selasar edisi 07

8
Penanggung jawab SekNas JGD Penasihat Alissa QM Wahid koordinator Tata Khoiriyah Redaksi Nabilah Munsyarihah, Zahrotien Editor Abas Z g. Tata letak Muhammad Nabil Kontributor GUSDURian di berbagai daerah Sirkulasi SekNas Jaringan GUSDURian Sekadar Mendahului “Bila terjadi ketegangan antara agama dan kebudayaan, maka carilah jalan tengahnya, ketegangan yang selalu terjadi tidak perlu ditangisi dan disesali, karena itu justru memungkinkan kita untuk selalu berusaha menjembataninya.KH. Abdurrahman Wahid Menggerakkan Tradisi, Meneguhkan Indonesia Redaksi menerima tulisan dari pembaca berupa artikel, opini, berita melalui [email protected]. Redaksi tidak bertanggung jawab atas isi tulisan. Tulisan itu adalah pandangan pribadi penulis. Newsletter ini adalah produk nonprofit. K atanya, negara kita memiliki semboyan Bhineka Tunggal Ika. Akan tetapi, konflik dengan berbagai macam rupa terjadi di mana-mana. Kuantitasnya tidak pernah berkurang, selalu bertambah. Entah bagaimana kualitas konfliknya. Makna semboyan kita yang merdu itu sudah terkorupsi. Arti kata itu sudah tersudut di pojok peradaban dan susah dicari dalam kamus kehidupan. Kita hanya butuh manusia, yang bukan setan dan malaikat. Manusia yang memanusiakan manusia lainnya untuk mengembalikan makna kata itu sebagaimana adanya. Saat kata itu sudah dimaknai dengan tingkah laku, saat itulah, darah anyir pertikaian akan musnah dari kehidupan. Akhirulkalam, “selamat memaknai,” kami ucapkan. Edisi 7 / September 2013

Upload: jaringan-gusdurian

Post on 04-Jul-2015

2.675 views

Category:

Education


3 download

DESCRIPTION

Newsletter bulanan yang dikelola oleh SekNas Jaringan GUSDURian. Bulan ini, kami menampilkan tulisan Rio Tuasikal pemenang lomba esai Harlah #GusDur yang berjudul: Gus Dur Ultraman betulan Rubrik forum kali ini meliput komunitas GUSDURian di Kalimantan Timur. Sedangkan tulisan Gus Dur yang kami sajikan adalah tulisan berjudul: ISLAM, Apalah bentuk perlawanannya? SELASAR bisa di unduh dengan cuma-cuma serta di sebar di komunitas masing-masing untuk kepentingan non profit. Untuk mengunduh SELASAR edisi 01-06 silahkan berkunung ke situs resmi kami di www.gusdurian.net/selasar Atau bagi sahabat yang ingin mendapatkan kiriman rutin melalui email, silahkan SMS ke hotline dengan format: SELASAR* nama* domisili* alamat email

TRANSCRIPT

Page 1: SELASAR Edisi 07

Penanggung jawabSekNas JGD

Penasihat Alissa QM Wahid

koordinator Tata Khoiriyah

Redaksi Nabilah Munsyarihah, Zahrotien

EditorAbas Z g.

Tata letakMuhammad Nabil

KontributorGUSDURian di berbagai daerah

Sirkulasi SekNas Jaringan GUSDURian

Sekadar Mendahului

“Bila terjadi ketegangan antara agama dan kebudayaan, maka carilah jalan tengahnya, ketegangan yang selalu terjadi tidak perlu ditangisi dan disesali, karena

itu justru memungkinkan kita untuk selalu berusaha menjembataninya.” KH. Abdurrahman Wahid

M e n g g e r a k k a n T r a d i s i , M e n e g u h k a n I n d o n e s i a

Redaksi menerima tulisan dari pembaca berupa artikel, opini, berita melalui [email protected]. Redaksi tidak bertanggung jawab atas isi tulisan. Tulisan itu adalah pandangan pribadi penulis.

