sekolah tinggi agama hindu dharma nusantara...

97
SEKOLAH TINGGI AGAMA HINDU DHARMA NUSANTARA JAKARTA UPACARA SIMANTONAYANA DALAM UPAYA MELAHIRKAN ANAK SUPUTRA MENURUT AGAMA HINDU (STUDI ANALISIS UPACARA SIMANTONAYANA PADA MASYARAKAT ADAT BALI) DI PURA ADITYA JAYA RAWAMANGUN JAKARTA TIMUR SKRIPSI NI NYOMAN SUGI WIDIASTITHI 0809.00.0801 2009.02.0125 JURUSAN KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN AGAMA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA HINDU JAKARTA JULI 2012

Upload: duongdan

Post on 03-Mar-2019

268 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

SEKOLAH TINGGI AGAMA HINDU DHARMA NUSANTARA

JAKARTA

UPACARA SIMANTONAYANA DALAM UPAYA MELAHIRKAN ANAK SUPUTRA MENURUT AGAMA

HINDU (STUDI ANALISIS UPACARA SIMANTONAYANA PADA MASYARAKAT ADAT BALI) DI PURA ADITYA JAYA

RAWAMANGUN JAKARTA TIMUR

SKRIPSI

NI NYOMAN SUGI WIDIASTITHI

0809.00.0801

2009.02.0125

JURUSAN KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN AGAMA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA HINDU

JAKARTA

JULI 2012

i

SEKOLAH TINGGI AGAMA HINDU DHARMA NUSANTARA

JAKARTA

UPACARA SIMANTONAYANA DALAM UPAYA MELAHIRKAN ANAK SUPUTRA MENURUT AGAMA

HINDU (STUDI ANALISIS UPACARA SIMANTONAYANA PADA MASYARAKAT ADAT BALI) DI PURA ADITYA JAYA

RAWAMANGUN JAKARTA TIMUR

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Pendidikan Agama Hindu

NI NYOMAN SUGI WIDIASTITHI

0809.00.0801

2009.02.0125

JURUSAN KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN AGAMA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA HINDU

JAKARTA

JULI 2012

ii

HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING

Skripsi ini telah dikoreksi dan disetujui oleh :

Pembimbing I Pembimbing II

(Ni Nyoman Sudiani, SE., S.Pd.H., M.Fil.H) (Dr. Lila Murti, Sp.A., S.Ag)

iii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI

Skripsi ini diajukan oleh : Nama : Ni Nyoman Sugi Widiastithi NIM : 0809.00.0801 NIDA : 2009.02.0125 Program Studi : Pendidikan Agama Hindu Judul Skripsi : “Upacara Simantonayana dalam Upaya Melahirkan

Anak Suputra Menurut Agama Hindu (Studi Analisis Upacara Simantonayana pada Masyarakat Adat Bali) di Pura Adiya Jaya Rawamangun Jakarta Timur”

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Tim Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Agama Hindu pada Program Studi PendidikanAgama Hindu, Jurusan Keguruan dan Ilmu Pendidikan Agama Sekolah Tinggi Agama Hindu Dhrma Nusantara Jakarta.

TIM PENGUJI

Ketua Penguji : Prof. Dr. I Ketut Oka Setiawan, SH., Sp.N., MH (…………….) Anggota : Tiwi Susanti, S.Ag. M.MP.d (…………….) Anggota : Ni Nyoman Sudiani, SE., S.Pd.H., M.Fil.H (…...………..) Anggota : Dr. Lila Murti, Sp.A., S.Ag (…………….) Ditetapkan di : Jakarta Tanggal : 15 Juli 2012

iv

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar

Nama : Ni Nyoman Sugi Widiastithi

NIM : 0809.00.0801

NIDA : 2009.02.0125

Tanda Tangan :

Tanggal : 15 Juli 2012

v

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI TUGAS AKHIR

UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara

Jakarta, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Ni Nyoman Sugi Widiastithi NIM : 0809.00.0801 NIDA : 2009.02.0125 Program Studi : Pendidikan Agama Hindu Jurusan : Keguruan dan Ilmu Pendidikan Agama Sekolah Tinggi

Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta Jenis Karya : Skripsi demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada

Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta Hak Bebas Royaliti

Nonekslusif (Non-exclusive Royalty- Free Right) atas karya ilmiah saya yang

berjudul :

“Upacara Simantonayana dalam Upaya Melahirkan Anak Suputra Menurut Agama Hindu (Studi Analisis Upacara Simantonayana pada Masyarakat Adat Bali) di Pura Adiya Jaya Rawamangun Jakarta Timur” beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royaliti Nonekslusif ini Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta berhak menyimpan, mengalih media/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencatumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Jakarta Pada Tanggal : 15 Juli 2012

Yang menyatakan,

(Ni Nyoman Sugi Widiastithi)

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas

berkat dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan bskripsi ini. Penulisan skripsi

ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Pendidikan Agama Hindu pada Jurusan Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Agama Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta. Saya menyadari

bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan

sampai pada penyusunan skripsi ini, sangatlah sulit bagi saya untuk

menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih

kepada :

(1) Prof. Dr. IB Yudha Triguna, MS. Dirjen Pendidikan Agama Hindu atas

bantuan sarana dan prasarana Pendidikan Agama Hindu di STAH Dharma

Nusantara Jakarta.

(2) Ir. Made Sudarta, MBA. Ketua Yayasan Dharma Nusantara Jakarta, yang

telah menyediakan fasilitas Pendidikan STAH Dharma Nusantara Jakarta.

(3) Prof. DR. Ir. I Made Kartika Diputra Dipl-ing selaku Ketua Sekolah Tinggi

Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta.

(4) Ni Nyoman Sudiani, SE., S.Pd.H., M.Fil.H sebagai pembimbing I yang telah

meluangkan waktunya dan dengan penuh kesabaran serta ketulusan hati

untuk membimbing penulis dari awal sampai penyusunan skripsi selesai.

(5) Dr. Lila Murti, Sp.A., S.Ag sebagai pembimbing II yang telah memberikan

semangat dan saran-saran demi terselesaikannya skripsi ini.

(6) Drs. Anak Agung Raka Mas, selaku kepala perpustakaan STAH Dharma

Nusantara Jakarta yang telah mengadakan pengadaan buku secara baik.

(7) Dosen dan seluruh Staf Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara

Jakarta yang telah memberikan dorongan baik moral maupun spiritual

kepada penulis sehingga tersusunnya skripsi ini sebagai tugas akhir dalam

perkuliahan.

(8) Untuk kedua orang tua tercinta Drs.I Wayan Budha,M.Pd, dan Dra.Anak

Agung Oka Puspa,M.Fil.H, yang selalu memberikan doa, dukungan, dan

kasih sayang baik secara moral dan materil kepada saya.

vii

(9) Untuk kakakku tersayang I Putu Adi Suryawan, adikku tersayang Ni Ketut

Gita Saraswati dan Bhisma Adinatha, yang telah memberikan semangat dan

canda tawa selama ini.

(10) Untuk teman terdekat saya Yani, Iin, Dian dan Beta terimakasih telah

memberikan semangat dan dukungan untuk Widi. Semoga kita bisa menjadi

sahabat hingga waktu yang tak terbatas. “Don’t Forget Me”.

(11) Untuk seluruh sahabat angkatan X Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma

Nusantara Jakarta terimakasih mau berbagi informasi selama 4 tahun ini.

(12) Untuk adik-adik kelas terimakasih untuk doa dan semangatnya, semoga

adik-adik bisa menjadi lebih baik lagi dari kami. Satu semboyan yang saya

titipkan untuk adik-adik “If you try, you fail, and then you try again…it

doesn’t matter, cause the real failure is when you stop trying…”

Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala

kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini membawa

manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

Jakarta, 14 Juli 2012

Penulis

viii

ABSTRAK

Nama : Ni Nyoman Sugi Widiastithi Program Studi : Pendidikan Agama Hindu Judul : Upacara Simantonayana dalam Upaya Melahirkan Anak

Suputra Menurut Agama Hindu (Studi Analisis Upacara Simantonayana pada Masyarakat Adat Bali) di Pura Aditya Jaya Rawamangun Jakarta Timur

Dalam ajaran Agama Hindu dari sejak terjadinya atau sejak diketahuinya

terjadi pembuahan, diadakan beberapa upacara sesuai dengan perkembangan jabang bayi yang ada dalam kandungan sang ibu. Banyak umat Hindu yang melaksanakan Upacara Simantonayana atau yang lebih dikenal dengan upacara magedong-gedongan pada masyarakat adat Bali namun, kurang diimbangi dengan pemahaman secara mendalam terkait dengan pelaksanaan upacara tersebut khususnya di Pura Aditya Jaya Rawamangun.

Dari latar belakang tersebut penulis tertarik melakukan penelitian dengan mengambil judul skripsi “Upacara Simantonayana dalam Upaya Melahirkan Anak Suputra Menurut Agama Hindu (Studi Analisis Upacara Simantonayana pada Masyarakat Adat Bali) di Pura Aditya Jaya Rawamangun Jakarta Timur”.

Penelitian ini bertujuan untuk menggali makna dan hubungan pelaksanaan upacara simantonayana. Jenis penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif, dengan menggunakan logika berpikir perpaduan induktif-deduktif, dan argumentatif, sehingga menggunakan data primer sebagai data utama dan data sekunder sebagai data pendukung.

Dari penelitian beberapa sumber pustaka dan hasil wawancara makna yang terkandung dalam upacara simantonayana atau yang lebih dikenal dengan upacara magedong-gedongan dalam Agama Hindu pada masyarakat adat Bali, ialah agar sang bayi yang berada di dalam kandungan mendapatkan perlindungan dan keselamatan serta pemeliharaan yang baik sehingga sangat jelas adanya hubungan dalam pelaksanaan upacara dalam upaya melahirkan anak yang suputra yakni anak yang berguna di keluarga maupun masyarakat.

ix

ABSTRACT

Name : Ni Nyoman Sugi Widiastithi Study Program : Hindu Religious Education Tittle : Ceremony of Childbirth Children Simantonayana Efforts

Suputra According to Hindu Religion (Studies on the Analysis of Indigenous Ceremony Simantonayana Bali) Aditya Jaya Pura Rawamangun in East Jakarta

In the teachings of Hinduism known from the onset, or since conception,

held a ceremony in accordance with the development of newborn babies in the womb of the mother. Many Hindus who carry out the ceremony Simantonayana or better known as the ceremony magedong-Gedongan on indigenous Balinese however, offset by the lack of depth of understanding related to the implementation of the ceremony, especially in Aditya Jaya Pura Rawamangun.

From this background the authors are interested in doing thesis research by taking the title of "Ceremony of Childbirth Children Simantonayana Efforts Suputra According to Hindu Religion (Studies on the Analysis of Indigenous Ceremony Simantonayana Bali) Aditya Jaya Pura Rawamangun in East Jakarta".

This study aimed to explore the meaning and implementation of the ceremony simantonayana. This type of research is a qualitative study. This qualitative descriptive study, using a combination of inductive logic, deductive thinking, and argumentative, so using the primary data as the primary data and secondary data as supporting data.

From several sources of literature research and interviews of meaning contained in the ceremony simantonayana or better known as magedong-Gedongan ceremony in Hindu Religion in Bali indigenous peoples, is that the baby inside the womb to get the protection and safety and good maintenance so it is clearly the relationship in the ceremony in an effort to give birth to children who suputra useful in the child's family and the community.

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ....................................................................... i

HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING .................... ........ ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ...................................... iii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ................... ....... iv

HALAMAN PERNYATAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

KARYA ILMIAH…….. ................................................................. v

KTA PENGANTAR ........................................................................ vi

ABSTRAK ...................................................................................... viii

ABSTRACT .................................................................................... ix

DAFTAR ISI ................................................................................... x

DAFTAR TABEL………………………………………………… xiii

BAB 1 PENDAHULUAN……………………………………….. . 1

1.1 Latar Belakang Masalah ........................................................... 1

1.2 Fokus Penelitian ....................................................................... 4

1.3 Tujuan Penelitian ..................................................................... 5

1.4 Manfaat Penelitian .................................................................. 5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN METODELOGI

PENELITIAN……………………………………………………. . 7

2.1 Tinjauan Pustaka ..................................................................... 7

2.2 Landasan Konseptual .............................................................. 9

2.2.1 Pengertian Upacara Simantonayana……………………….. ... 9

2.2.2 Pengertian Anak Suputra…………………………………….. 10

2.3 Acuan Teoritika Fokus Penelitian ........................................... 13

2.3.1 Teori Religi…………………………………………………. . 13

2.3.2 Teori Perkembangan Anak…………………………………... 14

2.3.3 Kajian Hasil Penelitian Yang Relevan……………………. .... 17

2.4 Metodelogi Penelitian .............................................................. 18

2.4.1 Latar Penelitian…………………………………………….. .. 19

2.4.2 Pendekatan Metode……………………………………….... .. 28

xi

2.4.3 Data Dan Sumber Data…………………………………….. .. 28

2.4.4 Prosedur Pengumpulan Dan Perekaman Data…………….. ... 31

2.4.5 Analisis Data………………………………………………… 32

2.4.6 Pemeriksaan Dan Pengecekan Keabsahan Data…………... ... 34

BAB 3 DATA PENELITIAN…………………………………… . 36

3.1 Data Penelitian Berdasarkan Hasil Wawancara ....................... 36

3.1.1 Catatan Pertanyaan Pertama…………………………….. ....... 36

3.1.2 Catatan pertanyaan Kedua………………………………........ 38

3.1.3 Catatan Pertanyaan Ketiga ....................................................... 38

3.1.4 Catatan Pertanyaan Keempat ................................................... 39

3.1.5 Catatan Pertanyaan Kelima ...................................................... 39

3.1.6 Catatan Pertanyaan Keenam .................................................... 40

3.1.7 Catatan Pertanyan Keujuh ........................................................ 40

3.2 Data Penelitian Bedasarkan Hasil Observasi………………. .. 41

3.2.1 Catatan Pertanyaan Kedelapan ................................................. 41

3.2.2 Catatan Pertanyaan Kesembilan ............................................... 42

3.2.3 Catatan Pertanyaan Kesepuluh ................................................. 42

BAB 4 PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN………………. .. 43

4.1 Makna Upacara Simantonayana (Magedong-gedongan)......... 43

4.1.1 Upacara Simantonayana (Magedong-gedong) merupakan

Upacara Manusa Yajna ............................................................ 43

4.1.2 Jenis Upacara dan Makna Upacara Simantonayana

(Magedong-gedongan) ............................................................. 48

4.1.3 Pelaksanaan dan Makna Upacara Simantonayana

(Mgedong-gedongan) ............................................................... 54

4.2 Hubungan Antara Upacara Simantonayana Dalam Upaya

Melahirkan Anak Suputra ....................................................... 61

BAB V PENUTUP……………………………………………….. . 73

5.1 Kesimpulan ............................................................................. 73

xii

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Organisasi Pengemmpon Pura Aditya Jaya Rawamangun…… 20

Tabel 2.2 Tempek Jakarta Timur………………………………………… 20

Tabel 2.3 Sekretariat Bersama…………………………………………… 21

1

Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Keluarga merupakan lembaga pendidikan, di samping sekolah dan

masyarakat. Bahkan dapat dikatakan bahwa keluarga merupakan lembaga

pendidikan yang pertama dan utama bagi anak-anak, sebab dalam

keluargalah untuk pertama kalinya anak-anak memperoleh pendidikan dari

orang tuanya. Sejak prenatal sampai lahir, dan seterusnya sampai dewasa,

keluarga atau rumah tangga merupakan tempat pendidikan bagi anak-anak,

mulai dari belajar bercakap-cakap, mengenal nama anggota badan, anggota

keluarga, rumah tangga dengan isinya, penanaman dasar disiplin tentang

makan, mandi, tidur, bangun dan sebagainya diperoleh dari pendidikan

keluarga.

Keluarga menurut Hindu disebut dengan Grahasta dan dimulai dengan

adanya wiwaha atau perkawinan yang kemudian dari perkawinan tersebut

menjadikan mereka (pria-wanita) sebagai sepasang suami istri. Tujuan

utama dari suatu perkawinan ialah untuk memperoleh sentana (anak atau

keturunan). Seorang anak diharapkan dapat menjadi penyelamat orang tua

yang telah meninggal dari penderitaan atau neraka. Itulah sebabnya setiap

keluarga mendambakan hadirnya seorang anak sebagai penerus atau pelanjut

keturunannya yang sekaligus juga sebagai tempat berlindung bagi dirinya.

Bagi sebuah keluarga, untuk menciptakan anak yang memiliki kualitas

suputra, sangat bergantung dari upaya-upaya yang harus ditempuh oleh para

orang tua dalam melaksanakan pembinaan terhadap anak-anaknya tersebut.

Faktor keluarga sangat menentukan. Orang tua (suami atau istri) atau ayah

dan ibu adalah dominan dalam pendidikan keluarga, sekaligus menjadi kunci

utama dalam membentuk pribadi dan watak anak-anaknya yang berstatus

sebagai penerima ilmu.

Pendidikan dalam keluarga harus ditangani dan diperhatikan oleh

orang tua dengan sungguh-sungguh. Dasar komunikasinya adalah cinta dan

kasih sayang. Hendaknya pendidikan itu harus dimulai sejak bayi dalam

2

Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta

kandungan ibunya. Antara suami dan istri harus selalu berusaha

menciptakan dan menjaga suasana keluarga tenang, tentram dan damai.

Kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh orang tua, terlebih lagi seorang

ibu akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak, pembinaan

pribadi, dan watak anak tersebut nantinya setelah lahir (Awanita, 2008:1-

12).

Pembentukan watak ini, menurut agama Hindu, bukan dilakukan pada

saat anak lahir, tetapi pendidikan itu diberikan jauh sebelum anak itu lahir,

yang dapat diistilahkan Prenatal Education (pendidikan sebelum lahir)

(Sudartha, 2006:2).

Ada pertanyaan-pertanyaan, bagaimana mungkin memberikan

pendidikan kepada anak yang belum lahir? Memang tidak mungkin. Apalagi

kalau memberikannya secara langsung. Pendidikan anak dapat diberikan

dengan cara tidak langsung, yaitu mengatur kehidupan dan pikiran-pikiran

orang tuanya, dimana melalui perasaan sang ibu akan berpengaruh pada

watak si jabang bayi. Prenatal Education secara terperinci dapat diartikan

sebagai tahap mendidik disiplin ayah dan ibu serta orang-orang disekitarnya

semenjak bayi di dalam kandungan. Misalnya, sang ibu harus dididik soal

kesehatan badan jika sudah mulai menggandung. Semakin tua

kandungannya semakin hati-hati menjaga kesehatan dan perasaan serta

pikiran sang calon ibu. Keadaan akan mempengaruhi keadaan si jabang bayi

yang sedang dikandungnnya. Sang calon ayah hendaknya selalu menjaga

diri dalam berkata-kata dan bertingkah laku sehingga tidak memberikan

kesan negatif kepada istrinya yang secara tidak langsung berkesan negatif

pula pada calon bayi. Selain itu, selama hamil hendaknya sang ibu diberikan

ajaran-ajaran agama dengan menekankan pada ajaran tata susila.

Dalam ajaran Agama Hindu dari sejak terjadinya atau sejak

diketahuinya terjadi pembuahan, diadakan beberapa upacara sesuai dengan

perkembangan jabang bayi yang ada dalam kandungan sang ibu. Tujuannya

tidak lain dari mendoakan kesehatan, keselamatan, perkembangan

intelektual dan rasa bagi si bayi yang positif, untuk nanti setelah menjadi

manusia, sebagai dasar yang positif dalam menerima segala pendidikan di

3

Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta

luar kandungan. Apakah itu pendidikan dalam sekolah atau luar sekolah,

apakah pendidikan yang formal maupun yang informal dan seterusnya

(Sudartha, 2006:3).

Berdasarkan keterangan tersebut diatas maka pendidikan, utamanya

pendidikan moral dan budhi pekerti sangat penting ditanamkan bagi seorang

anak. Demikianlah idealnya, setiap keluarga mendambakan anak idaman,

berbudhi pekerti luhur, cerdas, tampan, sehat jasmani dan rohani, dan

senantiasa memerikan kebahagiaan kepada orang tua dan masyarakat

lingkungannya. Sebaliknya tidak semua orang beruntung mempunyai anak

yang “suputra”.

Anak memberikan kedamaian kepada orang tua, karena anak dapat

mengambil segala tanggung jawab yang diwariskan oleh orang tuanya. Anak

yang baik adalah penolong utama dan pertama bagi orang tuanya, demikian

pula seorang Istri. Istri merupakan belahan jiwa dari seorang suami. Ia

memberi kesejukan kepada suami dalam keadaan yang menyedihkan.

Pergaulan dengan orang-orang suci akan membawa banyak manfaat.

Mengapa? Karena orang-orang suci memancarkan berbagai kitab suci dan

susastra Hindu agar orang senantiasa bergaul dengan orang-orang suci,

orang bijaksana dan mereka yang integritasnya tidak diragukan (Titib,

2003:32).

Demikianlah dapat dinyatakan bahwa ajaran suci Veda dan susastra

Hindu lainnya memandang anak atau putra sebagai pusat perhatian dan

kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan. Dalam hal ini, umat Hindu

meyakini, bahwa karakter seorang anak sangat ditentukan oleh kedua orang

tuanya, lingkungannya dan upacara-upacara yang berkaitan dengan proses

kelahiran seorang anak. Ketika seorang anak lahir, maka karakter seseorang

dapat di lihat pada hari kelahiranya yang disebut Dasavara (hari yang

kesepuluh), yaitu :”Pandita, Patih, Sukha, Dukha, Sri, Manu, Manusa, Raja,

Deva, dan Raksasa”. Demikian pula pemberian nama kepada seorang anak,

dikaitkan pula dengan karakter anak sesuai hari Dasavara-nya tersebut

(Titib, 2003:34).

4

Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta

Dengan demikian unsur putra-putri itu sangat penting artinya. Tidaklah

mengherankan kalau umat Hindu menaruh perhatian yang besar dalam

pembinaan putra-putrinya dari sejak masih dalam kandungan, dalam bentuk

upacara. Upacara simantonayana atau yang lebih dikenal dengan upacara

magedong-gedongan pada masyarakat adat Bali dalam Surayin (2002:3)

mengatakan upacara ini ditujukan kepada si cabang bayi yang sedang ada di

dalam kandungan dan merupakan upacara yang pertama setelah kehamilan

berumur 5-7 bulan. Karena, pada saat ini sudah dianggap ada hubungan

badaniah dan kejiwaan antara ibu dengan bayinya di kandungan (Sudartha,

2006:10-11). Menurut pengamatan penulis, masih banyak umat Hindu yang

melaksanakan Upacara Simantonayana atau yang lebih dikenal dengan

upacara magedong-gedongan pada masyarakat adat Bali namun, kurang

diimbangi dengan pemahaman secara mendalam terkait dengan pelaksanaan

upacara tersebut khususnya di Pura Aditya Jaya Rawamangun.

Dari latar belakang tersebut penulis tertarik melakukan penelitian

dengan mengambil judul skripsi “Upacara Simantonayana dalam Upaya

Melahirkan Anak Suputra Menurut Agama Hindu (Studi Analisis Upacara

Simantonayana pada Masyarakat Adat Bali) di Pura Aditya Jaya

Rawamangun Jakarta Timur”.

