sepsis ayu

42
REFRESHING SEPSIS Diajukan untuk memenuhi tugas Program Pendidikan Profesi Dokter SMF Ilmu Bagian Bedah Oleh: Gustiayu Putri 2011730138 Pembimbing : dr.H. Wiyoto Sukardi, Sp. B BAGIAN ILMU BEDAH PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CIANJUR CIANJUR

Upload: astrie-kartika-sari

Post on 10-Dec-2015

43 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

1MEITA PRIASTI SEVENTIA 22010080011RESUME KASUS 1 REPRODUKSI III INFEKSI SALURAN REPRODUKSI DEFINISIInfeksi saluran reproduksi (ISR)adalah masuk dan berkembangbiaknya kuman penyebab infeksi kedalam saluran reproduksi. Kuman penyebab infeksi tersebut dapat berupa bakteri, jamur, virus dan parasit.Perempuan lebih mudah terkena ISR dibandingkan laki-laki, karena saluran reproduksi perempuan lebih dekat ke anus dan saluran kencing. ISR pada perempuan juga sering tidak diketahui , karena gejalanya kurang jelas dibandingkan laki-laki.JENIS-JENIS ISR1. ISR endogen Jenis ISR yang paling umum di dunia. Timbul akibat pertumbuhan tidak normal organisme yang seharusnya tumbuh normal didalam vagina, antara lain vaginosis bakteri dan kandidiasis yang mudah disembuhkan. ISR endogen juga dihubungkan dengan persalinan prematur dan bayi berat lahir rendah(BBLR). 2. ISR iatrogenik atau yang berhubungan dengan prosedur medis Timbul ketika penyebab infeksi (bakteri atau mikroorganisme lainnya) masuk ke dalam saluran reproduksi melalui prosedur medis yang kurang/tidak steril. Misalnya induksi haid, aborsi, pemasangan AKDR (IUD), saat melahirkan, atau bila infeksi yang sudah ada di saluran reproduksi bagian bawah menyebar melalui mulut rahim hingga ke saluran reproduksi bagian atas. Beberapa gejala yang mungkin timbul antara lain: Rasa sakit di sekitar panggul Demam tinggi secara tiba-tiba

TRANSCRIPT

REFRESHINGSEPSIS

Diajukan untuk memenuhi tugas Program Pendidikan Profesi Dokter SMF Ilmu Bagian Bedah

Oleh:

Gustiayu Putri 2011730138

Pembimbing :

dr.H. Wiyoto Sukardi, Sp. B

BAGIAN ILMU BEDAH

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CIANJUR

CIANJUR

2015

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T atas segala limpahan rahmatnya

serta karunianya, sehingga syukur Alhamdulillah penulis dapat menyelesaikan refreshing dengan

judul “SEPSIS”. Refresing ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan

kepaniteraan klinik ilmu penyakit Bedah di RSUD Cianjur.

Penulis menyadari bahwa refreshing ini dapat terselesaikan berkat bantuan dari berbagai

pihak, untuk itu dalam kesempatan ini penulis menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada yang terhormat dr. H. Lili K.D, Sp.B, atas keluangan waktu dan bimbingan yang telah

diberikan, serta kepada teman sesama kepaniteraan klinik ilmu bedah dan perawat yang selalu

mendukung, memberi saran, motivasi, bimbingan dan kerjasama yang baik sehingga dapat

terselesaikannya refreshing ini.

Penulis menyadari bahwa dalam menyusun refreshing ini masih memiliki banyak

kekurangan. Oleh karena itu, kami sangat terbuka untuk menerima segala kritik dan saran yang

diberikan demi kesempurnaan refreshing ini. Semoga refreshing ini dapat bermanfaat bagi

banyak pihak dan setiap pembaca pada umumnya. Amin...

Wassalamu`alaikum Wr. Wb.

Cianjur, 6 Januari 2015

Penulis

DAFTAR PUSTAKA

KATA PENGANTAR.....................................................................................................................2

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................................3

BAB I...............................................................................................................................................4

PENDAHULUAN...........................................................................................................................4

BAB II.............................................................................................................................................5

PEMBAHASAN..............................................................................................................................5

I. Definisi dan Terminologi..................................................................................................5

II.       Epidemiologi.....................................................................................................................7

III.     Patogenesis........................................................................................................................8

IV.     Gejala klinis.....................................................................................................................16

V.      Penatalaksanaan..............................................................................................................21

BAB III..........................................................................................................................................28

PENUTUP.....................................................................................................................................28

BAB IV..........................................................................................................................................29

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................29

BAB I PENDAHULUAN

Terdapat beberapa hal yang menjadi pertanyaan mengenai keadaan fisik pasien-pasien

bedah dengan keadaan yang sakit parah. Pasien tersebut menunjukkan pola gejala-gejala klinis

takipnea, takikardi, demam, diaforesis dan lekositosis yang biasanya berhubungan dengan infeksi

lokal yang parah, bakteriemia, diseminasi produk sel mikroba (endotoksin) atau kombinasi dari

keadaan tersebut. Pasien-pasien tersebut umumnya kita hubungkan dengan suatu diagnosis

“sepsis” atau “septikemia”. Istilah ini secara tradisional memberikan pengertian suatu

manifestasi klinis yang menggambarkan infeksi invasif yang tidak terkendali yang akibatnya

menjadi suatu manifestasi sistemik penyakit tersebut. Secara umum dapat dikatakan bahwa

proses infeksi yang terjadi mengalami perubahan dari lokal menjadi sistemik. Bukti-bukti telah

menunjukkan bahwa reaksi sistemik sepsis bukan merupakan reaksi spesifik atas suatu jenis

mikroba tetapi merupakan reaksi non-spesifik host (pasien). Bakteri, jamur maupun virus dapat

mendatangkan respon sistemis yang sama pada host.

Reaksi inflamasi yang bersifat non-spesifik menjadi dasar atas semua peristiwa ini.

Dengan demikian setiap peristiwa yang dapat membangkitkan reaksi inflamasi, walaupun secara

lokal (seperti trauma tumpul, luka bakar) bila terjadi secara hebat, dapat mengaktifkan reaksi

sistemik yang menunjukkan suatu kumpulan gejala klinis “sepsis”, tanpa ditemukannya mikroba

patogen sebagai penyebab. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa “sepsis” yang disebabkan

infeksi mikroba dan aseptik “sepsis” yang disebabkan stimulus lain memberikan gambaran klinis

yang serupa yaitu suatu respons sistemik host terhadap reaksi inflamasi sistemik.

Kata “sepsis” pertama kali digunakan oleh Hippocrates, lebih dari dua milenium yang

lalu, untuk menggambarkan proses penguraian jaringan dengan hasil akhir penyakit, bau yang

tidak sedap dan kematian. Sepsis merupakan lawan dari “pepsis” yang berarti proses penguraian

jaringan yang memberikan kehidupan yang berhubungan dengan pencernaan makanan atau

fermentasi anggur untuk menghasilkan wine. Dengan berhasil diidentifikasikannya

mikroorganisme sebagai penyebab infeksi, kata sepsis lalu mempunyai pengertian infeksi

mikroba yang berat, sementara septikemia mempunyai arti keberadaan atau invasi bakteri di

dalam sirkulasi.

