan antar anggota masyarakat satu

kaum merupakan kerjasama mutlak yang harus di lakukan, prinsip ketaatan kepada aturan-aturan yang diberlakukan untuk membangun keharmonisan kerjasama telah menjadi bagian yang

diutamakan secara bersama-sama.

Praktek sistem bagi hasil adalah cerminan kegiatan ekonomi, sosial dan hukum yang

berlaku di dalam masyarakat maritim (Kusnadi, 2000). Sistem bagi hasil merupakan alat bantu ekonomi yang mengatur mekanisme usaha kegiatan usaha penangkapan antara pemilik modal

yang biasanya menjadi pemilik perahu, jaring dan mesin, sehingga tenaga kerja yang melakukan

penangkapan atau sering disebut sebagai anak buah perahu (ABK) terikat kepadanya. Jadi peran sistem bagi hasil dalam mewujutkan kegiatan ekonomi masyarakat maritim adalah sangat

mengakar dalam kehidupan mereka, termasuk bentuk-bentuk hubungan sosial dan moral yang

hidup dalam masyarakat, semuanya terkait dengan peranan sistem bagi hasil tersebut. Untuk contoh sebuah kasus di masyarakat maritim pantai Barat Banten, untuk usaha kegiatan

penangkapan susunannya adalah sebagai berikut;

a). produksi hasil tangkapan kotor yang dikalikan dengan harga ikan di pelelangan atau penjualan langsung, yang disebut sebagai hasil penjualan kotor.

b). hasil penjualan kotor dipotong sebanyak 10% terlebih dahulu bagi yang menggunakan modal

pinjaman dan sisanya dipotong dengan biaya eksploitasi. c). Sisa pendapatn setelah dipotong biaya eksploitasi, kemudian dibagi dua bagian, satu bagian

untuk pemilik dan satu bagian lagi untuk tenaga kerja.

d). hasil bagian dari tenaga kerja kemudian dibagi menurut spesialisasi pekerjaannya; d.1. Nakhoda mendapat 1.5 bagian

d.2. Juru mesin mendapat 1,25 bagian

d.3. Juru batu mendapat 0,25 bagian

d.4. Tenaga kerja lainnya mendapat masing-masing 1 bagian.

Disisi lainnya, dalam menjalani kehidupan, masyarakat nmaritim ada juga yang melakukan

praktek pembagian hasil dengan susunan; pembagian untuk kasko 1 bagian, untuk jaring 1 bagian, untuk mesin 1 bagian, untuk biaya eksploitasi 1 bagian dan untuk anak buah perahu 1

bagian, sehingga total bagian adalah 5 bagian. Dari besaran pembagian ini, di dalam masyarakat

menampakkan sebaran kontribusi dari masing-masing pelaku kegiatan sesuai dengan

spesilisasinya sudah terpenuhi, tetapi dilihat dari prinsip-prinsip keadilannya tampaknya belum tercapai. Ketidak adilan tersebut belum tercapai karena bagian kasko, bagian jaring dan bagian

mesin karena sering dibiayai oleh pemilik modal atau juragan dalam bahasa daerah. Kedudukan

kepemilikan menyebabkan juragan mempunyai kekuatan ikut mengatur penjualan ikan hasil tangkapan nelayan. Ada keterkaitan langsung antara nelayan dengan juragan, dalam hal menjual

ikan hasil tangkapan, seperti ada kewajiban menjualkannya kepada pemilik modal, walaupun

melalui mekanisme pelelangan ikan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Pembagian insentif melalui sistem bagi hasil belum dijalankan oleh semua orang, dapat dikatakan usaha kegiatan

penangkapan tergantung pada juragan yang bertindak sebagai supplier, sebagai pemberi pinjaman

modal kerja, dapat memberikan peluang kesejahteraan kepada masyarakat maritim (Pranadji, T.

2003). Dalam kenyataan social, secara fenomena peranan juragan menjadi semakin penting di dalam menjalankan kehidupan ekonomi masyarakat, dikarenakan banyak anggota nelayan yang

permodalan kerjanya terbatas, sehingga menyebabkan mereka tidak dapat pergi ke laut apabila

tidak meminjam modal kerja dari juragannya. Peran pemilik modal sebenarnya dapat di revitalisasikan menjadi lembaga permodalan masyarakat maritim yang terkelola dengan baik

menurut peraturan, apabila ada paying hukumnya.

KELEMBAGAAN

Kelembagaan yang dimaksudkan adalah berkenaan dengan sifat-sifat yang ditinjau dari;

asal usul lembaga, fungsi lembaga,dan aturan main dalam lembaga.

1. Asal Usul Lembaga.

Sejarah terbentuknya suatu lembaga di dalam masyarakat maritim di Kabupaten

Pandeglang dan Serang, di lihat dari proses pembentukannya, ada dua tipe kelembagaan. Pertama, kelembagaan yang bersifat formal, lembaga ini diprogramkan oleh pemerintah yang

diperuntukkan bagi masyarakat maritim, tipe kelembagaan adalah mewadahi kegiatan ekonomi,

untuk itu dibuatkan pula panduan AD/ARTnya, seperti Koperasi Mina. Adapun untuk HNSI, kelembagaannya bersifat social, juga disiapkan pula AD/ARTnya, sedangkan untuk Tempat

Pelelangan Ikan (TPI), aturan kerjanya disiapkan oleh pemerintah. Kedua, kelembagaan yang

berasal dari masyarakat maritim, umumnya bersifat non-formal, tipe kelembagaan adalah mewadahi kegiatan social, atau keagamaan, bentuknya biasanya berupa kelompok pengajian

(majelis taklim), asosiasi penjualan ikan dan lain-lainnya. Kemudian pada umumnya, jenis-jenis

kelembagaan yang murni swadaya masyarakat tidak banyak yang dilengkapai dengan AD/ART.

2. Fungsi Lembaga.

Keberadaan lembaga seperti Koperasi Mina, secara fenomial dapat dikatakan belum

optimal fungsinya dalam menjalankan aktivitasnya, tetapi untuk HNSI sejauh ini sedikit banyaknya telah ikut dapat meredam atau menyelesaikan konflik yang terjadi dalam masyarakat

Nelayan. Sebagai contoh, konflik yang terjadi di daerah penangkapan ikan di Kabupaten

Pandeglang dan Serang, umumnya terpicu oleh nelayan datangan dari Pulau Sumatera. Nelayan datangan yang ikut menangkap ikan dengan tanpa aturan yang baik menurut masyarakat maritim,

akan mengundang kecemburuna dan ke tidak adilan. Nelayan pendatang ini umumnya

menggunakan armada penangkapan dalam ukuran besar, yaitu diatas 40 GT. Nelayan pendatang

ini oleh masyarakat maritim telah dianggap merugikan, karena hasil tangkapan tangkapan mereka ikut berkurang. Sikap yang ditunjukkan oleh masyarakat maritim tempatan adalah melindungi

kepentingan mereka, dengan cara mengusir atau melakukan penangkapan terhadap nelayan

pendatang tersebut. Penyelesaian konflik yang pernah terjadi selalu diupayakan dengan jalan musayawarah, begitu juga kalau terjadi dengan diantara sesama nelayan lokal. Peranan tokoh

masyarakat ikut mendamaikan cukup besar, hal ini biasanya dilakukan oleh masyarakat sendiri

melalui organisasi formal seperti HNSI. Adapun untuk penggalangan kebersamaan yang di

lakukan oleh lembaga formal seperti Koperasi Mina, HNSI, dalam hal ini masyarakat maritim melihatnya masih kurang berperan, kekurangan tersebut disebabkan karena pengorganisasiannya

kurang menyentuh kebutuhan masyarakat, masyarakat cenderung menjadikannya hanya sebagai

organisasi yang terpisah dari kebutuhan langsung dalam kehidupan bermasyarakat mereka.

3. Aturan Main Lembaga.

Setiap lembaga, baik yang formal atau yang in-formal memiliki aturan mainnya sendiri-sendiri dalam melakukan kegiatan kelembagaannya. Masyarakat nelayan sebagai anggota

masyarakat yang apabila ikut menjadi salah satu kegiatan atau menjadi anggota suatu

kelembagaan seperti koperasi, HNSI, kelompok pengajian, asosiasi perdagangan atau paguyuban

sosial tertentu, dan lain lainnya harus mengikuti aturan main tersebut. Dalam hal memiliki dan mempunyai kemampuan penggunaan rasionalitas pada setiap pengambilan keputusan di dalam

lembaga tersebut, masyarakat masih cenderung menyerahkannya pada pemimpin mereka saja.

Dari fenomena di lapangan terhadap tanda-tanda organisasi formal atau in-formal, penandaannya hanya sebagai simbolek saja tentang keberadaan mereka. Informasi yang didapatkan melalui

beberapa tokoh masyarakat, kelembagaan yang ada, baru sebatas Koperasi, HNSI dan Pengajian.

Mengenai aturan main yang ada di dalam kelembagaan tersebut, ternyata tidak semua anggota, apalagi masyarakat mengetahuinya secara terbuka. Maka secara umum dapat dikatakan,

sementara ini masyarakat maritim belum mempunyai daya kemampuan menggunakan

rasionalitasnya untuk ikut berproses secara wajar dan terbuka ikut menentukan dan mengambil

berbagai keputusan dari lembaga-lembaga yang ada dan tersedia di masyarakat. Kemampuan masyarakat maritim yang menjadi anggota suatu lembaga tertentu dalam

bersikap untuk menghindari berbuat yang bertentangan dengan kaidah umum sehingga eksistensi

norma-norma masyarakat yang berlaku setempat terhadap ketaatan terhadap hak dan kewajiban

sebagai anggota suatu lembaga agar masih tetap terjaga, secara fenomial kepatuhan itu dimiliki oleh setiap anggota masyarakatnya, itu dibuktikan dengan kebersamaan yang kental. Masyarakat

maritim menunjukkan sikap koperatif, bilamana kegiatan usaha penangkapan, pengolahan,

perdagangan ikan dan biota lainnya dapat saling menguntungkan (Dahuri, R. 2000). Sikap menentang akan terjadi apabila ada masyarakat datangan yang memaksakan kehendaknya,

sehingga anggota masyarakat maritim tempatan harus ikut pada kehendak cara-cara yang dibuat

dan ditentukan oleh pendatang. Jadi norma-norma kerjasama yang lembut dapat menjadi keras, keadaan itu terpicu bila dianggap ada jagoan dari suku etnis tertentu sebagai pendatang telah

merugikan di lingkungan masyarakat. Norma umum yang berlaku supaya tetap hidup harmonis,

dapat menyimpang kepada kekerasan, seperti sikap mengusir atau meniadakan karena ada

penentangan dari jagoan pendatang tersebut. Keberadaan dan penerapan sanksi atas pelanggaran terhadap norma-norma yang berlaku

atau diterapkan di dalam kehidupan social masyarakat maritim, kalau di lihat dari bentuk dan

mekanisme sanksi atas pelanggaran terhadap norma-norma masyarakat, aturan kebiasaan yang dipakai adalah sebagai berikut; a). Terhadap pelanggaran norma-norma umum yang berlaku

dalam masyarakat, yaitu seperti mempermalukan, tidak mengindahkan kesepakatan perjanjian

yang telah diterima masyarakat, menganggap norma yang ada dan hidup dalam masyarakat tidak penting, dll, maka akan ditempuh dengan cara-cara musyawarah. Lembaga musyawarah yaitu

mempertemukan setiap orang atau kelompok yang berselisih dan kemudian dipimpin oleh tokoh

masyarakat atau orang yang dituakan, kemudian secara adil mencari kebenaran bersama untuk

menemukan akar perselisihan, atas kesepakatan kedua belah pihak, maka kata mufakatpun diputuskan. Inti kesepakatan adalah mentaati bersama hasil musyawarah, dan kedua belah pihak

tidak melakukannya kembali. b).Terhadap pelanggaran berat yang bersifat kriminal atau perdata,

masyarakat mengadukannya kepada yang berwajib setelah bermusyawarah terlebih dahulu dengan pemuka masyarakat yang ada di tempat kejadian, tujuannya agar dapat diselesaikan

menurut hukum dan peraturan yang berlaku. c).Terhadap orang yang sengaja mengabaikan semua

aturan yang berlaku yaitu norma-norma dan hukum formal, apabila tidak ada penyelesaian maka

masyarakat dapat bersikap tegas secara massal. Tindakan masyarakat secara massal biasanya mengarah pada kekerasan, seperti adanya penangkapan kapal yang melanggar fishing ground

akan dirusak atau di usir dengan cara kekerasan.

POLITIK.

Yang dimaksudkan dengan politik lebih ditujukan kepada yang berkenaan dengan;

kepemimpinan, penilaian kepemimpinan oleh masyarakat, proses pengambilan keputusan publik, dan hubungan pemegang kekuasaan lokal dengan luar.

