sekolah darurat: furqon ulya sekolah tanpa...untuk sekolah darurat,” ke-nang tukul sambil...

1
9 N USANTARA KAMIS, 13 JANUARI 2011 | MEDIA INDONESIA SEKOLAH DARURAT: Murid SDN Gungan mengikuti kegiatan belajar di sekolah darurat yang menggunakan rumah warga di Dusun Geblok, Wukirsari, Cangkringan, DI Yogyakarta, kemarin. FOTO-FOTO: MI/FURQON Tidak ada sekolah normal di lereng Merapi. Sekolah darurat di rumah warga, duduk di lantai beralas tikar, dan perjalanan belasan kilometer adalah lelakon anak-anak korban bencana. Sekolah tanpa Papan Tulis FURQON ULYA W AJAH Vita, 10, terlihat lelah. Baru 10 menit lalu, siswi kelas 4 Sekolah Dasar Negeri Gu- ngan, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, itu tiba di sekolah. Peluh masih membasahi lehernya. Di sampingnya, Har- sono, ayah Vita, juga sedang mengatur napas. Pagi itu, keduanya baru saja menempuh perjalanan sejauh 7 kilometer, berjalan kaki. Siang nanti, perjalanan dengan jarak yang sama harus mereka lakoni untuk pulang. Harsono terus menunggu anaknya hingga pulang seko- lah. Ia bisa melakukannya karena saat ini tidak ada peker- jaan tetap yang harus ia jalani. Latifah, 12, siswi kelas 6, juga mengalami nasib sama. Bedanya, orang tua gadis cilik itu tidak menunggui selama ia belajar. Ayahnya harus bekerja setelah mengantar dan kembali lagi untuk menjemput. “Kadang saya harus menung- gu sampai 1 jam, sebelum ayah datang,” tandas Latifah. Vita dan Latifah bukan anak manja, yang biasa diantar jem- put oleh orang tua saat berseko- lah. Dulu, keduanya juga anak- anak yang mandiri, berangkat dan pulang sekolah sendiri. Namun, sejak ambrolnya Jembatan Geblok, di Desa Wukirsari, Kecamatan Cang- kringan, jalan ke sekolah yang sebelumnya hanya berjarak sekitar 2 kilometer kini menjadi 15 kilometer pulang pergi ka- rena harus memutar. Jembatan itu tak kuat menahan beban luncuran lahar dingin Gunung Merapi. Para orang tua murid juga tidak rela melepas anak-anak mereka menempuh jarak sejauh itu dengan berjalan seorang diri. Bagi orang tua yang masih memiliki sepeda motor, tugas mereka memang lebih ringan. Tapi, kebanyakan menjalaninya dengan berjalan kaki. Jembatan Geblok adalah penghubung antara Kecama- tan Pakem dan Kecamatan Cangkringan. Setelah putus, perjalanan di antara dua wila- yah itu harus memutar mele- wati wilayah Desa Banjarharjo, Kecamatan Ngemplak. Perjalanan memutar itu, jika ditempuh dengan mengendarai sepeda motor, membutuhkan waktu 1 jam lebih lama dari- pada biasanya. “Biasanya, untuk ke sekolah saya menempuh jarak sekitar 4 kilomter. Tapi, sekarang jadi 15 kilometer,” kata Y Tukul Ju- mardi, Kepala SDN Gungan. Sampai di sekolah, guru dan murid tidak lantas bisa melepas lelah. Kegiatan belajar-menga- jar pun tidak bisa dilakukan dengan cara biasa, layaknya di sekolah normal. Jangan bayangkan SDN Gu- ngan adalah sebuah sekolah megah. Kini, di lokasi sekolah itu tidak ada lagi tembok yang tersisa. Itu sudah rata dengan tanah, setelah dihajar awan pa- nas atau wedus gembel Merapi, beberapa waktu lalu. SDN Gungan yang sekarang adalah sekolah darurat yang berada di Dusun Geblok, Desa Wukirsari, Cangkringan. Se- orang warga, Farkhan, merela- kan rumahnya yang tidak hancur disapu wedus gembel digunakan untuk anak-anak bersekolah. “Kami masih beruntung ka- rena ada warga yang berbaik hati, memberikan rumahnya untuk sekolah darurat,” ke- nang Tukul sambil memperli- hatkan foto SDN Gungan lama, yang sudah hancur terkena awan panas. Dulu, total jumlah siswa di sekolah ini ada 86 orang. Tapi, setelah jembatan putus, angkanya susut menjadi 75 siswa. Jarak yang tambah jauh membuat sejumlah orang tua murid menarik keluar anak me- reka dari sekolah itu, pindah ke sekolah yang lebih dekat. Beralas tikar Kegiatan belajar-mengajar, kini, dijalani di satu ruangan berukuran 10 meter x 6 meter, yang digunakan untuk lima kelas, kelas 2 sampai kelas 6. Siswa kelas 1 belajar di luar atau di samping rumah. “Terpaksa, di satu ruangan ini, mereka dicampur karena tidak ada ruangan lagi,” tam- bah Tukul. Suara riuh rendah pun men- jadi suguhan dari menit ke menit. Siswa bisa tenang be- berapa menit, ketika guru mereka menegur. Riuh lagi karena duduk berdempetan membuat anak-anak terus iseng bercanda dengan teman mereka. Siang itu, siswa kelas dua dan tiga sudah pulang. Yang tinggal siswa dari tiga kelas, 4, 5, dan 6. Mereka duduk dalam tiga baris. Baris paling pojok adalah siswa kelas 6, di tengah siswa kelas 5, dan baris terakhir anak- anak kelas 4. Pada setiap baris ada seorang guru yang mem- bimbing mereka. Tanpa sekat, pun tidak ada papan tulis. Tidak ada bangku dan kursi untuk duduk dan menulis. Semua duduk di lan- tai, beralaskan tikar. Hanya guru yang duduk di kursi. Guru hanya men- jelaskan dan murid menu- lis. Sesekali ada pelajar yang mengacungkan jari untuk ber- tanya. Belajar-mengajar dalam keprihatinan. Murid-murid SDN Gungan kebanyakan berasal dari Cang- kringan dan Pakem. Mereka adalah korban bencana erupsi Merapi, disusul lahar dingin yang masih mengancam hingga sekarang. “Saat ini, kami butuh alat- alat tulis dan meja. Rumah ini masih layak untuk dijadikan sekolah sementara karena kon- disinya masih baik,” ujar Tini, guru di sekolah itu. Keinginannya sangat seder- hana. Tukul pun, ketika ditanya harapannya, juga tidak banyak bersuara. “Kasihan anak-anak ini. Orang tuanya sudah tidak mem- punyai pekerjaan tetap. Pulang pergi sekolah harus muter sam- pai 15 kilometer.” (N-2) [email protected]

