senin, 28 maret 2011 lesu darah industri kayu putih · wakil bupati buru ramli umasugi mengakui...

1
HAMDI JEMPOT D UA ketel, tempat pe- nyulingan di sudut rumah, kosong tan- pa isi. Api di tungku yang memanaskan dua ketel itu pun tidak mengepul. La Eko, 61, pemilik rumah itu, memberikan makan kepada ayam peliharaan di halaman rumahnya di Jalan Ahmad Yani, Dusun Sehe, Kecamat- an Namlea, Kabupaten Buru, Maluku. Hampir setahun ini, ia me- melihara ayam. Selain untuk mengisi waktu luang, itu ber- tujuan menutupi biaya hidup keluarga karena usaha minyak kayu putihnya meredup. Ia memiliki dua lokasi olahan minyak kayu putih, tetapi ke- duanya sepi aktivitas. Selama ini pohon kayu putih tumbuh subur dataran Kota Namlea, ibu kota Kabupaten Buru. Jumlahnya mencapai ratusan hektare. Namun, setelah Pulau Buru dimekarkan dari Kabupaten Maluku Tengah pada 15 tahun silam, lahan-lahan itu pun digusur berubah menjadi ka- wasan perkantoran, pertokoan, dan permukiman. Sekitar 60% warga Namlea menggantungkan hidup pada usaha minyak kayu putih. Mereka bekerja sebagai petani, penjual, dan memproduksi daun kayu putih hingga men- jadi minyak kayu putih. “Lahan pohon kayu putih makin sempit karena setiap saat ada penebangan pohon kayu putih untuk kegiatan perluasan pembangunan, baik kantor pe- merintah maupun permukim- an warga,” kata Eko. Dampak penebangan pohon kayu putih itulah yang me- nyebabkan para perajin kesu- litan mendapatkan daun kayu putih, yang menjadi bahan dasar kayu putih. Usaha penyulingan minyak kayu putih yang dirintis Eko pascakonflik Maluku, pada 2000 silam, terus menurun. Dalam sepekan mereka hanya berproduksi tiga kali, padahal sebelumnya setiap hari. “Kalau ada bahan daun kayu putih, baru kita masak minyak kayu putih.” Dulu, setiap hari ada 80 orang menyuplai daun kayu putih, yang dibayarnya Rp400 per kilogram. Selain itu, ada lima tenaga kerja lepas yang membantu mengolah daun kayu putih menjadi minyak kayu putih. Namun, dua ta- hun terakhir produksi hanya dilakukan bersama istrinya. “Tenaga yang mencari daun kayu putih saja hanya ting- gal empat orang. Mereka juga sering tidak membawa daun karena kesulitan mendapatkan- nya,” katanya. Produksi pun ikut anjlok, dari yang setiap harinya bisa menghasilkan 3 liter hingga 5 li- ter kini dalam seminggu hanya 12 liter. Alhasil penghasilannya dari penjualan minyak kayu putih menurun. Dalam sebu- lan ia biasanya mendapatkan keuntungan bersih lebih Rp3 juta, tetapi kini tinggal hanya Rp1 juta per bulan. Penghasilannya itu diguna- kan untuk biaya hidup dan me- nyekolahkan seorang putrinya hingga meraih gelar sarjana di Universitas Sebelas Maret Surakarta, Jawa Tengah. Akibat pembangunan Penurunan produksi rumah- an itu juga melanda perajin lain. Seperti Lutfi Sangadji Medi Buton, yang menetap di belakang BTN Tatanggo, Keca- matan Namlea. Ia mengakui dampak pem- bangunan di lahan perkebunan kayu putih mulai terasa dua ta- hun terakhir. Tenaga kerja yang mencari daun kayu putih untuk Lutpun terus berkurang. Saat ini, hanya tersisa empat tenaga dari sembilan tenaga tetap yang menyuplai daun. Lutmasih beruntung karena daun kayu putih diambil dari lahan milik mertuanya, tanpa harus me- ngeluarkan uang untuk sewa lahan. “Kita hanya bisa ambil se- lama enam bulan karena lah- annya kecil. Setelah daunnya habis, ya, sudah, tidak bisa mengolah minyak lagi.” Sebelumnya, ia mengaku dapat mengolah minyak kayu putih setahun penuh. Namun karena keterbatasan bahan baku, kini ia hanya bisa mem- produksi selama enam bulan. Wakil Bupati Buru Ramli Umasugi mengakui terjadi penurunan produksi minyak kayu putih di daerahnya. Ramli mengakui pihaknya tidak memiliki data jumlah yang pasti berapa hektare la- han pohon kayu putih yang berkurang akibat perluasan pembangunan di Pulau Buru. Ia memperkirakan ratusan hektare lahan kayu putih di Pulau Buru dalam dua tahun terakhir ini diubah akibat per- luasan berbagai pembangunan di Kota Namlea. Jumlah itu belum termasuk adanya pembukaan lahan baru di lokasi lahan kayu putih untuk tanaman percontohan padi dan areal kelapa sawit yang jumlah- nya ratusan hektare. “Untuk la- han tanaman padi dan investasi kepala sawit saja dibutuhkan ratusan hektare areal. Itu se- muanya akan diambil pada areal lahan kayu putih saat ini.” Pria itu menyatakan kon- disi tidak bisa dihindari karena Kota Namlea, yang merupa- kan ibu kota kabupaten, harus terus membangun berbagai infrastruktur. Menurut dia, sebenarnya banyak lahan kosong yang berpotensi untuk tanaman kayu putih, yakni di desa-desa di Pulau Buru, di luar Kota Namlea. Karena itu, ia meminta petani kayu putih dan perajin mengembangkan lahan itu menjadi perkebunan kayu putih. “Pemerintah tidak akan mematikan usaha masyarakat di sektor ini,” katanya. (N-1) [email protected] Lesu Darah Industri Kayu Putih Ratusan hektare lahan kayu putih di Pulau Buru dalam dua tahun terakhir menyusut akibat perluasan berbagai pembangunan di Kota Namlea. Lahan pohon kayu putih makin sempit karena setiap saat ada penebangan pohon kayu putih untuk kegiatan perluasan pembangunan.” La Eko Pembuat minyak kayu putih MI/HAMDI JEMPOT 9 N USANTARA SENIN, 28 MARET 2011 MENURUN: Pekerja mengolah minyak kayu putih di Dusun Sehe, Kecamatan Namlea, Kabupaten Buru, Maluku, beberapa waktu lalu. Produksi minyak kayu putih menurun akibat pembangunan di lahan perkebunan kayu putih.

