serat sana sunu
TRANSCRIPT
Cahmbanjar 1
SERAT SANA SUNU
Bahasa Indonesia
DHANDHANGGULA
(1) Dengan disertai doa agar dijauhkan dari bahaya dan disucikan oleh Sang Mahakuasa,
hendaknya berhasil baik dalam menyusun rangkaian nasehat atau petuah ini, supaya dapat
dijadikan pelajaran bagi anak cucu di kemudian hari. Pembuatan buku ini ditandai dengan
sangkalan tahun, Sapta Catur Swareng Janmi atau tahun 1747 Jawa (tahun 1819 M).
Penggubah memaksa diri untuk memberi nasehat kepada anak-anak yang telah berumur
supaya mereka selamat dari segalanya. Sang Pujangga berusaha berbuat demikian karena
bermaksud, agar petuahnya dapat menjadi teladan bagi kita yang hidup ini. Bukankah kita
selalu berharap, agar hidup kita selamat. Maka kita diminta supaya dapat menerima petunjuk
yang berupa nasehat-nasehat ini. Adapun nasehat-nasehat tersebut dibuat dengan didasari
kesabaran dan kejujuran, agar dapat menimbulkan gairah serta ketekunan. Lama-kelamaan
hasil itu dapat menjadi neraca dan dapat mengikatnya seperti tali. Penggubah atau penulis
petuah ini, tiada lain ialah Kyai Yasadipura, dengan diiringi ucapan wahai seluruh anak cucu
kami laksanakanlah hal-hal seperti terurai di bawah ini. Bagaimanakah seharusnya tindakan
orang hidup itu, maka untuk dapat dikenang, nasehat-nasehat tersebut dibagi dalam 12
macam :
(2) Pertama : Mengingatkan kita bahwa kita ini adalah umat.
Kedua : Kita harus ingat bahwa kita telah mendapatkan sandang dan pangan.
Ketiga : Kita wajib berusaha, terutama sandang dan rejeki yang harus keluar dari jerih
payah sendiri.
Keem pat : Atas perintah Tuhan kita disey ogyakan masuk Islam mengikuti jejak Nabi
Muhammad.
Kelima : Pakaian dan kegemaran.
Keenam : Menyangkut cara bergaul dengan sesama umat.
Ketujuh : Bagaimana jika makan di rumah, tidur, berjalan dan berpakaian, jika pergi dari
rumah.
Kedelapan : Mengenai penyambutan tamu.
Kesem bilan : Bagaimana orang bertutur kata dan mengeluarkan pendapat.
Kesepuluh : Besar kecilnya martabat manusia sebagai makhluk Tuhan.
Cahmbanjar 2
Kesebelas : Sebab-musabab adanya makhluk Tuhan, turunnya derajat, dan berubahny a
wahyu.
Kedua belas : Perubahan dunia.
Untuk jelasnya, tiap-tiap macam atau bab itu diterangkan satu demi satu.
I. Pertama
Diingatkan bahwa kita dijadikan oleh Tuhan dari semula tidak ada, kemudian
dijadikan manusia berasal dari sinar Kangjeng Nabi Muhammad. Untunglah bahwa kita ini
tak dijadikan oleh Allah menjadi hewan. Oleh sebab itu kita wajib mengucap syukur, kepada
Yang Mahakuasa, dan harus selalu menjaga hidup kita. Hati bulat pasrah terhadap Nya, dan
tak boleh mendendam sebab bila ada kehendak Tuhan sewaktu-waktu mengambil nyawa
kita, kita tentu akan menghadapnya.
Memang hidup manusia ini mengenai usia panjang pendeknya tak dapat ditentukan.
Oleh karena itu janganlah mengira bahwa kita ini akan hidup lama, dan pula jangan mengira
bahwa kita hidup hanya sebentar saja. Ini bukan urusan kita, tentang usia panjang dan
pendek itu memang sudah takdir. Hanya kita diminta memikirkan tentang mati dalam hidup.
Artinya mematikan hawa nafsu. Karena kita ini dijadikan oleh Tuhan, maka tak usah
khawatir. Kita diberi kemampuan, oleh sebab itu asal dengan keinginan yang betul-betul,
maka kita pasti dapat melaksanakannya.
II. Kedua
Manusia (kita) dilahirkan di dunia dengan diberi sandang dan pangan harus diingat
bahwa sandang lebih dahulu (tua) daripada pangan. Seperti halnya manusia yang lahir dari
rahim ibu, masih bayi bukannya terus disuapi, melainkan disiapkan lebih dahulu lampin-
lampinnya. Itulah sandang, pangan, kekayaan dan rejeki, semua tadi adalah pemberian
Tuhan.
Disini dapat diibaratkan bahwa kekayaan adalah sebagai istri tua, sedang rejeki sebagai
istri muda, dan kita harus dapat mengasuh keduanya. Kekayaan atau keduniawian yang
diumpamakan sebagai istri tua tadi, akan ikut serta selama kita hidup sampai mati.
Sedangkan rejeki yang seakan-akan menjadi istri muda akan menjadi kekuatan hidup kita.
Manusia harus dapat mengasuhnya, dan jangan sampai keduanya itu patah hati.
(4) Apabila kedua pemberian tadi pergi (lepas), maka hilangnya akan cepat sekali,
bagaikan kilat menyambar saja, dan kita tak mungkin dapat mengejarnya. Badan kita akan
terseret, rusak, dan akhirnya menjadi hina. Selanjutnya manusia akan selalu ragu-ragu dan
(3)
Cahmbanjar 3
gelisah, selalu salah pengertian. Apa saja yang diinginkannya luput, menggapai-gapai tak
sampai. Itulah akibat tak tahan ditinggalkan oleh kedua istri tersebut. Sehingga
menyebabkan hilangnya rasa kemanusiaan, suka mengambil istri orang lain, tak ubahnya
seperti binatang yang berada di hutan saja.
Apa yang dikerjakan kemudian; tiada lain menjambret, menggunting, mencuri. Padahal
kalau itu diketahui, umur kitalah yang menjadi ganti. Jasad kita akan tersia-sia terkapar
seperti hewan. Oleh sebab itu, penulis mengingatkan kita, supaya melaksanakan cara
mengasuh pemberian tersebut dengan baik, yaitu secara mengasihi keduanya. Tetapi harus
diingat, bahwa kedua istri itu jangan sampai pergi, karena terlalu kita kasihi. Orang tak boleh
selalu berkasih mesra, memanjakan kekasih, mengabulkan semua kehendaknya, sehingga
lupa kepada yang memberi (Tuhan). Tindakan yang demikian, yang mengutamakan
kemewahan dan seolah-olah itulah yang disembah, dapat menyebabkan kelemahan diri, dan
orang akan menemui sial. Dia tak dapat berjalan karena kegemukan, serta kekenyangan,
sehingga apabila berjalan akan terjungkal menggelundung masuk ke dalam jurang. Disana
terbentur batu, hancur, dan celakalah dia tak berharga sama sekali. Badan sengsara tak ada
yang memperhatikan.
(5) Oleh karena itu kita tidak boleh berbuat demikian, sedang-sedang sajalah. Rejeki dan
kekayaan itu jangan terlalu kita cintai.
III. Ketiga
Allah memerintahkan supaya manusia mencari sandang pangan dari hasil jerih payah
sendiri. Di dunia ini banyak sekali pekerjaan untuk mencukupi sandang pangan. Sedang yang
terbaik, sekali lagi adalah hasil yang keluar dari cucuran peluh sendiri.
Mengenai orang mencari nafkah mempunyai batas-batas tersendiri, yaitu orang laki-
laki memikul kayu, dan yang perempuan menggendong tenggok (bakul).
Demikianlah ibarat jika badan sedang sial, maka laki-perempuan masing-masing
menggendong dan memikul. Lain halnya, bila baru diistimewakan oleh Tuhan, maka mencari
sandang pangan pun sangat mudah. Tetapi andaikata mudah, orang harus waspada. Sebab
uang yang tidak halal, biar banyak, tetapi belum sah jangan mau, dan jangan diambil. Lebih
baik uang itu sedikit, tetapi diperoleh dari penghasilan sendiri, artinya pendapatan yang sah
menurut hukum.
Penulis berpesan, bila orang mencari nafkah, janganlah dengan cara meminjamkan uang
dengan berbunga. Sebab biarpun itu cepat kaya tetapi cara tadi tidak layak dilakukan. Hal itu
dapat menyebabkan sengsara, karena cara tersebut bukan peninggalan nenek moyang.
Cahmbanjar 4
Dikatakan disini, bahwa pekerjaan yang baik itu bersawah, bertanam padi, pokoknya
menjadi petani. Bersawah memang rangkaian pekerjaannya, banyak yang perlu dilaksanakan
dengan rajin dan tekun. Ya, memang berat orang mencari penghasilan itu.
(6) Orang mencari nafkah tidak boleh dianggap ringan, sebab manusia itu berakal. Jika tak
berhasil dengan cara begini atau begitu, coba dengan cara lain sehingga berhasil. Lain halnya
dengan hewan yang tak berakal, mencari makan hanya dengan mulutnya saja. Datang di
tempat, terus makan daun ataupun rumput.
Sesudah berhasil, orang harus menerimanya dengan besar hati dan mengucap syukur
kepada Tuhan. Biar hasil itu hanya sedikit tetapi itu adalah pemberian Allah. Masih untung
diberi, daripada tidak. Seperti halnya mereka yang tak dapat mencari rejeki, yang
penghasilannya hanya dari meminta-minta saja. Itu sebenarnya diberi, tetapi rahmat Tuhan
yang baik itu putus tidak diteruskan. Hasilnya sudah diambil, tentu saja terhalang tak dapat
diperoleh, hal ini karena anugerah Allah telah dilepaskannya.
Akal orang tersebut sudah keruh, sebab ketika masih anak-anak memang kurang ajar.
Setelah tua terikat iblis, dengan demikian ia tak mampu berbuat apapun. Andaikata dia itu
mau berbuat sesuatu, jika memang tidak dapat bersawah, ya menjadi tukang pandai besi,
ataupun membuat barang-barang dari tembaga, dan lain-lain. Sebenarnya kalau dia belum
dapat seharusnya belajar lebih dahulu. Pekerjaan bagi manusia itu banyak, baik yang ringan
maupun berat. Misalnya mengabdi, ya harus mau mendekat, rajin mengawal serta berhati
jujur. Manusia diingatkan, bahwa mereka harus sadar bahwa orang itu mudah sekali sial.
Tidak boleh membanggakan, bahwa bapak ibu masih hidup, masih ditunggui, dan
cukup mengabdi majikan dengan baik. Bila demikian keinginan manusia, budinya akan
sempit, kosong, tak berilmu, karena hanya membanggakan bahwa masih muda.
SINOM
IV. Keempat
(7) Hal yang keempat menyangkut : bahwa karena titah Tuhanlah maka orang harus
masuk Islam, mengikuti Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Tidak boleh meninggalkan
sarengat maupun perintah Nabi baik yang terg olong sunah, w ajib, w enang, dan mokal. Harus
berusaha dapat melakukan mana yang batal, haram, halal, musabiyah, dan jangan lupa akan
kelima rukun Islam itu. Jika tak dapat menunaikan rukun Islam yang kelima, berarti tak
dapat ke Baitullah (kabah) naik haji, maka keempat rukun Islam yang lain itu sajalah jangan
sampai diabaikan.
Cahmbanjar 5
Sarengat merupakan tindakan badaniah, tarekat tindakan batiniah, sedang hakekat
adalah ulah nyawa dan makripat ulah rasa, semua tadi harus diketahui cara- cara
melakukannya. Sarengat tak boleh ditinggalkan, karena dapat menyebabkan dirinya lemah.
Tentu saja tidak akan mungkin menyamai sarengat Nabi, itu dilarang dan juga tak akan
mampu. Kecuali kalau orang itu memang dikehendaki Allah menjadi mukmin sejati, atau
orang yang benar-benar percaya pada Allah. Orang harus beragama, tidak boleh menyembah
berhala. Lagi pula tak boleh kafir, dan tidak boleh melanggar peraturan agama. Karena dasar
manusia itu memang lemah, ya paling tidak tentu berbuat maksiat atau tindakan yang
berdosa. Kalau hanya berbuat maksiat saja, mungkin penyesalan yang dilakukan siang malam
atas dosa-dosanya yang telah dilakukannya akan diampuni Tuhan.
(8) Tetapi jika orang kafir, menyembah berhala, sukarlah mendapatkan ampun. Padahal
kalau penyesalan atas dosanya itu tak diterima Tuhan, maka bencanalah yang akan
ditemuinya.
Sarengat merupakan wadah sopan santun, sekali lagi tak boleh ditinggalkan. Orang
meninggalkan sopan-santun, tidak mustahil menjadi tempat setan, tempat dosa yang besar.
Kangjeng Rasul akan marah kepada orang itu.
Kemurkaan Rasullollah berarti pula kemurkaan Tuhan ; ya allah ya Rasullollah. Sebab
itu orang harus ingat dan percaya aka nisi kitab, dan siapa yang tak dapat melakukan hal itu,
jangan mencela dan menegurnya.
Memang ada sementara orang yang menertawakan orang bersembahyang. Dia itu
kerasukan setan, justru dia sendiri tidak menjalankannya. Ada juga yang menjalankan
sembahyang, tetapi suku berolok-olok, menertawai orang lain. Ini seperti halnya orang
minum arak (minuman keras), yang berolok-olok sambil mengatakan bahwa minum arak itu
tidak haram, melainkan halal.
Orang yang menyatakan demikian tadi berbuat dosa dua kali. Pertama menghalalkan
minumam keras, kedua ia sendiri justru minum arak yang merupakan minumam larangan.
Sebab itulah orang harus berhati-hati, tidak seenaknya berbicara dan melanggar larangan-
larangan. Barang terlarang tak boleh dilakukan, pertama haram, kedua tidak berguna.
Hal yang tak penting hanya dibuat porak poranda, sesuka hati, yang sebenarnya tidak
seimbang dengan dosanya. Sudah jelas bahwa orang minum arak itu pasti mabuk. Jika
mabuknya tidak baik, maka badan menjadi rusak, hati bergejolak seperti akan menelan bumi,
sopan-santun dan kehati-hatiannya sudah hilang.
Jika mabuknya orang itu baik, maka badannya hanya lemas saja tak berdaya.
Kekhusukannya terhadap Tuhan berkurang, hatinya menjadi bingung, lupa bagaimana cara
(9)
Cahmbanjar 6
mencari tindakan yang betul. Orang yang lupa kepada Tuhan berarti meng hilangkan
perbuatan baik, dia akan rugi tak mendapat untung, tidak kasihan serta mempersakit diri
sendiri.
Dituturkan bahwa mabuk itu ada lima macam :
Pertama, mabuk pada minuman keras. Telah diuraikan di depan bahwa akibatnya tidak
baik.
Kedua, mabuknya orang muda dan lagi berwajah tampan, bahkan dalam berpakaian pun
tidak kekurangan. Pada perasaannya tak ada orang lain yang tampan selain dirinya. Hanya
dia sendirilah yang rupawan. Itulah dia orang yang mabuk, yang selalu memperhatikan diri
sendiri saja. Sebenarnya yang disebut bagus itu ada dua hal : (1 ) Kebagusan wajah ; (2)
Kebagusan hati. Walaupun wajahnya tampan tetapi berhati jahat, tentu menjadi orang jahat
pula. Semua tindakannya rusuh, hatinya penuh angkara murka. Itulah mabuknya orang
muda, apa yang dikerjakan serba kuat dan tanpa perhitungan. Sungguh semua hal tadi jelas
terhalang.
(10) Ketiga, ialah mabuk akan kemewahan. Artinya senang akan mewah yang berlebih-
lebihan. Siang malam ingin menikmati kemewahan itu, makan enak, tidur enak. Tak aka nada
habisnya bila orang yang mabuk kemewahan tersebut dibicarakan.
Keem pat, yaitu mabuk yang timbul dari hawa nafsu. Nafsu yang berlarut-larut yang tak
dikendalikan sedikitpun, baik terhadap istri, pembantu, maupun orang lain. Kepada mereka
dia berbicara keras dan kasar serta ringan tangan. Belum tentu mereka itu salah, tanpa
kesabaran, tanpa diteliti lebih dahulu, belum selesai memeriksanya, sudah tergesa-gesa
marah.
Kelima, ialah mabuk kesenangan, kesenangan apa saja yang melampaui batas.
Sebenarnya kelima macam mabuk tersebut, sama haramnya dengan mabuk arak. Semua
tindakan yang menyebabkan lupa terhadap Tuhan, tak boleh dilakukan. Apabila manusia
telah terbelenggu oleh kelima mabuk tadi, maka tak urung akan menjadi hina-dina, dan
menderita sengsara dunia. Tak usah menanti di akhirat, di dunia pun sudah terjadi
kesengsaraan yang timbul karena melanggar larangan itu.
Penggubah mengingatkan bahwa haram itu bagaikan “aling-aling” atau penutup, jadi
menutup hati manusia sehingga lupa kepada Tuhan. Sedang halal i tu termasuk baik, hati suci
tiada tertutup, tidak lupa kepada Tuhan.
(11) Demikian bila orang dapat menjadi hamba Tuhan yang baik, maka dia akan menolak
semua barang yang terlarang jangan seperti ucapan orang sinting, yang mengatakan bahwa
dengan ucapan pun pasti diterima oleh Allah. Dikatakan oleh orang ahli hakekat (ilmu
Cahmbanjar 7
kenyataan) yang menerima nasehat dari gurunya, bahwa haram suba’at itu tidak ada,
semuanya dianggap halal.
Ucapan orang itu sungguh gila, ucapan orang yang telah terbelenggu setan, pasti nanti
mendapat murka dari Tuhan. Adapun tindakan yang baik ialah tindakan yang sungguh-
sungguh mampu sampai ke hakekat yang benar. Beralih ke ilmu makrifat (pandangan
terhadap sifat-sifat Allah), yang hanya dapat dikuasai oleh orang yang telah memperoleh
kasih Tuhan.
Orang seperti itu, tindakan yang dianggap halal pun belum tentu mau
melaksanakannya, lebih-lebih tindakan yang haram. Bila orang dapat bertindak seperti
tersebut, dan mendapatkan wahyu Allah, maka orang itu sama derajatnya dengan wali. Wali
suci yang menjaga semuanya. Sesudah Rasullollah maka para wali suci itulah yang menjadi
tiang langit dan dunia. Hal itu terlalu muluk kalau ditiru, dan mustahil sekali dapat
menirunya. Sebab manusia itu ringkih (lemah), hanya saja jangan sampai memulai bersahabat
dengan setan.
Kita tidak boleh minum candu. Memang “madad” itu tidak baik. Dan tak ada tempat
baik bagi mereka yang suka merokok yang memabukkan. Sebab bila orang sudah
“menyandu”, bukannya orang yang makan candu, melainkan candulah yang memakan orang.
Jika sudah demikian maka maut siap merenggut, dan memang tak ada orang yang minum
candu dapat memiliki umur panjang. Hal seperti itu sama dengan menyiksa badan sendiri,
serta di dalam peraturan agama termasuk larangan.
(12) Yang jelas “terlarang” adalah “mabuk” itu sendiri, maka barang-barang yang
memabukkan ikut pula dilarang. Membicarakan hinanya orang makan candu tak aka nada
habisnya, dan kita mengetahui akibat-akibat dari semua yang pernah terjadi. Tetapi ada juga
yang memberi tahu, bahwa candu itu sedikit halal, yaitu untuk mencampuri obat anget.
Candu dicampurkan sedikit saja ke dalam obat panas, dan memang kemudian dapat
menyembuhkan badan. Untuk inilah candu tadi boleh dipakai. Keterangan yang
menerangkan tentang halalnya candu itu termuat dalam kitab Sarahbayan.
Selanjutnya penggubah, menasehatkan agar kita (anak cucu) tidak melakukan judi, ini
juga termasuk kehidupan yang hina. Di dalam peraturan agama, judi memang benar-benar
dilarang, sebab kenyataannya orang jahat itu akibat dari minum candu dan berjudi ini.
Orang dilarang pula mendalami wuku tiga puluh, beserta dewa-dewa yang dipujanya
itu. Dalam sarak (peraturan agama) dianggap tidak baik, hal itu disebut kafir ; sebab seolah-
olah mendua dalam kepercayaan terhadap Tuhan. Memang setengahnya orang dapat tertarik
akan kelebihan wuku, yang mengetengahkan semua peristiwa yang belum terjadi, misalnya
Cahmbanjar 8
kejadian bayi, keadaan selama hidupnya, untung dan celakanya. Semua telah diungkapkan
dalam wuku tadi dan nyata tak ada yang salah.
(13) Walaupun demikian orang tak perlu heran. Sebab sudah ditandai dan termuat dalam
wangsalan “Sembung gilang ing Palembang dipangga lit” (sembung gilang adalah daun sigugu, dalam
teks jatuh pada kagugu atau “dipercaya”. Dipanggalit maksudnya “raja hutan kecil”, yaitu
“singa”, dalam teks jatuh pada singa-singa atau apa saja). Jadi semua berarti bahwa “apa saja
yang benar-benar dipercaya tentu akan terlihat”. Jangankan para dewa yang diciptakan lebih
dari yang lain, sedangkan bebatuan, pepohonan jika dipuja-puja dengan disertai setanggi
serta diolesi wangi- wangian, tentu akan terbayang dalam angan-angan. Demikian tadi
menurut ucapan orang yang lemah. Sebenarnya semua itu karena pengaruh perasaannya
sendiri, dan itulah penyebab sering terjadinya penyimpangan agama, justru semacam tradisi
tadi.
Tetapi menurut ucapan orang ahli, ilmu semacam tersebut diatas, tidak diperbolehkan.
Demikian pula semua ilmu iladuni (membicarakan peristiwa yang belum terjadi). Ilmu
perhitungan dalam i lmu nujum yang merupakan ilmu awal pembuka segala yang serba gaib,
yang tak lain berasal dari Arab dari Nabi utusan kita itu.
Nenek moyang melarang akan pemakaian gamelan, terutama dalam hajat kerja
perkawinan. Meskipun orang yang mempunyai hajat itu mampu, tetapi dalam mengawinkan
anaknya, tak boleh memakai gamelan. Hal ini merupakan larangan, yang tersurat, dalam
kebiasaan hidup bagi orang yang mengabdi raja. Orang boleh mempergunakan gamelan, bila
dia mengadakan hajat hanya khitanan atau selamatan menujuh bulan (orang hamil) saja.
Mempergunakan gamelan dianggap terlalu besar. Tetapi untuk mengikuti kebiasaan
umum, melanggar sedikit tak apalah, dengan cara mewakilkan. Hajat itu diwakilkan, supaya
tidak kentara semata-mata dari yang bersangkutan.
(14) Sementara gamelan berbunyi, orang yang mempunyai hajat tadi, supaya berdoa kepada
Tuhan mohon agar semua diperkenankan. Selain itu juga mengirim doa pada para leluhur
yang mempunyai pantangan itu, dengan maksud agar terhindar dari bahaya. Cara itu
dilaksanakan lima atau enam hari sebelum gamelan dibunyikan, dan dengan sikap khidmad
dilakukannya pada malam hari di tempat yang sunyi.
Bagi orang awam, bila diperkenankan, maka disitu akan mendapatkan petunjuk/ tanda
yang terlihat dalam mimpi. Mengenai tanda ini, bagi orang yang benar-benar beriman, para
wali dan para nabi, maka tentang ayat-ayat yang dianugerahkan kepada mereka, kebanyakan
berujud suara. Itu saja masih ada yang mengatakan bahwa wahyu, Nabi Ibrahim dan Nabi
Yusup dahulu itu diterimanya lewat mimpi juga.
Cahmbanjar 9
Memang kadang-kadang demikianlah, yaitu ketika Malaikat Jabarail diperintahkan
Allah untuk memberikan wahyu. Tetapi sekarang setelah Nabi Muhammad, atas kehendak
Tuhan cara itu telah hilang.
Nafsu manusia ternyata makin besar, hingga menyebabkan hilangnya kewaspadaan dan
ingatan. Dia tak dapat mengetahui akan adanya wahyu yang tidak sejati, sebab disamping itu
banyak wahyu berasal dari setan yang tak dapat dipercaya itu.
Angkara murka makin berkuasa, pencuri makin banyak, dan orang cerdik pandai
makin terdesak, hal ini ternyata terjadi di semua tempat. perbuatan baik itu memang tidak
kekurangan, para ulama dan orang pandai se rta bijaksana, mengatakan bahwa banyak sekali
buku-buku yang memuat pelajaran tentang tindakan baik, tidak terkecuali dimuat juga
dalam bacaan tentang asmara.
ASMARADANA
Kyai Yasadipura menasehatkan agar orang rajin mempelajari ilmu, berguru kepada para
ahli, dan harus banyak bertanya, disertai sikap hormat dan tidak memperlihatkan bahwa
dirinya sebenarnya tahu juga. Dengan berlagak seperti orang bodoh, demikianlah sikap untuk
mendapatkan pelajaran dari orang lain.
Maksud selanjutnya ialah menyadarkan bahwa kebaikan dan kemuliaan orang dimulai
dari lahir di dunia sampai meninggal dan kemuliaan asal mula penciptaan manusia. Tidak
cukup hanya mengamati kitab saja, jika maknanya tidak dirasakan bahkan larangan-larangan
di dalamnya jarang dipatuhi juga.
Lagi pula bila kamu membaca dengan hati-hati kitab Nitisruti, Nitipraja, Sewaka,
Wulangreh, Panitisastra, Asthabrata dan kitab lama bahasa Jawa Kuna, tidak perlu selalu
dilagukan dengan berbagai gaya yang tidak berguna.
Orang muda jaman sekarang, memang senang bergaya dengan suara mengalun,
mengombak, hingga menutupi ketajaman rasa. Orang bergaya memang ada gunanya sedikit,
ialah untuk mempercepat pembacaan itu dan agar tidak hambar. Tetapi tidak boleh luput,
apa yang dibaca harus ingat dan tertanam dalam hati.
V. Kelima
Disini dikemukakan mengenai pakaian dengan larangan-larangannya, serta kegemaran-
kegemaran orang. Dalam berpakaian (berkain), orang dilarang memakai kain batik bercorak
Tambal.
(15)
Cahmbanjar 10
(16) Misalnya : Tambal Suka duka, Tambal Kanoman, Tambal Miring. Kemudian kain lurik
Tuluhsela, ikat pinggang batik (juga dilarang). Kalau tak mempunyai yang berwarna hijau,
kuning, ungu, atau berbunga, baik memakai yang putih saja. Kain “wulung” (hitam agak
kebiru-biruan) juga tak boleh dipakai, supaya orang itu tidak sial. Jangan memelihara kuda
hitam jika kamu memang tidak tangkas.
Jika mampu, kamu dapat mengenakan ikat pinggang cindhe dari negeri luar, hanya saja
dilarang memakai solok (sejenis ikat pinggang) Limar gedhog. Apa saja yang disukai boleh
dipakai, selain yang termasuk larangan tadi. Semua larangan raja, jangan sampai orange
berani memakainya.
Dilarang pula memakai batik garapan orang (jaman) sekarang, baju batik Baron
Sekender, yaitu gambar orang-orangan. Pokoknya gambar dari semua bentuk yang bernyawa
itu haram (terlarang).
Mustahil kalau kekurangan macam batik, disini ada corak lung- lungan, ceplokan
dedaunan dan lain-lain. Orang dilarang bersikeras meniru, yang berhak (raja), sebab mereka
itu hanya abdi, yang mudah celaka, busuk, dan rusak.
Rintangan yang sedang kita alami, berarti pula rintangan manusia. Keadaan yang tak
menentu bagi manusia itu sebenarnya hanyalah dat (sifat keadaan) saja, yang abadi tak akan
rusak. Sedang tugasnya adalah mewujudkan adanya sifat tersebut.
Larangan besar lagi ialah, bagi orang yang sedang tak mengenakan baju. Dia tak
diperbolehkan memakai saputangan yang dikalungkan di leher. Sebab bila untuk
bersembahyang selalu mengganggu, lebih baik diletakkan di pundak kiri atau kanan,
semaunya.
Jika berpakaian, seyogyanya yang sedang-sedang saja, baik kain maupun ikat
kepalanya. Tidak baik orang bersolek t iap pagi s ore dan siang, seyogyanya hanya pada waktu
tertentu saja. Orang yang senang berhias diri berlebih-lebihan, sifatnya mendatangkan
miskin, mengurangi rejeki. Kecuali itu melemahkan hati yang ingin bertindak bijaksana.
Rejeki itu akan lari bila melihat orang genit bersolek.
Sementara bagi yang masih muda memang tidak boleh berdandan awut-awutan saja,
itu seperti dandanan orang jahat. Jika pada suatu waktu pergi ke perjamuan atau bepergian,
baik berhias dengan desthar yang bagus dan rapi seperti bersisir penyu pula.
Bila dikaji, ternyata bahwa cara berhias seperti tersebut di atas, adalah cara berhias
orang pandai yang serba tahu. Kepandaiannya banyak, dapat mempertemukan dan
menyelesaikan sesuatu, dapat membuat yang berbau tak sedap menjadi harum. Sedang yang
sudah harum menjadi semakin harum, karena yang gelap menjadi terang. Dia berhias itu
(17)
Cahmbanjar 11
tidak sungguh-sungguh, tidak sampai di hati, hanya untuk penutup saja, menutupi
kepandaiannya. Sudah biasa sifat orang cendekiawan itu demikian.
Sebenarnya dia itu pandai tetapi mengaku bodoh, karena hatinya sudah luas seperti
lautan, artinya banyak memaafkan. Bagi para ulama dan penasehat (dalam perkara agama)
cara berhiasnya menurut lafal (kata-kata dalam doa) yaitu Jayinapsaka bilamaksiyati. Artinya
mereka harus berhias dengan pakaian (yang dianggap) maksiat.
Yang dimaksud ialah berhias hanya sebagai perisai saja, tidak benar sampai di hati. Arti
lafal jayinapsaka bilmaksiyati jika dibicarakan tidak akan cukup cara dan tidak ada habisnya.
Dari itu anak cucu diseyogyakan supaya berhati-hati dalam segala tindakan. Bagaimana
hasilnya nanti harus dipikirkan lebih dahulu, tidak boleh hanya asal saja, lebih-lebih bersolek
yang tak berguna. Dituturkan bahwa orang harus suka berdandan tetapi jangan pesolek,
harus pandai tetapi tidak boleh sombong.
Suka berdandan artinya boleh berhias diri tetapi sedang-sedang sajalah, jangan sampai
terlanjur lupa diri. Hanya bersoleknya orang yang rajin akan kebersihan sajalah yang benar-
benar berdandan sampai di hati, dan kemudian dapat menimbulkan sifat yang baik, janganlah
bersolek seperti anda.
Adapun orang yang benar-benar suka bersolek, itu mengakibatkan lupa akan
kelemahan dirinya. Hatinya mudah tergiur, pintu keberuntungan terhalang yang terbuka
hanyalah pintu kejahatan. Segala yang baik menjauh, sedang yang jahat mendekat. Sifat itu
menjauhkan rasa senang (terima kasih) kepada pemberian Tuhan berupa apa saja.
Menjauhkan hati sabar, mendekatkan ketamakan, serta rasa marah bila tak terpenuhi
kehendaknya. Tidak akan selesai-selesai bila membicarakan keadaan orang yang suka
bersolek ini. Sekarang ganti soal mengenai kesenangan atau kegemaran orang hidup yang
terdiri dari 5 macam.
Satu ; Orang tidak boleh senang akan kekayaan sebab orang itu dapat lupa akan tugas
akhirat. Sepanjang siang dan malam hanya memikirkan kekayaan. Tindakannya kejam,
nafsunya sebesar gunung, tak mempedulikan batal haram. Sebenarnya, emas permata yang
berkilauan serta uang yang berlebihan itu, hanyalah pembagian untuk manusia yang disebut
kekayaan.
Kekayaan itu sendiri dalam kenyataan, sebenarnya terg olong sesuatu yang tidak baik,
sebab menjauhkan diri dari hal-hal akhirat. Kekayaan ini ibarat neraka, sedang akhirat adalah
sorga. Renungkanlah hal itu.
Orang harus pandai memegang uang. Artinya dapat menggunakan uang sesuai dengan
penggunaannya, batal atau haram, kesemuanya perlu diketahui lebih dahulu. Pengeluaran
(18)
(19)
Cahmbanjar 12
uang tidak boleh terus-menerus, walau itu sudah menjadi haknya, harus diusahakan yang
rapi tidak boleh kentara.
Dalam kitab Panitisastra disebutkan bahwa orang yang menumpuk banyak uang, dapat
disamakan dengan orang membendung air. Bendungan yang tak diberi jalan untuk alur air
keluar, sama halnya dengan uang yang tak dikeluarkan untuk dana ataupun zakat.
