sejarah ringkas tanah papua mulai dari penemuan hingga penjajahan dan perjuangan merdeka -...
DESCRIPTION
Catatan singkat dengan judul SEJARAH RINGKAS PAPUA BARAT ini kami kemas dalam tiga bagian penting yaitu, pertama. penemuan pulau papua hingga diberikan nama dan sketsa peta awal. kedua, peradaban dan ketiga penjajahan dan perjuangan untuk merdekaTRANSCRIPT
SEJARAH RINGKAS TANAH PAPUA
Oleh : Frank Hamah Sagrim
Sekjend LITP
A. SEJARAH PAPUA
1. Sejarah Penemuan Pulau Papua
ari sekian tatanan sumber daya hutan adat Papua, salah satu sumber
penghasilannya adalah sebagai penghasil rempah-rempah yang cukup terkenal
pada 1521 yang merupakan cikal bakal penemuan pulau Papua oleh maritim
Spanyol dan Portugis, yaitu rempah-rempah yang disebut dengan nama ‘Buah
Pala’ dan juga bulu burung sebagai hiasan yang diperoleh dari burung Cenderawasih.
Sejarah penemuan pulau Papua
sebenarnya tercatat sebagai bagian
dari wilayah perburuan rempah-
rempah yang dilakukan oleh bangsa
Spanyol dan Portugis. Sebagaimana
yang dicatat bahwa pada awal abad
ke-16 negara-negara Eropa mulai
dalam bidang penemuan maritim
semakin relatif. Spanyol juga terlibat
dalam sebuah pergerakan
kebangkitan, terutama bidang
maritim dan mengetahui banyak tempat-tempat harta karun, termasuk Pulau Papua. Portugis
telah mengibarkan benderanya di Papua dengan penjelajahan menggunakan kapal layar yang
sering disebut-sebut sebagai Portuguese fleet.
Pada abad ini, bangsa Spanyol sudah terlalu jauh terlibat dalam sebuah pergerakan
kebangkitan maritim dan telah berhasil berlayar mengelilingi samudra raya dan mengetahui
banyak tempat penghasil harta kekayaan seperti juga pulau Papua sebagai salah satu kepulauan
penghasil rempah-rempah dan bulu burung yang diperoleh dari hutan adat. Pada abad ini, Inggris
belum meluncurkan angkatan lautnya, sementara itu, Belanda juga belum mendirikan armada
D
Gambar: Kapal layar Portugis “ Portuguese Fleet” abad-16
angkatan lautnya, sedangkan Portugis sudah lama melakukan perjalanan maritim dan telah
menguburkan Raja mereka – Cucu besar Edward III di Inggris – melalui sebuah perusahaan yang
telah mengangkat nama “Henry sebagai sang Navigator”.
Perjalanan berlayar yang dilakukan oleh maritim Spanyol pada mulanya mereka secara
perlahan-lahan berlayar dengan menggunakan kapal layar dan mereka menyusuri pantai barat
Afrika, sedikit demi sedikit satu kapten
telah melanggar jarak ketentuan batas
yang dilalui oleh pendahulunya,
sampai akhirnya pada tahun 1497,
mereka berhasil mengelilingi Cape
wilayah Afrika selatan benua tersebut
itu. Selanjutnya Portugal secara berani
dan terang-terangan melewati batasan
yang lebih jauh dari ribuan mil dan
menapaki bentang luas perairan di
wilayah timur, dan mulai menancapkan bendera di berbagai pelabuhan di samudera Hindia,
sebagaimana dilukiskan dalam peta ‘desliens’. (Lihat peta dunia ‘Desliens’- 1566). Karena
Portugis merasa mampu menjelajahi dan telah menancapkan benderanya di berbagai benua
sehingga hal itu mendorong keinginan mereka untuk berlayar lebih jauh ke Timur untuk mencari
kepulauan rempah-rempah. Mereka lalu menemukan Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa,
Timor-Timor, Seram, Kepulauan Aru, dan Gilolo (Papua), mereka lalu mencapai maluku yang
telah didambakan, terkenal dan banyak memiliki rempah-rempah atau disebut dengan julukan
‘Spice Island’ dan akhirnya Portugis bekerja dan membangun benteng dan mendirikan stasiun
perdagangan dengan cara yang sama seperti yang dilakukan oleh Inggris di Afrika selatan dan
ditempat lainnya.1
Sementara itu, setelah penemuan benua Amerika oleh Christopher Colombus, orang-orang
Spanyol mulai mencari pelabuhan atau navigasi baru bagi mereka dengan mengekspansi ke arah
1 Dalam grafik dari Kepulauan India Timur, mungkin diambil selama pelayaran pertama Portugis ke Kepulauan
Rempah (1511-1513), pulau Gilolo disebut Papoia. Banyak pulau-pulau yang terletak di pantai barat dan utara-barat dari New Guinea telah di ketahui oleh Portugis pada tanggal awal, dan diberi nama OS PAPUAS kolektif. Nama itu kemudian diberikan kepada bagian barat New Guinea. Menezes, seorang navigator Portugis, dikatakan telah terhempas oleh pukulan ombak dan badai dan terdampar di beberapa pulau, di mana ia tetap menunggu perubahan cuaca, cuaca mulai membaik untuk kembali berlayar.
Gambar : Peta dunia ‘Desliens’ – 1566
batas-batas Portugis dan Spanyol. Namun kemudian Paus Alexsander VI dari Portugis, lalu
bermurah hati menganugerahkan satu setengah dari dunia yang bel
kepada Spanyol, dan setengah lainnya milik Portugis.
hidupnya.
Pentingnya mengetahuia batas
hanya ditentukan secara komunal. Persoalan batas inilah yang membuat Port
bersengketa. Ini diakibatkan karena ukuran bumi yang sebenarnya tidak diketahui pada saat itu,
dan pembagian bumi oleh Paus Alexander ini di ukur dari sisi lain menurut wawasannya,
sehingga mengakibatkan tumpang tindih dan duplikasi memeta
Spanyol di longitudes dari Spices Island (lihat peta ribero), karena tumpang tindih inilah maka
tak diragukan lagi jikalau terjadi persengketaan antara kedua pihak terutama untuk memenuhi
Gambar: Magellan (seorang maritim spanyol)
The Spice Islands, dari Ribero Peta Resmi Dunia
barat dengan sasaran utama pada objek pencarian yang sama,
namun mereka menjadi sadar bahwa mereka telah berlayar
begitu jauh dari sasaran utama mereka disekitar Amerika dan
akhirnya dipisahkan oleh samudera yang luas dengan pulau
pulau yang telah ditemukan oleh Portugis.
Magellan kemudian ditetapkan dan ditunjuk dalam misi
untuk pencarian rempah-rempah ke bagian barat, Magellan
kemudian tiba di daerah-daerah dimana Portugis telah mendirikan
armadanya di daratan, sehingga timbullah sengketa mengenai
batas Portugis dan Spanyol. Namun kemudian Paus Alexsander VI dari Portugis, lalu
bermurah hati menganugerahkan satu setengah dari dunia yang belum ditemukan oleh Portugis
kepada Spanyol, dan setengah lainnya milik Portugis.
Sebagai bukti sejarah memang ini
sangat penting dan menarik, namun
secara hakiki, kita mesti melihat kembali
pada pulau-pulau tersebut dan siapa
penghuninya dan hak
pulau tersebut sebagai hak utama
mereka ketika mereka telah mampu dan
mengerti, maka dengan sendirinya
wilayah teritory mereka akan
dikelolanya sebagai surga dalam
Pentingnya mengetahuia batas-batas dalam hak ulayat adat sangat penting, walaupun itu
hanya ditentukan secara komunal. Persoalan batas inilah yang membuat Port
bersengketa. Ini diakibatkan karena ukuran bumi yang sebenarnya tidak diketahui pada saat itu,
dan pembagian bumi oleh Paus Alexander ini di ukur dari sisi lain menurut wawasannya,
sehingga mengakibatkan tumpang tindih dan duplikasi memetakan batas
Spanyol di longitudes dari Spices Island (lihat peta ribero), karena tumpang tindih inilah maka
tak diragukan lagi jikalau terjadi persengketaan antara kedua pihak terutama untuk memenuhi
The Spice Islands, dari Ribero Peta Resmi Dunia – 1529
barat dengan sasaran utama pada objek pencarian yang sama,
namun mereka menjadi sadar bahwa mereka telah berlayar
begitu jauh dari sasaran utama mereka disekitar Amerika dan
oleh samudera yang luas dengan pulau-
pulau yang telah ditemukan oleh Portugis.
Magellan kemudian ditetapkan dan ditunjuk dalam misi
rempah ke bagian barat, Magellan
daerah dimana Portugis telah mendirikan
armadanya di daratan, sehingga timbullah sengketa mengenai
batas Portugis dan Spanyol. Namun kemudian Paus Alexsander VI dari Portugis, lalu
um ditemukan oleh Portugis
Sebagai bukti sejarah memang ini
sangat penting dan menarik, namun
secara hakiki, kita mesti melihat kembali
pulau tersebut dan siapa
penghuninya dan hak-hak penghuni
pulau tersebut sebagai hak utama
mereka ketika mereka telah mampu dan
, maka dengan sendirinya
wilayah teritory mereka akan
dikelolanya sebagai surga dalam
batas dalam hak ulayat adat sangat penting, walaupun itu
hanya ditentukan secara komunal. Persoalan batas inilah yang membuat Portugis dan Spanyol
bersengketa. Ini diakibatkan karena ukuran bumi yang sebenarnya tidak diketahui pada saat itu,
dan pembagian bumi oleh Paus Alexander ini di ukur dari sisi lain menurut wawasannya,
kan batas-batas Portugis dan
Spanyol di longitudes dari Spices Island (lihat peta ribero), karena tumpang tindih inilah maka
tak diragukan lagi jikalau terjadi persengketaan antara kedua pihak terutama untuk memenuhi
keinginan masing-masing pihak dalam bersaing untuk menyertakan “The Spice Islands” dalam
belahan bumi tersendiri, terutama dimuat dalam sketsa daerah kekuasaan masing-masing.
Sebelum tahun 1529, ketika peta Ribero dibuat, Spanyol telah berlayar sepanjang 250 mil
dari pantai utara pulau Papua. Orang-orang Spanyol menemukan jejak emas di sepanjang bagian
negeri Papua, selain itu Saavendra (Kapten dari Santiago) juga menamakan negeri Papua dengan
sebutan negeri emas hijau green gold karena hutannya begitu indah dan elok hijau membentangi
sepanjang garis pantai pulau Papua. Setelah itu, Saavendra memberikan nama pulau Papua
dengan sebutan “Isla Del Oro” atau Pulau Emas. Namun digantikan dengan sebutan nama Nova
Guinea, atau New Guinea, karena masyarakat asli yang ditemukan berkulit hitam, dengan rambut
criped pendek atau wol, mirib dengan masyarakat di pantai Guinea di Afrika sehingga namanya
diganti dengan Nova Guinea.
