selasar edisi 09

8
Penanggung jawab SekNas JGD Penasihat Alissa QM Wahid koordinator Divisi Media JGD Heru Prasetya Pemimpin Redaksi Nabilah Munsyarihah Redaksi Misbahul Ulum Zahrotien Editor Abas Z g. Tata letak Muhammad Nabil Kontributor GUSDURian di berbagai daerah Sirkulasi Manajemen Informasi Jaringan GUSDURian Sekadar Mendahului “Menyesali nasib takkan mengubah keadaan. Terus berkarya dan bekerjalah, itu yang membuat kita berharga.KH. Abdurrahman Wahid Menggerakkan Tradisi, Meneguhkan Indonesia Redaksi menerima tulisan dari pembaca berupa artikel, opini, berita melalui selasar.redaksi@gmail. com. Redaksi tidak bertanggung jawab atas isi tulisan. Tulisan itu adalah pandangan pribadi penulis. Newsletter ini adalah produk nonprofit. B anyak gagasan cerdas bermunculan, pemikiran kreatif juga berkeliaran tentang banyak hal. Namun, hal tersebut hanya habis pada obrolan saja, dan tidak kekal dalam waktu lama. Penyebabnya, tidak pernah ditulis. Itulah yang sebenarnya ingin dikatakan salah satu artikel pada edisi ini. Bahwa Gus Dur sudah mencontohkan bahwa pemikiran juga perlu diabadikan dengan ditulis, sebagai pengkekalan atas konsep, utamanya toleransi dan pencerahan. Sebagai GUSDURian generasi saat ini, tradisi menulis itu penting, dicontohkan pada artikel lainnya, menulis digunakan sebagai senjata mengkritik praktik kehidupan disandingkan dengan Pancasila sebagai dasar negara. Selamat membaca dan menuliskan kesimpulannya kemudian. Edisi 9 / November 2013

Upload: jaringan-gusdurian

Post on 28-Mar-2016

235 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Media bulanan yang dikelola resmi oleh SekNas Jaringan GUSDURian. Bagi sahabat yang ingin mengunduh Selasar edisi sebelumnya, silakan berkunjung di situs kami di http://gusdurian.net/selasar/. Ingin tulisan sahabat di muat di SELASAR? silakan kirim tulisannya ke redaksi melalui email [email protected]

TRANSCRIPT

Page 1: Selasar edisi 09

Penanggung jawab

SekNas JGDPenasihat

Alissa QM Wahidkoordinator Divisi Media JGD

Heru Prasetya

Pemimpin Redaksi

Nabilah MunsyarihahRedaksi

Misbahul UlumZahrotien

Editor

Abas Z g.Tata letak

Muhammad NabilKontributor

GUSDURian di berbagai daerahSirkulasi

Manajemen Informasi Jaringan GUSDURian

Sekadar Mendahului

“Menyesali nasib takkan mengubah keadaan. Terus berkarya dan bekerjalah, itu yang membuat kita berharga.”

KH. Abdurrahman Wahid

M e n g g e r a k k a n T r a d i s i , M e n e g u h k a n I n d o n e s i a

Redaksi menerima tulisan dari pembaca berupa artikel, opini, berita melalui [email protected]. Redaksi tidak bertanggung jawab atas isi tulisan. Tulisan itu adalah pandangan pribadi penulis.

Newsletter ini adalah produk nonprofit.

Banyak gagasan cerdas bermunculan, pemikiran kreatif juga berkeliaran tentang banyak hal. Namun, hal tersebut hanya habis pada obrolan saja, dan tidak kekal dalam waktu lama. Penyebabnya, tidak pernah ditulis.

Itulah yang sebenarnya ingin dikatakan salah satu artikel pada edisi ini. Bahwa Gus Dur sudah mencontohkan bahwa pemikiran juga perlu diabadikan dengan ditulis, sebagai pengkekalan atas konsep, utamanya toleransi dan pencerahan.

Sebagai GUSDURian generasi saat ini, tradisi menulis itu penting, dicontohkan pada artikel lainnya, menulis digunakan sebagai senjata mengkritik praktik kehidupan disandingkan dengan Pancasila sebagai dasar negara.

Selamat membaca dan menuliskan kesimpulannya kemudian.