Upload: phunghanh

Post on 19-Jun-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: SENIN, 28 MARET 2011 Lesu Darah Industri Kayu Putih · Wakil Bupati Buru Ramli Umasugi mengakui terjadi penurunan produksi minyak kayu putih di daerahnya. Ramli mengakui pihaknya

HAMDI JEMPOT

DUA ketel, tempat pe-nyulingan di sudut rumah, kosong tan-pa isi. Api di tungku

yang memanaskan dua ketel itu pun tidak mengepul.

La Eko, 61, pemilik rumah itu, memberikan makan kepada ayam peliharaan di halaman rumahnya di Jalan Ahmad Yani, Dusun Sehe, Kecamat-an Namlea, Kabupaten Buru, Maluku.

Hampir setahun ini, ia me-melihara ayam. Selain untuk mengisi waktu luang, itu ber-tujuan menutupi biaya hidup keluarga karena usaha minyak kayu putihnya meredup.

Ia memiliki dua lokasi olahan minyak kayu putih, tetapi ke-duanya sepi aktivitas.

Selama ini pohon kayu putih tumbuh subur dataran Kota Namlea, ibu kota Kabupaten Buru. Jumlahnya mencapai ratusan hektare.

Namun, setelah Pulau Buru dimekarkan dari Kabupaten Maluku Tengah pada 15 tahun silam, lahan-lahan itu pun digusur berubah menjadi ka-wasan perkantoran, pertokoan, dan permukiman.

Sekitar 60% warga Namlea menggantungkan hidup pada usaha minyak kayu putih. Mereka bekerja sebagai petani, penjual, dan memproduksi daun kayu putih hingga men-jadi minyak kayu putih.

“Lahan pohon kayu putih

makin sempit karena setiap saat ada penebangan pohon kayu putih untuk kegiatan perluasan pembangunan, baik kantor pe-merintah maupun permukim-an warga,” kata Eko.

Dampak penebangan pohon kayu putih itulah yang me-nyebabkan para perajin kesu-litan mendapatkan daun kayu putih, yang menjadi bahan dasar kayu putih.

Usaha penyulingan minyak kayu putih yang dirintis Eko

pascakonflik Maluku, pada 2000 silam, terus menurun. Dalam sepekan mereka hanya berproduksi tiga kali, padahal sebelumnya setiap hari. “Kalau ada bahan daun kayu putih, baru kita masak minyak kayu putih.”

