sejengkal tanah setetes darah · 2020. 6. 19. · sejengkal tanah setetes darah jilid 20 oleh...

83

Upload: others

Post on 18-Nov-2020

109 views

Category:

Documents


10 download

TRANSCRIPT

Page 1: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan
Page 2: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

JILID 20

OLEH

PaneMbahan Mandaraka

Gambar sampul & Gambar dalam

Ki Adi Suta

Tahun 2020 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas

(i)

Page 3: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

Cerita ini ditulis

Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa

Yang telah menggali cerita

Dari bumi yang tercinta

Walaupun yang disajikan ini jauh dari sempurna

Tak ada maksud untuk meniru Sang Pujangga

Hanyalah kecintaan akan sebuah karya

Untuk dilestarikan sepanjang masa

Sekar keluwih, Maret 2020

Terima kasih atas dukungan: Istri dan anak-anak tercinta

Serta handai taulan semua

(ii)

Page 4: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

Ketika rombongan itu telah semakin dekat, tampak semua orang

di dalam rombongan itu mengerutkan kening masing masing.

Tidak ada seorang pun yang merasa pernah mengenal wajah itu.

Sebuah wajah yang kasar dan tampak sedikit liar dengan kumis

dan jambang yang tidak terawat sama sekali. Sepasang matanya

tampak bagaikan sepasang mata burung hantu yang siap

menerkam mangsanya. Baju dan kain panjangnya pun tampak

lusuh. Sementara ikat kepalanya terkesan hanya disangkutkan

begitu saja di kepalanya yang berambut panjang tak terawat.

“Ki Gede mengenal orang itu?” bisik Ki Rangga kemudian tanpa

berpaling.

Ki Gede menggelengkan kepalanya. Jawabnya kemudian juga

dengan berbisik, “Tidak banyak orang padukuhan Klangon yang

aku kenal, hanya Ki Dukuh dan beberapa bebahunya saja.”

“Mungkin para pengawal itu mengenalnya Ki Gede,” lanjut Ki

Rangga kemudian sambil tetap mempertahankan laju derap

kudanya.

“Mungkin, Ki Rangga,” sahut Ki Gede.

Namun ketika pemimpin tanah perdikan Matesih itu kemudian

berpaling ke belakang dan memberi isyarat ke arah dua orang

pengawal Mateseih yang berkuda di belakang Ratri dan Ki Bango

Lamatan, keduanya pun tampak juga menggelengkan kepala

mereka.

“Tidak ada satu pun di antara kita yang mengenalnya,” berkata Ki

Gede selanjutnya yang dijawab dengan anggukkan kepala oleh Ki

Rangga.

1

Page 5: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

“Baiklah, aku rasa kita tidak mempunyai masalah dengan orang

itu,” desis Ki Rangga kemudian tanpa mengurangi laju kudanya,

“Kita jalan terus.”

“Ya, Ki Rangga. Kita jalan terus,” Ki Gede ikut menimpali.

Ketika Ki Rangga sempat berpaling ke belakang kearah Ki Bango

Lamatan, tampak pengawal khusus Pangeran Pati Mataram itu

pun menganggukkan kepalanya tanda setuju. Sementara Ratri

hanya menatap kosong ke arah Agul Agulnya Mataram itu.

Demikianlah rombongan itu pun memutuskan untuk tetap

meneruskan perjalanan mereka.

Dalam pada itu di rumah Ki Dukuh Klangon, tampak beberapa

orang sedang duduk duduk di pendapa. Beberapa orang lainnya

tampak hilir mudik keluar masuk rumah Ki Dukuh melalui pintu

pringgitan yang terbuka. Bahkan ada satu dua orang yang

menyusur gandhok kanan maupun kiri.

“Ki Dukuh memang sudah gila!” geram seorang yang

berperawakan tinggi besar dan berjambang lebat sambil keluar

dari pringgitan. Dibantingnya pintu pringgitan itu sehingga

terdengar suaranya yang berderak derak.

“Bersembunyi di mana engkau, Ki Dukuh? Kalau ketemu kucekik

lehermu sampai mampus!” teriak orang itu kemudian sambil

melangkah ke pendapa.

“Sudahlah Srenggi!” sahut salah seorang yang tampak sudah

sepuh namun terlihat sangat garang di antara mereka yang duduk

di pendapa. Wajahnya sekilas tampak seperti seekor singa tua

yang dipenuhi jambang dan kumis yang sudah berwarna putih

bercampur coklat kemerahan. Rambutnya yang panjang sampai

punggung dibiarkan saja terurai. Sementara ikat kepala yang

2

Page 6: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

bewarna lurik itu terlihat seperti hanya disangkutkan begitu saja

di kepalanya.

“Tanyakan saja kepada para pengawal itu. Mungkin mereka tahu

kemana perginya Ki Dukuh,” berkata orang yang sepuh itu

kemudian dengan suara yang bagaikan geraman seekor singa.

“Baik guru,” jawab orang yang dipanggil Srenggi itu kemudian

sambil melangkah lebar menuju ke regol depan.

Melihat orang tinggi besar berjambang lebat yang dipanggil

Srenggi itu melangkah ke arah regol, tak urung para pengawal itu

pun menjadi berdebar debar.

“Nah,” berkata Srenggi kemudian sesampainya dia di hadapan

empat orang pengawal yang berdiri dengan kaki gemetaran,

“Menjelang dini hari tadi, ketika kami datang, kalian telah

mencegah kami untuk membangunkan Ki Dukuh. Kalian

menawarkan kami untuk beristirahat di gandhok kanan,” Srenggi

berhenti sebentar. Lanjutnya kemudian, “Sekarang Matahari

sudah hampir terbit dan Ki Dukuh sama sekali tidak tampak

batang hidungnya. Apa maksud kalian, he?!”

Suara Srenggi yang semakin lama semakin tinggi dan diakhiri

dengan bentakan keras itu telah membuat jantung keempat

pengawal itu semakin terguncang.

Namun salah seorang segera memberanikan diri maju selangkah

sambil membungkuk dalam dalam. Katanya kemudian dengan

suara sedikit bergetar, “Maaf Ki Srenggi. Kami hanya bertugas

menjaga keamanan sekitar kediaman Ki Dukuh ini. Kami tidak

tahu menahu kemana perginya Ki Dukuh.”

Mata Srenggi yang sudah merah darah itu semakin membelalak.

Namun sebelum dia akan berbuat lebih jauh, terdengar salah satu

3

Page 7: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

pengawal yang bertubuh kurus menyeluthuk, “Maafkan kami Ki

Srenggi. Kami memang hanya bertugas menjaga kediaman Ki

Dukuh ini. Kami benar benar tidak tahu menahu kegiatan yang

dilakukan oleh Ki Dukuh. Namun satu hal yang dapat Ki Srenggi

jadikan pegangan, kami yang bertugas khusus di kediaman Ki

Dukuh ini adalah para pengikut Ki Dukuh yang telah bersetia

kepada Trah Sekar Seda Lepen.”

Mendengar nama Trah Sekar Seda Lepen disebut, sejenak Srenggi

tertegun. Tanpa sadar dipandanginya satu persatu keempat

pengawal yang berdiri di hadapannya itu.

“Mengapa kalian tidak ikut melarikan diri bersama Ki Dukuh yang

pengecut itu?” bertanya Srenggi kemudian dengan nada tinggi,

“Apakah kalian mengira akan selamat jika pagi ini Ki Gede

Matesih akan datang ke padukuhan ini bersama pasukan

pengawal segelar sepapan untuk meluluh lantakkan padukuhan

Klangon?”

Untuk beberapa saat keempat pengawal itu hanya saling pandang.

Namun pegawal yang bertubuh kurus itulah yang kemudian

menjawab, “Pada dasarnya kami siap menunggu perintah Ki

Dukuh. Jika Ki Dukuh mengajak kami, kami pun akan ikut.”

“Tetapi pada kenyataannya, pemimpin yang kalian agung

agungkan itu kini justru telah meninggalkan kalian,” sergah

Srenggi tetap dengan nada tinggi, “Nah, apa kata kalian

sekarang?”

Kembali keempat pengawal itu hanya dapat saling pandang. Kini

hati mereka benar benar menjadi gelisah. Dengan perginya Ki

Dukuh dan keluarganya tanpa sepengetahuan mereka, nasib

mereka seakan sudah pasti, menjadi bulan bulanan pasukan

pengawal Matesih yang mungkin akan segera datang.

4

Page 8: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

“Jangan khawatir,” tiba tiba suara Srenggi melunak, “Kami akan

tetap di sini sambil menunggu perkembangan. Dua orang telah

aku kirim untuk mengamati keadaan di jalan jalan seperti yang

telah kalian sarankan. Karena aku mempunyai perhitungan bahwa

pagi ini Ki Gede Matesih pasti akan menyerbu padukuhan

Klangon untuk menangkap Ki Dukuh.”

Meremang bulu kuduk keempat pengawal itu. Hati mereka mulai

dijalari rasa bimbang. Kepergian Ki Dukuh dan keluarganya yang

tanpa pamit itu telah menggoncangkan hati mereka.

“Nah, kita tunggu saja berita dari Badra Brewok atau Mranggi

yang aku tugaskan untuk mengamati kedua jalur jalan keluar dari

Matesih,” Srenggi behenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Sesuai

saran yang telah kalian berikan.”

Keempat pengawal itu tidak menanggapi. Hanya tampak kepala

mereka yang terangguk angguk.

“Semoga Ki Gede Matesih berubah pikiran dan tidak jadi

menyerbu padukuhan Klangon,” berkata Srenggi selanjutnya,

“Sehingga kami akan aman untuk sementara tinggal di rumah Ki

Dukuh ini sambil mengamati keadaan.”

“Apakah rombongan Ki Srenggi tidak memutuskan untuk kembali

ke lereng gunung Arjuna saja?” tiba-tiba pengawal yang berbadan

kurus itu bertanya.

Sejenak Srenggi terdiam. Namun sambil menggeleng dia

menjawab, “Aku tidak tahu. Semuanya terserah guru.”

Keempat pengawal itu hanya dapat mengangguk anggukkan

kepala mereka dengan hati yang berdebar debar.

5

Page 9: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

“Sudahlah Srenggi!” kembali terdengar orang yang sudah sepuh

dan dipanggil guru itu berkata setengah berteriak, “Mereka sudah

memberikan keterangan sesuai dengan apa yang mereka ketahui.

Sapta Dhahana sudah jatuh dan belum terdengar lagi khabarnya.

Ki Dukuh juga telah raib entah kemana. Sebaiknya kita memantau

keadaan sambil beristirahat di tempat ini!”

Srenggi tampak menarik nafas dalam dalam untuk meredakan

gejolak dalam dadanya mendengar kata kata gurunya. Katanya

kemudian kepada keempat pengawal itu, “Jika kalian memang

telah bersumpah setia kepada Trah Sekar Seda Lepen, kalian

harus membantu kami. Keterangan sekecil apapun tentang

Matesih dan Ki Rangga Agung Sedayu beserta kawan kawannya,

harus segera kalian sampaikan kepada kami.”

Kembali keempat pengawal itu menganggukkan kepala mereka,

sedangkan Srenggi pun kemudian dengan langkah lebar

meninggalkan gardu penjagaan depan. Setelah menaiki tlundak

pendapa, Srenggi pun kemudian bergabung dengan mereka yang

telah terlebih dahulu duduk di pendapa.

“Apakah tidak ada minuman hangat dan sepotong makanan pun

yang dapat untuk mengganjal perut?” bertanya orang yang

dipanggil guru itu kemudian sambil memandang ke arah murid

muridnya.

“Guru, aku tadi melihat di dapur ada ketela dan umbi umbian di

atas amben,” sahut salah seorang cantriknya yang berwajah bulat

dan bertubuh gemuk, “Kita bisa memasak jika guru

menghendaki.”

“Pergilah ke dapur,” sahut Srenggi dengan serta merta sambil

berpaling ke arah cantrik itu, “Dua orang dapat memasak air dan

merebus ketela. Lumayan untuk sekedar mengganjal perut.”

6

Page 10: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

Serentak cantrik bertubuh gemuk itu serta seorang cantrik yang

duduk di sebelahnya segera bangkit berdiri dan masuk ke dalam

rumah.

“Ternyata kita telah terlambat,” desis orang yang dipanggil guru

itu sepeninggal kedua orang muridnya yang pergi ke dapur,

“Menurut cerita pengawal kepadamu dini hari tadi ketika kita

datang, Sapta Dhahana telah jatuh dan sampai sekarang belum

ada beritanya.”

“Guru,” berkata Srenggi kemudian menanggapi, “Jika diijinkan

aku akan ke Matesih mencari orang yang bernama Ki Rangga

Agung Sedayu itu. Akan aku tantang dia untuk berperang tanding.

Aku tidak percaya jika Kiai Damar Sasangka yang sakti

mandraguna itu bisa dikalahkan oleh orang yang bernama Ki

Rangga Agung Sedayu.”

“Jangan gegabah, Srenggi,” geram gurunya, “Jika engkau

memasuki Matesih sekarang juga, engkau akan diburu beramai

ramai seperti para pemburu memburu binatang buruannya.

Matesih sekarang sedang mempunyai kepercayaan diri yang

sangat tinggi setelah mereka mampu menjatuhkan Sapta Dhahana

walaupun sebenarnya Ki Rangga dan kawan kawannya itulah

sebenarnya yang berperan sangat penting, setidaknya itu menurut

ceritamu dari para pengawal yang jaga semalam.”

Tampak Srenggi menarik nafas dalam-dalam mendengar

penjelasan gurunya. Ingatannya pun segera melayang ke waktu

menjelang dini hari tadi ketika mereka datang ke rumah Ki

Dukuh. Lima belas orang berkuda datang menjelang dini hari

tentu saja sangat mengejutkan para pengawal yang menjaga

kediaman Ki Dukuh Klangon.

7

Page 11: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

“Siapakah para Ki Sanak ini?” bertanya salah seorang pengawal

yang sedang jaga saat itu setelah orang orang berkuda itu turun

dari kuda masing masing.

“Kami dari perguruan Singo Barong,” jawab gurunya pada saat itu

dengan wajah dibuat seramah mungkin agar tidak menimbulkan

kecurigaan, “Kami datang jauh jauh dari lereng gunung Arjuna

atas undangan Ki Dukuh.”

Sejenak pengawal itu termenung. Jawabnya kemudian, “Silahkan

duduk duduk di pendapa terlebih dahulu atau jika para Ki Sanak

ingin beristirahat, kalian dapat menggunakan gandhok kanan.

Kami mohon maaf sebesar besarnya jika Ki Dukuh belum dapat

menyambut pada waktu seperti ini. Biarlah hal ini akan kami

laporkan setelah Matahari terbit dan Ki Dukuh sudah bangun.”

Alasan itu memang masuk akal sehingga dini hari tadi, setelah

menambatkan kuda kuda itu di patok patok di halaman samping

kanan, rombongan dari perguruan Singo Barong yang berjumlah

lima belas orang itu segera menempati ngandhok kanan untuk

beristirahat. Namun Srenggi yang tidak merasa mengantuk telah

berbincang dengan para pengawal di gardu depan.

Dari perbincangan itulah dia mendapat berita bahwa Sapta

Dhahana telah jatuh dan Kiai Damar Sasangka telah tewas di

tangan Ki Rangga Agung Sedayu.

“Jadi Kiai Damar Sasangka telah tewas?” bertanya Srenggi dengan

dada yang berdebaran. Berita tewasnya pemimpin perguruan

Sapta Dhahana itu baginya sangat tidak masuk akal.

“Benar Ki Srenggi,” jawab pemimpin pengawal jaga itu, “Kami

sendiri juga tidak percaya jika hal itu dapat terjadi. Tetapi

memang demikianlah kenyataan yang telah terjadi.”

8

Page 12: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

“Gila!” geram Srenggi sambil menggeretakkan giginya dan

mengepalkan kedua tangannya, “Jika guru mengijinkan, ingin

rasanya aku sekarang juga pergi ke Matesih untuk mencari orang

yang bernama Ki Rangga Agung Sedayu itu.”

“Untuk apa?” seorang pengawal justru telah bertanya dengan nada

ragu ragu.

“Tentu saja untuk membunuhnya!” jawab Srenggi cepat, “Akan

aku buktikan bahwa perguruan Singo Barong tidak dapat

dipandang dengan sebelah mata!”

Tetapi sambutan para pengawal jaga di regol rumah Ki Dukuh itu

justru telah mengejutkan Srenggi.

“Sebaiknya jangan, Ki Srenggi,” berkata pemimpin pengawal jaga

itu kemudian, “Kemarin pagi juga telah jatuh korban karena

perhitungan yang terburu nafsu.”

Srenggi mengerutkan keningnya. Tanya kemudian, “Apa

maksudmu?”

Pemimpin pengawal itu menarik nafas sejenak. Jawabnya

kemudian, “Tamu Ki Dukuh yang bernama Pertapa dari goa

Langse beserta murid muridnya juga telah menjadi korban

kemarin pagi.”

“He?” jika ada seribu petir yang menyambar di atas kepala Srenggi

saat itu, tentu dia tidak akan seterkejut mendengar berita dari

pemimpin pengawal itu.

“Apa katamu? Pertapa goa Langse menjadi korban?” bertanya

Srenggi kemudian dengan serta merta.

9

Page 13: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

“Ya. Benar Ki,” jawab pemimpin pengawal itu. Kemudian dia

segera menceritakan berita yang didengarnya sore tadi bahwa

tamu Ki Gede yang bernama Pertapa dari goa Langse dan murid

muridnya telah tidak kembali ke rumah Ki Dukuh lagi. Bahkan

berita terakhir yang didengarnya, Pertapa goa Langse itu telah

tewas dan dimakamkan siang kemarin.”

“Aku harus memberitahu guru!” geram Srenggi kemudian sambil

bergegas meninggalkan regol.

