sekilas tentang siwagama

8
Sekilas tentang LONTAR SIWAGAMA Siwagama merupakan teks yang tergolong jenis tutur yang juga disebut Purwagamasasana. Siwagama merupakan salah satu karya Ida Padanda Made Sidemen dari Geria Delod Pasar, Intaran, Sanur. Karya ini diciptakan pada tahun 1938, konon atas permintaan raja Badung. Pengarang memulai teksnya dengan menyebutkan bahwa kisah cerita diawali dengan perbincangan raja Pranaraga dengan pendeta istana (Bagawan Asmaranatha) tentang tattwa mahasunya. Agama Hindu sesungguhnya menganut paham monotheisme bukan politheisme. Tuhan hanya satu tidak ada duanya, namun orang bijaksana menyebut-Nya dengan banyak nama. Berbagai sebutan Tuhan muncul dalam agama Hindu karena Tuhan tidak terbatas adanya. Akan tetapi, kemampuan manusia untuk menggambarkan hakikat Tuhan sangat terbatas adanya. Di dalam teks Siwagama disinggung berbagai sebutan Tuhan, seperti Sanghyang Widhi, Sanghyang Adisuksma, Sanghyang Titah, Sanghyang Anarawang, Sanghyang Licin, Sang Acintya, dll. Disamping kepercayaan kepada Sanghyang Widhi, pengarang juga menegaskan kepercayaan adanya roh leluhur. Dalam hal ini, manusia diajak untuk berbakti kepada leluhur. Sebab pada hakikatnya antara atma dan dewa itu tunggal, sebab semua makhluk berasal dari Sanghyang Widhi. Kepercayaan adanya karmaphala juga dijelaskan pengarang dalam teks Siwagama. Tidak ada suatu

Upload: putu-ajus

Post on 21-Aug-2015

144 views

Category:

Spiritual


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Sekilas tentang siwagama

Sekilas tentang

LONTAR SIWAGAMA

Siwagama merupakan teks yang tergolong jenis tutur yang juga disebut

Purwagamasasana. Siwagama merupakan salah satu karya Ida Padanda Made Sidemen dari

Geria Delod Pasar, Intaran, Sanur. Karya ini diciptakan pada tahun 1938, konon atas permintaan

raja Badung.

Pengarang memulai teksnya dengan menyebutkan bahwa kisah cerita diawali dengan

perbincangan raja Pranaraga dengan pendeta istana (Bagawan Asmaranatha) tentang tattwa

mahasunya. Agama Hindu sesungguhnya menganut paham monotheisme bukan politheisme.

Tuhan hanya satu tidak ada duanya, namun orang bijaksana menyebut-Nya dengan banyak nama.

Berbagai sebutan Tuhan muncul dalam agama Hindu karena Tuhan tidak terbatas adanya. Akan

tetapi, kemampuan manusia untuk menggambarkan hakikat Tuhan sangat terbatas adanya. Di

dalam teks Siwagama disinggung berbagai sebutan Tuhan, seperti Sanghyang Widhi, Sanghyang

Adisuksma, Sanghyang Titah, Sanghyang Anarawang, Sanghyang Licin, Sang Acintya, dll.

Disamping kepercayaan kepada Sanghyang Widhi, pengarang juga menegaskan

kepercayaan adanya roh leluhur. Dalam hal ini, manusia diajak untuk berbakti kepada leluhur.

Sebab pada hakikatnya antara atma dan dewa itu tunggal, sebab semua makhluk berasal dari

Sanghyang Widhi. Kepercayaan adanya karmaphala juga dijelaskan pengarang dalam teks

Siwagama. Tidak ada suatu perbuatan yang sia-sia, semua perbuatan akan membuahkan hasil,

disadari atau tidak. Selain itu disinggung juga mengenai kepercayaan akan adanya samsara dan

moksa. Hal ini dikaitkan dengan pahala-pahala yang ditemukan bagi orang-orang yang

senantiasa rajin membaca, mendengarkan, dan mendiskusikan ajaran-ajaran teks suci, seperti

Astadasaparwa, Itihasa, dan Purana-Purana. Konon sebagai pahala membaca, mendengarkan,

dan mendiskusikan teks-teks suci tersebut, selama hidupnya manusia dapat mencapai ketenangan

pikiran, melenyapkan niat-niat jahat, kotoran diri, noda, dan dosa, serta ketika ajal tiba akan

menemukan sorga dan moksa.

