seminar kerjasama pembangunan internasional

42
Kebijakan Pemerintah dalam Industri Pariwisata Terkait Kerjasama Pembangunan dan Pengelolaan Hotel Berjaringan Internasional di Indonesia Studi Kasus Group Aston Internasional di Kota Yogyakarta Makalah Seminar Kerjasama Pembangunan Internasional Disusun Oleh: Alfian Eikman (11/326453/PSP/04298) Muhammad Muharam Lubis (11/326284/PSP/04285)

Upload: alfian-aal-eikman

Post on 11-Aug-2015

236 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

Kerjasama Pembangunan Internasional

TRANSCRIPT

Page 1: Seminar Kerjasama Pembangunan Internasional

Kebijakan Pemerintah dalam Industri Pariwisata Terkait

Kerjasama Pembangunan dan Pengelolaan Hotel

Berjaringan Internasional di Indonesia

Studi Kasus Group Aston Internasional di Kota Yogyakarta

Makalah Seminar Kerjasama Pembangunan Internasional

Disusun Oleh:

Alfian Eikman (11/326453/PSP/04298)

Muhammad Muharam Lubis (11/326284/PSP/04285)

PROGRAM PASCA SARJANA ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS GADJAH MADA

2013

Page 2: Seminar Kerjasama Pembangunan Internasional

BAB I

Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah

Pariwisata telah menjadi salah satu industri di dunia dan merupakan andalan utama dalam

menghasilkan devisa di berbagai negara. Jumlah wisatawan internasional berpengaruh pada

penerimaan devisa. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan penerimaan devisa

nasional 2011, wisatawan mancanegera (wisman) memberi kontribusi sebesar Rp 80 triliun

dengan total pergerakan wisman sejumlah mencapai 7,6 juta orang. Sementara kunjungan

wisatawan dalam negeri menyumbang Rp 123 triliun. Ranking devisa yang diperoleh dari

sektor pariwisata bahkan meningkat sejak 2006-2010. Pada tahun 2009, pariwisata

penyumbang devisa terbesar ketiga setelah minyak bumi & gas serta minyak kelapa sawit

dengan total nilai mencapai Rp 62 triliun.

Keberhasilan pembangunan kepariwisataan Indonesia ditentukan oleh paling tidak tiga

pilar utama yaitu keberhasilan dalam pengembangan produk, keberhasilan dalam pemasaran,

dan keberhasilan menciptakan sumber daya manusia termasuk masyarakat pariwisata

(Fadmawati, 2011). Kebijakan ini telah mampu meningkatkan kunjungan wisatawan dan

penerimaan devisa bagi Indonesia. Kemitraan dengan masyarakat lokal disekitar objek wisata

turut serta meningkatkan pendapatan sehingga pariwisata merupakan salah satu faktor

pemasukan perekonomian Indonesia.

Yogyakarta merupakan salah satu destinasi pariwisata di Indonesia yang banyak

dikunjungi oleh para wisatawan baik lokal maupun mancanegara. Potensi yang mampu

memikat para wisatawan daerah ini seperti keindahan alam, keunikan budaya serta kehidupan

sosial masyarakatnya. Potensi ini menjadi industri salah satu tulang punggung pembangunan

perekonomian Kota Yogyakarta dan menjadi andalan dalam mengisi Pendapatan Asli Daerah

(PAD). Realisasi pajak hotel-restoran tahun 2011 memberi sumbangan Rp 44,3 miliar.

Tingginya angka wisatawan yang datang ke provinsi ini menarik banyak investor baik lokal

maupun asing untuk menginvestasikan dananya dalam industri pariwisata di Yogyakarta.

Perhotelan merupakan salah satu industri jasa yang berperan penting dalam keberhasilan

dunia pariwisata di Yogyakarta. Seiring meningkatnya perekonomian Indonesia, bisnis

pariwisata membawa perkembangan di Yogyakarta. Para investor berjaringan internasional

mulai tertarik untuk membangun properti khususnya hotel di Kota Yogyakarta. Tumbuh

1

Page 3: Seminar Kerjasama Pembangunan Internasional

kembangnya pelaku usaha hotel berjaringan di Kota Yogyakarta memberikan nilai tambah

(added value) yang signifikan terhadap peningkatan pendapatan penduduk Kota Yogyakarta.

Globalisasi yang berpengaruh terhadap dunia pariwisata menarik sikap peduli pihak

manajemen industri pariwisata termasuk juga hotel untuk mengembangkan sistem

manajemen dalam mengatur industrinya. Situasi internasional ini secara tidak langsung akan

berpengaruh terhadap keberhasilan pengelolaan hotel dari segi kunjungan wisatawan yang

datang ke daerah tempat hotel itu berada. Pengelolaan dan pengorganisasian hotel diperlukan

tenaga-tenaga profesional sebagaimana kebutuhan industri pariwisata.

Dalam implementasinya, pemerintah lalu mengeluarkan kebijakan lewat Keputusan

Menteri Pariwisata Pos dan Telekomonikasi No: KM.112/PW.102/MPPT.96 tentang Usaha

Jasa Manajemen Hotel Jaringan Internasional. Terdapat dua hal penting yang menjadi

pertimbangan dalam keputusan tersebut pemerintah tersebut. Pertama, bahwa jasa

manajemen hotel jaringan internasional memiliki peranan dalam pengembangan dan

peningkatan usaha jasa akomodasi sebagai bagian dari industri pariwisata. Kedua,

manajemen jaringan internasional yang beroperasi di Indonesia harus berkomitmen untuk

menciptakan sinergi berusaha dan menjamin kelangsungan pengembangan usaha dengan

melakukan pengalihan dan penguasaan teknologi secara substansial kepada sumber daya

manusia Indonesia.

Dengan munculnya peraturan baru daftar bidang usaha tertutup dan bidang usaha yang

terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman modal yakni PP No 36 tahun 2010 turut

mempengaruhi sektor industri pariwisata. Produk hukum yang merupakan turunan dari UU

No 25 tahun 2007 tentang penanaman modal ini menetapkan beberapa daftar usaha tertutup

yang dilarang dan terbuka dengan persyaratan sebagai kegiatan penanaman modal. Peraturan

ini mensyaratkan beberapa hal tentang pembatasan usaha yang dapat dilakukan oleh pihak

asing. Salah satu daftar usaha terbuka dengan persyaratan yakni dalam penyelenggaraan

akomodasi seperti hotel berbintang satu, dua, homestay. Hotel bintang satu dan bintang dua

dikenai syarat maksimal dana pihak asing sebesar 51% serta tidak bertentangan dengan

peraturan daerah (Perda). Sementara untuk homestay, hanya diperbolehkan untuk

pencadangan usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi.

Aston International merupakan salah satu grup hotel yang berjaringan internasional di

Kota Yogyakarta. Hotel chain ini telah ini memiliki 32 hotel yang tersebar di Indonesia

dengan nama brand Aston dengan level bintang empat serta lebih dari 50 hotel dengan Fave

2

Page 4: Seminar Kerjasama Pembangunan Internasional

pada level bintang dua dan serta 20 proyek hotel baru yang akan dilaksanakan tahun 2012 ini

dengan brand Hotel Neo (Nursyifani, 2012). Di Kota Yogyakarta sendiri, hotel ini beroperasi

pada segmentasi kelas atas dan menengah. Yogyakarta menjadi salah satu kota diantara dua

kota grup hotel ini membangun hotel bintang lima di Indonesia. Dua daearah tersebut yakni

Grand Aston City Hall di Medan serta Grand Aston Yogyakarta di Yogyakarta.

Untuk segmentasi kelas hotel budget, grup Aston International mendirikan Fave Hotel

yang kini bersaing merebut pangsa pasar hotel bintang dua yang telah ada terlebih dahulu di

Kota Yogyakarta. Segera akan dibangun juga hotel Neo dikelas yang sama namun dengan

konsep yang berbeda dengan Fave Hotel. Untuk segmentasi hotel bintang tiga, grup Aston

International juga mendirikan Quest Hotel Mangkubumi.

B. Rumusan Masalah

Kemunculan PP 36/2010 tentang daftar tertutup untuk usaha penanaman modal dapat

dikatakan sebagai suatu ancang-ancang untuk menghadapi era globalisasi yang ditandai

dengan perdagangan bebas. Khususnya dalam bidang perhotelan, industri ini merupakan

bagian dari terpenting dalam industri pariwisata. Peraturan tersebut memberikan ruang

kepada unit usaha kecil dan menengah berpartisipasi dalam penanaman modal di industri

pariwisata. Pemerintah daerah (Pemda) juga mendapat peranan dalam regulasi menata hotel

berkelas satu dan kelas dua serta homestay. Pemda juga harus memastikan bahwa modal

asing tidak melebihi kuota syarat yang telah ditetapkan.