Bendungan tadi tersumbat, lalu jebol seperti terlanda banjir, larut tak kuat bertahan. Jelas hal
seperti ini mengandung bahaya besar, dan kenyataan sudah banyak terjadi biar kecil atau
besar yang dapat dipakai sebagai contoh.
Sebuah contoh kecil sebagai peringatan yaitu tentang kaum di desa Cabeyan, bernama
Ki Nurngali. Orang itu wadat (tidak kawin) sendirian tanpa istri dan kawan. Dia mempunyai
banyak nasi kering, semula berasal dari nasi berkat kenduri. Nasi tadi diminta tetangganya
tetapi bersikeras tak diberikan. Olehnya lebih baik dijemur, lalu disimpan. Demikian kikirnya
tak layak seperti manusia pada umumnya. Dia hanya minta saja, kalau memberi tidak mau.
Ki Nurngali sedikit berada, di desanya dia dapat digolongkan orang yang kaya. Hanya
kikirnya luar biasa. Pada suatu pagi buta, ia hendak subuhan dan pergi ke sendang untuk
mengambil air wudu. Tiba-tiba seseorang memukul teng kuknya dengan pentung sehingga
dia meninggal.
Simpanan uang yang dibawa sebanyak 25 anggris, yang ditaruh dalam ikat pinggangny a
hilang. Sedang yang tersimpan di rumah berupa uang dan kain sudah diambil pula oleh
pencuri yang memukulnya di sendang tadi, dan kini tinggal nasi keringnya saja.
Itulah contoh orang yang senang uang, tidak percaya akan Allah, kesana kemari
uangnya dibawa terus. Dia tak mau berbuat amal, hanya mengandalkan rajin sembahyang
saja, yang memang itu sudah menjadi kewajiban manusia untuk bersembahyang 5 waktu.
Lain halnya dengan berbuat amal dan kebaikan. Artinya berbuat amal saleh yang ditujukan
kepada yang Maha K uasa. Selain khusuk berbakti, juga berbuat baik kepada sesama. Tetapi
tidak mencari pujian, itu tak akan menjadi sahabat.
KINANTHI
(21) Mengenai amal saleh oleh penggubah tidak perlu diperpanjang, sebab sudah banyak
tertera dalam kitab. Kecuali petuah para ulama, jika orang belum mengerti, lebih baik
bertanya saja. Nasehat tadi harus dicatat di dalam hati, supaya jangan lupa bahwa tindakan
orang hidup itu dilarang tertarik kepada kegemaran yang menimbulkan kea rah
penyelewengan.
(20)
Cahmbanjar 13
Orang harus patuh mengendalikan kehendaknya sendiri. Agar gemar memberi, jangan
kikir, dan itu baik dilaksanakan siang malam. Gemar memberi berarti, orang dapat memberi
kepada sesama umat, dengan baik dan ikhlas sampai di hati. Memberi dengan ikhlas berarti
memberi tanpa ada maksud akan mendapat balasan. Sedang yang dimaksud kikir ialah
dilarang memberi secara berlebih-lebihan tanpa ada gunanya, disebabkan hanya akan
mencari pujian saja. Padahal dia sendiri belum kuat menahan hawa nafsunya, menahan
kehendak untuk berpakaian bagus dan makan enak.
Orang tidak boleh sombong walaupun dia tidak akan kekurangan meski banyak
berdana. Sebab Tuhan tidak menitahkan dia untuk menolong orang lain, bila badan sendiri
belum cukup. Tidak boleh meniru Katintah yi, sebab dia itu telah menjadi orang terpilih,
hampir setengah aulia (wali). Sudah putus segala ilmu dan sudah diijinkan oleh Allah.
(22) Kita harus merasa sebagai orang yang lemah, jadi harus menyayangi kemurahan Tuhan
yang diberikan kepada kita. Bila kita tidak menyayangi berarti kita ini sombong kurang
berterima kasih akan kenikmatan yang kita terima. Meskipun bertindak sesuatu yang baik,
tetapi tak tahu asal mulanya itu berarti ngawur dan tercampuri setan.
1) Segala tindakan harus disertai pertimbangan yang betul. Baiklah dimulai dari madya,
(baik atau sedang) lebih dahulu, bila hati telah mantap, maka diusahakan agar dapat
mendekati tindakan yang utama (terbaik). Jika tindakan itu dimulai dari yang utama lebih
dahulu, maka bila hati tidak mantap dan kalau mendapat rintangan, akibatnya orang akan
jatuh sengsara. Andaikata hati telah mantap betul-betul, di situ ia akan menemukan
keutamaan hidup. Tetapi hal tersebut jarang sekali, orang yang termasuk utama itu.
Kebanyakan orang jaman sekarang ini tergolong orang tercela. Sebab orang tercela tadi
jika bertindak yang hina t idak akan malu-malu. Dari i tulah maka orang akan tetap menemui
hina walaupun bertindak baik, dan tindakan tercela i tu akhirnya akan rusak. Tindakan yang
baik merupakan bunga keutamaan, sedang keutamaan merupakan bunga kemuliaan. Satu
demi satu harus diketahui bagaimana sebenarnya tindakan nista, madya dan utama tadi,
sebab banyak orang yang keliru menyebutkannya.
(23) Nista disebut madya, madya dikira utama karena kebanyakan nafsu menyelubung i
dunia ini. Memang siapa gerangan yang kuat menerima dan menahan kehendak hati yang
menggelora itu.
2) Kemudian orang dilarang gemar akan perempuan. Sebab bila gagal, berakibat
rusaknya badan, dan rusaknya sama dengan orang yang gemar akan uang. Masih lumayan
orang yang gemar uang, sebab bila dapat menggunakannya dengan betul, maka uang yang
digunakan dengan suci itu menjadi sarana untuk menarik ke s orga. Tetapi orang yang gemar
Cahmbanjar 14
perempuan tak urung bahaya besar yang menghadangnya. Oleh penggubah dinasehatkan
bagi orang yang gemar perempuan itu, disikat saja. Tidak perlu salah paham, sebab semua
telah dapat dibuktikan, dan bila diceritakan, hal ini akan berkepanjangan. Untunglah bagi
orang yang dapat melaksanakannya (menahan nafsu perempuan).
3) Selanjutnya dinasehatkan agar orang tidak gemar akan s uara dan rasa. Gemar suara
itu seperti seekor burung gelatik yang terkena pasangan oleh umpan temannya sendiri.
Gelatik temannya itu bersuara tik, tik, tik suaranya sangat menarik, sehingga burung yang
seekor tadi mendengar, dan tertarik akan suaranya. Tanpa curiga dia datang mendekat tahu-
tahu burung tadi masuk perangkap.
Sedangkan gemar rasa itu dapat disamakan seperti ikan dipancing orang dalam kedung
(telaga). Ikan di dalam telaga itu melihat makanan, tanpa hati-hati terus disambar saja, tidak
disadari bahwa dirinya kena perang kap. Ikan ditarik, kemudian jatuh di tanah dan matilah
ikan itu. Karena itu kita harus ingat dan waspada, segala tindakan tidak boleh tergesa-gesa
“gita” dilakukan, sebelum dipikir sungguh-sungguh dan tahu kepentingannya “gati”.
(24) Tidak perlu terkejut dan terburu-buru akan sesuatu hal jika belum tahu kebenarannya.
Tidak pantas bila seseorang seperti ikan yang kena pancing tadi, mati karena hanya menuruti
nafsunya saja, tak mengetahui adanya tipu muslihat.
4) Orang dilarang senang pada sesuatu yang indah yang dijadikan kesayangan. Sebab
sudah pernah terjadi, dan ini jangan sampai terlanjur seperti pengukir Sastradiwangsa. Dia
senang sekali burung perkutut dengan mengukir didengarkannya suara burung itu. Rasanya
segar dan gembira mendengar suara yang merdu tadi, mengukirnya hulu keris lebih giat dan
lebih tekun.
Pada suatu hari burung perkutut itu tak mau berbunyi ; disuruhnya berbunyi, tetapi s i
burung tetap bungkam saja. Pak Sastradiwangsa marah, pekerjaannya dihentikan. Dia
mendekati sangkar, sangkar dipegang dan burung itu diambil keluar. Dengan keras
berkatalah ia :
“Hai burung mengapa kau tak memperdengarkan suaramu, aku ini kan memeliharamu”.
Burung lalu dibelaiannya, dia terlena, si burung lepas, terbang, namun tidak gesit. Yang
empunya mengejar dan tertangkaplah burung itu. Sastradiwangsa marah bukan main, burung
dibanting, tentu saja mati seketika. Dengan lantang dia menantang.
“Ay o kalau kamu berani, inilah Sastradiwangsa”.
Burung lalu diinjak, digilas lumat bercampur tanah. Orang hidup dilarang bertindak
seperti itu.
Cahmbanjar 15
(25) Dimana pun juga takkan ada burung yang dapat berbicara, apa lagi ditantang dan
diajak bertengkar. Orang itu benar-benar kurang pikir. Dia merupakan seorang yang senang
akan ujud (binatang) kesayangan tetapi ngawur saja.
5) Selanjutnya orang dilarang senang akan kuda, karena hal itu tidak baik. Memang di
manapun juga orang tak akan mau bila dilarang menggemari kuda. Karen demikianlah
umumnya orang mengabdi, jadi baik dipertimbang kan lebih dahulu, dan sebaiknya dapat
memperkirakannya sendiri. Andaikata ada orang menertawakan dirinya, karena tidak dapat
naik kuda dia tidak perlu malu. Harus diterima saja, untunglah masih ada yang mau
mencelanya.
Menggemari kuda sebenarnya ada 2 hal yang menghalangi yaitu : merintangi orang
mengabdi dan merintangi orang sewaktu menghadapi maut. Lain halnya dengan Raden
Suranagara dan Raden Tohpati yang gemar kuda. Kuda bagi mereka bukan lagi kegemaran,
tetapi memang sudah pekerjaan mereka. Atas perintah raja mereka diserahi memelihara kuda,
dan itu sebagai mata pencaharian hidup mereka. Jadi aib lah bila mereka tidak mampu
menguasai kuda, sebab akan terg olong orang yang tak berguna.
Selagi masih hidup orang harus mencintai pekerjaan yang menjadi tiang hidupnya.
Cinta dan kehendak adalah sama bila orang itu sungguh-sungguh bekerja. Hal itu sama saja
dengan menyembah Allah secara sembahyang lima waktu, ya seperti apa yang telah menjadi
kewajibannya. Kitab Bustam menguraikan tentang hal tadi. Bila seseorang diperintah
melaksanakan sesuatu, maka ia harus senang dalam pengabdiannya itu.
Anak cucu dilarang mempunyai watak suka menyeleweng, itu berdosa dua kali.
Pertama dosa kepada majikannya, kedua kepada temannya. Mengibuli (membohongi) “gusti”
tidak baik.
(26) Gusti adalah wakil nabi, jadi sama halnya mengibuli Allah. Menipu kawan-kawan,
menambah dosa juga. Seyogyanya berbuat lebih baik serta rajin berlaku manis.
DHANDHANGGULA
Kita dilarang kerap kali berada di hutan, pergi ke laut, ke sungai dan sebagainya, sebab
banyak mengandung bencana. Dahulu orang senang pergi ke hutan dan biasanya menemui
celaka, demikian pula ke sungai-sungai, itu tak baik juga. Tidak boleh senang akan kesaktian,
ilmu kebal, ilmu jagoan, ilmu kekuatan dan lain-lain, karena semuanya tadi tak akan
memenuhi syarat untuk mendekati Allah. Ilmu yang lahiriah isinya banyak takabur, salah-
salah dapat menjadi ilmu sihir, sebab semua ilmu tersebut bukan “mangunah”,(mempunyai
kelebihan karena imannya), bukan keluhuran dan bukan pula “mukjikat” (keajaiban). Oleh
Cahmbanjar 16
sebab itu orang yang telah tinggi daya ciptanya tak mau mempelajari ilmu tadi. Kepercayaan
terhadap Tuhan telah tebal, hatinya teguh tak akan ragu-ragu lagi. Bila hanya menginginkan
selamat, jangan sampai ada bala menimpa, dengan persiapan, sebagai berikut :
Paritnya ialah penyerahan diri pada Allah. Betengnya, yaitu tetap percaya terhadap
yang Maha Kuasa. Sedang pintu kotanya ialah tetap mantap terhadap Hyang Suksma.
Adapun rumahnya berada dalam kota tadi, demikian itulah makna kesatuan manusia dengan
Allah. Sebagai perbekalan pangan di dalam kota itu ialah penyembahan manusia terhadap
Tuhan, sedang pelurunya yaitu tanawut napi nakirah (dengan teliti tanpa pengingkaran).
Apabila manusia telah berhal demikian, hati teguh mantap terhadap Tuhan tanpa tabir,
maka biar kota itu dikepung (bahaya) manusia.
(27) Semua yang mengepung tetap selamat. Sebab senjata yang ditujukan kepada mereka
adalah kasih Tuhan, sedang pelurunya yang berjatuhan bersifat belas kasih. Demikianlah atas
kemurahan Tuhan dan kasih Allah, maka semuanya selamat. Selamat mencapai kemuliaan,
tetap utuh manusia, tetap berada pada tempatnya untuk menghadapi musuh abadi.
Keadaan di situ tetap kokoh, kuat tak tergoyahkan disertai peraturannya yang tersohor,
yaitu semua kehendak harus serba sabar. Dalam memerintahpun dengan cara serba tidak
kentara, sebab disitu adalah tempat orang suci dan sakti. Mereka dengan sabar dan penuh
pengertian, dan tidak pernah meninggalkan kebersihan hatinya, sehingga hidup itu tidak
sengsara bagi mereka. Semua tadi untuk mempertahankan diri dari pembicaraan iblis yang
telah memancarkan anak cucunya, demikianlah isi kitab Sangsul Ambiya. Setan-setan tadi
menggoda, membuat kacau, dan tak memberi kesempatan hidup pada manusia. Maka ketika
manusia itu lahir di dunia, sewaktu bayi dia dibedung, agar setan tak dapat membencanai
bayi tersebut sampai tua nanti.
Diharapkan agar si bayi kelak tidak mengikuti iblis, jangan sampai terjadi kuda itu
tetap menjadi “belo” saja. Dikatakan dalam kitab Insan kamil bahwa kelakuan iblis tadi
berjumlah Sembilan puluh Sembilan macam, yang merupakan kekuatan setan untuk
mencelakai manusia yaitu supaya manusia tertarik kepada laku yang sesat.
(28) Orang harus berhati-hati dan ingat bahwa tindakan apa saja, selalu diintip oleh setan
yang banyak sekali jumlahnya. Itulah bencana setan yang menyebar memenuhi dunia. Meski
nama Tuhan itu tanpa cela namun tetap ditirunya untuk berbuat jahat. Sebenarnya harus
bagaimanakah orang hidup ini. Andaikata boleh lupa dalam hati, ya hanya seketika itu
sajalah, karena hal tersebut memang ulah setan yang dapat menembus rata menyeluruh
terhadap manusia.
Cahmbanjar 17
Itu dapat terlihat pada diri orang yang cepat marah, pada orang yang mempunyai
angan-angan penuh nafsu, serta tamak akan makan dan syahwat, juga kepada hiasan dunia.
Sentuhan setan yang ingin berhasil, bila dituruti akan menimbulkan sengsara dan akhirnya
orang akan hidup miskin. Sebab orang yang sangat menginginkan sesuatu, malu bila
mengurungkan niatnya, jadi orang itu akan tenggelam oleh sifat-sifat setan yang suka pada
kegelapan, mata buta telinga tuli, dan akhirnya orang akan masuk neraka.
VI. Keenam
Pada bagian keenam ini, penggubah memberi nasihat tentang orang bersahabat,
berkawan dan lain-lain. Orang bersahabat sebaiknya, (dalam hati) dipikir lebih dahulu.
Ibarat orang yang melihat makanan dan minuman, pasti tertarik sekali. Dalam hati harus
berpikir, baik dan berfaedahnya itu bagi badan kita. Sebab sebenarnyalah di dunia ini tak ada
orang yang senang sakit. Demikian pula orang bersahabat dalam memilih temannya.
Andaikata seseorang batuk, ingin sekali rasa yang serba manis, maka minumlah ia nira.
Disini ternyata semua keinginannya terpenuhi, semua nafsu makan yang membawa sengsara.
Nah tidak urung orang itu akan batuk terus-menerus, badan kurus kering, jelas orang itu
merugi, tidak akan mendapat hasil.
(29) Harus diingat bahwa di tengah masyarakat dapat terjadi orang mendapat celaka yang
berasal dari teman atau sahabat karibnya. Hal-hal semacam itu harus dihindari. Kita dilarang
bersahabat dengan orang yang berkelakuan jahat, sebab kita dapat terseret seperti sahabat
kita itu. Seperti orang sakit perut tetapi ingin makan rujak kecut. Tentu saja akhirnya berak
terus, itu menyengsarakan badan serta tak berguna pula.
Dilarang juga berkawan dengan orang yang tak berakal, orang bodoh yang kurang ilmu,
sebab tak urung akan menarik menjadi bodoh pula. Dikarenakan orang bodoh itu tidak
mengerti akan baik dan buruk, pun pula tentang rahasia.
Tidak boleh berkawan dengan orang yang tak mengerti sastra. Orang demikian tentu
sering nekad, merasa benar sendiri, dalam pembicaraan justru tidak pandai. Malahan secara
kasar, tetap gegabah bertindak. Ini jelas merusak sopan santun, dan mustahil akan selamat.
Dilarang pula senang berkawan dengan orang yang tak beragama, sebab orang itu tentu
tidak takut akan siksa Tuhan. Berarti memporak-porandakan peraturan agama, dan bertekad
ugal-ugalan. Orang berhati dengki dilarang pula untuk dijadikan teman. Dia itu suka
menyalahi orang lain dan juga senang memfitnah. Jadi orang harus mengetahui tanda-tanda
orang semacam itu.
Cahmbanjar 18
(30) Sebenarnya pada orang mukmin (yang betul-betul percaya pada Tuhan) itu sendiri, ada
yang mukmin hanya sebagai hiasan saja. Untuk mengetahui/membedakannya agar orang
dapat menemukan hal yang baik dan buruk, pertama, harus dilihat lebih dahulu tingkah
lakunya. Kedua, supaya diteliti, ketiga, dilihat dari cara bertindak. Keempat, yaitu sopan
santunnya, kelima dari pembicaraannya.
Mengenai pembicaraan ini sebetulnya berdasarkan pancawada, yaitu pembicaraan
mengenai orang berdusta, orang pandai, orang berbudi, dan masih banyak lagi yang lain. Baru
mengenai hati tiap-tiap orang saja sudah berlainan, misalnya ada yang seperti raksasa, tamak
dan rusuh. Ada yang bersifat seperti gajah, dan lain-lain, banyaklah bila diceriterakan tentang
orang semacam itu.
Sebaiknya orang berkawan dengan mereka yang berwatak suka memberi dan bijaksana,
pula dengan orang yang tahu ilmu pelajaran atau yang telah putus dalam ilmu. Kepadanyalah
orang harus meminta lebih dahulu untuk berguru.
Walaupun seseorang telah mengeluarkan semua rahasia kepadanya, dia akan dapat
menjaganya, sebab dia dapat menilai mana yang baik, demikian pulalah bilamana ada
pembicaraan yang menyalahi orang tersebut. Memang orang hidup ini banyak yang
dibicarakan, dan bahkan menjadikan simpang siur.
Seumpama orang melihat sesuatu, biasanya barang yang salah dikatakan betul. Bagi
orang yang bijaksana, dia tahu bahwa barang itu salah, dan dia akan menjauhinya se cara tak
kentara. Orang tadi bila berkawan, ingin membalas kebaikan kawannya, sebab orang itu tahu
bahwa dirinya diperlakukan dengan baik, maka ia akan membalas baik pula.
(31) Bila seseorang berbuat baik, maka orang yang bijaksana akan memakluminya, sebab dia
banyak memaafkan. Kalau berkata disertai perkiraan, bahkan perkiraan itu tentu tidak
meleset, orang tadi penuh ketelitian, selalu mencari bagaimana duduknya suatu perkara.
Kata-katanya terucap halus, dengan mata redup tak kelihatan beringas, bermaksud
memaafkan kepada sesama. Kita disuruh berkawan dengan orang baik budi yang suka
beramal, dan perbuatan baik yang tak diperlihatkan itu sesuatu tindakan yang menuju
keutamaan.
Itulah dia orang yang tak tinggi hati dan tak sombong. Bila memberi pertolongan tak
perlu diketahui orang lain, sebab perbuatan itu dimaksud sebagai sedekah pikir dan untuk
kebaikan. Bila kita berkawan dengan banyak orang, kita disuruh menganggap mereka itu
saudara. Kita supaya berhati-hati, tidak boleh membanggakan diri. Sebab biasanya orang
memuji itu hanya dalam kata-kata saja, tidak terus di hati.
Cahmbanjar 19
Jika kita sudah memperoleh nasehat yang benar-betul, maka bilamana kita mendapat
kesukaran dalam hidup tidak perlu khawatir. Sebab, biasanya tak aka nada orang yang mau
menolong kita, malahan menambah susah, dan membuat onar saja. Orang semacam itu
menandakan orang yang mencari enaknya sendiri saja. Berkawan dengan orang yang
setengah-setengah, akhirnya menjadi musuh. Tetapi bila ada kawan yang demikian tadi, kita
tidak boleh membalasnya, dan semua ini sey ogyanya diserahkan kepada Allah, agar semua
kembali menjadi baik.
Kecuali itu kita tidak boleh berkecil hati, dan mengubah kebiasaan seperti ketika
berkawan dahulu. Hati harus kuat dan tidak boleh mencela bahwa orang itu pernah
menjelekkan kita. Tetapi bila rahasia orang lain yang dicelanya, maka itu diserahkan saja
kepada Tuhan.
(32) Dinasehatkan agar orang dapat menutup rahasia dirinya, dan baik-baik dalam
bersahabat dengan kawan sesama abdi Tuhan. J ika seseorang tak dapat menghindar dari hal
itu dan, tak dapat bergaul dengan orang banyak, disitu ia akan mendapatkan bahaya dari
orang-orang tadi. Oleh sebab itulah orang harus dapat menyimpan rahasia, serta bertindak
bijaksana.
MEGATRUH
VII. Ketujuh
Adapun hal pertama yang dibicarakan penggubah ialah tentang orang makan.
Seseorang yang makan di rumah sendiri, sebaiknya mengikuti cara Nabi Muhammad, yaitu
sehari semalam makan sekali, makannya tiap tengah hari saja. Beliau makan dengan duduk
jegang (salah satu kainnya ditekuk ke atas), kepala menunduk tanpa berbicara. Ketika akan
memasukkan nasi ke mulut disertai menyebut nama Allah, demikian seterusnya disertai doa,
justru itu lebih baik, dan barulah mulai makan. Sesudah makan lalu tengadah seraya minum
tiga kali telan. Sekali telan mengucap syukur kepada Allah, yang kedua kali telan,
mengucapkan kesucian Tuhan.
Demikianlah cara orang makan meski ada tamu siapa saja. Sopan-santun harus dipakai
supaya pantas, dengan duduk bersila yang baik, kepala menunduk, tidak berbicara dan
tangan tidak boleh diluruskan.
(33) Kemudian tamu tadi dipersilahkan makan, setelah itu pemilik rumah tidak boleh
berbicara kecuali bila tamu tersebut mengajak berbicara. Pemilik rumah harus menanggapi
agar tamu tadi senang. Kemudian dia harus berpura-pura makan banyak, dengan muka yang
cerah, tidak boleh menyelesaikan makan lebih dahulu. Biarpun perut sudah kenyang, ya
Cahmbanjar 20
makannya sedikit-sedikit saja, karena memang sudah caranya, tamu itu harus dinanti selesai
makan.
Demikian pula jika sese orang bersama-sama makan dengan banyak orang, dan apabila
ia sedang bertamu. Dalam hati ia tidak boleh bersambalewa dan mencela akan adanya nasi
dan ikan yang tak baik. Pemberian Tuhan itu harus dihormati, bila dia mencela nasi yang
tidak putih dan ikan yang tidak baik, dia akan kena murka Allah.
Perlu diingat, dahulu sewaktu Nabi Musa pergi berperang, semua prajuritnya lapar di
sebuah padang. Nabi Musa menjadi bingung, kemudian berdoa mohon belas kasih Tuhan.
Dari angkasa turun, diberi apa yang dimintanya. Tetapi sebelumnya para umat diberi janji,
bila pemberian itu sudah diterima tidak boleh mencelanya. Para umat menyanggupinya, lalu
orang-orang itu makan dengan rasa nikmat sekali. Tiba-tiba ada seseorang yang berkata
bahwa ada satu kekurangannya, ya memang ikan-ikan itu lengkap, hanya “lalaban” (daun-
daun mentah) sajalah yang tak tersedia. Belum habis mereka makan, nasi beserta lauk-pauk
itu kembali ke angkasa dan tak terlihat lagi. Itulah hasil orang bodoh yang bersambalewa
serta tak menginsafinya.
(34) Pangan itu patah hati, orang-orang tak dapat menyusulnya. Oleh sebab itu harus ingat,
bila sedang makan di rumah dilayani oleh istrinya supaya makannya perlahan-lahan, tidak
tergesa-gesa. Bila masakan itu kurang berkenan di hati, misalnya kurang gurih, kurang asin,
sebaiknya dimakan saja. Nanti apabila sudah selesai makan, dapat berkata perlahan-lahan,
sayur tadi kurang apa, dan ikannya, ya apa kekurangan tadi baik dikatakan. Kemudian
dilanjutkan bahwa dia itu senang ikan apa, cukup sekali saja dikatakan untuk seterusnya.
Bila sekali waktu tak berkenan lagi, sebaiknya diam saja, sebab orang makan disertai hati
marah itu tidak baik. Pertama dia dianggap hilang oleh Tuhan, kedua, arti sebagai manusia
berkurang, ketiga mengurangi rejeki.
Dilarang menganggap enteng orang makan, anggapan demikian itu tidak baik. Kalau
tentang makan tadi tidak diperhatikan, dan orang makan tidak memakai aturan, itupun tidak
betul pula. Orang makan memang menjadi tiang pengikat hidup tetapi ya dengan ukuran,
tidak asal menuruti nafsu makan saja. Bila hanya menuruti nafsu makan, tak urung dia akan
lekas meninggal, ia dapat disebut meninggal karena nafsu makannya. Ya karena dia makan
apa saja, disini justru terlihat ketamakannya.
(35) Boleh makan hanya untuk mengobati kelemahan badan saja, sebab jika badan terlalu
lemah, usahanya akan berkurang. Sembahyang kurang bergairah. Jadi amalannya hanya
sedikit juga.
Cahmbanjar 21
Sebuah usaha kecil dari kehendak hati, untuk bertapa selamanya, namun ternyata besar
faedahnya. Usaha tadi mempermudah segala tujuan, dan membuat hati terang benderang.
Tidak baik makan pagi-pagi, menjadikan hati pepat, pendapat tidak tegas, jalan pikiran
tidak baik, lemah tidak berdaya. Jika orang ingin kuat ya harus tegas, sebab apabila kendor
tentu membelok, tak dapat dipakai sebagai dasar. Pada umumnya orang yang banyak makan
biasanya terus ingin tidur. Sebenarnya semua pekerjaan bila dilatih tentu akan terlatih,
demikian pula halnya orang yang suka makan, menyebabkan ketajaman hati berkurang maka
Pak Tumpullah yang mendekat. Di sini ternyata pekerjaan jasmaniah sesuai dipakai untuk
memondong, memikul, menggaru, membajak semua yang serba memakai kekuatan.
Sedangkan anak “priyayi”, kiranya harus banyak mempergunakan hati, dan pikirannya.
Bila yang dipergunakan pikiran, tetapi menggunakan orang untuk memikul, tentu tak
berhasil, karena orang itu terlalu banyak makan, jelas memang bukan tugasnya. Penggunaan
hati dan pikiran memang tugas orang muda.
SINOM
(36) Masih dalam bagian ketujuh, di sini diuraikan mengenai orang tidur. Perlu diketahui
bahwa sehari-semalam selama 24 jam itu, mempergunakan waktu tidur hanya sepertiganya
saja, yaitu 8 jam. Bila orang dapat melaksanakan cara tadi, akan memperoleh pahala yang
besar. Orang itu termasuk istimewa, karena t idak terlalu banyak tidur. Menurut kitab Insan
kamil, Tuhan turun ke langit-dunia, setiap malam menjelang akhir sepertiga malam tadi. Kita
tak boleh membantah, mengapa Tuhan hanya berada di satu tempat saja. Yang dimaksud
langit, sebenarnya ialah badan kita sendiri, sedang dunia adalah dat Allah yang meliputi
jagad.
Pada malam hari kira-kira pukul setengah dua atau pukul tiga di ujung malam,
sebaiknya kita bangun berdoa, mohon ampun kepada Tuhan atas segala dosa kita di dunia
ini. Untuk bersholat khajad, pada malam Jum’at juga di waktu malam hari se perti tersebut di
atas. Semua kehendak kita, bila betul-betul kita memohon, tentu akan dikabulkanNya.
Bahkan jika badan kita ini suci benar-benar, maka penyesalan kita akan diterima Tuhan yang
Maha Pengasih itu.
(37) Di waktu subuh sesudah bangun, baik segera membersihkan diri, agar tidak terus tidur
lagi. Matahari sudah tinggi, tetapi masih enak tidur, orang malas namanya itu.
Mengakibatkan segala kehendak menjadi terlambat, menjauhkan rahmat, dan menyempitkan
pikiran.
Cahmbanjar 22
Di waktu tidur siang hari, sebaiknya waktu ashar segera bangun. Sebab orang tidur
sampai jam 4,5 atau 6 sore, bila bangun hati menjadi gusar, marah-marah seperti orang gila,
seperti orang kehilangan nalar saja. Hati demikian itu menjauhkan pikiran baik, yang dekat
hanyalah pikiran jelek. Segala pekerjaan menjadi kabur, rahmat Tuhan menjadi berkurang
pula. Jika semua petuah tadi dilaksanakan maka dia akan termasuk orang yang berhati-hati.
Kecuali bila seseorang merasa lelah sekali, dan mengantuk, ya melanggar sedikit taka pa
untuk menjaga kelemahan badan.
Selanjutnya apabila seseorang tidur di malam hari, baik membujur ke arah utara, badan
miring menghadap kiblat, seperti letak orang yang meninggal di dalam kalwat (liang kubur).
Sebab orang tidur itu, sebenarnya hampir seperti orang meninggal. Mung kin juga sewaktu-
waktu Tuhan menghendaki ajal seseorang, maka sebaiknyalah menyerahkan diri kepada
Allah.
Di sini orang tak boleh salah paham, sebab jarang orang yang tahan tidur miring ke
kiblat terus-menerus, tanpa berpindah tempat.
(38) Sesungguhnya tidaklah demikian, hanya sewaktu orang mulai tidur, itulah menghadap
ke kiblat. Sesudah lama tidur, tentu tak merasa bagaimana letak dirinya, karena sekali lagi
orang tidur itu seperti orang meninggal saja. Orang yang tidur membujur ke utara,
mempunyai sifat melangsungkan adanya rejeki. Bila membujur ke timur, memutuskan rahmat
Tuhan dan menghilangkan rasa kasih dari kawan-kawannya. Kalau tidur ke selatan
menyebabkan hati pepat, jika membujur ke arah barat akan mempunyai umur panjang.
Orang dilarang menikmati tidur, dia harus dapat menahan kantuk yang mendorong
rasa ingin tidur saja. Orang yang tahan berjaga, mempunyai pandangan luhur, sedang orang
yang tahan lapar, mempunyai hati teguh. Orang yang tahan tidak minum, dia kebal akan bisa
binatang. Semua hal tadi jika dilakukan sungguh-sungguh akan mendapat pahala. Memang
demikianlah sifat orang bertapa yang kelak akan memperoleh apa yang akan dikehendakinya.
Orang pandai, orang luar biasa (sakti) dan menjadi priyayi, banyak diperolehnya dari
berlaku tapa ini. Segala yang baik, hasil dari bertapa akan membawa keberuntungan, dan itu
memang sudah tepat. Meski menjadi orang pandai, kaya, dan menjadi priyayi, tetapi bukan
karena bertapa, itu adalah pemberian setan.
Orang yang sakti oleh setan, sifat kesaktiannya hanya sebentar saja. Dipanah dengan
daya cipta orang yang bijaksana, kesaktian tadi akan lumpuh tidak berdaya. Sedang orang
yang hidupnya senang karena setan,
(39) Memang seketika menakjubkan, dia dapat menikmati kemewahan itu, tetapi tak lama
kemudian rusaklah, dan dia menjadi miskin sekali. Bagi orang yang bijaksana tak mau dia
Cahmbanjar 23
berbuat demikian, karena seolah-olah dirinya hanya menjadi bahan tertawaan ayam saja,
lebih baik menerjunkan diri ke laut.