1. Kepemimpinan.

Berkenaan dengan pemimpin adalah yang berhubungan dengan sejauh mana kepemimpinan dapat dipahami, yang kemudian menjadi bagian pengetahuan dan sesuai dengan

kebutuhan masyarakat setempat dimasa datang (Haryanto, R. Harry, 2001). Kepemimpinan yang

dimiliki oleh seorang pemimpin masyarakat maritim ada kecenderungan dengan type dari organisasi atau kelembagaan yang dia pimpin. Kepemimpinan ditingkat desa di dalam masyarakat

maritim, minimal mempunyai dua pola kepemimpinan; Pertama yaitu kepemimpinan

berdasarkan kelembagaan formal seperti kepala desa dan Kedua, kepemimpinan berdasarkan kelembagaan in-formal seperti tokoh masyarakat. Untuk kriteria pertama, umumnya memiliki

tujuan ingin meningkatkan kesejahteraan dan menjaga kedamaian masyarakat maritimnya

berdasarkan aturan-aturan yang telah berlaku. Kedua umumnya mempunyai keinginan yang lebih

menekankan kepada penciptaan keseganan pada kepemimpinannya untuk mencapai kesejahteraan. Kesejahteraan yang dimaksud adalah kesejahteraan yang didapat dengan cara-cara

yang baik dan menurut aqidah ajaran-ajaran agama, terutama agama Islam, dan kedamaian

dicapai melalui kegiatan keagamaan atau kegiatan sosial yang syarat dengan pesan moral

kebaikan, seperti tidak bohong, angkuh, atau mau menang sendiri. Untuk keseganan biasanya melalui pendekatan agak lebih keras, sehingga pemimpin mereka tersebut memang dianggap

berwibawa dengan ketegasannya tersebut.

Pemimpin in-formal di dalam masyuarakan maritim dihargai masyarakat karena mampu menjembatani kepentingan nelayan yang ada di desa Labuhan Teluk, desa Carita dan desa

Pasauran. Penilaian ini terjadi karena pemimpin mereka dianggap mampu memiliki daya, yaitu

menyangkut kemampuan memahami dan menempatkan diri pada kondisi dan persepsi pihak lain, yaitu anggota masyarakat di dalam masyarakat maritim, atau di luar nelayan mendapatkan

manfaat bersama apabila ada permasalahan. Prinsip ini juga dinilai, baik oleh masyarakat nelayan

dari sisi daya kepemimpinan yang dicirikan mampu berkorban untuk memperoleh kepercayaan

masyarakat. Dimana, kepercayaan tersebutlah yang dapat digunakan oleh seorang pemimpin untuk menggerakkan kemajuan ekonomi masyarakat maritim setempat secara lebih cepat dan

terarah. Dari kepemimpinan in-formal yang ada di masyarakat maritim ada terlihat fenomena

tentang daya empati, ini dapat di lihat dari seringnya tokoh masyarakat bersama dan berada di lingkungan masyarakat, mereka menyatu ikut terjun langsung menyelesaikan setiap permasalahan

yang mucul dari masyarakat maritimnya, baik berkenaan dengan sesama masyarakat maritim

atau dengan masyarakat maritim desa lainnya. Pengorbanan yang diberikan, adalah seringnya tidak kenal pamrih dalam setiap kali melaksanakan kegiatan sosial di dalam masyarakatnya,

sehingga kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinannya semakin besar. Dari kepercayaan

yang diperoleh tersebut, ternyata mampu dan telah dapat digunakan untuk menggerakkan

kemajuan ekonomi masyarakat nelayan setempat lebih cepat dan terarah.

Gambar: Tokoh informal masyarakat maritim.

Pemimpin yang memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik dengan anggota

masyarakat yang dipimpinnya, sehingga mengkomunikasikan keinginannya yang rasional dapat ditangkap dan dipahami dengan jelas oleh lawan bicaranya. Kemampuan berkomunikasi dari

seorang pemimpin dapat terdeteksi dari hasil diskusi dengan tokoh masyarakat, mereka

menginformasikan sebagian besar pemimpin di dalam masyarakat telah mampu menyerap

sebagian besar keinginan masyarakatnya. Hasil yang didapatkan adalah sedikitnya gejolak salah pengertian atau ketidak puasan terhadap pemimpin yang datang dari anggota masyarakat. Dimana

saja pemimpin mereka berada, senantiasa disambut dengan empati, dan ini menunjukkan bahwa

pemimpin desa dan tokoh masyarakat adalah kebanggaan mereka yang patut dibanggakan. Berita yang diberikan pada umumnya kepada tamu yang datang dari luaran, hampir tidak terdengar nada

miring yang diperdengarkan. Hal ini adalah hasil dari kekentalan berkomunikasi pemimpin, dan

komunikasi yang disampaikan, ternyata dihargai dan dihormati oleh masyarakatnya. Bentuk penghormatan adalah berupa mengindahkan segala petunjuk dan tuntunan yang diberikan oleh

pemimpin masyarakatnya, yaitu berupa ikut berperan aktif menyampaikan pesan-pesan yang

diberikan oleh pemimpinnya kepada berbagai pihak yang dianggap perlu. Adapun yang

berkenaan dengan kemampuan pemimpin memberi inspirasi, yang dimaksudkan adalah menggerakkan masyarakat kearah pembangunan kesejahteraan yang lebih baik melalui kegiatan

usaha penangkapan ikan di laut. Menggerakkan kegiatan usaha yang dimaksudkan adalah

berusaha secara baik mengikuti norma-norma kebiasaan yang telah berlaku di dalam masyarakat maritim. Usaha yang baik ini adalah usaha yang saling memberikan peluang untuk hidup lebih

baik, tidak melakukan penjegalan usaha pada pihak-pihak lain, sehingga mengakibatkan

kerugian, baik bersama-sama maupun perorangan. Adapun tindakan mengarahkan anggota masyarakat yang dipimpinnya, adalah agar semua masyarakat tetap dapat menjaga kebersamaan,

ketertiban, keamanan, sehingga peluang usaha sebagai daerah pariwisata dapat terbuka dengan

lebih baik lagi. Pendatang yang berwisata merasa aman dan mau berlama-lama di daerah ini,

untuk itu pemimpinnya mengarahkan supaya masyarakat senantiasa dapat menjaga kesopanan dan ketertiban serta keharmonisan pada semua golongan dan lapisan masyarakat.

2. Penilaian Kepemimpinan. Penilaian kepemimpinan adalah berhubungan dengan seberapa jauh anggota masyarakat

setempat memberikan penilaian terhadap tokoh pemimpin di lihat dari aspek kejujuran,

mengemban kepercayaan dan menerapkan prinsip keadilan serta memiliki kematangan

emosional. Aspek kejujuran, mengemban kepercayaan dan menerapkan prinsip keadilan serta memiliki kematangan emosional adalah aspek-aspek yang tidak bisa dilepaskan dengan integritas.

Integritas yang dimaksudkan oleh masyarakat dalam diskusi adalah seberapa jauh anggota

masyarakat setempat ikut memberikan penilaian terhadap pemimpinnya selama mereka menjadi tokoh atau menjalankan kepemimpinan mereka di dalam masyarakat nelayan. Pada umumnya

integritas pemimpin yang dikehendaki adalah pemimpin yang sepenuhnya mencurahkan

perhatiannya untuk mengayomi masyarakatnya sehingga masyarakatnya memiliki kebanggaan atas kepemimpinannya, dan masyarakat merasa punya orang yang mampu mengangkat harkat

pribadinya dihadapan masyarakat kelompok lainnya. Di daerah desa Labuhan Teluk, desa Carita

dan desa Pasauran, tipe kepemimpinan yang dimaksudkan masih banyak bertumpu kepada

pendekar atau Ustad. Pendekar disegani karena kewibawaannya, yang terpercaya dan disegani, dan ustad karena merekalah yang dianggap masyarakat memiliki kejujuran, amanah, adil dan

berwajah teduh, jumlah orang yang memiliki criteria diatas tidak terlalu banyak.

3. Pengambilan Keputusan Publik.

Proses pengambilan keputusan adalah suatu kondisi yang berkaitan dengan transparansi,

akuntabel, terbuka dan terhindar dari conflict of interest. Untuk transparansi, ini lebih banyak menekankan pada faktor-faktor yang dijadikan dasar pengambilan keputusan yang boleh

diketahui secara luas oleh anggota masyarakat. Dari informasi tokoh masyarakat maritim melalui

diskusi, tergambarkan bahwa faktor-faktor yang biasa menjadi bahan pertimbangan untuk

membuat keputusan adalah menyangkut kepentingan masyarakat luas. Di dalam organisasi formal, seperti Kepala Desa, proses pembuatan keputusannya sekarang ini melalui musyawarah

antara DPD dengan Lurahnya/Kepala Desanya terlebih dahulu. Masyarakat maritim dapat

menyalurkan aspirasinya melalui DPD yang telah dipilih secara langsung oleh masyarakatnya

untuk dapat memperjuangkan aspirasi mereka dan di perjuangkan dalam persidangan-persidangan DPD agar menjadi program Lurah. Dari fenomena secara umum, proses ini belum sepenuhnya

terbuka, karena sebagian besar masyarakat maritim masih buta huruf, sehingga aturan-aturan

formal yang telah ada masih sulit dipahami oleh mereka tersebut. Adapun yang menjadi anggota HNSI, proses pengambilan keputusan organisasinya didasarkan pada aturan-aturan HNSI, yang

ada di dalam AD dan ARTnya, dengan demikian setiap keputusan harus didasarkan pada aturan

yang telah ada tersebut. Tingkat transparansi yang terjadi belum dapat dengan jelas diberitakan, untuk aspek ini masih perlu penggalian lebih lanjut. Adapun di lembaga-lembaga in-formal yang

tumbuh dan diadalkan oleh masyarakat, proses pengambilan keputusannya di tingkat pemimpin

lembaga masih banyak menggunakan pendekatan kepercayaan. Jadi proses keputusan hanya

berada di beberapa tangan saja, khususnya pimpinan teras. Proses pengambilan keputusan dihubungkan dengan faktor-faktor yang dinilai penting

pada unsur kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat, dan ini mencerminkan pemikiran yang

dapat diterima secara kolektif, sejauh ini ada benarnya. Kebenaran tersebut dapat di lihat dari keberlangsungan kehidupan masyarakat maritim yang relatif harmoni sepanjang waktu, keadaan

ini tercipta dikarenakan adanya norma-norma kebiasaan berupa nilai-nilai budaya yang dipatuhi

bersama, sehingga mampu merakit dinamika kehidupan bersama secara baik. Nilai-nilai budaya inilah yang mendasari proses pengambilan keputusan (Cernea, M.M., 1988), sehingga setiap hasil

keputusan yang diambil di berbagai level, senantiasa dapat diterima oleh masyarakat pada

umumnya, dipatuhi dan dijalankan. Adapun yang berkaitan dengan persinggungan sosial dan

budaya yang cenderung saling merugikan hampir-hampir tidak ada. Buktinya, menurut beberapa tokoh masyarakat setempat, pariwisata dapat berjalan, kegiatan kebudayaan datangan dapat

diterima, begitu juga kegiatan sosial tidak menciptakan antagonisme nilai-nilai, dan aktivitas

ekonomi tetap berlangsung dengan normal. Di lihat dari aturan representasi publik, masyarakat maritim diberi kebebasan untuk melakukan komunikasi langsung kepada pemimpin-

pemimpinnya, yaitu pemimpin formal seperti lurahnya, baik secara perorangan maupun dengan

kelompok untuk menyampaikan berbagai saran atau usulan demi kebaikan kampungnya.

Demikian pula masyarakat diberi kesempatan untuk melakukan penilaian dan pengawasan terhadap kelemahan pada penerapan azas rasionalitas dan akuntabilitas, sehingga keputusan yang

telah diambil dapat dikaji kembali secara transfaran dan bersama-sama secara adil, dan apabila

perlu membuat keputusan baru lagi melalui aturan-aturan yang telah ada. Untuk pemimpin yang memimpin lembaga-lembaga informal, proses keterbukaan untuk

diaudit belum banyak di lakukan oleh masyarakat, karena aturan-aturannya masih banyak

menerapkan prinsip-prinsip kebiasaan saja, yang secara tradisional menjadi bagian kehidupan bermasyarakat masyarakat maritim umumnya. Proses keterbukaan untuk diaudit belum dapat di

lakukan (Wiradi, Gunawan. 1997), alasan masyarakat pada umumnya karena tindakan itu di

pandang tidak sopan, kadang-kadang dianggap berlebihan, perlakuan itu justru dianggap tidak

tahu aturan, tidak layak atau kurang pada tempatnya. Misalnya mengemukakan pertanyaan yang dilakukan dengan suara keras, suara terlalu tinggi, atau menggunakan kosa kata yang tidak lazim

bagi kesopanan, maka pertanyaan-pertanyaan itu disikapi kurang layak. Dari segi maksud dan

tujuan sebenarnya baik, tapi belum pada tempatnya diterapkan pada pemimpin informal, karena mereka bekerja tanpa pamrih. Justru kalau dilakukan akan dianggap bertentangan dengan norma

lazim yang berlaku umum, walaupun tujuannya hanya sekedar untuk mendapat penjelasan dari

orang yang dianggap terhormat atau disegani dilingkungan masyarakatnya. Pada masyarakat tradisional, proses pengambilan keputusan merupakan bagian sakral yang dimiliki oleh seorang

pemimpin, oleh sebab itu setiap keputusan yang telah diberitakan kepada masyarakatnya, kalau

ada peninjauan ulang akan dianggap sebagai tindakan yang tidak terhormat dan patut dicela.