Peraturan penanaman modal tersebut ditempatkan sebagai upaya pemerintah untuk

meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, serta hakekatnya mewujudkan kesejahteraan

masyarakat dalam suatu sistem perekonomian yang berdaya saing. Sementara pihak hotel

juga harus mampu bersaing dalam menghadapi perdagangan bebas dengan memanfaatkan

manajemen hotel chains dalam pengembangan industri pariwisata. Manajemen hotel chain

dalam mengelola hotelnya harus menyiapkan sistem manajemen yang sempurna untuk

menang dalam persaingan di dunia perhotelan dan mencapai tujuan dari hotel tersebut.

Serbuan hotel budget oleh operator berjaringan internasional ini bisa menjadi ancaman

bagi hotel-hotel bintang 2 lokal. Hotel budget baru dengan menggandeng manajemen hotel

chain tampil dengan desain kontemporer, fasilitas modern, memiliki kamar lebih banyak

namun dengan harga yang bersaing. Untuk dapat tetap mempertahankan tamunya pengelola

hotel lokal ini mau tidak mau harus segera berbenah diri. Seraya berbenah pemerintah telah

3

Page 5: Seminar Kerjasama Pembangunan Internasional

mengawal ancaman tersebut dengan beberapa aturan regulasi terkait manajemen hotel

berjaringan internasional.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penelitian ini ingin mengindentifikasi

formulasi kerangka kebijakan dan hukum yang dilakukan pemerintah daerah Kota

Yogyakarta terhadap pemilik atau pengelola hotel berjaringan internasional segmentasi kelas

satu, kelas dua ataupun homestay. Dalam kajian ini, studi kasus akan diarahkan pada grup

Aston International yang telah membangun hotel budgetnya di Kota Yogyakarta.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Untuk mengetahui sejauh mana pemerintah daerah Kota Yogyakarta mengantisipasi

dinamika hotel chain di Kota Yogyakarta

2) Untuk mengetahui pola hubungan korporasi dan model penanaman modal asing pada

grup Aston International di Kota Yogyakarta

3) Untuk mengetahui apakah pola hubungan kerjasama hotel yang dibangun grup Aston

International di Kota Yogyakarta telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan

kepariwisataan dan penanaman modal di Indonesia

D. Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi

perkembangan ilmu pengetahuan khususnya kerjasama pembangunan dan pengelolaan hotel

berjaringan internasional. Selain itu, diharapkan penelitian ini dapat meningkatkan sumber

daya manusia Indonesia dalam membangun pengetahuan kerjasama atas pembangunan dan

pengelolaan hotel berjaringan internasional.

E. Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Lingkup penelitian menitikberatkan perhatian pada industri pariwisata dalam negeri

khususnya pada hotel berjaringan internasional. Dalam wacana dominan beredar di

Indonesia, model kerjasama dan relasi antara aktor dalam dan luar negeri sebagai akibat dari

era globalisasi. Penelitian ini akan mengkaji respon pemerintah Indonesia dalam menghadapi

4

Page 6: Seminar Kerjasama Pembangunan Internasional

globalisasi khususnya pada kerjasama pengelolaan dan pembangunan industri pariwisata oleh

aktor dari luar negeri meliputi pembahasan grup Aston International di Kota Yogyakarta yang

dianggap merupakan salah satu hotel berjaringan internasional.

Memperhatikan topik permasalahan yang dipilih merupakan permasalahan yang cukup

kompleks sifatnya, maka dalam pelaksanaannya penelitian ini menghadapi kendala-kendala

antara lain:

1. Sulitnya memperoleh data/informasi yang menyangkut kapasitas organisasi

perusahaan pengelola grup Aston International. Penyebabnya adalah data-data tadi

diperkirakan tersebar di unit-unit kerja Aston dan sebagaian bersifat rahasia. Dengan

demikian, data-data yang diperoleh umumnya hanya menunjukkan pendekatan secara

kasar dari Aston International sebagai hotel berjaringan internasional dan telah

memindahkan markas besarnya dari Hawaii ke Jakarta.

2. Banyaknya variabel kebijakan pemerintah, karakteristik industri pariwisata dan

kompleksitas sistem yang digunakan oleh korporasi Aston International. Oleh sebab

itu, pendekatan dalam penelitian ini lebih bersifat evaluatif dari fakta-fakta yang

terjadi dalam waktu yang lalu dan mengenali gejala-gejala yang terjadi untuk objek

penelitian dan merumuskan menjadi “kesimpulan sementara” berdasarkan analisis

terhadap fakta yang ada.

F. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Pembahasan pada penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan

menggambarkan atau memaparkan bagaimana kebijakan pemerintah Indonesia dan

pemerintah daerah Kota Yogyakarta terhadap industri pariwisata khususnya pada

hotel berjaringan internasional dengan mengangkat Aston International di Kota

Yogyakarta sebagai studi kasus dalam pembahasan.

2. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data

Untuk pembahasan lebih lanjut serta menjawab pertanyaan pada rumusan masalah,

peneliti menggunakan data sekunder yang diperoleh dari berbagai literatur baik

elektronik maupun tinjauan pustaka. Selain itu, berbagai dokumen resmi pemerintah

yang diperoleh langsung dan yang diperoleh melalui sumber elektronik diharapkan

5

Page 7: Seminar Kerjasama Pembangunan Internasional

dapat mendukung penelitian ini. Untuk memperdalam penelitian ini, juga

menggunakan data primer berupa wawancara langsung dengan pihak Aston

International di Kota Yogyakarta, Dinas Pariwisata D.I Yogyakarta dan Kota

Yogyakarta, dan Badan Penanaman Modal Daerah D.I Yogyakarta.

G. Sistematika Penulisan

Secara lengkap, penyajian pembahasan dalam penelitian ini mengikuti struktur

pembahasan sebagai berikut:

Bab I : Pendahuluan

Bab II : Tinjauan Literatur dan Kerangka Berpikir

Bab III : Deskripsi dan Tinjauan Objek Penelitian

Bab IV : Analisis kebijakan industri pariwisata di Indonesia dan Kota Yogyakarta

yang diterapkan pada hotel berjaringan internasional

Bab V : Kesimpulan

6

Page 8: Seminar Kerjasama Pembangunan Internasional

BAB II

Tinjauan Literatur & Kerangka Berpikir

A. Tinjauan Literatur

Pariwisata bukanlah merupakan suatu industri yang sama dengan industri manufaktur

ataupun industri permesinan di pabrik yang menghasilkan produk berupa barang dalam

aktifitasnya. Pariwisata sama halnya disebut aktifitas namun dari sisi ekonomi, ia

menciptakan permintaan yang memerlukan pemasaran bagi produk aktifitasnya. Produk yang

dihasilkan dari pariwisata berupa jasa pariwisata yang terpisah namun saling melengkapi.

Menurut R.S. Damarjati (Suyoto, 2003) mendefinisikan industri pariwisata sebagai

rangkuman dari berbagai usaha yang secara bersama-sama menghasilkan produk/jasa/layanan

atau service. Produk aktifitasnya secara langsung ataupun tidak langsung akan dibutuh oleh

wisatawan selama perjalanan.

Suyoto melanjutkan dalam kajian penelitiannya mengutip G.A. Schmoll yang mencirikan

industri pariwisata bukanlah industri yang berdiri sendiri, tetapi merupakan suatu industri dari

serangkaian perusahaan yang menghasilkan produk yang berbeda satu dengan lainnya baik

dari ukuran perusahaan, pendapatan, lokasi, fungsi maupun metode pemasarannya. Industri

pariwisata bersifat holistik satu kesatuan yang tak terpisahkan meliputi kebutuhan wisatawan

seperti industri perhotelan, industri transportasi, industri kerajinan dan cenderamata dan lain

sebagainya.

