semiotika desain komunikasi visual

6
Semiotika Desain Komunikasi Visual (Yogyakarta: Jalasutra, 2008) Menafsir Yang Tampak, Mengungkai Yang Tak Tampak Telah lama dipercaya bahwa gambar (hal-hal yang visual) memiliki kekuatan melebihi seribu kata-kata. Akan tetapi, bagi William Saroyan, itu hanya bisa terjadi jika orang berpikir dan mengatakannya lewat seribu kata-kata tatkala melihat yang visual itu. Dengan kata lain, proses tafsirlah sejatinya yang menjadikan yang visual memiliki makna. Ada baiknya kita ingat lelucon dari komedian kondang Amerika, Groucho Marx, yang disitir dalam buku terbaru Goenawan Mohammad bertajuk Tuhan dan Hal-Hal Yang Tak Selesai (Jakarta: Kata Kita, 2007). Suatu kali Groucho Marx dimintai identitasnya, maka ia pun menjawab, “Maaf, aku tak punya foto. Tapi tuan bisa ambil jejak kakiku. Itu ada di kaos kakiku.” Di sini Marx mengontraskan foto dan jejak di kaos kaki. Lewat jejak itu barangkali kita tahu seberapa jauh sebuah perjalanan telah ditempuh. Tapi sekaligus kita sadar bahwa jejak itu pun kelak akan terhapus. Harus diakui, kini dunia kita kian dikepung oleh hal-hal yang bersifat visual. Dieja secara lain, kini tengah membiak kultur visual lewat pelbagai media seperti billboard, mural, komik, sinema, televisi, komputer, telepon selular dan sebagaimya. Kultur visual seakan mengolonisasi nyaris semua faset hidup kita. Buku karya Sumbo Tinarbuko bertajuk Semiotika Komunikasi Visual mengangkat salah satu medan dari pertumbuhan kultur visual itu yang disebut dengan “desain komunikasi visual.” Karena itu, buku ini mesti diletakkan secara terbatas pada bidang desain komunikasi visual saja ketimbang pada pelbagai bentuk visual yang ada di berbagai media. Meski demikian, buku ini mengisi kelangkaan bahan bacaan tentang semiotika di tanah air.

Upload: candra-gunawan

Post on 24-Jun-2015

457 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Semiotika Desain Komunikasi Visual

Semiotika Desain Komunikasi Visual (Yogyakarta: Jalasutra, 2008)

Menafsir Yang Tampak,Mengungkai Yang Tak Tampak

Telah lama dipercaya bahwa gambar (hal-hal yang visual) memiliki kekuatan melebihi seribu kata-kata. Akan tetapi, bagi William Saroyan, itu hanya bisa terjadi jika orang berpikir dan mengatakannya lewat seribu kata-kata tatkala melihat yang visual itu. Dengan kata lain, proses tafsirlah sejatinya yang menjadikan yang visual memiliki makna.

Ada baiknya kita ingat lelucon dari komedian kondang Amerika, Groucho Marx, yang disitir dalam buku terbaru Goenawan Mohammad bertajuk Tuhan dan Hal-Hal Yang Tak Selesai (Jakarta: Kata Kita, 2007). Suatu kali Groucho Marx dimintai identitasnya, maka ia pun menjawab, “Maaf, aku tak punya foto. Tapi tuan bisa ambil jejak kakiku. Itu ada di kaos kakiku.” Di sini Marx mengontraskan foto dan jejak di kaos kaki. Lewat jejak itu barangkali kita tahu seberapa jauh sebuah perjalanan telah ditempuh. Tapi sekaligus kita sadar bahwa jejak itu pun kelak akan terhapus.

Harus diakui, kini dunia kita kian dikepung oleh hal-hal yang bersifat visual. Dieja secara lain, kini tengah membiak kultur visual lewat pelbagai media seperti billboard, mural, komik, sinema, televisi, komputer, telepon selular dan sebagaimya. Kultur visual seakan mengolonisasi nyaris semua faset hidup kita.

Buku karya Sumbo Tinarbuko bertajuk Semiotika Komunikasi Visual mengangkat salah satu medan dari pertumbuhan kultur visual itu yang disebut dengan “desain komunikasi visual.” Karena itu, buku ini mesti diletakkan secara terbatas pada bidang desain komunikasi visual saja ketimbang pada pelbagai bentuk visual yang ada di berbagai media. Meski demikian, buku ini mengisi kelangkaan bahan bacaan tentang semiotika di tanah air. Memang telah terbit beberapa buku tentang semiotika, tapi lazimnya berkutat di wilayah kritik sastra. Jika ada buku pengantar semiotika yang bersifat umum pun lazimnya merupakan karya terjemahan, misalnya buku Arthur Asa Berger bertajuk Tanda-Tanda Kebudayaan (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000) yang lebih banyak menggunakan contoh yang berasal dari masyarakat Barat.

