seminar nasional bidang geodesi: state of the art industri...

28
SEMINAR NASIONAL REKAYASA & DESAIN ITENAS 2017 Seminar Nasional Bidang Geodesi: State of the Art Industri Geomatika di Indonesia II

Upload: vukien

Post on 10-Jul-2019

231 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Seminar Nasional Bidang Geodesi: State of the Art Industri ...semnas.lp2m.itenas.ac.id/wp-content/uploads/2018/05/01-Paper-Geodesi.pdf · koreksi tersebut meliputi koreksi radiometrik

SEMINAR NASIONAL

REKAYASA & DESAIN ITENAS 2017

Seminar Nasional Bidang Geodesi:

State of the Art Industri Geomatika di Indonesia II

Page 2: Seminar Nasional Bidang Geodesi: State of the Art Industri ...semnas.lp2m.itenas.ac.id/wp-content/uploads/2018/05/01-Paper-Geodesi.pdf · koreksi tersebut meliputi koreksi radiometrik
Page 3: Seminar Nasional Bidang Geodesi: State of the Art Industri ...semnas.lp2m.itenas.ac.id/wp-content/uploads/2018/05/01-Paper-Geodesi.pdf · koreksi tersebut meliputi koreksi radiometrik

Geodesi | 1

Identifikasi Kerapatan Mangrove Di Muara Sungai Ciasem

Menggunakan Data Citra Satelit Landsat Multitemporal

Rika Hernawati, Dian Noor Handiani, Soni Darmawan, dan Amalia Vina Dita

Jurusan Teknik Geodesi, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan

Institut Teknologi Nasional

Jl. PKH. Mustapha No. 23, Bandung 40124

E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Hutan mangrove sangat berperan penting bagi perlindungan wilayah dari abrasi pantai, pencegah

intrusi air laut, serta sebagai penyangga terhadap sedimentasi dari daratan ke lautan. Penurunan

kualitas mangrove menjadi perhatian serius seiring dengan penyusutan luasnya, akan tetapi, kondisi

mangrove tersebut baik secara kualitatif maupun kuantitatif terus menurun dari tahun ke tahun. Seiring

dengan perubahan penggunaan lahan yang relatif cepat dalam suatu wilayah yang berkembang, maka

diperlukan penataan yang lebih baik seberapa besar kebutuhan mangrove untuk wilayah tersebut. Hal

ini memerlukan informasi dasar tentang kondisi mangrove yang akurat. Penelitian ini difokuskan untuk

mengidentifikasikan kerapatan mangrove di Muara Sungai Ciasem, di Kecamatan Blanakan,

Kabupaten Subang, Jawa Barat dengan menggunakan klasifikasi Citra Landsat dengan teknik SVM

dan indeks vegetasi NDVI. Hasil penelitian menunjukkan pada periode tahun 1999, 2005, dan 2015

terjadi penurunan luasan sebesar 702,38 ha. Rendahnya kerapatan vegetasi mangrove di Kecamatan

Blanakan, disebabkan karena terjadinya perluasan areal tambak dengan cara penebangan vegetasi

mangrove.

Kata Kunci: Mangrove, Citra Landsat, klasifikasi SVM, NDVI.

1. Pendahuluan

Kabupaten Subang memiliki tiga Daerah Aliran Sungai (DAS), yaitu Sungai Cipunagara, Sungai

Cimalaya, dan Sungai Ciasem. Ketiga sungai ini memiliki peran penting karena merupakan komponen

irigasi yang memasok kebutuhan air bagi areal pertanian, perikanan/tambak, dan juga sumber air baku

untuk keperluan domestik maupun industri. Dari ketiga sungai tersebut hanya Sungai Ciasem yang

seluruh wilayahnya dari hulu hingga hilir berada dalam wilayah Kabupaten Subang. Sungai Ciasem

memiliki 61 anak sungai, berhulu di Desa Curugagung, Kecamatan Sagalaherang, hilirnya di Desa

Pelabuhan, Kecamatan Blanakan, dan bermuara di Laut Jawa, dengan panjang total 60 km. Kegiatan

pemanfaatan di sekitar pesisir muara sungai Ciasem yang intensif menyebabkan permasalahan

pencemaran. Beberapa sumber pencemaran diantaranya dikarenakan penebangan hutan mangrove,

eksplorasi galian, limbah domestik serta limbah pabrik yang mengakibatkan lokasi di hulu mengalami

deforestasi dan mengakibatkan sedimentasi yang parah di hilir Sungai Ciasem (Tempo, 2016).

Kerusakan ekosistem dan penurunan luasan mangrove di sekitar muara sungai pun disinyalir menambah

permasalahan sedimentasi. Padahal jika dilihat dari fungsi ekologis, hutan mangrove sangat berperan

penting bagi perlindungan wilayah dari abrasi pantai, pencegah intrusi air laut, serta sebagai penyangga

terhadap sedimentasi dari daratan ke lautan (Departemen Kehutanan, 2005). Penurunan kualitas

mangrove menjadi perhatian serius seiring dengan penyusutan luasnya, Oleh karena itu, seiring dengan

perubahan penggunaan lahan mangrove yang relatif cepat dalam suatu wilayah yang berkembang, maka

Page 4: Seminar Nasional Bidang Geodesi: State of the Art Industri ...semnas.lp2m.itenas.ac.id/wp-content/uploads/2018/05/01-Paper-Geodesi.pdf · koreksi tersebut meliputi koreksi radiometrik

Geodesi | 2

diperlukan penataan yang lebih baik seberapa besar kebutuhan mangrove pada wilayah tersebut. Hal ini

memerlukan informasi dasar tentang kondisi mangrove yang akurat.

Penerapan teknologi pengindraan jauh (indraja) untuk menganalisis sebaran kerapatan mangrove

merupakan salah satu alat yang dinilai sangat tepat, karena dapat mengidentifikasi letak geografi

ekosistem mangrove yang berada pada daerah peralihan darat dan laut memberikan efek perekaman

yang khas jika dibandingkan obyek vegetasi darat lainnya (Faizal dkk, 2005). Hal ini dikarenakan dalam

teknologi pengindraan jauh didukung dengan data multi temporal (data citra dari waktu ke waktu)

melalui perekaman citra satelit sebagai datanya. Salah satunya adalah dengan menggunakan data hasil

perekaman Citra Landsat. Efek perekaman tersebut sangat erat kaitannya dengan karakteritik spektral

ekosistem mangrove, hingga dalam identifikasi memerlukan suatu transformasi tersendiri (Danoedoro,

2012).

Berdasarkan penelitian sebelumnya oleh Purwanto dkk (2014) area mangrove di Segara Anakan dari

hasil analisis indeks vegetasi menggunakan NDVI dengan tingkat akurasi sebesar 82,05% menunjukkan

bahwa kondisi kerapatan mangrove didominasi dengan kerapatan sedang. Penelitian ini bertujuan untuk

menganalisis sebaran hutan mangrove beserta kerapatannya dengan menggunakan citra satelit Landsat.

Analisis identifikasi kerapatan mangrove yang terdapat pada pesisir pantai dan sekitar muara sungai

menggunakan metode Klasifikasi Support Vector Machine (SVM) dan indeks vegetasi NDVI

(Normalized Difference Vegetation Index).

2. Metodologi

Lokasi yang dijadikan sebagai wilayah penelitian berada di Kabupaten Subang, Jawa Barat. Wilayah

ini terletak di antara 107º 31' sampai dengan 107º 54' BT dan 6º 11' sampai dengan 6º 49' LS. Secara

administratif, Kabupaten Subang terbagi atas 253 desa dan kelurahan yang tergabung dalam 30

kecamatan. Dari seluruh kecamatan yang ada, terdapat 4 kecamatan yang merupakan kecamatan pesisir,

yaitu Kecamatan Blanakan, Legon Kulon, Sukasari, dan Pusakanagara. Penelitian ini hanya berfokus di

pesisir Muara Sungai Ciasem, Kecamatan Blanakan.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Citra Landsat 8 OLI tahun 2015 dan Landsat 5 TM

tahun 1999 dan 2005 seperti yang tertera pada Tabel 1.

Tabel 1. Informasi Data Penelitian

Proses Pengolahan Data.