2. Peta Papua “New Guinea” Pertama
Pada tahun 1545 Inigo Ortiz de Retez
memerintahkan San Juan untuk berlayar ke
New Guinea (Papua). Mereka berlayar dari
Tidore di Maluku, pada awal tahun dan
membuat penemuan yang luas di pantai
utara Os Papuas, atau Papua New Guinea.
Kemudian Bangsa Portugis dan Bangsa
Spanyol menggambar peta NEW GUINEA
(peta Papua) untuk pertama kalinya
sehingga dikembangkan secara sempurna
oleh Hindia Belanda, Amerika dan Jepang
lebih menyempurnakannya seperti yang kita
ketahui sekarang ini. Pada awalnya, Portugis
dan Spanyol menggambarkannya sebagai
unggas Guinea, Cenderawasih, sebagaimana
pada gambar. Peta Guinea Nova ini bahwa
ide atau wawasan mereka tentang bentuknya
Pulau itu belum sempurna namun sudah
tergolong benar. Pada waktu itu ada gagasan asli tentang bentuk suatu negara Papua namun
Gambar: Kapal layar Bangsa Spanyol
Gambar: Peta Pulau Papua pertama, di sketsa oleh bangsa Portugis dan Spanyol pada abad ke-15
belum sesuai. Namun demikian, beberapa fitur utama penemuan dari Bangsa Portugis dan
Bangsa Spanyol di Papua dan New Guinea sampai dengan tahun 1545, hingga sekarang masih
rabun bagi sebagian sejarawan.
Sekarang kita akan melihat bersama
bahwa gilolo (Papua) ditempatkan pada
posisi yang sebenarnya, dua puluh derajat
kebarat dimana ia ditempatkan sebelum
dipeta “Ribero’s”. Sekarang peta-peta yang
didalam lingkup Portugis itu dimulai dari
mana seharusnya titik awal digambarkan?
Penemuan New Guinea oleh Bangsa Portugis
sebenarnya digambar sebagai kepala dan
leher unggas. Mereka datang atas nama OS
PAPUAS, dan pulau-pulau Menezes yang dikatakan oleh Lewi – HIC Hibernavit Georg de
Menezes – pada tahun 1526.
Ada tiga pulau besar tanpa nama, antara Os Papuas dan Nova Guinea yang diwakilinya dan
ini dibenarkan karena setelah dibandingkan maka pulau itulah yang disebut dengan kepulauan
Misory dan Jobe dari data peta moderen.
Pada waktu itu, kepulauan Aru juga dipetakan oleh bangsa Portugis dan Spanyol dan
tanimbar (tenimber) atau Kepulauan Timur juga dicantumkan dalam peta (meskipun tidak diberi
nama) sebagai pemukiman Martin Alfonso de Melo. 2
Ada beberapa kontroversi sekitar sejarah penemuan pulau New Guinea dan Australia, oleh
Eropa. Namun dari berbagai ahli sejarah berpendapat bahwa ini adalah campuran seni dengan
sejarah Untuk perspektif lain tentang sejarah tersebut. Pembaca disarankan untuk
mempertimbangkan teks yang lebih baru serta yang lain dari periode yang sudah online seperti
Sejarah Singkat Australia oleh Ernst Scott (tersedia melalui Perpustakaan Nalanda di Institut
Teknologi Nasional Kalkuta, Negara Kerala, India).
2 Dokumen-dokumen asli Portugis dan Spanyol yang digunakan dalam penyusunan peta ini telah
hilang,Peta-peta diatas disalin dari dokumen-dokumen yang berasal dari tahun 1600. Martin Alfonso de melo, adalah Seorang navigator Portugis , yang namanya belum dinyatakan atau belum dicatat dalam sejarah maritim portugis, sejauh yang saya tahu, dalam sejarah penemuan maritim di daerah Papua.
Gambar: Nova Guinea – Peta Pertama New Guinea
– Tahun 1600
Pola hunian masyarakat adat New Guinea abad-15 sebagaimana yang telah di sketsa oleh
maritim Portugis dan Spanyol adalah mereka berkelompok dan membentuk pola hunian dengan
mendirikan perumahan diatas panggung
berjejer sepanjang tepi sungai dan lereng
perbukitan. Pola hunian mereka berdasar
atas keluarga inti dan kerabat dekat yang
mana garis kekerabatannya didasarkan
atas keturunan patirilineal dan kerabat
dari garis keturunan matrilineal.
Demikian bahwa pola hunian demikian
sebagaimana pada gambar. Ada ceritera
tua yang mengatakan bahwa sistem perkumpulan semacam ini telah ada semenjak masyarakat
adat Papua New Guinea menyadari akan kebergantungan hidup antar satu dengan yang lain.
3. Sejarah Politik Papua
a. Papua dalam Penjajahan
Secara internasional persoalan Papua menjadi suatu sorotan utama, walaupun secara nasional
Indonesia mengatakan bahwa persoalan Papua adalah persoalan Indoensia, Oleh karena
demikian, maka orang Papua pun berusaha menyuarakan hak-haknya kepada dunia, dan
berusaha untuk berbicara dengan Indonesia melalui perundingan damai, dan Dialog damai agar
tercapai adanya suatu kepuasan politik dan kesejahteraan bagi rakya Papua.
Papua dalam sejarah-Pemerintah Belanda dan Inggris memasuki tanah Papua dan
memberi nama baru “New Guinea dan kemudian disebut Papua New Guinea”. Kedua negara
kerajaan itu membagai Papua menjadi West Papua New Guine dan East Papua New Guine. West
Papua New Guinea dikuasai pemerintah kerajaan Belanda dan East Papua New Guinea dikuasai
oleh pemerintahan kerajaan Inggris dan Jerman.
Papua Timur membentuk negara berdaulat dengan nama Papua New Guinea. Cakupan
wilayahnya mulai dari Western Province dan Sundown Province sampai Samarai dan kepulaun
Manus, Rabaul, Bougenville dan sekitarnya. Sedangkan Papua Barat menjadi bagian dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia melalui PEPERA 1969, yang secara hukum internasional telah
terjadi banyak kesalahan oleh Indonesia, Belanda, Amerika Serikat dan PBB. Wilayahnya
meliputi Raja Ampat sampai Merauke.
Gambar: Pola Hunian masyarakat adat New Guinea
Keberadaan pemerintah Belanda di Papua Barat telah berhasil membangun manusia
Papua melalui pendidikan dan penyebaran Injil. Bidang pembangunan yang sangat menonjol
adalah perluasan wilayah administratif pemerintahan. George Junus Aditjondro (2000: xx),
pemerintah Belanda mengadakan perubahan dalam pembagian wilayah pemerintahan daerah
yang dipimpin oleh Gubernur Van Waardenburg pada tahun 1961. Pembagian daerah ini dikutip
dari Rapport inzake Nederlands-Nieuw Guiena over hat jaar tahun 1961, terdapat pada tabel
berkut. Lanjutan sejarah
Tabel 1. Afdeling dan ibukota dengan wilayahnya
Urutan Afdeling
Wilayah Afdeling
Ibu Kota Afdeeling
Jumlah Afdeeling dan Ibukota
I
Afdeeling Holandia
Hollandia
Onerdafdeeling Hollandia dengan ibukota Hollandia Onderafdeeling Nimboran dengan ibukota Genyem Onderafdeeling Sarmi dengan ibukota Sarmi Onderafdeeling Keerom dengan ibukota Ubrub Ost-Bergland dengan ibukota Wamena (Daerah Penjajakan)
II
Afdeeling Geelvinkbaai
Biak
Onderafdeeling Schouten-Eilanden dengan ibukota Biak Onderafdeeling Yepen/Waropen dengan ibukota Serui
III
Afdeeling Cenreaal Niew Guinea
Dalam penjajakan (Enarotali)
Onderafdeeling Paniai dengan ibukota Enarotali Onderafdeeling Tigi dengan ibukota Waghete Onderafdeeling Bidden-Bergland (Daerah Penjajakan) West-Bergland (Daerah Penjajakan)
IV
Afdeeling Zued Nieuw Guinea
Merauke
Onderafdeeling Merauke ibu kota Merauke Onderafdeeling Mappi ibu kota Mappi Onderafdeeling Boven Digul dengan ibu kota Tanah Merah Onderafdeeling Asmat dengan ibu kota Agats Onderafdeeling Muyu dengan ibu kota Mindiptana
V
Afdeeling Fak-Fak
Fak-Fak
Oderafdeeling Fak-Fak dengan ibu kota Fak – Fak Onderafdeeling Kaimana dengan ibu kota Kaimana Onderafdeeling Mimika dengan ibu kota Kokonao
VI
Afdeeling West-Nieuw Guinea
Manokwari
Onderafdeeling Sorong dengan ibu kota Sorong Onderafdeeling Raja Ampat dengan ibu kota Doom Onderafdeeling Manokwari dengan ibu kota Manokwari Onderafdeeling Ransiki dengan ibu kota Ransiki Onderafdeeling Teminabuan dengan ibu kota Teminabuan Onderafdeeling Bintuni dengan ibu kota Steenkool
Tindakan perluasan wilayah administratif pemerintahan Belanda disertai pembangunan
unit-unit pendidikan berpola asrama secara terpadu antara lain: sekolah pamong praja di
Jayapura dan Merauke, sekolah pendidikan guru di Fak-Fak dan Kokonao, sekolah pertanian di
Paniai dan Fak-Fak dan sebagainya. Tujuannya adalah mempersiapkan orang Papua agar mampu
menghadapi perubahan-perubahan perkembangan jaman. Pemerintah Belanda memandang
pendidikan sebagai alat utama pembebasan suku bangsa di Papua barat dari kebodohan dan
kemiskinan akan pengetahuan secara modern. Agar harus terjadi enkulturasi nilai-nilai positif
yang dimiliki masing-masing suku Papua dan mengadaptasikannya dengan budaya-budaya
modern. Penerapan sistem dan model pengembangan pendidikan ini memang disesuaikan
dengan karakteristik suku bangsa Papua, sehingga sangat mudah dalam pengembangan misi
agama dan pendidikan.