Lebih lanjut dalam penelitian Suyoto yang memetakan perkembangan usaha perhotelan di

D.I Yogyakarta dengan melihat tingkat okupansi, produk usaha perhotelan sebagai bagian

dari industri pariwisata terhadap kesejahteraan masyarakat sekitar. Hasil penelitiannya

menunjukkan bahwa perkembangan usaha perhotelan mengalami fluktuasi. Sebelum

reformasi terjadi peningkatan sementara pasca-reformasi mengalami stagnasi akibar krisis

ekonomi yang berdampak pada pariwisata. Pengaruh keberadaan hotel terhadap masyarakat

sekitar memberikan dampak pada kesempatan dan peluang kerja. Beberapa diantara yang

dapat direkrut menjadi karyawan, pemandu wisata serta munculnya desa wisata yang

menyediakan kerajinan dari usaha kecil dan menengah.

Menurut Mowforth dan Munt (Suyoto, 2003) dalam hal kepemilikan dan penguasaan

pariwisata internasional terjadi melalui lima bentuk partisipasi korporasi multinasional di

7

Page 9: Seminar Kerjasama Pembangunan Internasional

dalam industri perhotelan di negara-negara dunia ketiga. Pertama, melalui pemilikian atau

investasi ekuiti dengan cara memiliki sebagian besar atau seluruh pangsa ekuiti (ownership or

equty investment). Kedua, melalui kontrak manajemen (management contract). Ketiga,

melalui perjanjian sewa hotel dengan membayar sewa hotel sesudah dikurangi dengan biaya

operasi (hotel leasing agreement). Keempat, melalui izin penggunaan nama, simbol dan

pelayan dari pemilik hotel dengan pembayaran fee (franchise agreement). Dan kelima,

melalui perjanjian teknis (techincal service agreement).

Keberadaan pembangunan hotel yang dapat menggerakan ekonomi masyarakat

disekitarnya tidak terlepas dari kepemilikan dan investasi yang dilakukan pengusaha terhadap

pembangunan hotel beserta fasilitasnya. Investor yang menanamkan modalnya dalam

pembangunan hotel dapat diklasifikasikan dari dua aspek yakni penanaman modal dalam

negeri dan penanaman modal asing (Satoto, 2003). Satoto dalam kajiannya membedah pola

hubungan penanaman modal asing (PMA) dalam pembangunan hotel di Indonesia dengan

mengambil studi kasus perhotelan di Bali. Satoto menggambarkan bagaimana pola yang

dibentuk dan dibangun oleh pihak investor sebelum memberikan investasi membangun hotel

di suatu kawasan. Pola tersebut nantinya akan menentukan layak atau tidaknya investor

berinvestasi hotel dan atau besaran nilai yang akan diinvestasikannya dengan resiko pola

yang dianut.

Kelima pola hubungan PMA yang terjadi dalam proses pembangunan hotel di Bali yakni:

1) Pola hubungan “pinjam-nama”; 2) Pola hubungan “nominee atau kepercayaan; 3) Pola

hubungan dengan “pemasukan modal”; 4) Pola hubungan dengan pemberian “pinjaman

dana”; dan 5) Pola hubungan “penanaman modal asing” yang mengikuti ketentuan undang-

undang yang ditetapkan oleh pemerintah. Dari kelima pola tersebut, hanya pola yang kelima

yakni PMA sesuai dengan regulasi pemerintah yang dinilai keabsahannya. Pola ini juga

menjabarkan secara jelas hak dan kewajiban antara investor asing dengan pihak di Indonesia.

Terhadap investor asing pola ini dapat melindungi investasinya di Indonesia karena, pola ini

memiliki kekuatan hukum jika muncul perkara dikemudian hari.

Sementara itu, Juliana (2003) dalam penelitiannya mendalami secara khusus bagaimana

proses kontrak kerjasama pengelolaan hotel dari manajemen internasional. Ia menilai dalam

menunjang keprofesionalan operasional dan organisasi hotel dengan taraf internasional,

banyak pelaku usaha melakukan kerjasama dengan pihak pelaku usaha luar negeri yang

memiliki jaringan internasional. Hotel dapat dikatakan suatu jaringan (chain) apabila usaha

hotel tersebut merupakan suatu sistem hubungan pengelolaan atau kepemilikan antara hotel

8

Page 10: Seminar Kerjasama Pembangunan Internasional

dalam satu pengendalian (holding). Jaringan tersebut bisa berbentuk jaringan operasional

(Chain Operation), jaringan manajemen (Chain Management) dan jaringan kepemilikan

(Chain Ownership).

Sama halnya seperti Satoto, Juliana juga mengambil studi kasus di Bali tepatnya di

Kabupaten Badung. Pertimbangannya karena provinsi ini dapat dijadikan sampel yang cukup

memadai atas keberadaan manajemen hotel berjaringan internasional di Indonesia. Studi

hukum yang dilakukan Juliana menunjukkan bahwa kontrak manajemen yang dilakukan

pihak asing dengan pemilik hotel telah sesuai dengan aturan yang berlaku secara nasional dan

daerah di Bali. Kontrak manajemen hanya mengalami hambatan karenaterdapat ketentuan

“klasul wajib” dalam kontrak manajemen yang dibuat pengelola hotel kepada pemilik hotel.

Kontrak tersebut selanjutnya dihormati sebagaimana undang-undang yang berlaku.

Terjadinya perselisihan kontrak manajemen pada umumnya dikarenakan perbedaan persepsi

atas laporan keuangan yang sebenarnya tidak dituangkan dalam kontrak manajemen.

Dari beberapa penelitian diatas, kajian ini akan mengkaji khusus pada akomodasi/hotel

berjaringan internasional. Berbeda dengan Juliana yang menelaah dari perspektif hukum

perdata, kajian ini akan menelaah dengan implementasi peraturan PP 36/2010 tentang

penanaman modal usaha tertutup khususnya dalam bidang pariwisata yang mengamanatkan

pada Pemda untuk penataan kerjasama pengelolaan pembangunan, pengelolaan hotel

berbintang satu, dua, serta homestay. Kajian ini akan melihat sejauh mana regulasi yang telah

dibuat oleh pemerintah daerah Yogyakarta terhadap hotel berjaringan internasional, dan

sedalam apa hotel-hotel berjaringan internasional mematuhi aturan tersebut.

Dalam Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No 86 tahun 2010, menyebutkan

bahwa tempat pendaftaran usaha pariwisata ditujukan kepada bupati atau walikota tempat

usaha pariwisata berlokasi kecuali wilayah DKI Jakarta. Kajian ini terkait dengan penanaman

modal asing dalam sektor pariwisata khususnya di hotel berbintang satu dan dua serta

homestay. Berbeda dengan Sutoyo dan Satoto yang meneliti pengaruh hotel serta pola

hubungan kerjasama hotel, kajian ini lebih kepada bagaimana pihak hotel berjaringan

internasional menyesuaikan diri dalam pembangunan hotel sesuai dengan aturan penanaman

modal dan aturan kepariwisataan di Indonesia dan khususnya di Yogyakarta.

9

Page 11: Seminar Kerjasama Pembangunan Internasional

B. Kerangka Berpikir

Dalam menerapkan peraturan terkait dengan pengelolaan pariwisata, di satu sisi

pemerintah harus memperhitungkan kepentingan pelaku usaha lokal untuk menjamin

keberlangsungan udaha mereka. Namun, disisi lain, pemerintah juga tunduk kepada aturan

main yang berlaku dalam ranah kerjasama internasional. Hal ini kemudian menjadi sebuah

dilema tersendiri bagi pemerintah dalam menentukan arah kebijakan yang di satu sisi harus

tunduk terhadap perjanjian kerjasama internasional, dan disisi lain harus memenuhi

kebutuhan para pelaku usaha dan kepentingan masyarakat dalam negeri pada umumnya.

Forum kerjasama internasional yang mengatur tentang kerjasama internasional dan

Indonesia termasuk didalamnya adalah forum General Agreement on Trade in Service

(GATS) yang merupakan bagian dalam kerangka kerjasama WTO yang mengatur

perdagangan di bidang jasa, dan ASEAN Framework on Services dalam ruang lingkup Asia

Tenggara. Forum kerjasama GATS menekankan pada liberalisasi di sektor jasa termasuk

sektor pariwisata yang dibicarakan dalam putaran uruguay perjanjian WTO (Marchetti &

Mavroidis, 2011).

B.1. Definisi Wisata

Berdasarkan UU No 10 tahun 2009 tentang kepariwisataan menyebutkan definisi wisata.

UU No 10/2009 ini merupakan peraturan tertinggi kepariwisataan hasil perubahan dari UU

No 9 tahun 1990 yang dianggap tidak sesuai lagi dengan tuntutan dan perkembangan

kepariwisataan. Dalam pasal 1 disebutkan:

“Wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok

orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan

pribadi atau mempelajari keunikan daya tarik wista yang dikunjungi dalam jangka

waktu sementara.”

