selasar03 black white

8

Click here to load reader

Upload: jaringan-gusdurian

Post on 04-Jul-2015

178 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Selasar03 black white

1

Penanggung jawabSekNas JGD

Penasihat Alissa QM Wahid

koordinator Tata Khoiriyah

Redaksi Nabilah Munsyarihah, Zahrotien

EditorAbas Z g.

Tata letakMorenk Beladro

KontributorGUSDURian di berbagai daerah

Sirkulasi SekNas Jaringan GUSDURian

Sekedar Mendahului

“Mari kita tanya dalam hati kita, apakah kita ini sedang berjuang untuk suatu kepentingan yang besar yaitu

kedamaian & keutuhan NKRI.” KH. Abdurrahman Wahid

M e n g g e r a k k a n T r a d i s i , M e n e g u h k a n I n d o n e s i a

Redaksi menerima tulisan dari pembaca berupa artikel, opini, berita melalui [email protected]. Redaksi tidak bertanggung jawab atas isi tulisan. Tulisan itu adalah pandangan pribadi penulis.

Newsletter ini adalah produk nonprofit.

Banyak momen yang terjadi di bulan Mei. Berbeda dengan momen-momen yang dirayakan secara’formal’, di bulan Mei ada dua momen yang diperingati karena fakta sejarah yang terjadi di Indonesia yaitu, Hari kebangkitan Nasional dan reformasi. Bila dibandingkan dengan Hari Kebangkitan Nasional, Reformasi baru menjadi bagian sejarah 15 tahun terakhir perjalanan Negara bangsa.Pertanyaannya apa yang terjadi pasca 15 tahun reformasi? Apakah reformasi masih menjadi bagian dari ingatan kita? Sejauh mana

reformasi ini memberi dampak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?Bagi redaksi, yang terberat saat ini bukan mengingat reformasi sebatas sebuah kenangan romantisme perjuangan belaka, melainkan mengingat untuk apa dan sia-pa reformasi ini terjadi? Artikel “Lupa Reformasi” yang ditulis oleh Ahmad Murtajib mencoba untuk menulis perjalanan 15 tahun reformasi mulai dari pengalamannya terlibat dalam aksi ’98 hingga kini ia menjadi aktivis daerah yang bergelut di isu pedesaan. Pertanyaan yang dilontarkan oleh Ahmad Murtajib di akhir tulisan sangat penting untuk dijawab oleh kita semua, masih adakah spirit perubahan menuju Indonesia baru setelah reformasi itu terjadi 15 tahun yang lalu?

E d i s i 3 / M e i 2 0 1 3

Page 2: Selasar03 black white

e-ne

wsl

ette

r SE

LASA

R /

edis

i 3/2

013

2

MEI 1998

Ada banyak buku dan laporan penelitian yang mencatat tentang refor-masi 1998 dari berbagai

sudut pandang. Tapi saya menjadi salah satu yang setidaknya ikutan dalam berbagai aktivitas politik ger-akan mahasiswa ketika itu. Setiap detil peristiwanya saya makin samar mengingatnya, tapi sebuah ingatan tidak terlupa dari serangkaian akti-vitas yang bahkan jauh sebelum Mei 1998. Kesan itu adalah: spirit peruba-han menuju Indonesia baru.

Sejak dari diskusi serta aksi-ak-si mahasiswa yang saya ikuti jauh hari sebelum Mei 1998, sprit peruba-han itu terjaga dan terus bertumbuh dalam banyak pemikiran dan kesa-dran para aktivis mahasiswa, di berb-agai daeraeh di Indonesia. Spirit pe-rubahan yang dimaterialkan dalam berbagai tuntutan: berantas KKN, tolak dwi fungsi ABRI, tegakan su-premasi hukum, adili soeharto, dan semacamnya. Dan spirit perubahan itu pun memuncak pada Mei 1998 yang kemudian Soeharto pun turun.

Sejauh yang saya ingat, meski-pun turunkan Soeharto menjadi salah satu wujud dari Indonesia baru,

Lupa Reformasi

tapi yang saya ingat, hampir tak pernah ada diskusi ten-tang apa dan bagaimana yang akan dilakukan seandainya Soeharto benar-benar turun. Ada harapan bahwa turun-nya Soeharto dibarengi dengna pemerintahan transisi, tetepi dalam praktek perjalananya dari Presiden Habibie, tidak ada banyak perubahan kecuali bergantinya orang-orang yang berkuasa.