Dua misi besar yang dilaksanakan pemerintah Belanda yaitu pembangunan pendidikan
berpola asrama dan pengembangan misi pekabaran Injil. Salah seorang ahli teologi
berkebangsaan Belanda yang menginjakan kaki pertama kalinya di tanah Papua barat dan
mengatakan “Di atas batu ini saya meletakkan peradaban orang Papua, sekalipun orang
memiliki kepandaian tinggi, akal budi dan marifat tetapi tidak dapat memimpin bangsa
ini. Bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri” (Wasior, Manokwari, 25
Oktober 1925, Pdt. I.S. Kinzje). Ungkapan tersebut mau mengatakan bahwa pertama, manusia
Papua itu sungguh ada untuk mengadakan kehidupan di atas tanah Papua sebagai pengewantahan
Yang Maha Pencita langit dan bumi serta segala isinya. Kedua, martabat manusia Papua harus
dihargai sebagaimana telah tertuang di dalam Alkitab yang diimaninya dan nilai-nilai universal
manusia. Ketiga, manusia Papua suatu kelak pasti maju seperti suku bangsa lain di dunia,
sehingga harus perlu dicerdaskan berdasarkan realitasnya dengan penghayatan nilai- nilai
Kristiani dan dengan penyelenggaraan pendidikan yang sungguh memerdekakan suku bangsa
Papua.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi yang semakin maju dan canggih
beberapa tahun terakhir telah mendorong orang Papua berkembang lebih maju dari keadaan
sebelumnya, dari belum tahu menjadi tahu dan dari tidak bisa menjadi bisa. Kemajuan yang
dicapai selama 50 tahun baru sekitar 0,5% dan merupakan babak baru bagi suku bangsa Papua.
Ungkapan Kinzje sudah mulai dialami oleh masyarakat pribumi Papua pada akhir-akhir ini.
Pengalaman empiris menunjukkan bahwa dalam berbagai aspek pembangunan yang
mensejahterakan manusia masyarakat Papua sejak 1969-2012 tidak menunjukkan proporsi yang
signifikan, tidak ada keberpihakan yang berarti bagi keberlangsungan hidup orang Papua.
Konsep pembangunan manusia Indonesia belum sungguh teraktualisasi lewat satuan-satuan
pemerintahan yang ada.
b. Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA 1969)
PEPERA lahir dengan mengikuti pergolakan politik dunia. Telah terbukti dalam sejarah
dunia secara umum dan secara khusus Papua Barat telah menjadi korban "PERANG DINGIN"
antara dua negara super power yakni USA dan Uni Soviet. Untuk “memperbesar serta
memperluas" wilayah kekuasaannya, maka USA telah memainkan dengan jeli, lihai dan penuh
tipu muslihatnya tanpa menghiraukan Bangsa Papua Barat sebagai pihak yang lebih berhak
dalam menentukan nasib mereka sendiri. PBB dan Belanda ibarat "KERBAU DICOCOK
LUBANG HIDUNG" dan Indonesia tertawa terbahak-bahak penuh kegirangan sebab Amerika
sebagai negara super power pada saat itu berpihak kepadanya. Rakyat Bangsa Papua dan Tanah
Papua yang kaya raya akan segala Sumber Daya Alam-nya, jatuh ke tangan Indonesia. Betapa
malangnya orang Papua Barat menjadi obyek yang diperlakukan semau mereka tanpa mengenal
belas kasihan dan nilai-nilai kemanusiaan, lebih ironisnya justru hal ini dilakukan oleh mereka
yang selalu menyombongkan dirinya dengan AZAS DEMOKRASI yang dibanggakan.
Persiapan-persiapan kemerdekaan Papua yang telah dipersiapkan oleh Belanda sebagai
negara penjajah pada saat itu dan disahkan pada tanggal 19-10-1961 hanya merupakan mimpi
indah sesaat saja dan sejarah kelabu bagi generasi penerus Bangsa Papua. Demi kepentingannya,
Amerika menekan Belanda keluar. Secara sepihak dibuat perjanjian antara mereka tanpa
melibatkan perwakilan Bangsa Papua dan disahkan dalam New York Agreement pada tanggal
15-08-1962 dan implementasinya pada PEPERA 1969 dengan isi perintahnya adalah one man
one vote tetapi kemudian telah terbukti adanya manipulasi kekuatan militer Indonesia.
Demi kepentingan pertahanan Indonesia, maka Indonesia yang baru saja merdeka akan
tapi telah mengincar Papua dan berhasil mengocok USA dengan menggunakan momentum
perang dingin dan meminta bantuan kepada Uni Soviet agar mendapat bantuan keamanan demi
merebut Papua. USA benar-benar kewalahan dan tanpa pikir panjang mendesak Belanda keluar
dari Papua demi membendung masuknya pengaruh KOMUNIS ke kawasan Pasifik. Dengan
demikian, dalam rangka mempertahankan eksistensi BLOK BARAT di kawasan Pasifik dan
membendung masuknya KOMUNIS ke wilayah tersebut, maka USA menggunakan BANGSA
dan TANAH PAPUA sebagai tameng dan jaminan.
Untuk kepentingan pembangunan Ekonomi negaranya, sejengkel tanah pun yang memiliki
kekayaan tersendiri sehingga terus dikuasainya. SDA yang sungguh luar biasa hebat dan
beraneka ragam ini telah menjadi incaran USA sejak awal dekade 60-an. Memang, Pulau New
Guinea sejak dahulu telah diketahui oleh negara-negara Barat bahwa deposit emas terbesar dunia
ada di Papua Barat bila dibandingkan dengan PNG yang terdapat 5:1 dengan PNG. Jadi, 5
bagian deposit emas Pulau New Guinea berada di Papua Barat. Untuk itulah Amerika berusaha
mendesak Belanda keluar dari tanah Papua dan "menyuruh" Indonesia menggantikan posisi
Belanda. Bagi Indonesia, hal ini benar-benar membahagiakannya tapi bagi Belanda kejadian ini
adalah "SEJARAH KELAM" yang sering mereka sebut sebagai "ZWART GESCHIEDENIS"
dan ini adalah salah satu penyebab masalah di mana Belanda berusaha melupakan Papua selama
beberapa dekade demi meredam ''sakit hatinya" itu. Salah satu proyek terbesar dunia yang
menjadi pemicu masalah pelanggaran HAM di Papua adalah Freeport Mc.Moran Copper & Gold
Inco beroperasi di Grasberg, di mana 67% saham milik Freeport, Rio Tinto Group (Inggris dan
Australia) memiliki 13% serta Pemerintah Indonesia mendapat 9,3% dan PT Indocopper
Investama Corporation memiliki 9%. Sudah sangat jelas bahwa Bangsa Papua secara umum dan
pemilik ulayat secara khusus sama sekali tidak diperhitungkan dalam hal ini. Semua demi
kepentingan ekonomi negara-negara dan bangsa-bangsa asing.
PEPERA 1969 sesungguhnya dilaksanakan berdasarkan resolusi 1541 (XV) Majelis
Umum PPB tahun 1960. Di dalam resolusi itu tercatat Deklarasi Kemerdekaan Negara dan
Bangsa Kolonial mengatakan bahwa semua orang memiliki hak untuk menentukan nasibnya
sendiri. Dengan demikian, menurut resolusi 1541 (XV) Majelis Umum PBB 1960, ada tiga cara :
a) Melalui asosiasi bebas dengan Pemerintah yang berkuasa atau dengan salah satu negara
merdeka yang lain sebagai hasil dari pilihan bebas dan sukarela oleh masyarakat wilayah
tersebut dinyatakan melalui proses informasi dan demokratis.
b) Melalui mengintegrasikan dengan pemberian kekuatan atau dengan salah satu negara
merdeka atas dasar kesetaraan penuh antara non-pemerintahan sendiri dan independen
dari negara.
c) Bila cara a dan b tidak dapat dilaksanakan karena satu dan lain hal dalam arti salah satu
Negara merdeka tidak mampu bertanggung jawab atau gagal dalam membangun
masyarakat di wilayah tersebut maka wilayah tersebut otomatis dinyatakan MERDEKA
SENDIRI tanpa alasan apapun.
Dapatlah dipastikan bahwa masalah Papua harus diselesaikan berdasarkan resolusi 1541
(XV) Majelis Umum PBB tahun 1960. Apabila kita kaitkan antara poin 5 a, b, dimana orang
Papua telah berada dibawah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun orang Papua terus
berusaha untuk mengungkap kebenaran dan keadilan yang sesungguhnya. Orang Papua
menuntut adanya keterlibatan pihak ketiga yang netral dalam mengungkap masalah mendasar
bagi orang Papua.
Sekarang orang Papua tidak lagi berbicara tentang masalah Dekolonisasi, sebab
Pemerintah Belanda sudah serahkan Bangsa Papua kepada Indonesia dengan tujuan Pemerintah
Indonesia membangun orang Papua termasuk mempersiapkan masa depan politik yaitu secara
bebas memberikan kesempatan kepada orang Papua untuk memilih dengan bebas apakah
memilih berada dibawah Indonesia atau dengan salah satu negara merdeka yang lain atau
memilih untuk merdeka sendiri.
Namun kenyataanya lain pemerintah Indonesia MEMALSUKAN hak Orang Papua lewat
PEPERA 1969 yang mana melanggar hak Orang Papua dan Hukum Internasional. Dengan kata
lain Indonesia MENGINTEGRASIKAN Papua Barat kedalam Indonesia dengan pemalsuan,
paksaan dan kekerasan hal itu berjalan terus menerus sampai dengan hari ini.
Pemerintah Indonesia telah mengetahui tentang peraturan Dekolonisasi (poin 5 a,b,c) diatas dan
kesalahannya terhadap orang Papua dari permulaan yaitu membunuh Orang Papua dalam
berbagai aspek sampai hari ini, tidak membangun Orang Papua dengan baik. Maka pemerintah
Indonesia menawarkan OTSUS sebagai solusi "terbaik" untuk menjawab semua persoalan di
Papua, namun OTSUS tidak menjawab masalah mendasar orang Papua, gagal total. Pemerintah
Indonesia masih terus lagi menawarkan UP4B namun juga akan gagal karena ditolak oleh
Rakyat Papua. Semua program di atas (OTSUS maupun UP4B) adalah aktivitas propaganda
politik Indonesia dalam menindas hak orang Papua.
Berdasarkan kondisi riil Papau saat ini, maka secara jelas melalui berbagai media dan
forum telah menyatakan menolak dengan keras bentuk tawaran apapun yang sampaikan oleh
Pemerintah Indonesia. Sebab semuanya itu adalah propaganda politik semata-mata dan tidak
menguntungkan masa depan Rakyat Bangsa Papua, tidak akan pernah mengakui hak hidup orang
Papua di atas tanah Papua. Apakah realitas kepalsuan ini akan terus bertahan sepanjang bangsa
ini? Sekarang rakyat Papua berada pada “poin 5 c) dari isi Deklarasi dekolonisasi.
c. Pepera 1969 Adalah Sejarah Palsu Dan Cacat Hukum?