Upload: others

Post on 30-Dec-2019

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: SEKOLAH DARURAT: FURQON ULYA Sekolah tanpa...untuk sekolah darurat,” ke-nang Tukul sambil memperli-hatkan foto SDN Gungan lama, yang sudah hancur terkena awan panas. Dulu, total

9NUSANTARAKAMIS, 13 JANUARI 2011 | MEDIA INDONESIA

SEKOLAH DARURAT: Murid SDN Gungan mengikuti kegiatan belajar di sekolah darurat yang menggunakan rumah warga di Dusun Geblok, Wukirsari, Cangkringan, DI Yogyakarta, kemarin.

FOTO-FOTO: MI/FURQON

Tidak ada sekolah normal di lereng Merapi. Sekolah darurat di rumah warga, duduk di lantai beralas tikar, dan perjalanan belasan

kilometer adalah lelakon anak-anak korban bencana.

Sekolah tanpa Papan Tulis

FURQON ULYA

WAJAH Vita, 10, terlihat lelah. Baru 10 menit lalu, siswi kelas

4 Sekolah Dasar Negeri Gu-ngan, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, itu tiba di sekolah.

Peluh masih membasahi lehernya. Di sampingnya, Har-sono, ayah Vita, juga sedang mengatur napas.

Pagi itu, keduanya baru saja menempuh perjalanan sejauh 7 kilometer, berjalan kaki. Siang nanti, perjalanan dengan jarak yang sama harus mereka lakoni untuk pulang.

Harsono terus menunggu anaknya hingga pulang seko-lah. Ia bisa melakukannya karena saat ini tidak ada peker-jaan tetap yang harus ia jalani.

Latifah, 12, siswi kelas 6, juga mengalami nasib sama. Bedanya, orang tua gadis cilik itu tidak menunggui selama ia belajar. Ayahnya harus bekerja setelah mengantar dan kembali lagi untuk menjemput.

“Kadang saya harus menung-gu sampai 1 jam, sebelum ayah datang,” tandas Latifah.

Vita dan Latifah bukan anak manja, yang biasa diantar jem-put oleh orang tua saat berseko-lah. Dulu, keduanya juga anak-anak yang mandiri, berangkat dan pulang sekolah sendiri.

Namun, sejak ambrolnya Jembatan Geblok, di Desa Wukirsari, Kecamatan Cang-kringan, jalan ke sekolah yang sebelumnya hanya berjarak sekitar 2 kilometer kini menjadi 15 kilometer pulang pergi ka-rena harus memutar. Jembatan itu tak kuat menahan beban luncuran lahar dingin Gunung Merapi.