1.2 Fokus Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat di tentukan

fokus penelitian dengan tujuan agar penelitian ini sesuai dengan judul dan

hasil yang akan dicapai dapat maksimal, yakni antara lain :

1) Apakah makna upacara simantonayana atau yang lebih dikenal dengan

upacara magedong-gedongan pada masyarakat adat Bali dalam upaya

melahirkan anak suputra?

2) Apakah ada hubungan antara upacara simantonayana atau yang lebih

dikenal dengan upacara magedong-gedongan pada masyarakat adat Bali

dalam upaya melahirkan anak suputra?

5

Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini yang terkait dengan

permasalahan adalah :

1) Untuk mengetahui makna upacara simantonayana atau yang lebih

dikenal dengan upacara magedong-gedongan pada masyarakat adat Bali

dalam upaya melahirkan anak suputra.

2) Untuk mengetahui hubungan antara upacara simantonayana atau yang

lebih dikenal dengan upacara magedong-gedongan pada masyarakat adat

Bali dalam upaya melahirkan anak suputra.

1.4 Manfaat Penelitian

Berdasarkan fenomena tentang upakara dalam upacara yajna ini

banyak umat yang belum mengetahui akan tattwa dari upakara ini, maka

dengan hadirnya penelitian ini diharapkan sangat bermanfaat bagi pembaca,

walaupun penelitian ini jauh dari sempurna. Ada dua hal mengenai manfaat

penelitian ini antara lain :

1) Manfaat Praktis

Melalui pelaksanaan upacara simantonayana atau yang lebih dikenal

dengan upacara magedong-gedongan pada masyarakat adat Bali ini,

memberikan tuntunan untuk hidup berdasarkan pada pedoman susastra

suci Hindu. Tuntunan tersebut diberikan melalui pelaksanaan upacara

manusa yajna yang didalamnya berisikan tahap-tahap pelaksaaan

upacara dari manusia tersebut mulai terbentuk dalam kandungan sampai

pada kelahirannya, dan diteruskan dalam perjalanan hidupnya, sampai

pada waktu kembali lagi ke alam niskala. Untuk itu penelitian ini

diharapkan mampu memberikan suatu gambaran baru bagi masyarakat

Hindu dalam memaknai dan mengimplementasikan pelaksanaan suatu

upacara.

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan motivasi kepada umat

Hindu untuk lebih mengembangkannya dalam penelitian-penelitian

selanjutnya.

6

Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta

2) Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapakan bermanfaat bagi perkembangan

pengetahuan tentang Agama Hindu, serta dapat memberikan pemahaman

yang lebih jelas untuk menjawab pertanyaan atau kesenjangan yang ada

di lapangan dalam menginterpretasikan ajaran-ajaran Agama Hindu.

Dalam hal ini khususnya mengenai upacara simantonayana atau yang

lebih dikenal dengan upacara magedong-gedongan pada masyarakat adat

Bali dalam upaya melahirkan anak suputra menurut Agama Hindu.

Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi rujukan bagi penelitian

yang akan datang yang tentunya berkaitan dengan permasalahan yang

diangkat dalam penelitian ini.

7

Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN METODELOGI PENELITIAN

2.1 Tinjauan Pustaka

Titib (2003:52), dalam bukunya yang berjudul:

“Menumbuhkembangkan Pendidikan Budhi Pekerti Pada Anak”

menjelaskan di India, ada kebiasaan kuno untuk mengisahkan berbagai

cerita mengenai para pahlawan dan orang-orang suci kepada ibu yang hamil.

Diharapkan janin di dalam rahim dapat di pengaruhi oleh vibrasi yang

timbul dalam diri sang ibu. Di dalam kitab Mahabharata dikisahkan bahwa

pada saat Subhadra sedang hamil, Arjuna menceritakan tentang suatu bentuk

formasi militer yang sangat rumit kepada anaknya yang sedang berada

dalam kandungan istrinya Subhadra, tanpa disadari oleh sang Arjuna bahwa

suatu hari anaknya akan menjadi seorang pahlawan yang gagah perkasa

yang kita kenal dengan sebutan Abhimanyu. Pada waktu itu Sri Krsna

datang dan memberi tahu Arjuna bahwa bayi yang dikandung Subhadra

terpengaruh oleh hal yang diceritakannya kepada isrtinya. Di masa lalu, apa

yang diceritakan Sri Krsna kepada Arjuna mungkin dianggap tidak ada

artinya dan dilupakan. Namun kini, para ilmuan di Barat menyadari bahwa

hal yang dituturkan dalam Mahabharata itu benar. Lembaga Kesehatan Anak

dan Perkembangan Manusia yang bekerja untuk Universitas Carolina di

Amerika telah menyelenggarakan berbagai eksperimen mengenai faktor-

faktor yang mempengaruhi perkembangan anak. Anthony Casper. Seorang

ilmuan terkenal di lembaga ini, setelah melakukan berbagai percobaan,

menyimpulkan bahwa yang dinyatakan Sri Krsna itu benar, walaupun

pikiran kita yang tumpul tidak dapat memahami sepenuhnya kebenaran

mendalam yang melatar belakangi Sri Krsna tersebut. Anthony Casper

mengumumkan penemunnya ini pada tanggal 3 januari 1984, dalam

konferensi ilmuwan. Eksperimen Casper memperlihatkan bahwa makanan

yang dimakan Ibu yang sedang hamil, gagasan-gagasan yang dipikirkannya,

dan kata-kata yang didengakannya, mempengaruhi janin dalam kandungan.

Di bali, tradisi untuk membacakan mantra-mantra kitap suci Veda dan Sloka

8

Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta

susatra Hindu seperti kakawin Ramayana, Arjuna Vivaha pada saat

seseorang istri dalam keadaan hamil merupakan tradisi yang sampai kini

masih dilakukan oleh umat Hindu di Indonesia (khususnya di jawa dan Bali)

kiranya sangat sesuai dengan hasil penelitian yang dipublikasikan oleh

Anthony Casper.

Sudharta (2006:5), dalam bukunya yang berjudul: “Manusia Hindu

Dari Kandungan Sampai Perkawinan” menjelaskan tentang beberapa

temuan-temuan para peneliti yakni salah satunya adalah Dr. Peiper. Pada

suatu ketika ia mendudukkan wanita hamil di depan layar rontgen.

Kemudian di dekat kandungan si ibu, ia meletakkan dan membunyikan

klakson mobil sambil serentak memotret bayi itu. Hasilnya adalah

kebanyakan bayi dalam kandungan menjadi bergetar ketika mendengar

bunyi yang keras. Percobaan lain juga telah dilakukan oleh ahli jiwa music

dari New York, Prof. Lee Salk. Ia merekam dengan tape recorder denyutan

jantung seorang ibu yang tidak lama lagi akan melahirkan. Ketika ia

membunyikan musik indah, maka hasil rekaman denyut jantung menjadi

berbeda, menunjukkan frekwensi lebih tinggi. Ini berarti bahwa sang bayi

dalam kandungan menunjukkan reaksi karena ia berhasil mendengarkan

sesuatu yang berasal dari luar kandungan.

Uraian tersebut menjelaskan bahwa seorang ibu sebaiknya selalu

berada dalam keadaan tentram dan aman selama kehamilan, terlepas dari

segala beban yang menyebabkan perasaan maupun pikiran tertekan, tersiksa

dan takut. Agar nantinya bayi dapat lahir sehat dan menjadi anak yang

suputra. Walaupun kedua buku tersebut tidak secara langsung membahas

tentang upacara simantonayana akan tetapi kedua buku tersebut bisa

dijadikan referensi karena didalamnya memberikan penjelasan tentang hasil

penelitian yang menyatakan bahwa bayi dalam kandungan dapat menerima

respon dari luar kandungan.

9

Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta

2.2 Landasan Konseptual

2.2.1 Pengertian Upacara Simantonayana Upacara ditinjau dari segi bahasa, maka “upacara” berasal dari bahasa

“upa” dan “cara”. Kata “upa” berarti berhubungan dengan, dan “cara” dari

kata car yang berarti gerak jadi upacara adalah “segala sesuatu yang ada

hubungannya dengan gerak, atau upacara adalah gerakan/pelaksanaan

daripada upakara dalam salah satu yajna” (Putra, 1979: 13). Dari pengertian

tersebut dapat ditarik suatu pengertian bahwa upacara adalah segala sesuatu

yang ada hubungannya dengan gerakan atau dengan kata lain upacara adalah

upakara-upakara dalam salah satu yajna dari awal sampai akhir dalam

pelaksanaan suatu yajna tertentu. Sedangkan kata upakara berasal dari kata

“upa” dan “kara”. Upa berarti berhubungan dengan dan kara berarti tangan,

pekerjaan. Upakara adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan

perbuatan atau pekerjaan (Putra, 1979:7).

Menurut Somvir (2001:81), simant berarti perkembangan pikiran,

dengan demikian Simantonayana berarti perkembangan pikiran, dengan

demikian Simantonayana berarti melalui samskara tersebut ibu

memperhatikan bayinya supaya dapat berkembang dengan mental sehat.

Upacara ini merupakan upacara ketiga pada masa prenatal (bayi dalam

kandungan). Upacara ini perlu dilakukan demi perkembangan mental bayi,

agar sehat (mental development).

Menurut Sivananda (2003:97), upacara Simantonayana dilaksanakan

pada saat kandungan berumur tujuh bulan, dengan penguncaran mantra

Veda; untuk melindungi sang ibu dari pengaruh jahat dan memberikan

kesehatan pada si anak. Badan si anak berkembang dengan baik; karena

getaran-getaran yang selaras yang ditimbulkan oleh penguncaran mantra dan

pelaksanaan upacara tersebut membantu membentuk badan si anak menjadi

indah.

Menurut Tjok Rai Sudharta (2006:10), Upacara ini dinamakan

Magedong-gedongan di Bali atau Mitu Bulanin di Jawa. Di India upacara ini

dinamai juga Simantonayana, diharapkan agar pada masa itu sang ibu tidak

10

Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta

sampai memgalami kejutan, kejengkelan, dan kesedihan. Karena perasaan-

perasaan itu bisa mempengaruhi si jabang bayi.

Menurut Oka (2009:149), upacara ini dilaksanakan ketika sang bayi

masih ada dalam kandungan ibunya, yang lebih dikenal dengan megedong-

gedongan. Secara rohaniah, magedong-gedongan ini merupakan

pembersihan dan pemeliharaan kesehatan ibu dan anak, dengan harapan agar

anak yang akan lahir nanti manemukan kebahagiaan dan menjadi anggota

masyarakat yang berguna (Suputra). Kepada si ibu (juga suami), dipesankan

agar menghindari perbuatan dan tingkah laku yang kurang baik. Sebaliknya,

agar mereka senantiasa melaksanakan hal-hal yang baik dan bermanfaat,

sebab tingkah laku/kegemaran mereka bisa berpengaruh kepada si bayi yang

akan lahir.

Dari uraian tersebut, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa dalam

Agma Hindu upacara simantonayana atau yang lebih dikenal dengan

upacara magedong-gedongan pada masyarakat adat Bali, adalah segala

gerakan/pelaksanaan pembuatan korban suci yang tulus ikhlas ditujukan

terhadap bayi yang ada dalam kandungan atau dalam garba ibunya untuk

membantu proses perkembangan mental bayi, membantu menjaga psikologis

ibu agar ibu mau merawat dirinya, dan untuk kesehatan ibu dan anak

sehingga tujuan untuk melahirkan anak suputra tercapai.

2.2.2 Pengertian Anak Suputra Dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomer 23 tahun 2002

tentang Perlindungan Anak pasal 1 butir 1 menjelaskan bahwa: “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”.

Dalam hal ini pengertian suputra, yaitu anak yang hormat pada orang

tua, cinta kasih terhadap sesama dan berbakti kepada Tuhan. Hal ini yang

menjadi dambaan setiap orang tua, ini berarti bahwa orang tua yang selalu

berbuat baik di dalam kehidupannya akan memperoleh salah satu anugrah

Tuhan yaitu mendapatkan anak-anak yang suputra (Suasthi dan Suastawa,

2008:27).

Seorang anak atau putra yang menjadi tujuan keluarga Hindu ialah

anak atau putra yang utama. Mengenai hal tersebut diungkap dalam

11

Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta

beberapa sastra Hindu, bahwa putra yang utama disini yang dimaksud

adalah anak yang baik yang disebut suputra. Membuat sebuah telaga untuk

umum itu lebih baik daripada menggali seratus sumur. Melakukan yajna itu

lebih tinggi mutunya daripada membuat seratus telaga; mempunyai seorang

putra itu lebih berguna dari melakukan seratus yajna asalkan putra utama

(Awanita, 2008:9).

Jika semuanya diperhatikan dan diusahakan sebaik-baiknya maka akan

terlahir generasi bangsa yang sehat dan berbudi luhur sehingga dapat

memikul tugas keluarga juga tugas nusa dan bangsa. Generasi yang dapat

mengharumkan nama keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara disebut

putra suputra. Putra berasal dari bahasa Sansekerta, yang terdiri dari dua

kata yaitu ”put” yang berarti neraka, dan ”tra” yang berarti menyeberangkan.

Sorang putra yang suputra mempunyai kekuatan menyeberangkan

leluhurnya dari neraka, demikian disebutkan dalam kitab Manawa

Dharmasastra Bab IX sloka 138.

Pumnanno narakadyas mattraya te pitaram sutah tasmat putra iti proktah swayamewa swayambhuwa Artinya : ”Karena anak laki-laki akan mengantar Pitara dari neraka yang disebut Put, dan karena itulah ia disebut putra dengan kelahirannya sendiri” (Pudja dan Sudharta, 2002: 564)”.

Sebuah ilustrasi ceritera dalam kitab adiparwa juga memberi

penjelasan bahwa seorang pandita agung yang sangat mumpuni dengan

tapanya harus tergantung pada sebilah bambu petung hanya karena putranya

tidak mau melaksanakan kewajibannya memasuki tahap hidup sebagai

grihasta dan memiliki seorang putra. Ketika putranya yang bernama Sang

Jaratkaru melakukan kewajibannya memasuki tahap hidup grahasta dan

memperoleh seorang putra yang diberi nama sang Astika maka orang tuanya

(sang pendeta yang tergantung pada bambu petung) terbebas dari deritanya

dan dapat bersatu dengan sanak saudaranya.

Berkenaan penjelasan-penjelasan dari pustaka suci di atas tidaklah

berlebihan jika dikatakan bahwa kehadiran seorang putra yang suputra

12

Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta

sangatlah dinantikan. Putra suputra adalah generasi muda yang sehat,

terdidik, terlatih, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, berakhlak mulia, beriman,

mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan menjadi warga negara yang

demokratis serta bertanggung jawab.

Demikianlah tingginya kedudukan seorang anak (putra) dalam

keluarga. Penekanan yang ditonjolkan adalah seorang putra yang baik yang

kelak dapat menyelamatkan orang tua atau roh-roh leluhurnya dari

penderitaan atau neraka. Sebait wiram yang terdapat dalam Niti Sastra

dalam bentuk kakawin, Sargah IV, sloka 1 menyebutkan :

Sang Hyang Candra taranggana pinaka dipa memadangi ri kala ning wengi, Sang Hyang Surya sedeng prabhasa maka dipa memadangi ri bhumi mandala, widya sastra sudharma dipanikanang tri bhuwana sumene prabhaswara, yening putra suputra sadhu gunawan memadangi kula wandhu wandhawa. Artinya: “Bulan dan bintang memberi penerangan di waktu malam, matahari bersinar menerangi bumi, ilmu pengetahuan, pelajaran dan peraturan-peraturan yang baik menerangi tiga jagat dengan sempurna, putra yang baik, saleh dan pandai membahagiakan kaum keluarganya”.

Demikian pula dalam Lontar Putra Sasana, dalam Awanita (2008:10) dinyatakan:

Mapa phalaning suputra, pari purna dharmayukti, subhageng rat susilanya, ambek santa sedu budi, kinasihaning nasemi, pada ngakwa sanak tuhu, sami trana sih umulat, apan wus piana ageng widhi, yang supitra unggul ring sameng tumitah. Artinya:

“Bagaimanakah pahala seorang suputra yang sempurna dan berbuat dharma, termasyur susila dan bagus, hatinya damai dn berbudi mulia, setiap orang mengasihinya, sama-sama mengaku keluarga, semua jatuh hati melihatya, oleh karena Tuhan telah memastikan bahwa orang-orang yang suputra unggul di antara semua makhluk”.

Putra yang utama merupakan pelita yang dapat menerangi seluruh

keluarganya. Karena keutamaannya, pahalanya mengalahkan kegunaan

melakukan seratus yajna. Karena keutamaannya pula, ia termasyur. Setiap

orang mengasihinya. Semua orang jatuh hati melihatnya dan damai serta

berbudi mulia. Tuhan-pun memastikan, bahwa anak yang suputra unggul di

antara semua makhluk. Bahkan dikatakan bahwa suputra dapat menjadi

harapan sebuah bangsa. Dapat diandalkan untuk membangun dan

13

Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta

menciptakan kemakmuran; dapat menolong kerabatnya. Seratus kali

beryajna kalah oleh keutamaan seorang suputra. Bagaikan pohon beringin

besar, bertempat di pinggir jalan; setiap orang yang lewat berteduh, oleh

karena penuh belas kasih dan berbudi mulia. Seorang suputra, adalah orang

yang selalu bhakti dan hormat kepada orang tua; bagaikan menghormat para

guru. Demikian pula kepada pemerintah, tidak akan membeda-bedakan dan

didasarkan pikiran yang suci; bagaikan memuja Tuhan. Itulah sebabnya,

memiliki anak yang berkualitas suputra adalah idaman setiap keluarga atau

orang tua.

2.3 Acuan Teoritika Fokus Penelitian 2.3.1 Teori Religi

Menurut teori ini bahwa suatu kepercayaan yang dijalankan oleh

manusia lewat suatu agama tertentu merupakan suatu kebudayaan hasil budi

daya manusia untuk mendekatkan diri dengan Tuhan. Edward B. Taylor

menyatakan bahwa yang terpenting dalam yajna adalah : (1) asal mula religi

adalah kesadaran manusia akan adanya jiwa. (2) manusia adanya berbagai

gejala alam yang tak dapat dijelaskan dengan akal seperti adanya mimpi, (3)

keinginan manusia untuk menghadapi berbagai krisis yang senantiasa

dialami manusia dalam hidupnya, (4) adanya kejadian-kejadian luar biasa

disekeliling hidup manusia, (5) adanya getaran emosi berupa rasa kesatuan

yang timbul dari jiwa manusia sebagai warga masyarakat, (6) manusia

menerima firman dari Tuhan (Koentjaraningrat, 1977:48).

Teori religi menurut J.G. Fraser mengatakan bahwa mula-mula

perkembangan kepercayaan manusia secara kronologis percaya dengan

adanya ilmu gaib untuk memecahkan masalah hidupnya. Kemudian lambat

laun mengalih kepada religi adalah segala sistem tingkah laku manusia

untuk mencapai suatu maksud dengan cara menyadarkan diri kepada

kemampuan dan kekuasaan makhluk-makhluk halus seperti roh-roh dan

dewa-dewa yang menempati alam (Koentjaraningrat, 1977:54).

Dalam kenyataannya sistem religi, mempunyai wujud sebagai sistem

keyakinan dan gagasan-gagasan tentang tuhan, dewa-dewa, roh-roh halus.

neraka, surga dan sebagainya, dan juga mempunyai wujud yang berupa

14

Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta

upacara-upacara baik yang bersifat musiman maupun yang kadangkala dan

sistem religi juga mempunyai wujud-wujud benda-benda religius

(Koentjaraningrat, 1980:218). Seperti kepercayaan dalam Agama Hindu

yakni melaksanakan upacara simantonayana atau yang lebih dikenal dengan

upacara magedong-gedongan pada masyarakat adat Bali. Upacara ini

termasuk ke dalam upacara manusa yajna yakni pemeliharaan, pendidikan

serta penyucian secara spiritual terhadap seseorang sejak terbentuknya

jasmani di dalam kandungan (janin) sampai akhir hidupnya (Suarjaya,dkk.,

2008:49).

Pelaksanaan upacara manusa yajna dalam Agama Hindu yang

dilaksanakan oleh masyarakat adat Bali di Pura Aditya Jaya Rawamangun

merupakan suatu keyakinan, begitu juga halnya upacara simantonayana atau

yang lebih dikenal dengan upacara magedong-gedongan pada masyarakat

adat Bali dilakukan pada saat kandungan umur enam bulan dalam

hubungan untuk mendapatkan anak suputra merupakan suatu keyakinan atas

adanya restu dari Tuhan dan para leluhur, sehingga dalam penelitian ini teori

religi akan dipakai sebagai alat untuk menggali lebih mendalam tentang

keyakinan religi dalam Agama Hindu khususnya pada masyarakat adat Bali

di Pura Aditya Jaya Rawamangun yang diimplementasikan dalam upacara

simantonayana (magdong-gedongangan). Di samping itu teori ini juga

dipakai untuk mencari jawaban atas permasalahan makna dan hubungan

upacara simantonayana atau yang lebih dikenal dengan upacara magedong-

gedongan pada masyarakat adat Bali, dalam upaya mendapatkan anak yang

suputra.

2.3.2 Teori Perkembangan Anak Perkembangan menurut Agama Hindu terjadi sejak manusia tercipta,

dalam perkembangan selanjutnya manusia bergerak menjadi sarana

penciptaan manusia selanjutya, sebagai alat melalui sanggama. Kemudian

menjadi sukla (benih pria) yang mempunyai warna seperti manik putih

kekuning-kuningan. Sedangkan swanita (benih wanita) keluar dari Pradhana

Tattwa keduanya kemudian bercampur pada saat sanggama dan selanjutnya

berkembang dalam rahim wanita (ibu). Disanalah ia terbentuk dan

15

Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta

berkembang sehingga mencapai wujud yang sebenarnya. Dalam rahim

terjadi perkembangan sehingga kemudian lahir, keluar dari rahim dilukiskan

sebagai berikut :

1) Pada saat baru berumur 1 bulan berwujud seperti buih.

2) Setelah berumur tiga bulan berwujud gumpalan darah.

3) Pada saat berumur 4 bulan menjadi Siwa lingga, berlubang dibagian

tengahnya berisi Om Kara dan suksma rupa.

4) Pada waktu berumur lima bulan menjadi Mayareka.

5) Pada waktu umur enam bulan menjadi seperti api.

6) Ketika berumur tujuh bulan berubah menjadi seperti ulat dalam

kepompong yang disebut gading.

7) Pada saat berumur delapan bulan menjadi anak gading disertai dengan

nafas yang keluar dari Om kara, juga tulang, kuku dan rambut.

8) Waktu umur sepuluh bulan si jabang bayi lahir keluar dari rahim dan

perut ibu (Bantas, 2000:81).

Kemudian di dalam Lontar Kanda Empat Butha (Tjateng, 1979)

mengatakan, bahwa bayi yang sudah beumur lima bulan, sudah lengkap

menjadi manusia, sudah berambut, berkuping, bermata, berhidung,

bermulut, berbahu, berbadan, bertangan, berkaki, bergigi, berperut, berodel,

berdagu, berkemaluan, berpantat, berjeriji, dan sudah sempurna isi dada dan

perutnya (Oka, 2009:149).