Lebih dalam lagi dalam UU Kepariwisataan pasal 14 menetapkan penggolongan usaha di

bidang kepariwisataan terutama mengenai usaha penyediaan akomodasi. Hal itu meliputi

kegiatan pembangunan, pengelolaan dan penyediaan fasilitas serta pelayanan yang diperlukan

dalam penyelenggaraan pariwisata. Beberapa jenis usaha yang dikelompokkan dalam UU

tersebut yakni:

1. Daya tarik wisata;

10

Page 12: Seminar Kerjasama Pembangunan Internasional

2. Kawasan pariwisata;

3. Jasa transportasi wisata;

4. Jasa perjalanan wisata;

5. Jasa makanan dan minuman;

6. Penyediaan akomodasi;

7. Penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi

8. Penyelenggaraan pertemuan, perjalanan insentif, konferensi dan pameran;

9. Jasa informasi pariwisata;

10. Jasa konsultan pariwisata;

11. Jasa pramuwisata;

12. Wisata tirta dan spa.

B.2. Hotel Chains

R.G Soekadijo (Juliana, 2003:39) menilai, hotel merupakan bagian terpenting dari

industri pariwisata. Hotel menjadi jasa kepariwisataan sebagai yang terpenting dan

terlengkap karena sering disama artikan dengan akomodasi wisata. Pada umumnya dalam

kegiatan pariwisata, ada anggapan bahwa akomodasi yakni hotel dan restoran atau ada juga

yang menamana “HoReCa” yaitu hotel, restauran dan cafe.

Secara definitif, dalam UU Kepariwisataan ini tidak disebutkan pengertian dari

akomodasi ataupun hotel. Pengertian akomodasi ditetapkan dalam aturan turunannya dalam

Peraturan Menteri No 86/HK.501/MKP/2010 tentang Tata Cara Pendaftaran Usaha

Penyediaan Akomodasi. Usaha penyediaan akomodasi yang dimaksud dalam keputusan

tersebut yakni sarana untuk menyediakan jasa pelayanan penginapan untuk wisatawan yang

dapat dilengkapi dengan pelayanan pariwisata lainnya. Hotel didefinisikan dalam peraturan

menteri ini yakni:

“Penyediaan akomodasi secara harian berupa kamar-kamar di dalam 1 (satu)

bangunan, yang dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum, kegiatan

hiburan serta fasilitas lainnya.”

11

Page 13: Seminar Kerjasama Pembangunan Internasional

Definisi akomodasi/hotel ini tidak jauh berbeda dari definisi yang telah ditetapkan

sebelumnya dalam Peraturan Pemerintah No 67 tahun 1996 tentang penyelenggaraan

kepariwisataan. Dalam PP 67/1996 pasal 61 mengatur mengenai kegiatan usaha hotel.

Definisi kegiatan hotel disebutkan dalam PP 67/1996 meliputi kegiatan dan kewajiban hotel

yang terdapat penekanan bahwa jasa pengelolaan yang lainnya termasuk juga pencucian

pakaian/binatu dilakukan secara komersial.

Dalam perkembangan dengan era globalisasi, pemilik usaha hotel dituntut untuk

berkompetisi dengan pesaing hotel yang dikelola oleh jaringan internasional. Hal ini

dilakukan selain adanya persaingan yang ketat, juga karena hotel harus berorientasi komersial

dan mengejar keuntungan untuk return on investment bagi pemilik hotel. Dampaknya,

perkembangan bisnis pengelolaan hotel berjaringan internasional telah membawa perubahan

format bisnis jasa manajemen pengelolaan hotel di Indonesia. Pemilik hotel bersaing

menggunakan pola hubungan kerjasama dengan manajemen hotel berjaringan internasional

untuk meningkatkan okupansi dan deviden dari keberadaan hotel.

Kegiatan usaha yang dibentuk oleh keputusan Keputusan Dirjen Pariwisata

No:Kep.06/VI/97 tersebut merupakan implementasi dari suasana batin pemerintah dalam

mengantisipasi perkembangan dan persaingan manajemen hotel jaringan internasional

(chain). Pemerintah menggarisbesarkan kebijakan tersebut atas pertimbangan bahwa usaha

manajemen hotel chain memiliki peranan dalam pengembangan dan peningkatan usaha jasa

akomodasi sebagai bagian dari produk pariwisata. Selain itu juga hotel chain keberadaannya

dapat menciptakan sinergi dalam berusaha, serta menjamin kelangsungan pengembangan

usaha jasa manajemen berjaringan internasional di Indonesia.

Ketentuan tentang usaha jasa manajemen hotel jaringan internasional merujuk kepada

Keputusan Menteri Pariwisata Pos dan Telekomunikasi No KM 112/PW.102/MPPT-96 dan

Keputusan Dirjen Pariwisata No:Kep.06/VI/97 tentang pelaksanaaan ketentuan usaha

manajemen hotel berjaringan internasional. Hotel dapat dikatakan suatu jaringan (chain)

apabila usaha hotel tersebut merupakan suatu sistem hubungan pengelolaan atau kepemilikan

antara hotel dalam satu pengendalian (holding). Jaringan tersebut bisa berbentuk jaringan

operasional (Chain Operation), jaringan manajemen (Chain Management) dan jaringan

kepemilikan (Chain Ownership) (Juliana, 2003).

Pelaksanaan usaha-usaha manajemen hotel internasional yang dimaksud dalam

Keputusan Dirjen Pariwisata No:Kep.06/VI/97 yakni kegiatan usaha dalam hal:

12

Page 14: Seminar Kerjasama Pembangunan Internasional

a. Jasa Konsultasi

Merupakan jasa berupa saran, nasehat, pendapat tentang penyusunan studi

kelayakan, perencanaan pembangunan, pengawasan pembangunan, evaluasi

operasional suatu hotel atau beberapa hotel

b. Jasa Waralaba (Franchise)

Yakni suatu sistem pemasaran dimana sebuah perusahaan pemilik hak guna atau

merek dagang mengizinkan suatu perusahaan atau beberapa perusahaan menjual

produk atau jasa dengan menggunakan merek dagangannya dengan kondisi atau

imbalan yang ditetapkan oleh pemilik merek dalam bentuk royalti, fee dan lain-

lain.

c. Jasa Pengelolaan

Yakni jasa mengelola hotel yang meliputi aspek pemasaran, operasional dan

pemeliharaan hotel baik yang berupa piranti lunak maupun piranti keras.

Aturan terkait hotel berjaringan internasional dalam Keputusan Dirjen Pariwisata

menentukan beberapa hal. Pertama, setiap usaha jasa manajemen hotel berjaringan

internasional yang beroperasi di Indonesia, agar bermitra usaha dengan pengusaha Indonesia.

Kedua, usaha jasa manajemen hotel berjaringan internasional harus berbentuk badan hukum

Indonesia sesuai dengan aturan yang berlaku. Ketiga, usaha jasa manajemen hotel berjaringan

internasional yang beroperasi di Indonesia harus mendapat izin terlebih dahulu dari Dirjen

Pariwisata. Keempat, usaha jasa manajemen hotel jaringan internasional berkewajiban

meningkatkan kualitas dan percepatan Indonesianisasi SDM. Selain itu juga tenaga asing

hanya diperbolehkan maksimal tiga orang.

Sementara itu dalam Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No

PM.94/HK.501/MKP/2010 dengan mengacu pada UU Kepariwisataan No 10 tahun 2009

menekankan wewenang dan tanggung jawab pemerintah dan Pemda. Pemerintah dan Pemda

memiliki kewenangan atas usaha jasa dan promosi pariwisata. Secara khusus terhadap

kerjasama dalam pembangunan industri pariwisata kewenangan pemerintah dalam pasal 28

butir c dan butir f. Dalam butir c pemerintah berwenang, “Menyelenggarakan kerjasama

internasional di bidang kepariwisataan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.” Sementara dalam butir f pemerintah berwenang, “Menetapkan norma, standar,

pedoman, prosedur, kriteria dan sistem pengawasan dalam penyelenggaraan kepariwisataan.”

13

Page 15: Seminar Kerjasama Pembangunan Internasional

Sementara itu terhadap kewenangan pemerintah daerah (Pemda), UU Kepariwisataan

mengatur lebih bersifat teknis terhadap penempatan dan izin lokasi usaha jasa pariwisata.