Soeharto akhirnya turun, dan ini dicatat banyak penulis sebagai awal dari Indonesia baru. Namun, ger-akan mahasiswa amsih tetep berjalan. Setidaknya, sam-pai 2003 yang saya tulis di awal, saya masih menemukan bekas-bekas spirit perubahan Indonesia baru di beberapa berikutnya.

Mei 2003

“Kang, lurah endi bae sing wis direformasi?,” seo-rang teman aktivis daerah bertanya kepada saya. Awaln-ya saya tidak tahu persis apa maksud pertanyaan itu. Saya pun mengajak diskusi teman saya itu tentang apa mak-sud pertanyaannya. Dari diskusi yang panjang, akhirnya saya paham bahwa kata reformasi yang dimaksud teman saya adalah, “Lurah mana saja yang sudah diturunkan?”

Bagi teman itu, reformasi adalah menurunkan kepala desa, atau menurunkan perangkat desa lainnya yang dinilai tidak reformis. Seseorang disebut tidak re-formis manakala tidak menjalankan amanat reforma-si. Pejabat desa yang melakuan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) adalah pejabat yang tidak reformis ini. Bagi teman itu, pejabat desa yang demikian itu haruslah direformasi, diturunkan dari jabatanya.

Awalnya kukira hanya teman saya yang ber-pendapat demikian. Saya pun ketika itu menamui banyak

Menggerakkan Tradisi

Ahmad Murtajib >>> Gusdurian Kebumen

Page 3: Selasar03 black white

3

aktivis daerah lainnya. Begitu banyak teman aktivis daerah yang memahami demiki-an. Agenda reformasi total haruslah terus dilakukan, tidak ha-nya di Jakarta atau di ibukota provinsi. Tapi, bagai teman-teman saya ini, reformasi to-tal juga harus dilaku-kan di level desa.

M e m a k n a i reformasi sebagai menurunkan pejabat publik di desa seperti disampaikan teman saya, mungkin bagi sebagian orang terlalu menyeder-hanakan persoalan, atau bahkan terlalu berlebihan. Tapi saya tidak akan memperdebatkan hal ini dalam tulisan ini. Saya hanya ingin menun-jukan apa muatan maksud dibalik tekad teman-teman saya ketika hen-dak mereformasi.

Dari berbagai diskusi tentang melanjutkan “agenda reformasi” di desa dengan teman-teman saya keti-ka itu, saya mendapati sebuah spirit dibalik misi reformasi yang diemban para aktivis itu. Sebuah spirit perl-awanan terhadap kekuasaan yang bagi mereka nylenceng dari koridor kekuasaan yang seharusnya berpihak kepada rakyat. Menurunkan kepa-la desa, atau pereangkat desa yang mereka nilai sudah tidak berpihak rakyat, adalah jalan reformasi total.

Teman-teman aktivis itu bu-kanlah mantan mahasiswa dari kampus-kampus besar di ibukota. Sebagian mereka jebolan dari kam-pus daerah, bahkan sebagiannya tak rampung kuliah. Sebagian mereka pernah menjadi aktivis mahasiswa, sebagian lainnya menjadi aktivis setelah lepas dari kuliah.

Ketika reformasi 1998, mere-ka terlibat dalam aktivisme reformsi

menurunkan Soeharto. Tapi sebagian mereka lebih karena nonton di layar televisi dan membaca koran. Reformasi yang berujung pada penurunan Soeharto memberikan pengalaman bagi mereka tentang refor-masi menggulingkan pejabat publik, agar kekuasaaan berpihak kepada rakyat.

Yang ingin saya catat disini, bahwa pada Mei 2003, saya masih mendapati banyak aktivis yang masih punya spirit perjuangan untuk terus menggaungkan agenda reformasi. Organisasi mahasiswa juga masih terus melakukan pengkaderan, bahkan di bebeapa daerah di Jawa Tengah dilakukna dengan lebih masif. Topik-topik tentang teori kritis juga makin memban-jiri disksi-diskusi papra aktivis mahasiswa. Romantika reformasi 1998 masih lumayan kuat berngiang dalam pikiran dan kesadaran mahasiswa di saat itu.

