senin, 14 februari 2011 | media indonesia menggarap ... filetri bengkel pesawat di indonesia,...

1
19 C EO TALKS SENIN, 14 FEBRUARI 2011 | MEDIA INDONESIA Nama : Richard Budihadianto Tanggal lahir : 17 Januari 1956 Nama istri : Tryposha Kurniawan, 50 Nama anak : Arthur Jesimeil Budihadianto, 15 Kevin Jeremy Budihadianto, 13 Jovian Budihadianto, 9 Pendidikan : S-1 Program Studi Teknik Mesin ITB, tamat 1981 S-2 Konsentrasi Manajemen Internasional Magister Manajemen FEUI, tamat 1992 Karier : 1986 Masuk ke Direktorat Teknik Garuda Indonesia sebagai teknisi pelayanan teknik 1990 Masuk Aircraft Operation Control and Asset Management 1998 Menjabat Direktur Teknis Garuda Indonesia 2002 GMF spin off, menjabat presiden komisaris 2007-sekarang Dirut GMF-Aeroasia BIODATA DWI TUPANI B ICARA tentang indus- tri bengkel pesawat di Indonesia, mungkin tidak banyak orang yang tahu. Namun, bagi Ri- chard Budihadianto, industri itu justru ibarat ‘mainan’ fa- voritnya. Sejak 1986, ia setia meng- akrabi dunia perawatan pesa- wat terbang. Saat itu, lulusan Teknik Mesin ITB ini meniti karier di PT Garuda Indonesia Tbk, di salah satu divisinya yang belakangan memisahkan diri membentuk perusahaan PT Garuda Maintenance Facility (GMF)-Aeroasia. Kini Richard menduduki posisi Direktur Utama GMF- Aeroasia. Jabatan itu dipe- gangnya sejak 2007 atau 11 tahun setelah ia bergabung. Oleh karena itu, jangan heran bila cerita soal kelahiran GMF sangat lancar keluar dari mu- lutnya. “GMF itu sebelumnya adalah direktorat teknik di Garuda (Indonesia). Berarti sudah ada sejak Garuda berdiri dari 1949. Selanjutnya GMF spin off (memisahkan diri) dari Garuda pada 2002,” ujarnya memulai cerita tentang perusahaan yang sekarang dipimpinnya. Menurutnya, awalnya GMF didirikan untuk merawat seki- tar 200 pesawat Garuda. Akan tetapi, seiring dengan berjalan- nya waktu, ternyata bisnis Ga- ruda pada waktu itu bukannya membesar, malah mengecil. Sampai-sampai pesawatnya tinggal sekitar 50 unit dari yang tadinya 120. Hal itu membuat manaje- men Garuda berpikir untuk mengoptimalkan kelebihan kapasitas yang dimiliki GMF untuk dijual ke pihak ketiga. Selain mengurangi beban ang- garan, aksi itu dinilai mampu menambah pendapatan. “Meski begitu, tidak mudah bagi GMF untuk mendapatkan pelanggan,” tutur Richard melanjutkan ceritanya. Menurut dia, GMF harus mendapatkan sertifikat izin dalam mengoperasikan beng- kel untuk merawat pesawat yang dikeluarkan Kemente- rian Perhubungan. GMF juga harus mendapatkan sertikat terutama dari Amerika Serikat dan Eropa agar dipercaya pe- langgan dan diperbolehkan merawat pesawat. Tanpa serti- kat itu, sulit bagi GMF untuk memperoleh pelanggan. “Namun, saat ini GMF sudah punya sertikat dari 20 negara yang kita upayakan untuk selalu berlaku karena pangsa pasar GMF ada di 20 negara ini,” kata dia. Rebutan SDM Kini GMF sudah punya pe- langgan tetap perawatan pesa- wat, baik pesawat penumpang maupun kargo, baik berukuran besar maupun kecil. Pangsa pasar pelanggan GMF saat ini sebagian besar masih dari Garuda sekitar 65%-70%, se- dangkan pesawat non-Garuda 30%. Untuk ketersediaan hanggar, GMF memiliki tiga hanggar pesawat dengan kapasitas maksimal 25 pesawat. Hang- gar satu mampu menampung dua pesawat untuk perawat- an C check (perawatan setiap kurang lebih 1,5 tahun sekali) dan overhaul (setelah 10 kali C check) untuk dua pesawat berbadan besar. Hanggar dua khusus untuk perawatan sedang atau ringan, bisa menampung tiga pesawat besar seperti Airbus A330 atau Boeing 747 atau delapan pe- sawat kecil seperti Boeing 737 dan Airbus A320. Sementara itu, hanggar tiga mampu menampung 12 pe- sawat kecil untuk perawatan overhaul dan satu