Pemda provinsi dan kabupaten berwenang menyusun dan menetapkan rencana induk

pembangunan kepariwisataan provinsi. Dalam hal pelaksanaan pendaftaran, pencatatan dan

pendataan pendaftaran usaha pariwisata merupakan kewenangan pemda. Pelaksanaan hal

tersebut sesuai dengan aturan wilayah masing-masing.

UU Kepariwisataan juga menekankan wewenang dan tanggung jawab pemerintah daerah.

Setiap penyelenggaraan usaha pariwisata, pengusaha pariwisata wajib mendaftarkan

usahanya terlebih dahulu kepada pemerintah atau pemerintah daerah (Pemda). Pemerintah

dan Pemda wajib melindungi usaha mikro, kecil dan menengah serta koperasi dalam usaha

pariwisata. Pemda dapat melakukan dengan dua cara yakni: pertama, membuat kebijakan

pencadangan usaha pariwisata untuk usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi. Kedua,

memfasilitasi kemitraan usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi dengan usaha skala

besar.

Terhadap hotel budget (bintang satu dan bintang dua) serta pondok wisata (homestay)

pemerintah membatasi pengelolaan dan kepemilikan oleh pihak asing. Dalam PP No 36 tahun

2010 ditekankan bahwa penanaman modal terhadap hotel budget hanya dapat dimiliki oleh

pihak asing maksimal 51% dari total investasi. Pihak asing harus melakukan kemitraan dan

pembagian investasi terhadap pemilik atau pengelola lokal. Ditekankan juga bahwa dalam

prosesnya, investasi tidak boleh bertentangan dengan Perda.

14

Page 16: Seminar Kerjasama Pembangunan Internasional

BAB III

Deskripsi dan Tinjauan Objek Penelitian

A. Aston International

Sejarah Aston International dimulai dari Aston Hotel Group yang membuka hotel

pertamanya di Waikiki Hawaii tahun 1948. Bermula dari perjalanan seorang pelaut bernama

Andre Tatibouet dari Perancis yang kemudian terdampar di kepulauan Hawaii. Ditempat

terdamparnya ia menemukan seorang gadis yang kemudian selanjutnya menjadi istrinya

yakni Analia. Sepasang suami-istri ini akhirnya membangun sebuah penginapan dengan

jumlah 14 kamar berlantai dua pada tahun 1948 di Waikiki. Penginapan tersebut akhirnya

berkembang dan terkenal di Hawaii hingga kini dengan nama Aston sebagai perusahaan

perhotelan yang melayani pengunjung di kepulauan Hawaii.

Nama Aston sendiri dilabelkan dari singkata nama anak mereka yakni Andre Steven (As)

yang kemudian ditambahkan dengan nama “ton” sebagaimana lazimnya nama-nama

beberapa grup hotel pada waktu tersebut (Anonim, 2008). Nama Aston Hotel & Resort

tersebut diluncurkan sebagai nama baru menggantikan nama Hotel Corporation of The

Pasific Inc yang mengelola hotel, kondominium serta apartement yang berada di wilayah

kepulauan Hawaii. Perubahan nama tersebut dilakukan untuk memberikan citra baru dengan

nama yang mudah dihafal.

Perkembangan ekspansi dan okupansi yang melejit dikarena kiat tersendiri dalam

usahanya. Aston menawarkan kepada pemilik properti untuk bergabung dalam rental pool

yang menyediakan manajemen profesional bagi pengelolaan properti dengan mendapatkan

bagi hasil yang menarik atas investasi mereka. Aston menjadi salah satu pioner dalam rantai

kondominium resort dengan memadukan dua konsep pelayanan hotel dan kelengkapan suite

dengan ruangan yang luas dan nyaman layaknya kondominum resort (Putri, 2011). Selain itu

Aston juga menawarkan telpon bebas pulsa dengan nomor pusat 800 untuk layanan

pemesanan kamar untuk jaringan struktur agen perjalanan.

Aston International kemudian dibentuk tahun 1997 sebagai afiliasi perusahaan yang

menangani ekspansi wilayah Asia Pasifik. Hingga saat ini The Aston Hotel Group telah

beroperasi sebanyak 60 properti di Hawaii, Amerika Serikat, Canada, Malaysia, Philipina dan

termasuk juga di Indonesia. Charles Brookfield yang sebelumnya menjabat sebagai executive

vice president dan chief operating officer di Aston Hotel & Resort mendirikan Aston

15

Page 17: Seminar Kerjasama Pembangunan Internasional

International ke Indonesia. Menurut Brookfield, Aston International merupakan perusahaan

pertama di Indonesia yang mendefinisi ulang konsep serviced apartment menjadi konsep

hotel harian dan memberikan fasilitas long stay (Ksp, 2010).

Kerja keras Brookfield dalam mengembangkan pangsa pasar di Asia Pasifik cukup

progresif. Hal ini membuat Aston International akhirnya memindahkan markas besarnya dari

Hawaii ke Jakarta tahun 2000. Proyek pertama Aston di Indonesia yakni di Tanjung Benoa

Bali dengan mengelola Aston Bali Resort and Spa dan bilangan Sudirman Jakarta yakni

Lippo Sudirman Grand Suites Hotel. Namun kini Aston Sudirman sudah tidak dikelola oleh

Aston International karena grup Lippo mengembangkan bisnis hotelnya sendiri.

Selain itu, Aston International mengelola lebih dari 100 hotel tersebar di Indonesia serta

Filipina dan Malaysia dengan berbagai brand. Grand Aston merupakan hotel bintang lima

dengan standar internasional tertinggi, sedangkan Royal Kamuela untuk resort mewah

bintang lima. Aston adalah brand hotel bintang empat, termasuk serviced apartment, dan

resort, sementara Kamuela Villas adalah brand villa bintang empat. Aston International

memiliki tiga brand di kelas bintang tiga, yaitu Aston City, Aston Inn, dan Quest. Sementara

di kelas bintang dua, brandnya Fave dan Neo.

Portofolio Aston International kini fokus menggarap hotel dan kondominium di wilayah

Indonesia dan Asia Tenggara dengan pasar menengah ke bawah. Hasil riset yang dilakukan

perusahaannya, Indonesia menurut Brookfield merupakan pasar paling potensial dengan

jumlah penduduk lebih dari 200 juta orang diantara India, China, Maldives serta negara-

negara di kawasan ASEAN yang turut diriset. Dari risetnya, Aston International melihat

kebutuhan pasar domestik terhadap hotel bintang dua dan bintang tiga cukup tinggi. Sehingga

dalam rencananya, Aston International akan membuka hotel kelas dua dan kelas tiga di setiap

kota di Indonesia.

Aston mengembangkan brand baru untuk kelas hotel bintang dua yakni favehotel.

Brookfield menilai tidak banyak brand international bermain di pasar tersebut namun

peluangnya besar yakni cocok untuk business travelers dan small budget. Selain business

travelers, konsumen dari student travelers dan family travelers menurut Brookfield butuh

hotel bintang dua dengan brand global karena dinilai lebih hemat dan lebih aman.

B. Grand Aston dan Fave Hotel Yogyakarta

16

Page 18: Seminar Kerjasama Pembangunan Internasional

B.1 Grand Aston Hotel

Hotel Grand Aston Yogyakarta secara resmi diperkenalkan pada 17 Desember 2011

dengan nama Grand Aston Yogyakarta Hotel & Convention Center. Hotel ini merupakan

brand bintang lima pertama Aston International di Pulau Jawa dan menjadi yang kedua di

Indonesia. Sebelumnya pada tahun 2006, brand bintang lima Aston International pertama kali

yakni Hotel Grand Aston City Hall Medan yang terletak di jantung ibukota Sumatera Utara,

Kota Medan. Grand Aston Yogyakarta Hotel & Convention Center ini terletak di jalan Urip

Sumiharjo No 37. Lokasi yang dikenal dengan nama Jalan Solo ini ini juga masih jantung

kota Yogyakarta dekat dengan pusat perbankan dan perkantoran Yogyakarta.

Hotel bintang lima yang fokus pada segmen pasar menengah ke atas ini menawarkan 141

kamar dan 3 kamar suite yang bertemakan desain Jawa, Cina dan Barat. Terdapat juga sebuah

Sky Lounge terbuka yang elegan dengan pemandangan gunung dan kota yang menakjubkan.