Pada penelitian ini dilakukan proses pengolahan data dalam beberapa tahapan, mulai dari tahapan

preprocessing sampai tahap analisis sebaran mangrove pada muara sungai Ciasem dalam periode ± 5

tahun. Namun sebelum diolah, Citra Landsat yang digunakan perlu dikoreksi terlebih dahulu. Koreksi-

Page 5: Seminar Nasional Bidang Geodesi: State of the Art Industri ...semnas.lp2m.itenas.ac.id/wp-content/uploads/2018/05/01-Paper-Geodesi.pdf · koreksi tersebut meliputi koreksi radiometrik

Geodesi | 3

koreksi tersebut meliputi koreksi radiometrik dengan teknik FLAASH dan koreksi geometrik dengan

memerlukan beberapa titik kontrol lapangan/GCP.

Sebaran Mangrove.

Untuk mengidentifikasi hutan mangrove dengan data Citra Satelit Landsat 5 TM mengacu pada

eskplorasi citra komposit RGB 453. Sedangkan pada Citra Satelit Landsat 8 OLI digunakan komposit

RGB 564 di mana ketiga band tersebut termasuk dalam kisaran spektrum tampak dan inframerah - dekat

dan komposit ini lebih menonjolkan obyek vegetasi mangrove. Hutan mangrove terlihat dengan warna

merah kegelapan pada citra. Warna merah merupakan reflektansi vegetasi yang terlihat jelas pada citra

band inframerah, sedangkan kegelapan merupakan reflektansi tanah berair yang terlihat jelas pada citra

band merah (Suwargana, 2008). Klasifikasi tutupan lahan yang dipakai menggunakan klasifikasi

supervised metode SVM dan menghasilkan tutupan mangrove. Metode ini membutuhkan area sampling

(Region of Interest) yang didapatkan dari sampling di lapangan. Obyek yang dianalisa dikelompokkan

menjadi 2 (dua) obyek yaitu: mangrove dan non mangrove. Untuk obyek non mangrove meliputi: laut,

sawah, tambak, dan pemukiman. Setelah didapatkan tutupan lahan, kemudian dilakukan pemisahan

untuk obyek mangrove. Pemisahan obyek mangrove dengan tutupan lahan yang lain bertujuan untuk

mendapatkan sebaran mangrove saja.

Penentuan Kerapatan Mangrove

Penentuan vegetasi yang terdapat pada pesisir pantai dan sekitar muara sungai menggunakan metode

NDVI. Dalam hal ini adalah vegetasi mangrove, dimana vegetasi mangrove ini dipakai untuk

menganalisis hubungan antara kerapatan mangrove. Data yang digunakan adalah Citra Landsat tahun

1999, 2005, dan 2015. Algoritma yang digunakan tertera pada persamaan 1. Jumlah klasifikasi

kerapatan mengacu pada buku yang diterbitkan oleh Departemen Kehutanan (2006) dengan klasifikasi

nilai NDVI sebagai berikut: Kerapatan rendah (nilai NDVI 0-0.32), kerapatan sedang (nilai NDVI 0.33

– 0.42), kerapatan tinggi (nilai NDVI > 0.43). Berikut adalah persamaan NDVI (Huete, 2002):

NDVI = 𝜌𝑁𝐼𝑅−𝜌𝑅𝐸𝐷

𝜌𝑁𝐼𝑅+𝜌𝑅𝐸𝐷 (1)

Keterangan: 𝜌NIR = Band 4/ Band 5

𝜌Red = Band 3/ Band 4

3. Hasil

Sebaran Kerapatan Mangrove

Sebaran kerapatan mangrove didapatkan dengan melakukan overlay antara tutupan mangrove dengan

kerapatan vegetasi hasil analisis NDVI. Hasil overlay ini kemudian dilakukan klasifikasi untuk

mendapatkan kerapatan mangrove sesuai dengan kelasnya. Ketentuan klasifikasi yang dibuat

berpedoman pada ketentuan yang dibuat oleh Departemen Kehutanan (2005). Klasifikasi ini terbagi

atas: mangrove dengan kelas jarang, sedang dan rapat/lebat. Hasil kerapatan mangrove di sekitar Muara

Sungai Ciasem (Kecamatan Blanakan) setiap perekaman tersaji pada Gambar 1 hingga 3.

Page 6: Seminar Nasional Bidang Geodesi: State of the Art Industri ...semnas.lp2m.itenas.ac.id/wp-content/uploads/2018/05/01-Paper-Geodesi.pdf · koreksi tersebut meliputi koreksi radiometrik

Geodesi | 4

Gambar 1 Hasil kerapatan mangrove tahun 1999

Hasil klasifikasi pemetaan kerapatan mangrove yang dilakukan melalui analisis citra, didapatkan total

luas di lokasi penelitian pada tahun 1999, yaitu 1180,89 Ha yang terbagi atas: mangrove dengan kategori

jarang sebanyak 100,35 ha (8,49%), dengan kategori sedang sebanyak 772,83 ha (65,44 %) dan dengan

kategori lebat sebanyak 307,71 ha (26,06%).

Gambar 2. Hasil kerapatan mangrove tahun 2005

Pada tahun 2005 total luas mangrove sebesar 1046,68 ha yang terbagi atas: mangrove dengan kategori

jarang sebanyak 542,52 ha (51,83%), dengan kategori sedang sebanyak 430,45 ha (41,13%) dan

mangrove dengan kategori lebat sebanyak 73,71 ha (6,97%). Secara keseluruhan dapat disimpulkan

bahwa pada tahun ini telah terjadi peningkatan vegetasi mangrove dengan kerapatan kategori jarang.

Dan untuk kerapatan tahun 2015 dapat dilihat pada Gambar 3.

Page 7: Seminar Nasional Bidang Geodesi: State of the Art Industri ...semnas.lp2m.itenas.ac.id/wp-content/uploads/2018/05/01-Paper-Geodesi.pdf · koreksi tersebut meliputi koreksi radiometrik

Geodesi | 5

Gambar 3. Hasil kerapatan mangrove tahun 2015

Sedangkan pada tahun 2015 terjadi penurunan drastis dimana total keseluruhan luas mangrove hanya

bersisa 344 ha (Gambar 3) yang terbagi atas: mangrove dengan kategori jarang sebanyak 259,16 ha

(75,27%), dengan kategori sedang sebanyak 77,14 ha (22,40%) dan mangrove dengan kategori lebat

sebanyak 8,12 ha (2,32%).

Page 8: Seminar Nasional Bidang Geodesi: State of the Art Industri ...semnas.lp2m.itenas.ac.id/wp-content/uploads/2018/05/01-Paper-Geodesi.pdf · koreksi tersebut meliputi koreksi radiometrik

Geodesi | 6

Gambar 4. Plotting foto hasil cek lapangan

Tabel 2. Perubahan Luas Kerapatan Mangrove.

Tahun Luas Mangrove (ha) Persentase

1995-2005 -134,21 95,64%

2005-2015 -702,38 59,50%

1995-2015 -836,59 66,75%

Perbandingan luas mangrove tahun 2015 dengan luas mangrove pada tahun 2005, terjadi penurunan

luasan sebesar 702,38 ha. Rendahnya kerapatan vegetasi mangrove di Kecamatan Blanakan,

disebabkan karena terjadinya perluasan areal tambak dengan cara penebangan vegetasi mangrove.

Selain itu juga rendahnya kesadaran masyarakat, serta kurangnya pengawasan dari aparat Pemerintah

Desa maupun pihak Perhutani menjadi penyebab berkurangnya luasan mangrove di wilayah tersebut

(Indrayanti, 2015).

4. Kesimpulan

Kerapatan mangrove hasil dari pengolahan NDVI menunjukan penurunan secara kontinu dari tahun

1999 hingga tahun 2005. Pada periode tahun 1999, 2005, dan 2015 terjadi penurunan luasan area hutan

mangrove sebesar 702,38 ha. Rendahnya kerapatan vegetasi mangrove di Kecamatan Blanakan,

disebabkan karena terjadinya perluasan areal tambak dengan cara penebangan vegetasi mangrove.