Menurut teori perkembangan anak dalam Diane E. Papalia, Et Al.

(2010:117), menjelaskan perkembangan prenatal terjadi dalam tiga tahap :

germinal, embryonic, dan fetal. Sepanjang tiga tahapan kehamilan, zygote

yang berasal dari satu sel berkembang menjadi embrio dan kemudian janin.

Baik sebelum maupun setelah lahir, perkembangan berjalan sesuai dengan

dua prinsip fundamental. Pertumbuhan dan perkembangan terjadi dari atas

ke bawah dan dari tengah tubuh keluar.

Adapun tahap-tahap tersebut antara lain :

1) Tahap Germinal (Pembuahan hingga 2 Minggu). Selama tahap

germinal, dari pembuahan hingga minggu kedua kehamilan, zygote

16

Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta

membelah diri, menjadi semakin kompleks, dan tertanam di

dinding uterus.

2) Tahap Embrionic (2 sampai 8 Minggu). Sepanjang masa

embrionic, tahap kedua kehamilan, dari sekitar 2 sampai 8 minggu,

organ dan sistem tubuh utama-pernafasan, pencernaan, dan syaraf-

berkembang dengan pesat.

3) Tahap Fetal (8 Minggu hingga lahir) munculnya sel tulang pertama

pada sekitar 8 minggu kehamilan mensyaratkan dimulainnya tahap

fetal, tahap final kehamilan. Sepanjang masa ini, janin tumbuh 20

kali lebih panjang daripada sebelumnya, dan organ serta sistem

tubuhnya menjadi lebih kompleks. Pada saat kelahiran hampir tiba,

“sentuhan terakhir” seperti kuku jari tangan, kuku jari kaki, dan

kelopak mata terbentuk.

Janin bukanlah penumpang pasif dalam rahim ibu. Janin bernafas,

menendang, berputar, meregangkan tubuh, berjungkir balik, berkedip,

menelan, mengepal, cegukan, dan menghisap jari mereka. Cangkang

fleksibel dinding uterine dan kantong ketuban, yang mengelilingi pelindung

cairan ketuban, memungkinkan dan bahkan merangsang gerakan yang

terbatas.

Mulai sekitar dua belas minggu kehamilan, janin menelan dan

menghisap sejumlah cairan ketuban tempat di mana ia mengambang. Cairan

ketuban mengandug substansi yang mengghubungkan plasenta dari aliran

darah ibu dan masuk ke aliran darah janin. Penggabungan kedua substansi

ini dapat mengembangkan sensor perasa dan penciuman dan mungkin untuk

bernapas dan mencerna. Sel perasa yang matang muncul pada sekitar 14

minggu kehamilan. Organ yang berhubungan dengan penciuman, yang

mengontrol penciuman, juga berkembang dengan baik sebelum lahir.

Janin juga merespons suara, detak jantung, dan getaran tubuh ibunya,

menunjukkan bahwa mereka dapat mendengar dan merasa. Keintiman bayi

dengan suara ibu bisa jadi memiliki fungsi bertahan dasar: untuk membantu

bayi yang baru lahir menentukan lokasi makanan. Respon terhadap suara

17

Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta

dan getaran di mulai pada 26 minggu kehamilan, terus meningkat, dan

mencapai puncak pada sekitar 32 minggu kehamilan.

Perkembangan manusia tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhannya.

Pertumbuhan adalah sesuatu yang menyangkut materi jasmaniah yang dapat

menumbuhkan fungsi dan bahkan perubahan fungsi pada materi jasmaniah.

Perubahan jasmaniah dapat menghasilkan kematangan atas fungsinya.

Kematangan fungsi jasmaniah sangat mempengaruhi perubahan pada fungsi

psikologis. Oleh karena itu, perkembangan manusia tidak dapat dipisahkan

dengan pertumbuhannya. Perkembangan merupakan fungsi jasmaniah dan

kejiwaan yang berlangsung dalam proses satu kesatuan yang menyeluruh

(Jaali, 2006:21).

Berdasarkan komponen-komponen perkembangan janin tersebut, maka

dapat dikatakan bahwa janin berumur tujuh bulan sudah sempurna sehingga

dikatakan telah dapat menerima rangsangan dari luar. Teori perkembangan

anak akan dipergunakan untuk menjawab permasalahan tentang bagaimana

hubungan antara upacara simantonayana atau yang lebih dikenal dengan

upacara magedong-gedongan dalam Agama Hindu pada masyarakat adat

Bali dalam upaya mendapatkan anak suputra.

2.3.3 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan

Penelitian terhadap upacara simantonayana atau yang lebih dikenal

dengan upacara magedong-gedongan pada masyarakat adat Bali dalam

bentuk skripsi telah dilakukan oleh : I Gusti Made Mudana, (2000:74)

berjudul : “Pelaksanaan Upacara Pagedong-gedongan Dalam Manusa Yajna

Ditinjau Dari Nilai-nilai Pendidikan Agama Hindu” memberikan suatu

kesimpulan bahwa upacara pagedong-gedongan merupakan salah satu

upacara yang di dalam ajaran Agama Hindu termasuk dalam upacara

manusa yajna, sebab upacara ini diperuntukkan kepada seorang ibu yang

sedang hamil kalau embrio dalam kandugan sudah berwujud manusia. Di

samping itu upacara pagedong-gedongan mengandung nilai-nilai pendidikan

kesusilaan yakni upacara ini dilaksanakan dengan maksud pembersihan,

pemeliharaan atas keselamatan si ibu dan anaknya, disertai pula dengan

pengharapan agar anak yang lahir kelak menjadi orang yang berguna di

18

Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta

masyarakat memenuhi harapan orang tuanya atau dengan kata lain agar

menjadi anak yang suputra. Hasil penelitian tersebut memiliki kesimpulan

yang menyatakan upacara pagedong-gedongan, memberikan pengaruh

terhadap pertumbuhan psikologis janin dalam kandungan, merupakan

pembersihan dan pemeliharaan keselamatan ibu dan anak, mengandung

nilai-nilai pendidikan kesusilaan, serta memperlihatkan bahwa makanan

yang dimakan ibu yang sedang hamil, gagasan-gagasan yang dipikirkannya,

mempengaruhi janin dalam pikirannya.

Dalam penelitian ini memiliki kelebihan yakni untuk mengetahui

makna serta hubungan upacara simantonayana atau yang lebih dikenal

dengan upacara magedong-gedongan dalam Agama Hindu pada masyarakat

adat Bali dalam upaya melahirkan anak suputra.

Dalam skripsi : Sri Endah Rejeki, (2008:65) berjudul : “Pengaruh

Upacara Garbhadhana Terhadap Pertumbuhan Psikologis Janin Dalam

Kandungan”, memberikan suatu kesimpulan bahwa upacara garbhadhana

ada pengaruhnya terhadap pertumbuhan psikologis janin dalam kandungan.

Akan tetapi dalam penelitian ini, peneliti menemukan bahwa upacara

magedong-gedongan berbeda dengan upacara garbhadhana. Upacara

garbhadhana merupakan salah satu upacara bayi dalam kandungan yang

dilakukan sebelum upacara magedong-gedongan atau yang lebih dikenal

dengan upacara simantonayana. Penelitian tentang upacara garbhadhana ini

bisa dijadikan referensi sebagai salah satu upacara bayi dalam kandungan.

2.4 Metodelogi Penelitian

Sudarmayanti dalam Praptini (2009:2) menyatakan bahwa metodologi

adalah langkah-langkah yang sistematis untuk memperoleh ilmu sedangkan

metode adalah prosedur atau cara mengetahui sesuatu dengan langkah-

langkah sistematis tersebut. Suatu penelitian pada umumnya bertujuan untuk

menemukan, mengembangkan atau menguji kebenaran suatu pengetahuan.

Menemukan berarti berusaha mendapatkan sesuatu untuk mengisi

kekosongan atau kekurangan. Mengembangkan berarti memperluas dan

menggali lebih dalam apa yang ada, sedangkan menguji kebenaran

19

Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta

dilakukan jika apa yang sudah ada diragukan kebenarannya (Praptini,

2009:3). Suatu metode yang tepat sangat bermanfaat dan membantu penulis

dalam meneliti obyek penelitian untuk mendapat data dan informasi yang

sesuai dengan realitas, sehingga keabsahan hasil penelitian tersebut dapat

dipertanggung jawabkan kebenarannya

2.4.1 Latar Penelitian

Penelitian ini mengambil Lokus pada Pura Aditya Jaya Rawamangun

yang terletak di Jakarta Timur, karena melihat kondisi umat di Jakarta Timur

yang sebagian besar berkumpul di tempat ini. Pura ini sering di jadikan

tempat pertemuan dari anak-anak sampai orang tua, dapat dilihat dari

bangunan-bangunan yang besar dan luas yang mampu memuat banyak umat

sehingga Pura Aditya Jaya Rawamangun menjadi tempat yang strategis

untuk umat untuk melaksanakan pertemuan baik untuk kepentingan

berorganisasi maupun pelaksanaan upacara.

Pura Aditya Jaya Rawamangun mempunyai arti yang sangat penting

bagi umat Hindu khususnya di daerah Jakarta Timur dan sekitarnya pada

umumnya lebih-lebih terhadap bangsa dan Negara. Karena dengan adanya

Pura berarti umat Hindu ikut berperan aktif dalam membangun dan

mencerdaskan kehidupan bangsa.

Pura sebagai tempat ibadah atau tempat suci Agama Hindu didasari

oleh konsepsi religius tentang hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan

manusia dengan sesama manusia dan hubungan manusia dengan alam

lingkungan yang disebut dengan Tri hita Karana (Kaler, 1994:830).

Kemudian di dalam perkembangannya umat Hindu di Rawamangun

dan sekitarnya dari tahun ke tahun mengalami peningkatan dalam jumlah

serta kesadaran umat Hindu tentang arti dan makna hidup beragama semakin

tinggi, yaitu terbentuknya Pengempon Pura sampai saat ini, susunan

Pengempon Pura Aditya Jaya Rawamangun periode tahun 2007-2012:

20

Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta

Tabel 2.1 : Organisasi Pengempon Pura Aditya Jaya Rawamangun Jakarta Timur

Pura Aditya Jaya Rawamangun merupakan Pura yang cukup luas di

kawasan Jakarta Timur ini karena mempunyai beberapa tempek dan di

pimpin oleh masing-masing ketua yakni :

Tabel 2.2 : Tempek Jakarta Timur

NO TEMPEK KETUA

1. Tempek Ciracas Wayan Nuada

2. Tempek Cibubur Putu Gelgel

3. Tempek Munjul Gusti Ketut Suarta

4. Tempek Halim I Made Meliun Suyana, SH

Jabatan Nama

a. Ketua I Putu Maharta Adijadnja

b. Wakil Ketua I Made Rai Suparta

c. Sekretaris I Pardiyo

d. Sekretaris II I Gusti Agung Ngurah Putra

e. Bendahara I Ngurah Arya

f. Bendahara II Dewa Nyoman Kariawan

g. Umum Ketut Widiarsa

h. Keagamaan dan Upacara Wayan Budha

i. Bidang Organisasi dan Komunikasi

Ketut Suryawan

j. Pemberdayaan Perempuan Sari Murdjana

k. Kepemudaan, Olahraga dan Humas

Ida Bagus Wisnu Siputra

l. Pembangunan dan Pemeliharaan Gusti Kompyang Suanda

m. Pendidikan dan SDM Sutharta

n. Keamanan dan Parkiran Made Bagus Suparma

o. Sosial dan Kemasyarakatan Nyoman Sudarsana

p. Dokumentasi dan Publikasi Ida Bagus Oka Nila

21

Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta

5. Tempek Cipinang Nyoman Udayana Sangging, SH, MM

6. Tempek Pondok Bambu Gusti Kompyang Suwanda

7. Tempek Jatiwaringin Nyoman Sudarsana

8. Tempek Rawamangun Made Suprabawa,SE

9. Tempek Klender Wayan Budha, S.Ag, M.Pd

10. Tempek Kp. Ambon Drs. I Ketut Tisna

11. Tempek Cijantung Ir. Putu Yogi Pramana

12. Tempek Utan Kayu Ir. Putu Maharta

Pengempon Pura Aditya Jaya mempunyai kewajiban secara bergilir

untuk menyiapkan sarana upakara pelaksanaan yajna rutin seperti Purnama,

Tilem, Tumpek, Kajeng Kliwon, Galungan dan Kuningan. Untuk pujawali

dibentuk panitia tersendiri yang terdirin dari unsur-unsur tempek. Tugas lain

dari tempek adalah secara bergilir ngiring/mundut Pakuluh ke Pura yang

sedang melaksanakan pujawali.

Daerah sekitar Pura ini di pimpin oleh ketua banjar bernama Ir. Made

Sudartha dan salah satu anggota adalah I Gusti Kompyang Suanda yang

membantu sistem kerjanya ketua Banjar. Selain organisasi Banjar Jakarta

Timur dan tempek-tempek pengempon Pura, ada juga organisasi lembaga

keamanan Hindu lainnya yang bersekretariat diareal Pura Aditya Jaya

dengan membentuk Sekretariat Bersama diantaranya sebagai berikut:

Tabel 2.3 Sekretariat Bersama

No Nama Lembaga Nama Ketua

1 Parisada DKI Jakarta Kombes Pol. I Ketut Wiardana

2 Parisada Jakarta Timur Dra. Ketut Oka Harmini, MM.

3 SDHD DKI Jakarta Drs. Erlangga Mantik

4 SDHD Banjar Jakarta Timur Ir. Made Sudarta,MBA.,M.Sc

5 Yayasan Mandira Widhayaka Ir. I Gusti Komang Widana,Si.,MM.,M.Fil.

22

Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta

6 Yayasan Dharma Sevanam Indonesia

Drs. I Nyoman Astawa,M.Si.,MM.,M.Fil.

7 Yayasan Dharma Nusantara IGKG Suena

8 PWSHD DKI Jakarta Nurastuti Mulyadi

9 PWSHD Jakarta Timur Nyoman Rai Somawati

10 KPSHD Jakarta Timur Misnan

11 WHDI DKI Jakarta Nurastuti Mulyadi

12 WHDI Jakarta Timur Nyoman Rai Somawati

13 Sanggraha Pinandita Nusantara Dewa Putu Suradana

14 Pasraman Rawamangun Nyoman Udayana Sangging

15 KMHDI I Made Raditya Mahardika

Selain Sekretariat Bersama di Gedung Dharma Sevanam ada juga

lembaga lainnya yang menggunakan Graha Aditya Carya diantaranya: 1).

STAH Dharma Nusantara Jakarta; 2).Pasraman Aditya (sekolah Minggu

Agama0; 3). TK dan SD Pertiwi Abilasa; 4). Sanggar Pustaka Aditya dan 5).

LPDG.

Tahun 2007 tepatnya sejak pergantian kepengurusan SDHD Banjar

Jakarta Timur (masa bhakti 2007-2012) dengan Ketuanya Bapak Ir. Made

Sudarta,MBA atas ksepakatan bersama antar pengurus, dan masukan dari

umat, Otorita Pura Aditya Jaya ditiadakan dengan pertimbangan agar tidak

terjadi tumpang tindih dalam menjalankan tugas menata dan mengelola

Pura. Selama ini fungsi Otorita yang semula tujuannya hanya menangani

masalah pembangunan Pura, secara perlahan berubah fungsi menangani

semua hal sehingga peran banjar tidak jelas bahkan terkesan Pura Aditya

Jaya adalah milik Otorita. Adapun yang pernah menjadi ketua Otorita Pura

Aditya Jaya sebagai: 1). Periode 1979-1991 ketunya Bapak Ir. I Gusti

Agung Ketut Alit; 2). Periode 1991-1995 Bapak Ir. Made Sudarta,MBA; 3).

Periode 1995-1999 ketuanya Bapak Gde Maya Rumiada,SE.,AAg.,MM

(alm); dan 4). Periode 1999-2007 ketuanya Bapak Drs Gede Darsana.

23

Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta

Pengelolaan dan penataan Pura Aditya Jaya ditangani langsung oleh

SDHD Banjar Jakarta Timur dengan memfungsikan semaksimal mungkin

semua Wakil Ketua dan bidang-bidang seperti halnya bidang agama dan

yajna dimonitor langsung oleh Wakil Ketua I membawahi bidang agama dan

yajna, fokus terhadap pelaksanaan upacara yajna di Pura mulai dari

pelaksanaan Purnama, Tilem, Galungan, Kuningan, mengurus kesejahteraan

Pinandita dan bahkan mengiring Pakuluh ke Pura yang sedang melasanakan

Pujawali juga diurus oleh bidang agama dan yajna yang memiliki empat

koorditator dan anggota berfungsi dimasing-masing Pura karena di Jakarta

Timur ada empat Pura yang diempon. Demikian halnya bidang sarana

prasarana dan pembangunan Pura hanya fokus kepada bidangnya masing-

masing.

Untuk menata dan mengelola para pedagang khusus untuk dagang

makanan khas Bali dan jajanan Bali serta aneka minuman, pengurus Banjar

memanfaatkan kantin Aditya Boga yang dibangun oleh Yayasan Dharma

Sevanam sebagai kompensasi pembangunan Gedung Pusdiklat Dharma

Sevanam diatas bekas kantin lama. Untuk dagang canang, dagang kaset

lagu-lagu rohani, pernak pernik Hindu dan alat-alat persembahyangan

disiapkan disatu tempat yang bernama kios dagang canang. Semua dagang

dikelola sedemikian rupa sehingga tidak ada lagi pedagang yang berkeliaran

diareal Pura, semua tertata rapi berada ditempatnya, dan ini juga dapat

memudahkan umat untuk mendapatkan kebutuhan belanja untuk kebutuhan

persembahyangan.

Pengelolaan terhadap para pedagang ini dikoordinir oleh seorang

koordinator unit usaha di Pura Aditya Jaya yang ditunjuk langsung oleh

ketua banjar dan bertanggung jawab langsung kepada ketua banjar. Dalam

mengelola keuangan yang merupakan hasil usaha tersebut Koordinator Unit

Usaha berkoodinasi langsung dengan salah satu bendahara banjar. Hasil

usaha ini digunakan oleh banjar untuk meningkatkan Fasilitas Pura

mengingat sangat tinggi dan beragamnya aktivitas umat yang tentunya

membutuhkan fasilitas yang lebih memadai dengan sarana penunjang dan

tenaga kerja yang senantiasa bisa menjaga kebersihan dan keasrian Pura.

24

Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta

Pengelolaan pedagang inilah yang menjadi sektor ekonomi banjar dan dapat

berfungsi sebagai labhaPura selain dana punia.

Secara Geografis Pura Aditya Jaya Rawamangun terletak di wilayah

Jakarta Timur, tepatnya di Kelurahan Rawamangun Muka RT 11/RW 10

Kecamatan Pulogadung, Jakarta Timur. Secara Administratif berada di Jl.

Daksinapati Raya Nomor 10 Rawamangun.

Bangunan Pura menghadap ke Selatan dengan dibatasi pagar

sekeliling sebagai berikut:

1. Di sebelah Utara, pemukiman penduduk,

2. Di sebelah Selatan berbatasan dengan komplek perumahan dosen

UI,

3. Di sebelah Timur, berbatasan langsung dengan masjid Al. Taqwa,

4. Di sebelah Barat berbatasan dengan jalan by pass Jl. Jend. A.Yani.

Lokasi Pura memang sangat strategis dan tidak membuat umat yang

ingin bersembahyang tidak mengalami kesulitan yang terletak di pinggir

jalan raya di lingkungan komplek Dosen IKIP, di sebelah masjid Al-Taqwa

dan berada dekat lapangan golf, lingkungan Pura ini berdekatan dengan

Universitas Negeri Jakarta yang banyak orang sudah mengetahuinya.

Pada umumnya Pura-Pura yang besar dibagi menjadi tiga bagian yaitu

Tri berarti tiga, Mandala berarti wilayah, jadi Tri Mandala berarti tiga

wilayah/daerah yang dimiliki oleh setia Pura dan antar mandala yang satu

dengan yang lain di batasi dengan tembok/pintu masuk yang khas. Sebagian

Pura pada umumnya Area Pura Aditya Jaya Rawamangun juga terdiri tiga

mandala yaitu :

1. Kanisthama Mandala (jaba sisi)

Area Pura paling luar yang masih satu-kesatuan dengan Pura.

Memasuki Kanistama Mandala Pura Aditya Jaya dapat melalui

dua Candi Bentar yakni yang menghadap kejalan DI. Panjaitan

(Bay pass) hanya dibuka pada hari minggu dan pada waktu

pujawali, serta pada perayaan Tawur Agung Kesanga. Sedangkan

Candi Bentar yang menghadap kejalan Daksinapati Raya dapat

digunakan setiap hari. Posisi Kanisthama Mandala mengitari

25

Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta

sebagian Madhyama Mandala dan sebagian Uttama Mandala

menyerupai hurup U dari posisi Timur, Utara dan sebelah Barat.

Adapun palinggih dan bangunan yang terdapat di Kanistama

Mandala antara lain: 1) Dua palinggih tugu untuk pohon beringin

berada disebelah timur sebagai stana Sang Kala Bang dengan

pengiringnya Ida Sekar Sandat dan Sekar Gadung sebagai

pengamong-among menjaga dan membenahi hal-hal yang kurang

sakral untuk memasuki Madhyama Mandala. Sebelah Barat

Uttama Mandala terdapat tugu sebagai sthana Jero Gede yang

menjaga kesetabilan Pura. Sebuah tugu untuk pedagang didepan

kantin sebagai sthana Ida Ratu Mas Melanting; 2) Bale Peyajnan

sebagai tempat mempersiapkan tetandingan dan tempat

pelaksanaan manusa yajna; 3) Ruang perpustakaan terbuka; 4) Dua

buah Bale Bengong; 5) Jineng; 6) Griya untuk tempat Ratu

Pedanda; 7) Kios canang dan dagang alat perlengkapan upakara; 8)

Gedung Pusdiklat Dharma Sevanam untuk sekretariat bersama,

ruang rapat dan diklat; 9) Kantin Aditya Boga; 10) Graha Aditya

Boga Aditya Charya untuk ruang kelas; 11) Graha Sabha Aditya ;

12) Dua buah toilet; 13) Arena bermain out door TK Pertiwi

Abhilasa.

2. Madhyama Mandala (jaba tengah)

Halaman tengah yang terdapat pada Pura dan merupakan

tempat kegiatan seperti cerdas cermat, kesenian, hiburan, dan

dijadikan tempat sembahyang dalam piodalan. Menuju Madhyama

Mandala dapat masuk dari Candi Bentar sebelah Timur dan

sebelah Barat. Disebelah kiri kanan Candi Bentar terdapat Arca

Dwarapala (patung penjaga pintu atau pengapit lawang) berbentuk

raksasa. Di Madhyama Mandala terdapat beberapa bangunan

antara lain: 1) Perantenan (dapur); 2) Bale Wantilan sebagai

tempat menyiapkan segala keperluan upakara pada saat piodalan,

sebagai tempat pertunjukan tari-tarian saat piodalan, dan sebagai

tempat mesandekan umat yang baru tiba untuk mempersiapkan

26

Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta

persembahyangan sebelum memasuki Uttama Mandala. Sejak

Oktober Tahun 2007 Bale Wantilan juga digunakan sebagai tempat

persembahyangan pada saat pujawali; 3) Bale Kulkul; 4) Tempat

tirta pembersihan, tempat dupa, bunga dan selendang; 4) Gudang

penyimpanan peralatan upacara.