pesawat berbadan besar. Richard menambahkan, pihaknya juga sudah menyiap- kan investasi US$40 juta untuk menambah satu hanggar lagi berkapasitas 16 pesawat pada 2012. Satu hal yang menjadi perha- tian Richard selama memimpin GMF adalah persoalan sumber daya manusia (SDM). Menu- rutnya, masalah SDM di sektor ini merupakan satu hal serius. Minimnya jumlah insinyur di bidang ini membuat para peru- sahaan bengkel pesawat saling berlomba merekrut. Bahkan perusahaan asing sering kali melakukan aksi pem- bajakan dengan menawarkan gaji yang dua kali hingga tiga kali lipat lebih tinggi. “Dampak- nya ini akan menjadi rebutan, seperti airline saling berebut pilot. Sudah capai-capai kita didik, dibajak,” kata dia. Menurut catatannya, dari ke- butuhan teknisi pada 2010 se- banyak 6.000 orang, Indonesia baru memenuhi setengahnya. Padahal, ‘menciptakan’ tek- nisi tidak bisa cepat, minimal dibutuhkan waktu lima tahun pendidikan. GMF, imbuh Richard, me- rencanakan mempekerjakan 5.000 teknisi pada 2014. Saat ini jumlah teknisi di GMF telah mencapai 2.900. Rekrutmen para teknisi itu diharapkan bisa memenuhi kapasitas bengkel GMF yang nantinya diharap- kan mampu merawat hingga 41 pesawat pada 2014. Untuk melindungi dari aksi pembajakan teknisi, GMF mengusahakan proses rekrut- men dan pendidikan bagi para teknisi dengan cara mengikat mereka melalui perjanjian dan gaji yang mengikuti hukum permintaan-penawaran. Bisnis besar Di luar soal itu, Richard yang juga Ketua Asosiasi Perbeng- kelan Pesawat di Indonesia (In- donesian Aircraft Maintenance and Shop Association/ IAMSA) mengatakan kue ekonomi bis- nis ini sangat besar dan belum dapat diserap seluruhnya oleh industri ini. Dalam hitungan- nya, pengeluaran perusahaan penerbangan di Indonesia un- tuk perawatan pesawat menca- pai US$750 juta pada 2009. Sementara itu, kemampuan perusahaan perawatan pesawat di Indonesia hanya sekitar 30% atau menyerap US$250 juta. “Sementara itu, US$500 juta dikerjakan keluar, Singapura, Malaysia dan lainnya, ini amat disayangkan” jelasnya. Padahal pada 2014, seiring dengan pertumbuhan pener- bangan 15% per tahun, ia mem- perkirakan pengeluaran peru- sahaan penerbangan di Indone- sia untuk merawat pesawatnya mencapai US$2 miliar. “Kalaupun semua bengkel di Indonesia kapasitasnya kita naikkan dua kali lipat, tetap tidak bisa serap lebih dari 40%- 50% (US$1 miliar). Hal ini tidak bisa dilakukan sendiri oleh swasta, harus ada bantuan pe- merintah, siapa yang bisa invest segitu banyak,” katanya. Dengan kata lain, potensi bisnis perbengkelan pesawat di dalam negeri masih terpendam. Masalahnya menurut dia, kare- na bengkel-bengkel pesawat di Indonesia masih sulit untuk memperoleh modal dari per- bankan dan institusi keuangan sehingga sulit berkembang. Padahal, seandainya kue ekonomi itu bisa diserap pe- rusahaan domestik ada dua keuntungan bagi pemerintah. Pertama mampu menyerap devisa dan kedua membuka lapangan pekerjaan. Richard menyayangkan bila negara lain justru mendapat- kan kue ekonomi yang lebih besar. Menurut dia, apabila bisa diserap Indonesia, kue ekonomi itu akan membantu menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan kesejahtera- an masyarakat. Dalam proyeksinya, setiap peningkatan satu tenaga kerja ahli mesin di industri ini mam- pu menciptakan enam lapang- an kerja ikutan. (E-2) [email protected] Menggarap Peluang Besar Bisnis Perawatan Pesawat Setiap peningkatan satu tenaga kerja ahli mesin di industri perbengkelan pesawat, mampu menciptakan enam lapangan kerja ikutan. Saat ini GMF sudah punya sertifikat dari 20 negara yang kita upayakan untuk selalu berlaku karena pangsa pasar GMF ada di 20 negara ini.” MI/PANCA SYURKANI