Newsletter ini adalah produk nonprofit.

Katanya, negara kita memiliki semboyan Bhineka Tunggal Ika. Akan tetapi, konflik dengan berbagai macam rupa terjadi di mana-mana. Kuantitasnya tidak pernah berkurang, selalu bertambah. Entah bagaimana kualitas konfliknya.Makna semboyan kita yang merdu itu sudah terkorupsi. Arti kata itu

sudah tersudut di pojok peradaban dan susah dicari dalam kamus kehidupan. Kita hanya butuh manusia, yang bukan setan dan malaikat.Manusia yang memanusiakan manusia lainnya untuk mengembalikan makna kata itu sebagaimana adanya. Saat kata itu sudah dimaknai dengan tingkah laku, saat itulah, darah anyir pertikaian akan musnah dari kehidupan. Akhirulkalam, “selamat memaknai,” kami ucapkan.

E d i s i 7 / S e p t e m b e r 2 0 1 3

Page 2: SELASAR Edisi 07

Oleh: Rio TuasikalGus DurMenggerakkan Tradisi

foto: abdurrahmanwahid-gusdur.blogspot.com

Ultraman Betulanadalah

e-newsletter SELASAR /edisi 7/2013 2

Page 3: SELASAR Edisi 07

3

Masih saya ingat kata-kata Shin Asuka, si Ultraman Dyna itu. Di episode tersebut, belasan tahun lalu, Ultraman

melawan monster jahat yang menghancurkan kota.

Saat sekolah dasar, saya bermimpi punya kekuatan super untuk mengubah dunia. Teman-teman saya juga sama. Menuju dewasa, saya hanya bisa nyengir bila mengingatnya. Bahwa mimpi mengubah dunia adalah muluk.

Imajinasi konyol itu membuat saya tertawa, sampai akhirnya Gus Dur menyadarkan: dunia ini memang sedang dalam marabahaya.

Gus Dur adalah Superhero Nyata

Berbeda dengan damai versi kebanyakan orang, Gus Dur percaya itu bukan sekadar kerukunan. Sebab istilah kerukunan terkesan pasif, juga tutup mata pada konflik kecil. Lewat sosok Gus Dur, kita merombak definisi itu.

Bicara Islam damai sering dimulai dengan nama Gus Dur. Dia telah mengembalikan Islam ke posisi semestinya: ramah dan cemerlang. Dia juga yang menunjukkan bahwa Islam, demokrasi dan hak asasi manusia punya semangat yang sama.

Seperti itulah Gus Dur mencontohkan. Dia berupaya melindungi masyarakat Kristen, keturunan Tionghoa juga Ahmadiyah. “Gus Dur sudah seperti ayah kami,” ujar Fam Kiun Fat, anggota Majelis Agama Khonghucu (Makin) Bandung.

Tak ada ciri superhero yang tak Gus Dur miliki. Dia menyediakan rasa hormat pada semua manusia, membela yang lemah, dan memperjuangkan keadilan; mengajak semua orang bergandengan tangan dan tidak mempermasalahkan perbedaan; kita diajak hidup damai dalam sebuah komunitas global.

Sungguh daftar misi yang tak gampang dijalani. Namun Gus Dur menempuh itu semua, sebab ia adalah manusia ultra, ya, ultraman.

Sebentar, tapi, Gus Dur tidak punya kekuatan super. Gus Dur tidak punya robot Megazord atau laser dari tangannya. Lalu apa yang menjadikan Gus Dur lebih dari manusia biasa? Saya rasa sederhana : belas kasih.

Jurus Super: Belas Kasih

“Prinsip belas kasih tersemat di jantung tiap agama, etika dan spiritual. Meminta kita perlakukan semua orang sebagaimana kita ingin diperlakukan,” demikian pembuka Charter For Compassion (Piagam Belas Kasih) yang dicetuskan pada 2009.