E d i s i 9 / N o v e m b e r 2 0 1 3

Page 2: Selasar edisi 09

Oleh: Sulfiza Ariska*

Gus Dur:Cahaya Perdamaian

Menggerakkan Tradisi

e-newsletter SELASAR /edisi 9/2013 2

Gus Dur telah mewariskan cahaya perdamaian bagi Indonesia. Dengan gaya politiknya yang nyentrik,

beliau telah mendedikasikan usianya untuk mewujudkan toleransi dan merealisasikan hak asasi manusia dalam tatanan multikultur. Di lain sisi, manusia adalah makhluk komunikasi. Untuk merealisasikan tujuan-tujuan hidup, manusia harus melakukan komunikasi. Demikian pula untuk mewujudkan visi ideal Gus Dur. Para Gusdurian dapat meneguhkan komunikasi multikultur atau

lazim disebut komunikasi antarbudaya dalam memperjuangkan perdamian yang telah diretas beliau di Nusantara.

Komunikasi Antarbudaya di IndonesiaProses komunikasi yang efektif akan

terjadi bila komunikator dan komunikan memiliki derajat dan kapasitas yang sama yang disebut homophily. Dalam masyarakat tradisional, individu-individu tidak terdapat kesenjangan nilai-nilai yang signifikan. Proses komunikasi menempati posisi kritis pada tipe masyarakat multikultural.

Foto: http://sahhala.files.wordpress.com

Page 3: Selasar edisi 09

3

Dan, pada sisi inilah bangsa-bangsa Indonesia berada. Bangsa Indonesia memiliki perbedaan yang sangat kompleks. Proses komunikasi dalam masyarakat multikultural ini disebut heterophily. Untuk mewujudkan komunikasi yang efektif; pihak otoritas melakukan pemaksaan transformasi heterophily ke homophily. Terjadi pembonsaian esensi multikultural. Secara sederhana, pembonsaian itu disebut upaya penyeragaman.

Keseragaman menciptakan manusia-manusia bonsai. Keseragaman menjauhkan kita pada sikap toleransi. Keseragaman menciptakan manusia-manusia memiliki pola pikir yang sama, kesulitan memiliki alternatif pemikiran, dan miskin kreativitas. Keseragaman membentuk kita menjadi manusia yang serba patuh dan ketakutan. Bagaimana keseragaman disebut kemerdekaan? Lalu, apa sikap kita sebagai GUSDURian?

Pembangunan sosial tidak akan tumbuh tanpa jiwa-jiwa merdeka. Karena itu, kita harus mengembalikan konsep komunikasi di Indonesia pada tipe heterophily. Empat Pilar Kebangsaan tidak dijadikan sebagai ideologi tertutup yang monointerpretasi. Tidak ada lagi upaya kultus nasional pada kebudayaan yang terbatas atau penyeragaman yang ugal-ugalan. Lagi pula, nilai-nilai lokalitas terbukti ampuh sebagai alat komunikasi untuk menciptakan perdamaian.

Kearifan lokal yang tidak bertentangan dengan hak asasi manusia harus kita angkat, kita lindungi, dan kita lestarikan untuk mewujudkan toleransi. Penghormatan pada kebudayaan daerah merupakan jalan terang perdamian. Karena itu, kita harus mengelupaskan ketakutan pada proses komunikasi yang heterophily dan menjembataninya dengan komunikasi antarbudaya.

Budaya LiterasiBahasa adalah alat komunikasi yang

utama. Melalui bahasa kita dapat menjalin relasi yang sehat, transfer ilmu pengetahuan,

dan menebarkan kasih sayang. Tapi, melalui bahasa pula diskriminasi, penjajahan, dan perpecahan ditebarkan. Maka, untuk merealisasikan komunikasi antarbudaya dalam tipe komunikasiheterophily, kita dapat mengembangkan kebudayaan bahasa ke ranah konstruktif. Kebudayaan bahasa ini lazim disebut budaya literasi.

Bila anda tidak bisa memahami seseorang, mengapa anda memaksakan cara pandang anda? Karena itu, menjadi GUSDURian berarti kita harus memiliki kesadaran kolektif untuk haus pada kebenaran dan ilmu pengetahuan. Kehausan ini dapat kita salurkan dengan membaca buku dan aktif menulis. Dengan demikian, akan lahir jalinan komunikasi dan integritas visi perdamaian.Anda bukan GUSDURian sejati bila Anda malas membaca buku dan menulis!

