senin, 11 agustus 2008

Download Senin, 11 Agustus 2008

If you can't read please download the document

Upload: aliansi-mahasiswa-papua

Post on 10-Mar-2016

277 views

Category:

Documents


18 download

DESCRIPTION

Ketakutan Akibat wabah ini muncul berbagai isu dan kecurigaan di kalangan masyarakat soal isu genosida untuk membasmi orang Papua. Selain itu juga adanya kecurigaan dari penduduk pribumi kepada warga pendatang yang membuat situasi mudah panas.

TRANSCRIPT

Senin, 11 Agustus 2008

Senin,11Agustus 2008

K E S R AWabah Kolera di Dogiyai Pemda Papua Akui Lambat, Lembah Kamuu Ditutup

OlehOdeodata H Julia

Jayapura-Pemda Papua melalui Wakil Gubernur Papua Alex Hesegem didampingi Kadinkes Papua dr Bagus Sukaswara mengakui bahwa Pemda Papua dalam hal ini Dinas Kesehatannya lambat dalam menangani kasus wabah kolera dan diare di Kabupaten Dogiyai, Papua, yang sudah berlangsung selama tiga bulan dan memakan puluhan korban jiwa.

Dalam jumpa pers Sabtu (9/8) siang di ruang kerjanya, Wagub Hesegem mengatakan kelambanan ini disebabkan akses menuju lokasi wabah sangat sulit dan hanya bisa melalui jalur udara. Cuaca yang sering berubah membuat penanganannya agak sulit, padahal kami mempunyai cukup obatobatan. Ada jalur darat, tetapi terputus akibat bencana tanah longsor, katanya. Ia juga membantah bila dikatakan ada proses pembiaran dan genosida di wilayah ini, karena kejadian ini adalah benarbenar wabah dan menular. Ditambah lagi adat istiadat orang Papua, bila ada keluarganya meninggal, langsung melakukan kontak dengan memeluk si korban, sehingga orang yang semula sehat dan merawat korban bisa ikut terjangkit. Hingga kini Lembah Kamuu, Kabupaten Dogiyai, Papua, masih diisolasi Dinas kesehatan Papua dan dinyatakan sebagai daerah tertutup, seiiring masih ada wabah kolera dan diare, walaupun Kejadian Luar Biasa (KLB) sudah menurun, namun karena penyakit ini menular maka masih diisolasi. Namun, tidak tertutup kemungkinan warga yang tewas bisa bertambah. Data resmi Pemprov Papua menyebutkan kasus KLB ini sudah 89 korban meninggal dengan 574 kasus penyakit dengan penyebaran di dua distrik MoanemaniDogiyai dan Obano di Paniai di 17 kampung. Data ini sangat berbeda jauh dengan Sinode KINGMI Papua yang menyebutkan jumlah korban meninggal sudah mencapai angka 200 lebih. Tim medis yang diturunkan ke lokasi wabah terdiri dari Dinkes Nabire, Paniai, dan juga lembaga LSM asing OKSPAM dengan membawa satu dokter tanpa batas waktu antarnegara dan juga dua orang dari MSF dan tim water sanitation.Dari hasil sampel Sub Diare Dinkes pusat bersama WHO menyebutkan wabah bernama ekanus kolera. Akibat sanitasi air yang sangat buruk menyebabkan wabah ini cepat menyebar, cara memasak air yang tidak mendidih serta kebiasaan tidak mencuci tangan sebelum masak dan juga cara memasak yang kurang bagus serta sirkulasi udara.

Ketakutan Akibat wabah ini muncul berbagai isu dan kecurigaan di kalangan masyarakat soal isu genosida untuk membasmi orang Papua. Selain itu juga adanya kecurigaan dari penduduk pribumi kepada warga pendatang yang membuat situasi mudah panas. Hal inilah yang membuat tim kesehatan kesulitan melakukan sosialisasi kolera kepada masyarakat serta menyebarkan serbuk kaporit di sungai dan kali yang terletak pada di dua distrik ini. Padahal Dinkes Papua telah menyediakan 75 kg kaporit untuk disebar. Jangan sampai warga mencurigai kami menyebarkan serbuk racun, padahal yang kami sebarkan ini adalah bubuk kaporit, kata Wagub Hesegem. nCopyright Sinar Harapan 2008

West Papua: Cholera Outbreak Monday, 30 June 2008

After Cholera has taken 85 lives in West Papua over three months, Human

Rights workers criticize Indonesian response as negligent.Below is a press release from the Institute for Papuan Advocacy and Human Rights:New reports from Human Rights and Church sources in West Papua state that 85 people have died in a Cholera outbreak over the past 3 months [April-June 2008] in the adjacent Nabire and Paniai regencies of West Papua.Previous reports by Indonesian authorities in early June [2008] stated 17 people had died. At that time Health authorities disputed figures from West Papuan Human Rights workers that there had actually been 34 fatalities if cases in the villages were counted.This latest Cholera outbreak started in April and has continued through to June 2008. Based on information supplied from the ground the Institute of Papuan Advocacy and Human Rights believes that the Indonesian Health Department and Provincial government response has been grossly inadequate. It appears that people were treated in the community health centers when people were able to physically carried there but the government response in those affected villages was very limited.Indeed for the Government personnel the response was a matter of mutual blaming and a refusal to take responsibility. Everybody in the Government has avoided taking responsibility and has blamed each other for what went wrong.The Papua Health Office was reported in the Jakarta Post (June 4th, 2008,) as identifying an Ogawa-type vibrio cholera viral infectionfollowing tests in Jayapura.Cholera, which is abacterialdisease, attacks the gut lining with infected people quickly developing symptoms of severe diarrhea & massive fluid loss. The disease can be fatal within 18 hours if re-hydration & therapy does not occur.This Cholera epidemic was first reported in Paniai in early April 2008 at Ekemanida village. It has spread to nearby villages at Kamuu and North Kamuu Districts. The villages where the disease was reported are Ekemanida, Idakotu, Dogimani/Idadagi, Makidimi/Egebutu, Ekimani/Nuwa, Denemani/Apagogi, Kimupugi, Dikiyouwo, Duntek, Boduda, Deiyai, Goodide, Idakebo, Mogou and Dogimani.In March, April 2006, in the highland regencies of Jayawijaya and Yahukimo 178 and 33 indigenous West Papuans respectively died reportedly from Cholera epidemics.Paula Makabory representing the Institute for Papuan Advocacy and Human Rights said, Cases of fatal diarrhea, which include undiagnosed Cholera, have been increasingly reported in Nabire and Highland areas of West Papua in the past few years.Paula Makabory also said today [29 June 2008], Earlier this month our organisation alerted the World Health Organisation (WHO) of this current Cholera outbreak but that organisation in Indonesia appears to have not responded. We contacted the WHO because previous experience is that the Indonesian Government agencies and provincial government would not mount an adequate response.Although there are massive amounts of money available to government in West Papua that money is not being used to control the contagious diseases, which also includes HIV/AIDS, TB, as well as Malaria, in the indigenous population. Little of the Special Autonomy funds budgeted for health is being effectively. West Papua remains closed to access from international NGO and the media so none knows what is happening.The Special Autonomy process which Jakarta set up 7 years ago is not serving the peoples education and health needs. Many West Papuans view the combination of lack of health services and military occupation as deliberate and 'Genocide'.West Papua must be opened up to the world so the basic human rights including the right to adequate health of Indigenous West Papuan can be promoted. There is a new set of diseases which have never been experienced by remote & isolated highland communities which are continuing to spread into these communities.West Papua should be opened to international health organisations toassist local communities in developing the ability for detection and treatment of disease and to assist in public health generally, including pre and post natal care of mothers and babies.Talk by international countries such as Germany of swapping Indonesias international debt in return for implementation of health programs by the Global Fundwill be most effective in West Papua if there is increased political freedom. International attention is necessary so that the critical health services can be rapidly implemented. The indigenous communities must be given the freedom to join in this health reform so they can help themselves. Paula Makabory said, There is a need for a major rethink about how community health and human rights is addressed in West Papua as the indigenous people do not trust the Indonesia Government. The international community, NGOs and Governments should be encouraging local health projects which are necessary to respond to the health crises in West Papua.If the West Papuan people are not empowered in the field of health, the health of the West Papuan people will continue to deteriorate.

tionghoanet Forum Komunikasi dan Silahturahmi Warga Tionghoa di Indonesia. Anda bebas berdiskusi seputar masalah Tionghoa dan segala hal terkait dgn komunitas Tionghoa di Indonesia. Untuk ikutan berdiskusi, kunjungi http://groups.yahoo.com/group/inti-net atau kirim email utk bergabung : [email protected] Tim Moderator INTI-net dan BLOG tionghoanet [email protected] http:// groups.yahoo.com/group/inti-netKamis, Juli 31, 2008[inti-net] 172 Warga Lembah Kamuu di Papua Meninggal karenahttp://cetak.kompas.com/read/xml/2008/07/29/01401384/172.warga.lembah.kamuu.di.papua.meninggal.karena

172 Warga Lembah Kamuu di Papua Meninggal karenaSelasa, 29 Juli 2008 | 01:40 WIB JAYAPURA, KOMPAS - Sebanyak 172 orang dewasa dan anak-anak meninggal akibat kolera di Kabupaten Dogiyai, Provinsi Papua, sepanjang April hingga 21 Juli 2008. Sejauh ini belum tampak langkah nyata dari pemerintah setempat untuk mengatasi hal tersebut.

Hal itu diungkapkan Kepala Biro Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (KPKC) Kemah Injili Gereja Masehi Indonesia Pendeta Benny Giay, Ketua KPKC Sinode Gereja Kristen Injili Pendeta Dora Balubun, Direktur Sekretariat Keadilan Perdamaian (SKP) Keuskupan Jayapura Fr Saul Wanimbo Pr, serta Direktur SKP Keuskupan Timika Br Budi Hermawan OFM, Senin (28/7) di Jayapura.

Benny Giay mengatakan, penyakit itu menyebar di 17 kampung pada dua distrik di Lembah Kamuu dan dua kampung di satu distrik di Paniai. Lembah Kamuu yang semula masuk Kabupaten Nabire kini masuk Kabupaten Dogiyai setelah pemekarannya diresmikan akhir Juni lalu.

Para pemimpin agama itu menyayangkan Pemerintah Kabupaten Nabire, selaku kabupaten induk, dan Pemerintah Provinsi Papua yang belum melakukan tindakan nyata dalam menangani kasus tersebut.

Rektor Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Fajar Timur Jayapura, Dr Neles Tebay Pr, mengatakan, saat ini masyarakat marah dan curiga ada unsur kesengajaan pemerintah untuk membiarkan penyakit itu agar masyarakat asli meninggal. Amarah warga diwujudkan dengan perusakan dan pembakaran kios pendatang di Moanemani.

Budi Hermawan mengatakan, gereja menerjunkan tim medis Yayasan Caritas Timika ke lokasi. Dokter yayasan melaporkan, warga terkena diare dan kolera. Namun, terbatasnya kemampuan sumber daya dan biaya membuat penyakit itu belum teratasi.

Permintaan pihak gereja untuk bertemu Gubernur Barnabas Suebu untuk melaporkan hal itu belum bisa terlaksana karena gubernur dan wakil gubernur sedang turun kampung.

Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua Bagus Sukaswara yang berada di Boven Digul mendampingi gubernur turun kampung saat dihubungi menyatakan, pihaknya telah menurunkan tim beberapa kali untuk menangani kasus tersebut sejak akhir April.

Departemen Kesehatan juga turun ke lapangan untuk mengevaluasi dinas kesehatan dalam menangani masalah tersebut. Bagus Sukaswara tidak merinci hasilnya karena belum mendapatkan laporan. (ich

[Non-text portions of this message have been removed]__._,_.___ Messages in this topic (1) Reply (via web post) | Start a new topic Messages | Files | Photos Untuk bergabung di milis INTI-net, kirim email ke : [email protected]

Kunjungi situs INTI-net http://groups.yahoo.com/group/inti-net

Kunjungi Blog INTI-nethttp://tionghoanet.blogspot.com/

156 Warga Lembah Kamuu Dogiyai Meninggal28/07/2008 | 16:27:45

Ichwan Susanto | Jayapura - Belum seumur jagung diresmikan, Pemkab Dogiyai sudah dihadapkan pada wabah penyakit yang melanda daerahnya. Data yang dirilis Biro Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan Kemah Injili Gereja Masehi Indonesia dan Sinode Gereja Kristen Injili, serta Serikat Keadilan Perdamaian Keuskupan Jayapura dan Timika memperlihatkan sejak 6 April 2008, 156 warga Lembah Kamuu Dogiyai mati yang penyebabnya diduga adalah kolera dan muntaber. Rilis ini disampaikan Ketua Biro KPKC KINGMI Papua Pendeta Benny Giay, Ketua Biro KPCK Sinode GKI Pendeta Dora Balubun, Direktur SKP Keuskupan Jayapura Br J Budi Hermawan, OFM, dan Direktur SKP Keusku pan Timika Fr Saul Wanimbo, Pr, Senin (28/7), di Jalan Kesehatan Dok II Keuskupan Jayapura Provinsi Papua.