Dalam Socratez Sofyan Yoman (2011) menyediakan data secara akurat terkait
ketidakjujuran dan manipulasi hasil Pepera 1969. Pemerintah dan aparat keamanan Indonesia
selalu membanggakan diri dengan klaim bahwa Papua adalah bagian Indonesia yang sudah
final melalui PEPERA 1969 dan Papua merupakan bekas jajahan Belanda sehingga otomatis
masuk dalam Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Namun pertanyaannya ialah (1)
Menpaga penduduk asli Papua tidak pernah mengakui dan menerima PEPERA 1969 tapi
sebaliknya secara konsisten melakukan perlawanan terhadap sejarah diintegrasikannya Papua
Barat ke dalam wilayah Indonesia? (2) Apakah rakyat dan bangsa Papua Barat yang beretnis
Melanesia ini keliru dalam memahami sejarah diintegrasikan Papua ke dalam wilayah
Indonesia? (3) Kalau status Papua sudah final dalam Indonesia, mengapa harus ada UU No. 21
Tahun 2001 sebagai solusi politik yang final? (4) Mengapa Indonesia masih juga mau
memberikan UP4B dalam menyambung kegagalan UU No.21 tahun 2001 yang telah terbukti
gagal total?
Keempat pertanyaan ini mengandung alasan yang kuat karena menuntut rasa keadilan
dan pengakuan hak bangsa Papua. Karena dalam proses dimasukkannya Papua ke dalam wilayah
Indonesia, militer Indonesia memainkan peran sangat besar dalam proses pelaksanaan dan
sesudah PEPERA 1969. Terlihat dalam dokumen militer: “Surat Telegram Resmi Kol. Inf.
Soepomo, Komando Daerah Militer XVII Tjenderawasih Nomor: TR-20/PS/PSAD/196,
tertanggal 20-2-1967, berdasarkan Radio Gram MEN/PANGAD No. TR-228/1967 TBT
tertanggal 7-2-1967, perihal: menghadapi referendum di IRBA tahun 1969: “Mempergiatkan
segala aktivitas di masing-masing bidang dengan mempergunakan semua kekuatan material dan
personil yang organik maupun yang B/P-kan baik dari Angkatan darat maupun dari lain
angkatan. Berpegang teguh pada pedoman. Referendum di IRBA tahun 1969 harus
dimenangkan, harus dimenangkan. Bahan-bahan strategis vital yang ada harus diamankan.
Memperkecil kekalahan pasukan kita dengan mengurangi pos-pos yang statis. Surat ini sebagai
perintah OPS untuk dilaksanakan. Masing-masing koordinasi sebaik-baiknya. Pangdam
17/PANG OPSADAR”. “Pada 14 Juli 1969, PEPERA dimulai dengan 175 anggota dewan
musyawarah untuk Merauke. Dalam kesempatan itu kelompok besar tentara Indonesia hadir…”
(Sumber: Laporan resmi PBB: Annex 1, paragraph 189-200). Adapun Surat Rahasia dari
Komando Militer Wilayah XVII Tjenderawasih, Kolonel Infantri Soemarto-NRP.16716, kepada
Kamando Militer Resort-172 Merauke tanggal 8 Mei 1969, Nomor: R-24/1969, Status Surat
Rahasia, Perihal: Pengamanan PEPERA di Merauke. Intin isi surat rahasia adalah sebagai
berikut: “Kami harus yakin untuk kemenangan mutlak referendum ini, melaksanakan dengan
dua metode biasa dan tidak biasa. Oleh karena itu, saya percaya sebagai ketua Dewan
Musyawarah Daerah dan MUSPIDA akan menyatukan pemahaman dengan tujuan kita untuk
menggabungkan Papua dengan Republik Indonesia” (Sumber: Dutch National Newspaper: NRC
Handelsbald, March 4, 2000).
Tidak saja masyarakat asli Papua yang melakukan perlawanan aneksasi Papua dan
dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia. Tetapi, perwakilan Persirikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
untuk mengawasi PEPERA 1969 di Papua Barat, Dr. Fernando Ortiz Sanz juga menyatakan
dalam melaporkannya bahwa “Saya dengan menyesal harus menyatakan pengamatan-
pengamatan saya tentang pelaksanaan Pasal XXII (22) Perjanjian New York, yang berhubungan
dengan hak-hak termasuk hak-hak kebebasan berbicara, kebebasan bergerak, kebebasan
berkumpul, penduduk asli. Dalam melakukan usaha-usaha yang tetap, syarat-syarat yang penting
ini tidak sepenuhnya dilaksanakan dan pelaksanaan administrasi dalam setiap kesempatan
diadakan pengawasan politik yang ketat terhadap penduduk pribumi.
Ortiz menyatakan pula, “penjelasan orang-orang Indonesia atas pemberontakan Rakyat
Papua sangat tidak dipercayai. Sesuai dengan penjelasan resmi, alasan pokok pemberontakan
Rakyat Papua yang dilaporkan administrasi lokal sangat memalukan. Karena, tanpa ragu-ragu
penduduk Irian barat dengan pasti memegang teguh berkeinginan merdeka” (Sumber: Laporan
Resmi Hasil PEPERA 1969 Dalam Sidang Umum PBB, Paragraf 164, 260). Dr. Fernando Ortiz
Sanz dalam laporan resminya dalam Sidang Umum PBB tahun 1969 menyatakan: “ Mayoritas
orang Papua menunjukkan berkeinginan untuk berpisah dengan Indonesia dan mendukung
pikiran mendirikan Negara Papua Merdeka” (Sumber: UN Doc. Annex I, A/7723, paragraph,
243, p.47).
Berhubungan dengan kepalsuan sejarah pelaksanaan PEPERA 1969 dibawah tekanan
militer Indonesia, anggota resmi PBB juga melakukan protes keras dalam Sidang Umum PBB
pada tahun 1969 oleh anggota resmi PBB. Mereka (anggota PBB) mempersoalkan pelaksanaan
PEPERA yang penuh dengan kebohongan dan kejahatan kemanusiaan yang melanggar hukum
internasional. Karena, hasil PEPERA 1969 itu dianggap melanggar hukum internasional, maka
dalam Sidang Umum PBB hanya mencatat “take note”. Istilah “take note” itu tidak sama
dengan disahkan. Hanya dicatat karena masih ada masalah yang serius dalam pelaksanaan
PEPERA 1969 di Papua Barat. Hasil PEPERA 1969 tidak disahkan tapi hanya dicatat karena
perlawanan sengit dari beberapa Negara anggota PBB yang dimotori oleh pemerintah Ghana.
Itu menjadi terbukti dalam arsip resmi di kantor PBB, New York, Amerika Serikat, terbukti: “
…156 dari 179 pernyataan yang masih tersimpan, sesuai dengan semua yang diterima sampai
tanggal 30 April 1969, dari pernyataan-pernyataan ini, 95 pernyataan anti Indonesia, 59
pernyataan pro Indonesia, dan 2 pernyataan adalah netral” (Sumber resmi: Dok PBB di New
York: Six lists of summaries of political communications from unidentified Papuans to Ortiz
Sanz, August 1968 to April 1969: UN Series 100, Box 1, File 5).
Duta Besar pemerintah Ghana, Mr. Akwei, memprotes dalam Sidang Umum PBB dengan
mengutip laporan Dr. Fernando Ortiz Sanz tentang sikap Menteri Dalam Negeri Indonesia yang
tidak terpuji yang ditunjukkan kepada peserta PEPERA di Papua Barat. “ yang dilaporkan oleh
perwakilan Sekretaris Umum bahwa bukti-bukti peristiwa keputusan pelaksanaan pemilihan
bebas adalah fenomena asing dimana Menteri Dalam Negeri naik di mimbar dan benar-benar
kampanye. Dia, Menteri Dalam Negeri Indonesia meminta anggota-anggota dewan musyawarah
untuk menentukan masa depan mereka dengan mengajak bahwa mereka satu ideologi Pancasila,
satu bendera, satu pemerintah, satu Negara dari sabang sampai Merauke…”.
Sedangkan Duta Besar pemerintah Gabon, Mr. Davin, mengkritik sebagai berikut:
“setelah kami mempelajari laporan ini, utusan pemerintah Gabon menemukan kebingungan yang
luar biasa, itu sangat sulit bagi kami menyatakan pendapat tentang metode dan prosedur yang
dipakai untuk musyawarah rakyat Irian Barat. Kami dibingungkan luar biasa dengan keberatan-
keberatan yang dirumuskan oleh Mr. Ortiz Sanz dalam kata-kata terakhir pada penutupan
laporannya. Berkenaan dengan metode-metode dan prosedur-prosedur ini, jika utusan saya
berpikir perlunya untuk menyampaikan pertanyaan mendasar, itu dengan pasti menarik perhatian
peserta sidang untuk memastikan aspek-aspek yang ada, untuk menyatakan setidak-tidaknya luar
biasa. Kami harus menanyakan kekejutan kami dan permintaan penjelasan tentang sejumlah
bukti-bukti yang disampaikan dalam laporan perwakilan Sekreratis Jenderal. Contoh, kami dapat
bertanya:
Mengapa sangat banyak jumlah mayoritas wakil-wakil diangkat oleh pemerintah dan tidak
dipilih oleh rakyat?
a. Mengapa pengamat PBB dapat hadir dalam pemilihan hanya 20 persen wakil, beberapa
dari mereka hanya sebentar saja?
b. Mengapa pertemuan konsultasi dikepalai oleh Gubernur; dengan kata lain, oleh
perwakilan pemerintah?
c. Mengapa hanya organisasi pemerintah dan bukan gerakan oposisi dapat hadir sebagai
calon?
d. Mengapa prinsip “one man, one vote” yang direkomendasikan oleh perwakilan Sekretaris
Jenderal tidak dilaksanakan?
e. Mengapa tidak ada perwakilan rahasia, tetapi musyawarah terbuka yang dihadiri
pemerintah dan militer?
f. Mengapa para menteri dengan sengaja hadir dan mempengaruhi wakil-wakil di depan
umum dengan menyampaikan mereka bahwa “hanya hak menjawab atas pertanyaan
untuk mengumumkan bahwa mereka berkeinginan tinggal dengan Indonesia?
g. Mengapa hak-hak pengakuan dalam Pasal XXII (22) Perjanjian New York, yang
berhubungan dengan kebebasan menyatakan pendapat; berserikat dan berkumpul tidak
dinikmati oleh seluruh penduduk asli Papua?
h. Beberapa pertanyaan di atas adalah protes dan kritik keras kelompok Negara-Negara
Afrika karena sejak tahun 1961 telah bersimpati terhadap persoalan-persoalan Papua”
(Doroglever, hal. 784).