BAB IIPEMBAHASAN

I. Definisi dan Terminologi Terminologi mengenai sepsis yang banyak dipakai saat ini adalah hasil konferensi

American Collage of Chest Physician/Society of Critical Care Medicine pada tahun 1992, yang

menghasilkan suatu konsensus :

Infeksi merupakan suatu fenomena mikrobiologi yang ditandai dengan adanya invasi terhadap

jaringan normal/sehat/steril oleh mikroorganisme atau hasil produk dari mikroorganisme tersebut

(toksin).

Bakteriemia berarti terdapatnya bakteri dalam aliran darah, akibat suatu fokus infeksi yang

disertai dengan adanya bakteri yang terlepas / lolos ke dalam sistem sirkulasi.

SIRS (systemic inflammatory respons syndrome) merupakan respon inflamasi sistemik yang ditandai oleh adanya dua atau lebih tanda berikut :

- Hipertermia > 380C atau hipotermia <360C- Takikardia > 90 x/menit- Takipnea > 20 kali/menit atau PaCO2 <4,3 kPa- Neutrofilia >12 x 10-91-1 atau neutropenia < 4 x 10-91-1

Sindrome sepsis adalah keadaan SIRS dengan bukti adanya infeksi, Infeksi gram (-) atau, lebih jarang, gram (+). Syok sepsis adalah sepsis dengan syok sistemik.

Sepsis Berat (Severe Sepsis) adalah bentuk sepsis yang disertai disfungsi organ, hipoperfusi

jaringan (dapat disertai ataupun tidak disertai keadaan asidosis laktat, oliguria, gangguan status

mental/kesadaran) atau hipotensi.

Syok Septik diartikan sebagai sepsis yang disertai dengan hipotensi dan tanda-tanda perfusi

jaringan yang tidak adekuat walaupun telah dilakukan resusitasi cairan (asidosis laktat, oliguria,

gangguan status mental/kesadaran).

Hipotensi adalah suatu keadaan yang ditandai dengan tekanan darah sistolik < 90 mmHg atau

adanya penurunan > 40 mmHg dari tekanan darah dasarnya.

MODS (Multiple Organ Dysfunction Syndrome) adalah keadaan perubahan fungsi organ dengan

ditandai keadaan homeostasis tidak dapat dipertahankan tanpa adanya intervensi terapi.

MOSF (Multiple Organ System Failure) adalah keadaan terganggunya sistem organ sistemik

pada keadaan akut walaupun telah dilakukan tindakan stabilisasi homeostasis.

II.                EpidemiologiDari studi epidemiologis yang dilakukan Martin et al (2003), menunjukan bahwa di

Amerika Serikat dari tahun 1979 sampai dengan tahun 2000 (22 tahun) dilaporkan terdapat

10.319.418 kasus sepsis (merupakan 1.3% dari semua kasus rawat inap). Jumlah pasien sepsis

yang dirawat setiap tahun meningkat dari 164.072 pada tahun 1979 menjadi 659.935 pada tahun

2000 (meningkat 13,7% per tahun). Karakteristik demografi dan kondisi yang menyertai pada

populasi pasien sepsis dari masing-masing subperiode dapat dilihat dari tabel 1 dibawah ini. Usia

rata-rata pasien sepsis meningkat dari 57, 4 tahun pada subperiode pertama menjadi 60,8 tahun

pada subperiode terakhir. Usia rata-rata pasien wanita yang terkena sepsis adalah 62,1 tahun

sedangkan pada pria adalah 56,9 tahun.

Dari penelitian ini juga diketahui bahwa dari tahun 1979 sampai 1987, bakteri penyebab

sepsis yang dominan adalah bakteri Gram negatif, sedangkan pada subperiode berikutnya adalah

bakteri Gram positif. Diantara mikroba yang menyebabkan sepsis pada tahun 2000, bakteri Gram

positif merupakan 52,1% kasus, sedangkan bakteri Gram negatif 37,6%, infeksi polimikroba

4,7%, anaerob 1% dan infeksi jamur 4,6%.

Selama penelitian tersebut, didapat angka kematian akibat sepsis rata-rata adalah 27,8%

pada subperiode pertama dan menurun menjadi 17,9% pada subperiode terakhir. Proprosi pasien

sepsis yang mengalami kegagalan organ, suatu petanda keparahan sepsis, meningkat dari 19,1%

pada 11 tahun pertama menjadi 30,2% pada tahun-tahun terakhir. Kegagalan organ terjadi pada

33,6% pasien selama subperiode terakhir (1995 – 2000). Kegagalan organ juga mempengaruhi

angka mortalitas: kurang lebih 15% pasien tanpa kegagalan organ meninggal dunia, sementara

70% pasien dengan kegagalan 3 organ atau lebih meninggal dunia. Organ yang paling sering

mengalami kegagalan adalah paru-paru (18%) dan ginjal (15%); sedangkan yang lebih jarang

adalah kegagalan kardiovaskular (7%), kegagalan hematologis (7%), kegagalan metabolik (7%)

dan kegagalan neurologis (2%).

III.             Patogenesis

Inflamasi yang merupakan respon tubuh proteksi yaitu melokalisir area yang cedera atau

destruksi jaringan yang bertujuan merusak, mengencerkan, atau membatasi penyebab trauma dan

kerusakan jaringan tersebut. Pada tahap awal reaksi inflamasi, apapun pemicunya (pemicu yang

berbeda) selalu melibatkan aktivasi sinyal-sinyal intraseluler (genes expressing cytokines

intraseluler dan mediator-producing enzymes). Respon inflamasi ditandai dengan :

-          aktivasi sistem kaskade inflamasi : komplemen, koagulasi, kinin, fibrinolisis

-          respon dari efektor sel-sel radang : sel endotel, lekosit, monosis, makrofag, sel mast. Tipe sel

efektor yang pertama kali diaktivasi sangat tergantung pada tipe pemicu cedera (perdarahan,

iskemia, kontaminasi bakteri). Sel efektor melepaskan mediator dan sitokin : oxygen radicals,

histamin, eicosanoid, faktor koagulasi.

Seluruh proses saling terkait satu sama lain melalui mekanisme peningkatan (up-

regulatory mechanism) atau penurunan reaksi inflamasi (down-regulatory mechanism) yang

sangat komplek. Walaupun pemicunya berbeda, tetapi patofisiologinya tidak lepas dari

penyebabnya adalah infeksi atau non-infeksi dan bentuk akhirnya adalah sama. Oleh karena itu

saat ini mekanisme seperti itu disebut sebagai common pathway of inflamatory respons.