Penurunan kerapatan mangrove tersebut dapat berpengaruh besar, salah satunya terhadap pertambahan

sedimentasi.

Page 9: Seminar Nasional Bidang Geodesi: State of the Art Industri ...semnas.lp2m.itenas.ac.id/wp-content/uploads/2018/05/01-Paper-Geodesi.pdf · koreksi tersebut meliputi koreksi radiometrik

Geodesi | 7

Daftar Pustaka

[1] Danoedoro, P. 2012. Pemanfaatan Pengindraan Jauh Digital. Yogyakarta: ANDI Yogyakarta.

[2] Departemen Kehutanan. 2005. Pedoman Inventarisasi dan Identifikasi Lahan Kritis Mangrove.

Jakarta.

[3] Faizal, A., dan Amran, M.A. 2005. Model Transformasi Indeks Vegetasi yang Efektif untuk Prediksi

Kerapatan Mangrove Rhizophora Mucronata. Prosiding. PIT MAPIN XIV ITS Surabaya, 14-15

September 2005.

[4] Indrayanti, Fahrudin, Setiobudiandi. 2015. Penilaian Jasa Ekosistem Mangrove di Teluk Blanakan

Kabupaten Subang. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia (JIPI). Volume 2, No.2 Agustus 2015.

[5] Huete, A., Didan, K., Miura, T., Rodriguez, E.P., Gao, X., Ferreira, L.G. 2002. Overview of The

Radiometric and Biophysical Performance of The MODIS Vegetation Indices. Remote Sensing of

Environment, 83, 195-213.

[6] Purwanto, D.P., Asriningrum, W., Winarso, G., Parwati, E. 2014. Analisis Sebaran dan Kerapatan

Mangrove Menggunakan Citra Landsat 8 di Segara Anakan, Cilacap. Seminar Nasional

Pengindraan Jauh 2014.

[7] Suwargana, Nana. 2008. Analisis Perubahan Hutan Mangrove Menggunakan Data Pengindraan

Jauh di Pantai Bahagia Muara Gembong, Bekasi. Jurnal Pengindraan Jauh Vol.5, 64-74.

Page 10: Seminar Nasional Bidang Geodesi: State of the Art Industri ...semnas.lp2m.itenas.ac.id/wp-content/uploads/2018/05/01-Paper-Geodesi.pdf · koreksi tersebut meliputi koreksi radiometrik
Page 11: Seminar Nasional Bidang Geodesi: State of the Art Industri ...semnas.lp2m.itenas.ac.id/wp-content/uploads/2018/05/01-Paper-Geodesi.pdf · koreksi tersebut meliputi koreksi radiometrik

Geodesi | 8

Pembangunan Geodatabase Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 5/PRT/M/2008

Studi Kasus: Kecamatan Sumber, Kabupaten Cirebon

Indrianawati dan Sumarno

Jurusan Teknik Geodesi, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan

Institut Teknologi Nasional

Jl. PKH. Mustapha No. 23, Bandung 40124

E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Kecamatan Sumber mempunyai fungsi utama sebagai pusat pemerintahan Kabupaten Cirebon yang

memiliki kecenderungan pertumbuhan pembangunan yang lebih pesat dibanding dengan daerah lain

yang ada di Kabupaten Cirebon. Hal ini dapat mendorong adanya peningkatan kebutuhan ruang untuk

mewadahi pembangunan yang terjadi, sedangkan ketersediaan lahannya terbatas. Guna mewujudkan

pembangunan yang tetap memperhatikan kelestarian lingkungan, diperlukan suatu perencanaan dan

pengelolaan RTH yang dapat mengimbangi laju pembangunan yang cenderung meningkat. Untuk

memudahkan analisis dalam perencanaan dan pengelolaan RTH, maka diperlukan suatu geodatabase

RTH. Tujuan dari pembangunan geodatabase RTH ini adalah merancang dan membangun sebuah

geodatabase Ruang Terbuka Hijau yang dapat dimanfaatkan oleh Bappeda Kabupaten Cirebon dalam

proses pengambilan keputusan terkait perencanaan dan pembangunan wilayah. Geodatabase RTH ini

dibangun dengan menggunakan pendekatan metode top-down, dimana perancangan geodatabase RTH

dilakukan dengan menganalisis Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 05/PRT/M/2008 Tentang

Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan. Hasil yang

diperoleh adalah berupa geodatabase dan visualisasi geodatabase yang menggambarkan

data/informasi RTH di Kecamatan Sumber, Kabupaten Cirebon.

Kata kunci: geodatabase, ruang terbuka hijau, geodatabase RTH

1. Pendahuluan

Peningkatan jumlah penduduk yang diiringi oleh laju pembangunan yang cenderung meningkat dapat

memberikan konsekuensi terjadinya peningkatan kebutuhan ruang atau lahan untuk mewadahinya.

Sedangkan di sisi lain ketersediaan lahan tersebut sifatnya terbatas. Hal ini tentu saja berpotensi

menyebabkan terjadinya konflik kepentingan antara kebutuhan lahan untuk penduduk, kegiatan

pembangunan, dan juga kebutuhan terhadap pelestarian lingkungan yang berkelanjutan. Permasalahan

konflik kebutuhan lahan dan pelestarian lingkungan akan menjadi permasalahan yang kompleks

terutama pada kawasan perkotaan karena keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang mempunyai

fungsi ekologis pada kawasan perkotaan seringkali dikorbankan untuk kepentingan pembangunan suatu

kota. Simonds (1983 dalam [1]) mengungkapkan bahwa peran RTH dapat memberikan kenyamanan

dan kesejahteraan bagi warga perkotaan antara lain sebagai penyumbang ruang bernafas yang segar,

sebagai paru-paru kota, sumber air dalam tanah, mencegah erosi, keindahan dan kehidupan satwa,

menciptakan iklim, serta sebagai sumber pendidikan. Oleh karena itu, agar dapat mewujudkan

pembangunan yang memperhatikan kelestarian lingkungan, maka suatu kawasan perkotaan harus dapat

mempertahankan bahkan meningkatkan ketersediaan RTH sehingga dapat tercipta kelestarian

lingkungan hidup.

Page 12: Seminar Nasional Bidang Geodesi: State of the Art Industri ...semnas.lp2m.itenas.ac.id/wp-content/uploads/2018/05/01-Paper-Geodesi.pdf · koreksi tersebut meliputi koreksi radiometrik

Geodesi | 9

Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 05/PRT/M/2008, dijelaskan bahwa RTH

merupakan area memanjang/jalur dan atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka,

tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh tanaman secara alamiah maupun yang sengaja ditanam [2].

Dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 12/PRT/M/2009, ditegaskan lagi bahwa jika ada ruang

terbuka tidak ditumbuhi tanaman, maka tidak dapat digolongkan sebagai RTH [3]. Dalam Undang-

Undang No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, disebutkan bahwa perencanaan tata ruang

wilayah kota harus memuat rencana penyediaan dan pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang

luas minimalnya sebesar 30% dari luas wilayah kota [4]. Dijelaskan kembali dalam Peraturan Menteri

Pekerjaan Umum No. 05/PRT/M/2008, bahwa proporsi RTH 30% ini merupakan ukuran minimal untuk

menjamin keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan sistem hidrologi dan keseimbangan

mikroklimat, maupun sistem ekologis lain yang dapat meningkatkan ketersediaan udara bersih yang

diperlukan masyarakat, serta sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota [2].

Kecamatan Sumber merupakan pusat pemerintahan Kabupaten Cirebon. Berdasarkan data BPS tahun

2016, luas Kecamatan Sumber adalah 25,65 km2 atau sekitar 2,59% dari luas wilayah Kabupaten

Cirebon. Jika membandingkan Kecamatan Sumber dengan kecamatan yang ada di sekitarnya, maka

terlihat bahwa jumlah penduduk di Kecamatan Sumber ada di urutan yang pertama dengan jumlah

penduduk sebesar 87.881 jiwa [5]. Sebagai kawasan yang padat penduduknya, kecamatan ini memiliki

kecenderungan pertumbuhan pembangunan yang lebih pesat dibandingkan dengan daerah lain yang ada

di sekitarnya, baik pembangunan fisik maupun non fisik. Hal ini dapat mendorong adanya peningkatan

kebutuhan lahan untuk mewadahi pembangunan yang terjadi, sedangkan ketersediaan lahan di

Kecamatan Sumber terbatas. Untuk mengimbangi kegiatan pembangunan yang terus meningkat di

kawasan ini, maka diperlukan perencanaan dan pengelolaan RTH sehingga kelestarian lingkungan akan

tetap terjaga.

