selasar edisi 12

8
“Marilah kita bangun bangsa dan kita hindarkan pertikaian yang sering terjadi dalam sejarah. Inilah esensi tugas kesehjahteraan kita, yang tidak boleh kita lupakan sama sekali” KH. Abdurrahman Wahid Menggerakkan Tradisi, Meneguhkan Indonesia Redaksi menerima tulisan dari pembaca berupa artikel, opini, berita melalui selasar.redaksi@gmail. com. Redaksi tidak bertanggung jawab atas isi tulisan.Tulisan itu adalah pandangan pribadi penulis. Newsletter ini adalah produk nonprofit. Edisi 12 / Maret 2014 Penanggung jawab SekNas JGD Penasihat Alissa QM Wahid Heru Prasetia Pemimpin Redaksi Nabilah Munsyarihah Redaksi Zahrotien Editor AS Ndari Tata letak Muhammad Nabil Kontributor GUSDURian di berbagai daerah Sirkulasi Manajemen Informasi Jaringan GUSDURian P eran Kiai Kampung jarang dikaji secara seksama. Padahal Kiai Kampung inilah yang bersentuhan dan mengurus masyarakat secara langsung. Adalah Kiai Imam Zuhdi dari Kampung Urut Sewu pesisir selatan Kebumen, memimpin perlawanan rakyat di era reformasi, menuntut atas hak tanah mereka yang disengketakan oleh TNI. Nan jauh dari kampung, di kawasan intelektual penopang Jakarta, sekelompok orang membentuk komunitas GUSDURian Depok untuk merespon konservasme agama dan menumbuhkan daya kris masyarakat dalam menyikapi situasi masyarakat urban. Mereka merelokasi sebuah taman bacaan masyarakat ke pesantren setelah taman itu dikomplain oleh sekelompok orang Islam sebagai bentuk Kristenisasi hanya karena beberapa relawannya pemeluk Kristen. Ini tantangan yang harus dihadapi para GUSDURian seper yang sudah diajarkan Gus Dur, melawan penindasan dan diskriminasi. Selamat membaca dan tergerak! - Tim Selasar - Sekadar Mendahului S

Upload: jaringan-gusdurian

Post on 26-Jun-2015

3.963 views

Category:

Social Media


5 download

DESCRIPTION

Peran Kiai Kampung jarang dikaji secara seksama. Padahal Kiai Kampung inilah yang bersentuhan dan mengurus masyarakat secara langsung. Adalah Kiai Imam Zuhdi dari Kampung Urut Sewu pesisir selatan Kebumen, memimpin perlawanan rakyat di era reformasi, menuntut atas hak tanah mereka yang disengketakan oleh TNI. Nan jauh dari kampung, di kawasan intelektual penopang Jakarta, sekelompok orang membentuk komunitas GUSDURian Depok untuk merespon konservatisme agama dan menumbuhkan daya kritis masyarakat dalam menyikapi situasi masyarakat urban. Mereka merelokasi sebuah taman bacaan masyarakat ke pesantren setelah taman itu dikomplain oleh sekelompok orang Islam sebagai bentuk Kristenisasi hanya karena beberapa relawannya pemeluk Kristen. Bagi sahabat yang ingin tulisannya dipublikasikan di SELASAR, bisa kirim hasil karyanya ke email redaksi: [email protected]. Ingin mendapat langganan SELASAR setiap bulan via email, silakan kirim SMS: nama*kota domisili*alamat email ke nomor Hotline 082141232345

TRANSCRIPT

Page 1: Selasar edisi 12

““Marilah kita bangun bangsa dan kita hindarkan pertikaian yang sering terjadi dalam sejarah. Inilah esensi tugas kesehjahteraan kita, yang tidak boleh kita lupakan sama sekali”

KH. Abdurrahman Wahid

M e n g g e r a k k a n T r a d i s i , M e n e g u h k a n I n d o n e s i a

Redaksi menerima tulisan dari pembaca berupa artikel, opini, berita melalui [email protected]. Redaksi tidak bertanggung jawab atas isi tulisan.Tulisan itu adalah pandangan pribadi penulis.

Newsletter ini adalah produk nonprofit.