Memasuki Pemilu 2004, masih sedikit mantan aktivis mahasiswa yang memilih masuk kedalam sistem pemeritahan. Meski jalur parlemen mulai dianggap sebagai pintu masuk perubahan sistem, tapi faktanya masih sedikit mantan aktivis mahaiswa yang menggunakan kesempatan itu. Jalur non par-lemen nampaknya menjadi pilihan, meski aksi-ak-si mahasiswa atau elemen prodem lainnya makin berkurang dan atau “mulai berjalan sendiri-sendiri” sesuai dengan topik pilihannya.

MEI 2013

Pertanyaannya, masih adakah spirit perubahan menuju Indonesia baru setelah reformasi itu terjadi 15 tahun yang lalu?

tribunrockers.blogspot.com

Page 4: Selasar03 black white

e-ne

wsl

ette

r SE

LASA

R /

edis

i 3/2

013

4

Fakta bahwa Gus Dur telah tiada tidak dapat di-pungkiri, bahwa secara fisik, eksistensinya sudah tidak nampak adalah realita. Namun, banyak hal yang masih menandai keberadaannya ditengah ke-

beradaan dzahirnya yang sudah dimakamkan.Sedikit melenceng, Socrates dengan beragam konsepsi fil-safatnya masih menyisakan pertanyaan-pertanyaan ketika dia meninggal. Murid sekaligus sahabatnya, Plato, men-jadi generasi penerus yang melanjutkan pencarian jawa-ban-jawaban atas pertanyaan yang belum terjawab Socra-tes, dengan versi dan sudut pandangnya. Demikian juga dengan Aristoteles yang melanjutkan tradisi penemuan jawaban Socrates dan Plato atas pertanyaan-pertanyaan yang bahkan sampai sekarang belum terjawab sepenuhnya.Ditarik ke ranah Gus Dur, fakta demikian juga terjadi. Saat meninggal dunia, masih banyak pertanyaan-per-tanyaan dan impiannya yang belum terealisasi. Tentang pengejawantahan dari konsepsi, yang belakangan disebut, sembilan nilai dasar Gus Dur. Namun siapa yang berper-an menjadi Plato dan Aristoteleslah yang sebenarnya harus dirumuskan.Menjadi Gus Dur itu sangat tidak mungkin, dalam arti yang nyata. Namun menjadi Gus Dur untuk edisi selanjutnya adalah peluang yang dapat direalisasikan. Seperti upaya penemuan jawaban Plato atas keraguan Socrates.Untuk menjadi Gus Dur dalam jilid selanjutnya, tahapan pertama yang harus dilewati adalah mengubah pola pikir dan pola kesadaran. Perubahan pola kesadaran naïf men-jadi kesadaran kritis. Mengarahkan dari pola pikir what to think menjadi how to think yang banyak disebut Paulo Freire sebagai conscientization.Pentingnya meletakkan kesadaran dan pola pikir pada titik paling awal karena segala sesuatu itu didasari pada ponda-si yang kuat. Dan Gus Dur dengan segala sepak terjang diberbagai bidang berlandaskan pada pola pikir dan ke-

sadaran itu sendiri, yang tentunya telah terbangun sejak awal.Meminjam pisau analisis ala Taylor, untuk membangun kesadaran tersebut, setidaknya ada tiga tahapan yang harus dilewati, yakni naming, reflecting dan acting. Tiga taha-pan ini harus dilakukan secara berurutan sehingga tidak mengacaukan metode yang diambil yang merupakan derivasi dari filsa-fat praksis.Tahapan awal, naming, adalah step untuk menanyakan sesuatu, atau memberi isti-lah terhadap sesuatu, what is the problem?. Tahapan ini berlaku untuk mempertanya-kan suatu persoalan pada dataran teks, re-alitas maupun bidang lainnya yang terkait.Pada fase selanjutnya yang oleh Taylor dina-mai reflecting, dituntut untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendasar untuk mencari akar persoalan yang ditanyakan pada tahap pertama. Why is it happening?. Pada tahapan mencari akar persoalan ini menuntut agar membuang pola simplistic dan cenderung menerapkan pola pikir kritis dan reflektif.Yang terakhir, acting, yang sudah menyentuh langsung dataran praktis untuk menyele-saikan problem yang ditemui tadi. Dimana pada tahapan ini dituntut untuk mencari al-ternatif memecahkan masalah dari hasil fase pertama dan kedua sebelumnya. What can be done to change the situation?.Pisau analisis yang ditawarkan Tayor yang ia dikenal sebagai penganut pedagogi dalam Madzhab Frankfurt hanya satu contoh dari pisau analisis lainnya yang dapat digunakan, namun secara simple sebenarnya pisau anal-isis yang ia tawarkan cukup menarik untuk dikaji.Mencoba menerapkan pola tersebut untuk menganalisis problematika kontemporer saat ini, merujuk pada hasil apa yang telah Gus Dur lakukan, adalah langkah awal un-tuk melatih diri menjadi Gus Dur jilid se-lanjutnya.