Belas kasih bukan barang baru. Sebagaimana disebutkan dalam piagam, dia ada di semua tradisi agama dan lainnya, sejak zaman prasejarah. Ibarat artefak kuno, gagasan ini muncul menjawab tantangan manusia abad 21.

Kita melihat bagaimana Buddha, Yesus dan Muhammad menggunakan resep yang sama, mereka mencintai orang-orang. Lalu mereka diikuti jutaan orang seperti Bunda Teresa, Mahatma Gandhi, Nelson Mandela dan Gus Dur.

Lewat kisah mereka, kita diajari untuk bersikap empatik, heroik, dan patriotik. Kita diajak mengorbankan kepentingan diri dan mementingkan orang lain tanpa kecuali.

Mimpi dari Masa Kecil

Masih banyak kejahatan di muka bumi. Masih banyak orang yang hidup dalam ketakutan. Karenanya, kesempatan untuk jadi penyelamat dunia itu masih terbuka lebar.

Cita-cita Gus Dur belum sepenuhnya berhasil. Setelah dia mencontohkan begitu banyak, kini ada beberapa misi yang dia wariskan untuk dilaksanakan. Ini akan sedikit menantang, tapi patut diperjuangkan.

Saya mengajak semua insan, laki-laki dan perempuan, siapa pun, untuk membangunkan pahlawan yang bersemayam dalam diri.

“Menumpas kejahatan dan menegakkan keadilan. Aku tak

boleh menyerah!”

foto: abdurrahmanwahid-gusdur.blogspot.com

Ultraman Betulan

Page 4: SELASAR Edisi 07

Sejak 40 hari GUSDUR, sejumlah pemuda di Samarinda sudah berancang-ancang ingin membuat

sebuah gerakan. Namun baru 27 April 2013, GUSDURian Kalimantan Timur dikukuhkan.

Khas GUSDURian, elemen komunitas GUSDURian Kalimantan ini tak tunggal. Di hari pendiriannya, 14 orang hadir dengan latar belakang yang berbeda-beda. Di antaranya, dari PMII Metro Kutai Kartanegara, Komisi Kepemudaan Katolik, Nala Dwipa, dan lainnya.

Meski usianya belum lama, kegiatan GUSDURian Kalimantan Timur terus bergulir. Mulai dari diskusi, bakti sosial, bedah film, dan juga mengadakan Kelas Pemikiran Gus Dur secara mandiri. Kelas ini berlangsung di Pesantren Al-Ittihad Samarinda dan dilanjutkan di Gereja St. Lukas Samarinda dengan pembicara Ahmad Baso beberapa waktu lalu.

Seperti tulisan Merah Johansyah di edisi lalu, isu besar GUSDURian Kaltim adalah melawan perusakan lingkungan akibat eksplorasi sumber daya alam. Terlebih, persoalan ini menciptakan konflik di antara masyarakat, ketimpangan ekonomi, dan ketidakadilan sosial.

GUSDURianNegeri Kutai

Foru

m

di Komunitas ini bergabung dalam Gerakan Samarinda Menggugat, bersama sejumlah organisasi lain melawan kegiatan tambang yang merugikan masyarakat. Melalui jaringan ini, gerakan antiperusakan lingkungan akibat tambang menjadi lebih masif dan saling terhubung.

“Saya melihat sosok Gus Dur dalam cara pandang terhadap lingkungan sangat tepat untuk dijadikan pedoman. Dan kami meneruskannya,” tandas Kasmani, salah seorang penggiat. (red)

e-newsletter SELASAR /edisi 7/2013 4

Jogja | 27 September| Forum Jumat Terakhir | lokasi dalam konfirmasi | Gratis & Umum | CP 082141232345

Jakarta | 4 Oktober | Forum Jumat Pertama | Aula Wahid Institute | Gratis & Umum | CP 082141232345

gendaA

Page 5: SELASAR Edisi 07

5

Pergulatan

Saat menjadi Presiden, Gus Dur pernah bercerita kepada Menteri Pertahanan Mahfud MD tentang

orang Madura yang katanya banyak akal dan cerdik.