E d i s i 1 2 / M a r e t 2 0 1 4

Penanggung jawab

SekNas JGDPenasihat

Alissa QM WahidHeru Prasetia

Pemimpin Redaksi

Nabilah MunsyarihahRedaksi

ZahrotienEditor

AS NdariTata letak

Muhammad NabilKontributor

GUSDURian di berbagai daerahSirkulasi

Manajemen Informasi Jaringan GUSDURian

Peran Kiai Kampung jarang dikaji secara seksama. Padahal Kiai Kampung inilah yang bersentuhan dan mengurus masyarakat secara langsung. Adalah Kiai Imam Zuhdi dari Kampung Urut Sewu pesisir selatan Kebumen, memimpin perlawanan rakyat di era reformasi, menuntut atas hak tanah mereka yang disengketakan oleh TNI.

Nan jauh dari kampung, di kawasan intelektual penopang Jakarta, sekelompok orang membentuk komunitas GUSDURian Depok untuk merespon konservatisme agama dan menumbuhkan daya kritis masyarakat dalam menyikapi situasi masyarakat urban. Mereka merelokasi sebuah taman bacaan masyarakat ke pesantren setelah taman itu dikomplain oleh sekelompok orang Islam sebagai bentuk Kristenisasi hanya karena beberapa relawannya pemeluk Kristen.

Ini tantangan yang harus dihadapi para GUSDURian seperti yang sudah diajarkan Gus Dur, melawan penindasan dan diskriminasi.

Selamat membaca dan tergerak!

- Tim Selasar -

Sekadar Mendahului

S

Page 2: Selasar edisi 12

2 E d i s i 1 2 / M a r e t 2 0 1 4

Kyai di kalangan Nahdhiyyin bisa dikategorisasi menjadi kyai pesantren dan kyai kampung. Kyai pesantren

biasanya memiliki santri dan mengasuh pesantren beserta institusi pendidikan yang dimilikinya. Baik pendidikan informal yang berbasis pendidikan

diniyah [keagamaan] atau formal yang berbasis sekolah umum atau

memiliki kedua jenis pendidikan ini sekaligus. Kategori kyai

berikutnya adalah kyai kampung. Kyai kampung tidak memiliki pesantren dan lembaga pendidikan. Kyai kampung, penulis kategorikan sebagai kyai yang mengurus mushola

atau langgar dan masjid di desa-desa. Kyai kampung

jenis ini bercirikan dekat dengan masyarakat dan hidup

di tengah-tengah masyarakat.1Mengambil posisi kyai kampung

jenis inilah, penulis akan mencoba memotret sebuah kesalehan sosial ekologis kyai kampung dengan belajar dari perjuangan Kyai Imam Zuhdi dari Urut Sewu Kebumen. Kyai Imam Zuhdi merupakan kyai sederhana dari Desa Setrojenar Urut Sewu Kebumen. Kyai ini mulai terkenal ketika muncul konflik lahan antara warga dan tentara dan korporasi. Bersama dengan elemen-elemen masyarakat sipil lainnya, Kyai Imam Zuhdi berhasil memobilisasi pergerakan petani guna mendapatkan lahannya yang diambil alih oleh Negara dan Korporasi. Tepatnya pada tanggal 16 April 2011, warga Setrojenar mendapatkan serangan tentara dan terjadi bentrok yang tak seimbang. Hingga terjadi penembakan.2

Konflik lahan di Urut Sewu, dalam konteks kontemporer sekarang ini bermula dari tahun 2004, ketika

Menggerakkan Tradisi

Sebuah Potret

Oleh : Ubaidillah*

Perjuangan Kyai Kampungdi Urut Sewu

Kehilangan tanah sama seperti kehilangan agama

dan sejarah.

masyarakat Urut Sewu mulai mendengar Pemerintah RI (masih) berhutang ke Asian Development Bank (ADB) untuk membangun jalan di kawasan Jawa selatan dengan nama jalan Lintas Selatan. Kabar ini menjadi pembicaraan di langgar-langgar dan masjid-masjid sehingga menjadi kegelisahan para santri kampung. Puncak kegelisahan para santri ini terjadi ketika mereka melihat masyarakat bernegosiasi secara lemah dengan aparat negara yang menjalankan tugas pembebasan tanah. Dari kegelisahan-kegelisahan santri langgar inilah muncul gerakan perlawanan warga melalui media tahlilan dan mujahadah untuk membentuk Korjsena atau Korban Jalan Selatan-Selatan yang kemudian tahun 2006 berubah menjadi Forum Paguyuban Petani Kebumen Selatan (FPPKS) dan diketuai oleh santri Kyai Ahmad Zarkoni yang bernama Seniman.3