Infeksi lokal pada lokasi anatomi tertentu didefinisikan sebagai aktivasi lokal respon inflamasi

tubuh, akibat proliferasi bakteri patogen di jaringan tersebut. Intensitas dari respon inflamasi

tersebut merupakan refleksi biologik yang bergantung pada hebat serta intensitas trauma yang

terjadi atau berat-ringannya infeksi yang menyebabkannya. Suatu trauma atau infeksi ringan

menyebabkan respon inflamasi lokal terbatas atau LIRS (Local Inflamatory Respon Syndrome).

Namun apabila luka traumatik tersebut luas dan berat atau infeksi yang masif maka akan terjadi

respon inflamasi sistemik atau Sistemic Inflamatory Response Syndrome (SIRS). Respon

inflamasi hebat yang disertai dengan terjadi LIRS pada organ jauh (remote organ) akibat

dilepaskannya zat kemokin ke dalam sirkulasi sistemik akan mengakibatkan terjadinya MODS

(Multiple Organ Dysfunction Syndrome).

Terdapatnya SIRS menggambarkan terjadi kegagalan kemampuan organ melokalisir suatu proses

inflamasi lokal. Hal ini dapat terjadi akibat :

(1)    Kuman patogen merusak/menembus pertahanan lokal dan berhasil masuk ke sirkulasi

sistemik.

(2)    Terlepasnya endotoksin/eksotoksin hasil kuman patogen berhasil masuk ke dalam sirkulasi

sistemik walaupun mikroorganisme terlokalisir.

(3)    Inflamasi lokal berhasil mengeradikasi mikroorganisme/produk tetapi intensitas respon lokal

sangat hebat mengakibatkan terlepas dan terdistribusi sinyal-sinyal mediator inflamasi ke

sirkulasi sistemik (sitokin kemoatraktan (chemokines), sitokin pro-inflamasi : TNF, interleukin

1,6,8,12,18, interferon-g, sitokin antiinflamatory : interleukin 4,10; komplemen, cell-derived

mediator : sel mast, lekosit (PMNs), makrofag, reactive oxygen species (ROS), nitrit oxide (NO),

eicosanoids, platelet actvating factor (PAF)).

Reaksi inflamasi dipicu oleh berbagai injury events (activators), yaitu :

1.      Mikroorganisme

Mekanisme pertahanan normal tubuh terhadap infeksi terdiri dari pertahanan fisik (kulit-

membran mukosa), pertahanan kimia, sistem fagosit (PMNs, makrofag, monosit), humoral

immunity (sistem antibodi, komplemen) dan cellular immunity.

Faktor-faktor penentu dapat atau tidak terinfeksi oleh mikroorganisme pada individu adalah

patogenitas mikroorganisme, status pertahanan tubuh host, lingkungan dan benda asing.

2.      Endotoksin dan eksotoksin

Endotoksin berasal dari bagian dinding sel bakteri gram-negatif, yang terdiri dari lapisan

membran dalam dan luar. Pada lapisan luar terdapat lipopolisakarida (LPS), suatu protein yang

mempunyai efek toksik langsung dan tidak langsung pada berbagai jenis sel efektor, seperti

pemicu lepasnya mediator endogen dari berbagai sel efektor (mediator primer). Target sel utama

atau efektor utama yang dipicu endotoksin adalah sel endotel dari pembuluh darah.

Endotoksin merupakan stimulan makrofag yang sangat kuat secara langsung atau melalui

aktivasi bioaktif fosfolipid. LPS berinteraksi dengan membran sel sel makrofag melalui

terjadinya reaksi reseptor-antigen yang menyebabkan terangsangnya sekresi bermacam-macam

sitokin.

3.      Jaringan nekrotik

-          Merupakan aktivator untuk aktifnya makrofag

-          Memberikan lingkungan baik bagi pertumbuhan maupun invasi kuman

4.      Trauma jaringan lunak

- Inisiator inflamasi akan teraktivasi sehingga terjadi perluasan pelepasan mediator

sekunder atau sinyal pada sel efektor.

5.      Ischaemic-reperfusion

-          Terjadi iskemia akibat hipoperfusi dan hipotensi jaringan sehingga oksigenisasi jaringan

akan berkurang, yang berakibat timbulnya perubahan dari metabolisme aerob menjadi anaerob di

tingkat seluler.

-          Terjadi reperfusi akibat membaiknya kembali hipoperfusi-hipotensi disertai dengan

oksigenisasi yang baik pada sel/jaringan pasca iskemia.

Aktivator-aktivator tersebut akan memicu aktivasi 5 inisiator inflamasi. Inisiator tersebut akan

memicu pula pelepasan mediator atau merupakan sinyal pada efektor sekunder yang bertanggung

jawab sebagai elemen-elemen dari komponen respon inflamasi. Kelima inisiator tersebut akan

saling mempengaruhi dan saling meningkatkan respon fisiologik yang spesifik dalam bentuk

berbagai elemen komponen inflamasi, yaitu :

1.                  Aktivasi protein koagulasi (coagulation protein).

Merupakan prinsip, bahkan yang terpenting sebagai inisiator inflamasi. Cedera pada

jaringan dan pembuluh darah kecil akan merangsang terjadinya kaskade pembekuan

(coagulation cascade) untuk mencapai hemostasis lokal, tetapi aktivasi protein koagulasi akan

menghasilkan produk yang dapat merangsang terjadinya reaksi inflamasi. Faktor XII (juga

dikenal sebagai Faktor Hageman) yang aktif adalah suatu mediator penting untuk terjadinya

perubahan mikrosirkulasi pada luka. Walaupun efek langsungnya minimal, namun faktor ini

sangat berpengaruh dalam stimulasi dan penguatan inisiator yang lain.

2.                  Platelet aktif.

Platelet seperti layaknya kaskade pembekuan, biasanya diasosiasikan dengan proses

trombosis dan hemostasis. Platelet yang aktif akan melepaskan enzim yang merangsang respon

inflamasi. Larutan platelet yang lisis merupakan aktivator inflamasi yang poten bila disuntikkan

pada jaringan hewan percobaan. Peran vasoaktif produk platelet telah diketahui, terutama

tromboxan A2 sebagai vasokonstriktor yang poten.

3.                  Sel mast

Mast sel yang distimulasi oleh faktor XII aktif dan produk platelet merangsang

dilepaskannya histamin dan produk vasoaktif yang lain. Histamin yang khas dari mast sel akan

segera merelaksasi otot polos pembuluh darah dan merangsang vasodilatasi mikrosirkulasi pada

jaringan disekitar luka. Vasodilatasi ini akan mengakibatkan peningkatan permeabilitas vaskuler,

peningkatan aliran darah dan penurunan kecepatan aliran darah.

4.                  Contact activating system.

Pre-kalikrein adalah serum protein yang ada dimana-mana dan menunggu aktivasi oleh

stimulus yang tepat. Keberadaan faktor XII yang aktif akan menyebabkan konversi prekalikrein

menjadi kalikrein. Kalikrein ini kemudian berperan sebagai katalisator pembentukan bradikinin

dari kininogen berat molekul tinggi. Bradikinin adalah kode yang poten yang akan terikat pada

endotel reseptor dan merangsang pembentukan nitrit oksida pada sel tersebut. Nitrit oksida ini

akan berdifusi ke otot polos pembuluh darah dan akan menyebabkan relaksasi. Efek yang terjadi

sama dengan histamin, yaitu vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas mikrovaskuler tetapi

dengan mekanisme yang unik dan berbeda dengan histamin.