Berkaitan rekayasa pelaksaan PEPERA 1969 ini, para sejarawan juga menemukan bukti-
bukti kepalsuan. J.P. Drooglever menemukan dalam penelitiannya : “Laporan akhir Sekjen PBB
seluruhnya didasarkan pada laporan Ortiz Sanz tentang peranannya dalam pelaksanaan Kegiatan
Pemilihan Bebas. Laporan ini hanya berisi kritik yang lemah terhadap oposisi dari pihak
Indonesia. Atas dasar ini, U. Thant tidak bisa berbuat lain kecuali menyimpulkan bahwa suatu
(an) Kegiatan Pemilihan Bebas telah dilaksanakan. Ia (U Thant) tidak bisa menggunakan kata
depan yang tegas (the), karena nilai-nilai proses itu jauh di bawah standar yang diatur dalam
Persetujuan New York. Walaupun dapat ditafsirkan sebagai suatu penilaian yang mencibir, tetapi
pihak-pihak yang justru mengabaikan pengkalimatan yang tidak jelas dalam persetujuan New
York itu” (hal.784). ( Sumber: Tindakan Pilihan Bebas, Orang Papua dan Penentuan Nasib
Sendiri”.
Lebih lanjut Drooglever mengatakan, “menurut pendapat para pengamat Barat dan orang-
orang Papua yang bersuara mengenai hal ini, tindakan Pilihan Bebas berakhir dengan kepalsuan,
sementara sekelompok pemilih yang berada di bawah tekanan luar biasa tampaknya memilih
secara mutlak untuk mendukung Indonesia” (hal. 783). Ini bertentangan dengan “…karakter
nasional yang sama sekali berbeda dan hampir tidak ada paham nasionalisme Indonesia di
kalangan orang-orang Papua” (2010: hal.775).
Dr. Hans Meijer, Sejarawan Belanda dalam penelitiannya yang berhubungan dengan hasil
PEPERA 1969 di Papua Barat menyatakan bahwa “PEPERA 1969 di Papua Barat benar-benar
tidak demokratis. Sebagian besar hal menarik adalah tentang dokumen-dokumen yang benar-
benar tertulis dalam arsip. Sebab Menteri Luar Negeri, Lunz, dia menyatakan secara jelas dalam
arsip surat bahwa dia percaya PEPERA 1969 dilaksanakan dengan cara tidak jujur sebab jikalau
jujur orang-orang Papua bersuara melawan Indonesia…., sungguh-sungguh itu tidak demokratis
dan itu lelucon. Lunz juga pernah mengadakan pertemuan sangat rahasia dengan Menteri Luar
Negeri Indonesia (Adam Malik) bahwa Belanda meninggalkan Papua ketika PEPERA
dilaksanakan. Bahwa Belanda telah mengetahui bahwa PEPERA 1969 benar-benar tidak
demokratis, walaupun demikian Belanda tidak berbuat apa-apa tentang itu. Mr. Saltimar adalah
Duta Besar Belanda di Jakarta, pada waktu pelaksanaan PEPERA, dia menulis surat kepada Mr.
Schiff sebagai Sekretaris Umum Luar Negeri bahwa tentu saja dia melihat banyak hal yang salah
tetapi itu bukan tanggungjawab untuk melaporkan tentang itu dalam dokumen-dokumen resmi.
PEPERA 1969 adalah suatu penghinaan dan itu sesungguhnya tidak jujur dan itu perlu ditinjau
kembali. “ (Documents show Dutch support for West Papua take-over, ABC Radio National
Asia/Pasific Program.first broadcasting, 17 April 2001).
Akademisi Inggris, Dr. John Saltford yang melalukan penyelidikikan hasil pelaksanaan
PEPERA 1969 menyatakan: “ tidak ada kebebasan dan kesempatan dalam perundingan-
perundingan atau proses pengambilan keputusan orang-orang Papua Barat dilibatkan. Jadi, PBB,
Belanda dan Indonesia gagal dan sengaja sejak dalam penandatanganan tidak pernah melibatkan
orang-orang Papua untuk menentukan nasib sendiri secara jujur” (John Salford: United Nations
Involment With the Act of Free Self-Determination in West Papua (Indonesia West New
Guinea) 1968 to 1969). Saltford menyatakan, “bahwa Dr. Fernando Ortiz Sanz sendiri
menyampaikan laporan bahwa banyak pernyataan yang dia terima dalam akhir minggu tahun
1969 adalah melawan Indonesia. Dengan demikian, alasan yang dapat diterima dalam
kesimpulan bahwa jumlah sedikitnya 60% pernyataan ditujukan kepada PBB adalah melawan
Indonesia dan setuju referendum secara jujur dan terbuka. Karena itu, Ortiz Sanz sendiri memilih
untuk berhati-hati dalam Sidang Umum PBB atau dia telah disampaikan untuk melakukan
pembohongan itu oleh U.Thant”.
Pemerintah Amerika Serikat juga mengakui orang-orang asli Papua berkeinginan kuat
untuk merdeka. “Pada bulan Juni 1969, Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia mengakui
kepada anggota Tim PBB, Ortiz Sanz, secara tertutup (rahasia): “bahwa 95% orang-orang Papua
mendukung gerakan kemerdekaan Papua” (Sumber: Summarey of Jack W. Lydman’s report,
July 18, 1969, in NAA, Extracts given to author by Anthony Bamain).
Pengakuan itu tidak saja datang dari pemerintah Amerika Serikat tetapi juga datang dari
pemerintah Indonesia Sudjarwo, mengakui: “ banyak orang Papua kemungkinan tidak setuju
tinggal dengan Indonesia” (Sumber Resmi: UNGA Official Records MM ex 1, paragraph 126).
Akibat dari rekayasa dan kepalsuan pelaksanaan PEPERA 1969 ini, belakangan ini
datang berbagai tekanan dan gelombang protes untuk tinjau kembali status politik Papua.
Tekanan-tekanan itu dari dari anggota Kongres Amerika, Parlemen Inggris, Uni Eropa, Irlandia
dan berbagai Negara. Pada 17 Februari 2005, Eni F.H. Faleomavaega menyurat kepada
Pemerintah Amerika, “Pada tahun 1969, Indonesia menyusun suatu pemilihan yang banyak
berkaitan operasi yang brutal. Yang diketahui sebagai suatu “Act of– No Choice” atau hukum
yang tidak ada pemilihan, 1.025 pemimpin Papua Barat dibawah pengawasan militer yang kuat
diseleksi untuk memilih atas nama 809.327 orang Papua barat untuk status politik wilayah itu.
Perwakilan PBB dikirm untuk mengawasi dan melaporkan hasil proses pemilihan dan
laporannya yang berbeda yang penghancuran serius Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa”.
Pada 14 Februari 2008, Eni F.H. Faleomavaega dan Donald Payne, Anggota Kongres
Amerika melayangkan surat kepada Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Ban Ki-Moon,
(Referendum-PEPERA 1969) bagi orang asli Papua itu dengan jelas menunjukkan bahwa tidak
pernah dilaksanakan. Dalam fakta, 37 (tiga puluh tujuh) Anggota Kongres Amerika telah
menulis surat, pada tahun 2006, kepada Tuan Annan meminta bahwa PBB tinjau kembali untuk
melaksanakan peneperimaan “PEPERA 1969” itu. Pada 19 Juli 2002, 34 Anggota Parlemen
Uni Eropa menyerukan kepada Komisi dan Parlemen Uni Eropa untuk mendesak Sekjen PBB,
Kofi Annan, dengan pernyataan sebagai berikkut: “PEPERA 1969 lebih daripada lelucon.
Jumlah 1.025 orang Papua, semuanya dipilih oleh penguasa Indonesia yang diijinkan untuk
menyuarakan dengan menyatakan tidak ada pengawasan PBB, masa depan orang-orang Papua
Barat 800.000 penduduk asli, mereka serentak bersuara tinggal dengan Indonesia. Menyerukan
kepada Dewan dan Komisi Uni Eropa untuk mendesak Sekjen PBB yang berhubungan dengan
PEPERA 1969 dan mempertimbangkan kembali penentuan nasib sendiri di Papua Barat untuk
menciptakan stabilitas wilayah Asia Timur Selatan” (baca: Laporan Komisi Uni Eropa, the EC
Conflict Prevention Assessment Mission: Indonesia, March, 2002, on unrest in West Papua).
Pada 31 Januari 1996, Parlemen Irlandia mengeluarkan resolusi tentang West Papua.
Bunyi resolusi sebagai berikut. “Ketidakjujuran pelaksanaan PEPERA 1969 sebagai pernyataan
yang tidak murni dalam penentuan nasib sendiri orang-orang West Papua. Maka Parlemen
Irlandia menyerukan kepada Pemerintah Irlandia meminta kepada PBB untuk menyelidiki
pelaksanaan PEPERA yang menindas dan mengkhianati hak-hak asasi manusia dan
mempertanyakan pengabsahan PEPERA 1969”.
Pada 1 Desember 2008, di gedung Parlemen Inggris, London, Hon. Andrew Smith, MP,
dan The Rt. Revd. Lord Harries of Pentregarth dan 50 anggota Parlemen dari berbagai Negara
menyatakan: “kami yang bertanda tangan di bawah ini dengan jujur dan benar mengakui
penduduk asli Papua Barat untuk menentukan nasib sendiri (Self-Determination), karena masa
depan mereka dihancurkan melalui PEPERA 1969 “Act of Free Choice 1969”. Kami
menyerukan kepada pemerintah-pemerintah melalui PBB mengatur untuk pelaksanaan
penentuan nasib sendiri dengan bebas dan jujur. Penduduk asli Papua Barat dapat memutuskan
secara demokratis masa depan mereka sendiri sesuai dengan standar-standar hak asasi
Internasional, prinsip-prinsip hukum Internasional, dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa”.
Melihat akar permasalahan sejarah diintegrasikannya Papua ke delam wilayah Indonesia
yang penuh rekayasa, kepalsuan dan cacat hukum seperti ini diperlukan penyelesaian yang
berprospek damai, bermartabat dan manusiawi harus ditemukan antara penduduk asli Papua
dengan pemerintah Indonesia yang dimediasi oleh pihak ketiga yang netral.
d. Papua Barat Dalam Perebutan Indonesia VS Belanda
Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, Indonesia
mengklaim seluruh wilayah Hindia Belanda, termasuk wilayah Papua Barat sebagai wilayah
NKRI, Tetapi Hindia Belanda menganggap Papua Barat merupakan salah satu Provinsi Kerajaan
Belanda, sehingga Pemerintah Hindia Belanda kemudian memulai persiapan untuk menjadikan
Papua Barat sebagai sebuah Negara merdeka selambat-lambatnya pada tahun 1970-an. Namun
Pemerintah Indonesia menentang hal ini dan Papua Barat menjadi daerah yang diperebutkan
antara Indonesia dan Belanda. Hal ini kemudian dibicarakan dalam beberapa pertemuan dan
dalam berbagai forum internasional. Dalam Konferensi Meja Bundar tahun 1949, Belanda dan
Indonesia tidak berhasil mencapai keputusan mengenai Papua Barat artinya Belanda tetap bersih
tegas bahwa Papua Barat merupakan salah satu Provinsi Kerajaan Belanda, namun kemudian
Indonesia dan Belanda bersepakat untuk membicarakannya dalam jangka waktu 1 tahun
kemudian, yaitu tahun 1950.