“Guru,“ tiba tiba terdengar suara seseorang membangunkan

lamunan Srenggi, “Jika guru meragukan kemampuan kakang

Srenggi sendirian menghadapi Ki Rangga, bagaimana jika kami

bertiga, kakang Srenggi, aku dan adi Gentho yang menantang Ki

Rangga Agung Sedayu? Aku kira kekuatan kami bertiga jika

digabung akan dapat mengatasi Agul Agulnya Mataram itu.”

Untuk sejenak gurunya terpekur. Bebagai pertimbangan pun hilir

mudik di dalam benaknya.

“Aku belum mengetahui kekuatan sebenarnya yang tersimpan

dalam diri orang yang bernama Agung Sedayu murid orang

bercambuk itu,” berkata gurunya kemudian, “Sejauh

pengetahuanku, beberapa nama yang kondang kawentar telah

dikalahkannya. Ajar Tal Pitu yang mampu membelah diri menjadi

tiga dengan aji kakang kawah adi ari ari, Manohara yang mampu

meledakkan sasarannya dengan aji petirnya, Panembahan Cahya

Warastra yang dapat bertiwikrama menjadi raksasa sebesar bukit,

dan terakhir Kiai Damar Sasangka yang kabarnya sudah kalis dari

pati namun pada akhirnya dapat dikalahkan juga oleh Ki Rangga

Agung Sedayu,” gurunya berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian,

“Dan berita terakhir dari para pengawal jaga, Pertapa goa Langse

pun telah menjadi korban, bukan oleh Ki Rangga, akan tetapi

justru oleh adik sepupunya.”

10

Page 14: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

Sejenak suasana menjadi sunyi, mereka masing masing tampak

sedang merenungi keterangan gurunya itu.

“Alangkah dahsyat dan tingginya ilmu Ki Rangga itu,” berkata

hampir semua cantrik dan putut yang ada di pendapa itu dalam

hati, “Lawan-lawannya masing masing mempunyai ilmu yang

aneh dan nggegirisi namun semua dapat dijinakkan dan pada

akhirnya tunduk dengan kemampuan Ki Rangga.”

“Guru,” berkata Srenggi kemudian setelah sejenak mereka

terdiam, “Jika orang orang yang telah guru sebutkan tadi masing

masing mempunyai ilmu yang dahsyat dan nggegirisi serta sudah

jarang kita jumpai saat ini, bagaimanakah sebenarnya ilmu Ki

Rangga sendiri? Ilmu apakah yang telah membuatnya begitu sekti

mandraguna ora tedas papak palune pandhe sisane gurinda?”

Serentak semua mata pun tertuju ke arah guru mereka. Masing

masing menunggu keterangan apa saja tentang diri Ki Rangga dari

guru mereka.

Gurunya menarik nafas panjang terlebih dahulu sebelum

menjawab. Tampak kerut merut di wajah orang tua itu pun

semakin dalam. Jawabnya kemudian sambil menegakkan

punggungnya, “Aku tidak bisa memerinci satu persatu ilmu yang

telah dikuasai oleh Ki Rangga. Namun yang aku dengar,

perguruan bercambuk adalah perguruan turun temurun dari

jaman ketika kerajaan Majapahit masih berdiri tegak. Salah

satunya adalah perguruan Windujati,” orang tua itu berhenti

sejenak untuk sekedar menarik nafas. Lanjutnya kemudian,

“Kalian tidak usah bertanya ilmu apa saja yang menjadi ciri

perguruan Windujati. Kalian akan melihat bagaimana Ki Rangga

sebagai murid utama orang bercambuk itu dalam memainkan

cambuknya dengan sangat sempurna. Selain itu aku juga

mendengar bahwa murid utama orang bercambuk itu juga bisa

11

Page 15: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

membelah diri menjadi tiga seperti aji kakang kawah dan adi ari

ari yang menjadi ciri perguruan Tal Pitu, menciptakan kabut yang

tidak tembus pandang dan juga mempunyai ilmu kebal yang sulit

untuk ditembus oleh ilmu lawan, baik serangan tangan kosong

maupun yang menggunakan senjata tajam.”

Suasana benar benar menjadi sunyi. Murid murid perguruan

Singo Barong seolah tersihir oleh penjelasan gurunya.

“Dan yang lebih dahsyat lagi,” berkata pemimpin perguruan Singo

Barong itu selanjutnya, “Ki Rangga Agung Sedayu mempunyai

sejenis ilmu yang aneh dan nggegirisi. Ki Rangga mampu

mengungkapkan puncak ilmunya melalui sorot matanya.”

“He?!” semua orang yang berada di pendapa itu terkejut bukan

alang kepalang. Ilmu yang mampu diungkapkan melalui sorot

mata konon khabarnya hanya terdapat dalam cerita cerita babat

dan pewayangan. Mereka belum pernah mendengar apalagi

mengalami sendiri kedahsyatan ilmu sorot mata itu.

“Betapapun seseorang itu mampu bergerak secepat tatit yang

meloncat di udara,” membatin Srenggi dalam hati kemudian,

“Namun tidak mungkin akan mampu menandingi kecepatan gerak

sebuah sorot mata. Kemana pun seseorang itu bergerak, dengan

kecepatan setinggi apapun, pasti lebih cepat dari gerakan sebuah

sorot mata.”

Diam diam Srenggi bergidik ngeri. Benar benar sebuah ilmu

langka yang belum pernah didengar dan dialaminya sendiri.

Demikian lah ternyata uraian panjang lebar gurunya itu telah

membuat murid muridnya membeku. Jika keterangan gurunya itu

benar atau setidaknya mendekati kebenaran, alangkah dahsyat

12

Page 16: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

ilmu orang yang namanya sudah kawentar kajalandriya di

seluruh tlatah Mataram itu?

“Guru,” akhirnya Srenggi tidak dapat menahan diri lagi. Maka

tanyanya kemudian, “Jika benar Ki Rangga memiliki ilmu yang

sedhasyat itu, apakah perguruan kita mempunyai bekal untuk

dapat menghadapinya?”

Gurunya tertawa pendek. Jawabnya kemudian, “Jika kalian

bertiga saja, aku yakin Ki Rangga masih belum menemui kesulitan

untuk menundukkan kalian. Namun jika aku ikut bergabung di

dalamnya, aku yakin kita berempat akan dapat menundukkannya

walaupun harus disertai dengan perjuangan yang cukup berat dan

tentu saja harus disertai dengan sebuah siasat.”

Serentak mereka yang hadir di pendapa itu terangguk angguk.

Memang mengalahkan seorang lawan yang pilih tanding tidak

harus dengan benturan ilmu saja. Gurunya beranggapan bahwa

siasat dan kecerdikan itu sangat diperlukan walaupun kadang

dengan menggunakan cara yang sedikit licik dan menipu.

Sejenak suasana menjadi sepi. Sementara itu Matahari masih

belum benar benar terbit, namun cahayanya yang membias mega

mega di langit timur sudah mulai membuat alam sekitarnya

menjadi terang.

“Jika kita benar benar akan berhadapan dengan Ki Rangga Agung

Sedayu, kalian bertiga mempunyai tugas untuk memecah

perhatiannya,” berkata gurunya selanjutnya memecah kesepian,

“Ketika aku mendengar Agul Agulnya Mataram itu telah berhasil

membunuh Panembahan Cahya Warastra yang mampu berubah

menjadi raksasa sebesar bukit dengan aji brahala wurunya, aku

mendengar bahwa raskasa itu tewas menjadi seonggok pecahan

tulang dan serpihan daging terkena ilmu sorot mata Ki Rangga.”

13

Page 17: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

Semua murid yang mendengar keterangan gurunya itu menjadi

bergidik ngeri. Mereka hanya dapat membayangkan kedahsyatan

dan kekuatan yang dipancarkan melalui sorot mata itu.

“Bukit pun akan runtuh dan gunungpun akan jugrug,” membatin

murid murid Singo Barong itu. Hampir setiap dada pun telah

bergetar.

“Ketika perguruan Sapta Dhahana menjalin hubungan dengan

Trah Sekar Seda Lepen, dan Ki Dukuh Klangon ini menjadi

perantara untuk bergabung dengan Sapta Dhahana, aku mulai

memikirkan orang yang bernama Ki Rangga Agung Sedayu itu,”

berkata gurunya selanjutnya.

“Mengapa guru memikirkan orang yang bernama Ki Rangga

Agung Sedayu itu? Apakah orang itu ada hubungannya dengan

perguruan kita?” bertanya Srenggi kemudian sambil menatap

gurunya dengan pandangan penuh tanda tanya.

Gurunya tersenyum menanggapi pertanyaan murid utamanya itu.

Jawabnya kemudian, “Perjuangan Trah Sekar Seda Lepen cepat

atau pun lambat pasti akan terendus oleh para petugas sandi

Mataram. Karena bagaimana pun juga, Trah Sekar Seda Lepen

pasti akan dianggap sebagai pemberontak yang ingin

menggulingkan Mataram.”

“Dan hubungannya dengan Ki Rangga?” sahut salah satu

muridnya yang duduk di sebelah Srenggi.

Kembali gurunya tersenyum kearah salah satu muridnya itu.

Jawabnya kemudian, “Ketahuilah Gentho, jika Mataram

memutuskan untuk menghancurkan Trah Sekar Seda Lepen yang

dianggap akan memberontak, tentu Ki Rangga Agul Agulnya

Mataram itu yang akan ditugaskan, dan ternyata perhitunganku

14

Page 18: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

mendekati kebenaran. Hanya saja Ki Rangga tidak memimpin

pasukan segelar sepapan dari Mataram, namun menggunakan

para pengawal perdikan Matesih untuk menghancurkan Sapta

Dhahana.”

Untuk beberapa saat suasana menjadi sunyi. Masing masing

sedang tenggelam dalam angan angan yang bermacam macam.

“Guru,” tiba tiba seseorang yang duduk di sebelah Gentho

bertanya, “Karena keadaan telah berkembang seperti ini, apakah

tidak sebaiknya kita kembali ke lereng gunung Arjuna saja?”

“Tidak, Gandhung,” sahut gurunya cepat, “Kita perlu istirahat

sejenak di rumah Ki Dukuh ini sambil mengawasi keadaan. Selain

itu aku ingin mengetahui keberadaan Trah Sekar Seda Lepen itu

sendiri. Berita yang kita terima hanya Sapta Dhahana telah jatuh

dan Kiai Damar Sasangka telah tewas. Sementara keberadaan

Trah Sekar Seda Lepen itu belum ada beritanya.”

Murid murid perguruan Singo Barong yang hadir di pendapa itu

pun tampak mengangguk anggukkan kepala mereka. Agaknya

keinginan gurunya untuk bergabung dengan perjuangan Trah

Sekar Seda Lepen setelah jatuhnya Sapta Dhahana belum padam.

Gurunya ingin meyakinkan bahwa Trah Sekar Seda Lepen masih

selamat dan akan membangun kekuatan lagi di masa mendatang.

“Apakah memang Wahyu Keprabon itu akan berpindah kepada

Trah Sekar Seda Lepen?” pertanyaan itupun menghantui setiap

kepala.

“Aku tahu kalian mungkin heran mengapa aku tetap akan

mendukung Trah Sekar Seda Lepen?” bertanya gurunya kemudian

demi melihat wajah wajah muridnya sedikit menyimpan

keraguan.

15

Page 19: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

“Aku tahu kalian mungkin heran mengapa aku tetap akan mendukung

Trah Sekar Seda Lepen?” bertanya gurunya kemudian…

16

Page 20: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

“Ya guru,” jawab Srenggi dengan serta merta, “Kami semua belum

mengerti alasan guru yang sebenarnya untuk mendukung orang

yang mengaku sebagai Trah Sekar Seda Lepen itu.”

Tampak gurunya menarik nafas dalam dalam sambil mengangguk

angguk. Katanya kemudian, “Trah Sekar Seda Lepen adalah trah

yang memang seharusnya menduduki tahta di negeri ini. Orang

yang menyebut dirinya Trah Sekar Seda Lepen itu adalah trah dari

Harya Mataram, adik Harya Penangsang yang telah tewas karena

kelicikan Juru Mertani, orang dari Sela itu. Harya Penangsang dan

Harya Mataram kakak beradik itu adalah putera Pangeran

Surawiyata yang dibunuh secara licik oleh orang suruhan Prawata,

anak Trenggana, agar tahta Demak yang seharusnya jatuh

ketangan Pangeran Surawiyata dapat berpindah kepada

Trenggana. Prawata sampai hati berbuat licik dan tega menyuruh

orang membunuh pamannya sendiri itu mempunyai pamrih agar

ayahnya lah yang akhirnya menduduki tahta Demak, dan pada

akhirnya suatu saat nanti tahta Demak akan dilintirkan kepada

dirinya.”

Murid murid perguruan Singo Barong itu tampak terpekur

mendengar penuturan gurunya. Sejarah negeri ini memang telah

carut marut dengan ketamakan dan kebusukan hati dalam

merebut tahta dan kekuasaan. Kini merekapun sedang

dihadapkan pada dua pilihan, mendukung Mataram ataukah

mendukung Trah Sekar Seda Lepen.

“Jadi, Mataram sekarang menguasai negeri ini karena hasil tipu

daya dan akal licik orang yang bernama Juru Mertani itu,” berkata

gurunya selanjutnya, “Sekarang orang dari Sela itu sudah mukti

wibaba dan memegang kekuasaan di seluruh Mataram. Siapapun

yang menjadi Raja di Mataram, pada hakekatnya hanyalah sebagai

Golek Kencana orang dari Sela itu. Dialah yang sebenarnya

menjadi Raja tetapi tanpa mahkota. Padahal jika kita telisik, dia

17

Page 21: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

sama sekali tidak mempunyai trah kusuma rembesing madu. Dia

hanya seorang pidak pedarakan. Seorang petani miskin dari

keluarga miskin yang berasal dari padukuhan Sela.”

Penuturan gurunya itu sedikit banyak telah menggugah hati murid

muridnya. Wahyu keprabon harus dikembalikan kepada yang

berhak, yaitu jalur dari Raden Patah sebagai pendiri kerajaan

Demak Bintara.

“Nah, karena alasan itulah aku telah memantapkan diriku untuk

bergabung dengan perguruan Sapta Dhahana yang telah menjalin

kerja sama dengan Trah Sekar Seda Lepen,” lanjut pemimpin

perguruan Singo Barong itu kemudian.

Tampak kepala murid muridnya terangguk angguk. Sekarang

mereka baru menyadari bahwa gegayuhan gurunya itu

memerlukan perjuangan yang sungguh sungguh dan pantang

menyerah.

“Jadi, apa rencana kita selanjutnya, guru?” bertanya Srenggi

kemudian setelah sejenak mereka terdiam.

Gurunya menggeser duduknya setapak sebelum menjawab

pertanyaan murid utamanya itu. Jawab gurunya kemudian,

“Seperti yang telah aku sampaikan beberapa saat tadi. Jika kita

telah bergabung dengan Trah Sekar Seda Lepen dan kemudian

benar benar terjadi benturan dengan Mataram, aku sudah

menyediakan diri untuk menghadapi Agul Agulnya Mataram itu.”

“Bagaimana dengan ilmu sorot matanya itu, guru?” bertanya

Gandhung menyela kata kata gurunya.

Gurunya tersenyum. Jawabnya kemudian, “Sudah lama

sebenarnya aku memikirkan tentang ilmu Ki Rangga, terutama

ilmu sorot mata itu. Kuncinya sebenarnya adalah ada pada

18

Page 22: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

kecepatan gerak. Kita akan menggunakan ilmu rahasia warisan

perguruan kita turun temurun yang berlandaskan pada kecepatan

bergerak. Ilmu rahasia itu memang harus ditrapkan dalam

berkelompok untuk memancing lawan terjebak di dalam lingkaran

yang sengaja kita ciptakan. Delapan langkah rahasia bintang

beralih itulah yang akan kita gunakan untuk menjebak Ki

Rangga,” gurunya berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Kalian

bertiga bertugas memecah perhatiannya. Walaupun Ki Rangga

dapat mengunakan ilmunya untuk memecah diri menjadi tiga,

namun masih tersisa aku sendiri yang akan luput dari

perhatiannya. Di saat dia terpecah perhatiannya itulah aku akan

melibasnya dengan ilmu puncak perguruan kita. Belum ada

seorang pun selama ini yang mampu selamat dari gempuran ilmu

puncak perguruan kita.”

Kembali mereka terangguk-angguk. Hati mereka yang semula

tinggal semenir telah berkembang kembali. Delapan langkah

rahasia bintang beralih adalah ciri khas perguran Singo Barong

turun temurun yang sangat dahsyat dan belum ada orang yang

mampu memecahkan rahasianya untuk keluar dari kepungan

barisan bintang beralih dalam keadaan hidup. Mereka telah sering

melatihnya bertiga bersama gurunya tanpa mengetahui maksud

dan tujuannya.

“Selama ini guru melatih ilmu rahasia perguruan kita tanpa kenal

lelah dan tanpa menyampaikan untuk tujuan apa. Ternyata guru

memang sengaja menyiapkan khusus untuk menghadapi Agul

Agulnya Mataram itu,” membatin Srenggi dalam hati sambil

mengangguk angguk, “Memang ilmu itu dikembangkan dari

sebuah gelar perang, gelar Cakra Byuha. Namun gelar ini hanya

untuk sekelompok orang saja, paling banyak empat atau lima

orang.”

19

Page 23: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

Tiba tiba suasana pagi yang tenang itu telah dipecahkan oleh suara

raungan panah sendaren yang membelah langit padukuhan

Klangon dua kali berturut turut. Serentak beberapa orang segera

berloncatan turun dari pendapa.