5.                  Kaskade komplemen (complement cascade).

Aktivasi komplemen dapat terjadi melalui dua cara, yaitu cara konvensional dan cara

alternative. Aktivasi ini akan menghasilkan suatu bentukan protein yang akan melarutkan sel

patogen. Lebih penting lagi, aktivasi kaskade komplemen oleh inflamasi akan menghasilkan

produk yang berperan penting dalam fungsi vasoaktif dan chemoattractant. Hal yang menarik

adalah aktivasi protein komplemen akan juga mengaktivasi protein koagulasi, platelet, mast sel

dan secara tidak langsung produksi bradikinin.

Dengan demikian dapat terlihat bahwa aktivasi dari salah satu inisiator akan

mengaktivasi inisiator yang lain. Efek yang dihasilkan adalah : peningkatan permeabilitas

mikrovaskuler, peningkatan aliran mikrovaskuler, penurunan kecepatan aliran dan pembentukan

edema jaringan lunak. Yang terpenting, semua produk hasil pemecahan dan enzim protein yang

dihasilkan dalam aktivasi inisiator ini menciptakan situasi lokal disekitar trauma yang kaya akan

chemoattracttant.

Menurut teori henti mikrosirkulasi (microcirculatory arrest) tentang terjadinya MOF

(Multiple Organ Failure), setiap proses biologi dalam luka trauma sederhana atau infeksi

jaringan lunak yang tampak tenang diperankan oleh mediator dan efektor yang sama untuk

terjadinya SIRS maupun sekuele-nya.

Berikut ini adalah 10 langkah dalam hipotesis tersebut :

1.                  Aktivasi reaksi inflamasi.

Rangsang biologis yang sama pada luka yang tenang dapat merangsang reaksi inflamasi

sistemik, meskipun infeksi berat tetap merupakan faktor risiko terpenting terhadap terjadinya

SIRS. Pada infeksi yang berat ini, insult terus terjadi dengan adanya proliferasi mikroba yang

terus menerus mendorong berlangsungnya reaksi kaskade inflamasi. Tidak seperti pada trauma,

proses infeksi adalah proses yang berlangsung terus menerus hingga mempunyai kemungkinan

besar pada suatu saat akan melewati batas ambang yang menyebabkan terjadinya reaksi sistemik.

Namun perlu digarisbawahi bahwa penyebaran kuman pathogen atau produk kuman tersebut

bukan merupakan syarat untuk terjadinya reaksi sistemik.

Aktivasi inflamasi sistemik biasanya bukan karena insult tunggal, biasanya disebut “two-

hit” hipotesis dari gagal organ. Hipotesis ini menyebutkan dibutuhkannya dua pencetus sebelum

terjadinya reaksi inflamasi sistemik. Insult inisial seperti perdarahan, trauma berat atau operasi

besar akan menimbulkan reaksi inflamasi yang bila diikuti oleh aktivator kedua (seperti infeksi,

perdarahan ulang, operasi ulang) dalam jangka waktu yang pendek akan mengakibatkan SIRS.

2.                  Aktivasi inisiator

Aktivasi kaskade pembekuan (Coagulation Cascade) akan mengakibatkan DIC

(Disseminated Intravascular Coagulation) tanpa tanda klinis perdarahan. Pasien akan mengalami

pemanjangan PT (Prothrombine Time) dan APTT (Activated Partial Thromboplastin Time)

sebagai akibat penggunaan protein koagulasi. Biasanyan juga terjadi trombositopenia. Juga

terjadi aktivasi protein komplemen. Efek bradikinin dan histamin akan terlihat jelas pada fase

ketiga.

3.                  Konsekuensi sistemik fase pertama

Mediator yang dihasilkan pada fase pertama, seperti bradikinin dan histamin akan

mengakibatkan vasodilatasi pada mikrosirkulasi, baik arteri maupun vena, dengan akibat

menurunnya tahanan vaskuler sistemik dan meningkatnya kapasitas vaskuler. Bila tidak ada

dukungan preload yang cukup maka pasien akan mengalami hipotensi karena hipovolemia

relative. Bila ada dukungan preload yang cukup maka akan terjadi peningkatan Cardiac Index.

Perubahan ini juga menghasilkan peningkatan permeabilitas mikrosirkulasi dengan akibat

terjadinya edema sistemik.

4.                  Distribusi sistemik chemoattracttant dan kode Sitokin Proinflamasi (Proinflamatory

cytokine).

Aktivasi inisiator akan mengakibatkan didistribusikannya chemoattracttant secara

sistemik. Produk hasil penguraian protein dan enzim sel yang biasanya hanya ada pada jaringan

lunak didistribusikan secara sistemik. Chemoattracttant ini akan menempel pada netrofil dan

akan memberikan kode pada seluruh sel endotel maupun monosit. Monosit ini menjadi diliputi

oleh chemoattracttant dan tidak bergerak ke daerah trauma namun menghasilkan sitokin

proinflamasi yang disekresi ke cairan ekstrasel.

5.                  Penempelan netrofil.

Distribusi sistemik chemoattracttant mengakibatkan aktivasi proses adhesi sel endotel

dengan netrofil. Proses ini bias terjadi pada seluruh mikrosirkulasi namun nampak lebih banyak

terjadi pada sirkulasi viseral daripada sirkulasi sistemik. Sistem organ yang menjadi target

MODS (yaitu paru, hati, usus) nampak mempunyai tingkat penempelan netrofil yang terbesar.

6.                  Aktivasi penuh penempelan netrofil oleh chemoattracttant.

Seperti disebutkan diatas, pada luka yang normal, netrofil seharusnya berperan sebagai

proses fagositosis, tetapi rangsangan sitokin proinflamasi seperti TNF mengakibatkan kekacauan

perilaku fagositosis termasuk pelepasan zat reaktif oksigen dan enzim lisosom. Zat beracun ini

segera dikeluarkan di luar dinding pembuluh darah, peroksidase lemak dan “self-digestion”

mulai terjadi.

7.                  Trauma dan vasokonstriksi pada mikrosirkulasi.

Pelepasan zat toksik lisosom dari netrofil yang terstimulasi trauma pada sel endotel dan

merupakan tambahan rangsang bagi kaskade inflamasi. Trauma pada sel endotel mengakibatkan

hilangnya regulasi otot polos pembuluh darah. Reaksi pembekuan teraktivasi dan agregasi

platelet terjadi pada tempat trauma kimiawi oleh zat reaktif oksigen dan enzim toksik lisosom

yang lain. Respon yang dihasilkan adalah vasokonstriksi yang mungkin disebabkan oleh

thromboxane A2. Terbentuk juga trombus lokal pada tempat trauma endotel di dalam

mikrosirkulasi.