Budi Herm awan mengatakan wabah telah menyebar di 17 kampung dan dua distrik di Lembah Kamuu serta dua kampung di satu distrik di Paniai. Lembah Kamu kini masuk dalam Kabupaten Dogiay yang pada awal Juli lalu diresmikan pemekarannya dari Kabupaten Nabire oleh Menda gri Mardiyanto.

"Wilayah penyebaran tidak lagi terbatas di Kamuu melainkan sudah mencapai Paniai. Bila tidak diatasi kemungkinan dapat menyebar ke wilayah-wilayah terdekat lainnya," ujar Benny Giay.

Pimpinan agama ini menyayangkan Pemkab Nabire (selaku induk) dan Pemprov Papua belum mengambil tindakan nyata untuk mengambil tindakan nyata. Hal ini memicu kecurigaan masyarakat akan unsur kesengajaan pembiaran masyarakat asli setempat mati.

Menurut Budi Hermawan, gereja telah melakukan penanganan medis dengan menerjunkan Tim Medis Yayasan Caritas Timika. Namun tindakan mereka terbatas kamampuan personel dan biaya sehingga belum menjawab kebutuhan masyarakat.

Keprihatinan Gereja atas Wabah Kolera yang Memusnahkan Nyawa Warga Di Lembah Kamuu Dogiyai Papua Wabah kolera dan muntaber telah melanda wilayah Lembah Kamuu, Paniai sejak 6 Apri 2008 dan masih berlangsung hingga saat ini. Data yang dikumpulkan Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (KPKC) Sinode Kingmi hingga tanggal 8 Juli, wabah ini tel ah menelan nyawa sebanyak 156 orang dewasa dan anak-anak. Wabah telah menyebbar di 17 kampung dari 2 distrik di Lembah Kamuu dan 2 kampung dari 1 distrik di Paniai. Lembah Kamuu sekarang termasuk dalam Kabupaten Dogiyai, merupakan pemekaran dari Kabupaten Nabire yang baru diresmikan Mendagri awal Juli ini. Wilayah sebaran tidak lagi terbatas di Kamuu, melai nkan mencapai Paniai. Bila tidak diantisipasi, dapat menyebar ke daerah-daerah lain.

Sangat disayangkan sekalipun wabah itu sudah menyerang masyarakat se lama empat bulan berturut-turut, bahkan sudah tergolong KLB, sampai saat ini tidak ada tindakan nyata dari Pemda Nabire maupun Pemda Provinsi Papua untuk menyelamatkan nyawa warga. Sungguh ironi mengingat Pemda justru sibuk meresmikan wilayah pemekaran da n melantik pejabat buati yang baru. Tiadanya upaya penanganan yang bersifat segera, menyeluruh dan berkelanjutan dari pemerintah telah menyimbulkan frustrasi dan kecurigaan mendalam di masyarakat apabilan wabah ini sengaja disebabrkan dan pemerintah juga s e ngaja membiarkan masyarakat mati dengan kolera. Suasana demikian telah menimbulkan ketegangan antar warga setempat dan mendorong masyarakat melakukan perusakan terhadap rumah milik sejumlah warga pendatang yang dicurigai berhubuhngan dengan menyebarnya wa bah tersebut.

Gereja-gereja telah melakukan penanganan medis misalnya Keuskupan Timika menerjunkan Tim Medis Yayasan Caritas Timika. Akan tetapi, karena keterbatasan kemampuan personel dan biaya maka layanan ini tentu tidak mampu menjawab kebutuhan di lapangan.Berdasarkan fakta ini, kami menyatakan keprihatinan kami dengan meminta kepada Gubernur, MRP, dan DPRP agar:

1. Mengambil Langkah segera dengan mengirimkan tim medis ke lapangan untuk melakukan pengobatan bagi masyarakat yang menderita.

2.melakukan pencegahan sesegera mungkin agar wabah tidak menyebar ke wilayah lain.

3. menyelidiki mendalam tentang penyebab sesungguhnya dari wabah kolera ini dan hasilnya diumumkan kepada masyarakat luas agar dapat menghentikan segala praduga dan kecemasan yang sedang berkembang

4.melakukan tindakan pemulihan atas segala dampak buruk baik fisik, mental, dan sosial yang ditimbulkan oleh wabah tersebut

5.tidak menyibukkan diri dengan pemekaran dan jabatan politik semata, melainkan memberikan pelayanan kesehatan bermu tu seperti diperintahkan pasal 59 UU No.21/2001 tentang Otsus dan sistem kesehatan pangan yang mendukung terjaminnya gizi yang baik

kepada masyarakat:1. kami menyerukan kepada masyarakat di lembah Kamuu yang sedang menderita dan seluruh masyarakat di Pan iai agar melakukan upaya-upaya pencegahan secara mandiri, dengan merebus aair sebelum diminum dan menjaga sanitasi lingkungan

2.agar kritis terhadap informasi yang tersebar sehingga tidak terpancing melakukan tindak anarkis.

3.melaporkan setiap informasi kepada pemimpin agama setempat, dan aparat pemerintah serta polisi.

Jayapura, 28 Juli 2008-07-28

Fr Saul Wanimbo Pr

SKP Keuskupan Timika

Br J Budi Hernawan, OFM

SKP Keuskupan Jayapura

Pdt Benny Giay

KPKC Sinode KINGMI Papua

Pdt Dora Balubun

KPKC Sinode GKI

PAPUARatusan Warga Distrik KamuuTewas Diserang Wabah Kolera

Jumat, 1 Agustus 2008JAYAPURA (Suara Karya): Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) menyesalkan kematian 172 warga masyarakat pedalaman di Distrik Kamuu, Kabupaten Dogiyai, akibat terserang wabah kolera dan muntaber sejak April 2008 lantaran tidak mendapat perhatian serius dari Dinas Kesehatan Provinsi Papua. Penyesalan tersebut dikemukakan Wakil Ketua Komisi A DPRP, Ramses Wally SH, kepada Antara di Jayapura, Kamis (31/7) menanggapi meninggalnya ratusan penduduk pedalaman Papua itu. Dikatakannya, kasus ini sebenarnya tidak perlu terjadi apabila Dinas Kesehatan Provinsi Papua tanggap dan cepat melakukan tindakan pencegahan sejak dini dengan menerjunkan tim medis untuk melayani masyarakat terutama yang menderita penyakit itu. Padahal dalam era Otonomi Khusus (Otsus) Papua ini, dana yang disediakan pemerintah untuk bidang kesehatan jauh lebih besar dibanding sektor lainnya. Namun kenyataannya masyarakat yang meninggal dunia akibat wabah kolera dan muntaber mencapai ratusan jiwa. Menurutnya, seharusnya Pemerintah Provinsi Papua segera turun ke lapangan untuk mengecek sekaligus memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat di Distrik Kamuu setelah mendapat laporan dari pihak gereja, bukan sebaliknya membiarkan masyarakat terus meninggal dunia. Kasus ini sebenarnya sudah dilaporkan pihak Gereja Katolik, Protestan dan Gereja Kingmi Papua kepada Pemerintah Provinsi Papua pekan lalu, namun tidak digubris. "Bahkan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua pun sibuk mengikuti kegiatan Gubernur Barnabas Suebu turun kampung (turkam). Ini menyebabkan wabah penyakit yang mematikan itu tidak segera tertangani," ujar Ramses. Ketua Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia Provinsi Papua itu malah menuding Pemerintah Provinsi Papua sengaja tidak mau bersungguh-sungguh menangani wabah penyakit yang merengggut 172 jiwa penduduk pedalaman itu. Apabila kasus ini terus menerus terjadi, maka Ramses minta Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua segera diganti karena yang bersangkutan sangat lamban menangani kasus ini sehingga 172 warga di Distrik Kamuu meninggal dunia. (Ant/Dwi Putro AA)

www.radarsorong.com 26 Agustus 2008 05:50:10

Saksi Tolak Keterangan di BAPMANOKWARI-Sidang kasus dugaan makar pembentangan bendera Bintang Kejora Maret 2008 lalu terus berlanjut di Pengadilan Negeri Manokwari. Senin (25/8) majelis hakim yang dipimpin Yan Manoppo, SH menyidangkan perkara Jack Wanggai selaku juru bicara West Papua National Authority (WPNA) Cs dengan agenda pemeriksaan saksi. Saksi RA yang juga terdakwa dalam kasus makar tersebut tidak mengakui keterangannya yang tertera dalam berita acara pemeriksaan (BAP) penyidik Polres Manokwari. Sidang-sidang sebelumnya tim advokasi hak asasi manusia untuk rakyat Papua yang dikoordinir Yan Christian Warinussy, SH meminta waktu pada majelis hakim untuk membacakan surat protes keras di depan persidangan. Namun majelis hakim dengan berdasarkan KUHAP tetap menolak kuasa hukum para terdakwa makar ini yang ingin membacakan surat protes keras. Selain itu majelis juga beralasan kalau surat tersebut dibacakan banyak wartawan yang mendengarkannya. Meski demikian, Warinussy masih beralasan surat tersebut penting karena kaitannya dengan pemeriksaan perkara tersebut. Sehingga timnya tetap ngotot agar diberikan kesempatan. Majelis hakim tetap pada pendapatnya. Kuasa hukum selanjutnya meminta surat tersebut diserahkan kepada majelis hakim.Dalam surat protes yang ditujukan kepada majelis hakim menyatakan protes keras atas tindakan JPU dalam perkara Aquo telah menggunakan BAP para saksi yang direkayasa oleh oknum anggota Satreskrim Bripka MA. Untuk itu tim penasehat hukum para terdakwa menyatakan menolak dengan tegas BAP dan keterangan serta keberadaan dari saksi-saksi David Rumbruren, Depyanto, Hartopo dan Herry Rahim untuk dijadikan sebagai bukti di persidangan dengan terdakwa Jack Wanggai Cs. Surat protes yang ditandatangai 3 orang selaku tim advokasi ditembuskan kepada Ketua Mahkamah Agung RI, Ketua Komisi Yudisial dan Ketua Pengadilan Tinggi.(sr) Radar Sorong 2008

1Agustus2008 Index172 Warga Distrik Kamuu Tewas Diserang Wabah Kolera

Jumat. Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) menyesalkan kematian 172 warga masyarakat pedalaman di Distrik Kamuu, Kabupaten Dogiyai, akibat terserang wabah kolera dan muntaber sejak April 2008 lantaran tidak mendapat perhatian serius dari Dinas Kesehatan Provinsi Papua. Penyesalan tersebut dikemukakan Wakil Ketua Komisi A DPRP, Ramses Wally SH, kepada Antara di Jayapura, Kamis (31/7) menanggapi meninggalnya ratusan penduduk pedalaman Papua itu. Dikatakannya, kasus ini sebenarnya tidak perlu terjadi apabila Dinas Kesehatan Provinsi Papua tanggap dan cepat melakukan tindakan pencegahan sejak dini dengan menerjunkan tim medis untuk melayani masyarakat terutama yang menderita penyakit itu. Padahal dalam era Otonomi Khusus (Otsus) Papua ini, dana yang disediakan pemerintah untuk bidang kesehatan jauh lebih besar dibanding sektor lainnya. Namun kenyataannya masyarakat yang meninggal dunia akibat wabah kolera dan muntaber mencapai ratusan jiwa. Menurutnya, seharusnya Pemerintah Provinsi Papua segera turun ke lapangan untuk mengecek sekaligus memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat di Distrik Kamuu setelah mendapat laporan dari pihak gereja, bukan sebaliknya membiarkan masyarakat terus meninggal dunia. Kasus ini sebenarnya sudah dilaporkan pihak Gereja Katolik, Protestan dan Gereja Kingmi Papua kepada Pemerintah Provinsi Papua pekan lalu, namun tidak digubris. papua.startpagina.nl / prikbord

Cholera epidemie. 156 doden in Nabire

Auteur:Free West Papuan Campaign (NL)(---.cable.wanadoo.nl)Datum:28-07-2008 18:42

Toeval of geen toeval, er is iets aan de hand en de Indonesische regering doet helemaal niets om Papua-levens te redden.