“Agaknya Badra Brewok telah melihat sesuatu,” desis Srenggi yang

tidak ikut turun ke halaman sambil mengamat amati langit yang

baru saja terbelah dengan suara raungan panah sendaren dua kali

berturut turut.

“Untunglah engkau berpikir cepat, Srenggi,” berkata gurunya

sambil ikut mengamati langit dari tempat duduknya. Lanjutnya

kemudian, “Berapa orang yang engkau tempatkan sebagai petugas

sandi, Srenggi?”

“Aku hanya menempatkan dua orang, guru” jawab Srenggi

kemudian, “Badra Brewok bertugas di jalur yang menghubungkan

Matesih langsung dengan padukuhan Klangon, sedangkan

Mranggi aku suruh menempati jalur yang mengarah ke

kademangan Salam, sesuai dengan petunjuk para pengawal yang

bertugas jaga dini hari tadi,” Srenggi berhenti sebentar. Lanjutnya

kemudian, “Menurut keterangan pengawal jaga dini hari tadi,

sudah ada perguruan yang datang ke tempat ini dan agaknya nasib

mereka sangat jelak. Pertapa goa langse itu mati terbunuh di

halaman banjar padukuhan induk Matesih oleh adik sepupu Ki

Rangga. Demikian berita yang tersebar kemarin. Maka aku telah

menempatkan pengawas di jalur yang menghubungan Matesih

dengan padukuhan Klangon. Aku khawatir jika Ki Gede Matesih

dan pasukannya pagi ini akan memasuki Klangon dan meluluh

lantakkan padukuhan Klangon, terutama mereka tentu akan

mencari Ki Dukuh.”

Tampak gurunya mengagguk angguk. Katanya kemudian, “Itulah

agaknya mengapa Ki Dukuh telah hilang dari rumahnya,” gurunya

20

Page 24: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

berhenti sebentar. Lanjutnya kemudian, “Segera jemput mereka.

Menilik panah sendaren yang dilepaskan Badra Brewok, orang-

orang yang keluar dari perdiakan Matesih itu berjumlah lebih dari

dua orang namun bukan pasukan segelar sepapan. Siapapun

mereka, kita tidak perduli. Agaknya memang sudah menjadi nasib

mereka mati di halaman rumah Ki Dukuh ini,” gurunya berhenti

sebentar. Lanjutnya kemudian dengan desis yang sangat perlahan,

“Sayang Ki Dukuh telah pergi. Agaknya Ki Dukuh menjadi sangat

ketakutan setelah Pertapa goa Langse terbunuh di bajar Matesih.

Kasihan Ki Dukuh.”

Srenggi yang mendengar desis perlahan gurunya itu hanya

berpaling sekilas, namun tidak menanggapi. Segera saja dia

memberi isyarat dengan mengangkat empat jarinya ke arah murid

murid perguruan Singo Barong yang telah bergerombol di

halaman. Sejenak kemudian empat orang telah meloncat ke atas

punggung kuda masing masing dan berderap keluar halaman.

Dalam pada itu, Ki Rangga dan rombongan yang telah melewati

orang yang sedang berdiri dengan menyilangkan kedua tangannya

di depan dada itu sama sekali tidak menaruh curiga. Tampak dari

sikapnya yang acuh, orang itu memang seolah olah tidak

memperhatikan sama sekali terhadap rombongan berkuda yang

lewat beberapa langkah di hadapannya.

Namun Ki Rangga yang mempunyai panggraita tajam segera

melihat sebuah busur lengkap dengan endong berisi beberapa

anak panah tergeletak di bawah pohon.

Ki Bango Lamatan pun ternyata juga telah melihatnya. Kedua

orang itu menjadi berdebar bedar. Adalah hal yang tidak wajar

jika di pagi yang masih berkabut itu ada orang berdiri di pinggir

jalan dengan peralatan yang biasanya digunakan untuk berburu.

21

Page 25: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

“Jika aku menjumpai orang seperti ini di pinggir hutan, tentu

tidaklah aneh,” membatin Ki Rangga sambil mencoba

mengamatai wajah orang itu.

Agaknya orang itu pun tampaknya sedang memperhatikan Ki

Rangga walaupun hanya sekilas. Namun yang sekilas itu ternyata

telah membuat orang itu mengerutkan keningnya dalam dalam.

“Siapakah dia?” pertanyaan itu menghantui benaknya, “Wajahnya

begitu tenang berwibawa, tampan tapi sangat luruh dan sederhana

namun mempunyai sorot mata yang sangat tenang bagaikan

telaga yang tak berdasar. Siapakah dia sebenarnya?”

Tampak orang itu menarik nafas dalam dalam sambil kembali

melemparkan pandangan matanya ke arah rombongan berkuda

itu. Namun kali yang diamatinya adalah Ki Gede Matesih.

“Yang berkuda di sebelah orang aneh itu sudah jelas Ki Gede

Matesih,” membatin orang berewokan itu sambil pura pura

melemparkan pandangan matanya kembali jauh ke samping kiri,

“Wajahnya yang terlihat masih cukup muda namun rambut

hampir memutih semua, demikian gambaran yang diberikan para

pengawal yang jaga di rumah Ki Dukuh Klangon tadi. Apalagi

tombak bermata tiga yang disangkutkan dipelan kudanya, sudah

tidak diragukan lagi jika orang itu adalah Ki Gede Matesih.”

Orang itu berhenti berangan angan sejenak. Ketika dia kemudian

mencoba meneliti wajah yang lain, orang itu pun menjadi semakin

yakin jika rombongan itu adalah rombongan dari perdikan

Matesih.

“Dua orang yang berkuda di belakang itu pasti para pengawal

Matesih,” kembali orang itu bergumam dalam hati, “Menilik

pakaian khusus yang digunakan. Namun aku tidak tahu siapakah

22

Page 26: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

yang lainnya? Pemuda yang sangat tampan itu mungkin putera Ki

Gede Matesih. Namun terlalu tampan dan halus gerak geriknya

untuk seorang laki laki. Sedangkan orang tinggi besar dan

berjambang itu kelihatannya tidak begitu menarik.”

Kembali orang itu berpura pura melihat langit yang masih

tertutup kabut tipis.

“Tapi kemanakah tujuan Ki Gede Matesih sepagi ini? Mengapa dia

tidak membawa pasukan segelar sepapan untuk membumi

hanguskan padukuhan Klangon?” kembali orang berewokan itu

memeruskan angan angannya.

“Ah, apa peduliku!” geram orang berewokan itu dalam hati

kemudian, “Aku hanya ditugaskan oleh kakang Srenggi untuk

menjaga jalur jalan dari Matesih ke padukuhan Klangon ini.

Siapapun yang terlihat mencurigakan melewati jalur jalan ini

harus dilaporkan. Tidak menutup kemungkinan ini adalah

rombongan Ki Gede Matesih yang akan menangkap Ki Dukuh

Klangon.”

Demikianlah setelah orang itu yakin rombongan berkuda yang

lewat beberapa langkah di hadapannya itu adalah rombongan Ki

Gede Matesih. Segera saja diraihnya busur dan dua anak panah

yang tergeletak di bawah pohon.

Sejenak kemudian begitu rombongan itu telah lewat beberapa

tombak jauhnya dari tempatnya berdiri, dua anak panah sendaren

berturut turut segera tampak melesat ke udara. Segera saja udara

yang tenang pagi itu telah dirobek oleh suara raungan panah

sendaren dua kali berturt turut.

Alangkah terkejutnya Ki Gede Matesih dan rombongan. Serentak

mereka segera berpaling ke belakang, ke arah tempat di mana

23

Page 27: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

orang berewokan tadi berdiri. Sementara suara raungan panah

sendaren dua kali berturut turut telah menembus batas

membangunkan padukuhan Klangon yang masih sepi.

Namun apa yang mereka jumpai kemudian adalah sangat

mengejutkan. Orang berewokan yang telah melepaskan panah

sendaren itu ternyata telah berlari menembus gerumbul dan

perdu ke arah tebing sungai yang berada di sisi barat dari jalur

jalan itu. Sejenak kemudian bayangan orang berewokan itu pun

telah hilang di balik tanggul sungai yang tinggi.

“Gila!” desis Ki Bango Lamatan kemudian sambil bersiap

meloncat turun dari kudanya. Namun dengan sebuah isyarat Ki

Rangga telah mencegahnya.

“Tidak usah dikejar Ki Bango Lamatan,” berkata Ki Rangga

kemudian sambil menghentikan kudanya. Yang lain pun

kemudian ikut berhenti.

Sambil membalikkan kudanya Ki Rangga pun kemudian berkata,

“Kita tidak tahu apa tujuan orang itu tadi melepaskan panah

sendaren. Mungkin dia sedang memberikan isyarat kepada kawan

kawannya di depan sana,” Ki Rangga berhenti sebentar sambil

memandang ke arah Ki Gede. Lanjutnya kemudian, “Bagaimana

Ki Gede? Apakah perjalanan ini perlu dilanjutkan?”

Tampak wajah Ki Gede ragu ragu sejenak. Ketika terpandang

olehnya wajah anak perempuan semata wayangnya, Ki Gede pun

menarik nafas dalam dalam.

“Ayah,” tiba tiba justru Ratrilah yang menanggapi, “Bagaimana

jika kita batalkan saja perjalan lewat padukuhan Klangon ini? Kita

memutar melewati padukuhan Salam saja. Walaupun perjalanan

akan semakin jauh namun kemungkinannya akan lebih aman.”

24

Page 28: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

“Belum tentu,” sahut Ki Bango Lamatan dengan serta merta, “Kita

tidak tahu apa sebenarnya yang sedang kita hadapi. Tidak

menutup kemungkin jalur jalan yang lewat padukuhan Salam pun

juga dalam pengawasan.”

Terlihat orang orang dalam rombongan berkuda itu terangguk-

angguk.

“Baiklah,” berkata Ki Gede kemudian, “Kita lanjutkan perjalanan,

namun aku harap semua meningkatkan kewaspadaan. Apapun

yang kalian lihat atau dengar, jika itu mencurigakan menurut

kalian, segera beritahu Ki Rangga. Ki Rangga berhak memutuskan

untuk kelanjutan rombongan ini.”

Tampak kembali kepala orang orang dalam rombongan itu

terangguk angguk. Demikianlah rombongan itu segera

meneruskan perjalanan dengan derap yang tenang dan tidak

begitu kencang.

Namun rombongan Ki Gede itu telah dikejutkan oleh suara derap

kaki kaki kuda yang terdengar dari balik kelokan jalan di hadapan

mereka. Sejenak kemudian, mereka tidak harus menunggu terlalu

lama, empat ekor kuda beserta penungangnya pun muncul.

Keempat penunggang kuda itu tampak berpacu dengan tergesa

gesa. Ketika mereka kemudian berpapasan, hanya beberapa orang

saja yang berpaling sekilas. Tampaknya mereka mengacuhkan saja

rombongan Ki Gede itu.

Namun panggraita Ki Rangga yang sangat tajam telah

mengisyaratkan sesuatu yang tidak wajar. Entah mengapa isyarat

itu begitu kuatnya memukul mukul dinding dinding hatinya

seolah olah memberitahukan kepadanya bahwa sesuatu yang

sangat berbahaya sedang siap menerkam rombongan itu.

25

Page 29: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

“Jika ada segolongan orang yang sengaja mencegat rombongan

ini, yang harus didahulukan adalah keselamatan Ratri,” membatin

Ki Rangga sambil menarik nafas dalam dalam, “Jika orang orang

mengetahui salah satu di antara kita ada seorang perempuan yang

lemah, tentu mereka akan berusaha untuk menawannya sehingga

akan melemahkan perjuangan yang lainnya.”

Berpikir sampai disitu, jantung Ki Rangga semakin berdentangan.

Sementara derap empat ekor kuda di belakang mereka yang

muncul dari kelokan jalan itu semakin menjauh.

Untuk beberapa saat orang orang yang berada dalam rombongan

Ki Gede itu dapat bernafas lega. Ketika mereka kemudian

berbelok, keempat orang berkuda itu sudah tidak tampak

bayangannya lagi.

Namun tidak ada sepenginang sirih, rombongan Ki Gede itu pun

kembali dikejutkan oleh derap beberapa ekor kuda dari arah

belakang mereka. Ketika mereka kemudian berpaling ke belakang,

tampak empat ekor dengan penunggangnya yang berpapasan tadi

ternyata telah memutar haluan dan sekarang telah bergerak

berjajar memenuhi jalan. Seolah olah dengan sengaja mereka

telah menutup jalan untuk kembali.

“Gila!” kembali Ki Bango Lamatan mengumpat, “Permainan apa

lagi ini? Mari kita beri mereka pelajaran bahwa rombongan ini

bukan rombongan para pelancong atau pelesiran yang dengan

mudahnya dapat mereka permainkan!”

“Tidak usah Ki Bango Lamatan,” sahut Ki Rangga yang berkuda di

depan tanpa berpaling, “Kita ikuti saja apa permainan mereka.

Lebih baik kita mengetahuinya sekarang dari pada sepeninggal

kita, Matesih akan terganggu dengan kegiatan orang orang yang

tak di kenal ini.”

26

Page 30: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

Ki Bango Lamatan hanya dapat menarik nafas dalam dalam untuk

meredakan gejolak di dalam dadanya.

“Beberapa rumah lagi, di depan adalah rumah Ki Dukuh

Klangon,” tiba tiba Ki Gede berdesis perlahan namun cukup

mengejutkan Ki Rangga.

“Yang mana Ki Gede?” bertanya Ki Rangga kemudian sambil

mengamat amati beberapa regol rumah di hadapannya.

“Yang regolnya paling besar dan tinggi itulah rumah Ki Dukuh,”

jawab Ki Gede sambil menunjuk sebuah rumah yang terletak

masih beberapa tombak jauhnya.

Ki Rangga mengerutkan keningnya. Namun belum sempat Ki

Rangga menilai rumah dengan regol yang besar dan tinggi itu, dari

dalam regol telah keluar enam orang lengkap dengan senjata yang

tergantung di lambung. Mereka segera turun ke jalan dan

kemudian berdiri berjajar jajar sepertinya dengan sengaja

mencegat rombongan itu.

Sekarang barulah mereka yang berada di dalam rombongan itu

menyadari bahwa mereka memang dengan sengaja telah di jebak.

Ketika rombongan Ki Gede itu telah semakin dekat, salah seorang

yang berdiri di depan segera mengangkat tangan meminta

rombongan itu untuk berhenti.

Sebenarnya jika saja dalam rombongan itu tidak ada Ratri, Ki

Bango Lamatan lebih suka mengambil jalan pintas yang cukup

keras dan tegas. Memacu kuda kuda itu sekencang kencanganya

untuk menerjang orang yang dengan sombongnya telah berusaha

menghentikan perjalanan mereka.

27

Page 31: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

Namun pertimbangan akan keberadaan Ratri dalam rombongan

itu telah membuat Ki Bango Lamatan menarik nafas dalam dalam.

Keselamatan Ratri harus diutamakan dalam rombongan itu.

Demikian juga dengan Ki Gede. Pemimpin perdikan Matesih itu

sekilas menengok ke belakang. Hatinya sedikit resah. Jika terjadi

hal hal yang tidak diinginkan, keselamatan anak gadis satu

satunya itu yang paling diutamakan.

“Berhenti!” terdengar bentakan orang yang berdiri di paling depan

sambil mengangkat salah satu tangannya. Rombongan berkuda itu

pun berhenti beberapa langkah di hadapannya. Sementara itu

keempat orang berkuda yang membuntuti rombongan Ki Gede

itupun telah berhenti pula hanya beberapa tombak di belakang.

“Siapakah kepala rombongan ini?” bertanya orang yang berdiri di

paling depan itu. Orang yang berperawakan tinggi besar dengan

jambang dan kumis yang lebat tak teratur.

Untuk beberapa saat orang orang dalam rombongan Ki Gede itu

tidak ada yang menjawab. Masing masing saling menunggu apa

yang akan terjadi dan berusaha mengamati setiap orang yang

telah mencegat mereka. Tampaknya orang orang yang mencegat

mereka itu mempunyai kesamaan yang hampir mirip, berkumis

dan berjambang yang tidak terawat serta rabut panjang yang

dibiarkan saja kusut terurai.

“He? Kalian tuli apa bisu!” bentak orang itu kemudian sambil

maju selangkah, “Beritahu kami siapakah kalian, atau aku akan

memaksa salah satu dari kalian untuk mengaku, tentu saja dengan

caraku sendiri.”

Namun belum sempat Ki Gede menjawab, salah seorang pengawal

jaga yang berdiri di regol telah berteriak, “Ki Srenggi, mereka

28

Page 32: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

adalah rombongan Ki Gede Matesih. Orang yang menunggang

kuda hitam itulah Ki Gede Matesih!”

Semua orang dari rombongan Ki Gede terkejut. Tanpa sadar

mereka segera memandang ke arah pengawal jaga yang telah

berteriak tadi. Tampak di depan regol itu empat orang pengawal

rumah Ki Dukuh berdiri termangu mangu.

“Terima kasih,” sahut orang tinggi besar dan berewokan yang

ternyata adalah Srenggi sambil mengangguk anggukkan

kepalanya.

“Nah,” berkata Srenggi kemudian, “Agaknya kami beruntung hari

ini bisa bertemu dengan Ki Gede Matesih sendiri yang namanya

telah kondang kawentar setelah berhasil menghancurkan

padepokan Sapta Dhahana,” Srenggi berhenti sebentar. Lanjutnya

kemudian sambil mengedarkan pandangan matanya ke seluruh

anggota rombongan, “Aku harap yang lainnya dengan senang hati

memperkenalkan diri.”

Hampir saja Ki Bango Lamatan membuka mulut kalau saja tidak

dilihatnya Ki Rangga mengangkat tangan kanannya. Berkata Ki

Rangga kemudian, “Ki Sanak memang benar telah berhadapan

dengan Ki Gede Matesih. Namun rombongan ini atas seijin Ki

Gede, aku sendiri yang memimpinnya.”