Kebangkitan Gus Dur Jilid Selanjutnya

Abaz Zahrotien >>> Gusdurian Temanggung, Wartawan

Menggerakkan Tradisi

Page 5: Selasar03 black white

5

Forum

Empat tahun lalu, suasana Ledokombo tak sehidup hari ini. Ledokombo merupakan sebuah kecamatan di Kabupaten Jember bagian utara. Yang kondisi sosialnya kurang begitu menonjol. Namun hari ini, egrang telah mengubahnya menja-di daerah yang patut menjadi percontohan.

Awalnya, wilayah ini semakin banyak pen-duduk yang migrasi ke kota, sebagian lainnya menjadi buruh migran. Hal ini tentunya berdampak pada tumbuh kembang anak-anak yang ditinggalkan orang tuanya, karena desakan ekonomi tentunya. Tumbuh kembang ke arah positif kurang begitu memadai.

Namun kondisi ini bergeser sejak Dr Suporaharjo, memilih un-tuk kembali ke kampungnya di Ledokombo pada 2009 silam. Bersama Farkha Ciciek, pasangan hidupnya bersama buah hatinya, ia mencoba mengubah keadaan dengan egrang, mainan lawas yang sudah hampir punah.

Kedua anaknya menjadi objek pertama yang digarap melalui egrang oleh pria yang akrab disapa Lik Hang ini. Egrang inilah yang kemudian membawanya untuk menyapa anak-anak di kampungnya.

Pasangan suami istri ini juga mulai menyapa anak-anak seki-tar dengan mengadakan berbagai lomba. Lambat laun, interaksi ini membentuk sebuah kelompok belajar dan bermain yang oleh anak-anak Ledokombo diberinama Tanoker (dalam bahasa Madura berarti kepompong). Egrang menjadi ikon utama komunitas ini. Mereka dapat berpidato, menari, dan bermain musik di atas egrang.

Tak hanya bermain engrang, anak-anak desa di Ledokombo kini terbiasa bergaul dengan orang dari berbagai pelosok Indonesia mau-pun luar negeri. Interaksinya melalui pertemuan langsung, media jejaring sosial maupun video call (belajar dan dialog jarak jauh meng-gunakan jaringan internet). Anak-anak di sana sangat sibuk belajar dengan para tamu lokal dan luar negeri dengan berbagai isu, seperti bahasa, lingkungan, kesenian, dan lainnya.

“Mereka manusia Indonesia sekaligus warga dunia, meski tum-buh di desa. Saya berharap semoga mereka akan tumbuh menjadi juru damai dimanapun mereka berada,” kata Ciciek Farhah.

Gaung Tanoker sudah terdengar di mana-mana. Mereka mengikuti beragam acara untuk menujukkan bakat mereka bermain egrang di da-lam dan di luar negeri, Youth Preneurship Summit, Youth Cultural Night, Indonesia Mencari Bakat, Simposium Pemikiran Gus Dur, Si Bolang, dan berbagai ajang lainnya. Dengan semangat dan ketekunan, Supohardjo dan Ciciek Farhah berhasil menemani anak-anak Tanoeker untuk mem-buat perubahan bagi diri mereka sendiri dan lingkungan sekitarnya. Nabila

Mengubah dengan Egrang

KULI DAN KYAI

Rombongan jamaah haji NU dari Tegal tiba di Bandara King Abdul Aziz, Jeddah Arab Saudi. Langsung saja kuli-kuli dari Yaman berebutan untuk mengangkut barang-barang yang mereka bawa. Akibatnya, dua orang di antara kuli-kuli itu terlibat percekcokan serius dalam bahasa Arab.

