seni lingkungan
DESCRIPTION
Karya Seni LingkunganTRANSCRIPT
SENI LINGKUNGAN
Seni Lingkungan adalah suatu karya seni tempo kini atau kekinian yang menganut asas modern
dan umumnya dominan mengacu pada penyampaian pesan atau tematik pada visual yang
ditampilkan. jadi seni rupa kontemporer lingkungan berarti suatu karya seni rupa atau lukis yang
penyampaiannya berisi hal-hal yang terkait dengan lingkungan yang lagi trendi atau masa kini.
Karya seni semakin dekat dengan kita. Ia tak harus hadir di ruang galeri yang steril atau
bersusah payah mengapresiasinya di museum. Cukup, kita bisa terlibat langsung didalamnya,
menemuinya di taman kota, kampung, sungai atau bahkan bisa jadi di tengah-tengah danau!
Seni jenis demikian, biasa disebut environmental art atau secara luwes bisa diartikan sebagai
seni yang berkonteks dengan segala hal yang terkait dengan lingkungan hidup.
Sederhananya, seni berciri environmental art adalah aktifitas yang dilakukan oleh para seniman
dengan memproduksi karya seni baik secara fisik dan pesannya hendak bertutur, mengkritisi
maupun mendukung kondisi relasi antara manusia, alam dan lingkungan sekitar secara seimbang.
Sejarah Awal /Perkembangan
Berbagai cara pandang dilakukan dalam memahami seni lingkungan, di barat tentu kita tak bisa
melupakan sejarah gerakan seni “back to nature” yang akhirnya mengglobal saat ini. Awalnya
ada sebuah kegelisahan dari para seniman yang tidak puas karya seni hanya bisa dikreasi dengan
karya patung atau lukisan saja. Mereka ingin bereksperimentasi lebih lanjut.
Kemudian, mereka mencari elemen lain untuk menciptakan bahasa visual yang lebih origin dan
autentik, ekspresi yang lebih luas katanya. Yakni, memakai benda yang terbuat dari alam dan
berskala gigantik (besar). Pada awal 1970an munculah karya Spiral Jetty milik pematung Robert
Smithson.
Ia menggubah paras sebuah danau alam the Great Salt Lake dekat wilayah Rozel Point di Utah,
Amerika Serikat. Robert membangun sebuah komposisi karya seni yang terbuat dari batu, kristal
garam serta tanah dan lumpur membentuk sebuah figur seperti spiral raksasa yang unik menjorok
ke dalam danau secara datar. Sungguh elok jika dilihat dari ketinggian tempat.
Para akademisi kemudian menyebutnya sebagai earth works, land art, atau akhirnya pada
dekade lain menjadi environmental art.
Pada saat itu, berbagai ideologi seni berkecambah dan berkelindan dengan pandangan politis,
kesetaraan ras dan berkembang pesatnya kebebasan mengemukakakan pendapat. Dari Eropa
Barat ada gerakan Artepovera, Italia dan di Amerika Serikat sendiri ada Fluxus Movement. Dari
hiruk- pikuk ini, seniman-seniman mengekspresikan diri dan membuat manifesto bahwa seni
sudah waktunya tak lagi bisa otonom, berdiri diam tanpa dipengaruhi atau mempengaruhi hal-hal
diluar dirinya.
Salah satunya, Joseph Beuys, seniman Jerman yang sohor dengan kredonya tentang social
sculpture, yakni yang menyuarakan bahwa seni tak bisa dipisahkan dengan kehidupan
bermasyarakat dan alam sekitar dimana sang seniman berkreasi.
Dari sini, environmental art bertambah dan berekspansi wujudnya sebagai sebuah kendaraan
kesadaran yang melaju tidak hanya pada elemen alam digunakan sebagai ekspresi seni, atau seni
yang dekat dengan isu-isu kematian ekologis, seperti: kritik terhadap polusi udara, penyadaran
atas kerusakan hutan atau keprihatinan atas sampah industri.
Namun, bergulir pada konsep seni adalah sebagai medium pendidikan, membebaskan dan
menyuarakan hak-hak politis untuk kehidupan manusia secara lebih baik di muka bumi.
Bentuk dan Apresiasi Seni Lingkungan
Seniman yang tersentuh untuk tetap memperhatikan seni lingkungan sekitar dalam artian
penghargaan terhadap alam menggunakan elen-elemen yang menaruh empati pada keserasian
lingkungan hidup.
Misalnya, mengunakan bahan-bahan yang mudah terdaur ulang dan berguna bagi masyarakat
setempat (bambu, tanah liat, daun dan kayu dari tanaman yang mudah tumbuh dan berkembang
dalam jangka pendek) , serta, yang penting: tidak berbahaya bagi kesehatan.