======================

SUARA PEMBARUAN DAILY

--------------------------------------------------------------------------- -----

Wabah Kolera di Nabire, 156 Meninggal

[JAYAPURA] Wabah kolera dan muntaber yang melanda wilayah Lembah Kamuu, Kabupaten Nabire, Provinsi Papua, sejak April 2008 hingga saat ini, menelan korban meninggal dunia sebanyak 156 orang terdiri dari dewasa dan anak-anak. Wabah tersebut menyerang penduduk di 17 kampung dan satu distrik di Kabupaten Nabire. Hal itu dikemukakan Bruder J Budi Hermawan OFM dari Serikat Keadilan Perdamaian (SKP) Keuskupan Jayapura saat membacakan siaran pers yang ditandatangani Ketua Biro Keadilan Perdamaian Keutuhan Ciptaan (KPKC) Sinode Gereja Kemah Injili (Kingmi) Papua, Pendeta Dr Beny Giay, Ketua KPKC Gereja Kristen Injili (GKI) di Tanah Papua, Pendeta Dora Balubun, dan Frater Saul Wanimbo asal SKP Keuskupan Timika, Senin (28/7) pagi di Sekretariat SKP, Jayapura.

Diungkapkan, penyebaran wabah kolera tidak terbatas di Kamuu, Kabupaten Nabire, melainkan sudah mencapai Kabupaten Paniai dan bila tidak bisa diatasi, kemungkinan dapat juga menyebar hingga ke wilayah-wilayah terdekat lainnya di kawasan Pegunungan Tengah Papua.

Dikatakan, sangat disayangkan wabah yang telah menyerang selama empat bulan berturut-turut bahkan sudah menjadi Kejadian Luar Biasa sampai saat ini tidak ada tindakan nyata dari Pemerintah Kabupaten Nabire dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua untuk menyelamatkan nyawa warga. "Sungguh ironi mengingat pemerintah daerah justru lebih sibuk meresmikan wilayah pemekaran dan melantik pejabat bupati yang baru. Bahkan Pemprov Papua sibuk dengan turun ke kampung," ujarnya.

Dalam siaran pers, diungkapkan tidak ada upaya penanganan yang bersifat segera dan menyeluruh serta berkelanjutan dari pemerintah terhadap korban. Sikap tersebut menimbulkan frustrasi dan kecurigaan di masyarakat, bahwa wabah ini sengaja disebarkan.

Membiarkan

Dengan demikian, pemerintah sengaja membiarkan masyarakat meninggal akibat kolera. Suasana demikian telah menimbulkan ketegangan antarwarga setempat dan mendorong mereka melakukan pengerusakan rumah milik sejumlah warga pendatang yang dicurigai berhubungan dengan menyebarnya wabah tersebut, katanya.

Diungkapkan, gereja-gereja telah melakukan penanganan medis. Keuskupan Timika menerjunkan tim medis dari Yayasan Caritas Timika. Namun, karena keterbatasan kemampuan personil dan biaya, menyebabkan gereja-gereja tidak mampu menjawab segala kebutuhan penderita.

"Berdasarkan fakta-fakta itu, kami prihatin dan meminta Gubernur Provinsi Papua, Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), dan Majelis Rakyat Papua (MRP) agar mengambil langka segera mengirimkan tim medis ke tempat kejadian," ujarnya.

Tokoh-tokoh gereja, tambahnya, meminta pemerintah jangan hanya menyibukkan diri dengan pemekaran dan jabatan politik semata. Mereka harus memberikan pelayanan kesehatan bermutu seperti diperintah oleh Pasal 59 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Juga meningkatkan sistem ketahanan pangan yang mendukung terjaminnya peningkatan gizi sesuai amanat Pasal 60 UU Otsus Papua.

Pengamat Papua, Dr Neles Tebay yang juga Ketua Sekolah Tinggi Teologi dan Filsafat Fajar Timur, Jayapura, menegaskan, ini adalah ironi. "Bagaimana kejadian selama empat bulan tidak diketahui pemerintah kabupaten Nabire dan Pemprov Papua. Apa artinya Otsus bagi Tanah Papua, kalau rakyatnya terus menderita dan meninggal tanpa pertolongan yang berarti," tandasnya. [154]

172 Warga Dogiay Dilaporkan Tewas CEPOS29 Juli 2008 04:43:13Terserang Muntaber dan Kolera, Pihak Gereja PrihatinJAYAPURA-Dunia kesehatan di Papua, kini menjadi sorotan. Ini menyusul adanya sebuah laporan mengejutkan yang datang dari Kabupaten Dogiay, yakni meninggalnya 172 warga akibat terserang muntaber dan kolera. Tewasnya 172 warga Dogiay dalam kejadian luar biasa (KLB) ini sebagaimana data yang dilaporkan Biro Keadilan Perdamaian Keutuhan Ciptaan (KPKC) Sidone KINGMI Papua. Data itu menyebutkan, hingga 21 Juli 2008, jumlah warga tepatnya di wilayah Lembah Kamuu, Kabupaten Dogiay (kabupaten baru yang dimekarkan dari Kabupaten Nabire), Papua yang meninggal akibat wabah kolera dan muntaber mencapai 172 orang. Korban tersebut terdiri dari anak-anak, remaja, pemuda hingga orang dewasa.Hal ini dikatakan Pdt. Benny Giay dari KPKC Sinode Kingmi Papua yang didampingi Br. J. Budi Hernawan,OFM dari Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) Keuskupan Jayapura, Fr. Saul Wanimbo,Pr dari SKP Keuskupan Timika dan DR. Neles Tebay dari Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Fajar Timur saat menggelar konferensi pers di Kantor Keuskupan Jayapura, Senin (28/7).Menurut Benny, wabah kolera dan muntaber tersebut telah melanda wilayah Lembah Kamuu, Paniai sejak 6 April 2008 lalu dan masih berlangsung hingga saat ini. "Wabah telah menyebar di 17 kampung dari 2 distrik di Lembah Kamuu dan 2 kampung dari 1 distrik di Paniai. Wilayah sebaran tidak lagi terbatas di Kamuu, melainkan mencapai Paniai. Bila tidak diantisipasi, dapat menyebar ke daerah-daerah lain," katanya.Pihak gereja sangat menyayangkan, sebab meskipun wabah itu sudah menyerang masyarakat selama empat bulan berturut-turut, bahkan sudah tergolong Kejadian Luar Biasa (KLB), namun sampai saat ini tidak ada tindakan nyata dari Pemda Nabire maupun Pemda Provinsi Papua untuk menyelamatkan nyawa warga di sana. "Sungguh ironi mengingat Pemda justru sibuk meresmikan wilayah pemekaran dan melantik penjabat bupati yang baru. Tiadanya upaya penanganan yang bersifat segera, menyeluruh dan berkelanjutan dari pemerintah telah menimbulkan frustrasi dan kecurigaan mendalam di masyarakat bahwa wabah tersebut sengaja disebarkan," paparnya. Karena kelambanan pemerintah dalam menyikapi wabah itu, masyarakat juga menilai ada semacam pembiaran dari pemerintah atas wabah yang menyerang masyarakat itu. "Suasana demikian telah menimbulkan ketegangan antar warga setempat dan mendorong masyarakat melakukan pengrusakan terhadap rumah milik sejumlah warga pendatang yang dicurigai berhubungan dengan menyebarnya wabah tersebut," tandasnya. Dijelaskan, menyikapi wabah itu, gereja-geraja telah melakukan penanganan medis. Misalnya Keuskupan Timika menerjunkan Tim Medis Yayasan Caritas Timika. "Akan tetapi, karena keterbatasan kemampuan personel dan biaya, maka layanan ini tentu tidak mampu menjawab kebutuhan di lapangan," jelas Benny Giay.Berdasarkan fakta-fakta ini, maka pihak gereja yang terdiri dari Biro KPKC Sinode Kingmi Papua, SKP Keuskupan Jayapura, SKP Keuskupan Timika, Biro KPKC Sinode GKI di Tanah Papua menyatakan keprihatinannya dan mendesak Gubernur Papua, Majelis Rakyat Papua (MRP) dan DPRP agar segera mengambil langkah dengan mengirimkan tim medis ke lapangan untuk melakukan pengobatan bagi masyarakat yang menderita wabah itu.Pihak gereja juga meminta agar pemerintah segera melakukan pencegahan secepat mungkin agar wabah tidak menyebar ke wilayah lain. "Selanjutnya pemerintah harus menyelidiki secara mendalam tentang penyebab sesungguhnya dari wabah kolera dan muntaber ini dan hasilnya harus diumumkan kepada masyarakat luas agar dapat menghentikan segala praduga dan kecemasan yang sedang berkembang," tegasnya.Selain itu, pemerintah juga harus segera melakukan tindakan pemulihan atas segala dampak buruk baik fisik, mental, dan sosial yang ditimbulkan oleh wabah tersebut. "Pemerintah tidak boleh menyibukkan diri dengan pemekaran dan jabatan politik semata, melainkan harus memberikan pelayanan kesehatan bermutu seperti diperintahkan pasal 59 UU No.21 Tahun 2001 tentang Otsus dan sistem kesehatan pangan yang mendukung terjaminnya gizi yang baik," tandasnya.Kemudian kepada masyarakat di Lembah Kamuu yang sedang menderita dan seluruh masyarakat di Paniai, pihak gereja menyerukan agar melakukan upaya-upaya pencegahan secara mandiri, dengan merebus air sebelum diminum dan menjaga sanitasi lingkungan. Selain itu, masyarakat diminta tidak terpancing dengan informasi atau isue yang tidak benar yang berkembang di masyarakat, dan jangan sampai melakukan tindakan anarkhis. 'Jika ada informasi yang tidak jelas dan berkembang di masyarakat, segera laporkan kepada pemimpin agama setempat, dan aparat pemerintah serta polisi," himbaunya.Br J Budi Hernawan, OFM menyatakan, atas adanya wabah yang mematikan ratusan nyawa ini, pihak Persekutuan Gereja-Gereja di Papua (PGGP) telah menyurat ke Gubernur Papua untuk membahas masalah itu, tetapi gubernur masih sibuk dengan kegiatan Turkam (Turun Kampung) sehingga belum bisa dilayani.DR Neles Tebay menambahkan, pemerintah jangan menyederhanakan masalah yang terjadi di Dogiay itu, pasalnya orang mati secara terus menerus. "Ini harus segera disikapi dan pemerintah harus bisa membuktikan secara ilmiah apa yang terjadi di sana dan melakukan langkah antisipasi, sehingga masyarakat tidak berpraduga bahwa wabah ini disebarkan oleh oknum tertentu yang kemudian membuat masyarakat marah dan menyerang atau melakukan pengrusakan terhadap oknum tertentu yang dinilai oleh masyarakat telah menyebarkan wabah itu. Ini yang harus segera dilakukan pemerintah," tegasnya.Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua, Dr. Bagus Sukaswara saat dikonfirmasi Cenderawasih Pos mengatakan, bahwa pihaknya enggan jika dikatakan lamban dalam menangani kasus itu, sebab Dinas Kesehatan sudah menangani kasus yang menimpa warga Dogiay itu sejak awal Mei 2008 lalu. "Kita sudah menangani kasus itu sejak awal Mei lalu, namun kemudian kasusnya muncul lagi dan itupun kita tangani lagi," katanya.Mengenai jumlah korban yang begitu banyak, pihaknya merasa kurang yakin dengan angka-angka itu, sebab data yang masuk ke dinas kesehatan tidak demikian. Meski begitu, pihaknya belum bisa menjelaskan lebih lanjut, karena sedang mengikuti kegiatan Turkam Gubernur Papua di Bovendigoel.(fud)Pemerintah dan Mitra Kesehatan Terus Bekerja SEMENTARA ITU, pemerintah Provinsi Papua dalam pernyataan persnya melalui Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua dr Bagus Sukaswara mengatakan, sehubungan dengan pemberitaan di media massa terkait KLB Diare yang disebabkan Kuman Vibrio-Kolera, yang berdasarkan catatan pemerintah telah mengakibatkan meninggalnya 81 (delapan puluh satu) orang warga masyarakat di kampung-kampung di Distrik Kamu dan Ikrar, perlu disampaikan kepada masyarakat luas langkah-langkah yang telah diambil pemerintah dan mitra kesehatannya untuk diketahui.Dikatakan, sesudah menerima laporan dari masyarakat dan petugas lapangan, pada tanggal 4 Mei Tim Kesehatan dari Kabupaten Nabire telah turun ke lapangan dan melakukan tindakan-tindakan pengobatan. Kasus kemudian menurun drastis. Pada saat itu diperkirakan bahwa penularan ini terjadi melalui air yang tercemar.Ternyata kasus ini kemudian meningkat kembali pada awal bulan Juni. Sesudah diselidiki, penyebab peningkatan kasus ini adalah akibat penularan dari orang ke orang. Rata-rata yang sakit dan meninggal adalah mereka yang sebelumnya mengunjungi penderita yang sakit atau yang telah meninggal dunia akibat penyakit ini.Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi Papua, Pemerintah Kabupaten Nabire, Medecins Sans Frontieres (MSF) International, Oxfarm, Gereja, LSM, dan mitra kesehatan lainnya telah melakukan penanganan sesuai prosedur tetap (protap) penanganan diare-kolera. Yang dilakukan itu di antaranya adalah mencari penderita dan memberikan pengobatan massal, melakukan investigasi kematian, dan memberikan pengobatan langsung pada orang-orang di sekitar mereka yang meninggal akibat penyakit ini. Di Puskesmas Moanemani telah didirikan Cholera Treatment Center untuk mengisolasi mereka yang terkena penyakit ini sehingga tidak menulari orang-orang lain.Selain itu telah pula dilakukan pengobatan anti-biotik ke semua penduduk di kampung-kampung Dumtek, Ekimani, Ekimanida dan Idakotu untuk memutuskan mata rantai penyebaran penyakit. Pemantauan ketat tetap dilakukan selama dua minggu sesudah penurunan kasus. Pos oralit juga dididirikan di masing-masing kampung, khususnya yang memiliki kematian tinggi.Sekarang ini ada 3 (tiga) orang dokter pemerintah yang ditempatkan di Moanemani. Sebelumnya ada 2 orang dokter MSF dan Oxfarm, 8 orang perawat pemerintah dan MSF, 4 orang ahli kesehatan dari Oxfarm dan sejumlah sarjana kesehatan masyarakat. Mereka terus bekerja bersama-sama dengan para tokoh gereja dan masyarakat untuk menangani penyakit ini.Pemerintah Provinsi Papua benar-benar prihatin dengan Kejadian Luar Biasa ini. Upaya-upaya akan terus ditingkatkan untuk memastikan bahwa penyakit diare-kolera ini bisa ditanggulangi dan tidak menyebar ke daerah-daerah yang lain. Keberhasilannya sangat ditentukan oleh banyak faktor - termasuk diantaranya adalah perilaku hidup sehat pada masyarakat setempat. Untuk itu, selain menyelenggarakan pengobatan, pemerintah memberikan fokus pada penyuluhan hygiene perorangan dan mendekatkan air bersih ke masyarakat.Khusus bagi masyarakat setempat apabila mengalami diare untuk segera mencari pelayanan kesehatan di Puskesmas atau di Pos-pos Oralit yang telah dibentuk di kampung-kampung. Selain itu, perlu membiasakan untuk mencuci tangan dengan sabun, dan minum air yang telah dimasak.Pemerintah Provinsi Papua mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan terlibat secara aktif untuk memberikan penyadaran publik tentang penyakit ini.(fud) Posted by Manswarbori at 15:39 0 comments