Untuk membantu memudahkan analisis dalam hal perencanaan, pengaturan, pengelolaan, maupun

pengembangan RTH, maka dalam penelitian ini akan dibangun geodatabase RTH. Geodatabase RTH

ini merupakan sebuah konsep manajemen data relasional yang terdiri dari data spasial dan data atribut

RTH yang dapat digunakan sebagai sumber data dan dapat diakses oleh berbagai aplikasi untuk

kebutuhan informasi dan analisis RTH. Selain itu, diharapkan geodatabase RTH ini juga dapat

digunakan untuk membantu Bappeda Kabupaten Cirebon dalam proses pengambilan keputusan terkait

perencanaan dan pembangunan wilayah.

Batasan masalah dalam penelitian ini adalah perancangan geodatabase dilakukan dengan menganalisis

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 05/PRT/M/2008 Tentang Pedoman Penyediaan dan

Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan. Data yang digunakan dalam pembangunan

geodatabase RTH adalah data sekunder. Perancangan dan pembangunan geodatabase RTH dilakukan

dengan menggunakan perangkat lunak dari ESRI.

2. Metodologi

Metodologi penelitian yang digunakan dalam pembangunan geodatabase RTH ini adalah menggunakan

pendekatan metode top-down, dimana perancangan geodatabase RTH dilakukan dengan menganalisis

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 05/PRT/M/2008. Secara garis besar metodologi pembangunan

geodatabase RTH dapat dilihat pada Gambar 1.

Page 13: Seminar Nasional Bidang Geodesi: State of the Art Industri ...semnas.lp2m.itenas.ac.id/wp-content/uploads/2018/05/01-Paper-Geodesi.pdf · koreksi tersebut meliputi koreksi radiometrik

Geodesi | 10

Perancangan Model Geodatabase RTH

dengan metode top-down

Rumusan Struktur Layer Geodatabase RTH

· Geodatabase

· UU No 26 Tahun 2007 Tentang

Penataan Ruang

· Permen PU No. 5/PRT/M/2008

Tentang Pedoman Penyediaan

dan Pemanfaatan Ruang Terbuka

Hijau di Kawasan Perkotaan

Kajian Teoritis

· Data Batas Administrasi Kab. Cirebon

(Bappeda)

· Data Jaringan Jalan & Sungai (Bappeda)

· Data RTH Kecamatan Sumber,

Kabupaten Cirebon (DCKTR)

· Toponimi RTH dan Dokumentasi (foto

dan video) RTH Kecamatan Sumber

(EFORT)

A

Implementasi

1. Input Data : menginputkan data spasial dan data atribut (tekstual) yang terintegrasi dalam suatu geodatabase ke

dalam menu-menu sistem aplikasi sesuai format dan struktur yang telah ditentukan.

2. Ujicoba Aplikasi : menguji sistem yang telah dikembangkan.

Analisis Pembangunan Geodatabase RTH

A

Gambar 1. Metodologi Pembangunan Geodatabase RTH

3. Hasil dan Pembahasan

3.1. Perancangan Model Geodatabase RTH

Berdasarkan pendekatan metode yang telah dipilih, tahapan yang dilakukan dalam merancang model

geodatabase RTH ini adalah:

a) Menentukan struktur layer geodatabase RTH

b) Membangun data (inventarisasi data RTH)

3.2. Struktur Layer Geodatabase RTH

Struktur layer geodatabase RTH yang dibangun adalah sebagai berikut:

a) Data Tematik (Data RTH), berisi informasi yang berhubungan dengan Ruang Terbuka Hijau.

b) Data Dasar, berisi informasi dasar yang berhubungan dengan Ruang Terbuka Hijau, seperti batas

administrasi, jaringan jalan, jaringan sungai.

Sesuai dengan pendekatan metode top-down, struktur data RTH diturunkan dari peraturan perundangan

yaitu Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.5/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan

Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan, dimana data RTH yang dibangun terdiri dari:

- RTH Pekarangan (pekarangan rumah tinggal, halaman perkantoran/ pertokoan/tempat usaha,

taman atap bangunan)

- RTH Taman dan Hutan Kota (taman RT/RW, taman kelurahan, taman kecamatan, taman/hutan

kota, sabuk hijau)

- RTH Jalur Hijau Jalan (pulau jalan & median jalan, jalur pejalan kaki, ruang di bawah

jembatan layang)

Page 14: Seminar Nasional Bidang Geodesi: State of the Art Industri ...semnas.lp2m.itenas.ac.id/wp-content/uploads/2018/05/01-Paper-Geodesi.pdf · koreksi tersebut meliputi koreksi radiometrik

Geodesi | 11

- RTH Fungsi Tertentu (seperti pemakaman, sempadan sungai, sempadan rel kereta api, jalur

hijau jaringan listrik tegangan tinggi, dan lain-lain)

Sedangkan pembagian jenis-jenis RTH yang ada disesuaikan dengan tipologi RTH, yang didefinisikan

dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.5/PRT/M/2008.

3.3. Inventarisasi Data RTH

Sebelum dilakukan pembangunan geodatabase, terlebih dahulu dipersiapkan seluruh data, baik itu data

spasial (peta) maupun data non-spasial (atribut/tabular). Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan

dalam tahap inventarisasi data ini, yaitu mengenai tingkat kedalaman data (klasifikasi), tahun

pengambilan/pengadaan data, sumber atau instansi pembuat data, skala, sistem proyeksi, dan sistem

koordinat. Langkah awal yang dilakukan dalam tahap inventarisasi data adalah melakukan evaluasi

terhadap kondisi data eksisting yang telah berhasil dihimpun. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi

overlap data yang dapat menimbulkan kebingungan dari pengguna (user) dan tidak efektifnya

data/informasi yang telah terhimpun. Evaluasi kondisi data ini dilakukan dengan melakukan survei di

lingkungan Pemerintah Kabupaten Cirebon, seperti Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah

(Bappeda) Kabupaten Cirebon, Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kab. Cirebon, serta instansi terkait

lainnya. Adapun data RTH yang dapat diperoleh adalah data taman; data pemakaman; serta data

pekarangan warga, sekolah, dan kelurahan Kecamatan Sumber.

Tahap berikutnya adalah kompilasi dan verifikasi data, yaitu kegiatan pencarian, pengambilan, dan

pengumpulan data RTH termasuk informasi di lapangan seperti informasi RTH, toponimi, dan

informasi terkait lainnya yang diperlukan dalam pembangunan geodatabase. Kegiatan verifikasi

lapangan ini perlu dilakukan karena untuk memperjelas detail RTH pada peta/citra dengan cara

melakukan pengecekan obyek RTH tersebut di lapangan. Selain itu, verifikasi lapangan juga dilakukan

untuk mendapatkan gambaran visual mengenai kondisi atau situasi terkini dari kawasan RTH tersebut

melalui foto dan video kondisi RTH di beberapa lokasi. Dalam penelitian ini tidak dilakukan verifikasi

data lapangan secara langsung, namun menggunakan data sekunder dari PT EFORT Digital

Multisolutions yang telah menjadi pelaksana kegiatan pendataan RTH dari Bappeda Kab. Cirebon.