Orang tidak boleh berhal seperti Setrapramukya yang dahulu pernah menjadi
Tumenggung Ngeksiganda. Hanya dua tahun saja dia menjadi Tumenggung, lalu
diberhentikan oleh raja. Kemudian pekerjaannya hanya berkeliling ke rumah para priyayi,
berbincang-bincang mencari kabar dan menjual kabar.
Tidak disadarinya bahwa tindakan itu serupa t indakan setan, dan orang yang baik budi
tak mau bertindak demikian. Jika raja sudah tak berkenan pada orang itu dan sudah tak
diberi pangan, maka sebaiknya dia di rumah melakukan ibadah saja. Sembahyang khusuk
terhadap Tuhan dan mengucap syukur atas segala pemberian Allah kepadanya. Tak ada yang
dimakan, yah biarlah. Takdir Allah demikian itu diterima terus saja, asal hidupnya tidak
menjadi hina, dan tidak menjelekkan nama negaranya.
Adapun kepandaian yang berasal dari setan itu, sifatnya ingin menang sendiri, juga
senang bertengkar. Dalam berbantah ingin memperlihatkan kemampuannya, sombong, minta
dituruti, yang jelas dia mencari pujian.
(40) Seumpama orang hanya mempunyai uang sedikit tetapi menawar bahan yang harganya
mahal. Setelah penawaran itu jadi, diberikan, namun uangnya tak ada, dia minta tangguh.
Akhirnya tak dapat membayar, kalau ditagih tak pernah memberi, lama-kelamaan terbukti
kejelekannya.
Demikianlah perumpamaan bagi orang yang berkepandaian karena setan. Dia
berpendapat bahwa hal itu baik, mendapat berkat Tuhan, tak tahunya didapat dari berkat
setan.
Orang tadi tentu malas berguru, malas bertanya kepada orang pandai-pandai. Dia
merasa malu untuk bertanya, akhirnya percaya pada setan. Masih dalam bab ketujuh, disini
dibicarakan tentang orang berjalan. Jika orang pergi dari rumah, harus tahu kemana tempat
yang ditujunya. Ke tempat itulah dia harus memusatkan perhatian, dan bila mulai berjalan
baik disertai ucapan Bismillah. Kalau berjalan supaya kepala agak ditundukkan, mata dijaga
jangan melihat kesana-kemari. Bila ingin melihat sesuatu, lebih baik berhenti dahulu, orang
yang berjalan dengan menoleh kesana kemari, hatinya akan bercabang- cabang.
Di samping itu orang berjalan tak boleh berangan-angan jelek, baik berserah diri saja
kepada Tuhan. Sebab adakalanya orang itu tersandung (mendapat halangan), menjadi
gagallah kehendaknya.
(41) Bila berada di rumah, orang dilarang berdiri di tengah pintu seraya menggelantungkan
tangannya. Hal ini dapat membawa dia dan tetangganya kerap kali kehilangan. Berdiri
Cahmbanjar 24
dengan bertolak pinggang di tengah pintu juga tidak boleh, sebab dapat menjauhkan
keberuntungan. Di rumah, orang duduk dilarang menumpangkan kakinya sebelah, karena
dapat menyebabkan kerap kali sedih. Demikian pula dilarang menggerakkan kakinya sebelah
terus-menerus, sikap ini menghilangkan kesopanan dan mengurangi kekhusukan terhadap
Tuhan. Keselamatannya berkurang berarti menyia-nyiakan diri sendiri. Semua pantangan
yang tiada pantas harus selalu diingat, dan harus membiasakan diri percaya kepada hal itu,
sebab manusia memang kerap kali lupa.
POCUNG
VIII. Kedelapan
Bila ada tamu datang , wajib dihormati. Tamu yang terdiri dari anak cucu, teman atau
tetangga, itu dapat disebut setengah tamu. Untuk menghormatinya tidak sukar, karena telah
biasa. Bila ada sesuatu yang disuguhkan, lebih baik tamu tadi disuguhi. Tetapi jika tidak,
cukup dengan penyambutan yang pantas, dan kata-kata yang hormat. Tidak baik
menyusahkan hati seorang tetamu, tetapi juga tidak baik bila terlalu memanjakannya,
sebaiknya yang seimbang dengan. kemampuan diri sendiri.
(42) Tidak seyogyanya menyambut tamu uterus-menerus, sebab bila dirinya sedang
menjalankan tugas, tentu akan merepotkan. Memang banyak tamu atau kawan-kawan yang
datang berkunjung dengan tujuan tertentu. Tetapi tidak memperhatikan bahwa orang yang
dikunjungi tadi sudah letih. Jadi orang yang empunya rumah harus mengetahui lebih dahulu,
tamu itu seyogyanya ditemui atau tidak.
Tetapi apabila tamu itu dari luar ling kungan, wajib disambut secara hormat.
Sepantasnya tamu tadi disuguhi, biarpun tidak mempunyai sesuatu di rumah, harus
diusahakan dengan cara bagaimana. Sebab itu sudah umum berlaku bagi orang Jawa, lebih-
lebih bagi priyayi. Tetapi bagi orang muda yang mempunyai sifat senang lalai, memang
kurang memperhatikan, lebih-lebih dalam hal bahasa.
Bahasa itu ada kalanya dipergunakan dengan baik bahasa krama dan sebaliknya yaitu
ngoko. Kalau memang sudah seharusnya dipergunakan dengan baik, maka seharusnyalah
dipergunakan pada waktunya pula. Untuk dapat terpenuhi, maka oleh orang yang ahli, ajaran
bahasa tadi dibagi-bagi, sebab bila tidak diperinci, ibarat semua pekerjaan akan terbengkalai,
seperti menantikan orang kelaparan yang tak terurus saja.
(43) Mereka mengartikan bahwa bahasa yang baik itu untuk apa, itu hanya suatu “sunah”,
kalau perlu saja mereka mempergunakan, agar sikapnya terlihat bersopan-santun. Apabila
ada seorang tamu besar, yang derajatnya melebihi yang empunya rumah, perlu disambut
Cahmbanjar 25
dengan hormat dan baik. Sesudah duduk, pemilik rumah harus duduk dengan
“ngapurancang” (kedua telapak tangan diketemukan). Kata-kata diucapkan dengan perlahan,
tidak boleh bersam balewa, dan pada waktu tamu itu pulang, harus diantar seperti menyambut
pada waktu ia datang. Jika ada tamu seorang ulama, dan orang yang lebih tua, tua dalam arti
lebih bijaksana, harus dihormati dengan baik seperti telah pernah disebutkan. Bilamana
orang tua tadi hanya tua umurnya saja, pemilik rumah supaya dapat mengira-ira bagaimana
harus menyambutnya, tentunya tak sama dengan tamu para cendekiawan.
Harus diketahui bahwa yang disebut tua itu ada dua macam, tua “majaji” dan tua
“makiki”. Tua “majaji” ialah tua dalam umur tapi kenyataannya masih muda dalam ilmu.
Sedang tua “makiki” yaitu tua dalam ilmu berarti dia itu pandai. Walaupun umurnya masih
muda, seperti halnya ulama (muda) yang berpikiran luhur.
Apabila tamu itu seorang fakir miskin yang meminta-minta, maka sebaiknyalah jangan
diberi. Jika pemilik rumah itu sedang tak mempunyai uang dengan kata-kata manis, maka
sebaiknya diminta kerelaannya untuk pergi, dan disanggupi akan diberi di kali lain.
(44) Jadi pemilik rumah itu tidak memutus rahmat Tuhan, jangan sampai dia merasa bahwa
hak milik itu hanya kepunyaannya sendiri. Bila orang berpendapat demikian maka dia itu
akan berani dan takabur, akhirnya mendapat murka Tuhan, baik lahiriah maupun batiniah.
Bila seorang kedatangan tamu utusan dari saudara, kawan, priyayi ataupun orang besar,
harus diketahui bagaimana cara menyambutnya. Sebab harus diingat bahwa menghormati
utusan itu sama dengan menghormati yang mengutus. Oleh sebab itu, cara menyambutnya
harus sama seperti kepada yang mengutus. Dalam bertutur kata harus berhati-hati, seperti
berkata kepada yang mengutus pula. Selama berbicara tidak perlu keras-keras, supaya utusan
itu senang. Kepadanya tidak boleh marah, walaupun sikapnya kepada pemilik rumah kurang
pantas, sebab utusan tadi tidak tahu apa-apa. Andaikata pemilik rumah marah kepada
utusan, salah-salah orang tadi menyampaikannya kepada orang yang mengutus. Entah
bagaimana yang disampaikan, hal itu akan memecahkan persahabatan.
(45) Lagi pula dilarang berpesan kepada utusan, jangan-jangan dia salah dengar. Dalam
berbicara harus melihat kanan-kiri, tidak boleh meremehkan kata-kata dan harus dapat
bijaksana. Kepada utusan itu tidak boleh berkata mengenai sesuatu rahasia. Sebab jika
utusan tadi kurang pikir dan senang berbohong, bisa jadi pesan itu ditambah, yang dapat
mengakibatkan adanya salah paham.
DHANDHANGGULA
IX. Kesembilan
Cahmbanjar 26
Dalam buku ini penggubah menasehatkan mengenai cara orang bertutur kata. Orang
bertutur kata sebaiknya tidak asal mengeluarkan kata-kata, semua harus dipikir lebih
dahulu. Pertama, supaya menghindari ucapan yang takabur, sombong dan congkak. Sebab
orang takabur itu orang yang merasa dirinya lebih daripada orang lain, seolah-olah mampu
menyelesaikan segala pekerjaan. Banyak bicara dan sering menyakitkan hati, dia ingin
memperlihatkan kewibawaannya. Semua tingkah lakunya serba diperlihatkan, tak ada yang
ditutupi agar semua orang melihat dan memujinya.
(46) Orang sombong adalah orang yang segala tindakannya dan kata-katanya minta
perhatian. Sebenarnya hal ini mengkhawatirkan, sebab kalau suatu ketika orang itu jatuh
martabatnya, maka kejelekannya akan tersohor kemana-mana. Bagi mereka yang suka
takabur, sombong, dan congkak, bila kena murka Allah tak akan ada obatnya. Jika mereka
berlarut-larut bersikap demikian, dan tidak segera bertobat, maka mustahillah mereka
mendapat ampun. Orang hidup dilarang bertindak demikian, justru mengharapkan segala hal
yang baik, supaya selamat, terhindar dari tindakan yang jahat.
Kedua, orang dilarang berbicara bengis dan kasar. Berbicara bengis berarti meng obral
marah dan itu berarti pula kemasukan setan.
Ketiga, orang akan mendapat kesukaran karena suka membicarakan kejelekan orang
lain, sedang kejelekan diri sendiri tak disadarinya. Membicarakan kejelekan orang lain berarti
menggendong dosa orang itu. Padahal menggendong dosanya sendiri saja belum tentu kuat,
masih menggendong dosa orang lain, ini tak ada gunanya sama sekali.
(47) Keempat, orang tidak boleh berkata bohong, sebab jangan-jangan ini menjadi
kebiasaan. Orang yang suka bohong tak dapat dipercaya, dan sifat itu dapat menjadikan hati
gelap. Ibarat rumah yang lampunya padam, semua barang yang ada didalam, tak dapat
terlihat. Sewaktu akan mengambil barang, barang itu telah hilang, dan habislah harta
bendanya. Maka turunlah tingkat derajat orang itu, ya memang masih mempunyai harta
sedikit, tetapi itu hanya setingkat orang kecil saja, bukan untuk orang tinggi.
Kelima, orang diharap menjaga ucapan-ucapannya, jangan sampai mencela orang lain
walaupun hanya dalam kata-kata. Sebab orang yang suka mencela itu, bila diri sendiri belum
mampu, oleh Tuhan akan dihadapkan kepada kenyataan yang sebenarnya. Keenam, mulut
dijaga agar tidak mengeluarkan kata-kata yang tak berguna, misalnya berseloroh,
mengumpat, membual dan lain-lain, sebab hal ini dapat menjauhkan diri dari Tuhan. Bagi
orang yang senang bekerja, berbicara dihitung untung ruginya, agar waktu itu untuk
berbicara itu berfaedah baginya.
Cahmbanjar 27
(48) Ketujuh, ucapan harus dijaga jangan sampai suka bersambalewa, sebab bersambale wa
dapat menghilangkan kesopanan dan keprihatinan. Orang yang kehilangan sopan-santun
akan berkurang kehormatannya, sedang orang yang hilang keprihatinannya segala
kehendaknya tak akan tercapai. Ki Beja (lambang keberuntungan) meninggalkannya yang
mendekat Ki Cilaka (lambang kesengsaraan). Oleh sebab itu orang harus berhati-hati dan
jangan sampai lengah, sebab Ki Cilaka ini siang malam terus menunggu, menanti waktu bila
seesorang sedang lalai. Padahal manusia itu lalainya bukan main, lengah dan tak teliti. Jadi
apabila orang sudah lengah, Ki Cilaka akan datang menyerbu, dan biasanya manusia tak kuat
bertahan terhadapnya.
Bila orang mengadakan musyawarah dengan sanak saudaranya, orang yang lebih muda
jangan sampai mendahului mengeluarkan pendapat, lebih baik segalanya diserahkan yang tua
saja. Jika yang tua itu telah kehabisan akal, dan menyerahkan kepada yang muda, itulah baru
diucapkan. Dalam memutuskan sesuatu hal, tidak boleh diputus (menurut pikiran) sendiri,
harus dirunding kan dengan saudara tua. Sesudah terang mana yang dipilih oleh yang tua,
yang muda harus menyetujui, kalau memang itu sudah betul. Dalam berfikir orang harus
ingat kepada Tuhan, jangan sampai dengan hati panas dan marah. Sebab kemarahan itu
peranggkap setan, yang menghalangi maksud menuju kebaikan.
Kebaikan itu adalah anugerah tuhan, sedang amarah dan setan itu pekerjaannya
mengurungkan kebaikan. Bekerjanya sangat halus tidak kentara selalu menyusup kedalam
amarah orang. Seperti halnya bagi sesuatu yang sudah baik, sudah betul t idak meninggalkan
dalil dan kadis, ijema maupun kias. Dan telah sesuai dengan peraturan negara namun gagal
juga, karena perbuatan setan tadi. Hati manusia terhanyut melampiaskan napsu yang tidak
benar.
Oleh sebab itu, segala tindakan yang dirasa telah mantap, maka segeralah dilaksanakan,
bila sudah terlaksana, maka jangan tergesa-gesa, dalam hal ini harus sabar. Jadi hati dapat
”pasrah” kepada Allah, agar usaha itu berhasil. Hal ini dapat dipersamakan dengan anugerah
tuhan yang sejati, bila anugerah itu telah diperoleh, sikap dan pikiran dapat merasakannya,
dan disinilah manusia hanya dapat bertobat kepada Allah.
(50) Kecuali itu, juga supaya mengucap syukur kepadaNya, karena telah diijinkan
menikmati hasil jerih-payahnya itu. Selanjutnya apabila seseorang bertutur kata dengan
orang yang lebih tua dan lebih tinggi kedudukannya harus selalu waspada. Supaya
diperhatikan apakah buah pikiran orang tadi hasil dari pengaruh amarah, iblis, khawa
ataukah dari nabi adam ataupun dari malaikat, itu harus diperhatikan sungguh-sungguh. Bila
buah pikiran tersebut hasil dari amarah, iblis, dan khawa, akibatnya tentu akan jelek, dan itu
(49)
Cahmbanjar 28
tidak boleh diikuti. Lain halnya bila saudara tua itu memang penuh pengertian, maka dia
pantas dibela.
Kalau orang lain tentu tak mau mengakui kekurangannya, dan hanya mau mencari
selamat diri sendiri saja. Berbeda dengan orang yang telah berbudi sempurna walaupun
pikiran itu berasal dari khawa, amarah dan setan, tetapi hasilnya tetap baik. Pada zaman
sekarang jarang orang yang dapat berhal sedemikian tadi.
(51) Sedangkan pikiran yang berasal dari adam dan malaikat memang keduanya baik, jadi
pikiran itu dapat diikuti. Kemudian apabila seseorang berkumpul dengan banyak orang tidak
baik jika mendahului dalam pembicaraan. Lebih baik menanti pendapat mereka yang
dikeluarkan satu persatu. Tidak perlu menegur dan mencela kepandaian orang lain.
Dipertemuan itu akan keluar pikiran baik buruk, betul dan salah, semua pasti terlihat. Ini
ibarat ikan yang tersedia dalam lauk-pauk yang bermacam-macam. Disitu harus dilihat, lalu
dipilih, ikan atau sambal dan ”lalab” manakah yang enak dimakan. Biarpun di situ terdapat
ikan yang menggiurkan, tetapi dapat menyebabkan miskin maka tidak perlu dipilih.
Baik dipilih saja yang tidak menimbulkan penyakit, mengenai ikan-ikan, sambal
maupun lalab atau gundhangan seperti tersebut di atas. Sesama gundhangan namun bila
gundhangan rebung (bakalan bambu) itu enak, tetapi tidak berfaedah. Lain halnya dengan
gundhangan kunci yang sudah enak lagi berfaedah, di perut terasa hangat. Misalnya lagi, nasi
liwet dan nasi kebuli, masih bermanfaat nasi kebuli, karena rangkaian lauknya berfaedah.
(52) Dalam pertemuan supaya mengeluarkan segala isi hatinya. Bukannya setelah bubar,
baru dibelakang mengeluarkan pendapatnya supaya disetujui. Hal itu tidak pantas, berdosa
dan tidak akan selamat. Lain halnya jika seseorang dimintai pendapat majikannya, segala isi
pikirannya supaya diutarakan. Bila disetujui oleh majikannya, dia harus dapat
mempertanggungjawabkan, walaupun pada akhirnya mungkin gagal, namun dia bersedia
membelanya dengan hati yang mantap. Lain dengan cara mengabdi majikan yang pada
dasarnya hanya pulasan saja. Disini dikatakan menyayang majikannya, tetapi sebenarnya
hanya mencari pujian dan menyetujui sikap yang congkak. Adapun sikap orang mengabdi
majikan yang benar-benar, ialah serba terbuka, apa kekhawatiran hatinya diutarakan, dan
nanti diserahkan kepada majikan itu sendiri.
Jika ada orang hanya memikirkan diri sendiri maka berarti kata hatinya tak dikatakan
kepada orang lain kecuali kepada Tuhan dan Kanjeng Nabi. Yang jelas harus diingat bagi kita,
ialah mengenai kelima ciri- ciri yang dapat menutupi penglihatan hati seperti telah terurai.
Kalau memang telah menjadi ketetapan hati untuk mencapai kehendak itu, baik segera
(53)
Cahmbanjar 29
dilaksanakan dengan sareh dan disesuaikan dengan petunjuk Tuhan. Seyogyanya pula tidak
perlu ragu-ragu akan petunjukNya, dan menyerah saja kepada kekuasaan Allah.
SINOM
X. Kesepuluh
Untuk bagian kesepuluh ini, pengarang memberi nasihat kepada anak cucu bagaimana
jika seseorang diciptakan Tuhan menjadi orang kecil (derajatnya) ataupun orang besar. Bila
manusia diciptakan Allah menjadi orang kecil tidak boleh menyesal, biarpun menjadi bekel
desa misalnya, itu sudah mempunyai kegunaan dan peraturan sendiri.
Umpama lagi, orang yang menjadi petani, segala apa yang terg olong alat kerjanya,
bajak, garu, arit, cangkul, pecok, wangkil (alat untuk membersihkan tanaman), kerbau, sapi
dan lain-lain, harus dipentingkan, harus dilengkapi. Jadi orang itu dengan sendirinya akan
rajin ke sawah, rajin menanami sawahnya. Siang malam yang dipikirkan hanya tanamannya
saja, pala gumantung, kesimpar, kependhem (buah-buahan yang bergantungan, yang terletak
di atas tanah, dan yang terpendam).
Jika hasil tanaman itu baik, seyogyanya sebagian hasil tanaman itu dihaturkan kepada
majikannya. Sebagai tanda bakti, atau serupa pajak demikianlah, dan ini baik dilaksanakan
pada waktu yang telah ditentukan. Tidak baik segala pekerjaan serba lamban, apa yang telah
menjadi kesanggupan untuk menghaturkan pajak kepada raja supaya dipenuhi. Karena telah
dijamin hidupnya, maka jika diminta tanda bukti, tidak perlu banyak dalil, baik segera
dihaturkan. Bila memang tidak kuat, lebih baik sawah itu dikembalikannya saja.
Jika sawah itu benar diminta tidak perlu sakit hati. Sebab bila tanah tadi
dipertahankan, menandakan bahwa orang itu tidak baik, dia akan menjadi ”tampikan” para
priyayi, berarti pula t idak kasihan pada diri sendiri. Kemudian arti peraturan dalam kalangan
tani, misalnya orang menjadi bekel desa, dia harus tertib. Masjid yang dibangunnya
didekatnya harus selalu dilengkapi air. Para santri diberi bagian sawah sepantasnya, dan
zakat fitrah baik diserahkan pula kepada mereka.
Selanjutnya mencari orang yang bertugas sebagai kebayan (bagian keamanan). Harus
dipilih yang kuat dan tidak minum candu. Sebab bila ada tamu priyayi, dia dapat cepat
menyambut dan menjamunya. Oleh karena itulah harus dicari kebayan yang baik, yang dapat
memelihara barang-barang. Membuat pagar pekarangan dari bambu, tetapi tidak boleh
merusak pekarangan. Pagar rumah harus pantas dan kokoh, supaya bila ada tamu singgah,
merasa aman. Mengenai arti berpengalaman ialah tahu akan kebiasaan yang berlaku bagi
(54)
(55)
Cahmbanjar 30
daerah ”manca-pat” ”manca-lima”, dimana batas-batasnya dan dimana arah gunung-
gunungnya.
Kebiasaan mengenai wilayah itu baik terus dilakukan, dan seperti pada umumnya,
orang dilarang membuat kebiasaan sendiri yang menyimpang dari kebiasaan masyarakat
setempat. Lagi pula dia (kebayan) itu tidak boleh bergaul dengan pencuri, biarpun orang tadi
hanya membawai rakyat kecil, tetapi supaya mengusahakan tidak ada laku jahat di tempat
itu. Bila mengetahui orang yang suka mencuri, baik segera diinsyafkan. Bila dia tidak mau
insyaf, maka baik dikeluarkan dari wilayah tadi supaya tidak membawa nama jelek. Selain itu
apabila seseorang dapat mendirikan masjid, maka orang-orang disitu diminta supaya
bersembahyang di masjid. Bila banyak orang yang melakukan sholat lima waktu, berarti pula
mengurangi tindakan-tindakan jahat yang ada misalnya main kartu, dan menyeret (minum
candu) dua hal itu harus dilarang betul-betul. Sebab dari kedua hal itulah menyebabkan
rakyat kecil miskin, serta adanya pencurian-pencurian. Memang sukar untuk mengetahui
berapa besar nafkah orang itu s atu persatu, supaya hasil nafkahnya tadi tidak menimbulkan
kejahatan.
(56) Apabila sese orang mengabdi raja, dia harus rajin menghadap, biarpun belum mendapat
sawah (sebagai gajinya), dan tidak boleh terburu-buru ingin memilikinya. Sebab harus
disadari bahwa dirinya belum berjasa. Karenanya dia harus rajin betul-betul untuk
menghadap raja di balairung. Dengan teman abdi yang lain supaya merendahkan diri, dan
minta pelajaran kepada mereka. Orang mengabdi dapat dilihat dari sikap dan tindakannya
yang jelas kepada atasannya (bekel, wedana), harus dapat melayani dengan baik lahir
maupun batin. Jika tidak sampai batin, sama saja dengan tak percaya pada Tuhan.
Gusti itu sebagai atasan orang banyak, dan sebagai wakil Allah, yang adil para marta
dan kepadanyalah mereka harus percaya pula. Adil para marta berarti banyak memanfaatkan,
dengan demikian orang mengabdi harus rajin dan teratur dan dapat mengambil hati kawan,
sebaliknya dirinya harus juga senang memaafkan kesalahan orang lain. Dengan demikian
orang itu telah mendatangkan budi baik, dan kelak akan dibalas Tuhan. Selanjutnya orang
dilarang berbicara yang bukan-bukan, membicarakan kejelekan kawan, serta iren
(menghindari tugas) dalam pekerjaannya.
(57) Bila ada kawan yang sedang dimarahi gusti, setidak-tidaknya dia ikut merasa susah
pula, lebih-lebih kalau kawan itu memang salah, kasihan, oleh sebab itulah orang harus tepa-
selira. Jadi dia tidak akan jelek di mata sesama abdi, karena saling dapat menjaga, baik lahir
maupun batin. Teman yang baik itu bagaikan saudara, apalagi bila dia itu lebih tua, maka rasa
hormat kepadanya sama halnya hormat kepada orang tua sendiri.
Cahmbanjar 31
Kebetulan justru orang tadi lebih tua dan malahan menjadi atasannya pula, maka orang
itu jelas wajib disembah. Adapun orang yang wajib disembah itu, pertama ialah raja, kedua
orang tua, ketiga mertua pria-wanita, keempat guru kemudian kelima adalah saudara tua.
Sedang para adipati itu disembah karena mereka merupakan para wakil raja. Kemudian
para ”mantri” menyembah ”tumenggung”. Sedang ”tumenggung” wajib menyembah ”patih”,
patih itu sendiri menyembah kepada saudara-saudara raja. Para pendeta ikut disembah pula,
karena ia sebagai guru. Semua sembah tadi teratur sesuai dengan golongan dan pangkat,
dimulai dari Tuhan Allah. Jadi semua makhluk harus menyembah Tuhan, serta utusan-Nya.
(58) Kemudian sekali lagi diwajibkan menyembah raja lalu patih, adipati, keduanya sebagai
wakil pemegang tampuk pemerintah, berdasarkan adanya kebenaran atau kenyataan belaka.
Jika ada orang yang menjadi ”priyayi” dia harus mengetrapkan empat sifat: pertama sifat
priyayi, kedua sifat santri, ketiga sifat saudagar, lalu keempat sifat (orang) tani. Sifat priyayi
berarti orang harus mengetrapkan sopan-santun dan berbicara secara teratur. Tidak semena-
mena, berpakaian pantas, senang memberi makan. Berani dan berhati-hati, selalu membuat
enak hati orang lain. Dia tidak enggan menolong , dan rela memberikan apa saja tanpa
pamrih.
Selanjutnya sifat santri, pada dasarnya bersih dan harus suci, semuanya diserahkan
kepada kerahiman Tuhan, segalanya diterima dengan syukur, tidak banyak bicara. Sedang
sifat orang tani ialah sifat yang senang pada kejujuran, rajin dalam pekerjaan, r ingan maupun
berat tidak menjadi soal, karena itu sudah kewajibannya. Tidak senang mencela orang lain,
tidak pula iri hati, sikap sederhana, setia dan jauh dari sifat bohong. Sedang kan sifat
saudagar, ialah sifat yang penuh perhitungan. Dalam pekerjaan serba menanti, hemat dan
selalu berhati-hati. Segala tindakannya selalu diperhitung kan. Demikianlah keempat sifat
tadi yang layak dipersatukan. Jadi dalam sopan-santun agar mengetrapkan sifat priyayi,
sucinya seperti santri, sedang kejujurannya seperti sifat orang tani. Kemudian dalam soal
hitung-menghitung, pantas memakai sifat pedagang (saudagar). Jadi semua tindakan harus
ditimbang benar-benar, dapat mendatangkan hasil atau tidak. Kalau memang merugikan,
agar jangan sampai berlarut-larut, harus dihentikan. Sebab kalau tidak, sama saja dengan
menyengsarakan diri sendiri.
DHANDHANGGULA
Dalam mengerjakan sesuatu, orang harus waspada akan asal-mula apa yang akan
dikerjakan. Misalnya sesorang melihat permata yang indah, karena tertarik sekali, dia ingin
memilikinya. Dalam hal ini orang harus mengingat kemampuannya, dan ini merupakan suatu
(59)
Cahmbanjar 32
jalan tengah. Sebab kalau diteruskan padahal tidak tercapai harga itu, tentu akan
menyebabkan miskin saja. Itulah arti dilarang menurut asal-mula, jangan sampai asal-mula
tadi dilanjutkan berakhir jelek, kalau demikian harus ditolak. Misalnya seperti tadi walau
hati tertarik sekali, tapi harus ditahan agar t idak membawa kesengsaraan. Memang asal-mula
yang timbul dari kehendak diri itu banyak yang baik, tetapi karena pengaruh nafsu, dan
orang jarang ingat hal ini, maka akhirnya semuanya serba tak terpikirkan lagi. Namun ada
pula yang asal mulanya jelek, tetapi akhirnya baik, selanjutnya ada juga pada mulanya baik
tetapi akhirnya menjadi jelek.
(60) Asal mula yang baik tetapi jelek itu, sebenarnya karena orang meninggalkan adat
kebiasaan yang dahulu sudah berhasil baik. Pada perasaannya hal i tu akan menambah sifat-
sifat baik, dan terus-menerus dilakukan. Tetapi karena secara penuh nafsu, maka tak tahunya
justru akhirnya menjadi rusak. Permulaan yang jelek namun berakhir baik, itu seperti halnya
Seh Malaya yang senang mengambil barang-barang milik orang lain. Pada suatu ketika
kebetulan barang yang diambil itu milik Sunan Bonang, yang telah mengetahui bahwa orang
yang mengambil barangnya itu sebenarnya orang baik. Sunan bermaksud untuk memperbaiki
orang tersebut. Seh Malaya mematuhi akan semua nasehatnya, kemudian dia dijadikan
sahabat Sunan Bonang dan patuh pada semua perintahnya. Lama kelamaan karena sangat
keras bertapa, maka akhirnya menjadi aulia hebat, bernama Seh Malaya atau Sunan Kalijaga.
Oleh karena itu orang harus ingat, apabila sesuatu bermula diawali dengan tindakan jelek,
supaya bertobat kepada Allah dan keras bertapa, supaya kelak mendapat ampun dari Tuhan
yang bersifat belas kasih akan umat-Nya itu. Dia selalu meluluskan permintaan umat-Nya,
lebih-lebih bagi orang yang bertobat masih terbuka bagi siapa saja. Sebetulnya tidak pantas
mengenai ucapan seseorang yang merasa dirinya jelek, kemudian membiarkan dirinya
menjadi jelek terus (tidak perlu tanggung-tanggung). Biar saja orang mendapatkan
keberuntungan demikian pikirnya. Pikiran semacam itu sudah terjerat setan dan nafsu
amarah yang berkobar-kobar. Dia malu untuk mundur biar hanya sejengkalpun untuk
menjadi orang yang baik. Tidak mau dia mengakui adanya martabat rendah dan tinggi, tidak
mau mengakui adanya abdi, yang diakui hanya martabat yang tinggi saja. Itu tentu tidak
mungkin. Hidup di dunia ini sejak Nabi Adam, martabat rendah dan tinggi itu memang sudah
ada. Setelah mengalami martabat yang rendah, dengan terus-menerus bertapa, maka dia akan
mendapat ampun dari Tuhan.
Demikian pula bagi para nabi, ratu, wali, dan mukmin, ya pada orang-orang yang masih
makan nasi, akan mengalami hina dan mulia seperti itu.
(61)
Cahmbanjar 33
Sementara ada juga orang yang menyesali dirinya, mengapa dirinya oleh Tuhan
diciptakan beda dengan yang lain. Dalam hati dia mengumpati raja, juga lurah atau bekel
(atasannya), malahan ada pula yang mengumpati orang tuanya.
(62) Umpatan dalam hati tadi sering keluar dalam ucapannya, yang tidak disadari bahwa
sebenarnya dirinyalah yang bertindak hina, kurang rasa terima kasih dan tobat kepada
Tuhan. Padahal orang memohon kebaikan itu, harus disertai dengan laku ”laku” yang bersih.
Syukurlah apabila permohonannya diterima. Kecuali bagi orang yang telah berbuat baik
(menghutangkan) kepada raja, lurah dan bekel, karena telah menyelesaikan semua tugas yang
terlihat maupun yang tak terlihat, jelas permohonannya diterima secara lahiriah.
Apabila sudah mendapat anugerah dari Allah, dengan perantara raja (karena kasih raja
kepadanya), seharusnya orang itu tahu, berapa luas sawah pemberian raja, berapa hasilnya.
Semua tadi dihemat dan diperhitungkan, ini merupakan tindakan yang terpuji untuk
memelihara anugerah Tuhan, dan pemberian raja. Sebagai bekal orang mengabdi, harus
memperhatikan semua tugas antara lain, pakaian untuk menghadap, dan tindakan tadi
diusahakan supaya dapat bertahan.