Melihat itu, rombongan jamaah haji tersebut spontan merubung mereka, sambil berucap:

“Amin, Amin, Amin!” Gus Dur yang sedang bera-

da di bandara itu menghampiri mereka: “Lho kenapa Anda berkerumun di sini?”

“Mereka terlihat sangat fasih berdoa, apalagi pakai ser-ban, mereka itu pasti kyai.”

Mati Ketawa

Page 6: Selasar03 black white

e-ne

wsl

ette

r SE

LASA

R /

edis

i 3/2

013

6

Apakah kita bahagia dengan demokrasi?

Dalam The Geography of Bliss, Eric Weiner menulis bahwa demokrasi bukan jaminan keba-hagiaan sebuah bangsa. Tetapi kebanyakan negara-negara yang bahagia adalah negara demokratis.

Selama 15 tahun reformasi digulirkan, orang masih banyak yang tak yakin dengan sistem ini. Alih-alih yakin, justru banyak atribut bergambar Pak Harto dengan kali-mat, ‘piye enak jamanku tho?’

Gus Dur menyebut demokrasi ini demokrasi taman kanak-kanak. Infrastruktur demokrasi dibangun demikian mewah, tetapi mental bangsa belum cukup dewasa. Multikulturalisme adalah tantangan terbesar bagi demokra-tisasi, itulah yang sehari-hari kita hadapi; perbedaan. Perlu energi dan hati yang lapang untuk mencapai kemufakatan dalam kebhinekaan.

Terkadang kebahagiaan bu-kan terletak pada hasil, melaink-an dalam setiap jejak perjuangan. Gus Dur mungkin tetap bahagia meski demokrasi kita belum dewasa saat beliau tinggalkan. Beliau bahagia karena telah ber-juang. Kalau kita?

Demokrasi Bahagia

Pergulatan

Berjuang untuk negara sekaligus mendak-wahkan agama, pada era penjajahan menjadi hal yang tak terpisahkan. Nama-nama seperti Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan, Albrtus Soegijapranata dan Tjoet Nja’

Dhien telah mem-populerkan model perjuangan ini.

Perjuangan tiga tokoh yang terakhir disebut telah divi-sualisasikan dalam film. 30 Mei ini, film

tentang KH. Hasyim Asy’ari berjudul ‘Sang Kiai’ akan dirilis oleh Rapi Film.

Salah satu kisah yang menarik adalah cara Wahid Hasyim mengeluarkan KH Hasyim Asy’ari dari penangkapan Jepang. Ia memilih jalan diplomatis ketimbang kekerasan seperti yang diupayakan oleh salah seorang santri Tebuireng dengan menggerakkan masa yang justru menjatuhkan korban.

Film ini juga menggaungkan fatwa Resolusi Jihad yang merambat sampai memecahkan semangat arek-arek Suroboyo melawan Belanda pada 10 November ’45. Film ini juga diharapkan mampu membangkitkan semangat yang diko-barkan oleh beliau-beliau yang divisualisasikan untuk generasi kini.

Bunga Rampai

Kebangkitan Sang KyaiRelease Film Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari

JAKARTA | 7 Juni PUKUL 18.30 wib | Forum Jumat Pertama Jakarta | Aula Wahid Institute (Jl. Taman Amir 7, Pegangsaan, Jakarta Pusat) | Gratis & Umum | CP 082141232345

MALANG | Setiap Hari Rabu pukul 19.00 WIB | Diskusi Rutin Tematik | Lokasi Tentatif | Gratis & Umum | CP 081944818171 (Fauzan)

JOGJA | 31 Mei Pukul 19.00 | Forum Jumat Terakhir: Diskusi Tematik | Griya GUSDURian (Jl. Damai Gg Sunan Giri no 33 B, Sinduharjo, Ngaglik, Sleman | Gratis & Umum | CP 082141232345

JOGJA | 8 Juni l Pukul 19.00 | Nobar & Diskusi Film Tematik | Lokasi Tentatif | Gratis & Umum | CP 082141232345

Agenda /////////////////////////////////////

Page 7: Selasar03 black white

7

PARA muballigh di masa ini senang sekali mengutip ucapan Nabi: “Beramallah bagi (kepentingan) duniamu seolah-olah kau benar-benar akan hidup selamanya dan beramallah untuk (kepentingan) akhiratmu

seolah-olah engkau benar-benar akan mati esok.” Dengan ucapan itu kemudian dibuktikan bahwa Islam memandang urusan duniawi sama pentingnya dengan urusan ukhrawi.