Ceritanya ada seorang tukang becak asal Madura yang pernah dipergoki oleh polisi ketika melanggar rambu “Becak dilarang masuk”. Tukang becak itu masuk ke jalan yang ada rambu gambar becak disilang dengan garis hitam yang berarti jalan itu tidak boleh dimasuki becak. Karu-an saja tulang becak itu dihampiri polisi.

“Apa kamu tidak melihat gambar itu? Itu kan gambar becak tak boleh masuk jalan ini,” bentak Pak polisi.

“Oh saya melihat pak, tapi itu kan gambarnya becak kosong tidak ada pengemudinya. Becak saya kan ada yang mengemudi, tidak kosong berarti boleh masuk,” jawab si tukang becak.

“Bodoh, apa kamu tidak bisa baca? Di bawah gambar itukan ada tulisan bahwa becak dilarang masuk,” bentak Pak polisi lagi.

“Tidak pak, saya tidak bisa baca, kalau saya bisa membaca maka saya jadi polisi seperti sampeyan, bukan jadi tukang becak begini,” jawab si tukang becak sam-bil cengengesan. Polisi itu pun akhirnya ngeloyor meninggalkan tukang becak itu begitu saja.

BecakMati Ketawa

MasukDilarangSaya selalu tidak habis pikir dengan

semua konflik yang terjadi. Apakah benar sebuah konflik terjadi karena

berawal dari perbenturan prinsip yang mendasar?. Entah mengapa saya selalu berpikir negatif bahwa konflik tersebut hanya berkaitan kuasa dan kepentingan belaka. Saya berharap bahwa pikiran saya benar-benar salah.

Sebandingkah pengorbanan dan harga yang harus dibayar bila memang konflik itu tidak bisa dihindari?. Satu konflik belum selesai di atasi, sudah muncul konflik lainnya? Berapa banyaknya prinsip dasar dalam hidup kita yang harus di’benarkan’ melalui pertumpahan darah?.

Gus Dur mengatakan, ‘bila terjadi ketegangan antara agama dan kebudayaan, maka carilah jalan tengahnya’. Ketegangan yang selalu terjadi tidak perlu ditangisi dan disesali, karena itu justru memungkinkan kita untuk selalu berusaha menjembataninya.

Lantas siapakah yang berperan sebagai pihak yang menjembatani pihak-pihak yang berkonflik?. Daripada kita disibukkan dengan upaya memadamkan konflik, kenapa tidak kita melakukan tindakan pencegah terjadinya konflik?.

Saat ini yang dibutuhkan bukan sekedar relawan di lapangan, tapi juga laskar-laskar perdamaian yang terus mengkampanyekan nilai-nilai persaudaraan dan kemanusiaan. Laskar-laskar yang terus menyuarakan nilai-nilai keadilan dan kesetaraan. kita butuh laskar yang menentramkan hati.

Ada sebuah pertanyaan yang perlu dijawab oleh masing-masing diri kita, apakah kita mau berperan sebagai laskar perdamaian itu?. (*)

Page 6: SELASAR Edisi 07

Gus Dur Bertutur

yang sama sekali baru dalam menilai dan memahami tokoh KH. A. Mutamakkin yang wafat pada abad ke 18 Masehi dan dimakamkan di desa Kajen, Margoyoso, Pati,

Jawa Tengah. Diantara keturunannya yang masih aktif dalam kehidupan masyarakat

adalah Rois ‘Am NU (Nahdlatul Ulama), KH. A. M. Sahal Mahfudz dan diri penulis sendiri.

Salah satu sesepuh keluarga dan keturunan beliau, dengan pengaruh

sangat besar semasa hidupnya adalah KH. Abdullah Salam yang meninggal dunia tahun lalu (2001) dan dimakamkan di desa tersebut. Sebagai penghafal al-Qur’an beliau memimpin sebuah pesantren di desa tersebut dan mengembangkan asketisme yang sangat mengagumkan, dalam bahasa pesantren dikenal dengan istilah akhlakul karimah.