3. Uttama Mandala (jeroan)

Halaman utama yang digunakan untuk bersembahyang umat

Hindu kepada Sang Hyang Widhi. Menuju Uttama Mandala

melewati Kori Agung (Candi Kurung) dengan tiga pintu utama dan

dua pintu lagi dikiri kanannya. Kori Agung senantiasa dalam

keadaan tertutup hanya digunakan pada saat odalan (pujawali) dan

hari-hari tertentu. Sedangkan untuk jalan keluar masuk Jeroan

menggunakan pintu yang berada disebelah kiri dan kanan Kori

Agung sering disebut babetelan. Depan Kori Agung terdapat dua

Arca Dwarapala dan di atas pintu masuk terdapat hiasan atau

ukiran yang berbentuk bhoma. Terdapat pula pintu tembus samping

yang digunakan sebagai pintu keluar bagi umat yang selesai

sembahyang bersama, yakni dari Uttama Mandala langsung ke

Kanistha Mandala.

Beberapa Palinggih/bangunan suci yang terdapat di Uttama

Mandala antara lain sebagai berikut:

a. Padmasana sebagai Palinggih Utama yaitu untuk menstanakan

Sang Hyang Widhi dalam manifestasin-Nya sebagai Siwa

Aditya.

b. Anglurah yaitu palinggih pengiring berada disebelah kiri

Padmasana.

c. Bale Papelik/Pangaruman untuk mensthanakan para

Dewa/Tapakan/Pakuluh yang hadir pada saat Pujawaili.

d. Bale Pawedaan digunakan sebagai tempat Ida Pedanda mapuja

pada saat pujawali atau pada hari-hari suci lainnya.

e. Taman Sari yaitu tempat pemujaan Sang Hyang Widhi dalam

manifestasi-Nya sebagai Sang Hyang Pancaka Tirtha yang

27

Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta

disebut Ida Bhatara Lingsir tempat memohon pengobatan dan

pengelukatan.

f. Palinggih Beji sebagai tempat memuja Sang Hyang Widhi

dalam manifestasi-Nya, Dewa Wisnu sebagai Sang Hyang

Taya disebut Ida Bhatara Khrsna Tanu tempat memohon

Tirtha Pasucian dan sebagai sumber kehidupan.

g. Murti/Arca Dewi Saraswati sebagai palinggih tambahan

terdapat didalam Taman Sari sebagai Istadevata yang dipuja

untuk memohon kecerdasan, kebijaksanaan dan pencerahan

bathin.

h. Murti/Arca Ganesa sebagai palinggih tambahan terdapat

disebelah kanan belakang Padmasana sebagai Istadevata yang

dipuja untuk memohon keselamatan.

Pura Aditya Jaya yang dikelilingi tembok/penyengker sebagai batas

pekarangan yang disakralkan, pada sudut-sudut pekarangan dibuatkan

paduraksa (penyanggah sudut) yang berfungsi untuk menyangga sust-sudut

pekarangan tempat suci (dikpalaka). Yang membedakan Pura Aditya Jaya

dengan Pura yang lainnya adalah terletak pada pemanfaatan Kanisthama

Mandala disebelah Timur Uttama Mandala dibagi menjadi tempat

labhaPura dengan memberi batasan tembok antara tembok Bale Penyajian

dengan Kantin, Gedung Diklat, Kios Canang dan ruang pendidikan.

Sarana pendidikan di sekitar wilayah Pura Aditya Jaya Rawamangun

adalah terdapat gedung STAHDN Aula umum di sebelah gedung STAHDN

biasanya digunakan untuk acara-acara dan kegiatan generasi muda maupun

lembaga STAHDN, Pasraman, tempat belajar tinggkat kanak-kanak, tempat

organisasi, parkiran yang luas, dan taman-taman tempat beristirahat.

Terdapat kantor sekretariat bersama letaknya di sebelah Selatan dan

berhimpitan dengan dapur. Bangunan ini berfungsi sebagai tempat untuk

pelayanan kepada umat untuk mencari informasi ataupun kepentingan

dengan pengurus maupun lembaga yang sudah berdiri. Sekretariat bersama

ini digunakan bersama-sama oleh lembaga organisasi masyarakat seperti

PHDI DKI, SDHD DKI, Banjar Jakarta Timur, dan WHDI DKI.

28

Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta

2.4.2 Pendekatan Metode

Jenis penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Penelitian

kualitatif bertolak dari asumsi bahwa kenyataan itu berdimensi jamak,

interaktif dan suatu pertukaran pengalaman yang diinterpretasikan oleh

individu-individu. Penelitian ini menggunakan pendekatan studi

kepustakaan. Bungin (2007:121) menyatakan bahwa metode kepustakaan

adalah salah satu metode pengumpulan data yang digunakan dalam

metodologi penelitian sosial untuk menelusuri data histories. Sedangkan

Sugiyono (2007:329) menyatakan bahwa dokumen merupakan catatan

peristiwa yang sudah berlalu yang berbentuk tulisan, gambar, atau karya-

karya monumental dari seseorang.

2.4.3 Data dan Sumber Data

Istilah data yang merupakan kata jamak dari datum maksudnya

keterangan atau petunjuk, yang merupakan bahan yang akan diolah secara

ilmiah. Jadi, data adalah keterangan atau petunjuk tentang fakta, tanpa

adanya fakta tidak ada data. Menurt Sarwono dalam Sudiani (2009:14-20)

ada dua jenis data yaitu :

1) Data primer

Data primer berasal dari sumber asli atau pertama, yang tidak

tersedia dalam bentuk file-file. Data ini harus dicari melalui nara sumber

(responden), yaitu orang yang dijadikan obyek penelitian atau orang

yang dijadikan sebagai sarana untuk mendapatkan informasi. Dalam

pencarian data primer ada tiga dimensi penting yang perlu diketahui,

yaitu: kerahasiaan, struktur dan metode koleksi.

Dalam penelitian ini data primer yang dimaksud adalah data yang

bersumber pada realitas kehidupan masyarakat (data lapangan) yang

diperoleh melalui observasi, dokumentasi, dan wawancara.

2) Data sekunder

Data sekunder merupakan data yang sudah tersedia sehingga peneliti

tinggal mencari dan mengumpulkan. Data sekunder dapat diperoleh

dengan lebih mudah dan cepat karena sudah tersedia, misalnya di

perpustakaan, perusahaan-perusahaan, organisasi-organisasi

29

Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta

perdagangan, biro pusat statistik dan kantor-kantor pemerintahan. Data

jenis ini dapat diperoleh dengan cara membaca, melihat dan

mendengarkan. Pertimbangan-pertimbangan yang diperlukan untuk

mendapatkan data sekunder adalah kesesuaian data dengan penelitian

yang akan dilakukan, menekankan pada kualitas data, dan data sekunder

hanya dipergunakan sebagai pendukung data primer.

Dalam penelitian ini data sekunder diperoleh melalui studi

kepustakaan (library research) yang bersumber dari kitab-kitab suci

Agama Hindu, buku-buku sastra Agama Hindu, buku-buku tentang

upacara manusa yajna, dan beberapa literatur lainnya yang berkaitan

dengan penelitian ini.

Menurut Arikunto dalam Sudiani (2009:14-20) sumber data yang

dimaksud di sini adalah subyek dari mana data diperoleh. Karena

peneliti menggunakan wawancara dalam pengumpulan data maka

sumber data disebut informan, sedangkan dalam teknik observasi maka

sumber datanya adalah bisa benda, gerak atau proses sesuatu, dan dalam

teknik dokumentasi maka dokumen atau catatan-catatan yang menjadi

sumber data.

Menurut Suprayogo dan Tobroni dalam Sudiani (2009:4-20) dalam

penelitian yang bersifat kualitatif maka ketepatan memilih dan

menentukan jenis sumber data akan menentukan kekayaan data yang

diperoleh. Lebih lanjut dikatatakan bahwa, jenis sumber data terutama

dalam penelitian kualitatif dapat diklasifikasikan, sebagai berikut :

1) Nara Sumber (Informan)

Dalam penelitian kuantitatif, sumber data ini disebut

“respondent”, yaitu orang atau sejumlah orang yang memberikan

“respond” atau tanggapan terhadap apa yang diminta atau

ditentukan oleh peneliti. Dalam penelitian kualitatif posisi nara

sumber sangat penting, bukan sekedar memberi respons,

melainkan juga sebagai informan (orang yang memberikan

informasi, sumber informasi, sumber data) atau disebut juga

subyek yang diteliti, karena ia bukan saja sebagai sumber data,

30

Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta

melainkan juga aktor atau pelaku yang ikut menentukan berhasil

tidaknya sebuah penelitian berdasarkan informasi yang diberikan.

2) Peristiwa atau aktivitas.

Data atau informasi juga dapat diperoleh melalui pengamatan

terhadap peristiwa atau aktivitas yang berkaitan dengan

permasalahan penelitian. Dari peristiwa atau aktivitas ini, peneliti

bisa mengetahui proses bagaimana sesuatu terjadi secara lebih

pasti karena menyaksikan sendiri secara langsung.

3) Tempat atau lokasi.

Tempat atau lokasi yang berkaitan dengan sasaran atau

permasalahan penelitian juga merupakan salah satu jenis sumber

data. Informasi mengenai kondisi peristiwa atau aktivitas

dilakukan bisa digali lewat sumber lokasinya, baik yang

merupakan tempat atau lingkungannya.

4) Dokumen atau Arsip

Dokumen merupakan bahan tertulis atau benda yang berkaitan

dengan suatu peristiwa atau aktivitas tertentu. Ia bisa merupakan

rekaman atau dokumen tertulis seperti arsip, database, surat-

surat, rekaman gambar benda-benda peninggalan yang berkaitan

dengan suatu peristiwa.

Untuk mendapatkan data-data yang dapat mendukung penelitian

ini, penentuan informan dilakukan dengan cara purposive sampling,

yaitu dengan menunjuk secara langsung informan yang akan

dijadikan subyek penelitian yaitu beberapa orang informan yang

penulis anggap memiliki kompetensi dibidang yang menjadi objek

penelitian ini, seperti tokoh-tokoh masyarakat (pedanda, pemangku

dan parisadha), dan orang tua yang melaksanakan upacara

simantonayana atau yang lebih dikenal dengan upacara magedong-

gedongan dalam Agama Hindu adat Bali.

Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif, dengan menggunakan

logika berpikir perpaduan induktif-deduktif, dan argumentatif,

31

Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta

sehingga menggunakan data primer sebagai data utama dan data

sekunder sebagai data pendukung.

2.4.4 Prosedur Pengumpulan dan Perekaman Data

Dalam penelitian ini yang menjadi data primer adalah data yang

peneliti peroleh dari penelitian secara langsung di lapangan dan

dikumpulkan melalui metode. Menurut Sukardi dalam Sudiani (2009:14-20)

metode tersebut ialah : (1) Wawancara, teknik wawancara yang digunakan

adalah wawancara yang tidak berstruktur dimana peneliti sebelum

melakukan wawancara membuat catatan-catatan pertanyaan, (2)

Dokumentasi dengan teknik merekam gambar dan pengumpulan arsip-arsip,

dan (3) Observasi langsung di lapangan. Observasi yang peneliti gunakan

adalah observasi terbuka.

Sedangkan data sekunder peneliti peroleh melalui studi pustaka

terhadap sumber-sumber tertulis tentang upacara simantonayana atau yang

lebih dikenal dengan upacara magedong-gedongan dalam Agama Hindu

pada masyarakat adat Bali, serta kaitannya dengan upacara manusa yajna,

dan juga diperoleh secara online. Menurut Sarwono dalam Sudiani

(2009:14-20) pertimbangan-pertimbangan yang diperlukan dalam memilih

data sekunder adalah sebagai berikut:

1) Jenis data harus sesuai dengan tujuan penelitian yang sudah kita

tentukan sebelumnya.

2) Data sekunder yang dibutuhkan bukan menekankan pada jumlah

tetapi pada kualitas dan kesesuaian, oleh karena itu peneliti harus

selektif dalam memilih dan menggunakannya.

3) Data sekunder biasanya digunakan sebagai data pendukung data

primer, oleh karena itu kita tidak dapat hanya menggunakan data

sekunder sebagai satu-satunya sumber informasi untuk

menyelesaikan masalah penelitian.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan prosedur pengumpulan

dan perekaman data dengan teknik wawancara. Di dalam Modul Metodelogi

Penelitian yang ditulis oleh Oka (2008:29), wawancara ialah Tanya jawab

dalam bentuk komunikasi verbal (berhubungan dengan lisan), bertatap muka

32

Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta

di antara interviewer (pewawancara) dengan para informan atau responden

yang menjadi interviwi, yaitu para anggota masyarakat yang diwawancarai.

Wawancara dapat digolongkan menjadi tiga bagian yakni : 1) wawancara

sambil lalu, 2) wawancara tidak berencana dan 3) wawancara berencana.

Penelitian ini menggunakan teknik wawancara tidak berencana dimana

wawancara diersiapkan lebih dahulu sebelum wawancara dilaksanakan.

Dalam hal ini peneliti menggunakan teknik wawancara tidak berstruktur,

yakni, wawancara yang dilakukan tanpa mengajukan daftar pertanyaan,

tetapi sebelum wawancara dilakukan membuat catatan-catatan pertanyaan.

2.4.5 Analisis Data

Analisis data menurut Suprayogo dan Tobroni dalam Sudiani

(2009:14-20) adalah rangkaian kegiatan penelaahan, pengelompokan,

sistematisasi, penafsiran dan verifikasi data agar sebuah fenomena memiliki

nilai sosial, akademis dan ilmiah. Menurut Muhadjir dalam Sudiani

(2009:14-20) analisis data juga merupakan upaya mencari dan menata secara

sistematis catatan hasil observasi, wawancara, dan lainnya untuk

meningkatkan pemahaman peneliti tentang kasus yang diteliti dan

menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain

Meurut Netra dalam Sudiani (2009:14-20) analisa data dilakukan

setelah selesai pengumpulan data. Mengingat penelitian ini adalah penelitian

kualitatif, maka analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif

kualitatif, sedangkan teknik yang digunakan untuk menganalisis data adalah

perpaduan antara teknik induktif, deduktif dan argumentatif. Teknik induktif

adalah apabila dalam uraian analisis terlebih dahulu dikemukakan fakta-

fakta yang bersifat khusus, baru kemudian ditarik suatu kesimpulan yang

bersifat umum. Menurut Titib dalam Sudiani (2009:14-20) teknik deduktif

dalam analisis adalah terlebih dahulu dikemukakan fakta yang bersifat

umum menuju penarikan suatu kesimpulan. Teknik argumentasi adalah

dengan memberikan komentar-komentar pada saat penarikan suatu

kesimpulan.

Dalam penelitian ini, teknik induktif akan digunakan untuk

menguraikan fakta-fakta yang bersifat khusus yang diperoleh di lapangan

33

Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta

dari beberapa informan yang menyangkut ketiga permasalahan dalam

penelitian ini, kemudian ditarik suatu kesimpulan secara umum. Sedangkan

teknik deduktifnya akan digunakan untuk menguraikan fakta-fakta yang

diperoleh dari kepustakaan yang bersifat umum baru kemudian ditarik suatu

kesimpulan.

Menurut Sarwono dalam Sudiani (2009:14-20) pada penelitian

kualitatif analisis data merupakan analisis yang mendasarkan pada adanya

hubungan semantis antara variabel yang sedang diteliti, agar peneliti

mendapatkan makna hubungan variabel-variabel sehingga dapat digunakan

untuk menjawab masalah yang dirumuskan dalam penelitian.

Menurut Suprayogo dan Tobroni dalam Sudiani (2009:14-20) analisis

data pada penelitian kualitatif bersifat literatif (berkelanjutan) dan

dikembangkan sepanjang program. Analisis data dilaksanakan mulai

penetapan masalah, pengumpulan data, dan setelah data terkumpulkan.

Menurut Ndraha dalam Sudiani (2009:14-20) analisa kualitatif diartikan

sebagai usaha analisis berdasarkan kata-kata yang disusun ke dalam bentuk

teks yang diperluas. Sedangkan analisis deskriptif dimaksudkan adalah

dengan mengadakan suatu telaah pada suatu gejala yang bersifat obyektif

sesuai dengan data kepustakaan maupun lapangan yang menjadi obyek

penelitian ini, sehingga merupakan sebuah bentuk tulisan yang bertalian

dengan usaha untuk melukiskan sebuah rincian dari obyek yang sedang

dibicarakan

Menurut Miles dan Huberman juga Yin dalam Sudiani (2009:14-20)

bahwa tahap analisis data dalam penelitian kualitatif secara umum dimulai

sejak pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan

kesimpulan atau verifikasi. Setelah semua data yang diperlukan terkumpul

melalui pengumpulan data, selanjutnya akan dilakukan pengolahan data

seperti memilah-milah data dan klasifikasi data.

Dalam penelitian ini analisis data dilakukan ketika, sedang, dan setelah

selesai pengumpulan data, dengan menggunakan analisis deskriptif

kualitatif, sedangkan teknik yang digunakan adalah perpaduan teknik

induktif, deduktif dan argumentatif. Dalam kesempatan ini juga akan

34

Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta

dilakukan upaya pengecekan kembali data yang masih meragukan, dan bila

dipandang perlu peneliti akan menghubungi kembali informan di lapangan.

2.4.6 Pemeriksaan atau Pengecekan Keabsahan Data

Dalam riset kualitatif triangulasi menjadi sesuatu yang sangat penting

untuk membantu pengamatan menjadi lebih jelas dan lebih terang sehingga

informasi yang diperlukan menjadi lebih jernih. Triangulasi adalah proses

validasi yang harus dilakukan dalam riset untuk menguji kesahihan antara

sumber data yang satu dengan sumber data yang lain dan /atau metode yang

satu dengan metode yang lain (misalnya,observasi dengan wawancara).

Triangulasi menjadi penting karena , menurut Lincoln and guba dalam Ali

(2010:155) tidak ada satu informasi pun dapat dipertimbangkan untuk

diterima kecuali setelah dilakukan triangulasi.

Menurut Ali (2010:155) dalam pelaksanaan triangulasi ada empat

modus yang sebaiknya dilakukan , yaitu penggunaan lebih dari satu atau

beberapa sumber data, metode, investigator, dan teori.

Triangulasi sumber data merupakan triangulasi dengan modus

penggunaan sumber data yang berbeda dan lebih dari satu mengandung

makna,bahwa suatu informasi yang diperoleh dari satu sumber data dicek

silang kepada sumber data yang lain . Tujuannya adalah untuk memperoleh

informasi lain yang mungkin mengkonter informasi yang diperoleh dari

sumber data sebelumnya atau bahkan memperkaya informasi yang telah

diperoleh dari sumber data pertama.

Triangulasi metode merupakan triangulasi dapat juga dilakukan

dengan penggunaan metode yang berbeda. Artinya, dalam pengumpulan

data ini menggunakan beberapa metode. Dalam penelitian ini menggunakan

beberapa metode yang berbeda untuk pengumpulan data misalnya

wawancara, dan observasi.

Triangulasi investigator artinya dalam penelitian ini ketika melakukan

triangulasi menggunakan lebih dari satu investigator yakni dimana adanya

pengamat di luar peneliti yang turut memeriksa hasil pengumpulan data.

Dalam penelitian ini, dosen pembimbing bertindak sebagai pengamat (expert

judgement) yang memberikan masukan terhadap hasil pengumpulan data.

35

Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta

Triangulasi teori mengandung makna bahwa suatu fakta empiris hasil

investigasi divalidasi dengan beberapa teori yang harus memiliki kebenaran

dalam beberapa teori tersebut. Penggunaan berbagai teori yan berlainan

untuk memastikan bahwa data yang dikumpulkan sudah memasuki syarat.

36

Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta

BAB 3

DATA PENELITIAN

3.1 Data Penelitian Berdasarkan Hasil Wawancara

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan wawancara tidak

berstruktur dimana wawancara dilakukan tanpa mengajukan daftar

pertanyaan, tetapi sebelum wawancara dilakukan peneliti mebuat catatan-

catatan pertanyaan. Dari hasil penelitian di lapangan peneliti menemukan

beberapa hasil dari catatan-catatan pertanyaan tersebut yakni :

3.1.1 Catatan Pertanyaan Pertama

Menurut hasil wawancara tujuan berkeluarga dalam Agama Hindu ada

tiga yakni:

1) Dharma Sampati yakni peralihan dari masa brahmacari menuju ke

masa grahasta sehingga nantinya bersama-sama dapat

melaksanakan kewajiban dalam bermasyarakat dan bernegara.

2) Praja yakni memiliki keturunan yang suputra.

3) Rati yakni sesudah memasuki masa ini laki-laki (suami) dan

perempuan (istri) diperbolehkan melakukan hubungan layaknya

sepasang suami, istri (I Gusti Putu Raka, wawancara tanggal 1 Juli

2012).

Demikian juga halnya hasil wawancara yang peneliti lakukan dengan

Ida Pedanda Gede Panji Sogata (wawancara tanggal 5 Juli 2012)

mengatakan hal yang sama tentang tujuan berkeluarga dalam Agama Hindu

meliputi tiga hal yakni Dharma Sampati, Praja dan Rati.

Keseluruhan dari syarat-syarat tersebut merupakan dasar atau landasan

yang kuat bagi kelangsungan hidup berkeluarga. Suatu keluarga dianggap

sejahtera apabila telah terpenuhinya kebutuhan hidup sehari-hari, terutama

dalam bentuk materi. Namun keluarga yang sejahtera ini belumlah dapat

dikatakan telah mencapai kebahagiaan, apabila unsur-unsur pendukung

tercapainya kebahagiaan, tersebut belum memenuhi syarat untuk itu.

37

Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta

Kebahagiaan dan kesejahteraan ini haruslah berkeseimbangan, seimbang

antara jasmani dan rohani, seimbang antara lahir dan bathin serta seimbang

antara material dan spiritual.

Menurut Hasil wawancara tujuan berkeluarga ialah untuk mendapatkan

anak yang suputra karena sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan

Nomor 1 Tahun 1974, pasal 1 dinyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan

lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri

dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan adanya ikatan lahir bathin

tersebut diharapkan akan terjalinnya suatu ikatan suci demi mendapatkan

keluarga sukinah dan memiliki anak yang berguna bagi nusa dan bangsa

(suputra) (I Ketut Wiardana, SH. wawancara tanggal 30 Mei 2012).

Tujuan yang dirumuskan untuk membentuk keluarga atau rumah

tangga yang bahagia itu erat sekali hubungannya dengan adanya keturunan,

yang pada hakekatnya juga merupakan tujuan dari perkawinan itu sendiri.

