serat sana sunu

89

Upload: br3k3l3

Post on 15-Apr-2017

652 views

Category:

Education


74 download

TRANSCRIPT

Cahmbanjar 1

SERAT SANA SUNU

Bahasa Indonesia

DHANDHANGGULA

(1) Dengan disertai doa agar dijauhkan dari bahaya dan disucikan oleh Sang Mahakuasa,

hendaknya berhasil baik dalam menyusun rangkaian nasehat atau petuah ini, supaya dapat

dijadikan pelajaran bagi anak cucu di kemudian hari. Pembuatan buku ini ditandai dengan

sangkalan tahun, Sapta Catur Swareng Janmi atau tahun 1747 Jawa (tahun 1819 M).

Penggubah memaksa diri untuk memberi nasehat kepada anak-anak yang telah berumur

supaya mereka selamat dari segalanya. Sang Pujangga berusaha berbuat demikian karena

bermaksud, agar petuahnya dapat menjadi teladan bagi kita yang hidup ini. Bukankah kita

selalu berharap, agar hidup kita selamat. Maka kita diminta supaya dapat menerima petunjuk

yang berupa nasehat-nasehat ini. Adapun nasehat-nasehat tersebut dibuat dengan didasari

kesabaran dan kejujuran, agar dapat menimbulkan gairah serta ketekunan. Lama-kelamaan

hasil itu dapat menjadi neraca dan dapat mengikatnya seperti tali. Penggubah atau penulis

petuah ini, tiada lain ialah Kyai Yasadipura, dengan diiringi ucapan wahai seluruh anak cucu

kami laksanakanlah hal-hal seperti terurai di bawah ini. Bagaimanakah seharusnya tindakan

orang hidup itu, maka untuk dapat dikenang, nasehat-nasehat tersebut dibagi dalam 12

macam :

(2) Pertama : Mengingatkan kita bahwa kita ini adalah umat.

Kedua : Kita harus ingat bahwa kita telah mendapatkan sandang dan pangan.

Ketiga : Kita wajib berusaha, terutama sandang dan rejeki yang harus keluar dari jerih

payah sendiri.

Keem pat : Atas perintah Tuhan kita disey ogyakan masuk Islam mengikuti jejak Nabi

Muhammad.

Kelima : Pakaian dan kegemaran.

Keenam : Menyangkut cara bergaul dengan sesama umat.

Ketujuh : Bagaimana jika makan di rumah, tidur, berjalan dan berpakaian, jika pergi dari

rumah.

Kedelapan : Mengenai penyambutan tamu.

Kesem bilan : Bagaimana orang bertutur kata dan mengeluarkan pendapat.

Kesepuluh : Besar kecilnya martabat manusia sebagai makhluk Tuhan.

Cahmbanjar 2

Kesebelas : Sebab-musabab adanya makhluk Tuhan, turunnya derajat, dan berubahny a

wahyu.

Kedua belas : Perubahan dunia.

Untuk jelasnya, tiap-tiap macam atau bab itu diterangkan satu demi satu.

I. Pertama

Diingatkan bahwa kita dijadikan oleh Tuhan dari semula tidak ada, kemudian

dijadikan manusia berasal dari sinar Kangjeng Nabi Muhammad. Untunglah bahwa kita ini

tak dijadikan oleh Allah menjadi hewan. Oleh sebab itu kita wajib mengucap syukur, kepada

Yang Mahakuasa, dan harus selalu menjaga hidup kita. Hati bulat pasrah terhadap Nya, dan

tak boleh mendendam sebab bila ada kehendak Tuhan sewaktu-waktu mengambil nyawa

kita, kita tentu akan menghadapnya.

Memang hidup manusia ini mengenai usia panjang pendeknya tak dapat ditentukan.

Oleh karena itu janganlah mengira bahwa kita ini akan hidup lama, dan pula jangan mengira

bahwa kita hidup hanya sebentar saja. Ini bukan urusan kita, tentang usia panjang dan

pendek itu memang sudah takdir. Hanya kita diminta memikirkan tentang mati dalam hidup.

Artinya mematikan hawa nafsu. Karena kita ini dijadikan oleh Tuhan, maka tak usah

khawatir. Kita diberi kemampuan, oleh sebab itu asal dengan keinginan yang betul-betul,

maka kita pasti dapat melaksanakannya.

II. Kedua

Manusia (kita) dilahirkan di dunia dengan diberi sandang dan pangan harus diingat

bahwa sandang lebih dahulu (tua) daripada pangan. Seperti halnya manusia yang lahir dari

rahim ibu, masih bayi bukannya terus disuapi, melainkan disiapkan lebih dahulu lampin-

lampinnya. Itulah sandang, pangan, kekayaan dan rejeki, semua tadi adalah pemberian

Tuhan.

Disini dapat diibaratkan bahwa kekayaan adalah sebagai istri tua, sedang rejeki sebagai

istri muda, dan kita harus dapat mengasuh keduanya. Kekayaan atau keduniawian yang

diumpamakan sebagai istri tua tadi, akan ikut serta selama kita hidup sampai mati.

Sedangkan rejeki yang seakan-akan menjadi istri muda akan menjadi kekuatan hidup kita.

Manusia harus dapat mengasuhnya, dan jangan sampai keduanya itu patah hati.

(4) Apabila kedua pemberian tadi pergi (lepas), maka hilangnya akan cepat sekali,

bagaikan kilat menyambar saja, dan kita tak mungkin dapat mengejarnya. Badan kita akan

terseret, rusak, dan akhirnya menjadi hina. Selanjutnya manusia akan selalu ragu-ragu dan

(3)

Cahmbanjar 3

gelisah, selalu salah pengertian. Apa saja yang diinginkannya luput, menggapai-gapai tak

sampai. Itulah akibat tak tahan ditinggalkan oleh kedua istri tersebut. Sehingga

menyebabkan hilangnya rasa kemanusiaan, suka mengambil istri orang lain, tak ubahnya

seperti binatang yang berada di hutan saja.

Apa yang dikerjakan kemudian; tiada lain menjambret, menggunting, mencuri. Padahal

kalau itu diketahui, umur kitalah yang menjadi ganti. Jasad kita akan tersia-sia terkapar

seperti hewan. Oleh sebab itu, penulis mengingatkan kita, supaya melaksanakan cara

mengasuh pemberian tersebut dengan baik, yaitu secara mengasihi keduanya. Tetapi harus

diingat, bahwa kedua istri itu jangan sampai pergi, karena terlalu kita kasihi. Orang tak boleh

selalu berkasih mesra, memanjakan kekasih, mengabulkan semua kehendaknya, sehingga

lupa kepada yang memberi (Tuhan). Tindakan yang demikian, yang mengutamakan

kemewahan dan seolah-olah itulah yang disembah, dapat menyebabkan kelemahan diri, dan

orang akan menemui sial. Dia tak dapat berjalan karena kegemukan, serta kekenyangan,

sehingga apabila berjalan akan terjungkal menggelundung masuk ke dalam jurang. Disana

terbentur batu, hancur, dan celakalah dia tak berharga sama sekali. Badan sengsara tak ada

yang memperhatikan.

(5) Oleh karena itu kita tidak boleh berbuat demikian, sedang-sedang sajalah. Rejeki dan

kekayaan itu jangan terlalu kita cintai.

III. Ketiga

Allah memerintahkan supaya manusia mencari sandang pangan dari hasil jerih payah

sendiri. Di dunia ini banyak sekali pekerjaan untuk mencukupi sandang pangan. Sedang yang

terbaik, sekali lagi adalah hasil yang keluar dari cucuran peluh sendiri.

Mengenai orang mencari nafkah mempunyai batas-batas tersendiri, yaitu orang laki-

laki memikul kayu, dan yang perempuan menggendong tenggok (bakul).

Demikianlah ibarat jika badan sedang sial, maka laki-perempuan masing-masing

menggendong dan memikul. Lain halnya, bila baru diistimewakan oleh Tuhan, maka mencari

sandang pangan pun sangat mudah. Tetapi andaikata mudah, orang harus waspada. Sebab

uang yang tidak halal, biar banyak, tetapi belum sah jangan mau, dan jangan diambil. Lebih

baik uang itu sedikit, tetapi diperoleh dari penghasilan sendiri, artinya pendapatan yang sah

menurut hukum.

Penulis berpesan, bila orang mencari nafkah, janganlah dengan cara meminjamkan uang

dengan berbunga. Sebab biarpun itu cepat kaya tetapi cara tadi tidak layak dilakukan. Hal itu

dapat menyebabkan sengsara, karena cara tersebut bukan peninggalan nenek moyang.

Cahmbanjar 4

Dikatakan disini, bahwa pekerjaan yang baik itu bersawah, bertanam padi, pokoknya

menjadi petani. Bersawah memang rangkaian pekerjaannya, banyak yang perlu dilaksanakan

dengan rajin dan tekun. Ya, memang berat orang mencari penghasilan itu.

(6) Orang mencari nafkah tidak boleh dianggap ringan, sebab manusia itu berakal. Jika tak

berhasil dengan cara begini atau begitu, coba dengan cara lain sehingga berhasil. Lain halnya

dengan hewan yang tak berakal, mencari makan hanya dengan mulutnya saja. Datang di

tempat, terus makan daun ataupun rumput.

Sesudah berhasil, orang harus menerimanya dengan besar hati dan mengucap syukur

kepada Tuhan. Biar hasil itu hanya sedikit tetapi itu adalah pemberian Allah. Masih untung

diberi, daripada tidak. Seperti halnya mereka yang tak dapat mencari rejeki, yang

penghasilannya hanya dari meminta-minta saja. Itu sebenarnya diberi, tetapi rahmat Tuhan

yang baik itu putus tidak diteruskan. Hasilnya sudah diambil, tentu saja terhalang tak dapat

diperoleh, hal ini karena anugerah Allah telah dilepaskannya.

Akal orang tersebut sudah keruh, sebab ketika masih anak-anak memang kurang ajar.

Setelah tua terikat iblis, dengan demikian ia tak mampu berbuat apapun. Andaikata dia itu

mau berbuat sesuatu, jika memang tidak dapat bersawah, ya menjadi tukang pandai besi,

ataupun membuat barang-barang dari tembaga, dan lain-lain. Sebenarnya kalau dia belum

dapat seharusnya belajar lebih dahulu. Pekerjaan bagi manusia itu banyak, baik yang ringan

maupun berat. Misalnya mengabdi, ya harus mau mendekat, rajin mengawal serta berhati

jujur. Manusia diingatkan, bahwa mereka harus sadar bahwa orang itu mudah sekali sial.

Tidak boleh membanggakan, bahwa bapak ibu masih hidup, masih ditunggui, dan

cukup mengabdi majikan dengan baik. Bila demikian keinginan manusia, budinya akan

sempit, kosong, tak berilmu, karena hanya membanggakan bahwa masih muda.

SINOM

IV. Keempat

(7) Hal yang keempat menyangkut : bahwa karena titah Tuhanlah maka orang harus

masuk Islam, mengikuti Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Tidak boleh meninggalkan

sarengat maupun perintah Nabi baik yang terg olong sunah, w ajib, w enang, dan mokal. Harus

berusaha dapat melakukan mana yang batal, haram, halal, musabiyah, dan jangan lupa akan

kelima rukun Islam itu. Jika tak dapat menunaikan rukun Islam yang kelima, berarti tak

dapat ke Baitullah (kabah) naik haji, maka keempat rukun Islam yang lain itu sajalah jangan

sampai diabaikan.

Cahmbanjar 5

Sarengat merupakan tindakan badaniah, tarekat tindakan batiniah, sedang hakekat

adalah ulah nyawa dan makripat ulah rasa, semua tadi harus diketahui cara- cara

melakukannya. Sarengat tak boleh ditinggalkan, karena dapat menyebabkan dirinya lemah.

Tentu saja tidak akan mungkin menyamai sarengat Nabi, itu dilarang dan juga tak akan

mampu. Kecuali kalau orang itu memang dikehendaki Allah menjadi mukmin sejati, atau

orang yang benar-benar percaya pada Allah. Orang harus beragama, tidak boleh menyembah

berhala. Lagi pula tak boleh kafir, dan tidak boleh melanggar peraturan agama. Karena dasar

manusia itu memang lemah, ya paling tidak tentu berbuat maksiat atau tindakan yang

berdosa. Kalau hanya berbuat maksiat saja, mungkin penyesalan yang dilakukan siang malam

atas dosa-dosanya yang telah dilakukannya akan diampuni Tuhan.

(8) Tetapi jika orang kafir, menyembah berhala, sukarlah mendapatkan ampun. Padahal

kalau penyesalan atas dosanya itu tak diterima Tuhan, maka bencanalah yang akan

ditemuinya.

Sarengat merupakan wadah sopan santun, sekali lagi tak boleh ditinggalkan. Orang

meninggalkan sopan-santun, tidak mustahil menjadi tempat setan, tempat dosa yang besar.

Kangjeng Rasul akan marah kepada orang itu.

Kemurkaan Rasullollah berarti pula kemurkaan Tuhan ; ya allah ya Rasullollah. Sebab

itu orang harus ingat dan percaya aka nisi kitab, dan siapa yang tak dapat melakukan hal itu,

jangan mencela dan menegurnya.

Memang ada sementara orang yang menertawakan orang bersembahyang. Dia itu

kerasukan setan, justru dia sendiri tidak menjalankannya. Ada juga yang menjalankan

sembahyang, tetapi suku berolok-olok, menertawai orang lain. Ini seperti halnya orang

minum arak (minuman keras), yang berolok-olok sambil mengatakan bahwa minum arak itu

tidak haram, melainkan halal.

Orang yang menyatakan demikian tadi berbuat dosa dua kali. Pertama menghalalkan

minumam keras, kedua ia sendiri justru minum arak yang merupakan minumam larangan.

Sebab itulah orang harus berhati-hati, tidak seenaknya berbicara dan melanggar larangan-

larangan. Barang terlarang tak boleh dilakukan, pertama haram, kedua tidak berguna.

Hal yang tak penting hanya dibuat porak poranda, sesuka hati, yang sebenarnya tidak

seimbang dengan dosanya. Sudah jelas bahwa orang minum arak itu pasti mabuk. Jika

mabuknya tidak baik, maka badan menjadi rusak, hati bergejolak seperti akan menelan bumi,

sopan-santun dan kehati-hatiannya sudah hilang.

Jika mabuknya orang itu baik, maka badannya hanya lemas saja tak berdaya.

Kekhusukannya terhadap Tuhan berkurang, hatinya menjadi bingung, lupa bagaimana cara

(9)

Cahmbanjar 6

mencari tindakan yang betul. Orang yang lupa kepada Tuhan berarti meng hilangkan

perbuatan baik, dia akan rugi tak mendapat untung, tidak kasihan serta mempersakit diri

sendiri.

Dituturkan bahwa mabuk itu ada lima macam :

Pertama, mabuk pada minuman keras. Telah diuraikan di depan bahwa akibatnya tidak

baik.

Kedua, mabuknya orang muda dan lagi berwajah tampan, bahkan dalam berpakaian pun

tidak kekurangan. Pada perasaannya tak ada orang lain yang tampan selain dirinya. Hanya

dia sendirilah yang rupawan. Itulah dia orang yang mabuk, yang selalu memperhatikan diri

sendiri saja. Sebenarnya yang disebut bagus itu ada dua hal : (1 ) Kebagusan wajah ; (2)

Kebagusan hati. Walaupun wajahnya tampan tetapi berhati jahat, tentu menjadi orang jahat

pula. Semua tindakannya rusuh, hatinya penuh angkara murka. Itulah mabuknya orang

muda, apa yang dikerjakan serba kuat dan tanpa perhitungan. Sungguh semua hal tadi jelas

terhalang.

(10) Ketiga, ialah mabuk akan kemewahan. Artinya senang akan mewah yang berlebih-

lebihan. Siang malam ingin menikmati kemewahan itu, makan enak, tidur enak. Tak aka nada

habisnya bila orang yang mabuk kemewahan tersebut dibicarakan.

Keem pat, yaitu mabuk yang timbul dari hawa nafsu. Nafsu yang berlarut-larut yang tak

dikendalikan sedikitpun, baik terhadap istri, pembantu, maupun orang lain. Kepada mereka

dia berbicara keras dan kasar serta ringan tangan. Belum tentu mereka itu salah, tanpa

kesabaran, tanpa diteliti lebih dahulu, belum selesai memeriksanya, sudah tergesa-gesa

marah.

Kelima, ialah mabuk kesenangan, kesenangan apa saja yang melampaui batas.

Sebenarnya kelima macam mabuk tersebut, sama haramnya dengan mabuk arak. Semua

tindakan yang menyebabkan lupa terhadap Tuhan, tak boleh dilakukan. Apabila manusia

telah terbelenggu oleh kelima mabuk tadi, maka tak urung akan menjadi hina-dina, dan

menderita sengsara dunia. Tak usah menanti di akhirat, di dunia pun sudah terjadi

kesengsaraan yang timbul karena melanggar larangan itu.

Penggubah mengingatkan bahwa haram itu bagaikan “aling-aling” atau penutup, jadi

menutup hati manusia sehingga lupa kepada Tuhan. Sedang halal i tu termasuk baik, hati suci

tiada tertutup, tidak lupa kepada Tuhan.

(11) Demikian bila orang dapat menjadi hamba Tuhan yang baik, maka dia akan menolak

semua barang yang terlarang jangan seperti ucapan orang sinting, yang mengatakan bahwa

dengan ucapan pun pasti diterima oleh Allah. Dikatakan oleh orang ahli hakekat (ilmu

Cahmbanjar 7

kenyataan) yang menerima nasehat dari gurunya, bahwa haram suba’at itu tidak ada,

semuanya dianggap halal.

Ucapan orang itu sungguh gila, ucapan orang yang telah terbelenggu setan, pasti nanti

mendapat murka dari Tuhan. Adapun tindakan yang baik ialah tindakan yang sungguh-

sungguh mampu sampai ke hakekat yang benar. Beralih ke ilmu makrifat (pandangan

terhadap sifat-sifat Allah), yang hanya dapat dikuasai oleh orang yang telah memperoleh

kasih Tuhan.

Orang seperti itu, tindakan yang dianggap halal pun belum tentu mau

melaksanakannya, lebih-lebih tindakan yang haram. Bila orang dapat bertindak seperti

tersebut, dan mendapatkan wahyu Allah, maka orang itu sama derajatnya dengan wali. Wali

suci yang menjaga semuanya. Sesudah Rasullollah maka para wali suci itulah yang menjadi

tiang langit dan dunia. Hal itu terlalu muluk kalau ditiru, dan mustahil sekali dapat

menirunya. Sebab manusia itu ringkih (lemah), hanya saja jangan sampai memulai bersahabat

dengan setan.

Kita tidak boleh minum candu. Memang “madad” itu tidak baik. Dan tak ada tempat

baik bagi mereka yang suka merokok yang memabukkan. Sebab bila orang sudah

“menyandu”, bukannya orang yang makan candu, melainkan candulah yang memakan orang.

Jika sudah demikian maka maut siap merenggut, dan memang tak ada orang yang minum

candu dapat memiliki umur panjang. Hal seperti itu sama dengan menyiksa badan sendiri,

serta di dalam peraturan agama termasuk larangan.

(12) Yang jelas “terlarang” adalah “mabuk” itu sendiri, maka barang-barang yang

memabukkan ikut pula dilarang. Membicarakan hinanya orang makan candu tak aka nada

habisnya, dan kita mengetahui akibat-akibat dari semua yang pernah terjadi. Tetapi ada juga

yang memberi tahu, bahwa candu itu sedikit halal, yaitu untuk mencampuri obat anget.

Candu dicampurkan sedikit saja ke dalam obat panas, dan memang kemudian dapat

menyembuhkan badan. Untuk inilah candu tadi boleh dipakai. Keterangan yang

menerangkan tentang halalnya candu itu termuat dalam kitab Sarahbayan.

Selanjutnya penggubah, menasehatkan agar kita (anak cucu) tidak melakukan judi, ini

juga termasuk kehidupan yang hina. Di dalam peraturan agama, judi memang benar-benar

dilarang, sebab kenyataannya orang jahat itu akibat dari minum candu dan berjudi ini.

Orang dilarang pula mendalami wuku tiga puluh, beserta dewa-dewa yang dipujanya

itu. Dalam sarak (peraturan agama) dianggap tidak baik, hal itu disebut kafir ; sebab seolah-

olah mendua dalam kepercayaan terhadap Tuhan. Memang setengahnya orang dapat tertarik

akan kelebihan wuku, yang mengetengahkan semua peristiwa yang belum terjadi, misalnya

Cahmbanjar 8

kejadian bayi, keadaan selama hidupnya, untung dan celakanya. Semua telah diungkapkan

dalam wuku tadi dan nyata tak ada yang salah.

(13) Walaupun demikian orang tak perlu heran. Sebab sudah ditandai dan termuat dalam

wangsalan “Sembung gilang ing Palembang dipangga lit” (sembung gilang adalah daun sigugu, dalam

teks jatuh pada kagugu atau “dipercaya”. Dipanggalit maksudnya “raja hutan kecil”, yaitu

“singa”, dalam teks jatuh pada singa-singa atau apa saja). Jadi semua berarti bahwa “apa saja

yang benar-benar dipercaya tentu akan terlihat”. Jangankan para dewa yang diciptakan lebih

dari yang lain, sedangkan bebatuan, pepohonan jika dipuja-puja dengan disertai setanggi

serta diolesi wangi- wangian, tentu akan terbayang dalam angan-angan. Demikian tadi

menurut ucapan orang yang lemah. Sebenarnya semua itu karena pengaruh perasaannya

sendiri, dan itulah penyebab sering terjadinya penyimpangan agama, justru semacam tradisi

tadi.

Tetapi menurut ucapan orang ahli, ilmu semacam tersebut diatas, tidak diperbolehkan.

Demikian pula semua ilmu iladuni (membicarakan peristiwa yang belum terjadi). Ilmu

perhitungan dalam i lmu nujum yang merupakan ilmu awal pembuka segala yang serba gaib,

yang tak lain berasal dari Arab dari Nabi utusan kita itu.

Nenek moyang melarang akan pemakaian gamelan, terutama dalam hajat kerja

perkawinan. Meskipun orang yang mempunyai hajat itu mampu, tetapi dalam mengawinkan

anaknya, tak boleh memakai gamelan. Hal ini merupakan larangan, yang tersurat, dalam

kebiasaan hidup bagi orang yang mengabdi raja. Orang boleh mempergunakan gamelan, bila

dia mengadakan hajat hanya khitanan atau selamatan menujuh bulan (orang hamil) saja.

Mempergunakan gamelan dianggap terlalu besar. Tetapi untuk mengikuti kebiasaan

umum, melanggar sedikit tak apalah, dengan cara mewakilkan. Hajat itu diwakilkan, supaya

tidak kentara semata-mata dari yang bersangkutan.

(14) Sementara gamelan berbunyi, orang yang mempunyai hajat tadi, supaya berdoa kepada

Tuhan mohon agar semua diperkenankan. Selain itu juga mengirim doa pada para leluhur

yang mempunyai pantangan itu, dengan maksud agar terhindar dari bahaya. Cara itu

dilaksanakan lima atau enam hari sebelum gamelan dibunyikan, dan dengan sikap khidmad

dilakukannya pada malam hari di tempat yang sunyi.

Bagi orang awam, bila diperkenankan, maka disitu akan mendapatkan petunjuk/ tanda

yang terlihat dalam mimpi. Mengenai tanda ini, bagi orang yang benar-benar beriman, para

wali dan para nabi, maka tentang ayat-ayat yang dianugerahkan kepada mereka, kebanyakan

berujud suara. Itu saja masih ada yang mengatakan bahwa wahyu, Nabi Ibrahim dan Nabi

Yusup dahulu itu diterimanya lewat mimpi juga.

Cahmbanjar 9

Memang kadang-kadang demikianlah, yaitu ketika Malaikat Jabarail diperintahkan

Allah untuk memberikan wahyu. Tetapi sekarang setelah Nabi Muhammad, atas kehendak

Tuhan cara itu telah hilang.

Nafsu manusia ternyata makin besar, hingga menyebabkan hilangnya kewaspadaan dan

ingatan. Dia tak dapat mengetahui akan adanya wahyu yang tidak sejati, sebab disamping itu

banyak wahyu berasal dari setan yang tak dapat dipercaya itu.

Angkara murka makin berkuasa, pencuri makin banyak, dan orang cerdik pandai

makin terdesak, hal ini ternyata terjadi di semua tempat. perbuatan baik itu memang tidak

kekurangan, para ulama dan orang pandai se rta bijaksana, mengatakan bahwa banyak sekali

buku-buku yang memuat pelajaran tentang tindakan baik, tidak terkecuali dimuat juga

dalam bacaan tentang asmara.

ASMARADANA

Kyai Yasadipura menasehatkan agar orang rajin mempelajari ilmu, berguru kepada para

ahli, dan harus banyak bertanya, disertai sikap hormat dan tidak memperlihatkan bahwa

dirinya sebenarnya tahu juga. Dengan berlagak seperti orang bodoh, demikianlah sikap untuk

mendapatkan pelajaran dari orang lain.

Maksud selanjutnya ialah menyadarkan bahwa kebaikan dan kemuliaan orang dimulai

dari lahir di dunia sampai meninggal dan kemuliaan asal mula penciptaan manusia. Tidak

cukup hanya mengamati kitab saja, jika maknanya tidak dirasakan bahkan larangan-larangan

di dalamnya jarang dipatuhi juga.

Lagi pula bila kamu membaca dengan hati-hati kitab Nitisruti, Nitipraja, Sewaka,

Wulangreh, Panitisastra, Asthabrata dan kitab lama bahasa Jawa Kuna, tidak perlu selalu

dilagukan dengan berbagai gaya yang tidak berguna.

Orang muda jaman sekarang, memang senang bergaya dengan suara mengalun,

mengombak, hingga menutupi ketajaman rasa. Orang bergaya memang ada gunanya sedikit,

ialah untuk mempercepat pembacaan itu dan agar tidak hambar. Tetapi tidak boleh luput,

apa yang dibaca harus ingat dan tertanam dalam hati.

V. Kelima

Disini dikemukakan mengenai pakaian dengan larangan-larangannya, serta kegemaran-

kegemaran orang. Dalam berpakaian (berkain), orang dilarang memakai kain batik bercorak

Tambal.

(15)

Cahmbanjar 10

(16) Misalnya : Tambal Suka duka, Tambal Kanoman, Tambal Miring. Kemudian kain lurik

Tuluhsela, ikat pinggang batik (juga dilarang). Kalau tak mempunyai yang berwarna hijau,

kuning, ungu, atau berbunga, baik memakai yang putih saja. Kain “wulung” (hitam agak

kebiru-biruan) juga tak boleh dipakai, supaya orang itu tidak sial. Jangan memelihara kuda

hitam jika kamu memang tidak tangkas.

Jika mampu, kamu dapat mengenakan ikat pinggang cindhe dari negeri luar, hanya saja

dilarang memakai solok (sejenis ikat pinggang) Limar gedhog. Apa saja yang disukai boleh

dipakai, selain yang termasuk larangan tadi. Semua larangan raja, jangan sampai orange

berani memakainya.

Dilarang pula memakai batik garapan orang (jaman) sekarang, baju batik Baron

Sekender, yaitu gambar orang-orangan. Pokoknya gambar dari semua bentuk yang bernyawa

itu haram (terlarang).

Mustahil kalau kekurangan macam batik, disini ada corak lung- lungan, ceplokan

dedaunan dan lain-lain. Orang dilarang bersikeras meniru, yang berhak (raja), sebab mereka

itu hanya abdi, yang mudah celaka, busuk, dan rusak.

Rintangan yang sedang kita alami, berarti pula rintangan manusia. Keadaan yang tak

menentu bagi manusia itu sebenarnya hanyalah dat (sifat keadaan) saja, yang abadi tak akan

rusak. Sedang tugasnya adalah mewujudkan adanya sifat tersebut.

Larangan besar lagi ialah, bagi orang yang sedang tak mengenakan baju. Dia tak

diperbolehkan memakai saputangan yang dikalungkan di leher. Sebab bila untuk

bersembahyang selalu mengganggu, lebih baik diletakkan di pundak kiri atau kanan,

semaunya.

Jika berpakaian, seyogyanya yang sedang-sedang saja, baik kain maupun ikat

kepalanya. Tidak baik orang bersolek t iap pagi s ore dan siang, seyogyanya hanya pada waktu

tertentu saja. Orang yang senang berhias diri berlebih-lebihan, sifatnya mendatangkan

miskin, mengurangi rejeki. Kecuali itu melemahkan hati yang ingin bertindak bijaksana.

Rejeki itu akan lari bila melihat orang genit bersolek.

Sementara bagi yang masih muda memang tidak boleh berdandan awut-awutan saja,

itu seperti dandanan orang jahat. Jika pada suatu waktu pergi ke perjamuan atau bepergian,

baik berhias dengan desthar yang bagus dan rapi seperti bersisir penyu pula.

Bila dikaji, ternyata bahwa cara berhias seperti tersebut di atas, adalah cara berhias

orang pandai yang serba tahu. Kepandaiannya banyak, dapat mempertemukan dan

menyelesaikan sesuatu, dapat membuat yang berbau tak sedap menjadi harum. Sedang yang

sudah harum menjadi semakin harum, karena yang gelap menjadi terang. Dia berhias itu

(17)

Cahmbanjar 11

tidak sungguh-sungguh, tidak sampai di hati, hanya untuk penutup saja, menutupi

kepandaiannya. Sudah biasa sifat orang cendekiawan itu demikian.

Sebenarnya dia itu pandai tetapi mengaku bodoh, karena hatinya sudah luas seperti

lautan, artinya banyak memaafkan. Bagi para ulama dan penasehat (dalam perkara agama)

cara berhiasnya menurut lafal (kata-kata dalam doa) yaitu Jayinapsaka bilamaksiyati. Artinya

mereka harus berhias dengan pakaian (yang dianggap) maksiat.

Yang dimaksud ialah berhias hanya sebagai perisai saja, tidak benar sampai di hati. Arti

lafal jayinapsaka bilmaksiyati jika dibicarakan tidak akan cukup cara dan tidak ada habisnya.

Dari itu anak cucu diseyogyakan supaya berhati-hati dalam segala tindakan. Bagaimana

hasilnya nanti harus dipikirkan lebih dahulu, tidak boleh hanya asal saja, lebih-lebih bersolek

yang tak berguna. Dituturkan bahwa orang harus suka berdandan tetapi jangan pesolek,

harus pandai tetapi tidak boleh sombong.

Suka berdandan artinya boleh berhias diri tetapi sedang-sedang sajalah, jangan sampai

terlanjur lupa diri. Hanya bersoleknya orang yang rajin akan kebersihan sajalah yang benar-

benar berdandan sampai di hati, dan kemudian dapat menimbulkan sifat yang baik, janganlah

bersolek seperti anda.

Adapun orang yang benar-benar suka bersolek, itu mengakibatkan lupa akan

kelemahan dirinya. Hatinya mudah tergiur, pintu keberuntungan terhalang yang terbuka

hanyalah pintu kejahatan. Segala yang baik menjauh, sedang yang jahat mendekat. Sifat itu

menjauhkan rasa senang (terima kasih) kepada pemberian Tuhan berupa apa saja.

Menjauhkan hati sabar, mendekatkan ketamakan, serta rasa marah bila tak terpenuhi

kehendaknya. Tidak akan selesai-selesai bila membicarakan keadaan orang yang suka

bersolek ini. Sekarang ganti soal mengenai kesenangan atau kegemaran orang hidup yang

terdiri dari 5 macam.

Satu ; Orang tidak boleh senang akan kekayaan sebab orang itu dapat lupa akan tugas

akhirat. Sepanjang siang dan malam hanya memikirkan kekayaan. Tindakannya kejam,

nafsunya sebesar gunung, tak mempedulikan batal haram. Sebenarnya, emas permata yang

berkilauan serta uang yang berlebihan itu, hanyalah pembagian untuk manusia yang disebut

kekayaan.

Kekayaan itu sendiri dalam kenyataan, sebenarnya terg olong sesuatu yang tidak baik,

sebab menjauhkan diri dari hal-hal akhirat. Kekayaan ini ibarat neraka, sedang akhirat adalah

sorga. Renungkanlah hal itu.

Orang harus pandai memegang uang. Artinya dapat menggunakan uang sesuai dengan

penggunaannya, batal atau haram, kesemuanya perlu diketahui lebih dahulu. Pengeluaran

(18)

(19)

Cahmbanjar 12

uang tidak boleh terus-menerus, walau itu sudah menjadi haknya, harus diusahakan yang

rapi tidak boleh kentara.

Dalam kitab Panitisastra disebutkan bahwa orang yang menumpuk banyak uang, dapat

disamakan dengan orang membendung air. Bendungan yang tak diberi jalan untuk alur air

keluar, sama halnya dengan uang yang tak dikeluarkan untuk dana ataupun zakat.