4. Hubungan Lokal dengan Luar.

Hubungan lokal dengan luar, di lihat dari kepentingan yang saling berlawanan, sebenarnya

merupakan hubungan timbal balik terhadap satu kepentingan bersama. Kalau berdasarkan Undang-Undang No. 22/1999 Tentang Otonomi Daerah, bahwa wilayah perairan laut daerah

setingkat Kabupaten diberi kewenangan pengelolaan sejauh 4 mil laut. Dengan demikian

Kabupaten Pandeglang dan Serang secara administratif memiliki hak pengelolaan terhadap perairan lautnya. Perairan laut ini mempunyai sumberdaya ikan yang banyak, hal ini kerapkali

juga menarik perhatian nelayan penangkap ikan dari daerah lain untuk ikut menangkap ikan

diwilayah perairan yang menjadi bagian pemanfaatan masyarakat maritim Kabupaten Pandeglang dan Serang. Hubungan saling kepentingan ini menjadi tidak harmonis tatkala terjadi ketidak

seimbangan peralatan penangkapan yang digunakan, hal tersebut kerapkali di pandang sebagai

penyebab masyarakat maritim tempatan merasa dirugikan. Pada titik inilah mulai terjadi benturan

kepentingan (Kusnadi, 2002). Benturan kepentingan umumnya tidaklah diakibatkan oleh faktor tunggal semata, tetapi seringkali terjadi karena adanya tatanan pengeksploitasian yang berlebihan,

demi mendapatkan nilai ekonomi yang lebih tinggi, sehingga mengabaikan norma-norma dan

nilai-nilai masyarakat setempat. Perasaan ketakberdayaan, terhina dan diacuhkan dapat membangkitkan perselisihan sosial yang tajam. Apabila pengabaian nilai-nilai kebudayaan

masyarakat maritim tempatan telah dianggap berlebihan, maka kondisi sosial yang rawan akan

membesar. Kemudian tatkala kondisi memungkinkan, maka goncangan dapat timbul dengan tiba-tiba, dan untuk menghindari hal-hal tersebut, maka perlu ada saling pemahaman yang mendalam

terhadap inti pertentangan dari aspek sosial dan kebudayaan, karenanya perlu diperhatikan;

a). Pertama alam demokrasi perlu ditumbuhkan secara perlahan dengan tidak

mengenyampingkan ketokohan tradisional. b).Kedua ada upaya perbaikan kondisi ekonomi yang memadai. c).Ketiga peningkatan intelektualitas, dan d).Keempat yaitu terhadap moral masyarakat.

Apabila keempat faktor ini dapat ditumbuh kembangkan dalam budaya masyarakat

maritim, maka pola hubungan kekuasaan lokal dengan luar akan berjalan lebih transfaran dan harmonis, saling menghargai dan bermartabat dan dapat terjadi di wilayah perairan laut

Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Serang, Propinsi Banten.

PENUTUP Masyarakat dengan potensi sosial (social capital)-nya serta pemerintah dengan

kebijakannya, secara bersama-sama akan memberikan corak warna terhadap sumberdaya dan

pengelolaannya. Hal inilah yang perlu diketahui dan yang bersumber dari masyarakat maritim, baik secara langsung maupun secara tidak langsung, salah satunya melalui penelaahan fenomena

yang terjadi di lapangan. Kondisi sosial budaya yang di lihat berdasarkan fenomena yang terjadi

mencakup kearifan local, religi, ekonomi, politik dan kelembagaan. Kondisi sosial budaya tersebut di pandang sebagai cerminan beberapa faktor utama yang diharapkan menjadi potensi

pemberdayaan masyarakat. Karena untuk dapat melakukan pemberdayaan yang pada intinya

adalah cara mengaktualisasikan potensi masyarakat itu sendiri perlu kedekatan pemahaman

mendasar tentang karakteristik proses kehidupan masyarakat. Pemahaman terhadap proses dapat juga melalui pendekatan sosiologi maupun antropologi, dan kemudian di integrasikan dengan

konsep kemandirian, partisipasi, jaringan kerja dan keadilan yang selanjutnya digunakan untuk

mengidentifikasikan kondisi-kondisi sosial budaya tersebut. Dari pendekatan konsep ini, sehingga pada akhirnya di dapatkan potensi maupun kendala atau hambatan pada tingkat unit individu atau

keluarga dan juga pada tingkat komunitas atau masyarakat dalam upaya pengenalan masyarakat

maritim.

Dari pandangan fenomena, dapat juga diketahui bahwa masyarakat maritim juga

telah mengenal dan mempraktekkan ekonomi maritim. Yang dimaksudkan dengan ekonomi

maritim ditinjau dari pemaknaan fenomena, adalah berkenaan dengan sifat-sifat yang terlihat dari

aktifitas ekonomi, status dan peranan masyarakat, akses terhadap sumberdaya ekonomi, sistem bagi hasil, dan tingkat ketergantungan terhadap sumberdaya. Kesemua sifat-sifat tersebut

menampakkan pengaplikasiannya yang spesifik maritim, sehingga menjadi satu kesatuan

pembentuk kehidupan bermasyarakat. Kehidupan masyarakat maritim juga telah mengenal

kaedah-kaedah moral yang dapat mempersatukan masyarakat maritim secara harmoni dan berdaya guna. Untuk itu pengenalan terhadap praktek politik di dalam masyarakat maritim perlu

juga dipahami. Pemahaman politik yang dimaksudkan adalah berkaitan dengan sifat-sifat dari

prinsip-prinsip kepemimpinan, konflik dan manajemen konflik, akses aturan representasi publik, sikap masyarakat terhadap keputusan yang diambil, dan prinsip-prinsip hubungan pemegang

kekuasaan lokal dengan luar. Di dalam masyarakat maritim kesemua sifat-sifat tersebut secara

fenomial dapat dikenali sebagai sistem kehidupan. Kemudian dalam prakteknya dapat dikenali juga telah ada kelembagaan yang ekses di dalam masyarakat maritim. Untuk itu aspek lembaga

yang berkenaan dengan sifat-sifat yang terkait dengan eksistensi kelembagaan, peranan

kelembagaan, dan akses masyarakat terhadap kelembagaan ternyata juga dapat ditemukan di

berbagai daerah dari masyarakat maritim yang ada di nusantara.

Desa masyarakat maritim Banten Barat yang tercermin di desa Labuhan Teluk, desa

Carita dan desa Pasauran, lokasi desa-desa tersebut secara geografis di lihat dari tofografinya

hampir sama, yaitu terletak di pantai Barat yang berhadapan langsung dengan lautan Samudera Hindia. Pantai Barat ini mempunyai ciri yaitu memiliki daerah pantai yang sempit dan curam

dengan gelombang lautnya besar. Kemudian daerah ini juga sedikit memiliki pantai yang

berpasir luas dengan gelombang yang tenang, tempat-tempat tersebut sangat terbatas, dan hal ini telah menyebabkan jumlah konsentrasi masyarakat maritim relatif kecil dan terpencar-pencar.

Masyarakat maritim yang hidup dan mencari penghidupan di daerah ini, di lihat dari asal-usul

sukunya adalah berbeda-beda. Suku-suku tersebut adalah dari Sunda, Cirebon dan Bugis. Masing-

masing suku mempunyai kebiasaan menggunakan alat tangkap tertentu, karena itu dari cara melakukan penangkapan ikan atau memanfaatkan sumberdaya kelautan dapat di lihat dari

peralatan penangkapan ciri kesukuan tersebut, seperti bagan tancap dan bagan apung. Alat

tangkap bagan dominan berasal dari suku Bugis, sedangkan payang dan pancing banyak di lakukan oleh masyarakat maritim yang dikerjakan oleh nelayan sunda, kemudian untuk jaring

arad dan purse-seine oleh masyarakat maritim yang berasal dari nelayan Cirebon. Dilihat dari

pola kehidupan, masyarakat maritim didaerah ini ada yang menetap, dan ada juga yang tidak

menetap. Masyarakat maritim yang suka menetap terutama dari nelayan yang berasal dari Pandeglang dan Serang, dan juga dari suku Bugis. Sedangkan masyarakat maritim dari Cirebon

dan Rembang melakukan perpindahan secara teratur mengikuti waktu musim ikan.

Sifat sumberdaya maritim yang ”common property” dan ”open access” membentuk kondisi sosial budaya masyarakat maritim yang khas dan relatif berbeda dengan masyarakat

pedesaan lainnya (terrestrial villagers). Hal ini seringkali diabaikan di dalam perumusan

kebijakan pemberdayaan masyarakat maritim, yang masih lebih banyak mengadopsi hasil kajian sosial budaya masyarakat daratan (terrestrial). Oleh karena itu, sosial budaya masyarakat

maritim dapat difungsikan juga dalam upaya mendukung kegiatan pemberdayaan masyarakat

baik di perairan pesisir, pulau-pulau kecil serta perairan pedalaman (Dahuri, R. 2003). Dengan

adanya pengetahuan mengenai potensi dan kendala, diharapkan program pemberdayaan masyarakat maritim, akan dapat dicapai secara lebih baik dan sempurna. Untuk itu perlu juga

dikenali makna dari kearifan local, religi, ekonomi, politik dan kelembagaan. Kearifan adalah

berkenaan dengan sifat-sifat tentang eksistensi tata-nilai, sikap masyarakat maritim terhadap tata-nilai, serta mekanisme pengelolaan sumberdaya maritim (internal dan eksternal) yang dapat

mendorong dan mempererat pembangunan nusantara.

DAFTAR PUSTAKA

Cernea, M.M., 1988. Sosiologi Untuk Proyek-Proyek Pembangunan. dalam M.M. Cernea (Ed).

Mengutamakan Manusia Dalam Pembangunan; Variabel-Variabel Sosiologi di dalam Pembangunan Pedesaan. pp. 3-26. Publikasi Bank Dunia. Penerjemah;

B.B.Teku. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Dahuri, R. 2000. Pendayagunaan Sumberdaya Kelautan Untuk Kesejahteraan Rakyat. Lembaga Informasi dan Studi Pembangunan Indonesia, LISPI, Jakarta. 146 p.

Dahuri, R. 2003. Paradigma Baru Pembangunan Indoensia Berbasis Kelautan. Orasi Ilmiah. Guru

Besar Tetap Bidang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Perikanan Bogor. Bogor. 233 p.

Haryanto, R. dan T. A. Tomagala, 1997. Indikator Keluarga Sejahtera: Instrumen Pemantau

Keberdayaan Keluarga Untuk Mengentaskan Kemiskinan. Jurnal Sosiologi

Indonesia. No. 2 September 1997. Diterbitkan Oleh: Ikatan Sosiologi Indonesia, Jakarta.

Hikmat, R. Harry., 2001. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Humaniora Utama Press. Bandung.

Cetakan Pertama. 260 p. Koentjaraningrat, 1994. Bunga Rampai Kebudayaan, Mentalitas dan Kebudayaan. PT Gramedia

Pustaka Utama. Jakarta. 149 p.

Kusnadi, 2000. Nelayan: Strategi Adaptasi dan Jaringan Sosial. Humaniora Utama Press. Bandung. 244 p.

Kusnadi, 2002. Konflik Sosial Nelayan: Kemiskinan dan Perebutan Sumberdaya Maritim.

Penerbit LkiS. Yogyakarta. 190 p.

Nasution, Z., dkk, 2004. Riset Sosio Antropologi Dalam Rangka Pemberdayaan Masyarakat Nelayan, Laporan Teknis. Bagian Proyek Riset Pengolahan Produk dan Sosial

Ekonomi Kelautan dan Perikanan. PRPPSE, BRKP.

Pranadji, T. 2003. Menuju Transformasi Kelembagaan Dalam Pembangunan Perikanan dan Pedesaan. Puslitbang Sosial Ekonomi Perikanan. Badan Litbang Perikanan

Departemen Perikanan. Bogor. 175p.

Taryoto, Andin. 1999. Internalisasi Aspek-Aspek Sosial Budaya dalam Proses Industrialisasi

Perikanan. dalam I.W.Rusastra dkk (Eds.). Dinamika Inovasi Sosial Ekonomi dan Kelembagaan Perikanan. Hal. 7575-582. Pusat Penelitian Sosek Perikanan. Badan

Litbang Perikanan. Departemen Perikanan. Jakarta.