April 2008, FPPKPS mulai menunjukan tajinya dengan melakukan tracking anggaran pembebasan tanah jalan selatan. Bersama dengan gabungan masyarakat sipil lainnya, FPPKS mempublikasikan temuannya kepada publik. Bahwa masyarakat lemah dalam negosiasi dan diduga terjadi mark up anggaran sehingga proses ini tidak perlu dilanjutkan. April 2009, FPPKS dan elemen masyarkat sipil lainnya bersama dengan Kyai Imam Zuhdi melakukan demonstrasi besar-besaran untuk memprotes adanya bangunan lahan TNI-AD di lahan milik warga dan adanya rencana Peraturan Daerah Tata Ruang dan Tata Wilayah yang menempatkan Urut Sewu sebagai kawasan pertahanan dan

Page 3: Selasar edisi 12

3

pertambangan. Demonstrasi ini membawa sekitar 10.000 masa.4

Dalam konflik lahan di Urut Sewu ini, setidaknya ada tiga jenis aktor berdasar pada asal lembaganya. Aktor jenis pertama adalah berasal dari Negara. Ada Bupati selaku pengambil Keputusan Daerah, Tentara Nasional Indonesia terkait lahan Setrojenar, dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD Kebumen). Jenis yang kedua adalah unsur masyarakat sipil. Mereka terdiri dari TAPUK (Team Pembela Urut Sewu) dan kyai kampung. Jenis aktor yang ketiga adalah korporasi yang dalam hal ini PT. MNC sebagai kontraktor perusahaan tambang pasir besi.5

Penulis mengamati bahwa dalam kasus konflik lahan di Urut Sewu Kebumen ada pertarungan dan perebutan makna atas diskursus “Negara” pada lahan. Kata Negara menjadi ucapan yang maknanya mengalami perebutan. Kata “Negara” menjadi kata sifat atau na’at sedangkan lahan atau tanah menjadi man’ut atau kata yang disifati sehingga Sang pemberi sifat pada kata tersebut ikut mencoba mendesak agar maknanya sesuai dengan agenda yang dimiliki. Jadi ada perebutan makna semiotik pada kata “Negara” dalam konflik lahan di Urut Sewu.

Misal, Pemda Kebumen bersama TNI dan Kejaksaan mengadakan sosialisasi penertiban aset negara di lahan Urut Sewu. Langkahnya melalui pemagaran lahan milik warga dari kecamatan Mirit, Ambal, dan Bulus Pesantren. Batas negara “imajiner” yang ditentukan oleh Pemda Kebumen, entah dari mana asalnya. Dan tebakan penulis adalah paralel dengan agenda penambangan pasir besi dan menggunakan tentara sebagai operator pemagaran di lapangan.

Perebutan makna “Negara” yang kedua yakni penyelenggara negara paling terkecil adalah desa. Desalah pemilik perbatasan dari teritorial negara yang terkecil. Desa memilki peta desa, persil, dan surat sertifikat tanah milik warga desa. Posisi Pemerintah Desa

sebetulnya sebagai pihak yang paling tahu dan berwenang atas batas negara di level paling bawah karena menyangkut wilayah dan warganya. Akan tetapi, kemudian menjadi aneh tatkala kepala desa hanya dijadikan tukang stempel sosialisasi kebijakan Pemda dan objek penderita apabila rakyat melakukan protes. Penertiban atas nama aset Negara ini menjadi aneh lagi setelah adanya Perda Tata Ruang dan Wilayah Kebumen tahun 2011 dan setelah ada kajian potensi tambang pasir besi serta estimasi pendapatan yang akan diperolehnya.

Dalam konflik lahan ini, Negara tidak membela masyarakat. Oleh karena itu, Kyai Imam Zuhdi melakukan serangkaian pembelaan sekaligus politik perlawanan non-kekerasan. Pembelaan ini berupa serangkaian aksi demonstrasi, mujahadah bersama warga dan aksi-aksi tradisional lainnya. Selain termotivasi atas nilai-nilai keyakinan ketauhidan dan pembelaan atas kaum lemah, Kyai Imam Zuhdi memahami bahwa akan muncul persoalan ekologis bila lahan pantai Urut Sewu diserahkan kepada perusahaan tambang. Persoalan ekologis ini berupa water interuption, yakni masuknya air laut ke daratan sehingga air menjadi asin dan tidak bisa untuk bercocok tanam holtikutura.