Upload: vandan

Post on 23-Apr-2019

241 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: SENIN, 14 FEBRUARI 2011 | MEDIA INDONESIA Menggarap ... filetri bengkel pesawat di Indonesia, mungkin tidak banyak orang yang tahu. Namun, bagi Ri-chard Budihadianto, industri itu

19CEO TALKSSENIN, 14 FEBRUARI 2011 | MEDIA INDONESIA

Nama : Richard Budihadianto

Tanggal lahir : 17 Januari 1956

Nama istri : Tryposha Kurniawan, 50

Nama anak : Arthur Jesimeil Budihadianto, 15

Kevin Jeremy Budihadianto, 13

Jovian Budihadianto, 9

Pendidikan : S-1 Program Studi Teknik Mesin ITB,

tamat 1981

S-2 Konsentrasi Manajemen Internasional

Magister Manajemen FEUI, tamat 1992

Karier : 1986 Masuk ke Direktorat Teknik Garuda Indonesia sebagai teknisi

pelayanan teknik

1990 Masuk Aircraft Operation Control and Asset Management

1998 Menjabat Direktur Teknis Garuda Indonesia

2002 GMF spin off, menjabat presiden komisaris

2007-sekarang Dirut GMF-Aeroasia

BIODATA

DWI TUPANI

BICARA tentang indus-tri bengkel pesawat di Indonesia, mungkin tidak banyak orang

yang tahu. Namun, bagi Ri-chard Budihadianto, industri itu justru ibarat ‘mainan’ fa-voritnya.

Sejak 1986, ia setia meng-akrabi dunia perawatan pesa-wat terbang. Saat itu, lulusan Teknik Mesin ITB ini meniti karier di PT Garuda Indonesia Tbk, di salah satu divisinya yang belakangan memisahkan diri membentuk perusahaan PT Garuda Maintenance Facility (GMF)-Aeroasia.

Kini Richard menduduki posisi Direktur Utama GMF-Aeroasia. Jabatan itu dipe-gangnya sejak 2007 atau 11 tahun setelah ia bergabung. Oleh karena itu, jangan heran bila cerita soal kelahiran GMF sangat lancar keluar dari mu-lutnya.

“GMF itu sebelumnya adalah direktorat teknik di Garuda (Indonesia). Berarti sudah ada sejak Garuda berdiri dari 1949. Selanjutnya GMF spin off (memisahkan diri) dari Garuda pada 2002,” ujarnya memulai cerita tentang perusahaan yang sekarang dipimpinnya.

Menurutnya, awalnya GMF didirikan untuk merawat seki-tar 200 pesawat Garuda. Akan tetapi, seiring dengan berjalan-nya waktu, ternyata bisnis Ga-ruda pada waktu itu bukannya membesar, malah mengecil. Sampai-sampai pesawatnya tinggal sekitar 50 unit dari yang tadinya 120.

Hal itu membuat manaje-men Garuda berpikir untuk mengoptimalkan kelebihan kapasitas yang dimiliki GMF untuk dijual ke pihak ketiga. Selain mengurangi beban ang-garan, aksi itu dinilai mampu menambah pendapatan.

“Meski begitu, tidak mudah bagi GMF untuk mendapatkan pelanggan,” tutur Richard melanjutkan ceritanya.

Menurut dia, GMF harus mendapatkan sertifikat izin dalam mengoperasikan beng-kel untuk merawat pesawat yang dikeluarkan Kemente-rian Perhubungan. GMF juga harus mendapatkan sertifi kat terutama dari Amerika Serikat dan Eropa agar dipercaya pe-

langgan dan diperbolehkan merawat pesawat. Tanpa serti-fi kat itu, sulit bagi GMF untuk memperoleh pelanggan.

“Namun, saat ini GMF sudah punya sertifi kat dari 20 negara yang kita upayakan untuk selalu berlaku karena pangsa pasar GMF ada di 20 negara ini,” kata dia.

Rebutan SDMKini GMF sudah punya pe-

langgan tetap perawatan pesa-wat, baik pesawat penumpang maupun kargo, baik berukuran besar maupun kecil. Pangsa pasar pelanggan GMF saat ini sebagian besar masih dari Garuda sekitar 65%-70%, se-dangkan pesawat non-Garuda 30%.

Untuk ketersediaan hanggar, GMF memiliki tiga hanggar pesawat dengan kapasitas maksimal 25 pesawat. Hang-gar satu mampu menampung dua pesawat untuk perawat-an C check (perawatan setiap kurang lebih 1,5 tahun sekali) dan overhaul (setelah 10 kali C check) untuk dua pesawat berbadan besar.

Hanggar dua khusus untuk perawatan sedang atau ringan, bisa menampung tiga pesawat besar seperti Airbus A330 atau Boeing 747 atau delapan pe-sawat kecil seperti Boeing 737 dan Airbus A320.