Karena kebahagiaan dari keluarga tidak dapat dipisahkan dari hal-hal yang

menyangkut masalah keturunan. Itulah sebabnya, maka salah satu tujuan

melaksanakan perkawinan atau wiwaha adalah memperoleh sentana

(keturunan). Alasannya adalah karena dengan mengadakan putra atau

sentana lebih-lebih sentana yang berkualitas suputra, adalah salah satu jalan

untuk membayar hutang budi kepada para leluhur, yang sekaligus juga

bahwa membentuk suatu keluarga adalah sebuah amanat dari Tuhan Yang

Maha Esa yang patut diemban dengan sebaik-baiknya, penuh dengan ketulus

ikhlasan dan penuh dengan rasa tanggung jawab.

Keluarga adalah suatu ikatan atau jalinan berdasarkan pengabdian,

yakni suami (ayah) mengabdi kepada istri dan anak-anaknya; demikian pula

seorang istri (ibu) mengabdi kepada suami dan anak-anaknya serta

selanjutnya anak mengabdi kepada kedua orang tuanya. Jadi karena adanya

ikatan dan saling mengabdi inilah maka jalinan itu disebut dengan keluarga.

Dengan kata lain bahwa keluarga adalah suatu ikatan atau hubungan yang

terjalin secara harmonis antara suami (ayah/bapak), istri (ibu) dan anak.

38

Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta

3.1.2 Catatan Pertanyaan Kedua

Menurut hasil wawancara anak yang suputra tercipta melalui dari

sepasang suami istri yang memiliki niat dan perilaku yang baik dimana anak

suputra merupakan adanya hubungan abadi antara orang tua dan anak

hingga orang tua meninggal sampai kepada hubungan dengan para leluhur.

Pentingnya memiliki anak suputra yakni agar nantinya dapat

mensejahterakan orang tua dan leluhurnya (I Ketut Wiardana, SH.

wawancara tanggal 30 Mei 2012).

Hasil wawancara dengan narasumber yang berbeda mengatakan bahwa

anak yang suputra merupakan anak yang menuruti perkataan orang tua, rajin

membantu, ramah terhadap setiap orang, tidak berbuat nakal dan nantinya

mampu membawa nama baik keluarga dengan baik. Pentingnya memilii

anak yang suputra ialah agar kehidupan orang tua beserta keluarga menjadi

bahagia dengan adanya anak yang suputra (I Wayan Rudji, wawancara

tanggal 25 Juni 2012).

Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa anak yang suputra

akan mampu memberikan ketenangan, kedamaian dan persatuan dalam

keluarga, masyarakat serta nusa dan bangsa. Untuk itu hadirnya seorang

anak suputra menjadi sebuah harapan dan sangat penting bagi sebuah

keluarga.

3.1.3 Catatan Pertanyaan Ketiga

Menurut hasil wawancara seorang ibu yang sedang hamil hendaknya

selalu berbuat baik, mendekatkan dirinya dengan orang-orang yang pintar,

mendengarkan ajaran-ajaran suci, dan mengikuti pelaksanaan-pelaksanaan

hari raya agar anak yang dilahirkannya menjadi anak yang baik (suputra)

(Ida pedanda Istri Mayun, wawancara tanggal 25 Juni 2012).

Hasil wawancara dengan narasumber yang berbeda mengatakan ibu

yang sedang hamil hendaknya selalu menjaga dirinya dari pikiran yang tidak

baik misalnya berfikir untuk menyakiti orang lain , perkataan yang tidak

baik misalnya mencaci maki orang lain dan perbuatan yang tidak baik

39

Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta

misalnya menyiksa serta membunuh makhluk hidup serta menjaga

kesehatannya (I Gusti Putu Raka, wawancara tanggal 1 Juli 2012).

Memelihara kesehatan seseorang ibu yang sedang hamil merupakan

faktor penting dalam mendapatkan kelahiran anak yang baik atau sempurna.

Selain makanan yang sehat, juga yang harus diperhatikan pantangan-

pantangan dan anjuran-anjuran. Pantangan-pantangan terhadap ibu yang

sedang mengandung ada bermacam-macam, misalnya tidak berfikir, berkata,

dan berbuat yang tidak baik, tidak memakan makanan yang tidak sehat dan

tidak melakukan sesuatu yang melampui batas-batas tertentu, seperti bekerja

keras, terlalu bebas memenuhi hawa nafsunya dan lain-lain. Hendaknya

seorang ibu dianjurkan melakukan hal-hal yang berpengaruh positif yang

nantinya berpengaruh positif pula pada bayinya.

3.1.4 Catatan Pertanyaan Keempat

Menurut hasil wawancara pelaksanaan upacara simantonayana

(upacara magedong-gedongan) pernah dilaksanakan di Pura Aditya Jaya

Rawamangun (Perdana Ida Pedanda Istri Mayun, wawancara 25 Juni 2012).

Demikian juga halnya hasil wawancara yang peneliti lakukan dengan

I Wayan Rudji (wawancara tanggal 25 Juni 2012) mengatakan hal yang

sama bahwa umat pernah melaksanaan upacara simantonayana (upacara

magedong-gedongan) di Pura Aditya Jaya Rawamangun.

Upacara simantonayana (upacara magedong-gedongan) pernah

dilaksanakan di Pura Aditya Jaya Rawamangun. Akan tetapi selama proses

penelitian ini berlangsung berkisar antara bulan Mei-Juli peneliti tidak

menemukan adanya pelaksanaan upacara simantonayana (upacara

magedong-gedongan) di Pura Aditya Jaya Rawamangun .

3.1.5 Catatan Pertanyaan Kelima

Menurut hasil wawancara peneliti tentang spesifikasi tempat

pelaksanaan upacara simantonayana (magedong-gedongan) di Pura Aditya

Jaya Rawamangun biasanya dilaksanakan di bagian Kanisthama Mandala

(jaba sisi) Pura hal ini diungkapkan oleh Perdana Ida Pedanda Istri Mayun,

dalam wawancara yang dilakukan peneliti pada tanggal 25 Juni 2012.

40

Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta

Hasil wawancara dengan narasumber yang berbeda mengatakan

pelaksanaan upacara simantonayana (magedong-gedongan) dapat

dilangsungkan di rumah maupun di Pura tepatnya di jaba sisi Pura (I Gusti

Putu Raka, wawancara tanggal 1 Juli 2012).

Berdasarkan hasil wawancara tersebut peneliti dapat menyimpulkan

bahwa pelaksanaan upacara simantonayana (upacara magedong-gedongan)

dapat dilangsungkan di Pura ataupun di rumah.

3.1.6 Catatan Pertanyaan Keenam

Menurut hasil wawancara peneliti tentang makna upacara

simantonayana (magedong-gedongan) dengan I Gusti Putu Raka pada

tanggal 1 Juli 2012 menyatakan bahwa makna dari upacara simantonyana

adalah untuk memohon kepada Sang Hyang Atman yang berstana di dalam

bayi agar tetap berstana dan membentuk janin menjadi sehat dan kuat

sehingga dapat lahir dengan selamat kedunia serta nantinya kelak menjadi

anak yang suputra.

Hasil wawancara dengan narasumber yang berbeda mengatakan

pelaksanaan upacara simantonayana (magedong-gedongan) memiliki makna

untuk meningkatkan kualitas kelahiran manusia menjadi lebih baik yakni

menjadi anak suputra (Ida Pedanda Gede Panji Sogata, wawancara tanggal 5

Juli 2012).

Makna upacara simantonayana (upacara magedong-gedongan) adalah

memohon kepada Sang Hyang Atman untuk tetap berstana pada bayi

sehingga sang bayi dapat terlahir menjadi anak suputra, disamping itu

upacara ini juga bertujuan untuk meningkatkan kualitas kelahiran manusia.

3.1.7 Catatan Pertanyaan Ketujuh

Berdasarkan pernyataan Ida Pedanda Gede Panji Sogata dalam

wawancara yang dilakukan oleh peneliti pada tanggal 5 Juli 2012

menyebutkan ada beberapa sumber sastra Hindu yang menjelaskan tentang

upacara simantonayana (magedong-gedongan) diantaranya adalah Manawa

Dharmaçastra dan Lontar Yajna Prakerti sedangkan dalam wawancara

dengan narasumber lain yaitu I Gusti Putu Raka yang dilakukan pada

41

Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta

tanggal 1 Juli 2012 menyebutkan sumber sastra lainnya yang dapat dijadikan

rujukan terhadap keberadaan upacara simantonayana (magedong-gedongan)

yakni Mahabharata. Dari hasil wawancara tersebut maka peneliti dapat

menyimpulkan tentang beberapa sumber sastra Hindu yang dapat dijadikan

rujukan pelaksanaan upacara simantonayana (upacara magedong-gedongan)

yaitu Manawa Dharmaçastra, Mahabharata dan Lontar Yajna Prakerti.

3.2 Data Penelitian Berdasarkan Hasil Observasi

Dalam penelitian ini selain menggunakan metode wawancara tidak

berstruktur peneliti juga melakukan observasi pelaksanaan upacara

simantonayana (magedong-gedongan) selain melakukan observasi peneliti

juga melakukan wawancara dengan beberapa narasumber terkait dengan

tahapan pelaksanaan upacara simantonayana (magedong-gedongan),

upakara yang dibutuhkan serta hubungan upacara simantonayana dalam

upaya melahirkan anak suputra.

3.2.1 Catatan Pertanyaan Kedelapan

Berdasarkan hasil observasi peneliti pelaksanaan upacara

simantonayana (magedong-gedongan) dilakukan melalui beberapa tahapan

antara lain:

1. Pemangku Mepuja

2. Ngaturang banten ke leluhur

3. Suami dan Istri melakukan pembersihan dan natab banten byakala

dan prayascita serta penglukatan

4. Natab banten (magedong-gedongan)

5. Ngayab banten

6. Suami istri mengelilingi cabang dab-dab yang dipancangkan

dikanan-kiri pintu gerbang merajan menghadap keluar yng

dihubungkan dengan benang hitam satu tukel. Dalam mengelilingi

tersebut si perempuan menjunjung ceraken, tangan kanan

menjinjing daun kumbang berisi air dan ikan. Sedangkan sang

suami tangan kirinya memegang benang dan tangan kanan

42

Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta

menusuk-nusuk daun kumbang tadi dengan bungbungan sampai

ikan tumpah.

7. Suami dan Istri melakukan persembahyangan

8. Pemercikan tirtha

Hal ini sejalan dengan yag dijelaskan oleh Ida Pedanda Gede Panji

Sogata dalam wawancara yang dilakukan peneliti pada tanggal 5 Juli 2012

di Griya Lenteng Agung.

3.2.2 Catatan Pertanyaan Kesembilan

Dalam hasil observasi peneliti menemukan beberapa upakara yang

dibutuhkan dalam pelaksanaan upacara simantonayana (magedong-

gedongan antara lain:

1. Untuk pembersihan: Byakala, Prayascita, dan Panglukatan

2. Untuk ayaban: Sesayut pamahayu tuwuh, sesayut tulus dadi,

sesayut ketututan, pulagembal, pengambyan.

3. Banten pagedongan

Hal ini ditegaskan pula dalam wawancara peneliti dengan I Gusti Putu

Raka ang dilakukan pada tanggal 1 Juli 2012.

3.2.3 Catatan Pertanyaan Kesepuluh

Berdasarkan pengamatan peneliti selama observasi peneliti

menemukan adanya hubungan antara upacara simantonayana (magedong-

gedongan dalam upaya melahirkan anak suputra hal ini ditunjukkan dengan

keberadaan banten pagedong-gedongan yang melambangkan perut ibu yang

mengandung lengkap dengan saudara-saudara si calon bayi (Catur Sanak)

yang dalam tujuannya adalah untuk memohon agar Ibu dan calon anak

mendapatkan pemeliharaan yang baik dan selamat serta sang anak kelak

akan menjadi anak yang suputra. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Ida

Pedanda Gede Panji Sogata yang menyatakan bahwa banten pagedong-

gedongan merupakan inti dari upacara magedong-gedongan.

43

Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta

BAB 4 PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

4.1 Makna Upacara Simantonayana (Magedong-gedongan)

4.1.1 Upacara Simantonayana (Magedong-gedongan) merupakan upacara manusa

yajna

Dalam paparan mengenai pelaksanaan ajaran Agama Hindu dapat

dilihat dari jenis yajna, dasar yajna, tingkatan yajna, pahala ber-yajna,

tempat ber-yajna dan tujuan ber-yajna. Yajna berasal dari kata yaj yang

artinya korban, sedangkan yajna berarti yang berhubungan dengan korban.

Dalam hal ini korban yang dimaksud adalah korban yang berdasarkan

pengabdian dan cinta ksih, sebab pelaksanaan Yajna bagi umat Hindu adalah

satu contoh perbuatan yang dilakukan untuk Ida Sang Hyang Widhi, yang

telah menciptakan manusia serta alam semesta ini dengn Yajna-Nya. Dalam

Bhagavadgita III. 10 menjelaskan dengan sangat terperinci tentang

pelaksanaan yajna yakni :

Saha-yajnah prajah srstva purovacaprajapatih, anena prasavisyadhvam esa vo’stv ista-kama-dhuk Artinya : “Sesungguhnya sejak dahulu dikatakan, tuhan setelah menciptakan manusia melalui Yajna, berkata: dengan (cara) ini engkau akan berkembang, sebagaimana sapi perah yang memenuhi keinginanmu (sendiri) (Pudja, 2005:84)” Sesungguhnya pengorbanan yang dilaksanakan berdasarkan

pengabdian dan rasa cinta kasih, tidak memerlukan balasan. Walaupun pada

dasarnya pelaksanaan yajna tidak terikat pada hasilnya, tetapi mempunyai

tujuan-tujuan spiritual yakni menghubungkan diri kehadapan Ida Sang

Hyang Widhi. Sebagai tanda terimakasih atas segala rahmat yang telah

diberikan.

Disebutkan dalam Asma Medha Parwa dalam Ramayanti (2003:20)

yakni :

“Raja Janamejaya mengajukan pertanyaan kepada Rsi Waisampayana : ‘O Rsi raja-raja sejak jaman dahulu sudah terikat untuk melakukan upacara, sedangkan para Rsi diikat oleh taa dan yoga. Para Brahmana

44

Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta

bijaksana diikat oleh tuntunan dan latihan guna mendapatkan ketenangan bathin, tingkah laku damai dan pengendalian diri. Menurut keyakinan hamba selaku raja, tidak ada damai dan pengendalian diri. Menurut keyakinan hamba selaku raja, tidak ada berkah yang lebih mulia daripada berkah-berkah upacara. Keyakinan hamba itu tentulah merupakan keyakinanyang benar, stidak-tidaknya bagi golongan raja-raja. Hamba tahu bahwa tidak terhitung banyaknya raja-raja yang melakukan pemujaan dengan menyelenggarakan upacara-upacara. Dan mereka semua telah menjadi besar termasyur dan mencapai alam sorga.” Dalam hal ini jelaslah bahwa melakukan korban suci/yajna akan

membahagiakan diri baik di dunia dan akhirat. Berdasarkan uraian diatas

maka upacara sangat berguna untuk mencapai kesempurnaan hidup lahir dan

bathin. Untuk mencapai kesucian, membebaskan diri dari segala dosa demi

tercapainya kesempurnaan lahir dan bathin.

Penjelasan tersebut telah menjawab fokus penelitian yang pertama

dalam penelitian ini yakni dimana penulis menggunakan teori religi karena,

dalam kenyataannya sistem religi, mempunyai wujud sebagai sistem

keyakinan dan gagasan-gagasan tentang tuhan, dewa-dewa, roh-roh halus.

neraka, surga dan sebagainya, dan juga mempunyai wujud yang berupa

upacara-upacara baik yang bersifat musiman maupun yang kadangkala dan

sistem religi juga mempunyai wujud-wujud benda-benda religius

(Koentjaraningrat, 1977:218).

Dalam Agama Hindu wujud keyakinan tersebut yang berkaitan dengan

teori religi adalah adanya yajna (persembahan) yang dilakukan umat Hindu

secara keseluruhan dapat diformulasikan menjadi lima bagian yang biasa

dikenal dengan nama Panca Yajna atau juga dikenal denan lima

persembahan yang utama (Panca Maha Yajna). Adapun bagian-bagiannya

yaitu: 1).Persembahan kepada ‘Tuhan dan manifestasinya (Deva Yajna),

2).Persembahan kepada orang tua secara sekala dan niskala (Pitra Yajna),

3).Persembahan kepada orang suci (Rsi Yajna), 4). Persembahan kepada

semua makhluk ciptaan Tuhan (Bhuta Yajna), 5). Persembahan kepada

sesama manusia (Manusa Yajna) (Surayin,2004:3).

Betapa pentingnya yajna itu bagi umat Hindu, seperti yang disebutkan

di dalam Kitab Bhagavadgita Bab III, 12 dan 13 sebagai berikut:

45

Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta

Istan bhogan hi vo deva, dasyante yadnabhavitah, tair datatan apradayaibhyo, yo bhunte stena eva sah. Artinya : “Sesungguhnya keinginan untuk mendapatkan kesenangan telah diberikan kepadamu oleh dewa-dewa karena yajna, sedangkan ia yang telah memperoleh kesenangan tanpa memberi yajna sesungguhnya adalah pencuri (Pudja, 2005:85)”

Yadna sistasinah santo, mucyante sarvakilbisaih, bhunjate te tvagham papa, ye pacanty atmakaranat. Artinya : “Ia yang memakan sisa yajna akan terlepas dari segala dosa, tettapi ia yang hanya memasak makanan hanya bagi diri sendiri, sesungguhnya memakan dosa (Pudja, 2005:86)”

Dalam hal ini adanya rasa terima kasih atas anugrah Ida Sang Hyang

Widhi Wasa yang diwujudkan dalam bentuk yajna, yang bertujuan untuk

menjaga keseimbangan antara permohonan dengan pemberian yang berupa

yajna itu, atau dengan kata lain bahwa yajna bertujuan untuk

menyebarluaskan ajaran Veda, sebagai sarana untuk menyeberangkan atma

untuk mencapai moksa, sebagai sarana untuk menyampaikan permohonan

kepada Tuhan Yang Maha Esa, sebagai sarana untuk menciptakan

keseimbangan dan sebagai sarana untuk mendidik yang bersifat praktis tata

laku pengalaman ajaran agama.

Manusa Yajna adalah korban suci yang dilaksanakan mulai dari bayi

di dalam kandungan sampai akhir hidupnya. Kelahiran hidup manusia

diselimuti oleh kekotoran dan disertai pula sifat-sifat yang baik maupun

yang tidak baik sebagai akibat dan karma wasana-nya. Sifat yang tidak baik

akan menimbulkan penderitaaan dan kesengsaraan hidup sedangkan

kekotoran yang melekat pada badan akan mengurangi kesucian baik lahir

maupun bathin (Susila, 2009:61).

Mensucikan lahir dan bathin perlu diadakan upacara, sebab Sang

Hyang Widhi hanya berkenan melimpahkan anugrah-Nya kepada orang

yang suci lahir dan bathin. Jika seseorang sudah suci lahir dan bathin

46

Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta

diharapkan dapat menerima sinar kekuatan suci dan Sang Hyang Widhi,

yang akan menerangi jalan hidupnya sehingga terhindar dari hal-hal yang

menyesatkan. Sifat-sifat kurang baik yang disebabkan oleh pengaruh hari

lahir, perlu dinetralisir dengan sarana upacara yang khusus untuk hal

tersebut agar terhindar dari hal-hal yag tidak baik, sehingga mendapatkan

keselamatan dan kesejahteraan dalam hidup.

Mengenai pelaksanaan upacara Manusa Yajna, dalam kitab Manawa

Dharmasastra Buku II sloka 27 dan 28, dijelaskan diantaranya sebagai

berikut:

Sloka 27 :

Garbhairhomairjatakarma caudamaunjini bnadhanah baijikam garbhikam caino dwijanamapamrjyate Artinya: “Dengan upacara membakar bau-bauan harum pada waktu hamil sang ibu, dengan upacara jatakarma (bayi baru lahir), upacara Cauda (upacara gunting rambut pertama) dan upacara Maunji Bandhana (upacara memberi kalung/gelang) maka kekotoran yang didapat dari orang tua akan terhilang dari Tri wangsa (Pudja dan Sudartha, 2002:68)” Sloka 28:

Swadhyayena wratairhomais Traiwidhyenejyaya sutaih, Mahayajnaiçca yajnaiçca Brahmiyam kriyate tanuh. Artinya: “Dengan mempelajari Veda, dengan tapa, dengan korban suci, dengan pembacaan pustaka-pustaka suci, dengan memperdalam tiga ilmu suci, dengan upacara persembahan (pada para Deva, Rsi dan Leluhur), dengan melahirkan putra-putra, dengan mengadakan upacara besar, dengan pensucian badan wadag ini dibuat mampu untuk bersatu dengan Tuhan (Pudja dan Sudartha, 2002:68).”

Berdasarkan penjelasan dan kutipan-kutipan sloka yang merupakan

sumber-sumber hukum Hindu tersebut didepan, maka dapat disimpulkan

bahwa pelaksanaan upacara oleh umat Hindu memiliki tujuan yang sama

dan pelaksanaannya mulai dari upacara bayi dalam kandungan sampai akhir

hidupnya.

47

Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta

Didalam buku pengantar acara Agama Hindu yang ditulis oleh ketut

Subagiasta, (2008:68), disini Sri Svami Sivananda mengatakan bahwa

pemujaan (upasana) kepada Tuhan memurnikan hati, membangkitkan

getaran-getaran selaras, kemantapan pikiran, memurnikan dan mempertinggi

perasaan, menyelaraskan kelima selubung (kosa), dan akhirnya membawa

pada penyatuan, persekutuan atau realisasi Tuhan. Upasana membantu para

penyembah untuk duduk dekat Tuhan atau bersatu dengan-Nya. Ia mengisi

pikiran dengan prema atau kasih sayang murni pada Tuhan, yang secara

bertahap merubah manusia menjadi makhluk Tuhan. Upasana merubah

bahan-bahan mental, menghancurkan sifat-sifat rajas dan tamas serta

mengisi pikiran dengan sifat sattwam atau kemurnian. Akhirnya ia

membawa para bhakta berhadapan dengan Tuhan, membebaskan dari roda

kelahiran dan kematian serta memberinya kekekalan dan kebebasan.

Jadi ber-yajna itu memiliki pahala yang sangat utama bagi umat

manusia. Yajna pahalanya adalah kesucian diri, pembebasan diri dari segala

dosa, penyatuan diri dengan Tuhan, memiliki sikap dan sifat sattwam

(bijaksana, arif, cerdas, mulia, dan berpikiran luhur), hidup bahagia secara

perorangan dan kebersamaan dan hidup rukun dalam komunitas yang

majemuk. Selain itu bahwa pahala yajna adalah untuk membangkitkan rasa

bhakti (pengabdian) dan Sradha (keyakinan/kepercayaan) kepada Tuhan

Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Tidak hanya dengan

demikian, dengan ber-yajna juga dapat mengharmoniskan diri dengan

Tuhan, mengharmoniskan diri dengan sesama manusia, serta

mengharmoniskan diri dengan kondisi dan situasi dimana kita berada,

terutama dengan lingkungan, adat istiadat setempat. Konsep ini sangat

berkaitan dengan pentingnya keharmonisan hidup manusia yang bersumber

dari tiga hal yang disebut dengan Tri Hita Karana (Subhagiasta, 2008:68-

69).

Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa penggunaan teori religi

dalam bentuk banten, terutama banten atau upacara simantonayana pada

tahapan upacara manusa yajna yang kita jumpai pada saat upacara Agama

Hindu, merupakan media untuk menyampaikan sraddha dan bhakti kepada

48

Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta

kemahakuasaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, memiliki hubungan erat

antara alam semesta (bhuana agung) dengan manusia (bhuana alit).

4.1.2 Jenis Upakara dan Makna Upacara Simantonayana (Magedong-gedongan)

Pelaksanaan yajna dapat kita lihat pula dari kualitas Tri Guna, di

dalam Kitab Suci Bhagavadgita Bab XVII sloka 11, 12, dan 13

membedakan tingkatan yajna menjadi tiga golongan yaitu:

1) Satvika Yajna adalah yajna yang dilaksanakan dengan keikhlasan tanpa

mengharapkan hasilnya, dilaksanakan semata-mata sebagai suatu

kewajiban yang patut dilaksanakan, sesuai dengan Kitab Suci

Bhagavadgita Bab XVII sloka 11 :

Aphalakanksibhir yajno vidhi-drsto ya ijyate, yastavyam eveti manah samadhaya sa sattvikah Artinya: “Yajna menurut petunjuk kitab-kitab suci, yang dilakukan oleh orang tanpa mengharap pahala dan percaya sepenuhnhya bahwa upacara ini sebagai tugas kewajiban, adalah satvika.”

2) Rajasika Yajna adalah yajna yang dipersembahakan dengan motivasi

untuk memamerkan kemampuan serta terikat dengan keinginan untuk

memperoleh buahnya, sesuai dengan Kitab Suci Bhagavadgita Bab

XVII sloka 12 :

Abhisandhaya tu phalam dambhartham api caiva yat, ijyate bharata-srestha tam yajnam viddhi rajasam. Artinya: “Tetapi yang dilakukan dengan mengharap ganjaran, dan semata-mata untuk kemegahan belaka, ketahuilah, wahai Arjuna, yajna itu adalah bersifat rajas.”

3) Tamasika Yajna adalah yajna yang dilakukan secara sembarangan,

tidak sesuai dengan ketentuan sastranya, tidak ada makanan yang

dibagi-bagikan, tidak ada mantra, syair yang dinyanyikan, tidak ada

49

Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta

daksina, serta tidak dilandasi dengan keyakinan dan kepercayaan,

sesuai dengan Kitab Suci Bhagavadgita Bab XVII sloka 13 :

Vidhi-hinam asrstannam Mantra-hinam adaksinam, Sraddha-virahitam yajnam Tamasam paricaksate. Artinya: “Dikatakan bahwa, yajna yang dilakukan tanpa aturan (bertentangan), di mana makanan tidak dihidangkan, tanpa mantra dan sedekah serta tanpa keyakinan dinamakan tamas.”

Demikian tingkatan kualitas yajna dibedakan atas dasar pengaruh tri

guna yang member motivasi dalam melaksanakannya. Dalam tingkatan ini

besar kecilnya upakara tidak menjadi ukuran. Tingkat spiritualitas suatu

persembahan (yajna) lebih ditentukan oleh srada, kebaktian, keikhlasan

serta jauh dari rasa ego.

Sedangkan tingkatan yajna yang didasarkan atas besar kecilnya

upakara yang dipersembahakan dibedakan menjadi tiga tingkatan, yaitu:

Kanista (upakara kecil), Madya (upakara menengah) dan Utama (upakara

besar). Keharmonisan antara besar dan kecilnya yajna yang akan

dilaksanakan dengan tingkat kemampuan yang bersangkutan sangat

diperlukan agar pelaksanaan yajna yang bertujuan menuju kesejahteraan dan

kebahagiaan tidak justru membawa penderitaan melainkan dapat

meningkatkan diri dari segala segi baik segi spiritual dan moral.

Menurut hasil wawancara, perbedaan tingkatan yajna disesuaikan

dengan tingkat kemampuan umat yang melaksanakan karena, dalam

kenyataan tingkat kemampuan materi yang dimiliki tidaklah sama. Dari segi

kualitas tingkatan yajna tidak ada perbedaan, sepanjang dalam

pelaksanaannya didasari dengan bhakti, ketulusan dan kesucian hati (Ida

Pedanda Istri Mayun, wawancara tanggal 25 Juni 2012).

Demikian pula halnya dalam upacara simantonayana (magedong-

gedongan) yang juga memiliki tiga tingkatan didasarkan pada besar dan

kecilnya upakara yang digunakan yakni:

1. Nista (upakara kecil) : byakala, peras, daksina, ajuman, prayascita,

sesayut pengambyan atau sesayut pamahayu tuwuh.

50

Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta

2. Madya (upakara menengah) : byakala, peras daksina, ajuman

prayascita, sesayut pamahayu tuwuh, sesayut tulus dadi, sesayut

ketututan, pulagembal, pengambyan, banten pagedongan, membuat

permandian (kalau upacara dilakukan di rumah), dua buah cabang

dadap ditancapkan di pintu merajan (gerbang) kedua batang dadap

dihubugkan dengan tali hitam, daun talas yang berisi air dan ikan,

sebuah ceraken (bakul) yang berisi rempah-rempah, sebatang

bambu buluh runcing (gelanggang).

3. Utama (upakara besar) : byakala, peras, daksina, ajuman, 2 buah

banten suci, dewa-dewi, prayascita, bebangkit, panglukatan,

pagedong-gedongan, caru dipermandian, beberapa jenis sesayut,

tataban, membuat permandian (kalau upacara dilakukan di rumah),

dua buah cabang dadap ditancapkan di pintu merajan (gerbang)

kedua batang dadap dihubugkan dengan tali hitam, daun talas yang

berisi air dan ikan, sebuah ceraken (bakul) yang berisi rempah-

rempah, sebatang bambu buluh runcing (gelanggang).

Pada dasarnya pelaksanaan yajna tersebut tidaklah bergantung pada

besar dan kecilnya suatu upakara kan tetapi berdasarkan keikhlasan dan

kesucian hati dalam pelaksanaannya serta disesuaikan dengan desa, kala dan

patra di masing-masing tempat karena dalam pelaksanaannya memiliki

makna yang sama.

Menurut hasil wawancara pencerminan dari persembahan yang didasari

hati yang suci terdapat pada kitab Bhagavadgita Bab IX, sloka 26 yakni :

Patram puspam phalam toyam yo me bhaktya prayacchati, tad aham bhakty-upahrtham asnami prayatatmanah. Artinya: “Siapaun yang dengan sujud bhakti kepada-Ku mempersembahkan sehelai daun, sekuntum bunga, sebiji buah-buahan, seteguk air, aku terima sebagai bhakti persembahan dari orang yang berhati suci (Pudja, 2005: 239).”

dari penjelasan sloka dalam kitab Bhagavadgita Bab IX, sloka 26, seluruh

umat dapat melaksanakan upacara simantonayana atau yang lebih dikenal

51

Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta

dengan upacara magedong-gedongan pada masyarakat adat Bali (I Wayan

Rudji, wawancara tanggal 25 Juni 2012).

Penjelasan beberapa upakara/banten magedong-gedongan:

1. Byakala adalah sejenis sesajen yang ditujukan kehadapan para

bhuta kala/kekuatan-kekuatan negatif, agar si ibu yang akan

diupacarai tidak diganggu dan upacaranya berjalan lancar.

2. Peras, Daksina dan Ajuman adalah nama-nama jenis sesajen yang

pada dasarnya berfungsi sebagai persaksian, dan ditujukan

kehadapan Bhatara Surya/Dewa Matahari, agar beliau berkenan

menyaksikan upacara yang akan diselenggarakan dengan tujuan

diberikan kekuatan supaya berhasil dan sukses (sebagai maksud

dari banten peras yaitu Prasida artinya berhasil).

3. Prayascita adalah sejenis sesajen yang bertujuan sebagai

penyucian/pembersihan secara rohani terhadap kekotoran-

kekotoran yang mungkin terdapat pada diri seseorang, khususnya

dalam upacara ini adalah pada diri si Ibu yang sedang hamil.

4. Pagedong-gedongan adalah sejenis sesajen yang berbentuk

gedong/kotak dibuat dari daun lontar yang didalamnya berisi

perlengkapan antara lain : beras, sebutir telur ayam, kelapa gading

yang masih muda digambari anak kecil, segulung benang, uang

kepeng 225 dilengkapi dengan jenis banten yang lainnya seperti

canang tubungan, dan beberapa jenis rempah-rempah. Semua

banten ini dialasi dengan kain yang baru putih dan kuning. Banten

pagedong-gedongan ini kiranya adalah merupakan simbolik dari

perut si Ibu yang berisi bayi lengkap dengan saudara-saudaranya

(Catur Sanak). Menurut Geriya (2004: 19) kepercayaan masyarakat

Hindu di Bali, janin yang ada di dalam kandungan dipelihara dan

dijaga oleh Sang Hyang Catur Bhuana yang siap dengan senjatanya

berupa bajra, gada, mentang nagapasa, dan cakra. Di samping itu,

kenyataannya janin perlu mendapat pemeliharaan dan penjagaan

dari 4 unsur yaitu :

52

Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta

a. Yeh Nyom (air ketuban) adalah merupakan cairan yang

melindungi si bayi terhadap sentuhan/ getaran dari luar.

b. Lamad/lamas adalah merupakan lemak yang membungkus

jasmani bayi.

c. Darah adalah yng mengedarkan makanan air dan lain-lain

sesuai dengan fungsi darah.

d. Ari-ari adalah merupakan tempat melekatnya tali pusat,

menyerap makanan dan lain-lain.

Adapun tujuan dari banten ini adalah untuk memohonkan agar si

Ibu dengan anak yang masih berada dalam kandungannya

mendapatkan pemeliharaan yang baik dan selamat, serta kelak pada

saat akan dilahirkan menjadi sempurna dan selanjutnya nanti dapat

berguna dalam kehidupan di masyarakat. Banten pagedongan ini

nantinya akan dibuka pada saat si Ibu melahirkan.

5. Suci adalah sejenis sesajen yang berfungsi sebagai persaksian,

ditujukan kehadapan Bhatara Surya, Bhatara Brahma, dan Bhatara

di Pamerajan/Sanggah Kemulan/Leluhur.

6. Sesayut adalah sejenis sesajen yang berfungsi yang macamnya

banyak antara lain : sesayut pamahayu tuwuh, tulus dadi dan

dirangkaikan dengan banten pengambyan yang fungsinya adalah

untuk memohonkan keselamatan, panjang umur, kandungannya

kuat/ tidak mengalami keguguran/abortus dan selamanya menjadi

baik dalam perkembangannya.

7. Sesayut Pamahayu Tuwuh merupakan sebuah aled/alas sesayut di

isi nasi penek (tumpeng) sebuah, rerasmen satu tangkih berisi

daging ayam panggang, buah-buahan, jajan, sampian nagasari,

penyeneng, canang genten, canang sari, dan sampian sesayut.

8. Sesayut Tulus Dadi merupakan sebuah aled sesayut di isi nasi

penek merah, rerasmen, ayam panggang dari ayam biying, jajan,

buah-buahan, tetebus benang merah, putih, hitam (Tri datu), jajan,

canang genten, canang sari, sega merah, sega hitam, sampyan

sesayut (rerasmen berisi kacang, saur, sambal, garam).

53

Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta

9. Sesayut Ketututan merupakan sebuah aled sesayut berisi nasi

tlompokan (penek tapak) disusuni kelapa disisir/parut, rerasmen,

rempah-rempah/basan ubad, kapur sirih masing-masing satu

bugkus kemudian dilengkapi jajan, buah-buahan, sampian ngasari,

canang genten, canang sari.

10. Pulagembal adalah sejenis sesajen yang fungsinya sebagai banten

ayaban/tataban. Banten ini ditujukan kehadapan Bhatara Gana

beserta Widyadara/Widyadari agar beliau berkenan menghindarkan

segala mara bahaya dan dapat menuntun ke arah yang selamat dan

sejahtera.

11. Dewa/dewi adalah sejenis sesajen yang melambangkan Hyang

Widhi sebagai Purusha dan Pradana (laki dan perempuan).

Fungsinya sebagai persaksian agar Beliau berkenan memberikan

restu untuk kesuksesan Yadnya yang telah diselenggarakan.

12. Bebangkit merupakan sejenis sesajen yang fungsinya sama dengan

pulagembal yaitu sebagai ayaban/tataban/suguhan simbolik mohon

berkah, yang ditujukan kehadapan Bhatara Durgha agar beliau

tidak memberikan pengaruh negatif kepada orang yang diupacarai.

13. Panglukatan adalah sejenis air suci/tirtha yang dimohonkan

kehadapan para Dewa, yang nantinya berfungsinya untuk

ngelukat/membersihkan/menyucikan segala dosa dan

noda/kekotoran yang akhirnya menjadi suci.

Menurut hasil wawancara sarana upakara yang paling umum

digunakan oleh umat di Pura Aditya Jaya Rawamangun ini adalah Byakala,

Pejati, Prayascita, Pagedong-gedongan, Sesayut, Sesayut Pamahayu tuwuh,

Sesayut Tulus dadi, Sesayut Ketututan dan Caru/Nasi Mawong-wongan (Ida

Pedanda Istri Mayun, wawancara tanggal 25 Juni 2012).

Bahan pelengkap dari permohonan tersebut adalah dengan

mempersembahkan upakara byakala kehadapan para bhuta kala, agar si Ibu

yang sedang hamil itu memperoleh keseimbangan fisik. Setelah itu

dilanjutkan dengan prayascita dengan memercikan tirtha pengelukatan yang

maknanya adalah untuk membersihkan serta menyucikan pikiran/rohani

54

Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta

terhadap kekotoran-kekotoran yang mungkin ada. Hal ini sangat perlu,

karena seorang ibu yang sedang hamil itu, perasaannya sedapat mungkin

supaya tetap bersih dan aman, sebab bila tidak maka hal ini akan dapat

berpengaruh terhadap bayi yang dikandungnya, serta kemudian diwarisi

dalam kehidupannya. Hal inilah kemudian dapat kita rasakan dari sifat dan

wataknya. Oleh sebab itu, pada seorang ibu yang sedang hamil tidak

diberikan berpikir serta berlaksana yang berat-berat/bukan-bukan, bila

diinginkan agar selamat.

Yajna inti sebagai simbolis dalam upacara magedong-gedongan ini,

adalah berupa banten pagedongan yaitu berbentuk sebuah kotak (gedong),

yang didalamnya telah disusun sarananya yang lengkap, hal ini adalah

merupakan simbolis dari perut si Ibu berisi bayi dengan saudara-saudaranya

yang disebut Catur Sanak.

Bila banten pagedongan itu dibuka dan diperhatikan isinya maka

dijumpai sebuah kelapa muda yang warnanya gading digambari dengan

seorang bayi/anak kecil, hal ini adalah simbolis dari bayi yang berada dalam

kandungannya, dan sebutir telur adalah simbolis dari jiwa si bayi yang masih

hidup, sedangkan sarana-sarananya yang lain adalah sebagai simbolis dari

saudara-saudaranya yang mengikutinya yaitu Catur Sanak (darah, air nyom,

lamas dan ari-ari). Banten pagedongan ini setelah upacaranya selesai

dilaksanakan, diletakkan diatas tempat tidur/dekat si Ibu tidur maksudnya

supaya si Ibu selalu dapat dijaga setelah si Ibu melahirkan barulah banten itu

dibuka (Makalah upacara pengrujakan dan magedong-gedongan, hal 14-15).

4.1.3 Pelaksanaan dan Makna Upacara Simantonayana (Magedong-gedongan)

Proses Pelaksanaannya atara lain:

1) Pelaksanaan Upacara Nista

a. Mabyakala dan prayascita boleh dirumah dan boleh di tempat

pendeta, Nyurya sewana/dihalaman natar.

b. Melukat dan mejaya-jaya oleh pendeta/sulinggih.

c. Sampai di rumah sembahyang pada Sang Hyang Guru di

merajan dilanjutkan metirta wangsuh pada.

55

Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta

d. Natab banten magedong-gedongan dan lainnya di tempat

tidur/bale sumanggen.

2) Pelaksanaan Upacara Madia

a. Pengelukatan di sungai/permandian dengan cara:

- Ibu hamil diantar ke sungai/permandian bertongkat

bumbung yang diikat dengan benang satu tukel dan benang

itu ujungnya dipegang oleh suaminya. (apabila permandian

di rumah, maka perjalanan ke pemandian diwujudkan

dengan mengelilingi tiga kali arah jarum jam/purwa daksina

tempat mandi tersebut.

- Sesampainya di tempat pemandian menghaturkan banten

persaksian atur uning kehadapan Dewa Wisnu/Dewi

Gangga (bila di sungai) dengan menghaturkan pengeresikan

diteruskan juga pengresikan itu kepada Ibu hamil.

- Dilanjutkan mesegeh cacahan.

- Ibu hamil lalu mandi, mencuci rambut (Ibu hamil pada saat

mandi tetap menggunakan baju).

- Setelah selesai mandi lalu berganti pakaian dilanjutkan

sembahyang kehadapan Dewa Surya, Dewa Wisnu/Dewi

Gangga.

- Mohon pengelukatan

b. Dalam perjalanan pulang dari pemandian bertongkat bungbung

seperti tadi.

c. Sampai di rumah mabyakala dan prayascita di halaman

rumah/halaman merajan.

d. Suami istri mengelilingi cabang dab-dab yang dipancangkan

dikanan-kiri pintu gerbang merajan menghadap keluar yng

dihubungkan dengan benang hitam satu tukel. Dalam

mengelilingi tersebut si perempuan menjunjung ceraken,

tangan kanan menjinjing daun kumbang berisi air dan ikan.

Sedangkan sang suami tangan kirinya memegang benang dan

tangan kanan menusuk-nusuk daun kumbang tadi dengan

56

Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta

bungbungan sampai ikan tumpah ; waktu mengelilingi cabang

dap-dap tadi sajen segehan diperciki tirta oleh pemimpin

upacara dipersembahkan kepada bhuta kala agar tidak

menggoda. Menurut hasil wawancara hal ini sebagai simbol

agar kelahiran sang bayi dapat berlangsung dengan baik (Ida

Pedande Gede Panji Sogata, wawancara tanggal 5 Juli 2012).

e. Dilanjutkan sembahyang kehadapan Hyang Guru terutama oleh

sang suami agar kandungannya selamat tanpa godaan sampai

lahirnya selamat.

f. Melukat mejaya-jaya oleh pendeta/sulinggih.

g. Natab banten magedong-gedongan/tataban.

3) Pelaksanaan Upacara Utama pada prinsipnya upacara

simantonayana (magedong-gedongan) tingkat madia dan utama

memiliki pelaksanaan upacara yang sama yang membedakan

adalah keberadaan banten suci, dewa-dewi, bebangkit, dan banten

caru dipermandian pada pelaksanaan upacara simantonayana

(magedong-gedongan) tingkat utama. Demikian halnya yang

diungkapkan oleh Ida Pedande Gede Panji Sogata dalam

wawancarannya dengan peniliti pada tanggal 5 Juli 2012 yang

menyatakan bahwa banten suci, dewa-dewi, bebangkit, dan banten

caru dipermandian hanya digunakan pada tingkatan upacara utama.

4) Mantram Magedong-gedongan

Om Sang Hyang padaku Ibu Pertiwi Bhatari Gayatri, Bhatari Savwitri, Bhatari Suparni, Bhatari Wastu, Bhatari Kedep, Bhatari Angukuhi, Bhatari Kandang Kasih, Bhatari Kamajaya-Kamaratih makadi Widyadara Widyadari, Kuranta Kuranti samudaya, iki tadah saji aturan manusanira si …(nama yang bersangkutan) ajaken sarongwangan ira amangan anginum, menawi ana kirangan kaluputan ipun den agung ampuranen manusanira, mangke ulun aminta nguraharing sira den samuha aja sira angedonging, angancingin muwang anyangkalen, uwakakena selacak dana, anakan denipun den apekik, dirgayyusa yowana weta urip tan ana saminaksan ipun. Om Siddhirastu swaha. Artinya : “Om Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya Bhatari gayatri, Bhatari Sawitri, Bhatari Suparni, Bhatari Wastu, Bhatari Kedep, Bhatari Angukuhi, Bhatari Kandang Kasih, Bhatari

57

Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta

Kamajaya-Kamaratih makadi Widyadara Widyadari, Kuranta Kuranti kesemuanya silahkan menikmati persemahan hamba-Mu si …. (nama yang ber-upacara), sertakan semuanya menikmati makanan-minuman, seandainya ada yang kurang karena kelupaan olehnya, mohon dimaafkan hamba-Mu, hamba mohon waranugraha-Mu, janganlah dikekang, dikunci, maupun dicederai Hyang Widhi semoga tidak mendpat halangan, bukakanlah pintu rahim agar keluar dengan selamat, hidup panjang umur dan tiada halangan, semoga permohonan hamba terpenuhi (Sujana, 2010: 3)”.

Dalam penggunaan mantram magedong-gedongan tidak ada perbedaan

penggunaan dalam upacara tingkat nista, madya, maupun utama. Hal ini

juga ditegaskan oleh Ida Pedanda Gede Panji Sogatadalam wawancara yang

dilakukan peneliti pada tanggal 5 Juli 2012.

Di dalam kitab suci Veda dijumpai pula mantra yang berkaitan dengan

Upacara Simantonayana. Berikut sebuah mantra yang berkaitan dengan

upacara tersebut :

Rakamaham suvaham sustuti huve srnoti nah subhaga bodhatu tmana, sivyatvapah sucya-cchidyamanaya dadatu viram sata dayamukthayam. (Rgveda: II. 32. 4) “Saya sebagai seorang suami dengan sopan dan bahasa yang lemah lembut, memanggil istriku yang bercahaya bagaikan bulan purnama. Demikian pula halnya yang telah mendengarkan kata-kata kami dan menerima keinginan kami dalam hati yang tulus ikhlas. Seperti halnya jarum yang menjahit kain tebal, demikian juga dengan istriku yang menjalankan tugas Grhastha sehari-hari dengan baik. Seperti halnya seorang istri yang melahirkan anak yang dapat menolong dunia dengan ratusan tangan dan mendapatkan pujian dari masyarakat. Semoga lahir putra yang kuat agar nanti dapat menyumbangkan kemampuannya untuk masyarakat.”

Walaupun masing-masing sarana atau upakara magedong-dedongan

tersebut telah mengandung arti dan bahasa sendiri, namun di dalam

pelaksanaan upacara magedong-gedongan ini perlu pula di sertai dengan

manta-mantra. Karena pemujaan dan permohonan kepada Tuhan yang

disertai dengan puja mantra atau doa maka upakara-upakara yang

dipergunakan dalam upacara magedong-gedongan tersebut menjadi lebih

sempurna dan tujuan yang ngin dicapaipun akan lebih sempurna pula.

58

Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta

Di dalam pelaksanaan upacara yajna tentu disertai dengan mantra.