Budaya literasi adalah pendidikan alternatif yang efektif dalam mewujudkan perdamaian. Budaya literasi akan membukakan jalan dalam memperbaharui pemikiran dan strategi yang inovatif mewujudkan perdamaian. Selain itu, perlu adanya pemberantasan buta aksara, pendirian perpustakan, dan pengembangan tradisi menulis di kawasan rawan konflik (masyarakat marginal).

Dapat kita simpulkan, komunikasi heterophily merupakan keniscayaan di Indonesia yang memiliki iklim budaya multikultur. Perlu adanya mekanisme komunikasi antarbudaya. Maka, mengagumi dan mempertahankan nilai-nilai perdamaian yang diretas Gus Dur bisa dilakukan melalui tindakan yang dapat menyatukan kesadaran (awareness) kolektif dalam mewujudkan perdamaian.

Pengembangan budaya literasi merupakan solusi sebagai langkah komunikasi antarbudaya untuk mengatasi hambatan komunikasi heterophily dan menggali kearifan lokal. Sehingga cahaya perdamaian yang diretas Gusdur tidak meredup, semakin kaya, menggurita, abadi, dan terus menginspirasi.

*Juara II Lomba Esai Gusdur dan PerdamaianNb: versi lengkap tulisan dapat dilihat di www.GUSDURian.net

3

Page 4: Selasar edisi 09

e-newsletter SELASAR /edisi 9/2013 4

Sejarah panjang perjuangan Bangsa Indonesia dalam meraih kemerdekaan membutuhkan energi yang sangat

banyak, baik fikiran, tenaga, maupun biaya. Dalam fase berikutnya para pendiri bangsa merumuskan nilai-nilai dasar yang akan menjadi pegangan untuk menyempurnakan konsep kemerdekaan Bangsa Indonesia berupa Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Pancasila berisi lima subtansi berkehidupan ideal disebut sebagai falsafah hidup serta lem perekat berbangsa dan bernegara. Saya kira bukan hal yang kebetulan, dan bukan pula ujuk-ujuk (tiba-tiba) muncul, Pancasila lahir sebagai proses kristalisasi pemikiran dan spiritualitas para pendiri bangsa.

Jika dianalisa lebih dalam dan kemudian kita korelasikan dengan keadaan Bangsa Indonesia saat ini, tentu kita akan menjumpai fakta betapa lima sila inilah yang saat ini dilanda berbagai macam masalah.

Pertama, sila Ketuahanan yang Mahas Esa. Keyakinan kita kepada Tuhan sebagai hak asasi yang bersifat fitri sudah mulai diobok-obok oleh sebagian orang yang mengatas namakan Tuhan. Agama menjadi kedok yang ideal untuk melakukan intimidasi dan intervensi ketuhanan setiap warga negara. Semua itu adalah penghianatan terhadap sila pertama.

Pengkhianatan pada sila kedua pun terjadi sedemian banyaknya. Pembunuhan Munir, Tanjung Priok, Banyuwangi, pelanggaran HAM di Papua, merupakan sebuah bukti sejarah pelanggaran kemanusian. Itulah bukti kemanusiaan yang tak terhargai di negeri yang konon paling beradab ini.

Isu disintegrasi bangsa yang merongrong sila ketiga. Dapat kita lihat dengan nyata setelah Timor-Timur (sekarang negara Timor Leste), Papua, Maluku, dan Aceh terus bergeliat untuk memerdekakan diri. Persatuan Indonesia tergerus oleh isu ketidakadilan dan ketidakmerataan pembangunan.

Selanjutnya tentang sila keempat. rakyat sudah tak merasakan lagi hikmat di tanah kelahirannya sendiri karena teror yang terus terjadi. Musyawarah menjadi barang langka di negeri ini. Kalau toh ada hanya sebatas formalitas. Masyarakat lebih cenderung reaktif terhadap segala sesuatu yang menimpa mereka hingga tak perlu melakukan klarifikasi terdahulu untuk dicarikan jalan yang terbaik (musyawarah).

Kepentingan rakyat selalu dikalahkan oleh kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan. Perwakilan hanya istilah legal agar mereka bisa memperkaya diri dengan memakai dasi, sementara saat membicarakan persoalan rakyat mereka alergi.