Bendungan tadi tersumbat, lalu jebol seperti terlanda banjir, larut tak kuat bertahan. Jelas hal

seperti ini mengandung bahaya besar, dan kenyataan sudah banyak terjadi biar kecil atau

besar yang dapat dipakai sebagai contoh.

Sebuah contoh kecil sebagai peringatan yaitu tentang kaum di desa Cabeyan, bernama

Ki Nurngali. Orang itu wadat (tidak kawin) sendirian tanpa istri dan kawan. Dia mempunyai

banyak nasi kering, semula berasal dari nasi berkat kenduri. Nasi tadi diminta tetangganya

tetapi bersikeras tak diberikan. Olehnya lebih baik dijemur, lalu disimpan. Demikian kikirnya

tak layak seperti manusia pada umumnya. Dia hanya minta saja, kalau memberi tidak mau.

Ki Nurngali sedikit berada, di desanya dia dapat digolongkan orang yang kaya. Hanya

kikirnya luar biasa. Pada suatu pagi buta, ia hendak subuhan dan pergi ke sendang untuk

mengambil air wudu. Tiba-tiba seseorang memukul teng kuknya dengan pentung sehingga

dia meninggal.

Simpanan uang yang dibawa sebanyak 25 anggris, yang ditaruh dalam ikat pinggangny a

hilang. Sedang yang tersimpan di rumah berupa uang dan kain sudah diambil pula oleh

pencuri yang memukulnya di sendang tadi, dan kini tinggal nasi keringnya saja.

Itulah contoh orang yang senang uang, tidak percaya akan Allah, kesana kemari

uangnya dibawa terus. Dia tak mau berbuat amal, hanya mengandalkan rajin sembahyang

saja, yang memang itu sudah menjadi kewajiban manusia untuk bersembahyang 5 waktu.

Lain halnya dengan berbuat amal dan kebaikan. Artinya berbuat amal saleh yang ditujukan

kepada yang Maha K uasa. Selain khusuk berbakti, juga berbuat baik kepada sesama. Tetapi

tidak mencari pujian, itu tak akan menjadi sahabat.

KINANTHI

(21) Mengenai amal saleh oleh penggubah tidak perlu diperpanjang, sebab sudah banyak

tertera dalam kitab. Kecuali petuah para ulama, jika orang belum mengerti, lebih baik

bertanya saja. Nasehat tadi harus dicatat di dalam hati, supaya jangan lupa bahwa tindakan

orang hidup itu dilarang tertarik kepada kegemaran yang menimbulkan kea rah

penyelewengan.

(20)

Cahmbanjar 13

Orang harus patuh mengendalikan kehendaknya sendiri. Agar gemar memberi, jangan

kikir, dan itu baik dilaksanakan siang malam. Gemar memberi berarti, orang dapat memberi

kepada sesama umat, dengan baik dan ikhlas sampai di hati. Memberi dengan ikhlas berarti

memberi tanpa ada maksud akan mendapat balasan. Sedang yang dimaksud kikir ialah

dilarang memberi secara berlebih-lebihan tanpa ada gunanya, disebabkan hanya akan

mencari pujian saja. Padahal dia sendiri belum kuat menahan hawa nafsunya, menahan

kehendak untuk berpakaian bagus dan makan enak.

Orang tidak boleh sombong walaupun dia tidak akan kekurangan meski banyak

berdana. Sebab Tuhan tidak menitahkan dia untuk menolong orang lain, bila badan sendiri

belum cukup. Tidak boleh meniru Katintah yi, sebab dia itu telah menjadi orang terpilih,

hampir setengah aulia (wali). Sudah putus segala ilmu dan sudah diijinkan oleh Allah.

(22) Kita harus merasa sebagai orang yang lemah, jadi harus menyayangi kemurahan Tuhan

yang diberikan kepada kita. Bila kita tidak menyayangi berarti kita ini sombong kurang

berterima kasih akan kenikmatan yang kita terima. Meskipun bertindak sesuatu yang baik,

tetapi tak tahu asal mulanya itu berarti ngawur dan tercampuri setan.

1) Segala tindakan harus disertai pertimbangan yang betul. Baiklah dimulai dari madya,

(baik atau sedang) lebih dahulu, bila hati telah mantap, maka diusahakan agar dapat

mendekati tindakan yang utama (terbaik). Jika tindakan itu dimulai dari yang utama lebih

dahulu, maka bila hati tidak mantap dan kalau mendapat rintangan, akibatnya orang akan

jatuh sengsara. Andaikata hati telah mantap betul-betul, di situ ia akan menemukan

keutamaan hidup. Tetapi hal tersebut jarang sekali, orang yang termasuk utama itu.

Kebanyakan orang jaman sekarang ini tergolong orang tercela. Sebab orang tercela tadi

jika bertindak yang hina t idak akan malu-malu. Dari i tulah maka orang akan tetap menemui

hina walaupun bertindak baik, dan tindakan tercela i tu akhirnya akan rusak. Tindakan yang

baik merupakan bunga keutamaan, sedang keutamaan merupakan bunga kemuliaan. Satu

demi satu harus diketahui bagaimana sebenarnya tindakan nista, madya dan utama tadi,

sebab banyak orang yang keliru menyebutkannya.

(23) Nista disebut madya, madya dikira utama karena kebanyakan nafsu menyelubung i

dunia ini. Memang siapa gerangan yang kuat menerima dan menahan kehendak hati yang

menggelora itu.

2) Kemudian orang dilarang gemar akan perempuan. Sebab bila gagal, berakibat

rusaknya badan, dan rusaknya sama dengan orang yang gemar akan uang. Masih lumayan

orang yang gemar uang, sebab bila dapat menggunakannya dengan betul, maka uang yang

digunakan dengan suci itu menjadi sarana untuk menarik ke s orga. Tetapi orang yang gemar

Cahmbanjar 14

perempuan tak urung bahaya besar yang menghadangnya. Oleh penggubah dinasehatkan

bagi orang yang gemar perempuan itu, disikat saja. Tidak perlu salah paham, sebab semua

telah dapat dibuktikan, dan bila diceritakan, hal ini akan berkepanjangan. Untunglah bagi

orang yang dapat melaksanakannya (menahan nafsu perempuan).

3) Selanjutnya dinasehatkan agar orang tidak gemar akan s uara dan rasa. Gemar suara

itu seperti seekor burung gelatik yang terkena pasangan oleh umpan temannya sendiri.

Gelatik temannya itu bersuara tik, tik, tik suaranya sangat menarik, sehingga burung yang

seekor tadi mendengar, dan tertarik akan suaranya. Tanpa curiga dia datang mendekat tahu-

tahu burung tadi masuk perangkap.

Sedangkan gemar rasa itu dapat disamakan seperti ikan dipancing orang dalam kedung

(telaga). Ikan di dalam telaga itu melihat makanan, tanpa hati-hati terus disambar saja, tidak

disadari bahwa dirinya kena perang kap. Ikan ditarik, kemudian jatuh di tanah dan matilah

ikan itu. Karena itu kita harus ingat dan waspada, segala tindakan tidak boleh tergesa-gesa

“gita” dilakukan, sebelum dipikir sungguh-sungguh dan tahu kepentingannya “gati”.

(24) Tidak perlu terkejut dan terburu-buru akan sesuatu hal jika belum tahu kebenarannya.

Tidak pantas bila seseorang seperti ikan yang kena pancing tadi, mati karena hanya menuruti

nafsunya saja, tak mengetahui adanya tipu muslihat.

4) Orang dilarang senang pada sesuatu yang indah yang dijadikan kesayangan. Sebab

sudah pernah terjadi, dan ini jangan sampai terlanjur seperti pengukir Sastradiwangsa. Dia

senang sekali burung perkutut dengan mengukir didengarkannya suara burung itu. Rasanya

segar dan gembira mendengar suara yang merdu tadi, mengukirnya hulu keris lebih giat dan

lebih tekun.

Pada suatu hari burung perkutut itu tak mau berbunyi ; disuruhnya berbunyi, tetapi s i

burung tetap bungkam saja. Pak Sastradiwangsa marah, pekerjaannya dihentikan. Dia

mendekati sangkar, sangkar dipegang dan burung itu diambil keluar. Dengan keras

berkatalah ia :

“Hai burung mengapa kau tak memperdengarkan suaramu, aku ini kan memeliharamu”.

Burung lalu dibelaiannya, dia terlena, si burung lepas, terbang, namun tidak gesit. Yang

empunya mengejar dan tertangkaplah burung itu. Sastradiwangsa marah bukan main, burung

dibanting, tentu saja mati seketika. Dengan lantang dia menantang.

“Ay o kalau kamu berani, inilah Sastradiwangsa”.

Burung lalu diinjak, digilas lumat bercampur tanah. Orang hidup dilarang bertindak

seperti itu.

Cahmbanjar 15

(25) Dimana pun juga takkan ada burung yang dapat berbicara, apa lagi ditantang dan

diajak bertengkar. Orang itu benar-benar kurang pikir. Dia merupakan seorang yang senang

akan ujud (binatang) kesayangan tetapi ngawur saja.

5) Selanjutnya orang dilarang senang akan kuda, karena hal itu tidak baik. Memang di

manapun juga orang tak akan mau bila dilarang menggemari kuda. Karen demikianlah

umumnya orang mengabdi, jadi baik dipertimbang kan lebih dahulu, dan sebaiknya dapat

memperkirakannya sendiri. Andaikata ada orang menertawakan dirinya, karena tidak dapat

naik kuda dia tidak perlu malu. Harus diterima saja, untunglah masih ada yang mau

mencelanya.

Menggemari kuda sebenarnya ada 2 hal yang menghalangi yaitu : merintangi orang

mengabdi dan merintangi orang sewaktu menghadapi maut. Lain halnya dengan Raden

Suranagara dan Raden Tohpati yang gemar kuda. Kuda bagi mereka bukan lagi kegemaran,

tetapi memang sudah pekerjaan mereka. Atas perintah raja mereka diserahi memelihara kuda,

dan itu sebagai mata pencaharian hidup mereka. Jadi aib lah bila mereka tidak mampu

menguasai kuda, sebab akan terg olong orang yang tak berguna.

Selagi masih hidup orang harus mencintai pekerjaan yang menjadi tiang hidupnya.

Cinta dan kehendak adalah sama bila orang itu sungguh-sungguh bekerja. Hal itu sama saja

dengan menyembah Allah secara sembahyang lima waktu, ya seperti apa yang telah menjadi

kewajibannya. Kitab Bustam menguraikan tentang hal tadi. Bila seseorang diperintah

melaksanakan sesuatu, maka ia harus senang dalam pengabdiannya itu.

Anak cucu dilarang mempunyai watak suka menyeleweng, itu berdosa dua kali.

Pertama dosa kepada majikannya, kedua kepada temannya. Mengibuli (membohongi) “gusti”

tidak baik.

(26) Gusti adalah wakil nabi, jadi sama halnya mengibuli Allah. Menipu kawan-kawan,

menambah dosa juga. Seyogyanya berbuat lebih baik serta rajin berlaku manis.

DHANDHANGGULA

Kita dilarang kerap kali berada di hutan, pergi ke laut, ke sungai dan sebagainya, sebab

banyak mengandung bencana. Dahulu orang senang pergi ke hutan dan biasanya menemui

celaka, demikian pula ke sungai-sungai, itu tak baik juga. Tidak boleh senang akan kesaktian,

ilmu kebal, ilmu jagoan, ilmu kekuatan dan lain-lain, karena semuanya tadi tak akan

memenuhi syarat untuk mendekati Allah. Ilmu yang lahiriah isinya banyak takabur, salah-

salah dapat menjadi ilmu sihir, sebab semua ilmu tersebut bukan “mangunah”,(mempunyai

kelebihan karena imannya), bukan keluhuran dan bukan pula “mukjikat” (keajaiban). Oleh

Cahmbanjar 16

sebab itu orang yang telah tinggi daya ciptanya tak mau mempelajari ilmu tadi. Kepercayaan

terhadap Tuhan telah tebal, hatinya teguh tak akan ragu-ragu lagi. Bila hanya menginginkan

selamat, jangan sampai ada bala menimpa, dengan persiapan, sebagai berikut :

Paritnya ialah penyerahan diri pada Allah. Betengnya, yaitu tetap percaya terhadap

yang Maha Kuasa. Sedang pintu kotanya ialah tetap mantap terhadap Hyang Suksma.

Adapun rumahnya berada dalam kota tadi, demikian itulah makna kesatuan manusia dengan

Allah. Sebagai perbekalan pangan di dalam kota itu ialah penyembahan manusia terhadap

Tuhan, sedang pelurunya yaitu tanawut napi nakirah (dengan teliti tanpa pengingkaran).

Apabila manusia telah berhal demikian, hati teguh mantap terhadap Tuhan tanpa tabir,

maka biar kota itu dikepung (bahaya) manusia.

(27) Semua yang mengepung tetap selamat. Sebab senjata yang ditujukan kepada mereka

adalah kasih Tuhan, sedang pelurunya yang berjatuhan bersifat belas kasih. Demikianlah atas

kemurahan Tuhan dan kasih Allah, maka semuanya selamat. Selamat mencapai kemuliaan,

tetap utuh manusia, tetap berada pada tempatnya untuk menghadapi musuh abadi.

Keadaan di situ tetap kokoh, kuat tak tergoyahkan disertai peraturannya yang tersohor,

yaitu semua kehendak harus serba sabar. Dalam memerintahpun dengan cara serba tidak

kentara, sebab disitu adalah tempat orang suci dan sakti. Mereka dengan sabar dan penuh

pengertian, dan tidak pernah meninggalkan kebersihan hatinya, sehingga hidup itu tidak

sengsara bagi mereka. Semua tadi untuk mempertahankan diri dari pembicaraan iblis yang

telah memancarkan anak cucunya, demikianlah isi kitab Sangsul Ambiya. Setan-setan tadi

menggoda, membuat kacau, dan tak memberi kesempatan hidup pada manusia. Maka ketika

manusia itu lahir di dunia, sewaktu bayi dia dibedung, agar setan tak dapat membencanai

bayi tersebut sampai tua nanti.

Diharapkan agar si bayi kelak tidak mengikuti iblis, jangan sampai terjadi kuda itu

tetap menjadi “belo” saja. Dikatakan dalam kitab Insan kamil bahwa kelakuan iblis tadi

berjumlah Sembilan puluh Sembilan macam, yang merupakan kekuatan setan untuk

mencelakai manusia yaitu supaya manusia tertarik kepada laku yang sesat.

(28) Orang harus berhati-hati dan ingat bahwa tindakan apa saja, selalu diintip oleh setan

yang banyak sekali jumlahnya. Itulah bencana setan yang menyebar memenuhi dunia. Meski

nama Tuhan itu tanpa cela namun tetap ditirunya untuk berbuat jahat. Sebenarnya harus

bagaimanakah orang hidup ini. Andaikata boleh lupa dalam hati, ya hanya seketika itu

sajalah, karena hal tersebut memang ulah setan yang dapat menembus rata menyeluruh

terhadap manusia.

Cahmbanjar 17

Itu dapat terlihat pada diri orang yang cepat marah, pada orang yang mempunyai

angan-angan penuh nafsu, serta tamak akan makan dan syahwat, juga kepada hiasan dunia.

Sentuhan setan yang ingin berhasil, bila dituruti akan menimbulkan sengsara dan akhirnya

orang akan hidup miskin. Sebab orang yang sangat menginginkan sesuatu, malu bila

mengurungkan niatnya, jadi orang itu akan tenggelam oleh sifat-sifat setan yang suka pada

kegelapan, mata buta telinga tuli, dan akhirnya orang akan masuk neraka.

VI. Keenam

Pada bagian keenam ini, penggubah memberi nasihat tentang orang bersahabat,

berkawan dan lain-lain. Orang bersahabat sebaiknya, (dalam hati) dipikir lebih dahulu.

Ibarat orang yang melihat makanan dan minuman, pasti tertarik sekali. Dalam hati harus

berpikir, baik dan berfaedahnya itu bagi badan kita. Sebab sebenarnyalah di dunia ini tak ada

orang yang senang sakit. Demikian pula orang bersahabat dalam memilih temannya.

Andaikata seseorang batuk, ingin sekali rasa yang serba manis, maka minumlah ia nira.

Disini ternyata semua keinginannya terpenuhi, semua nafsu makan yang membawa sengsara.

Nah tidak urung orang itu akan batuk terus-menerus, badan kurus kering, jelas orang itu

merugi, tidak akan mendapat hasil.

(29) Harus diingat bahwa di tengah masyarakat dapat terjadi orang mendapat celaka yang

berasal dari teman atau sahabat karibnya. Hal-hal semacam itu harus dihindari. Kita dilarang

bersahabat dengan orang yang berkelakuan jahat, sebab kita dapat terseret seperti sahabat

kita itu. Seperti orang sakit perut tetapi ingin makan rujak kecut. Tentu saja akhirnya berak

terus, itu menyengsarakan badan serta tak berguna pula.

Dilarang juga berkawan dengan orang yang tak berakal, orang bodoh yang kurang ilmu,

sebab tak urung akan menarik menjadi bodoh pula. Dikarenakan orang bodoh itu tidak

mengerti akan baik dan buruk, pun pula tentang rahasia.

Tidak boleh berkawan dengan orang yang tak mengerti sastra. Orang demikian tentu

sering nekad, merasa benar sendiri, dalam pembicaraan justru tidak pandai. Malahan secara

kasar, tetap gegabah bertindak. Ini jelas merusak sopan santun, dan mustahil akan selamat.

Dilarang pula senang berkawan dengan orang yang tak beragama, sebab orang itu tentu

tidak takut akan siksa Tuhan. Berarti memporak-porandakan peraturan agama, dan bertekad

ugal-ugalan. Orang berhati dengki dilarang pula untuk dijadikan teman. Dia itu suka

menyalahi orang lain dan juga senang memfitnah. Jadi orang harus mengetahui tanda-tanda

orang semacam itu.

Cahmbanjar 18

(30) Sebenarnya pada orang mukmin (yang betul-betul percaya pada Tuhan) itu sendiri, ada

yang mukmin hanya sebagai hiasan saja. Untuk mengetahui/membedakannya agar orang

dapat menemukan hal yang baik dan buruk, pertama, harus dilihat lebih dahulu tingkah

lakunya. Kedua, supaya diteliti, ketiga, dilihat dari cara bertindak. Keempat, yaitu sopan

santunnya, kelima dari pembicaraannya.

Mengenai pembicaraan ini sebetulnya berdasarkan pancawada, yaitu pembicaraan

mengenai orang berdusta, orang pandai, orang berbudi, dan masih banyak lagi yang lain. Baru

mengenai hati tiap-tiap orang saja sudah berlainan, misalnya ada yang seperti raksasa, tamak

dan rusuh. Ada yang bersifat seperti gajah, dan lain-lain, banyaklah bila diceriterakan tentang

orang semacam itu.

Sebaiknya orang berkawan dengan mereka yang berwatak suka memberi dan bijaksana,

pula dengan orang yang tahu ilmu pelajaran atau yang telah putus dalam ilmu. Kepadanyalah

orang harus meminta lebih dahulu untuk berguru.

Walaupun seseorang telah mengeluarkan semua rahasia kepadanya, dia akan dapat

menjaganya, sebab dia dapat menilai mana yang baik, demikian pulalah bilamana ada

pembicaraan yang menyalahi orang tersebut. Memang orang hidup ini banyak yang

dibicarakan, dan bahkan menjadikan simpang siur.

Seumpama orang melihat sesuatu, biasanya barang yang salah dikatakan betul. Bagi

orang yang bijaksana, dia tahu bahwa barang itu salah, dan dia akan menjauhinya se cara tak

kentara. Orang tadi bila berkawan, ingin membalas kebaikan kawannya, sebab orang itu tahu

bahwa dirinya diperlakukan dengan baik, maka ia akan membalas baik pula.

(31) Bila seseorang berbuat baik, maka orang yang bijaksana akan memakluminya, sebab dia

banyak memaafkan. Kalau berkata disertai perkiraan, bahkan perkiraan itu tentu tidak

meleset, orang tadi penuh ketelitian, selalu mencari bagaimana duduknya suatu perkara.

Kata-katanya terucap halus, dengan mata redup tak kelihatan beringas, bermaksud

memaafkan kepada sesama. Kita disuruh berkawan dengan orang baik budi yang suka

beramal, dan perbuatan baik yang tak diperlihatkan itu sesuatu tindakan yang menuju

keutamaan.

Itulah dia orang yang tak tinggi hati dan tak sombong. Bila memberi pertolongan tak

perlu diketahui orang lain, sebab perbuatan itu dimaksud sebagai sedekah pikir dan untuk

kebaikan. Bila kita berkawan dengan banyak orang, kita disuruh menganggap mereka itu

saudara. Kita supaya berhati-hati, tidak boleh membanggakan diri. Sebab biasanya orang

memuji itu hanya dalam kata-kata saja, tidak terus di hati.

Cahmbanjar 19

Jika kita sudah memperoleh nasehat yang benar-betul, maka bilamana kita mendapat

kesukaran dalam hidup tidak perlu khawatir. Sebab, biasanya tak aka nada orang yang mau

menolong kita, malahan menambah susah, dan membuat onar saja. Orang semacam itu

menandakan orang yang mencari enaknya sendiri saja. Berkawan dengan orang yang

setengah-setengah, akhirnya menjadi musuh. Tetapi bila ada kawan yang demikian tadi, kita

tidak boleh membalasnya, dan semua ini sey ogyanya diserahkan kepada Allah, agar semua

kembali menjadi baik.

Kecuali itu kita tidak boleh berkecil hati, dan mengubah kebiasaan seperti ketika

berkawan dahulu. Hati harus kuat dan tidak boleh mencela bahwa orang itu pernah

menjelekkan kita. Tetapi bila rahasia orang lain yang dicelanya, maka itu diserahkan saja

kepada Tuhan.

(32) Dinasehatkan agar orang dapat menutup rahasia dirinya, dan baik-baik dalam

bersahabat dengan kawan sesama abdi Tuhan. J ika seseorang tak dapat menghindar dari hal

itu dan, tak dapat bergaul dengan orang banyak, disitu ia akan mendapatkan bahaya dari

orang-orang tadi. Oleh sebab itulah orang harus dapat menyimpan rahasia, serta bertindak

bijaksana.

MEGATRUH

VII. Ketujuh

Adapun hal pertama yang dibicarakan penggubah ialah tentang orang makan.

Seseorang yang makan di rumah sendiri, sebaiknya mengikuti cara Nabi Muhammad, yaitu

sehari semalam makan sekali, makannya tiap tengah hari saja. Beliau makan dengan duduk

jegang (salah satu kainnya ditekuk ke atas), kepala menunduk tanpa berbicara. Ketika akan

memasukkan nasi ke mulut disertai menyebut nama Allah, demikian seterusnya disertai doa,

justru itu lebih baik, dan barulah mulai makan. Sesudah makan lalu tengadah seraya minum

tiga kali telan. Sekali telan mengucap syukur kepada Allah, yang kedua kali telan,

mengucapkan kesucian Tuhan.

Demikianlah cara orang makan meski ada tamu siapa saja. Sopan-santun harus dipakai

supaya pantas, dengan duduk bersila yang baik, kepala menunduk, tidak berbicara dan

tangan tidak boleh diluruskan.

(33) Kemudian tamu tadi dipersilahkan makan, setelah itu pemilik rumah tidak boleh

berbicara kecuali bila tamu tersebut mengajak berbicara. Pemilik rumah harus menanggapi

agar tamu tadi senang. Kemudian dia harus berpura-pura makan banyak, dengan muka yang

cerah, tidak boleh menyelesaikan makan lebih dahulu. Biarpun perut sudah kenyang, ya

Cahmbanjar 20

makannya sedikit-sedikit saja, karena memang sudah caranya, tamu itu harus dinanti selesai

makan.

Demikian pula jika sese orang bersama-sama makan dengan banyak orang, dan apabila

ia sedang bertamu. Dalam hati ia tidak boleh bersambalewa dan mencela akan adanya nasi

dan ikan yang tak baik. Pemberian Tuhan itu harus dihormati, bila dia mencela nasi yang

tidak putih dan ikan yang tidak baik, dia akan kena murka Allah.

Perlu diingat, dahulu sewaktu Nabi Musa pergi berperang, semua prajuritnya lapar di

sebuah padang. Nabi Musa menjadi bingung, kemudian berdoa mohon belas kasih Tuhan.

Dari angkasa turun, diberi apa yang dimintanya. Tetapi sebelumnya para umat diberi janji,

bila pemberian itu sudah diterima tidak boleh mencelanya. Para umat menyanggupinya, lalu

orang-orang itu makan dengan rasa nikmat sekali. Tiba-tiba ada seseorang yang berkata

bahwa ada satu kekurangannya, ya memang ikan-ikan itu lengkap, hanya “lalaban” (daun-

daun mentah) sajalah yang tak tersedia. Belum habis mereka makan, nasi beserta lauk-pauk

itu kembali ke angkasa dan tak terlihat lagi. Itulah hasil orang bodoh yang bersambalewa

serta tak menginsafinya.

(34) Pangan itu patah hati, orang-orang tak dapat menyusulnya. Oleh sebab itu harus ingat,

bila sedang makan di rumah dilayani oleh istrinya supaya makannya perlahan-lahan, tidak

tergesa-gesa. Bila masakan itu kurang berkenan di hati, misalnya kurang gurih, kurang asin,

sebaiknya dimakan saja. Nanti apabila sudah selesai makan, dapat berkata perlahan-lahan,

sayur tadi kurang apa, dan ikannya, ya apa kekurangan tadi baik dikatakan. Kemudian

dilanjutkan bahwa dia itu senang ikan apa, cukup sekali saja dikatakan untuk seterusnya.

Bila sekali waktu tak berkenan lagi, sebaiknya diam saja, sebab orang makan disertai hati

marah itu tidak baik. Pertama dia dianggap hilang oleh Tuhan, kedua, arti sebagai manusia

berkurang, ketiga mengurangi rejeki.

Dilarang menganggap enteng orang makan, anggapan demikian itu tidak baik. Kalau

tentang makan tadi tidak diperhatikan, dan orang makan tidak memakai aturan, itupun tidak

betul pula. Orang makan memang menjadi tiang pengikat hidup tetapi ya dengan ukuran,

tidak asal menuruti nafsu makan saja. Bila hanya menuruti nafsu makan, tak urung dia akan

lekas meninggal, ia dapat disebut meninggal karena nafsu makannya. Ya karena dia makan

apa saja, disini justru terlihat ketamakannya.

(35) Boleh makan hanya untuk mengobati kelemahan badan saja, sebab jika badan terlalu

lemah, usahanya akan berkurang. Sembahyang kurang bergairah. Jadi amalannya hanya

sedikit juga.

Cahmbanjar 21

Sebuah usaha kecil dari kehendak hati, untuk bertapa selamanya, namun ternyata besar

faedahnya. Usaha tadi mempermudah segala tujuan, dan membuat hati terang benderang.

Tidak baik makan pagi-pagi, menjadikan hati pepat, pendapat tidak tegas, jalan pikiran

tidak baik, lemah tidak berdaya. Jika orang ingin kuat ya harus tegas, sebab apabila kendor

tentu membelok, tak dapat dipakai sebagai dasar. Pada umumnya orang yang banyak makan

biasanya terus ingin tidur. Sebenarnya semua pekerjaan bila dilatih tentu akan terlatih,

demikian pula halnya orang yang suka makan, menyebabkan ketajaman hati berkurang maka

Pak Tumpullah yang mendekat. Di sini ternyata pekerjaan jasmaniah sesuai dipakai untuk

memondong, memikul, menggaru, membajak semua yang serba memakai kekuatan.

Sedangkan anak “priyayi”, kiranya harus banyak mempergunakan hati, dan pikirannya.

Bila yang dipergunakan pikiran, tetapi menggunakan orang untuk memikul, tentu tak

berhasil, karena orang itu terlalu banyak makan, jelas memang bukan tugasnya. Penggunaan

hati dan pikiran memang tugas orang muda.

SINOM

(36) Masih dalam bagian ketujuh, di sini diuraikan mengenai orang tidur. Perlu diketahui

bahwa sehari-semalam selama 24 jam itu, mempergunakan waktu tidur hanya sepertiganya

saja, yaitu 8 jam. Bila orang dapat melaksanakan cara tadi, akan memperoleh pahala yang

besar. Orang itu termasuk istimewa, karena t idak terlalu banyak tidur. Menurut kitab Insan

kamil, Tuhan turun ke langit-dunia, setiap malam menjelang akhir sepertiga malam tadi. Kita

tak boleh membantah, mengapa Tuhan hanya berada di satu tempat saja. Yang dimaksud

langit, sebenarnya ialah badan kita sendiri, sedang dunia adalah dat Allah yang meliputi

jagad.

Pada malam hari kira-kira pukul setengah dua atau pukul tiga di ujung malam,

sebaiknya kita bangun berdoa, mohon ampun kepada Tuhan atas segala dosa kita di dunia

ini. Untuk bersholat khajad, pada malam Jum’at juga di waktu malam hari se perti tersebut di

atas. Semua kehendak kita, bila betul-betul kita memohon, tentu akan dikabulkanNya.

Bahkan jika badan kita ini suci benar-benar, maka penyesalan kita akan diterima Tuhan yang

Maha Pengasih itu.

(37) Di waktu subuh sesudah bangun, baik segera membersihkan diri, agar tidak terus tidur

lagi. Matahari sudah tinggi, tetapi masih enak tidur, orang malas namanya itu.

Mengakibatkan segala kehendak menjadi terlambat, menjauhkan rahmat, dan menyempitkan

pikiran.

Cahmbanjar 22

Di waktu tidur siang hari, sebaiknya waktu ashar segera bangun. Sebab orang tidur

sampai jam 4,5 atau 6 sore, bila bangun hati menjadi gusar, marah-marah seperti orang gila,

seperti orang kehilangan nalar saja. Hati demikian itu menjauhkan pikiran baik, yang dekat

hanyalah pikiran jelek. Segala pekerjaan menjadi kabur, rahmat Tuhan menjadi berkurang

pula. Jika semua petuah tadi dilaksanakan maka dia akan termasuk orang yang berhati-hati.

Kecuali bila seseorang merasa lelah sekali, dan mengantuk, ya melanggar sedikit taka pa

untuk menjaga kelemahan badan.

Selanjutnya apabila seseorang tidur di malam hari, baik membujur ke arah utara, badan

miring menghadap kiblat, seperti letak orang yang meninggal di dalam kalwat (liang kubur).

Sebab orang tidur itu, sebenarnya hampir seperti orang meninggal. Mung kin juga sewaktu-

waktu Tuhan menghendaki ajal seseorang, maka sebaiknyalah menyerahkan diri kepada

Allah.

Di sini orang tak boleh salah paham, sebab jarang orang yang tahan tidur miring ke

kiblat terus-menerus, tanpa berpindah tempat.

(38) Sesungguhnya tidaklah demikian, hanya sewaktu orang mulai tidur, itulah menghadap

ke kiblat. Sesudah lama tidur, tentu tak merasa bagaimana letak dirinya, karena sekali lagi

orang tidur itu seperti orang meninggal saja. Orang yang tidur membujur ke utara,

mempunyai sifat melangsungkan adanya rejeki. Bila membujur ke timur, memutuskan rahmat

Tuhan dan menghilangkan rasa kasih dari kawan-kawannya. Kalau tidur ke selatan

menyebabkan hati pepat, jika membujur ke arah barat akan mempunyai umur panjang.

Orang dilarang menikmati tidur, dia harus dapat menahan kantuk yang mendorong

rasa ingin tidur saja. Orang yang tahan berjaga, mempunyai pandangan luhur, sedang orang

yang tahan lapar, mempunyai hati teguh. Orang yang tahan tidak minum, dia kebal akan bisa

binatang. Semua hal tadi jika dilakukan sungguh-sungguh akan mendapat pahala. Memang

demikianlah sifat orang bertapa yang kelak akan memperoleh apa yang akan dikehendakinya.

Orang pandai, orang luar biasa (sakti) dan menjadi priyayi, banyak diperolehnya dari

berlaku tapa ini. Segala yang baik, hasil dari bertapa akan membawa keberuntungan, dan itu

memang sudah tepat. Meski menjadi orang pandai, kaya, dan menjadi priyayi, tetapi bukan

karena bertapa, itu adalah pemberian setan.

Orang yang sakti oleh setan, sifat kesaktiannya hanya sebentar saja. Dipanah dengan

daya cipta orang yang bijaksana, kesaktian tadi akan lumpuh tidak berdaya. Sedang orang

yang hidupnya senang karena setan,

(39) Memang seketika menakjubkan, dia dapat menikmati kemewahan itu, tetapi tak lama

kemudian rusaklah, dan dia menjadi miskin sekali. Bagi orang yang bijaksana tak mau dia

Cahmbanjar 23

berbuat demikian, karena seolah-olah dirinya hanya menjadi bahan tertawaan ayam saja,

lebih baik menerjunkan diri ke laut.