Anatomi BukuBuku setebal 115 halaman ini dipilah ke dalam lima bab. Bab pertama berupa pendahuluan yang memaparkan pengantar buku yang disusul dengan dua bab yang memaparkan semiotika sebagai ilmu dan teori desain komunikasi visual. Bab keempat agaknya dimaksudkan sebagai aplikasi semiotika komunikasi visual pada iklan layanan masyarakat, desain kaos oblong dan rambu lalulintas untuk pariwisata serta ditutup bab kelima.

Bab kedua buku ini yang bertajuk “Semiotika Sebagai Ilmu” sesungguhnya perlu diikuti pemaparan tentang semiotika sebagai metode. Ini karena buku ini pada dasarnya menjadikan semiotika sebagai metode yang digunakan untuk membedah desain komunikasi visual. Sebagai sebuah metode, semiotika akan membantu pengkajinya menelisik dan menafsir tanda. Sebagaimana penulis buku ini

Page 2: Semiotika Desain Komunikasi Visual

menyampaikan argumennya, “Mengingat DKV [desain komunikasi visual] mempunyai tanda bahasa berbentuk bahasa verbal dan visual, serta merujuk pada teks DKV dan penyajian visualnya juga mengandung ikon terutama berfungsi dalam sistem-sistem non-kebahasaan untuk mendukung peran kebahasaannya, maka pendekatan semiotik terhadap DKV layak diterapkan.”

Kelebihan buku ini agaknya terletak pada pelbagai contoh yang diangkat sebagai bahan kajian. Contoh-contoh yang diangkat tersebut, terutama bagi masyarakat Yogyakarta, memang telah begitu akrab seperti desain kaos oblong merek “Dagadu” atau rambu-rambu lalulintas untuk pariwisata. Sebagian contoh yang lain diambil dari iklan layanan masyarakat yang pernah dimuat di harian Kompas beberapa tahun silam. Karena itu, pemaparannya menjadi lebih mudah diikuti apalagi buku ini ditulis dengan bahasa yang mengalir lancar.

Berangkat dari pelbagai contoh itu, Sumbo lantas berusaha menguak tanda serta kode sosial atau kultural (yang tak jarang bersifat lokal) dari teks yang dianalisanya. Inilah yang digarisbawahi penulis pengantar buku ini Yasraf Amir Piliang, bahwa buku ini mampu menunjukkan kode kultural dan semantika “yang bersifat indegenous, yang hidup di dalam masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat dan kebudayaan Jawa” (hal.xii-xiii). Piliang menambahkan, “Di dalamnya terdapat kode-kode tentang kearifan lokal (kebersamaan, gotong royong), mitos-mitos (keperkasaan, kecantikan), keunikan tempat (pasar burung, keraton), keunikan figure of speech (plesetan, gothak-gathuk), dan kode jender (maskulinitas, feminitas)” (hal.xiii)

Beberapa KritikBuku Semiotika Komunikasi Visual sejak awal tidak secara jelas memposisikan diri dari dua tradisi besar: semiologi (dengan tokohnya Ferdinand de Saussure) dan semiotika (Charles Sanders Pierce). Jika ditilik dari judul buku “Semiotika Komunikasi Visual” tampaknya dekat dengan tradisi semiotika Piercian, akan tetapi ketika kita buka daftar pustaka justru yang kita temui acuan pada buku Saussure dan nyaris tidak ada acuan pada karya Pierce. Memang, harus diakui, akses terhadap karya Pierce tidak mudah, tapi setidaknya ini bisa dilakukan lewat karya penafsir atau pengulas pemikirannya. Pemahaman terhadap dua tradisi ini penting karena memiliki implikasi pada cara memahami dan menginterpretasi tanda mengingat keduanya berangkat dari epistemologi yang berbeda pula.

Persoalan yang bertautan dengan hal-hal yang visual barangkali adalah kecenderungan mengartikan “yang diketahui” dengan yang “tampak.” Inilah gejala yang kerap disebut dengan istilah “kebudayaan okulosentris” yakni segala hal yang bertautan dengan bahasa terhubung kini dengan mata. Justru di sinilah kritik dialamatkan pada semiotika komunikasi visual : pemakaian metafora bahasa untuk hal-hal yang bersifat visual.

Sayangnya, buku ini tak melihat problematika (sekaligus ketengangan terus-menerus) antara yang verbal dan visual. Padahal tak jarang antara keduanya tak selalu berjalan seiring, malah bisa saling bertabrakan. Seperti kita tahu, cara berpikir ala bahasa verbal berbeda dengan berpikir secara visual. Bahasa verbal cenderung bersifat linear dan sekuensial, sedangkan hal-hal yang visual cenderung holististik, intuitif bahkan sensual. Karena itu, muncul sejumlah keberatan tatkala prinsip-prinsip dalam medium

Page 3: Semiotika Desain Komunikasi Visual

baca-tulis hendak diaplikasikan pada medium visual. Ini karena berbeda dengan bahasa verbal yang memiliki abstraksi tingkat tinggi (dan lebih bersifat simbolik), hal-hal yang visual lebih banyak bersifat non-verbal dan non-kognitif.