Srenggi mengerutkan keningnya. Ketika tatapan matanya beradu

pandang dengan Ki Rangga, hatinya berdesir tajam dan entah

mengapa ada rasa jerih yang menyusup ke jantungnya.

Namun Srenggi adalah orang yang sudah terbiasa dengan dunia

hitam yang penuh kekerasan. Maka tanyanya kemudian setengah

membentak, “Siapa kau, he!?”

29

Page 33: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

“Aku Ki Rangga Agung Sedayu,” jawab Ki Rangga tenang tanpa

tekanan. Seolah nama itu adalah nama orang kebanyakan yang

tidak banyak artinya.

Namun yang terjadi justru telah membuat orang orang yang

mencegat rombongan itu membeku. Bahkan keempat penunggang

kuda yang berada di belakang rombongan Ki Gede dan mendengar

nama Ki Rangga Agung Sedayu disebut telah terkejut bagaikan

disengat ribuan kalajengking.

Untuk beberapa saat Srenggi justru tidak mampu berkata kata.

Dengan wajah yang tegang dipandanginya orang yang duduk di

atas kuda beberapa langkah di hadapannya itu. Terutama

sepasang mata Ki Rangga yang tampak tenang dan dalam. Namun

dari sepasang mata itu dapat terungkap sebuah ilmu yang dahsyat

tiada taranya.

“Srenggi,” tiba-tiba terdengar suara perlahan namun cukup jelas

dari tempat mereka berdiri, membangunkan lamunan Srenggi,

“Kita telah mendapat kehormatan dikunjungi Ki Rangga Agung

Sedayu Agul Agulnya Mataram. Mengapa engkau masih bertindak

deksura? Segera persilahkan Senapati pasukah khusus Mataram

itu memasuki halaman rumah Ki Dukuh.”

Suara itu terdengar perlahan saja namun sangat jelas dan ternyata

berasal dari tempat yang cukup jauh, dari pendapa rumah Ki

Dukuh Klangon.

Srenggi bagaikan terbangun dari sebuah mimpi yang sangat

mengerikan. Segera saja tampak sebuah senyum ramah yang

dipaksakan tersungging di bibirnya. Sambil membungkukkan

badan dalam dalam dan menarik nafas dalam dalam untuk

melonggarkan dadanya yang berdentangan, dia pun segera

berkata, “Maafkan kami Ki Rangga. Kami benar benar tidak tahu

30

Page 34: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

telah berhadapan dengan Senapati pasukan khusus Mataram yang

namanya telah kondang kawentar kajalandriya di seluruh

pelosok Mataram. Sekali lagi maafkan penyambutan kami yang

kurang trapsila. Sesuai petunjuk guru, silahkan Ki Rangga dan

rombongan mampir ke kediaman Ki Dukuh Klangon.”

Dada Ki Rangga berdesir tajam. Penyambutan orang orang itu

terhadap rombongannya terkesan kurang sewajarnya. Namun Ki

Rangga berusaha sejauh mungkin untuk menghindari kekerasan,

walaupun orang orang itu telah dengan sengaja memaksa

rombongan Ki Gede untuk mampir di rumah Ki Dukuh Klangon.

Ketika Ki Rangga kemudian berpaling ke belakang, betapa terlihat

wajah yang pucat pasi dan gelisah dari Ratri. Ki Rangga pun

segera memutar akal bagaimana caranya menyelamatkan Ratri

atau paling tidak melindunginya jika benar benar akan terjadi

benturan.

“Marilah Ki Rangga, marilah Ki Gede” kembali terdengar Srenggi

berkata ramah sambil memberi isyarat dengan tangannya

mempersilahkan rombongan itu untuk memasuki regol.

“Maaf Ki Sanak,” jawab Ki Rangga kemudian, “Sebenarnyalah

tujuan perjalanan kami ini bukan ke rumah Ki Dukuh Klangon.

Kami sedang melakukan perjalanan ke Mataram. Jadi mohon

dimaafkan jika kami tidak bisa mampir. Kami sangat tergesa

gesa.”

“Benar Ki Sanak,” tambah Ki Gede kemudian, “Apapun yang telah

terjadi di Matesih dalam hubungannya dengan padukuhan

Klangon, kami tidak berhak untuk mencampurinya karena

padukuhan Klangon di bawah kademangan Salam, bukan di

bawah perdikan Matesih.”

31

Page 35: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

……….. Sejenak kemudian, mereka tidak harus menunggu terlalu lama,

empat ekor kuda beserta penungangnya pun muncul. 32

Page 36: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

Untuk sejenak Srenggi menjadi termangu mangu. Alasan kedua

orang untuk menolak tawarannya itu memang masuk akal.

Namun selagi Srenggi sedang bimbang, tiba tiba sekali lagi

terdengar suara perlahan namun sangat jelas dapat mereka

dengar. Agaknya orang itu menggunakan ilmu mengirim suara.

“Sudahlah Srenggi. Sampaikan saja kepada Ki Rangga Agung

Sedayu. Aku Kiai Singo Barong dari lereng Arjuna ingin

berkenalan dengannya,” suara itu berhenti sejenak. Lanjutnya

kemudian, “Adalah sebuah sikap yang sombong tiada taranya jika

menolak keinginan seseorang yang hanya sekedar ingin

berkenalan dan menjalin sebuah pertemanan.”

Untuk sejenak orang orang dalam rombongan Ki Gede itu

termangu mangu. Memang tidak ada alasan untuk menolak

sebuah pertemanan, walaupun pertemanan itu mungkin nantinya

justru akan dapat berakhir menjadi sebuah permusuhan. Namun

itu adalah urusan kemudian. Setiap permintaan pertemanan harus

diterima dengan hati terbuka, tanpa ada rasa curiga di dalam

dada.

Maka tak ada pilihan lain bagi Ki Rangga. Walaupun dengan berat

hati, Ki Rangga segera memberi isyarat rombongan itu untuk

bergerak memasuki regol halaman rumah Ki Dukuh.

Dalam pada itu di banjar padukuhan induk Matesih, sepeninggal

rombongan Ki Gede, Ki Kamituwa ternyata telah meminta ijin

untuk pulang sebentar kepada Ki Waskita dan Ki Jayaraga.

“Bukankah Ki Kamituwa sedang menunggu kedatangan Ki

Wiyaga?” bertanya Ki Jayaraga kemudian begitu Ki Kamituwa

selesai meminta ijin.

33

Page 37: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

“Aku hanya sebentar, Ki,“ jawab Ki Kamituwa sambil melangkah

pergi, “Aku akan segera kembali. Jika Ki Wiyaga datang, beritahu

dia untuk menungguku barang sejenak.”

“Baiklah,” jawab Ki Jayaraga. Namun langkah Ki Kamituwa sudah

sampai di regol depan.

Sepeninggal Ki Kamituwa, Ki Jayaraga dan Ki Waskita pun

kemudian duduk kembali di pendapa. Untuk beberapa saat

mereka masih berdiam diri terbuai oleh lamunan masing masing.

“Ki Jayaraga,” berkata Ki Waskita kemudian memecah kesepian,

“Rasa rasanya hati tua ini semakin hari menjadi semakin rapuh.

Hatiku selalu berdebar debar tanpa sebab musabab yang jelas.

Seperti saat ini, kepergian Ki Gede dan rombongan ke Mataram

membuat hatiku gelisah. Kadang kadang aku menjadi bingung

sendiri dengan keadaanku ini.”

Ki Jayaraga tersenyum. Jawabnya kemudian, ”Ki Waskita, aku

tahu Ki Waskita mempunyai kemampuan yang orang lain jarang

memilikinya. Kemampuan untuk melihat masa depan dan nasib

seseorang.”

“Itu anggapan yang salah, Ki,” sahut Ki Waskita dengan serta

merta sambil menggeleng gelengkan kepalanya.

“Jadi, bagaimana yang sebenarnya?” bertanya Ki Jayaraga

kembali sambil mengerutkan keningnya dan menegakkan

tubuhnya.

Ki Waskita menarik nafas dalam dalam terlebih dahulu. Baru

jawabnya kemudian, “Ki Jayaraga, tidak ada ilmu yang seperti Ki

Jayaraga sebutkan tadi. Masa depan adalah rahasia Yang Maha

Agung. Kita manusia tidak mempunyai kemampuan sedikit pun

untuk mengetahuinya, bahkan hanya meramalkan saja pun tidak.”

34

Page 38: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

Tampak kerut merut di kening Ki Jayaraga semakin dalam.

Berkata guru Glagah Putih itu kemudian dengan nada sedikit ragu

ragu, “Tetapi menurut apa yang aku dengar, Ki Waskita memang

mempunyai kemampuan seperti itu.”:

Tampak sebuah senyum tersungging di bibir Ki Waskita. Katanya

kemudian, “Ki Jayaraga, aku tidak mengetahui masa depan

ataupun nasib seseorang. Namun yang aku terima hanya berupa

isyarat isyarat yang kadang aku salah dalam mengurai isyarat

isyarat itu. Itu semua karena kedangkalan nalarku,” orang tua itu

berhenti sebentar. Lanjutnya kemudian, “Memang kadangkala aku

mampu mengurai dengan benar isyarat yang aku terima. Namun

aku yakin semua itu sudah menjadi ketentuan Yang Maha Agung.”

Tampak kepala Ki Jayaraga terangguk angguk. Bertanya Ki

Jayaraga kemudian, “Tetapi Ki Waskita, apakah Ki Waskita dapat

melihat dengan mata batin bagaimana perjalanan rombongan Ki

Gede tadi? Apakah mereka akan selamat sampai tujuan, ataukah

akan ada hal hal yang merintang di jalan?”

“Itulah masalahnya Ki Jayaraga,” sahut Ki Waskita dengam serta

merta, “Ada sebuah isyarat yang menggelisahkan tentang

perjalanan rombongan Ki Gede. Rasa rasanya aku ingin meloncat

ke atas punggung kuda dan menyusul perjalanan mereka.”

“Ah,” Ki Jayaraga tertawa pendek. Katanya kemudian, “Jika

memang Ki Gede dan rombongan akan mengalami rintangan di

jalan, akupun pasti akan menyusul mereka.”

Tampak kepala Ki Waskita terangguk-angguk

Tiba-tiba perhatian kedua orang tua itu telah terpecah . Dari arah

regol banjar terdengar sedikit suara keributan.

35

Page 39: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

Ketika kedua orang tua itu kemudian berpaling, tampak seorang

tua renta dengan pakaian kumal serta rambut digelung keatas dan

diikat dengan secarik kain hitam sedang dikerumuni para penjaga

regol.

“Siapakah Ki Jayaraga?” bisik Ki Waskita sambil mengerutkan

keningnya.

Sejenak wajah Ki Jayaraga tampak menjadi tegang. Namun guru

Glagah Putih itu segera menarik nafas dalam dalam sambil

berdesis perlahan, “Agaknya Sang Maharsi datang berkunjung

kembali.”

“Siapa yang Ki Jayaraga maksud?”

“Sang Maharsi, nama Pertapa tua dari goa Langse itu.”

“He?! Mengapa dia kembali lagi?”

Ki Jayaraga menarik nafas dalam dalam untuk meredakan gejolak

dalam dadanya. Jawabnya kemudian sambil menggeleng, “Aku

tidak tahu, Ki. Mungkin sudah waktunya dia mencari Ki Rangga,

atau mungkin ada keperluan lain,” Ki Jayaraga berhenti sejenak

sambil pandangan matanya tak berkedip mengawasi regol banjar.

Lanjutnya kemudian, “Sebaiknya kita sambut, Ki.”

“Marilah,” sahut Ki Waskita kemudian sambil berdiri dan

mengikuti Ki Jayaraga menuruni tlundak pendapa.

Dalam pada itu di depan regol banjar padukuhan induk Matesih,

tampak beberapa pengawal sedang mencegah kakek tua itu untuk

memasuki banjar.

“Kek, di sini bukan tempat meminta minta,” berkata salah seorang

pengawal kemudian, “Jika kakek sekedar lapar, aku kira dapur

36

Page 40: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

banjar juga belum ada makanan sepagi ini. Mintalah ke kedai

yang terdekat. Mungkin mereka sudah mempunyai makanan.”

Selesai berkata demikian pengawal itu menunjuk ke arah kanan.

Tampak sebuah kedai yang cukup besar namun pintunya terlihat

masih tertutup.

Kakek tua gembel itu tampak wajahnya datar datar saja. Katanya

kemudian, “Aku bukan pengemis dan juga bukan peminta minta.

Aku memang ingin mampir di banjar ini.”

“Tidak boleh, kek!” sergah pengawal lainnya, “Banjar ini bukan

untuk tempat berteduh atau istirahat para tuna wisma. Carilah

gubuk atau rumah kosong di pinggir hutan. Di sana kakek akan

bebas beristirahat sepuas puasnya.”

“Mengapa aku tidak boleh mampir di banjar ini?” bertanya kakek

itu kemudian dengan kerut merut di kening, “Aku juga punya hak

untuk menggunakan banjar ini sesuai kebutuhanku. Bukan hanya

Ki Gede dan para perangkat perdikan Matesih saja. Itu tidak adil

namanya!”

Terlihat para pengawal itu menjadi kebingungan untuk menjawab. Mereka hanya saling pandang satu sama lainnya.

“Selamat datang kembali di banjar ini, Maharsi,” tiba tiba para

pengawal itu dikejutkan oleh suara seseorang beberapa langkah di

belakang mereka.

Serentak para pengawal itu berpaling ke belakang. Tampak Ki

Jayaraga dan Ki Waskita sedang berjalan mendekat.

“Maafkan para pengawal yang telah berani bertindak deksura,”

lanjut Ki Jayaraga kemudian, “Mereka sebenarnya tidak tahu telah

berhadapan dengan siapa.”

37

Page 41: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

“Ah,” kakek berpakaian compang camping yang dipanggil Maharsi

oleh Ki Jayaraga itu tertawa pendek. Katanya kemudian dengan

nada sedikit menggerutu, “Seharusnya mereka tidak membeda

bedakan siapa yang menjadi tamu di banjar ini. Penghargaan

terhadap diri seseorang bukan dilihat dari gebyar dan gemerlap

pakaiannya. Perlakukanlah manusia itu apa adanya tanpa

membedakan antara raja dan hamba sahaya.”

Orang orang yang berada di regol banjar itu tertegun. Apa yang

disampaikan kakek tua itu memang ada benarnya. Namun dalam

kehidupan bebrayan, tidak mungkin memperlakukan seorang raja

sama dengan hamba sahaya.

“Hanya di alam kelanggengan nanti setiap manusia sama

perlakuannya di hadapan Yang Maha Agung. Hanya amal

kebajikannya lah yang akan membedakannya,” membatin orang

orang yang ada di sekitar regol banjar itu.

“Marilah Maharsi,” berkata Ki Jayaraga kemudian sambil

membungkukkan badan dalam dalam, “Dengan senang hati kami

persilahkan Sang Maharsi untuk singgah.”

Orang yang disebut Maharsi oleh Ki Jayaraga itu tersenyum.

Tanpa berkata sepatah katapun dia kemudian melangkah

memasuki halaman banjar diikuti oleh Ki Jayaraga dan Ki

Waskita.

“Ternyata kakek itu seorang Maharsi,” desis pengawal yang telah

menyangka kakek tua itu sebagai pengemis dengan nada penuh

penyesalan.

“Memang di dunia itu bermacam-macam isinya,” berkata

pengawal yang lain kemudian, “Banyak orang sakti, para linuwih

38

Page 42: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

dan para Wali yang lebih senang menyepi, menjauhi duniawi

untuk meraih kehidupan abadi.”

“Tetapi apa artinya orang yang seperti itu bagi kehidupan

bebrayan agung?” seorang pengawal lainnya ikut menimpali,

“Melihat dunia yang carut marut seperti sekarang ini, seharusnya

para sakti dan linuwih serta para Wali itu tampil ke depan dan

meredakan ketegangan yang sedang terjadi. Bukan malah

bersembunyi, bermanja manja diri dan tidak mau tahu keadaan

dunia ini.”

“Ah, kau!” sergah kawannya yang bekumis tipis, “Bicaramu sudah

seperti seorang resi saja. Ketahuilah, para Maharsi, para sakti dan

linuwih serta para Wali itu kadang berjuang tidak dengan unjuk

diri, namun dengan batin yang pasrah dan doa yang selalu

didengungkan setiap hari untuk perdamaian negeri ini.”

“Ah, ternyata kau sekarang yang sudah bicara seperti seorang

resi,” sahut pengawal itu, “Memang menggurui itu lebih mudah

dari pada menjalani.”

“Sudahlah, sudahlah!” pemimpin pengawal jaga pagi itu segera

menengahi, “Untung Maharsi itu tidak tersinggung dan marah.

Jika demikian yang terjadi, mungkin engkau sudah disabdanya

menjadi seekor katak.”

“Ah,” para pengawal itu pun tertawa masam. Namun begitu

disadarinya bahwa suara tertawa mereka dapat terdengar dari

pendapa, dengan terburu buru mereka segera menutup mulutnya.

Dalam pada itu di pendapa, Ki Jayaraga segera mempersilahkan

Sang Maharsi untuk duduk di atas selembar tikar yang berwarna

putih bersih. Setelah Sang Maharsi itu duduk, barulah Ki

39

Page 43: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

Jayaraga dan Ki Waskita menyusul duduk bersila menghadap

kearahnya.

“Mohon ampun Maharsi,” berkata Ki Jayaraga kemudian,

“Sesungguhnya kami sangat terkejut mendapat kunjungan

Maharsi untuk yang kedua kalinya ini,” Ki Jayaraga berhenti

sebentar. Lanjutnya kemudian, “Sebelumnya, ijinkan hamba

memperkenalkan sahabat hamba ini, Ki Waskita.”