Wahyono, Ari., I.G.P. Antariksa, Masyhuri Imron, Ratna Indrawasih, dan Sudiyono. 2001. Pemberdayaan Masyarakat Nelayan. Penerbit Media Pressindo bekerjasama

dengan Yayasan Adikarya IKAPI dan Ford Foundation. Cetakan Pertama. Jakarta.

226 p. Wiradi, Gunawan. 1997. Rekayasa Sosial Dalam Menghadapi Era Industrialisasi Perikanan.

dalam T. Sudaryanto dkk (Penyunting). Prosiding Industrialisasi, Rekayasa Sosial

dan Peranan Pemerintah Dalam Pembangunan Perikanan. Hal.63-70. Pusat

Penelitian Sosial Ekonomi Perikanan. Badan Litbang Perikanan. Departemen Perikanan. Jakarta.

BAB VII

MASYARAKAT MARITIM LOMBOK TIMUR

I. PENDAHULUAN

Propinsi Nusa Tenggara Barat mempunyai panjang pantai 2.000 km, adalah merupakan potensi besar yang dapat diandalkan oleh daerah ini sebagai sumber pendapatan yang dapat

diperbaharui. Sektor maritim di daerah Kabupaten Lotim terdiri dari perikanan laut dan perikanan

budidaya, yang didukung oleh RTP untuk perusahaan (41.183) buah, Perahu/Kapal (14.813) dan luas perikanan budidayanya (11.137,ha) (Statistik Perikanan NTB, 2000). Sektor maritimnya

tersebar diberbagai Kabupaten, yaitu Lombok Barat, Lombok Tengah, Lombok Timur, Sumbawa,

Dompu, Bima dan Kodya Mataram. Untuk Kabupaten Lombok Timur, sektor maritimnya cukup besar dan berkembang dengan baik. Kegiatan usaha di NTB untuk sektor penangkapan begitu

ragamnya sesuai dengan alat penangkapan yang juga begitu beragam sesuai dengan alat

penangkapnya, jumlahnya mencapai lebih dari 16 jenis. Disamping itu terdapat juga perikanan

budidaya rumput laut, mutiara, kerapu, lobster, teripang dan kerang-kerangan. Untuk melakukan semua kegiatan tersebut dilaksanakan oleh sumberdaya manusia, terutama nelayan yang berdiam

di desa-desa pantai, yang jumlahnya mencapai 21 desa/kelurahan. Penduduk yang mendiami

desa-desa tersebut mencapai 194.460 dari luas wilayah 578,61 km .

Dilihat dari kepadatan penduduk rata-rata per km2nya adalah 336 orang. Penduduk yang mengkhususkan pekerjaannya sebagai nelayan ada sebanyak 16.597 jiwa.

Keadaan Umum Lombok Timur

Kabupaten Lombok Timur di lihat dari letak dan keadaan alamnya adalah sebagai berikut; Lotim terletak pada 116

o - 117

o BT, 8

o - 9

o LS, dan batas wilayahnya pada sebelah Barat

Kabupaten Lombok Barat dan Lombok Tengah, sebelah Timur pada Selat Alas, sebelah Utara

Laut jawa dan sebelah Selatan dengan Samudera Indonesia. Adapun luas wilayahnya adalah 160.555 ha, yang dibagi untuk lahan sawah 45.336 ha, dan lahan kering 115.219 ha. Berdasarkan

tofografinya, daerah ini terletak di kaki gunung Rinjani, dengan dataran sedang dan tinggi, cocok

untuk persawahan, pantainya di kelilingi laut yang potensial dikembangkan pula, sehingga

banyak didiami penduduk. Iklim di Lotim tergolong beriklim tropis yang dipengaruhi oleh angin dari Utara dan Selatan, serta perubahan tekanan udara pada garis khatulistiwa. Rata-rata hujannya

relatif tinggi, tetapi bervariasi yang terjadi antara bulan-bulan Nopember, Desember, Januari,

Pebruari, Maret dan April. Wilayah administrasi pemerintahan sejak era otonomi daerah, dari 10 Kecamatan telah dapat dikembangkan menjadi 20 buah dan rata-rata jumlah desa per-Kecamatan

sebanyak 4 - 7 desa. Untuk memimpin daerah ini perlu kualitas pendidikan yang memadai. Lotim

memiliki kepala desa yang berpendidikan setingkat SLTA sebanyak 75%, ditambah juga rata-rata berpengalaman yang memadai. Program ditingkat legislatif, produk hukum yang dapat dihasilkan

berupa Peraturan Daerah, sampai dengan tahun 2001 telah mencapai 98 buah. Rinciannya adalah

terdiri dari; berupa Keputusan Dewan 19 buah, Perda 22 buah, dan Statemen/Pernyataan

berjumlah 57 buah. Jadi Lotim telah berupaya membuat kepastian hukum yang memayungi masyarakatnya, dan diharapkan dapat memacu kemajuan dan kepastian program-program yang

akan dilaksanakan pada masa-masa yang akan datang.

Dari sisi kependudukan, Lotim termasuk mengalami pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi, dimana pada tahun 1971 baru ada 371 jiwa/km2

dan telah meningkat menjadi 452

jiwa/km2 di tahun 1980, selanjutnya di tahun 1990 telah mencapai 539 jiwa/km2 dan pada tahun

2000 menjadi 606 jiwa/km2, (BPS, 2001. Lombok Timur Dalam Angka). Konsekwensi logis dari

pertambahan yang pesat ini adalah timbulnya perubahan di sektor perikanan, berupa pengurangan lahan untuk perumahan, termasuk kualitas lingkungan, seperti kelestarian hutan, eksploitasi

berlebihan terhadap sumberdaya air alam. Dari tinjauan sex ratio, Lotim memiliki tendensi

dependency ratio/angka beban tanggungan yang semakin mengecil dan famili size juga menurun, yaitu dari 4,5 tahun 1980, dan 4,3 tahun 1990 dan 3,7 tahun 2000, penyebabnya adalah karena

angka kelahiran juga menurun, adanya mobilitas penduduk laki-laki lebih tingi dibanding

perempuan, sehingga proporsi penduduk usia produktif meningkat. Ketenaga kerjaan berdasarkan

hasil sensus penduduk (SP) tahun 2000 TPAK mencapai angka 75,85 (Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja) dengan basis perhitungan penduduk berusia 15 tahun keatas. Dari persentase

penduduk menurut jenis kegiatan, ada gambaran yang bekerja di sektor jasa-jasa 10,95%, industri

4,80%, perikanan 65,92% dan lain-lain 8,47%. Proporsi penyerapan tenaga kerja menggambarkan

struktur perekonomian dengan sharing pembentukan PDRB di tahun 2000 mencapai 41,26%. Ditinjau dari kualitas partisipasi, ternyata, persentase penduduk yang bekerja menurut status

pekerjaan sebagai buruh karyawan 35,45%, pekerja keluarga 21,43%, berusaha sendiri 21,13%,

berusaha dibantu pekerja tidak tetap 20,18% dan berusaha dibantu buruh tetap sebanyak 1,13%. Maka di lihat dari kualitas partisipasi yang direpresentasikan oleh status pekerjaan, kondisinya

dapat dikatakan belum memadai, karena 21,43% masih berstatus sebagai pekerja keluarga/pekerja

tak dibayar (pengangguran terselubung) dan sebagai buruh/karyawan 35%. Jadi tenaga kerja yang benar-benar produktif masih terbatas.

III. GAMBARAN PEMBANGUNAN

1. Indikator Maritim Kabupaten Lotim

Indikator maritim menunjukkan tingkat kegiatan yang ada di sektor maritim berdasarkan

sumberdaya alamnya yang dimanfaatkan. Untuk sub-sektor perikanan tangkap, yang khususnya di lakukan di perairan laut, dapat di lihat dari aspek jumlah kapal penangkap ikan, jumlah alat

tangkap dan produksi hasil tangkapan. Adapun untuk sub-sektor perikanan budidaya

dicerminkan oleh luas areal budidaya, potensi areal dan produksi, serta jumlah nelayan dan penduduk desa/kelurahan pantai. Sektor maritim atau sumberdaya pesisir dan laut, lambat laun

akan menjadi tumpuan kegiatan ekonomi dimasa depan, dengan alasan, makin terbatasnya

sumberdaya spasial di daratan dan luasnya wilayah pantai dan laut, berikut kekayaan yang

terkandung di dalamnya. Kabupaten Lotim yang wilayahnya sebagian besar berbatasan dengan wilayah pesisir dan pantai, maka program kearah pengoptimalan usaha maritim serta eksploitasi

sumberdaya laut lainnya, menjadi sangat rasional bagi kesinambungan pertumbuhan peningkatan

skala ekonomi daerah, guna peningkatan kesejahteraan.

Tabel. 1. Indikator Maritim Kabupaten Lombok Timur, Tahun 1996 – 2001. No Keterangan Tahun

1996 1997 1998 1999 2000 2001

1. Jum Nelayan/Penduduk Desa

a. Jumlah Nelayan 16.005 16.097 16.195 16.490 16.597 16.798

b. Jumlah Penduduk 194.460 194.560 194.670 194.890 194.960 195.460

c. Luas (Km2) 578.61 578.61 578.61 578.61 578.61 578.61

d. Kepadatan 336 336 336 336 336 336

2. Maritim Laut

a. Kapal Penangkap

a.1. Jukung&Sampan 2.366 1.898 1.928 3.000 3.982 2.282

a.2. Perahu Motor 1.465 2.120 1.905 1.951 1.972 1.976

a.3. Kapal Motor 158 183 165 189 189 189

a.4. Jumlah 3.989 4.111 3.998 5.140 5.143 4.447

b. Alat Penangkap - - - -

b.1. Jala Oras 251 355 459 551 551 659

b.2. Jala Rompo 32 42 42 52 55 59

b.3. Jala Buang 0 0 0 0 0 0

b.4. Purse-seine 66 75 85 98 106 109

b.5. Jaring Insang Hanyut 105 225 235 242 251 275

b.6. Jaring Insang Tetap 468 567 568 668 678 692

b.7. Jaring lingkar apung 25 25 25 25 25 30

b.8. Jaring klitik 731 731 731 731 731 740

b.9. Bagan tancap 67 67 67 67 67 67

b.10. Bagan sampan 0 0 0 0 0 0

b.11. Pancing rawai 327 437 567 627 677 750

b.12. Pancing biasa 1.5 13 1.413 1.613 1.821 1.830 1.850

b.13. Pancing tonda 101 121 119 131 143 120

b.14. Sero/balot 0 0 0 0 0 0

b.15. Bubu 70 70 70 70 70 75

b.16. Lain-lain 75 75 75 75 75 79

c.Produksi Penangkapan

c.1. Laut (ton) 8.588 13.890 13.713 18.357 18.272 15.499

c.2. Perairan Umum (ton) 385 249 210 182 221 213

JUMLAH 8.974 14.139 13.924 18.540 18.540 15.712

3. Maritim Budidaya

a. Rumput Laut

a.1. Luas areal (Ha) 126 136 461 200 400 405

a.2. Produksi Basah (Ton) 7.612 8.331 5.737 7.579 7.769 7.865

Sumber; Hasil Sensus Penduduk Tahun 2000. Lombok Timur Dalam Angka

2. Penduduk Desa Maritim

Kabupaten Lotim memiliki luas daerah pantai yang telah didiami oleh penduduk berupa

desa pantai mencapai 578,61 km2. Desa pantai ini tersebar di sepanjang wilayah pesisir dan

berhadapan langsung dengan laut kearah pantai dan ke daerah daratan. Dari hasil sensus penduduk pada tahun 2000, jumlah penduduk yang berdiam di desa pantai mencapai 194.460

jiwa, dimana sumber penghidupan utamanya sangat besar dipengaruhi oleh hasil perairan yang

ada disekitarnya. Di lihat dari tenaga kerja yang mengkhususkan pekerjaan utamanya sebagai nelayan ada sebanyak 16.597 (BPS, 2001. Lombok Timur Dalam Angka). Jadi nelayan yang

dimaksudkan disini adalah masyarakat maritim dimana mereka menggunakan berbagai peralatan

produksi yang sesuai dengan lingkungan pekerjaannya di perairan. Menarik untuk diamati,

jumlah penduduk yang berdiam di pantai menggantungkan penghidupannya dari kegiatan berbagai bidang usaha kegiatan maritim yang menghasilkan produksi dari laut. Hasil produksi

dari laut tersebut yaitu mulai dari hasil tangkapan ikan dan biota laut lainnya, termasuk juga

kegiatan usaha produk lanjutannya dan jasa. Dari kegiatan usaha masyarakat maritim mempunyai peran besar terhadap pemenuhan kebutuhan sebagian kehidupan manusia. Masyarakat maritim

berdasarkan perbandingan prosentase terhadap jumlah penduduk lainnya masih relatif kecil yaitu

8,54% saja, tetapi mereka tidak dapat diabaikan dan digantikan dengan masyarakat lainnya. Dalam kenyataan social masyarakat maritim ini masih sering dikategorikan bukan bagian

integral dari desa, sehingga masyarkat maritim masih sering di pandang bukan inti dari

pembentuk masyarakat desa pantai. Dari paradigma pencitraan yang ada, kadangkala telah

menciptakan berbagai fenomena kerancuan dalam pembuatan program pembangunan. Tujuan program untuk meningkatkan peran dan kesejahteraan masyarakat maritim yang berdiam di desa

pantai kadangkala tidak mencapai sasaran. Untuk Lotim, maka perlu pencitraan menekankan

pada program yang menitik beratkan pada orientasi bahwa nelayan adalah masyarkat maritim tersendiri yang dicirikan oleh karakteristik sosiologis, ekonomi, teknologi dan adat kebiasaan

hidup yang dimilikinya tersendiri. Dengan pemahaman inilah maka program pemberdayaan

mereka akan sesuai dengan sumber penghidupannya yang ditentukan dan dipengaruhi oleh ekologi perairan. Jadi pengakuan terhadap karakteristik masyarakat maritim yang utuh, maka

penduduk yang berdiam di desa pantai adalah inti penggerak dan pembinaan yang akan di

lakukan oleh siapapun menjadi tetap berada di pusatnya masyarakat maritim.