Setelah melakukan kompilasi dan verifikasi data, tahap selanjutnya adalah digitasi RTH Kecamatan

Sumber. Proses digitasi RTH ini dilakukan berdasarkan data toponimi RTH yang di-overlay-kan dengan

data analog yaitu data citra Quickbird, sehingga dapat mempermudah proses digitasi. Adapun untuk

proses digitasi dapat dilihat pada Gambar 2. Untuk membangun geodatabase RTH yang lengkap, maka

dilakukan proses integrasi data (join attributes) antara data spasial RTH (hasil digitasi) dengan

informasi RTH yang telah disimpan dalam bentuk tabel. Informasi RTH yang dimaksud adalah berupa

informasi pengelompokkan RTH berdasarkan tipologi RTH secara fisik, dilihat dari segi fungsi, dan

sifat kepemilikan RTH, serta kondisi RTH terkini. Adapun informasi RTH yang disimpan dalam bentuk

tabel tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 2 Digitasi Stadion Ranggajati

Page 15: Seminar Nasional Bidang Geodesi: State of the Art Industri ...semnas.lp2m.itenas.ac.id/wp-content/uploads/2018/05/01-Paper-Geodesi.pdf · koreksi tersebut meliputi koreksi radiometrik

Geodesi | 12

Gambar 3 Informasi RTH

3.4. Pembangunan Geodatabase RTH

Dari kegiatan inventarisasi data, diperoleh data yang diperlukan dalam pembangunan geodatabase RTH,

yaitu meliputi data batas administrasi; jaringan jalan; jaringan sungai; data taman; data pemakaman;

data pekarangan warga, sekolah, dan kelurahan; data survei lapangan secara tidak langsung; serta data

digitasi RTH. Sebelum membangun geodatabase, terlebih dahulu dibuat kodefikasi basis data, seperti

yang dapat dilihat dalam Gambar 4.

DATA DASAR DATA TEMATIK

BATAS

ADMINISTRASI

DATA JARINGAN

JALAN

DATA JARINGAN

SUNGAI DATA RTH

KODE_PROV KODE_JLN KODE_SUNG KODE_PROV

NAMA_PROV NAMA_JLN NAMA_SUNG NAMA_PROV

KODE_KAB JENIS_JLN ORDE_SUNG KODE_KAB

NAMA_KAB PJG_JLN PJG_SUNG NAMA_KAB

KODE_KEC KODE_KEC

NAMA_KEC NAMA_KEC

KODE_DESA KODE_DESA

NAMA_DESA NAMA_DESA

LUAS_DESA NAMA_RTH

JENIS_RTH

RTH_FISIK

RTH_FUNGSI

RTH_STKTUR

RTH_MILIK

KNDISI_RTH

LUAS_RTH

Gambar 4 Kodefikasi Geodatabase RTH

Setelah melakukan proses perancangan model geodatabase RTH, maka langkah selanjutnya adalah

memasukkan data dan struktur yang dibuat ke dalam model geodatabase RTH. Geodatabase RTH

dibangun dengan menggunakan software dari ESRI yaitu ArcCatalog (ArcGIS). Langkah-langkah yang

dilakukan dalam membangun geodatabase RTH adalah:

a. Membuat file geodatabase

b. Membuat feature dataset

c. Membuat feature class

d. Memasukkan data

3.5. Pembangunan Aplikasi SIG RTH

Aplikasi SIG RTH merupakan aplikasi yang dibangun untuk menampilkan atau memvisualisasikan

geodatabase RTH Kecamatan Sumber. Berikut struktur layer yang dibangun pada aplikasi SIG RTH

dapat dilihat pada Gambar 5.

Page 16: Seminar Nasional Bidang Geodesi: State of the Art Industri ...semnas.lp2m.itenas.ac.id/wp-content/uploads/2018/05/01-Paper-Geodesi.pdf · koreksi tersebut meliputi koreksi radiometrik

Geodesi | 13

Gambar 5 Kodefikasi Geodatabase RTH

Adapun contoh visualisasi dari hasil pembangunan geodatabase RTH Kecamatan Sumber dapat dilihat

pada Gambar 6 sampai dengan Gambar 8.

Gambar 6 Visualisasi RTH Pemakaman

Gambar 7 Visualisasi RTH Median Jalan

Page 17: Seminar Nasional Bidang Geodesi: State of the Art Industri ...semnas.lp2m.itenas.ac.id/wp-content/uploads/2018/05/01-Paper-Geodesi.pdf · koreksi tersebut meliputi koreksi radiometrik

Geodesi | 14

Gambar 8 Visualisasi Geodatabase RTH

Dari hasil pembangunan geodatabase RTH Kecamatan Sumber dapat dianalisis bahwa jenis RTH yang

tersebar di Kecamatan Sumber adalah lahan pekarangan, median jalan, pemakaman, sarana olahraga,

taman hutan kota, taman kota, taman margasatwa, dan taman situs.

4. Kesimpulan

Geodatabase RTH merupakan geodatabase ruang terbuka hijau yang dirancang dan dibangun

berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 05/PRT/M/2008 Tentang Pedoman Penyediaan

dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan. Perancangan geodatabase RTH

dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak dari ESRI. Dengan adanya perancangan geodatabase

RTH ini, maka terbentuklah struktur layer geodatabase RTH. Sedangkan implementasi rancangan

geodatabase RTH dilakukan dengan menggunakan data eksisting yang tersedia di Bappeda Kabupaten

Cirebon dan instansi yang terkait, serta dengan menggunakan data sekunder berupa toponimi RTH dan

foto/video RTH dari PT EFORT Digital Multisolutions yang telah menjadi pelaksana kegiatan

pendataan RTH dari Bappeda Kab. Cirebon. Proses implementasi rancangan geodatabase RTH ini

memerlukan waktu yang cukup lama terutama dalam melakukan klasifikasi RTH, digitasi RTH

(konversi data), dan integrasi data. Hal ini terkait dengan banyaknya data, ketidakseragaman data, dan

data tersebut belum standar/tersusun secara sistematis.

Daftar Pustaka

[1] Putri, P. dan Zain, Alinda FM. 2010. Analisis Spasial dan Temporal Perubahan Luas Ruang

Terbuka Hijau di Kota Bandung. Jurnal Landskap Indonesia Volume 2 Nomor 2 Tahun 2010.

Departemen Arsitektur Landskap, Fakultas Pertanian IPB. Diakses dari

http://journal.ipb.ac.id/index.php/jli/article/view/5734/4349 pada tanggal 2 Oktober 2017.

[2] Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 05/PRT/M/2008 Tentang Pedoman Penyediaan dan

Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan.

[3] Departemen Pekerjaan Umum. 2009. Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Non

Hijau di Wilayah Kota/Kawasan Perkotaan – Permen PU No.12/PRT/M/2009. Direktorat

Penataan Ruang Nasional, Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Dept. Pekerjaan Umum. Jakarta..

Diakses dari http://birohukum.pu.go.id/pustaka/arsip_makalah/20.pdf, pada tanggal 2 Oktober

2017.

Page 18: Seminar Nasional Bidang Geodesi: State of the Art Industri ...semnas.lp2m.itenas.ac.id/wp-content/uploads/2018/05/01-Paper-Geodesi.pdf · koreksi tersebut meliputi koreksi radiometrik

Geodesi | 15

[4] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang.

[5] BPS Kabupaten Cirebon. 2016. Statistik Daerah Kecamatan Sumber. Diakses dari

https://cirebonkab.bps.go.id/new/website/pdf_publikasi/Statistik-Daerah-Kecamatan-Sumber-

2016.pdf pada tanggal 2 Oktober 2017.

Page 19: Seminar Nasional Bidang Geodesi: State of the Art Industri ...semnas.lp2m.itenas.ac.id/wp-content/uploads/2018/05/01-Paper-Geodesi.pdf · koreksi tersebut meliputi koreksi radiometrik

Geodesi | 16

Kajian Spasial Perubahan Garis Pantai, Penyebab, dan Dampaknya

Terhadap Sosial-Ekonomi Masyarakat di Pesisir Subang

Dian N. Handiani, S. Darmawan, Y.D. Aditya, M. F. Suryahadi, dan R. Hernawati

Jurusan Teknik Geodesi, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan

Institut Teknologi Nasional

Jl. PKH. Mustapha No. 23, Bandung 40124

Email: [email protected]

ABSTRACT

The present research aims to estimate coastline changes, to identify causes and the social-economic

impacts of the changes in coastal community of Subang Regency. Estimation calculates based on

overlay of Landsat satellite image during 1988, 1996, 2003, dan 2016. Literatures collected for

identifying the causes, while questioners technique has been used to find out the social and economic

impacts of the changes. Results show that since year of 1988 to 2016 coastline has been changed around

8,17 km. These changes are dominantly caused by coastline sedimentation in Pusakanagara (869,9 ha)

and Blanakan (725,4) subdistricts, while highest abrasion in Legonkulon (885,8 ha) subdistrict.