Ki Waskita yang disebut namanya segera membungkukkan badan

dalam dalam sambil tersenyum.

Tampak Sang Maharsi itu mengangguk angguk sambil

memandang tajam ke arah ayah Rudita itu. Tampak sekilas

sebuah kerut di keningnya. Namun dengan cepat kesan itu segera

hilang dari wajahnya.

“Terima kasih Ki Waskita,” berkata Maharsi itu kemudian sambil

tersenyum dan menerima uluran tangan Ki Waskita, “Tapi aku

mempunyai satu permintaan kepadamu, sebaiknya nasibku

jangan engkau ramal. Biarlah Yang Maha Agung sendiri yang

menentukan nasib orang yang sudah tua bangka ini.”

“Ah,” terkejut Ki Waskita dan Ki Jayaraga. Apa yang diucapkan

Maharsi itu secara tidak langsung telah membuka jati diri Ki

Waskita.

“Ampun Maharsi,” berkata Ki Waskita kemudian dengan tergopoh

gopoh menanggapi, “Hamba tidak berani dengan deksura

mencoba meramal nasib siapapun. Namun isyarat isyarat itu

kadang datang dengan sangat kuatnya sehingga telah menggoda

hati hamba untuk mencoba mengurainya,” Ki Waskita berhenti

sejenak. Kemudian sambil membungkuk dalam dalam dia

melanjutkan, “Mohon petunjuk Maharsi.”

40

Page 44: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

Terdengar Sang Maharsi tertawa renyah. Jawabnya kemudian, “Di

situlah letak permasalahan yang sebenarnya. Kita tidak mampu

menolak godaan. Jika saja setiap orang mampu menahan dirinya

dari segala godaan, tentu perdamaian dunia ini akan segera

terwujud.”

Untuk beberapa saat Ki Jayaraga dan Ki Waskita tertegun

mendengar sedikit petuah dari Sang Maharsi. Namun tiba tiba

terselip sebuah pertanyaan dalam lubuk hati Ki Jayaraga yang

paling dalam.

“Apakah Sang Maharsi ini sudah terbebas dari segala godaan?”

membatin Ki Jayaraga dengan kepala tertunduk, “Godaan untuk

membalas dendam akan kematian muridnya. Bukankah itu

bertentangan dengan petuahnya tadi?”

Agaknya Sang Maharsi dapat menebak apa yang sedang

berkecamuk dalam dada Ki Jayaraga. Maka katanya kemudian,

“Jayaraga, aku tadi mengatakan jika setiap orang mampu

menahan godaan. Tentu saja aku termasuk di dalamnya karena

aku juga manusia,” Sang Maharsi berhenti sejenak sambil

tersenyum. Lanjutnya kemudian, “Namun setiap orang akan

menyikapi godaan itu dengan kedewasaan dirinya masing-masing,

dan aku pun berusaha menyikapi godaan yang sekarang berada di

depan mataku dengan pertimbangan nalar dan budi yang

matang.”

Tampak wajah Ki Jayaraga memerah sejenak. Namun dengan

cepat kesan itu segera hilang dari wajahnya. Betapapun juga, yang

sedang berada di hadapannya sekarang ini adalah seorang

Maharsi yang sudah menjauhkan diri dari segala urusan duniawi.

“Ampun Maharsi, kami berdua mohon petunjuk. Sekiranya apa

yang dapat kami bantu sehubungan dengan kunjungan Maharsi

41

Page 45: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

kali ini,” berkata Ki Jayaraga kemudian setelah sejenak mereka

terdiam.

“Jayaraga,” berkata Maharsi kemudian sambil memandang kedua

orang tua di hadapannya itu ganti berganti, “Dalam perjalananku

tadi melintasi padukuhan Klangon, aku melihat sesuatu yang

tentu kalian perlu mengetahuinya.”

Berdesir dada kedua orang tua itu, terutama Ki Waskita.

Panggraitanya yang tajam sedari tadi telah menangkap getaran

yang mengisyaratkan sebuah bahaya sedang menghadang

perjalanan Ki Rangga dan rombongan.

“Sendika, Maharsi,” Ki Waskita lah menyahut terlebih dahulu,

“Memang sedari tadi, setelah rombongan Ki Rangga berangkat,

hamba menerima isyarat yang cukup mendebarkan dalam

perjalanan rombongan itu.”

“Nah, engkau mulai tergoda untuk menduga duga,” sahut Sang

Maharsi dengan serta merta, “Serahkan semua kepada Hyang

Widhi, namun engkau tetap diperkenankan bahkan di wajibkan

untuk berusaha.”

Agaknya Ki Jayaraga yang tidak sabar. Maka katanya menyela,

“Mohon ampun Maharsi, usaha apakah yang harus hamba

lakukan sehubungan dengan peristiwa yang telah Maharsi lihat di

padukuhan Klangon?”

“Pergilah ke rumah Ki Dukuh Klangon. Agaknya perjalanan Ki

Rangga dan rombongan sedang tertahan di sana. Bantuan kalian

sangatlah dibutuhkan,” jelas sekali perintah Sang Maharsi. Sejelas

sasadara kang manjing kawuryan.

Tersentak kedua orang tua yang sudah putus segala kawruh lahir

maupun batin begitu mendengar perintah Maharsi. Hampir

42

Page 46: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

berbareng keduanya segera membungkuk dalam dalam sambil

merangkapkan kedua tangannya di depan dada.

“Sendika, Sang Maharsi,” jawab keduanya hampir bersamaan.

“Nah, berangkatlah!” berkata Sang Maharsi kemudian. Namun

tiba tiba Ki Jayaraga menjadi ragu ragu sejenak. Terlihat dari

wajahnya yang berkerut merut.

“Ada apa Jayaraga?” bertanya Sang Maharsi sambil memandang

tajam Ki Jayaraga. Ki Jayaraga pun segera menundukkan

wajahnya.

“Engkau mengkhawatirkan anak muda yang sedang sakit itu?” kali

ini pertanyaan Sang Maharsi telah mengoyak jantung Ki Jayaraga.

“Jika aku masih tergoda dengan hal yang remeh dan pengecut

sebagaimana yang ada dalam benakmu, lebih baik aku tidak usah

disebut seorang Maharsi lagi,” berkata Sang Maharsi dengan nada

yang tenang dan dalam.

“Ampunkan hamba Maharsi,” kembali Ki Jayaraga menghaturkan

sungkem, “Memang hamba masih tergoda dengan rayuan iblis

laknat jahanam. Ampunkan hamba dan mohon doa restu hamba

berdua akan berangkat menyusul Ki Rangga.”

“Berangkatlah! Urusan anak muda yang sedang sakit itu biarlah

ditunggui salah satu pengawal,” berkata Maharsi sambil bangkit

berdiri, “Aku harus pergi.”

“Sendika Maharsi,” hampir berbareng kedua orang itu menjawab

sambil ikut bangkit berdiri.

43

Page 47: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

Sejenak kemudian Sang Maharsi itupun telah berjalan menuju

regol dan kemudian menghilang dari pandangan kedua orang tua

itu.

“Hem!?,” hampir bersamaan kedua orang tua itu berdesis kaget.

Sedangkan Ki Jayaraga ternyata telah melangkah turun dari

pendapa dan menghampiri para pengawal yang sedang berjaga.

“Ada yang bisa kami bantu, Ki,” songsong salah seorang pengawal

yang terdekat dengan tergopoh gopoh.

“Apakah kalian melihat Sang Maharsi tadi melewati pintu

gerbang?” bertanya Ki Jayaraga kemudian.

Beberapa pengawal yang mendengar pertanyaan Ki Jayaraga itu

segera mendekat.

“Bukankah Sang Maharsi sedari tadi bersama Kiai berdua?”

pengawal yang menyongsong Ki Jayaraga itu justru telah balik

bertanya.

“Ah, sudahlah,” jawab Ki Jayaraga kemudian sambil menarik

nafas dalam-dalam, “Aku minta tolong salah satu dari kalian

menunggui Glagah Putih di dalam bilik. Sementara aku dengan Ki

Waskita akan pergi sebentar.”

Para pengawal itu sejenak saling berpandangan. Namun mereka

segera maklum bahwa yang mereka hadapi adalah orang orang tua

yang sakti dan aneh. Maka jawab pengawal itu, “Baiklah. Aku akan

mengawani Glagah Putih selama Kiai berdua pergi.”

“Terima kasih,” jawab Ki Jayaraga sambil melangkah menuju

pendapa kembali. Namun ternyata Ki Waskita sudah tidak berada

di tempatnya lagi.

44

Page 48: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

“He? Kemana perginya Ki Waskita?” bertanya Ki Jayaraga dalam

hati sambil mengedarkan pandangan mata ke sekelilingnya.

Namun Ki Jayaraga tidak usah menunggu lama untuk mendapat

jawabannya. Tiba tiba dari arah samping gandhok kanan, Ki

Waskita muncul sambil menuntun dua ekor kuda.

“Marilah Ki Jayaraga, waktu kita sangat sempit,” berkata Ki

Waskita kemudian sesampainya dia di hadapan Ki Jayaraga.

Diangsurkannya salah satu kendali kuda yang ada di tangannya.

“Terima kasih,” sambut Ki Jayaraga kemudian.

Sejenak kemudian kedua orang tua itu dengan tangkasnya telah

meloncat ke atas punggung kuda masing masing.

Namun sebelum keduanya menghela kuda kuda itu, tiba tiba

hampir bersamaan dua orang muncul dari luar pintu gerbang, Ki

Wiyaga dan Ki Kamituwa.

“Ki Jayaraga, Ki Waskita? Akan kemanakah Kiai berdua?” sapa Ki

Kamituwa dengan wajah yang terheran heran. Sementara Ki

Wiyaga yang melangkah di belakang Ki Kamituwa hanya tampak

mengerutkan keningnya dalam dalam.

“Ki Wiyaga dan Ki Kamituwa, cepatlah ikut kami!” berkata Ki

Jayaraga kemudian, “Ambil kuda kuda di gedogan belakang

banjar. Nanti sambil jalan aku terangkan tujuan kita!”

Tanpa menunggu waktu kedua orang itu segera berlari ke

belakang banjar melalui longkangan. Hanya selang beberapa saat,

dua ekor kuda lengkap dengan penunggangnya berderap melalui

samping gandhok menuju ke tempat Ki Jayaraga dan Ki Waskita

menunggu.

45

Page 49: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

Demi melihat kedua ekor kuda itu telah berderap menuju halaman

banjar, Ki Jayaraga pun segera memberi isyarat Ki Waskita untuk

menghela kudanya.

Demikianlah akhirnya, tanpa turun dari kuda masing masing,

keempat orang itu segera menyusup regol banjar dan kemudian

berderap menyusuri jalan perdikan Matesih menuju ke

padukuhan Klangon. Empat ekor kuda yang dipacu dengan

kencang di jalan padukuhan induk Matesih ternyata telah

menimbulkan berbagai pertanyaan di sepanjang jalan.

Matahari telah menampakkan sinarnya dan mengusir embun

embun pagi yang masih malas untuk meninggalkan peraduannya.

Burung burung telah berkicau di dahan dahan rendah menyambut

sinar Matahari yang menyentuh bumi.

Rumah rumah sepanjang jalan yang dilewati Ki Jayaraga dan

kawan kawan ternyata hampir semuanya telah membuka regol

masing masing. Beberapa laki laki baik usia dewasa bahkan yang

terlihat masih sangat mudapun ikut melongokkan kepalanya.

Ingin mengetahui siapakah gerangan yang berkuda dengan

kencangnya di ujung pagi itu?

Seorang laki laki yang berwajah bulat dengan tubuh sedikit gemuk

telah keluar regol. Dipandanginya debu yang mengepul di

belakang empat ekor kuda yang berlari bagaikan di kejar hantu

itu.

“Ada apa kang?” tiba tiba terdengar seseorang menyapanya dari

arah belakang.

Laki laki berwajah bulat itu berpaling. Ketika dilihatnya tetangga

sebelah rumahnya itu membuka pintu regol sambil melongokkan

kepala, dia segera menggeleng sambil menjawab, “Aku tidak tahu.

46

Page 50: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

Kuda kuda itu dipacu bagaikan dikejar hantu. Aku tidak sempat

melihat wajah wajah para penunggangnya.”

Tetangganya hanya menarik nafas dalam dalam sambil

mengangguk angguk. Katanya kemudian, “Tadi pagi aku juga

mendengar derap beberapa ekor kuda, namun tidak dipacu seperti

sekarang ini.”

“Ya aku juga dengar,” sahut laki laki berwajah bulat itu, “Namun

pagi tadi aku tidak sempat melihat keluar. Aku sedang memberi

makan ayam ayam di kandang.”

“Aku juga, kang,” berkata tetangganya itu kemudian, “Pagi tadi

aku sedang mengisi pakiwan. Jadi aku pun tidak sempat melihat

siapa yang sedang lewat.”

“Ya, sudahlah. Semoga bukan berita buruk yang akan kita terima,”

berkata laki laki berwajah bulat itu sambil melangkah masuk ke

regol halamannya.

“Ya semoga saja , kang,” laki laki tetangganya itu menimpali, “Jika

gajah yang saling bertarung, biasanya pelanduk yang akan mati di

tengah.”

“Ah,” laki laki berwajah bulat itu masih sempat tetawa pendek,

namun segera hilang di balik pintu regol.

“Ah sudahlah,” gerutu tetangga laki laki berwajah bulat itu, “Jika

ada hal yang sangat penting, tentu para pengawal yang sedang

bertugas pasti akan memukul kentongan.”

Selesai berkata demikian dia pun segera menghilang di balik pintu

regolnya yang juga di tutup rapat.

47

Page 51: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

Dalam pada itu Ki Jayaraga dan kawan kawan ternyata telah

mengurangi laju kudanya begitu pintu gerbang yang berbatasan

dengan padukuhan Klangon sudah terlihat. Tampak dua orang

pengawal yang sedang bertugas jaga bediri di tengah tengah jalan.

Menyadari laju kuda kuda itu dapat melanggar kedua pengawal

itu, keempat orang itu pun telah menarik kendali kuda kuda

mereka sehingga kuda kuda itu pun memperlambat langkahnya.

Sejenak kemudian keempat kuda itu telah benar benar berhenti

beberapa langkah saja di hadapan dua pengawal itu.

“Ki Wiyaga, Ki Kamituwa!” seru kedua pemgawal itu begitu

mengenali kedua orang yang meloncat turun dari kudanya.

Sedangkan kepada Ki Waskita dan Ki Jayaraga yang telah

meloncat turun terlebih dahulu, kedua pengawal itu segera

mengangguk hormat. Kedua pengawal itu mengenal kedua orang

tua itu sebagai kawan kawan Ki Rangga Agung Sedayu.

“Apakah kalian melihat rombongan Ki Gede keluar dari pintu

perbatasan ini?” bertanya Ki Wiyaga kemudian

“Ya, Ki Wiyaga,” sahut salah satu pengawal itu, “Mereka lewat

regol ini beberapa saat yang lalu. Namun begitu mereka memasuki

padukuhan Klangon, kami mendengar suara panah sendaren dua

kali berturut turut membelah udara. Arahnya ke padukuhan

Klangon, tidak ke perdikan Matesih sehingga kami tidak tahu

harus berbuat apa. Kami tidak berani memukul kentongan

sebelum mengetahui apa sebenarnya yang telah terjadi.”

“Engkau benar,” sahut Ki Kamituwa dengan serta merta.

Kemudian sambil berpaling ke arah Ki Jayaraga dia bertanya,

“Bagaimana Ki? Apakah kita lanjutkan perjalanan dengan

berkuda?”

48

Page 52: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

“Sebaiknya tidak,” jawab Ki Jayaraga sambil memandang ke arah Ki Waskita. Ayah rudita itu pun kemudian terlihat

menganggukkan kepalanya.

“Nah, kuda kuda ini dapat kita titipkan kepada para pengawal,”

berkata Ki Jayaraga selanjutnya sambil mengangsurkan kendali

kudanya.

Dengan tergopoh gopoh kedua pengawal itu segera menerima

kendali empat ekor kuda itu dan menuntunnya ke samping gardu.

“Marilah kita teruskan perjalanan kita dengan berjalan kaki,”

berkata Ki Jayaraga selanjutnya.

Demikianlah setelah menitipkan pesan pesan kepada kedua

pengawal itu untuk tidak meninggalkan kewaspadaan, keempat

orang itu segera berjalan melewati tanggul sebelah kanan jalan

dan kemudian menyusuri pematang.

“Kita lewat tanggul sungai itu, Ki,” berkata Ki Kamituwa kemudian

sambil menujuk ke arah sungai yang tidak seberapa lebar namun

cukup curam, “Dengan menyisir tanggul itu kita akan sampai di

belakang rumah Ki Dukuh Klangon.”

“Ya, aku setuju,” sahut Ki Jayaraga cepat sambil meniti pematang,

“Kita akan langsung memasuki dapur rumah Ki Dukuh.

Barangkali mereka sudah menyiapkan sarapan pagi untuk kita.”

“Ah,” ketiga orang itu pun tertawa pendek mendengar kelakar Ki

Jayaraga.

“Marilah kita berlomba lari,” berkata Ki Jayaraga kemudian

sambil meloncat mendahului kawan kawannya, “Yang menang

akan mendapat hadiah dari Ki Gede Matesih.”

49

Page 53: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

“Apakah itu, Ki?” teriak Ki Waskita sambil memburu Ki Jayaraga

yang sudah beberapa langkah di depannya.

“Ya, nanti saja jika sudah bertemu Ki Gede,” seloroh Ki Jayaraga

sambil terus berlari menuruni tebing sungai. Agaknya Ki Jayaraga

lebih senang berlari di pinggir sungai yang agak landai.