Fasilitas lain yang ditawarkan hotel ini yakni kolam renang yang luas dengan ruang olahraga

terlengkap, spa dengan pelayanan lengkap. Selain segmen kalangan menengah ke atas,

pengelolaan hotel ini juga fokus melayani segmen sektor wisata pendukung hotel berupa

meetings, incentives, conventions and exhibitions (MICE) dengan adanya sebuah pusat

konferensi dengan peralatan mutakhir serta beberapa ruangan konferensi dan Grand Ballroom

yang menggalang sebagian besar penghasilan hotel.

Pendirian Grand Aston Yogyakarta Hotel & Convention Center ini berdasarkan atas

kepemilikan saham dari investor lokal. Kepimilikan atas saham dan properti berupa bangunan

dan tanah yang menjadi tempat berdirinya Grand Aston Yogyakarta Hotel & Convention

Center merupakan sepenuhnya milik investor dalam negeri. Namun demikian pengelolaan

hotel ini, diserahkan sepenuhnya kepada jasa pengelola Group Aston Internasional.

B.2 Fave Hotel

Satu dari dua rencana pendirian Fave Hotel di Yogyakarta telah diresmikan. Dengan

nama resmi favehotel Kusumanegara, hotel ini menawarkan pilihan baru hotel murah di kota

pelajar Yogyakarta. Hotel budget ini beralamat di Jalan Kusumanegara No 91. Lokasi ini

dianggap strategis karena letaknya yang berada di dekat pusat bisnis dan tempat wisata di

Yogyakarta. Diantar tempat wisata yakni wisata sejarah, Benteng Vredenburg dan Keraton

Jogja, tempat wisata belanja khas di Jalan Malioboro serta pusat bisnis Jogja Expo Center

dapat dijangkau dengan perjalanan yang hanya 10 menit dari hotel murah di Yogyakarta ini.

17

Page 19: Seminar Kerjasama Pembangunan Internasional

Hotel bintang dua ini menyasar kalangan menengah ke bawah dengan budget rekreasi

dan berpergian yang minim. Jumlah kamar yang dimiliki hotel murah Yogyakarta ini

sebanyak 101 kamar. Di setiap kamar hotel ini dilengkapi dengan LCD TV 26 inchi, kasur

serta tempat tidur kualitas terbaik serta selimut yang berbahan katun, akses internet Wi-Fi,

AC, brankas, dan kamar mandi yang didalamnya terdapat shower dan perlengkapan mandi.

Hotel ini juga dilengkapi dengan fasilitas kamar yang sudah menunjang untuk bisnis

dengan menyiapkan fasilitas-fasilitas hotel seperti ruangan rapat yang memiliki desain yang

stylish. Sementara untuk pertemuan yang sifatnya santai bisa dilakukan di kafe hotel.

Kelebihan dari favehotel Kusumanegara dengan hotel murah lainnya adalah adanya kolam

renang untuk menyegarkan badan.

Pendirian Fave Hotel Kusumanegara ini merupakan usaha yang sepenuhnya dibiayai

oleh investor yang berasal dari dalam negeri. Kepemilikan atas saham dan properti berupa

bangunan dan tanah yang menjadi tempat berdirinya Fave Hotel Kusumanegara ini dikuasai

sepenuhnya oleh investor lokal. Namun demikian pengelolaan hotel ini, diserahkan

sepenuhnya kepada jasa pengelola Group Aston Internasional.

18

Page 20: Seminar Kerjasama Pembangunan Internasional

BAB IV

Analisis Kebijakan Pariwisata di Indonesia dan Yogyakarta

A. Kebijakan Pemerintah

  Kebijakan pemerintah dalam industri pariwisata dalam negeri sudah tentu bertujuan

untuk mengembangkan industri pariwisata itu sendiri. Namun, terdapat hal-hal yang perlu

diperhatikan oleh pemerintah dalam mengambil suatu kebijakan khususnya yang terkait

dengan persaingan industri pariwisata global. Salah satu faktor yang harus jadi pertimbangan

adalah perjanjian internasional yang telah disepakati oleh pemerintah terkait dengan

liberaliasi perdagangan jasa (termasuk perhotelan) di dalam WTO yang diatur melalui

General Agreement on Trade in Service (GATS). Kesepakatan yang telah disetujui dalam

GATS akan menjadi acuan bagi pemerintah dalam menetapkan kebijakan berupa undang-

undang maupun peraturan pemerintah. Kemudian faktor lainnya yang harus diperhatikan oleh

pemerintah adalah kebutuhan para pelaku usaha dalam negeri, khususnya terkait dengan

perlindungan dalam menghadapi persaingan dengan kompetitor dari luar. Perhatian

pemerintah dibutuhkan agar pelaku usaha dalam negeri dapat bertahan dalam menjalankan

usahanya dan menghadapi persaingan global di bidang jasa pariwisata yaitu perhotelan. Dari

kedua hal yang mesti dapat perhatian tersebut, maka kebijakan yang diambil oleh pemerintah

harus dapat mengakomodasi keduanya. Selain dapat menaati perjanjian kerjasama

internasional yang sudah ada, pemerintah juga harus mampu melindungi pengusaha lokal

yaitu dengan menerapkan kebijakan yang berimplikasi positif terhadap keberlangsungan

industri pariwisata dalam negeri.

Untuk memahami implikasi dari kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah terhadap

pelaku usaha dan berjalannya industri pariwisata khususnya bidang perhotelan, penting untuk

memahami terlebih dahulu bagaimana industri pariwisata tersebut dijalankan. Industri

pariwisata khususnya bidang perhotelan di Yogyakarta dijalankan sepenuhnya oleh pihak

swasta dengan regulasi yang ditentukan oleh pemerintah daerah yang mengacu kepada

peraturan pusat. Regulasi ini diatur dalam Peraturan Daerah No.4 Tahun 2010. Pihak swasta

yang ingin melakukan usaha dalam bidang perhotelan diharuskan untuk melayangkan izin

untuk mendirikan sarana pariwisata kepada dinas perizinan daerah kota Yogyakarta. Setelah

mendapatkan izin, pihak yang bersangkutan baru boleh mendirikan sebuah sarana pariwisata

19

Page 21: Seminar Kerjasama Pembangunan Internasional

berupa penginapan atau hotel. Setelah sarana pariwisata berupa penginapan atau hotel berdiri,

dinas pariwisata kota bekerjasama dengan dinas-dinasi terkait akan melakukan inspeksi

terhadap sarana dan prasarana menyangkut fasilitas, pelayanan, keamanan, kebersihan, dan

kesehatan yang akan dijadikan acuan dalam menentukan golongan kelas sarana pariwisata

tersebut. Hasil inspeksi ini kemudian akan diajukan kepada asosiasi Perhimpunan Hotel dan

Restoran Indonesia (PHRI) Yogyakarta, yang akan menentukan klasifikasi sarana pariwisata

berupa penginapan atau hotel sesuai dengan usulan dari dinas pariwisata tersebut.

Kemudian hal berikutnya yang perlu diketahui dalam memahami bagaimana implikasi

kebijakan pemerintah terhadap industri pariwisata berupa jasa penginapan dan perhotelan

adalah terkait dengan komposisi kepemilikan usaha penginapan dan perhotelan di kota

Yogyakarta. Menurut data yang kami peroleh dari asosiasi Perhimpunan Hotel dan Restoran

Indonesia (PHRI) daerah Yogyakarta, komposisi kepemilikan penginapan dan hotel di daerah

Yogyakarta, seluruhnya dimiliki oleh investor lokal atau dalam negeri baik terkait dengan

properti maupun sahamnya. Komposisi ini diasumsikan dipengaruhi oleh regulasi pemerintah

yang tertuang dalam PP No 36 tahun 2010 yang menekankan penanaman modal terhadap

hotel budget hanya dapat dimiliki oleh pihak asing maksimal 51%. Dengan adanya peraturan

pemerintah tersebut, kepemilikan hotel di Indonesia sebagian besar dimiliki oleh investor

yang berasal dari dalam negeri.