Tidak perlu sombong, membanggakan dirinya, sifat seperti itu menghambat orang
dalam melakukan tugas.
(63) Jika seseorang ditakdirkan mempunyai kedudukan mantri, dia harus memakai adat
kebiasaan sebagai mantri, yaitu harus memperhatikan 3 hal, ialah: ”nistha”, ”madya”, dan
”utama”. Atau dengan kata (dari pandangan sudut) lain (kiri) yaitu tiga tempat : Janaloka,
Endraloka dan Guruloka. Janaloka tempat manusia pada umumnya, ya di bumi ini, sedang
Endraloka dalah istana Dewa Endra. Kemudian Guruloka ialah istana Bathara Guru. Dalam
ketiga hal tersebut berarti orang harus tahu akan sopan-santun, tahu akan tugas masing-
masing, yang baik maupun yang jelek, serta tindakan yang hina maupun mulia.
Mengetahui Endraloka berarti tahu akan cara menyembah dewa satu-persatu.
Kemudian Guruloka, seorang mantri harus tahu cara menyembah Batara Guru ini. Adapun
cara tadi dapat dilakukan asal orang itu dapat mengetahui sarengat (peraturan agama Islam),
tarekat ( pengetahuan mengenai kewajiban dalam agama Islam), serta hakekat atau
kenyataan yang ada. Dengan kata lain dia harus tahu pula akan ”nistha, madya, utama” sopan
santun, dan undang-undang negara. Demikianlah sarana kesempurnaan bagi orang hidup
yang tercantum dalam ketiga macam cara tadi.
Apabila seseorang ditakdirkan menjadi bupati, bupati itu sama dengan raja, oleh
karenanya dia mempunyai tugas mengatur daerah. Kecuali itu mempunyai pula tugas
Cahmbanjar 34
mengatur perkara yang mungkin memalukan j uga, dia harus dapat bertindak supaya perkara
tadi tidak tersiar.
(64) Orang menjadi bupati tidak mudah, sebab lahir batin bertanggungjawab atas
daerahnya. Tidak boleh hanya menikmati kewibawaan serta kemuliaan itu saja, tetapi harus
selalu siap sedia. Pertama, adalah menanti perintah raja. Kedua selalu waspada terhadap
daerah di luar wilayahnya, untuk menjaga jangan sampai ada persoalan. Bilamana terjadi
persoalan, supaya dirunding dengan baik, dan jika sudah sepakat supaya cepat dilaksanakan,
tidak perlu ditunda-tunda lagi.
Sebab ini menjadikan beban pikiran saja, jangan-jangan malah dapat menimbulkan
bahaya. Ibarat sumur yang lama tidak diambil airnya, maka di dalamnya tentu penuh tanah
kotoran, beserta ijuk, beling, dan bambu-bambu kecil. Kalau dibersihkan (diambil), sukar
dan sangat berbahaya. Hal ini dapat terlaksana bila mendapat bantuan atau anugerah dari
Allah. Tetapi bukannya hanya menanti-nanti saja akan datangnya anugerah tersebut, namun
harus disertai dengan usaha pula. Biarpun nanti usaha itu berhasil dan tanah kotoran tadi
dapat terangkat, tetapi kesukaran lain masih banyak. Sama saja seperti beras yang tumpah,
bila diambil dan ditimbang (ditakar) lagi, tak mungkin kembali seperti semula. Sebenarnya
hal itu harus disadari sebab-musababnya, ternyata tiada lain karena dia mendapat murka dari
Tuhan, atas tindakannya yang suka berlarut-larut i tu. Sebab andaikata sesuatu yang menjadi
putusan tersebut cepat dikerjakan, tentu selamat. Tidak perlu berbeda pendapat semua
sepakat menjadi keputusan. Bila tak ada kesepakatan maka hasilnya mengecewakan. Sebagai
seorang bupati harus menjaga nama, harus memegang teguh pendapatnya, jika sudah menjadi
putusan, dengan tekat mantap harus dilaksanakan biarpun itu penuh bahaya.
Mantap adalah sari ilmu. Di dalam hidup, agar segala kehendak orang dapat berhasil,
maka tindakannya harus disertai ilmu. Bukan hanya secara menghabiskan kekayaan orang
lain saja untuk mencapai kesenangannya.
(66) Sebagai seorang abdi, cara seperti itu sangat hina dan melanggar peraturan negara yang
baik. Berbeda dengan nahkoda yang kaya, yang tugasnya memang tak ikut merembug tentang
wilayah. Dia hanya memikirkan kesenangan hidupnya saja, bagaimana mendapatkan laba,
bagaimana supaya uangnya semakin bertambah, demikianlah yang dipikirkannya. Lain hal
dengan orang yang menjadi patih yang merupakan wakil raja, bila hatinya jahat terhadap
yang diwakili, itu lebih berbahaya lagi. Jadi seumpama keris (raja) dengan sarungnya (patih).
Bila keris itu tak dapat masuk ke dalam sarungnya bagaimana keadaan seperti itu dapat
menjadi baik. Andaikata keduanya dapat bersatu (patih dan raja), tetapi patih tadi tak dapat
(65)
Cahmbanjar 35
memerintah para senapati dan mantri, maka kesalahan kecil dari mereka akan ditimpakan
kepadanya.
Memikirkan tentang negara. Negara yang penuh persoalan, sebenarnya didalam telah
ada pengadilan yang diatur, untuk mengadili hal yang benar dan yang salah, yang melanggar
adat dan yang menganut adat kuna. Selanjutnya hal-hal yang baik diambil untuk diterapkan
dan disesuaikan dengan zaman sekarang. Mantri sendiri tak dapat mengetrapkan hal-hal
seperti itu, sebab hanya patihlah yang berkuasa. Disini berarti bahwa sebenarnya baik
mantri, tumenggung, maupun ketua desa, dapat juga mengetrapkannya, tetapi mereka tak
berhak dan tak berguna. Kalau orang-orang tadi diberi kuasa pula, berarti merusak peraturan
itu sendiri. Jadi jelaslah siapa yang menjadi patokan, siapa yang menentukan sikap, patihlah
yang betul-betul berkuasa, melakukan segala perintah raja. Keduanya merupakan dwi
tunggal bersenyawa seperti keris masuk dalam sarung, atau sarung masuk ke dalam keris,
bersatu padu, menjadikan negara bertambah kuat.
Di dalam hukum, setiap wilayah sudah mempunyai bagian (tugas) sendiri-sendiri, patih
tinggal memeriksa saja. Disini patih harus dapat memilih orang-orang pandai sebagai perabot
desa yang sesuai dengan jabatannya. Oleh pengubah nasehat yang diutarakan bagi orang yang
menjadi patih tidak perlu diperpanjang lagi. Sebab dahulu kala sudah banyak contoh
bagaimana cara melaksanakan tugas yang dapat berakhir baik, sedang, dan jelek. Seyogyanya
orang mengucap syukur kepada Tuhan karena dari kodrat Allah, dengan perantaraan raja,
seseorang dapat menjadi orang besar atau orang luhur. Kecuali itu dapat pula seseorang
bermula sebagai orang luhur, tetapi kemudian menjadi orang hina. Semuanya tadi dimaksud
untuk contoh agar dicatat dalam hati sebagai teladan anak cucu.
KINANTHI
XI. Kesebelas
Di dalam bab sebelas ini kyai Yasadipura membicarakan antara lain tentang turunny a
derajat dan berubahnya wahyu (anugerah Tuhan). Nasehat kepada generasi mendatang,
berupa pesan, supaya mereka itu mengetahui dengan seksama bahwa berkurangnya derajat
atau martabat dan berubahnya wahyu itu, disebabkan oleh rasa melik (ingin memiliki), yang
membawa ke sifat lupa. Misalnya seseorang yang melik dengan cara mengurangi pangan
orang kecil yang berpenghasilan kecil pula, itu keterlaluan. Sebenarnya hal i tu hanya karena
menuruti hawa nafsu saja. Inilah yang menyebabkan berkurangnya martabat. Bukan karena
jumlahnya sedikit yang tak kentara, seperti halnya bulu badan yang lembut dicabuti tak
terasa sakit, tetapi jelas dari perbuatan itu dapat nenuman (ingin melakukan terus) nafsu jahat
(67)
(68)
Cahmbanjar 36
tersebut. Selanjutnya justru terlihat bahwa semua tindakannya menyimpang dari peraturan.
Apabila tindakan itu kemudian terlalu menyimpang, maka wahyu tadi dengan sendirinya
akan beralih. Hal ini dapat diumpamakan seperti orang yang hendak membeli barang
kesenangannya : kuda, keris, emas, permata atau kain yang bagus, ataupun barang-barang
sepele yang berharga murah. Dia menawar barang itu dengan harga tinggi, kemudian barang
diberikan atas penawarannya tadi. Tetapi orang tersebut ragu-ragu, kemudian pembelian itu
dibatalkan.
Kegagalan tadi dikarenakan oleh bermacam-macam sebab, antara lain harga barang itu
sendiri. Dia sangat menyesal, karena harga barang terlalu tinggi, jadi ia sayang akan uang
yang terbuang. Dengan demikian martabat dia akhirnya berkurang, memang sudah wajar
bahwa priyayi itu kalau membeli, uang pembayarannya malahan agak lebih dari semestinya.
Lebih-lebih bila sudah berjanji, maka bila gagal, hal itu dapat menyakitkan hati. Oleh sebab
itu tindakannya harus dijaga baik-baik sayang kalau martabatnya menjadi rusak. Sebuah
perumpamaan lagi, seandainya sese orang senang keris yang baik bentuk maupun tangguhnya
(sifat keris menurut jaman empu yang membuatnya. Sayang bahwa keris tadi se buah wasiat,
jadi agak sukar untuk memilikinya. Tetapi karena sangat senang dan ingin memilikinya,
maka dicarinya akal keris tadi dibayar dengan harga tinggi. Yang empunya keris takut, keris
diberikan, jadi keris tersebut cara memilikinya dengan paksa. Sebenarnya bila barang itu
wasiat, cara demikian tadi tidak baik. Orang itu tak akan dapat lama memiliki barang tadi,
akhirnya wahyu itu beralih juga dari dirinya. Lain halnya apabila yang mempunyai keris
wasiat itu sendirilah yang menjual, karena dia butuh uang. Sebaiknya keris itu dibeli saja
dengan harga umum ataukah dibayar lebih tinggi dari permintaannya. Dalam jual beli tadi,
seyogyanya pembeli mengatakan bahwa wasiat tadi diminta kerelaannya, supaya sah dan
tetap menjadi miliknya. Memang wasiat itu dapat dijual karena butuh uang dengan dalih
untuk menolak kemiskinan. Tetapi ada pula yang mengatakan bahwa selama dirinya masih
hidup, keris itu takkan lepas dari lambungnya.
Orang yang berkata demikian tadi memang betul, selagi dia benar-benar mantap dan
dapat menetapi (memegang teguh) ucapannya. Tetapi jika ingkar, sungguh berbahaya se kali
terhadap keris yang dimuliakan dan dianggap sama seperti orang tuanya sendiri itu. Hal ini
berarti bahwa betapa berat rasanya bila orang tak mempunyai pakaian dan tidak makan,
serta tak berkepandaian pula. Bila ragu-ragu karena kurang ilmu, maka dia akan mudah
dipengaruhi iblis. Hati diarahkan ke perbuatan sesat, lalu keluarlah pikiran yang jahat, lama –
kelamaan ia menjadi penjahat.
(69)
(70)
Cahmbanjar 37
Dia mempergunakan barang pusaka untuk mencuri, karena banyak perbuatan jahat
yang telah dilakukan, maka pada suatu saat dia tertangkap. Lehernya dipukul patah, dan
meninggallah dia. Mayatnya terkapar, barang pusaka sudah dirampas oleh yang memukul.
Selanjutnya kentongan dipukul bertalu-talu, mayatnya diikat “dibongkok”, lalu dibuang,
seperti kebiasaan yang terjadi pada peristiwa seperti itu. Di sini tak ada orang yang
menggugat, demikianlah hasil orang yang kurang berpikir, tak berpengetahuan, dan tak mau
berusaha. Setelah dipukul ternyata nyawanya melayang juga. Dan ternyata khasiat yang
diandalkan dari pusaka itu telah hilang tuahnya. Besi dianggap bertuah, kalau dahulu dijual,
maka uang hasil penjualan itu dapat dipergunakan untuk modal. Hasilnya dapat dinikmati
sedikit demi sedikit untuk penangkal sifat tamak dan sombong. Jika laku dengan harga
tinggi, itu sebagai upah jerih payahnya.
Sebenarnya tuah yang benar, bagi manusia hidup, bukannya tuah dari tombak-keris
tetapi berasal dari petunjuk-petunjuk atau nasehat-nasehat yang baik. Kepercayaan pada
barang lahiriah tak dapat membentuk hati baik. Biarpun dia mempunyai wasiat buatan
Pejajaran, yang terkenal baik, juga buatan Siyung Wanara, tak akan dapat merubah sifat dan
hati pemiliknya menjadi baik, kalau hatinya memang jahat. Di sini si setan menggoda, wahyu
orang tadi dan tuah dari wasiat yang diandalkannya lari terbirit-birit, ternyata wasiat itu tak
berguna lagi.
Seperti kisah di jaman dahulu yaitu putra sang Resi Drona. Aswatama mempunyai
pusaka yang sangat diandalkan. Pusaka tadi hadiah dari Dewa, berupa sebuah panah
bernama Cundhamanik. Panah milik Aswatama itu untuk menumpas kedurhakaan, tetapi
digunakannya untuk mencuri di daerah (pakuwon) perkemahan Pandawa.
Kita ringkas saja cerita ini, Aswatama mendapat murka dari Dewa, Dewa Warna turun,
dan pusaka Chundamanik dimintanya. Kemudian pusaka itu diberikan pada keluarga
Pandhawa, Aswatama tinggal “melongoh” tak bekutik. Dia mohon ampun tetapi tidak
dikabulkan oleh sang Kresna, maka hilanglah wahyu Aswatama dan hukuman pancunglah
yang diterimanya.
Kisah dari sudut lain ialah sewaktu Sunan Giri, tidak menghadap ke Majapahit, rakyat
seluruh daerah Giri dapat dikuasainya. Sang Prabu Majapahit memberi perintah pada para
perwira untuk menggempur Giri, dengan perleng kapan perang yang besar. Setiba di Giri
pasukan tersebut menyerang, rakyat berlarian mengabarkan kepada Sunan Giri kalau ada
musuh besar datang menyerang. Pada waktu itu Sunan Giri sedang asyik menulis atau
membuat buku, yang ditulisnya itu buku mengenai islam. Anak istrinya menangis bersama,
dengan cepat sunan Giri membuang alat tulisnya yang segera berubah menjadi keris. Keris
(71)
(72)
Cahmbanjar 38
tersebut lalu mengamuk menghadapi musuh. Kangjeng Sunan enak-enak duduk, hanya alat
tulisnya saja yang mengamuk. Beberapa orang meninggal terbunuh oleh keris tadi, sedang
yang lain melarikan diri pulang ke Majapahit. Kalammunyeng demikian nama keris itu, lalu
kembali menghadap Sunan Giri. Kangjeng Sunan bersabda. “ Hai kalammunyeng, karena kau
terjadi dari kalam, maka kembalilah kau menjadi kalam lagi”. Kalammunyeng segera berubah
menjadi alat tulis kembali. Demikianlah hasil tindak utama dan hati sempurna, dari sikap dan
perbuatan seorang wali. Oleh sebab itu janganlah slah tafsir, mencela orang yang membuat
perumpamaan ini, sebab belum tentu setiap orang dapat menirunya. Orang yang salah tafsir
berarti mengaburkan maksud perumpamaan tersebut. Meskipun seseorang dapat bersikap
baik dan menganut para wali, tetapi mustahil jika dia dapat meniru sikap dan tindakan
seorang wali dalam hal perbuatan dan budi pekerti yang baik. Misalnya dapat meniru, ya
hanya seperseratus saja bahkan hanya sepersepuluh ribunya dari sikap dan perbuatan wali.
Sedang seluruh orang Tanah Jawa yang beragama islam, semua mencontoh para wali
tersebut.
Di sini penggubah minta kepada kita supaya membandingkan kebesaran Nabi
Muhammad dengan para wali. Lebih mulia dan luhur siapakah sebenarnya, Sali atau
kangjeng Nabi. Kangjeng Nabi yang jelas sah mengemban perintah Allah, menjadi contoh di
dunia bagi mereka yang menganut beliau.
Oleh sebab itulah beliau ini mendapat sebutan Nabi Panutan yang berarti dapat ditiru
semua perbuatan beliau.
(73) Dengan demikian penggubah tak perlu memperpanjang perumpamaan-perumpamaan,
walaupun ada diantaranya yang menertawakan penggubah. Sebab orang muda jaman
sekarang ini banyak yang pandai memakai cerita Rama bahasa Jawa Kuna (Kawi) dan
biarpun pandai tetapi hatinya penasaran, tergesa-gesa mencela orang lain. Padahal belum
dipertimbangkan masak-masak, apalagi mengerit persoalan tersebut. Maklumlah, sewaktu
penulis sendiri masih muda, kerap kali juga suka mencela orang lain, karena merasa dirinya
lebih pintar.
Ada seorang pujangga berasal dari Ngeksiganda, pendapatnya oleh penggubah tiap hari
selalu di sanggah, baik mengenai tulisan maupun bahasanya. Ternyata orang tadi memang
bukan pujangga betul-betul. Artinya orang tersebut tidak memiliki kepandaian benar-benar,
masih meminjam kesana-kemari, berserabutan tak karuan. Penggubah sendiri heran, dan kini
setelah merasa berumur, menyesal juga, jangan-jangan sifat keras hatinya ketika masih muda
akan berlarut-larut sehingga hal itu tentu berakibat tidak baik.
Cahmbanjar 39
DHANDHANGGULA
Dalam bagian ini penggubah masih membicarakan tentang sikap atau tindakan yang
menyebabkan turunnya derajat. Dikatakan bahwa anak cucu dilarang membuat rumah yang
berlebih-lebihan besar, bagus dan indahnya hiasan, dalam arti tak boleh melebihi ukuran. Hal
ini pasti tidak dapat diubah akan turunnya derajat, sementara ada perubahan martabat,
dalam jaman pangiwa maupun panengen. Hal tersebut sejak Nabi Adam hingga jaman
sekarang, tahun Alip (1747), bagi orang besar maupun kecil ternyata tak ada bedanya. Dahulu
di tanah Arab, para raja membuat istana yang menyerupai s urga, ternyata bahwa mereka itu
tak ada yang selamat. Jaman pangiwa demikian pula. Para raja yang kuat baik berupa raksasa
maupun manusia, yang membuat istana seperti surga juga tak ada yang selamat. Sedang
sekarang rakyat kecil di desa-desa maupun di kota, serta para orang besar yang lain, tak
diperkenankan membuat rumah besar seperti tersebut di atas. Demikian pula bagi raja-raja,
karena itu sudah umum termasuk dalam adat. Adakah benda penangkal agar orang tak
mengalami kemerosotan derajat karena hal tersebut. Penggubahnya berani memastikan
dengan taruhan potong leher atau bayaran berapa saja, asal langit dan dunia ini masih ada,
demikian pula bulan, bintang dan matahari masih bersinar, jelas hal itu tak dapat dirubah.
Penggubah merasa tobat terhadap Tuhan, karena telah terlanjur dalam ucapannya, yang
berani menentukan sesuatu. Hal ini disebabkan oleh hati yang mendongkol, karena memberi
nasehat kepada anak cucu sendiri, tetapi tak diperhatikannya. Nasehat yang diambil dari
ilmu adat jaman dahulu, Karena berkat Tuhan, maka semua tadi dapat dipetik sebagai
contoh. Ada segolongan yang menyatakan, bahwa lebih baik mengurus pekarangan
(halaman), dengan sebaik-baiknya saja, supaya mendapat dua macam pujian. Pujian pertama,
ialah setiap orang yang melihat, mengatakan pekarangan itu bagus dan bersih, mengenakkan
hati. Pujian kedua, yaitu pujian dari tuannya, yang menandakan bahwa dia mendapat berkat
dari raja. Ucapan itu memang betul, juga, tetapi sebaiknya tak berguna bagi jiwa dan raga, itu
hanya pujian basa-basi saja. Sedang pujian yang betul-betul berguna lahir batin ialah yang
berasal dari “gusti” (majikan). Pujian tadi pujian yang tulus keluar dari hati sanubarinya,
dapat menyegarkan badan. Biarpun seseorang mempunyai rumah bagus, namun dalam
tugasnya selalu salah dan tak cekatan, tak urung akan dimarahinya juga.
Sedangkan pujian yang berasal dari banyak orang, itu merupakan pujian kosong, hanya
dapat dibuat penopang balai-balai saja. Ada orang menyanjung, kebetulan orang yang
menyanjung tadi, bertamu ke rumah seseorang. Karena tidak dijamu, maka sanjungannya
tidak berkobar-kobar lagi, akhirnya hilang dan disertai perut kosong dia kembali pulang.
(74)
(75)
Cahmbanjar 40
Kemudian pujian yang benar-benar tulus, itu terjadi apabila seseorang memiliki rumah
yang sedang-sedang saja besarnya, tetapi kawan atau siapa saja yang bertandang ke
rumahnya pasti dijamu, mereka pulang tentu dengan perut kenyang. Nah pujian mereka itu
memang tulus dan sungguh-sungguh bermanfaat. Yang jelas tak perlu diperlihatkan, karena
rumah tempat tinggal itu memang tak dapat dibawa ke balairung menghadap “gusti”,
ataupun untuk ampilan (barang bawaan). Apabila semua cara yang menyebabkan
menurunnya (anugerah Tuhan) derajat, demikian pula tentang bergesernya wahyu, kalau
ditulis akan penuhlah halaman ini. Kecuali itu masih ada lagi contoh-contoh seperti yang
telah dibicarakan, misalnya tentang hal yang menyebabkan hina. Apabila hal itu berlarut-
larut tak dapat dikekang, suatu tanda bahwa anugerah Allah akan menjauhi diri orang
tersebut.
Demikian pula semua perbuatan yang menganiaya dan mengakibatkan dosa orang lain.
Semua perbuatan itu karena tak diketahui banyak orang, hanya disaksikan oleh saudaranya
yang tua saja, bahkan dicegahpun dia tidak mau, maka ini menandakan pula akan
bergesernya wahyu. Sebab wahyu itu akan terlihat lebih jernih, bersinar seperti bulan.
Wahyu kecil bersinar seperti bintang terang, kalau orang itu berbuat j ahat, marah sekali dia,
cahayanya kelihatan pudar. D ia pasti menghindar dan melarikan diri. Bagi dia tempat bukan
masalah untuk dirasukinya. Dia dapat mencari tempat ke tubuh orang yang berhati suci,
bijaksana serta berbudi, dan berbahagialah mereka yang dapat menjaganya. Menjaga wahyu
sejati memang sulit, namun mudah juga kalau betul-betul mau mengerjakan. Untuk
menjaganya yaitu dengan cara, harus ingat dan selalu waspada. Tidak boleh melupakan
Tuhan, menyerah dan siap sedia, gagah dan tidak terburu nafsu. Berhati lapang dan selalu
tertib, tujuannya hanyalah membuat selamat.
(77) Dengan sarana cinta kasih, sesuai dengan ajaran agamanya, maka segala sikap hanya
“pasrah” kepada Allah saja. Seyogyanya memperbesar doa syukur, dan doa untuk mencari
keheningan. Hening dalam arti menerangi hati untuk mengurangi makan dan mengurangi
tidur. Itulah suatu usaha atau cara untuk memelihara derajat atau martabat. Disertai rasa
terima kasih dalam hati, dan dibersihkan lewat sastra Jawa Arab, tahu akan arti, kemudian
tahu pula akan segala hokum dan sopan santun. Kesemuanya tadi harus dicamkan dalam hati
sanubari dengan mantap. Demikian tadi dapat menjadikan hati teguh tak tergoyahkan
menghadapi segala bahaya dengan bersenjatakan nasehat.
Nasehat dari guru yang bersifat adil, yang selalu memberi apa yang diminta orang muda
dan bodoh, dialah yang selalu memberi makan orang fakir-miskin, maka kepadanyalah kita
(76)
Cahmbanjar 41
harus berlaku ramah. Jangan sampai membicarakan yang bukan-bukan, sebelum diteliti
betul-betul, agar hati terlatih memikirkan keutamaan.
Usahakan agar dapat menjaga dan memelihara anugerah Allah, cara itu terdpat dalam
sikap hati kita sendiri. Kita harus kuat dan bertahan dari g odaan setan, jangan malas
bertindak. Sikap itu dapat menghalangi kehendak untuk bertindak berbuat baik. Perbuatan
baik adalah pencerminan anugerah Tuhan yang menandakan adanya kasih Allah.
(78) Banyak sudah kelalaian-kelalaian yang terjadi, karena sikap yang ragu-ragu terhadap
Tuhan. Sikap jujur yang mengarah kebaikan telah hilang, hanya tertarik akan perbuatan
jahat. Bersifat kikir dan dengki, hanya perselisihan sajalah yang diutamakan. Pagar hatinya
telah hilang, maka yang lalu-lalang hanya hal-hal yang ngawur dan mustahil.
Disertai bermacam-macam sarana, ternyata pada hakekatnya manusia selalu mencari
hal-hal yang baik. Rasa hati selalu menginginkan segala yang serba harum, bagaikan orang
merayu saja, kalau belum memperoleh takkan dihentikan.
Demikian tadi tindakan yang diusahakan dengan segala cara. Apabila dirasa melalui
pandangan hati dan penglihatan tepat, sudah mengenai sasaran, maka jalan untuk menuju ke
anugerah Tuhan yang serba terbatas itu, makin jelas untuk dilakukannya dengan tertib.
XII. Keduabelas
Dalam bab keduabelas ini Kyai Yasadipura, menguraikan tentang perubahan dalam
alam semesta sesuai dengan jamannya, yaitu jaman kalisengara dan Kaliyoga. Pada jaman
Kalisengara itu dapat diketahui dengan banyaknya (tanda-tanda) kecelakaan, berita-berita
bohong dan kasak-kusuk, kecuali itu banyak terjadi huru-hara, bencana alam, dan lain-lain
yang menjadikan rusaknya Negara. Pada waktu inilah orang harus berhati-hati, dan mereka
harus sadar bahwa mereka berlindung pada Negara dan raja. Lagi pula mendapatkan pangkat
dan pangan darinya, mustahil bahwa orang-orang itu tidak ikut berprihatin.
(79) Mereka harus selalu mohon keselamatan kepada Tuhan, mengurangi makan dan tidur,
jangan sampai membuat murka raja. Jika hal itu sampai terjadi, diusahakan supaya
kemarahan yang Maha luhur itu menjadi tawar sedikit demi sedikit. Hal ini sebenarnya telah
menjadi kewajiban orang-orang di Negara itu sendiri baik laki-laki maupun perempuan,
besar maupun kecil untuk selalu berdoa kepada Allah.
Di samping itu dianjurkan pula supaya mereka membuat sedekah (selamatan) sebagai
penangkal bala, walau tak ada perintah dari raja. Lebih-lebih bila raja memerintahkannya,
maka perintah itu harus segera dilaksanakan dengan cepat dan semangat. Tetapi ada pula
setengah orang yang mengatakan bahwa cara itu sebenarnya merepotkan. Huru-hara
Cahmbanjar 42
ataupun ketenteraman itu jelas dialami bersama-sama orang banyak, jadi tak perlu dipikir,
hanya menambah susah dan merusak pikiran saja. Kata-kata demikian tadi biarpun sifatnya
hanya kelakar dan tidak sungguh-sungguh, tetapi bila hal itu nanti (terlanjur) benar-benar
terjadi maka dia sendiri akan pontang-panting lari mengungsi tak teruruskan.
Dia akan menyesal kelak, bahkan dia itu tak sadar bahwa hidup di negara seorang raja,
dan selamanya ia akan berlindung ditempat itu. Andaikata Negara tadi sebuah rumah besar,
didiami oleh orang banyak, disitu ada sesuatu yang rusak, atap bocor misalnya. Apakah
orang-orang tadi enak-enak tak ikut memikirkannya, tentu tidak.
(80) Ya semampu mereka, biar kecil atau besar, mereka berusaha agar (rumah) Negara itu
kuat, dan orang banyak yang berlindung itu juga selamat. Jadi mereka itu memperoleh
martabat baik, seperti apa yang berlaku kepada manusia umumnya. Bukan seperti dia yang
bermartabat rendah ada huru-hara malahan senang. Dia melarikan diri sambil mencopet, tak
tahunya justru dia sendiri yang tertinggal. Jangan sampai ada orang salah paham, demikian
tadi adalah sifat orang yang rendah budi, tak usah dimasukkan dalam hitungan, dan tak
berguna diceritakan berkepanjangan.
Sebenarnya tidak boleh demikian hai anakku sesuatu hal yang besar maupun kecil,
yang setia dan yang tidak, semua kelakuan tadi dapat dijadikan teladan. Hanya sayang bahwa
uraian ini dikatakan oleh Kyai Yasadipura sendiri mungkin kurang teliti, disebabkan katanya
dia itu masih kurang pengetahuan. Dikatakan bahwa dirinya bodoh, memang demikianlah
adanya. Karena terdorong oleh kemauan yang keras untuk memberi nasihat. Ya biarpun
bodoh tidak perlu malu. Malu tadi dengan sendirinya hilang, maka dengan modal caranya
sendiri yang katanya tanpa pengetahuan sastra itu, penggubah melaksanakan maksudnya.
Kemudian penggubah mengatakan bahwa apabila terjadi perubahan (keg oncangan) di
daerah lain, anak cucu supaya waspada. Sebagai contoh pada waktu dahulu, ketika Jakarta
pada mulanya berperang melawan Cina, ternyata lama-kelamaan merambat ke timur, dan
terjadilah huru-hara di Kartasura. Negara Kartasura kalah, keadaan menjadi porak-poranda,
disebabkan tak adanya kesatuan tekad.
Para pembesar saling tak bertanggung jawab, rakyat kecil bubar g ugup mengungsi
kemana-mana. Sudah biasa adat prajurit Jawa itu seumpama tumpukan batang tangkai padi
yang dibuat sebagai bendungan. Maka apabila ada air bah yang deras melandanya, niscaya
jebol berantakan. Seperti halnya sapu lidi lepas dari ikatan saja, tersebar ke semua penjuru,
dan orang-oran tadi lupa akan raja mereka.
(81) Perubahan-perubahan di luar daerah yang dahulu pernah terjadi, akan memakan
banyak tempat jika ditulis, yang jelas anak cucu harus berhati-hati, harus waspada. Harus
Cahmbanjar 43
dicari apakah asal mula yang menyebabkan Negara (lain) itu bergolak. Kita harus berpikir
dengan lembut, bagaimana supaya perg olakan itu tidak berkembang dan merembet ke daerah
kita.
Pandangan yang kurang lembut (teliti) jelas tak berfaedah. Jika pandangan itu
berfaedah tetapi tercampur ketamakan, maka hal itu sama halnya dengan pedang yang
murahan. Jika pedang itu dipergunakan dengan kasar, mata pedang tadi akan cepat putus.
Tetapi jika dipergunakan dangan halus, mata pedang akan kuat tak lekas putus. Apabila para
prajurit itu sepak terjangnya halus, maka pedang yang ditujukan kepada mereka akan me leot
(melengkung), mereka menjadi kebal terhadapnya. Tetapi jika mereka tadi bersikap keras
maka pedang akan putus mengenainya dan mereka akan kalah. Contoh seperti ini pada jaman
dahulu sudah banyak terjadi, misalnya ketika Kresna mengutus Gathotkaca, disini
petunjuknya kurang halus (mengena), karena tidak mengingat tempat dan suasananya.
Ksatria yang diutus tadi sudah berada di medan perang, sedangkan di tempat ini sudah
banyak korban berjatuhan. Menyaksikan suasana tadi Gathotkaca merasa menyesal dan
putus asa, nah inilah kesalahannya.
Sudah pada tempatnya bahwa orang berperang itu tentu kalah atau menang, ya kalau
tidak membunuh ya dibunuh. Sedang Kresna sendiripun juga bersalah, yaitu karena kematian
Resi Drona dahulu, disebabkan oleh tipu muslihatnya yang diwujudkan dalam kata-kata
sebagai jebakan. Di kemudian hari as watama (putera Drona) membalas dendam. Dia berlaku
jahat di pakuwon Pandhawa; di tempat itu ia membalas dendam dengan membunuh
sebanyak tiga orang.