Barangkali bagian yang penting untuk dicermati dalam buku ini adalah bab empat yang berisi analisa terhadap desain komunikasi visual. Kendatipun penulis buku ini memberikan perhatian yang jeli terhadap pelbagai aspek dalam “teks” (desain komunikasi visual) yang dianalisa, ada kekurangkritisan terhadap konteks munculnya teks tersebut terutama iklan layanan masyarakat (ILM). Padahal, kita tahu, ILM Gerakan Disiplin Nasional versi “Cespleng”, misalnya, adalah bagian dari upaya pemerintah (gagasannya berasal dari Menteri Susilo Sudarman) mengatasi problem sosial lewat cara yang cenderung berbau militeristik lewat gerakan disiplin. Upaya “pendisiplinan” masyarakat itu lantas diterjemahkan lewat penerjunan sejumlah orang yang memakai rompi (disertai tulisan “Penegak Disiplin”) di sejumlah jalan raya untuk menertibkan perilaku anggota masyarakat. Menurut saya, body copy ILM itu justru bersifat “subversif” terhadap upaya pemerintah karena menyatakan sikap disiplin sejatinya “sudah berada di dalam diri kita sendiri” ketimbang harus mengerahkan aparat penegak disiplin.

Ada sejumlah persoalan teknis yang penting menjadi catatan barangkali jika kelak dilakukan revisi terhadap buku ini. Pertama, kekurangakuratan dalam penulisan nama tokoh penting perintis semiotika Charles Sanders Pierce (1839-1914) yang ditulis “Charles Sander Pierce” (hal. 11). Mengingat buku ini berbicara ihwal semiotika semestinya kekurangakuratan semacam ini bisa dihindari sejak dini.

Kedua, lebih dari persoalan salah ketik tampaknya penulis kurang bisa memahami perbedaan makna antara sebutan “miss” dan imbuhan “mis”, sehingga muncul bentukan kata yang aneh, “misscommunication” (hal.31). Sepintas barangkali ini persoalan remeh, tetapi bisa melahirkan makna yang berbeda di benak pembaca. Apalagi buku ini menjadikan komunikasi sebagai salah satu pokok bahasannya.

Ketiga, seluruh desain komunikasi visual yang dianalisa dalam bab empat ditampilkan nyaris hanya berwarna hitam dan putih. Padahal dari sampul depan buku ini semua desain itu terlihat warna-warni. Sebagaimana kita tahu, dalam semiotika komunikasi visual di samping huruf, tipografi, komposisi dan tata letak, warna memiliki makna tersendiri lebih dari sekadar pernak-pernik atau pemanis desain.

Keempat, analisa komunikasi visual terhadap rambu lalu lintas versi “Gunung Merapi” (hal.93-94) tidak disertai ilustrasi sehingga menyulitkan pembaca memahami objek yang dianalisa. Kesulitan ini juga disebabkan tak ada deskripsi yang rinci dari penulis terhadap objek yang dikaji. Akibatnya, pembaca hanya bisa membayangkan objek yang tengah dikaji yang nota bene bersifat visual.

PenutupTerlepas dari sejumlah kekurangan yang melekat dalam buku ini, Sumbo Tinarbuko lewat buku ini setidaknya telah membuka medan baru yang bisa dieksplorasi dengan menggunakan semiotika. Apalagi selama ini masih ada anggapan bahwa bidang desain komunikasi visual sekadar bertautan perkara kreativitas dari seorang desainer dan tujuan-tujuan pragmatis untuk merebut perhatian konsumen. Buku ini

Page 4: Semiotika Desain Komunikasi Visual

menunjukkan pada pembaca bahwa senantiasa ada tanda dan kode sosial di balik setiap desain komunikasi visual.

Pada akhirnya, jantung dari semiotika adalah pengejawantahkan pengalaman manusia lewat struktur interpretatif yang dimediasi melaui tanda-tanda. Karena itu, proses menafsir bertautan erat sifat manusiawi kita. Tak aneh, jika kita menerima kenyataan bahwa dunia yang kita huni adalah semesta tanda, maka pada mulanya bukanlah Kata, melainkan tafsir. Semiotika menjadi karib kita saat melakoni proses menafsir yang tak jarang dipenuhi kelokan.

*) Pokok-Pokok Pikiran disampaikan dalam Peluncuran Buku “Semiotika Komunikasi Visual” karya Sumbo Tinarbuko diselenggarakan oleh Penerbit Jalasutra dalam rangka “Pesta Buku Jogja 2008,” Yogyakarta, Gedung Mandala Bhakti Wanitatama, 6 Februari 2008.