3. Kebijakan Fiskal Maritim

Pemerintah daerah Kabupaten Lotim, dalam hal pembuatan kebijakan telah membuat

rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Timur Tentang retribusi Izin Usaha Perikanan tahun 2001 (Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Timur Nomor……Tahun 2001

Tentang Retribusi izin Usaha Perikanan). Rancangan perda tersebut telah diserahkan kepada

DPRD untuk dibahas dan disahkan sebagai perda yang dapat diberlakukan di daerah. Pendekatan

fiskal berupa retribusi yang dikenakan kepada usaha maritim yang di lakukan oleh perorangan dan badan hukum. Karena itu objek fiskalnya berupa komoditi hasil perikanan yang dikenakan

retribusi atas jasa-jasa TPI dan retribusi Izin Usaha perikanan. Usaha perikanan untuk budidaya

dan tarif retribusi usahanya didasarkan pada tingkatan usaha tradisional, semi intensif dan intensif atas dasar luasan (Ha atau Are). Usaha maritim untuk usaha kegiatan penangkapan adalah atas

dasar besar armada, daya mesin dan alat tangkap yang digunakan. Untuk usaha pengolahan atau

pemasaran, pengenaan tarifnya atas dasar besar investasi. Kemudian untuk Pengiriman Hasil Perikanan dan Surat Pemeriksaan Ikan Olahan/Hidup didasarkan pada tariff sampel dan jam

pemeriksaan. Memperhatikan cakupan objek fiskal yang akan dikenakan pada sektor maritim,

tampak begitu jelas ragamnya, yaitu jenis retribusi yang akan dilaksanakan, dan apabila kondisi

ekonomi tumbuh dengan baik, dan pelaksanaan retribusi dapat efektif dijalankan, maka sumbangan PAD dari sektor maritim untuk pembangunan daerah akan mempunyai arti yang

sangat besar.

Dari diskusi dengan masyarakat maritim, tersirat optimisme bahwa, terkait dengan sektor maritim, ada beberapa harapan yang dapat disumbangkan oleh sektor maritim, hasil dari

pemberdayaan sektor maritim, baik melalui penangkapan, budidaya maupun pengolahan terhadap

kontribusinya dalam mendorong perbaikan kesejahteraan masyarakat. Melihat kenyataan yang ada, akibat dari dihapuskannya retribusi pelelangan ikan di tahun 1997, dan sejak itu tidak ada

pungutan retribusi resmi dari pemerintah, ternyata memperlemah pembinaan yang dapat di

lakukan oleh instansi terkait, seperti Dinas Perikanan dan Kelautan. Oleh karena itu, kondisi fisik

dan manajemen di tempat-tempat pelelangan tampak kurang terurus, dan dana pungutan hasil maritim kurang jelas, serta tidak dapat dipertanggung jawabkan. Rancangan perda yang sedang

diusulkan adalah jalan keluar terbaik setelah otonomi daerah diberlakukan, karena akan ada

payung hukum yang jelas untuk melaksanakan kebijkan fiskal melalui retribusi di sektor maritim. Hasil dari retribusi jelas akan memberikan dampak positip bagi pembangunan sektor

maritim, apabila didukung oleh semua pihak. Untuk mampu meningkatkan daya dukung tersebut,

melalui partisipasi aktif dari masyarakat pengguna sektor maritim, maka perlu ada perbaikan dan

peningkatan pelayanan, dan penyuluhan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakaat, khususnya masyarakat maritim.

4. Pertumbuhan Ekonomi Untuk melihat pertumbuhan ekonomi, dapat didekati dengan informasi statistik yang

bersifat lintas sektoral, khususnya di bidang ekonomi. Statistik Produk Domestik Regional Bruto

(PDRB), adalah alat yang banyak dipakai untuk mengetahui tingkat keberhasilan pembangunan, sebagai masukan dalam perencanaan pembangunan, perumusan kebijakan, sekaligus bahan

evaluasi pembangunan diberbagai sektor di tingkat regional. PDRB adalah salah satu indikator

makro yang dapat menunjukkan kondisi perekonomian ditingkat regional setiap tahunnya. Dari

sebab itu, PDRB akan dapat membantu mengetahui tentang; 1). Kemampuan sumberdaya ekonomi yang dihasilkan oleh suatu daerah 2). Struktur perekonomian dan peranan sektor

ekonomi dalam suatu daerah 3). Tingkat laju perekonomian secara keseluruhan atau setiap sektor

dari tahun ke tahun 4). Tingkat kemakmuran suatu daerah 5). Perkembangan harga komoditi secara keseluruhan. Pengukuran tingkat pertumbuhan ekonomi Lotim menggunakan PDRB atas

harga dasar konstan. Alasan pemilihan harga konstan karena pertumbuhan ekonomi semata-mata

hanya dicerminkan oleh pertumbuhan riil barang dan jasa yang dihasilkan pada periode tertntu, tanpa dipengaruhi oleh perubahan harga. Pertumbuhan ekonomi yang ditunjukkan oleh PDRBnya

dari periode tahun 1997 – 2000, pencapaian tertinggi adalah 5,52%, yaitu dicapai pada tahun

1997, kemudian akibat krisis ekonomi, turun drastis menjadi angka minus -2,81% pada tahun

1998. Kemudian pada dua tahun terakhir, yakni tahun 1999 dan 2000 telah mulai membaik, dengan pertumbuhan positip yaitu sebesar 2,33% menjadi 2,44% (Tabel, 2).

Dari masing-masing sektor, dapat diketahui bahwa kontribusi terbesar berasal dari

perikanan dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 1,45%, selama kurun waktu tahun 1997 –2000.

Pertumbuhan yang rendah ini masih lebih baik dibandingkan dengan sub sektor tanaman pangan yang tumbuh – 0,57% saja, sedangkan sektor lainnya, yaitu perkebunan, peternakan, kehutanan

dan maritim mencapai pertumbuhan rata-rata positip, namun karena kontribusinya tidak terlalu

dominan, sehingga pengaruhnya tidak terlalu besar terhadap pertumbuhan rata-rata sub sektor. Sub sektor yang mempunyai peranan cukup besar dengan pertumbuhan diatas rata-rata adalah

sektor perdagangan, hotel dan restoran, sedangkan yang lainnya seperti jasa-jasa masih berada

dibawah rata-rata yaitu 1,41%.

Tabel. 2. Laju Pertumbuhan Persentase PDRB Kabupaten Lotim Menurut Lapangan

Usaha Atas Dasar Harga Konstan 1993. Tahun 1997 – 2000. No. Lapangan Usaha 1997 1998 1999 2000 Rata-

Rata

1 Perikanan 3,03 - 1,54 3,00 1,30 1,45

2 Pertabangan dan Penggalian 7,04 - 16,72 4,99 4,53 - 0,04

3 Industri Pengolahan 9,12 - 4,14 5,91 5,97 2,22

4 Listrik, Gas dan Air Bersih 11,67 - 0,22 14,71 6,00 8,04

5 Bangunan 9,24 - 14,71 3,14 5,62 0,82

6 Perdagangan Hotel dan Restoran 8,82 - 3,40 1,84 4,25 2,88

7 Pengngkutan dan Komunikasi 9,32 -, 3,42 4,16 4,44 5,34

8 Bank, Usaha Persewaan &Jasa Perusahaan 11,21 - 6,99 - 15,71 2,69 - 2,20

9 Jasa-Jasa 3,42 - 1,71 0,58 - 0,07 1,41

PDRB 5,52 - 2,81 2,33 2,44 1,87

Sumber: PDRB Kab. Lotim Tahun 2000.

6. Pertumbuhan Ekonomi Maritim

Ekonomi maritim dimaksudkan adalah kontribusi sektor maritim yang dapat disumbangkan terhadap pertumbuhan regional ekonomi daerah. Dari sektor maritim, ingin diketahui besaran

peranannya terhadap sumbangan pertumbuhan, khususnya di sektor maritim. Untuk mengetahui

besaran pertumbuhan, maka di lakukan perbandingan antar sub sektor dalam kelompok usaha perikanan atas dasar distribusi persentase dan laju pertumbuhan PDRB. Dari distribusi persentase,

terlihat perkembangan rata-rata antar sub sektor dalam empat (4) tahun terakhir adalah 38,88

persen, dan sektor maritim hanya menyumbang sebesar 2,82% saja. Untuk sektor maritim yang diwakili oleh sub sector perikanan, ditinjau dari perkembangan antar tahun, ternyata tidak terlalu

berfluktuasi, walaupun ada kecenderungan menurun, hal ini menunjukkan bahwa sektor maritim

pertumbuhan ekonominya cenderung stagnan, artinya tidak banyak mengalami perubahan.

Ditinjau dari laju pertumbuhan, dari PDRB tahunan 1977 – 2000, (BPS, 2001, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) ternyata memperlihatkan fluktuasi yang cukup tajam. Pada tahun 1998

telah terjadi penurunan yang sangat tajam angkanya menjadi 1,54, naik lagi di tahun 1999

menjadi 3,00 dan turun lagi pada tahun 2000 yaitu 1,30. Dari gambaran fluktusi ini menandakan pertumbuhan sektor ekonomi dari sub sektor perikanan masih sangat labil, hanya sub sektor

perkebunan yang cukup kuat, diikuti kehutanan dan peternakan, sedangkan maritim relatif

rendah 0,92. Sektor maritim, laju pertumbuhannya sangat fluktuatif. Pada tahun 1997 mencapai

pertumbuhan tertinggi 5,4% dan pada tahun 1998 turun sangat tajam menjadi pada angka -4,94. Hal ini disebabkan oleh resisi ekonomi, dimana banyak investor yang menarik kegiatannya dari

NTB, termasuk di Lotim, sehingga sektor maritim ikut juga terganggu. Pemulihan pertumbuhan,

mulai terjadi pada tahun 1999 yaitu 2,16 masih cukup rendah, dan di tahun 2000 terjadi penurunan kembali 1,01. Adapun rata-rata pertumbuhan pada empat tahun terakhir, yaitu hanya

0,92% (Tabel 3), jadi kontribusi sektor maritim terhadap laju pertumbuhan regional masih kecil

sekali. Untuk meningkatkan laju pertumbuhan pada sektor maritim, tampak jelas membutuhkan

usaha yang ekstra besar, mengingat sederhananya laju yang dimiliki oleh sub sektor ini.

Tabel. 3. Distribusi Persentase Dan Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten Lotim Atas

Dasar Harga Konstan 1993 Sektor Usaha Perikanan, Peternakan, Kehutanan dan

Maritim Tahun 1997 – 2000. No. Keterangan Pertanian Peternakan Perkebunan Kehutanan Perikanan PDRB

I Distribusi Prsentase

1997 20,43 4,36 6,29 0,02 2,87 39,72

1998 25,73 4,46 7,47 0,02 2,81 40,49

1999 26,07 4,30 7,56 0,02 2,81 40,76

2000 24,73 4,41 8,38 0,02 2,77 40,30

PDRB 24,24 4,38 7,42 0,02 2,82 38,88

II Laju Prtmbhan

1997 2,77 3,63 2,58 12,36 5,44 3,03

1998 - 5,38 - 0,58 15,47 1,48 - 4,94 - 1,54

1999 3,65 - 1,21 3,58 1,25 2,16 3,00

2000 - 2,73 5,04 13,53 - 1,03 1,04 1,30

PDRB - 0,43 1,72 8,79 3,52 0,92 2,20

Sumber: PDRB Kab. Lotim Tahun 1997 – 2000.

IV. PENGUSAHAAN MARITIM

A. Perikanan Penangkapan Pengusahaan maritim di lapangan yang dimaksudkan adalah kegiatan riil yang

dilaksanakan oleh pelaku usaha sektor maritim, khususnya di kegiatan perikanan penangkapan.