Walau harus menghadapi Tentara Nasional Indonesia yang merupakan tentara terkuat di Asia Tenggara, petani miskin Urut Sewu yang dipimpin Kyai Imam Zuhdi tidak takut karena apa yang diyakini terkait agama dan tanah air harus dibela dengan segala upaya. Karena agama tak bisa ditegakkan di ruang hampa tanpa tanah dan air, maka dari itulah mencintai agama berarti mencintai tanah dan air dan kehilangan tanah berarti kehilangan agama dan sejarah”.6

(Endnotes)1 Ubaidillah, “Kyai Kampung dalam Mobilisasi Perlawanan Petani pada konflik Lahan di Urut sewu” , Tesis, CRCS

UGM. Yogyakarta, 2014. Hlm. 48.2 Wawancara dengan kyai Imam Zuhdi, 23 April 2012.3 Wawancara dengan Seniman, 12 November 2012.4 “Sadumuk Batuk Sanyari Bumi; Pergerakan Rakyat Urut Sewu”, dalam Majalah Setara, Indipt, 2009.5 Dhian Cahyati Devi, “Analisis Konflik Ekologi Politik di Era Desentralisasi Sumber Daya Alam; Studi Kasus Konflik

Penambangan Pasir Besi di Urut Sewu Kabupaten Kebumen”, Skripsi, FISIP UI, 2011.6 KH Said Aqil Siroj, Ketua PBNU, pada lawatan Bulan Februari 2013 di Samarinda.

*Penulis adalah Koordinator Front Nahdhiyyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam [FN-KSDA]. Alumni CRCS UGM.

Page 4: Selasar edisi 12

4 E d i s i 1 2 / M a r e t 2 0 1 4

Forum

GUSDURian Depok Merespon

KonservatismeAgama

Di Depok, kawasan intelektual yang dekat dengan Jakarta, konservatisme agama mewabah. Sebuah taman bacaan masyarakat (TBM) yang dibuat karena

keprihatinan relawan akan minimnya daya baca masyarakat di kawasan ini dan lalu berinisiatif mendirikan sejumlah taman baca dan menghimpun buku-buku dari sumbangan para relawan, ditengarai oleh warga setempat sebagai aktivitas Kristenisasi. Hanya lantaran beberapa pengelolanya adalah kalangan Kristiani.

Adalah Ahmad Suaedy, Gamal Ferdhi, Subhan Azhari, Badrus Samsul Fata, dan Alamsyah yang selama ini merasa hanya menumpang berdomisili di Depok, perlu mengambil langkah untuk penyelamatan TBM sekaligus menginisiasi terbentuknya komunitas GUSDURian Depok. Masalah inilah yang dijadikan sebagai tema perdana diskusi pembentukan GUSDURian Depok.

Dalam diskusi ini, aktivis GUSDURian Depok membahas strategi advokasi sekaligus membantu TBM memperluas jaringan ke pesantren. “Kami menganggap dengan membawa nama GDan dan menempatkan lokasinya di pesantren, maka gangguan-gangguan serta dugaan-dugaan ada misi

tertentu di balik TBM seperti di atas dapat diminimalisir,” ungkap Subhi Azhari, salah satu pegiat Komunitas GUSDURian Depok.

Selain itu, konservatisme agama dirasakan juga muncul di sekolah dan perumahan yang mensyaratkan calon penghuninya ber-KTP Islam. Melihat kenyataan itu, Komunitas GUSDURian Depok menyusun isu utama yang digeluti yakni menumbuhkan sikap kritis masyarakat dalam menyikapi berbagai problem sosial, ekonomi, agama, dan pendidikan di Depok. Hal ini dilakukan melalui berbagai strategi seperti diskusi rutin dengan tema-tema yang sedang aktual di Depok, mendirikan taman baca sebagai sarana pembelajaran komunitas, riset, pemetaan problem kekinian, serta pendidikan alternatif bagi komunitas. Isu lain yang digeluti adalah menumbuhkan spirit dan kemandirian ekonomi.

“Sambutan kawan-kawan Depok sangat positif,” tambah Subhi. Hal ini dapat dilihat dari antusiasme para GUSDURian dalam pengajian bulanan dengan latar belakangnya yang beragam. Komunitas GUSDURian Depok ingin menerjemahkan visi dan warisan Gus Dur melalui kerja-kerja nyata yang langsung bersentuhan dengan kebutuhan warga Depok.

Foto

: Dok

umen

tasi

Pan

itia

Page 5: Selasar edisi 12

5

Ma

ti Ke

taw

aM

ati

Keta

wa

Ma

ti Ke

taw

aKeberatan Disebut “Kiai”

Di Indonesia, tokoh agama selalu lekat dengan sandangan Kiai pada bagian depan namanya. Bahkan, menyebut tokoh agama tanpa sandangan tersebut dianggap kurang sopan, apalagi bagi kalangan santri.