Ki Kamituwa dan Ki Wiyaga tidak dapat berbuat lain kecuali

mengikuti tingkah kedua orang itu. Mereka sedikit banyak mulai

mengenal sifat orang orang tua itu yang senang berkelakar,

terutama Ki Jayaraga.

Demikianlah keempat orang itu seperti anak anak kecil lagi yang

sedang bermain kejar kejaran. Ki Jayaraga memilih berlari di

pinggir sungai mengikuti setiap kelokannya. Sementara yang lain

lebih senang berlari di atas tanggul.

“Ki Jayaraga!” tiba tiba Ki Wiyaga berteriak dari atas tanggul

sambil tetap berlari, “Naiklah, Ki. Sebentar lagi kita sampai di

belakang kediaman Ki Dukuh Klangon!”

Agaknya Ki Jayaraga tanggap. Dengan tanpa mengurangi laju

larinya, orang ua itu bergerak cepat memanjat tebing sungai yang

cukup curam. Namun terlihat orang tua itu sama sekali tidak

mengalami kesulitan.

“Luar biasa,” desis Ki Kamituwa yang berlari di urutan paling

belakang. Orang tua itu harus menyingsingkan kain panjangnya

tinggi tinggi.

Demikianlah mereka berempat ternyata telah mengurangi laju lari

mereka sesuai arahan Ki Wiyaga yang sudah melihat dinding

tinggi halaman belakang rumah Ki Dukuh.

50

Page 54: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

Sejenak kemudian kedua tangan orang itupun telah berjabat erat.

Sebuah senyum kemenangan tampak tersungging di bibir Kiai Singo

Barong.

51

Page 55: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

“Kita berjalan saja,” akhirnya Ki Jayaraga berkata sambil

memperlambat larinya dan akhirnya berjalan biasa. Tidak tampak

nafas yang memburu maupun keringat yang membasahi tubuh

orang tua itu. Demikian juga Ki Waskita.

Kedua bebahu perdikan Matesih itu masih harus mengatur

pernafasan mereka agar jangan sampai tersengal sengal dan justru

akan dapat menyumbat tenggorokan dan menyesakkan dada.

Setelah melewati beberapa dinding belakang rumah rumah yang

tidak begitu tinggi. Sampailah mereka pada sebuah dinding yang

cukup tinggi, dinding halaman belakang rumah Ki Dukuh.

“Kita masuk?” bertanya Ki Waskita kemudian sambil memberi

isyarat kepada kawan kawannya. Namun terlihat Ki Wiyaga dan Ki

Kamituwa ragu ragu sambil mendongakkan wajah mereka,

dinding itu memang terlalu tinggi bagi mereka berdua.

“Kita lewat pintu butulan saja,” akhirnya Ki Jayaraga berkata

menengahi sambil berjalan menghampiri sebuah pintu butulan

yang terlihat tertutup rapat.

“Bagaimana jika di balik dinding ini telah menunggu orang orang

Ki Dukuh dengan senjata terhunus?” tiba tiba Ki Kamituwa

berdesis perlahan.

“Sebaiknya memang aku periksa terlebih dahulu Ki Kamituwa,”

sahut Ki Waskita. Sejenak orang tua itu berdiri tegak sambil

menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Kepalanya

tertunduk dengan mata terpejam rapat.

Hanya sekejap Ki Waskita sudah membuka mata dan mengurai

kedua tangannya. Katanya kemudian, “Aku hanya menangkap

suara suara di dapur dan agaknya Ki Rangga dan rombongan

sudah berada di halaman depan.”

52

Page 56: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

“Marilah kita coba masuk melalui pintu butulan,” sela Ki Jayaraga

kemudian sambil melangkah. Didorongnya pintu butulan itu

perlahan dan ternyata tidak diselarak dari dalam.

Tanpa sadar Ki Jayaraga memandang ke bawah. Tampak

beberapa jejak kaki dari arah dalam keluar melalui pintu butulan

itu.

“Agaknya ada beberapa orang yang keluar dari rumah ini dan lupa

tidak ada yang menyelarak dari dalam,” gumam Ki Jayaraga

kemudian sambil dengan sangat hati hati melangkah masuk

diikuti oleh kawan kawannya.

“Atau barangkali semua orang telah meninggalkan rumah secara

diam diam sehingga tidak ada lagi yang menyelarak dari dalam,”

tambah Ki Waskita yang membuat kawan kawannya mengangguk

angguk.

“Itu berarti Ki Dukuh dan seluruh keluarganya telah

meninggalkan rumah ini,” kembali Ki Jayaraga menyahut.

Ketika keempat orang itu semua sudah memasuki halaman

belakang rumah Ki Dukuh, Ki Wiyaga segera menyelarak pintu

butulan itu.

“Bagus,” berkata Ki Jayaraga kemudian sambil mengacungkan ibu

jari tangan kanannya, “Sekarang kita membagi tugas. Aku dan Ki

Wiyaga akan memasuki dapur. Jika memang ada orang yang

sedang berada di dalam dapur dan menurut kami berbahaya, akan

langsung kami lumpuhkan.”

“Dan jika ada sebakul nasi putih hangat dengan lauk ayam bakar

di atas amben, harus segera dihabiskan,” sahut Ki Waskita yang

membuat mereka menahan tawa. Dalam suasana yang tegang

itupun Ki Waskita masih sempat berkelakar.

53

Page 57: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

“Sudahlah,” berkata Ki Waskita kemudian, “Aku dan Ki Kamituwa

akan melewati longkangan dan berusaha memasuki halaman

depan.”

“Apakah tidak sebaiknya Ki Waskita mengirim aji pameling

terlebih dahulu kepada Ki Rangga?” bertanya Ki Jayaraga yang

membuat orang tua itu tertegun.

“Baiklah,” jawab Ki Waskita kemudian, “Aku akan mengirim aji

pameling kepada angger Sedayu setelah aku berada di samping

atau di dalam gandhok.”

Kawan kawannya pun kemudian mengangguk angguk.

Demikianlah keempat orang itu segera berpencar. Ki Jayaraga dan

Ki Wiyaga mengendap endap di belakang perigi sebelum akhirnya

merapat ke dinding dapur. Sedangkan Ki Waskita dan Ki

Kamituwa begerak senyap menyusur perdu dan gerumbul yang

banyak bertebaran di halaman belakang itu menuju ke

longkangan.

Dalam pada itu, rombongan Ki Rangga ternyata telah berada di

halaman rumah Ki Dukuh yang luas. Keenam orang itu dengan

terpaksa telah turun dari kuda masing masing. Sepintas saja

dengan melihat cara orang orang itu turun dari kudanya, Srenggi

segera mengetahui bahwa salah seorang dari rombongan Ki

Rangga itu adalah seorang perempuan muda yang berpakaian laki

laki.

“O,” seru Srenggi kemudian sambil tertawa pendek. Kemudian

sambil memandang ke arah Ki Gede, Srenggi pun menunjuk ke

arah Ratri sambil bertanya, “Apakah gadis cantik berpakaian laki

laki itu puteri Ki Gede?”

54

Page 58: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

Ki Gede menarik nafas dalam dalam untuk meredakan getar di

dalam dadanya. Tidak ada gunanya mengelak, maka jawab Ki

Gede kemudian, “Benar Ki Sanak, Ratri adalah anak gadisku satu

satunya.”

Tampak kepala beberapa orang yang berada di halaman Ki Dukuh

itu terangguk angguk. Sementara orang yang mengaku bernama

Kiai Singo Barong dari lereng Arjuna itu tampak sedang menuruni

tangga pendapa dengan langkah satu satu.

Dengan langkah yang tenang penuh percaya diri, Kiai Singo

Barong segera berjalan menghampiri Ki Rangga. Sedangkan

beberapa orang muridnya yang telah berada di halaman segera

menerima kendali kuda kuda rombongan Ki Gede dan

membawanya ke halaman samping.

“Selamat datang dan selamat berjumpa untuk yang pertama dan

mungkin yang terakhir Ki Rangga,” berkata Kiai Singo Barong

sesampainya dia di depan Ki Rangga sambil mengulurkan

tangannya.

Sekilas Ki Rangga segera melihat sesuatu yang terselip di sela sela

jari jari tangan yang terulur itu.

“Mungkin sebuah jarum beracun,” membatin Ki Rangga dalam

hati dengan jantung yang berdebaran. Sebenarnya Ki Rangga

dapat saja mengetrapkan ilmu kebalnya. Namun jika jarum itu

terlalu kecil dan tajam, serta dilambari dengan tenaga cadangan

yang tinggi, ujung jarum itu masih ada kemungkinan dapat

menembus kulit telapak tangannya.

Selagi Ki Rangga menimbang nimbang, tangan kanan Kiai Singo

Barong itu sudah terulur di hadapannya. Tidak ada waktu lagi bagi Ki

Rangga untuk berpikir selain menerima jabat tangan maut itu.

55

Page 59: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

Sejenak kemudian kedua tangan orang itupun telah berjabat erat.

Sebuah senyum kemenangan tampak tersungging di bibir Kiai

Singo Barong.

“Terima kasih Ki Rangga,” berkata Kiai Singo Barong kemudian

sambil melepas jabat tangannya dan melangkah mundur.

Ternyata jarum yang lembut dan telah menembus kulit telapak

tangan Ki Rangga itu berasal dari cincin yang dikenakan oleh Kiai

Singo Barong.

Untuk beberapa saat Ki Rangga merasakan sesuatu yang

membakar telapak tangannya. Ketika dengan gerak naluriah Ki

Rangga kemudian melihat ke arah telapak tangan kanannya yang

terbuka, tampak sebagian telapak tangannya telah berwarna

merah gelap dengan sebuah titik hitam di tengah tengahnya.

“Racun!” desis Ki Rangga tanpa sadar.

Segera saja terdengar gelak tawa Kiai Singo Barong yang disambut

riuh rendah oleh para anak muridnya. Mereka sudah yakin bahwa

Ki Rangga pasti tidak akan lolos dari pengaruh racun dari jarum

yang tersimpan dalam cincin Kiai Singo Barong itu.

“Sudahlah Ki Rangga,” berkata Kiai Singo Barong kemudian

sambil bertolak pinggang, “Umurmu tidak akan lebih dari

sepenginang sirih. Belum pernah ada lawan lawanku yang lolos

dari racun mautku itu. Semua menemui ajalnya.”

Ki Gede Matesih yang mendengar ucapan Kiai Singo Barong

menjadi merah padam wajahnya. Sementara Ki Bango Lamatan

tampak hanya mengerutkan kening. Sedangkan Ratri dan kedua

pengawal Matesih itu tidak tahu apa yang telah terjadi

sebenarnya.

56

Page 60: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

Sejenak Ki Rangga memang merasakan sergapan racun yang

cukup ganas itu. Namun ternyata racun Kiai Singo Barong itu

tidak sedahsyat dan seganas racun yang pernah dirasakannya dari

paser Kiai Dandang Mangore. Racun Kiai Dandang Mangore

hanya butuh waktu tiga tarikan nafas dan korbannya tidak akan

pernah melihat dunia beserta isinya untuk selamanya.

“Nah, nama besar Ki Rangga Agung Sedayu sebagai Agul Agulnya

Mataram ternyata segera berakhir di halaman ini,” berkata Kiai

Singo Barong selanjutnya sambil mengedarkan pandangan

matanya ke seluruh halaman rumah Ki Dukuh, “Jangan salahkan

aku yang telah berhasil mencederai Agul Agulnya Mataram ini.

Namun salahkanlah Ki Rangga Agung Sedayu sendiri yang

ternyata nama besarnya tidak sebanding dengan ketinggian

ilmunya.”

Suasana terasa begitu mencekam di halaman rumah Ki Dukuh.

Semua mata sedang tertuju ke arah Ki Rangga yang terlihat

berdiri dengan kaki gemetar dan wajah yang sedikit menyiratkan

kesakitan. Sementara telapak tangan kirinya mencengkeram erat

pergelangan tangan kanannya.

Sejenak kemudian terlihat tubuh Ki Rangga sedikit limbung dan

akhirnya terjatuh pada salah satu lututnya. Sementara tangan

kirinya masih mencengkeram erat pergelangan tangan kanannya.

Seruan riuh rendah dari anak murid perguruan Singo Barong pun

menyambut terjatuhnya Agul Agulnya Mataram itu.

Beberapa orang telah tertawa, dan tertawa yang paling keras tentu

saja berasal dari Kiai Singo Barong sendiri. Sedangkan Ki Gede

dan anggota rombongan yang lain tampak cemas luar biasa

kecuali Ki Bango Lamatan.

57

Page 61: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

“Aku dengar tubuh Ki Rangga ini kebal segala racun,” membatin

Ki Bango Lamatan dengan kerut merut di dahi, “Semoga racun ini

tidak seganas racun yang pernah mencederai Ki Rangga beberapa

waktu yang lalu.”

Dalam pada itu, di halaman belakang rumah Ki dukuh, ternyata Ki

Jayaraga dan Ki Wiyaga telah berhasil merapat ke dinding dapur.

Sejenak kedua orang itu mencoba mengatur pernafasan mereka

sambil mencoba mendengarkan gerakan yang ada di dalam dapur.

“Sepertinya ada dua orang sedang memasak,” membatin Ki

Jayaraga sambil mencoba mencari celah dari dinding yang terbuat

dari papan papan kayu yang cukup rapat. Namun Ki Jayaraga pun

akhirnya menemukan celah itu.

Ketika Ki Jayaraga kemudian mencoba mengintip ke dalam, dada

orang tua itu berdesir tajam. Tampak di dalam dapur dua orang

laki laki sedang memasak. Menilik pakaian mereka serta wajah

mereka yang rata rata berkumis dan berjengggot, Ki Jayaraga pun

segera menyimpulkan bahwa kedua orang itu pasti bukan

pembantu laki laki rumah Ki Dukuh.

Setelah yakin dengan pengamatannya, Ki Jayaraga segera

bergeser ke pintu dapur. Didorongnya perlahan pintu dapur itu

dan ternyata di selarak dari dalam.

Ki Jayaraga segera memberi isyarat kepada Ki Wiyaga untuk

bergeser menjauhi pintu. Ki Wiyaga pun tanggap.

Sejenak kemudian, setelah mengumpulkan kekuatan tenaga

cadangan pada telapak tangan kanannya, guru Glagah Putih

itupun segera mengethuk pintu dapur perlahan lahan.

“Siapa?” terdengar sebuah pertanyaan dari dalam dapur.

58

Page 62: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

“Aku, kang!” jawab Ki Jayaraga dengan nada suara dibuat

sedemikian rupa sehingga mirip seperti suara seorang anak muda.

Dua murid perguruan Singo Barong yang sedang bertugas

memasak itu mengerutkan kening mereka. Rasa rasanya mereka

berdua tidak mengenal suara itu. Namun salah seorang segera

bangkit berdiri dan berjalan ke arah pintu.

Ki Jayaraga segera memusatkan nalar dan budinya begitu

mendengar langkah langkah mendekati pintu. Ketika suara

langkah itu kemudian terdengar berhenti tepat di depan pintu, Ki

Jayaraga pun kemudian menghentakkan telapak tangannya yang

telah dilambari dengan tenaga cadangan ke daun pintu itu.

Akibatnya sungguh mengejutkan. Murid Singo Barong yang

sedianya akan mengintip terlebih dahulu melalui celah celah pintu

dapur itu justru telah terlanggar pintu yang jebol. Terdengar suara

berderak derak keras sekali dan cantrik itu pun jatuh terlentang

tertimpa pintu yang jebol, pingsan.

Dalam pada itu cantrik yang satunya menjadi sangat terkejut

sekali melihat kawannya jatuh tertimpa pintu dapur yang tiba tiba

saja terbongkar bagaikan terlanggar sepuluh ekor kerbau liar.

Dengan cekatan dia segera meloncat berdiri sambil menyambar

senjatanya yang di geletakkan di atas amben.

Namun ternyata dia kalah cepat dengan Ki Jayaraga. Guru Glagah

Putih yang sudah kenyang makan asam garamnya kehidupan serta

telah putus segala kawruh hitam maupun putih dalam dunia

kanuragan, telah mengacungkan kedua telapak tangannya. Lantai

dapur pun bagaikan meledak menyemburkan pecahan lantai

dapur yang berasap bercapur debu panas yang membuat cantrik

itu terlempar ke belakang dan akhirnya mengikuti kawannya,

jatuh pingsan.

59

Page 63: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

Ki Wiyaga yang bersembunyi di balik dinding dapur itu tidak

dapat menyaksikan dua kali peristiwa yang telah membuat kedua

cantrik Singo Barong itu jatuh pingsan. Dia hanya sempat melihat

Ki Jayaraga menghentakkan telapak tangan kanannya dan tiba

tiba saja pintu dapur itu sudah jebol. Ketika dia kemudian

bergeser ke arah pintu mengikuti Ki Jayaraga yang telah

melangkah masuk, dia hanya mendengar suara ledakan dan ketika

dia meloncat masuk, satu orang lagi terlihat sudah rebah di lantai

dapur, pingsan.

“Apa yang telah terjadi, Ki?” bertanya Ki Wiyaga kemudian begitu

dia melihat ada dua orang rebah tak bergerak di lantai dapur.

“Mereka telah pingsan,” jawab Ki Jayaraga singkat. Kemudian

sambil memberi isyarat untuk mengikutinya, orang tua itu pun

kemudian menyelinap melalui pintu yang menghubungkan dapur

dengan ruang tengah.

Dengan setengah meloncat Ki Wiyaga pun segera mengikutinya.

Dalam pada itu, Ki Waskita dan Ki Kamituwa yang berjalan

mengendap endap di antara gerumbul dan perdu serta pepohonan

terlihat sedang mendekati longkangan. Pintu longkangan itu

tampak terbuka sejengkal.