Orang tidak boleh berhal seperti Setrapramukya yang dahulu pernah menjadi

Tumenggung Ngeksiganda. Hanya dua tahun saja dia menjadi Tumenggung, lalu

diberhentikan oleh raja. Kemudian pekerjaannya hanya berkeliling ke rumah para priyayi,

berbincang-bincang mencari kabar dan menjual kabar.

Tidak disadarinya bahwa tindakan itu serupa t indakan setan, dan orang yang baik budi

tak mau bertindak demikian. Jika raja sudah tak berkenan pada orang itu dan sudah tak

diberi pangan, maka sebaiknya dia di rumah melakukan ibadah saja. Sembahyang khusuk

terhadap Tuhan dan mengucap syukur atas segala pemberian Allah kepadanya. Tak ada yang

dimakan, yah biarlah. Takdir Allah demikian itu diterima terus saja, asal hidupnya tidak

menjadi hina, dan tidak menjelekkan nama negaranya.

Adapun kepandaian yang berasal dari setan itu, sifatnya ingin menang sendiri, juga

senang bertengkar. Dalam berbantah ingin memperlihatkan kemampuannya, sombong, minta

dituruti, yang jelas dia mencari pujian.

(40) Seumpama orang hanya mempunyai uang sedikit tetapi menawar bahan yang harganya

mahal. Setelah penawaran itu jadi, diberikan, namun uangnya tak ada, dia minta tangguh.

Akhirnya tak dapat membayar, kalau ditagih tak pernah memberi, lama-kelamaan terbukti

kejelekannya.

Demikianlah perumpamaan bagi orang yang berkepandaian karena setan. Dia

berpendapat bahwa hal itu baik, mendapat berkat Tuhan, tak tahunya didapat dari berkat

setan.

Orang tadi tentu malas berguru, malas bertanya kepada orang pandai-pandai. Dia

merasa malu untuk bertanya, akhirnya percaya pada setan. Masih dalam bab ketujuh, disini

dibicarakan tentang orang berjalan. Jika orang pergi dari rumah, harus tahu kemana tempat

yang ditujunya. Ke tempat itulah dia harus memusatkan perhatian, dan bila mulai berjalan

baik disertai ucapan Bismillah. Kalau berjalan supaya kepala agak ditundukkan, mata dijaga

jangan melihat kesana-kemari. Bila ingin melihat sesuatu, lebih baik berhenti dahulu, orang

yang berjalan dengan menoleh kesana kemari, hatinya akan bercabang- cabang.

Di samping itu orang berjalan tak boleh berangan-angan jelek, baik berserah diri saja

kepada Tuhan. Sebab adakalanya orang itu tersandung (mendapat halangan), menjadi

gagallah kehendaknya.

(41) Bila berada di rumah, orang dilarang berdiri di tengah pintu seraya menggelantungkan

tangannya. Hal ini dapat membawa dia dan tetangganya kerap kali kehilangan. Berdiri

Cahmbanjar 24

dengan bertolak pinggang di tengah pintu juga tidak boleh, sebab dapat menjauhkan

keberuntungan. Di rumah, orang duduk dilarang menumpangkan kakinya sebelah, karena

dapat menyebabkan kerap kali sedih. Demikian pula dilarang menggerakkan kakinya sebelah

terus-menerus, sikap ini menghilangkan kesopanan dan mengurangi kekhusukan terhadap

Tuhan. Keselamatannya berkurang berarti menyia-nyiakan diri sendiri. Semua pantangan

yang tiada pantas harus selalu diingat, dan harus membiasakan diri percaya kepada hal itu,

sebab manusia memang kerap kali lupa.

POCUNG

VIII. Kedelapan

Bila ada tamu datang , wajib dihormati. Tamu yang terdiri dari anak cucu, teman atau

tetangga, itu dapat disebut setengah tamu. Untuk menghormatinya tidak sukar, karena telah

biasa. Bila ada sesuatu yang disuguhkan, lebih baik tamu tadi disuguhi. Tetapi jika tidak,

cukup dengan penyambutan yang pantas, dan kata-kata yang hormat. Tidak baik

menyusahkan hati seorang tetamu, tetapi juga tidak baik bila terlalu memanjakannya,

sebaiknya yang seimbang dengan. kemampuan diri sendiri.

(42) Tidak seyogyanya menyambut tamu uterus-menerus, sebab bila dirinya sedang

menjalankan tugas, tentu akan merepotkan. Memang banyak tamu atau kawan-kawan yang

datang berkunjung dengan tujuan tertentu. Tetapi tidak memperhatikan bahwa orang yang

dikunjungi tadi sudah letih. Jadi orang yang empunya rumah harus mengetahui lebih dahulu,

tamu itu seyogyanya ditemui atau tidak.

Tetapi apabila tamu itu dari luar ling kungan, wajib disambut secara hormat.

Sepantasnya tamu tadi disuguhi, biarpun tidak mempunyai sesuatu di rumah, harus

diusahakan dengan cara bagaimana. Sebab itu sudah umum berlaku bagi orang Jawa, lebih-

lebih bagi priyayi. Tetapi bagi orang muda yang mempunyai sifat senang lalai, memang

kurang memperhatikan, lebih-lebih dalam hal bahasa.

Bahasa itu ada kalanya dipergunakan dengan baik bahasa krama dan sebaliknya yaitu

ngoko. Kalau memang sudah seharusnya dipergunakan dengan baik, maka seharusnyalah

dipergunakan pada waktunya pula. Untuk dapat terpenuhi, maka oleh orang yang ahli, ajaran

bahasa tadi dibagi-bagi, sebab bila tidak diperinci, ibarat semua pekerjaan akan terbengkalai,

seperti menantikan orang kelaparan yang tak terurus saja.

(43) Mereka mengartikan bahwa bahasa yang baik itu untuk apa, itu hanya suatu “sunah”,

kalau perlu saja mereka mempergunakan, agar sikapnya terlihat bersopan-santun. Apabila

ada seorang tamu besar, yang derajatnya melebihi yang empunya rumah, perlu disambut

Cahmbanjar 25

dengan hormat dan baik. Sesudah duduk, pemilik rumah harus duduk dengan

“ngapurancang” (kedua telapak tangan diketemukan). Kata-kata diucapkan dengan perlahan,

tidak boleh bersam balewa, dan pada waktu tamu itu pulang, harus diantar seperti menyambut

pada waktu ia datang. Jika ada tamu seorang ulama, dan orang yang lebih tua, tua dalam arti

lebih bijaksana, harus dihormati dengan baik seperti telah pernah disebutkan. Bilamana

orang tua tadi hanya tua umurnya saja, pemilik rumah supaya dapat mengira-ira bagaimana

harus menyambutnya, tentunya tak sama dengan tamu para cendekiawan.

Harus diketahui bahwa yang disebut tua itu ada dua macam, tua “majaji” dan tua

“makiki”. Tua “majaji” ialah tua dalam umur tapi kenyataannya masih muda dalam ilmu.

Sedang tua “makiki” yaitu tua dalam ilmu berarti dia itu pandai. Walaupun umurnya masih

muda, seperti halnya ulama (muda) yang berpikiran luhur.

Apabila tamu itu seorang fakir miskin yang meminta-minta, maka sebaiknyalah jangan

diberi. Jika pemilik rumah itu sedang tak mempunyai uang dengan kata-kata manis, maka

sebaiknya diminta kerelaannya untuk pergi, dan disanggupi akan diberi di kali lain.

(44) Jadi pemilik rumah itu tidak memutus rahmat Tuhan, jangan sampai dia merasa bahwa

hak milik itu hanya kepunyaannya sendiri. Bila orang berpendapat demikian maka dia itu

akan berani dan takabur, akhirnya mendapat murka Tuhan, baik lahiriah maupun batiniah.

Bila seorang kedatangan tamu utusan dari saudara, kawan, priyayi ataupun orang besar,

harus diketahui bagaimana cara menyambutnya. Sebab harus diingat bahwa menghormati

utusan itu sama dengan menghormati yang mengutus. Oleh sebab itu, cara menyambutnya

harus sama seperti kepada yang mengutus. Dalam bertutur kata harus berhati-hati, seperti

berkata kepada yang mengutus pula. Selama berbicara tidak perlu keras-keras, supaya utusan

itu senang. Kepadanya tidak boleh marah, walaupun sikapnya kepada pemilik rumah kurang

pantas, sebab utusan tadi tidak tahu apa-apa. Andaikata pemilik rumah marah kepada

utusan, salah-salah orang tadi menyampaikannya kepada orang yang mengutus. Entah

bagaimana yang disampaikan, hal itu akan memecahkan persahabatan.

(45) Lagi pula dilarang berpesan kepada utusan, jangan-jangan dia salah dengar. Dalam

berbicara harus melihat kanan-kiri, tidak boleh meremehkan kata-kata dan harus dapat

bijaksana. Kepada utusan itu tidak boleh berkata mengenai sesuatu rahasia. Sebab jika

utusan tadi kurang pikir dan senang berbohong, bisa jadi pesan itu ditambah, yang dapat

mengakibatkan adanya salah paham.

DHANDHANGGULA

IX. Kesembilan

Cahmbanjar 26

Dalam buku ini penggubah menasehatkan mengenai cara orang bertutur kata. Orang

bertutur kata sebaiknya tidak asal mengeluarkan kata-kata, semua harus dipikir lebih

dahulu. Pertama, supaya menghindari ucapan yang takabur, sombong dan congkak. Sebab

orang takabur itu orang yang merasa dirinya lebih daripada orang lain, seolah-olah mampu

menyelesaikan segala pekerjaan. Banyak bicara dan sering menyakitkan hati, dia ingin

memperlihatkan kewibawaannya. Semua tingkah lakunya serba diperlihatkan, tak ada yang

ditutupi agar semua orang melihat dan memujinya.

(46) Orang sombong adalah orang yang segala tindakannya dan kata-katanya minta

perhatian. Sebenarnya hal ini mengkhawatirkan, sebab kalau suatu ketika orang itu jatuh

martabatnya, maka kejelekannya akan tersohor kemana-mana. Bagi mereka yang suka

takabur, sombong, dan congkak, bila kena murka Allah tak akan ada obatnya. Jika mereka

berlarut-larut bersikap demikian, dan tidak segera bertobat, maka mustahillah mereka

mendapat ampun. Orang hidup dilarang bertindak demikian, justru mengharapkan segala hal

yang baik, supaya selamat, terhindar dari tindakan yang jahat.

Kedua, orang dilarang berbicara bengis dan kasar. Berbicara bengis berarti meng obral

marah dan itu berarti pula kemasukan setan.

Ketiga, orang akan mendapat kesukaran karena suka membicarakan kejelekan orang

lain, sedang kejelekan diri sendiri tak disadarinya. Membicarakan kejelekan orang lain berarti

menggendong dosa orang itu. Padahal menggendong dosanya sendiri saja belum tentu kuat,

masih menggendong dosa orang lain, ini tak ada gunanya sama sekali.

(47) Keempat, orang tidak boleh berkata bohong, sebab jangan-jangan ini menjadi

kebiasaan. Orang yang suka bohong tak dapat dipercaya, dan sifat itu dapat menjadikan hati

gelap. Ibarat rumah yang lampunya padam, semua barang yang ada didalam, tak dapat

terlihat. Sewaktu akan mengambil barang, barang itu telah hilang, dan habislah harta

bendanya. Maka turunlah tingkat derajat orang itu, ya memang masih mempunyai harta

sedikit, tetapi itu hanya setingkat orang kecil saja, bukan untuk orang tinggi.

Kelima, orang diharap menjaga ucapan-ucapannya, jangan sampai mencela orang lain

walaupun hanya dalam kata-kata. Sebab orang yang suka mencela itu, bila diri sendiri belum

mampu, oleh Tuhan akan dihadapkan kepada kenyataan yang sebenarnya. Keenam, mulut

dijaga agar tidak mengeluarkan kata-kata yang tak berguna, misalnya berseloroh,

mengumpat, membual dan lain-lain, sebab hal ini dapat menjauhkan diri dari Tuhan. Bagi

orang yang senang bekerja, berbicara dihitung untung ruginya, agar waktu itu untuk

berbicara itu berfaedah baginya.

Cahmbanjar 27

(48) Ketujuh, ucapan harus dijaga jangan sampai suka bersambalewa, sebab bersambale wa

dapat menghilangkan kesopanan dan keprihatinan. Orang yang kehilangan sopan-santun

akan berkurang kehormatannya, sedang orang yang hilang keprihatinannya segala

kehendaknya tak akan tercapai. Ki Beja (lambang keberuntungan) meninggalkannya yang

mendekat Ki Cilaka (lambang kesengsaraan). Oleh sebab itu orang harus berhati-hati dan

jangan sampai lengah, sebab Ki Cilaka ini siang malam terus menunggu, menanti waktu bila

seesorang sedang lalai. Padahal manusia itu lalainya bukan main, lengah dan tak teliti. Jadi

apabila orang sudah lengah, Ki Cilaka akan datang menyerbu, dan biasanya manusia tak kuat

bertahan terhadapnya.

Bila orang mengadakan musyawarah dengan sanak saudaranya, orang yang lebih muda

jangan sampai mendahului mengeluarkan pendapat, lebih baik segalanya diserahkan yang tua

saja. Jika yang tua itu telah kehabisan akal, dan menyerahkan kepada yang muda, itulah baru

diucapkan. Dalam memutuskan sesuatu hal, tidak boleh diputus (menurut pikiran) sendiri,

harus dirunding kan dengan saudara tua. Sesudah terang mana yang dipilih oleh yang tua,

yang muda harus menyetujui, kalau memang itu sudah betul. Dalam berfikir orang harus

ingat kepada Tuhan, jangan sampai dengan hati panas dan marah. Sebab kemarahan itu

peranggkap setan, yang menghalangi maksud menuju kebaikan.

Kebaikan itu adalah anugerah tuhan, sedang amarah dan setan itu pekerjaannya

mengurungkan kebaikan. Bekerjanya sangat halus tidak kentara selalu menyusup kedalam

amarah orang. Seperti halnya bagi sesuatu yang sudah baik, sudah betul t idak meninggalkan

dalil dan kadis, ijema maupun kias. Dan telah sesuai dengan peraturan negara namun gagal

juga, karena perbuatan setan tadi. Hati manusia terhanyut melampiaskan napsu yang tidak

benar.

Oleh sebab itu, segala tindakan yang dirasa telah mantap, maka segeralah dilaksanakan,

bila sudah terlaksana, maka jangan tergesa-gesa, dalam hal ini harus sabar. Jadi hati dapat

”pasrah” kepada Allah, agar usaha itu berhasil. Hal ini dapat dipersamakan dengan anugerah

tuhan yang sejati, bila anugerah itu telah diperoleh, sikap dan pikiran dapat merasakannya,

dan disinilah manusia hanya dapat bertobat kepada Allah.

(50) Kecuali itu, juga supaya mengucap syukur kepadaNya, karena telah diijinkan

menikmati hasil jerih-payahnya itu. Selanjutnya apabila seseorang bertutur kata dengan

orang yang lebih tua dan lebih tinggi kedudukannya harus selalu waspada. Supaya

diperhatikan apakah buah pikiran orang tadi hasil dari pengaruh amarah, iblis, khawa

ataukah dari nabi adam ataupun dari malaikat, itu harus diperhatikan sungguh-sungguh. Bila

buah pikiran tersebut hasil dari amarah, iblis, dan khawa, akibatnya tentu akan jelek, dan itu

(49)

Cahmbanjar 28

tidak boleh diikuti. Lain halnya bila saudara tua itu memang penuh pengertian, maka dia

pantas dibela.

Kalau orang lain tentu tak mau mengakui kekurangannya, dan hanya mau mencari

selamat diri sendiri saja. Berbeda dengan orang yang telah berbudi sempurna walaupun

pikiran itu berasal dari khawa, amarah dan setan, tetapi hasilnya tetap baik. Pada zaman

sekarang jarang orang yang dapat berhal sedemikian tadi.

(51) Sedangkan pikiran yang berasal dari adam dan malaikat memang keduanya baik, jadi

pikiran itu dapat diikuti. Kemudian apabila seseorang berkumpul dengan banyak orang tidak

baik jika mendahului dalam pembicaraan. Lebih baik menanti pendapat mereka yang

dikeluarkan satu persatu. Tidak perlu menegur dan mencela kepandaian orang lain.

Dipertemuan itu akan keluar pikiran baik buruk, betul dan salah, semua pasti terlihat. Ini

ibarat ikan yang tersedia dalam lauk-pauk yang bermacam-macam. Disitu harus dilihat, lalu

dipilih, ikan atau sambal dan ”lalab” manakah yang enak dimakan. Biarpun di situ terdapat

ikan yang menggiurkan, tetapi dapat menyebabkan miskin maka tidak perlu dipilih.

Baik dipilih saja yang tidak menimbulkan penyakit, mengenai ikan-ikan, sambal

maupun lalab atau gundhangan seperti tersebut di atas. Sesama gundhangan namun bila

gundhangan rebung (bakalan bambu) itu enak, tetapi tidak berfaedah. Lain halnya dengan

gundhangan kunci yang sudah enak lagi berfaedah, di perut terasa hangat. Misalnya lagi, nasi

liwet dan nasi kebuli, masih bermanfaat nasi kebuli, karena rangkaian lauknya berfaedah.

(52) Dalam pertemuan supaya mengeluarkan segala isi hatinya. Bukannya setelah bubar,

baru dibelakang mengeluarkan pendapatnya supaya disetujui. Hal itu tidak pantas, berdosa

dan tidak akan selamat. Lain halnya jika seseorang dimintai pendapat majikannya, segala isi

pikirannya supaya diutarakan. Bila disetujui oleh majikannya, dia harus dapat

mempertanggungjawabkan, walaupun pada akhirnya mungkin gagal, namun dia bersedia

membelanya dengan hati yang mantap. Lain dengan cara mengabdi majikan yang pada

dasarnya hanya pulasan saja. Disini dikatakan menyayang majikannya, tetapi sebenarnya

hanya mencari pujian dan menyetujui sikap yang congkak. Adapun sikap orang mengabdi

majikan yang benar-benar, ialah serba terbuka, apa kekhawatiran hatinya diutarakan, dan

nanti diserahkan kepada majikan itu sendiri.

Jika ada orang hanya memikirkan diri sendiri maka berarti kata hatinya tak dikatakan

kepada orang lain kecuali kepada Tuhan dan Kanjeng Nabi. Yang jelas harus diingat bagi kita,

ialah mengenai kelima ciri- ciri yang dapat menutupi penglihatan hati seperti telah terurai.

Kalau memang telah menjadi ketetapan hati untuk mencapai kehendak itu, baik segera

(53)

Cahmbanjar 29

dilaksanakan dengan sareh dan disesuaikan dengan petunjuk Tuhan. Seyogyanya pula tidak

perlu ragu-ragu akan petunjukNya, dan menyerah saja kepada kekuasaan Allah.

SINOM

X. Kesepuluh

Untuk bagian kesepuluh ini, pengarang memberi nasihat kepada anak cucu bagaimana

jika seseorang diciptakan Tuhan menjadi orang kecil (derajatnya) ataupun orang besar. Bila

manusia diciptakan Allah menjadi orang kecil tidak boleh menyesal, biarpun menjadi bekel

desa misalnya, itu sudah mempunyai kegunaan dan peraturan sendiri.

Umpama lagi, orang yang menjadi petani, segala apa yang terg olong alat kerjanya,

bajak, garu, arit, cangkul, pecok, wangkil (alat untuk membersihkan tanaman), kerbau, sapi

dan lain-lain, harus dipentingkan, harus dilengkapi. Jadi orang itu dengan sendirinya akan

rajin ke sawah, rajin menanami sawahnya. Siang malam yang dipikirkan hanya tanamannya

saja, pala gumantung, kesimpar, kependhem (buah-buahan yang bergantungan, yang terletak

di atas tanah, dan yang terpendam).

Jika hasil tanaman itu baik, seyogyanya sebagian hasil tanaman itu dihaturkan kepada

majikannya. Sebagai tanda bakti, atau serupa pajak demikianlah, dan ini baik dilaksanakan

pada waktu yang telah ditentukan. Tidak baik segala pekerjaan serba lamban, apa yang telah

menjadi kesanggupan untuk menghaturkan pajak kepada raja supaya dipenuhi. Karena telah

dijamin hidupnya, maka jika diminta tanda bukti, tidak perlu banyak dalil, baik segera

dihaturkan. Bila memang tidak kuat, lebih baik sawah itu dikembalikannya saja.

Jika sawah itu benar diminta tidak perlu sakit hati. Sebab bila tanah tadi

dipertahankan, menandakan bahwa orang itu tidak baik, dia akan menjadi ”tampikan” para

priyayi, berarti pula t idak kasihan pada diri sendiri. Kemudian arti peraturan dalam kalangan

tani, misalnya orang menjadi bekel desa, dia harus tertib. Masjid yang dibangunnya

didekatnya harus selalu dilengkapi air. Para santri diberi bagian sawah sepantasnya, dan

zakat fitrah baik diserahkan pula kepada mereka.

Selanjutnya mencari orang yang bertugas sebagai kebayan (bagian keamanan). Harus

dipilih yang kuat dan tidak minum candu. Sebab bila ada tamu priyayi, dia dapat cepat

menyambut dan menjamunya. Oleh karena itulah harus dicari kebayan yang baik, yang dapat

memelihara barang-barang. Membuat pagar pekarangan dari bambu, tetapi tidak boleh

merusak pekarangan. Pagar rumah harus pantas dan kokoh, supaya bila ada tamu singgah,

merasa aman. Mengenai arti berpengalaman ialah tahu akan kebiasaan yang berlaku bagi

(54)

(55)

Cahmbanjar 30

daerah ”manca-pat” ”manca-lima”, dimana batas-batasnya dan dimana arah gunung-

gunungnya.

Kebiasaan mengenai wilayah itu baik terus dilakukan, dan seperti pada umumnya,

orang dilarang membuat kebiasaan sendiri yang menyimpang dari kebiasaan masyarakat

setempat. Lagi pula dia (kebayan) itu tidak boleh bergaul dengan pencuri, biarpun orang tadi

hanya membawai rakyat kecil, tetapi supaya mengusahakan tidak ada laku jahat di tempat

itu. Bila mengetahui orang yang suka mencuri, baik segera diinsyafkan. Bila dia tidak mau

insyaf, maka baik dikeluarkan dari wilayah tadi supaya tidak membawa nama jelek. Selain itu

apabila seseorang dapat mendirikan masjid, maka orang-orang disitu diminta supaya

bersembahyang di masjid. Bila banyak orang yang melakukan sholat lima waktu, berarti pula

mengurangi tindakan-tindakan jahat yang ada misalnya main kartu, dan menyeret (minum

candu) dua hal itu harus dilarang betul-betul. Sebab dari kedua hal itulah menyebabkan

rakyat kecil miskin, serta adanya pencurian-pencurian. Memang sukar untuk mengetahui

berapa besar nafkah orang itu s atu persatu, supaya hasil nafkahnya tadi tidak menimbulkan

kejahatan.

(56) Apabila sese orang mengabdi raja, dia harus rajin menghadap, biarpun belum mendapat

sawah (sebagai gajinya), dan tidak boleh terburu-buru ingin memilikinya. Sebab harus

disadari bahwa dirinya belum berjasa. Karenanya dia harus rajin betul-betul untuk

menghadap raja di balairung. Dengan teman abdi yang lain supaya merendahkan diri, dan

minta pelajaran kepada mereka. Orang mengabdi dapat dilihat dari sikap dan tindakannya

yang jelas kepada atasannya (bekel, wedana), harus dapat melayani dengan baik lahir

maupun batin. Jika tidak sampai batin, sama saja dengan tak percaya pada Tuhan.

Gusti itu sebagai atasan orang banyak, dan sebagai wakil Allah, yang adil para marta

dan kepadanyalah mereka harus percaya pula. Adil para marta berarti banyak memanfaatkan,

dengan demikian orang mengabdi harus rajin dan teratur dan dapat mengambil hati kawan,

sebaliknya dirinya harus juga senang memaafkan kesalahan orang lain. Dengan demikian

orang itu telah mendatangkan budi baik, dan kelak akan dibalas Tuhan. Selanjutnya orang

dilarang berbicara yang bukan-bukan, membicarakan kejelekan kawan, serta iren

(menghindari tugas) dalam pekerjaannya.

(57) Bila ada kawan yang sedang dimarahi gusti, setidak-tidaknya dia ikut merasa susah

pula, lebih-lebih kalau kawan itu memang salah, kasihan, oleh sebab itulah orang harus tepa-

selira. Jadi dia tidak akan jelek di mata sesama abdi, karena saling dapat menjaga, baik lahir

maupun batin. Teman yang baik itu bagaikan saudara, apalagi bila dia itu lebih tua, maka rasa

hormat kepadanya sama halnya hormat kepada orang tua sendiri.

Cahmbanjar 31

Kebetulan justru orang tadi lebih tua dan malahan menjadi atasannya pula, maka orang

itu jelas wajib disembah. Adapun orang yang wajib disembah itu, pertama ialah raja, kedua

orang tua, ketiga mertua pria-wanita, keempat guru kemudian kelima adalah saudara tua.

Sedang para adipati itu disembah karena mereka merupakan para wakil raja. Kemudian

para ”mantri” menyembah ”tumenggung”. Sedang ”tumenggung” wajib menyembah ”patih”,

patih itu sendiri menyembah kepada saudara-saudara raja. Para pendeta ikut disembah pula,

karena ia sebagai guru. Semua sembah tadi teratur sesuai dengan golongan dan pangkat,

dimulai dari Tuhan Allah. Jadi semua makhluk harus menyembah Tuhan, serta utusan-Nya.

(58) Kemudian sekali lagi diwajibkan menyembah raja lalu patih, adipati, keduanya sebagai

wakil pemegang tampuk pemerintah, berdasarkan adanya kebenaran atau kenyataan belaka.

Jika ada orang yang menjadi ”priyayi” dia harus mengetrapkan empat sifat: pertama sifat

priyayi, kedua sifat santri, ketiga sifat saudagar, lalu keempat sifat (orang) tani. Sifat priyayi

berarti orang harus mengetrapkan sopan-santun dan berbicara secara teratur. Tidak semena-

mena, berpakaian pantas, senang memberi makan. Berani dan berhati-hati, selalu membuat

enak hati orang lain. Dia tidak enggan menolong , dan rela memberikan apa saja tanpa

pamrih.

Selanjutnya sifat santri, pada dasarnya bersih dan harus suci, semuanya diserahkan

kepada kerahiman Tuhan, segalanya diterima dengan syukur, tidak banyak bicara. Sedang

sifat orang tani ialah sifat yang senang pada kejujuran, rajin dalam pekerjaan, r ingan maupun

berat tidak menjadi soal, karena itu sudah kewajibannya. Tidak senang mencela orang lain,

tidak pula iri hati, sikap sederhana, setia dan jauh dari sifat bohong. Sedang kan sifat

saudagar, ialah sifat yang penuh perhitungan. Dalam pekerjaan serba menanti, hemat dan

selalu berhati-hati. Segala tindakannya selalu diperhitung kan. Demikianlah keempat sifat

tadi yang layak dipersatukan. Jadi dalam sopan-santun agar mengetrapkan sifat priyayi,

sucinya seperti santri, sedang kejujurannya seperti sifat orang tani. Kemudian dalam soal

hitung-menghitung, pantas memakai sifat pedagang (saudagar). Jadi semua tindakan harus

ditimbang benar-benar, dapat mendatangkan hasil atau tidak. Kalau memang merugikan,

agar jangan sampai berlarut-larut, harus dihentikan. Sebab kalau tidak, sama saja dengan

menyengsarakan diri sendiri.

DHANDHANGGULA

Dalam mengerjakan sesuatu, orang harus waspada akan asal-mula apa yang akan

dikerjakan. Misalnya sesorang melihat permata yang indah, karena tertarik sekali, dia ingin

memilikinya. Dalam hal ini orang harus mengingat kemampuannya, dan ini merupakan suatu

(59)

Cahmbanjar 32

jalan tengah. Sebab kalau diteruskan padahal tidak tercapai harga itu, tentu akan

menyebabkan miskin saja. Itulah arti dilarang menurut asal-mula, jangan sampai asal-mula

tadi dilanjutkan berakhir jelek, kalau demikian harus ditolak. Misalnya seperti tadi walau

hati tertarik sekali, tapi harus ditahan agar t idak membawa kesengsaraan. Memang asal-mula

yang timbul dari kehendak diri itu banyak yang baik, tetapi karena pengaruh nafsu, dan

orang jarang ingat hal ini, maka akhirnya semuanya serba tak terpikirkan lagi. Namun ada

pula yang asal mulanya jelek, tetapi akhirnya baik, selanjutnya ada juga pada mulanya baik

tetapi akhirnya menjadi jelek.

(60) Asal mula yang baik tetapi jelek itu, sebenarnya karena orang meninggalkan adat

kebiasaan yang dahulu sudah berhasil baik. Pada perasaannya hal i tu akan menambah sifat-

sifat baik, dan terus-menerus dilakukan. Tetapi karena secara penuh nafsu, maka tak tahunya

justru akhirnya menjadi rusak. Permulaan yang jelek namun berakhir baik, itu seperti halnya

Seh Malaya yang senang mengambil barang-barang milik orang lain. Pada suatu ketika

kebetulan barang yang diambil itu milik Sunan Bonang, yang telah mengetahui bahwa orang

yang mengambil barangnya itu sebenarnya orang baik. Sunan bermaksud untuk memperbaiki

orang tersebut. Seh Malaya mematuhi akan semua nasehatnya, kemudian dia dijadikan

sahabat Sunan Bonang dan patuh pada semua perintahnya. Lama kelamaan karena sangat

keras bertapa, maka akhirnya menjadi aulia hebat, bernama Seh Malaya atau Sunan Kalijaga.

Oleh karena itu orang harus ingat, apabila sesuatu bermula diawali dengan tindakan jelek,

supaya bertobat kepada Allah dan keras bertapa, supaya kelak mendapat ampun dari Tuhan

yang bersifat belas kasih akan umat-Nya itu. Dia selalu meluluskan permintaan umat-Nya,

lebih-lebih bagi orang yang bertobat masih terbuka bagi siapa saja. Sebetulnya tidak pantas

mengenai ucapan seseorang yang merasa dirinya jelek, kemudian membiarkan dirinya

menjadi jelek terus (tidak perlu tanggung-tanggung). Biar saja orang mendapatkan

keberuntungan demikian pikirnya. Pikiran semacam itu sudah terjerat setan dan nafsu

amarah yang berkobar-kobar. Dia malu untuk mundur biar hanya sejengkalpun untuk

menjadi orang yang baik. Tidak mau dia mengakui adanya martabat rendah dan tinggi, tidak

mau mengakui adanya abdi, yang diakui hanya martabat yang tinggi saja. Itu tentu tidak

mungkin. Hidup di dunia ini sejak Nabi Adam, martabat rendah dan tinggi itu memang sudah

ada. Setelah mengalami martabat yang rendah, dengan terus-menerus bertapa, maka dia akan

mendapat ampun dari Tuhan.

Demikian pula bagi para nabi, ratu, wali, dan mukmin, ya pada orang-orang yang masih

makan nasi, akan mengalami hina dan mulia seperti itu.

(61)

Cahmbanjar 33

Sementara ada juga orang yang menyesali dirinya, mengapa dirinya oleh Tuhan

diciptakan beda dengan yang lain. Dalam hati dia mengumpati raja, juga lurah atau bekel

(atasannya), malahan ada pula yang mengumpati orang tuanya.

(62) Umpatan dalam hati tadi sering keluar dalam ucapannya, yang tidak disadari bahwa

sebenarnya dirinyalah yang bertindak hina, kurang rasa terima kasih dan tobat kepada

Tuhan. Padahal orang memohon kebaikan itu, harus disertai dengan laku ”laku” yang bersih.

Syukurlah apabila permohonannya diterima. Kecuali bagi orang yang telah berbuat baik

(menghutangkan) kepada raja, lurah dan bekel, karena telah menyelesaikan semua tugas yang

terlihat maupun yang tak terlihat, jelas permohonannya diterima secara lahiriah.

Apabila sudah mendapat anugerah dari Allah, dengan perantara raja (karena kasih raja

kepadanya), seharusnya orang itu tahu, berapa luas sawah pemberian raja, berapa hasilnya.