Apresiasi yang lebih serius diberbagai belahan dunia juga dilakukan, dengan penelitian,
seminar, dan kajian akademis. Berbagai museum di dunia barat didirikan, seperti green museum,
environmental art museum, organisasi seni yang berfokus pada recyled art (seni yang
menggunakan benda-benda bekas pakai dan bisa di daur ulang), atau seni yang berkonsentrasi
pada pendidikan anak-anak pada usia dini untuk mengakrabi alam.
Di tanah air, tepatnya di ajang event Jakarta Biennale #14, 2011 lalu, ada beberapa kelompok
seniman dan desainer yang mencoba mendekat pada konsep environmental art, yakni seni yang
dibuat untuk kebutuhan publik dan lingkungan yang lebih luas.
Kelompok Desainer ARTURA, di Taman Menteng membangun instalasi seni dengan judul Fly
Me To The Past, kelompok para desainer ini membuat karya instalasi mainan anak, seperti
burung, yoyo dan gasing yang diperbesar ukurannnya dari yang asli. Dari gagasan dasar bahwa
sebuah taman identik dengan suasana alamiah.
Karya tersebut, menerbangkan angan kita tentang memori taman ideal yang ramah, dekat
dengan publik manapun, dan ingatan imej yang akrab tentang mainan anak dimasa kita kecil.
Atau kita bisa menengok seniman di komunitas ATAP ALIS, yang melakukan seni lingkungan
di ruang terbuka sebelah Terminal Kampung Rambutan dengan judul Museum Boneka (pada
Desember 2011-Januari 2012 lalu).
Komunitas ini tumbuh 7 tahun lampau sebagain kelompok yang terdiri dari wartawan, arsitek,
pelukis dan seniman jalanan, serta anak-anak usia sekolah dasar dan menengah di kampung.
Berpusat markasnya di Kampung Rambutan, Caracas, Jakarta Timur.
Mereka punya satu misi bahwa kesenian sudah sepatutnya membuat kontribusi kongkrit (di)
masyarakat. Tak harus muluk, membagun cita-cita menggerakkan warga kota secara masif,
namun, cukup menginisiasi kegiatan berskala kecil.
Memberi contoh membuat boneka dari bahan sampah non organik (sampah yang bisa di daur
ulang), membuat workshop sablon, cukil kayu-grafis dan melatih anak-anak untuk produktif,
bermain dan belajar di lingkungannya sendiri.
Cita-cita ini menarik perhatian orang-orang/ kelompok komunitas lain, seperti anak-anak
kampus, akademisi universitas untuk terlibat lebih mendalam, kemudian komunitas sejenis
lainnya, mengiakan kebersamaan antar mereka serta mengundangnya untuk menularkan di
wilayah berbeda.
Para Seniman Individual
Di tanah air, kita juga akan menemukan seniman individual yang konsern terhadap limbah dan
pencemaran air sungai oleh sampah industri. Salah satunya yang paling tenar adalah Tisna
Sanjaya dari Bandung. Di National University Museum (NUS) Museum, 2011 lalu Tisna
mempresentasikan karyanya, yakni Cigondewah: An Art Project.
Tisna menuturkan pada pameran tersebut bahwa selama bertahun-tahun dia memotivasi
masyarakat kampung sekitar sungai Cigondewah, Bandung, dengan terjun langsung ke
masyarakat, menggerakkan, memberi pengertian sampah industri yang mencemari sungai,
terutama plastik bisa didaur ulang dengan cara diubah menjadi benda tepat guna.
Ia langsung memberi contoh dengan membangun dan merakit mesin pendaur ulang dengan
masyarakat setempat, membuat lapangan untuk relaksasi dan hiburan dengan membentuk
kelompok-kelompok kerja kreatif. Membangun sanggar seni di sana, melatih sensibilitas seni
masyarakat setempat. Tisna melakukan seni lingkungan hidup secara kongkrit.
Dari sini kita bisa melihat bagaimana seniman tak hanya mementingkan karya seninya berupa
benda fisik yang bisa dipajang. Namun jika harus dipamerkan di sebuah galeri, Tisna memberi
semacam promosi penyadaran atau kampanye terhadap lingkungan sekitar sungai yang tercemar
di Bandung – Tisna sering diundang untuk berpameran di berbagai daerah di dalam dan diluar
negeri dan selalu membawa pesan tentang sungai Cigowendah. Sebuah kerja seni yang dekat
dengan kerja sosial dan bermanfaat bagi khalayak luas.