8.                  Terhentinya mikrosirkulasi.

Efek gabungan dari vasokonstriksi dan pembentukan trombus pada mikrosirkulasi adalah

penurunan yang drastic atau bahkan penghentian aliran darah pada mikrosirkulasi. Walaupun

trombosis total dan vasokonstriksi merupakan strategi yang normal dalam melokalisir trauma

dan infeksi, trombosis dan vasokonstriksi ini dapat menjadi dasar terjadinya gangguan fungsi

suatu organ.

9.                  Nekrosis fokal.

Akibat proses trombosis dan vasokonstriksi adalah hilangnya perfusi efektif dengan

akibat nekrosis fokal. Nekrosis fokal ini terjadi karena jumlah netrofil yang jauh lebih kecil dari

jumlah sel endotel, namun seiring dengan berlangsungnya reaksi inflamasi yang akan terus

memproduksi netrofil dengan akibat makin banyak jaringan fungsioanl yang mengalami nekrosis

sehingga proses disfungsi pada MODS terus berlangsung.

10.              Proses “self-energizing” dan “self-recycling”

Hipotesis berhentinya mikrosirkulasi ini nampak sederhana, dengan dihilangkannya

rangsang atau aktivator, maka seharusnya produksi chemoattracttant akan berhenti dan seluruh

proses juga akan menurun. Namun pada kenyataannya proses inflamasi sistemik ini

menghasilkan trauma pada jaringan dan nekrosis yang juga mengakibatkan inflamasi sistemik.

Dengan demikian lesi pada suatu end-organ juga merupakan aktivator baru terhadap reaksi

inflamasi.

Sejalan dengan patofisiologi diatas, maka mediator reaksi inflamasi dapat diidentifikasi

dan dapat digunakan untuk mengetahui adanya reaksi sepsis. Peningkatan beberapa kadar sitokin

seperti TNF-a (Tumor nekrosis Faktor - a), Interleukin (IL-6, IL-8 dan IL-10) memang

terlihat pada pasien sepsis dan biasanya berhubungan dengan outcome yang jelek. Interleukin-6

biasanya digunakan sebagai indicator dalam penelitian pengobatan sepsis.

Pertanda biologis lain yang paling terkenal dan paling umum dipakai adalah CRP (C-

reactive Protein). CRP adalah protein yang diproduksi di hati pada fase akut, kadarnya dalam

plasma meningkat dalam keadaan infeksi sebagai respon adanya sitokin dalam plasma. CRP

disebut sebagai pertanda yang sangat berguna pada sepsis dan lebih peka dibandingkan lekosit

dan suhu tubuh.

Prokalsitonin, precursor kalsitonin juga disebut sebagai salah satu pertanda sepsis. Kadar

plasma prokalsitonin digunakan untuk membedakan infeksi dari proses inflamasi yang lain, juga

dilaporkan mempunyai nilai prediksi yang lebih baik dibandingkan CRP maupun IL-6. Peneli

lain melaporkan prokalsitonin mempunyai spesifisitas dan sensitivitas yang lebih baik

dibandingkan dengan CRP, leukosit maupun suhu tubuh pada peningkatan kadar TNF dan IL-6.

Pertanda yang lain adalah neopterin, elastase dan fosfolipase A2.

IV.                Gejala klinisDalam suatu penelitian yang melibatkan sejumlah besar pasien dengan respon septik

(yaitu SIRS), Siegel et al. mengidentifikasi adanya empat tahap perubahan patofisiologi

hemodinamik dan metabolik. Walaupun laporan ini terutama menyoroti respon pasien terhadap

sepsis, namun data ini bias, dianggap sebagai prototipe SIRS. Interpretasi data ini dengan teliti

menunjukkan bahwa SIRS adalah suatu yang berkelanjutan tergantung respon pasien terhadap

suatu rangsang dan kemampuan cadangan fisiologis pasien dalam menghadapi perubahan

fisiologis umum yang terjadi.

Keempat tahap tersebut adalah :

1.                  Tahap A (Fase Respon SIRS Transien)

Menggambarkan terjadinya respon normal terhadap stress seperti operasi berat, trauma

atau penyakit. Fase ini ditandai dengan penurunan ringan tahanan vaskuler sistemik dan

peningkatan COP yang sepadan. Perbedaan kadar oksigen arteri dan vena tetap sama seperti

keadaan normal.

Peningkatan Cardiac index ini menunjukkan adanya peningkatan kebutuhan oksigen yang

sesuai dengan respon hipermetabolik terhadap stress dengan kadar laktat yang masih normal. Hal

ini merupakan respon normal yang terjadi pada setiap pasien yang mengalami trauma berat atau

operasi besar.

Bila tidak terjadi komplikasi, respon SIRS singkat ini menggambarkan efek sistemik dari

reaksi inflamasi. Reaksi ini akan kembali pada keadaan fisiologis seiring dengan penyembuhan

penyakit.

2.                  Tahap B (Fase MODS)

Menunjukkan respon terhadap stress yang berlebihan dimana terjadi penurunan tajam

dari tahanan vaskuler sistemik yang akan merangsang jantung untuk meningkatkan COP. Akibat

dari keadaan tersebut, maka dibutuhkan ekspansi cairan untuk mencukupi tekanan preload

jantung (sebaiknya dengan cairan kristaloid). Bila hal ini tidak tercapai maka pasien akan

mengalami hipotensi. Sementara itu selisih antara kadar oksigen arteri dan vena mulai

menyempit, yang diikuti dengan meningkatnya kadar laktat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa

telah terjadi gangguan pemanfaatan oksigen oleh jaringan karena abnormalitas enzim

metabolisme sel.

Pada tahap ini mulai tampak tanda-tanda awal MODS. Serum laktat meningkat dan

terjadi desaturasi darah arteri. Kadar bilirubin serum mulai meningkat diatas nilai normal. Pada

masa sebelum penggunaan metoda pencegahan stress ulcer gastric mukosa, aspirasi dari pipa

lambung menunjukkan cairan yang berwarna kehitaman atau bahkan berdarah. Kadar serum

kreatinin mulai naik diatas 1,0 mg/dL.

3.                  Tahap C (Fase Dekompensasi)

Penurunan tahanan vaskuler sistemik menjadi nyata sementara kemampuan kompensasi

jantung tidak mampu lagi mempertahankan tekanan arteri karena penurunan tekanan afterload

yang sangat drastis. Cardiac output dapat normal atau sedikit meninggi tetapi pada keadaan

tekanan afterload yang sangat rendah, tekanan arteri tidak dapat dipertahankan lagi. Hipotensi

akan terjadi meskipun tekanan preload mencukupi. Keadaan hipotensi ini yang biasanya disebut

septik syok atau keadaan syok yang berasal dari sepsis. Secara klinis pasien ini menunjukkan

suatu kontraindikasi, meskipun dalam keadaan hipotensi namun tetap teraba hangat.