Di dalam teks Siwagama juga banyak didapatkan kutukan-kutukan yang menimpa

sejumlah tokoh akibat perbuatan-perbuatan yang dilakukannya. Sebagaimana dikisahkan, Bhatari

Page 2: Sekilas tentang siwagama

Uma dikutuk menjadi Durga sebagai pahala atas perbuatan serongnya dengan Si Pengembala,

Dyah Mayakresna (putri Bhatara Guru) dikutuk menjadi Kalika sebagai pahala atas kejahatannya

membunuh suami-suaminya. Sang Sucitra dan Sang Susena (Raja Gandarwa) menerima kutukan

dari Bhatara Guru menjadi Sang Kalantaka dan Sang Kalanjaya sebagai pahala perbuatan

jahatnya memperkosa Sang Batringsa dan Sriyogini (juru bunga Bhatara Guru). Ada pula tokoh-

tokoh yang dikisahkan mendapat pahala baik akibat perbuatan baik yang dilakukan. Seperti Sang

Kumara dinobatkan menjadi Sang Wredhakumara atas kemuliaan yoganya. Demikian pula pada

dewa-dewa lainnya, seperti Bhatara Surya yang diberi gelar Siwaraditya oleh Bhatara Guru

sebagai pahala atas ketekunannya menjadi saksi dunia dan atas kepatuhannya kepada Bhatara

Guru.

LONTAR SIWAGAMA 2

 Lontar ini pada intinya menyajikan tentang ajaran Siwa Buddha. Kemuliaan ajaran

Budha dan ajaran Siwa itu adalah tunggal dan tentang sepenggal kisah cerita Mahabaratha yang

tidak terexpose di etos mahabarata yang anda biasa baca.

Dikisahkan Sang Kunjarakarna, putra raja Dumbajaya, bertahta di negeri Pandhi. Laku

tapanya sangat hebat, memuja Sanghyang Werocana. Ia telah diberikan anugrah dan berganti

nama menjadi Bhagawan Handasingha. Ia menjadi pertapa telanjang, dan membangun asrama di

tengah hutan. Ia mampu pulang ke alam gaib, dan ia belajar sendiri tentang ajaran Budha. Di lain

pihak diceritakan mengenai Sri Purnawijaya, putra raja Utarsa, sebagai sepupu Sang

Kunjarakarna bertahta di Negeri Narajadesa atau dinamakan Kerajaan Kendran bergelar Sri

Nilacandra. Dinamakan kerajaan Kendran karena Raja Nilacandra mampu membuat tiruan

Kendran (sorga) dan tiruan Yamaloka (neraka), termasuk tiruan matahari dan bulan, dan telah

diberkati oleh Raja Hastina atas kesempurnaan kerajaannya itu.

Diceritakan bahwa Istana Kendran telah dirasa sempurna. Sehubungan dengan itu, maka

sang raja berniat mangadakan upacara selamatan untuk istana emasnya itu dengan mengundang

raja Hastina. Raja Yudistira datang bersama keempat saudaranya beserta para permaisurinya.

Mereka berlima (Pandawa Lima) bagaikan Sanghyang Panca Tatagata bersama kedelapan

Page 3: Sekilas tentang siwagama

dewinya, ibarat mereka berada di alam Dewa Budha. Pada saat itu Raja Yudistira berpesan

kepada Raja Nilacandra: “Wahai kau Raja Nilacandra, dan para menterimu sekalian, kuatkanlah

imanmu dalam melakoni ajaran Budha, sebab puncak keberhasilan laku tapamu akan

mengantarkan dirimu mengetahui sorga dan neraka. Betapa sejuknya hati orang-orang di seluruh

wilayah Negeri Narajadesa sebagai tonggak awal menjaga kehidupan, memegang teguh ajaran

Budha, menciptakan keselamatan dunia....”.