http://www.ghabo.com/index.php?option=com_banners&task=click&bid=92http://www.ghabo.com/index.php?option=com_banners&task=click&bid=85

Senin, 28 Juli 2008 14:41 Muntaber Serang Warga Lembah Kamuu Dogiyai, 156 Meninggal

Jayapura, GhaboNews - Belum seumur jagung diresmikan, Pemkab Dogiyai sudah dihadapkan pada wabah penyakit yang melanda daerahnya. Sejak 6 April 2008, 156 warga Lembah Kamuu Dogiyai mati yang penyebabnya diduga adalah kolera dan muntaber.

Rilis ini disampaikan Ketua Biro KPKC KINGMI Papua Pendeta Benny Giay, Ketua Biro KPCK Sinode GKI Pendeta Dora Balubun, Direktur SKP Keuskupan Jayapura Br J Budi Hermawan, OFM, dan Direktur SKP Keusku pan Timika Fr Saul Wanimbo, Pr, Senin (28/7), di Jalan Kesehatan Dok II Keuskupan Jayapura Provinsi Papua.

Budi Herm awan mengatakan wabah telah menyebar di 17 kampung dan dua distrik di Lembah Kamuu serta dua kampung di satu distrik di Paniai. Lembah Kamu kini masuk dalam Kabupaten Dogiay yang pada awal Juli lalu diresmikan pemekarannya dari Kabupaten Nabire oleh Menda gri Mardiyanto.

"Wilayah penyebaran tidak lagi terbatas di Kamuu melainkan sudah mencapai Paniai. Bila tidak diatasi kemungkinan dapat menyebar ke wilayah-wilayah terdekat lainnya," ujar Benny Giay.

Pimpinan agama ini menyayangkan Pemkab Nabire (selaku induk) dan Pemprov Papua belum mengambil tindakan nyata untuk mengambil tindakan nyata. Hal ini memicu kecurigaan masyarakat akan unsur kesengajaan pembiaran masyarakat asli setempat mati.

Menurut Budi Hermawan, gereja telah melakukan penanganan medis dengan menerjunkan Tim Medis Yayasan Caritas Timika. Namun tindakan mereka terbatas kamampuan personel dan biaya sehingga belum menjawab kebutuhan masyarakat.Muntaber Serang Warga Lembah Kamuu Dogiyai, 156 Meninggal Ghabo Informasi TerkaitLima Balita Meninggal Akibat Muntaber

2008 GHABO.COM Hak Cipta Dilindungi

Muntaber Serang Warga Dogiyai RatusanTewasDitulis pada Juli 28, 2008 oleh Tabloid Jubi Jubi Korban Tewas akibat Muntaber dan Kolera di Kabupaten Dogiyai telah menembus angka 172 jiwa. Pemerintah mengaku telah menangani kasus ini sejak awal. Lalu mengapa jumlahnya terus bertambah?Sejak april lalu, setidaknya sudah 172 warga Lembah Kamuu, Kabupaten Dogiyai meninggal dunia. Mereka terserang penyakit muntaber dan Kolera. Saat ini wabah sudah menyerang 17 kampung dari dua distrik dilembah Kamuu, Kabupaten Dogiyai yang baru diresmikan Juli lalu. Data yang kami himpun saat ini wabah sudah menyebar hingga 2 kampung di satu distrik di Kabupaten Paniai. Jumlah korban meninggal dunia sampai dengan 14 Juli sudah mencapai 156 orang, sedangkan data yang terkumpul hingga 21 Juli, korban meninggal dunia sudah mencapai 172 orang, kata DR Benny Giay dari Biro Keadilan dan Perdamaian bagi keutuhan Ciptaan (KPKC) Sinode Gereja KINGMIPapua.Awal munculnya wabah Mutaber dan Kolera ini dimulai tanggal 6 April 2008 di Ekemanida dan Idakotu, kampung dekat ibukota Distrik Kamuu Moanemani. Setelah Setelah 3 minggu wabah menyerang dan korban sudah mencapai puluhan orang, Puskesmas lalu menurunkan tim sesuai kemampuan seperti pengobatan diare biasa dan pemberian oralit. Karena tidak membuat perubahan, kepala puskesmas lalu membuat laporan kepada Dinas kesehatan Kabupaten Nabire. Tim dari Nabire datang ke Moanemani baru tanggal 7 Mei. Tim kesehatan lalu melakukan pengobatan massal kepada masyarakat selama 5 hari dan kembali ke Nabire tanggal 12 Mei. Tim Dinas kesehatan Nabire ini mengatakan wabah ini sudah teratasi dan tidak ada korban lagi. Itu sebabnya mereka kembali. Kenyataannya terhitung sejak tanggal 13 Mei hingga 8 Juli korban yang meninggal dunia terus bertambah hingga mencapai 110 orang, kata Yones Douw ketua koordinator perdamaian da keadilan daerah Nabire, Paniai dan Puncak Jaya. 110 korban ini berasal dari Ekemanida, Idakotu, Dogimani, Denemani, Makidimi (Apagougi), Dikiyouw (Mauwa), Kimupugi, Duntek, Bukapa, Idakebo, pugatadi I, Goodide, Ekimani/Nuwa dan Boduda.Menurut Douw, setelah dipublikasikan di berbagai media, akhirnya datang tim dari MSF (Medecins Sans Frontieres) yang membantu masyarakat selama 2 minggu. Kemudian tanggal 6 Juni, tim Oxfam tiba di Moanemani. Mereka membantu perbaikan pipa air, kelambu di ruang perawat dan tempat tidur perawat . Pada tanggal yang sama juga tim Dinas kesehatan Kabupaten Nabire tiba. Ini kali kedua tim Dinkes Nabire datang ke Moanemani untuk mengadakan pengobatan massal. Mereka berada di Lembah Kamuu selama 5 hari, lalu kembali ke Nabire tanggal 11 Mei. Hingga tanggal 28 Mei wabah berhenti, namun sejak 2 Juli wabah timbul lagi di kampung Ekemanida dan terus berlanjut hingga sekarang.Keuskupan Timika kemudian menurunkan tim medis bekerja sama dengan yayasan Caritas Timika . Mereka menemukan kasus Muntaber dan Kolera, namun karena keterbatasan kemampuan personil dan biaya maka layanan ini tidak mampu menjawab semua kebutuhan di lapangan, kata Br. J. Budi Hermawan, OFM dari sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) Jayapura.Atas keprihatinan ini, Persekutuan Gereja Gereja Papua (PGGP) kamis (27/7) datang ke Kantor Gubernur Provinsi Papua untuk mengadukan wabahyang melanda Dogiyai kepada gubernur. Sayangnya Gubernur tidak dapat menemui mereka karena sedang mengikuti acara turun kampung (turkam) di Senggi,Kabupaten Keerom. Situasi sangat darurat, namun pemerintah tidak mau bergerak cepat. Mereka meminta kami menunggu hingga tanggal 31 Juli nanti, setelah turkam berakhir. Mungkin jika jumlahnya sudah ribuan, baru menjadi perhatian pemerintah, kata Bruder Budi. Mereka kemudian meminta untuk dipertemukan dengan sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Papua, itupun tidak dikabulkan.Akhirnya, Senin 28 Juli 2008 SKPKeuskupan Timika, Biro KPKC Sinode KIGMI Papua, SKPKeuskupan Jayapura dan KPKC Sinode GKI di Tanah Papua mengeluarkan release bersama yang intinya meminta pemerintah melakukan investigasi untuk mencari penyebab sebenarnya wabah ini agar tidak terjadi kecuriagaan di masyarakat.Jika tidak ada penjelasan yang baik di masyarakat, masyarakat akan berusaha mencari alasan mengapa mereka sakit, meninggal dan tidak bisa di obati. Kebenaran yang lahir bisa saja justru mengakibatkan kerusuhan massa seperti penyakit ini karena guna-guna atau penyakit ini karena diracun intel dan seterusnya. Sebab itu pengobatan sangat penting, dilanjutkan dengan penyuluhan agar masyarakat tahu pasti apa yang di derita mereka, Kata DR. Neles Tebay, Pr, Ketua Sekolah Tinggi Filsafat Teologia (STFT) Fajar Timur, Abepura.Wakil ketua I Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) geram dengan berkepanjangannya kasus muntaber dan Kolera di Dogiyai. Saya pikir masalah ini sudah selesai, jika ternyata tidak! Kami akan panggil gubernur untuk jelaskan permasalahan ini. katanya. Menurutnya Program turkam itu penting, karena akan mensejahterahkan masyarakat. Tapi jika masyarakatnya sakit, bagaimana bisa sejahtera.Kalau data tokoh-tokoh agama ini benar, maka gubernur harus tegas menghukum aparatnya. Gubernur harus memecat kepala dinas kesehatan, karena menyembunyikan kasus yang telah menelan banyak nyawa rakyat, lanjut Komarudin.Kepala dinas kesehatan Provinsi Papua, dr. Bagus Sukaswara saat dihubungi Senin (28/7) sulit sekali tersambung karena berada di Tanah merah, Kabupaten Boven Digul menemani Gubernur yang sedang melakukan program turun kampung. Ia baru bisa dihubungi setelah berbagai berita dotcom mengeluarkan pernyataan para tokoh agama. Persoalan ini sudah kami tangani sejak minggu ke empat April. Kami juga sudah menurunkan tim beberapa kali bulan Mei dan awal Juni. Dan ketika keadaan sudah dianggap baik, tim kami tarik kembali, ujar dr. Bagus. Ia membenarkan bahwa korban meninggal disebabkan oleh Kuman vibrio kolera, namun sudah teratasi.Pada awalnya diperkirakan bahwa penularan ini terjadi melalui air yang tercemar. Namun ternyata kasus ini kemudian meningkat kembali pada awal bulan Juni. Sesudah diselidiki, penyebab peningkatan kasus ini adalah akibat penularan dari orang ke orang. Rata-rata yang sakit dan meninggal adalah mereka yang sebelumnya mengunjungi penderita yang sakit atau yang telah meninggal dunia akibat penyakit ini, lanjut dr. Bagus.Yang dilakukan itu di antaranya adalah mencari penderita dan memberikan pengobatan massal, melakukan investigasi kematian, dan memberikan pengobatan langsung pada orang-orang di sekitar mereka yang meninggal akibat penyakit ini. Di Puskesmas Moanemani telah didirikan Cholera Treatment Center untuk mengisolasi mereka yang terkena penyakit ini sehingga tidak menulari orang-orang lain, katanya. Selain itu telah pula dilakukan pengobatan anti-biotik ke semua penduduk di kampung-kampung Dumtek, Ekimani, Ekimanida dan Idakotu untuk memutuskan mata rantai penyebaran penyakit. Pemantauan ketat tetap dilakukan selama dua minggu sesudah penurunan kasus. Pos oralit juga dididirikan di masing-masing kampung, khususnya yang memiliki kematian tinggi.Sekarang ini ada 3 (tiga) orang dokter pemerintah yang ditempatkan di Moanemani. Sebelumnya ada 2 orang dokter MSF dan Oxfarm, 8 orang perawat pemerintah dan MSF, 4 orang ahli kesehatan dari Oxfarm dan sejumlah sarjana kesehatan masyarakat. Mereka terus bekerja bersama-sama dengan para tokoh gereja dan masyarakat untuk menangani penyakit ini, lanjutnya.Untuk kejadian ini, Pemerintah Provinsi Papua benar-benar prihatin dengan Kejadian Luar Biasa ini. Untuk itu upaya-upaya akan terus ditingkatkan untuk memastikan bahwa penyakit diare-kolera ini bisa ditanggulangi dan tidak menyebar ke daerah-daerah yang lain. Keberhasilannya sangat ditentukan oleh banyak faktor termasuk di antaranya adalah perilaku hidup sehat pada masyarakat setempat. Untuk itu, selain menyelenggarakan pengobatan, pemerintah memberikan fokus pada penyuluhan hygiene perorangan dan mendekatkan air bersih ke masyarakat.Data yang dikantongi pemerintah Provinsi Papua hingga akhir april sekitar 81 orang. Sekretaris daerah (Sekda) Provinsi Papua, Tedjo Suprapto menegaskan bahwa kasus kolera muntaber di Dogiyai sudah ditangani sejak awal, sehingga datanya tidak sebesar yang diberitakan tokoh agama. Nanti hari kamis kami akan melakukan pertemuan bersama dengan tokoh-tokoh agama mengenai permasalahan ini. Dimana letak perbedaannya akan kami bahas, termasuk nama nama korban meninggal dunia. Saya rasa Ini hanya masalah koordinasi saja, kata Sekda. (Angel Flassy)DIarsipkan di bawah: PENDIDIKAN DAN KESEHATAN