Berdasarkan (Tabel 1), misalnya dilihat dari tipe armada, skala usaha, produksi dari sub-sektor

penangkapan dan sub-sektor budidaya masih tergolong tradisonal. Ciri-ciri tradisionalnya dapat diketahui dari; kapasitas perahu, peralatan teknologi yang digunakan, jarak tempat lokasi

penangkapan, yang kesemuanya menunjukkan pada skala kecil dan menengah. Dengan kondisi

sarana dan prasarana yang tersedia yang dimiliki oleh masyarakat maritim, maka upaya yang mampu di lakukan terhadap sumberdaya laut dan air tawar (budidaya) masih terbatas. Jadi

manfaat yang dapat di lakukan baru sebatas upaya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari

saja, belum sampai pada ekspansi usaha secara besar-besaran. Dengan luas wilayah 160.555 Ha

yang dibatasi oleh Selat Alas, Laut Jawa dan Samudera Indonesia menunjukkan Kabupaten Lotim hampir di kelilingi oleh perairan air laut. Pantai yang mengelilingi Lotim mempunyai ciri-ciri

tidak rata, tetapi banyak yang berbentuk teluk dan tanjung yang berarti memiliki karakteristik

ekologi pantai yang berbeda-beda. Dengan banyaknya teluk dan pantai yang landai akan memberikan banyak peluang bagi pemanfaatannya dan bentuk pemanfaatannya dapat berupa

kegiatan usaha penangkapn atau kegiatan usaha budidaya laut. Di daerah Lotim, bidang usaha

yang kegiatannya berbasis penangkapan dan budidaya laut yang telah banyak di lakukan oleh masyarakatnya, karena penduduk yang berdiam di desa pantai menjadikan laut sebagai tempat

mencari penghidupannya.

1. Armada Penangkapan Kegiatan usaha maritim melalui penangkapan ikan dan pengambilan biota laut lainnya,

adalah kegiatan usaha yang teknologi pendukung dan manajemennya berdasarkan perburuan.

Produk yang dihasilkan melalui perburuan tersebut berupa berbagai jenis ikan, atau biota laut lainnya seperti teripang, kerang mutiara, kerang yola. Untuk jenis-jenis ikan dan biota laut

tertentu pengambilannya dilakukan dengan cara penyelaman, komoditi yang didapatkan

umumnya bernilai ekonomi yang lebih baik. Untuk kegiatan usaha maritim melalui penangkapan ikan, sarana pendukung utama yang diperlukan adalah perahu atau kapal dan alat penangkap.

Perahu dan Kapal perkembangannya berfluktuatif, dapat dilihat sejak dari tahun 1996, baik yang

bermotor atau tidak, dapat tergambarkan yaitu dari 3.989 unit telah mengalami peningkatan

menjadi 4.111 unit di tahun 1997, kemudian terjadi penurunan lagi pada tahun 1998 yaitu menjadi 3.998 unit, lantas naik lagi hingga 5.140 unit di tahun 1999 dan tahun 2000 adalah 5.133

unit, yang berarti di tahun 2000 ternyata mengalami penurunan kembali. Fluktuasi ini

mencerminkan betapa dinamisnya perkembangan usaha ekonomi penangkapan antar waktu yang

terjadi di Lotim. Sebagai catatan, peristiwa krisis moneter juga ikut mempengaruhi kegiatan usaha penangkapan ikan di laut, hal ini tercermin juga di armada penangkapan kapal motor yang

menggunakan bahan bakar solar dimana faktor biaya operasi yang mahal membuat sebagian

nelayan cenderung menggunakan kembali perahu tanpa motor. Armada penangkapan meningkat kembali pada tahun 1999, ini karena harga komoditi dari

kegiatan usaha maritim tetap baik, yaitu kurs dolar US ikut meningkat, sehingga kembali usaha

maritim tangkap menjadi tumpuan usaha banyak orang, yang berlanjut hingga tahun-tahun berikutnya. Kegiatan usaha maritim masih didominasi oleh penangkapan menggunakan perahu

jukung dan sampan. Dilihat dari persentasenya armada tersebut mencapai 77,42 persennya dari

total armada, dan persentase ini dari tahun ke tahun belum banyak mengalami perubahan. Maka

dapat dikatakan usaha penangkapan masih tradisional, skala kecil, lama operasi harian, fishing ground dibawah 4 mil laut, biaya operasi sederhana dan jumlah tenaga kisarannya antara 2 - 3

orang deagan volume hasil tangkapan yang masih terbatas. Armada yang telah lebih maju hanya

22,68% saja, itupun berupa perahu motor masih lebih banyak dibandingkan kapal motor. Jelas terlihat daya kemampuan pengeksploitasian sumberdaya laut melalui kegiatan usaha

penangkapan yang mampu di lakukan masyarakat maritim Lotim masih sangat terbatas.

2. Alat Penangkapan di Laut

Alat tangkap yang dipakai oleh masyarakat maritim lebih dari 16 jenis, ini menunjukkan

bahwa masyarakat sangat mengenal lingkungn ekologi laut daerahnya, sehingga untuk dapat

menangkap ikan sesuai dengan ekologinya dibuatkan alat tangkap yang berbeda-beda. Di lihat dari jumlah kepemilikan, alat-alat tangkap yang paling banyak digunakan adalah; jala oras 451

unit, jaring insang 873 unit, pancing rawai 727 unit, pancing biasa 1.813 unit dan pancing tonda

111 unit dan jaring klitik 731 unit. Adapun alat tangkap yang juga tergolong banyak, tetapi tidak dominan adalah purse-seine 96 unit, bagan tancap 67 unit dan bubu 70 unit. Kalau

dikelompokkan lagi, maka alat tangkap yang dipakai umumnya bersifat pasip dan semi aktip.

Dengan sifat alat tangkap yang biasanya di lakukan masyarakat maritim ini, jelaslah tidak bersifat

destruktip atau merusak lingkungan dan pada jangka panjang tidak akan merusak lingkungan. Kebijakan pengembangan armada penangkapan guna meningkatkan eksploitasi penangkapan

dengan tetap mempertahankan alat tangkap yang telah biasa dioperasikan di daerah ini, maka

sumberdaya maritim tidak akan mengalami tekanan lingkungan yang terlalu berat. Sumberdaya alam akan mampu memulihkan dirinya lagi, dan kelestarian tetap terkendali dan terjaga dengan

baik, sementara manfaat ekonomi dapat terus dinikmati oleh daerah dan masyarakat maritim.

Pemerintah, sebagai pemegang kewenangan pengelolaan dan pemanfaatan ekonomi sumberdaya alam daerahnya, khususnya maritim, pada setiap pembuatan kebijakan dan

pengimplementasiannya berupa program-program kerja, haruslah bersifaat rasional dan

terintegrasi dengan berbagai sektor lainnya yang terkait, dengan menempatkan masyarakat

maritim sebagai pelaku dan berfungsi sebagai partnership pemerintah dalam melaksanakan pengawasannya.

3. Investasi di Maritim Untuk dapat melakukan kegiatan usaha di daerah maritim Kabupaten Lombok Timur, saat

ini pemerintah sangat mendorongnya, sehingga peraturan yang dibuat mengarah kepada

memberikan kemudahan berusaha bagi seseorang atau badan hukum yang ingin melakukan penangkapan ikan di laut. Adapun persyaratan umum yang perlu dimiliki agar praktek usaha

penangkapan ikan di laut dapat dilakukan adalah: a).Biaya pembuatan perahu/kapal. b).Biaya

perlatan penangkapan. c). Membayar biaya izin usaha penangkapan. dan d). Membayar biaya

pelelangan hasil penangkapan. Dari uraian (Tabel 4), agar dapat melakukan aktivitas penangkapan harus ada pembiayaan

investasi atau biaya tetap dan biaya variabel (tidak tetap). Jadi usaha ini sangat tergantung pada

kedua jenis pembiayaan tersebut sebelum kegiatan dapat dilangsungkan. Pengusahaan

penangkapan ikan di Lombok Timur di lakukan oleh nelayan yang mempunyai armada penangkapan ukuran kecil, sedang dan menengah. Gambaran tentang armada tersebut seperti

tertera di dalam Tabel yang mencerminkan besarnya investasi yang dibutuhkan oleh setiap usaha

kegiatan penangkapan ikan. Ada tiga tipe armada penangkapan yang ada di Lotim, yaitu jenis perahu jukung, perahu motor dan kapal motor. Adapun biaya investasi yang dibutuhkan dari

setiap jenis besarannya berbeda. Untuk usaha penangkapan yang menggunakan armada perahu

jukung, kebutuhan dana investasinya sampai dapat beroperasi minimal satu kali, adalah Rp. 2.790.000,- dan Rp. 75.000,- adalah biaya untuk sekali pergi menangkap ikan. Jadi total dana

yang dibutuhkan untuk dapat berusaha di sektor penangkapan dengan armada jukung adalah Rp.

2.865.000,.

Tabel 4. Biaya investasi dan operasi kegiatan penangkapan

Armada Penangkapan Investasi

Jukung

(Rp.)

Perahu Motor

(Rp.)

Kapal Motor

(Rp.) A. Investasi

1. Kasko

2. Mesin

3. Jaring

4. Perizinan

5. Modal operasi

6. Lain-lain

Total

B. Biaya operasi/trip

1. Es dan garam

2. Ransum

3. Oli, Solar, M. tanah

4. Cadangan

Total

Total Kebutuhan Biaya

1.500.000

0

1.250.000

25.000

15.000

0

2.790.000

50.000

25.000

0

0

75.000

2.865.000

3.000.000

2.400.000

2.750.000

75.000

500.000

500.000

9.225.000

60.000

100.000

142.500

25.000

3.275.000

12.500.000

14.000.000

70.000.000

40.000.000

250.000

1.500.000

5.000.000

130.750.000

325.000

500.000

630.000

250.000

1.705.000

132.455.000

Sumber: Data Lapangan yang diolah, 2002.

Adapun jenis perahu motor, biaya investasinya Rp. 9.225.000,- dan biaya operasionalnya

Rp. 3.275.000,- maka total dana yang dibutuhkan adalah sebesar Rp. 12.500.000,- Kemudian

usaha kapal motor dana yang harus ada dan disiapkan adalah untuk biaya investasi Rp. 130.750.000,- dan biaya operasional sebesar Rp. 1.705.000,-. Dengan demikian total dana yang

diperlukan agar dapat melakukan penangkapan sebesar Rp. 132.455.000,-(Tabel. 4).

Memperhatikan kebutuhan dasar dana yang harus ada bagi setiap orang yang ingin berusaha pada sektor penangkapan, jelas besar dana tersebut sangat terkait dengan besarnya armada yang akan

digunakan. Di Lombok Timur, armada yang menggunakan perahu jukung jumlahnya 51,31%

atau lebih dari separuhnya masyarakat maritim masih mempunyai daya yang rendah untuk dapat

meningkatkan kemampuan usaha penangkapannya ke arah yang lebih berdaya tangkap tinggi. Dengan kondisi ini dimana hanya 4,25% saja yang mampu menggunakan armada penangkapan

dengan ukuran besar, berarti kesempatan berusaha masih terbuka lebar, hanya saja peran

pemerintah harus mampu memfasilitasinya dengan program-program yang lebih memihak pada

sektor maritim.

4. Produksi Penangkapan di Laut

Ikan hasil tangkapan yang dapat didaratkan oleh nelayan sejak dari tahun 1996 sampai

dengan tahun 2001, cenderung berfluktuasi. Kegiatan sektor maritim, gambarn umumnya dapat di lihat dari statistik produksi selama 5 (lima) tahun terakhir, dimana hasil penangkapan tampak

menurun pada tahun 2001 sekitar 15,17% dibandingkan tahun 2000. Penurunan hasil tangkapan

yang terjadi, perlu dicermati secara holistik, karena aktivitas usaha penangkapan ikan, disamping dipengaruhi oleh faktor alam, juga ada faktor eksternal yang secara tidak langsung ikut

berpengaruh, seperti harga ikan, input produksi yang meningkat solar, mesin dan juga faktor

keamanan. Adapun jenis-jenis ikan yang dihasilkan dari penangkapan, ada lebih dari 19 jenis, sedangkan jenis-jenis ikan yang tertangkap pertahunnya lebih dari 100 ton ada sebanyak 18 jenis.

Untuk jenis ikan yang bernilai ekonomi, baik di pasar lokal dan internasional dapat disebutkan,

antara lain Kerapu, Kakap, Tuna dan Cakalang, tetapi produktivitasnya masih tergolong rendah.