Diceritakan dua orang raja besar bernama Maharaja Kresna dan Maharaja Baladewa

mendengar berita kehebatan Raja Nilacandra yang gagah berani, yang telah menguasai sorga dan

neraka serta telah membuat sorga dan neraka tiruan di dalam istananya atas anugrah Sanghyang

Werocana dari utusan mereka yang bernama Sang Satyaki dan Sang Kretawarma. Maharaja

Kresna dan Maharaja Baladewa marah, merasa bagaikan ditantang keperkasaannya oleh Raja

Nilacandra. Dengan cepat Maharaja Kresna dan Maharaja Baladewa merapatkan pasukan Yadu

dan Wresnyandaka, serta kedua pamannya termasuk perdana menteri, panglima perang agar

segera angkat senjata. Maharaja Kresna dan Maharaja Baladewa mendahului perjalanan mereka

dengan mengendarai kereta emas permata, dengan kuda sangat sakti, Swalahaka, berwarna

hitam. Dalam sekejap mereka telah tiba di Kerajaan Hastina untuk menemui Raja Yudistira.

Maharaja Kresna menjelaskan maksud kedatangannya ke sana adalah untuk menyampaikan

bahwa mereka akan menyerang Raja Nilacandra oleh karena ia bisa membuat tiruan Indraloka

dan Pitreloka sebagai tanda keberhasilannya dalam menekuni ajaran Budha, dan Maharaja

Kresna hendak mengetahui kehebatan ilmu Raja Nilacandra dalam mendalami ajaran Budha.

Raja Yudistira tidak sepaham dengan penjelasan Maharaja Kresna, dan Beliau lalu menjelaskan

bahwa tujuan Raja Nilacandra dalam meniru sorga dan neraka adalah untuk mengajarkan

manusia di dunia ini kepada kesadaran yang sesungguhnya, yakni sebagai penahan bagi orang-

orang bodoh di Negeri Narajedesa, untuk mencegah pikiran orang-orang dalam melakukan

kejahatan.

Maharaja Kresna dan Maharaja Baladewa tidak terima dengan penjelasan dari Raja

Yudistira. Mereka lalu bergegas pergi dibuntuti oleh keempat Pandawa bersaudara yang

penasaran ingin mengetahui kesaktian Sang Nilacandra. Diceritakan peperangan telah terjadi.

Pesan Raja Nilacandra kepada pasukannya adalah “Janganlah kalian takut mati. Aku menjadi

jaminan atas kematianmu. Bukankah kau mengetahui diriku bahwa aku tidak bisa mati oleh

Page 4: Sekilas tentang siwagama

senjata. Aku mampu menghidupkan orang yang telah mati, sebab aku mempunyai senjata

Sanghyang Puspawijaya, anugrah Sanghyang Werocana”.

Banyak korban berjatuhan di kedua belah pihak. Keempat Pandawa pun telah tewas.

Maharaja Yudistira yang mengetahui bahwa keempat saudaranya telah tewas menjadi marah.

Sifat ksatrianya mekar, ia memusatkan batin pada kekuatan senjata pustakanya yang dinamakan

Sanghyang Kalimosada dengan merapalkan mantra dan aksara sucinya, untuk disemayamkan,

dihadirkan agar meresit dalam dirinya. Dalam sekejap ia berubah menjadi Kalagni berkobar-

kobar memenuhi medan perang.

Raja Nilacandra yang melihat hal tersebut juga menjadi marah. Matanya diselimuti

kekuatan panah mahan, sehingga muncul nafsu merajai. Dengan cepat ia mengambil senjata

gadanya yang tajam, dan maju membidik. Tiba-tiba Sanghyang Werocana Turun, berdiri di

pangkal tangkai bunga teratai, lengkap dengan senjata bajranya. Bagawan Handasingha juga

turun, menasihati adiknya Sang Nilacandra.