Dulu, setiap hari ada 80 orang menyuplai daun kayu putih, yang dibayarnya Rp400 per kilogram. Selain itu, ada lima tenaga kerja lepas yang membantu mengolah daun kayu putih menjadi minyak kayu putih. Namun, dua ta-hun ter akhir produksi hanya

dilakukan bersama istrinya.“Tenaga yang mencari daun

kayu putih saja hanya ting-gal empat orang. Mereka juga sering tidak membawa daun karena kesulitan mendapatkan-nya,” katanya.

Produksi pun ikut anjlok, dari yang setiap harinya bisa menghasilkan 3 liter hingga 5 li-ter kini dalam seminggu hanya 12 liter. Alhasil penghasilannya dari penjualan minyak kayu putih menurun. Dalam sebu-lan ia biasanya mendapatkan keuntungan bersih lebih Rp3 juta, tetapi kini tinggal hanya Rp1 juta per bulan.

Penghasilannya itu diguna-kan untuk biaya hidup dan me-nyekolahkan seorang putrinya hingga meraih gelar sarjana di Universitas Sebelas Maret Surakarta, Jawa Tengah.

Akibat pembangunanPenurunan produksi rumah-

an itu juga melanda perajin lain. Seperti Lutfi Sangadji Medi Buton, yang menetap di belakang BTN Tatanggo, Keca-matan Namlea.

Ia mengakui dampak pem-bangunan di lahan perkebunan kayu putih mulai terasa dua ta-hun terakhir. Tenaga kerja yang mencari daun kayu putih untuk Lutfi pun terus berkurang. Saat ini, hanya tersisa empat tenaga dari sembilan tenaga tetap yang menyuplai daun. Lutfi masih beruntung karena daun kayu putih diambil dari lahan milik mertuanya, tanpa harus me-ngeluarkan uang untuk sewa lahan.

“Kita hanya bisa ambil se-lama enam bulan karena lah-annya kecil. Setelah daunnya habis, ya, sudah, tidak bisa mengolah minyak lagi.”

Sebelumnya, ia mengaku

dapat mengolah minyak kayu putih setahun penuh. Namun karena keterbatasan bahan baku, kini ia hanya bisa mem-produksi selama enam bulan.

Wakil Bupati Buru Ramli Umasugi mengakui terjadi penurunan produksi minyak kayu putih di daerahnya.

Ramli mengakui pihaknya tidak memiliki data jumlah yang pasti berapa hektare la-han pohon kayu putih yang berkurang akibat perluasan pembangunan di Pulau Buru.

Ia memperkirakan ratusan hektare lahan kayu putih di Pulau Buru dalam dua tahun terakhir ini diubah akibat per-luasan berbagai pembangunan di Kota Namlea.

Jumlah itu belum termasuk adanya pembukaan lahan baru di lokasi lahan kayu putih untuk tanaman percontohan padi dan areal kelapa sawit yang jumlah-nya ratusan hektare. “Untuk la-han tanaman padi dan investasi kepala sawit saja dibutuhkan ratusan hektare areal. Itu se-muanya akan diambil pada areal lahan kayu putih saat ini.”

Pria itu menyatakan kon-disi tidak bisa dihindari karena Kota Namlea, yang merupa-kan ibu kota kabupaten, harus terus membangun berbagai infrastruktur.

Menurut dia, sebenarnya banyak lahan kosong yang berpotensi untuk tanaman kayu putih, yakni di desa-desa di Pulau Buru, di luar Kota Namlea. Karena itu, ia meminta petani kayu putih dan perajin mengembangkan lahan itu menjadi perkebunan kayu putih. “Pemerintah tidak akan mematikan usaha masyarakat di sektor ini,” katanya. (N-1)

[email protected]

Lesu Darah Industri Kayu PutihRatusan hektare lahan kayu putih di Pulau Buru dalam dua tahun terakhir menyusut akibat perluasan berbagai pembangunan di Kota Namlea.

Lahan pohon kayu putih makin

sempit karena setiap saat ada penebangan pohon kayu putih untuk kegiatan perluasan pembangunan.”

La EkoPembuat minyak kayu putih

MI/HAMDI JEMPOT

9NUSANTARA SENIN, 28 MARET 2011

MENURUN: Pekerja mengolah minyak kayu putih di Dusun Sehe, Kecamatan Namlea, Kabupaten Buru, Maluku, beberapa waktu lalu. Produksi minyak kayu putih menurun akibat pembangunan di lahan perkebunan kayu putih.