Demikianlah kejadian-kejadian yang dapat menjadi suri tauladan, dan semua tadi
supaya selalu diingat. Dengan demikian tidak perlu membaca sastra Jawa dan Arab dengan
suara keras dan bergaya, yang penting maksud dan isinya dapat dimengerti, misalnya
perubahan dalam negeri tetangga sendiri.
Jaman dahulu di Negeri Ngeksiganda ( Mataram) sewaktu jayanya, terdapat pula
kericuhan di dalamnya. Kericuhan tadi menyebabkan pecahnya negeri tersebut dan
menyebabkan rakyat kecil kalang kabut. Sedang yang menjadi peraga keadaan tadi ialah
Trunajaya si celaka yang semakin berani, dia tak menyadari akan asal mula dirinya.
Sebenarnya bila ada pergolakan (perubahan) dunia, rakyat kecil tidak boleh dilupakan.
Mereka harus waspada dan sabar, baiklah selalu memohon kepada Tuhan, agar pergolakan
tadi gagal, seperti apa yang telah terurai di depan. Sebab andaikata hal itu terjadi, akibatnya
rakyat kecillah yang menderita, dan demikianlah dalam jaman Kalisengara itu.
(82)
Cahmbanjar 44
Dalam jaman tersebut orang-orang besar semua terdesak, tetapi setelah jaman Kaliyoga,
orang-orang besar tadi banyak memperoleh kebahagiaan. Itulah adat Jawa, oleh karenanya
siapa yang diciptakan sebagai orang kecil, mereka harus insaf, supaya mereka itu jangan
sampai terbengkelai. Baiklah mengikuti perubahan negeri dengan mantap, tidak boleh hanya
enak-enak saja.
MIJIL
(83) Bila ada orang ya siapa saja yang menyatakan secara berbisik-bisik bahwa dia serba
mengetahui (mengalami) waktu daerah itu bergolak, padahal ternyata orang tadi masih
muda, tak sesuai dengan jaman yang diceritakannya, maka ucapan tadi cukup didengarkan
saja. Sebab kalau diperhatikan betul-betul, pembicaraan itu merupakan setan yang membuat
tidak tenteram. Orang demikian tadi tak perlu ditegur, cukup disambut dengan kata setuju
saja, asal dalam diri sendiri dapat menimbang mana yang benar dan yang buruk, agar tidak
keliru kelak.
Sebenarnya bukan hanya terhadap orang itu saja dia harus waspada, bahkan terhadap
orang lain pun harus demikian juga, lebih-lebih terhadap orang yang dahulu tersohor sering
berdusta. Sebab sekarang ini banyak kabar angin, kabar bohong, banyak berita yang tak ada
kenyataannya, walaupun kabar itu berasal dari priyayi (orang yang dapat dipercaya).
Andaikata Tuhan menitahkan sesuatu yang tak nyata, ini selalu diintip oleh setan. Hal-
hal tersebut makin ditambah-tambah, dibuat sedemikian rupa sehingga menjadikan geger.
Jika sudah geger (huru-hara), orang dapat mempergunakan kesempatan tadi untuk
memperoleh sesuatu. Membuat cara dengan mengajak berbuat jahat, membuat susah dan
amarah orang lain. Ya pokoknya dengan cara apa saja asal terpenuhi kehendaknya. Dia tidak
malu berbuat hina, berbuat dosa, memang ia sudah nekat dan sengaja mengikuti setan
(berlaku jahat). Apabila seseorang telah bertekad demikian, sukar untuk diajak berlaku baik.
Orang yang berbicara seperti itu, tak pelak lagi sikapnya tentu menjengkelkan. Bila berbicara
dengannya haus pandai berpura-pura, sebab sebenarnya orang lain sudah tahu bagaimana
sifat dia, dan tidak sepantasnya apabila dia mengajak berbicara tetapi tidak dilayaninya.
Dengan cara demikian maka semuanya akan selamat, yang seorang tidak tersinggung, yang
seorang lagi takkan terbawa-bawa. Seperti halnya anak kecil sedang bermain-main
menirukan orang berbelanja. Sebenarnya apa yang dikatakannya itu terbawa dari kata-kata
orang tua bila sedang bercakap-cakap, kemudian anak kecil yang mendengar tadi
menirukannya. Lama-kelamaan apa yang diomongkan tadi , ternyata terlaksana benar-benar.
Demikianlah salah sebuah hal yang termasuk perubahan dunia, dan yang sebelumnya s udah
(84)
Cahmbanjar 45
diberi tanda-tanda lebih dahulu. Oleh sebab itu orang harus waspada dan ingat terhadap apa
saja yang terlihat.
(85) Sekilas apa yang terlihat harus segera dicari, dikembalikan kepada kebiasaan yang
dahulu pernah ada. Oleh karena itu orang harus teliti melihat tanda-tanda, agar sikap yang
diambil berakhir biak. Seyogyanya orang tinggal di kota dan mengabdi raja, agar dapat
mengetahui kejadian-kejadian di dunia (Negara) ini. Lebih-lebih kalau memang sudah
menjadi tugasnya, seperti apa yang talah diutarakan. Ya atas semuanya tentu mengharap
kasih Tuhan agar kehendaknya dapat terlaksana, dan hanya Karena kodrat Allah-lah yang
dapat menggagalkannya. Oleh karena dalam jaman Kalisengara itu belum dapat terlaksana,
maka pada jaman Kaliyoga kinilah gantinya. Orang harus mengucap syukur pada Allah, dan
seterusnya supaya manusia tetap setia akan sikap yang baik itu. Sebab dalam dunia ini
banyak maksud yang hanya ingin seenaknya saja. Hal-hal yang mengakibatkan buruk harus
disisihkan, dan yang mendatangkan selamat jelas didukung. Memang demikian sikap yang
umum atau wajar, hal yang jelek tidak mau, hal yang baik senang sekali, itu saja masih
tergolong sikap madya, belum yang utama. Untuk menjadi orang utama ini memang berat,
sukar dicapai, kecuali para pendeta atau wali, yang memang tugas mereka. Hatinya sudah
seluas lautan tak akan terkejut melihat perubahan keadaan dunia ini. Tujuan hatinya hanya
ingin dekat dengan Tuhan. Ingin raganya hilang dikumpulkan dengan Allah. Demikianlah
para ulama tadi, hati dan tindakannya telah serasi untuk menjalani hidup ini.
Di dalam hidup seseorang tak boleh salah lihat, apa yang dituju, harus mampu
mengetrapkan tindakannya. Untuk ini jalan ( cara) yang termudah ialah dengan perantaraan
tutur kata. Sesuatu yang sudah dikatakan harus selalu diingat, menyenangkan atau tidak,
jangan sampai kata itu salah, dan tertuangkan dalam sikap yang tak terpuji. Meraba-raba di
angkasa, setiap hari selalu berjumpa dengan sikap seperti itu. Maka seseorang sey ogyanya
jangan memulai apabila tak mempunyai pendirian. Berjalan diatas jalan yang lurus. Lurus dari
kehendak hati. Apabila sudah demikian maka kehendak itu harus dipegang teguh.
Hendaknya orang itu mencari keselamatan, ya keselamatan untuk melindungi dan membuat
tenteram anak cucu, seperti yang memberi petuah baik pada sis wanya.
(87) Dengan maksud membentuk hati yang teguh jernih terpusat ke satu tujuan ialah Hyang
Maha Suci. Merubah segala sifat loba yang ada pada dirinya, agar tidak menghalangi maksud
baik itu. Dengan berhati-hati serta sikap yang luwes, orang supaya berusaha memiliki sifat-
sifat kesemuanya tadi. Apabila sudah dapat tercakup, maka seyogyanya sifat itu diterapkan
dengan cermat. Tidak perlu menonjolkan sifat tersebut yang sebenarnya justru dapat
(86)
Cahmbanjar 46
menghalanginya. Oleh sebab itu orang harus dapat melaksanakan dengan sungguh-sungguh
sehinga dapat memperoleh dan meng olah uraian-uraian ini.
Penggubah tidak perlu memperpanjang petuah-petuah tersebut, cukup diselesaikan
hingga sekian. Karangan ini dibuat di Surakarta, dan oleh penggubah diberinya nama Kitab
Sasana Sunu.
Cahmbanjar 47
SERAT SANA SUNU
Bahasa Jawa
DHANDHANGGULA
(1) Awignam astu namasidhi, sinidaa déra sang murbèngrat, kang anglimputi saraté, déné
ulun mangayun, makirtya ring kanang palupi, lepiyan kang supadya, dumadya wuwuruk, ing
suta wayah priyawak, sinengkalan Sapta Catur Swarèng Janmi, janma nis kumadama.
Kumadama memeksa mawardi, sanggyaning kang atmaja wus werda, widadaa
sawadiné, mardi mardayèng sadu, sadarganing darsanèng urip, ngarep-ngarepa harja,
harjaning tumuwuh, tuwuh tarlèn sekarira, ya marmanta mandaya mardamèng wangsit,
wasita winatara.
Watara ring tutur amartani, martotama temen tinumana, ketamana ing tulatèn, tula-
tula tumulun, tétélaa temah katali, talika winenangna, monang kang amangun, Yasadipura
mangaran, wektyaning ngling hèh sanggya nak putu mami, yèki leksanakena.
Muhung kinarya pengéling-éling, laku lalakonirèng ngagesang, sun karya rolas
warnané, warna ingkang rumuhun, él inga yèn tinitah janmi, kapindho ingkang warna, élinga
sutèngsun, yèn sinung sandhang lan pangan, warna ingkang kaping tri sira dèn éling, yèn
kinèn angupaya.
Ing wetuning sandhang lan rejeki, akasaba saking tapak tangan, kaping sakawan
warnané, paréntahé Hyang Agung, kinèn Islam manut Jeng Nabi, rasul nayakaningrat, warna
kang l imèku, busana lan pakaremen, warna kaping nenem slira dèna éling, lakuning pawong
mitra.
Akakancan sasamining janmi, déné warna ing kang kaping sapta, yèn abukti nèng
wismané, yèn turu yèn lumaku, késah saking wimanirèki, warna kang kaping astha, kurmat
ing tatamu, kaping sanga rikang warna, wektuning ngling myang wektuning barang rusti,
salamining ngagesang.
Warna kaping sadasa tinulis, yèn tumitah sira mring Hyang Suksma, gedhé kalawan
ciliké, kaping sawelasipun, dèna éling titahing Widhi, sudaning kang darajat, gingsiring kang
wahyu, apa ingkang dadya sebab, warna ingkang kaping rolas dipun éling, obah osiking
jagad.
Jangkep kalihwelas ingkang warni, nahan warna kapisan kocapa, dèna éling salaminé,
yèn tinitah sirèku, saking ora maring dumadi, dinadekken manungsa, metu saking henur, rira
Jeng Nabi Mukhammad, katujuné nora tinitah sireku, dumadi sato kéwan.
(2)
Cahmbanjar 48
(3) Dèn agedhé sokurirèng Widhi, haywa lupa sirèng sanalika, dèn rumeksa ing nguripé,
dèn madhep ing Hyang Agung, dèn apasrah haywa sakserik, manawa ana karsa, uripta
pinundhut, ngaurip wasana léna, tan tartamtu cendhak dawaning ngaurip, hay wa acipta
dawa.
Haywa cipta cekaking ngaurip, yeku dudu ciptaning kawula, dawa cendhak wus
papancèn, mung ciptaa sutengsun, mati ana sajroning urip, mangkono pan winenang, cipta
kang saèstu, madhep kamawuleng suksma, tan sumelang ananira saking Widhi, widagdeng
cipta maya.
Gantya warna ingkang kaping kalih, linahirken sira anèng dunya, sinung sandhang lan
pangané, yèku sira dèn émut, tuwa sandhang kalawan bukti, lahiring kang manugsa, saking
garbing ibu, jabang tan banjur dinulang, sayektine sandhang popok kang rumiyin, ya
sandhang ya bok dunya.
Hiya pangan hiya bok rijeki, karo iku apan ta tariman, saking Hyang kang amurbèng
rèh, bok dunya bojo sepuh, bok rijeki bojo taruni, dèn bisa momong sira, bariman ro iku, bok
dunya garwanta tuwa, yèku ingkang milu urip milu mati, dé garwanta taruna.
Bok rijeki iku apan dadi, kuwat panganti-anti ngagesang, lire dèn bisa momonge,
hay wana kongsi mutung, yèna purik tariman kalih, lungané luwih rikat, lir kilat
sumemprung, tan bisa nututi sira, nungsang-nungsang dhuh rusak badanirèki, nistha brangta
mangarang.
Rangu-rangu rongèh muring-muring, ringringané asalah grahita, yèn sisip-sisip
sembiré, nir kamanungsanipun, sarupa lan kéwan wanadri, anyandhak-nyandhak tuna,
gayuh-gayuh luput, saking tan betah tinilar, ing garwa ro temah ngrebut dèn lakoni, ing
garwaning wong liyan.
Ngutil methet any olong mamaling, yèn konangan atombok umurnya, kaèsi-èsi patiné,
lir sato gumalundhung, marma kabèh dipuna éling, pamomonging tariman, dèn watarèng
kayun, sihana inga sawatara, amung hay wa karo kongsi lunga purik, yen abanget sihira.
Mring kakasih tansah amangun sih, papasihan sumungku satata, mong wirag a
karagané, nutug nutugken kayun, lali marang kang narimani, katungkul ambaruwah,
sumungkem sumungku, yèn mangkono nora kuwat, badanira apes ingkang sira panggih, tan
bisa lumaksana.
Migeng-migeg kawaregen kalih, yèn lumaku banjur kajungkélang, tiba galundhung
jurangé, kebentus watu ajur, kojur tibèng nisthaning nisthip, papa tanpa pantaran, kapiran
kapatuh, yèkuta hay wa mangkana, dèna sedheng hay wa kabangeten ing sih, mring rejeki lan
dunya.
(4)
(5)
Cahmbanjar 49
Nahan warna ingkang kaping katri, parentahing Hyang kinonta sira, angupaya ing
wetuné, sandhang panganirèku, akasaba metua saking, ing tapak tanganira, pan utaminipun,
wetuning karingetira, nora kurang penggawéyan ing dunyèki, wetuning sandhang pangan.
Wawatesaning ngupaya bukti, yèn wong lanang amikul ing salang, wong wadon
géndhong seniké, barang upaminipun, géndhong mikul jalu lan èstri, yèn lagya pesing badan,
bédané kalamun, sinung kasdéra Hyang Suksma, amgupaya sandhang pangan teka gampil,
yèn gampang den waspada.
Sangkaning arta yèn tan prayogi, hay wa arsa sanadyan akathah, yèn durung sah hay wa
pinèt, sathithik yèn panuju, dèn pakolih amburu kasil, liring pakolih ingkang, sah terang ing
kukum, tuwin ta wewekasingwang, yèna kasab mrih upajiwa ngaurip, hay wa nganakken
arta.
Nora arus nadyan énggal sugih, ing wasana sira nemu papa, kapapan nora warisé,
saking para luluhur, kasab iku ingkang utami, amongtani sesawah, gaga ananandur, akèh
warnaning akasab, lakonana dèn taberi dèn nastiti, abot wong golèk pangan.
(6) Haywa ngentheng ken wong golek bukti, paé sato kéwan tanpa ngakal, golèk pangan
mung cangkemé, mara banjur barakud, suket godhong kang dèn gayemi, béda lawan
manungsa, saking ngakal metu, yèn tan olih kang mangkana, kang mangkéné yèn kang
mangkéné tan olih, kang mangkono antuka.
Lamun antuk angupaya kasil, dipun ageng panarimanira, sukura ing Hyang nikmaté,
hay wa dupèh sirantuk, amung kedhik kasabirèki, pan iku paparingan, nugraha Hyang Agung,
pinaringan pira-pira, luhung endi kang tan bisa olih kasil, kasabé papariman.
Yèku satengah tan den paringi, rahmating Hyang pinunggel ngamalnya, tan
dinawakken ngamalé, kasabé wus pinulung, pan kepalang-palang tan olih, labet wahyu
kinebat, ngakalé binawur, duk bocahé kurang ajar, tuwa-tuwa katula dhinadhung ngéblis,
lapak tan amicara.
Lamun amicaraa sayekti, nora bisa agaga sasawah, dadiya tukang lan pandhé, sayang
sasaminipun, yèn tan bisa manjaka dingin, abot ènthèng pan kathah, pakaryaning manus,
utama yèn angawula, angapedhak dèn pethel angering- iring sarta, jujuring manah.
Marma éling-éling dèn pakéling, anak putu padha rumangsaa, yèn kawula sru apesé,
hay wa dupèh tinunggu, bapa-biyung misih ngaurip, angabdi ing naréndra, sapatuté cukup,
yèn mangkono ciptanira, budi rupak gopok tan micarèng ngèlmi, ngegungaken taruna.
SINOM
Cahmbanjar 50
(7) Nahan kaping pat kawarna, sagung anak putu mami, kinon sirèku Islama, anuting rèh
Kangjeng Nabi, Mukhammad kang sinelir, ing saréngat kangjeng rasul, haywa sira atilar,
cegah pakon dèn kaliling, sunat perlu wajib wenang lawan mokal.
Batal karam lawan kalal, musabiyat dèn kaèsthi, pikukuh Islam lilima, iku aja lali-lali,
utawa yèn nglakoni, ing rukun lilima iku, lamun ora kuwasa, mring bètollah munggah kaji,
ingkang patang prakara bahe y wa lupa.
Saréngat lakuning badan, tarékat lakuning ati, kakékat lakuning nyawa, makripat ing
lakunèki, ing rasa dèn pakeling, kawruhana lakunipun, nanging aja atilar, ing saréngat
lakunèki, yèn tilara nora kuwat badanira.
Pan hiya mangsa bisaa, ngepleki saréngat nabi, y wa mangkana nora kena, yen
kinarsakken ing Widhi, dadya mukmin sajati, mung ta haywa kongsi kupur, kang dèn
kupurken sarak, haywa pasèk hay wa musrik, rèhning langip mung bisaa ing maksiyat.
(8) Yèn maksih tiba maksiyat, manawa-manawa kai, katarima tobatira, ing rina kalawan
wengi, yèn wus tumibèng musrik, angel pupulihanipun, yèn nora katarima, tobatira ing
Hyang Widhi, nora wurung katempuhing pancabaya.
Saréngat iku wawadhah, lawan hiya tatakrami, marma tan kena tinilar, wong atilar
tatakrami, enggoning laknat sétan, tan wurung ikut amanggih, ing bebendunira Kangjeng
Rasullollah.
Bebenduning Rasullollah, ya bebenduning Hyang Widhi, ya Allah ya Rasullollah,
mangka tajali sayekti, marma dipun pakéling, haywa maido sutèngsun, sawirasaning kitab,
yèn tan bisa anglakoni, amunghay wa mamaoni ananacad.
Anata ingkang satengah, anggeguyu wong ngabekti, yèku panjanmaning sétan,
dhèwèké wus tan nglakoni, ana kang anglakoni, dadak sembrana guguyu, kaya wong nginum
arak, kang sembrana sarwi angling, nora kharam kerem arak yekti khalal.
Wong ing kang ngucap mangkana, olèh duraka ping kalih, dhingin ngalalaken arak,
kapindho anginum awis, marma dèn ngati-ati, hay wa sembrana ing wuwus, lan wawaler
manira, hay wa ngagengaken awis, dhingin karam kapindhoné tanpa guna.
(9) Sepélé amung kinarya, bébéngkrakan sukak ati, tan timbang lan durakanya, wus pasthi
wong nginum awis, yèn awon endemnèki, mring badan nora pikantuk, batiné lunjak-lunjak,
kaduga angepel bumi, ing wéwéka subasitané wus ilang.
Yèn becik demé wong ika, ngalumpruk badaniréki, ginggang madhepé mring suksma,
bawur tyasé dadya lali, paran margining becik, wong lali marang Hyang Agung, amedhotaken
ngamal, tuna nora oleh bathi, siya-siya nganiaya badanira.
Cahmbanjar 51
Endem iku kawruhana, limang prakara dèn éling kang dhingin endem inuman, pan wus
cinatur ing ngarsi, dadiné nora becik, déné kaping kalihipun, endemé wong nonoman, tur
abagus ingkang warni, ing busana hiya nora kekurangan.
Pangrasané nora nana, wong abagus malih-malih mung dhéwékè kang jelarat, mung
dhéwékè kang je lanthir, katungkul miling-miling, ngaliling saliranipun, Harjuna dèn lalarak,
Panji sinèrèt babar ji, demang genter demang pater dadi lemah.
Kang aran bagus pan hiya, jejeré kalih prakawis, kang dhingin bagusing rupa, ping kalih
bagusing ati, nadyan rupané becik, lamun ala atinipun, yekti dadi wong ala, rusuh sebarang
pakarti, tyasé harda andarung tanpa ukara.
(10) Yèku demé wong taruna, rosa kuwat barang kardi, pandhuking sadaya-daya, tan
ngarah-arah rih–irih, yèku karam sayekti, déné kaping tiganipun, endem ing kawiryawan, lire
kamuktèné luwih, rina wengi angrasakken ing kamuktyan.
Mangan é nak turu é nak, kamuktèn salin-sumalin, apanjang yèn winuwusa, murkaning
wong ngolah mukti, kaping pat kang winardi, endem saking hawa napsu, napsune ngambra-
ambra, tan kena sisip sakedhik, maring rabi maring batur mring wong liyan.
Tarocoh amara tangan, durung karuwan yèn sisip, napsuné pinasang-pasang, tan
pamarta tanpa titi, titi kadurung enting, kasusu sru masra-masru, déné kang kaping lima,
endeming suka sukanting, barang suka kang angliwati saking kat.
Endem kang papat punika, sayekti karamé sami, lawan karamé kang arak, banget lali
mring Hyang Widhi, kalamun manungsa wis, kanggonan dem lilimèng ku, kagem dadya
satunggal, tan wurung anemu nisthip, aben-aben katekan bilahi dunya.
Nora nganggo ing ngakirat, ing dunya bahé pinanggih dennya sru karam makaram,
tegesing karam dèn éling, pan hiya aling-aling, kalingan tyasé kalim put, tegesé ingkang kalal,
sutèngsun haywana lali, kalal iku pan kalebu tegesira.
(11) Manjing barang kang becikan, tyasé suci nora lali, mring Hyang pan ora kalingan,
kalamun bisa nglakoni, kawulaning Hyang Widhi, sabarang karam tan ayun, sayekti
katarima, barang pandonganirèki, hay wa kadi pangucaping wong kang liwar.
Linging wong ahlul kakekat, wuwulangé gurunèki, tan ana karam subaat, kabèh-kabèh
kalal ugi, iku wong kenèng pidhir, tan wurung kenèng bebendu, wus kadhadhung ing sétan,
déné laku kang sayekti, kang ngabontos ing ngèlmu praptèng kakékat.
Sirna marang ing makripat, kang wus antuk sihing Widhi, karam maning yèn arepa,
ingkang kalal datan apti, yèn bisa anglakoni, sarta wahyuning Hyang Agung, kang mangkono
pan dadya, martabating para wali, wali kutub kang rumeksèng pramudita.
(10
Cahmbanjar 52
Sabakdaning Rasullollah, yèku kang minangkan dadi, cacagaking langit dunya, sèwu
kutub para wali, babo déné amencit, yèn atélada kang iku, pan hiya sèwu mokal, sarehning
kawula langip, amunghaywa dadi réréwangan sétan.
Lawan hay wa mangan madat, peretu iku tan becik, apa beciké wong mangan, ing
kukus tur angendemi, yèn wus nyakot sayekti, dudu wong kang mangan apyun, apyun kang
mangan janma, yèn wus dadi dlinding mati, nora nana wong nyeret umure dawa.
(12) Iku kalebu g olongan, nganiaya badanèki, dhasaré sarak cinegah, ingkang karam
endemnèki, barang kang angemdemi, cinegahing sarakipun, panjang yèn winarnaa,
nisthaning mangan cekakik, pan wus padha kalampahan kasat mata.
Nanging ana kang mamarah, kalaling apyun sakedhik, yèn kinarya ing woworan, obat
anget iku ugi, marmané iku kénging, dènnya obat anget iku, andhanganken sarira, kitab
Sarahbayan nenggih, kang ngalalken kedhik winor obat panas.
Lan malih wawaler ing wang, nak putu ywa anglakoni, ing panggawé ngabotohan,
kalebu nisthaning ngurip, dhasaring saraknèki, kinaramaken satuhu, lahiré luwih nistha,
dadya lip-alip panèki, wong durjana saking madat ngabotohan.
Waler malih hay wa ana, sagung anak putu mami, alul wuku tigang dasa, kang trus
sapadéwanèki, pan iku nora becik, ing saraké dadi kupur, sasat ngroro pangéran, yen sira arsa
udani, mring lakuning wuku dipun sawatara.
Satengah saking kacaryan, ing wuku kluwihanèki, mèh wruh sadurung winarah,
kadadiyaning babayi, ya salawasé urip, begja lan cilakanipun, ing wuku wus dèn enas, sidik
Tanana kang sisip, kang mangkono sira padha mangertiya.
(13) Haywa banjur kagawokan, pan ana pralambangnèki, wawangsalan sembunggilang, ing
Palémbang dipangga lit, singa-singa sayekti, yèn kagugu pan kadulu, aja sipara déwa, ing
wité tinitah luwih, iku maning yèn ora mikatonana.
Nadyan séla lawan wreksa, lamun sira puji-puji, pinuja mantrèng dudupa, binorèhan
wangi-wangi, sayekti mikatoni, brekating pangrasanipun, marma dèn éling sira, tarècètaning
agami, yèn sira yun uninga ing ngèlmu kasab.
Kang winenang ing agama, nanging iku kaol langip, lamun kaol ingkang ngekas,
kinaramaken sayekti, sagung ngèlmu laduni, palak palkiyah myang nujum, iku ngèlmu
pambuka, sagung ingkang gaib-gaib, saking Arab tan lyan saking Nabi Duta.
Wawaler malih kocapa, sing wong tuwa nguni-uni, yèn kuwat mamantu sira, ngangg o
gamelan tan keni, dhasar sarak sinirik, unining gamelan iku, mung sawiji kéwala, kang
winalerken ing nguni, mung mamantu aningkahken sutanira.
Cahmbanjar 53
Yèn tetakan titingkeban, hiya nora dèn waleri, gegedhèn nganggo gamelan, ya
mangkana sarèhnèki, kalumrahaning ngurip, wong dèn abdèkaken ngratu, kudu ta
kalumrahan, narajang waler sakedhik, wakilana haywa ekak saking sira.
(14) Ing unining kang gamelan, dodongaa ing Hyang Widhi, mugi ta winenangena, lan
mintaa rilanèki, luluhur nguni-uni, kang duwé wawaler iku, sira kirima donga, iku supayané
kalis, pon-ponané adoha ing pancabaya.
Let sepasar nenem dina, gamelan durunging muni, dèn mesu panedhanira, ing weng i
gon kang asepi, lamun kepareng ugi, anaha samitanipun, katingal ing sumpena, réhning
ngapes medal saking, ing supena barang tingkahing kawula.
Paé kang uwis mukminkas, tuwin pra wali pra nabi, akèh kang sinungan ayat, saking
swara kang dumeling, wa mangkono prandéning, ana kang nyertani iku, ing kang para
ambiya, wahyu ingkang saking ngimpi, Nabi Brahim lan Nabi yusuf ing kuna.
Nanging iku ta trekadhang, amunghiya anyitani, tan uwis déning supena, ing
wengkoning Jabarail, dinuta ing Hyang Widhi, wahya amaringken wahyu, lamun ing jaman
mangkya, sabakdaning Kangjeng Nabi, wus rinacut karsaning Hyang kang mangkana.
Sangsayardaning kang mangsa, mantun awas lawan éling, tan ana wahyu kang nyata,
akeh wahyuning ibelis, tan kena dèn sayuti, murka angkara tumanduk, durjana sangkin
dadra, sujana sarjana kontit, katatangi katali kasilir ring rat.
Rat karaket tan antara, papantaraning ngabecik, apan nora kukurangan, kaoling para
ngulami, myang sujana bèrbudi, para wicaksanèng laku, jro kitab pira-pira, kang marah
panggawé becik, miwah jroning srat wawacan don asmara.
ASMARADANA
Den kerep gugulang ngèlmi, gugurua pra ngulama, lawan dèn kerep tatakon, minta
warah ing sujana, sok bisa anoraga, hay wa kuminter kumingsung, nadyan silih wusa bisa.
Api-apiya tan bangkit, angarah wuruking liyan, Manawa liya muradé, kabecikan lan
kamulyan, awit saking tumitah, praptèng wasananing maut, kamulyaning sangkan paran.
Ywa pijer ngiling-ngilingi, ing kitab nora rinasa, wewaleré arang kanggo, miwah yèn
sira mamaca, ing Surti Nitipraja, Séwaka sasaminipun, wulangrèh Panitisastra.
Asthabrata Ramakawi, aja pijer tetembangan, cécéngkokan tanpa gawé, wong anom
ing jaman mangkya, aremen cécéng kokan, melang-melung eluk wolu, naglingi lalandheping
tyas.
(15)
Cahmbanjar 54
Tanna karyané sakedhik, yèn wong wolu alul cécéngkokan, anesekken pamacané,
amrih hay wa kongsi kemba, nanging aja katunan, kang winaca dèna émut, catheten ing
wardayanta.
Kuneng kaping catur warni, gantya warna kaping lima, ing busana wewaleré, miwah ta
ing pakareman, déné ta kang busana, sinjang-sinjang dena émut, haywa nganggo bathik
tambal.
(16) Tambal Sukaduka nenggih, déné tatambal Kanoman, tambal Miring sasukané, lan
hay wa anganggo sinjang, ing lurik Tuluhséla, hay wa ngangg o sira sabuk, bathik iku
winaleran.
Yen tan duwé ijo kuning, wungu dadu kekembangan, angangowa putih bahé, sinjang
wulung nora kena, yèn apes sariranta, jaran ireng hywa ngingu lamun sira nora e kas.
Yen sinung kuwat sirèki, sabuk cindhé kekelinga, amung hay wa nganggo solok,
limargedhong sakarsanta, liyaning kang larangan, sagung laranganing ratu, hay wa wani
nganggo sira.
Lawan hay wa ngangg o bathik, anggité wong jaman mangkya, anganggo Baron
Sekèndhèr, nganggo gambaring wong-wongan, yèku satengah karam, myang rerupaning
nyawèku, hiya iku padha karam.
Mangsa ta kuranga bathik, kang lunglungan kang ceplokan, gogodhongan sasaminé,
hay wa sira kumawawa, atélad ingkang ngekas, jenenging kawula iku, apes ajur bosok rusak.
Ngaral basaniyah nenggih, kang sinandhangken ing sira, lire papalanganing wong,
owah gingsiring manungsa, pan amungjenenging dat, iku kang wajibul wujud, langgeng nora
kena rusak.
Wawaler kang gedhé malih, yèn ora kelambèn sira, hay wa kalung saptangané,
tinalèkaken ing jangga, tansah ginawé salat, sampirena kéwalèku, ing pundhak sakarsanira.
Ing kanan miwah ing kéring, yèn anganggo-angg o sira, sawatara sasedhengé, bebed
myang iket-iketan, dèn nganggo masakala, hay wa saban sore ésuk, siyang ngangg o
jijingkengan.
Wong besus kapati-pati, wataké sok malaratan, suda-suda rijekiné, sarta anunungkul
ing tyas, kang mring kawicaksanan, bok rejeki gila dulu, wong jelarat mèmèrètan.
Rèhning nganom sawatawis, baréya-baréy o aja, iku bangsat penganggoné, lan dèn
nganggo masakala, lulungan pasamuwan, jingkengan sawatarèku, pepeny on apa mondholan.
Lire kapusus katawis, iku besusing sujana, kang wus mangerti barang rèh, kagunané
wus akathah, bisa nambung ambéngkas, bisa amis dadi arum, arum sangsaya angambar.
(17)
Cahmbanjar 55
Peteng dadya padhang bangkit, besusé tan tekèng manah, mung kinarya sasab bahé,
naglingi kasujananta, wus ambeking sujana, apinter ngaku balilu, saking wus ambek sagara.
Yèn ngulama para mupti, besusé manuting lapal, jayin napsaka uniné, bilmaksiyati
tegesnya, amaès-maèsana, ya ing sariranirèku, lawan panganggo maksiyat.
Amung besus aling-aling, nora tumeka ing manah, yèn dinawakna murade, lapaling
jayin napsaka, lan bilmaksiyat ika, adawa lamun winuwus, cukup lakuning ngagesang.
Marma anak putu mami, barang tingkah dèn waspada, dena mikir pakolihé, hay wa
ngawag ruwag-ruwag, besus tanpa karana, dèn abesus aja besusu, dèn pinter aja bisa.