MSF: Papua hit by simultaneous epidemics

MSF emergency teams fight disease outbreaks in two regions. Papua's health status is the lowest in Indonesia. Limited access to health facilities, lack of health education and poor sanitation leave large parts of the population vulnerable to outbreaks of disease.

Jean-Pierre Amigo/MSF

"Papua is without a doubt one of the toughest places to provide emergency medical care in," said MSF Head of Mission, Wim Fransen. "Just reaching people is a battle in itself."

Jakarta - MSF has just completed the first phase of a measles campaign in the south of Papua, a province in the far east of Indonesia. A total of 13,659 children between the ages of six months and 15 years have been vaccinated. This outbreak highlights the high burden of infectious disease in the province and the lack of health services resulting in poor routine vaccination. In February this year, MSF started receiving the first reports of measles cases in Papua's southern Asmat region. When it was clear the disease was spreading, MSF, together with the Ministry of Health, District Health Office and Papua Province Health Office, launched a mass vaccination campaign, with MSF covering four out of seven sub-districts - a population of 43,904. Over the next month they succeeded in vaccinating 80% of the target population in an area where there had previously the vaccination level had been about 39% vaccination coverage. Now that the vaccination phase is complete, MSF medical teams are continuing with measles case management, vaccination of low coverage areas, and mobile clinics for other illnesses in the region. Also last month, MSF responded to a cholera outbreak in the highlands region of Wamena after sending an emergency team out to investigate and set up a treatment centre to support Wamena General Hospital. This treatment centre was staffed by Indonesian and international medical staff. Papua's health status is the lowest in Indonesia. Limited access to health facilities, lack of health education and poor sanitation leave large parts of the population vulnerable to outbreaks of disease. "People are living in conditions that I did not think were possible in Indonesia, and are dying from simple, curable illnesses," says MSF Dr Kabul Priyantoro. "More needs to be done to ensure Papuans have better access to health care or we will continue to see epidemics such as this." Responding to emergencies in Papua is particularly challenging as the lack of infrastructure and isolation of many communities places them out of the immediate reach of health facilities. "Papua is without a doubt one of the toughest places to provide emergency medical care in," said MSF Head of Mission, Wim Fransen. "Just reaching people is a battle in itself." Papua also has one of the highest incidences of malaria in Indonesia. Last month MSF, the Government of Indonesia and the Global Fund organised a conference attended by health officials and malaria experts from across the country to discuss a common approach to reduce and effectively treat the disease in the region. MSF research has confirmed the efficiency of artesunate combination therapy (ACT). In Indonesia, MSF currently has projects in Papua, Aceh, Ambon and is running a surgical programme, mobile clinics and distributing non-food items to survivors of the earthquake in Yogyakarta and Bantul.

MEDECINS SANS FRONTIERES - Rue de Lausanne 78 - CP 116 - 1211 - Geneva 21 - SWITZERLAND Tel: +41 (22) 849.84.00 - Fax: +41 (22) 849.84.04

Edisi Cetak Pagi - Nusantara Minggu, 10 Agustus 2008 00:01 WIB

WABAH PENYAKITMuntaber dan Kolera Renggut Ratusan Jiwa

JAYAPURA (MI): Wabah kolera dan muntaber melanda warga di Lembah Kamuu, Distrik Monemani, Kabupaten Dogiyai, Papua, sejak April lalu. Gereja Masehi Indonesia dan Sinode Gereja Kristen Injili serta Keuskupan Jayapura dan Timika mencatat korban meninggal mencapai 230 orang. Data berbeda diperlihatkan tim Dinas Kesehatan Papua, yang mencatat jumlah korban meninggal 89 orang, dari 524 kasus yang ditemukan. "Mungkin Dinas Kesehatan hanya mencatat korban yang datang ke puskesmas, dan gereja mendapat data langsung dari rumah ke rumah," aku Wakil Gubernur Papua Alex Hesegem, kemarin. Yang pasti, ia menyatakan Pemerintah Provinsi Papua tidak pernah mengabaikan penderitaan warga Kamuu. Sejak awal Mei, tim medis dari Dinas Kesehatan Kabupaten Nabire, Paniai, dan Provinsi Papua beserta tim relawan medis negara asing telah turun ke lokasi. Mereka sudah bekerja untuk menanggulangi wabah penyakit itu. "Tidak betul jika dikesankan kami membiarkan penderitaan warga Kamuu," tegasnya. Tim tidak sekadar memberikan pengobatan kepada masyarakat di puluhan kampung itu. Mereka juga memberikan penyuluhan dan perbaikan sanitasi. Selama hampir satu bulan tim bertugas. Kesimpulannya, ketika itu, daerah tersebut telah bebas wabah muntaber dan kolera. "Tapi ternyata, pada awal Juli, wabah itu kembali lagi menyebar di masyarakat Monemani," jelas Alex. Pada Juli, pihaknya kembali mengirimkan tim medis terpadu dari berbagai pihak, termasuk Departemen Kesehatan turut membantu menangani persoalan wabah. "Kami berupaya semaksimal mungkin memberikan upaya guna menolong warga Kamuu. Kendala utama yang ditemui tim adalah rendahnya pola pikir masyarakat sehingga upaya penyelamatan yang hendak dilakukan, justru dicurigai sebagai aksi yang hendak membunuh secara massal orang Papua." Alex mengakui bahwa ada kelemahan dalam pelayanan yang diberikan pihaknya dalam mengatasi masalah ini. Tapi semua daya sudah dikerahkan untuk membantu masyarakat. Dogiyai adalah kabupaten baru, pemekaran dari Kabupaten Nabire. Peresmian daerah itu dilakukan Menteri Dalam Negeri Mardiyanto pada awal Juli.(FO/N-4)

2008 Media Indonesia. All rights reserved. Comments & suggestions please email [email protected] : 0.18 detik.

Edisi Cetak Pagi - Forum Senin, 18 Agustus 2008 00:01 WIB

Wabah Kolera di Nabire bukan Genosida

Berita pers tentang korban wabah kolera yang melanda Kabupaten Nabire, Papua, sungguh membuat kita prihatin. Ada dua alasan mengapa kita sebagai bangsa patut prihatin. Pertama, mengapa jumlah korban meninggal seakan tak terbendung, padahal wabah kolera termasuk jenis wabah yang relatif mudah ditangani. Data resmi Pemprov Papua menyebutkan sudah 89 korban meninggal dengan 574 kasus penyakit, dengan penyebaran di dua distrik MoanemaniDogiyai dan Obano di Paniai di 17 kampung. Data itu sangat berbeda jauh dengan Sinode Kingmi Papua yang menyebutkan jumlah korban meninggal sudah mencapai angka 200 lebih.

Mengapa kolera dapat merenggut nyawa sedemikian banyak? Jawabannya, selain karena lokasi kejadian yang terisolasi sehingga menyulitkan mobilitas petugas dari Dinas Kesehatan setempat, juga diketahui dari hasil sampel Subdiare Dinkes pusat bersama WHO menyebutkan bahwa wabah yang menyerang warga Nabire tersebut bernama ekanus kolera. Sanitasi air yang sangat buruk menyebabkan wabah ini cepat menyebar. Ditambah lagi dengan pola hidup tidak sehat di kalangan masyarakat setempat, seperti mengonsumsi air minum yang tidak mendidih, kebiasaan tidak mencuci tangan sebelum makan, dan kondisi lingkungan tempat tinggal yang masih jauh dari standar kesehatan. Kedua, kita semakin prihatin, ketika sekelompok pemuda Papua pada 11 Agustus 2008 di Bundaran HI dan di depan Istana Merdeka Jakarta melakukan unjuk rasa. Dengan suara nyaring mereka menuntut NKRI bertanggung jawab atas insiden keracunan di Nabire dan mengutuk keras tindakan milisi-milisi bayaran NKRI yang dengan sengaja menyebarkan virus mematikan hingga menewaskan 200 ribu jiwa rakyat Papua Barat.

Dengan mata telanjang, kita dapat menyaksikan bahwa telah terjadi pengalihan isu dalam kasus kolera di Nabire. Sekelompok orang dengan sengaja menskenariokan bahwa kolera di Nabire bukan sekadar wabah, tetapi sebuah upaya genosida, bahwa wabah kolera tersebut sengaja dilakukan untuk memusnahkan orang Papua. Jika tudingan itu benar, mestinya ada kepentingan politik tertentu yang ingin dicapai. Saya tidak menemukan sedikit pun benang merah antara kepentingan politik Indonesia dan genosida tersebut, atau sekadar alasan yang masuk akal, mengapa orang asli Papua harus dibasmi dari bumi Indonesia? Tidak ada etnis tertentu di republik ini yang merasa terancam dengan keberadaan orang Papua di kampung halamannya. Yang terjadi justru sebaliknya. Sebagai bangsa, kita sudah mengorbankan banyak prajurit untuk mempertahankan agar Papua tidak lepas dari NKRI. Sudah banyak dana dikucurkan untuk membangun Papua agar saudara-saudara kita di ujung timur itu tidak ketinggalan dari daerah-daerah lainnya. Bahkan melalui UU Otsus, masyarakat Indonesia sudah berikhtiar untuk secepatnya menyejahterakan masyarakat Papua.

Patut diduga, kelompok penyebar isu genosida tersebut adalah para pejuang Papua Merdeka yang ingin mencari simpati dunia internasional dengan cara-cara yang tidak bermartabat. Mereka rela menunggangi penderitaan saudara mereka sendiri demi sebuah simpati dunia. Mereka lupa, bahwa akibat isu itu, di Papua terjadi saling curiga antara warga Papua asli dan warga pendatang. Bahkan ikut pula membuat proses pertolongan terhadap korban kolera menjadi terhambat karena ketika para petugas medis yang menyebarkan bubuk kaporit di sungai dan kali dicurigai telah menyebarkan serbuk racun. Jika cara-cara seperti ini tidak segera kita akhiri, saya khawatir usia kemerdekaan kita yang sudah 63 tahun ini menjadi kehilangan makna. Karena kita hanya sibuk meluruskan pikiran-pikiran miring saudara-saudara kita yang ingin memisahkan diri dari NKRI.

Ricard Raja, Jl Kejora, Tova, Kupang-NTT [email protected]

2008 Media Indonesia. All rights reserved. Comments & suggestions please email [email protected] : 0.13 detik

156 warga Lembah Kamuu Dogiyai meninggaljavascript:vote(0,141112,18,'7e051868963abf59461d9a063532f658',-10)Disubmit : 61 hari 22 menit lalu Liat profil 156 Warga Lembah Kamuu Dogiyai Meninggal- http://kompas.com Lokal

Belum seumur jagung diresmikan, Pemkab Dogiyai sudah dihadapkan pada wabah penyakit yang melanda daerahnya. Data yang dirilis Biro Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan Kemah Injili Gereja Masehi Indonesia dan Sinode Gereja Kristen Injili, serta Serikat Keadilan Perdamaian Keuskupan Jayapura dan Timika memperlihatkan sejak

Copyright 2007 Lintas Berita. All rights reserved.