Menurut Dr.L.R. Chawdhri (2003: 97), mengatakan bahwa mantra adalah

sebuah pola gabungan kata-kata bahasa veda yang diidentikkan dengan

Dewa atau Dewi tertentu. Mantra-mantra yang ada sekarang adalah warisan

yang didapatkan dari para maha Rsi, orang suci, sadhu dan yogi yang telah

mempraktekan berbagai mantra itu selama ribuan tahun, kini dapat

menuntut kita untuk mengikuti jejak ajaran beliau. Mantra adalah sejumlah

huruf, kata yang dijadikan satu. Mantra juga digunakan dalam Sadhana

Tantra atau berbagai ritual, diucapkan atau diulang-ulang dalam berbagai

macam kombinasi dan konteks, yang kemudian membuat pola variasi

tertentu. Seseorang harus belajar untuk mengucapkannya dengan benar dan

juga harus memahami artinya. Hindu meyakini adanya Dewa, kesehatan

yang baik, nasib baik dan kemenangan atas musuh bisa dicapai dengan

mengucapakan mantra tertentu. Menurut Purana, Sastra, dan para maha rsi,

mantra adalah salah satu-satunya jalan untuk mendapatkan pemenuhan

keinginan, asalkan seseorang mengucapkannya dengan penuh keyakinan,

sesuai dengan metode dan aturannya. Pengucapan kata-kata yang terdapat

dalam mantra hendaknya diucapkan penuh dengan kemurnian dan benar

untuk bisa menciptakan vibrasi yang baik.

Adapun yang dimaksud dengan upacara dalam kandungan ini adalah

upacara yang dilaksanakan pada saat bayi masih berada dalam kandungan

ibunya. Gedong disini berarti kandungan. Kehamilan itu telah mulai terjadi

sejak bertemunya kamajaya ( sperma) ayah dan kamaratih (sel telur) dari

ibu. Selanjutnya mengenai pelaksanaan Upacara Magedong-gedongan ini,

menurut Lontar Eka Pratama Dahrma Kauripan dalam Awanita, (2008:73)

menguraikan :

tingkah pamahayurare ring jero weteng, yan sampuan tutug ulaning bobobt, watara kurang malih 10, tiwin, 15 dina prajaniamijil, yogya apagedongan kang bobotan rihin “, artinya : “tata cara memohonkan keselamatan bayi yang masih dalam kandungan, adalah apabila hamil lahirnya kandungan, kurang lebih sepuluh atau limabelas akan lahirnya , seharusnya kandungan itu dibuatkan upacara Magedong-gedongan terlebih dahulu.”

59

Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta

Mengenai waktu pelaksanaan upacara tersebut tidak terikat terhadap

waktu seperti tersebut di dalam kitab Manawa Dharmasastra Bab II sloka 15

halaman 64-65 menjelaskan :

Atra trstantamaha Udite’ nudeta ca caiwa samayadhyusite tatha sarwatha wartate yajna itiyam waidiki crutih. Artinya: “Dengan demikian misalnya, suatu upacara korban dapat dilaksanakan pada saat-saat apa saja setelah matahari terbit, sebelum terbit atau pada waktu tidak ada matahari ataupun binatang-binatang yang nampak, semua ketentuan ini disebut-kan oleh ajaran Veda.”

Dari pengertian tersebut di atas maka setiap upacara yang ada di dalam

Agama Hindu, demikian pula dengan upacara simantonayana atau yang

lebih dikenal dengan upacara magedong-gedongan dalam Agama Hindu

pada masyarakat adat Bali pelaksanaannya bebas dalam arti waktunya akan

tetapi tetap melihat situasi dan kondisi pada saat pelaksanaan.

Upacara mangedong-gedongan dilakukan setelah kandungan berumur

lima bulan(enam bulan kalender), sebelum bayi itu lahir. Kehamilan yang

berumur di bawah lima bulan dianggap jasmani si bayi itu belum sempurna

dan tidak boleh diberi upacara Manusa Yajna. Kehamilan yang berumur di

bawah lima bulan dianggap jasmani si bayi belum sempurna dan tidak boleh

diberi upacara Manusa Yadnya. Di dalam Manawa Dharma Sastra, pada

bagian keterangannya menyebutkan bahwa “Sarira Samskara” yaitu

penyucian badan yang disebut upacara garbhadana, yang dilaksanakan

sebelum upacara magedong-gedongan. Upacara ini mendahului magedong-

gedongan, atau upacara waktu hamil besar.

Setiap upacara keagamaan dilakukan sudah pasti mempunyai tujuan

tertentu. Demikian pula upacara magedong-gedongan yang dilakukan

terhadap bayi yang masih berada dalam kandungan ibunya, juga mempunyai

tujuan tertentu. Tujuan pelaksanaan upacara magedong-gedongan adalah

memohon keselamatan si ibu dan anaknya yang akan lahir serta mohon

pencucian segala dosa yang telah diperbuat.

60

Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta

Dari rangkain pelaksanaan upacara simantonayana atau yang lebih

dikenal dengan upacara magedong-gedongan dalam Agama Hindu pada

masyarakat adat Bali diharapkan agar kandungan si ibu tidak mengalami

keguguran (brunaha), seperti disebutkan pada buku Kanda Pat Rare dalam

Ramayanti (2003:60) sebagai berikut :

“Di dalam garbha sang bayi ditunggu juga oleh Sang Hyang Catur Bhuana. Sang Hyang Catur Bhuana menjaga dengan siap siaga bersenjatakan bajra, gada, nagapasa, dan cakra. Di dalam ibu sedang mengandung banten yang digunakan ialah banten byakala, pagedongan, sesayut pengambeyan dan canag daksina. Upacara ini untuk maksud lahiriah memperkuat kedudukan kama reka (janin) di dalam kandungan agar tidak gugur (brunaha) dan rohaniahnya diharapkan agar Sang Kamareka nantinya menjadi kuat (Bendesa K. Tonjaya, 1981: 5).”

Dalam salinan Lontar Eka Pratama Dharma Kauripan dalam Awanita

(2008:75), disebutkan :

Munggah ring wdhi sastra agama, saking pewarah Ida Bhatara Siwa Dharma ring para loka, buat separi tinghaking dadi jatma, wantah misadiayang rada sarira memanggih tur memukti dharma patut ring jagate, yarian ring pewargi mangda terang antargalang spading. Mangda tatas uning ring tingkapisadiayang pisan ngupakara rarene saking ngawit kantun ring jeroning garbha; Bilih sunya polih yusa panjang, mangda uring ring ula bawa laksana patut, miwah tatwa-tatwa caritra, uning ring kaon recik manjadma ngontos kapejahannya dlaha. Sapunika danging pawarah-warah Ida Bhatara Dharma’, artinya : “terdapat pada Widhi Sastra Agama ,Sabda dari Ida Bhatara Siwa Darma dari sorga, untuk semua manusia, yang menyebabkan tubuh mencapai dan mendapatkan keselamatan, agar memperoleh kebaika, merupakan kewajiban dalam hidup ini, sehingga tercapai jalan yang terang tampa rintangan. Agar diketahui dengan pasti adanya dunia dan tata cara menjelma oleh karenanya agar di usahakan sekali membuat upakara terhadap bayi sejak dalam kandungan. Supaya mendaatkan umur panjang, supaya tahu dengan prilaku yang benar dan filsafat-filsafat ceritra, tahu tentang baik buruk menjadi manusia sampai pada kematiannya. Begitulah isi sabda dari Ida Bhatara Siwa Dharma”.

Demikianlah hendaknya sebagai orang tua agar diusahakan adanya

keselamatan bayinya dari sejak ada di dalam kandungan dan memeliharanya

dengan baik agar kelak tumbuh menjadi anak yang normal, selamat dan

sehat lahir bathin. Melalui upacara magedong-gedongan tersebut, memiliki

61

Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta

makna agar kelak anak yang lahir menjadi anak suputra, dapat berguna bagi

masyarakat dan Negara serta dapat memenuhi segala harapan orang tuanya,

memiliki budi pekerti yang luhur, pandai bijaksana dan dihormati oleh

semua orang.

4.2 Hubungan Antara Upacara Simantonayana (magedong-gedongan) dalam

Upaya Melahirkan Anak Suputra

Keluarga berarti sanak saudara, kaum kerabat; orang seisi rumah; dan

berarti pula anak bini. Istilah keluarga ini berasal dari bahasa Sansekerta,

dari kata “kula” artinya keturunan dan dalm bahasa Jawa Kuno berarti : saya

, hamba atau abdi; dan kata “warga” artinya jalinan atau ikatan. Istilah lain

juga mengatakan bahwa kata keluarga berasal dari kata “kaula” dan

“warga”. Kaula berarti abdi dan warga berarti kelompok yang berada dalam

suatu ikatan suami, istri, anak, keluarga besar, masyarakat dan bangsa

(Awanita, 2008:2). Dengan demikian keluarga berarti pengabdian seseorang

kepada orang lain yang masih dalam satu ikatan.

Kata “suami” dalam bahasa sansekerta berarti master dominion, lord

(yang dipertuan, penguasa, pelindung). Sedngkan kata “istri” berasal dari

kata “stri”, yang artinya pemberi kasih. Selanjutnya yang disebut anak atau

putra sesungguhnya bukan hanya berarti anak laki-laki, tetapi juga anak

perempuan. Kata “putra” berasal dari kata “neraka put” yang artinya

penyelamat dari neraka. Anak laki-laki dalam bahasa sansekerta disebut

“suta”. Anak perempuan disebut juga wanita, yang berasal dari urat kata

“wan” artinya yang dikasihi. Suami itu disebut “pati” dan istri disebut

“patni”. Pati dalam bahasa sansekerta artinya “pemilik, penguasa, tuan atau

raja”. Sedangkan “patni” artinya “istri” atau “permaisuri”. Pertemuan pati

dengan patni ini lahirlah manusia yang mengisi kehidupan di dunia ini

(Awanita, 2008:3).

Gambaran adanya kedudukan, peranan dan fungsi suami, istri dan anak

dalam mewujudkan suatu fungsi keluarga dalam kehidupan grhasta, terjadi

setelah dimulainya suatu keluarga baru, yang pada saat itu juga mereka

(suami-istri) berkewajiban melakukan dharmanya (tugasnya), baik sebagai

62

Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta

suami, maupun yang sebagai istri. Inti keluarga Hindu yang sempurna

adalah memiliki :

1) Tempat tinggal tersendiri, terpisah dari orang tuanya;

2) Mempunyai tempat sembahyang sendiri sebagai sanggar tempat

pemujaan, yang merupakan “agni homa” di mana keluarga baru

diharapkan harus mempunyai tempat pemujaan, yang dikenal

dengan Kemulan atau Sanggar Tiga Ruang (rong tiga/telu) sebagai

perlambang asal mula dan diibaratkan sebagai stana Sang Hyang

Tiga, yaitu Brahma, Wisnu dan Iswara;

3) Mempunyai anak (keturunan) terutama yang dikenal dengan

suputra (Awanita, 2008:3).

Pada saat terbentuk keluarga, dan telah diterima sebagai anggota yang

penuh, maka tugas dan kewajiban sebagai keluargapun harus dijalankan.

Mereka berkewajiban melakukan upacara untuk menjamin keselamatan

hidup keluarganya, memohon perlindungan dan berkah dari para dewata

yang dapat menjaga keselamatan rumah tangga. Suami istri dalam suatu

keluarga wajib melaksanakan atau menjalankan Panca Maha Yajna, yaitu

Dewa Yajna, Pitra Yajna, Rsi Yajna, Manusa Yajna dan Bhuta Yajna.

Pelaksanaan Panca Maha Yajna ini bertujuan agar mereka yang hidup dalam

keluarga terbebas dari segala dosa akibat perbuatan-perbuatannya yang

terjadi sebelum dan setelah mereka berumah tangga. Pelaksanaan Panca

Maha Yajna ini merupakan suatu kewajiban yang mutlak diperhatikan dan

dikerjakan dengan penuh keyakinan.

Bila kita memperhatikan berbagai upacara (ritual) sejak perkawinan

sampai dengan kematian dan setelah kematian seseorang, nampak proses

upacara yang berlangsung terus-menerus. Pelaksanaan upacara, khususnya

upacara berkenaan dengan siklus hidup yang di India disebut “Sarira

Samskara” atau “Vidhi-vidhana”, yang secara traditional di Bali disebut

upacara “Manusa Yajna”.

Upacara-upacara “Sarira Samskara” seperti diuraikan secara

mendalam oleh Rajbali Pandey dalam Titib (2003:45) meliputi : saat

prenatal (bayi dlam kandungan) yang terdiri dari Garbhadhana (konsepsi),

63

Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta

Pumsavana dan Simantonayana, saat postnatal (setelah kelahiran bayi)

terdiri dari : Jatakarma, Namakarana, Niskramana, Annaprasana, Mudana,

Chudakarana, dan Karnavedha, saat mengikuti pendidikan baik formal

maupun informal, meliputi : Vidyaramba, Upanayana, Vedaramba dan

Samawartana, upacara ini berakhir dengan Vivaha, ketika seseorang sudah

memasuki masa Grhasthasrama atau hidup berumah tangga. Penjelasan

upacara-upacara tersebut ialah:

1) Garbhadhana Samskara, upacara ini adalah upacara konsepsi,

pembuahan atau penghamilan (membuat istri menjadi hamil) untuk

memperoleh benih yang baik.

2) Pumsavana Samskara, upacara ini adalah upacara yang dilakukan

pada saat kehamilan tersebut berumur dua atau tiga bulan agar ibu

memperhatikan bayi di dalam kandungan.

3) Simantonayana Samskara , upacara ini dilakukan pada saat

kehamilan jatuh pada bulan ke empat atau bulan ke delapan

dilakukan demi perkembangan mental bayi.

4) Jatakarma Samskara, upacara ini dilakukan saat bayi telah lahir

untuk memohon kecerdasan dan budhi pekerti yang luhur serta

lingkungan yang baik.

5) Namakarana Samskara,upacara ini adalah upacara pemberian

nama kepada bayi yang baru lahir dan dilakukan pada hari ke-10

atau ke-12, ke-100 hari atau paling lama setelah setahun dari

kelahiran agar sang anak memperoleh kemashyuran dari namanya.

6) Niskramana Samskara ,upacara ini adalah upacara untuk pertama

kali seorang anak (bayi) boleh keluar dari rumah yang

dilaksanakan pada bulan ke-3 atau ke-4 dari kelahirannya agar sang

anak mendapatkan udara segar dan cahaya matahari.

7) Annaprasana Samskara,adalah upacara pemberian makanan yang

agak keras (padat) untuk pertama kalinya dilaksanakan pada saat

anak berusia 6 bulan untuk melatih anak agar menjadi mandiri.

64

Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta

8) Chudakarana Samskara / Mudana Samskara,upacara pemotongan

rambut yang dilaksanakan pada saat anak berusia 6 sampai 7 bulan

menandakan sang anak memperoleh ketenangan.

9) Karnavedha Samskara, upacara tindik, menusuk kedua daun

telinga anak yang dapat dilakukan pada hari ke-10, 12 atau ke-16

menurut Brhaspati, sedangkan menurut Katyayana Sutra upacara

ini sebaiknya dilaksanakan pada hari yang baik ketika anak

mencapai umur 3 atau 5 tahun agar sang anak memperoleh

perlindungan.

10) Vidyaramba Samskara, upacara persiapan untuk memperoleh

pendidikan, terutama pendidikan budhi pekerti dengan

memperkenalkan huruf dilaksanakan pada tahun ke-5 dari

kelahiran anak.

11) Upanayana Samskara,upacara bagi seorang anak yang mulai

memasuki masa brahmacari.

12) Vedaramba Samskara,upacara mulai mempelajari kitab suci Veda

yang berarti mulai menerima atau mempelajari pengetahuan dari

seorang guru. Upacra ini dilaksanakan pada hari yang baik, setelah

upacara upanayana.

13) Samawartana Samskara, upacara yang dilakukan setelah seorang

brahmacari berhasil menamatkan masa belajarnya.

14) Rajasawala dan Mapandes, ditujukan kepada anak-anak yang

mulai memasuki usia dewasa. Maksud dari upacara ini adalah

memohon kepda Tuhan Yang Maha Esa, agar anak-anak dapat

mengendalikan dirinya.

15) Vivaha Samskara,upacara perkawinan

16) Vanaprastha Samskara,pelepasan diri dari ikatan keduniawian.

Jenis-jenis upacara manusa yajna dalam Agama Hindu khususnya

pada masyarakat adat Bali antara lain ialah:

1) Upacara Magedong-gedongan, upacara ini dilakukan ketika

kandungan berusia 7 bulan.

65

Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta

2) Upacara Kelahiran (Jatakarma Samskara), upacra ini ditujukan

bagi bayi yang baru lahir. Upacara ini mengandung makna sebagai

ucapan angayubagia atas kelahirannya di dunia.

3) Upacara Kepus Puser, adalah upacara yang dilakukan pada saat

puser bayi lepas (kepus).

4) Upacara Ngelepas Hawon (Namadheya Samskara), upacara yang

dilakukan setelah bayi berumur 12 hari pada saat ini sang anak

diberi nama (namadheya).

5) Upacara Tutug Kambuhan (42 hari), upacara ini dilakukan ketika

bayi berumur 42 hari, bertujuan untuk pembersihan lahir bathin

untuk bayi dan ibunya, dan untuk membebaskan si bayi dari

pengaruh-pengaruh negatif (mala).

6) Upacara Bayi Umur 3 Bulan (Nyambutin), upacara penyucian

yang dilakukan pada saat bayi berumur 105 hari.

7) Upacara Satu Oton (Wetonan), adalah upacara yang dilakukan

setelah bayi berumur 210 hari. Upacara ini bertujuan untuk

menebus kesalahan-kesalahan dan keburukan-keburukan yang

terdahulu, sehingga dalam kehidupan sekarang mencapai

kehidupan yang lebih sempurna.

8) Upacara Ngempugin (Tumbuh Gigi), adalah upacara yang

dilakukan pada saat anak tumbuh gigi yang pertama. Upacara ini

bertujuan untuk memohon agar gigi si anak tumbuh dengan baik.

9) Upacara Makupak (Tanggal Gigi), upacara ini bertujuan

mempersiapkan si anak untuk mempelajari ilmu pengetahuan.

10) Upacara Rajaswala (Menginjak Dewasa), adalah upacara yang

dilaksanakan pada saat anak menginjak dewasa. Upacara ini

bertujuan untuk memohon kehadapan Sang Hyang Smara Ratih aar

diberikan jalan yang baik dan tidak menyesatkan bagi yang

bersangkutan.

11) Upacara Mapandes (Potong Gigi), adalah upacara yang bertujuan

untuk mengurangi pengaruh Sad Ripu yang ada pada dirinya.

66

Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta

12) Upacara Wiwaha (Perkawinan), adalah upacara persaksian

kehadapan Tuhan Yang Maha Esa dan kepada masyarakat bahwa

kedua orang yng bersangkutan telah mengikatkan diri sebagai

suami istri dapat dibenarkan dan segala akibat perbuatannya

menjadi tanggung jawab mereka bersama.

Susunan upacara penyucian diri di Bali dan di India tidaklah sama.

Akan tetapi dalam pelaksanaannya memiliki makna yang sama yakni demi

melakukan penyucian diri pada manusia sehingga memperoleh

kesejahteraan di dunia dan di akhirat. Untuk itu hendaknya dilaksanakan

setiap penyucian diri manusia tersebut sesuai dengan desa, kala dan patra

pada setiap tempat. Upacara prenatal umumnya hanya ada upacara

”magedong-gedongan” di Bali yang sama maknanya dengan

“simantonayana” di India.

Dalam menjawab masalah kedua dalam penelitian ini penulis

menggunakan teori perkembangan karena dapat dikatakan bahwa janin

berumur tujuh bulan sudah sempurna sehingga dikatakan telah dapat

menerima rangsangan dari luar sesuai dengan pernyataan yang ada dalam

buku manusa yajna upacara magedong-gedongan ini dilaksanakan ketika

bayi sedang berada dalam kandungan dan diupacarai setelah mencapai umur

175 hari (5 bulan Bali).Hal ini disebabkan, karena pada umur tersebut

keadaan bayi sudah dianggap mempunyai wujud yang sempurna dalam arti

organ tubuhnya sudah berbentuk, walaupun keadaannya masih kecil, yang

masih memerlukan waktu beberapa saat lagi untuk kesempurnaannya.

Upacara inilah yang dimasukkan sebagai upacara yang pertama dalam

manusa yajna.

Perlu diketahui bahwa pelaksanaan upacara magedong-gedongan ini

harus dapat dilakukan dengan sebaik- baiknya, penuh dengan kesucian dan

ketulusan hati. Ada suatu anggapan bahwa bayi mempunyai suatu indra

yang berbeda dengan orang dewasa. Dia mampu menangkap getara jiwa

kita; kesucian dan ketulusan atau kecurangan atau kebencian yang

kerkandung di dalam kalbu kita. Oleh karena itu, maka upacara magedong-

gedongan ini harus dilakukan dengan penuh keyakinan, penuh ketulusan,

67

Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta

penuh cinta kasih terhadap mereka yang akan diupacarakan. Ketika bayi

masih berada dalam kandungan ibunya, segala getaran jiwa dan perasaan si

ibu memberikan rangsangan dasar-dasar perwatakan terhadap anak yang

akan dilahirkan. Itulah sebabnya bayi yang masih ada dalam kandungan

ibunya sangat sensitif terhadap perasaan dan getaran jiwa yang dirasakan

pleh si ibu yang mengandungnya.

Wanita yang sedang hamil harus menjaga dirinya dengan baik supaya

selalu terbina kesehatannya. Karena itu dia hendaknya menghindarkan diri

dari segalah sesuatu yang melampui batas-batas tertentu, seperti bekerja

keras, terlalu bebas memenuhi hawa nafsunya dan lain-lain. Bahaya yang

sering ditimbulkan oleh adanya pelanggaran ini adalah keguguran

kandungan atau yang sedikit banyak dapat menggagu keadaan bayi yang ada

di dalam kandungan. Oleh sebab itu, wanita yang sedang hamil hendaknya

tidak mengangkat barang yang berat-berat, lari yang kencang-kencang atau

mengambil pekerjaan lain yang dapat menggangu keadaan kandungannya.

Ada juga beberapa kepercayaan kita, tentang apa yang tidak patut

dilihat dan dikerjakan oleh seorang ibu yang sedang mengandung. Dia harus

mendengarkan nasehat-nasehat para orang tua, di antaranya tidak

menertawai orang yang cacat, sebab nanti anak yang dikandungnya, setelah

lahir bisa cacat pula seperti orang yang ditertawainya karena cacat itu.

Sering kita dengar, bahwa seorang ibu yang sedang mengandung jika

terperancat atau takut kepada binatang yang dilihatnya, takut kepada orang

atau terhadap barang yang dashyat, maka anak yang dikandungnya itu akan

menyerupai apa yang dilihatnya tadi. Demikian pula, ibu yang sedang hamil

di anjurkan agar tidak berkata-kata kasar, seperti menfitnah, berbohong dan

lain sebagainya. Juga tidak berfikir buruk kepada orang lain, misalnya

mempunyai perasaan dengki, iri hati, marah dan benci kepada sesama

makhluk dan lain sebagainya.

Didalam sastra hindu disebutkan beberapa paberatan atau pantangan

bagi wanita yang sedang hamil, adalah: (1) Wakcapala artinya tidak berkata

yang kasar. (2) Wakpurusa artinya tidak berkata bohong, (3) Tidak

menyembah mayat atau sewa, dan (4) tidak mendukung tirtha pengetes.