Terakhir, sila kelima. Istilah yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin saya kira sangat tepat menggambarkan kondisi keadilan sosial di Indonesia saat ini. 60% penduduk masih hidup dalam kemiskinan, sementara para kartel melenggang kangkung di atas penderitaan si miskin.

Pemilik modal selalu menjadi pengendali kebijakan. Kemiskinan sebagai dampak dari pemiskinan oleh sistem di negara ini tak mampu diurai oleh para pemangku kebijakan. Yang ada, rakyat berusaha memperbaiki diri meski tanpa campur tangan negara.

Oleh: Badiul Hadi

Lem Perekat yang Mulai TerkelupasPANCASILA

Menggerakkan Tradisi

* Penulis adalah GUSDURian Grobogan

Page 5: Selasar edisi 09

5

Dua Belas Tahun Pengabdian Jakatarub*

kembali hadir pada acara workshop lanjutan. Peserta kali ini lebih banyak dibanding pada sebelumnya. Di Vihara Vipassana Graha Lembang Bandung ini, mereka mendialogkan lebih jauh lagi tentang agama dan rekonsiliasi dengan cara menggali paradigma baru dalam beragama.

Di penghujung acara itu mereka bersepakat membentuk tim yang terdiri dari; tim radio, tim penerbitan, tim cyber, dan tim safari. Pasca Workshop mereka mulai rajin bertemu, mengevaluasi kelemahan hingga perumusan dan pematangan rencana aksi bersama.

Akhirnya, pada pertemuan kedua dan ketiga yang difasilitasi oleh Gereja Katolik Buah Batu Bandung, tepatnya tanggal 12 Mei dan 30 Juni 2001, mereka merumuskan wadah demi keberlangsungan kerja transformatif dialog antaragama. Dari pilihan inilah lahir sebuah nama ‘JAKATARUB’ [Jaringan Kerja Antar Umat Beragama].

Cita-cita kerukunan dan kebersamaan yang sungguh-sungguh antarpemeluk agama di negeri ini kini telah tumbuh

menjadi kesadaran kolektif dari seluruh masyarakat Indonesia.

Keinginan dan harapan inilah yang membuat beberapa orang bersemangat untuk berbincang, berdiskusi, serta berbagi pengalaman dalam acara workshop yang difasilitasi oleh INCRëS dan Madia pada bulan November 2000 di Pesantren Luhur Al-Wasilah, tepatnya di daerah Cipanas kabupaten Garut.

Mereka datang dari berbagai latar agama, kepercayaan, adat istiadat, tradisi, dan lingkungan yang berbeda-beda dari beberapa daerah se-Jawa Barat. Dari lengkapnya latar belakang peserta yang hadir, serasa betapa ‘Indonesia kecil’ sedang mereka nikmati dan rasakan kedamaiannya.

Sampai pada suatu hari, tepatnya bulan April 2001, mereka berkesempatan

Forum

* Diedit dari Press Release Jakatarub.org

Foto: Ignatius Yunanto

Page 6: Selasar edisi 09

Berkuasa dan

Harus Memimpin

Ketua Umum PIB, Syahrir membuat tulisan menarik dalam sebuah media. Dalam kesimpulan penulis, dalam

karyanya itu, Syahrir menyebutkan ada orang berkuasa tetapi tidak memimpin.

Dengan tepat, Syahrir menunjukkan pada kita sebagai bangsa yang sedang porak-poranda, karena tidak adanya kepemimpinan. Buktinya, krisis multidimensi yang sedang kita hadapi dewasa ini, sama sekali tidak mendapatkan pemecahan—kalau tidak dikatakan justru diperparah oleh ulah pemimpin kita sendiri.

Ada pejabat yang menganggap TKI di Malaysia sebagai persoalan pemerintan daerah, padahal seluruh peraturan yang menyangkut diri mereka dibuat oleh pemerintah pusat. Demikian juga pejabat lain yang tidak mau meninggalkan jabatan, walaupun telah diputuskan oleh Pengadilan Negeri di Jakarta sebagai pihak yang bersalah. Alasannya, karena menunggu keputusan Pengadilan Tinggi. Bukankah ini berarti sebuah pengakuan, bahwa sisten pengadilan kita bekerja di bawah mafia peradilan? Alangkah tragisnya keadaan kita saat ini?