Lambat, Atasi Wabah Kolera di Dogiyai31 July 2008, 02:15 pm | No Comments[JAYAPURA] Penanganan wabah muntaber dan kolera yang menyebabkan 172 warga di Distrik Kamuu, Kabupaten Dogiyai (Kabupaten yang dimekarkan dari Kabupaten Nabire), Papua oleh pemerintah provinsi dan kabupaten berlangsung lambat. Saya kecewa dan bersedih dengan meninggalnya ratusan warga Dogiyai. Saya sungguh prihatin atas meninggalnya warga Dogiyai dan kecewa atas lambatnya penanganan masalah ini, kata Wakil Ketua Sinode Gereja Kristian Injili (GKI) di Tanah Papua, Pdt Yemima Krey ketika dihubungi SPdari Jayapura, Kamis (31/7). Meninggalnya 172 warga akibat terserang muntaber dan kolera yang dilaporkan oleh Keadilan Perdamaian Keutuhan Ciptaan (KPKC) Sinode Gereja Kingmi, Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) Keuskupan Jayapura dan Timika ini terdiri dari anak-anak, remaja, dan orang dewasa. Menurut data dari KPKC dan SKP, lokasi kejadian muntaber di Desa Ekemanida, Idakato, Klimupugi, Idadagi, Dogimani, Dikiyouwo, Ekimani, Bukapa, Denemani, Makidimi, Distrik Kamuu Moenamani. Sedangkan, di Distrik Kamuu Utara, adalah Desa Duntek, Nuwa, Goodide, Mogou, Pugatadi I, Idabeko, dan Bobuda. Pdt Yemina tak mau berkomentar banyak, karena masih memantau perkembangan kejadian luar biasa (KLB) ini. Kejadian yang sudah berlangsung dari 6 April 2008 membuat Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) Komaruddin Watubun geleng-geleng kepala. Lalu Gubernur dan Wakil Gubernur Papua turun kampung (turkam) itu bikin apa? Saya pikir kunjungan kerja ke kampung-kampung sana itu penting, tapi yang lebih penting sekarang menyelamatkan nyawa umat manusia. Sekarang belum ada tindakan cepat dan tepat menangani persoalan ini. Seharusnya mereka fokus ke sana, katanya. Nyawa manusia bukan barang yang bisa dibeli. Pihak DPR mendorong terus, berteriak terus, marah terus. Dan orang tersinggung itu tidak apa-apa. Tugas anggota DPRP memang begitu. Kami akan panggil dari dinas terkait untuk penanganan yang lebih cepat, ujarnya. Pemecatan Bila benar, data dari gereja dan tokoh-tokoh agama, mengenai jumlah dan penyakit yang menyerang warga hingga meninggal, sebaiknya gubernur memberikan sanksi pemecatan Kepala Dinas Kesehatan. Pecat saja Kepala Dinas Kesehatan dan dinas instansi terkait di sana, karena mereka melakukan pembohongan publik, sesuai dengan janji Gubernur dulu untuk membangun pemerintahan yang good governance,bersih, berwibawa, bebas korupsi, katanya. Sekretaris Daerah Provinsi Papua, Tedjo Soeprapto mengaku prihatin akan masalah ini. Mengenai jumlah, pihaknya akan mengundang para tokoh agama untuk membicarakan ini, agar tidak ada persepsi yang keliru di tengah-tengah masyarakat. Sebelum pihak gereja mengungkapkan ini, mereka telah menerima laporan dan telah melakukan penanganan sejak awal, ujarnya. Pada Kamis (31/7) pagi ini, akan dilakukan pertemuan dengan pihak gereja untuk membicarakan dan mencari solusi untuk bermitra dan melakukan penanganan secara bersama-sama. Sementara itu, Direktur Institute for Civil Strengthening (ICS) Lembaga Penguatan Masyarakat Sipil Papua, Budi Setyanto SH mengatakan, KLB ini harus sesegera mungkin ditangani pemerintah. Ini harus ada respons cepat dari pemerintah terkait dengan kesehatan masyarakat. DPRP dan Mejelis Rakyat Papua harus mendesak pemerintah mengatasi wabah ini. Ini salah satu indikator dalam konteks implementasi Otsus sangat menyedihkan. [GAB/154] Last modified: 30/7/08

Korban Kolera di Nabire Bertambah29 July 2008, 04:15 pm | No Comments[JAYAPURA] Korban wabah kolera dan muntaber yang melanda wilayah Lembah Kamuu, Kabupaten Dogiyai yang merupakan pemekaran dari Nabire, Provinsi Papua, sejak 6 April 2008 hingga saat ini, telah menimbulkan korban meninggal 172 orang. Wabah menyebar di 17 kampung. Demikian dikatakan Pdt Dr Beny Giay dari Biro Keadilan Perdamaian Keutuhan Ciptaan (KPKC) Sinode Gereja Kingmi saat dihubungi SP, Selasa (29/7) pagi, di Jayapura. Sehari sebelumnya bertempat di Sekretariat Keadilan Perdamaian (SKP) Keuskupan Jayapura, Papua, Dr Beny Giay, Pdt Dora Balubun dari KPKC Sinode Gereja Kristen Injili (GKI) di Tanah Papua, Budi J Hermawan OFM dari SKP Keuskupan Jayapura, Fr Saul Wanimbo dari SKP Keuskupan Timika mengeluarkan pernyataan pers, jumlah yang meninggal 156 orang. Laporan gereja kami tidak main-main dan jangan dipandang sebelah mata. Jangan sampai korban bertambah banyak, baru pemerintah sibuk melakukan penyelamatan, ujar Beny yang mengaku terus memantau kejadian di daerah tersebut. Sementara itu, Br J Budi Hermawan mengaku para pemimpin gereja di Tanah Papua telah minta bertemu Gubernur Papua Barnabas Suebu untuk menyampaikan berita duka ini, namun gubernur baru bisa bertemu para pimpinan gereja sesudah melakukan turun kampung. Kami sudah sampaikan surat audensi dengan gubernur yang kami kirim minggu lalu (24/7), namun jawabannya tunggu gubernur selesai turun kampung, baru bisa ketemu (31/7). Atas jawaban ini, pihak pimpinan gereja kecewa, sebab pertemuan ini menyangkut banyaknya korban meninggal, katanya. Pemerintah Provinsi Papua mengeluarkan pernyataan tertulis yang diterima SP, Selasa (29/7) pagi, melalui Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua mengatakan, pemberitaan di media massa terkait dengan Kejadian Luar Biasa Diare yang disebabkan oleh Kuman Vibrio-Kolera, yang berdasarkan catatan pemerintah telah mengakibatkan meninggalnya 81 orang di kampung-kampung di Distrik Kamu dan Ikrar, perlu disampaikan kepada masyarakat langkah-langkah yang telah diambil pemerintah dan mitra kesehatannya. Laporan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua, Bagus Sukaswara sudah menerima laporan dari masyarakat dan petugas lapangan, pada tanggal (4/5). Tim Kesehatan dari Kabupaten Nabire telah turun ke lapangan dan melakukan pengobatan. Kasus ini kemudian meningkat kembali pada awal bulan Juni. Sesudah diselidiki, penyebab peningkatan kasus ini adalah akibat penularan dari orang ke orang. Rata-rata yang sakit dan meninggal, adalah mereka yang sebelumnya mengunjungi penderita yang sakit atau yang telah meninggal dunia akibat penyakit ini, ujarnya. Pemerintah pusat, Pemerintah Provinsi Papua, pemerintah kabupaten Nabire, Medecins Sans Frontiheres (MSF) International, Oxfarm, Gereja, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan mitra kesehatan lain telah melakukan penanganan sesuai dengan prosedur tetap penanganan diare dan kolera. Di Pusat Kesehatan Masyarakat Moanemani telah didirikan Cholera Treatment Center untuk mengisolasi mereka yang terkena penyakit ini sehingga tidak menulari orang lain. Selain itu, telah pula dilakukan pengobatan antibiotik ke semua penduduk di Kampung Dumtek, Ekimani, Ekimanida, dan Idakotu untuk memutuskan mata rantai penyebaran penyakit. Pemantauan ketat dilakukan selama dua minggu sesudah penurunan kasus. Pos oralit juga didirikan di setiap kampung, khususnya yang memiliki kematian tinggi. Sekarang ada tiga orang dokter pemerintah yang ditempatkan di Moanemani. Sebelumnya ada 2 orang dokter MSF dan Oxfarm, 8 orang perawat pemerintah dan MSF, 4 orang ahli kesehatan dari Oxfarm dan sejumlah sarjana kesehatan masyarakat. Mereka terus bekerja bersama-sama dengan para tokoh gereja dan masyarakat untuk menangani penyakit ini. Mantan Ketua Sinode GKI yang juga anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) Pdt Welem Rumsarwir menegaskan, Dinas Kesehatan jangan menyangkal dan menutup-nutupi kejadian tersebut. Saya sangat menyesalkan, Dinas Kesehatan yang tidak peka dan proaktif terhadap masalah meninggalnya warga di Distrik Kamuu. Seharusnya bupati juga turun tangan mengatasi kasus tersebut. Kita tahu dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua mengamanatkan salah satu program utama adalah bidang kesehatan, katanya. [154] Last modified: 29/7/08

/Home/Regional/Maluku Papua 593 Korban Diare Dogiay Papua Dirawat Intensif/Artikel Terkait: DPR Soroti KLB Diare-Kolera di Papua Tahun lalu Bicara Aceh, Tahun ini Harusnya Papua Atasi Segera Diare-Kolera di Papua Suku Koroway Masih Tinggal di Pepohonan

Jumat, 15 Agustus 2008 | 23:24 WIBJAYAPURA, JUMAT - Sebanyak 593 warga di Kabupaten Dogiay, Provinsi Papua yang terserang diare dan muntaber kini dirawat intensif petugas medis, di puskesmas Moanemani dan lainnya di puskesmas pembantu yang tersebar disejumlah distrik di Kabupaten Dogiay.

Sejak akhir 2007 sampai awal Agustus 2008 tercatat 90 warga di Kabupaten Dogiay meninggal dunia akibat terserang diare dan muntaber. Para pasien dan yang meninggal dunia itu sebagian besar adalah Balita dan orang lanjut usia (Lansia).

Dogiay merupakan Kabupaten baru, yang dimekarkan dari Kabupaten Nabire dan Kabupaten Paniai bersama lima kabupaten lainnya di Papua, yang diresmikan Mendagri Mardiyanto di Jakarta, 21 Juni 2008, sehingga kabupaten itu masih di bawah pembinaan Kabupaten induk Nabire.

Sekda Kabupaten Nabire, Drs.Ayub Kayame mengaku telah menurunkan 32 orang petugas dari instansi teknis seperti Dinas Kesehatan, Dinas Sosial, Sarkorlak, Kantor Badan Pemberdayaan Masyarakat Kampung (BPMK), Dinas Pekerjaan Umum (PU) dan instansi teknis lainnya ke Moanemani, ibukota Kabupaten Dogiay.

Para pekerja kemanusiaan itu selain memberikan bantuan kemanusiaan juga melihat dari dekat kondisi kesehatan warga masyarakat pada umumnya serta mengkaji penyebab warga Dogiay terserang diare dan muntaberuntuk mendapatkan pendampingan selanjutnya.

Kayame mengakui kalau telah terjadi simpang-siur dalam pelaporan jumlah warga yang menderita diare itu, baik yang diberikan Dinas Kesehatan maupun dari pihak Gereja.

Sementara itu Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Nabire, dr.Yohana Manuaron mengemukakan, diare dan muntaber itu akibat kondisi lingkungan yang kotor dan kesadaran masyarakat akan kesehatan pun masih sangat rendah.