Lire dèn abesus kaki, dèn abesus sawatara, tan kebanjur tan kelalen, mung besusé wong
resikan, anrus resiking manah, tumusing budi rahayu, kang aja besus lir sira.
Kang besus anrusing batin, lali apesing sarira, anrik marang tya lonyok, anutupi,
lawang begja, ambuka lawang tuna, ngedohken sagung rahayu, merakken sagung kiyanat.
Angedohken pangabekti, amerakken ing maksiyat, ngedohken panarimané, amerakken
ati murka, ngedohken ati sabar, merakken kerenging kalbu, lamun nora kasembadan.
Panjang winarna ing tulis, wong besusu kainanira, gumantya kang pinarnèng rèh,
pakaremaning ngagesang, tunggal warna kalmia, dèna émut anak putu, hay wa karem marang
dunya.
Liring karem dunya kaki, lali panggawé ngakirat, rina wengi ésuk sore, mung mikir
panggawé dunya, tan étung siya-siya, harda kahardan sagunung, nora étung batal karam.
Kang gumremet kang kumrincing, pas sosotya nawa retna, myang arta-arta sakèhé,
kang gumebyar kang kumenyar, iku pan amung dadya, dum-duman aran dunyèku, tegesé
amung golongan.
(19) Golongan aran dunyèki, déning kakékating dunya, hiya panggawé kanga won, adoh
panggawé ngakirat, dunya iku naraka, akirat suwarga iku, lah ing kono rasakena.
Dèn bisa merdi picis, lire bisa merdi arta, dèn weruh batal karamé, kang sarèh wetuning
arta, yèn wus dadi khakira, y wa siranggojibar-jibur, resikan haywa katara.
Ing Panitisastra angling, wong ambebeg arta kathah, lir ambebeg toya gedhé,
bendungan datan sinungan, ilèn-ilèning toya, tan kinarya dedanèku, nora nganggo jinakatan.
Kabebeg katempuh banjir, dhadhal larut alorodan, gegadhang bilahi gedhé, kang
mengkono wus sanyata, nadyan gedhé cilika, pira-pira ing kang muwus, kelakon dadya
ngibarat.
Ana ta ngibarat cilik, kéwala kang ingsun karya, pangéling-éling lakune, kaum désa ing
Cabeyan, Ki Nurngali namanya, wadat saking apesipun, tanpa bojo tanpa rowang.
(18)
Cahmbanjar 56
Wismané kebak sega king, yèn olèh brekat kondangan, jinalukan mring tanggané,
kentheng-kentheng nora suka, lampu dèn pé dèn tarang, akeket kumet kalangkung, njalukan
ora wèwèhan.
Menthel sakedhuk pan sugih, saboboting kaum désa, mung kumet tan lumrahing wong,
anuju sawiji dina, wektu subuh pan arsa, mring sendhang mèt toya wulu, pinenthung cengelé
pejah.
Ilang kandhutané dhuwit, selawé anggris kathahnya, nèng ngusus-usus sabuké, iku
nora pisah-pisah, déné kang anèng wisma, kang arupa dhuwit sampun, lan jajarik binalènan.
(20) Mring durjana wus barindhil, kang wau menthung nèng sendhang, mung kari seg a
akingé, lah iku rupané janma, ingkang karem ing arta, nora ngandel mring Hyang Agung,
ngalor-ngidul ngandhut réyal.
Pan ora anedya kardi, ngamal ing sakwasanira, ing nguripé nèng dunyané, mung
ngandelken ngibadahnya, pan wus wajibing gesang, asembahyang limang waktu, béda
ngamal kabecikan.
Tegesé pan ngamal salih, kang katur marang Hyang Suksma, liyaning pangabektiné,
gawé becik ing sesama, kang tan buru aleman, yèn amal amrih ginunggung, tan dadi
kanthining gesang.
KINANTHI
(21) Sun cendhak pitutur ingsun, ing lakuning ngamal solih, wus gumelar anèng kitab, lan
pituturing ngulami, yen durung mangerti sira, takokena kang utami.
Elingen iku pitutur, sagung anak putu mami, sanalika hay wa lupa, ing lakuning wong
ngaurip, hay wa tiba pakreman, ingkang ananarik sisip.
Ati-atinen dèn matuh, mematah karep pribadi, dèn abanget lomanira, dèn banget
kumetirèki, lire dèn abanget loma, sedyakna siyang lan ratri.
Kinuwasakna sirèku, wèwèh samining dumadi, kang tan lawan siya-siya, kang éklas
tumekèng batin, tegesé wèwèh kang éklas, sira nora duwé pamrih.
Wawales marang sirèku, lire dèn akumet kaki, hay wata buru aleman, wèwèh sak-sok
tanpa kasil, lamun sira durung kuwat, nadhahi nepsunirèki.
Liring anadhahi nepsu, lamun karep sira maksih, nyandhang becik manganénak, hay wa
umbag kumalingking, nadyanta wèwèh akathah, mangsa ta kurangan mami.
Apan ananing Hyang Agung, nora akon nunulungi, marang awaking wong liyan, lamun
awake pribadi, durung luwih durung cekap, haywa tiru Katintahyi.
Cahmbanjar 57
Katintahyi iku pan wus, tinitah janma linuwih, mèh satengah Auliya, tiningalan saking
batin, nrus abontos barang tékad, kinarilaning Hyang Widhi.
(22) Ngrasaa apes sirèku, dipun anganggo mubadir, lire mubadir angéman, kamurahaning
Hyang Widhi, kang pinaringken ing sirasira, yèn tan ngemana sirèki.
Dadya sira kurang sukur, ing nikmatira pribadi, kahananing ujubriya, sanadyan
panggawé becik, yèn tanwruh kadadiyannya, angawag kaworan éblis.
Sabrang ing tindak-tanduk, ing duduga myang prayogi, wiwitana saking madya, yèn
mantep ing tyas sirèki, ing supayané bisaa, mirip tindak kang utami.
Yèn utama lekasipun, lamun tan mantep sirèki, Manawa hiya Manawa, kepalang
kepaluh nuli, gumalundhung sira tiba, ing papa nistha pinanggih.
Yèn mantep tetep tinemu, kautamaning ngaurip, nanging iku ngarang ngagal,
gogolonganing utami, kang akèh ing jaman mangkya, gogolonganing wong nisthip.
Marma y wa nedya sirèku, ing lekas nistha kariyin, sira yèn tumindak nistha, ingkang
nora kedhah-kedhih, yèn tumiba ing utama, pinasthi papan pinanggih.
Nistha rusak temahipun, madya kembanging ngutami, utama kembanging mulya, dèn
weruh sira siji-siji, nistha madya lan utama, kèh kaliru kang mastani.
(23) Nistha ingaran madyèku, madya ingaran utami, saking kèhing kahardan, wimbuh ing
dunya nglimputi, iya sapa ingkang bisa, nadhahi rosining budi.
Kuneng malihé sirèku, hay wata karem mring èstri, yèn tan kabeneran padha, lawan
kareming hartèki, pangrusaké ing sarira, bèn-abèn leteng artèki.
Yèn abener kiyasipun, aguna sarana sakti, dadya panggeyeting swarga, arta kang
lumaku sukci, yèn wong dahat kareming dyah, tan wun geng pancabayèki.
Tansun panjangkaen pitutur, ring janma karem pawèstri, hay wana kang salah tampa,
panwus gumelar sakalir, panjang yèn dèn ucapena, begja kang bisa nglakoni.
Lan maningé anak putu, hay wana karem sirèki, ing swara miwah ing rasa, liring karem
ing swarèki, gelathik anèng jro pikat, narithik unine thik-thik.
Ana kancané angrungu, kasmaran swara dumeling, tumarancag tan wéwéka, tanwruh
kalebu piranti, déné wong kareming rasa, kadya ngganing wong mamancing.
Mina kang anèng jro kedhung, andulu mamangsanèki, tan wéwéka gya sinarap,
tanwruh yèn kenèng piranti, sinendhal tibèng dharatan, si mina tekèng bilahi.
Marma dèn awas dèn émut, pikiren ingkang prayogi, barang tingkah hay wa gita, yèn
durung uningèng gati, liring gita haywa rikat, gati temen tegesnèki.
(24) Ywa kagètan y wa kasusu, yèn durung wruh temenèki, manawa kadi si mina, patiné
kena ing pancing, durung wruh ing komandaka, mung lobané dèn turuti.
Cahmbanjar 58
Lan haywa karem sirèku, barang kalangenan adi, ing swara miwah ing rupa, kadya kang
kocap rumiyin, yèn kabanjur menèk kadya, Sastradiwangsa pangukir.
Kareming peksi brekutut, rinung okken sarwi ngukir, seger sarirané sumyah,
myarsakken s wara dumeling, mempeng memet pangukirnya, ing landheyan tunggak semi.
Ing sawiji dina nuju, brekututé nora muni, ingaban kinèn muniya, meksa meneng nora
muni, krodha sira Sastradiwangsa, sinèlèhken dènnya ngukir.
Cinandhak kurunganipun, peksi rinog oh mring jawi, sarwi sru wuwusira, sebab apa
sira peksi, teka ora adol s wara, pan ingsung ing kang ngingoni.
Peksiné dèn e lus-elus, kalimpé marucut nuli, miber nanging ora kebat, tinututan peksi
kénging, makanjar Sastradiwangsa, peksi binanting babarji.
Sarwi susumbar kumruwuk, payo sirarsa ngayoni, yaiki Sastradiwangsa, jinejegan
ingkang peksi, den iles awor lan kisma, aja mangkono wong ngurip.
(25) Lah ing ngendi ana manuk, ingkang bisa tata janmi, garejegan sinumbaran, labeté wong
kurang pikir, iku wong karem rupanya, sibabawur pilastuti.
Lan aja karem sirèku, ing turangga ora becik, lah hiya ing ngendi ana, pinenging karem
turanggi, dèn anganggo sawatara, rèhning lumrah wong angabdi.
Mung bisaa ukur-ukur, dèn guguyu haywa isin, ora bisa nunggang jaran, ing pacak nora
prayogi, ya narimaa kéwala, pira-pira dèn waoni.
Wongé karem turanggèku, rong prakara siriknèki, ngrérégoni wong ngawula, ing
sakarat ngrérégoni, béda lan Rahadèn Sura,- nagara radèn Tohpati.
Yèn ora karema luputm pan uwis pakaryanèki, tinuduh ing Sang Naréndra, pan
minangka kasabnèki, nistha lamun tan bisaa, kalebu wong tanpa kardi.
Karana ta ing tumuwuh, sengsema barang pakarti, kang minangka kasabira, sem lan
karep iku sami, yèn wong nemen nambut karya, padha lan wong angabekti.
Ya ing salat limang waktu, sabarang kasabirèki, kitab Bustam kang amarah, kayata
lamun sirèki, tinitah lumakyèng karya, sengsema gonira ngabdi.
Ywa sira watak malincur, dadya duraka ping kalih, dhingin marang gustinira, mring
kancanira ping kalih, apata beciké uga, wong balithuk maring gusti.
(26) Gusti pan kalipah tuhu, sasat balithuk Hyang Widhi, lan balithuk para kanca, wuwuh
durakanirèki, kang utama potangena, taberi gawe mamanis.
Cahmbanjar 59
DHANDHANGGULA
Haywa karem asabèng wanadri, hay wa kerm asabèng samodra, kali-kali sasaminé, akèh
bencananipun, pira-pira ngadat kang uwis, wong karem las-alasan, ing wasananipun, asring
amanggih tan harja, myang ing kali-kali akathah tan becik, dèn émut haywa lupa.
Lawan hay wa karem ing kasektin, ngèlmu kanuragan kadigdayan, kateguhan sasaminé,
tan anguwisi iku, ngèlmu lahir kakèhan kibir, yèn katèrè cèt dadya, singkir ngèlmu iku, dudu
mangunah keramt, lawan dudu mukjijat marma tan apti, kang wus utamèng cipta.
Kandel kumandel marang Hyang Widhi, teteg teguh ing tyas tan anedya, kira-kira
sasmitané, mung anedya rahayu, kira-kira hay wana prapti, ajagang pasrah ing Hyang,
baluwartinipun, kumandel marang Hyang Suksma, ineb-inebing pintuy kuthanirèki, tetep
madhep ing Suksma.
Wismanira jro pintu kuthèki, yèku panunggalira Hyang Suksma, kang minangka
bojonané, tatandhon jro kuthèku, pan panembahira Hyang Widhi, yékang minang ka obat,
mimis jro kuthèku, tanawut napinakirah, yèn wus mantep tetep adhep tanpa kelir, kenepung
kuthanira.
(27) Dèn selamet kang angepung sami, sanjatané sinipatan rahman, pun sipat rakim mimisé,
tiba pating talebuk, kamurahanira Hyang Widhi, lan sihira Hyang Suksma, metabar rahayu,
rahayu ngayuh kamulyan, tan maluya-laya tetep kita linggih mungsuhing balébaka.
Bakal bakuh akukuh tan kongkih, kahanané ing kana kinenan, kaonang-ngonang
kanang rèh, sarèh sarékaning hyun, ing ngagnyana manda sinandi, sining wong sadu dibya,
kanthi sabar maklum, mula-mula tan tinilar, tataleré tinatal tulèning budi, dumadi tan
sangsara.
Karana pambancananing ngéblis, jroning kitab Ki Sangsulambiya, pinencar anak
putuné, ngriridhu ambabawur, tan ngoberi manungsa urip, duk lahir maring dunya, binéka
binédhung, pamrihé sang belis laknat, akarana ring babayi aja kongsi, nadyan kongsiya tuwa.
Belasara manut ing ibelis, wurunga kuda belo sadaya, jro kitab Insankamilé, kocap
pakartinipun, dadya sangang dasa bab nenggih, lawan punjul sasanga, sang ibelis wau, pan
satus kirang satunggal, pangsawané angg odha ngrecana janmi, mrih katarik mring sasar.
(28) Dèn prayitna lawan dèna éling, barang panggawé barang pangucap, miwah barang
sakarepé, sétan amor ing ngriku, nora kena lamun winilis, pam bencananing sétan, nenggih
pencaripun, angèbeki sabuwana, nadyan namaning Hyang Suksma ingkang adi, tiniru karya
kala.
Cahmbanjar 60
Marma kadya apa wong ngaurip, yèn kenaa lali jroning cipta, ya ing sanalika bahé,
saking panumbasipun, sumarambah amaratani, pakartinirèng sétan, kang tugur mor nepsu,
angen-angen ingkang harda. Loba murka maring sahwat maring bukti, maring papaès dunya.
Panjawiling sétan kang mrih olih, yèn tinuruta olih sangsara, kaserakat ing temahé,
kasengsem kapiayun, mérang yèn mundura ing kapti, dadya kèrem wong ika, ing
wawatakipun, mring pepeteng sabangsanya, nétra wuta karnanira dadya tuli, tanwun tibèng
naraka.
Nahan warna kaping nem winarni, lamun sira mrih apa wong sanak, akakancan
sasaminé, pikiren jroning kalbu, umpamané sira ningali, panganan lan minuman, sira pan
kapéncut, pikiren jroning wardaya, hiya déné karo iku manpangati, marang sariranira.
Lan tan ana wong kang nedya sakit, pan mangkono ing apa wong sanak, ing kakancan
pamilihé, upama sira watuk, sru kapéngin marang lelegi, nginum kélang katekan, sakareping
napsu, luamah maring sangsara, ora wurung dadi mengi mengkrik-mengkrik, tuna tan olih
karya.
(29) Ana satengahing manungsèki, olih bilahi saking kakancan, myang saking pawong
sanaké, iku sira dèn émut, singgahana saking bilahi, aja apa wong sanak, lan wong tan rahayu,
tanwun katularan sira, upamané wong lara weteng kapéngin, rujak kecut pinangan.
Hiya nora wurung andilinding, bilahèni mring sariranira, nora ana mupangaté, lawan
hay wa sirèku, pawong mitra wong tanpa budi, ya wong bodho tyas mudha, tanwun
anunungkul, katularan bodho sira, pan wong bodho durung wruh ing ala becik, ing wawadi
tan wikan.
Lawan hay wa pawong sanak malih, lan wong ingkang tan bisa ing sastra, wong kang
mangkana wateké, karepé sok amberung, pangrasané bener sayrkti, kuranging pamicara,
nadyan dhawul-dhawul, jalebut sok tumindaka, ngiris- iris nyebit ing ngatata-titi, tangèh
manggih raharja.
Lawan hay wa pawong sanak kaki, lan wong pasèk pan wong pasèk ika, nora wedi ing
siksané, ing Hyang kang maha Agung, murang sarak ang orak-arik, atékad calawenthah,
lawan hay wa ayun, lan wong drengki pawong sanak, sring karyala ing sasami tyasé jahil, dèn
wruh sirèng tengeran.
(30) Karana wong mukmin iku kaki, hiya padha mukmin papaèsan dènya ngapèk
panengrané, ala becik tinemu, ing pracara dulunen dhingin, ping ro semu winawas, kaping
tiganipun, katandha ing tapsilanya, kaping paté ing tatakrama pinanggih, ping lima ing
pirembag.
Cahmbanjar 61
Yèku pancawada nora gingsir, wong kang dhustha lan wong kamandaka, sujana myang
bèrbudiné, akathat warnanipun, tyasing janma sawiji- wiji, ana kadya reksasa, murka ambeg
rusuh, ana kang ambek dipangga, kathat yèn winarna èmperé kang janmi waspadakna
priyangga.
Apawong sanak sira ta kaki, lan wong kang bèrbudi wicaksana, wruh ing ajar lan ijiré,
sarunging para putus, kulanana mintaa dhisik, nadyan sira wutahna, wawadinirèku, sayekti
bisa rumeksaa, lamun ana catur kang sikara budi, marang ing sariranta.
Bisa mangartekken marang becik, ing ngagesang akathah wicara, kang dadya salang
surupé, hiya ingkang andulu, ingkang dudu ngaranan yekti, yèn kang wus wicaksana, wruh
mring hiya dudu, sumimpang ing dora cara, yèn apawong mitra nedya males becik binecikan.
(31) Lamun sira nuju darbé becik, gedhé maklumé wong wicaksanan, lumayèng
pangapurané, parah-parah yèn muwus, pamawasé waskitheng titi, titika tan tinilar, nalirah
rinuruh, ruruh amembing wicara. Locananya liyep tan angas ingaksi, ngaksama para marta.
Lawan apawonga mitra kaki, sujanma kang gedhé ngamalira, hiya ingkang ngamal
solèh, kang anamuring laku, kalakuwan kang marang becik, yaiku janma ingkang, tan umbag
tan sengung, yèn tutulung tan katara, mring kiyané aniyat sadhekah pikir, tumamèng
kautaman.
Yèn apawong sanak sira kaki, akakancan lan manungsa kathat, kulanana sasedhengé,
dèn prayitna ing kéwuh, hay wa dumèh ngagungken sami, anggunggung marang sira,
ngalembanèng wuwus, akèh tan tumekèng manah, yèn wus antuk pitutur ingkang sayekti,
ing mangkya manawana.
Karubédanira ing ngaurip, nora pisan silih tutulunga, malah muwuhi ribedé, agawé aru
biru, karya tandha dénnya mrih kodhil, pawong mitra satengah, temah dadya satru, nanging
yèn mangkono ana, sira myarsa aja niyat males kaki, srahna maring Hyang Suksma.
Muga binalèkna marang becik, lawan hay wa nguneg-uneg sira, hay wa ng owahi tatané,
panitraniréng dangu, dèn ateguh sira ing galih, hay wa sira nanacad, ya dupèh wong ngiku,
kang ngalani marang sira, yèn wadining wong liya kang angalani, sira pasrahna ing Hyang.
(32) Tinutupan wawadinirèki, dèn amantep sira among mitra, akakancan sasaminé,
kawulaning Hyang Agung, yèn sira tan bisa sumingkir, tan amor ing ngakathah, ing kono
sirèku, bibisiking pancabaya, ning wong kathah marma dèn abisa kaki, amomot mengku
misah.
Cahmbanjar 62
MEGATRUH
Nahan warna kaping sapta kang winuwus, kalamun sira abukti, pribadi nèng
wismanipun, nganggoa lakuning ngèlmi, manut Jeng Rasul kinaot.
Pendhak tengah ari yèn dhahar Jeng Rasul, pan ing sadina sawengi, mung sapisan
dhaharipun, sarwi jegang yèn abukti, tumungkul tan amiraos.
Duk amuluk ing sekul sarwi anebut, ing asmanira Hyang Widhi, bismilah salajengipun,
mawi dungan pan utami, lajeng dhaharé ing kono.
Yèn wus dhahar tumenga lajeng anginum, tigang cegukan tan luwih, kang sacegukan
anebut alkhamdulillah hirabil, ngalamin sukur ing Mnon.
Ingkang kalih cegukan dènira nebut, subekkannallah ping kalih, maha sucekken Hyang
Agung, déné yen sira abukti, lan tatamu sabarang wong.
Anganggoa yudanagara mrih patut, asilaa ingkang becik, dèn mepes sarwi tumungkul,
hay wata saduwa kaki, lawan haywa amiraos.
(33) Mung nyarakna pasuguhira mring tamu, wusing mengkono sirèki, hiya haywa muwus-
muwus, mung yèn tamunira angling, ngajaka selang wiraos.
Tandukana prihen sukané ing kalbu, akèha denira bukti, dèn sumeh netyanireku, sira
hay wa uwis dhingin, angèrènana ing kono.
Wus lakuné sanadyan sira wus tuwuk, iriden denira bukti, nagntènana ing tatamu,
tuwin lamun sira bukti, lan janma kèh hya mengkono.
Saenggoné miwah sira yèn martamu, pan hiya mengkono ugi, hay wa sembrana ing
kalbu, momoy ok sajroning galih, sega iwak kurang kaot.
Den asengkud kurmat paringan Hyang Agung, yèn sira nanacad batin, tan apik segané
wuluh, myang iwaké nora becik, kasiku sirèng Hyang Manon.
Dèna émut duk Nabi Musa ngalurug, kaluwèn umaté, sami, nèng ara-ara duk bingung,
andodonga Kangjeng Nabi, minta sihira Hyang Manon.
Pinaringan saking ngawiyat tumurun, umaté wus dèn janjèni, yèn pinaringan sirèku,
hay wana nacad sirèki, sagah sandika sakèh wong.
Nulya samya nadhah ngrasa nikmatipun, sawenèh ana kang angling, mung sawiji
cacadipun, pepak wak-iwakanèki, mung lalaban tan sumaos.
(34) Durung tutug pamangané gya sumemprung, rarampadan wangsul malih, mring
ngawiyat tan kadulu, yèku labaning wong pinging, sembrana nora rumaos.
Bok rejeki mutung nora bisa nusul, marma éling dèn pakéling, lamun abukti sirèku,
anèng wisma dèn ladèni, mring rabinira dèn alon.
Cahmbanjar 63
Haywa grusa-grusu amuluking sekul, yèn tan kabeneran nenggih, barang kang dèn olah
iku, kurang gurih kurang asin, teka panganen kémawon.
Meng ko yèn wus g onira bukti wus tuwuk, calathuwa dèn aririh, jangan iku kurang
anu, miwah wak-iwanèki, apa kurangé ing kono.
Bésuk manèh doyanaku iwak anu, sapisan kéwala uwis, kanggowa ing sajegipun, yèn
tan kabeneran malih, teka menenga kèmawon.
Nora becik wong mangan kamoran nepsu, dhingini pan aranèki, mungguh ing Hyang
Maha Agung, pingro suda wahnanèki, ping tri rijekiné kalong.
Haywa anggagampang ing bukti tan arus, nora ta lamun pinikir, wong amangan apan
iku, nora kena kedhah-kedhih, iku ta aja mangkono.
Wonga mangan uger-uger dadi baku, yekti panancanging urip, nanging dèn
sawetarèku, hiya hay wa anjurungi, ing nepsu luamah kang wong.
Yèn anjurungana ing luamah nepsu, tanwun gelis angemasi, janma mati murka iku,
sabarang-barang binukti, wataké nepsu katongton.
Amangana kéwala tatamba lesu, yèn banget lesunirèki, ngedhihken ihtiyaripun, nora
rosa angabekti, kedhik ngamalé ponang wong.
Yèku madya sakedhik sedya ing kalbu, tapa salamining ngurip, akathah paédahipun,
gampang ken saliring kapti, amadhangken tyas sumrowong.
Haywa watak sasarapan és uk-ésuk, yèku memetengi ati, baliyur pikolehipun, tan apik
sabarang pikir, ngaloproh aréyah-réyoh.
Yèn akenceng kudu druweng gathak-gathuk, yèn kendho muntir-malintir, tan kenang
kinarya baku, wateké wong wareg bukti, kudu turu anggeloso.
Barang karya yèn dèn lalantèh amatuh, yèn wong angubungi bukti, sinuda landheping
kalbu, pan kethul kang amareki, mung bangsa badan kang condhong.
Pondhong pikul rosa kuwat garu mluku, lamun sutaning priyayi, priyayi
sawanganipun, kudu nganggo bagsa ati, pikiré ingkang mirantos.
Yèn nganggowa pikiring pikul jalebut, lapak kuwaregen bukti, pan dudu bubuhanipun,
bangsa ati wruh ing pikir, bubuhanira wong anom.
SINOM
(36) Tunggal warna kaping sapta, anyatakkaken ag uling, élinga lan kawruhana, iang sadina
lan sawengi, patlikur sangat nenggih, mangka turuwa sirèku, sawengi lan sadina, sapratelon
sangat nenggih, dadya wolu sangat sawengi sadina.
(35)
Cahmbanjar 64
Semono yèn sira kuwat, ageng pahalanirèki, dadya kalebu wong ngekas, nora
kekathahen guling, jro kitab Insankamil, mungguh ing Hyang Maha Agung, saben ratri
tumedhak, lenggah mring langit dunyèki, saprateloning wengi kang ngakir ika.
Haywa sira salah tampa, ing kitab ammaoni, lah ta endi ana Allah, maujud ngenggon
sawiji, muradé iku kaki, hiya kang langit donyèku, ana ing sariranta, gambaring kang
buwanèki, datting suksma sumrambah mimbuhi ingrat.
Yèn nuju sapratigannya, ing wengi-wengi kang ngakir, satengah ro pukul tiga, iku
wengi ingkang ngakir, yèn bisa sira kaki, tangiya ing wektu iku, nenedhaa Pangéran,
pangapuraning Hyang Widhi, ing sakèhing dosanira anèng dunya.
Myang wektuning salat kajat, pan hiya ing lingsir wengi, wengining malem Jemuwah,
prapta wengining kang ngakir, barang kajatirèki, yèn nemen yekti tinemu, yèn sukci raganira,
katri matobatirèki, hiya Allah tangala kang sipat rahmat.
(37) Yèn turu ing wengi sira, wektu subuh sira nuli, tangiya asusuciya, hay wakabanjur yè n
guling, srengéngé wusa inggil, maksih ngénak-énak turu, belubuh namanira, ngrandhataken
barang kapti, ngadohaken rahmat ngrupakaken nalar.
Lamun turu ing rahina, sauwisé tengah ari, ing wektu ngasar tangiya, karana wong
aguling, lamun kasorèn kongsi, jam pat jam lima nem iku, yèn tangi tyasé growah, sapratelon
sudanèki, murin-muring lir wong nginglung kanganglangan.
Aprasaksat wong kélangan, ngedohken nalar kang becik, nyepakken nalar kang ngala,
bawur sabarang pakarti, nyuda rahmating Widhi, dhanganing sabarang kayun, kalebu wong
wéwéka, kajabané sirakaki, kala-kala yèn nuju abanget sayah.
Yèn abanget arip sira, tengadur narajang kedhik, rumeksa lungkrahing badan, yèn tan
mangkana tan becik, lan yèn néndra ing wengi, yèn mengalor ujuripun, miringa ngulon sira,
madheping kéblat sayekti, kadya ujuring wong mati nèng kaluwat.
Karan ta wong anéndra, pan iku sanaking mati, manawa hiya manawa, ana karsaning
Hyang Widhi, mundhut ajalirèki, dèn apasrah ing Hyang Agung, hay wa ta salah tampa, sapa
betah turu miring, mandhep kéblat tan nganggo alih-alihan.
(38) Tan mangkono ing pratingkah, mung angkatira aguling, miring madhep ing kéblat, yèn
uwis suwé aguling, sapa wruh wong aguling, panwus sasat janma lampus, yèn mangalor
ujurnya, watak mintir kang rijeki, yèn mangetan watak medhotaken rahmat.
Ilang sihing pawong sanak, yèn mangidul ulonèki, dumadak rupak atinya, yèn
mangulon ulonèki, wataké iku kaki, pan apanjang umuripun, lan hay wa amrih sira, hiya
kapénaking guling, sabilana tyas kang ngarda maring nendra.
Cahmbanjar 65
Wataking wong cegah néndra, kasinungan lepas budi, wataking wong cegah saga,
teguh pikantukirèki, wataking cegah warih, tawa ing wisa wong iku, yèku yèn sira sedya,
mangkono pahalanèki, pan wong tapa tinemu sabarang sedya.
Wong gunalan wong digdaya, miwah wong dadi priyayi, padha awit saking tapa,
barang pakarti kang luwih, saking tapa ingkang wit, kang sarta lan begjanipun, nadyan silih
gunaa, sugiha dadi priyayi, yèn tan saking tapa pangluluning sétan.
Gunaa gunaning sétan, muktiya muktining éblis, sektiya sektining setan, watak sekti
saking ngéblis, sakedhap angébati, tan lawas nuli ngalumpruk, jinem paringing cipta,
ciptaning wong kang wus sidik, déné mukti kamuktèn kan saking setan.
(39) Gawokkaken sanalika, nutug ken kamuktèn adi, tan lawas annuli rusak, pothar-pathir
nguwir-uwir, yèn sujana bèrbudi, ingkang mangkono tan ayun, pandhak sadaya-daya, dadi
guguyoning pitik, tanggung-tanguung angur anggebyur samodra.
Ywa kaya Setropramukya, nguni duk dadi bupati, tumenggung ing Ngèksiganda, mung
rong tahun mocot nuli, tan kabdèkaken malih, ing jengira Sanga Prabu, mubeng- mubeng
karyanya, saba wismaning priyayi, jajaruman golèk warta adol warta.
Tanwruh lamun dadi sétan, ingkang mangkono pakarti, yèn budiya kasujanan, ingkang
mangkono tan apti, yèn tan kabdèkken malih, myang tan katengeran iku, ing lire katengeran,
maksih kaparingan bukti, lamun ora mangkono yekti ngibadah,
Ana ing wisma kéwala, anatepi pangabekti, madhep ing Hyang kang misésa, sukur
anarimeng Widhi, tan bisa mangan ya wis, mati tan buti gih s ampun, trusna ing takdirollah,
hay wa nistha ing ngaurip, ing lahiré tan ngucemaken nagara.
Déné wau wong ngaguna, aguna saka ing ngéblis, sabarang kang kapinteran, hiya
lamun saking éblis, dhemen ngungkul-ungkuli, parabantah parapadu, padudon rebut basa,
ngegungken kawignyanèki mrih tinuta tekabur buru alemen.
(40) Bandhané mung patang uwang, anyulap nganyang sembagi, kang arega limang réyal,
sinungken panganyangnéki, dhuwit dèn semayani, praptanèng don ora éntuk, ngupaya
limang réyal mubeng kalamun tinagih, lami-lami kawadaka yèn wong ala.
Mangkono ingkang ngupaya, kapinteran saking éblis, pagrasané wus utama, olih
wahyuning Hyang Widhi, tanwruh wahyuning éblis, nora taberiguguru, tatakon ing sujana,
tatakon angrasa isin, kumandeling sétan kurang anoraga.
Tunggal warna kaping sapta, anyatakken yèn lumaris, yèn lumaku saking wisma, aja
tanpa seja kaki, karepé maring ngendi, ing kono pelengen kalbu, lamun wiwit lumampah,
amacaa bismillahi, yèn tan ngucap haywa lali batinira.
Cahmbanjar 66
Dèn kapara tumungkula, hiya kalamun lumaris, reksanenta nétranira, hiya aja niningali,
lan aja nolah-nolih, lamun sira andudulu, mandhega lakunira, wong lumaku nolah-nolih,
niningali ajur tyasé ting sarempal.
Lan y wa ngangen-angen sira, ing pikir kang ora becik, ing sajroning lakunira, muhung
pasraha ing Widhi, yèn lali ing lumaris, apesé sira kasandhung, lamun ora mangkana,
lakunira tan pakolih, praptèng paran tan kacukup sedyanira.
(41) Lamun sira anèng wisma, hay wa ngadeg tengah kori, sarwi agandhulan lawang, iku
siriken tan becik, alané maratani, mring tatangga rong panyeluk, watek kerep kélangan, lan
hay wa amalangkerik, anèng tengah lawang ngadohaken begja.