Tetapi ada akibat sampingan dari penafsiran diktum di atas secara demikian itu. Keinginan untuk menghilangkan tekanan terlalu besar atas urusan ukhrawi dan mengembalikan perhatian kepada soal-soal duniawi dalam proporsi yang wajar, akhirnya mengakibatkan dikotomi dalam sikap dan pandangan hidup muslim modern. Dikotomi itu terutama mengambil bentuk pemisahan antara soal-soal duniawi dan soal-soal ukhrawi, di mana sikap dan pandangan si muslim modern itu menjadi berjarak sangat jauh dalam menangani antara keduanya.

Kalau si sufi kolot melandaskan hidupnya pada sikap sarwa beribadat karena diktum tarekatnya yang berbunyi “Kebajikan adalah memuja Allah seolah-olah engkau melihatNya, apabila engkau tak melihatNya, justeru Ia-lah yang senantiasa memandangimu,” maka si muslim modern merasa memperoleh kebebasan penuh untuk mengatur kehidupan duniawinya. Secara perlahan-lahan tetapi pasti kehidupan duniawi itu lalu membentuk sikap dan pandangan hidupnya, bukan sebaliknya. Keterpukauan dengan soal-soal materi menggantikan kedalaman rasa tunduknya kepada kebesaran Allah, karena kebesaran itu

sendiri terlalu abstrak dan bersimpang jauh dari wawasan hidupnya yang serba mondaan.

Secara kolektif modernisme parsiil di kalangan kaum muslimin ini, yang sudah berkembang kurang lebih seabad, akhirnya menghasilkan moralitas-ganda yang dewasa ini dapat kita amati manifestasinya dalam berbagai bentuk. Ia ada dalam kegairahan membangun mesjid Istiqlal yang tidak disertai kepekaan yang cukup kepada penderitaan sesama manusia, dalam kerajinan memelihara frekwensi ritus keagamaan tanpa merasa malu memperagakan kemewahan hidup di tengah-tengah merajalelanya kemeralatan dan kemiskinan, dalam kepongahan para pemuka agama untuk mengerahkan massa mereka bagi tujuan-tujuan duniawi yang bersifat pribadi, dan lebih-lebih lagi dalam kepatuhan dan kealiman di muka umum yang menyembunyikan kesenangan kepada maksiyat dalam kehidupan pribadi.

Banyak lagi contoh lain dapat dikemukakan, tapi dari manifestasi di atas itu saja sudah tampak nyata betapa telah mendalamnya cengkaman moralitas ganda itu atas sikap dan pandangan hidup kaum muslimin dewasa ini. Herankah kita jika agama Islam belum menampakkan diri sebagai pendorong pembangunan dalam arti yang sesungguhnya? Kesibukan “kegiatan agama dengan pembuatan sarana-sarana lahiriah seperti mesjid, kepadatan ‘kehidupan beragama’ dengan acara ritus-ritus semu seperti M.T.Q., kepuasan ‘mengabdi kepada agama’” dengan berbagai kerja penyiaran agama, kesemuanya itu menutup mata kaum muslimin pada umumnya dari tugas utama agama: mengangkat derajat manusia dari kemiskinan dan kehinaan. Kalau diingat betapa eratnya ajaran Islam berkait dengan upaya meringankan beban si miskin dan si yatim, akan ternyata betapa jauhnya suasana kehidupan kaum muslimin di mana-mana dari inti agama mereka.

* Artikel ini pernah dimuat di Majalah TEMPO pada 17 Juni 1978

Gus DurBertutur

/////////////////////////////////////

Moralitas: Keutuhan & Keterlibatan*) Oleh: Abdurrahman Wahid

Bagian I

Page 8: Selasar03 black white

e-ne

wsl

ette

r SE

LASA

R /

edis

i 3/2

013

8Ko

ngko

w

Gus Dur bukan hanya milik orang Islam, Gus Dur milik semua agama dan semua elemen di Indonesia. Sebagai guru bangsa, Gus Dur mengajarkan pluralisme dengan begitu apik yang mendasarkan pada kebhinekaan. Mengenalkan Gus Dur sebagai sosok yang multikultural, menjadi penting untuk generasi kedepan sebagai penerus perjuangan nilai-nilai mantan Presiden ke-4 RI ini.