Dengan tepat pula, Syahrir menunjuk kepada pemerintahan kita yang memiliki sejumlah orang berkuasa, namun tidak sanggup memimpin. Bahkan, aparat penegak hukum kita cenderung melanggar konstitusi. Pertanyaan Klinik Hukum Merdeka, adakah DPR/MPR kita dewasa ini legal atau tidak. mengingat baru 60% suara hasil pemilihan umum tahun 1999 yang lalu dihitung, namun pemerintahan telah mengumumkan Surat Keputusan (SK) Presiden, mengenai komposis DPR/MPR—tidak dijawab hingga saat ini oleh Mahkamah Agung.

Begitu juga pertanyaan penulis kepada

MA, apakah Maklumat Keadaan Bahaya yang dikeluarkan penulis sebagai Presiden tanggal 21-23 Juli 2001 merupakan tindakan legal atau ilegal berdasarkan konstitusi, juga tidak mendapatkan jawaban.

Ditambah lagi, bahwa showroom mobil termahal (mewah) di dunia saat ini berada di halaman gedung DPR, yang dipenuhi oleh mobil para anggotanya, bahkan tanpa mengindahkan batas besarnya kubik silinder (cc) yang dimiliki kendaraan tersebut.

Keluhan birokrasi pemerintahan dan kejengkelan rakyat sama sekali tidak diperhatikan. DPR tidak lagi memperhatikan kepentingan rakyat, melainkan hanya sibuk dengan urusan mereka sendiri tampak jelas di mata kita. Dengan kata lain, para anggota DPR/MPR kita tengah menikmati kekuasaan yang mereka peroleh tanpa memperhatikan sah atau tidaknya kekuasaan mereka itu. Dengan demikian, pengamatan Syahrir itu juga berlaku bagi anggota DPR/MPR kita dewasa ini.

Masalahnya adalah persoalan klasik yang harus kita hadapi sekarang ini. Kepercayaan (trust) masyakarat kepada sistem pemerintahan kita dewasa ini menjadi sesuatu yang sangat memprihatinkan. KKN, terutama dalam bentuk korupsi, kini tampak nyata sudah tak terkendali lagi.

Benarkah kata alm. Mahbub Junaidi: bahwa nanti kita harus membayar pajak karena mengantuk, seolah-olah sebuah kenyataan hidup. Runtuhnya kekuasaan Wangsa Syailendra (pembangunan candi Borobudur) dan Kerajaan Majapahit (untuk membiayai perang dan perluasan kawasan)—misalnya, akhirnya runtuh karena keduanya hanya sekadar berkuasa tetapi tidak memimpin. (Bersambung)

e-newsletter SELASAR /edisi 9/2013 6

Gus Dur Bertutur

(Bagian I)

Page 7: Selasar edisi 09

7

Sekretariat Nasional (SekNas) GUSDURian dalam rangka memperingati Hari Toleransi

Internasional yang jatuh pada 16 November lalu menghimbau kepada seluruh komunitas di seluruh Indonesia untuk memperingatinya.

Ada yang memperingati dengan menyebarkan statemen terbuka, adapula yang menyebarkan stiker, berbagi bunga dan berbagai kegiatan lainnya. Bahkan, ada yang menggelar khusus dengan kegiatan pertemuan semacam pengajian.

Fenomena itu menjadi hal yang menarik dan disorot masyarakat, kendati mendadak memberikan himbauan, namun semua daerah langsung mengambil sikap siap. Dan kampanye hari toleransi itu ternyata berhasil.

Lalu, dengan peringatan itu apakah sudah cukup? Apakah sudah benar-benar memenuhi kebutuhan bahwa masyarakat umum telah sadar toleransi?. Saya pikir belum, itu adalah start awal untuk melangkah program-program selanjutnya.