Namun, Gus Dur adalah salah satu yang berbeda dibanding para tokoh agama di Indonesia. Ia enggan menyandangkan nama Kiai pada namanya dan lebih nyaman dengan sebutan Gus.

“Saya sih lebih seneng dipanggil ‘Gus’. Sebutan ‘kiai’ terlalu berat buat saya,” katanya.

“Kok gitu?,”

“Kiai itu kan harus kuat tirakat: makan sedikit, tidur sedikit, ngomongnya juga sedikit. Nggak kuat saya. Enakan jadi Gus saja: dikit-dikit makan, dikit-dikit tidur, dikit-dikit ngomong,” (red)

Ilust

rasi

: Muh

amm

ad N

abil

Page 6: Selasar edisi 12

6 E d i s i 1 2 / M a r e t 2 0 1 4

(Bag.2-Habis)

Agamawan dan Pembangunan Desa

Gusdur Bertutur

Oleh: Abdurrahman Wahid

Skeptisisme itu muncul karena beberapa sebab. Ada yang karena sulitnya pembuktian ilmiah, kendati diakui bahwa bagaimanapun agama

mempengaruhi pola tingkah laku pemeluknya, termasuk dalam masa di mana mereka sedang membangun. Bagaimana mengenal agama sebagai pembentuk sikap hidup yang membangun itu sendiri. Kesulitan ini akhirnya menumbuhkan ragu.

Adakalanya keraguan timbul dari sikap yang diperlihatkan oleh para pemuka agama berikut pengikutnya, yang sedikit sekali menampakkan pemahaman nyata dan pengertian mendalam hakekat proses membangun. Apa yang mereka ributkan, canangkan dan apa yang menjadi perhatian utama, hampir selamanya tidak memiliki kaitan dengan persoalan-persoalan pokok pembangunan.

Kalaupun ada kaitannya dengan pembangunan, umumnya hanya dengan

soal-soal sampingan, dan terutama dengan ekses-ekses moral yang dibawakan oleh proses membangun itu sendiri.

Perlakuan Ganjil Tidak heran jika skeptisisme ini lalu

timbul perlakuan yang ganjil terhadap agama: diakui kehadirannya, tetapi tidak dibutuhkan dalam kenyataannya. Muncullah strategi ganda meminta legitimasi dari agama di mana dapat diperoleh, dan tidak menghiraukan pendapat agama jika legitimasi itu tidak diperoleh.

Contoh, pelaksanaan KB. Rumusan KB meminta legitimasi agama, namun bagian-bagian yang menyimpang dari agama berlangsung juga. Di samping firman-firman suci yang dipampangkan di perempatan-perempatan jalan, segala cara untuk memasang spiral dengan paksaan atau tidak, tetap dipakai juga.

Kepada para agamawan ditunjukkan wajah ketundukan, kepada para peninjau

Kendati hampir semua orang mengakui secara lahiriah peranan agama dalam pembangunan, ternyata masih ada keraguan di

hati: apa benar demikian?

Page 7: Selasar edisi 12

7

proses kesenjangan kaya dan miskin, (3) mengajak masyarakat secara keseluruhan untuk menghentikan proses pemusatan penguasaan sumber-sumber ekonomi utama yang berupa modal, tanah dan ketrampilan teknis di tangan sejumlah kecil anggota masyarakat saja. Proses itu justru harus dibalikkan, karena ia bertentangan dengan tujuan perataan kemakmuran, keadilan dan perikemanusiaan. Lagi pula, proses pemusatan sumber-sumber ekonomis utama inilah yang menjadi penyebab adanya kesenjangan dalam pola kehidupan masyarakat, yang pada gilirannya menjadi penyebab pula dari proses pemiskinan mayoritas bangsa.

Terserah kepada para agamawan, mampukah mereka merelevansikan arti agama mereka bagi pembangunan di desa dengan cara membawa dimensi-dimensi baru di atas?

TEMPO, 1 Juli 1978

luar negeri diperagakan angka 90% akseptor di Ponorogo yang berhasil di”spiral”kan. Si peninjau kagum seraya berujar: “Anda ternyata telah berhasil by passing para agamawan kolot, sedang di India, Indira Gandhi harus membayar mahal untuk itu”.