Dalam menilik riwayat KH. A. Mutamakin itu penulis juga menggunakan Serat Cebolek yang diterbitkan Keraton Amangkurat IV dan Pakubuwono II di Surakarta, yang dibahas oleh disertasi Dr. Soebardi ; juga ceritera ketoprak dan ceritera-ceritera lain, di samping berbagai tulisan kaum pesantren tentang beliau dan terutama tulisan-tulisan beliau sendiri. Yang tidak sempat penulis gunakan, adalah tulisan Dr. Kuntowidjoyo dari Universitas Gadjah Mada (UGM) tentang KH. Rifa’i, Batang, yang menggunakan referensi Serat Cebolek dan sebuah buku tentang beliau yang diterbitkan oleh LKiS, di Yogyakarta, tulisan Dr. Abdul Djamil, Rektor IAIN Walisongo di Semarang.

Pada pertengahan bulan Mei 2002, penulis menyampaikan penilaiannya atas diri KH. A. Mutamakkin dalam

sebuah seminar yang berlangsung di IAIN (UIN,red) Syarif Hidayatullah, Ciputat. Pendapat itu dikemukakan dalam seminar untuk menyambut terbitnya sebuah buku tentang diri beliau, yang memang benar-benar merupakan karya berbobot ilmiah dan melihat peranan beliau dari berbagai sudut pandang. Baik dari aspek epistemologis, kesejarahan maupun aspek sosiologis. Karya tersebut memerlukan sebuah penanganan serius yang harus diteruskan oleh para peneliti lainnya.

Dalam seminar itu, penulis mengemukakan sebuah sudut pandang

Oleh: Abdurrahman WahidIslam:Apakah Bentuk

e-newsletter SELASAR /edisi 7/2013 6

Perlawanannya?

Page 7: SELASAR Edisi 07

7

Penulis berpendapat, KH. A. Mutamakin telah memelopori sebuah pendekatan baru dalam hubungan antara Islam dan kekuasaan negara pada abad ke 18 Masehi. Ini memerlukan penelitian mendalam, agar kita menemukan strategi perjuangan Islam yang tepat di negeri ini.

Perjuangan umat Islam dalam abad ke 18 Masehi itu, pada intinya ada yang berupa sikap pro/menunjang pemerintah, dan sikap menentangnya. Kaum syari’ah/ fiqh (hukum Islam) padaumumnyabersikap mendukung kekuasaan, mungkin atas dasar adagium yang terkenal: “Enam puluh tahun dalam pemerintahan penguasa yang bobrok, masih lebih baik daripada anarki semalam (sittuna sanatan min imâmin fâjirin ashlahu minlailatin bila sulthan).”

Sikap ini merupakan sebuah kenyataan tidak adanya kontrol atas jalannya pemerintahan, semuanya tergantung pada kehendak sang penguasa. Para pelanggar hukum, termasuk pelanggar fiqh/hukum Islam terkena sanksi atau tidak secara legal seluruhnya tergantung sang penguasa. Kaum fiqh itu menetapkan KH. A. Mutamakin telah melanggar syari’ah karena memasang lukisan binatang secara utuh, dan sering menonton wayang dengan lakon Bima Suci/Dewa Ruci. Oleh sebab itu ia harus dihukum. Tetapi hukuman itu terserah pada sultan sebagai penguasa.

Sebaliknya, para pemimpin tarekat dan tassawuf bersikap menentang penguasa. Perbedaan sikap ini menjadi pemicu pemberontakan di beberapa tempat dalam abad tersebut. Dalam pandangan kaum tarekat, penguasa dianggap menyimpang dari kebenaran formal agama, karena itu haruslah dilawan secara terbuka. Sikap ini, sebenarnya sama-sama bersifat politis, bila dibandingkan dengan sikap KH. A. Mutamakkin di atas. Hanya saja, jika yang satu menentang maka yang lain mendukung. Sikap politis inilah yang membuat penguasa waktu itu banyak menghukum mati dan menyiksa para pemimpin gerakan tarekat. Cerita ulama yang mati dibakar atas perintah sultan adalah sesuatu yang memilukan di waktu itu.