4.                  Tahap D (Fase Terminal)

Merupakan gambaran hemodinamik pasien SIRS pada fase pre terminal. Keadaan

sirkulasi menjadi hipodinamik dengan cardiac output yang rendah, dimana hal ini akan

menyebabkan respon vasokonstriksi otonom sebagai reaksi tubuh untuk mempertahankan

tekanan darah, tahanan vaskuler sistemik meningkat jauh diatas normal. Konsumsi oksigen

sistemik juga sangat rendah sebagai akibat gangguan pemanfaatan oksigen oleh jaringan perifer,

cardiac output yang tidak adekuat dan vasokonstriksi perifer yang ekstrim. Kadar laktat menjadi

sangat tinggi. Sebagian besar pasien akan mengalami kematian akibat fase ini.

Tabel 2. Tahapan SIRS

Fase COP SVR Laktat

Transien ↑ ↓ N

MODS ↑↑↑ ↓↓ ↑

Dekompensasi N ↓↓↓ ↑↑

Terminal ↓↓↓ ↑↑↑ ↑↑

Sejalan dengan pembagian diatas, berdasarkan pemantauan keadaan klinis pasien dengan

sepsis, pasien biasanya berada dalam keadaan hiperdinamik (juga biasa disebut sindrom sepsis)

atau dalam keadaan hipodinamik (yang juga biasa disebut syok septik).

Tabel 3. Perbandingan sepsis hiperdinamik (sindrom sepsis) dan hipodinamik (Syok septik)

Hiperdinamik Hipodinamik

Klinis

Suhu ↑, Menggigil ↑ / ↓

Kulit Kering, hangat Dingin

Jantung Takikardi Takikardi

Paru Takipneu Takipneu

Tekanan darah ↓ ↓

Status mental Berubah Obtudansi

Produksi urin Variabel Oliguri

Laboratorium

Lekosit ↑ ↑ / ↓, geser ke kiri

Keasaman Asidosis metabolik Asidosis metabolik

Gula darah Hiper/Hipoglikemia

Laktat 1,5 – 2,0 mM/L > 2,0 mM/L

Trombosit Trombositopenia

VO2 ↑ ↓

(A-V) O2 Normal / ↓ ↓

Tekanan baji Normal / ↓ Bervariasi

Fisiologi

COP ↑ Tidak adekuat

SVR ↓ ↑

Mikrovaskuler Kerusakan lokal Kerusakan lokal

Pada tahap awal, pasien akan jatuh dalam keadaan hiperdinamik (terjadi sindrom sepsis).

Meskipun dalam keadaan hiperdinamik, pada saat itu juga terjadi ketidakstabilan hemodinamik,

yang membutuhkan penambahan cairan infus dan zat inotropik untuk mempertahankan DO2 dan

tekanan perfusi yang adekuat. Cardiac output meningkat 1,5 sampai 2 kali nilai normal yang

diiringi dengan penurunan tahanan vaskuler yang disebabkan oleh produk a dan β agonist. Hal

ini akan mengakibatkan hipotensi dan gangguan fungsi jantung. Asidosis laktat ringan mulai

terjadi. Bila gangguan aliran darah tidak dapat terkoreksi, penurunan fungsi ke organ vital akan

mengakibatkan kerusakan jaringan. Perubahan status neurologis juga terjadi dimana pasien

menjadi letargi.

Bila proses inflamasi terus berlangsung, sementara volume tidak dapat dipertahankan dan

terjadi penurunan fungsi jantung, pasien akan jatuh pada keadaan hipodinamik syok (syok

septik) dan keadaan ini mempunyai angka mortalitas yang tinggi yaitu 50-80%.

Pengenalan timbulnya MOF secara dini merupakan hal yang esensial sehubungan dengan

tingginya mortalitas MOF. Semua gejala dan tanda yang mengarah kepada terganggunya fungsi

organ harus segera dikenali, demikian pula kemungkinan terdapatnya sumber-sumber infeksi.

Dengan demikian penanganan yang cepat dapat segera diberikan dan progresifitas kerusakan

organ dapat segera dihentikan.

Tabel 4. Gejala awal MOF

ORGAN EFEK TANDA KLINIK

Paru

Tahanan vaskuler pulmoner ↑ Takipneu, hipoksia

ARDS akut Takipneu, hipokarbia

Atelektasis Alkalosis respiratorik

Emboli paru Takipneu

Pneumonia Takipneu, suhu tinggi

Hati

Hipoalbuminemia Gangguan koagulasi

Bilirubinemia Ikterus

Asam amino ↑ Hepatomegali

Saluran cerna

Tukak lambung Hematemesis/melena

Gastritis hemoragik Nyeri perut, syok

Kolesistitis akut Nyeri perut, suhu ↑

Trombosis v.mesenterika Nyeri perut, syok

Ginjal

Kreatinin ↑ Oligouria / anuria

Nitrogen ↑ Retensi cairan

Osmolaritas urin ↓ Edema

Kardiovaskuler

CO ↑, gagal, atau ↓ Syok

Tahanan vaskuler Asidosis metabolik

Koagulasi

Trombositopenia Ekimosis

Fibrinogen ↑ (dini), ↓ (lanjut) Perdarahan difus

PT ↑

V.             PenatalaksanaanTerapi yang dilakukan dapat bervariasi tergantung lamanya waktu setelah insult dan

tahapan klinis sepsis. Hal yang sangat penting adalah meminimalkan trauma langsung terhadap

sel serta mengoptimalkan perfusi dan membatasi iskemia. Dibutuhkan perencanaan terapi yang

terintegrasi untuk mencapai hal tersebut. Sebagai pedoman dalam perencanaan, pendekatan

terapi dapat ditujukan untuk mencapai tiga sasaran :

1. Memperbaiki dan memperthankan perfusi yang adekuat

2. Mengontrol respon pasien terhadap trauma

3. Menghindari terjadinya penyakit iatrogenik

1. Memperbaiki dan mempertahankan perfusi yang adekuat

Hal ini merupakan faktor kunci untuk meminimalkan trauma iskemia inisial dan

mengurangi iskemia akibat yang terjadi karena respon terhadap stress.