Manuaron menyebutkan, warga masyarakat terbiasa mengkonsumi air mentah dari sungai atau kali, membuang kotoran manusia tidak pada tempatnya, air kali atau air sungai dicemari kotoran binatang piaraan seperti babi dan sapi, sehingga ketika dikonsumsi, warga langsung terserang diare dan muntaber.Ada 1 Komentar Untuk Artikel Ini. Posting komentar Andarubiyanto @ Jumat, 15 Agustus 2008 | 23:47 WIBPemerintah harus memikirkan solusi tersebut, kita tahu bahwa masyarakatnya terbelakang. itulah tugas pemerintah menyiapkan sarana pendukung air bersih, MCK, penyuluhan kesehatan dan ketersediaan Medis didaerah tersebut. Tetapi masyarakat juga harus mau merubah pola hidup yang lama ke pola hidup sehat. Memang cukup berat. Oleh karena itu harus bersama-sama antara pemerintah dan masyarakat. 2008 Kompas Gramedia. All rights reservedHome/Regional/Maluku Papua 156 Warga Lembah Kamuu Dogiyai Meninggal

http://kompas.com/data/photo/2008/07/29/112727p.jpgDokumentasi Kemah Injili Gereja Masehi Indonesia /Senin, 28 Juli 2008 | 12:58 WIBLaporan Wartawan Kompas Ichwan Susanto

JAYAPURA, SENIN - Belum seumur jagung diresmikan, Pemkab Dogiyai sudah dihadapkan pada wabah penyakit yang melanda daerahnya. Data yang dirilis Biro Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan Kemah Injili Gereja Masehi Indonesia dan Sinode Gereja Kristen Injili, serta Serikat Keadilan Perdamaian Keuskupan Jayapura dan Timika memperlihatkan sejak 6 April 2008, 156 warga Lembah Kamuu Dogiyai mati yang penyebabnya diduga adalah kolera dan muntaber.Rilis ini disampaikan Ketua Biro KPKC KINGMI Papua Pendeta Benny Giay, Ketua Biro KPCK Sinode GKI Pendeta Dora Balubun, Direktur SKP Keuskupan Jayapura Br J Budi Hermawan, OFM, dan Direktur SKP Keusku pan Timika Fr Saul Wanimbo, Pr, Senin (28/7), di Jalan Kesehatan Dok II Keuskupan Jayapura Provinsi Papua.Budi Herm awan mengatakan wabah telah menyebar di 17 kampung dan dua distrik di Lembah Kamuu serta dua kampung di satu distrik di Paniai. Lembah Kamu kini masuk dalam Kabupaten Dogiay yang pada awal Juli lalu diresmikan pemekarannya dari Kabupaten Nabire oleh Menda gri Mardiyanto. "Wilayah penyebaran tidak lagi terbatas di Kamuu melainkan sudah mencapai Paniai. Bila tidak diatasi kemungkinan dapat menyebar ke wilayah-wilayah terdekat lainnya," ujar Benny Giay.Pimpinan agama ini menyayangkan Pemkab Nabire (selaku induk) dan Pemprov Papua belum mengambil tindakan nyata untuk mengambil tindakan nyata. Hal ini memicu kecurigaan masyarakat akan unsur kesengajaan pembiaran masyarakat asli setempat mati.Menurut Budi Hermawan, gereja telah melakukan penanganan medis dengan menerjunkan Tim Medis Yayasan Caritas Timika. Namun tindakan mereka terbatas kamampuan personel dan biaya sehingga belum menjawab kebutuhan masyarakat.Keprihatinan Gereja atas Wabah Kolera yang Memusnahkan Nyawa Warga Di Lembah Kamuu Dogiyai Papua Wabah kolera dan muntaber telah melanda wilayah Lembah Kamuu, Paniai sejak 6 Apri 2008 dan masih berlangsung hingga saat ini. Data yang dikumpulkan Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (KPKC) Sinode Kingmi hingga tanggal 8 Juli, wabah ini tel ah menelan nyawa sebanyak 156 orang dewasa dan anak-anak. Wabah telah menyebbar di 17 kampung dari 2 distrik di Lembah Kamuu dan 2 kampung dari 1 distrik di Paniai. Lembah Kamuu sekarang termasuk dalam Kabupaten Dogiyai, merupakan pemekaran dari Kabupaten Nabire yang baru diresmikan Mendagri awal Juli ini. Wilayah sebaran tidak lagi terbatas di Kamuu, melai nkan mencapai Paniai. Bila tidak diantisipasi, dapat menyebar ke daerah-daerah lain.Sangat disayangkan sekalipun wabah itu sudah menyerang masyarakat se lama empat bulan berturut-turut, bahkan sudah tergolong KLB, sampai saat ini tidak ada tindakan nyata dari Pemda Nabire maupun Pemda Provinsi Papua untuk menyelamatkan nyawa warga. Sungguh ironi mengingat Pemda justru sibuk meresmikan wilayah pemekaran da n melantik pejabat buati yang baru. Tiadanya upaya penanganan yang bersifat segera, menyeluruh dan berkelanjutan dari pemerintah telah menyimbulkan frustrasi dan kecurigaan mendalam di masyarakat apabilan wabah ini sengaja disebabrkan dan pemerintah juga s e ngaja membiarkan masyarakat mati dengan kolera. Suasana demikian telah menimbulkan ketegangan antar warga setempat dan mendorong masyarakat melakukan perusakan terhadap rumah milik sejumlah warga pendatang yang dicurigai berhubuhngan dengan menyebarnya wa bah tersebut.Gereja-geraja telah melakukan penanganan medis misalnya Keuskupan Timika menerjunkan Tim Medis Yayasan Caritas Timika. Akan tetapi, karena keterbatasan kemampuan personel dan biaya maka layanan ini tentu tidak mampu menjawab kebutuhan di lapa ngan. Berdasarkan fakta ini, kami menyatakan keprihatinan kami dengan meminta kepada Gubernur, MRP, dan DPRP agar:1. Mengambil Langkah segera dengan mengirimkan tim medis ke lapangan untuk melakukan pengobatan bagi masyarakat yang menderita.2.melakukan pencegahan sesegera mungkin agar wabah tidak menyebar ke wilayah lain.3. menyelidiki mendalam tentang penyebab sesungguhnya dari wabah kolera ini dan hasilnya diumumkan kepada masyarakat luas agar dapat menghentikan segala praduga dan kecemasan yang sedang berkembang4.melakukan tindakan pemulihan atas segala dampak buruk baik fisik, mental, dan sosial yang ditimbulkan oleh wabah tersebut5.tidak menyibukkan diri dengan pemekaran dan jabatan politik semata, melainkan memberikan pelayanan kesehatan bermu tu seperti diperintahkan pasal 59 UU No.21/2001 tentang Otsus dan sistem kesehatan pangan yang mendukung terjaminnya gizi yang baik kepada masyarakat:1. kami menyerukan kepada masyarakat di lembah Kamuu yang sedang menderita dan seluruh masyarakat di Pan iai agar melakukan upaya-upaya pencegahan secara mandiri, dengan merebus aair sebelum diminum dan menjaga sanitasi lingkungan2.agar kritis terhadap informasi yang tersebar sehingga tidak terpancing melakukan tindak anarkis.3.melaporkan setiap informasi kepada pemimpin agama setempat, dan aparat pemerintah serta polisi. Jayapura, 28 Juli 2008-07-28 Fr Saul Wanimbo PrSKP Keuskupan Timika Br J Budi Hernawan, OFMSKP Keuskupan Jayapura Pdt Benny GiayKPKC Sinode KINGMI Papua Pdt Dora BalubunKPKC Sinode GKI

Ichwan Susanto Sent from my BlackBerry Wireless device from XL GPRS/EDGE/3G Network Ada 5 Komentar Untuk Artikel Ini. Posting komentar Andayulius @ Kamis, 7 Agustus 2008 | 15:35 WIBhus......jangan bilang-bilang menkes, Ibu Menkes lagi sibuk mengadakan penelitian...buat nyingkirin Namru 2Ligia @ Jumat, 1 Agustus 2008 | 21:21 WIBOtsus seharusnya mengembangkan MASYARAKAT, bukan KABUPATEN dan menjadikan itu alasan untuk membiarkan masyarakat mati. Mana solidaritas propinsi? Tunjukkan eksistensi uang otsus, cegah penyakit itu beredar...Alfons @ Kamis, 31 Juli 2008 | 13:20 WIBKasus ini sudah tiga bulan di biarkan,apakah ada oknum-oknum tertentu sengaja melakukan proses pembiaran supaya terjadi etnik cleaning ataukah memang dinas kesehatan PaniaiBudiman @ Rabu, 30 Juli 2008 | 01:19 WIBMereka adalah sebagian masyarakat Indonesia juga, tolong Menkes dan aparat2 yang dibawahnya sigap tanggap akan masalah yang dihadapi,khususnya depkes daerah ybs.Fersi @ Selasa, 29 Juli 2008 | 09:37 WIBInformasi bagus dan cepat dari daerah ke Media di Jakarta. Bagaimana tanggapan Ibukota Propinsi? Cepat ambil tindakan dong. Kan ada banyak alokasi anggaran dan peralatan baik di Dinkes, Dinkessos, BPMD juga tenaga Media dari RSU Dok2 dan RSU Abe.

KapanLagi_com Kematian Warga Papua Akibat Kolera Disesalkan

HOME BERITA Pernik Kematian Warga Papua Akibat Kolera Disesalkan

Kapanlagi.com - Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) menyesalkan kematian 172 warga masyarakat pedalaman di Distrik Kamuu, Kabupaten Dogiyai akibat terserang wabah kolera dan muntaber sejak April 2008 lantaran tidak mendapat perhatian serius dari Dinas Kesehatan Provinsi Papua. Penyesalan tersebut dikemukakan Wakil Ketua Komisi A DPRP, Ramses Wally SH di Jayapura, Kamis menanggapi meninggalnya ratusan penduduk pedalaman Papua itu. Dikatakannya, kasus ini sebenarnya tidak perlu terjadi apabila Dinas Kesehatan Provinsi Papua tanggap dan cepat melakukan tindakan pencegahan sejak dini dengan menerjunkan tim medis untuk melayani masyarakat terutama yang menderita penyakit itu. Padahal dalam era Otonomi Khusus (Otsus) Papua ini dana yang disediakan pemerintah untuk bidang kesehatan jauh lebih besar dibanding sektor lainnya, namun kenyataannya masyarakat yang meninggal dunia akkibat wabah kolera dan muntabber mencapai ratusan jiwa. Menurutnya, seharusnya pemerintah Provinsi Papua segera turun ke lapangan untuk mengecek sekaligus memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat di Distrik Kamuu setelah mendapat laporan dari pihak gereja, bukan sebaliknya membiarkan masyarakat terus meninggal dunia. Kasus ini sebenarnya sudah dilaporkan pihak Gereja Katolik, Protestan dan Gereja Kingmi Papua kepada Pemerintah Provinsi Papua pekan lalu, namun tidak digubris. Bahkan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua pun sibuk mengikuti kegiatan Gubernur Barnabas Suebu Turun Kampung (Turkam) menyebabkan wabah penyakit yang mematikan itu tidak segera tertangani, ujar Ramses. Ketua Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia Provinsi Papua itu malah menuding Pemerintah Provinsi Papua sengaja tidak mau bersungguh-sungguh menangani wabah penyakit yang merenggut 172 jiwa penduduk pedalaman itu. Apabila kasus ini terus menerus terjadi maka Ramses minta Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua segera diganti karena yang bersangkutan sangat lamban menangani kasus ini sehingga 172 warga di Distrik Doggiyai meninggal dunia.(*/cax)

KANTOR KESEHATAN PELABUHAN KELAS I MEDAN KLB Diare-Kolera Di Papua Korban Meninggal 105 Orang Sejak April 2008Saturday, August 9, 2008KLB Diare-Kolera Di Papua : Korban Meninggal 105 Orang Sejak April 2008 Jakarta, 09 Aug 2008Pemerintah Serius Tangani Diare-Kolera Di Papua

Pemerintah serius tangani kejadian luar biasa (KLB) Diare-Kolera di Papua. Tim penanggulangan KLB telah diturunkan untuk melakukan investigasi epidemiologi dan surveilans, memberikan pelayanan kesehatan di Puskesmas, mengambil sampel untuk pemeriksaan laboratorium, mengirimkan logostik, serta melakukan penyuluhan kepada masyarakat. Secara kumulatif korban meninggal akibat Diare-Kolera sejak April awal Agustus 2008 berjumlah 105 orang. Sebelumnya korban meninggal dilaporkan sebanyak 94 orang. Tambahan 11 kasus hari ini (10 kasus lama tetapi terlambat dilaporkan dan 1 kasus baru) merupakan update terbaru tanggal 9 Agustus 2008 yang diterima Pusat Komunikasi Publik dari Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (PP &PL) Depkes. Sejak April hingga Juli 2008 telah terjadi KLB Diare-Kolera di 2 kabupaten, yaitu di Kab. Nabire Distrik Kammu dan Distrik Kammu Utara serta di Kab. Paniai Distrik Obano dan Distrik Yatamo, Provinsi Papua. KLB Diare-Kolera di Kabupaten Nabire mengakibatkan 666 sakit, 97 orang diantaranya meninggal dunia. Korban meninggal paling banyak di Distrik Kammu, yaitu mencapai 66 orang. Sampai tanggal 28 Juli 2008, KLB masih berlangsung, terutama menyerang Desa Igebutu dan Desa Boobutu di Distrik Kammu.Sementara di Kabupaten Paniai berjumlah 52 kasus, 8 orang diantaranya meninggal. Kasus terbanyak ditemukan di Distrik Obano, yaitu mencapai 46 kasus. Kasus terakhir ditemukan tanggal 13 Juli 2008 dan tidak ditemukan lagi kasus baru hingga kini. Pengambilan sampel usap dubur (rectal swab) yang dilakukan baik dari penderita maupun keluarga yang kontak dengan penderita, menunjukkan positif terinfeksi vibrio cholera tipe Ogawa. Tingginya angka kematian ini disebabkan keterlambatan saat berobat karena masyarakat beranggapan jika masih bisa beraktifitas maka dianggap belum sakit. Selain itu juga terlambat mencapai sarana kesehatan karena jauhnya jarak tempuh dan hanya dapat dicapai dengan jalan kaki selama 4 jam. Penyebab lain adalah terlambat penangaan karena Puskesmas Pembantu dan bidan desa tidak dapat melakukan infus. Sementara itu, berdasarkan hasil pengamatan, Tim Penanggulangan KLB juga mengidentifikasi faktor risiko di masyarakat setempat yaitu masih rendahnya pola hidup bersih dan sehat (PHBS). Kebisaaan minum air mentah, tidak biasa mencuci tangan sebelum makan, jarang mandi dan berganti pakaian, biasa buang air besar di kebun, serta memiliki kebiasaan mencium penderita yang meninggal. Untuk memantau situasi Dinkes Kab. Nabire, Dinkes Propinsi Papua dan Pusat Penanggulangan Krisis Depkes masih melakaukan pemantauan dan pengamatan. Upaya lain yang dilakukan adalah memberikan pelayanan kesehatan, melakukan pengobatan massal yang berpusat di Desa Ekamadina, menempatkan tenaga dokter di Desa Bomomani dan Modio. Selain itu tokoh agama dan tokoh masyarakat setempat juga mengupayakan pembatasan sementara waktu bagi warga setempat yang akan mengunjungi Nabire terutama ke Distrik Monemani.Sumber : Depkes OL