Pada bulan Desember 1950, PBB memutuskan bahwa Papua bagian Barat (West Papua)
memiliki hak merdeka sesuai dengan pasal 73e Piagam PBB. Namun Indonesia mengklaim
Papua Barat sebagai daerahnya, sehingga Belanda mengundang Indonesia ke Mahkamah
Internasional untuk menyelesaikan masalah ini, namun Indonesia menolak. Setelah Indonesia
beberapa kali menggempur Papua Barat, Belanda mempercepat program pendidikan di Papua
Barat (West Papua) untuk persiapan kemerdekaan, Hasilnya antara lain adalah sebuah akademi
angkatan laut yang berdiri pada 1956 dan tentara Papua pada 1957. Indonesia membentuk
Provinsi Irian Barat dengan ibukota di Soasiu yang berada di Pulau Tidore, dengan gubernur
pertamanya, Zainal Abidin Syah yang dilantik pada tanggal 23 September 1956. Pada tanggal 6
Maret 1959, harian New York Times melaporkan penemuan emas oleh pemerintah Belanda di
dekat laut Arafura. Pada tahun 1960, Freeport Sulphur menandatangani perjanjian dengan
Perserikatan Perusahaan Borneo Timur untuk mendirikan tambang tembaga di Timika, namun
tidak menyebut kandungan emas ataupun tembaga.
1) Persetujuan New York (New York Agreement) - Agustus 1962
Pada tanggal 15 Agustus 1962, perundingan antara Indonesia dan Belanda dilaksanakan di
Markas Besar PBB di New York. Pada perundingan itu, Indonesia diwakili oleh Soebandrio,
dan Belanda diwakili oleh Jan Herman van Roijen dan C.W.A. Schurmann. Isi dari
Persetujuan New York (New York Agreement) adalah:
a. Belanda akan menyerahkan pemerintahan Papua Barat kepada United Nations
Temporary Executive Authority (UNTEA), yang didirikan oleh Sekretaris Jenderal
PBB. UNTEA.
b. Bendera PBB akan dikibarkan selama masa peralihan.
c. Pengibaran bendera Indonesia dan Belanda akan diatur oleh perjanjian antara
Sekretaris Jenderal PBB dan masing-masing pemerintah.
d. UNTEA akan membantu polisi Papua Barat dalam menangani keamanan. Tentara
Belanda dan Indonesia berada di bawah Kekuasaan Sekjen PBB dalam masa
peralihan.
e. Indonesia, dengan bantuan PBB, akan memberikan kesempatan bagi penduduk Papua
bagian Barat untuk mengambil keputusan secara bebas melalui:
1. Musyawarah dengan penduduk Papua bagian Barat
2. Penetapan tanggal penentuan pendapat
3. Perumusan pertanyaan dalam penentuan pendapat mengenai kehendak
penduduk Papua untuk:
a. Bergabung dengan Indonesia; atau
b. Memisahkan diri
4. hak semua penduduk dewasa, laki-laki dan perempuan, untuk ikut serta dalam
penentuan pendapat yang akan diadakan sesuai dengan standar internasional.
Penentuan pendapat akan diadakan sebelum akhir tahun 1969. Papua barat secara sepihak
diserahkan oleh pemerintah Belanda kepada Indonesia karena ditekan oleh Amerika, sebelum
keputusan PBB. Keputusan ini ditentang oleh banyak pihak di Papua dan melahirkan perlawanan
dari orang Papua dengan gerilya sehingga melahirkan Organisasi Papua Merdeka (OPM) pada
1965. Pada tahun itu, dilaporkan bahwa pemerintah Indonesia melakukan berbagai tindakan
pembunuhan, penahanan, penyiksaan, dan pemboman udara terhadap orang Papua. Menurut
Amnesty International, lebih dari 100.000 orang Papua telah tewas dalam kekerasan ini.
2) Perjanjian Roma (Roma Agreement) – September 1962 setelah Persetujuan New York.
Perjanjian ini diadakan di Roma, Ibukota Italia pada 30 September 1962 setelah Perjanjian
New York (New York Agreement) 15 Agustus 1962. Perjanjian ini datang karena atas saran
Mr Elsworth Bunker. Surat itu ditandatangani oleh Indonesia, Amerika Serikat, dan
Nederland Raya.
Perjanjian Roma yang disediakan in antara lain sebagai berikut:
� Ditetapkannya peraturan Referendum atau bebas memilih untuk PEPERA 1969
dalam kesepakatan New York, 1962.
� Indonesia mengasuh Papua Barat selama dua puluh lima tahun - efektif selama (25)
tahun mulai dari tanggal 1 Mei, 1963.
� Metode yang digunakan dalam pelaksanaan Tindakan Pemilihan Bebas atau
Referendum dilakukan dengan "cara musyawarah" sesuai dengan praktek Parlemen
Indonesia.
� Laporan akhir PBB tentang pelaksanaan Pepera disampaikan kepada Majelis Umum
PBB diterima tanpa debat terbuka.
� Amerika Serikat berhak melakukan investasi melalui Perusahaan-perusahaan Negara
milik Indonesia untuk Eksplorasi mineral, minyak bumi dan sumber daya lainnya
yang terkandung di Papua Barat.
� AS memberikan jaminan uang kepada Bank Pembangunan Asia US $. 30 Juta yang
diserahkan kepada Bangsa Persatuan Pembangunan programe (UNDP) untuk
mengembangkan Papua Barat untuk Periode dua puluh lima (25) tahun persiapan
merdeka.
� Amerika Serikat memberikan jaminan dana dari Bank Dunia bagi Indonesia untuk
merencanakan dan melaksanakan program transmigrasi untuk ditempatkan di Papua
Barat guna percepatan pembangunan Papua Barat, mulai dari tahun 1977.
Perjanjian ini ditandatangani di ibukota Italia, Roma pada 30 September 1962 setelah
Perjanjian New York pada 15 Agustus 1962 di Markas besar PBB. Itu ditanda tangani oleh 3
negara, yaitu Republik Indonesia, Nederland Raya, dan United State of America.
Lihat kutipan aslinya dalam bahasa inggris berikut.
3) Proposal Bungker
Sesuai dengan tugas dari Sekjend PBB ( U Than ), Elsworth Bunker pun melakukan
pengamatan masalah persengketan Papua Barat, dan mengajukan usulan yang dikenal dengan
THIS IS ROME AGREEMENT
This Agreement was held in Rome, the Capital of Italy at 30th September 1962 after New
York Agreement 15th August 1962. This Agreement came because the suggestion of Mr.
Elsworth Bunker. It was signed by Indonesia, USA, and Nederland Kingdom.
The Rome Agreement provided among other this the following :
1. Referendum or the Act of Free Choice set for 1969 in the New York
Agreement of August, 1962. To be delayed or possible cancelled.
2. Indonesia to rule West Papua for the next twenty - five years (25) effective
from the first of May, 1963.
3. Method to be use in implementation of the Act of Free Choice or Referendum
would be " musyawarah system" in accordance with the Indonesian
Parliamentary practice.
4. UN's final report on the implementation of the Act of Free Choice presented to
the UN General Assembly be accepted without open debate.
5. The United State of America be responsible to make an investment through
Indonesian State Companies for the Exploration of mineral, petroleum and
other resources of West Papua.
6. The USA guarantees the Asian Development Bank US $. 30 Million to be
granted to the United Nation Development Programe (UNDP) to develop West
Papua for a Period of twenty-five (25) years.
7. The USA guarantee the World Bank funds for Indonesia to plan and
implement its transmigration program where Indonesian were resettled in West
Papua starting from 1977.
This Agreement was signatured in the capital of Italy, Rome at 30th September 1962 after
New York Agreement at 15th August 1962 in UN Headquarter. It was signatured by 3
country; that is Republic of Indonesia, Nederland Kingdom, and United State of America.
”Proposal Bunker”. isi Proposal Bunker tersebut adalah sebagai berikut : ”Belanda harus
menyerahkan kedaulatan atas Irian barat kepada Indonesia melalui PBB dalam jangka waktu
paling lambat dua tahun” Usulan ini menimbulkan reaksi :
1. Dari Indonesia : Meminta supaya waktu penyerahan diperpendek
2. Dari Belanda : Setuju melalui PBB, dengan komitmen tetap menyerahkan Kemerdekaan
kepada Papua Barat.
e. Papua Barat dalam kacamata NKRI
Ketika Papua Barat dianeksasi oleh Indonesia melalu USA, karena adanya kesepakatan
khusus antara Presiden Amerika J. F. Kennedy dan Ir. Soekarno bahwa Indonesia mengelola
emas milik USA yang disepakati bersama-sama bank swis, akhirnya Soekarno lalu
memberikan Otonomi Khusus bagi Papua namun dicabut kembali oleh Soeharto. Indonesia
mulai disoroti oleh Internasional tentang wujud pertanggungjawabannya terhadap Papua
Barat, sehingga Soeharto memulai program baru, yaitu diantaranya:
1. Program Repelita I, II, III, IV, V, pada masa orde baru, namun tidak mencapai hasil, dan
kemudian pada tahun 2001, diperlakukan OTSUS bagi papua, namun hasilnya tidak
memuaskan, dan diprogramkan lagi dengan Unit Percepatan Pembangunan Papua dan
Papua Barat (UP4B).
2. Secara nasional pemerintah Indonesia mengatakan bahwa Papua Barat sudah sah sebagai
bagian dari Indonesia sesuai dengan PEPERA tahun 1969 sekarang 43 tahun. Oleh
karena itu, berbagai upaya pun dilakukan demi mempertahankan daerah Papua Barat,
dengan alasan mendasar adalah sejarah, “walaupun orang Papua menganggap sejarah
Indonesia atas Papua kebanyakan spekulatif”.
3. Selain sejarah, pulau Papua juga dianggap sebagai pulau dengan penghasil cadangan
tambang dan mineral terbesar pertama di dunia saat ini, sehingga Ali Murtopo, seorang
tokoh nasional Indonesia dengan lantang mengatakan bahwa, jika orang Papua Barat
(IRIAN JAYA) ingin merdeka, silahkan dirikan negaranya di planet lain. Sedangkan
Andy Malarangeng, mengatakan bahwa kalo orang Papua ingin merdeka, maka silahkan
minta Amerika untuk memberikan sebuah pulaunya untuk mendirikan Negara West
Papua. Sejarah Indonesia mengatakan bahwa, Indonesia yang membebaskan Papua Barat
dari penjajahan Hindia Belanda, “namun Indonesia pun tidak sadar bahwa mereka sedang
menjajah Bangsa Papua Barat”.