Penggunaan jasa pengelola manajemen hotel menurut regulasi kepariwisataan yang

berlaku di Indonesia diatur melalui regulasi mengenai pelaksanaan usaha manajemen hotel

internasional yang dimaksud dalam Keputusan Direktorat Jenderal (Dirjen) Pariwisata

No:Kep.06/VI/97. Dalam keputudan Dirjen tersebut diatur mengenai sistem hubungan

kerjasama atau pengelolaan dalam bentuk jasa konsultasi, jasa waralaba (franchise), dan jasa

pengelolaan. Aturan lainnya terkait kerjasama pariwisata mengenai perhotelan dalam

Keputusan Dirjen Pariwisata tersebut antara lain; Pertama, setiap usaha jasa manajemen hotel

berjaringan internasional yang beroperasi di Indonesia, agar bermitra usaha dengan

pengusaha Indonesia. Kedua, usaha jasa manajemen hotel berjaringan internasional harus

berbentuk badan hukum Indonesia sesuai dengan aturan yang berlaku. Ketiga, usaha jasa

manajemen hotel berjaringan internasional yang beroperasi di Indonesia harus mendapat izin

terlebih dahulu dari Dirjen Pariwisata. Keempat, usaha jasa manajemen hotel jaringan

internasional berkewajiban meningkatkan kualitas dan percepatan Indonesianisasi SDM.

20

Page 22: Seminar Kerjasama Pembangunan Internasional

Regulasi yang diterapkan oleh pemerintah pusat dan daerah melalui PP No 36 tahun

2010, Keputusan Direktorat Jenderal (Dirjen) Pariwisata No:Kep.06/VI/97, dan Peraturan

Daerah No.4 Tahun 2010, kemudian mempengaruhi bagaimana peta industri pariwisata,

khususnya pada sektor jasa akomodasi penginapan atau perhotelan di kota Yogyakarta.

Dengan dibatasinya jumlah kepemilikan pihak asing dan kebijakan pengelolaan manajemen

hotel, menjelaskan bagaimana penginapan atau hotel di kota Yogyakarta kepemilikannya

dimiliki oleh investor lokal dan sebagian dikelola oleh operator jaringan hotel internasional

seperti, Accor Group, Ibis Group, dan Aston Internasional. Dari data yang kami peroleh dari

asosiasi Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) daerah Yogyakarta, dari seluruh

hotel berbintang yang ada di wilayahnya, sepuluh diantaranya dikelola oleh operator atau jasa

pengelola internasional. Salah satunya adalah hotel Grand Aston dan Fave Hotel di

Yogyakarta yang merupakan hotel dengan kepemilikan lokal. Grand Aston dan Fave Hotel

adalah hotel yang kepemilikannya baik properti maupun sahamnya secara penuh dimiliki

oleh investor dalam negeri, namun kedua hotel ini dikelola dengan menggunakan jasa

pengelola dari luar negeri yaitu Aston Internasional. Sedangkan sisanya dikelola oleh

operator dalam negeri.

B. Implikasi Kebijakan

Dengan banyaknya jasa pengelola hotel internasional yang beroperasi di Indonesia

khususnya di Yogyakarta, yang menjadi perhatian penting adalah bagaimana kebijakan

pemerintah yang sudah ada mengatur tentang fenomena ini. Kemudian, bagaimana kebijakan

tersebut berpengaruh kepada pelaku usaha jasa parisawata perhotelan dalam negeri.

Meskipun sudah ada regulasi mengenai jasa pengelolaan hotel oleh operator internasional

yang diatur dalam Keputusan Direktorat Jenderal (Dirjen) Pariwisata No:Kep.06/VI/97,

namun didalam peraturan tersebut tidak ditemukan point yang mengatur tentang pembatasan

komposisi atau presentase jumlah operator (jasa pengelola) asing yang beroperasi di dalam

negeri. Kemudian, berdasarkan informasi yang telah kami dapatkan dari Ketua PHRI daerah

Yogyakarta dan Dinas Pariwisata Kota Yogyakarta, tidak ada peraturan yang membatasi

jumlah atau komposisi jasa pengelola hotel di Yogyakarta dari tingkatan berbintang sampai

ke melati sekalipun. Menurut kami, hal ini akan menyulitkan bagi para pelaku industri

perhotelan lokal terutama pelaku industri kecil dan menengah dimana mereka kebanyakan

berada pada segemen hotel bintang dua kebawah. Para pelaku usaha jasa penginapan

21

Page 23: Seminar Kerjasama Pembangunan Internasional

perhotelan lokal terutama pengusaha kecil dan menengah biasanya mengelola hotelnya

dengan kemampuan manajerial moderate dan kebanyakan dikelola sendiri, berbeda dengan

hotel-hotel yang menggunakan jasa pengelola hotel dari luar yang telah memiliki kemampuan

manajemen yang tinggi dan sesuai dengan standar internasional. Sehingga apabila pengusaha

kecil dan menengah dihadapkan dengan persaingan dari operator jasa pengelola hotel dari

luar maka pegusaha lokal akan kalah bersaing dan hal ini akan mematikan pengusaha lokal,

kecil dan menengah tersebut.

Pemerintah pusat sendiri memiliki ketentuan yang bertujuan untuk melindungi para

pelaku industri kecil dan menengah dalam negeri dari persaingan langsung terhadap

kompetitor luar yang lebih besar. Ketentuan ini tertuang dalam peraturan pemerintah pusat

yang terdapat dalam UU No 10 tahun 2009 pasal 17 tentang kepariwisataan mengamanatkan

perlindungan terhadap pelaku industri pariwisata kecil dan menengah. Meskipun pemerintah

juga terikat dengan perjanjian kerjasama mengenai liberalisasi barang dan jasa dalam WTO

melalui GATS, namun kepentingan para pelaku industri pariwisata lokal, kecil dan menengah

juga harus diperhatikan oleh para pemangku kebijakan sesuai dengan yang diamanatkan oleh

undang-undang.

Menurut pihak Dinas Pariwisata Kota Yogyakarta, pemerintah kota membuka seluas-

luasnya investasi dari luar pada sektor pariwisata termasuk industri perhotelan. Argumen

yang dikemukakan adalah dengan semakin banyaknya investasi baik dari luar negeri maka

industri pariwisata akan tumbuh karena akan menimbulkan multiplier effect. Selain

kontradiktif dengan PP No 36 tahun 2010 yang mengatur investasi asing maksimal 51 persen,

asumsi tentang multiplier effect juga masih bisa diperdebatkan. Investasi asing di satu sisi tak

dapat dipungkiri bahwa di dalam banyak kasus bisa mendatangkan keuntungan, namun disisi

lain harus dipahami lebih dalam seberapa besar keuntungan yang didatangkan oleh investasi

tersebut. Menurut wawancara kami dengan pihak Pusat Studi Pariwisata UGM, bahwa

implikasi investasi perhotelan operator luar masih harus diteliti lebih mendalam bagaimana

efeknya terhadap kemajuan industri pariwisata lokal, karena menurutnya kebanyakan

operator asing telah mengatur para tamu kedalam paket-paket wisata yang semua rantai

kegiatannya dikuasai oleh operator. Dari sini bisa dilihat bahwa multiplier effect yang

diharapkan dapat merangsang pertumbuhan ekonomi masyarakat tidak terjadi, karena seluruh

aktifitas rantai nilai produksi dalam industri pariwisata tersebut dikuasai oleh operator atau

manajemen hotel.

22

Page 24: Seminar Kerjasama Pembangunan Internasional

Disamping itu, kontradiksi pernyataan pihak Dinas Pariwisata Kota Yogyakarta

dengan PP No 36 tahun 2010, memperlihatkan lemahnya implementasi UU No 10 tahun 2009

tentang kepariwisataan Pasal 5: (f) Menjamin keterpaduan antarsektor, antardaerah, antara

pusat dan daerah yang merupakan satu kesatuan sistemik dalam kerangka otonomi daerah,

serta keterpaduan antarpemangku kepentingan. Kemudian, dari hasil interview dengan pihak

Dinas Pariwisata Kota Yogyakarta, dinas terkait tidak memiliki mekanisme pengawasan

dalam hal kerjasama sektor industri perhotelan atau pariwisata, padahal sektor ini

penyumbang PAD terbesar untuk pemerintah Kota. Dinas hanya mengurusi masalah

pembinaan pariwisata, jika ada keluhan dari pengusaha pariwisata khususnya perhotelan

maka masalahnya akan diserahkan ke PHRI. Dapat diasumsikan bahwa peran PHRI dalam

sektor jasa pariwisata khususnya perhotelan cukup penting, mengingat setiap keluhan dari

pengusaha disampaikan kepada asosiasi ini.