Kaido Wuu Wissel Wabah Kolera dan Muntaber Sudah TeratasiKaido Wuu Wissel 19 Agustus 2008Wabah Kolera dan Muntaber Sudah Teratasi Kontributor: Ant/Papua PosSabtu, 02 Agustus 2008

Timika - Jumlah korban wabah diare di Distrik Moanemani, Kabupaten Dogiyai, Papua hingga kini terus berkurang."Data terakhir yang kami terima pada Selasa (29/7)ditemukan satu kasus diare tetapi korban cepat ditangani sehinggatidak sampai meninggal. Kasus tersebut sejauh ini sudah dapat ditangani dengan baik, jumlah korban terus menurun,"kata Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua, Dr Bagus Sukaswara saat dicegat ANTARA di Bandara Mozes KilanginTimika, Kamis pagi.Menurut Bagus, jumlah korban meninggal hingga kini belum diketahui secara pasti. Data resmi yang disampaikan timDepartemen Kesehatan (Depkes) yang baru kembali dari Moanemani pada akhir pekan lalu menyebutkan jumlah korbanmeninggal mencapai 82 orang. Sementara data versi jaringan kerja kelompok Gereja-gereja GIDI menyebutkan jumlahkorban meninggal sudah mencapai 152 orang. Wabah diare menyerang penduduk yang bermukim di 10 kampung diDistrik Moanemani, Kabupaten Dogiyai terjadi sejak minggu pertama dan kedua bulan April lalu. Setelah mendapatlaporan dari petugas kesehatan di Puskesmas Moanemani, pada awal Mei Dinkes Kabupaten Nabire menerjunkan timke Moanemani yang kemudian disusul oleh tim dari Departemen Kesehatan. Selanjutnya pada awal Juni, wabah diarekembali merebak. Dinkes Papua kembali menerjunkan tim ke Moanemani dan Obama untuk melakukan pengobatankepada warga termasuk melakukan studi surveilens epidemologi. Berselang beberapa waktu kemudian, pada awal Juliwabah diare kembali muncul. "Tim medis terus pergi-pulang ke Moanemani beberapa kali. Bahkan terakhir tim dariDepkes yang terdiri dari empat dokter ditambah dua petugas surveilens baru meninggalkan Moanemani akhir pekanlalu," tutur Bagus. Sejauh ini, katanya, Dinkes Provinsi Papua masih menunggu hasil konfirmasi laboratorium Depkesuntuk memastikan penyebab KLB diare yang menyerang Distrik Moanemani. Tim yang diterjunkan ke Moanemanimemberikan pertolongan kepada warga yang sakit dan pengobatan massal guna menghindari terjadi penularan baruterutama melalui media perantara makanan dan air minum. Bagus membantah sinyalemen jatuhnya banyak korban jiwaakibat wabah diare di Distrik Moanemani lantaran ketiadaan petugas medis di wilayah yang masih sulit dijangkau dengantransportasi itu. "Ada beberapa petugas kesehatan baik dokter maupun perawat di Puskesmas Moanemani. Tapi karenaini wabah yang dikategorikan sebagai kejadian luar biasa (KLB), petugas Puskesmas tentu sulit untuk mengatasinyadengan fasilitas dan personil yang terbatas," kata Bagus sembari menambahkan, jarak tempuh 10 kampung yangmenjadi lokasi terjadinya wabah diare dari ibukota Distrik Moanemani sekitar 2-3 jam dengan berjalan kaki. **JUSTICE AND PEACE Kolera Mewabah 172 Nyawa Melayang, Pemerintah Lamban, Wabah Semakin Meluas

JUSTICE AND PEACE "Hidup yang Menghidupkan Orang Lain adalah Sangat Berarti"Tuesday, July 29, 2008Kolera Mewabah 172 Nyawa Melayang, Pemerintah Lamban, Wabah Semakin Meluas

Kolera Mewabah 172 Nyawa Melayang, Pemerintah Lamban, Wabah Semakin Meluas Ditulis Oleh: Islami/Papua Pos Selasa, 29 Juli 2008 Jenazah korban wabah kolera dan muntaber yang terjadi di salah satu Distrik di Kabupaten Paniai saat akan dimakamkan oleh pihak keluarga dan kerabat. (Sumber: Gereja Sinode Kingmi Papua) Jayapura Kolera dan Muntaber mewabah, 172 nyawa masyarakat di kampung melayang, kasus ini sudah berlangsung beberapa bulan, tetapi pemerintah dianggap lamban bertindak dan wabah semakin luas.

Wabah kali ini ditemukan di titik wilayah Lembah Kamuu dan distrik Moanemani Kabupaten Paniai sejak tanggal 6 April 2008. Data Keadilan Perdamaian Keutuhan Ciptaan (KPKC) Sinode Kingmi yang melakukan kunjungan kelokasi dan melakukan pengumpulan data, mendapatkan inforasi hingga 21 Juli lalu, wabah tersebut telah menelan nyawa manusia sebanyak 172 orang, baik dewasa maupun anak-anak. Dari data yang berhasil didapatkan KPKC Sinode Kingmi, SKP Keuskupan Jayapura, SKP Keuskupan Timika dan Biro KPCK Sinode GKI di Tanah Papua, korban meninggal terjadi di dua tempat yaitu, Distrik Moanemani sebanyak 111 orang dan Distrik Kamuu Utara sebanyak 36 orang. Untuk tingkat anak-anak umur 1-10 tahun sebanyak 38 orang, remaja umur 11-20 tahun 18 orang, pemuda umur 21-30 tahun 22 orang, dewasa 33 -70 tahun 68 orang.Melihat kondisi yang memprihatinkan dan belum mendapatkan penangan serta perhatian dari pemerintah, Biro Keadilan Perdamaian Keutuhan Ciptaan (KPKC) Sinode Kingmi, SKP Keuskupan Jayapura, SKP Keuskupan Timika dan Biro KPCK Sinode GKI di Tanah Papua, meminta kepada pemerintah Provinsi Papua maupun pemerintah kabupaten Paniai untuk segera melakukan tindakan juga investigasi terhadap wabah yang masih dianggap simpangsiur, serta mengambil tindakan medis dan pencegahan terhadap masyarakat setempat.

Pdt. Benny Giay dari KPKC Sinode Kingmi dalam konfrensi pers di Kantor Keuskupan Jayapura, Senin (28/7) kemarin, didampingi Br. J. Budi Hernawan, OFM dari SKP Keuskupan Jayapura, Ketua Sekolah Tinggi Filsafat Theologi (STFT) Fajar Timur, Dr. Neles Tebay dan Fr. Saul Wanimbo, Pr, menjelaskan kejadian yang menimpa masyarakat di kampung ini tidak boleh diabiarkan dan berlanjut, harus segera diambil tindakan dan dihentikan.Sangat disayangkan, sekalipun wabah ini sudah menyerang masyarakat di Lembah Kamuu, Kabupaten Paniai, selama 4 bulan berturut-turut, hingga kini tidak ada tindakan nyata dari pemerintah provinsi maupun kabupaten, untuk menyelamatkan nyawa warga di sana, ujar Benny.Dari data yang berhasil dihimpun KPKC Sinode Kingmi, wabah tersebut telah menyebar di 17 kampung dari 2 distrik di Lembah Kamuu dan dua kampung dari satu distrik di kabupaten Paniai. Disisi lain, tidak upaya penanganan yang bersifat segera, menyeluruh dan berkelanjutan dari pemerintah, telah menimbulkan frustasi dan kecurigaan mendalam di masyarakat apabila wabah tersebut disebarkan dan pemerintah juga seolah-olah sengaja membiarkan masyarakat.Ditempat yang sama Br. J. Budi Hernawan, OFM dari SKP Keuskupan Jayapura menjelaskan, sebagai upaya tindakan terhadap wabah yang sudah mengkawatirkan itu, Persatuan Gereja-Gereja se-Papua (PGGP) mencoba memberikan informasi kepada pemerintah Provinsi Papua dengan mengirim surat meminta audiens dengan Gubernur Papua, namun dari Sekertaris Gubernur mengatakan pihak PGGP bisa bertemu Gubernur setelah kegiatan Turkam selesai.Kami sudah mengirimkan surat untuk bertemu Gubernur, namun jawabannya baru dapat dipastikan setelah Turkam selesai, papar Budi.Menanggapi kejadian ini, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua, dr. Bagus Sukaswara saat dikonfirmasi Papua Pos, semalam melalui telepon selulernya mengatakan, dirinya tidak dapat mengomentari masalah tersebut karena pihaknya belum mengetahui data pasti tentang korban meninggal. Begitu juga terhadap siaran pers dari KPKC, dirinya belum mengetahui isinya dan data yang diperoleh. Bagus menjelaskan, pemerintah dalam hal ini dinas kesehatan Provinsi Papua telah melakukan tindakan, walau tidak menjelaskan tindakan apa yang sudah dilakukan untuk menghentikan wabah dan korban jiwa. Masalah ini sudah ditangani sejak bulan April lalu, kalau jumlah pastinya saya sendiri belum mengetahui sehingga tidak dapat berkomentar banyak, tegasnya. **

UMUM14/08/2008Bakteri Kolera di Sekeliling Anda

Kabar memprihatinkan datang dari Lembah Kamuu di pedalaman Papua. Tepatnya di Distrik Monemani, Kabupaten Paniai. Penyakit kolera dan muntaber mewabah hebat. Menyebabkan 200 lebih penduduk meninggal sejak April lalu. Beredar kabar, mewabahnya penyakit kolera ini adalah upaya pihak tertentu untuk menghilangkan penduduk asli Papua. Tapi, lepas dari isu yang melatarbelakangi mewabahnya penyakit kolera di Papua, seyogyanya kita perlu tahu juga apa penyakit kolera itu.Kolera adalah penyakit menular di saluran pencernaan yang disebabkan oleh bacterium vibrio cholerae. Seseorang terkena penyakit kolera jika bakteri ini masuk ke dalam tubuh melalui makanan ataupun minuman yang sudah terkontaminasi sanitasi yang tidak benar atau memakan ikan yang tidak dimasak dengan benar. Gejala yang terjadi diawali dengan diare (karena bakteri itu mengeluarkan racun enterotoksin pada salauran usus), perut keram, muntah, dan dehidrasi. Kematian yang terjadi pada seseorang yang terkena penyakit kolera karena kehilangan cairan tubuh atau yang biasa disebut dehidrasi. Dehidrasi yang tidak segera ditanggani akan menyebabkan hipovolemik dan asidosis metabolik.Dehidrasi di sini tidak cukup hanya dengan diberikan air minum, tapi si penderita juga harus diberikan infus cairan gula (dextrose) dan garam (normal saline) atau bentuk cairan infus yang dicampur keduanya (dextrose saline).Kolera termasuk penyakit menular. Penularannya melalui bakteri vibrio cholerae yang berkembang biak dan menyebar melalui feaces (kotoran) manusia. Jika kotoran itu mengkontaminasi air sungai yang dikonsumsi, orang itu berisiko terkena penyakit kolera. Tidak mencuci tangan sebelum makan, mencuci sayuran atau makanan dengan air yang mengandung bakteri kolera, juga salah satu penyebab penyakit kolera.Gejala penyakit kolera diawali dengan diare yang encer dan berlimpah tanpa disertai rasa mulas. Feaces yang semula berwarna dan berbau berubah jadi cairan putih keruh (seperti air cucian beras) tanpa bau busuk ataupun amis. Diare terjadi berulang-ulang kali disertai muntah meski