Semua tadi dihemat dan diperhitungkan, ini merupakan tindakan yang terpuji untuk

memelihara anugerah Tuhan, dan pemberian raja. Sebagai bekal orang mengabdi, harus

memperhatikan semua tugas antara lain, pakaian untuk menghadap, dan tindakan tadi

diusahakan supaya dapat bertahan.

Tidak perlu sombong, membanggakan dirinya, sifat seperti itu menghambat orang

dalam melakukan tugas.

(63) Jika seseorang ditakdirkan mempunyai kedudukan mantri, dia harus memakai adat

kebiasaan sebagai mantri, yaitu harus memperhatikan 3 hal, ialah: ”nistha”, ”madya”, dan

”utama”. Atau dengan kata (dari pandangan sudut) lain (kiri) yaitu tiga tempat : Janaloka,

Endraloka dan Guruloka. Janaloka tempat manusia pada umumnya, ya di bumi ini, sedang

Endraloka dalah istana Dewa Endra. Kemudian Guruloka ialah istana Bathara Guru. Dalam

ketiga hal tersebut berarti orang harus tahu akan sopan-santun, tahu akan tugas masing-

masing, yang baik maupun yang jelek, serta tindakan yang hina maupun mulia.

Mengetahui Endraloka berarti tahu akan cara menyembah dewa satu-persatu.

Kemudian Guruloka, seorang mantri harus tahu cara menyembah Batara Guru ini. Adapun

cara tadi dapat dilakukan asal orang itu dapat mengetahui sarengat (peraturan agama Islam),

tarekat ( pengetahuan mengenai kewajiban dalam agama Islam), serta hakekat atau

kenyataan yang ada. Dengan kata lain dia harus tahu pula akan ”nistha, madya, utama” sopan

santun, dan undang-undang negara. Demikianlah sarana kesempurnaan bagi orang hidup

yang tercantum dalam ketiga macam cara tadi.

Apabila seseorang ditakdirkan menjadi bupati, bupati itu sama dengan raja, oleh

karenanya dia mempunyai tugas mengatur daerah. Kecuali itu mempunyai pula tugas

Cahmbanjar 34

mengatur perkara yang mungkin memalukan j uga, dia harus dapat bertindak supaya perkara

tadi tidak tersiar.

(64) Orang menjadi bupati tidak mudah, sebab lahir batin bertanggungjawab atas

daerahnya. Tidak boleh hanya menikmati kewibawaan serta kemuliaan itu saja, tetapi harus

selalu siap sedia. Pertama, adalah menanti perintah raja. Kedua selalu waspada terhadap

daerah di luar wilayahnya, untuk menjaga jangan sampai ada persoalan. Bilamana terjadi

persoalan, supaya dirunding dengan baik, dan jika sudah sepakat supaya cepat dilaksanakan,

tidak perlu ditunda-tunda lagi.

Sebab ini menjadikan beban pikiran saja, jangan-jangan malah dapat menimbulkan

bahaya. Ibarat sumur yang lama tidak diambil airnya, maka di dalamnya tentu penuh tanah

kotoran, beserta ijuk, beling, dan bambu-bambu kecil. Kalau dibersihkan (diambil), sukar

dan sangat berbahaya. Hal ini dapat terlaksana bila mendapat bantuan atau anugerah dari

Allah. Tetapi bukannya hanya menanti-nanti saja akan datangnya anugerah tersebut, namun

harus disertai dengan usaha pula. Biarpun nanti usaha itu berhasil dan tanah kotoran tadi

dapat terangkat, tetapi kesukaran lain masih banyak. Sama saja seperti beras yang tumpah,

bila diambil dan ditimbang (ditakar) lagi, tak mungkin kembali seperti semula. Sebenarnya

hal itu harus disadari sebab-musababnya, ternyata tiada lain karena dia mendapat murka dari

Tuhan, atas tindakannya yang suka berlarut-larut i tu. Sebab andaikata sesuatu yang menjadi

putusan tersebut cepat dikerjakan, tentu selamat. Tidak perlu berbeda pendapat semua

sepakat menjadi keputusan. Bila tak ada kesepakatan maka hasilnya mengecewakan. Sebagai

seorang bupati harus menjaga nama, harus memegang teguh pendapatnya, jika sudah menjadi

putusan, dengan tekat mantap harus dilaksanakan biarpun itu penuh bahaya.

Mantap adalah sari ilmu. Di dalam hidup, agar segala kehendak orang dapat berhasil,

maka tindakannya harus disertai ilmu. Bukan hanya secara menghabiskan kekayaan orang

lain saja untuk mencapai kesenangannya.

(66) Sebagai seorang abdi, cara seperti itu sangat hina dan melanggar peraturan negara yang

baik. Berbeda dengan nahkoda yang kaya, yang tugasnya memang tak ikut merembug tentang

wilayah. Dia hanya memikirkan kesenangan hidupnya saja, bagaimana mendapatkan laba,

bagaimana supaya uangnya semakin bertambah, demikianlah yang dipikirkannya. Lain hal

dengan orang yang menjadi patih yang merupakan wakil raja, bila hatinya jahat terhadap

yang diwakili, itu lebih berbahaya lagi. Jadi seumpama keris (raja) dengan sarungnya (patih).

Bila keris itu tak dapat masuk ke dalam sarungnya bagaimana keadaan seperti itu dapat

menjadi baik. Andaikata keduanya dapat bersatu (patih dan raja), tetapi patih tadi tak dapat

(65)

Cahmbanjar 35

memerintah para senapati dan mantri, maka kesalahan kecil dari mereka akan ditimpakan

kepadanya.

Memikirkan tentang negara. Negara yang penuh persoalan, sebenarnya didalam telah

ada pengadilan yang diatur, untuk mengadili hal yang benar dan yang salah, yang melanggar

adat dan yang menganut adat kuna. Selanjutnya hal-hal yang baik diambil untuk diterapkan

dan disesuaikan dengan zaman sekarang. Mantri sendiri tak dapat mengetrapkan hal-hal

seperti itu, sebab hanya patihlah yang berkuasa. Disini berarti bahwa sebenarnya baik

mantri, tumenggung, maupun ketua desa, dapat juga mengetrapkannya, tetapi mereka tak

berhak dan tak berguna. Kalau orang-orang tadi diberi kuasa pula, berarti merusak peraturan

itu sendiri. Jadi jelaslah siapa yang menjadi patokan, siapa yang menentukan sikap, patihlah

yang betul-betul berkuasa, melakukan segala perintah raja. Keduanya merupakan dwi

tunggal bersenyawa seperti keris masuk dalam sarung, atau sarung masuk ke dalam keris,

bersatu padu, menjadikan negara bertambah kuat.

Di dalam hukum, setiap wilayah sudah mempunyai bagian (tugas) sendiri-sendiri, patih

tinggal memeriksa saja. Disini patih harus dapat memilih orang-orang pandai sebagai perabot

desa yang sesuai dengan jabatannya. Oleh pengubah nasehat yang diutarakan bagi orang yang

menjadi patih tidak perlu diperpanjang lagi. Sebab dahulu kala sudah banyak contoh

bagaimana cara melaksanakan tugas yang dapat berakhir baik, sedang, dan jelek. Seyogyanya

orang mengucap syukur kepada Tuhan karena dari kodrat Allah, dengan perantaraan raja,

seseorang dapat menjadi orang besar atau orang luhur. Kecuali itu dapat pula seseorang

bermula sebagai orang luhur, tetapi kemudian menjadi orang hina. Semuanya tadi dimaksud

untuk contoh agar dicatat dalam hati sebagai teladan anak cucu.

KINANTHI

XI. Kesebelas

Di dalam bab sebelas ini kyai Yasadipura membicarakan antara lain tentang turunny a

derajat dan berubahnya wahyu (anugerah Tuhan). Nasehat kepada generasi mendatang,

berupa pesan, supaya mereka itu mengetahui dengan seksama bahwa berkurangnya derajat

atau martabat dan berubahnya wahyu itu, disebabkan oleh rasa melik (ingin memiliki), yang

membawa ke sifat lupa. Misalnya seseorang yang melik dengan cara mengurangi pangan

orang kecil yang berpenghasilan kecil pula, itu keterlaluan. Sebenarnya hal i tu hanya karena

menuruti hawa nafsu saja. Inilah yang menyebabkan berkurangnya martabat. Bukan karena

jumlahnya sedikit yang tak kentara, seperti halnya bulu badan yang lembut dicabuti tak

terasa sakit, tetapi jelas dari perbuatan itu dapat nenuman (ingin melakukan terus) nafsu jahat

(67)

(68)

Cahmbanjar 36

tersebut. Selanjutnya justru terlihat bahwa semua tindakannya menyimpang dari peraturan.

Apabila tindakan itu kemudian terlalu menyimpang, maka wahyu tadi dengan sendirinya

akan beralih. Hal ini dapat diumpamakan seperti orang yang hendak membeli barang

kesenangannya : kuda, keris, emas, permata atau kain yang bagus, ataupun barang-barang

sepele yang berharga murah. Dia menawar barang itu dengan harga tinggi, kemudian barang

diberikan atas penawarannya tadi. Tetapi orang tersebut ragu-ragu, kemudian pembelian itu

dibatalkan.

Kegagalan tadi dikarenakan oleh bermacam-macam sebab, antara lain harga barang itu

sendiri. Dia sangat menyesal, karena harga barang terlalu tinggi, jadi ia sayang akan uang

yang terbuang. Dengan demikian martabat dia akhirnya berkurang, memang sudah wajar

bahwa priyayi itu kalau membeli, uang pembayarannya malahan agak lebih dari semestinya.

Lebih-lebih bila sudah berjanji, maka bila gagal, hal itu dapat menyakitkan hati. Oleh sebab

itu tindakannya harus dijaga baik-baik sayang kalau martabatnya menjadi rusak. Sebuah

perumpamaan lagi, seandainya sese orang senang keris yang baik bentuk maupun tangguhnya

(sifat keris menurut jaman empu yang membuatnya. Sayang bahwa keris tadi se buah wasiat,

jadi agak sukar untuk memilikinya. Tetapi karena sangat senang dan ingin memilikinya,

maka dicarinya akal keris tadi dibayar dengan harga tinggi. Yang empunya keris takut, keris

diberikan, jadi keris tersebut cara memilikinya dengan paksa. Sebenarnya bila barang itu

wasiat, cara demikian tadi tidak baik. Orang itu tak akan dapat lama memiliki barang tadi,

akhirnya wahyu itu beralih juga dari dirinya. Lain halnya apabila yang mempunyai keris

wasiat itu sendirilah yang menjual, karena dia butuh uang. Sebaiknya keris itu dibeli saja

dengan harga umum ataukah dibayar lebih tinggi dari permintaannya. Dalam jual beli tadi,

seyogyanya pembeli mengatakan bahwa wasiat tadi diminta kerelaannya, supaya sah dan

tetap menjadi miliknya. Memang wasiat itu dapat dijual karena butuh uang dengan dalih

untuk menolak kemiskinan. Tetapi ada pula yang mengatakan bahwa selama dirinya masih

hidup, keris itu takkan lepas dari lambungnya.

Orang yang berkata demikian tadi memang betul, selagi dia benar-benar mantap dan

dapat menetapi (memegang teguh) ucapannya. Tetapi jika ingkar, sungguh berbahaya se kali

terhadap keris yang dimuliakan dan dianggap sama seperti orang tuanya sendiri itu. Hal ini

berarti bahwa betapa berat rasanya bila orang tak mempunyai pakaian dan tidak makan,

serta tak berkepandaian pula. Bila ragu-ragu karena kurang ilmu, maka dia akan mudah

dipengaruhi iblis. Hati diarahkan ke perbuatan sesat, lalu keluarlah pikiran yang jahat, lama –

kelamaan ia menjadi penjahat.

(69)

(70)

Cahmbanjar 37

Dia mempergunakan barang pusaka untuk mencuri, karena banyak perbuatan jahat

yang telah dilakukan, maka pada suatu saat dia tertangkap. Lehernya dipukul patah, dan

meninggallah dia. Mayatnya terkapar, barang pusaka sudah dirampas oleh yang memukul.

Selanjutnya kentongan dipukul bertalu-talu, mayatnya diikat “dibongkok”, lalu dibuang,

seperti kebiasaan yang terjadi pada peristiwa seperti itu. Di sini tak ada orang yang

menggugat, demikianlah hasil orang yang kurang berpikir, tak berpengetahuan, dan tak mau

berusaha. Setelah dipukul ternyata nyawanya melayang juga. Dan ternyata khasiat yang

diandalkan dari pusaka itu telah hilang tuahnya. Besi dianggap bertuah, kalau dahulu dijual,

maka uang hasil penjualan itu dapat dipergunakan untuk modal. Hasilnya dapat dinikmati

sedikit demi sedikit untuk penangkal sifat tamak dan sombong. Jika laku dengan harga

tinggi, itu sebagai upah jerih payahnya.

Sebenarnya tuah yang benar, bagi manusia hidup, bukannya tuah dari tombak-keris

tetapi berasal dari petunjuk-petunjuk atau nasehat-nasehat yang baik. Kepercayaan pada

barang lahiriah tak dapat membentuk hati baik. Biarpun dia mempunyai wasiat buatan

Pejajaran, yang terkenal baik, juga buatan Siyung Wanara, tak akan dapat merubah sifat dan

hati pemiliknya menjadi baik, kalau hatinya memang jahat. Di sini si setan menggoda, wahyu

orang tadi dan tuah dari wasiat yang diandalkannya lari terbirit-birit, ternyata wasiat itu tak

berguna lagi.

Seperti kisah di jaman dahulu yaitu putra sang Resi Drona. Aswatama mempunyai

pusaka yang sangat diandalkan. Pusaka tadi hadiah dari Dewa, berupa sebuah panah

bernama Cundhamanik. Panah milik Aswatama itu untuk menumpas kedurhakaan, tetapi

digunakannya untuk mencuri di daerah (pakuwon) perkemahan Pandawa.

Kita ringkas saja cerita ini, Aswatama mendapat murka dari Dewa, Dewa Warna turun,

dan pusaka Chundamanik dimintanya. Kemudian pusaka itu diberikan pada keluarga

Pandhawa, Aswatama tinggal “melongoh” tak bekutik. Dia mohon ampun tetapi tidak

dikabulkan oleh sang Kresna, maka hilanglah wahyu Aswatama dan hukuman pancunglah

yang diterimanya.

Kisah dari sudut lain ialah sewaktu Sunan Giri, tidak menghadap ke Majapahit, rakyat

seluruh daerah Giri dapat dikuasainya. Sang Prabu Majapahit memberi perintah pada para

perwira untuk menggempur Giri, dengan perleng kapan perang yang besar. Setiba di Giri

pasukan tersebut menyerang, rakyat berlarian mengabarkan kepada Sunan Giri kalau ada

musuh besar datang menyerang. Pada waktu itu Sunan Giri sedang asyik menulis atau

membuat buku, yang ditulisnya itu buku mengenai islam. Anak istrinya menangis bersama,

dengan cepat sunan Giri membuang alat tulisnya yang segera berubah menjadi keris. Keris

(71)

(72)

Cahmbanjar 38

tersebut lalu mengamuk menghadapi musuh. Kangjeng Sunan enak-enak duduk, hanya alat

tulisnya saja yang mengamuk. Beberapa orang meninggal terbunuh oleh keris tadi, sedang

yang lain melarikan diri pulang ke Majapahit. Kalammunyeng demikian nama keris itu, lalu

kembali menghadap Sunan Giri. Kangjeng Sunan bersabda. “ Hai kalammunyeng, karena kau

terjadi dari kalam, maka kembalilah kau menjadi kalam lagi”. Kalammunyeng segera berubah

menjadi alat tulis kembali. Demikianlah hasil tindak utama dan hati sempurna, dari sikap dan

perbuatan seorang wali. Oleh sebab itu janganlah slah tafsir, mencela orang yang membuat

perumpamaan ini, sebab belum tentu setiap orang dapat menirunya. Orang yang salah tafsir

berarti mengaburkan maksud perumpamaan tersebut. Meskipun seseorang dapat bersikap

baik dan menganut para wali, tetapi mustahil jika dia dapat meniru sikap dan tindakan

seorang wali dalam hal perbuatan dan budi pekerti yang baik. Misalnya dapat meniru, ya

hanya seperseratus saja bahkan hanya sepersepuluh ribunya dari sikap dan perbuatan wali.

Sedang seluruh orang Tanah Jawa yang beragama islam, semua mencontoh para wali

tersebut.

Di sini penggubah minta kepada kita supaya membandingkan kebesaran Nabi

Muhammad dengan para wali. Lebih mulia dan luhur siapakah sebenarnya, Sali atau

kangjeng Nabi. Kangjeng Nabi yang jelas sah mengemban perintah Allah, menjadi contoh di

dunia bagi mereka yang menganut beliau.

Oleh sebab itulah beliau ini mendapat sebutan Nabi Panutan yang berarti dapat ditiru

semua perbuatan beliau.

(73) Dengan demikian penggubah tak perlu memperpanjang perumpamaan-perumpamaan,

walaupun ada diantaranya yang menertawakan penggubah. Sebab orang muda jaman

sekarang ini banyak yang pandai memakai cerita Rama bahasa Jawa Kuna (Kawi) dan

biarpun pandai tetapi hatinya penasaran, tergesa-gesa mencela orang lain. Padahal belum

dipertimbangkan masak-masak, apalagi mengerit persoalan tersebut. Maklumlah, sewaktu

penulis sendiri masih muda, kerap kali juga suka mencela orang lain, karena merasa dirinya

lebih pintar.

Ada seorang pujangga berasal dari Ngeksiganda, pendapatnya oleh penggubah tiap hari

selalu di sanggah, baik mengenai tulisan maupun bahasanya. Ternyata orang tadi memang

bukan pujangga betul-betul. Artinya orang tersebut tidak memiliki kepandaian benar-benar,

masih meminjam kesana-kemari, berserabutan tak karuan. Penggubah sendiri heran, dan kini

setelah merasa berumur, menyesal juga, jangan-jangan sifat keras hatinya ketika masih muda

akan berlarut-larut sehingga hal itu tentu berakibat tidak baik.

Cahmbanjar 39

DHANDHANGGULA

Dalam bagian ini penggubah masih membicarakan tentang sikap atau tindakan yang

menyebabkan turunnya derajat. Dikatakan bahwa anak cucu dilarang membuat rumah yang

berlebih-lebihan besar, bagus dan indahnya hiasan, dalam arti tak boleh melebihi ukuran. Hal

ini pasti tidak dapat diubah akan turunnya derajat, sementara ada perubahan martabat,

dalam jaman pangiwa maupun panengen. Hal tersebut sejak Nabi Adam hingga jaman

sekarang, tahun Alip (1747), bagi orang besar maupun kecil ternyata tak ada bedanya. Dahulu

di tanah Arab, para raja membuat istana yang menyerupai s urga, ternyata bahwa mereka itu

tak ada yang selamat. Jaman pangiwa demikian pula. Para raja yang kuat baik berupa raksasa

maupun manusia, yang membuat istana seperti surga juga tak ada yang selamat. Sedang

sekarang rakyat kecil di desa-desa maupun di kota, serta para orang besar yang lain, tak

diperkenankan membuat rumah besar seperti tersebut di atas. Demikian pula bagi raja-raja,

karena itu sudah umum termasuk dalam adat. Adakah benda penangkal agar orang tak

mengalami kemerosotan derajat karena hal tersebut. Penggubahnya berani memastikan

dengan taruhan potong leher atau bayaran berapa saja, asal langit dan dunia ini masih ada,

demikian pula bulan, bintang dan matahari masih bersinar, jelas hal itu tak dapat dirubah.

Penggubah merasa tobat terhadap Tuhan, karena telah terlanjur dalam ucapannya, yang

berani menentukan sesuatu. Hal ini disebabkan oleh hati yang mendongkol, karena memberi

nasehat kepada anak cucu sendiri, tetapi tak diperhatikannya. Nasehat yang diambil dari

ilmu adat jaman dahulu, Karena berkat Tuhan, maka semua tadi dapat dipetik sebagai

contoh. Ada segolongan yang menyatakan, bahwa lebih baik mengurus pekarangan

(halaman), dengan sebaik-baiknya saja, supaya mendapat dua macam pujian. Pujian pertama,

ialah setiap orang yang melihat, mengatakan pekarangan itu bagus dan bersih, mengenakkan

hati. Pujian kedua, yaitu pujian dari tuannya, yang menandakan bahwa dia mendapat berkat

dari raja. Ucapan itu memang betul, juga, tetapi sebaiknya tak berguna bagi jiwa dan raga, itu

hanya pujian basa-basi saja. Sedang pujian yang betul-betul berguna lahir batin ialah yang

berasal dari “gusti” (majikan). Pujian tadi pujian yang tulus keluar dari hati sanubarinya,

dapat menyegarkan badan. Biarpun seseorang mempunyai rumah bagus, namun dalam

tugasnya selalu salah dan tak cekatan, tak urung akan dimarahinya juga.

Sedangkan pujian yang berasal dari banyak orang, itu merupakan pujian kosong, hanya

dapat dibuat penopang balai-balai saja. Ada orang menyanjung, kebetulan orang yang

menyanjung tadi, bertamu ke rumah seseorang. Karena tidak dijamu, maka sanjungannya

tidak berkobar-kobar lagi, akhirnya hilang dan disertai perut kosong dia kembali pulang.

(74)

(75)

Cahmbanjar 40

Kemudian pujian yang benar-benar tulus, itu terjadi apabila seseorang memiliki rumah

yang sedang-sedang saja besarnya, tetapi kawan atau siapa saja yang bertandang ke

rumahnya pasti dijamu, mereka pulang tentu dengan perut kenyang. Nah pujian mereka itu

memang tulus dan sungguh-sungguh bermanfaat. Yang jelas tak perlu diperlihatkan, karena

rumah tempat tinggal itu memang tak dapat dibawa ke balairung menghadap “gusti”,

ataupun untuk ampilan (barang bawaan). Apabila semua cara yang menyebabkan

menurunnya (anugerah Tuhan) derajat, demikian pula tentang bergesernya wahyu, kalau

ditulis akan penuhlah halaman ini. Kecuali itu masih ada lagi contoh-contoh seperti yang

telah dibicarakan, misalnya tentang hal yang menyebabkan hina. Apabila hal itu berlarut-

larut tak dapat dikekang, suatu tanda bahwa anugerah Allah akan menjauhi diri orang

tersebut.

Demikian pula semua perbuatan yang menganiaya dan mengakibatkan dosa orang lain.

Semua perbuatan itu karena tak diketahui banyak orang, hanya disaksikan oleh saudaranya

yang tua saja, bahkan dicegahpun dia tidak mau, maka ini menandakan pula akan

bergesernya wahyu. Sebab wahyu itu akan terlihat lebih jernih, bersinar seperti bulan.

Wahyu kecil bersinar seperti bintang terang, kalau orang itu berbuat j ahat, marah sekali dia,

cahayanya kelihatan pudar. D ia pasti menghindar dan melarikan diri. Bagi dia tempat bukan

masalah untuk dirasukinya. Dia dapat mencari tempat ke tubuh orang yang berhati suci,

bijaksana serta berbudi, dan berbahagialah mereka yang dapat menjaganya. Menjaga wahyu

sejati memang sulit, namun mudah juga kalau betul-betul mau mengerjakan. Untuk

menjaganya yaitu dengan cara, harus ingat dan selalu waspada. Tidak boleh melupakan

Tuhan, menyerah dan siap sedia, gagah dan tidak terburu nafsu. Berhati lapang dan selalu

tertib, tujuannya hanyalah membuat selamat.

(77) Dengan sarana cinta kasih, sesuai dengan ajaran agamanya, maka segala sikap hanya

“pasrah” kepada Allah saja. Seyogyanya memperbesar doa syukur, dan doa untuk mencari

keheningan. Hening dalam arti menerangi hati untuk mengurangi makan dan mengurangi

tidur. Itulah suatu usaha atau cara untuk memelihara derajat atau martabat. Disertai rasa

terima kasih dalam hati, dan dibersihkan lewat sastra Jawa Arab, tahu akan arti, kemudian

tahu pula akan segala hokum dan sopan santun. Kesemuanya tadi harus dicamkan dalam hati

sanubari dengan mantap. Demikian tadi dapat menjadikan hati teguh tak tergoyahkan

menghadapi segala bahaya dengan bersenjatakan nasehat.

Nasehat dari guru yang bersifat adil, yang selalu memberi apa yang diminta orang muda

dan bodoh, dialah yang selalu memberi makan orang fakir-miskin, maka kepadanyalah kita

(76)

Cahmbanjar 41

harus berlaku ramah. Jangan sampai membicarakan yang bukan-bukan, sebelum diteliti

betul-betul, agar hati terlatih memikirkan keutamaan.

Usahakan agar dapat menjaga dan memelihara anugerah Allah, cara itu terdpat dalam

sikap hati kita sendiri. Kita harus kuat dan bertahan dari g odaan setan, jangan malas

bertindak. Sikap itu dapat menghalangi kehendak untuk bertindak berbuat baik. Perbuatan

baik adalah pencerminan anugerah Tuhan yang menandakan adanya kasih Allah.

(78) Banyak sudah kelalaian-kelalaian yang terjadi, karena sikap yang ragu-ragu terhadap

Tuhan. Sikap jujur yang mengarah kebaikan telah hilang, hanya tertarik akan perbuatan

jahat. Bersifat kikir dan dengki, hanya perselisihan sajalah yang diutamakan. Pagar hatinya

telah hilang, maka yang lalu-lalang hanya hal-hal yang ngawur dan mustahil.

Disertai bermacam-macam sarana, ternyata pada hakekatnya manusia selalu mencari

hal-hal yang baik. Rasa hati selalu menginginkan segala yang serba harum, bagaikan orang

merayu saja, kalau belum memperoleh takkan dihentikan.

Demikian tadi tindakan yang diusahakan dengan segala cara. Apabila dirasa melalui

pandangan hati dan penglihatan tepat, sudah mengenai sasaran, maka jalan untuk menuju ke

anugerah Tuhan yang serba terbatas itu, makin jelas untuk dilakukannya dengan tertib.

XII. Keduabelas

Dalam bab keduabelas ini Kyai Yasadipura, menguraikan tentang perubahan dalam

alam semesta sesuai dengan jamannya, yaitu jaman kalisengara dan Kaliyoga. Pada jaman

Kalisengara itu dapat diketahui dengan banyaknya (tanda-tanda) kecelakaan, berita-berita

bohong dan kasak-kusuk, kecuali itu banyak terjadi huru-hara, bencana alam, dan lain-lain

yang menjadikan rusaknya Negara. Pada waktu inilah orang harus berhati-hati, dan mereka

harus sadar bahwa mereka berlindung pada Negara dan raja. Lagi pula mendapatkan pangkat

dan pangan darinya, mustahil bahwa orang-orang itu tidak ikut berprihatin.

(79) Mereka harus selalu mohon keselamatan kepada Tuhan, mengurangi makan dan tidur,

jangan sampai membuat murka raja. Jika hal itu sampai terjadi, diusahakan supaya

kemarahan yang Maha luhur itu menjadi tawar sedikit demi sedikit. Hal ini sebenarnya telah

menjadi kewajiban orang-orang di Negara itu sendiri baik laki-laki maupun perempuan,

besar maupun kecil untuk selalu berdoa kepada Allah.

Di samping itu dianjurkan pula supaya mereka membuat sedekah (selamatan) sebagai

penangkal bala, walau tak ada perintah dari raja. Lebih-lebih bila raja memerintahkannya,

maka perintah itu harus segera dilaksanakan dengan cepat dan semangat. Tetapi ada pula

setengah orang yang mengatakan bahwa cara itu sebenarnya merepotkan. Huru-hara

Cahmbanjar 42

ataupun ketenteraman itu jelas dialami bersama-sama orang banyak, jadi tak perlu dipikir,

hanya menambah susah dan merusak pikiran saja. Kata-kata demikian tadi biarpun sifatnya

hanya kelakar dan tidak sungguh-sungguh, tetapi bila hal itu nanti (terlanjur) benar-benar

terjadi maka dia sendiri akan pontang-panting lari mengungsi tak teruruskan.

Dia akan menyesal kelak, bahkan dia itu tak sadar bahwa hidup di negara seorang raja,

dan selamanya ia akan berlindung ditempat itu. Andaikata Negara tadi sebuah rumah besar,

didiami oleh orang banyak, disitu ada sesuatu yang rusak, atap bocor misalnya. Apakah

orang-orang tadi enak-enak tak ikut memikirkannya, tentu tidak.

(80) Ya semampu mereka, biar kecil atau besar, mereka berusaha agar (rumah) Negara itu

kuat, dan orang banyak yang berlindung itu juga selamat. Jadi mereka itu memperoleh

martabat baik, seperti apa yang berlaku kepada manusia umumnya. Bukan seperti dia yang

bermartabat rendah ada huru-hara malahan senang. Dia melarikan diri sambil mencopet, tak

tahunya justru dia sendiri yang tertinggal. Jangan sampai ada orang salah paham, demikian

tadi adalah sifat orang yang rendah budi, tak usah dimasukkan dalam hitungan, dan tak

berguna diceritakan berkepanjangan.

Sebenarnya tidak boleh demikian hai anakku sesuatu hal yang besar maupun kecil,

yang setia dan yang tidak, semua kelakuan tadi dapat dijadikan teladan. Hanya sayang bahwa

uraian ini dikatakan oleh Kyai Yasadipura sendiri mungkin kurang teliti, disebabkan katanya

dia itu masih kurang pengetahuan. Dikatakan bahwa dirinya bodoh, memang demikianlah

adanya. Karena terdorong oleh kemauan yang keras untuk memberi nasihat. Ya biarpun

bodoh tidak perlu malu. Malu tadi dengan sendirinya hilang, maka dengan modal caranya

sendiri yang katanya tanpa pengetahuan sastra itu, penggubah melaksanakan maksudnya.

Kemudian penggubah mengatakan bahwa apabila terjadi perubahan (keg oncangan) di

daerah lain, anak cucu supaya waspada. Sebagai contoh pada waktu dahulu, ketika Jakarta

pada mulanya berperang melawan Cina, ternyata lama-kelamaan merambat ke timur, dan

terjadilah huru-hara di Kartasura. Negara Kartasura kalah, keadaan menjadi porak-poranda,

disebabkan tak adanya kesatuan tekad.

Para pembesar saling tak bertanggung jawab, rakyat kecil bubar g ugup mengungsi

kemana-mana. Sudah biasa adat prajurit Jawa itu seumpama tumpukan batang tangkai padi

yang dibuat sebagai bendungan. Maka apabila ada air bah yang deras melandanya, niscaya

jebol berantakan. Seperti halnya sapu lidi lepas dari ikatan saja, tersebar ke semua penjuru,

dan orang-oran tadi lupa akan raja mereka.

(81) Perubahan-perubahan di luar daerah yang dahulu pernah terjadi, akan memakan

banyak tempat jika ditulis, yang jelas anak cucu harus berhati-hati, harus waspada. Harus

Cahmbanjar 43

dicari apakah asal mula yang menyebabkan Negara (lain) itu bergolak. Kita harus berpikir

dengan lembut, bagaimana supaya perg olakan itu tidak berkembang dan merembet ke daerah

kita.

Pandangan yang kurang lembut (teliti) jelas tak berfaedah. Jika pandangan itu

berfaedah tetapi tercampur ketamakan, maka hal itu sama halnya dengan pedang yang

murahan. Jika pedang itu dipergunakan dengan kasar, mata pedang tadi akan cepat putus.

Tetapi jika dipergunakan dangan halus, mata pedang akan kuat tak lekas putus. Apabila para

prajurit itu sepak terjangnya halus, maka pedang yang ditujukan kepada mereka akan me leot

(melengkung), mereka menjadi kebal terhadapnya. Tetapi jika mereka tadi bersikap keras

maka pedang akan putus mengenainya dan mereka akan kalah. Contoh seperti ini pada jaman

dahulu sudah banyak terjadi, misalnya ketika Kresna mengutus Gathotkaca, disini

petunjuknya kurang halus (mengena), karena tidak mengingat tempat dan suasananya.

Ksatria yang diutus tadi sudah berada di medan perang, sedangkan di tempat ini sudah

banyak korban berjatuhan. Menyaksikan suasana tadi Gathotkaca merasa menyesal dan

putus asa, nah inilah kesalahannya.

Sudah pada tempatnya bahwa orang berperang itu tentu kalah atau menang, ya kalau

tidak membunuh ya dibunuh. Sedang Kresna sendiripun juga bersalah, yaitu karena kematian

Resi Drona dahulu, disebabkan oleh tipu muslihatnya yang diwujudkan dalam kata-kata

sebagai jebakan. Di kemudian hari as watama (putera Drona) membalas dendam. Dia berlaku

jahat di pakuwon Pandhawa; di tempat itu ia membalas dendam dengan membunuh

sebanyak tiga orang.