“Bagaimana, Ki?” bisik Ki Waskita kemudian kepada Ki Kamituwa

yang merunduk di sampingnya, “Kita melewati longkangan itu apa

bergerak ke arah gandhok untuk memeriksa keadaan gandhok?”

Untuk sejenak Ki Kamituwa termenung. Jawabnya kemudian,

“Jika kita langsung menerobos longkangan itu, kita akan langsung

sampai di samping pendapa sehingga akan sangat berbahaya,” Ki

Kamituwa berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Untuk lebih

60

Page 64: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

amannya kita menyusup ke gandhok dan melihat keadaan di

halaman depan dari arah gandhok.”

“Baiklah aku setuju,” berkata Ki Waskita kemudian. Namun baru

saja kedua orang tua iu bergerak, terdengar sorak sorai yang

membahana dan tawa menggelegar dari arah halaman depan.

“Apa yang telah terjadi, Ki?” bertanya Ki Kamituwa dengan suara

bergetar. Bebahu Matesih itu menjadai berdebar debar

membayangkan nasib Ki Gede dan rombongannya.

“Aku belum tahu,” sahut Ki Waskita sambil mempercepat

langkahnya merunduk runduk kemudian memasuki gandhok dari

longkangan. Sedangkan Ki Kamituwa pun segera mengikutinya.

Dalam pada itu, Ki Jayaraga dam Ki Wiyaga yang sedang berada

di ruang tengah pun telah mendengar suara sorak sorai serta tawa

yang menggelegar dari arah halaman depan.

Untuk sejenak Ki Jayaraga berpikir. Tidak menutup kemungkinan

di halaman depan sekarang ini telah berkumpul orang orang sakti

yang dapat mengetahui kehadiran dirinya dan Ki Wiyaga. Maka Ki

Jayaraga pun segera mengatur siasat.

“Ki Wiyaga,” bekata Ki Jayaraga kemudian setengah berbisik,

“Aku minta Ki Wiyaga tetap di sini, di ruang tengah ini. Tugas Ki

Wiyaga mengawasi jika ada orang yang datang dari arah belakang.

Biarlah aku sendiri yang akan memasuki pringgitan dan melihat

apa yang sedang terjadi di halaman depan,” Ki Jayaraga berhenti

sejenak. Lanjutnya, “Tetapi jangan meninggalkan kewaspadaan.

Periksa terlebih dahulu setiap bilik yang ada di ruang ini untuk

meyakinkan keamanannya.”

Tidak ada pilihan lain bagi Ki Wiyaga. Maka pemimpin pengawal

Matesih itu pun telah menganggukan kepalanya.

61

Page 65: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

Demikanlah Ki Wiyaga segera bergerak dengan sangat hati hati

menyisir setiap bilik di ruang tengah itu. Sementara Ki Jayaraga

pun segera menuju ke arah pintu yang menghubungkan ruang

tengah dengan pringgitan.

Untuk beberapa saat Ki Jayaraga masih berdiri membeku di

belakang pintu itu. Diterapkan segala kemampuannya untuk

menyerap segala bunyi yang dapat ditimbulkan oleh pergesekan

dirinya dengan lingkungan sekelilingnya. Setelah yakin, barulah

Ki Jayaraga mendorong daun pintu itu dengan sangat perlahan.

Tidak terdengar derit sama sekali dari pintu yang terbuka

sejengkal itu. Dari celah itulah Ki Jayaraga mencoba mengamati

keadaan di pringgitan. Ternyata pringgitan kosong melompong.

Namun pintu pringgitan terlihat terbuka lebar sehingga membuat

Ki Jayaraga ragu ragu untuk memasuki pringgitan.

“Walaupun aku mampu menyerap bunyi, namun pintu pringgitan

yang terbuka lebar itu akan dengan mudah menjadi sarana bagi

orang orang yang berdiri di halaman itu untuk melihat

kehadiranku.

Ki Jayaraga menghela nafas perlahan. Dicobanya dari celah pintu

itu untuk mengamati apa yang sedang terjadi di halaman depan.

Alangkah terkejutnya guru Glagah Putih itu begitu dia melihat Ki

Rangga Agung Sedayu tampak sedang terjatuh pada salah satu

lututnya sambil memegangi pergelangan tangan kanannya dengan

telapak tangan kirinya. Wajah Ki Rangga terlihat menunduk

sedangkan beberapa langkah di hadapannya, membelakangi

pandangan Ki Jayaraga, tampak seorang yang rambutnya sudah

putih semua dan panjang terurai hampir menyentuh punggung

sedang berdiri bertolak pinggang.

62

Page 66: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

“Nah waktu sepenginang sirih sudah hampir habis,” terdengar

orang yang berdiri di hadapan Ki Rangga itu berkata cukup

lantang sambil menunjuk ke arah Ki Rangga yang telah terjatuh

pada salah satu lututnya dan menundukkan wajahnya dalam

dalam. Tangan kirinya tetap erat mencengkeram pergelangan

tangan kanannya.

“Jika kalian mau, kalian dapat menghitung bersama sama

denganku,” kembali terdengar suara lantang orang yang berambut

putih menjuntai hampir sampai ke punggung, “Dalam hitungan

kurang dari sepuluh, kita akan segera melihat pemandangan yang

tidak akan pernah kalian lupakan seumur hidup,” terdengar dia

berhenti sebentar. Lanjutnya kemudian sambil mengedarkan

pandangan matanya ke sekelilingnya, “Agul Agulnya Mataram ini,

Senapati pasukan khusus Mataram, murid utama perguruan orang

bercambuk dan entah gelar apa lagi yang telah disandangnya,

semua akan runtuh secara bersamaan pagi ini di halaman ini, dan

kalian semua akan menjadi saksi.”

Selesai berkata demikian Kiai Singo Barong segera mengangkat

tangan kanannya dan mulai menghitung dengan jari jari

tangannya.

“Satu..dua…tiga…empat,”

Namun baru sampai hitungan keempat, tiba-tiba Kiai Singo

Barong berhenti. Dia melihat sebuah peristiwa yang sama sekali

tidak masuk akal. Bahkan seumur hidup pun dia belum pernah

mengalaminya.

Dengan tenangnya Ki Rangga kemudian melepaskan cengkeraman

tangan kirinya pada pergelangan tangan kanannya dan bangkit

berdiri. Tidak tampak sama sekali pengaruh racun Kiai Singo

Barong yang baru saja merajam dalam tubuhnya.

63

Page 67: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

Sambil tersenyum Ki Rangga pun kemudian maju selangkah

sambil berkata, “Terima kasih atas sambutan yang penuh

persahabatan ini, Kiai Singo Barong. Tetapi mungkin Kiai lupa

belum melumuri jarum di telapak tangan Kiai itu dengan racun.

Atau karena Kiai yang sudah dijangkiti penyakit pikun, sehingga

sudah tidak dapat membedakan lagi antara serbuk racun dengan

serbuk garam.”

“Persetan!” bentak Kiai Singo Barong dengan wajah merah

padam. Bentakan yang begitu keras itu telah membuat Ratri

terperanjat dan kemudian menggigil ketakutan. Untung Ki Gede

yang berada di sebelahnya segera merengkuhnya.

Dalam pada itu Kiai Singo Barong yang merasa dipermalukan di

hadapan anak muridnya sendiri segera memberi isyarat kepada

Srenggi dan dua saudara seperguruannya. Sedangkan murid

murid perguruan Singo Barong yang lainnya telah bergerak

menyesuaikan mengepung rombongan Ki Rangga itu.

“Luar biasa!” geram Kiai Singo Barong kemudian ketika ketiga

muridnya sudah mendekat dan siap mengepung Ki Rangga,

“Ternyata masih ada ilmu kesaktian dari Agul Agulnya Mataram

ini yang luput dari pengamatanku,” Kiai Singo Barong berhenti

sejenak sekedar untuk menarik nafas. Lanjutnya kemudian,

“Ternyata nama besarnya selama ini tidak hanya omong kosong

belaka. Ternyata Ki Rangga juga kebal terhadap segala racun dan

bisa.”

Ki Rangga tersenyum tipis sambil berkata, “Itu semua adalah

karunia Yang Maha Agung kepada hambaNya yang selalu mencari

ridhoNya disetiap langkah dan disetiap tarikan nafasnya.”

“Omong kosong!” sergah Kiai Singo Barong sambil meludah,

“Jangan menggurui aku dengan ilmu yang sama sekali tidak ada

64

Page 68: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

gunanya itu. Aku mendapatkan semua ilmuku karena usahaku

yang sungguh sungguh serta mempelajari setiap gerakan semua

hewan serta perubahan lingkungan baik siang maupun malam,

panas maupun dingin yang dapat aku jadikan sebagai sumber

ilmu yang tiada habis habisnya.”

Ki Rangga hanya dapat menarik nafas panjang menanggapi

sesorah Kiai Singo Barong. Jauh di dasar hatinya, Ki Rangga

merasa kasihan terhadap orang orang yang telah jauh tersesat,

tersesat dari jalan yang diridhoiNya.

Dalam pada itu, Ki Waskita yang telah sampai di gandhok kanan

juga telah mendengar Kiai Singo Barong melakukan hitungan.

Dengan cepat ayah Rudita itu segera memberi isyarat Ki

Kamituwa untuk menyelinap ke dalam salah satu bilik di gandhok

itu.

“Kita bersembunyi disini,” desis Ki Waskita kemudian kepada Ki

Kamituwa. Bebahu Matesih itu pun tidak menjawab hanya

menganggukkan kepalanya.

Untuk beberapa saat kedua orang tua itu masih mendengar

umpatan yang keluar dari mulut seseorang yang sepertinya

sebagai pemimpin mereka.

“Nah, Ki Kamituwa aku minta untuk mengadakan penyelidikan di

setiap bilik dalam gandhok ini. Berhati hatilah, Ki. Siapa tahu ada

beberapa orang pengikut mereka yang memang dengan sengaja

besembunyi dalam gandhok,” berkata Ki Waskita kemudian

kepada Ki Kamituwa.

Ki Kamituwa pun segera tanggap dan keluar dari bilik itu untuk

melihat bilik bilik yang lainnya.

65

Page 69: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

………….Terdengar suara berderak derak keras sekali dan cantrik itu

pun jatuh terlentang tertimpa pintu yang jebol, pingsan.

66

Page 70: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

Sepeninggal Ki Kamituwa yang disibukkan dengan meronda setiap

bilik yang berada di gandhok, Ki Waskita segera menyelarak pintu

bilik itu dari dalam.

Kemudian dengan mengetrapkan kemampuannya dalam

menyerap segala bunyi, Ki Waskita mendekati jendela depan yang

sedikit terbuka.

Namun baru saja Ki Waskita mengintip keluar, tiba tiba terdengar

suara orang berlari larian dari arah regol depan.

Sejenak kemudian berpuluh puluh orang pun memasuki halaman

rumah Ki Dukuh yang luas dengan membawa persenjataan yang

lengkap.

“Tangkap pembunuh Kiai Damar Sasangka!”

“Tangkap Ki Gede Matesih yang telah menyerang Sapta

Dhahana!”

“Balaskan dendam Sapta Dhahana!”

“Tangkap dan bunuh Ki Rangga!”

Suara riuh rendah itu pun segera di sambut oleh sorak sorai

membahana dari para anak murid perguruan Singo Barong.

Tergetar dada Ki Waskita demi melihat pemandangan seperti itu.

Ayah Rudita itu belum tahu dari mana asal orang orang yang

bersenjata lengkap dan sekarang telah mengepung rombongan Ki

Gede itu.

Dalam pada itu di halaman rumah Ki Dukuh beberapa orang laki

laki yang bersenjata lengkap masih saja berdatangan walaupun

jumlahnya tidak sebanyak yang pertama tadi. Sehingga sebentar

67

Page 71: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

saja sudah hampir ada lima puluhan orang yang mengepung Ki

Rangga dan rombongan.

Sebenarnyalah bukan hanya Ki Gede Matesih dan rombongan

yang heran atas kedatangan orang orang bersenjata itu, Kiai Singo

Barong dan anak muridnya pun juga heran, walaupun dalam hati

mereka gembira melihat sikap orang orang itu yang terlihat

mendukung Sapta Dhahana.

Srenggi yang berdiri di dekat gurunya segera melangkah lebar

menuju salah satu orang yang baru saja memasuki halaman.

Namun langkahnya terhenti ketika melihat keempat pengawal itu

justru telah menghampirinya.

“Ki Srenggi,” berkata salah satu pengawal yang bertubuh kurus,

“Maafkan kelancangan kami yang telah memanggil kawan kawan

kami, baik para pengawal maupun para kawula padukuhan

Klangon,” pengawal itu berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian,

“Tetapi jangan khawatir, Ki Srenggi. Mereka semua adalah

pendukung Ki Dukuh Klangon.”

Hampir setiap dada bergejolak, namun dengan tanggapan masing

masing. Ki Gede Matesih yang masih tetap merengkuh Ratri pun

telah berpaling ke arah Ki Rangga yang sekarang telah berdiri

tegak di atas kedua kakinya yang renggang.

“Nah!” teriak Kiai Singo Barong dengan lantang setelah

mendengar penjelasan dari pengawal bertubuh kurus itu, “Kalian

para kawula padukuhan Klangon, dengarkanlah. Hari ini adalah

kesempatan kalian membalas dendam. Ki Rangga dan Ki Gede

Matesih adalah orang orang yang paling bertangung jawab atas

jatuhnya Sapta Dhahana, sehingga mimpi kalian untuk

mendukung Trah Sekar Seda Lepen pun menjadi berantakan!”

68

Page 72: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

Suasana menjadi hening. Tidak ada seorang pun yang menanggapi

sesorah pemimpin perguruam Singo Barong itu. Semua hanya

menunggu.

“Akan kita jadikan persitiwa pagi hari ini, di halaman rumah Ki

Dukuh Klangon ini sebagai bukti, bahwa pengikut Trah Sekar

Seda Lepen, para kawula yang sudah lama mendambakan

keadilan dan kejujuran berlaku di negeri ini, ternyata masih ada,”

Kiai Singo Barong berhenti sejenak. Kemudian sambil

mengedarkan pandangan matanya ke sekeliling, kembali dia

berkata lantang sambil mengepalkan tangan kanannya ke atas,

“Dengan dukungan para cantrik padepokan Singo Barong, kawula

padukuhan Klangon siap bangkit dan menghancurkan Matesih!”

Kata kata terakhir Kiai Singo Barong yang menggelegar itu pun

telah disambut dengan gegap gempita.

“Hidup Trah Sekar Seda Lepen!”

“Hancurkan Matesih!”

“Gulung Matesih!”

“Hidup padukuhan Klangon!”

“Hidup perguruan Singo Barong!”

Jika saja Kiai Singo Barong tidak mengangkat tangannya ke atas,

tentu teriakan gegap gempita dan bersahut sahutan itu tidak akan

mereda.

Setelah suasana menjadi tenang kembali, Kiai Singo Barong

segera berkata kembali, kali ini dengan suara yang tenang dan

dalam sambil memandang ke arah Ki Rangga, “Nah, Ki Rangga.

Engkau telah mendengar sendiri luapan perasaan para kawula

69

Page 73: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

padukuhan Klangon. Hari ini Ki Rangga dan rombongan aku

pastikan tidak akan keluar hidup hidup dari halaman ini!”

Ancaman itu terdengar begitu mengerikan bagi rombongan Ki

Gede, terutama Ratri. Gadis itu sudah sedemikian lemahnya

sehingga rasa rasanya lututnya sudah tidak mampu menyangga

tubuhnya.

Ki Gede yang menyadari goncangan yang sedang melanda anak

perempuan satu satunya itu menjadi gelisah. Keselamatan Ratri

harus diutamakan karena di dalam rombongan itu hanya Ratri

yang belum mengetahui seluk beluk dunia olah kanuragan.

Perlahan tubuh Ratri pun kemudian merosot dari pelukan

ayahnya. Tubuh itu terasa sangat dingin. Matanya nanar tidak

bercahaya. Agaknya goncangan yang dahsyat telah membuat Ratri

jatuh pingsan.

Melihat keadaan anak perempuan satu satunya itu, Ki Gede segera

mengangkat dan kemudian mendukungnya. Katanya kemudian

kepada Kiai Singo Barong, “Jika kalian adalah orang orang yang

menjunjung tinggi paugeran di dalam hidup bebrayan, biarlah aku

baringkan anak gadisku ini di dalam gandhok. Tidak ada seorang

pun yang boleh menyentuhnya,” Ki Gede berhenti sebentar.

Lanjutnya kemudian, “Setelah itu kita akan menyabung nyawa

sampai titik darah penghabisan. Jika kami memang tidak bisa

keluar dari halaman ini dengan selamat, terserah apa yang akan

kalian lakukan kepada anak semata wayangku ini.”

Kata kata Ki Gede itu diucapkan dengan nada yang penuh wibawa

dan dengan tekanan yang dapat membuat jantung mereka yang

mendengarnya berpacu semakin kencang.

70

Page 74: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

Kiai Singo Barong tertawa pendek. Jawabnya kemudian, “Silahkan

Ki Gede. Kami tidak akan mengganggu seujung rambut pun

puterimu itu. Setelah kalian semua kami tumpas habis di halaman

ini, aku kira Ki Gede tidak akan punya kekuatan lagi untuk

mencegah kami.”

Kata kata terakhir Kiai Singo Barong yang diucapkan dengan

sebuah senyum di bibir itu telah disambut tawa oleh para anak

murid Singo Barong.

Namun Ki Gede tidak memperdulikan semua itu. Dengan langkah

lebar Ki Gede pun segera mendukug Ratri dan membawanya ke

gandhok kanan.

Sepeninggal Ki Gede, Kiai Singo Barong segera memberi isyarat

kepada murid muridnya untuk bergerak. Sejenak kemudian, Ki

Rangga pun telah di kepung oleh Kiai Singo Barong sendiri

bersama ketiga muridnya.