Sebenarnya para agamawan sendiri dapat memperjelas arti agama bagi pembangunan kepada rakyat. Para agamawan harus mengerti bahwa laju proses pemiskinan berlangsung, karena kesenjangan yang semakin hari semakin kentara antara yang kaya dan miskin. Belum lagi perbedaan pendapat tentang strategi pemenuhannya, alokasi anggaran yang disediakan untuk masing-masing kebutuhan dan seterusnya. Sementara itu arus penumpukan sumber-sumber ekonomis utama di tangan sejumlah kecil orang akan berakibat bagi kehidupan masyarakat semakin pincang.

Pengertian keadaan di atas jika dihayati dengan sebenar-benarnya oleh para agamawan, akan membawa mereka pada panggilan moral yang bersifat luas dan dinamis, yang akan membawakan pula dimensi-dimensi baru ke dalam tugas mereka dalam kehidupan masyarakat.

Langkah TaktisUntuk agamawan yang hidup

di kota-kota besar, dimensi-dimensi baru itu tidak akan disinggung, karena tidak termasuk kandungan tulisan ini. Bagi para agamawan yang tinggal dan berkecimpung dalam kehidupan desa, dimensi-dimensi baru itu akan berbentuk kerja-kerja berikut, (1) mengajak rakyat untuk merumuskan kebutuhan pokok mereka, (2) menyadarkan bahaya laten yang terkandung dalam

Page 8: Selasar edisi 12

8 E d i s i 1 2 / M a r e t 2 0 1 4

Solidaritas GUSDURian untuk Kelud

Akibat meletusnya Gunung Kelud yang membuat ribuan orang mengungsi, Jaringan GUSDURian mengumpulkan bantuan untuk

para korban. Koordinator JGD, Alissa Wahid, menghimbau komunitas-komunitas GUSDURian di berbagai daerah untuk melakukan penggalangan bantuan dan berkoordinasi dengan sejumlah relawan untuk terjun langsung memastikan bantuan tepat sasar.

Beragam aksi dilakukan oleh komunitas GUSDURian. Komunitas GUSDURian Temanggung menggalang dana dengan pentas musik rock yang diisi oleh band-band setempat. Sementara di Jember, para relawan mengumpulkan bantuan di pusat perbelanjaan dan dilanjutkan dengan doa bersama di Alun-Alun Kota Jember. Komunitas Staramuda dan Jemaat Gereja Kristen Indonesia di Jombang bahu-membahu memasak 700 nasi bungkus untuk pengungsi yang menempati

sejumlah tempat publik di Kecamatan Ngoro Jombang. Sementara itu, total donasi yang tercatat di Sekretariat GUSDURian sebesar Rp 22.865. 230 per februari 2014.

Aksi solidaritas GUSDURian yang melakukan pendampingan secara langsung dan intensif dilakukan oleh GUSDURian Muda (GARUDA) Malang dan Paguyuban Antar Lintas Agama (PALM) Kediri sampai saat ini untuk merespon kebutuhan jangka menengah korban letusan Kelud.

Mengenal Dua Sosok Pendekar Kemanusiaan

KongkowFo

to: D

okum

enta

si P

aniti

a

(Romo Mangun dan Gus Dur)

Jumat, 28 Februari 2014, Forum GUSDURian Jogja mengadakan diskusi rutin bulanan. Tema kali ini adalah mencari titik temu antara RomoMangun dan Gus Dur. Hal ini dipilih bertepatan dengan bulan di mana Romo Mangun berpulang. Cukup menarik mendiskusikan

pemikiran dan laku dua orang pejuang kemanusiaan ini. Diskusi seru yang berlangsung sekitar dua jam ini diikuti oleh 70 orang. Pemantik diskusi

kali ini adalah RomoYatno, salah satu murid Romo Mangun. Dikisahkan bagaimana Romo Mangun konsisten membela rakyat kecil yang tertindas. Sebut saja warga korban pembangunan Waduk Kedung Ombo di Jawa Tengah, juga warga di bantaran Kali Code Yogyakarta. Hal ini tak beda dengan Gus Dur yang teguh misalnya membela jemaat Ahmadiyah yang ditindas haknya, begitu juga dengan masyarakat Tionghoa. Gus Dur juga pernah berhadapan dengan Orde Baru ketika pembangunan Waduk Kedung Ombo.

Di akhir diskusi, Romo Yatno menyatakan bahwa baik Romo Mangun maupun Gus Dur adalah sosok yang langka saat ini. Pejuang kemanusiaan dan keadilan yang teguh. (Khotim)