Demikianlah kejadian-kejadian yang dapat menjadi suri tauladan, dan semua tadi

supaya selalu diingat. Dengan demikian tidak perlu membaca sastra Jawa dan Arab dengan

suara keras dan bergaya, yang penting maksud dan isinya dapat dimengerti, misalnya

perubahan dalam negeri tetangga sendiri.

Jaman dahulu di Negeri Ngeksiganda ( Mataram) sewaktu jayanya, terdapat pula

kericuhan di dalamnya. Kericuhan tadi menyebabkan pecahnya negeri tersebut dan

menyebabkan rakyat kecil kalang kabut. Sedang yang menjadi peraga keadaan tadi ialah

Trunajaya si celaka yang semakin berani, dia tak menyadari akan asal mula dirinya.

Sebenarnya bila ada pergolakan (perubahan) dunia, rakyat kecil tidak boleh dilupakan.

Mereka harus waspada dan sabar, baiklah selalu memohon kepada Tuhan, agar pergolakan

tadi gagal, seperti apa yang telah terurai di depan. Sebab andaikata hal itu terjadi, akibatnya

rakyat kecillah yang menderita, dan demikianlah dalam jaman Kalisengara itu.

(82)

Cahmbanjar 44

Dalam jaman tersebut orang-orang besar semua terdesak, tetapi setelah jaman Kaliyoga,

orang-orang besar tadi banyak memperoleh kebahagiaan. Itulah adat Jawa, oleh karenanya

siapa yang diciptakan sebagai orang kecil, mereka harus insaf, supaya mereka itu jangan

sampai terbengkelai. Baiklah mengikuti perubahan negeri dengan mantap, tidak boleh hanya

enak-enak saja.

MIJIL

(83) Bila ada orang ya siapa saja yang menyatakan secara berbisik-bisik bahwa dia serba

mengetahui (mengalami) waktu daerah itu bergolak, padahal ternyata orang tadi masih

muda, tak sesuai dengan jaman yang diceritakannya, maka ucapan tadi cukup didengarkan

saja. Sebab kalau diperhatikan betul-betul, pembicaraan itu merupakan setan yang membuat

tidak tenteram. Orang demikian tadi tak perlu ditegur, cukup disambut dengan kata setuju

saja, asal dalam diri sendiri dapat menimbang mana yang benar dan yang buruk, agar tidak

keliru kelak.

Sebenarnya bukan hanya terhadap orang itu saja dia harus waspada, bahkan terhadap

orang lain pun harus demikian juga, lebih-lebih terhadap orang yang dahulu tersohor sering

berdusta. Sebab sekarang ini banyak kabar angin, kabar bohong, banyak berita yang tak ada

kenyataannya, walaupun kabar itu berasal dari priyayi (orang yang dapat dipercaya).

Andaikata Tuhan menitahkan sesuatu yang tak nyata, ini selalu diintip oleh setan. Hal-

hal tersebut makin ditambah-tambah, dibuat sedemikian rupa sehingga menjadikan geger.

Jika sudah geger (huru-hara), orang dapat mempergunakan kesempatan tadi untuk

memperoleh sesuatu. Membuat cara dengan mengajak berbuat jahat, membuat susah dan

amarah orang lain. Ya pokoknya dengan cara apa saja asal terpenuhi kehendaknya. Dia tidak

malu berbuat hina, berbuat dosa, memang ia sudah nekat dan sengaja mengikuti setan

(berlaku jahat). Apabila seseorang telah bertekad demikian, sukar untuk diajak berlaku baik.

Orang yang berbicara seperti itu, tak pelak lagi sikapnya tentu menjengkelkan. Bila berbicara

dengannya haus pandai berpura-pura, sebab sebenarnya orang lain sudah tahu bagaimana

sifat dia, dan tidak sepantasnya apabila dia mengajak berbicara tetapi tidak dilayaninya.

Dengan cara demikian maka semuanya akan selamat, yang seorang tidak tersinggung, yang

seorang lagi takkan terbawa-bawa. Seperti halnya anak kecil sedang bermain-main

menirukan orang berbelanja. Sebenarnya apa yang dikatakannya itu terbawa dari kata-kata

orang tua bila sedang bercakap-cakap, kemudian anak kecil yang mendengar tadi

menirukannya. Lama-kelamaan apa yang diomongkan tadi , ternyata terlaksana benar-benar.

Demikianlah salah sebuah hal yang termasuk perubahan dunia, dan yang sebelumnya s udah

(84)

Cahmbanjar 45

diberi tanda-tanda lebih dahulu. Oleh sebab itu orang harus waspada dan ingat terhadap apa

saja yang terlihat.

(85) Sekilas apa yang terlihat harus segera dicari, dikembalikan kepada kebiasaan yang

dahulu pernah ada. Oleh karena itu orang harus teliti melihat tanda-tanda, agar sikap yang

diambil berakhir biak. Seyogyanya orang tinggal di kota dan mengabdi raja, agar dapat

mengetahui kejadian-kejadian di dunia (Negara) ini. Lebih-lebih kalau memang sudah

menjadi tugasnya, seperti apa yang talah diutarakan. Ya atas semuanya tentu mengharap

kasih Tuhan agar kehendaknya dapat terlaksana, dan hanya Karena kodrat Allah-lah yang

dapat menggagalkannya. Oleh karena dalam jaman Kalisengara itu belum dapat terlaksana,

maka pada jaman Kaliyoga kinilah gantinya. Orang harus mengucap syukur pada Allah, dan

seterusnya supaya manusia tetap setia akan sikap yang baik itu. Sebab dalam dunia ini

banyak maksud yang hanya ingin seenaknya saja. Hal-hal yang mengakibatkan buruk harus

disisihkan, dan yang mendatangkan selamat jelas didukung. Memang demikian sikap yang

umum atau wajar, hal yang jelek tidak mau, hal yang baik senang sekali, itu saja masih

tergolong sikap madya, belum yang utama. Untuk menjadi orang utama ini memang berat,

sukar dicapai, kecuali para pendeta atau wali, yang memang tugas mereka. Hatinya sudah

seluas lautan tak akan terkejut melihat perubahan keadaan dunia ini. Tujuan hatinya hanya

ingin dekat dengan Tuhan. Ingin raganya hilang dikumpulkan dengan Allah. Demikianlah

para ulama tadi, hati dan tindakannya telah serasi untuk menjalani hidup ini.

Di dalam hidup seseorang tak boleh salah lihat, apa yang dituju, harus mampu

mengetrapkan tindakannya. Untuk ini jalan ( cara) yang termudah ialah dengan perantaraan

tutur kata. Sesuatu yang sudah dikatakan harus selalu diingat, menyenangkan atau tidak,

jangan sampai kata itu salah, dan tertuangkan dalam sikap yang tak terpuji. Meraba-raba di

angkasa, setiap hari selalu berjumpa dengan sikap seperti itu. Maka seseorang sey ogyanya

jangan memulai apabila tak mempunyai pendirian. Berjalan diatas jalan yang lurus. Lurus dari

kehendak hati. Apabila sudah demikian maka kehendak itu harus dipegang teguh.

Hendaknya orang itu mencari keselamatan, ya keselamatan untuk melindungi dan membuat

tenteram anak cucu, seperti yang memberi petuah baik pada sis wanya.

(87) Dengan maksud membentuk hati yang teguh jernih terpusat ke satu tujuan ialah Hyang

Maha Suci. Merubah segala sifat loba yang ada pada dirinya, agar tidak menghalangi maksud

baik itu. Dengan berhati-hati serta sikap yang luwes, orang supaya berusaha memiliki sifat-

sifat kesemuanya tadi. Apabila sudah dapat tercakup, maka seyogyanya sifat itu diterapkan

dengan cermat. Tidak perlu menonjolkan sifat tersebut yang sebenarnya justru dapat

(86)

Cahmbanjar 46

menghalanginya. Oleh sebab itu orang harus dapat melaksanakan dengan sungguh-sungguh

sehinga dapat memperoleh dan meng olah uraian-uraian ini.

Penggubah tidak perlu memperpanjang petuah-petuah tersebut, cukup diselesaikan

hingga sekian. Karangan ini dibuat di Surakarta, dan oleh penggubah diberinya nama Kitab

Sasana Sunu.

Cahmbanjar 47

SERAT SANA SUNU

Bahasa Jawa

DHANDHANGGULA

(1) Awignam astu namasidhi, sinidaa déra sang murbèngrat, kang anglimputi saraté, déné

ulun mangayun, makirtya ring kanang palupi, lepiyan kang supadya, dumadya wuwuruk, ing

suta wayah priyawak, sinengkalan Sapta Catur Swarèng Janmi, janma nis kumadama.

Kumadama memeksa mawardi, sanggyaning kang atmaja wus werda, widadaa

sawadiné, mardi mardayèng sadu, sadarganing darsanèng urip, ngarep-ngarepa harja,

harjaning tumuwuh, tuwuh tarlèn sekarira, ya marmanta mandaya mardamèng wangsit,

wasita winatara.

Watara ring tutur amartani, martotama temen tinumana, ketamana ing tulatèn, tula-

tula tumulun, tétélaa temah katali, talika winenangna, monang kang amangun, Yasadipura

mangaran, wektyaning ngling hèh sanggya nak putu mami, yèki leksanakena.

Muhung kinarya pengéling-éling, laku lalakonirèng ngagesang, sun karya rolas

warnané, warna ingkang rumuhun, él inga yèn tinitah janmi, kapindho ingkang warna, élinga

sutèngsun, yèn sinung sandhang lan pangan, warna ingkang kaping tri sira dèn éling, yèn

kinèn angupaya.

Ing wetuning sandhang lan rejeki, akasaba saking tapak tangan, kaping sakawan

warnané, paréntahé Hyang Agung, kinèn Islam manut Jeng Nabi, rasul nayakaningrat, warna

kang l imèku, busana lan pakaremen, warna kaping nenem slira dèna éling, lakuning pawong

mitra.

Akakancan sasamining janmi, déné warna ing kang kaping sapta, yèn abukti nèng

wismané, yèn turu yèn lumaku, késah saking wimanirèki, warna kang kaping astha, kurmat

ing tatamu, kaping sanga rikang warna, wektuning ngling myang wektuning barang rusti,

salamining ngagesang.

Warna kaping sadasa tinulis, yèn tumitah sira mring Hyang Suksma, gedhé kalawan

ciliké, kaping sawelasipun, dèna éling titahing Widhi, sudaning kang darajat, gingsiring kang

wahyu, apa ingkang dadya sebab, warna ingkang kaping rolas dipun éling, obah osiking

jagad.

Jangkep kalihwelas ingkang warni, nahan warna kapisan kocapa, dèna éling salaminé,

yèn tinitah sirèku, saking ora maring dumadi, dinadekken manungsa, metu saking henur, rira

Jeng Nabi Mukhammad, katujuné nora tinitah sireku, dumadi sato kéwan.

(2)

Cahmbanjar 48

(3) Dèn agedhé sokurirèng Widhi, haywa lupa sirèng sanalika, dèn rumeksa ing nguripé,

dèn madhep ing Hyang Agung, dèn apasrah haywa sakserik, manawa ana karsa, uripta

pinundhut, ngaurip wasana léna, tan tartamtu cendhak dawaning ngaurip, hay wa acipta

dawa.

Haywa cipta cekaking ngaurip, yeku dudu ciptaning kawula, dawa cendhak wus

papancèn, mung ciptaa sutengsun, mati ana sajroning urip, mangkono pan winenang, cipta

kang saèstu, madhep kamawuleng suksma, tan sumelang ananira saking Widhi, widagdeng

cipta maya.

Gantya warna ingkang kaping kalih, linahirken sira anèng dunya, sinung sandhang lan

pangané, yèku sira dèn émut, tuwa sandhang kalawan bukti, lahiring kang manugsa, saking

garbing ibu, jabang tan banjur dinulang, sayektine sandhang popok kang rumiyin, ya

sandhang ya bok dunya.

Hiya pangan hiya bok rijeki, karo iku apan ta tariman, saking Hyang kang amurbèng

rèh, bok dunya bojo sepuh, bok rijeki bojo taruni, dèn bisa momong sira, bariman ro iku, bok

dunya garwanta tuwa, yèku ingkang milu urip milu mati, dé garwanta taruna.

Bok rijeki iku apan dadi, kuwat panganti-anti ngagesang, lire dèn bisa momonge,

hay wana kongsi mutung, yèna purik tariman kalih, lungané luwih rikat, lir kilat

sumemprung, tan bisa nututi sira, nungsang-nungsang dhuh rusak badanirèki, nistha brangta

mangarang.

Rangu-rangu rongèh muring-muring, ringringané asalah grahita, yèn sisip-sisip

sembiré, nir kamanungsanipun, sarupa lan kéwan wanadri, anyandhak-nyandhak tuna,

gayuh-gayuh luput, saking tan betah tinilar, ing garwa ro temah ngrebut dèn lakoni, ing

garwaning wong liyan.

Ngutil methet any olong mamaling, yèn konangan atombok umurnya, kaèsi-èsi patiné,

lir sato gumalundhung, marma kabèh dipuna éling, pamomonging tariman, dèn watarèng

kayun, sihana inga sawatara, amung hay wa karo kongsi lunga purik, yen abanget sihira.

Mring kakasih tansah amangun sih, papasihan sumungku satata, mong wirag a

karagané, nutug nutugken kayun, lali marang kang narimani, katungkul ambaruwah,

sumungkem sumungku, yèn mangkono nora kuwat, badanira apes ingkang sira panggih, tan

bisa lumaksana.

Migeng-migeg kawaregen kalih, yèn lumaku banjur kajungkélang, tiba galundhung

jurangé, kebentus watu ajur, kojur tibèng nisthaning nisthip, papa tanpa pantaran, kapiran

kapatuh, yèkuta hay wa mangkana, dèna sedheng hay wa kabangeten ing sih, mring rejeki lan

dunya.

(4)

(5)

Cahmbanjar 49

Nahan warna ingkang kaping katri, parentahing Hyang kinonta sira, angupaya ing

wetuné, sandhang panganirèku, akasaba metua saking, ing tapak tanganira, pan utaminipun,

wetuning karingetira, nora kurang penggawéyan ing dunyèki, wetuning sandhang pangan.

Wawatesaning ngupaya bukti, yèn wong lanang amikul ing salang, wong wadon

géndhong seniké, barang upaminipun, géndhong mikul jalu lan èstri, yèn lagya pesing badan,

bédané kalamun, sinung kasdéra Hyang Suksma, amgupaya sandhang pangan teka gampil,

yèn gampang den waspada.

Sangkaning arta yèn tan prayogi, hay wa arsa sanadyan akathah, yèn durung sah hay wa

pinèt, sathithik yèn panuju, dèn pakolih amburu kasil, liring pakolih ingkang, sah terang ing

kukum, tuwin ta wewekasingwang, yèna kasab mrih upajiwa ngaurip, hay wa nganakken

arta.

Nora arus nadyan énggal sugih, ing wasana sira nemu papa, kapapan nora warisé,

saking para luluhur, kasab iku ingkang utami, amongtani sesawah, gaga ananandur, akèh

warnaning akasab, lakonana dèn taberi dèn nastiti, abot wong golèk pangan.

(6) Haywa ngentheng ken wong golek bukti, paé sato kéwan tanpa ngakal, golèk pangan

mung cangkemé, mara banjur barakud, suket godhong kang dèn gayemi, béda lawan

manungsa, saking ngakal metu, yèn tan olih kang mangkana, kang mangkéné yèn kang

mangkéné tan olih, kang mangkono antuka.

Lamun antuk angupaya kasil, dipun ageng panarimanira, sukura ing Hyang nikmaté,

hay wa dupèh sirantuk, amung kedhik kasabirèki, pan iku paparingan, nugraha Hyang Agung,

pinaringan pira-pira, luhung endi kang tan bisa olih kasil, kasabé papariman.

Yèku satengah tan den paringi, rahmating Hyang pinunggel ngamalnya, tan

dinawakken ngamalé, kasabé wus pinulung, pan kepalang-palang tan olih, labet wahyu

kinebat, ngakalé binawur, duk bocahé kurang ajar, tuwa-tuwa katula dhinadhung ngéblis,

lapak tan amicara.

Lamun amicaraa sayekti, nora bisa agaga sasawah, dadiya tukang lan pandhé, sayang

sasaminipun, yèn tan bisa manjaka dingin, abot ènthèng pan kathah, pakaryaning manus,

utama yèn angawula, angapedhak dèn pethel angering- iring sarta, jujuring manah.

Marma éling-éling dèn pakéling, anak putu padha rumangsaa, yèn kawula sru apesé,

hay wa dupèh tinunggu, bapa-biyung misih ngaurip, angabdi ing naréndra, sapatuté cukup,

yèn mangkono ciptanira, budi rupak gopok tan micarèng ngèlmi, ngegungaken taruna.

SINOM

Cahmbanjar 50

(7) Nahan kaping pat kawarna, sagung anak putu mami, kinon sirèku Islama, anuting rèh

Kangjeng Nabi, Mukhammad kang sinelir, ing saréngat kangjeng rasul, haywa sira atilar,

cegah pakon dèn kaliling, sunat perlu wajib wenang lawan mokal.

Batal karam lawan kalal, musabiyat dèn kaèsthi, pikukuh Islam lilima, iku aja lali-lali,

utawa yèn nglakoni, ing rukun lilima iku, lamun ora kuwasa, mring bètollah munggah kaji,

ingkang patang prakara bahe y wa lupa.

Saréngat lakuning badan, tarékat lakuning ati, kakékat lakuning nyawa, makripat ing

lakunèki, ing rasa dèn pakeling, kawruhana lakunipun, nanging aja atilar, ing saréngat

lakunèki, yèn tilara nora kuwat badanira.

Pan hiya mangsa bisaa, ngepleki saréngat nabi, y wa mangkana nora kena, yen

kinarsakken ing Widhi, dadya mukmin sajati, mung ta haywa kongsi kupur, kang dèn

kupurken sarak, haywa pasèk hay wa musrik, rèhning langip mung bisaa ing maksiyat.

(8) Yèn maksih tiba maksiyat, manawa-manawa kai, katarima tobatira, ing rina kalawan

wengi, yèn wus tumibèng musrik, angel pupulihanipun, yèn nora katarima, tobatira ing

Hyang Widhi, nora wurung katempuhing pancabaya.

Saréngat iku wawadhah, lawan hiya tatakrami, marma tan kena tinilar, wong atilar

tatakrami, enggoning laknat sétan, tan wurung ikut amanggih, ing bebendunira Kangjeng

Rasullollah.

Bebenduning Rasullollah, ya bebenduning Hyang Widhi, ya Allah ya Rasullollah,

mangka tajali sayekti, marma dipun pakéling, haywa maido sutèngsun, sawirasaning kitab,

yèn tan bisa anglakoni, amunghay wa mamaoni ananacad.

Anata ingkang satengah, anggeguyu wong ngabekti, yèku panjanmaning sétan,

dhèwèké wus tan nglakoni, ana kang anglakoni, dadak sembrana guguyu, kaya wong nginum

arak, kang sembrana sarwi angling, nora kharam kerem arak yekti khalal.

Wong ing kang ngucap mangkana, olèh duraka ping kalih, dhingin ngalalaken arak,

kapindho anginum awis, marma dèn ngati-ati, hay wa sembrana ing wuwus, lan wawaler

manira, hay wa ngagengaken awis, dhingin karam kapindhoné tanpa guna.

(9) Sepélé amung kinarya, bébéngkrakan sukak ati, tan timbang lan durakanya, wus pasthi

wong nginum awis, yèn awon endemnèki, mring badan nora pikantuk, batiné lunjak-lunjak,

kaduga angepel bumi, ing wéwéka subasitané wus ilang.

Yèn becik demé wong ika, ngalumpruk badaniréki, ginggang madhepé mring suksma,

bawur tyasé dadya lali, paran margining becik, wong lali marang Hyang Agung, amedhotaken

ngamal, tuna nora oleh bathi, siya-siya nganiaya badanira.

Cahmbanjar 51

Endem iku kawruhana, limang prakara dèn éling kang dhingin endem inuman, pan wus

cinatur ing ngarsi, dadiné nora becik, déné kaping kalihipun, endemé wong nonoman, tur

abagus ingkang warni, ing busana hiya nora kekurangan.

Pangrasané nora nana, wong abagus malih-malih mung dhéwékè kang jelarat, mung

dhéwékè kang je lanthir, katungkul miling-miling, ngaliling saliranipun, Harjuna dèn lalarak,

Panji sinèrèt babar ji, demang genter demang pater dadi lemah.

Kang aran bagus pan hiya, jejeré kalih prakawis, kang dhingin bagusing rupa, ping kalih

bagusing ati, nadyan rupané becik, lamun ala atinipun, yekti dadi wong ala, rusuh sebarang

pakarti, tyasé harda andarung tanpa ukara.

(10) Yèku demé wong taruna, rosa kuwat barang kardi, pandhuking sadaya-daya, tan

ngarah-arah rih–irih, yèku karam sayekti, déné kaping tiganipun, endem ing kawiryawan, lire

kamuktèné luwih, rina wengi angrasakken ing kamuktyan.

Mangan é nak turu é nak, kamuktèn salin-sumalin, apanjang yèn winuwusa, murkaning

wong ngolah mukti, kaping pat kang winardi, endem saking hawa napsu, napsune ngambra-

ambra, tan kena sisip sakedhik, maring rabi maring batur mring wong liyan.

Tarocoh amara tangan, durung karuwan yèn sisip, napsuné pinasang-pasang, tan

pamarta tanpa titi, titi kadurung enting, kasusu sru masra-masru, déné kang kaping lima,

endeming suka sukanting, barang suka kang angliwati saking kat.

Endem kang papat punika, sayekti karamé sami, lawan karamé kang arak, banget lali

mring Hyang Widhi, kalamun manungsa wis, kanggonan dem lilimèng ku, kagem dadya

satunggal, tan wurung anemu nisthip, aben-aben katekan bilahi dunya.

Nora nganggo ing ngakirat, ing dunya bahé pinanggih dennya sru karam makaram,

tegesing karam dèn éling, pan hiya aling-aling, kalingan tyasé kalim put, tegesé ingkang kalal,

sutèngsun haywana lali, kalal iku pan kalebu tegesira.

(11) Manjing barang kang becikan, tyasé suci nora lali, mring Hyang pan ora kalingan,

kalamun bisa nglakoni, kawulaning Hyang Widhi, sabarang karam tan ayun, sayekti

katarima, barang pandonganirèki, hay wa kadi pangucaping wong kang liwar.

Linging wong ahlul kakekat, wuwulangé gurunèki, tan ana karam subaat, kabèh-kabèh

kalal ugi, iku wong kenèng pidhir, tan wurung kenèng bebendu, wus kadhadhung ing sétan,

déné laku kang sayekti, kang ngabontos ing ngèlmu praptèng kakékat.

Sirna marang ing makripat, kang wus antuk sihing Widhi, karam maning yèn arepa,

ingkang kalal datan apti, yèn bisa anglakoni, sarta wahyuning Hyang Agung, kang mangkono

pan dadya, martabating para wali, wali kutub kang rumeksèng pramudita.

(10

Cahmbanjar 52

Sabakdaning Rasullollah, yèku kang minangkan dadi, cacagaking langit dunya, sèwu

kutub para wali, babo déné amencit, yèn atélada kang iku, pan hiya sèwu mokal, sarehning

kawula langip, amunghaywa dadi réréwangan sétan.

Lawan hay wa mangan madat, peretu iku tan becik, apa beciké wong mangan, ing

kukus tur angendemi, yèn wus nyakot sayekti, dudu wong kang mangan apyun, apyun kang

mangan janma, yèn wus dadi dlinding mati, nora nana wong nyeret umure dawa.

(12) Iku kalebu g olongan, nganiaya badanèki, dhasaré sarak cinegah, ingkang karam

endemnèki, barang kang angemdemi, cinegahing sarakipun, panjang yèn winarnaa,

nisthaning mangan cekakik, pan wus padha kalampahan kasat mata.

Nanging ana kang mamarah, kalaling apyun sakedhik, yèn kinarya ing woworan, obat

anget iku ugi, marmané iku kénging, dènnya obat anget iku, andhanganken sarira, kitab

Sarahbayan nenggih, kang ngalalken kedhik winor obat panas.

Lan malih wawaler ing wang, nak putu ywa anglakoni, ing panggawé ngabotohan,

kalebu nisthaning ngurip, dhasaring saraknèki, kinaramaken satuhu, lahiré luwih nistha,

dadya lip-alip panèki, wong durjana saking madat ngabotohan.

Waler malih hay wa ana, sagung anak putu mami, alul wuku tigang dasa, kang trus

sapadéwanèki, pan iku nora becik, ing saraké dadi kupur, sasat ngroro pangéran, yen sira arsa

udani, mring lakuning wuku dipun sawatara.

Satengah saking kacaryan, ing wuku kluwihanèki, mèh wruh sadurung winarah,

kadadiyaning babayi, ya salawasé urip, begja lan cilakanipun, ing wuku wus dèn enas, sidik

Tanana kang sisip, kang mangkono sira padha mangertiya.

(13) Haywa banjur kagawokan, pan ana pralambangnèki, wawangsalan sembunggilang, ing

Palémbang dipangga lit, singa-singa sayekti, yèn kagugu pan kadulu, aja sipara déwa, ing

wité tinitah luwih, iku maning yèn ora mikatonana.

Nadyan séla lawan wreksa, lamun sira puji-puji, pinuja mantrèng dudupa, binorèhan

wangi-wangi, sayekti mikatoni, brekating pangrasanipun, marma dèn éling sira, tarècètaning

agami, yèn sira yun uninga ing ngèlmu kasab.

Kang winenang ing agama, nanging iku kaol langip, lamun kaol ingkang ngekas,

kinaramaken sayekti, sagung ngèlmu laduni, palak palkiyah myang nujum, iku ngèlmu

pambuka, sagung ingkang gaib-gaib, saking Arab tan lyan saking Nabi Duta.

Wawaler malih kocapa, sing wong tuwa nguni-uni, yèn kuwat mamantu sira, ngangg o

gamelan tan keni, dhasar sarak sinirik, unining gamelan iku, mung sawiji kéwala, kang

winalerken ing nguni, mung mamantu aningkahken sutanira.

Cahmbanjar 53

Yèn tetakan titingkeban, hiya nora dèn waleri, gegedhèn nganggo gamelan, ya

mangkana sarèhnèki, kalumrahaning ngurip, wong dèn abdèkaken ngratu, kudu ta

kalumrahan, narajang waler sakedhik, wakilana haywa ekak saking sira.

(14) Ing unining kang gamelan, dodongaa ing Hyang Widhi, mugi ta winenangena, lan

mintaa rilanèki, luluhur nguni-uni, kang duwé wawaler iku, sira kirima donga, iku supayané

kalis, pon-ponané adoha ing pancabaya.

Let sepasar nenem dina, gamelan durunging muni, dèn mesu panedhanira, ing weng i

gon kang asepi, lamun kepareng ugi, anaha samitanipun, katingal ing sumpena, réhning

ngapes medal saking, ing supena barang tingkahing kawula.

Paé kang uwis mukminkas, tuwin pra wali pra nabi, akèh kang sinungan ayat, saking

swara kang dumeling, wa mangkono prandéning, ana kang nyertani iku, ing kang para

ambiya, wahyu ingkang saking ngimpi, Nabi Brahim lan Nabi yusuf ing kuna.

Nanging iku ta trekadhang, amunghiya anyitani, tan uwis déning supena, ing

wengkoning Jabarail, dinuta ing Hyang Widhi, wahya amaringken wahyu, lamun ing jaman

mangkya, sabakdaning Kangjeng Nabi, wus rinacut karsaning Hyang kang mangkana.

Sangsayardaning kang mangsa, mantun awas lawan éling, tan ana wahyu kang nyata,

akeh wahyuning ibelis, tan kena dèn sayuti, murka angkara tumanduk, durjana sangkin

dadra, sujana sarjana kontit, katatangi katali kasilir ring rat.

Rat karaket tan antara, papantaraning ngabecik, apan nora kukurangan, kaoling para

ngulami, myang sujana bèrbudi, para wicaksanèng laku, jro kitab pira-pira, kang marah

panggawé becik, miwah jroning srat wawacan don asmara.

ASMARADANA

Den kerep gugulang ngèlmi, gugurua pra ngulama, lawan dèn kerep tatakon, minta

warah ing sujana, sok bisa anoraga, hay wa kuminter kumingsung, nadyan silih wusa bisa.

Api-apiya tan bangkit, angarah wuruking liyan, Manawa liya muradé, kabecikan lan

kamulyan, awit saking tumitah, praptèng wasananing maut, kamulyaning sangkan paran.

Ywa pijer ngiling-ngilingi, ing kitab nora rinasa, wewaleré arang kanggo, miwah yèn

sira mamaca, ing Surti Nitipraja, Séwaka sasaminipun, wulangrèh Panitisastra.

Asthabrata Ramakawi, aja pijer tetembangan, cécéngkokan tanpa gawé, wong anom

ing jaman mangkya, aremen cécéng kokan, melang-melung eluk wolu, naglingi lalandheping

tyas.

(15)

Cahmbanjar 54

Tanna karyané sakedhik, yèn wong wolu alul cécéngkokan, anesekken pamacané,

amrih hay wa kongsi kemba, nanging aja katunan, kang winaca dèna émut, catheten ing

wardayanta.

Kuneng kaping catur warni, gantya warna kaping lima, ing busana wewaleré, miwah ta

ing pakareman, déné ta kang busana, sinjang-sinjang dena émut, haywa nganggo bathik

tambal.

(16) Tambal Sukaduka nenggih, déné tatambal Kanoman, tambal Miring sasukané, lan

hay wa anganggo sinjang, ing lurik Tuluhséla, hay wa ngangg o sira sabuk, bathik iku

winaleran.

Yen tan duwé ijo kuning, wungu dadu kekembangan, angangowa putih bahé, sinjang

wulung nora kena, yèn apes sariranta, jaran ireng hywa ngingu lamun sira nora e kas.

Yen sinung kuwat sirèki, sabuk cindhé kekelinga, amung hay wa nganggo solok,

limargedhong sakarsanta, liyaning kang larangan, sagung laranganing ratu, hay wa wani

nganggo sira.

Lawan hay wa ngangg o bathik, anggité wong jaman mangkya, anganggo Baron

Sekèndhèr, nganggo gambaring wong-wongan, yèku satengah karam, myang rerupaning

nyawèku, hiya iku padha karam.

Mangsa ta kuranga bathik, kang lunglungan kang ceplokan, gogodhongan sasaminé,

hay wa sira kumawawa, atélad ingkang ngekas, jenenging kawula iku, apes ajur bosok rusak.

Ngaral basaniyah nenggih, kang sinandhangken ing sira, lire papalanganing wong,

owah gingsiring manungsa, pan amungjenenging dat, iku kang wajibul wujud, langgeng nora

kena rusak.

Wawaler kang gedhé malih, yèn ora kelambèn sira, hay wa kalung saptangané,

tinalèkaken ing jangga, tansah ginawé salat, sampirena kéwalèku, ing pundhak sakarsanira.

Ing kanan miwah ing kéring, yèn anganggo-angg o sira, sawatara sasedhengé, bebed

myang iket-iketan, dèn nganggo masakala, hay wa saban sore ésuk, siyang ngangg o

jijingkengan.

Wong besus kapati-pati, wataké sok malaratan, suda-suda rijekiné, sarta anunungkul

ing tyas, kang mring kawicaksanan, bok rejeki gila dulu, wong jelarat mèmèrètan.

Rèhning nganom sawatawis, baréya-baréy o aja, iku bangsat penganggoné, lan dèn

nganggo masakala, lulungan pasamuwan, jingkengan sawatarèku, pepeny on apa mondholan.

Lire kapusus katawis, iku besusing sujana, kang wus mangerti barang rèh, kagunané

wus akathah, bisa nambung ambéngkas, bisa amis dadi arum, arum sangsaya angambar.

(17)

Cahmbanjar 55

Peteng dadya padhang bangkit, besusé tan tekèng manah, mung kinarya sasab bahé,

naglingi kasujananta, wus ambeking sujana, apinter ngaku balilu, saking wus ambek sagara.

Yèn ngulama para mupti, besusé manuting lapal, jayin napsaka uniné, bilmaksiyati

tegesnya, amaès-maèsana, ya ing sariranirèku, lawan panganggo maksiyat.

Amung besus aling-aling, nora tumeka ing manah, yèn dinawakna murade, lapaling

jayin napsaka, lan bilmaksiyat ika, adawa lamun winuwus, cukup lakuning ngagesang.

Marma anak putu mami, barang tingkah dèn waspada, dena mikir pakolihé, hay wa

ngawag ruwag-ruwag, besus tanpa karana, dèn abesus aja besusu, dèn pinter aja bisa.