Bagi kegiatan penangkapan oleh nelayan, jenis-jenis ikan ini menjadi target penangkapan, khususnya Kerapu dan Kakap, karena harganya di pasar cukup tinggi. Ikan ini dapat dijual dalam

bentuk hidup, atau telah di pelet, yang laku keras di pasar-pasar ekspor dengan tujuan Hongkong

atau Jepang. Mencermati perubahan yang terjadi pada hasil tangkapan ikan, yang secara fenomena senantiasa berubah-ubah sepanjang waktu, keadaan tersebut perlu dijadikan bahan

masukan pada setiap pembuatan kebijakan dan program operasional yang ditujukan kepada

masyarakat nelayan. Tujuan kecermatan dilakukan adalah agar disaat tingkat produksi mengalami paceklik, ada program bamper (penyanggah) yang memfasilitasi usaha masyarakat desa pantai,

dengan demikian diharapkan kegiatan ekonominya tetap bisa tumbuh dan berkembang, dan

masyarakat nelayan tidak terpuruk pada kondisi tergadai secara ekonomi pada kelompok tertentu,

baik secara sosial ataupun secara ekonomi.

B. Perikanan Budidaya Laut

Perikanan budidaya yang berkembang di Lotim lebih diarahkan pada budidaya di laut (mary culture), yaitu berupa budidaya rumput laut, mutiara, ikan kerapu, udang lobster dan

teripang serta kekerangan. Usaha pembudidayaan yang telah di lakukan baru sebatas pada

budidaya rumput laut yang berlokasi di teluk Ekas, teluk Serewe, teluk Sembung, Batu Nampor

dan Batu Dagong, begitu juga sesuai untuk pembudidayaan ikan kerapu dan lobster, sedangkan daerah yang lainnya masih dalam bentuk potensi wilayah.

1. Budidaya Laut Budidaya laut meliputi pembudidayaan ikan, lobster, kekerangan dan teripang. Budidaya

komoditi ini akan mempunyai prospek pasar yang baik, karena komoditinya bernilai ekonomi

tinggi di pasaran lokal dan internasional. Budidaya mutiara yang berpusat di teluk Ekas, telah menunjukkan aktivitas kearah perkembangannya. Pengusahaan pembudidayaan ada yang di

lakukan oleh pengusaha yang mespesialisasikan pada budidaya mutiara dan ada juga yang di

lakukan oleh masyarakat melalui kelompok usaha yang dibina oleh instansi pemerintah (PEMP-

DKP). Potensi wilayah yang tersedia, ada seluas 2.295 Ha, dan yang dimanfaatkan baru seluas 735 Ha. Produksi hasil budidaya di dalam statistik maritim daerah belum tertera, tetapi menurut

aparat Dinas Perikanan dan Kelautan Lotim, telah mulai mampu berproduksi. Produksi yang

dihasilkan belum optimal, karena bidang usaha ini di Lotim sedang dikembangkan. Budidaya lobster, secara parsial telah banyak di lakukan masyarakat, produksi yang dihasilkan masih

tergolong rendah, seperti pada tahun 2001 baru mencapai 0,72 ton, padahal lahan budidaya yang

dimiliki potensinya ada 522 Ha. Pasar lobster tidak hanya disekitar Lombok, tetapi telah meluas ke Bali dan bahkan sebagian di ekspor, maka jelas budidaya lobster adalah bidang usaha yang

cukup menjanjikan. Pembudidayaan yang di lakukan baru sebatas pembesaran dan bibitnya

kebanyakan bersumber dari alam. Budidaya teripang dan kekerangan belum di lakukan, tetapi

potensi lahan perairan untuk budidaya cukup luas, yaitu masing-masing 692 Ha dan 152 Ha. Kondisi lingkungan menurut masyarakat maritim adalah daerah yang sangat layak untuk usaha

pembudidayaan laut tersebut.

2. Perikanan Budidaya Perikanan budidaya di Lombok Timur berdasarkan data statistik belum tercatat,

pencatatannya baru dilakukan sehingga penggambaran budidaya di laut kurang jelas, padahal

masyarakat maritim sejak lama telah mempraktekkan budidaya maritim. Di beberapa daerah, seperti di Teluk Ekas, Batu Nampar, dan Batu Dagong, telah ada kegiatan pembudidayaan di

lakukan, yaitu berupa pembesaran lobster, pembesaran kerapu, termasuk rumput laut, tetapi

skalanya masih kecil-kecil. Budidaya yang sedang digalakkan saat ini adalah budidaya kerang Mutiara, pembudidayaannya lebih banyak di lakukan oleh pengusaha yang sebelumnya telah

pernah melakukan pembudidayaan kerang mutiara di tempat-tempat lain, tetapi hasilnya belum

banyak. Kegiatan budidaya rumput laut yang telah berproduksi ada di teluk Ekas, teluk Serewe,

Sembung, batu Nampor dan batu Dagong, dimana perairan lautnya sesuai untuk budidaya ini, daerah lainnyapun sebenarnya cukup baik juga. Perkembangan budidaya telah ada sejak tahun

1996, dimana arealnya pada saat itu baru 126 Ha, dan setiap tahun selalu beertambah dan pada

tahun 2001 telah mencapai 405 Ha. Di lihat dari produksinya, budidaya ini baru mencapai antara 7-8 ribu ton basah. Pada tahun 2001 pembudidaya rumput laut menambah usahanya ke sector

kgiatan usaha lainnya yaitu ikan kerapu, sehingga mengalami perbaikan produksi. Budidaya

kerapu dimasa datang dengan menggandengan budidaya rumput laut dapat menjadi saling melengkapi usaha pembudidayaan laut, sebab akan memberikan prospek yang lebih baik.

Tabel 5. Biaya investasi Budidaya Rumput Laut, 2002. No. Keterangan Luasan (m)

3 X 3 m 4 X 4 m

I Investasi (Rp) (Rp)

1. Bambu 50.000 75.000

2. Tali 75.000 100.000

3. Tenaga Kerja 100.000 150.000

4. Perahu Kecil 250.000 250.000

TOTAL BIAYA 475.000 575.0000

II Biaya Operasi

1. Bibit 75.000 100.000

2. Penanaman 25.000 25.000

3. Pemeliharaan 4.000 4.000

4. Pemanenan 2.500 2.500

5. Pengeringan 1.500 1.750

TOTAL BIAYA 112.000 133.250

TOTAL KEBUTUHAN BIAYA 587.000 708.250

Sumber: Data lapangan yang diolah, 2002.

Pengusahaan pembudidayaan rumput laut membutuhkan biaya investasi untuk setiap petak bambunya adalah antara Rp. 475.000,- - Rp. 575.000,- (Tabel. 5), jadi kegiatan usaha budidaya

baru dapat di lakukan apabila tersedia dana untuk membuat sarana budidayanya. Dalam

pengoperasian selanjutnya, dibutuhkan juga biaya operasional, kebutuhan biaya operasional

untuk setiap kali penanaman bibit sampai dengan pemanenannya kisarannya adalah Rp. 112.000,- - Rp. 133.250,- jadi apabila ingin melakukan usaha pembudidayaan rumput laut, minimal tersedia

dana untuk pembuatan sarana dan modal kerja adalah sebesar Rp. 587.000,- - Rp. 708.250,-

Pengusahaan rumput laut menurut informasi dari pelaku usaha budidaya, tingkat keberhasilannya sangat tergantung pada kesuburan lokasi, musim dan harga dari rumput laut itu sendiri. Maka

jelas pengusahaan rumput laut di tingkat lokal sangat ditentukan oleh pembeli dan harga

ekspornya. Tapi pada jangka panjang, usaha pembudidayaan ini masih dapat menguntungkan

pembudidaya.

4. Pengolahan Hasil

Kegiatan usaha di sector maritim menghasilkan produksi sebagai bahan baku industri atau

untuk langsung di konsumsi, bahan baku industri yang bersumber dari hasil maritim dapat berasal dari Kegiatan usaha penangkapan ikan atau pengambilan biota laut lainnya atau pembudidayaan.

Kabupaten Lombok Timur sebagai daerah yang mempunyai perairan, juga menghasilkan

berbagai produk maritim. Produk maritim yang telah mengalami proses pengolahan antara lain; minyak ikan, pengasinan, pemindangan, ikan segar dan mutiara. Dalam statistik perikanan, usaha

industri pengolahan ini belum dianggap cukup signifikan di dalam kegiatan ekonomi masyarakat

maritim yang mengkhususkan kegiatan pada bidang usaha pengolahan atau sebagai mata pencaharian dari usaha industri pengolahan yang berasal dari maritim. Jadi industri pengolahan

belum berkembang dengan baik sebagai bidang usaha, tetapi teknologi pengolahan, bagi

masyarakat maritim telah mengetahuinya dengan baik. Sehingga ada yang telah

mengusahakannya, walaupun masih pada bentuk skala kecil dan sederhana.

Tabel. 6. Pengolahan Produk Pindang Cumi-Cumi, Kabupaten Lombok Timur,

Tahun 2002. No. Keterangan Pindang Cumi

dengan Sewa/100 Kg

I Investasi

1. Modal Usaha 2.500.000

2. Izin Tempat 125.000

3. Peralatan Pemindangan 250.000

4. Lain-lain 100.000

Total Biaya Investasi 2.975.000

II Biaya Operasi

1. Cumi-Cumi 1.650.000

2. G a r am 3.750

3. Minyak Tanah 13.500

4. Tenaga Kerja 22.500

5. B a s k o m 12.500

6. Daun Pisang 12.500

Total Biaya 1.714.750

Total Kebutuhan Biaya 4.689.750

Catatan : 100 kg menjadi 5 lubang a 20 kg Sumber; Data lapangan yang diolah, 2002.

Dapat dicontohkan, pengolahan pindang dan cumi-cumi, masyarakat maritim di sekitar

Tanjung Luar, mereka telah ada yang berusaha di sektor industri pengolahan ini yang menjadikannya sebagai kegiatan usaha. Untuk dapat berusaha, kebutuhan dana yang diperlukan

agar bisa memulai usaha industri pengolahan pada skala usaha rumah tangga, masyarakat maritim

harus memiliki modal minimal. Modal ini diperuntukkan sebagai biaya investasi dan operasional. Untuk mengolah produk pindang cumi-cumi per 100 kg atau dengan pemasakan 5 lubang tungku

sekaligus dibutuhkan modal dasar untuk biaya investasi sarana Rp. 2.975.000,- ditambah biaya

operasi pengolahan Rp. 1.714.750,- maka kebutuhan dana bagi yang melakukan usaha pemindangan cumi-cumi adalah sebesar Rp. 4.689.750,-(Tabel. 6). Biaya ini dapat menjadi

bahan informasi bagi pengusaha yang baru, mereka akan mengalami banyak kesulitan apabila

tidak hati-hati, kesulitan itu muncul mengingat kemungkinan ketidakpastian penjualan

produknya. Untuk menghindari kesulitan maka dianjurkan bagi pemula perlu ada penjenjangan skala usaha yang harus di lakukan terlebih dulu, sehingga dapat menghindari terjadinya kerugian

yang lebih besar.

Upaya yang di lakukan masyarakat maritim, seperti di Tanjung Luar, hasil tangkapan ikan

di olah menjadi produk pindang. Ada dua cara pengolahannya; Pertama, diolah dengan cara perebusan di dalam air garam setengah tawar. Produknya berupa pindang ikan cumi-cumi dan

ikan pelagis kecil. Kedua, diolah dengan cara perebusan dengan garam peril, perbandingannya

antara 1 : 0,5, dan produk yang dihasilkan agak asin, berupa pindang asin, dari jenis ikan yang

agak besar, seperti tongkol, dan daging ikan cucut. Ketiga, pengolahan minyak ikan cucut, terutama jenis ikan cucut taji yang di lakukan dalam bentuk home industri, dengan cara teknik

ekstraksi yang dimurnikan. Hasil produksinya adalah kemasan minyak ikan cucut botolan yang

siap untuk dipasarkan. Keempat, adalah penanganan ikan segar dengan cara pengesan, yaitu dari jenis-jenis ikan laut yang bernilai ekonomi tinggi, yang dijual pada pelanggan tertentu. Jenis-jenis

ikannya adalah kerapu, kakap merah dan lain-lainnya. Jadi pengolahan produk yang ada di

Kabupaten Lotim, jenis dan macam produk yang dihasilkan masih sangat terbatas, termasuk sub sektor budidaya, namun di lihat dari prospektif, daerah ini mempunyai peluang cukup besar dan

menjanjikan, karena kondisi alam yang dimiliki cukup mendukung perkembangan kearah

tersebut, yaitu pertumbuhan ekonomi daerah yang maju. Dan pemerintah daerah dalam upaya

memberdayakan sektor maritim supaya mampu tumbuh dan berkembang dengan baik dalam mengisi pembangunan, di sektor maritim daerah perlu memasukkan program khusus yang

disesuaikan dengan karakteristik ekologi maritim. Tujuan program khusus tersebut adalah untuk

memudahkan pembinaan kepastian usaha ekonomi yang akan di lakukan oleh masyarakat mulai dari perbankan, industri, tenaga kerja, transportasi dan pemasaran.