Coastline changes in Subang are not only caused by oceanographic processes, but an antropogenic

activities are also causing the changes. Most respondent opined that coastlines are in poor condition

and this condition reduces their salary more than 30% from the usual income. Although the condition

happens, the coastal community does not looking for new job or even changing their livelihood.

Keywords: coastline changes, spatial analysis, Subang Regency, Landsat, Remote Sensing

1. Pendahuluan

Data Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2014 menunjukkan bahwa Pantai utara Jawa

mengalami abrasi pantai sepanjang 745 km atau sekitar 44% dari total garis pantai utara yang ada

[Kompas, 2017]. Data Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) – Jawa Barat

menyebutkan pembabatan mangrove di delta Sungai Cimanuk-Indramayu, dimulai sejak tahun 1950.

Kemudian di tahun 1980-an, di pesisir utara Jawa lainnya (termasuk Subang) terjadi pembukaan hutan

mangrove besar-besaran untuk pemukiman, industri, dan pembuatan kolam-kolam tambak. Kondisi ini

mengakibatkan perubahan garis pantai (proses abrasi dan sedimentasi) dan penurunan kualitas

lingkungan pesisir yang cukup tinggi [Bappeda-Jabar, 2007].

Potensi sumberdaya pesisir Subang sangat besar, akan tetapi dalam perkembangannya mengalami

degradasi akibat tekanan penduduk sekitarnya [Saridewi, 2003]. Degradasi sumberdaya dan kualitas

lingkungan ini juga tercatat dalam beberapa penelitian lainnya. Di antara tahun 1996-2010 diperkirakan

terjadi perubahan garis pantai maksimum sejauh 1 km [Taofiqurohman dan Ismail, 2012] dan antara

kurun waktu 2005 – 2015 di salah satu kecamatan pesisir Subang (Blanakan) mengalami penurunan

lahan mangrove sebesar 5% pertahun. Penurunan ini mengakibatkan kerugian sebesar Rp.

3.815.790.110,97 pertahunnya [Indrayanti dkk., 2015]. Selain itu, perubahan garis pantai juga

diperkirakan menyebabkan intrusi air laut ±10 km dari garis pantai [Salim dkk., 2016].

Page 20: Seminar Nasional Bidang Geodesi: State of the Art Industri ...semnas.lp2m.itenas.ac.id/wp-content/uploads/2018/05/01-Paper-Geodesi.pdf · koreksi tersebut meliputi koreksi radiometrik

Geodesi | 17

Salah satu tujuan pengelolaan wilayah pesisir adalah meminimalisir degradasi lingkungan dan

memanfaatkan potensi sumberdaya pesisir secara berkelanjutan [Dahuri dkk., 2001]. Penelitian ini

bertujuan membantu pemerintah daerah Subang dalam perencanaan awal pengelolaan wilayah pesisir.

Khususnya terkait identifikasi dan pemahaman isu kondisi lingkungan dan ekosistem, serta kondisi

masyarakat pesisirnya. Fokus penelitian mengestimasi perubahan garis pantai (luas sedimentasi dan

abrasi), mengidentifikasi penyebab perubahannya dan dampak sosial-ekonomi masyarakat pesisir

Subang.

2. Metodologi

Alur penelitian ini digambarkan pada diagram alir di Gambar 1. Berdasarkan RTRW (Rencana Tata

Ruang Wilayah) Kabupatan Subang memiliki empat kecamatan yang berada di pesisir yaitu Cipunagara,

Legonkulon, Sukasari, dan Blanakan. Hampir di setiap kecamatan terdapat sungai yang bermuara ke

pesisir (Gambar 2 dan 3). Perubahan garis pantai, luas sedimentasi dan abrasi dalam penelitian ini

diestimasi dengan memanfaatkan citra Landsat 5 TM tahun 1988, 1996, 2003 dan citra Landsat 8 OLI

tahun 2016 [USGS, 2017]. Data citra tersebut diinterpretasi melalui beberapa proses yaitu cropping

area, koreksi radiometrik dan geometrik, aplikasi algoritma ekstraksi batas darat dan laut, serta proses

delineasi garis pantai. Algoritma ekstraksi menggunakan metode BILKO [UNESCO, 1999] dan

delineasi garis pantai dengan metode on screen digitizing. Hasil interpretasi citra kemudian diverifikasi

terhadap data hasil tracking garis pantai di lapangan (pengamatan Bulan Agustus, 2017 di Kecamatan

Pusakanagara dan Legonkulon, Gambar 2 dan 3). Asumsi maju dan mundurnya garis pantai diakibatkan

oleh proses sedimentasi dan abrasi di pantai tersebut. Luas sedimentasi dan abrasi diestimasi dengan

analisis tumpang tindih hasil pengolahan citra di setiap tahun pengamatan. Kajian hidro-oseanografi

dan lingkungan pesisir bertujuan mengidentifikasi penyebab terjadinya sedimentasi dan abrasi, dan

berdasarkan hasil studi pustaka. Selain itu, data kuesioner yang diperoleh bersamaan tracking di

lapangan, digunakan untuk analisis dampak perubahan garis pantai terhadap kondisi sosial-ekonomi

masyarakat.

Gambar 1. Diagram alir dari alur penelitian

Page 21: Seminar Nasional Bidang Geodesi: State of the Art Industri ...semnas.lp2m.itenas.ac.id/wp-content/uploads/2018/05/01-Paper-Geodesi.pdf · koreksi tersebut meliputi koreksi radiometrik

Geodesi | 18

3. Hasil dan Diskusi

Estimasi Luas Sedimentasi dan Abrasi

Hasil verifikasi antara pengolahan data citra dan tracking lapangan memiliki nilai penyimpangan

sebesar 10,9 m dan berkesesuian dengan ketentuan dari Badan Informasi Geospasial (BIG) No. 15 tahun

2014. Ketentuannya terkait informasi ketelitian garis pantai dan ketelitian geometri peta rupa bumi

(RBI) sebagai rujukan pembuatan skala bagi peta yang memuat garis pantai hasil delineasi tersebut.

Hasil estimasi perubahan garis pantai Subang dari tahun 1988-2016 sebesar 8,17 km, dimana panjang

garis pantai tahun 1988 sebesar 64,23 km dan tahun 2016 menjadi 72,40 km. Sedangkan, estimasi luas

sedimentasi (Gambar 2) dan abrasi (Gambar 3) total dalam rentang tahun yang sama bernilai relatif

seimbang yaitu 1723 ha (sedimentasi) dan 1496,5 ha (abrasi). Perbandingan pada seluruh kecamatan di

pesisir Subang, luas sedimentasi di Kecamatan Pusakanagara (869,9 ha) dan Blanakan (725,4 ha)

memiliki nilai tertinggi. Adapun luas abrasi tertinggi di Kecamatan Legonkulon sebesar 885,8 ha.

Gambar 2. Estimasi luas sedimentasi, lokasi tracking (garis biru) dan pengamatan lapangan

(lingkaran merah) atas proses sedimentasi di (a) Pusakanagara, (b) Blanakan.