Gus Dur menjadi orang besar salah satu alasannya adalah karena dia

menafkahkan hidupnya untuk melayani orang lain.

Hal tersebut menjadi simpulan ungkapan Gus Yahya Cholil Tsaquf dalam kegiatan halal bi halal komunitas Terong Gosong dan GUSDURian yang diselenggarakan di YPI El Farab, Singkalanyar, Prambon, Nganjuk (31/8).

Koordinator Nasional GUSDURian berhalangan hadir dalam kegiatan tersebut, posisinya diwakili oleh Aan Anshory aktivis GUSDURian Jombang. Hadir dalam kegiatan yang bertajuk “Perjuangan Gus Dur untuk NKRI, sejumlah tokoh agama dan masyrakat, Ketua Yayasan YPI El Faraby, Drs. KH. Ma’lum Yunus, SH, MM dan 80 aktivis se Kabupaten Nganjuk.

Selain di Nganjuk, kegiatan syawalan juga digelar oleh Sekretariat Nasional Jaringan GUSDURian di Wisma GUSDURian sehari sebelumnya yang dihadiri ratusan aktivis dan masyarakat sekitar. (*)

KongkowKongkow

NG

AN

JUK

Syawalan BersamaTerong Gosong

Page 8: SELASAR Edisi 07

Kong

kow

e-newsletter SELASAR /edisi 7/2013 8

HUT RI Lintas Iman

Setelah Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan, semua suku, agama, keraton, dan ras yang ada di nusantara menyatakan bergabung dengan NKRI. Perbedaan melebur menjadi

satu dalam bingkai Indonesia. Semangat toleransi semacam itu harus tetap dikembangkan dalam konteks kekinian.

Hal tersebut menjadi simpulan pembicaraan Koordinator Nasional GUSDURian, Alissa Wahid saat menjadi pembicara dalam HUT RI Lintas Iman se-Kabupaten Temanggung yang digelar Majelis Jemaat GKI Temanggung dan GUSDURian, Selasa (27/8) lalu.

Hadir dalam kegiatan tersebut, Bupati Temanggung, Bambang Sukarno, Wakil Bupati Irawan Prasetyadi, Dandim 0706/Temanggung, Letkol Inf Ganardyto Herry, Wakapolres Kompol Suwanto, para tokoh agama dan tokoh masyarakat di Kabupaten Temanggung.

Pendeta Darmanto Lemuel sebagai tandem Alissa dalam dialog tersebut menambahkan, kegiatan tersebut menjadi titik awal untuk mempertegas pengejawantahan kebhinekaan di daerah penghasil tembakau ini. (*)TE

MA

NG

GU

NG

GUSDURian Harus Pintar Menulis

Menulis merupakan hal yang terlihat sederhana, namun akan bermakna penting untuk menunjang gerakan. Untuk itu, anggota GUSDURian harus pandai menulis, terutama untuk

menunjang gerakan dan pembentukan opini.Hal tersebut disampaikan Aan Anshori, Koordinator GUSDURian Jombang, saat pelatihan

Jurnalistik yang digelar di Aula Lakpesdam NU Jombang (18/7). “Komitmen GUSDURian melakukan capacity building bagi anggotanya harus terus dilakukan,” tegasnya.

Kegiatan ini berlangsung selama satu setengah bulan yang dihelat setiap hari Minggu. Proses selanjutnya, anggota dilatih untuk turun ke lapangan difasilitasi wartawan Koran Sindo, Tritus Julan. “Event ini merupkan bagian transformasi dari tradisi oral menjadi tradisi tulis. Perjuangan harus diabadikan melalui tulisan,” tegas Aan. (*)

JOM

BAN

G