Setidaknya demikian perbincangan yang dijenderali Asman Aziz dari Naladwipa Institute Samarinda, Pastor Yohanes Kopong Tuan dari Gereja katolik St Lukas Samarinda dan Romo Roedy Haryo Widjono AMZ dari Nomaden Institute dalam gelaran Kenduri Opini Gus Dur yang bertajuk Memaknai, Merawat dan Membumikan Pemikiran Gus-dur : Tanpamu Kini Jadi Repot, di Aula RS Dirgahayu, Samarinda, 8 Mei lalu.

“Ini adalah fase awal kegiatan Komuni-tas GUSDURian Kalimantan Timur setelah terbentuk 27 April lalu. Kegiatan ini ker-jasama dengan Forum Pelangi Kalimantan Timur dan berbagai organisasi lainnya yang lintas etnis,” kata moderator diskusi, Carolus Tuah yang juga aktivis Pokja 30 Samarinda.

Yang paling menarik, banyak dari peserta yang berasal dari Samarinda dan Tenggarong Kutai Kartanegara ini justru terpikat mengikuti komunitas ini karena Gus Dur semasa menjabat presiden memberikan kebebasan bagi etnis Tiong-hoa menjalankan peribadatannya. “Kami sepakat untuk melanjutkan tiap bulan. Dari GMNI dan PMKRI sudah siap memfasilita-si,” katanya.

“Kalau saya tertarik untuk bergabung setelah membaca suplemen diskusi yang ditulis oleh Romo Roedy Haryo Widjono di Facebook,” imbuh Romo Darsono Sito-hang. Kasmani

Samarinda Pasuruan

Kenduri Opini Kaltim

Untuk menyolidkan komunitas-ko-munitas GUSDURian di berbagai daerah, Sekretariat Nasional (SekNas) menggelar pelatihan kader di seluruh wilayah Provinsi Jawa Timur yang dipusatkan di Pondok Pesantren Darut Taqwa, Sengonagung, Purwosari, Pasuruan, Jum’at (3/5) lalu.

Dalam kegiatan tersebut, dihadirkan sedikitnya 40 orang pemuda perwakilan komunitas GUSDURian di 22 Kabupaten/Kota di Jawa Timur. Hadir dalam kegiatan tersebut, Pengasuh Pondok Pesantren Darut Taqwa, KH. Sholeh Bahrudin, Koordinator Nasional JGD, Alissa Wahid serta sejumlah tokoh lainnya.

KH. Sholeh Bahrudin dalam sambutan pembukaan acara menyampaikan, dalam kehidupan social, mausia harus mem-ber manfaat kepada manusia yang lain tanpa membedakan agama dan asalnya. “Sebaik-baik manusia itu bermanfaat bagi sesamanya,” katanya.

Ia mengamanatkan, dalam mengha-dapi banyaknya kejahatan dan fitnah yang menyebar, sebaiknya dihadapi dengan cara yang baik. “Idfa’ billati hiya ahsan”. Tolaklah kejahatan dengan sesuatu yang baik,” tambanya.

Dalam kegiatan yang berlangsung selama tiga hari tersebut, Koordinator Nasi-onal JGD, Alissa Wahid, mengatakan, para pemuda sebaiknya menebarkan optimism tinggi terhadap keberlangsungan Bangsa Indonesia. Sebab, kedepan akan lahir kader yang melanjutkan, merawat dan melestari-kan prinsip dan nilai perjuangan Gus Dur.

“Dengan pelatihan ini diharapkan lahir kader penggerak di masing-masing komu-nitas yang senantiasa melanjutkan ide dan perjuangan Gus Dur untuk Indonesia yang damai dan berkeadilan,” terang Alissa.

Ketua Panitia, Jahurul Lutfi menam-bahkan, dalam pelatihan tersebut dikon-sentrasikan bagi generasi ketiga Jaringan GUSDURian. Generasi ketiga merupakan generasi yang sama sekali tidak pernah ber-temu dan sezaman dengan Gus Dur. “Oleh karena itu, sangat penting sekali pelatihan ini digelar supaya generasi ini faham siapa dan bagaiman pemikiran serta perjuangan Gus Dur,” tandasnya. Gusdurian Pasuruan

Pengkaderan GUSDURian Se-Jatim

e-ne

wsl

ette

r SE

LASA

R /

edis

i 03/

2013

8