Katanya: “Wahai adikku Raja Narajadesa, kali ini ulahmu menyimpang, kau berani

durhaka kepada raja Hastina, pastilah kekuatan tapamu dulu itu akan tenggelam. Pada saat

kematianmu, kau akan ditenggelamkan di kawah neraka Tambragomuka karena kau dikutuk oleh

ayahmu , yang telah menjadi dewa. Kaulah yang memunahkan kekuatan laku tapa ayahmu, yang

dulu diangkat menjadi Perdana Menteri oleh raja Pandu dulu. Karena kau adalah abdi Raja

Yudistira, maka kau akan terkena kutukan pada saat kematianmu, sebagai abdi Bhatara Dharma,

sebab Bhatara Dharma menjelma di dalam tubuh Raja Yudistira, mati tanpa meninggalkan jasad,

dan lagi Raja Kresna adalah penjelmaan Wisnu sejati, yang bertugas menyelamatkan dunia. Jika

Raja Kresna dan Yudistira dibunuh di medan perang, sekalipun kau berhasil melakukannya

berkat anugrah Sanghyang Werocana kepadamu, maka dunia ini akan lenyap berubah menjadi

lautan luas. Bhatara Guru akan marah kepadamu. Adapun sekarang, sifat keras kepala Raja

Kresna kepada dirimu, tanpa ada dosa, ia datang menyerang dirimu, sebab ia belum percaya

kepada keimananmu sebagai penganut ajaran Budha, yang sudah ada di dalam dirinya, sebagai

tempat bersemayam Sanghyang Werocana.”

Page 5: Sekilas tentang siwagama

Raja Nilacandra memusatkan batin memuja kehadapan Sanghyang Werocana,

menyembah kepada Bhagawan Handasingha, kepada Raja Yudistira, memohon maaf atas

kesalahannya, sambil meneteskan air mata. Raja Yudistira masih tetap marah, dengan sekuat

tenaga menghujani Raja Nilacandra dengan senjata panah ampuh, namun semua senjata itu tidak

mempan sama sekali, sehingga raja Yudistira pun menjadi semakin marah, dan terus menyerang

Raja Nilacandra. Akan tetapi Raja Nilacandra tetap bersujud menyembah, tiada melakukan

perlawanan. Akhirnya Raja Yudistira pun turun tergopoh-gopoh, mengelus-elus kepala Raja

Nilacandra sambil berkata manis: “Berbahagialah kau anakku, kau telah mampu menaklukkan

kebajikanku, tenangkanlah pikiranmu! Kau telah berhasil menguasai ajaran kesucian, sebagai

saranaku dan dirimu pulang ke sorga nanti. Janganlah kau salah paham kepadaku, sebab orang

sangat sulit menemukan keselamatan di dunia selama-lamanya, dirasuki oleh nafsu dan

ketamakan, merintangi kebenaran dan kesetiaannya di dunia.

Raja Nilacandra lalu menyembah, memohon maaf. Ia memohon keris Raja Yudistira

untuk dipakai menebas kepalanya. Raja Yudistira berkenan, lalu menghunus keris pusaka

candrahasa. Keris itu diterima oleh Raja Nilacandra, kemudian kepalanya ditebas jasadnya

ditidurkan di dalam kereta.

Puspakomala dilihat oleh Raja Yusdistira di dalam asta galaka, lalu puspakomala itu

dicabutnya. Dipikir-pikir olehnya, ternyata kemuliaan ajaran Budha dan ajaran Siwa itu tunggal.

Panca Tatagatanya sama dengan Panca Siwanya. Ia berwujud Budha, Ia berwujud Siwa.

Bersatunya hakikat bayu dan sabda sebagaimana penunggalan perasaan dan penglihatan, sama-

sama bisa saling merasuki, sebagai murid Bhatara Sadasiwa, digoreskan di dalam ketiadaan yang

sangat rahasia, kelepasannya tunggal, yakni Sanghyang Adwaya dengan Adwayajnana.

Puspakomala yang dipegang oleh Raja Yudistira kemudian dirampas oleh Raja Kresna,

digunakan untuk menghidupkan kembali semua pasukannya yang telah mati di medan perang

termasuk keempat Pandawa.

Demikianlah keutamaan Sanghyang Puspakomala, yang keluar dari puncak kepala Sang

Nilacandra, dapat dipakai menghidupkan orang mati, jika belum saatnya mati. Puspakomala itu

kemudian dikembalikan lagi kepada Raja Yudistira. Raja Yudistira kemudian beryoga memuja

Page 6: Sekilas tentang siwagama

kekuatan air kehidupan Sanjiwani, menyemayamkan kembali puspakomala Sang Nilacandra,

dikembalikan ke tempatnya semula. Sang Nilacandra pun terjaga, hidup kembali.