Berikut ini adalah tindakan untuk memperbaiki perfusi :

a.                  Mempertahankan saturasi oksigen arteri

Dilema yang sering terjadi adalah bagaimana mempertahankan saturasi oksigen yang

adekuat tanpa memberikan efek barotrauma maupun toksik terhadap paru-paru. Tekanan oksigen

arterial sebesar 75 mmHg atau diatasnya akan memberikan saturasi oksigen yang cukup (> 90%).

b.                  Ekspansi cairan

Ekspansi cairan merupakan terapi inisial terpilih untuk semua fase sepsis. Peningkatan

tekanan pengisian akan memberikan tekanan cardiac output dan membuka kembali

mikrosirkulasi yang hipoperfusi merupakan pendekatan resusitasi primer, dimana saturasi

oksigen harus dipertahankan diatas 90%. Cairan inisial yang dipakai adalah cairan kristaloid

isotonik, yang diberikan secara cepat sebanyak 3 liter, kemudian dilanjutkan pemberian cairan

koloid. Albumin juga berperan penting untuk mempertahankan tekanan onkotik plasma, juga

sebagai antioksidan, pengikat asam lemak bebas, endotoksin amupun obat-obatan. Oleh karena

itu kadar albumin harus tetap dipertahankan diatas 2,5 g/dL.

c.                   Inotropik

Zat inotropik hanya diberikan untuk mempertahankan keadaan hiperdinamik bila

ekspansi cairan tidak cukup untuk memperbaiki perfusi. Dopamin dosis rendah akan mencukupi

sebagai pilihan awal, karena biasanya terjadi penurunan perfusi ginjal dan splanknik walaupun

pada keadaan parameter perfusi umum yang mencukupi. Dopamin dipakai untuk meningkatkan

cardiac indeks pada tekanan baji yang normal (14-16 mmHg), sementara dobutamin digunakan

pada tekanan baji lebih dari 16 mmHg.

d.                  Transfusi darah

Kadar hemoglobin untuk menjamin perfusi harus ditinjau kembali. Pada pasien yang

muda, stabil dan sehat, kadar hemoglobin 8 g/dL akan mencukupi. Pasien dengan MOD

membutuhkan kadar hemoglobin sampai 10 g/dL karena pada pasien ini terjadi gangguan

pembentukan sel darah merah.

e.                   Vasodilator

Penggunaan vasodilator dapat memberikan keuntungan, terutama bila terjadi peningkatan

tahanan vaskuler sistemik karena peningkatan tekanan darah sistemik. Cairan salin hipertonik

dapat meningkatkan aliran darah mikrovaskuler. Sedangkan obat yang biasa dipakai adalah

golongan nitroprusid.

f.                    Vasokonstriktor

Penambahan zat a-agonist hanya diperlukan bila tekanan sistolik lebih rendah dari 90

mmHg atau MAP lebih rendah dari 70 mmHg dengan keadaan tekanan pengisian yang cukup

tinggi dan cardiac indeks lebih dari 4 L/menit/m2. Penambahan dopamin sampai norepinefrin

atau fenilefrin dalam dosis rendah nampak dapat melindungi sirkulasi ginjal dan splanknik dari

pengaruh vasokonstriksi zat a-agonist. Vasokonstriktor diindikasikan hanya untuk hipotensi

yang refrakter dan hanya digunakan dalam waktu yang terbatas. Terapi yang ideal adalah dengan

mengontrol reaksi yang berlebihan dari vasodilator.

2. Mengontrol respon pasien terhadap trauma

Hal ini dapat dicapai dengan :

a.                  Mongontrol fokus lokal inflamasi sistemik

Harus dimulai sejak awal perawatan pasien. Tujuan tindakan bedah adalah :

1.                  Meminimalkan trauma lebih lanjut

2.                  Debridemen yang agresif

3.                  Drainase dini (misalnya : pus, hematom)

4.                  “second-look procedure”

Tindakan ini harus dikerjakan secepatnya sebelum timbulnya respon hiperdinamik yang

menunjukkan telah terjadinya reaksi inflamasi sistemik. Pemberian antibiotika spektrum luas

secara empirik harus segera dimulai sementara menunggu hasil tes kultur dan resistensi.

b.                  Modifikasi respon stress hormonal

Peningkatan kadar hormon katekolamin, kortisol dan glukagon berperan penting dalam

terjadinya gangguan metabolisme yaitu peningkatan glukoneogenesis dan proteolisis yang

merupakan karakteristik dari fase hiperdinamik. Reaksi ini akan meningkatkan kebutuhan

metabolik dan dapat mengakibatkan kardiomiopati. Penggunaan zat β-antagonist dalam dosis

sedang dapat menurunkan kerja jantung dan kebutuhan metabolik, khususnya pada pasien cedera

kepala.

c.                   Mencegah reaksi inflamasi yang berlebihan

Semua fokus infeksi yang belum terangkat dalam fase resusitasi inisial harus secepatnya

diangkat, sebelum terjadi respon dari tubuh pasien.

Insult sekunder harus dihindari. Insult sekunder ini biasanya berasal dari infeksi

nosokomial (biasanya dari kateter pembuluh darah, pneumonia), hipovolemia (sering pada

operasi kedua), pankreatitis atau komplikasi intraabdomen yang lain, dan endotoksin atau bakteri

yang tidak diketahui asalnya seperti dari usus.

Translokasi bakteri dan endotoksin yang dapat keluar melalui barier usus yang terganggu

dapat diusahakan untuk dicegah. Pendekatan pertama adalah dengan mendeteksi iskemia

splanknik. Teknik gastric tonometri telah banyak digunakan namun validitasnya untuk

mendeteksi iskemia usus belum jelas dilaporkan.

Tidak adanya nutrisi enteral akan menyebabkan atrofi mukosa, terutama pada saat respon

stress dan pemberian nutrisi enteral yang dini dinilai efektif untuk mempertahankan barier

mukosa. Beberapa studi klinis juga membuktikan penurunan kejadian MOD sekunder pada

pasien bedah dengan pemberian nutrisi enteral dini, khususnya pada pasien multitrauma.

3. Menghindari terjadinya penyakit iatrogenic

Setiap tambahan insult pada fase inisial atau disfungsi organ sekunder akan memperberat

proses penyakit. Komplikasi yang paling perlu diperhatikan adalah infeksi nosokomial.

Komplikasi iatrogenik yang sering terjadi adalah :

Organ Komplikasi

Paru-paru ARDS karena infeksi nosokomial

Pneumonia nosokomial

Barotrauma

Keracunan O2

Hipervolemia

Usus Cedera karena infeksi / endotoksin

Malnutrisi

Keracunan obat

Kolitis pseudomembran

Hipovolemia

Hati Cedera karena infeksi / endotoksin

Overfeeding

Keracunan obat

Ginjal Cedera karena infeksi / endotoksin

Keracunan obat

Hipovolemia

Sistemik Malnutrisi

Penggunaan cairan / nutrient yang tidak tepat

Modalitas Terapi Baru

Antibodi anti-endotoksin adalah yang pertama kali dicoba. Meskipun terapi ini berhasil

memperbaiki angka survival namun penggunaannya terbentur pada ketidakstabilan cairan

injeksi, kesulitan menentukan dosis dan resiko penularan penyakit dari serum asal antibodi

tersebut. Dengan rekayasa genetika akhirnya dapat dibuat E5, suatu antibodi Lipid A IgM,

namun terapi ini terutama hanya memberi hasil untuk pasien yang terinfeksi kuman gram negatif.

Obat ini terutama dapat memberikan perbaikan yang bermakna pada disfungsi organ. Juga

berhasil ditemukan anti-endotoksin monoclonal IgM (HA-1A) nemun masih perlu dilakukan

studi lebih lanjut untuk penggunaan obat ini.