Yèn alungguh anèng wisma, hay wa sangga uwang kaki, tan becik watak sedhihan,
lawan hay wa èdhèg sikil, tuman iku tan becik, ngilangken jatmikèng kalbu, wong ngilangken
jatmika, nyuda adheping Hyang Widhi, wong anyuda andhepé maring Pangéran.
Sinuda kanyuwanannya, wong nyuda yuwananèki, siya-siya maring badan, kabudayan
datan dadi, kabèh iku dèn éling, wawaler kang ora patut amatuh kapitayan, manungsa akerep
lali, léléwané kalawun-lawun kaluwak.
POCUNG
Gantya wau, wuwusen warna ping wolu, dèn akurmat sira, mring tatamu ingkang
prapti, ingkang aran tatamu dipun waspada.
Anak putu, kanca miwah tatanggamu, iku pan satengah, hiya tamu dudu trami, ora
ewuh kurmatira pan wus ngadat.
Susuguhmu, yèn ana suguhen iku, lamun ora ana, aja ngenakaken kaki, mung dèn becik
kurmat lan pitembungira.
Haywa as ung, sungkawa tyasing tatamu, nanging iya hay wa, kadurus ambek sudarmi,
mring tatamu wataranen sariranta.
(42) Ywa katungkul, kurmat beciking tatamu, myang ing pawong mitra, yèn sira lumakyèng
kardi, ngrérég oni pakaryaning suwita.
Akèh tamu, pawong mitra kang tan maklum, mung karepé dhawak, katekan amrih
pakolih, sayahing wong suwita nora dèn étang.
Marma dipun, bisa amatarèng kayun, tinemon lan ora, apa pantes durakani, ana pantes
tan duraka yèn tinulak.
Nanging lamun, ana asaling tatamu, saking katebihan, mancapat lan liyan nagri, yèku
perlokena lawan kurmatana.
Cahmbanjar 67
Sungga tamu, y wa kurang mring tamu iku, yèn tan darbé, utang selanga tumuli, nadyan
gadhèkaké wedhung lakonana.
Ingkang iku, pan wus ngadat wus kalaku, sagunging wong Jawa kang micara pra
priyayi, nanging kemba lamun ora winuwusa.
Supayémut, kinarya pangémut-émut, wataké wong mudha, sugih lali tuna budi,
andaléya sungkanan sok ngarah apa.
Basa iku hiya ana kalnipun, pantes lawan ora, yèn nuju pantes mangsèki, ngarah apa iku
perlu yèn kanggowa.
Buru cukup, wong ahli nasnasing kalbu, yèn tan ngangg o ngenas, kaloréyan barang
kardi, dèn antèni wong kaluwèn nora kena.
(43) Tegesipun, basa ngarah apa iku, pan atinggal sunat, perlu, kéwala ginati, amrih gita
gagat paguting pratingkah.
Yèn anuju, wong gedhé kang maratamu, angungkuli sira, dèn becik kurmatirèki,
pamapagmu kiranen lawan duduga.
Yèn wus lungguh, lungguhira dèn anekung, tangan ngapurancang, tembungira dèn
aririh, dèn angarah-arah hay wa sumambrana.
Konduripun, ngaterna kadya duk rawuh, ing pamapagira, lamun tamuwun sirèki, pra
ngulama myang janma kang luwih tuwa.
Tuwa kang wus, wicaksana ambek sadu, gungena ing kurmat, kaya kang wus kocap
dhingin, yèn tamuwan wong tuwa kang tan micara.
Hiya among, tuwa-tuwa umuripun, wataranen uga, kurmatira dèn nastiti, hay wa sira
padha lan para sujana.
Tuwa iku, rong prakara hywa limut, ana tuwa ingkang, tuwa majaji : makiki, tuwa
majat mung tuwa umur kéwala.
Tuwa ngumur, kakikiné anom tuhu, sanadyan anoma, yèn ngulama myang bèrbudi,
myang sujana kakikiné iku tuwa.
Yen tatamu, sanak pekir kang jajaluk, énakana ing tyas, nuli wèhana tumuli, yèn tan
duwé dèn amanis tembungira.
Lilanipun, jaluken dèn tekèng kalbu, pan samayana, lamun duwé bésuk maning, ing
samangsa-mangsane konen baliya.
(44) Dadinipun, tan megatken rahmatipun, rahmating Hyang Suksma, yèn rumangsaa sirèki,
darbèkira pribadi dadi wong angas.
Lan tekabur, satemah sira kasiku, siku kabatinan, hiya dudu siku lahir, padha uga lahir
lawan kebatinan.
Cahmbanjar 68
Yèn sirèku, tamuwan kongkonanipun, sanak pawong sanak, myang kanca miwah
priyayi, myang wong gedhé-gedhé myang para bandara.
Dèna émut, ing caraka urmatipun, dutèku pan padh, lan kang anduta upami, duga-dug a
gedhé ciliking caraka.
Dèn atanduk, anggepen sajroning kalbu, padha lan kang duta, lire mangkana ta kaki,
dèn angati-ati dènira angucap.
Kang saèstu, lir ngucap lawan kang ngutus, manawa ing mangkya, aturé lan kang
anuding, kukurangan miwah gèsèhing wicara.
Selang surup, marma dèn awas dèn émut, ing wewekasira, sorana ing wuwus kwdhik,
dimèn tyasé resep ing wewekaisra.
Dèn angugung, mring caraka hay wa nepsu, sanadyan dinuta, mring sira kang tan
prayogi, duta darma nora milu paran-paran.
Yèn arengu, sira marangcarakèku, bok wawadul marang, kang angutus akèh kedhik,
karya rengat amecahken pawong mitra.
(45) Haywa umung, amemekas mring dutèku, manawa akathah, pangrunguné selang titih,
kanan kéring yèn angucap kawruhana.
Haywa puguh, sok anggagampang ing wuwus, dèn waskithèng tingkah, dèn agemi ing
wawadi, marang duta haywa kongsi kawadaka.
Manawèku, duta kurang budinipun, lan wong watak dora, amuwuhi ing weweling,
salin sambut tan bisa karya sarkara.
DHANDHANGGULA
Nahan kaping astha kang gumanti, warna kaping sanga kang pangucap, hay wa sok
metuwa bahé, myang metuning kang rembug, ririmbagan sabarang pikir, kang dhingin
singgahana, pangucap takabur, ujubriya lan sumungah, padha bahé ana lawananirèki, lawan
ngucap priyangga.
Liring kibir gumedhé ing dhiri, pangrasané ngungkuli ngakathah, sarwa kadug a
barangrèh, sumugih gumunénu, sapa sira lan sapa mami, edak ledak kumethak, kethaha
mring sanggup, gedhèkaken kawibawan, salin-salin sumalin tingkahing mukti, mrih rowa
abirawa.
Liring liya lumaku tinuting, dèn alema samining tumitah, ing sabarang pratingkahé,
datan simpen asamun, medhèng-medhèng, datan simpen asamun, medhèng-medhèng mrih
dèn tingali, ingkang tumingal samya, ngalema ing kalbu, ingkang ngujub tegesira, pan malaku
ginawokan barang kardi, tingkah rèh kalewihan.
Cahmbanjar 69
(46) Ingkang sumungah tegesé singgih, lumaku rinunguwa ing liyan, ing sabarang
pratingkahé, mrih entar ngantarèku, maluyaa swara dumeling, myang kang swara ing polah,
wipala pinulung, mring papasang karya semang, samangsané atiba tebané tebih, tambaha
kasubingngrat.
Wong kang asring-asring ngucap kibir, ujubriya sumungah adhangah, lah hiya apa
japané tan nemua bebendu, renguning Hyang Kang Maha Sukci, yèn kabanjur kadawan,
ambabar tekabur, ora tinututan tobat, ing Hyang Suksma supayané iku olih, ngapura
sawatara.
Haywa mangkana sira ngauarip, ngarep arepa rèh kautaman, katamana waluyané,
lumayana ring ayu, ngayumana yumanéng janmi, janma pan sama-sama, sumimpanga mrih
dur, durnimingta durtaningrat, durlaksana anir leksangatèng ngaksi, ngaksama semuning
ngrat.
Kaping kalih hay wa sira angling, luwih ing katawengis sru angas, yèn tan lawan
prayogané, pangucap wengis iku, ngumbar nepsu kaworan éblis, ping tri sira reksaa, ing
lésanireku, saking pangucap druaka, endi lire pangucap kang durakani, ngrasani alaning
liyan.
(47) Alané dhewé nora udani, wong kang ngrasani alaning sasama, pan ginéndhongan
dosané, apa paédahipun, géndhong dosanira pribadi, embuh kelar embuh ora, dadak jaluk
imbuh, kaping pat sira reksaa, lésanira angucap dora sakalir, tuman bok dadi watak.
Watak dora memetengi ati, nora kena sira andelena, doranira pakolihé, wong peteng
atinipun, upama jro wismanirèki, peteng kapatèng diyan, apa becikipun, sabarang kang sira
alap, jroning wisma kagagap pan nora odhil, dhadhal rijekinira.
Mesat darajatira sumingkir, ana kèri amung kèkrèwèkan, drajating wong céréméndhé,
dudu derajat luhung, ing lahir wus dèn orak-arik, dumadya calawenthah, sring mothah
anguthuh, angathahaken paékan, angangkani ora ana pinangkaning, kaonang nir apraya.
Kaping lima reksanen ta kaki, lésanira saking ing pangucapan, ananacad ing liyané,
amamaoni wuwus, tan wa-uwas pitayèng ngati, wong maoni nanacad, yèn ta durung putus,
tatas sandining wihastha, haywa agè ananacad mamaoni, tanwun sira sinungan.
Ing pamelèh dènira Hyang Widhi, kaping nemé reksananen lésanta, angucap kang
tanpa gawé, geguyon amimisuh, acarita kang tanpa asil, kang adoh lan ngibarat, muwus
tanpa usul, émanen kagunanira, ing pangucap yèn mungguh wong ahli ngèlmi, angedohken
panembah.
Cahmbanjar 70
(48) Yèn wong ahlul alumakyèng kardi, tuna luhung micarèng pakaryan, supaya na paédahé,
ping pitu hayma muwus, reksanenta lésanirèki, pangucap sesembranan, wong sembranèng
wuwus, ngilangaken kajatmikan, lan angrusak ing tapa bratanirèki, yèn ilang jatmikanya.
Suda ajinira ing ngaurip, lamun rusak tapabratanira, cinupet barang sedyané, yèn
cinupet wong iku, ing sabarang sedyanirèki, tiningggal mring ki begja, ki cilaka maju,
mrepeki ing sariranta, dadya nora kena ing pépéka kaki, wéya léna tan kena.
Ki cilaka ing rahina wengi, anuguri ing sariranira, hiya pira betahané, manungsèku
satuhu, goning lali léna tan titi, yèn wis kalimpé sira, ki cilaka nempuh, rumasuk ing
sariranta, nora kuwat sariranta anyabili, ing kono pirabara.
Anemua basukining urip, marma kaki hay wa sumambrana, ngaurip akèh ewuhé,
gumantya ing pirembug, wetuningling dènira gusthi, yèn sira rerembugan, lan sanak sadulur,
endi kang kaprenah tuwa, hiya aja sira wani andhingini, wetuning pikirira.
Sumanggakna segalaning pikir, mangkya yèn wus kang tuwa kèwuhan, anuduh marang
kang anèm, kinon samya arembug, lah pikiren ingkang prayogi, yèn katemu tyasira, hay wa
sira pugut, amantesi pikirira, iku malih sumanggakna dèn aririh, mring kadangira tuwa.
Yèn wus sarèh endi kang kang pinilih, ngèstokena mangayu bagyaa, yèn wus patitis
beneré, sèndhekna ing Hyang Agung, tumindhaké mau kang pikir, hay wa ta kaberangas,
angas mamor nepsu, ing kono pan pembègalan, angas nepsu tinuntunan marang éblis,
murungken kabecikan.
Becik iku nugrahaning widhi, wus kayané nepsu lawan sétan, murung ken kabecikané,
kalangkung déning lembut, pengarahé risang iblis, mulet ing nepsu nira, ing upamanipun, ana
pikir wus prayoga, bener bening tan atilar dalil, kadis, ijemak lawan kiyas.
Trus tatané ing yuda nagari, suprandéné wurung tan kalakyan, hiya iku pembegalé, tyas
kérut temah lemut, angubungi nepsu tan yukti, marma sabarang tindak, yèn uwis panuju, dèn
énggal laksanakena, yèn wus lumaksana haywa sira gipih, ing kono sabarena.
Dadya bening sira angèngèhi, mau pasrahira ing Hyang Suksma, kang supaya ing dadiné
dadiya iribipun, golongané kang wahyu jati, wahyu kapikawuntat, yèn uwis ketemu,
tumindhak lan kadadiyan, pikirira wus nikmat sira lakoni, kono sira tobatta.
(50) Ing Hyang Suksma lan sukura malih, détanandhang ing nikmat manpangat, pan
mangkoné pratikelé, yèku g onira nutup, lawang kutha katur ing widhi, widagdèng
padandanan, jro kutha barukut, lawan malih lamun sira, birembugan lan wong liya kang
ngungkuli, marang ing jenengira.
(49)
Cahmbanjar 71
Ing tuwané myang lungguhirèki, dèn prayitna sira kawruhana, pikir liyanta wetuné,
apa ta hiya iku, saking nepsu myang saking éblis, apa ta saking kawa, apa wetunipun, hiya
saking Nabi Adam, apa metu saking malékat kang pikir, wawasen dèn waskitha.
Lamun saking nepsu saking éblis, saking kawa iku padha ala, angel dadiya beciké,
hay wa ta sira anut, pikiring lyan kang ala katri, béda kalawang kadang, tuwa sugih maklum,
pantes lamun linabuhan, pan wong liya yèn kapengkok dadi mukir, tan makam ing kaharjan.
Béda kang wus sampurna ing budi, wicaksana apara martèngrat, sanadyan silih
neptuné, saking ala tetelu, kawa nepsu kalawan éblis, bisa dadeken harja, beciké tinemu,
nanging ta kang boya-boya, j aman mangkya arang kang mangkana kaki, marma mémut y wa
lupa.
(51) Lamun saking Adam lawan saking, malaékat wetunè kang rembag, karo pan padha
beciké, anuta sirèng rembug, mau ing lyan dipun nastiti, wetokna pikirira, kang bener
panuju, dèn prapta sampékandaya, prajangjian habipraya sabayanting, temahing sama-sama.
Miwah lamun pikiran sirèki, pakumpulan lan j anma akathah, ywa andhingini wuwusé,
antinen ta sawegung, siji-siji wetuning pikir, hay wa mancah medhot wikalpa, hay wa
ngendhak wuwus, hay wa mancah pintering lyan, wong pikiran ala becik, yekti mijil, bener
luput gumelar.
Kadyanggané iwak kang sumaji, rarampadan sedaya sarwana, pilihane saanané, iwak
ingkang kadulu, endi ingkang énak binukti, sambelan lan lalaban, kang munggèng ing
ngayun, ana ta iwak kang énak, kinyih-kinyih nanging bakal malarati, haywa kepéncut sira.
Padha-padha sega kang awarni, sega liwet lan kebuli sega, sanadyan padha énake, kari
manpangatinipun, yekti pédah sega kebuli, anggi-anggi winoran, sanadyan keladuk,
pamangané tan ngapaa, pan mangkono nalirahé ngamèk kasil, salsilahing wacana.
(52) Haywa ngumpet ing pikir tan mosik, liring ngumpet yèn ing pasanuwan, wus rembug
saniskarané, yèn wus bubaran iku, metokaken pikir pribadi, kumedhèp mrih tinuta, iku ora
arus, duraka tan olih harja, lan maningé yèn sira tinari pikir, marang ing gustinira.
Umatura sakawruhirèki, sapanemunira dèn anelas, nganti miwah ondhé-ondhé, yèku
kajawinipun, hiya saking karsaning gusti, yèn gusti nira arsa, pikir ingkang nempuh,
sanadyan tumibèng nistha, tumurunga milya anut anglabuhi, hay wa mèngèng ing cipta.
Yèku dudu pasuwitan kaki, pan sayektining wong asuwita, ingkang mengkono pikiré,
pikir suwitan iku, wetuné ta ngéman ing gusti, amung buru aleman, anjurung kumlungkung,
déné kang tuhu suwita, sarananing driya kang dadiya kuwatir, katur sumanggèng karsa.
Cahmbanjar 72
Lamun sira amikir pribadi, liring pribadi nora, kawedal, hiya marang ing liyané,
muhunga ming Hyang Agung, miwah marang jengira Nabi, duta sumarahena, lawan hay wa
limut, penengeran kang lilima, ingkang uwis hiya kawuwusa wuri, warananing paningal.
(53) Yèn wus dadi pikirira ngati, kang awening wenang lumaksana, tumindaka lawan sarèh,
anunuju ing kayun, pamrih sela-selaning kapti, myang ananing sasmita, ing Hyang lir
pituduh, dèn kumambang ing wisésa, hay wa éwuh tanpa wahananing wangsit, wasitaning
taruna.
SINOM
Ningena warna ping sanga, kaping sadasa gumanti, hèh sanggyaning suta wayah, lamun
tinitah sirèki, gedhé kalawan cilik, ing tata haywa kaliru, haywa sira ngresula, yèn tinitah
dadiya cilik, bekel desa saguna satata gena.
Satuhu kang kaping tiga, liring sagunaning tani, apa kang dadi busana, peraboting
among tani, garu, waluku, nenggih, arit, pécok lawan pacul, myang wangkil pamatunan,
wadung pethèl lawan kudhi, kebo sapi kabèh iku perlokna.
Yèn pepak dandananira, dadya saregep sasabin, ananandur sasaminya hay wa kesèd dèn
taberi, rina kalawan wengi, mikira nggonmu nanandur, pala gumantung miwah, kasimpar
kapendhem sami, yèn kameton sagung tatandurannira.
Sira aséba marang, yèn ana ingkang prayogi, turna mring bendaranira, rumangsaa
brekatnèki, yèn mungguh wong ngabekti, yèku mangka sunatipun, pajegira kang mangka,
perluning wong angabekti, yèn wus mangsa pajeg hay wa awéwéka.
(54) Haywa watak kathèthèran, apa ingkang dadi jangji, ing patiné taker tedhak, miwah yèn
ginawé urip, lamun urip ta kaki, yèn pinundhutan sirèku, hiya ing taker tedhak, aja sira
mamadoni, yén tan kuwat luhung sumanggakna sawah.
Aja serik aja esak, yèn kapundhut ponang sabin, yèn kongsiya wawan-wawan,
anglawan mogok ngukuhi dadya dudu wong becik, wong ala bajingan gendhu, ing tembé hiya
dadya, tatampikaning priyayi, dadya nora welas ing sariranira.
Tegesé ingkang satata, satataning wong kang tani, wong kang dadya bekel désa dèn
barukut dèn sira gawéa masjid, sandingena toyanipun, santriné pancènana, ing sawah
sapantsnèki, jakat pitrah srahna y wa milu ngalap.
Lawan karyaa kabayan, kang rosa kang aja nyerit, lamun sira tatamuwan, priyayi dèn
rikat yekti, pasugatanirèki, dibecik remeksanipun, marma parlu akarya, ing kabayan kang
abecik, supayané rumat barang karyanira.
Cahmbanjar 73
Akaryaa pager jaba, kelakah dhadhapuran pring, haywa sok angrusak karang,
nyarengken padésan kaki, pager wismanirèki sapaturé dèn akukuh, ya menawa tamuwan,
kandheg kampiran sirèki, ing sadina sawengi wajib rumeksa.
(55) Ing satuhu ya tegesnya, ing wong papadésan ugi, apa adat kang kalampah, mancapat
mancalimèki, papagerané sami, myang arahaning gugunung, dèn lastari tumindak, ywa karya
adat pribadi, yèn wus lumrahing wong mancapat lilima.
Anggone hay wa anyjelag, lawan aja sira apti, ing klempakaning durjana, pakaranganira
kaki, angrèhaken wong cilik, prihen aja na laku dur, kawruhana lakunya, titiken dèn
apratitis, yèn culika énggal sira tobatena.
Yèn tan marèni karyanya, saksèkna mancapat nuli, tundhungen saking ing désa, hay wa
kongsi nglèlèpeti, marma dèn wanti- wanti, mrih becik lakuning batur, lan malih lamun sira,
kuwat ngadegaken mesjid, jumungahé iku sira adegana.
Atagen saben jumungah, padha salata mring masjid, lamun akèh kang ngibadah, kedhik
kang panggawé juti, botohan nyerèt sami dèn banget walerirèku, rong prakara iku ya,
cacaloning dadya maling, ing wong cilik mèh kena dèn pasthèkena.
Wité dadi kemlaratan, banjuré dadya mamaling kayangapa yèn kembaha, enggonira
kang angawruhi, pakartining wong cilik, myang kang dadi kasabipun, nemené anggaota,
kang dadi wektuning bukti, kang ngedohken marang ati kadurjanan.
(56) Kalamun tinitah sira, angabdi j roning nagari, dèn taberi aséwaka, yèn durung pinaring
sabin, haywa sira angincih, mrih balendhunging kang wadhuk, pandhak sadaya-daya yèn tan
durung potang kardi, tékadena awisma nèng paséwakan.
Asorena kula nira, mring sasaminira ngabdi, mèten wuwulangen samya, kang becik
anggonen ugi, karana wong angabdi, kadulu ing tindak-tanduk, dèn bisaa suwita, mring kang
angrèhken sirèki, lurah bekel miwah mring wadananira.
Haywa ing lahir kéwala, dèn terus tumkèng batin, yèn nora terusa ing tyas, mukir
titahing Hyang Widhi, dèn kumandel ing Widhi, gusti iku pan satuhu, gustining wong
ngakathah, kinarya badaling Widhi, kang amesthi adil paramartèg wadya.
Liring adil para marta, bener angapurèng dasih, anglèbèri pameng kunya, marma sagung
wong andasih, satata dèn taberi, mèt tyasing kanca denatul, sedyakna apuranta, ingkang
durung lan kang uwis, lamunana kaluputané mring sira.
Bésuk dadya sira potang, motangken panggawé becik, winales déra Hyang Suksma,
lawan hay wa sira amrih, pepelèsèdan angling, sring anyatur alanipun, kanca ingkang
sungkanan, sring towong pakaryanèki, hay wa irèn ing karya anasabana.
Cahmbanjar 74
(57) Yèn kancanira amanggya, hiya dudukaning gusti, miluwah angungun sira, sakedhik
dèna mrihatin, ingkang mangkono uwis, karuwan ing takdiripun, balik kang durung hiya,
durung karuwan sayekti, anganggowa ing tékad tepa selira.
Dadya ora ala sira, ing sama-samaning abdi, ya pan reksa-rumeksa, ing lahir tumekèng
batin, kanca iku sayekti, pan wus prasasat sadulur, ingkang kaprenah tuwa, kurmatira dipun
kadi, kurmat marang sanak wongtuwa priyangga.
Dhasar tuwa dhasar dadya, lurah wadananirèki, iku wenang sinembaha, wajibing
sinembah kaki, ing kang dhingin narpati, kapindhoné bapa-biyung, kaping tri maratuwa,
maratuwa jalu èstri, ping sakawan guru pan wajib sinembah.
Kaping lima kadang tuwa, déné ingkang pradipati, marmané wenang sinembah, déné
wakiling narpati, sagunging para mantri, wenang nembah mring santanèng nata.
Para pandhita sinembah, saking guru dènnya ngirib, sadaya amawa pangkat,
gogolanganing nagbekti, terus saking ing dalil, pangandikaning Hyang Agung, kabèh padha
nembaha, hiya marang ing Hyang Widhi, lan nembaha marang utsaning Allah.
(58) Lan nembaha sira padha, hiya mring kang anduwèni, paréntah saking ing sira, tegesé
iku narpati, papatih pra dipati, yèku mired saking ratu, wakil nyekel paréntah, marma haywa
shak ing galih, ing panembah terus saking dalil pisan.
Yèn wus amriyayi sira, ngangg owa kawan prakawis, bubudèn hay wa tinilar, kang
dhingin budi priyayi, ping kalih budi santri, budi sudagar ping telu, budi tani kaping pat,
liring kang budi priyayi, tata karma ungguh-ungguhing wicara.
Tan nganggo sawiyah-wiyah, busana sapantesnèki, kapara murah ing boga, prawira
wéwéka titi, tanduk ngénaki ati, bisa mrih rèh sabayantur, nora wedi kélangan, amiguna ing
berbudi, kabudayan ing tanduk paramacipta.
Budining santri winarna, kudu resik, kudu suci, ngakèhken karane Alloh, sukuran
pratingkahnèki, mangkono bahé ya wis, mangkono bahé ya sukur, ngendhiken kalorèyan
déné ta budining tani, temen wekwl abot ènthèng wus karyanya.
Irèn dahwèn nora watak, tan methingkrak tan methingkrik, mantep temen linabuhan,
tingkah kang wus dèn lakoni, membat–mentul tan bangkit, kamandaka nora putus, déné
budi sudagar, pétung sabarang pakarti, agemi tur nastiti, ngéman ing lampah.
(59) Riningkes catur prakara, bubudèn dadi sawidji, tatanira aja tilar, hiya tataning priyayi,
resikira dèn kadi, santri sukuran tyasipun, temenira dèn kadya, hiya temaning wong tani,
pétungira dèn kadi pétung sudagar.
Cahmbanjar 75
Ngétunga sabarang karya, hiya kang datanpa kasil, hay wa tuna barang karya, yèn tuna
sabarang kardi, tan welas sarirèki, kang mangkono yèn kabanjur, g olongan nganiyaya,
marang awake pribadi, ing meng kono ngresula akudhandhangan.
DHANDHANGGULA
Barang karya dèn waspadèng nguwit, lan wewekas iku kang kinarya, anengahi
prayogané, kadyanta sira dulu, ing sosotyo mawa retnadi, awit kapéngin sira, ing tyas kudu-
kudu, tengahana ing prayoga, wekasané yèn tan kadugi ing regi, temah karya malarat.
Yèku hay wa nuruti saking wit, hay wa kongsi tumekèng wekasan, tulaken tan
prayogoné, nadyan remen kalangkung, kang warna di tur rajapèni, pinray ogèng wekasan,
kalamun ta durung, sampé samipaning karsa, kasangsara anggagawa wuwuh pinging,
ginggangken pasuwitan.
Wiwit iku akathah kang becik, sabarang kang saking karsanira, saking hawa
panarikké, nanging arang kang èmut, wekasané nora pinikir, ana kang wiwit ala, becik
temahipun, wit becik atemah ala, awit nistha atemah dadi utami, utama dadi nistha.
(60) Awit becik wekasan tan becik, karsa mirungga atilar ngadat, kang wus kalakon beciké,
saking pangrasanipun, amuwuhi ing dat kang becik, kasor kaworan harda, kudu wuwuh-
wuwuh, yèn harda binanjurena, wekasané tan wurung ala pinanggih, balasak dadi rusak.
Wiwit nistha awekasan becik, nguni je nengira Seh Malaya, saking ing ala puwané mèt
karya-karyanipun, ing sawiji dina marengi, ingkang dèn ambil karya, nuju Jeng Sinuwun, ing
Benang dadya waspada, yèn kang ngambil karya ing trah wong ngabecik, pinurih rahayuwa.
Anut kang pangandikanirèki, Sunan Bonang wau kang ambégal, dadya umanjing
sabaté, miturut ing satuduh, nadyan silih temekèng pati, lami-lami dumadya, kangmèt karya
wau, sawusira jinatènan, sarta banter tapané tan uwis-uwis, dumadi Auliya.
Anama Seh Malaya linuwih, ya Seh Malaya iku suhunan, ing Kalijaga wastané,
marmanta dèna émut, yèn purwaning ting kah tan becik, tobaté ing Hyang Suksma, sarta
tapanipun, dèn sru tapa matiraga, kaya ana pangapuraning Hyang Widhi, pan Allah sipat
rahman.
(61) Anuruti panuwuning dasih, asih marang manungsa kang tobat yèn dèrèng tutup
lawangé, lawangé tobat iku, hiya lamun durung ngemasi, pan masih kena menga, tobaté
umangsuk, kang satengah ana ngucap, pengucapé wong wis ala hiya uwis, aja tanggung
alanya.
Begja kana kang anemu becik, begja kéné kang anemu harja, ingkang mangkon o
yektiné, pan wus kena dhinadhung, ing ngarahanira sang éblis, kaworan nepsu hawa,
Cahmbanjar 76
binawur linantur, mangah-mangah amrangangah, pangrasané isin mundura sanyari, ing
sujanma utama.
Tan narima ing asor myang inggil, nora nana jenengé kawula, ing kang unggul salawasé,
amesthi asor unggul, kalampahan jamaning ngurip, wit saking Nabi adam, unggulé tan
banjur, nganggo asor ing tengahan, lajeng tobat analangsa siyang ratri, subatra matiraga.
Lami-lami anulya antuk sih, pangapuranira Hyang Wisésa, pan mangkono sabanjuré
para nabi para ratu, para wali myang para mukmin, yèn maksih muring kathah, maksih
badhog sekul, asor unggul kalampahan, awit luhur yèna tengah andhapnèki, yèn narima sru
tobat.
(62) Winangsulken marang luhur malih, kang setengah abanget ngresula, nguneg-uneg ing
driyané yatalah Hyang Kang Ag ung, gawe titah kaya wakmami, banget temen binéda, lan kaé
si anu, satengah anèng ratunya, kang setengah lulurah bekelirèki, setengah wongtuwanya.
Kang dèn uneg- uneg jroning ngati, malah ana satengah kawedal, muring-muring
pangucapé, nora wruh awakipun, pribadi kang akarya nisthip, mring kang akarya harja,
kurang tapanipun, lan kurang panedhanira, ring Hyang Suksma panedhèku kudu mawi,
ngresiki badanira.
Resiké lan tobat ing Hyang Widhi, dapak-dapak ing mengko katrimah, hiya mau
panedhané, yèn wus motangken wau, Ing Hyang Suksma déné ing lahir, yèn wus motangken
karya, marang ing ratumu, myang ing lurah bekelira, ataberi nyakubaken barang kardi, karya
agal lan lembat.
Yèn wus antuk nugrahaning widhi, kang amarga saking ratunira, awit saking sih
mulané, ing kono dèna émut, dèn anganggo boboting sabin, pira pametunira, anganggoa
pétung, gemèni nugrahaning Hyang, lan gemèning hya paparinging gusti, supaya mrih
panjanga.
Ciptanen sangunira angabdi, kacagaka sabarang pakaryan, busana marasébané
sumedyaa ing tuwuh, angurangi sajegé urip, haywa ngegunggken raga, kerep j ibar-jibur,
kamangkono dadya watak, angètèrken gonira lumakyèng kardi, kadadak adol ladak.
(63) Yèn tinitah sira dadi mantri, mapan ana adat kalampahan, para mantri pakaryané basa
mantra liripun, linuwih ing tigang prakawis, nistha madya utama, ya pangiwanipun,
Janaloka, Ngendraloka, Gururloka t inggang nggon iku yèn mantra sayektiné waskitha.
Janaloka ya madya panèki, nggon manungsa ya ing Ngéndraloka, Bathara Endra
kratoné, ing Guruloka iku, kadhatoné Sang Hyang Pramèsthi, ing tri iku uninga, tata
kramanipun, pakaryané ing manungsa, siji-siji kang ala lawan kang becik, nistha lawan
utama.
Cahmbanjar 77
Wruh ing Ngèndraloka tegesnéki, wruh kataning panembah ing déwa, ing sawiji-
wijiné, barang ing lakunipun, Ngéndraloka mantri udani, kaping tri Guruloka, mantri yekti
weruh, sembah mring Hyang Girinata, salakuné sapratingkah pan udani, déné panengenira.
(64) Lamun tinitah mantri bupati, pan bupati sipating naréndra, ing praja wus bubuhane,
bener kalawan luput, nistha madya lawan utami, lamun ana prakara, kang tiba nisthéku,
bupati mèh kawajiban, ngambengana suker gampanging nagari, punggawa kang angrembat.
Nora gampang wong dadya bupati, lahir batin ing boté katempah, asor ungguling
prajané, hay wa pijer katungkul, kawibawan kasukan tuwin, jaga-jaga ing yitna haywa énak
turu, ingkang dhingin samektaa, acacadhang ing karsa sri narapati, ping kalih samektaa.
Jagayitna aliya negari, pikir lepas amrih karahajan, barang kang dadya sababé, ing
wéwéka dèn putus, tatasena sandining wèsthi, yèn ana pasuwalan, ing rèh kag rinembug,
hay wa konsi tibèng nistha, yén wus rembug kenceng sabayantu pikir, énggal laksanakena.