Lire dèn abesus kaki, dèn abesus sawatara, tan kebanjur tan kelalen, mung besusé wong

resikan, anrus resiking manah, tumusing budi rahayu, kang aja besus lir sira.

Kang besus anrusing batin, lali apesing sarira, anrik marang tya lonyok, anutupi,

lawang begja, ambuka lawang tuna, ngedohken sagung rahayu, merakken sagung kiyanat.

Angedohken pangabekti, amerakken ing maksiyat, ngedohken panarimané, amerakken

ati murka, ngedohken ati sabar, merakken kerenging kalbu, lamun nora kasembadan.

Panjang winarna ing tulis, wong besusu kainanira, gumantya kang pinarnèng rèh,

pakaremaning ngagesang, tunggal warna kalmia, dèna émut anak putu, hay wa karem marang

dunya.

Liring karem dunya kaki, lali panggawé ngakirat, rina wengi ésuk sore, mung mikir

panggawé dunya, tan étung siya-siya, harda kahardan sagunung, nora étung batal karam.

Kang gumremet kang kumrincing, pas sosotya nawa retna, myang arta-arta sakèhé,

kang gumebyar kang kumenyar, iku pan amung dadya, dum-duman aran dunyèku, tegesé

amung golongan.

(19) Golongan aran dunyèki, déning kakékating dunya, hiya panggawé kanga won, adoh

panggawé ngakirat, dunya iku naraka, akirat suwarga iku, lah ing kono rasakena.

Dèn bisa merdi picis, lire bisa merdi arta, dèn weruh batal karamé, kang sarèh wetuning

arta, yèn wus dadi khakira, y wa siranggojibar-jibur, resikan haywa katara.

Ing Panitisastra angling, wong ambebeg arta kathah, lir ambebeg toya gedhé,

bendungan datan sinungan, ilèn-ilèning toya, tan kinarya dedanèku, nora nganggo jinakatan.

Kabebeg katempuh banjir, dhadhal larut alorodan, gegadhang bilahi gedhé, kang

mengkono wus sanyata, nadyan gedhé cilika, pira-pira ing kang muwus, kelakon dadya

ngibarat.

Ana ta ngibarat cilik, kéwala kang ingsun karya, pangéling-éling lakune, kaum désa ing

Cabeyan, Ki Nurngali namanya, wadat saking apesipun, tanpa bojo tanpa rowang.

(18)

Cahmbanjar 56

Wismané kebak sega king, yèn olèh brekat kondangan, jinalukan mring tanggané,

kentheng-kentheng nora suka, lampu dèn pé dèn tarang, akeket kumet kalangkung, njalukan

ora wèwèhan.

Menthel sakedhuk pan sugih, saboboting kaum désa, mung kumet tan lumrahing wong,

anuju sawiji dina, wektu subuh pan arsa, mring sendhang mèt toya wulu, pinenthung cengelé

pejah.

Ilang kandhutané dhuwit, selawé anggris kathahnya, nèng ngusus-usus sabuké, iku

nora pisah-pisah, déné kang anèng wisma, kang arupa dhuwit sampun, lan jajarik binalènan.

(20) Mring durjana wus barindhil, kang wau menthung nèng sendhang, mung kari seg a

akingé, lah iku rupané janma, ingkang karem ing arta, nora ngandel mring Hyang Agung,

ngalor-ngidul ngandhut réyal.

Pan ora anedya kardi, ngamal ing sakwasanira, ing nguripé nèng dunyané, mung

ngandelken ngibadahnya, pan wus wajibing gesang, asembahyang limang waktu, béda

ngamal kabecikan.

Tegesé pan ngamal salih, kang katur marang Hyang Suksma, liyaning pangabektiné,

gawé becik ing sesama, kang tan buru aleman, yèn amal amrih ginunggung, tan dadi

kanthining gesang.

KINANTHI

(21) Sun cendhak pitutur ingsun, ing lakuning ngamal solih, wus gumelar anèng kitab, lan

pituturing ngulami, yen durung mangerti sira, takokena kang utami.

Elingen iku pitutur, sagung anak putu mami, sanalika hay wa lupa, ing lakuning wong

ngaurip, hay wa tiba pakreman, ingkang ananarik sisip.

Ati-atinen dèn matuh, mematah karep pribadi, dèn abanget lomanira, dèn banget

kumetirèki, lire dèn abanget loma, sedyakna siyang lan ratri.

Kinuwasakna sirèku, wèwèh samining dumadi, kang tan lawan siya-siya, kang éklas

tumekèng batin, tegesé wèwèh kang éklas, sira nora duwé pamrih.

Wawales marang sirèku, lire dèn akumet kaki, hay wata buru aleman, wèwèh sak-sok

tanpa kasil, lamun sira durung kuwat, nadhahi nepsunirèki.

Liring anadhahi nepsu, lamun karep sira maksih, nyandhang becik manganénak, hay wa

umbag kumalingking, nadyanta wèwèh akathah, mangsa ta kurangan mami.

Apan ananing Hyang Agung, nora akon nunulungi, marang awaking wong liyan, lamun

awake pribadi, durung luwih durung cekap, haywa tiru Katintahyi.

Cahmbanjar 57

Katintahyi iku pan wus, tinitah janma linuwih, mèh satengah Auliya, tiningalan saking

batin, nrus abontos barang tékad, kinarilaning Hyang Widhi.

(22) Ngrasaa apes sirèku, dipun anganggo mubadir, lire mubadir angéman, kamurahaning

Hyang Widhi, kang pinaringken ing sirasira, yèn tan ngemana sirèki.

Dadya sira kurang sukur, ing nikmatira pribadi, kahananing ujubriya, sanadyan

panggawé becik, yèn tanwruh kadadiyannya, angawag kaworan éblis.

Sabrang ing tindak-tanduk, ing duduga myang prayogi, wiwitana saking madya, yèn

mantep ing tyas sirèki, ing supayané bisaa, mirip tindak kang utami.

Yèn utama lekasipun, lamun tan mantep sirèki, Manawa hiya Manawa, kepalang

kepaluh nuli, gumalundhung sira tiba, ing papa nistha pinanggih.

Yèn mantep tetep tinemu, kautamaning ngaurip, nanging iku ngarang ngagal,

gogolonganing utami, kang akèh ing jaman mangkya, gogolonganing wong nisthip.

Marma y wa nedya sirèku, ing lekas nistha kariyin, sira yèn tumindak nistha, ingkang

nora kedhah-kedhih, yèn tumiba ing utama, pinasthi papan pinanggih.

Nistha rusak temahipun, madya kembanging ngutami, utama kembanging mulya, dèn

weruh sira siji-siji, nistha madya lan utama, kèh kaliru kang mastani.

(23) Nistha ingaran madyèku, madya ingaran utami, saking kèhing kahardan, wimbuh ing

dunya nglimputi, iya sapa ingkang bisa, nadhahi rosining budi.

Kuneng malihé sirèku, hay wata karem mring èstri, yèn tan kabeneran padha, lawan

kareming hartèki, pangrusaké ing sarira, bèn-abèn leteng artèki.

Yèn abener kiyasipun, aguna sarana sakti, dadya panggeyeting swarga, arta kang

lumaku sukci, yèn wong dahat kareming dyah, tan wun geng pancabayèki.

Tansun panjangkaen pitutur, ring janma karem pawèstri, hay wana kang salah tampa,

panwus gumelar sakalir, panjang yèn dèn ucapena, begja kang bisa nglakoni.

Lan maningé anak putu, hay wana karem sirèki, ing swara miwah ing rasa, liring karem

ing swarèki, gelathik anèng jro pikat, narithik unine thik-thik.

Ana kancané angrungu, kasmaran swara dumeling, tumarancag tan wéwéka, tanwruh

kalebu piranti, déné wong kareming rasa, kadya ngganing wong mamancing.

Mina kang anèng jro kedhung, andulu mamangsanèki, tan wéwéka gya sinarap,

tanwruh yèn kenèng piranti, sinendhal tibèng dharatan, si mina tekèng bilahi.

Marma dèn awas dèn émut, pikiren ingkang prayogi, barang tingkah hay wa gita, yèn

durung uningèng gati, liring gita haywa rikat, gati temen tegesnèki.

(24) Ywa kagètan y wa kasusu, yèn durung wruh temenèki, manawa kadi si mina, patiné

kena ing pancing, durung wruh ing komandaka, mung lobané dèn turuti.

Cahmbanjar 58

Lan haywa karem sirèku, barang kalangenan adi, ing swara miwah ing rupa, kadya kang

kocap rumiyin, yèn kabanjur menèk kadya, Sastradiwangsa pangukir.

Kareming peksi brekutut, rinung okken sarwi ngukir, seger sarirané sumyah,

myarsakken s wara dumeling, mempeng memet pangukirnya, ing landheyan tunggak semi.

Ing sawiji dina nuju, brekututé nora muni, ingaban kinèn muniya, meksa meneng nora

muni, krodha sira Sastradiwangsa, sinèlèhken dènnya ngukir.

Cinandhak kurunganipun, peksi rinog oh mring jawi, sarwi sru wuwusira, sebab apa

sira peksi, teka ora adol s wara, pan ingsung ing kang ngingoni.

Peksiné dèn e lus-elus, kalimpé marucut nuli, miber nanging ora kebat, tinututan peksi

kénging, makanjar Sastradiwangsa, peksi binanting babarji.

Sarwi susumbar kumruwuk, payo sirarsa ngayoni, yaiki Sastradiwangsa, jinejegan

ingkang peksi, den iles awor lan kisma, aja mangkono wong ngurip.

(25) Lah ing ngendi ana manuk, ingkang bisa tata janmi, garejegan sinumbaran, labeté wong

kurang pikir, iku wong karem rupanya, sibabawur pilastuti.

Lan aja karem sirèku, ing turangga ora becik, lah hiya ing ngendi ana, pinenging karem

turanggi, dèn anganggo sawatara, rèhning lumrah wong angabdi.

Mung bisaa ukur-ukur, dèn guguyu haywa isin, ora bisa nunggang jaran, ing pacak nora

prayogi, ya narimaa kéwala, pira-pira dèn waoni.

Wongé karem turanggèku, rong prakara siriknèki, ngrérégoni wong ngawula, ing

sakarat ngrérégoni, béda lan Rahadèn Sura,- nagara radèn Tohpati.

Yèn ora karema luputm pan uwis pakaryanèki, tinuduh ing Sang Naréndra, pan

minangka kasabnèki, nistha lamun tan bisaa, kalebu wong tanpa kardi.

Karana ta ing tumuwuh, sengsema barang pakarti, kang minangka kasabira, sem lan

karep iku sami, yèn wong nemen nambut karya, padha lan wong angabekti.

Ya ing salat limang waktu, sabarang kasabirèki, kitab Bustam kang amarah, kayata

lamun sirèki, tinitah lumakyèng karya, sengsema gonira ngabdi.

Ywa sira watak malincur, dadya duraka ping kalih, dhingin marang gustinira, mring

kancanira ping kalih, apata beciké uga, wong balithuk maring gusti.

(26) Gusti pan kalipah tuhu, sasat balithuk Hyang Widhi, lan balithuk para kanca, wuwuh

durakanirèki, kang utama potangena, taberi gawe mamanis.

Cahmbanjar 59

DHANDHANGGULA

Haywa karem asabèng wanadri, hay wa kerm asabèng samodra, kali-kali sasaminé, akèh

bencananipun, pira-pira ngadat kang uwis, wong karem las-alasan, ing wasananipun, asring

amanggih tan harja, myang ing kali-kali akathah tan becik, dèn émut haywa lupa.

Lawan hay wa karem ing kasektin, ngèlmu kanuragan kadigdayan, kateguhan sasaminé,

tan anguwisi iku, ngèlmu lahir kakèhan kibir, yèn katèrè cèt dadya, singkir ngèlmu iku, dudu

mangunah keramt, lawan dudu mukjijat marma tan apti, kang wus utamèng cipta.

Kandel kumandel marang Hyang Widhi, teteg teguh ing tyas tan anedya, kira-kira

sasmitané, mung anedya rahayu, kira-kira hay wana prapti, ajagang pasrah ing Hyang,

baluwartinipun, kumandel marang Hyang Suksma, ineb-inebing pintuy kuthanirèki, tetep

madhep ing Suksma.

Wismanira jro pintu kuthèki, yèku panunggalira Hyang Suksma, kang minangka

bojonané, tatandhon jro kuthèku, pan panembahira Hyang Widhi, yékang minang ka obat,

mimis jro kuthèku, tanawut napinakirah, yèn wus mantep tetep adhep tanpa kelir, kenepung

kuthanira.

(27) Dèn selamet kang angepung sami, sanjatané sinipatan rahman, pun sipat rakim mimisé,

tiba pating talebuk, kamurahanira Hyang Widhi, lan sihira Hyang Suksma, metabar rahayu,

rahayu ngayuh kamulyan, tan maluya-laya tetep kita linggih mungsuhing balébaka.

Bakal bakuh akukuh tan kongkih, kahanané ing kana kinenan, kaonang-ngonang

kanang rèh, sarèh sarékaning hyun, ing ngagnyana manda sinandi, sining wong sadu dibya,

kanthi sabar maklum, mula-mula tan tinilar, tataleré tinatal tulèning budi, dumadi tan

sangsara.

Karana pambancananing ngéblis, jroning kitab Ki Sangsulambiya, pinencar anak

putuné, ngriridhu ambabawur, tan ngoberi manungsa urip, duk lahir maring dunya, binéka

binédhung, pamrihé sang belis laknat, akarana ring babayi aja kongsi, nadyan kongsiya tuwa.

Belasara manut ing ibelis, wurunga kuda belo sadaya, jro kitab Insankamilé, kocap

pakartinipun, dadya sangang dasa bab nenggih, lawan punjul sasanga, sang ibelis wau, pan

satus kirang satunggal, pangsawané angg odha ngrecana janmi, mrih katarik mring sasar.

(28) Dèn prayitna lawan dèna éling, barang panggawé barang pangucap, miwah barang

sakarepé, sétan amor ing ngriku, nora kena lamun winilis, pam bencananing sétan, nenggih

pencaripun, angèbeki sabuwana, nadyan namaning Hyang Suksma ingkang adi, tiniru karya

kala.

Cahmbanjar 60

Marma kadya apa wong ngaurip, yèn kenaa lali jroning cipta, ya ing sanalika bahé,

saking panumbasipun, sumarambah amaratani, pakartinirèng sétan, kang tugur mor nepsu,

angen-angen ingkang harda. Loba murka maring sahwat maring bukti, maring papaès dunya.

Panjawiling sétan kang mrih olih, yèn tinuruta olih sangsara, kaserakat ing temahé,

kasengsem kapiayun, mérang yèn mundura ing kapti, dadya kèrem wong ika, ing

wawatakipun, mring pepeteng sabangsanya, nétra wuta karnanira dadya tuli, tanwun tibèng

naraka.

Nahan warna kaping nem winarni, lamun sira mrih apa wong sanak, akakancan

sasaminé, pikiren jroning kalbu, umpamané sira ningali, panganan lan minuman, sira pan

kapéncut, pikiren jroning wardaya, hiya déné karo iku manpangati, marang sariranira.

Lan tan ana wong kang nedya sakit, pan mangkono ing apa wong sanak, ing kakancan

pamilihé, upama sira watuk, sru kapéngin marang lelegi, nginum kélang katekan, sakareping

napsu, luamah maring sangsara, ora wurung dadi mengi mengkrik-mengkrik, tuna tan olih

karya.

(29) Ana satengahing manungsèki, olih bilahi saking kakancan, myang saking pawong

sanaké, iku sira dèn émut, singgahana saking bilahi, aja apa wong sanak, lan wong tan rahayu,

tanwun katularan sira, upamané wong lara weteng kapéngin, rujak kecut pinangan.

Hiya nora wurung andilinding, bilahèni mring sariranira, nora ana mupangaté, lawan

hay wa sirèku, pawong mitra wong tanpa budi, ya wong bodho tyas mudha, tanwun

anunungkul, katularan bodho sira, pan wong bodho durung wruh ing ala becik, ing wawadi

tan wikan.

Lawan hay wa pawong sanak malih, lan wong ingkang tan bisa ing sastra, wong kang

mangkana wateké, karepé sok amberung, pangrasané bener sayrkti, kuranging pamicara,

nadyan dhawul-dhawul, jalebut sok tumindaka, ngiris- iris nyebit ing ngatata-titi, tangèh

manggih raharja.

Lawan hay wa pawong sanak kaki, lan wong pasèk pan wong pasèk ika, nora wedi ing

siksané, ing Hyang kang maha Agung, murang sarak ang orak-arik, atékad calawenthah,

lawan hay wa ayun, lan wong drengki pawong sanak, sring karyala ing sasami tyasé jahil, dèn

wruh sirèng tengeran.

(30) Karana wong mukmin iku kaki, hiya padha mukmin papaèsan dènya ngapèk

panengrané, ala becik tinemu, ing pracara dulunen dhingin, ping ro semu winawas, kaping

tiganipun, katandha ing tapsilanya, kaping paté ing tatakrama pinanggih, ping lima ing

pirembag.

Cahmbanjar 61

Yèku pancawada nora gingsir, wong kang dhustha lan wong kamandaka, sujana myang

bèrbudiné, akathat warnanipun, tyasing janma sawiji- wiji, ana kadya reksasa, murka ambeg

rusuh, ana kang ambek dipangga, kathat yèn winarna èmperé kang janmi waspadakna

priyangga.

Apawong sanak sira ta kaki, lan wong kang bèrbudi wicaksana, wruh ing ajar lan ijiré,

sarunging para putus, kulanana mintaa dhisik, nadyan sira wutahna, wawadinirèku, sayekti

bisa rumeksaa, lamun ana catur kang sikara budi, marang ing sariranta.

Bisa mangartekken marang becik, ing ngagesang akathah wicara, kang dadya salang

surupé, hiya ingkang andulu, ingkang dudu ngaranan yekti, yèn kang wus wicaksana, wruh

mring hiya dudu, sumimpang ing dora cara, yèn apawong mitra nedya males becik binecikan.

(31) Lamun sira nuju darbé becik, gedhé maklumé wong wicaksanan, lumayèng

pangapurané, parah-parah yèn muwus, pamawasé waskitheng titi, titika tan tinilar, nalirah

rinuruh, ruruh amembing wicara. Locananya liyep tan angas ingaksi, ngaksama para marta.

Lawan apawonga mitra kaki, sujanma kang gedhé ngamalira, hiya ingkang ngamal

solèh, kang anamuring laku, kalakuwan kang marang becik, yaiku janma ingkang, tan umbag

tan sengung, yèn tutulung tan katara, mring kiyané aniyat sadhekah pikir, tumamèng

kautaman.

Yèn apawong sanak sira kaki, akakancan lan manungsa kathat, kulanana sasedhengé,

dèn prayitna ing kéwuh, hay wa dumèh ngagungken sami, anggunggung marang sira,

ngalembanèng wuwus, akèh tan tumekèng manah, yèn wus antuk pitutur ingkang sayekti,

ing mangkya manawana.

Karubédanira ing ngaurip, nora pisan silih tutulunga, malah muwuhi ribedé, agawé aru

biru, karya tandha dénnya mrih kodhil, pawong mitra satengah, temah dadya satru, nanging

yèn mangkono ana, sira myarsa aja niyat males kaki, srahna maring Hyang Suksma.

Muga binalèkna marang becik, lawan hay wa nguneg-uneg sira, hay wa ng owahi tatané,

panitraniréng dangu, dèn ateguh sira ing galih, hay wa sira nanacad, ya dupèh wong ngiku,

kang ngalani marang sira, yèn wadining wong liya kang angalani, sira pasrahna ing Hyang.

(32) Tinutupan wawadinirèki, dèn amantep sira among mitra, akakancan sasaminé,

kawulaning Hyang Agung, yèn sira tan bisa sumingkir, tan amor ing ngakathah, ing kono

sirèku, bibisiking pancabaya, ning wong kathah marma dèn abisa kaki, amomot mengku

misah.

Cahmbanjar 62

MEGATRUH

Nahan warna kaping sapta kang winuwus, kalamun sira abukti, pribadi nèng

wismanipun, nganggoa lakuning ngèlmi, manut Jeng Rasul kinaot.

Pendhak tengah ari yèn dhahar Jeng Rasul, pan ing sadina sawengi, mung sapisan

dhaharipun, sarwi jegang yèn abukti, tumungkul tan amiraos.

Duk amuluk ing sekul sarwi anebut, ing asmanira Hyang Widhi, bismilah salajengipun,

mawi dungan pan utami, lajeng dhaharé ing kono.

Yèn wus dhahar tumenga lajeng anginum, tigang cegukan tan luwih, kang sacegukan

anebut alkhamdulillah hirabil, ngalamin sukur ing Mnon.

Ingkang kalih cegukan dènira nebut, subekkannallah ping kalih, maha sucekken Hyang

Agung, déné yen sira abukti, lan tatamu sabarang wong.

Anganggoa yudanagara mrih patut, asilaa ingkang becik, dèn mepes sarwi tumungkul,

hay wata saduwa kaki, lawan haywa amiraos.

(33) Mung nyarakna pasuguhira mring tamu, wusing mengkono sirèki, hiya haywa muwus-

muwus, mung yèn tamunira angling, ngajaka selang wiraos.

Tandukana prihen sukané ing kalbu, akèha denira bukti, dèn sumeh netyanireku, sira

hay wa uwis dhingin, angèrènana ing kono.

Wus lakuné sanadyan sira wus tuwuk, iriden denira bukti, nagntènana ing tatamu,

tuwin lamun sira bukti, lan janma kèh hya mengkono.

Saenggoné miwah sira yèn martamu, pan hiya mengkono ugi, hay wa sembrana ing

kalbu, momoy ok sajroning galih, sega iwak kurang kaot.

Den asengkud kurmat paringan Hyang Agung, yèn sira nanacad batin, tan apik segané

wuluh, myang iwaké nora becik, kasiku sirèng Hyang Manon.

Dèna émut duk Nabi Musa ngalurug, kaluwèn umaté, sami, nèng ara-ara duk bingung,

andodonga Kangjeng Nabi, minta sihira Hyang Manon.

Pinaringan saking ngawiyat tumurun, umaté wus dèn janjèni, yèn pinaringan sirèku,

hay wana nacad sirèki, sagah sandika sakèh wong.

Nulya samya nadhah ngrasa nikmatipun, sawenèh ana kang angling, mung sawiji

cacadipun, pepak wak-iwakanèki, mung lalaban tan sumaos.

(34) Durung tutug pamangané gya sumemprung, rarampadan wangsul malih, mring

ngawiyat tan kadulu, yèku labaning wong pinging, sembrana nora rumaos.

Bok rejeki mutung nora bisa nusul, marma éling dèn pakéling, lamun abukti sirèku,

anèng wisma dèn ladèni, mring rabinira dèn alon.

Cahmbanjar 63

Haywa grusa-grusu amuluking sekul, yèn tan kabeneran nenggih, barang kang dèn olah

iku, kurang gurih kurang asin, teka panganen kémawon.

Meng ko yèn wus g onira bukti wus tuwuk, calathuwa dèn aririh, jangan iku kurang

anu, miwah wak-iwanèki, apa kurangé ing kono.

Bésuk manèh doyanaku iwak anu, sapisan kéwala uwis, kanggowa ing sajegipun, yèn

tan kabeneran malih, teka menenga kèmawon.

Nora becik wong mangan kamoran nepsu, dhingini pan aranèki, mungguh ing Hyang

Maha Agung, pingro suda wahnanèki, ping tri rijekiné kalong.

Haywa anggagampang ing bukti tan arus, nora ta lamun pinikir, wong amangan apan

iku, nora kena kedhah-kedhih, iku ta aja mangkono.

Wonga mangan uger-uger dadi baku, yekti panancanging urip, nanging dèn

sawetarèku, hiya hay wa anjurungi, ing nepsu luamah kang wong.

Yèn anjurungana ing luamah nepsu, tanwun gelis angemasi, janma mati murka iku,

sabarang-barang binukti, wataké nepsu katongton.

Amangana kéwala tatamba lesu, yèn banget lesunirèki, ngedhihken ihtiyaripun, nora

rosa angabekti, kedhik ngamalé ponang wong.

Yèku madya sakedhik sedya ing kalbu, tapa salamining ngurip, akathah paédahipun,

gampang ken saliring kapti, amadhangken tyas sumrowong.

Haywa watak sasarapan és uk-ésuk, yèku memetengi ati, baliyur pikolehipun, tan apik

sabarang pikir, ngaloproh aréyah-réyoh.

Yèn akenceng kudu druweng gathak-gathuk, yèn kendho muntir-malintir, tan kenang

kinarya baku, wateké wong wareg bukti, kudu turu anggeloso.

Barang karya yèn dèn lalantèh amatuh, yèn wong angubungi bukti, sinuda landheping

kalbu, pan kethul kang amareki, mung bangsa badan kang condhong.

Pondhong pikul rosa kuwat garu mluku, lamun sutaning priyayi, priyayi

sawanganipun, kudu nganggo bagsa ati, pikiré ingkang mirantos.

Yèn nganggowa pikiring pikul jalebut, lapak kuwaregen bukti, pan dudu bubuhanipun,

bangsa ati wruh ing pikir, bubuhanira wong anom.

SINOM

(36) Tunggal warna kaping sapta, anyatakkaken ag uling, élinga lan kawruhana, iang sadina

lan sawengi, patlikur sangat nenggih, mangka turuwa sirèku, sawengi lan sadina, sapratelon

sangat nenggih, dadya wolu sangat sawengi sadina.

(35)

Cahmbanjar 64

Semono yèn sira kuwat, ageng pahalanirèki, dadya kalebu wong ngekas, nora

kekathahen guling, jro kitab Insankamil, mungguh ing Hyang Maha Agung, saben ratri

tumedhak, lenggah mring langit dunyèki, saprateloning wengi kang ngakir ika.

Haywa sira salah tampa, ing kitab ammaoni, lah ta endi ana Allah, maujud ngenggon

sawiji, muradé iku kaki, hiya kang langit donyèku, ana ing sariranta, gambaring kang

buwanèki, datting suksma sumrambah mimbuhi ingrat.

Yèn nuju sapratigannya, ing wengi-wengi kang ngakir, satengah ro pukul tiga, iku

wengi ingkang ngakir, yèn bisa sira kaki, tangiya ing wektu iku, nenedhaa Pangéran,

pangapuraning Hyang Widhi, ing sakèhing dosanira anèng dunya.

Myang wektuning salat kajat, pan hiya ing lingsir wengi, wengining malem Jemuwah,

prapta wengining kang ngakir, barang kajatirèki, yèn nemen yekti tinemu, yèn sukci raganira,

katri matobatirèki, hiya Allah tangala kang sipat rahmat.

(37) Yèn turu ing wengi sira, wektu subuh sira nuli, tangiya asusuciya, hay wakabanjur yè n

guling, srengéngé wusa inggil, maksih ngénak-énak turu, belubuh namanira, ngrandhataken

barang kapti, ngadohaken rahmat ngrupakaken nalar.

Lamun turu ing rahina, sauwisé tengah ari, ing wektu ngasar tangiya, karana wong

aguling, lamun kasorèn kongsi, jam pat jam lima nem iku, yèn tangi tyasé growah, sapratelon

sudanèki, murin-muring lir wong nginglung kanganglangan.

Aprasaksat wong kélangan, ngedohken nalar kang becik, nyepakken nalar kang ngala,

bawur sabarang pakarti, nyuda rahmating Widhi, dhanganing sabarang kayun, kalebu wong

wéwéka, kajabané sirakaki, kala-kala yèn nuju abanget sayah.

Yèn abanget arip sira, tengadur narajang kedhik, rumeksa lungkrahing badan, yèn tan

mangkana tan becik, lan yèn néndra ing wengi, yèn mengalor ujuripun, miringa ngulon sira,

madheping kéblat sayekti, kadya ujuring wong mati nèng kaluwat.

Karan ta wong anéndra, pan iku sanaking mati, manawa hiya manawa, ana karsaning

Hyang Widhi, mundhut ajalirèki, dèn apasrah ing Hyang Agung, hay wa ta salah tampa, sapa

betah turu miring, mandhep kéblat tan nganggo alih-alihan.

(38) Tan mangkono ing pratingkah, mung angkatira aguling, miring madhep ing kéblat, yèn

uwis suwé aguling, sapa wruh wong aguling, panwus sasat janma lampus, yèn mangalor

ujurnya, watak mintir kang rijeki, yèn mangetan watak medhotaken rahmat.

Ilang sihing pawong sanak, yèn mangidul ulonèki, dumadak rupak atinya, yèn

mangulon ulonèki, wataké iku kaki, pan apanjang umuripun, lan hay wa amrih sira, hiya

kapénaking guling, sabilana tyas kang ngarda maring nendra.

Cahmbanjar 65

Wataking wong cegah néndra, kasinungan lepas budi, wataking wong cegah saga,

teguh pikantukirèki, wataking cegah warih, tawa ing wisa wong iku, yèku yèn sira sedya,

mangkono pahalanèki, pan wong tapa tinemu sabarang sedya.

Wong gunalan wong digdaya, miwah wong dadi priyayi, padha awit saking tapa,

barang pakarti kang luwih, saking tapa ingkang wit, kang sarta lan begjanipun, nadyan silih

gunaa, sugiha dadi priyayi, yèn tan saking tapa pangluluning sétan.

Gunaa gunaning sétan, muktiya muktining éblis, sektiya sektining setan, watak sekti

saking ngéblis, sakedhap angébati, tan lawas nuli ngalumpruk, jinem paringing cipta,

ciptaning wong kang wus sidik, déné mukti kamuktèn kan saking setan.

(39) Gawokkaken sanalika, nutug ken kamuktèn adi, tan lawas annuli rusak, pothar-pathir

nguwir-uwir, yèn sujana bèrbudi, ingkang mangkono tan ayun, pandhak sadaya-daya, dadi

guguyoning pitik, tanggung-tanguung angur anggebyur samodra.

Ywa kaya Setropramukya, nguni duk dadi bupati, tumenggung ing Ngèksiganda, mung

rong tahun mocot nuli, tan kabdèkaken malih, ing jengira Sanga Prabu, mubeng- mubeng

karyanya, saba wismaning priyayi, jajaruman golèk warta adol warta.

Tanwruh lamun dadi sétan, ingkang mangkono pakarti, yèn budiya kasujanan, ingkang

mangkono tan apti, yèn tan kabdèkken malih, myang tan katengeran iku, ing lire katengeran,

maksih kaparingan bukti, lamun ora mangkono yekti ngibadah,

Ana ing wisma kéwala, anatepi pangabekti, madhep ing Hyang kang misésa, sukur

anarimeng Widhi, tan bisa mangan ya wis, mati tan buti gih s ampun, trusna ing takdirollah,

hay wa nistha ing ngaurip, ing lahiré tan ngucemaken nagara.

Déné wau wong ngaguna, aguna saka ing ngéblis, sabarang kang kapinteran, hiya

lamun saking éblis, dhemen ngungkul-ungkuli, parabantah parapadu, padudon rebut basa,

ngegungken kawignyanèki mrih tinuta tekabur buru alemen.

(40) Bandhané mung patang uwang, anyulap nganyang sembagi, kang arega limang réyal,

sinungken panganyangnéki, dhuwit dèn semayani, praptanèng don ora éntuk, ngupaya

limang réyal mubeng kalamun tinagih, lami-lami kawadaka yèn wong ala.

Mangkono ingkang ngupaya, kapinteran saking éblis, pagrasané wus utama, olih

wahyuning Hyang Widhi, tanwruh wahyuning éblis, nora taberiguguru, tatakon ing sujana,

tatakon angrasa isin, kumandeling sétan kurang anoraga.

Tunggal warna kaping sapta, anyatakken yèn lumaris, yèn lumaku saking wisma, aja

tanpa seja kaki, karepé maring ngendi, ing kono pelengen kalbu, lamun wiwit lumampah,

amacaa bismillahi, yèn tan ngucap haywa lali batinira.

Cahmbanjar 66

Dèn kapara tumungkula, hiya kalamun lumaris, reksanenta nétranira, hiya aja niningali,

lan aja nolah-nolih, lamun sira andudulu, mandhega lakunira, wong lumaku nolah-nolih,

niningali ajur tyasé ting sarempal.

Lan y wa ngangen-angen sira, ing pikir kang ora becik, ing sajroning lakunira, muhung

pasraha ing Widhi, yèn lali ing lumaris, apesé sira kasandhung, lamun ora mangkana,

lakunira tan pakolih, praptèng paran tan kacukup sedyanira.

(41) Lamun sira anèng wisma, hay wa ngadeg tengah kori, sarwi agandhulan lawang, iku

siriken tan becik, alané maratani, mring tatangga rong panyeluk, watek kerep kélangan, lan

hay wa amalangkerik, anèng tengah lawang ngadohaken begja.