68

Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta

Semua paberataan (pantangan) ini dapat memepengaruhi keadaan janin yang

sedang dikandungnya itu. Dianjurkan tidak berpikir, berkata dan berbuat

yang tidak wajar, serta agar senang mendengarkan nasehat-nasehat dari

suami atau dari orang-orang yang mengetahui pemberataan wanita yang

mengandung. Suka membaca caritra kepahlawanan, membaca dan meretapi

isi kitab suci Veda yang isinya oenuh dengan kesucian dan keluhuran.

Dalam salinan Lontar Eka Parata Dharma Kauripan dalam Awanita

(2008:53) menguraikan :

Sekantun rarene sajroning garbha, sang mobot patite astiti pisan, saha maberata nyuci, tan amati-mati, akrodha, tan iri, yan uning memawos tatwa-tatwa”, artinya :”semasih bayi itu ada di dalam kandungan ibunya, sang mengandung harus dijaga atau dipelihara, serta mengusahakan ada kesucian, tidak melakukan pembunuhan, tidak marah, tidak iri dan dengki, jika tahe bacalah tatwa-tatwa (filsafat).”

Adapun filsafat yang dimaksud di sini adalah filsafat agama yang

mengajarkan tentang kebenaran, seperti yang tercantum di dalam buku –

buku Agama misalnya Manawa Dharma Sastra, Bhagavad Gita,

Sarassamuccaya dan pengetahuan tentang Aji Asrama Gama, seperti Lontar

Smara Krida Laksana, Roekmini Tatwa, Aji Dresti Lokakreti, Rahasya

Sanggama, Keputusan Dasa Bayu, Dharma Kauripan dan lain-lain (Awanita,

2008:53)

Di samping pemberataan tersebut di atas, juga sering kita perhatikan

kebiasaan yang dilakukan oleh seorang wanita yang sedang hamil yaitu

pergi ke pantai atau kesumber air lain untuk mengadakan pembersihan.

Pembersihan cara ini menurut kepercayaan Hindu dianggap dapat

membersikan dirinya dan bayi yang dikandungnya dari segalah kotoran atau

keletihan. Mengenai air laut yang merupakan timbunan dari sampah-sampah

yang dialirkan oleh sungai-sungai mengandung berjenis-jenis mineral

segalah kotoran dunia, dimana dapat kita bayangkan bahwa sejak berjuta-

juta pulalah segala kotoran itu dilebur di laut. Oleh karena itulah maka air

laut disebut pelebur sarwa mala. Pelaksanaan pembersihannya itu, dipilihlah

hari-hari tertentu yang dianggap baik, seperti yang disebutkan di dalam

salinan Lontar Eka Pratama Dharma Kauripan dalam Awanita (2008:54)

yaitu :

69

Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta

Sekantun rarene jeroning garbha, sang mobot patite astiti pisan, metirtha, meningning, satunggil, rerahinan: Purnama, tilem, Budha Leliwon, Tumpek, Anggara Kasih, artinya: “Semasih bayi berada dalam kandungan, sang mengandung harus berdoa terus, membersihkan diri setiap hari suci Purnama, Tilem, Budha Kliwon, Tumpek, Anggara Kasih.”

Menurut hasil wawancara ibu yang sedang hamil hendaknya selalu

bangun pagi, melaksanakan persembahyangan, bertutur kata yang baik,

berfikir positif, dan melaksanakan anjuran dokter sebab apa yang dimakan,

difikirkan dan diperbuat seorang ibu akan memberikan pengaruh pada bayi

yang di kandungnya (Ida Ayu Kadek Iva Rahayu, wawancara tanggal 30

Juni 2012).

Bayi tergantung sepenuhnya kepada ibu yang secara naluriah

mempunyai rasa kasih sayang, cinta dan kemesraannya dalam membimbing

dan memelihara perkembangan bayinya. Untuk dapat memberikan cinta dan

kasih sayang kemesraan itu, seorang ibu harus merasa bahagia dalam

hidupnya. Sebab hanya ibu yang bahagia dapat memberikan rasa aman,

simpati dan kasih sayang yang mesra terhadap anaknya. Karena itu seorang

ibu yang sedang mengandung agar betul-betul memperhatikan hal-hal yang

berhubungan dengan dirinya sehingga persaannya tetap dalam kondisi yang

baik.

Sikap suami pada saat istrinya mengandung dan sesudah melahirkan

harus bijaksana, selalu membantu dan mencarikan segala sesuatu untuk

kebutuhan istrinya. Penting bagi seorang suami ia harus menjaga perasaan

istrinya yang sedang mengandung tetap tentram dan sejahtera serta tidak

menimbulkan kecurigaan atau kecemburuan. Seorang suami harus tetap

cinta dan setia kepada istrinya. Sungguh sangat bijaksana seeorang suami

yang mau

Selain itu, bayi yang masih berada dalam kandungan ibunya, sensitif

pula terhadap lingkungan yang mempengaruhinya. Janin (bayi) semasa di

dalam kandungan, perkembangan jasmani dan mentalnya dapat dipengaruhi

oleh rangsangan-rangsangan luar. Karenanya, perlu dilakukan upacara bayi

dalam kandungan, dengan tujuan untuk membina jasmani dan rohani

70

Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta

kamareka, agar kelak setelah lahir dan dewasa, dapat menjadi manusia

yang sempurna, berbudi pekerti yang luhur, cerdas dan berbakti.

Kesensitifan bayi di waktu masih dalam kandungan mulai usia 4-5

bulan ini, hendaknya diberikan sentuhan perasaan yang tulus dan suci.

Karena pada umur inilah bayi paling mudah untuk menerima rangsang-

rangsang dari luar dan sudah sepatutnyalah dilaksanakan pembinaan

perkembangan jiwanya secara sekala dan niskala sehingga nantinya dapat

melahirkan anak yang baik (suputra).

Di dalam Kitab Nitisastra dalam bentuk Kakawin Sargah XII

Smaradhahana menjelaskan lebih mendalam mengenai pentingnya

memiliki anak suputra yakni :

Padaning ku-putra taru çuska tumuwuh i ri madhyaning wana. Maghasagerit matemah agni sahana-hananing halas geseng. Ikanang su-putra taru candana tumuwuh i ring wanantara. Plawagoraga mrega kaga bhramata mara riya padaniwi. Artinya: “Anak yang jahat sama dengan pohon kering ditengah hutan. Karena pergeseran dan pergesekan, keluar apinya, lalu membakar seluruh hutan. Akan tetapi anak yang baik sama dengan pohon cendana yang tumbuh didalam lingkungan hutan. Kera, ular. Hewan berkaki empat, burung dan kumbang datang mengerubunginya.”

Dapat kita ketahui bahwa ada hubungan yang sangat erat antara

pelaksanaan upacara simantonayana atau yang lebih dikenal dengan upacara

magedong-gedongan dalam Agama Hindu adat Bali dalam upaya

melahirkan anak suputra.

Menurut hasil wawancara pelaksanaan upacara ini memiliki hubungan

yang sangat erat karena dari proses pembuatan banten sampai pelaksanaan

serta pengucapan mantra-mantra suci dalam upacara ini mengharapkan agar

sang bayi dapat menerima keseluruhan rangkaian upacara tersebut dengan

baik dari dalam kandungan karena di dalam sastra suci Hindu dan

perkembangan bayi pada saat usia 4-7 bulan sudah dapat menerima respon

dari luar kandungan (Ida Pedanda Istri Mayun, wawancara tanggal 25 Juni

2012).

Menurut hasil wawancara memang tidak secara mutlak bahwa anak

yang pada saat dalam kandungan dilakukan upacara magedong-gedongan

71

Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta

kemudian dia akan menjadi anak yang sangat baik. Tentunya hal tersebut

bukan menjadi sebuah jaminan akan tetapi kembali lagi kepada penanaman

pendidikan untuk si anak kelak. Namun, dalam upaya untuk membuat anak

tersebut suci dan menjadi anak yang suputra haruslah dilaksanakan upacara

seperti magedong-gedongan dan dilandasi keyakinan orang tua terlebih

upacara terebut memang ada dan dijelaskan dalam ajaran Agama Hindu (Ida

Ayu Kadek Iva Rahayu, wawancara tanggal 30 Juni 2012).

Dalam Kitab Manawa Dharmasastra Bab II sloka 6 dan 9

menyebutkan :

Idanim dharma pramananyaha wedo’khilo dharmamulam smrtiçile ca tadwidam acaraçcaiwa sadhunam atmanastutiewa ca. Artinya : “Seluruh pustaka suci weda adalah sumber pertama dari pada Dharma kemudian adat istiadat, dan lalu tingkah laku yang terpuji dari orang-orang budiman yang mendalami ajaran pustaka suci Weda, juga tata cara perikehidupan orang-orang suci dan akhirnya kepuasan dari pribadi (Pudja dan Sudartha, 2002: 62)”.

çruti smrtyudita dharma manutisthanhi manawah, iha kirtimawapnoti pretya canuttamam sukham.. Artinya : “Karena orang yang mengikuti hukum yang diajarkan oleh pustaka-pustaka suci dan mengikuti adat istiadat yang keramat, mendapat kemasyuran di dunia ini dan setelah meninggal menerima kebahagiaan tak terbatas/tak ternilai (Pudja dan Sudartha, 2002: 63)”

Dari penjelasan-penjelasan tersebut dapat kita ketahui bahwa

pelaksanaan upacara manusa yajna dalam Agama Hindu khusunya pada

pelaksanaan upacara simantonayana atau yang lebih dikenal dengan upacara

magedong-gedongan pada masyarakat adat Bali memiliki hubungan yang

erat dalam salah satu upaya melahirkan anak yang berguna bagi nusa dan

bangsa (suputra). Akan tetapi pelaksanaan upacara saja tidaklah cukup

untuk menjadikan seorang anak menjadi anak yang suputra harus tetap

didasari ketulusan hati orang tua dan upaya-upaya lainya yang dilakukan

72

Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta

orang tua salah satunya adalah pelaksanaan upacara simantonayana

(magedong-gedongan), serta upaya baik dalam membesarkan hingga

mendidik anak mulai dari dalam kandungan hingga nantinya terbentuk

mental generasi muda yang cerdas, kokoh, berani, kuat, sehingga dapat

menuntun orang tua dan para leluhurnya menuju kesejahteraan.

73

Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara jakarta

BAB 5

KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan pengumpulan dan pembahasan hasil penelitian data

dalam penelitian ini yang merujuk pada rumusan masalah, maka penulis

dapat simpulkan sebagai berikut :

1) Sesuai penjelasan tulisan bab-bab sebelumnya maka dapat disimpulkan

bahwa, upacara adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan

gerakan (pelaksanaan) dari pada upakara dalam salah satu yajna.

Upakara (banten) merupakan sarana untuk memudahkan manusia

menghubungkan dirinya ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa

beserta manifestasinya. Upacara simantonayana atau yang lebih dikenal

dengan upacara magedong-gedongan dalam Agama Hindu pada

masyarakat adat Bali, merupakan salah satu upacara yang di dalam

ajaran Agama Hindu termasuk dalam upacara manusa yajna, sebab

upacara ini diperuntukkan kepada seorang ibu yang sedang hamil pada

saat bayi sudah berwujud manusia. Makna yang terkandung dalam

upacara simantonayana atau yang lebih dikenal dengan upacara

magedong-gedongan dalam Agama Hindu pada masyarakat adat Bali,

ialah agar sang bayi yang berada di dalam kandungan mendapatkan

perlindungan dan keselamatan serta pemeliharaan yang baik sehingga

kelahirannya nanti dapat menjadi anak yang suputra yakni anak yang

berguna di keluarga maupun masyarakat.

2) Pentingnya upacara simantonayana atau yang lebih dikenal dengan

upacara magedong-gedongan dalam Agama Hindu pada masyarakat

adat Bali, memiliki hubungan yang sangat erat dalam upaya melahirkan

anak suputra. Untuk memperoleh atau mendapatkan anak yang

berkualitas (suputra), orang tua harus berusaha semaksimal mungkin

dalam merawat dan membesarkan anak sejak mulai terjadinya

pembuahan sel telur dari ibu dengan sel sperma dari ayah hingga

74

Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara jakarta

nantinya anak itu lahir ke dunia. Seorang ayah dan seorang ibu yang

sedang mengandung memegang peranan penting dalam membentuk

perkembangan mental sang anak. Oleh karemna itulah kondisi keluarga

atau rumah tangga yang harmonis sangat perlu dibina, untuk menjaa

ketenangan jiwa dan raga sang ibu yang sedang mengandung.

Dijelaskan bahwa di dalam susastra suci Hindu terdapat berbagai

penjelasan tentang upacara manusa yajna dalam hal ini khususnya

pelaksanaan upacara simantonayana atau yang lebih dikenal dengan

upacara magedong-gedongan pada masyarakat adat Bali hendakya

dilakukan oleh seluruh umat agar mencapai kebahagiaan di dunia dan

akhirat. Upacara diidentikkan dengan pelaksanaan samskara (penyucian

diri) bukan sekedar bersifat formalitas akan tetapi mengandung makna

perkembangan mental diri dari arah luar dan dalam. Perkembangan

mental dari arah luar yakni yang dapat dilihat dan dirasakan langsung

oleh yang menjalankan, perkembangan mental dari dalam adalah

adanya keyakinan yang bertujuan untuk membentuk jiwa yang

sempurna.

65

Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara jakarta

5.2 Saran

Dengan penelitian yang berjudul “Upacara Simantonayana dalam

Upaya Melahirkan Anak Suputra Menurut Agama Hindu (Studi Analisis

Upacara Simantonayana pada Umat Hindu Adat Bali) di Pura Aditya Jaya

Rawamangun” peneliti menyampaikan beberapa saran yang kiranya penting

artinya bagi pembinaan Umat Hindu khususnya. Adapun saran-saran penulis

sampaikan adalah :

1) Diharapkan agar Umat Hindu dapat melaksanakan upacara

simantonayana atau yang lebih dikenal dengan upacara magedong-

gedongan dalam Agama Hindu adat Bali terhadap ibu yang sedang

hamil, sebagai salah satu tujuan dari kehidupan keluarga yakni memiliki

anak yang suputra.

2) Upacara simantonayana atau yang lebih dikenal dengan upacara

magedong-gedongan dalam Agama Hindu adat Bali memiliki makna

dan hubungan yang terikat satu sama lain dan merupakan salah satu

upacara manusa yajna dimana pelaksanaannya sudah menjadi suatu

keharusan demi menjaga keajegan Agama Hindu serta nantinya umat

Hindu dapat memahami makna dan hubungan pelaksanaan upacara ini

dengan baik.

Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mohammad. Metodelogi Dan Aplikasi Riset Pendidikan. Jakarta: Pustaka

Cendekia Utama. 2010.

Awanita, Made. Membentuk Kepribadian Anak Dalam Kandungan. Surabaya:

Paramita. 2008.

Anom, Ida Bagus. Himpunan Upacara Manusa Yadnya. Tabanan: Yayasan

Dharmo Padesa Kabupaten Tabanan. 2002.

Bungin, M. Burhan. Penelitian Kualitatif; Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan

Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana, 2008.

Chawdhri, Dr. L. R. Rahasia Yantra, Mantra Dan Tantra. Surabaya: Paramita.

2003.

Diane E. Papalia, ET AL. Human Development (Psikologi Perkembangan).

Jakarta: Kencana. 2010.

Geriya, Dra. S. Swarsi. Upacara Daur Hidup. Surabaya: Paramita. 2004.

Jaali, Haji. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. 2011.

Koentjaraningrat. Pengantar Antropologo Budaya. Jakarta : PT Gramedia. 1997.

Maswinara, I Wayan. Rg. Veda Samhita Sakala Sakha. Surabaya: Paramita. 2008.

Mudana, I Gusti Made. Pelaksanaan Upacara Pagdong-gedongan dalam Manusa

Yajna Ditinjau dari nilai-nilai Pendidikan Agama Hindu. Jakarta:

STAH Dharma Nusantara .2000.

Oka, Ida Pedanda Gede Nyoman Jelantik. Sanatana Hindu Dharma. Denpasar:

Widya Dharma. 2009.

Oka, I Ketut Setiawan.Modul Metodologi Penelitian. Jakarta. 2008.

Praptini, dkk. Materi pokok Metodologi Penelitian. Jakarta: Ditjen Bhimas Hindu

Departemen Agama RI, 2009.

Puja, I Gede. Bhagawadgitta (Pancama Veda).Surabaya: Paramita. 2005.

---------------. dan Tjokorda Rai Sudartha. Manawa Dharmasastra.Jakarta: CV

Pelita Nusantara Lestari. 2002.

Putra, Ny. IGA Mas. Upacara Yajna. Denpasar: IHD. 1979.

Ramayanti, Ni Wayan. Kajian Upacara Garbhadana Ditinjau dari Pendidikan

Agama Hindu. Jakara: STAH Dharma Nusantara. 2003.

Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta

Rejeki, Sri Endah. Pengaruh Upacara Garbhadana Terhadap Pertumbuhan

Psikologi Janin dalam Kandungan di Banjar Cibinong. Jakarta: STAH

Dharma Nusantara. 2008.

Suarjaya, dkk. Panca Yajna. Denpasar: Widya Dharma. 2008.

Subagiasta, I Ketut. Srada dan Bhakti. Surabaya: Paramita. 2008.

Sudartha, Tjokorda Rai. Manusia Hindu Dari Kandungan sampai Perkawinan.

Denpasar: Kayumas Agung. 2006.

Sudani, Ni Nyoman. Upaya Peningkatan Partisipasi Remaja Hindu Bekasi dalam

Dharmagita Pada Pelaksanaan Upacara Dewa Yajna Mealului

Ekstrakulikuler di Pasraman. Jakarta: STAH Dharma Nusantara. 2009.

Sugiyono. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabet, 2005.

Sujana, I Made. Manggala Upacara.Denpasar: Widya Dharma. 2010.

Somvir. Mutiara Veda untuk Kehidupan Sehari-hari.Surabaya: Paramita.2001.

Surayin, Ida Ayu Putu. Manusa Yajna. Surabaya: Paramita. 2005

----------------------------. Melangkah Ke Arah Persiapan Upakara-Upacara Yajna.

Surabaya: Paramita. 2004.

Susila, I Nyoman. Acara Agama Hindu. Jakarta: Departemen Agama RI

Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu. 2009.

Tim Penyusun. Pedoman Penulisan Skripsi. Jakarta: STAH Dharmanusantara

Jakarta. 2011.

Tim Penyusun. Niti Sastra dalam Bentk Kekawin. Singaraja: Proyek Penerangan

Bimbingan da Da’wah/Khotbah Agama Hindu dan Budha.1986/1987.

Tim Penyusun. Sekilas Tetang Pura Aditya Jaya Rawamangun.Jakarta Timur:

Suka Dukha Hindu Dharma Banjar Jakarta Timur. 2009.

Titib, I Made. Menumbukmbangkan Pendidikan Budhi Pekerti pada Anak.

Jakarta: Ganeca. 2003.

LAMPIRAN-LAMPIRAN

DAFTAR GAMBAR

1. Upakara/banten upacara magedong-gedongan

2. Pelaksanaan Natab Upakara/banten upacara magedong-gedongan

3. Pelaksanaan Persembahyangan

DAFTAR INFORMAN

Nama : Perdana Ida Pedanda Istri Mayun Umur : 78 tahun Alamat : Jl. Daksinapati Raya No.10 Rawamangun Jakarta Timur Pekerjaan : Pedanda di Pura Aditya Jaya Rawamangun Nama : Ida Pedanda Gede Panji Sogata Umur : 64 tahun Alamat : Jl Bunga Raya RT.01/ RW 16 No.150, Srengseng Sawah,

Jagakarsa , Jakarta Selatan Pekerjaan : Ketua Dharma Upapati Parisada

Nama : I Ketut Wiardana, SH. Umur : 57 tahun Alamat : Jl, Buni Gang Salak III/45 Munjul Pekerjaan : Ketua PHDI DKI

Nama : I Wayan Rudji Umur : 77 tahun Alamat : Pondok Bambu, Jl. Kejaksaan II No.13 Pekerjaan : Pemangku Pura Aditya Jaya Rawamangun

Nama : I Gusti Putu Raka Umur : 58 tahun Alamat : Jl. Dalang RT 13/RW 05 Kelurahan Munjul Jakarta Timur Pekerjaan : Sarathi Banten dan Pemangku Pura Widya Dharma

Nama : Ida Ayu Kadek Iva Rahayu Umur : 31 tahun Alamat : Jl.Kincir 8 No. 4 RT 06/RW 010 Rawamangun Jakarta Timur Pekerjaan : Karyawan Swasta

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Ni Nyoman Sugi Widiastithi

Tempat Tanggal Lahir : Denpasar, 23 Maret 1990

Agama : Hindu

Kewarganegaraan : Indonesia

Alamat : Jl. P. Komarudin No. 80 RT 11/RW 05 Kelurahan

Penggilingan Kecamatan Cakung, Jakarta Timur

Pendidikan Formal : 1. Tahun 1997 TK Nurut Taqwa Ujung Pandang

2. Tahun 2002 SD Katolik Santo Yakobus

Makassar

3. Tahun 2005 SMP Negeri 6 Makassar

4. Tahun 2008 SMA Negeri 11 Jakarta Timur

5. Tahun 2011 Program Studi Diploma III

Kebidanan Universitas Gunadarma

Demikian riwayat hidup ini saya buat dengan sebenar-benarnya untuk dapat

dipergunakan sebagaimana mestinya.

Jakarta, 14 Juli 2012

Ni Nyoman Sugi Widiastithi

Pedoman Wawancara Tentang Upacara Simantonayana dalam Upaya Melahirkan

Anak Suputra Menurut Agama Hindu (Studi Analisis Upacara Simantonayana Pada

Masyarakat Adat Bali) Di Pura Aditya Jaya Rawamangun Jakarta Timur

___________________________________________________________________________

Data Informan

1. Nama :

2. Umur :

3. Alamat :

4. Pekerjaan :

Tanggal Pelaksanaan Wawancara :

Pertanyaan Wawancara :

1. Apakah tujuan berkeluarga dalam ajaran Agama Hindu?

2. Apa pengertian dan pentingnya anak suputra dalam ajaran Agama Hindu?

3. Dalam ajaran Agama Hindu hal-hal apa yang patut dilaksanakan dan tidak boleh

dilaksanakan bagi ibu yang sedang dalam mengadung ?

4. Adakah umat Hindu di Pura Aditya Jaya Rawamangun yang melaksanakan

upacara simantonayana (upacara megedong-gedongan)?

5. Dimanakah biasanya upacara simantonayana (upacara magedong-gedongan) ini

dilakukan?

6. Apakah makna upacara simantonayana (upacara magedong-gedongan) ?

7. Apakah ada sumber yang menyatakan upacara simantonayana (upacara magedong-

gedongan) ini patut dilaksanakan?

8. Bagaimana tahapan upacara simantonayana (upacara magedong-gedongan) ?

9. Apa saja upakara yang dibutuhkan pada saat upacara simantonayana (upacara

magedong-gedongan) ?

10. Apakah ada hubungan antara upacara simantonayana (upacara magedong-

gedongan) dalam upaya melahirkan anak suputra?