4. Indonesia menganggap berhasil karena telah membubarkan Negara Papua Barat, yang
dibentuk oleh Hindia Belanda yang oleh Soekarno disebut Negara Boneka buatan
Belanda.
6. Pemerintah Indoensia mengatakan bahwa Papua Barat merupakan provinsi yang
diprioritaskan oleh Negara dengan pemberian Otonomi Khusus (special outonomi) dan
Negara menganggapnya berhasil, namun dalam kenyataannya di lapangan, tidak ada
dampak yang nyata, karena hingga sekarang ini, orang Papua Barat tetap miskin.
7. Indonesia disoroti oleh dunia internasional tentang ketidak adilan di Papua Barat beserta
eskalasi politik, yang mana digolongkan sebagai Negara gagal ke 63 terbesar di dunia
(kompas, 20/6/2012), maka Indonesia mencoba mencari format baru dan akhirnya
melahirkan UP4B, lagi-lagi sebagai upaya mempertahankan Papua Barat sebagai bagian
NKRI, yang notabenenya orang Papua Barat, tetap tidak sejahtera.
f. Papua Barat dalam Kacamata Bangsa Papua - Sebuah Pernyataan
Wujud nyata Perkembangan Papua Barat menurut pandangan orang Papua secara faktuil
bahwa Papua Barat pernah merdeka dan memiliki kedaulatan sendiri yang diakui secara
internasional melalui piagam PBB, namun dianggap sebagai Negara boneka oleh Indonesia.
Selain itu, Papua di Indonesia dianggap ketinggalan total. menurut catatan data kami pada tahun
2012, yaitu :
1. Angka kemiskinan di papua mnurut laporan oleh Kepala badan pusat statistik Jarot
Soetanto, pada Jubi, Rabu 30/1/2012, semakin meningkat menjadi 40% Dari keseluruhan
total angka kemiskinan Indonesia yang totalnya 29,13 juta orang Indonesia. Apa yang
mau diharapkan kalau tiap tahun selalu meningkat.
2. Selalu terjadi konflik dan mengakibatkan banyak korban, dengan jumlah rata-rata korban
pada tahun 2012; 1) kekerasan terhadap perempuan 19% kasus Pemerkosaan, 6%
pelecehan seksual 7% pengungsian paksa, penganiayaan/kekerasan biasa 4% total = 36%.
Sedangkan kasus pelanggaran HAM 23 %. (sumber, Komnasham, dan Komnas
perempuan).
3. Orang papua tidak membicarakan kesejahteraan perut, harta, pembangunan fisik,
maupun program apapun dari Negara, tetapi mereka sedang memperjuangkan HARGA
DIRI mereka tentang sejarah Papua Barat. Itulah kesejahteraan mereka yang
sesungguhnya.
4. Persoalan Sejarah. Secara menyeluruh, orang Papua hingga sekarang ini menganggap
bahwa PEPERA tahun 1969, telah cacat hukum dan gagal total, karena ketika dilakukan
PEPERA, Indonesia melakukannya dengan cara sendiri, tidak mengikuti perjanjian
bersama dalam piagam persetujuan New York, 15 Agustus 1961 di New York, yang
mana pada Nomor 5, poin 3 & 4 dengan bunyi:
(5) Indonesia, dengan bantuan PBB, akan memberikan kesempatan bagi
penduduk Papua bagian barat (West Papua) untuk mengambil keputusan secara
bebas melalui:
(3) Perumusan pertanyaan dalam penentuan pendapat mengenai kehendak
penduduk Papua untuk
• Tetap bergabung dengan Indonesia; atau
• Memisahkan diri
(4) Hak semua penduduk dewasa, laki-laki dan perempuan, untuk ikut serta dalam
penentuan pendapat yang akan diadakan sesuai dengan standar internasional.
Sebagaimana dilaporkan oleh Moses Weror beberapa minggu sebelum pepera bahwa;
“Angkatan bersenjata Indonesia menangkap para pemimpin rakyat Papua dan membujuk
mereka dengan cara sogokan dan ancaman pembunuhan agar supaya memilih bergabung
dengan Indonesia”.
5. Orang Papua melihat bahwa tujuan Indonesia mengambil alih Papua hanya untuk harta
kekayaan alamnya, tetapi manusianya tidak dibutuhkan, hal itu sangat jelas dengan
pernyataan beberapa tokoh nasional Indonesia seperti Ali murtopo yang menyatakan
bahwa jik orang papua ingin merdeka silahkan meminta sebuah pulau di amerika untuk
mendirikan negaranya, dan Andy Malarangeng, jika orang papua mau mendirikan negara,
silahkan mencari planet lain.
6. Orang Papua merasa terjajah dan terisolir oleh karena keberadaan Indonesia ketimbang
Hindia Belanda, dan memang Indonesia secara sengaja melakukan strategi pembatasan,
dan pembodohan kepada orang papua dengan mengisolasikan mereka.
7. Secara historis, orang Papua merasa bahwa mereka sudah mempunyai Negara yang oleh
Hindia Belanda telah membentuknya, namun Indoensia menganggapnya Negara Boneka
buatan belanda, sehingga menggoreskan luka sejarah bagi setiap orang Papua.
8. Orang Papua melihat OTSUS sebagai petaka bagi mereka, karena OTSUS lahir sebagai
bay premature yang dipaksakan untuk meredam keinginan orang Papua untuk merdeka,
pasca pertemuan team 100 dengan presiden. OTSUS dianggap gagal total, karena
kewenangan yang diberikan kepda orang Papua dengan secial outonomi tidak diberikan
sepenuhnya kepada orang Papua untuk mengatur dan mengelolanya, tetapi sebagai
umpan dan kail, dimana papua sebagai umpan dan Jakarta sebagai kailnya. Sekarang
muncul UP4B dianggap omongkosong dan tidak ada nilainya.
9. Orang Papua menolak setiap tawaran Negara dengan konsep dalam bingkai NKRI. Hanya
orang bodoh yang mau membicarakan konsep dalam bingkai NKRI, karena Orang Papua
melihat bahwa, adanya suatu rencana sistematis dari Indonesia untuk membantai orang
Papua secara verbal, dan merujuk pada Genosida.
10. Orang Papua sudah siap 100% untuk mendirikan Negara Papua Barat sekarang ini,
karena berdasarkan keputusan PBB pada bulan Desember 1950, bahwa Papua bagian
barat (West Papua) memiliki hak merdeka sesuai dengan pasal 73e Piagam PBB dan juga
Perjanjian Roma point 3). bahwa Indonesia mengasuh orang papua 25 tahun, terhitung
mulai 1963, berarti Negara Papua Barat seharusnya sudah diakui kemerdekaannya dan
berdiri pada tahun 1988.
11. Orang Papua sepanjang PEPERA hingga sekarang ini tidak merasakan kesejahteraan dan
mereka tidak sejahtera dengan Indonesia, karena terjadi pelanggaran HAM berat yang
tidak diselesaikan secara tuntas, dan juga orang Papua menganggap HARGA DIRI
mereka sebagai bangsa yang berdaulat dianggap sebuah boneka buatan Belanda. Oleh
karena itu, tuntutan utama orang papua sekarang ini adalah pengakuan HARGA DIRI
mereka (PENGAKUAN NEGARA PAPUA BARAT).
12. Orang papua hingga hari ini tau bahwa mereka sudah mempunyai Negara sendiri yaitu
Papua Barat, yang dianeksasi oleh Indonesia dan disepelekan oleh Indonesia dengan
mengatakan bahwa Irian Barat (Papua Barat) adalah Negara boneka buatan belanda.
B. PERADABAN PAPUA
1. Pendidikan Zaman Pendudukan Asing Di Tanah Papua
a. Kedatangan Orang Portugis dan Spanyol di Tanah Papua
Setelah menguasai Malaka pada tahun 1511, bangsa Portugis dan Spanyol terus
menelusuri laut Maluku dan terus ke Timur hingga Papua pada tahun 1521, untuk mencari
sumber rempah-rempah, hingga akhirnya menemukan pulau Maluku yang di idam-idamkan dan
diberi julukan Spice Island. Penelusuran ini akhirnya mereka menguasai pulau-pulau Maluku
seperti Ternate, Tidore, Ambon, Bacan, hingga akhirnya Gilolo atau Papua di kuasainya. Tujuan
utama daripada penguasaan kepulauan ini tidak lain adalah dalam misi mencari rempah-rempah.
Selain pencarian rempah-rempah, mereka selalu di ikuti oleh misionaris Roma Katolik. Setelah
mereka menemukan daerah baru, yang mereka kerjakan adalah menjadikan masyarakat setempat
untuk memeluk agama Roma Katolik. Setelah mereka di baptiskan, langkah selanjutnya adalah
kepada mereka (penduduk) diberi pendidikan agar agama yang baru dianut itu dapat
dipertahankan dan terus berkembang.
Agama Kristen Katolik pertama kali di kembangkan di kepulauan Maluku. Yang pertama-
tama mengembangkan agama Kristen Katolik di Maluku adalah dari Ordo Franciskan, namun
kemudia mereka terdesak oleh Ordo Yezuit di bawah pimpinan Franciscus Xaverius, dimana ia
menjadi peletak dasar katolicisme di wilayah Maluku. Untuk mengembangkan agama Kristen
Katolik itu, penguasa Portugis di Maluku Antonio Galvano pada tahun 1536 mendirikan sekolah
seminary (seminary school). Mungkin inilah lembaga pendidikan pertama yang dibentuk
sebagai sekolah di Maluku dan Indonesia. Di seminary itu, diajarkan agama Kristen Katolik dan
baca tulis huruf latin, dan juga diajarkan bahasa latin, karena pada abad itu, bahasa latin sebagai
bahasa ilmiah yang populer di dunia.
Pendudukan Portugis dan Spanyol di Maluku dan Papua tidak bertahan lama, karena pada
akhirnya Belanda dapat mengusir mereka, dan kemudian mengambil alih harta kekayaan Gereja
Katolik, termasuk lembaga pendidikannya dan diserahkan kepada Zending Protestan. Akhirnya
pada tahun 1855 dua penginjil kristen Protestan dari Jerman Otow dan Geisler tiba di Mansinam
Manokwari Kowawi Papua, dan mengucapkan doa kepada Tuhan: Dengan Nama Tuhan Kami
Menginjak Tanah Ini. Selain itu, Otow dan Geisler membuat suatu pesan dalam batu nizan di
pulau Mansinam Kowawi, bahwa: Di atas Batu ini saya meletakkan peradaban bangsa ini,
walaupun bangsa lain berkembang dan bangkit memimpin bangsa lain namun bangsa ini
akan bangkit memimpin dirinya sendiri. Otow dan Geisler sebagai orang Pertama yang
memberitakan pengajaran injil kristen melalui Kristen Protestan, selain itu juga mereka berdua
melakukan pendidikan atau mengajar masyarakat setempat dengan tujuan agar pengajaran
Kristen Protestan dapat di ajarkan kepada seluruh orang Papua. Akhirnya apa yang
diperjuangkan Otow dan Geisler dapat tercapai. Awalnya mereka menangkap seorang anak muda
dan membawanya dan mendidiknya bahasa Jerman dan akhirnya anak tersebut dapat mengerti
bahasa Jerman selanjutnya ia di ajari alkitab dengan tujuan agar injil kristan dapat
disampaikannya kepada keluarga, masyarakat dan berkembang hingga keseluruhan orang Papua.