Penelitian juga dilakukan terhadap antibodi TNF monoclonal. Produk ini dinilai mampu

memberikan efek proteksi terhadap sistem kardiovaskuler, meredakan syok septik karena

endotoksin. Juga tampak mampu menaikkan tekanan darah arteri dan parameter hemodinamik

yang lain. Namun penggunaan obat ini juga masih membutuhkan studi lebih lanjut.

Strategi lain yang dicoba adalah mencegah kontak antara mediator dengan reseptor pada

sel target. Dengan melalui rekayasa genetika berhasil didapatkan IL-1 ra atau antagonis IL-1.

Obat ini berhasil menurunkan angka kematian dengan tergantung dosis. Studi lebih lanjut masih

dilakukan.

Untuk antagonis PAF (Platelet Activating Factor), dipakai BN 52021, Lexipafant dan

PAF asetilhidrolase. Sementara Ibuprofen dipakai untuk antagonis prostaglandin. Antagonis

bradikinin sampai saat ini masih diteliti. Untuk mengurangi produksi NO (Nitrit Oksida) dipakai

NMMA (N-monomethyl arginine) yang dapat menghambat enzim NO-sintase. Bahaya obat ini

adalah dapat mengakibatkan hipertensi pulmonal dan komplikasi jantung.

Strategi terakhir yang dikembangkan adalah dengan eliminasi semua mediator

menggunakan cara plasmapheresis (PE).

Konsep Baru Pengobatan Sepsis

Activated Protein C (APC), adalah suatu antikoagulan yang berbentuk rekombinan Protein C

teraktivasi. Merupakan agen antiinflamasi pertama yang terbukti efektif pada pengobatan sepsis.

APC menginaktivasi faktor Va dan VIIIa, sehingga mencegah pembentukan thrombin. Inhibisi

pembentukan thrombn oleh APC menurunkan proses inflamasi melalui inhibisi aktivasi platelet,

penarikan netrofil dan degranulasi sel mast. APC juga memiliki efek ininflamasi langsung,

termasuk menghambat produksi sitokin oleh monosit dan menghambat adhesi sel. Walaupun

demikian, masih terdapat perdebatan mengenai penggunaan APC terutama berhubungan dengan

efek sampingnya, yaitu perdarahan. Saat ini, APC diberikan hanya pada pasien sepsis berat

dengan trombosit > 30.000/mm3 yang mengalami ancaman kegagalan organ berat dan

mempunyai kemungkinan kematian yang tinggi.

Terapi insulin intensif pada hiperglikemia, penelitian Van den Berghe et al, menunjukkan

bahwa pemberian terapi insulin intesif yang mempertahankan kadar glukosa darah pada 80 –

110 mg/dL menurunkan angka morbiditas dan mortalitas pasien-pasien kritis daripada terapi

konvensional yang mempertahankan kadar glukosa darah pada 180 – 200 mg/dL.Terapi insulin

mengurangi angka kematian akibat kegagalan multi organ pada pasien sepsis, tanpa memandang

riwayat diabetes melitus pasien tersebut. Mekanisme protektif insulin pada sepsis masih belum

diketahui. Fungsi fagositosis netrofil yang terganggu oleh keadaan hiperglikemia ternyata dapat

diperbaiki oleh koreksi hiperglikemia. Insulin juga mencegah apoptosis sel-sel mati akibat

berbagai sebab melalui aktivasi jalur phosphatidylinositol 2-kinase-akt.

Resusitasi volume cairan dini yang agresif, penelitian early goal-directed therapy oleh Rivers

et al menunjukkan bahwa terapi cairan dini yang agresif yang mengoptimalkan preload, afterload

dan kontraktilitas jantung pada pasien sepsis berat dan syok septik meningkatkan survival pasien.

Penelitian ini menggunakan infus cairan koloid dan kristaloid, agen vasoaktif, dan tranfusi darah

untuk meningkatkan pengantaran oksigen. Pasien –pasien dalam penelitian ini mendapat lebih

banyak cairan, inotropik dan transfusi daripada pasien kontrol yang mendapat terapi standar pada

6 jam pertama penanganan sepsis. Selama periode 7 sampai 72 jam setelah penanganan, pasien

pada kelompok penelitian ini memiliki konsentrasi oksigen vena sentral yang lebih tinggi, kadar

laktat yang lebih rendah dan defisit basa yang lebih rendah dibandingkan pasien pada kelompok

kontrol.

Kortikosteroid dosis fisiologis, pemberian kortikosteroid dosis tinggi (misalnya:

metilprednisolon 30mg/ kg berat badan) terbukti tidak meningkatkan survival diantara pasien-

pasien sepsis dan dapat memperburuk keadaan karena meningkatnya kejadian infeksi sekunder.

Penelitian oleh Annane menunjukkan bahwa pasien sepsis yang mengalami syok persisten yang

membutuhkan vasopresor dan ventilasi mekanik mendapat perbaikan klinis karena pemberian

kortikosteroid dengan dosis fisiologis. Hal ini mungkin karena desensitasi respon kortikosteroid

melalui down-regulation reseptor adrenergik. Katekolamin meningkatkan tekanan arteri melalui

efek reseptor adrenergik di vaskular; kortikosteroid meningkatkan ekspresi reseptor adrenergik.

Diperlukan uji untuk mengetahui pasien dengan keadaan insufisiensi adrenal relatif.

BAB III

PENUTUP

BAB IV DAFTAR PUSTAKA

1.                  Baue AE. History of MOF and Definition of Organ Failure. In : Multiple Organ Failure

Patophysiology, Prevention and Therapy. Baue AE, Faist E, Fry DE (Eds). Springer-Verlag,

New York, 2000:3-11.

2.                  Fry DE. Systemic Inflamatory Response and Multiple Organ Dysfunction Syndrome :

Biologic Domino Effect. In : Multiple Organ Failure Patophysiology, Prevention and Therapy.

Baue AE, Faist E, Fry DE (Eds). Springer-Verlag, New York, 2000:23-9.

3.                  Fry DE. Microsirculatory Arrest Theory of SIRS and MODS. In : Multiple Organ

Failure Patophysiology, Prevention and Therapy. Baue AE, Faist E, Fry DE (Eds). Springer-

Verlag, New York, 2000:92-100.

4.                  Hotchkiss RS, Karl IE. The Pathophysiology and Treatment of Sepsis. N Engl J Med

2003, 348; 138-50.

5.                  Marshall JC. SIRS, MODS and the Brave New World Of ICU Acronyms : Have They

Helped us. In : Multiple Organ Failure Patophysiology, Prevention and Therapy. Baue AE, Faist

E, Fry DE (Eds). Springer-Verlag, New York, 2000:14-22.

6.                  Martin GS, Mannino, DM, Eaton S, Moss M. The Epidemiology of Sepsis in the United

States from 1979 through 2000. N Engl J Med 2003, 348; 1546-54.

7.                  Rivers E, Nguyen B, Havstad S et al. Early Goal-Directed Therapy in Treatment of

Severe Sepsis and Septic Shock. N Engl J Med 2001, 345; 1368-77.