“Tunggu!” tiba tiba terdengar suara Ki Rangga yang menggelegar

memekakkan telinga sambil mengangkat tangan kanannya.

Agaknya Ki Rangga yang sedang mematangkan aji gelap ngampar

dari kitab Windujati itu telah menyalurkan kekuatan aji itu lewat

getaran suaranya, bukan lewat getaran ujung cambuknya.

Langkah langkah kaki yang sudah mulai bergerak itu sejenak

tertahan. Beberapa orang justru telah mundur sambil memegang

dada masing masing.

Sebenarnya lah Ki Rangga tidak ingin melukai orang orang yang

tidak mengerti ujung pangkal permasalahan yang sedang terjadi di

halaman rumah Ki Dukuh itu. Namun Ki Rangga terpaksa

melakukan itu untuk sekedar memberi peringatan kepada Kiai

Singo Barong dan murid muridnya.

71

Page 75: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

Untuk beberapa saat suasana menjadi hening. Kiai Singo Barong

yang mendengar bentakan Ki Rangga itu dadanya berdesir tajam.

Dia menyadari bahwa orang yang berdiri beberapa langkah di

hadapannya itu mempunyai segudang ilmu, bahkan ilmu yang tak

terduga sekalipun yang baru saja ditunjukkan kapadanya, aji gelap

ngampar.

“Apa maksudmu Ki Rangga?” bertanya Kiai Singo Barong

kemudian setelah getar di dalam dadanya mereda, “Apakah

engkau memutuskan untuk menyerah?”

“Tentu tidak!” jawab Ki Rangga dengan serta merta. Kemudian

sambil mengambil sesuatu dari kantung ikat pinggangnya, Ki

Rangga pun mengangkat tinggi tinggi sebuah lencana yang

tampak berkilauan tertimpa sinar Matahari yang masih lemah.

“Kawula padukuhan Klangon, lihatlah!” teriak lantang Ki Rangga.

namun kali ini tidak dilambari aji gelap ngampar, “Yang berada di

tangan kananku ini adalah lencana dari Mataram. Aku secara

resmi telah ditunjuk untuk meminpin sekelompok kecil para

utusan dari Mataram untuk mernghukum Sapta Dhahana,” Ki

Rangga berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Aku diberi kuasa

penuh oleh penguasa Mataram melalui Ki Patih Mandaraka untuk

berbuat apa saja demi tegaknya Mataram dari rongrongan orang

yang mengaku sebagi Trah Sekar Seda Lepen! Nah, para kawula

padukuhan Klangon, kalian di bawah kademangan Salam, dan

kademangan Salam berada di bawah panji panji Mataram. Jika

kalian berani mengganggu tugasku bahkan sampai berani

bersekongol dengan siapapun yang mendukung Trah Sekar Seda

Lepen, cepat atau lambat padukuhan Klangon akan diratakan

dengan tanah oleh prajurit prajurit Mataram!”

Sesorah Ki Rangga yang panjang lebar itu sedikit banyak telah

mempengaruhi ketahanan jiwani para kawula padukuhan

72

Page 76: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

Klangon. Untuk beberapa saat mereka hanya saling pandang satu

sama lainnya. Tidak tahu harus berbuat apa.

Dalam pada itu Ki Gede yang telah memasuki gandhok terkejut

bukan alang kepalang ketika dia melangkah masuk, dari sebuah

pintu bilik yang terbuka sejengkal dia melihat wajah yang sudah

tidak asing baginya, Ki Waskita.

Dengan cepat Ki Waskita segera memberi isyarat kepada Ki Gede

untuk membawa Ratri masuk.

Dengan cepat Ki Gede segera memasuki bilik dan membaringkan

Ratri di sebuah amben. Ketika Ki Gede akan membuka suara, Ki

Waskita segera memberi isyarat dengan meletakkan jari

telunjuknya di bibir. Kemudian Ki Waskita pun memberi isyarat

Ki Gede untuk segera kembali agar tidak menumbuhkan

kecurigaan.

AgaknyaKi Gede tanggap dengan maksud Ki Waskita. Pemimpin

perdikan Matesih itu pun segera meninggalkan tempat itu tanpa

mengetahui bahwa salah satu bebahunya, Ki Kamituwa juga

sedang berada di gandhok itu akan tetapi sedang berada di ujung

yang lain.

Sepeninggal Ki Gede, Ki Waskita segera menyelarak pintu bilik.

Setelah dirasa aman, Ki Waskita pun segera berdiri tegak sambil

menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Ki Waskita segera

mengirim aji pameling kepada Ki Rangga tentang kehadiran Ki

Waskita dan kawan kawan.

Dalam pada itu, begitu melihat Ki Gede keluar dari gandhok

kanan, Kiai Singo Barong segera tertawa dan berpaling ke arah Ki

Rangga. Katanya kemudian, “Ki Rangga, kami semua menyadari

dengan sesadar sadarnya bahwa Ki Rangga adalah suruhan orang

73

Page 77: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

Sela yang penuh tipu muslihat itu. Kami tahu Ki Rangga adalah

prajurit Mataram. Namun kami juga sadar sesadar sadarnya

bahwa sekarang ini Ki Patih mungkin sedang menyantap sarapan

pagi di istananya. Para prajurit segelar sepapan yang akan

meluluh lantakkan padukuhan Klangon ini mungkin juga masih

sedang tidur tiduran di barak mereka,” Kiai Singo Barong berhenti

sebentar. Kemudian sambil berteriak lantang dia berkata, “Apa

peduli kita dengan prajurit Mataram yang segelar sepapan? He?

Apa peduli kita? Setelah menghabisi rombongan ini, kita segera

bersiap menyusun kekuatan untuk menghadapi prajurit Mataram,

itu jika peristiwa yang terjadi di halaman ini bocor dan terdengar

di telinga orang Sela itu. Jika tidak, maka kisah hilangnya Ki

Rangga Agung Sedayu sebagai Agul Agulnya Mataram, Senapati

pasukan khusus Mataram yang berkedudukan di Menoreh, murid

utama perguruan bercambuk dan entah gelar apa lagi yang di

sandangnya, tidak akan pernah terungkap dan prajurit Mataram

segelar sepapan yang ditakutkan itu tidak akan pernah sampai di

padukuhan ini.”

Kembali suasana menjadi sunyi. Semua orang mencoba untuk

mencerna setiap kata yang terucap dari pemimpin perguruan

Singo Barong itu.

Tiba tiba suasana yang sunyi itu dipecahkan oleh suara tawa Ki

Rangga. Suara tawa yang terdengar sekilas saja namun telah

menarik perhatian semua orang.

“Apa lagi yang akan dilakukan orang ini?” geram Kiai Singo

Barong dalam hati sambil memandang ke arah Ki Rangga yang

kembali mengacungkan lencana khusus sebagai pertanda utusan

resmi dari Mataram.

“Aku dibekali lencana khusus ini tidaklah sia sia,” berkata Ki

Rangga kemudian dengan suara tak kalah lantangnya, “Aku telah

74

Page 78: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

dipercaya sebagai duta pamungkas. Artinya, jika aku tidak

berhasil menghancurkan perguruan Sapta Dhahana dengan

bekerja sama menggunakan kekuatan perdikan Matesih, aku juga

diperkenankan menggunakan kekuatan prajurti segelar sepapan

yang sekarang sudah berada di balik dinding padukuhan Klangon.

Mereka tinggal menunggu isyarat dariku, maka prajurit segelar

sepapan akan datang dan meluluh lantakkan padukuhan ini.”

“Omong kosong!” bentak Kiai Singo Barong menggelegar, “Aku

bukan anak kemarin sore yang dapat engkau takut takuti dengan

cerita hantu hantuan atau apapun sejenis itu. Tekat kami telah

bulat untuk menghapus siapapun yang merintangi cita cita luhur

Trah Sekar Seda Lepen!”

Dalam pada itu Ki Gede yang telah melangkah kembali ke dalam

lingkaran kepungan itu segera berdiri di dekat Ki Bango Lamatan.

Ketika orang yang pernah menjadi kepercayaan Panembahan

Cahya Warastra itu berpaling sekilas kearah Ki Gede, Ki Gede pun

telah tersenyum walaupun hanya terlihat di ujung bibirnya.

Agaknya Ki Bango Lamatan tanggap. Maka dia pun segera kembali

ke sikapnya semula, berdiri diam dengan kedua tangan bersilang

di depan dada.

Dalam pada itu, Ki Rangga yang telah mendapat bisikan aji

pameling dari Ki Waskita segera mundur selangkah. Setelah

memasukkan kembali lencana itu ke kantung ikat pinggangnya,

tangan kanannya segera meraba lambung. Sejenak kemudian

sebuah cambuk berjuntai panjang telah tergenggam di tangan

kanannya. Orang orang pun menjadi bertanya tanya apa yang

akan di lakukan oleh Ki Rangga kemudian.

“Nah,” berkata Ki Rangga kemudian sambil mengangkat cambuk

di tangan kanannya, “Jika kalian tidak percaya, akan aku

75

Page 79: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

buktikan. Dengan isyarat ledakkan cambukku ini, pasukan

berkuda prajurit Mataram segelar sepapan akan segera hadir di

tempat ini.”

Selesai berkata demikian, tanpa menunggu waktu Ki Rangga

segera memutar cambuknya di atas kepala. Sejenak kemudian

dengan sebuah hentakan sendal pancing, ujung cambuk di tangan

Ki Rangga pun menggeliat dan meledak. Suaranya begitu

bergemuruh sehingga telah membuat orang orang di sekitaranya

menyumbat telinga mereka.

Namun ternyata Kiai Singo Barong dan ketiga murid utamanya

justru telah tertawa berkepanjangan. Berkata Kiai Singo Barong

kemudian, “Luar biasa Ki Rangga. Sebuah pertunjukan yang dapat

membuat orang orang yang berhati pengecut terdiam. Namun

kami, perguruan Singo Barong tidak terkejut sama sekali. Itu

hanyalah pertunjukan para gembala di padang padang perdu

sambil menggembalakan ternak mereka.”

Ki Rangga tersenyum. Tidak tampak ketersinggungan sama sekali

di wajahnya. Sambil melilitkan cambuknya kembali di pingangnya

dia menjawab, “Terima kasih atas pujiannya, Kiai. Namun tujuan

sebenarnya bukan untuk membuat pengeram eram. Tujuanku

adalah memanggil pasukan berkuda Mataram segelar sepapan

yang sedang berada di perbatasan padukuhan Klangon.”

“Omong kosong!” kembali Kiai Singo Barong membentak keras.

Namun keningnya menjadi berkerut merut ketika lamat lamat dia

mendengar suara bergemuruh disertai dengan bumi yang

dipijaknya bergetar.

Orang orang yang berada di halaman rumah Ki Dukuh itu pun

menjadi ribut dan gelisah. Dengan sangat jelasnya suara

bergemuruh itu semakin mendekat dan mereka menyadari bahwa

76

Page 80: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

itu adalah suara derap pasukan berkuda yang sedang dipacu

dengan kencangnya.

Ki Bango Lamatan yang hanya berdiam diri itu sekilas berpaling

ke arah Ki Rangga. Ketika perhatian Kiai Singo Barong sedang

tertumpah pada derap kaki kaki kuda itu, Ki Rangga pun segera

memberi isyarat kepada Ki Bango Lamatan dengan menggerakkan

kaki kanannya menghentak ke tanah.

Agaknya Ki Bango Lamatan tanggap. Dengan tanpa menarik

perhatian, dia pun mengikuti Ki Rangga menghentak hentakkan

kakinya ke tanah dengan dilambari tenaga cadangan yang sangat

dahsyat.

Akibatnya memang luar biasa. Tanah di halaman Ki Dukuh itu

pun bagaikan dilanda gempa bumi. Sementara suara derap

pasukan berkuda itu terdengar semakin keras ditingkah bumi

yang terus bergetar keras.

Kiai Singo Barong dan ketiga murid utamanya itu sebenarnya

tidak akan dengan mudah dikelabuhi oleh permainan Ki Rangga

itu. Namun mereka berempat menjadi bimbang. Suara gemuruh

itu hanyalah sebuah permainan semu bagi mereka. Namun tanah

yang bergetar yang pengaruhnya sampai di halaman rumah Ki

Dukuh itu nyata adanya. Sejenak guru dan murid itu saling

berpandangan, mereka belum dapat menyimpulkan apa

sebenarnya yang telah terjadi.

“Suara gemuruh derap kaki kaki kuda itu hanyalah permainan

semu belaka,” berkata Kiai Singo Barong dalam hati sambil

mempertajam panggraitanya, “Namun mengapa getaran yang

ditimbulkan oleh derap kaki kaki kuda itu benar benar nyata? Aku

merasakan getaran tanah di bawah telapak kakiku. Benar benar

sebuah getaran yang nyata.”

77

Page 81: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

Dalam pada itu para pengawal serta orang orang padukuhan

Klangon yang mendukung Trah Sekar Seda Lepen itu menjadi

pucat. Tingkatan ilmu mereka belum dapat membedakan antara

peristiwa semu dan yang sesungguhnya. Hati mereka benar benar

tinggal semenir mendengar derap kaki kaki kuda yang semakin

dekat.

Tak lama kemudian, satu persatu tampak para prajurit Mataram

lengkap dengan rontek dan umbul umbul memasuki regol rumah

Ki Dukuh yang tinggi. Bagaikan air bah pasukan berkuda itu

memasuki halaman yang luas dan kemudian mengepung orang

orang yang berada di dalamnya dari segala penjuru.

Ki Bango Lamatan yang telah menghentikan hentakan kakinya itu

menarik nafas dalam dalam. Dia segera menyadari bahwa semua

itu pasti permainan semu Ki Waskita. Orang yang pernah menjadi

kepercayaan Panembahan Cahya Warastra itu segera teringat

peristiwa di tepian kali Krasak beberapa saat yang lalu.

“Ini pasti pekerjaannya Ki Waskita,” membatin Ki Bango Lamatan

kemudian sambil mengingat ingat senyum Ki Gede sekembalinya

ayah Ratri itu dari gandhok, “Syukurlah jika memang benar Ki

Waskita telah hadir di gandhok dan menunggui Ratri. Memang Ki

Waskita sangat pintar membuat orang kebingungan. Tetapi Ki

Rangga menurutku benar benar seorang pemimpin yang berotak

cerdas. Ki Rangga berhasil mengambil kesempatan di saat orang

orang yang berilmu itu baru mulai menyadari apa yang sedang

terjadi. Pengamatan mereka yang tumpang tindih antara peristiwa

semu dan kenyataan yang sebenarnya mereka rasakan, telah

mengacaukan penalaran mereka.”

Sedangkan Ki Gede Matesih yang juga dapat mengenali peristiwa

semu itu pun juga menjadi ragu ragu ketika dia merasakan

getaran yang nyata di bawah kedua telapak kakinya.

78

Page 82: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

“Nah, atas nama Mataram, aku perintahkan kalian untuk

menyerah!” teriak Ki Rangga kemudian sambil memandang ke

arah para pengawal Klangon dan orang orang yang mendukung

Trah Sekar Seda Lepen itu.

“Jangan percaya!” tiba tiba Kiai Singo Barong menyela dengan

suara tak kalah lantangnya, “Tidak ada prajurit Mataram di

halaman ini. Semua ini hanyalah permainan semu. Permainan

memuakkan yang diciptakan oleh Ki Rangga atau siapapun di

antara mereka, “ Kiai Singo Barong berhenti sejenak untuk

melihat pengaruh ucapannya. Ketika tanpa disadarinya

pandangan matanya melihat seseorang yang berdiri di sebelah Ki

Gede Matesih, jantungnya pun berdesir tajam.

“Gila!” geram Kiai Singo Barong kemudian dalam hati, “Orang itu

sedari tadi telah luput dari pengamatanku. Sikapnya yang tenang

dan acuh itu ternyata telah mengelabuhi pengamatanku.”

Untuk sejenak pemimpin perguruan Singo Barong itu menjadi

ragu ragu. Dipandanginya Ki Bango Lamatan yang berdiri di

sebelah Ki Gede dalam sikap yang mendebarkan, berdiri tegak

dengan kaki renggang dan kedua tangan bersilang di dada.

Namun tampaknya Kiai Singo Barong memutuskan untuk

menunda pengamatannya terhadap Ki Bango Lamatan dan ingin

menunjukkan sesuatu. Maka lanjutnya, “Akan aku buktikan

bahwa semua kuda kuda dan penunggangnya itu memang tidak

ada. Otak kalian sajalah yang telah diracuni dengan permainan

semu ini.”

Selesai berkata demikian Kiai Singo Barong segera melangkah ke

samping, mendekati seorang prajurit yang sedang duduk dengan

garangnya di atas punggung kudanya. Semua mata pun tertuju ke

arahnya.

79

Page 83: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2020. 6. 19. · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 20 OLEH PaneMbahan Mandaraka Gambar sampul & Gambar dalam ... menjadi bulan bulanan pasukan

Dada Ki Rangga pun berdesir tajam. Jika Kiai Singo Barong dapat

membuktikan bahwa yang mereka lihat itu hanyalah bayangan

semu belaka, untuk bisa keluar dari halaman itu dengan selamat,

tentu harus banyak menjatuhkan korban, dan itu tidak

dikehendaki oleh Ki Rangga. Maka tidak ada jalan lain bagi Ki

Rangga kecuali menggagalkan usaha Kiai Singo Barong itu dari

tempatnya berdiri.

Demikianlah akhirnya, tanpa menimbulkan kecurigaan dan

menarik perhatian orang orang yang berdiri di sekelilingnya, Ki

Rangga pun segera menyilangkan kedua tangannya di depan dada

sambil menundukkan kepalanya dalam dalam.

-------------------0O0-------------------

Bersambung ke jilid 21

80