Ya itu adalah start, setelah berhasil mengkampanyekan, dan masyarakat mengkonsumsi isu toleransi, selanjutnya adalah langkah kita untuk menindaklanjuti. Ya kita, kita yang peduli pada toleransi itu sendiri, kita yang menyebarkan isu itu dan kita yang memiliki kesadaran penuh untuk bergerak. (red)

Pergulatan

Yogyakarta |Sekolah Pemikiran Gus Dur | 30 Nov-1 Des 2013| Pendopo Hijau Yayasan LKiS | terbatas 25 orang | Gratis

Yogyakarta | Haul Gus Dur | 16 Desember 2013| Nol Kilometer | 19.00

Jombang | Haul Gus Dur | 7 Desember 2013| Klenteng Gudo | 14.00

Jombang | Jombang Forum Jumat | Halaqah SDA | 7-8 Desember 2013

gendaA

7

Mati Ketawa

Cerita ini sudah lama, sewaktu Gus Dur masih menjabat sebagai orang nomor satu di PBNU. Kantor PBNU

waktu itu baru saja dilengkapi dengan mesin faksimile.

Hari itu seorang Wasekjen PBNU kala itu tengah memperagakan cara mengirim faksimile di depan Gus Dur. Di saat bersamaan mantan Presiden RI keempat ini kedatangan seorng rekannya. Mereka bertiga jadi memperhatikan mesin canggih itu.

“Loh ngirim tulisan pakai mesin ini apa bisa diterima persis disana?,” tanya rekan Gus Dur terheran-terheran. Pengirim faks menjawab yakin, “Lah iya no!,”

Setelah mengirim faks, tiba-tiba ada faks masuk. Mendengar bunyi dan masuknya faks itu membuat rekan Gus Dur semakin kagum saja.

“Wah mesin faks ini memang luar biasa, nggak masuk di akal ya,” komentar rekan Gus Dur itu sambil geleng-geleng kepala.

Spontan Gus Dur langsung nyeletuk, “Ya jangan dimasukin akal dong, dimasukin kertas to yo,” jawab Gus Dur ringan. (*)

Jangan Dimasukin Akal,Tapi Masukin Kertas

Page 8: Selasar edisi 09

Kong

kow

e-newsletter SELASAR /edisi 9/2013 8

Hari Toleransi Internasional

Mahfud MD Refleksikan Hari Jadi

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) periode 2009-2013, Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, memberikan pidato tentang refleksi Hari

Jadi Kabupaten Temanggung. Mantan Menteri Pertahanan Kabinet KH. Abdurrahman Wahid ini hadir atas undangan GUSDURian Temanggung dan PMII setempat di Pendopo Pengayoman, Rabu (6/11) lalu.

“Saya melihat Temanggung adalah Indonesia mini. Didalamnya bersatu masyarakat yang berbeda ikatan primordial. Yang berbeda agama, berbeda suku dan etnis. Mereka hidup rukun berdampingan. Ini harus dijaga dan jangan ada yang

mengacaukannya,” katanya.Hadir pada kegiatan tersebut,

Koordinator Nasional Jaringan GUSDURian, Alissa Wahid, Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (FKPD) Temanggung, serta tokoh semua agama yang ada di daerah penghasil tembakau ini.

“Orang atau pihak-pihak yang memaksakan kebenaran pada masyarakat, adalah ciri orang yang tidak beragama dengan baik. Yang membenarkan pendapatnya dan menyalahkan pendapat orang lain, berarti tidak mengerti betul tentang agamanya itu sendiri,” tandasnya. (red)

Sebagian besar komunitas GUSDURian di berbagai daerah pada 16-17 November lalu menggelar peringatan Hari Toleransi

Internasional. Gelaran kegiatan sebagian besar dilakukan di ruang publik dan sebagian lainnya digelar dengan peringatan ceremonial.

“Kami menghimbau bahwa pada hari tersebut adalah hari toleransi internasional. Silakan bagi yang ingin memperingati dan ternyata direspon positif oleh banyak komunitas GUSDURian,” kata Koordinator Nasional, Jaringan GUSDURian, Alissa Wahid.

Beberapa wilayah yang memperingati

hari tersebut antara lain Jombang, Surabaya, Bogor, Cirebon, Temanggung, Yogyakarta, Jakarta, Blitar, Bandung, Kalimantan Timur serta daerah lainnya.

Koordinator GUSDURian Jawa Timur, Aan Anshori mengatakan, dalam mengadakan kegiatan tersebut, pihaknya hanya melakukan koordinasi singkat dan menggerakkan semua elemen yang ada. “Untuk Jawa Timur sebagian besar mengadakan. Peringatan semacam ini tepat dilakukan sebagai bentuk kampanye toleransi,” tandasnya. (red)

TEMANGGUNG

Foto

: ww

w.sa

tuha

rapa

n.co

m