Sementara itu, hanggar tiga mampu menampung 12 pe-sawat kecil untuk perawatan overhaul dan satu pesawat berbadan besar.

Richard menambahkan, pihaknya juga sudah menyiap-kan investasi US$40 juta untuk menambah satu hanggar lagi berkapasitas 16 pesawat pada 2012.

Satu hal yang menjadi perha-tian Richard selama memimpin GMF adalah persoalan sumber daya manusia (SDM). Menu-rutnya, masalah SDM di sektor ini merupakan satu hal serius. Minimnya jumlah insinyur di bidang ini membuat para peru-sahaan bengkel pesawat saling berlomba merekrut.

Bahkan perusahaan asing se ring kali melakukan aksi pem-bajakan dengan menawarkan gaji yang dua kali hingga tiga kali lipat lebih tinggi. “Dampak-nya ini akan menjadi rebutan, seperti airline saling berebut pilot. Sudah capai-capai kita

didik, dibajak,” kata dia.Menurut catatannya, dari ke-

butuhan teknisi pada 2010 se-banyak 6.000 orang, Indonesia baru memenuhi setengahnya. Padahal, ‘menciptakan’ tek-nisi tidak bisa cepat, minimal dibutuhkan waktu lima tahun pendidikan.

GMF, imbuh Richard, me-rencanakan mempekerjakan 5.000 teknisi pada 2014. Saat ini jumlah teknisi di GMF telah mencapai 2.900. Rekrutmen para teknisi itu diharapkan bisa memenuhi kapasitas bengkel GMF yang nantinya diharap-kan mampu merawat hingga 41 pesawat pada 2014.

Untuk melindungi dari aksi pembajakan teknisi, GMF meng usahakan proses rekrut-men dan pendidikan bagi para teknisi dengan cara mengikat

mereka melalui perjanjian dan gaji yang mengikuti hukum permintaan-penawaran.

Bisnis besarDi luar soal itu, Richard yang

juga Ketua Asosiasi Perbeng-kelan Pesawat di Indonesia (In-donesian Aircraft Maintenance and Shop Association/ IAMSA) mengatakan kue ekonomi bis-nis ini sangat besar dan belum dapat diserap seluruhnya oleh industri ini. Dalam hitungan-nya, pengeluaran perusahaan penerbangan di Indonesia un-tuk perawatan pesawat menca-pai US$750 juta pada 2009.

Sementara itu, kemampuan perusahaan perawatan pesawat di Indonesia hanya sekitar 30% atau menyerap US$250 juta. “Sementara itu, US$500 juta dikerjakan keluar, Singapura, Malaysia dan lainnya, ini amat disayangkan” jelasnya.

Padahal pada 2014, seiring dengan pertumbuhan pener-bangan 15% per tahun, ia mem-perkirakan pengeluaran peru-sahaan penerbangan di Indone-sia untuk merawat pesawatnya mencapai US$2 miliar.

“Kalaupun semua bengkel di Indonesia kapasitasnya kita naikkan dua kali lipat, tetap tidak bisa serap lebih dari 40%-

50% (US$1 miliar). Hal ini tidak bisa dilakukan sendiri oleh swasta, harus ada bantuan pe-merintah, siapa yang bisa invest segitu banyak,” katanya.

Dengan kata lain, potensi bisnis perbengkelan pesawat di dalam negeri masih terpendam. Masalahnya menurut dia, kare-na bengkel-bengkel pesawat di Indonesia masih sulit untuk memperoleh modal dari per-bankan dan institusi keuangan sehingga sulit berkembang.

Padahal, seandainya kue ekonomi itu bisa diserap pe-rusahaan domestik ada dua keuntungan bagi pemerintah. Pertama mampu menyerap devisa dan kedua membuka lapangan pekerjaan.

Richard menyayangkan bila negara lain justru mendapat-kan kue ekonomi yang lebih besar. Menurut dia, apabila bisa diserap Indonesia, kue ekonomi itu akan membantu menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan kesejahtera-an masyarakat.

Dalam proyeksinya, se tiap peningkatan satu tenaga kerja ahli mesin di industri ini mam-pu menciptakan enam lapang-an kerja ikutan. (E-2)

[email protected]

Menggarap Peluang Besar Bisnis Perawatan Pesawat

Se tiap peningkatan satu tenaga kerja ahli mesin di industri perbengkelan pesawat, mampu menciptakan enam lapang an kerja ikutan.

Saat ini GMF sudah punya

sertifikat dari 20 negara yang kita upayakan untuk selalu berlaku karena pangsa pasar GMF ada di 20 negara ini.”

MI/PANCA SYURKANI