Gambar 3. Estimasi luas abrasi, lokasi tracking (garis biru) dan pengamatan lapangan

(lingkaran merah) atas proses abrasi di Legonkulon

Page 22: Seminar Nasional Bidang Geodesi: State of the Art Industri ...semnas.lp2m.itenas.ac.id/wp-content/uploads/2018/05/01-Paper-Geodesi.pdf · koreksi tersebut meliputi koreksi radiometrik

Geodesi | 19

Tinjauan Penyebab Sedimentasi dan Abrasi

Proses pengendapan dan penggerusan sedimen di pesisir bersumber dari interaksi lingkungan pesisir

yang dipengaruhi oleh faktor hidro-oseanografi, seperti gelombang, arus, pasang surut, topografi,

meteorologi dan kondisi geomorfologi. Selain itu, faktor antropogenik (aktivitas manusia), contohnya:

aliran sedimen di muara sungai dan reklamasi pantai juga mempengaruhi perubahan morfologi pantai

[Suhana, 2015]. Berdasarkan model prediksi MetOceanView (6.2ºS 108ºE) dan penelitian Dinas

Kelautan dan Perikanan (DKP) Kab. Subang [DKP, 2003] arah angin di pesisir Subang dipengaruhi

oleh musim barat dan timur (Tabel 1). Perbedaan kecepatan angin dari kedua data tersebut disebabkan

perbedaan lokasi pengamatan. Stasiun MetOceanView di arah laut lepas, sedangkan DKP di sekitar

pesisir Mayangan (Legonkulon). Selanjutnya, kondisi arus permukaan di pesisir Subang didominasi

oleh pengaruh angin musiman [PPGL, 2010 dan DKP, 2003]. Selain itu, pasang surut juga

mempengaruhi arus permukaan hanya kecepatannya relatif rendah dibandingkan yang dipengaruhi oleh

angin. Pola gelombang di pesisir Subang pertahunnya memiliki ketinggian rata-rata sebesar 0 – 0,5 m

dan arah gelombang ke timur laut [MetOceanView, 2017]. Kondisi ini mempengaruhi transfer sedimen

yang dipengaruhi oleh gelombang, umumnya sedimen terbawa gelombang (sedimentasi) cenderung ke

arah timur (Kec. Pusakanagara). Berdasarkan kecepatannya kondisi gelombang di pesisir Subang

termasuk calm (< 1 knot), sesuai skala Beaufort [US. Army, 1984]. Adapun, kondisi pasut di pesisir

Subang bervariasi, di bagian timur Subang bertipe campuran condong ke harian ganda dan di bagian

barat bertipe campuran condong harian tunggal. Di pesisir Ciasem pasut memiliki rentang pasang

terendah sampai tertinggi antara 1,4 m – 6,1 m dan pasut masuk sekitar 1 km dari muara sungai,

sedangkan di Sungai Cipunagara masuk sekitar 0,5 km. Hasil tinjauan hidro-oseanografi menunjukkan

kondisi pesisir Subang yang relatif calm. Hasil ini memperlihatkan bahwa faktor hidro-oseanografi

bukanlah satu-satunya yang mempengaruhi perubahan garis pantai serta proses sedimentasi dan abrasi.

Tabel 1. Kompilasi studi pustaka dan data sekunder Hidro-Oseanografi pesisir Subang

No.

Parameter

Hidro-

Oseanografi

Sumber Referensi Lokasi

Pengamatan Hasil-Hasil

1. Angin MetOceanView

[2017]

Kab. Subang

- Musim Barat (Desember-Februari) angin

berasal dari Barat

- Musim Timur (Juni-Agustus) angin berasal

dari Timur

- Kecepatan kedua musim maks. 5-10 knot

DKP Kab. Subang,

[2003]

Dipengaruhi musim Barat dan Timur kecepatan

rata-rata 0,05-0,1 knot

2. Arus PPGL [2010] Kec. Pusakanagara Arus permukaan berdasarkan pengukuran

musiman, kecepatan kurang dari 0,16 knot

dengan arah antara Tenggara – Barat Laut

DKP Kab. Subang,

[2003]

Kab. Subang Pola arus mengikuti pola arus Laut Jawa, arus

musiman:

- Musim Timur (Mei dan September) arus

bergerak ke arah Barat, kecepatan maks.

sekitar 0.5 knot

- Musim Barat (November-Maret) arus berge-

rak kearah Timur, kecepatan maks. 0.6 knot

Pantai Ciasem

Kec. Legonkulon

- Arus pasang antara 0,03–0,6 knot, dominan

ke arah Barat

- Arus surut antara 0,04–0,65 knot, dominan ke

arah Barat

3. Gelombang MetOceanView

[2017]

Kab. Subang Tinggi gelombang rata-rata 0-0,5 m dan arah

rambat dominan Timur Laut

Page 23: Seminar Nasional Bidang Geodesi: State of the Art Industri ...semnas.lp2m.itenas.ac.id/wp-content/uploads/2018/05/01-Paper-Geodesi.pdf · koreksi tersebut meliputi koreksi radiometrik

Geodesi | 20

No.

Parameter

Hidro-

Oseanografi

Sumber Referensi Lokasi

Pengamatan Hasil-Hasil

PPGL [2010] Kab. Subang Tinggi gelombang rata-rata 0,53 m, tinggi

gelombang maks. 0,77 m, dan arah rambat rata-

rata Timur Laut

DKP Kab. Subang,

[2003]

Kab. Subang - Tinggi gelombang umum 0,5-0,8 m,

gelombang kondisi laut tenang 0,3 m, arah

rambat dominan dari Utara dan Timur Laut

Pantai Ciasem

Kec. Legonkulon

- Tinggi gelombang antara 0,02-0,5 m, musim

Barat dan Timur tinggi maks. > 1,7 m

4. Pasang

Surut

Jade [2017] Kab. Pusakanagara Tipe pasut campuran condong ke harian ganda,

dua kali pasang dan surut dalam sehari, dan

pasang pertama lebih rendah dibandingkan

pasang kedua

DKP Kab. Subang,

[2003]

Ciasem Kec.

Legonkulon

Tipe pasut campuran condong harian tunggal,

rentang pasut terendah dan tertinggi yaitu

1,4 m- 6,1 m

Sungai Ciasem

Kec. Legonkulon

Pasut masuk kearah sungai sampai 1,0 km

Sungai Cipunegara

Kec. Cipunegara

Pasut masuk kearah sungai sampai 0,5 km

Tinjauan Dampak Sosial-Ekonomi Akibat Sedimentasi dan Abrasi

Kuesioner dibagikan pada 60 orang responden, 25 orang di Kecamatan Legonkulon dan 35 orang di

Kecamatan Pusakanagara. Hasil kuesioner dikelompokkan menjadi tiga jenis informasi: data diri,

perekonomian, dan lingkungan masyarakat. Analisis citra menunjukkan sedimentasi dominan terjadi di

Pusakanagara (Gambar 2) dan abrasi di Legonkulon (Gambar 3). Analisis hasil kuesioner mendukung

analisis citra tersebut. Lebih dari 50% responden berpendapat keadaan lingkungan sekitar mereka

semakin rusak dan terjadi sedimentasi atau abrasi, 25% responden berpendapat tidak terjadi perubahan

lingkungan, dan < 25% responden berpendapat lingkungan mereka semakin baik. Akan tetapi > 50%

responden berpendapat kerusakan lingkungan tersebut belum mencapai tahap dimana mereka harus

berpindah tempat tinggal dan hanya 15% responden saja berpendapat harus pindah tempat tinggal akibat

kerusakan lingkungan (Gambar 4a). Umumnya responden adalah nelayan, petani tambak, dan buruh

atau wiraswasta. Pendapatan nelayan dan petani tambak rata-rata mencapai 2-3 juta/bulan, akan tetapi

ada juga yang mencapai 3-4 juta/bulan. Terdapat 8 responden yang tidak mengalami pengurangan

penghasilan akibat dari kerusakan lingkungan, 7 responden mengalami pengurangan pendapatan

sebesar 10-30%, 24 responden mengalami pengurangan pendapatan sebesar 30-50% dan 21 responden

mengalami pengurangan pendapatan sebesar >50% (Gambar 4b).

Page 24: Seminar Nasional Bidang Geodesi: State of the Art Industri ...semnas.lp2m.itenas.ac.id/wp-content/uploads/2018/05/01-Paper-Geodesi.pdf · koreksi tersebut meliputi koreksi radiometrik

Geodesi | 21

Gambar 4. Hasil responden terkait kondisi (a) lingkungan dan dampaknya terhadap masyarakat,

(b) data diri dan ekonomi masyarakat pesisir Subang.