Para orang tua murid juga tidak rela melepas anak-anak mereka menempuh jarak sejauh itu dengan berjalan seorang diri. Bagi orang tua yang masih memiliki sepeda motor, tugas mereka memang lebih ringan. Tapi, kebanyakan menjalaninya dengan berjalan kaki.

Jembatan Geblok adalah penghubung antara Kecama-tan Pakem dan Kecamatan Cangkringan. Setelah putus, perjalanan di antara dua wila-yah itu harus memutar mele-wati wilayah Desa Banjarharjo, Kecamatan Ngemplak.

Perjalanan memutar itu, jika ditempuh dengan mengendarai

sepeda motor, membutuhkan waktu 1 jam lebih lama dari-pada biasanya.

“Biasanya, untuk ke sekolah saya menempuh jarak sekitar 4 kilomter. Tapi, sekarang jadi 15 kilometer,” kata Y Tukul Ju-mardi, Kepala SDN Gungan.

Sampai di sekolah, guru dan murid tidak lantas bisa melepas lelah. Kegiatan belajar-menga-jar pun tidak bisa dilakukan dengan cara biasa, layaknya di sekolah normal.

Jangan bayangkan SDN Gu-

ngan adalah sebuah sekolah megah. Kini, di lokasi sekolah itu tidak ada lagi tembok yang tersisa. Itu sudah rata dengan tanah, setelah dihajar awan pa-nas atau wedus gembel Merapi, beberapa waktu lalu.

SDN Gungan yang sekarang adalah sekolah darurat yang berada di Dusun Geblok, Desa Wukirsari, Cangkringan. Se-orang warga, Farkhan, merela-kan rumahnya yang tidak hancur disapu wedus gembel digunakan untuk anak-anak

bersekolah. “Kami masih beruntung ka-

rena ada warga yang berbaik hati, memberikan rumahnya untuk sekolah darurat,” ke-nang Tukul sambil memperli-hatkan foto SDN Gungan lama, yang sudah hancur terkena awan panas.

Dulu, total jumlah siswa di sekolah ini ada 86 orang. Tapi, setelah jembatan putus, angkanya susut menjadi 75 siswa. Jarak yang tambah jauh membuat sejumlah orang tua

murid menarik keluar anak me-reka dari sekolah itu, pindah ke sekolah yang lebih dekat.

Beralas tikarKegiatan belajar-mengajar,

kini, dijalani di satu ruangan berukuran 10 meter x 6 meter, yang digunakan untuk lima kelas, kelas 2 sampai kelas 6. Siswa kelas 1 belajar di luar atau di samping rumah.

“Terpaksa, di satu ruangan ini, mereka dicampur karena tidak ada ruangan lagi,” tam-bah Tukul.

Suara riuh rendah pun men-jadi suguhan dari menit ke menit. Siswa bisa tenang be-berapa menit, ketika guru mereka menegur. Riuh lagi karena duduk berdempetan membuat anak-anak terus iseng bercanda dengan teman mereka.

Siang itu, siswa kelas dua dan tiga sudah pulang. Yang tinggal siswa dari tiga kelas, 4, 5, dan 6.

Mereka duduk dalam tiga baris. Baris paling pojok adalah siswa kelas 6, di tengah siswa kelas 5, dan baris terakhir anak-anak kelas 4. Pada setiap baris ada seorang guru yang mem-bimbing mereka.

Tanpa sekat, pun tidak ada papan tulis. Tidak ada bangku dan kursi untuk duduk dan menulis. Semua duduk di lan-tai, beralaskan tikar.

Hanya guru yang duduk di kursi. Guru hanya men-jelaskan dan murid menu-lis. Sesekali ada pelajar yang meng acungkan jari untuk ber-tanya. Belajar-mengajar dalam keprihatinan.

Murid-murid SDN Gungan kebanyakan berasal dari Cang-kringan dan Pakem. Mereka adalah korban bencana erupsi Merapi, disusul lahar dingin yang masih mengancam hingga sekarang.

“Saat ini, kami butuh alat-alat tulis dan meja. Rumah ini masih layak untuk dijadikan sekolah sementara karena kon-disinya masih baik,” ujar Tini, guru di sekolah itu.

Keinginannya sangat seder-hana. Tukul pun, ketika ditanya harapannya, juga tidak banyak bersuara.

“Kasihan anak-anak ini. Orang tuanya sudah tidak mem-punyai pekerjaan tetap. Pulang pergi sekolah harus muter sam-pai 15 kilometer.” (N-2)

[email protected]