Meskipun terdapat Undang-undang kepariwisataan yang mengamatkan tentang

perlindungan terhadap pelaku industri pariwisata kecil dan menengah. Namun

operasionalisasi UU tersebut ke dalam sebuah peraturan yang dapat melindungi pelaku

industri lokal tidak ditemukan. Terutama di kota Yogyakarta, pemerintah daerah setempat

tidak memiliki Perda yang merupakan implementasi dari UU No 10 tahun 2009 pasal 17

tentang perlindungan tersebut.

C. Ekstrapolasi Kebijakan

Kami melihat bahwa, PHRI sebagai perpanjangan tangan dan perwakilan dari

pengusaha-pengusaha perhotelan tentunya mengerti regulasi atau kebijakan seperti apa yang

dibutuhkan oleh pelaku industri pariwasata khususnya perhotelan untuk membantu proses

usaha mereka terutama dalam menghadapi persaingan langsung dengan operator atau jasa

pengelola hotel dari luar. Berdasarkan hasil wawancara kami dengan ketua PHRI Bapak

KRHT. Drs. H. Istijdab M. Danunagoro, MM., bahwa pengusaha atau operator jasa pengelola

hotel lokal tidak memerlukan peraturan untuk membatasi jumlah operator jasa pengelola

hotel dari luar. Argumen yang beliau kemukakan adalah operator lokal telah mampu bersaing

dan telah memiliki pasar sendiri-sendiri.

23

Page 25: Seminar Kerjasama Pembangunan Internasional

Jika melihat argumen ketua PHRI dapat dipahami memang operator lokal yang sudah

“matang” mampu bersaing dengan operator asing, seperti Santika, Saphir, Jayakarta, mereka

mungkin tidak teralalu mengalami kesulitan dalam menghadapi persaingan dengan Grand

Aston dimana mereka telah memiliki pasar masing-masing. Akan tetapi, bagaimana dengan

operator yang merupakan pengusaha kecil dan menengah sedangkan Aston Internasional

terus berekspansi bahkan masuk ke pasar segmen bawah dengan fave hotel dan neo hotel.

Ekspansi yang dilakukan oleh Aston Internasional ke segmen hotel-hotel yang lebih kecil

atau bintang dua kebawah tentu akan menyulitkan para pengusaha industri jasa perhotelan

lokal, kecil dan menengah, karena pada segmen ini mereka bermain dan pada umumnya

mereka mengelola sendiri usahanya yang artinya manajemennya masih belum mapan.

Menurut kami, pola atau bentuk kebijakan yang dapat diambil oleh pemerintah

daerah kota Yogyakarta untuk melindungi para pelaku usaha perhotelan kecil dan menengah

lokal adalah dengan membatasi ruang bagi operator asing atau jasa pengelola manajemen

hotel dari luar. Hal ini dapat dilakukan dengan hanya memperbolehkan operator asing

mengelola hotel-hotel yang berada diluar segmen para pelaku usaha perhotelan lokal, kecil

dan menegah. Operator asing hanya boleh mengelola hotel-hotel yang berstandar diatas

bintang dua saja.

Liberalisasi ekonomi dalam hal perdagangan jasa terkait dengan industri pariwisata

memang merupakan sebuah hal yang harus dihadapi, namun demikian pemerintah harus tetap

mengakomodasi kepentingan pengusaha lokal dalam menghadapi persaingan dengan operator

atau pengelola jasa manajemen perhotelan dari luar negeri. Untuk itu diperlukan peran dan

upaya yang serius dari pemerintah untuk dapat menerapkan kebijakan yang tepat dan dapat

bermanfaat bagi kemajuan industri pariwisata lokal pada umumnya dan keberlangsungan

hidup para pelaku industri pariwisata bidang perhotelan lokal pada khususnya.

24

Page 26: Seminar Kerjasama Pembangunan Internasional

BAB V

Kesimpulan

Adanya kontradiksi antara Peraturan yang ada di pusat dengan pemahaman aparatur

di Daerah (Kota Yogyakarta) mengindikasikan kurangnya koordinasi dan sosialisai kebijakan

yang ada di birokasi pemerintahan. Peran pemerintah dalam industri perhotelan dan

pariwisata secara umum kurang, dimana pemerintah hanya mengandalkan pada investasi luar

yang terbukti tidak dapat memberikan kemajuan yang signifikan bagi industri pariwisata di

Indonesia dan terbukti bahwa industri pariwisata Indonesia kurang mampu bersaing dengan

negara-negara lain di Asia Tenggara seperti Singapura, Malaysia, Thailand bahkan sekarang

Vietnam. Seharusnya pemerintah lebih proaktif dalam mengurus industri pariwisata

mengingat potensi Indonesia dan khususnya Yogyakarta sangat menjanjikan di bidang ini

dengan keadaan alam dan kekayaan budaya yang sangat mendukung.

Indonesia memang terikat dalam perjanjian dengan WTO terkait dengan liberalisasi

perdagangan jasa (pariwisata) di dalam mekanisme GATS, Namun beberapa celah dapat

digunakan sebagai strategi untuk menghadapi liberaliasi perdagangan jasa tersebut:

• Ability, yakni kemampuan pemerintah dalam mendesain suatu kebijakan wajib

didasarkan pada kemampuan riil yang dimiliki baik ditinjau dari dimensi internal

maupun eksternal. Realitas kebijakan yang ada, kualitas sumber daya manusia,

potensi produk yang ditawarkan, ketersediaan infrastruktur, penguasaan teknologi

hingga konfigurasi persaingan global menjadi parameter untuk mengukur dan

menganalisis kesiapan Indonesia dalam menghadapi fenomena kontemporer tersebut.

• National Interest menjadi faktor yang sangat penting dalam menentukan arah dan

kendali liberalisasi pada subsektor-subsektor pariwisata. Tak hanya itu, kepentingan

nasional mewajibkan pula pemerintah untuk mengutamakan dan memprioritaskan

aspek manfaat bagi perekonomian  dalam bentuk proteksi dan pengakomodasian

kepentingan nasional dalam persetujuan GATS.

• Gradual atau bertahap merupakan trademark GATS. Proses ini dapat diilustrasikan

sebagai proses tebang pilih yang berorientasi pada kemampuan dan kepentingan

sendiri sehingga tidak semua subsektor harus diliberalisasikan. Pemerintah

mengambil peran penting dalam menentukan subsektor-subsektor apa yang sudah siap

atau belum siap untuk diliberalisasi.

25

Page 27: Seminar Kerjasama Pembangunan Internasional

Referensi

Anonim. Hotel Aston, From Hawaii to Manado. Juli 23, 2008. http://www.hariankomentar.com/arsip/arsip_2008/jul_23/hl005.html (diakses 12 Desember, 2012).

Fadmawati, Kadek Dewi. Reformulasi Strategi Pemasaran Untuk Meningkatkan Occupancy Room Rate di Hotel Four Seasons Resort Jimbaran Bali. Denpasar: Tesis, Universitas Udayana, 2011.

Julian, I Nengah. Telaah Kontrak Manajemen Hotel Jaringan Internasional Antara Pihak Pemilik dan Pihak Pengelola Hotel Menurut Peraturan Kepariwisataan di Bali. Yogyakarta: Tesis Universitas Gadjah Mada, 2003.

Ksp, Robert Adhi. Charles Brookfield: Aston Bangun Hotel di Setiap Kota. November 29, 2010. http://properti.kompas.com/read/2010/11/29/09265483/Charles.Brookfield.Aston.Bangun.Hotel.di.Setiap.Kota (diakses 20 Oktober, 2012).

Nursyifani, Bunga Citra Arum. Jaringan Aston: Indonesia Bakal Punya 20 Hotel Neo. Oktober 5, 2012. http://www.bisnis.com/articles/jaringan-aston-indonesia-bakal-punya-20-hotel-neo (diakses 20 Oktober, 2012).

Marchetti, Juan, and Petros Mavroidis. "The Genesis of the GATS." European Journal of International Law, June 2011: 689-721.

Putri, Prisca Prajatan. Strategi Promosi Divisi Public Relations Dalam Meningkatkan Ketertarikan Konsumen Atas Pelayanan Aston Rasuna Jakarta. Jakarta: Universitas Bina Nusantara, 2011.

Suyoto, Rahmat Slamet. Perkembangan Usaha Perhotelan Dalam Industri Pariwisata di Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Tesis, Universitas Gadjah Mada, 2003.

Satoto, Agus. Pola Hubungan Penanaman Modal oleh Orang Asing Dalam Pembangunan Hotel di Bali. Yogyakarta: Tesis, Universitas Gadjah Mada, 2003.

26