Keterkaitan antara perubahan garis pantai terhadap kondisi sosial masyarakat ditunjukkan dengan

adanya korelasi antara proses sedimentasi dan abrasi dengan pendapat responden terhadap kerusakan

lingkungan di pesisir Subang. Tingginya sedimentasi dan abrasi berkorelasi linier dengan tingginya

pendapat responden terhadap adanya kerusakan lingkungan di pesisir Subang. Akan tetapi meski

berbagai kerusakan dan kerugian telah terjadi, masyarakat masih mempertahankan lahan dan rumah

tinggal mereka (>50% responden). Sedangkan, keterkaitan kondisi ekonomi ditunjukkan dengan

pengurangan income penduduk yang melebihi rata-rata 30% dan lapangan pekerjaan pun semakin

banyak berkurang bersamaan dengan tingginya sedimentasi atau abrasi. Berbagai permasalahan ini

perlu segera diatasi, salah satunya melalui pengelolaan wilayah pesisir yang sesuai dan tepat sasaran.

4. Kesimpulan

Hasil estimasi perubahan garis pantai mengidentifikasi perubahan dari tahun 1988-2016 sebesar 8,17

km. Perubahan tersebut didominasi oleh proses sedimentasi (seluas 869,9 ha) di Kecamatan

Pusakanagara dan seluas 725,4 ha di Blanakan, sedangkan abrasi tertinggi terjadi di Kecamatan

Legonkulon (885,8 ha). Tinjauan kondisi hidro-oseanografi memperlihatkan faktor ini bukanlah satu-

satunya yang mempengaruhi proses sedimentasi dan abrasi. Analisis kuesioner mencatat masyarakat

berpendapat lingkungan pesisir Subang telah mengalami kerusakan relatif tinggi dan kondisi ini

menyebabkan masyarakat mengalami pengurangan pendapat hingga > 30%. Akan tetapi meskipun

kerusakan dan kerugian telah terjadi, masyarakat belum berpindah tempat tinggal ataupun mengganti

pekerjaan mereka. Penelitian ini memperlihatkan pengelolaan pesisir yang tepat dan sesuai sasaran

sangat diperlukan bagi wilayah pesisir Kabupaten Subang.

Daftar Pustaka

[1] BAPPEDA (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah) Provinsi Jawa Barat. 2007. Laporan Akhir

Atlas Pesisir dan Laut Utara Jawa Barat. Bandung.

[2] Dahuri R, J. Rais, S.P. Ginting, M. J. Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan

Lautan Secara Terpadu. Jakarta: PT. Pradnya Paramita.

(a) (b)

Page 25: Seminar Nasional Bidang Geodesi: State of the Art Industri ...semnas.lp2m.itenas.ac.id/wp-content/uploads/2018/05/01-Paper-Geodesi.pdf · koreksi tersebut meliputi koreksi radiometrik

Geodesi | 22

[3] Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang. 2003. Pemetaan Potensi Kelautan dan

Perikanan (ATLAS) Kabupaten Subang. Kerjasama Pemerintah Kabupaten Subang dengan

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

[4] Indrayanti, M.D., Fahrudin, A., Setiobudiandi, I. 2015. Penilaian Jasa Ekosistem Mangrove di

Teluk Blanakan Kabupaten Subang. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia (JIPI). Volume 2, No.2.

[5] Jade, R.M.R, Perbani, N.M.R.R.C., Handiani, D.N. 2016. Analisis Efektivitas Bangunan Pelindung

Pelabuhan Patimban dan Pantai Sekitar Melalui Tinjauan Hidro-Oseanografi. Reka Geomatika

Vol. 2016, Jurusan Teknik Geodesi, Institut Teknologi Nasional, Bandung.

[6] Kompas. 2017. 10.644 Desa Pesisir Rentan: Indeks Risiko Kebencanaan Belum Diturunkan.

Kolom IPTEK. Hlm. 14 (https://jakselkota.bps.go.id/backend/file Menu/Kliping_berita_cetak_

media_nasional_edisi_rabu_25_januari_2017.pdf).

[7] MetOceanView. 2017. Available at: https://app.metoceanview.com/hindcast/. Data diakses pada

30 Maret 2017.

[8] PPPGL. 2010. Penelitian Geodinamika Sepanjang Pantai Utara Jawa (Studi Kasus Di Perairan

Pamanukan dan Sekitarnya, Jawa Barat). PUSLITBANG Geologi Kelautan.

[9] Salim, A.G., Siringoringo, H.H., Narendra, B.H. 2016. Pengaruh Penutupan Mangrove Terhadap

Perubahan Garis Pantai dan Intrusi Air Laut di Hilir DAS Ciasem dan DAS Cipunagara,

Kabupaten Subang. Jurnal Manusia dan Lingkungan, vol. 23 No. 3, 319-326.

[10] Saridewi, T.R. 2003. Studi Pembangunan Ekonomi Wilayah Pesisir di Kabupaten Subang [tesis].

Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

[11] Suhana, M.P. 2015. Kajian Hidro-Oseanografi untuk Deteksi Proses-Proses Dinamika Pantai

(Abrasi dan Sedimentasi). Jurnal Pascasarjana Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

[12] UNESCO. 1999. Applications of Satellite and Airborne Image Date to Coastal Management.

Coastal region and small island papers 4, UNESCO, Paris, vi + 185 pp.

[13] US. Army Coastal Engineering Research Center. 1984. Shore Protection Manual. US. Government

Printing Office, Washington. DC.

[14] USGS official website. 2017. Availaible at: http://earthexplorer.usgs.gov. Data diakses pada 30

Maret 2017.

Page 26: Seminar Nasional Bidang Geodesi: State of the Art Industri ...semnas.lp2m.itenas.ac.id/wp-content/uploads/2018/05/01-Paper-Geodesi.pdf · koreksi tersebut meliputi koreksi radiometrik
Page 27: Seminar Nasional Bidang Geodesi: State of the Art Industri ...semnas.lp2m.itenas.ac.id/wp-content/uploads/2018/05/01-Paper-Geodesi.pdf · koreksi tersebut meliputi koreksi radiometrik

Geodesi | 23

Aplikasi Metode Geostatistika untuk Pemetaan

Wilayah Prospek Mineral

Hary Nugroho

Jurusan Teknik Geodesi, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan

Institut Teknologi Nasional

Jl. PKH. Mustapha No. 23, Bandung 40124

Email: [email protected]

ABSTRAK

Penentuan wilayah prospek mineral adalah hal yang sangat penting. Hal ini dikarenakan kegiatan

pemetaan ini dapat memberikan gambaran kekayaan sumberdaya alam mineral sekaligus sebagai

upaya awal dalam melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang akan menjadikan mineral

sebagai tambahan pendapatan negara. Kegiatan pemetaan wilayah prospek mineral pada umumnya

akan meliputi wilayah yang luas, sehingga untuk melakukan pemetaan ini diperlukan teknologi yang

tepat yang dapat meliput wilayah luas dalam waktu yang singkat. Teknologi yang dapat menjawab

tantangan ini di antaranya adalah teknologi geofisika udara. Data yang diperoleh selanjutnya dapat

dimodelkan dan diinterpretasikan untuk dapat mengidentifikasi keberadaan mineral.

Dalam survei geofisika udara terdapat beberapa data yang dapat diakuisisi, di antaranya adalah data

magnetik, elektromagnetik, dan radiometrik. Data-data tersebut apabila diintegrasikan akan

memberikan gambaran terjadinya proses mineralisasi pada suatu wilayah. Proses integrasi dilakukan

menggunakan Sistem Informasi Geografik, dimana data-data hasil survei ini diolah terlebih dahulu

untuk diubah menjadi data dalam bentuk model permukaan digital. Proses pemodelan permukaan

digital dapat dilakukan menggunakan metode geostatistika.

Dalam metode geostatistika terdapat beberapa teknik yang dapat diterapkan di antaranya adalah teknik

Kriging. Model permukaan digital yang diperoleh selanjutnya diuji dengan kriteria yang telah

ditetapkan yang meliputi pengujian ketergantungan secara spasial, stasioneritas, dan pembuktian

bahwa data terdistribusi secara normal. Makalah ini menyajikan kajian awal proses pengembangan

model permukaan digital dengan menggunakan metode geostatistika dengan teknik Kriging.

Kata kunci: Survei geofisika udara, magnetik, geostatistika, kriging

Page 28: Seminar Nasional Bidang Geodesi: State of the Art Industri ...semnas.lp2m.itenas.ac.id/wp-content/uploads/2018/05/01-Paper-Geodesi.pdf · koreksi tersebut meliputi koreksi radiometrik