Yèn alungguh anèng wisma, hay wa sangga uwang kaki, tan becik watak sedhihan,

lawan hay wa èdhèg sikil, tuman iku tan becik, ngilangken jatmikèng kalbu, wong ngilangken

jatmika, nyuda adheping Hyang Widhi, wong anyuda andhepé maring Pangéran.

Sinuda kanyuwanannya, wong nyuda yuwananèki, siya-siya maring badan, kabudayan

datan dadi, kabèh iku dèn éling, wawaler kang ora patut amatuh kapitayan, manungsa akerep

lali, léléwané kalawun-lawun kaluwak.

POCUNG

Gantya wau, wuwusen warna ping wolu, dèn akurmat sira, mring tatamu ingkang

prapti, ingkang aran tatamu dipun waspada.

Anak putu, kanca miwah tatanggamu, iku pan satengah, hiya tamu dudu trami, ora

ewuh kurmatira pan wus ngadat.

Susuguhmu, yèn ana suguhen iku, lamun ora ana, aja ngenakaken kaki, mung dèn becik

kurmat lan pitembungira.

Haywa as ung, sungkawa tyasing tatamu, nanging iya hay wa, kadurus ambek sudarmi,

mring tatamu wataranen sariranta.

(42) Ywa katungkul, kurmat beciking tatamu, myang ing pawong mitra, yèn sira lumakyèng

kardi, ngrérég oni pakaryaning suwita.

Akèh tamu, pawong mitra kang tan maklum, mung karepé dhawak, katekan amrih

pakolih, sayahing wong suwita nora dèn étang.

Marma dipun, bisa amatarèng kayun, tinemon lan ora, apa pantes durakani, ana pantes

tan duraka yèn tinulak.

Nanging lamun, ana asaling tatamu, saking katebihan, mancapat lan liyan nagri, yèku

perlokena lawan kurmatana.

Cahmbanjar 67

Sungga tamu, y wa kurang mring tamu iku, yèn tan darbé, utang selanga tumuli, nadyan

gadhèkaké wedhung lakonana.

Ingkang iku, pan wus ngadat wus kalaku, sagunging wong Jawa kang micara pra

priyayi, nanging kemba lamun ora winuwusa.

Supayémut, kinarya pangémut-émut, wataké wong mudha, sugih lali tuna budi,

andaléya sungkanan sok ngarah apa.

Basa iku hiya ana kalnipun, pantes lawan ora, yèn nuju pantes mangsèki, ngarah apa iku

perlu yèn kanggowa.

Buru cukup, wong ahli nasnasing kalbu, yèn tan ngangg o ngenas, kaloréyan barang

kardi, dèn antèni wong kaluwèn nora kena.

(43) Tegesipun, basa ngarah apa iku, pan atinggal sunat, perlu, kéwala ginati, amrih gita

gagat paguting pratingkah.

Yèn anuju, wong gedhé kang maratamu, angungkuli sira, dèn becik kurmatirèki,

pamapagmu kiranen lawan duduga.

Yèn wus lungguh, lungguhira dèn anekung, tangan ngapurancang, tembungira dèn

aririh, dèn angarah-arah hay wa sumambrana.

Konduripun, ngaterna kadya duk rawuh, ing pamapagira, lamun tamuwun sirèki, pra

ngulama myang janma kang luwih tuwa.

Tuwa kang wus, wicaksana ambek sadu, gungena ing kurmat, kaya kang wus kocap

dhingin, yèn tamuwan wong tuwa kang tan micara.

Hiya among, tuwa-tuwa umuripun, wataranen uga, kurmatira dèn nastiti, hay wa sira

padha lan para sujana.

Tuwa iku, rong prakara hywa limut, ana tuwa ingkang, tuwa majaji : makiki, tuwa

majat mung tuwa umur kéwala.

Tuwa ngumur, kakikiné anom tuhu, sanadyan anoma, yèn ngulama myang bèrbudi,

myang sujana kakikiné iku tuwa.

Yen tatamu, sanak pekir kang jajaluk, énakana ing tyas, nuli wèhana tumuli, yèn tan

duwé dèn amanis tembungira.

Lilanipun, jaluken dèn tekèng kalbu, pan samayana, lamun duwé bésuk maning, ing

samangsa-mangsane konen baliya.

(44) Dadinipun, tan megatken rahmatipun, rahmating Hyang Suksma, yèn rumangsaa sirèki,

darbèkira pribadi dadi wong angas.

Lan tekabur, satemah sira kasiku, siku kabatinan, hiya dudu siku lahir, padha uga lahir

lawan kebatinan.

Cahmbanjar 68

Yèn sirèku, tamuwan kongkonanipun, sanak pawong sanak, myang kanca miwah

priyayi, myang wong gedhé-gedhé myang para bandara.

Dèna émut, ing caraka urmatipun, dutèku pan padh, lan kang anduta upami, duga-dug a

gedhé ciliking caraka.

Dèn atanduk, anggepen sajroning kalbu, padha lan kang duta, lire mangkana ta kaki,

dèn angati-ati dènira angucap.

Kang saèstu, lir ngucap lawan kang ngutus, manawa ing mangkya, aturé lan kang

anuding, kukurangan miwah gèsèhing wicara.

Selang surup, marma dèn awas dèn émut, ing wewekasira, sorana ing wuwus kwdhik,

dimèn tyasé resep ing wewekaisra.

Dèn angugung, mring caraka hay wa nepsu, sanadyan dinuta, mring sira kang tan

prayogi, duta darma nora milu paran-paran.

Yèn arengu, sira marangcarakèku, bok wawadul marang, kang angutus akèh kedhik,

karya rengat amecahken pawong mitra.

(45) Haywa umung, amemekas mring dutèku, manawa akathah, pangrunguné selang titih,

kanan kéring yèn angucap kawruhana.

Haywa puguh, sok anggagampang ing wuwus, dèn waskithèng tingkah, dèn agemi ing

wawadi, marang duta haywa kongsi kawadaka.

Manawèku, duta kurang budinipun, lan wong watak dora, amuwuhi ing weweling,

salin sambut tan bisa karya sarkara.

DHANDHANGGULA

Nahan kaping astha kang gumanti, warna kaping sanga kang pangucap, hay wa sok

metuwa bahé, myang metuning kang rembug, ririmbagan sabarang pikir, kang dhingin

singgahana, pangucap takabur, ujubriya lan sumungah, padha bahé ana lawananirèki, lawan

ngucap priyangga.

Liring kibir gumedhé ing dhiri, pangrasané ngungkuli ngakathah, sarwa kadug a

barangrèh, sumugih gumunénu, sapa sira lan sapa mami, edak ledak kumethak, kethaha

mring sanggup, gedhèkaken kawibawan, salin-salin sumalin tingkahing mukti, mrih rowa

abirawa.

Liring liya lumaku tinuting, dèn alema samining tumitah, ing sabarang pratingkahé,

datan simpen asamun, medhèng-medhèng, datan simpen asamun, medhèng-medhèng mrih

dèn tingali, ingkang tumingal samya, ngalema ing kalbu, ingkang ngujub tegesira, pan malaku

ginawokan barang kardi, tingkah rèh kalewihan.

Cahmbanjar 69

(46) Ingkang sumungah tegesé singgih, lumaku rinunguwa ing liyan, ing sabarang

pratingkahé, mrih entar ngantarèku, maluyaa swara dumeling, myang kang swara ing polah,

wipala pinulung, mring papasang karya semang, samangsané atiba tebané tebih, tambaha

kasubingngrat.

Wong kang asring-asring ngucap kibir, ujubriya sumungah adhangah, lah hiya apa

japané tan nemua bebendu, renguning Hyang Kang Maha Sukci, yèn kabanjur kadawan,

ambabar tekabur, ora tinututan tobat, ing Hyang Suksma supayané iku olih, ngapura

sawatara.

Haywa mangkana sira ngauarip, ngarep arepa rèh kautaman, katamana waluyané,

lumayana ring ayu, ngayumana yumanéng janmi, janma pan sama-sama, sumimpanga mrih

dur, durnimingta durtaningrat, durlaksana anir leksangatèng ngaksi, ngaksama semuning

ngrat.

Kaping kalih hay wa sira angling, luwih ing katawengis sru angas, yèn tan lawan

prayogané, pangucap wengis iku, ngumbar nepsu kaworan éblis, ping tri sira reksaa, ing

lésanireku, saking pangucap druaka, endi lire pangucap kang durakani, ngrasani alaning

liyan.

(47) Alané dhewé nora udani, wong kang ngrasani alaning sasama, pan ginéndhongan

dosané, apa paédahipun, géndhong dosanira pribadi, embuh kelar embuh ora, dadak jaluk

imbuh, kaping pat sira reksaa, lésanira angucap dora sakalir, tuman bok dadi watak.

Watak dora memetengi ati, nora kena sira andelena, doranira pakolihé, wong peteng

atinipun, upama jro wismanirèki, peteng kapatèng diyan, apa becikipun, sabarang kang sira

alap, jroning wisma kagagap pan nora odhil, dhadhal rijekinira.

Mesat darajatira sumingkir, ana kèri amung kèkrèwèkan, drajating wong céréméndhé,

dudu derajat luhung, ing lahir wus dèn orak-arik, dumadya calawenthah, sring mothah

anguthuh, angathahaken paékan, angangkani ora ana pinangkaning, kaonang nir apraya.

Kaping lima reksanen ta kaki, lésanira saking ing pangucapan, ananacad ing liyané,

amamaoni wuwus, tan wa-uwas pitayèng ngati, wong maoni nanacad, yèn ta durung putus,

tatas sandining wihastha, haywa agè ananacad mamaoni, tanwun sira sinungan.

Ing pamelèh dènira Hyang Widhi, kaping nemé reksananen lésanta, angucap kang

tanpa gawé, geguyon amimisuh, acarita kang tanpa asil, kang adoh lan ngibarat, muwus

tanpa usul, émanen kagunanira, ing pangucap yèn mungguh wong ahli ngèlmi, angedohken

panembah.

Cahmbanjar 70

(48) Yèn wong ahlul alumakyèng kardi, tuna luhung micarèng pakaryan, supaya na paédahé,

ping pitu hayma muwus, reksanenta lésanirèki, pangucap sesembranan, wong sembranèng

wuwus, ngilangaken kajatmikan, lan angrusak ing tapa bratanirèki, yèn ilang jatmikanya.

Suda ajinira ing ngaurip, lamun rusak tapabratanira, cinupet barang sedyané, yèn

cinupet wong iku, ing sabarang sedyanirèki, tiningggal mring ki begja, ki cilaka maju,

mrepeki ing sariranta, dadya nora kena ing pépéka kaki, wéya léna tan kena.

Ki cilaka ing rahina wengi, anuguri ing sariranira, hiya pira betahané, manungsèku

satuhu, goning lali léna tan titi, yèn wis kalimpé sira, ki cilaka nempuh, rumasuk ing

sariranta, nora kuwat sariranta anyabili, ing kono pirabara.

Anemua basukining urip, marma kaki hay wa sumambrana, ngaurip akèh ewuhé,

gumantya ing pirembug, wetuningling dènira gusthi, yèn sira rerembugan, lan sanak sadulur,

endi kang kaprenah tuwa, hiya aja sira wani andhingini, wetuning pikirira.

Sumanggakna segalaning pikir, mangkya yèn wus kang tuwa kèwuhan, anuduh marang

kang anèm, kinon samya arembug, lah pikiren ingkang prayogi, yèn katemu tyasira, hay wa

sira pugut, amantesi pikirira, iku malih sumanggakna dèn aririh, mring kadangira tuwa.

Yèn wus sarèh endi kang kang pinilih, ngèstokena mangayu bagyaa, yèn wus patitis

beneré, sèndhekna ing Hyang Agung, tumindhaké mau kang pikir, hay wa ta kaberangas,

angas mamor nepsu, ing kono pan pembègalan, angas nepsu tinuntunan marang éblis,

murungken kabecikan.

Becik iku nugrahaning widhi, wus kayané nepsu lawan sétan, murung ken kabecikané,

kalangkung déning lembut, pengarahé risang iblis, mulet ing nepsu nira, ing upamanipun, ana

pikir wus prayoga, bener bening tan atilar dalil, kadis, ijemak lawan kiyas.

Trus tatané ing yuda nagari, suprandéné wurung tan kalakyan, hiya iku pembegalé, tyas

kérut temah lemut, angubungi nepsu tan yukti, marma sabarang tindak, yèn uwis panuju, dèn

énggal laksanakena, yèn wus lumaksana haywa sira gipih, ing kono sabarena.

Dadya bening sira angèngèhi, mau pasrahira ing Hyang Suksma, kang supaya ing dadiné

dadiya iribipun, golongané kang wahyu jati, wahyu kapikawuntat, yèn uwis ketemu,

tumindhak lan kadadiyan, pikirira wus nikmat sira lakoni, kono sira tobatta.

(50) Ing Hyang Suksma lan sukura malih, détanandhang ing nikmat manpangat, pan

mangkoné pratikelé, yèku g onira nutup, lawang kutha katur ing widhi, widagdèng

padandanan, jro kutha barukut, lawan malih lamun sira, birembugan lan wong liya kang

ngungkuli, marang ing jenengira.

(49)

Cahmbanjar 71

Ing tuwané myang lungguhirèki, dèn prayitna sira kawruhana, pikir liyanta wetuné,

apa ta hiya iku, saking nepsu myang saking éblis, apa ta saking kawa, apa wetunipun, hiya

saking Nabi Adam, apa metu saking malékat kang pikir, wawasen dèn waskitha.

Lamun saking nepsu saking éblis, saking kawa iku padha ala, angel dadiya beciké,

hay wa ta sira anut, pikiring lyan kang ala katri, béda kalawang kadang, tuwa sugih maklum,

pantes lamun linabuhan, pan wong liya yèn kapengkok dadi mukir, tan makam ing kaharjan.

Béda kang wus sampurna ing budi, wicaksana apara martèngrat, sanadyan silih

neptuné, saking ala tetelu, kawa nepsu kalawan éblis, bisa dadeken harja, beciké tinemu,

nanging ta kang boya-boya, j aman mangkya arang kang mangkana kaki, marma mémut y wa

lupa.

(51) Lamun saking Adam lawan saking, malaékat wetunè kang rembag, karo pan padha

beciké, anuta sirèng rembug, mau ing lyan dipun nastiti, wetokna pikirira, kang bener

panuju, dèn prapta sampékandaya, prajangjian habipraya sabayanting, temahing sama-sama.

Miwah lamun pikiran sirèki, pakumpulan lan j anma akathah, ywa andhingini wuwusé,

antinen ta sawegung, siji-siji wetuning pikir, hay wa mancah medhot wikalpa, hay wa

ngendhak wuwus, hay wa mancah pintering lyan, wong pikiran ala becik, yekti mijil, bener

luput gumelar.

Kadyanggané iwak kang sumaji, rarampadan sedaya sarwana, pilihane saanané, iwak

ingkang kadulu, endi ingkang énak binukti, sambelan lan lalaban, kang munggèng ing

ngayun, ana ta iwak kang énak, kinyih-kinyih nanging bakal malarati, haywa kepéncut sira.

Padha-padha sega kang awarni, sega liwet lan kebuli sega, sanadyan padha énake, kari

manpangatinipun, yekti pédah sega kebuli, anggi-anggi winoran, sanadyan keladuk,

pamangané tan ngapaa, pan mangkono nalirahé ngamèk kasil, salsilahing wacana.

(52) Haywa ngumpet ing pikir tan mosik, liring ngumpet yèn ing pasanuwan, wus rembug

saniskarané, yèn wus bubaran iku, metokaken pikir pribadi, kumedhèp mrih tinuta, iku ora

arus, duraka tan olih harja, lan maningé yèn sira tinari pikir, marang ing gustinira.

Umatura sakawruhirèki, sapanemunira dèn anelas, nganti miwah ondhé-ondhé, yèku

kajawinipun, hiya saking karsaning gusti, yèn gusti nira arsa, pikir ingkang nempuh,

sanadyan tumibèng nistha, tumurunga milya anut anglabuhi, hay wa mèngèng ing cipta.

Yèku dudu pasuwitan kaki, pan sayektining wong asuwita, ingkang mengkono pikiré,

pikir suwitan iku, wetuné ta ngéman ing gusti, amung buru aleman, anjurung kumlungkung,

déné kang tuhu suwita, sarananing driya kang dadiya kuwatir, katur sumanggèng karsa.

Cahmbanjar 72

Lamun sira amikir pribadi, liring pribadi nora, kawedal, hiya marang ing liyané,

muhunga ming Hyang Agung, miwah marang jengira Nabi, duta sumarahena, lawan hay wa

limut, penengeran kang lilima, ingkang uwis hiya kawuwusa wuri, warananing paningal.

(53) Yèn wus dadi pikirira ngati, kang awening wenang lumaksana, tumindaka lawan sarèh,

anunuju ing kayun, pamrih sela-selaning kapti, myang ananing sasmita, ing Hyang lir

pituduh, dèn kumambang ing wisésa, hay wa éwuh tanpa wahananing wangsit, wasitaning

taruna.

SINOM

Ningena warna ping sanga, kaping sadasa gumanti, hèh sanggyaning suta wayah, lamun

tinitah sirèki, gedhé kalawan cilik, ing tata haywa kaliru, haywa sira ngresula, yèn tinitah

dadiya cilik, bekel desa saguna satata gena.

Satuhu kang kaping tiga, liring sagunaning tani, apa kang dadi busana, peraboting

among tani, garu, waluku, nenggih, arit, pécok lawan pacul, myang wangkil pamatunan,

wadung pethèl lawan kudhi, kebo sapi kabèh iku perlokna.

Yèn pepak dandananira, dadya saregep sasabin, ananandur sasaminya hay wa kesèd dèn

taberi, rina kalawan wengi, mikira nggonmu nanandur, pala gumantung miwah, kasimpar

kapendhem sami, yèn kameton sagung tatandurannira.

Sira aséba marang, yèn ana ingkang prayogi, turna mring bendaranira, rumangsaa

brekatnèki, yèn mungguh wong ngabekti, yèku mangka sunatipun, pajegira kang mangka,

perluning wong angabekti, yèn wus mangsa pajeg hay wa awéwéka.

(54) Haywa watak kathèthèran, apa ingkang dadi jangji, ing patiné taker tedhak, miwah yèn

ginawé urip, lamun urip ta kaki, yèn pinundhutan sirèku, hiya ing taker tedhak, aja sira

mamadoni, yén tan kuwat luhung sumanggakna sawah.

Aja serik aja esak, yèn kapundhut ponang sabin, yèn kongsiya wawan-wawan,

anglawan mogok ngukuhi dadya dudu wong becik, wong ala bajingan gendhu, ing tembé hiya

dadya, tatampikaning priyayi, dadya nora welas ing sariranira.

Tegesé ingkang satata, satataning wong kang tani, wong kang dadya bekel désa dèn

barukut dèn sira gawéa masjid, sandingena toyanipun, santriné pancènana, ing sawah

sapantsnèki, jakat pitrah srahna y wa milu ngalap.

Lawan karyaa kabayan, kang rosa kang aja nyerit, lamun sira tatamuwan, priyayi dèn

rikat yekti, pasugatanirèki, dibecik remeksanipun, marma parlu akarya, ing kabayan kang

abecik, supayané rumat barang karyanira.

Cahmbanjar 73

Akaryaa pager jaba, kelakah dhadhapuran pring, haywa sok angrusak karang,

nyarengken padésan kaki, pager wismanirèki sapaturé dèn akukuh, ya menawa tamuwan,

kandheg kampiran sirèki, ing sadina sawengi wajib rumeksa.

(55) Ing satuhu ya tegesnya, ing wong papadésan ugi, apa adat kang kalampah, mancapat

mancalimèki, papagerané sami, myang arahaning gugunung, dèn lastari tumindak, ywa karya

adat pribadi, yèn wus lumrahing wong mancapat lilima.

Anggone hay wa anyjelag, lawan aja sira apti, ing klempakaning durjana, pakaranganira

kaki, angrèhaken wong cilik, prihen aja na laku dur, kawruhana lakunya, titiken dèn

apratitis, yèn culika énggal sira tobatena.

Yèn tan marèni karyanya, saksèkna mancapat nuli, tundhungen saking ing désa, hay wa

kongsi nglèlèpeti, marma dèn wanti- wanti, mrih becik lakuning batur, lan malih lamun sira,

kuwat ngadegaken mesjid, jumungahé iku sira adegana.

Atagen saben jumungah, padha salata mring masjid, lamun akèh kang ngibadah, kedhik

kang panggawé juti, botohan nyerèt sami dèn banget walerirèku, rong prakara iku ya,

cacaloning dadya maling, ing wong cilik mèh kena dèn pasthèkena.

Wité dadi kemlaratan, banjuré dadya mamaling kayangapa yèn kembaha, enggonira

kang angawruhi, pakartining wong cilik, myang kang dadi kasabipun, nemené anggaota,

kang dadi wektuning bukti, kang ngedohken marang ati kadurjanan.

(56) Kalamun tinitah sira, angabdi j roning nagari, dèn taberi aséwaka, yèn durung pinaring

sabin, haywa sira angincih, mrih balendhunging kang wadhuk, pandhak sadaya-daya yèn tan

durung potang kardi, tékadena awisma nèng paséwakan.

Asorena kula nira, mring sasaminira ngabdi, mèten wuwulangen samya, kang becik

anggonen ugi, karana wong angabdi, kadulu ing tindak-tanduk, dèn bisaa suwita, mring kang

angrèhken sirèki, lurah bekel miwah mring wadananira.

Haywa ing lahir kéwala, dèn terus tumkèng batin, yèn nora terusa ing tyas, mukir

titahing Hyang Widhi, dèn kumandel ing Widhi, gusti iku pan satuhu, gustining wong

ngakathah, kinarya badaling Widhi, kang amesthi adil paramartèg wadya.

Liring adil para marta, bener angapurèng dasih, anglèbèri pameng kunya, marma sagung

wong andasih, satata dèn taberi, mèt tyasing kanca denatul, sedyakna apuranta, ingkang

durung lan kang uwis, lamunana kaluputané mring sira.

Bésuk dadya sira potang, motangken panggawé becik, winales déra Hyang Suksma,

lawan hay wa sira amrih, pepelèsèdan angling, sring anyatur alanipun, kanca ingkang

sungkanan, sring towong pakaryanèki, hay wa irèn ing karya anasabana.

Cahmbanjar 74

(57) Yèn kancanira amanggya, hiya dudukaning gusti, miluwah angungun sira, sakedhik

dèna mrihatin, ingkang mangkono uwis, karuwan ing takdiripun, balik kang durung hiya,

durung karuwan sayekti, anganggowa ing tékad tepa selira.

Dadya ora ala sira, ing sama-samaning abdi, ya pan reksa-rumeksa, ing lahir tumekèng

batin, kanca iku sayekti, pan wus prasasat sadulur, ingkang kaprenah tuwa, kurmatira dipun

kadi, kurmat marang sanak wongtuwa priyangga.

Dhasar tuwa dhasar dadya, lurah wadananirèki, iku wenang sinembaha, wajibing

sinembah kaki, ing kang dhingin narpati, kapindhoné bapa-biyung, kaping tri maratuwa,

maratuwa jalu èstri, ping sakawan guru pan wajib sinembah.

Kaping lima kadang tuwa, déné ingkang pradipati, marmané wenang sinembah, déné

wakiling narpati, sagunging para mantri, wenang nembah mring santanèng nata.

Para pandhita sinembah, saking guru dènnya ngirib, sadaya amawa pangkat,

gogolanganing nagbekti, terus saking ing dalil, pangandikaning Hyang Agung, kabèh padha

nembaha, hiya marang ing Hyang Widhi, lan nembaha marang utsaning Allah.

(58) Lan nembaha sira padha, hiya mring kang anduwèni, paréntah saking ing sira, tegesé

iku narpati, papatih pra dipati, yèku mired saking ratu, wakil nyekel paréntah, marma haywa

shak ing galih, ing panembah terus saking dalil pisan.

Yèn wus amriyayi sira, ngangg owa kawan prakawis, bubudèn hay wa tinilar, kang

dhingin budi priyayi, ping kalih budi santri, budi sudagar ping telu, budi tani kaping pat,

liring kang budi priyayi, tata karma ungguh-ungguhing wicara.

Tan nganggo sawiyah-wiyah, busana sapantesnèki, kapara murah ing boga, prawira

wéwéka titi, tanduk ngénaki ati, bisa mrih rèh sabayantur, nora wedi kélangan, amiguna ing

berbudi, kabudayan ing tanduk paramacipta.

Budining santri winarna, kudu resik, kudu suci, ngakèhken karane Alloh, sukuran

pratingkahnèki, mangkono bahé ya wis, mangkono bahé ya sukur, ngendhiken kalorèyan

déné ta budining tani, temen wekwl abot ènthèng wus karyanya.

Irèn dahwèn nora watak, tan methingkrak tan methingkrik, mantep temen linabuhan,

tingkah kang wus dèn lakoni, membat–mentul tan bangkit, kamandaka nora putus, déné

budi sudagar, pétung sabarang pakarti, agemi tur nastiti, ngéman ing lampah.

(59) Riningkes catur prakara, bubudèn dadi sawidji, tatanira aja tilar, hiya tataning priyayi,

resikira dèn kadi, santri sukuran tyasipun, temenira dèn kadya, hiya temaning wong tani,

pétungira dèn kadi pétung sudagar.

Cahmbanjar 75

Ngétunga sabarang karya, hiya kang datanpa kasil, hay wa tuna barang karya, yèn tuna

sabarang kardi, tan welas sarirèki, kang mangkono yèn kabanjur, g olongan nganiyaya,

marang awake pribadi, ing meng kono ngresula akudhandhangan.

DHANDHANGGULA

Barang karya dèn waspadèng nguwit, lan wewekas iku kang kinarya, anengahi

prayogané, kadyanta sira dulu, ing sosotyo mawa retnadi, awit kapéngin sira, ing tyas kudu-

kudu, tengahana ing prayoga, wekasané yèn tan kadugi ing regi, temah karya malarat.

Yèku hay wa nuruti saking wit, hay wa kongsi tumekèng wekasan, tulaken tan

prayogoné, nadyan remen kalangkung, kang warna di tur rajapèni, pinray ogèng wekasan,

kalamun ta durung, sampé samipaning karsa, kasangsara anggagawa wuwuh pinging,

ginggangken pasuwitan.

Wiwit iku akathah kang becik, sabarang kang saking karsanira, saking hawa

panarikké, nanging arang kang èmut, wekasané nora pinikir, ana kang wiwit ala, becik

temahipun, wit becik atemah ala, awit nistha atemah dadi utami, utama dadi nistha.

(60) Awit becik wekasan tan becik, karsa mirungga atilar ngadat, kang wus kalakon beciké,

saking pangrasanipun, amuwuhi ing dat kang becik, kasor kaworan harda, kudu wuwuh-

wuwuh, yèn harda binanjurena, wekasané tan wurung ala pinanggih, balasak dadi rusak.

Wiwit nistha awekasan becik, nguni je nengira Seh Malaya, saking ing ala puwané mèt

karya-karyanipun, ing sawiji dina marengi, ingkang dèn ambil karya, nuju Jeng Sinuwun, ing

Benang dadya waspada, yèn kang ngambil karya ing trah wong ngabecik, pinurih rahayuwa.

Anut kang pangandikanirèki, Sunan Bonang wau kang ambégal, dadya umanjing

sabaté, miturut ing satuduh, nadyan silih temekèng pati, lami-lami dumadya, kangmèt karya

wau, sawusira jinatènan, sarta banter tapané tan uwis-uwis, dumadi Auliya.

Anama Seh Malaya linuwih, ya Seh Malaya iku suhunan, ing Kalijaga wastané,

marmanta dèna émut, yèn purwaning ting kah tan becik, tobaté ing Hyang Suksma, sarta

tapanipun, dèn sru tapa matiraga, kaya ana pangapuraning Hyang Widhi, pan Allah sipat

rahman.

(61) Anuruti panuwuning dasih, asih marang manungsa kang tobat yèn dèrèng tutup

lawangé, lawangé tobat iku, hiya lamun durung ngemasi, pan masih kena menga, tobaté

umangsuk, kang satengah ana ngucap, pengucapé wong wis ala hiya uwis, aja tanggung

alanya.

Begja kana kang anemu becik, begja kéné kang anemu harja, ingkang mangkon o

yektiné, pan wus kena dhinadhung, ing ngarahanira sang éblis, kaworan nepsu hawa,

Cahmbanjar 76

binawur linantur, mangah-mangah amrangangah, pangrasané isin mundura sanyari, ing

sujanma utama.

Tan narima ing asor myang inggil, nora nana jenengé kawula, ing kang unggul salawasé,

amesthi asor unggul, kalampahan jamaning ngurip, wit saking Nabi adam, unggulé tan

banjur, nganggo asor ing tengahan, lajeng tobat analangsa siyang ratri, subatra matiraga.

Lami-lami anulya antuk sih, pangapuranira Hyang Wisésa, pan mangkono sabanjuré

para nabi para ratu, para wali myang para mukmin, yèn maksih muring kathah, maksih

badhog sekul, asor unggul kalampahan, awit luhur yèna tengah andhapnèki, yèn narima sru

tobat.

(62) Winangsulken marang luhur malih, kang setengah abanget ngresula, nguneg-uneg ing

driyané yatalah Hyang Kang Ag ung, gawe titah kaya wakmami, banget temen binéda, lan kaé

si anu, satengah anèng ratunya, kang setengah lulurah bekelirèki, setengah wongtuwanya.

Kang dèn uneg- uneg jroning ngati, malah ana satengah kawedal, muring-muring

pangucapé, nora wruh awakipun, pribadi kang akarya nisthip, mring kang akarya harja,

kurang tapanipun, lan kurang panedhanira, ring Hyang Suksma panedhèku kudu mawi,

ngresiki badanira.

Resiké lan tobat ing Hyang Widhi, dapak-dapak ing mengko katrimah, hiya mau

panedhané, yèn wus motangken wau, Ing Hyang Suksma déné ing lahir, yèn wus motangken

karya, marang ing ratumu, myang ing lurah bekelira, ataberi nyakubaken barang kardi, karya

agal lan lembat.

Yèn wus antuk nugrahaning widhi, kang amarga saking ratunira, awit saking sih

mulané, ing kono dèna émut, dèn anganggo boboting sabin, pira pametunira, anganggoa

pétung, gemèni nugrahaning Hyang, lan gemèning hya paparinging gusti, supaya mrih

panjanga.

Ciptanen sangunira angabdi, kacagaka sabarang pakaryan, busana marasébané

sumedyaa ing tuwuh, angurangi sajegé urip, haywa ngegunggken raga, kerep j ibar-jibur,

kamangkono dadya watak, angètèrken gonira lumakyèng kardi, kadadak adol ladak.

(63) Yèn tinitah sira dadi mantri, mapan ana adat kalampahan, para mantri pakaryané basa

mantra liripun, linuwih ing tigang prakawis, nistha madya utama, ya pangiwanipun,

Janaloka, Ngendraloka, Gururloka t inggang nggon iku yèn mantra sayektiné waskitha.

Janaloka ya madya panèki, nggon manungsa ya ing Ngéndraloka, Bathara Endra

kratoné, ing Guruloka iku, kadhatoné Sang Hyang Pramèsthi, ing tri iku uninga, tata

kramanipun, pakaryané ing manungsa, siji-siji kang ala lawan kang becik, nistha lawan

utama.

Cahmbanjar 77

Wruh ing Ngèndraloka tegesnéki, wruh kataning panembah ing déwa, ing sawiji-

wijiné, barang ing lakunipun, Ngéndraloka mantri udani, kaping tri Guruloka, mantri yekti

weruh, sembah mring Hyang Girinata, salakuné sapratingkah pan udani, déné panengenira.

(64) Lamun tinitah mantri bupati, pan bupati sipating naréndra, ing praja wus bubuhane,

bener kalawan luput, nistha madya lawan utami, lamun ana prakara, kang tiba nisthéku,

bupati mèh kawajiban, ngambengana suker gampanging nagari, punggawa kang angrembat.

Nora gampang wong dadya bupati, lahir batin ing boté katempah, asor ungguling

prajané, hay wa pijer katungkul, kawibawan kasukan tuwin, jaga-jaga ing yitna haywa énak

turu, ingkang dhingin samektaa, acacadhang ing karsa sri narapati, ping kalih samektaa.

Jagayitna aliya negari, pikir lepas amrih karahajan, barang kang dadya sababé, ing

wéwéka dèn putus, tatasena sandining wèsthi, yèn ana pasuwalan, ing rèh kag rinembug,

hay wa konsi tibèng nistha, yén wus rembug kenceng sabayantu pikir, énggal laksanakena.