Yèn arandhat ngendhé-ngendhé pikir, mbok kaselak méda manggih baya, nglentar
kspiran ngethèthèr tumpa-tumpa katumpuk, kawaledan gunggunging pikir, jroning sumur
upama, lawas tan tinawu, baleder waled mèh kebak, yèn dhinudhah rinesikan angel ugi,
larahan wus akathah.
Ana eduk sujèn lawan beling, angel kangèlan yèn pinarusa, manawa kena ing sujèn,
kathah drigamanipun, yèn tan lawan nugrahèng Widhi, kang ngeningken istiyar, mung kang
ngayu-ayun, wahyu kang saking Hyang Suksma, angèn tuduhing kedhap kilat manawi, bisa
nitih anumpang.
(65) Nadyan si lih bisaa anitih, ing prakara budhaling waledan, maksih kaworan panggawé,
awit mirungga iku, nora kadya kalaning nguni, umpama beras wutah, saking wadhahipun,
winangsulken kinukuban, arang ingkang mulih takeré ing nguni, ngungun angunandika.
Ènget kaènget tanduking nguni, paran marga muliha mangkana, saking paran
pinangkané, yèn mangkono ing kalbu, antuk rengatira Hyang Widhi, kuranging panarima,
tindak wus kalantur samonèku pira-pira, pirang bara ubaya osiking ngati, atingkah kadaya
kuna.
Kina ana kinènan samangkin, mangkin harja yèn leksanakena, lumaksana saanané,
surasa sabayantu, pratiwa tan gèsèh pikir, pakarananing dadya, gingganging pangangkuh,
saking datan habipraya, prayanira tan nelaya nguciwani, wenèh panjangkanira.
(66) Mantep iku busananing ngèlmi, ing ngagesang apa kang sinedya, yèn tan sarta lan
ngèlmuné, apa ta abubruwun, amung amrih kamukèn adi, yèn namaning pratiwa, nistha tan
Cahmbanjar 78
mituhu, rèhing praja kang mulyèndah, béda lawan nangkoda kang sugih-sugih, tan milu
ngrembag praja.
Karya kamuktèn sakapti-kapti, sapantesé ya ingkang winenang, tanana rinasakaké
mung indhaking hartèku, padagangé dadining bathi, béda lan asuwita, dadya punggawa
gung, yèn tan putus pamicara, kèh kapéngin dadya punggawèng narpati, pakéwuh tan
rinasan.
Yèn tinitah ing mantri papatih, yèku warangkanira sang nata, sangsaya geng pakéwuhé,
yèn tan saé kang kalbu, lawan ingkang dèn warangkani, dadya warangka datan, umanjing ing
dhuwung, dhuwung tan manjing warangka, paran marga lamun gampanga pinurih, ngruruh
rèh karaharjan.
Nadyan silih saéka akapti, mantri muka lan sang narèswara, yèn tan wicaksana
mangrèh, sanggyaning pratiwanung lénté kanang mantri lit-alit, tanwun sira kataman, ing
nistha salugut, legetaning janma kathah, kenthaha tyas sanityasa amatistis, panatasing tyas
harda.
Hardaya mring pamicarèng nagri, nagaranjah wetuning pratingkah, ing kon o
pangadilané, bener kalawan luput, wus gumelar tataning nagri, kang ngalaya ing ngadat
tuwin ingkang nganut, laku ingkang kuna-kuna, lan samangkya pinèt saking ing prayogi,
anggoning jaman mangkya.
(67) Lamun mantri alit nora bangkit, angambila panganggé mangkana, mung papatih
panganggoné sira y wa selang surup, ngendi ana mantri tan bangkit, anganggo kang
mengkana, miwah pra tumenggung, sanadyan pratinggi désa, hiya bisa ing prayoga handar
bèni, nanging tan dadi guna.
Nora dadi lajering kuthèki, ineb-inebing lawang saya trang, dèn konsi sipat beneré,
dènya mrayogèng laku, yèn binubrah marang papatih, sayekti kenèng bubrah, patih kang
amengku, barang paréntahing nata, wujud tunggal lan patih ya sri bupati, satru munggèng
rimbangan.
Yèn wus manjing warangka ing keris, lan keris wus manjing ing warangka, dumady a
doh sangsayané, prajaharja barukut, den warangka kandel nasabi, curiga datan mantra,
mingis landhepipun, dènnya kandeling warana, yèn mengkono yèku papatih utami, atebih
saking nistha.
(68) Ing kukummah wilayah pan uwis, pinanci-panci ingkang bubuhan, papatih ngantuki
bahé, nanging haywa katungkul, adombani rahina wengi, wangening pangkat-pangkat,
ingangkat lan patuh kamituwa kapitayan, supayané haywa nalimpang ngawengi, mèngeti
hay wa lupa.
Cahmbanjar 79
Tan sun panjang wasitaning patih, ngunu-uni pan sampun akathah, ing ngupama
saanané, pakartining amengku, ing paréntah kang tibèng sisip, ana kang tibèng, madya, ana
utamèku, kang utama iku tanlyan, babakuné kang sampun kocap ing wingking, anggep
pangawakingrat.
Pira-pira titahing Hyang Widhi, mring manungsa saking kodrating Hyang, kang mijil
saking retune, saking sor dadi unggul saking luhur asor dumadi, yèku dadya ngibarat,
panyatheting kalbu, kang lunjak-lunjak ngalanjak, ngajak-ajak temporat amalarati, tan étung
kanthinira.
KINANTHI
Kaping sawelan winiwus, maskithaa dèn nastiti, ing sudaning kang darajat, gingsiring
wahyunirèki, tanlyan saking kamélikan, anununtun maring lali.
Tan linawan rèh rahayu, kadyata sira amélik, pangané wong cilik ing kang, sathithik
gawéné iklik, kang uwis wajib linakyan, si raksasa angelongi.
Tanpa karana pan among, nuruti hawaning ati, yèku nyudakken darajat, nora ta dumèh
sathithik, wulu kalong binubudan, alembut datan katawis.
Anunuman hawa napsu, nanarik panggawé sisip, ngakèhken panggawé wenang,
momori panggawé wajib, yèn atiwas wajibira, sudaning darajat pasthi.
Sagung pakarti kadulu, kang sumimpang saking wajib, ngakèhken mokal lan wenang,
dhasar ya sasami-sami, tanwun sudaning darajat, yèn banget wahyuné gingsir.
Kadyata sirarsa tuku, barang karemenirèki, ing kuda miwah curiga, mas sosotya sinjang
adi, myang sabarang rerèmèhan, ingkang arega sathithik.
Déwus sira nyang keladuk, ing panganyanira dadi, mandheg mangu karsanira, pan
wurung sok-sokan picis, pangrasanirèku menang, sira wurungaken nuli.
Pan akèh sababing wurung, kaduwung saka ing regi, kang mangkono iku dadya,
darajatira ginempil, peksanira ngéman arta, panwus jamaking priyayi.
Yèn tuku rada keladuk, sawatara yèn wus janji, yèn wurunga karya esak, ing sama-
samèng dumadi, émanen sudaning drajat, hay wa kongsi gempil lirip.
Myang sira remen ing dhuwung, dapur becik tangguh becik, kepalangé mung wasiyat,
éwuh dènira ngakali, saking sruning remenira, kang duwé kepalang ajrih.
Dadya sinungken kang dhuwung, karoban saking ing regi, kang mangkono pan
pepeksan, yèn wasiyat nora becik, tan awèt sira anggowa, temah wahyunira gingsir.
Yèn wasiyat iku lamun, saking kang duwé pribadi, kang adol saking abetah, yèn
dhemen tukunen ugi, salumrahé ing reregan, utama sira ngerobi.
(69)
Cahmbanjar 80
(70) Lan jaluken wuwusipun, lilakna wasiyatnèki, mangkono iku kang esah, tetepa
ngnggonirèki, wasiyat iku pan wenang, yen kabutuh nora bukti.
Dèn edol supayanipun, tulak kamlaratanèki, kang setengah ana ngucap, lamun ingsun
maksih urip, mangsa ingsun gadhèkena, hiya saking lambung mami.
Bener iku kang amuwus, lamun mantep anetepi, yèn ora mantep pan hiya, dadya
brahala sayekti, keris ingkang dèn pangéran, pinindha wong tuwanèki.
Misih urip idhepipun, lire kang mangkono kaki, aboté wong nora nyandhang, lawan
wong nora abukti, yèn tidha kurang ngelmunya, kena binedhung ing éblis.
Tyasé tinarik ing kupur, metu akalé tan becik, kelantur dadi durjana, wasiyat ginawé
maling, kebak sunduké wong ika, konangan dènnya mamaling.
Pinenthung guluné putung, gulinting mati babar ji, wasiyaté wus dèn alap, mring kang
menthung wau maling, tinitiran sawusira, mupakat binontot nuli.
Binuncal bontotan pandung, kadya adating nagari, tobat anaa kang gugat, yaiku wong
tuna budi, rupak nalar nir istiyar, tugel bet wahyu malencing.
Wesi dipun anggep wahyu, yèn dèn dola iku nguni, dhuwit kinarya pawitan, pinangan
teka sathithik, panulak ati maksiyat, yèn akathah punang regi.
(71) Kinarya prabéyanipun, yèn dhemen lumakwèng kardi, pan kakékating wasiyat, hiya
dudu tumbak keris, wuruk kang becik punika, wasiyat ingkang sejati.
Wasuyat lahir puniku, tan bisa becikken ati, puluh duwéa wasiyat, Pajajaran
tangguhnèki, gaweyan Siyung wanara, yèn atine nora becik.
Sang éblis kang ambedhung, kadhungsangan pothar-pathir, hiya wahyuning wong ika,
wasiyat tan anglabeti, ing kuna sang resi putra, wasiyaté angluwihi.
Paparing déwa agung, hiya panah Cundhamanik, pangrusaking kalamurka, Swatama
kang andharbèni, ginawa mamaling marang, Pandhawa pakuwonèki.
Cendhaké bahé cinatur, déwa warna kang nuruni, pinundhut saking Swatama,
pinaring ken Pandhawèki, Swatama datan suwala, dinukan akelip-kelip.
Minta tobat tan tinutur, Sang Kresna tan anglilani, sirna wahyuné S watama, tugel bet
labté ngenthir, yèn penengen tinemaha, nguni Jeng Suhunan Giri.
Tan séba mring Majalangu, wong saGiri dèn ratoni, sang prabu ing Majaleng ka, anuduh
gempur ingGiri, pira-pira kang prawira, gagaman geng kang dhatengi.
(72) Praptèng Giri rèh gumuruh, dadya samya tur upaksi, maring sira Jeng Suhunan, ing Giri
éca nunulis, kang tinulis surat Islam mengsah geng saya angrampit.
Garwa putra jrit gumuruh, saksana Jeng Sunan Giri, kalamira kang binuwang, dadya
keris ngamuk nuli, Jeng Sunan éca alenggah, mung kalam ngamuk pribadi.
Cahmbanjar 81
Pira-pira ingkang gempur, mati déning kalam keris, kang kari giris lumajar, mulih
marang Majapahit, kalam munyeng wangsul nulya, ing ngarsa Jeng Sunan Giri.
Angandika Jeng Sinuhun, hèh kalam munyeng sirèki, salira teka ing kalam, balia mring
kalam malih, ki kalam munyeng wus dadya, kalam penyeretan malih.
Yèku utama linuhung, wasiyat ati lunuwih, hay wa ta aslah tampa, nanacad kang karya
tamsil, waliyullah kang kinarya, sapa bisa anglakoni.
Kang mangkono wong amugut, medhot wikalpa ing tamsil, sanadyan sikep upama,
wenang nganuting prawali, sapangkat-pangkaté uga, mangsa ta tiruwa wali.
Kéwala ngirib tiniru, ing tyas pakrti kang becik, oleha saparatusan, saparakenthening
wali, kabèh wong ing tanah jawa, kang Islam nut para wali.
Luhung endi K angjeng Rosul, wus sah paréntah Hyang Widhi, dadya panutan sajagad,
kang manut ing Kangjeng Nabi, marma ran Nabi Panutan, wenang tinutbarang kardi.
(73) Gedhé ndi lan Kangjeng Rosul, lawan ingkang para wali, ya marmèngsun kongsi
panjang, anjejèrèng ing pangirib, sapa ta kang guguyuwa, dadya awakingsung iki.
Wong kumrisik tanpa bayu, pan ora mengkono ugi, watak wong anom ing mangkya,
akèh pinter ramakawi, wong anom atiné sura, mbok kasusu mamaoni.
Durung linimbang ginilut, sokur yèn uwis mangerti, awak manira priyangga, kang sun
karya tepanguni, duk nedheng maksih taruna, marajak sring mamaoni.
Pangrsaningsun linuhung, ana ta pujangga prapti, saking praja ngèksiganda, saben ari
sun waoni, pinapasan ing aksara, myang basa paramakawi.
Akri-kari ingsun dulu, dudu pujangga sayekti, lire ta dudu pujangga, pawitan durung
darbèni, maksih utang anyenyelang, murad ngawur ting saluwir.
Dadya banget ngong angungun, ing mengko wus tuwa mami, ladak ingsun duk taruna,
yen banjura tanpa kardi, nanging sanadya ladaka, sathithik wus mratandani.
DHANDHANGGULA
Amangsuli sekar gula milir, maksih pakarti kang dadya suda, ing darajat pangèthèré,
hay wa karya sirèku, ing wisma geng kang angluwihi, geng luhuré myang pélag, memet ting
pamatug, luwih boboting wangenan, kang mangkono wus pasthi tan kena gingsir, kèthèré
kang darajat.
(74) Ing pangiwa panengené sami, awit Nabi Adam kongsi prapta,, ya ing jaman taun kiyé,
Alip kang sirah pitu, tenggak papat tusan saptèki, geng alit tan abéda, tanah Ngarab dangu,
para nata kang akarya, ing para di kang angirib suwarga di, tanana kang widada.
Cahmbanjar 82
Jaman pangiwa samono malih, para ratu kang arosa-rosa, danawa myang manungsané,
kang angirib swarga gung, pira-pira prapta kang samangkin, wong alit-alit kathah, jro prja
myang dhusun, kang wus kacihna katandha, myang wong agung liyaning para narpati, wus
kanas ngèlmu ngadat.
Apa japané yen nora keni, kang mangkono kèthèring darajat, ulun wani totohané,
pedhoting jangganingsun, sakarepé dènnya bayari, yèn maksih langit dunnya, lan bumi
dunnyèku, surya candra myang kartika, kang mangkono wus pasthi retuning pasthi, tan kena
gumingsira.
Tobat ingsun ing Hyang Maha Luwih, déné ulun lonyo ing pangucap, wani akarya
pepesthèn, saking kakuning kalbu, amumulang tan winigati, pribadi maring suta, wong
saputu-putu, saking berkahing Hyang Suksma, ngalap saking ngelmu ngadat nguni-uni,
kiniyas dadya kena.
Kang sawenèh ana ingkang angling, becik ambeciki popomahan, kang angluwihi
bagusé, ingkang supaya antuk, ing pangalem kalih prakawis, dhingin pangalemira, sagung
wong kang dulu, becik resik ngresepi tyas, kaping kalih pakolih aleming gusti, ngatokken
brekat nata.
Kang mangkono ya bener dènnya ngling, nanging dipun ngangg o sawatara, aja ngluwihi
ing katté, déné pangalem iku, mau ing kang kalih prakawis, tan pakolihing badan, lahir
batinipun, muhung alem bébéngkrakan, déné ngalem kang pakolih lahir batin, kang rumiyin
dèn ucap.
Ya kang saking ing gustinirèki, lamun kabeneran karyanira, ing gusti dadi alemé, iku
alem satuhu, anrus lahir tumekèng batin, nyegeri badanira, sanadayan sirèku, duwé wisma
byur paradan, lamun karyanira kèthèr miwah sisip, tanwun amanggih duka.
Déné alem metu ing kang saking, wong ngkathah alem bébéngkrakan, yèn kawetu
ganjel ambèn, mangka kang ngalem iku, amertamu maring sirèki, sira tan anyugata, ing
saananipun, ngelokro alemé ilang, hiya dènnya mulih pan kongsi angelih, déné alem kang
nyata.
Nadyan wismanira tan linuwih, amung sedheng-sedheng sawatara, mangka kacanta
pamané, kang padha amertamu, yèn amulih arang kang ngelih, iku alem utama, manpangat
satuhu, wisma mapan nora kena, ginawa mring paséban séba ing gusti, myang kinarya
ampilan.
Kathah lamun winarna ing tulis, ing pratingkah sudaning darajat, miwah ing wahyu
gingsiré, ing sami-saminipun, mamèt misil kang wus winarni, ing rèh katibèng nistha, yen
uga linantur, pinalangan nora kena, kudu berot yaiku pratandha dadi, gingsiré wahyunira.
(75)
(76)
Cahmbanjar 83
Lawan hiya sabarang pakarti, amidosa nganiaya ing lyan, dupèh tan kacihnèng ngakèh,
mung sanak tuwa kang wruh, pinalangan sru datan keni, yaiku tandha besat, gingsiré kang
wahyu, pan wahyu iku nyawanya, lewih resik yèn katon pan luwih bening, mancorong kadya
wulan.
Wahyu ulit lir lintang awening, yèn dèn ajak panggawé tan harja, suker agedhé
nepsuné, tinon abingus-bingus, yekti minggat lumayu ngenthir, mangsa kuranga unggwan,
ing paméncokipun ngupaya kang bening ing tyas, wicaksana tyas raharja sadu budi, iku bisa
rumaksa.
Rumeksané ing wahyu sejati, dahat éwuh gampang yèn linakyan panyegahé, karsa awas
lan émut, sanalika tan kena lali, risang amurweng tingkah, suméndhé sumaguh, agagah nora
agahan, legawèng tyas sanityasa anastiti, mahambek harjaningrat.
(77) Sarat sarwi rinaketan ing sih, dèna esah lan agamanira, angagema praknyana rèh,
sumarah ing Hyang Agung, ngegungena pudya semèdi, sumedya apranawa, pranawa liripun,
amadhangken ing tyasira, anyudaa dhahar néndra iku kaki, pandhangiring darajat.
Winantu ing panarimèng ngati, rinesikan ing sastra jawa Rab, bisa basa basukiné, wruh
lelèjeming kukum, campuré lan yudanagari, yen wus resik mangkana, siramen ing kalbu, ati
mandhep tan kumedhap, akèh kedhap tan dhinadhap mung ngadhepi, idhepé saking tedah.
Tedahing guru ing kang kaliling, lanlangana ing tyas palamarta, amartani pamintané,
janma kang mindha punggung, asung boga ing pekir miskin, kenanen ing wacana, ywa
ngrasani wuwus, wawasen tekèng wacana, sasananing utama tinaki-taki, takeren atinira.
Dèn abisa rumeksa mageri, maring wahyu liré dèn abisa, amung tyasira ugeré, karsa
bakuh akukuh, haywa kenèng ginonjing éblis, amring leson sungkanan, iku umurung maring
laku kebecikan, laku becik dumdumaning wahyu jali, tuduh sihing Hyang Suksma.
(78) Akèh lali lelakoning dadi, saking tidha dhinendhèng Hyang Suksma, samun sirna
panemené, ing pakarti rahayu, kayungyuné pakarti juti, juwet abawur sila, selaman salumun,
sulaya anyela-nyela, lalawora angawur awira- wiri warananira sirna.
Dhinedhering sarana mawarni, winursitèng manis minanisan, ing manungsa kang
anènès, lejeming tyas pan ayun, ngina-ina mrih angenani, mrih ange-angenira, ngéram-éram
arum, lir pangungruming ngasmara, sumarmane mari-mari yèn wus keni, kinenan kalatadha.
Yèn tan kena kenananing kéring, mring pangiwa kang ngawohken harja, yèn wus awas
pamawasé, tan was-was ing panuwus, waskitha ring riwuning ngati, watara anamara,
amoring pandulu, dadalané nora samar, ing sarana yèn mangkono anartibi, papagering
nugraha.
Cahmbanjar 84
Nahan kaping rolas kan winarni, nyatakaken obah osking ngrat, nalika masa kalané, ing
Kalisingarèku, myang ming Kaliyoga ayun wrin, lamun anuju jaman, Kalisengarèku, kèh
dalajat katingalan, keh pawarta dora mosik ting kalesik, seg tan kena tinulak.
Gara-gara rèh kagiri-giri, mega pratala mangambak-ambak, anggraning kang arg a
gègrèg, warna-warna kadulu, cihna retu ingkang nagari, ing kono den prayitna, den rumangsa
ngaub, ing prajaning ratunira, turta sira winisudha sinung bukti, paran tan prihatina.
(79) Nenedhaa mring Hyang Maha Suci, dèn banter cegah dhahar néndra, wurunga ing
dudukané, yèn kena datan wurung, mung abera teka sathithik, dudukaning Pangéran, Kang
Amaha Luhur, karana wajib sadaya, wong jro praja gedhé silik jalu èstri, padha andodongaa.
Sidhekaha tutulaking nagri, ing sakajat kawruhta priyangga, yèn tan ana barikané,
parentahing Sang Ulun, lamun ana peréntah nuli, dikebat lakonana, sarta dèn asengkud,
matuta panedhanira, kang satengahing janma ana kang angling, angekèhaken tingkah.
Mundhak susah ang rurusak pikr, nadyan gègèr-gègèré wong kathah, reja-rejané wong
ngakèh, tur kang mangkono muwus, sesembranan tan praptèng ngati, nenging yèn kabanjura,
kang mangkono wuwus, naempuh rusaking praja, peperangan gègèr lir gabah tininting,
dhèwèké pan kaponthal.
Kalèwèran bakakrakan ngili, pothar-pathir nginthar kuthèthèran, dharedhet entèk
tobaté, tan angrasa wong iku, ngambah prajanira narpati, ngaub salaminira, upama wisma
gung, ingauban wong akathah, payon rusak bocor apa énak-ènik, tan mèlu amayuwa.
(80) Ing sakuwasanta ageng-alit rumaganga mrih jejeging praja, supaya ing waluyané, wong
kathah kang angaub, dadya olih martabat becik, kalumrahaning janma, mau kang lungayu,
dadya martabat babasat, sukur gègèr lumayu bari angutil, tanwruh lamun kaponthal.
Haywa ana kang salah mangerti, yèku ambeking janma kang rucah, nora kalebu cacahé,
tanpa gawé winuwus, nora kena mangkono kaki, geng ngalit dadya tepa, ing lepiyanipun, ing
setya lawan ngucira, sasaraning kang carita kurang titi, lapak wong kurang warah.
Waranané sebit rontang-ranting, ratas anaratas marang ing tyas, sarira pan wus ukuré,
saking tambuh pitambuh, mung kahardan kang dèn ideri, andeder tanwruh kadar, kadar
lingsem ambyuk, ing jujurang sirna gempang, anggagampang nganggo karepé pribadi, kang
tan patut tan sastra.
Lamun ana obah liya nagri, iku kaki sira diprayitna, kuna ana lepiyané, ing Jakarta
prajagung, purwaning prang kalawan sinis, lawas-lawas mangétan, banjuré dahuru, bedhah
prajèng Kartasura, banjur sadayané praja pothar-pathir, wit tan rampeking karsa.
Cahmbanjar 85
Wong ngagungé ana nalayani, wong cilike mawur asarsaran, pating salebar tan sarèh,
pan uwis adatipun, wadya Jawa lire ram dami, kalawan tambak merang, katempuh ing
banyu, banter gedhé alorodan, dhadhal larut tan ana tolih ing gusti, kadya sasapu wudhar.
(81) Panjang lamun winarna ing tulis, nguni-uni akathah kang obah, saking ing liyan
prajané, tumular analetuh, padha dipun prayitnèng wèsthi, dèn waskithèng pinangka, paran
purwanipun, kang dadya obahing liyan, supaya y wa analetuh nunulari, den lembut nalarira.
Nalar kasep iku tan pakolih, yèn pakolih kaworan luamah, bawah pedhang g olongané,
sanadyan pedhang iku, lamun kasap kéwala gelis, punggel pucuking pedhang, yèn winoran
lembut, awuled pucuking pedhang, lamun lembut kéwala ponang prajurit, mélot pedhang
kang tedhas.
Bédané lan bawah kasap kaki, yèn anganggo kasap kaputungan, temah pepering
kalamé, wus kathah kang kadulu, ing palupi lepiyanèki, duk sang narendra kresna, nuduh
Bima sunu, panunduhé kurang lembut, wong wus campuh ing yuda akèh papati, anganggo
kalamangsa.
Kurang lembuté Sangt Bima siwi, dadya kaputungan analangsa, mung sajugèku luputé,
wus jamaké prang pupuh, asor unggul kalakon sami, sapissan maring kasap, Sri Kresna
kaluputannya, duk patining Resi Druna den wékani, paékan kamandaka.
(82) Ing wuriné Swatama malesi, adhustha mring pakuwon Pandhawa, olih titiga patiné, lah
iku dèna émut, lepiyan kang ing nguni-uni, hay wa sok amacaa, seru melang-melung, ing
sastra Jawa myang Ngarab, rasakena ing logaté dipun prapti, muradé dèn tétéla.
Ana obah-osik tunggal nagri, nguni nagara ing Ngaksiganda, duk nedheng jaman
kartané, obah-osik sakuthu, lajeng dadya pecahing nagri, katula kataletah, wong ciliké
sumyur, kang dadya wayang andadra, angengkoki tan wruh kamulaning cilik, Trunajaya
cilaka.
Ing wong cilik hay wa anyelaki, lamun ana obah-osiking ngrat, myang dèn awas lan
sarèhné, nedhaa mring Hyang Agung, mrih wurunga y wa kongsi dadi, kadya ing kang wus
ngucap, panedha ing ngayun, ing temahé yèn linakyan, dahuruné wong cilik ingkang
nglakoni, lakon Kalisangara.
Wong agungé hiya padha kontit, nanging lamun jaman Kaliyoga, wong agung olèh
kamuktèn, pan uwis lakunipun, ing ngadating nagari Jawi, marma ingkang tinitih, wong cilik
dèn weruh, hay wa kongsi kalarahan, dèn amantep anut osiking nagari, hay wa angraras driya.
Cahmbanjar 86
MIJIL
(83) Lamun ana osik ting kalesik, saking sawiyanh wong, lire saking sawiyah uwongé, wong
cilik tan jaman makam nenggih, sarta kincih-kincih, angaku yèn weruh.
Nalika reg-oreganing nagri, mengkoné meng kono, akèh-akèh rékaning wartané,
rungokena nanging ywa ginati, iku warta saking, bangsat mrih dahuru.
Anging hay wa angendhak sira angling, ing wong kang mangkono, pray oganen lawan
watarané, sasaurira bayaran angling, ing rèh dèn kaliling, haywa selang sambut.
Mung hay wa sak ingkang angsung warti, sira dèn waspaos, ing wong-wongan apa
panengrané, hiya ingkang wus kocap rumiyin, pancawalèng janmi, dora lan satuhu.
Jaman mangkya akathah kalesik, sok dora angrandon, pira warta tan ana jebulé, nadyan
wus mijil saking priyayi, prandéné tan dadi, lire nora jebul.
Lagya anitah mungguh Hyang Widhi, ing pawarta g oroh, sétan nginjen-injen
pakaryané, akrya pawitan dèn wuwuhi, den anggit pinurih, dadiya dahuru.
Yèn dahuru wong ala pakolih, akrya pirantos, ambabangus wigena tan sarèh, ngadhu-
adhul dènira mrih olih, ngadhadha kinardi, pawitaning dhadhu.
Dhadhakané mindha mindhik-mindhik, medhak-medhak dhodhok, yèn wus antuk
salah panyiptané, tan panyipta pakéwuh pakéring, dosa dènsasabi, nuru kang sinuru.
(84) Nadyan sinurang-surung ing wuri, anerang wirangrong, nora rangu-rangu panggawéné,
wus anékad dèn tékadi dadi, arahaning éblis, ambles ambalusuk.
Yen wus mangkono ananing janmi, dahat sru pakéwoh, g one marékakè pratingkahé,
atiné wus kabuntel ing gajih, tan kamlamar isih, pinurih sareju.
Aja juwet alawan angling, lan janma mangkono, ngiris- iris angaras gegèrèd, hay wa
pangling ing panglimputing ngling, haywa ta kalilin, alingana alun.
Samunen ing nétya y wa katawis, mawas dèn waspaos, pahékang wus panalun-aluné,
nora élan yèn sira kalilin, tan ana nglangi, lumelanèng kayun.
Yuwanané kahanan ngenani, ing pétung katongton, tinenana titika dèn ngantèk,
osiking ngrat angraketi dadi, ilapat sayekti, kadyata ing dangu.
Samya rare alit ingkang angling, dodolan ngacemong, wuwus iku hya satemené,
pinèting kira-kira pan saking, wongtuwa kang angling, rare kang snurut.
Lawas-lawas kalakon sayekti, wuwus kang mangkono, yèku kalebu obah-osiké, ing
buwana wus amratandhani, yèn awas lan éling, barang rèh kadulu.
(85) Kedhap sasmita kang dèn ulati, satata nrusingdon, yèn tumekèng wekas pan tingalé,
wangsulena tingalira nguni, pènget duking nguwit, tinimbang lan tanduk.
Cahmbanjar 87
Tanduk dadak sira sandikani, ing rèh wus waspaos, kèh karaos nguni sasmitané, titnen
wus amangsakalani, dèn angati-ati, tatanireng laku.
Mapan ana titirah-tirah ning, ngantara rinaos, ing cihna kang yumana dadiné, nora
weca haywa wancak ati, dèn samun samining, sila-susilayu.
Sayogyané awisma nagari, ngabdi ing sang katong, katongtona ingrate saosiké, yèn wus
dadi pandumirèng budi, sawiyah ing ngati, kadya kang ing ngayun.
Ngayun-ayun asihing Hyan Widhi, pamurung rèh kéron, ana sedya hay wa tumekané,
ana teka haywa ana kapti, kodrating Hyang Widhi, kang akarya wurung.
Ing rèh Kalingasara tan dadi, karsaning Hyang Manon, jaman Kaliyoga liliruné, asukura
sèwu sukur kaki, sinetya-setyaning, tingkah haywa surud.
Saradaning jagad kèh kaèksi, tan kasatmatèngwong, ya wong ingkang tan nalurèkaké,
nalirahing nalar datan apti, senenganipun urip, ngarep-arep laku.
(86) Lalakoné kang ala sinarik, yèn harja rinojong, pan mengkono laku kalumrahé, moh ing
ngala akarep mring becik, madya lakunèki durung utameku.
Abot lakuning janma utami, angel yèn ginayoh, para pandhita wali lakuné, tyasira wus
pindha jalanindhi, tan akagyat osik, ing jagad kadulu.
Daluraning tyas nagkeni kapti, syuh brangta Hyang Manon, raga pinrih sirna,
winoraké, lan raganira Hyang Maha Sukci, wus tanpa sak-serik, doh saking sakuthu.
Wus akutha wesi purasani, basané tekèng ros, rasikaring raras kang asarèh, sosorah
sumarah ing sakalir, saliring ngulami, kang kataman tuwuh.
Tuwuh hay wa tan atuwas kaki, pamawasirèng don, dèn prayitna ingering panggawé,
sopanané sumepa sinami, sinamar-samaring, sarananing wuwus.
Haywata was-uwas yèn wus angling, lilingen ing raos, raosena sasana senengé, sanalika
ywa kongsi kasilip, pilih kaselaning, polah kyèh tan arus.
Ngaras-aras sasaran widik, tan dina dèn adon, y wa adan yèn wus tan kana-kené,
dumunguning sopana kang radin, rinadining kapti, ywa mingering kayun.
Kayungyuna pangayun-ayuning, yuwana pangay om, angayemi tyas mudha-mudhané,
pindha pandhita sung wasita di, ring siswa saèsthi, isthané ambangun.
(87) Bangun mabanguna ring tyas titis, tatané wawangson, wasanané hening pamanguné,
ninditaning tata nityasani, sasananing ngening, sumengka sumengku.
Sumengkaning dirya tan driyani, sasiki saenggon, unggyaning kang ngerah rejuning rèh,
marawarsa ya mamarta adi, ingkang sidi-sidi, weweraning kalbu.
Kalabaning loba kang ngalabi, labaning kalangon, ngalang-alang ala langenané, ing ilana
ywa ngangen-angeni, ngungun moneng maring, riringa rèh arum.
Cahmbanjar 88
Arum-arum pangruruming ragi, ragan-ragan angron, ngraraketi rikat pangruketé, yèn
wus kagem agemen kang gemi, gumun nibèng sari, sarira sarimur.
Haywa wahya wiyar angaweri, warana tan andon, anungnungku nukar karanané,
nanakera karaning olih, ngulah angalulu, lukita kaluluh.
Tan apanjang wasitanira nis rinugut pan angg op, panggagating gita wasanané,
Surakarta wedharing palupi, serat sun arani, pan Sasana Sunu.