PENUTUP Kabupaten Lombok Timur (Lotim) terletak di Pulau Lombok, yang di kelilingi oleh laut

dengan tanahnya yang bergunung (Gunung Rinjani) dan berbukit-bukit. Penghidupan masyarakat

di daerah ini lebih banyak mengandalkan perikanan, disamping sektor-sektor lainnya, seperti

pertambangan, industri, perdagangan, perhotelan dan restoran, transportasi, perbankan dan jasa-jasa lainnya. Sektor perikanan rata-rata PDRBnya pada empat tahun terakhir ini sebesar 38,88

persen, berarti masih cukup signifikan terhadap sektor-sektor lainnya. Perikanan masih berada di

dalam sektor maritim, maka jelas sektor maritim ikut memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan PDRB, namun di lihat dari kemajuan yang dicapai oleh sektor ini masih sangat

lamban. Di kaitkan dengan penduduk, kepadatannya telah mencapai 606 jiwa/km2 pada tahun

2000 (hasil sensus penduduk, 2000), konsekwensinya adalah tekanan terhadap lahan perikanan

yang berubah fungsi menjadi makin jelas. Lahan yang terbatas akan memaksa perubahan struktur pendapatan masyarakat, maka pada jangka panjang sektor maritim (penangkapan dan budidaya)

akan menjadi alternatif bagi sebagian penduduk yang berdiam di Lotim. Pada tahun 2000, jumlah

penduduk yang terkait dengan maritim (tangkap) ada 194.460 jiwa dan yang terlibat langsung ada sebanyak 16.597 jiwa.

Berdasarkan indikator maritim, strukturnya menunjukkan tingkat kegiatan-kegiatan yang

tercipta di sektor maritim. Elemen dasar adalah sumberdaya alam maritim yang tersedia dan ada manusia yang hidup dengan sumber mata pencahariannya dari maritim. Kedua elemen dasar

tersebut menciptakan teknologi peralatan kehidupan berupa armada penangkapan (perahu/kapal)

yang diikuti derivasi teknologi pendukung lainnya, yaitu alat tangkap. Armada yang tersedia telah

mencapai 4.447 unit dengan alat tangkap sesuai dengan kebutuhan, saat ini telah mencapai 5.086 unit. Dari perbandingan antara armada dengan alat tangkap, ternyata alat tangkap lebih banyak,

berarti ragam alat tangkap sebagai teknologi derivatif dikembangkan sesuai dengan kebutuhan

dan kondisi alam sekitar, dimana masyarakatnya hidup. Disamping teknologi armada, juga dikembangkan teknologi pembudidayaan. Untuk budidaya laut, harus didukung oleh

perahu/kapal, karena lokasinya ditengah laut. Pembudidayaan maritim mulai berkembang di

Lotim, pembudidayaan itu ada di teluk Ekas, Batu Nampor dan Batu Dagong. Perkembangan upaya pemanfaatan sumberdaya maritim melalui kegiatan usaha penangkapan, dapat diketahui

melalui armada perahu/kapal. Sejak tahun 1996 sampai tahun 2000 armada perahu/kapal

mengalami fluktuasi. Fluktuasi jumlah armada ada kaitannya dengan resisi ekonomi, yang

dimulai oleh adanya krisis moneter. Sebelumnya ada usaha di sektor penangkapan yang mengalami peningkatan, kemudian karena ada usaha penampung ikan dan pengolah ikan dalam

bentuk olahan segar mulai mengurangi usahanya, hal ini ikut berdampak negatif bagi nelayan,

yaitu pada tahun 2000 terjadi penurunan 4.447 yang tahun sebelumnya mencapai 5.143 unit usaha

penangkapan. Selain dari itu, faktor biaya eksploitasi dari BBM juga memicu perubahan kegiatan dari kapal bermotor beralih pada kapal tanpa motor, dan ini juga ikut mempengaruhi tingkat

produktivitas nelayan. Dengan kapal yang lebih kecil, jelas ikut merubah alat tangkap yang

digunakan, dari ukuran yang lebih besar ke ukuran yang lebih kecil, karena fishing groundnya juga ikut terbatas. Produksi hasil tangkapan juga ikut berfluktuasi, angka di tahun 2001

memberikan gambaran bahwa terjadi penurunan sebesar 15,17%. Faktor penyebab penurunan

disebabkan karena pengaruh faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah seperti permodalan usaha yang makin terbatas dan faktor eksternal seperti harga ikan, input produksi

yang dipengaruhi BBM. Maka untuk sektor maritim, dari usaha penangkapan terlihat jelas ada

perubahan-perubahan yang bertendensi ke arah penurunan, baik armada, alat tangkap dan

produksi. Dari perubahan ini maka sektor penangkapan perlu ada bantuan upaya pendorongan melalui berbagai kegiatan kebijakan agar masyarakat maritim yang berdiam di daerah pantai

kesejahteraannya tidak menurun dan mempengaruhi kualitas kehidupan mereka.

Dari sub sektor maritim budidaya , Kabupaten Lotim belum menunjukkan perkembangan yang cukup maju, dan ini ditandai oleh volume dan jenis pembudidayaan ikan di laut masih

terbatas. Adapun potensi wilayah cukup menjanjikan, dengan daerah potensial untuk

pembudidayaan yang cukup luas. Budidaya yang telah mulai ada, adalah rumput laut yang produksinya mencapai 7 – 8 ribu ton basah, dan usaha ini cenderung bertambah luas. Pada tahun

2001, mulai ada pula usaha pembudidayaan lobster, kerapu dan kerang mutiara, tetapi

produksinya belum dapat diketahui dengan jelas. Dengan adanya usaha pembudidayaan yang

baru, dari komoditi maritim, selain rumput laut, ini memberikan informasi bahwa Lotim menarik bagi pengusaha untuk menjadi tempat berusaha yang mempunyai prospek keuntungan. Industri

pengolahan produk maritim, baik dari hasil tangkapan, maupun dari budidaya, masih terbatas

pada pengolahan ikan segar untuk perdagangan segar. Pengolahan produk dalam bentuk ikan asin, pindang, atau olahan lainnya (sosis, nuget) belum banyak dikenal dan di lakukan. Industri

pindang ikan yang ada di Selong, volume dan aktivitasnyapun masih terbatas, termasuk minyak

ekstraksi hati ikan hiu laut dalam. Berdasarkan indikator ekonomi, Kabupaten Lombok Timur

mengalami pertumbuhan yang lambat, dapat diketahui melalui PDRB-nya mulai dari tahun 1997-2000 yang berfluktuatif. Pada tahun 1998 mengalami pertumbuhan negatif sebesar -2,81, hal ini

disebabkan karena terjadinya krisis moneter secara nasional, kemudian pada tahun-tahun

berikutnya ada pertumbuhan positif, tetapi cenderung meningkat dengan kisaran sederhana. Rata-rata total pertumbuhan berdasarkan lapangan usaha atas dasar harga konstan 1993 selama

empat tahun terakhir adalah 1,87, maka gerakan ekonomi daerah Lombok Timur masih

memberikan harapan berkembang dan dapat dikembangkan apabila pemerintah memberikan kemudahan diberbagai sektor ekonomi.

Untuk sektor maritim distribusi persentase pertumbuhannya mengalami pertumbuhan

positif, tidak pernah negatif yaitu dengan kisaran 2,87 - 2,77. Ditinjau dari laju pertumbuhannya,

maka fluktuasinya cukup menajam, bahkan ada mengalami laju pertumbuhan negatif, yaitu pada tahun 1998 sebesar -4,94, hal ini terjadi karena pengaruh langsung dari krisis moneter. Sektor

maritim mulai tahun 1999 mengalami pertumbuhan positif, tetapi masih sangat sederhana

(2,16%) dan menurun kembali menjadi (1,01%). Memperhatikan besaran angka pertumbuhan berdasarkan laju pertumbuhan atas dasar harga konstan 1993, maka sub sektor usaha maritim

kontribusinya terhadap PDRB Lombok Timur masih sangat rendah. Dengan kontribusi yang

sangat rendah yang mampu diberikan oleh sektor maritim pada pertumbuhan ekonomi Lombok Timur, jelas program pemacuan yang diprioritaskan pada sektor ini juga menjadi rendah, hal ini

tercantum dengan terbatasnya sarana dan prasarana yang tersedia untuk sektor maritim. Upaya

yang di lakukan pemda Lotim melalui Dinas Kelautan adalah membuat rancangan Perda tentang

Retribusi Izin Usaha Kelautan tahun 2001. Dengan perda ini diharapkan akan mampu melakukan pembinaan dan sekaligus pemacuan pembangunan sektor maritim, dengan demikian peranan

sektor maritim dapat ditingkatkan dan kontribusi yang dihasilkan terhadap PDRB akan dapat

meningkat. Bersamaan dengan itu, sektor moneter dapat juga digerakkan, yaitu pengembangan

usaha melalui peningkatan permodalan kredit bergulir yang diprioritaskan pada nelayan penangkap dan pembudidaya di laut. (Ikan dan Rumput Laut). Kegiatan usaha maritim

dilapangan masih tergolong pada skala kecil dan menengah, untuk kegiatan usaha maritim

penangkapan ikan masih di dominasi armada tanpa motor dengan biaya investasi untuk "perahu jukung" sebesar Rp 2.790.000,-, kemudian Perahu Motor Kecil Rp 9.225.000,- dan Kapal Motor

Rp 130.750.000,-.

Nelayan laut masih sedikit yang menggunakan perahu motor, apalagi Kapal Motor, sehingga usaha penangkapan di Lotim belum besar kemampuannya ikut memanfaatkan

sumberdaya maritim yang ada. Kegiatan usaha di sector maritim yang diusahakan baru sebatas

secara pembudidayaan, yang mampu di lakukan oleh masyarakat maritim. Untuk membuat satu

petak bambu pembudidayaan rumput laut misalnya yang ukurannya 3 X 3 m, dibutuhkan biaya investasi Rp 475.000, untuk ukuran 4 X 4 m biaya investasinya 575.000. Total kebutuhan biaya

per unitnya adalah Rp 587.000 dan Rp 708.250. Di lihat dari perkembangan, tampaknya pada saat

ini masih menguntungkan, karena masih ada kecenderungan pertambahan pembudidayaan di laut. Pengolahan komoditi hasil tangkapan nelayan (ikan dan biota laut lainnya) belum banyak yang

dapat dikembangkan oleh masyarakat. Dapat di lihat dari diversifikasi produk olahan yang

dihasilkan masih terbatas, yaitu asinan, pindang, minyak ikan dan dalam bentuk segar. Dari sedikitnya jenis komoditi olahan yang dihasilkan, telah menggambarkan bahwa industri

pengolahan hasil laut, ternyata belum berkembang pesat, karena itu agar usaha ekonomi dari sub

sktor industri yang berbahan baku hasil laut dapat maju perlu kebijakan yang memudahkan yang

berpihak kepada sector maritim.

DAFTAR PUSTAKA

Statistik Perikanan NTB, 2000. Buku Tahunan Statistik Perikanan Tahun 2000

BPS, 2001, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Lombok Timur Tahun 1998 -

2000 Kerjasama Bappeda Kabupaten Lombok Timur Dengan Badan Pusat Statistik Kabupaten Lombok Timur. Katalog BPS : 9205.5203.

BPS, 2001. Lombok Timur Dalam Angka, Badan Pusat Statistik Kabupaten Lombok Timur.

Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Timur Nomor……Tahun 2001 Tentang

Retribusi izin Usaha Perikanan.

Daftar Riwayat Hidup

Drs. Sastrawidjaja kelahiran Tanjung Sakti, 1 Nopember 1951 adalah lulusan Fakultas Ekonomi, Universitas Islam Indonesia Yogyakarta tahun 1979. Pengalaman pekerjaan, sejak

tahun 1980 hingga sampai tahun 2000 sebagai peneliti social ekonomi perikanan di Pusat

Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Kemudian sejak tahun 2001 menjadi sebagai peneliti social ekonomi

perikanan di Pusat Riset Pengembangan Produk dan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan,

dan pada tahun 2005 sebagai peneliti di Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan hingga

sampai dengan sekarang. Penulis telah banyak menghasilkan tulisan ilmiah yang diterbitkan

di jurnal penelitian, proceeding dan juga buku yang selalu berkaitan dengan Kelautan dan

Perikanan. Hingga sampai saat ini tetap konsisten menggeluti permasalahan social ekonomi Perikanan nusantara.

SERBA-SERBI MASYARAKAT MARITIM

Tulisan ini menggambarkan sekelumit tentang keberadaan dan kegiatan masyarakat maritim yang ada di sebagian daerah nusantara. Gambaran yang diberikan lebih menekankan pada

penggambaran informasi fenomena umum yang terjadi di masyarakat maritim, seperti kegiatan

ekonomi, social, kearifan local, kelembagaan, dan politik. Fenomena itu dituangkan dalam bentuk

uraian penggambaran kasar ditinjau dari pandangan penindaian pengamatan, baik melalui penindaian di lapangan ataupun referensi laporan resmi pemerintah. Hasil penindaian

menginformasikan serba-serbi masyarakat maritim dari sisi pandangan formal dan dari sisi

pengamatan riset. Mudah-mudahan tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi nusantara sebagai bangsa maritim yang keberadaannya telah resmi diakui oleh masyarakat dunia.