Yèn arandhat ngendhé-ngendhé pikir, mbok kaselak méda manggih baya, nglentar

kspiran ngethèthèr tumpa-tumpa katumpuk, kawaledan gunggunging pikir, jroning sumur

upama, lawas tan tinawu, baleder waled mèh kebak, yèn dhinudhah rinesikan angel ugi,

larahan wus akathah.

Ana eduk sujèn lawan beling, angel kangèlan yèn pinarusa, manawa kena ing sujèn,

kathah drigamanipun, yèn tan lawan nugrahèng Widhi, kang ngeningken istiyar, mung kang

ngayu-ayun, wahyu kang saking Hyang Suksma, angèn tuduhing kedhap kilat manawi, bisa

nitih anumpang.

(65) Nadyan si lih bisaa anitih, ing prakara budhaling waledan, maksih kaworan panggawé,

awit mirungga iku, nora kadya kalaning nguni, umpama beras wutah, saking wadhahipun,

winangsulken kinukuban, arang ingkang mulih takeré ing nguni, ngungun angunandika.

Ènget kaènget tanduking nguni, paran marga muliha mangkana, saking paran

pinangkané, yèn mangkono ing kalbu, antuk rengatira Hyang Widhi, kuranging panarima,

tindak wus kalantur samonèku pira-pira, pirang bara ubaya osiking ngati, atingkah kadaya

kuna.

Kina ana kinènan samangkin, mangkin harja yèn leksanakena, lumaksana saanané,

surasa sabayantu, pratiwa tan gèsèh pikir, pakarananing dadya, gingganging pangangkuh,

saking datan habipraya, prayanira tan nelaya nguciwani, wenèh panjangkanira.

(66) Mantep iku busananing ngèlmi, ing ngagesang apa kang sinedya, yèn tan sarta lan

ngèlmuné, apa ta abubruwun, amung amrih kamukèn adi, yèn namaning pratiwa, nistha tan

Cahmbanjar 78

mituhu, rèhing praja kang mulyèndah, béda lawan nangkoda kang sugih-sugih, tan milu

ngrembag praja.

Karya kamuktèn sakapti-kapti, sapantesé ya ingkang winenang, tanana rinasakaké

mung indhaking hartèku, padagangé dadining bathi, béda lan asuwita, dadya punggawa

gung, yèn tan putus pamicara, kèh kapéngin dadya punggawèng narpati, pakéwuh tan

rinasan.

Yèn tinitah ing mantri papatih, yèku warangkanira sang nata, sangsaya geng pakéwuhé,

yèn tan saé kang kalbu, lawan ingkang dèn warangkani, dadya warangka datan, umanjing ing

dhuwung, dhuwung tan manjing warangka, paran marga lamun gampanga pinurih, ngruruh

rèh karaharjan.

Nadyan silih saéka akapti, mantri muka lan sang narèswara, yèn tan wicaksana

mangrèh, sanggyaning pratiwanung lénté kanang mantri lit-alit, tanwun sira kataman, ing

nistha salugut, legetaning janma kathah, kenthaha tyas sanityasa amatistis, panatasing tyas

harda.

Hardaya mring pamicarèng nagri, nagaranjah wetuning pratingkah, ing kon o

pangadilané, bener kalawan luput, wus gumelar tataning nagri, kang ngalaya ing ngadat

tuwin ingkang nganut, laku ingkang kuna-kuna, lan samangkya pinèt saking ing prayogi,

anggoning jaman mangkya.

(67) Lamun mantri alit nora bangkit, angambila panganggé mangkana, mung papatih

panganggoné sira y wa selang surup, ngendi ana mantri tan bangkit, anganggo kang

mengkana, miwah pra tumenggung, sanadyan pratinggi désa, hiya bisa ing prayoga handar

bèni, nanging tan dadi guna.

Nora dadi lajering kuthèki, ineb-inebing lawang saya trang, dèn konsi sipat beneré,

dènya mrayogèng laku, yèn binubrah marang papatih, sayekti kenèng bubrah, patih kang

amengku, barang paréntahing nata, wujud tunggal lan patih ya sri bupati, satru munggèng

rimbangan.

Yèn wus manjing warangka ing keris, lan keris wus manjing ing warangka, dumady a

doh sangsayané, prajaharja barukut, den warangka kandel nasabi, curiga datan mantra,

mingis landhepipun, dènnya kandeling warana, yèn mengkono yèku papatih utami, atebih

saking nistha.

(68) Ing kukummah wilayah pan uwis, pinanci-panci ingkang bubuhan, papatih ngantuki

bahé, nanging haywa katungkul, adombani rahina wengi, wangening pangkat-pangkat,

ingangkat lan patuh kamituwa kapitayan, supayané haywa nalimpang ngawengi, mèngeti

hay wa lupa.

Cahmbanjar 79

Tan sun panjang wasitaning patih, ngunu-uni pan sampun akathah, ing ngupama

saanané, pakartining amengku, ing paréntah kang tibèng sisip, ana kang tibèng, madya, ana

utamèku, kang utama iku tanlyan, babakuné kang sampun kocap ing wingking, anggep

pangawakingrat.

Pira-pira titahing Hyang Widhi, mring manungsa saking kodrating Hyang, kang mijil

saking retune, saking sor dadi unggul saking luhur asor dumadi, yèku dadya ngibarat,

panyatheting kalbu, kang lunjak-lunjak ngalanjak, ngajak-ajak temporat amalarati, tan étung

kanthinira.

KINANTHI

Kaping sawelan winiwus, maskithaa dèn nastiti, ing sudaning kang darajat, gingsiring

wahyunirèki, tanlyan saking kamélikan, anununtun maring lali.

Tan linawan rèh rahayu, kadyata sira amélik, pangané wong cilik ing kang, sathithik

gawéné iklik, kang uwis wajib linakyan, si raksasa angelongi.

Tanpa karana pan among, nuruti hawaning ati, yèku nyudakken darajat, nora ta dumèh

sathithik, wulu kalong binubudan, alembut datan katawis.

Anunuman hawa napsu, nanarik panggawé sisip, ngakèhken panggawé wenang,

momori panggawé wajib, yèn atiwas wajibira, sudaning darajat pasthi.

Sagung pakarti kadulu, kang sumimpang saking wajib, ngakèhken mokal lan wenang,

dhasar ya sasami-sami, tanwun sudaning darajat, yèn banget wahyuné gingsir.

Kadyata sirarsa tuku, barang karemenirèki, ing kuda miwah curiga, mas sosotya sinjang

adi, myang sabarang rerèmèhan, ingkang arega sathithik.

Déwus sira nyang keladuk, ing panganyanira dadi, mandheg mangu karsanira, pan

wurung sok-sokan picis, pangrasanirèku menang, sira wurungaken nuli.

Pan akèh sababing wurung, kaduwung saka ing regi, kang mangkono iku dadya,

darajatira ginempil, peksanira ngéman arta, panwus jamaking priyayi.

Yèn tuku rada keladuk, sawatara yèn wus janji, yèn wurunga karya esak, ing sama-

samèng dumadi, émanen sudaning drajat, hay wa kongsi gempil lirip.

Myang sira remen ing dhuwung, dapur becik tangguh becik, kepalangé mung wasiyat,

éwuh dènira ngakali, saking sruning remenira, kang duwé kepalang ajrih.

Dadya sinungken kang dhuwung, karoban saking ing regi, kang mangkono pan

pepeksan, yèn wasiyat nora becik, tan awèt sira anggowa, temah wahyunira gingsir.

Yèn wasiyat iku lamun, saking kang duwé pribadi, kang adol saking abetah, yèn

dhemen tukunen ugi, salumrahé ing reregan, utama sira ngerobi.

(69)

Cahmbanjar 80

(70) Lan jaluken wuwusipun, lilakna wasiyatnèki, mangkono iku kang esah, tetepa

ngnggonirèki, wasiyat iku pan wenang, yen kabutuh nora bukti.

Dèn edol supayanipun, tulak kamlaratanèki, kang setengah ana ngucap, lamun ingsun

maksih urip, mangsa ingsun gadhèkena, hiya saking lambung mami.

Bener iku kang amuwus, lamun mantep anetepi, yèn ora mantep pan hiya, dadya

brahala sayekti, keris ingkang dèn pangéran, pinindha wong tuwanèki.

Misih urip idhepipun, lire kang mangkono kaki, aboté wong nora nyandhang, lawan

wong nora abukti, yèn tidha kurang ngelmunya, kena binedhung ing éblis.

Tyasé tinarik ing kupur, metu akalé tan becik, kelantur dadi durjana, wasiyat ginawé

maling, kebak sunduké wong ika, konangan dènnya mamaling.

Pinenthung guluné putung, gulinting mati babar ji, wasiyaté wus dèn alap, mring kang

menthung wau maling, tinitiran sawusira, mupakat binontot nuli.

Binuncal bontotan pandung, kadya adating nagari, tobat anaa kang gugat, yaiku wong

tuna budi, rupak nalar nir istiyar, tugel bet wahyu malencing.

Wesi dipun anggep wahyu, yèn dèn dola iku nguni, dhuwit kinarya pawitan, pinangan

teka sathithik, panulak ati maksiyat, yèn akathah punang regi.

(71) Kinarya prabéyanipun, yèn dhemen lumakwèng kardi, pan kakékating wasiyat, hiya

dudu tumbak keris, wuruk kang becik punika, wasiyat ingkang sejati.

Wasuyat lahir puniku, tan bisa becikken ati, puluh duwéa wasiyat, Pajajaran

tangguhnèki, gaweyan Siyung wanara, yèn atine nora becik.

Sang éblis kang ambedhung, kadhungsangan pothar-pathir, hiya wahyuning wong ika,

wasiyat tan anglabeti, ing kuna sang resi putra, wasiyaté angluwihi.

Paparing déwa agung, hiya panah Cundhamanik, pangrusaking kalamurka, Swatama

kang andharbèni, ginawa mamaling marang, Pandhawa pakuwonèki.

Cendhaké bahé cinatur, déwa warna kang nuruni, pinundhut saking Swatama,

pinaring ken Pandhawèki, Swatama datan suwala, dinukan akelip-kelip.

Minta tobat tan tinutur, Sang Kresna tan anglilani, sirna wahyuné S watama, tugel bet

labté ngenthir, yèn penengen tinemaha, nguni Jeng Suhunan Giri.

Tan séba mring Majalangu, wong saGiri dèn ratoni, sang prabu ing Majaleng ka, anuduh

gempur ingGiri, pira-pira kang prawira, gagaman geng kang dhatengi.

(72) Praptèng Giri rèh gumuruh, dadya samya tur upaksi, maring sira Jeng Suhunan, ing Giri

éca nunulis, kang tinulis surat Islam mengsah geng saya angrampit.

Garwa putra jrit gumuruh, saksana Jeng Sunan Giri, kalamira kang binuwang, dadya

keris ngamuk nuli, Jeng Sunan éca alenggah, mung kalam ngamuk pribadi.

Cahmbanjar 81

Pira-pira ingkang gempur, mati déning kalam keris, kang kari giris lumajar, mulih

marang Majapahit, kalam munyeng wangsul nulya, ing ngarsa Jeng Sunan Giri.

Angandika Jeng Sinuhun, hèh kalam munyeng sirèki, salira teka ing kalam, balia mring

kalam malih, ki kalam munyeng wus dadya, kalam penyeretan malih.

Yèku utama linuhung, wasiyat ati lunuwih, hay wa ta aslah tampa, nanacad kang karya

tamsil, waliyullah kang kinarya, sapa bisa anglakoni.

Kang mangkono wong amugut, medhot wikalpa ing tamsil, sanadyan sikep upama,

wenang nganuting prawali, sapangkat-pangkaté uga, mangsa ta tiruwa wali.

Kéwala ngirib tiniru, ing tyas pakrti kang becik, oleha saparatusan, saparakenthening

wali, kabèh wong ing tanah jawa, kang Islam nut para wali.

Luhung endi K angjeng Rosul, wus sah paréntah Hyang Widhi, dadya panutan sajagad,

kang manut ing Kangjeng Nabi, marma ran Nabi Panutan, wenang tinutbarang kardi.

(73) Gedhé ndi lan Kangjeng Rosul, lawan ingkang para wali, ya marmèngsun kongsi

panjang, anjejèrèng ing pangirib, sapa ta kang guguyuwa, dadya awakingsung iki.

Wong kumrisik tanpa bayu, pan ora mengkono ugi, watak wong anom ing mangkya,

akèh pinter ramakawi, wong anom atiné sura, mbok kasusu mamaoni.

Durung linimbang ginilut, sokur yèn uwis mangerti, awak manira priyangga, kang sun

karya tepanguni, duk nedheng maksih taruna, marajak sring mamaoni.

Pangrsaningsun linuhung, ana ta pujangga prapti, saking praja ngèksiganda, saben ari

sun waoni, pinapasan ing aksara, myang basa paramakawi.

Akri-kari ingsun dulu, dudu pujangga sayekti, lire ta dudu pujangga, pawitan durung

darbèni, maksih utang anyenyelang, murad ngawur ting saluwir.

Dadya banget ngong angungun, ing mengko wus tuwa mami, ladak ingsun duk taruna,

yen banjura tanpa kardi, nanging sanadya ladaka, sathithik wus mratandani.

DHANDHANGGULA

Amangsuli sekar gula milir, maksih pakarti kang dadya suda, ing darajat pangèthèré,

hay wa karya sirèku, ing wisma geng kang angluwihi, geng luhuré myang pélag, memet ting

pamatug, luwih boboting wangenan, kang mangkono wus pasthi tan kena gingsir, kèthèré

kang darajat.

(74) Ing pangiwa panengené sami, awit Nabi Adam kongsi prapta,, ya ing jaman taun kiyé,

Alip kang sirah pitu, tenggak papat tusan saptèki, geng alit tan abéda, tanah Ngarab dangu,

para nata kang akarya, ing para di kang angirib suwarga di, tanana kang widada.

Cahmbanjar 82

Jaman pangiwa samono malih, para ratu kang arosa-rosa, danawa myang manungsané,

kang angirib swarga gung, pira-pira prapta kang samangkin, wong alit-alit kathah, jro prja

myang dhusun, kang wus kacihna katandha, myang wong agung liyaning para narpati, wus

kanas ngèlmu ngadat.

Apa japané yen nora keni, kang mangkono kèthèring darajat, ulun wani totohané,

pedhoting jangganingsun, sakarepé dènnya bayari, yèn maksih langit dunnya, lan bumi

dunnyèku, surya candra myang kartika, kang mangkono wus pasthi retuning pasthi, tan kena

gumingsira.

Tobat ingsun ing Hyang Maha Luwih, déné ulun lonyo ing pangucap, wani akarya

pepesthèn, saking kakuning kalbu, amumulang tan winigati, pribadi maring suta, wong

saputu-putu, saking berkahing Hyang Suksma, ngalap saking ngelmu ngadat nguni-uni,

kiniyas dadya kena.

Kang sawenèh ana ingkang angling, becik ambeciki popomahan, kang angluwihi

bagusé, ingkang supaya antuk, ing pangalem kalih prakawis, dhingin pangalemira, sagung

wong kang dulu, becik resik ngresepi tyas, kaping kalih pakolih aleming gusti, ngatokken

brekat nata.

Kang mangkono ya bener dènnya ngling, nanging dipun ngangg o sawatara, aja ngluwihi

ing katté, déné pangalem iku, mau ing kang kalih prakawis, tan pakolihing badan, lahir

batinipun, muhung alem bébéngkrakan, déné ngalem kang pakolih lahir batin, kang rumiyin

dèn ucap.

Ya kang saking ing gustinirèki, lamun kabeneran karyanira, ing gusti dadi alemé, iku

alem satuhu, anrus lahir tumekèng batin, nyegeri badanira, sanadayan sirèku, duwé wisma

byur paradan, lamun karyanira kèthèr miwah sisip, tanwun amanggih duka.

Déné alem metu ing kang saking, wong ngkathah alem bébéngkrakan, yèn kawetu

ganjel ambèn, mangka kang ngalem iku, amertamu maring sirèki, sira tan anyugata, ing

saananipun, ngelokro alemé ilang, hiya dènnya mulih pan kongsi angelih, déné alem kang

nyata.

Nadyan wismanira tan linuwih, amung sedheng-sedheng sawatara, mangka kacanta

pamané, kang padha amertamu, yèn amulih arang kang ngelih, iku alem utama, manpangat

satuhu, wisma mapan nora kena, ginawa mring paséban séba ing gusti, myang kinarya

ampilan.

Kathah lamun winarna ing tulis, ing pratingkah sudaning darajat, miwah ing wahyu

gingsiré, ing sami-saminipun, mamèt misil kang wus winarni, ing rèh katibèng nistha, yen

uga linantur, pinalangan nora kena, kudu berot yaiku pratandha dadi, gingsiré wahyunira.

(75)

(76)

Cahmbanjar 83

Lawan hiya sabarang pakarti, amidosa nganiaya ing lyan, dupèh tan kacihnèng ngakèh,

mung sanak tuwa kang wruh, pinalangan sru datan keni, yaiku tandha besat, gingsiré kang

wahyu, pan wahyu iku nyawanya, lewih resik yèn katon pan luwih bening, mancorong kadya

wulan.

Wahyu ulit lir lintang awening, yèn dèn ajak panggawé tan harja, suker agedhé

nepsuné, tinon abingus-bingus, yekti minggat lumayu ngenthir, mangsa kuranga unggwan,

ing paméncokipun ngupaya kang bening ing tyas, wicaksana tyas raharja sadu budi, iku bisa

rumaksa.

Rumeksané ing wahyu sejati, dahat éwuh gampang yèn linakyan panyegahé, karsa awas

lan émut, sanalika tan kena lali, risang amurweng tingkah, suméndhé sumaguh, agagah nora

agahan, legawèng tyas sanityasa anastiti, mahambek harjaningrat.

(77) Sarat sarwi rinaketan ing sih, dèna esah lan agamanira, angagema praknyana rèh,

sumarah ing Hyang Agung, ngegungena pudya semèdi, sumedya apranawa, pranawa liripun,

amadhangken ing tyasira, anyudaa dhahar néndra iku kaki, pandhangiring darajat.

Winantu ing panarimèng ngati, rinesikan ing sastra jawa Rab, bisa basa basukiné, wruh

lelèjeming kukum, campuré lan yudanagari, yen wus resik mangkana, siramen ing kalbu, ati

mandhep tan kumedhap, akèh kedhap tan dhinadhap mung ngadhepi, idhepé saking tedah.

Tedahing guru ing kang kaliling, lanlangana ing tyas palamarta, amartani pamintané,

janma kang mindha punggung, asung boga ing pekir miskin, kenanen ing wacana, ywa

ngrasani wuwus, wawasen tekèng wacana, sasananing utama tinaki-taki, takeren atinira.

Dèn abisa rumeksa mageri, maring wahyu liré dèn abisa, amung tyasira ugeré, karsa

bakuh akukuh, haywa kenèng ginonjing éblis, amring leson sungkanan, iku umurung maring

laku kebecikan, laku becik dumdumaning wahyu jali, tuduh sihing Hyang Suksma.

(78) Akèh lali lelakoning dadi, saking tidha dhinendhèng Hyang Suksma, samun sirna

panemené, ing pakarti rahayu, kayungyuné pakarti juti, juwet abawur sila, selaman salumun,

sulaya anyela-nyela, lalawora angawur awira- wiri warananira sirna.

Dhinedhering sarana mawarni, winursitèng manis minanisan, ing manungsa kang

anènès, lejeming tyas pan ayun, ngina-ina mrih angenani, mrih ange-angenira, ngéram-éram

arum, lir pangungruming ngasmara, sumarmane mari-mari yèn wus keni, kinenan kalatadha.

Yèn tan kena kenananing kéring, mring pangiwa kang ngawohken harja, yèn wus awas

pamawasé, tan was-was ing panuwus, waskitha ring riwuning ngati, watara anamara,

amoring pandulu, dadalané nora samar, ing sarana yèn mangkono anartibi, papagering

nugraha.

Cahmbanjar 84

Nahan kaping rolas kan winarni, nyatakaken obah osking ngrat, nalika masa kalané, ing

Kalisingarèku, myang ming Kaliyoga ayun wrin, lamun anuju jaman, Kalisengarèku, kèh

dalajat katingalan, keh pawarta dora mosik ting kalesik, seg tan kena tinulak.

Gara-gara rèh kagiri-giri, mega pratala mangambak-ambak, anggraning kang arg a

gègrèg, warna-warna kadulu, cihna retu ingkang nagari, ing kono den prayitna, den rumangsa

ngaub, ing prajaning ratunira, turta sira winisudha sinung bukti, paran tan prihatina.

(79) Nenedhaa mring Hyang Maha Suci, dèn banter cegah dhahar néndra, wurunga ing

dudukané, yèn kena datan wurung, mung abera teka sathithik, dudukaning Pangéran, Kang

Amaha Luhur, karana wajib sadaya, wong jro praja gedhé silik jalu èstri, padha andodongaa.

Sidhekaha tutulaking nagri, ing sakajat kawruhta priyangga, yèn tan ana barikané,

parentahing Sang Ulun, lamun ana peréntah nuli, dikebat lakonana, sarta dèn asengkud,

matuta panedhanira, kang satengahing janma ana kang angling, angekèhaken tingkah.

Mundhak susah ang rurusak pikr, nadyan gègèr-gègèré wong kathah, reja-rejané wong

ngakèh, tur kang mangkono muwus, sesembranan tan praptèng ngati, nenging yèn kabanjura,

kang mangkono wuwus, naempuh rusaking praja, peperangan gègèr lir gabah tininting,

dhèwèké pan kaponthal.

Kalèwèran bakakrakan ngili, pothar-pathir nginthar kuthèthèran, dharedhet entèk

tobaté, tan angrasa wong iku, ngambah prajanira narpati, ngaub salaminira, upama wisma

gung, ingauban wong akathah, payon rusak bocor apa énak-ènik, tan mèlu amayuwa.

(80) Ing sakuwasanta ageng-alit rumaganga mrih jejeging praja, supaya ing waluyané, wong

kathah kang angaub, dadya olih martabat becik, kalumrahaning janma, mau kang lungayu,

dadya martabat babasat, sukur gègèr lumayu bari angutil, tanwruh lamun kaponthal.

Haywa ana kang salah mangerti, yèku ambeking janma kang rucah, nora kalebu cacahé,

tanpa gawé winuwus, nora kena mangkono kaki, geng ngalit dadya tepa, ing lepiyanipun, ing

setya lawan ngucira, sasaraning kang carita kurang titi, lapak wong kurang warah.

Waranané sebit rontang-ranting, ratas anaratas marang ing tyas, sarira pan wus ukuré,

saking tambuh pitambuh, mung kahardan kang dèn ideri, andeder tanwruh kadar, kadar

lingsem ambyuk, ing jujurang sirna gempang, anggagampang nganggo karepé pribadi, kang

tan patut tan sastra.

Lamun ana obah liya nagri, iku kaki sira diprayitna, kuna ana lepiyané, ing Jakarta

prajagung, purwaning prang kalawan sinis, lawas-lawas mangétan, banjuré dahuru, bedhah

prajèng Kartasura, banjur sadayané praja pothar-pathir, wit tan rampeking karsa.

Cahmbanjar 85

Wong ngagungé ana nalayani, wong cilike mawur asarsaran, pating salebar tan sarèh,

pan uwis adatipun, wadya Jawa lire ram dami, kalawan tambak merang, katempuh ing

banyu, banter gedhé alorodan, dhadhal larut tan ana tolih ing gusti, kadya sasapu wudhar.

(81) Panjang lamun winarna ing tulis, nguni-uni akathah kang obah, saking ing liyan

prajané, tumular analetuh, padha dipun prayitnèng wèsthi, dèn waskithèng pinangka, paran

purwanipun, kang dadya obahing liyan, supaya y wa analetuh nunulari, den lembut nalarira.

Nalar kasep iku tan pakolih, yèn pakolih kaworan luamah, bawah pedhang g olongané,

sanadyan pedhang iku, lamun kasap kéwala gelis, punggel pucuking pedhang, yèn winoran

lembut, awuled pucuking pedhang, lamun lembut kéwala ponang prajurit, mélot pedhang

kang tedhas.

Bédané lan bawah kasap kaki, yèn anganggo kasap kaputungan, temah pepering

kalamé, wus kathah kang kadulu, ing palupi lepiyanèki, duk sang narendra kresna, nuduh

Bima sunu, panunduhé kurang lembut, wong wus campuh ing yuda akèh papati, anganggo

kalamangsa.

Kurang lembuté Sangt Bima siwi, dadya kaputungan analangsa, mung sajugèku luputé,

wus jamaké prang pupuh, asor unggul kalakon sami, sapissan maring kasap, Sri Kresna

kaluputannya, duk patining Resi Druna den wékani, paékan kamandaka.

(82) Ing wuriné Swatama malesi, adhustha mring pakuwon Pandhawa, olih titiga patiné, lah

iku dèna émut, lepiyan kang ing nguni-uni, hay wa sok amacaa, seru melang-melung, ing

sastra Jawa myang Ngarab, rasakena ing logaté dipun prapti, muradé dèn tétéla.

Ana obah-osik tunggal nagri, nguni nagara ing Ngaksiganda, duk nedheng jaman

kartané, obah-osik sakuthu, lajeng dadya pecahing nagri, katula kataletah, wong ciliké

sumyur, kang dadya wayang andadra, angengkoki tan wruh kamulaning cilik, Trunajaya

cilaka.

Ing wong cilik hay wa anyelaki, lamun ana obah-osiking ngrat, myang dèn awas lan

sarèhné, nedhaa mring Hyang Agung, mrih wurunga y wa kongsi dadi, kadya ing kang wus

ngucap, panedha ing ngayun, ing temahé yèn linakyan, dahuruné wong cilik ingkang

nglakoni, lakon Kalisangara.

Wong agungé hiya padha kontit, nanging lamun jaman Kaliyoga, wong agung olèh

kamuktèn, pan uwis lakunipun, ing ngadating nagari Jawi, marma ingkang tinitih, wong cilik

dèn weruh, hay wa kongsi kalarahan, dèn amantep anut osiking nagari, hay wa angraras driya.

Cahmbanjar 86

MIJIL

(83) Lamun ana osik ting kalesik, saking sawiyanh wong, lire saking sawiyah uwongé, wong

cilik tan jaman makam nenggih, sarta kincih-kincih, angaku yèn weruh.

Nalika reg-oreganing nagri, mengkoné meng kono, akèh-akèh rékaning wartané,

rungokena nanging ywa ginati, iku warta saking, bangsat mrih dahuru.

Anging hay wa angendhak sira angling, ing wong kang mangkono, pray oganen lawan

watarané, sasaurira bayaran angling, ing rèh dèn kaliling, haywa selang sambut.

Mung hay wa sak ingkang angsung warti, sira dèn waspaos, ing wong-wongan apa

panengrané, hiya ingkang wus kocap rumiyin, pancawalèng janmi, dora lan satuhu.

Jaman mangkya akathah kalesik, sok dora angrandon, pira warta tan ana jebulé, nadyan

wus mijil saking priyayi, prandéné tan dadi, lire nora jebul.

Lagya anitah mungguh Hyang Widhi, ing pawarta g oroh, sétan nginjen-injen

pakaryané, akrya pawitan dèn wuwuhi, den anggit pinurih, dadiya dahuru.

Yèn dahuru wong ala pakolih, akrya pirantos, ambabangus wigena tan sarèh, ngadhu-

adhul dènira mrih olih, ngadhadha kinardi, pawitaning dhadhu.

Dhadhakané mindha mindhik-mindhik, medhak-medhak dhodhok, yèn wus antuk

salah panyiptané, tan panyipta pakéwuh pakéring, dosa dènsasabi, nuru kang sinuru.

(84) Nadyan sinurang-surung ing wuri, anerang wirangrong, nora rangu-rangu panggawéné,

wus anékad dèn tékadi dadi, arahaning éblis, ambles ambalusuk.

Yen wus mangkono ananing janmi, dahat sru pakéwoh, g one marékakè pratingkahé,

atiné wus kabuntel ing gajih, tan kamlamar isih, pinurih sareju.

Aja juwet alawan angling, lan janma mangkono, ngiris- iris angaras gegèrèd, hay wa

pangling ing panglimputing ngling, haywa ta kalilin, alingana alun.

Samunen ing nétya y wa katawis, mawas dèn waspaos, pahékang wus panalun-aluné,

nora élan yèn sira kalilin, tan ana nglangi, lumelanèng kayun.

Yuwanané kahanan ngenani, ing pétung katongton, tinenana titika dèn ngantèk,

osiking ngrat angraketi dadi, ilapat sayekti, kadyata ing dangu.

Samya rare alit ingkang angling, dodolan ngacemong, wuwus iku hya satemené,

pinèting kira-kira pan saking, wongtuwa kang angling, rare kang snurut.

Lawas-lawas kalakon sayekti, wuwus kang mangkono, yèku kalebu obah-osiké, ing

buwana wus amratandhani, yèn awas lan éling, barang rèh kadulu.

(85) Kedhap sasmita kang dèn ulati, satata nrusingdon, yèn tumekèng wekas pan tingalé,

wangsulena tingalira nguni, pènget duking nguwit, tinimbang lan tanduk.

Cahmbanjar 87

Tanduk dadak sira sandikani, ing rèh wus waspaos, kèh karaos nguni sasmitané, titnen

wus amangsakalani, dèn angati-ati, tatanireng laku.

Mapan ana titirah-tirah ning, ngantara rinaos, ing cihna kang yumana dadiné, nora

weca haywa wancak ati, dèn samun samining, sila-susilayu.

Sayogyané awisma nagari, ngabdi ing sang katong, katongtona ingrate saosiké, yèn wus

dadi pandumirèng budi, sawiyah ing ngati, kadya kang ing ngayun.

Ngayun-ayun asihing Hyan Widhi, pamurung rèh kéron, ana sedya hay wa tumekané,

ana teka haywa ana kapti, kodrating Hyang Widhi, kang akarya wurung.

Ing rèh Kalingasara tan dadi, karsaning Hyang Manon, jaman Kaliyoga liliruné, asukura

sèwu sukur kaki, sinetya-setyaning, tingkah haywa surud.

Saradaning jagad kèh kaèksi, tan kasatmatèngwong, ya wong ingkang tan nalurèkaké,

nalirahing nalar datan apti, senenganipun urip, ngarep-arep laku.

(86) Lalakoné kang ala sinarik, yèn harja rinojong, pan mengkono laku kalumrahé, moh ing

ngala akarep mring becik, madya lakunèki durung utameku.

Abot lakuning janma utami, angel yèn ginayoh, para pandhita wali lakuné, tyasira wus

pindha jalanindhi, tan akagyat osik, ing jagad kadulu.

Daluraning tyas nagkeni kapti, syuh brangta Hyang Manon, raga pinrih sirna,

winoraké, lan raganira Hyang Maha Sukci, wus tanpa sak-serik, doh saking sakuthu.

Wus akutha wesi purasani, basané tekèng ros, rasikaring raras kang asarèh, sosorah

sumarah ing sakalir, saliring ngulami, kang kataman tuwuh.

Tuwuh hay wa tan atuwas kaki, pamawasirèng don, dèn prayitna ingering panggawé,

sopanané sumepa sinami, sinamar-samaring, sarananing wuwus.

Haywata was-uwas yèn wus angling, lilingen ing raos, raosena sasana senengé, sanalika

ywa kongsi kasilip, pilih kaselaning, polah kyèh tan arus.

Ngaras-aras sasaran widik, tan dina dèn adon, y wa adan yèn wus tan kana-kené,

dumunguning sopana kang radin, rinadining kapti, ywa mingering kayun.

Kayungyuna pangayun-ayuning, yuwana pangay om, angayemi tyas mudha-mudhané,

pindha pandhita sung wasita di, ring siswa saèsthi, isthané ambangun.

(87) Bangun mabanguna ring tyas titis, tatané wawangson, wasanané hening pamanguné,

ninditaning tata nityasani, sasananing ngening, sumengka sumengku.

Sumengkaning dirya tan driyani, sasiki saenggon, unggyaning kang ngerah rejuning rèh,

marawarsa ya mamarta adi, ingkang sidi-sidi, weweraning kalbu.

Kalabaning loba kang ngalabi, labaning kalangon, ngalang-alang ala langenané, ing ilana

ywa ngangen-angeni, ngungun moneng maring, riringa rèh arum.

Cahmbanjar 88

Arum-arum pangruruming ragi, ragan-ragan angron, ngraraketi rikat pangruketé, yèn

wus kagem agemen kang gemi, gumun nibèng sari, sarira sarimur.

Haywa wahya wiyar angaweri, warana tan andon, anungnungku nukar karanané,

nanakera karaning olih, ngulah angalulu, lukita kaluluh.

Tan apanjang wasitanira nis rinugut pan angg op, panggagating gita wasanané,

Surakarta wedharing palupi, serat sun arani, pan Sasana Sunu.