Otow dan Geisler dianggap sebagai bapak pencerahan bagi orang Papua pada abad 18, selain itu,
mereka sebagai Bapak Peradaban orang Papua.
b. Zaman VOC
Pada tahun 1596 Belanda pertama kali mendarat di teluk Banten di bawah pimpinan
Cornelius de Houtman. Kemudian mereka menelusuri ke daerah timur banten, sehingga sampai
di Jayakarta, dirubah namanya menjadi Batavia (Jakarta), dan pada tahun 1602 di dirikanlah
suatu perkumpulan dengan “Vereenigde Oost-Indische Compagnie”, yang lebih dikenal dengan
singkatan VOC. Selanjutnya keluarga Belanda membutuhkan pendidikan, baik pendidikan
umum (Pengetahuan umum maksudnya) maupun pengetahuan khusus, dan sebagai perkumpulan
dagang VOC membutuhkan tenaga pembantu dari bumi putra, maka mereka mendirikan lebaga-
lembaga pendidikan.
1) Dasar dan Tujuan Pendidikan Belanda
Sebagai perusahaan dagang, wajarlah VOC memiliki tujuan komersial, yaitu mencari
keuntungan sebesar-besarnya bagi kepentingan Belanda pada umumnya dan pemegang saham
pada khususnya. Pada abad 17 dan 18 di Negeri Belanda segala kegiatan yang menyangkut
pendidikan dilaksanakan oleh lembaga keagamaan. Pemerintah tidak iktu campur dalam
penyelenggaraannya, sehingga Gereja memiliki kebebasan untuk menyelenggarakan pendidikan.
Namun di Papua, VOC tidak menginginkan Gereja (lembaga keagamaan) memiliki wewenang
besar dalam mengatur masyarakat di daerah-daerah yang mereka kuasai. Sehingga kegiatan
Gereja merupakan bagian dari kegiatan VOC. Jadi perluasan agama Kristen Protestan
dilaksanakan oleh VOC sendiri, sesuai dengan instruksi tahun 1617 kepada semua Bustir di
Papua dan “Raad Van Indie” diantaranya supaya VOC memperkembangkan agama Kristen dan
mendirikan sekolah-sekolah untuk membendung agama Katolik. Sekolah-sekolah tersebut di
biayai oleh VOC untuk dijadikan “Persemaian” agama Kristen Protestan.
Karena pendidikan dilaksanakan oleh kalangan Gereja, walaupun mereka sebagai pegawai
VOC, yang menjadi dasar pendidikan adalah agama Kristen Protestan, akhirnya selain sekolah-
sekolah Pendidikan Katolik atau (YPPK). Protestan mendirikan sekolah Pendidikan Protestan
(YPK). Adapun yang menjadi tujuan pendidikan adalah: Untuk mengembangkan ajaran Kristen
Protestan. Pendidikan yang diberikan kepada orang Papua untuk mendapatkan tenaga pembantu
yang murah, dan dapat dipekerjakan di VOC.
REFERENSI
Droglever. P.J. 2005. Tindakan Pilihan Bebas. Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri:
Kanisius Yogyakarta.
Giayi. Benny. 2011. Hidup dan Karya Jhon Rumbiak. Gereja, LSM dan Perjuangan HAM Dalam
Tahun 1980an di Tanah Papua. Deiyai West Papua.
Soekadijo.RG & Aditjondro. 2001. Belanda Di Irian Jaya : Garba Budaya Jakarta.
Sofyan Socrates. 2011. West Papua Persoalan Internasional. Cendrawasih Press : West Papua
_____________. 2011. Gereja & Politik Di Papua Barat. Cendrawasih Press : West Papua
Mr. M. Bame. 2010. Sekilas Sejarah Revolusi,Tantangan,Terobosan Dan Dukungan. Artikel
Internasional.
KITLV-inventaris 36
H 1220 Collectie-Held Gerrit Jan Held, 1906-1955; taalambtenaar van het Nederlandsch
Bijbelgenootschap, taalambtenaar in gouvernementsdienst, hoogleraar te Batavia/Djakarta,
antropoloog.
Schenking mevrouw B.H.G. Cense-Haan, 1979, 1988, 1990. 0,8 meter
N.B. Stukken betreffende literatuur in de Bimanese taal met Indonesische
interlineaire vertaling en 24 kaartjes met Bimanese taalkundige aantekeningen.
Circa. 1955. 1 omslag. Overgebracht naar collectie Or. 587.
I. Algemeen
1. Curriculum vitae door G.J. Held te 's-Gravenhage opgemaakt in het Engels 22
mei 1951, met een verklaring van B.H.G. Held-Haan in het Indonesisch over de
verkoop van de auto van wijlen haar man; met een levensbeschrijving door
B.H.G. Cense-Haan 1989 en een inhoudsopgave van de collectie door A.A.
Cense. 4 stukken.
II. Taalambtenaar van het Nederlandsch Bijbelgenootschap in Nieuw Guinea
2. Verklaring van zendingsconsul N.A.C. Slotemaker de Bruïne dat G.J. Held in
dienst is bij het Nederlandsch Bijbelgenootschap en recht heeft op 15% korting op
de passagekosten. [1935]. 1 stuk.
3. Ingekomen en uitgaande stukken van de zendingsconsul N.A.C. Slotemaker de
Bruïne. 1936. 1 omslag.
4. Ingekomen en uitgaande stukken van de zendingsconsuls N.A.C. Slotemaker de
Bruïne en S.C. van Randwijck. 1937. 1 omslag.
5. Ingekomen en uitgaande stukken van de zendingsconsul S.C. van Randwijck.
1938. 2 omslagen.
6. Ingekomen en uitgaande stukken van de zendingsconsuls S.C. van Randwijck en
M. de Niet. 1939. 2 omslagen.
7. Ingekomen en uitgaande stukken van de zendingsconsuls S.C. van Randwijck en
M. de Niet. 1940. 2 omslagen.
8. Copieën van kwartaalverslagen toegezonden aan het Departement van Onderwijs
en Eeredienst. 1926-1941. 1 omslag.
9. Stukken betreffende een reis naar het mandaatsgebied in Australisch Nieuw
Guinea. 1938-1939. 1 omslag.
2
10. Correspondentie met J.E. van der Stok te Wageningen over een eventueel
lectoraat van G.J. Held aan de Hogeschool te Wageningen. 1939-1940. 1 omslag.
11. Correspondentie met L. Onvlee, en met afschriften van diens brieven aan het
Hoofdbestuur van het Nederlandsch Bijbelgenootschap. 1934-1946. 1 omslag.
12. Correspondentie met J.P.B. de Josselin de Jong. 1936-1946. 1 omslag.
13. Correspondentie met H. Kraemer. 1936-1939 1 omslag.
14. Correspondentie met P. Scholten. 1936-1939. 1 omslag.
15. Correspondentie met J. Ph. Vogel, W.H. Rassers, S.J. Esser, J.Ph. Duyvendak, P.
Voorhoeve, A.J. Bernet Kempers en A. Ploeger. 1936-1941. 1 omslag.
III. Taalambtenaar in gouvernementsdienst te Bandung
16. Stukken over de benoeming van G.J. Held voor een andere post, uiteindelijk
taalambtenaar in gouvernementsdienst te Bandung. 1939-1942. 1 omslag.
IV. Hoogleraar te Batavia/Jakarta
17. Notulen van de Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte (en Rechtsgeleerdheid en
Sociale Wetenschappen), met enkele bijlagen. 1946-1951. 1 bundel.
18. Notulen van de Faculteit der Rechtsgeleerdheid en van Sociale Wetenschap.
1947-1950. 1 bundel.
19. Correspondentie met R.W. van Diffelen van het Departement van Onderwijs en
Eeredienst/Opvoeding, Kunsten en Wetenschappen. 1945-1949. 1 omslag.
20. Stukken betreffende de opleiding van leraren in Indonesië. 1946-1949. 1 omslag.
21. Stukken over de Fullbright Act voor Indonesië ten behoeve van wetenschappelijk
onderzoek, met brieven 1940, 1941 van en aan J.Ph. Duyvendak, P. Voorhoeve en
L. Onvlee; Commissie ter Voorbereiding van de Fullbright Stichting in
Indonesië.1948-1949. 1 bundel.
22. Jaarverslagen, met bijlagen, van het Instituut voor Taal- en Cultuurkunde van de
Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte van de Universiteit van Indonesië. 1949-
1950. 1 omslag.
23. Brieven van E.M. Uhlenbeck met antwoord van G.J. Held en als bijlage een
bespreking van het proefschrift van P.E. de Josselin de Jong Minangkabau and
Negri Sembilan. 1952.3 stukken.
3
24. ‘Een reis Indonesië, Europa, Amerika en terug; twee jaren’, verslag van G.J. Held
met begeleidend schrijven. 1952. Getypt, doorslag.2 stukken.
25. Stukken (waaronder een onderzoeksvoorstel) opgemaakt en ontvangen met
betrekking tot een antropologisch onderzoek in Bima voor de Universiteit
Indonesia. 1953-1955. (Zie ook no. 28-36).
26. Diverse door G.J. Held opgemaakte en ontvangen stukken, waaronder stukken
van de Verenigde Naties, lesrooster van de Universiteit Indonesia, rapport over de
sociale wetenschappen, transmigratie, public administration en brieven van R.
Needham en Ahmad Ramali. 1953-1955. 1 omslag.
V. Geschriften van G.J. Held
27. Teksten van lezingen en artikelen, getiteld ‘Lewis H. Morgan; Sovjet kerkvader
tegen wil en dank", "Rust en orde", "Wetenschappelijk- dus gemeenschappelijk
onderzoek", "Anthropology", "Religieuse causerie", "Niet van deze cultuur",
Menschelijke bewegingen", "Reizen in Nieuw Guinea", "Hoe reageert een
primitief volk op het Christendom", "Papoesche feesten en dansen", "Inzake
dansfeesten", ‘Huwelijksregeling Christen- Inlanders’, "Iets over het werk van
Margaret Mead" en "Applied Anthroyology in Government: The Netherlands".
Ca. 1936-1950. 1 bundel.
28-31. Concept-publicatie, verschillende hoofdstukken, over Sumbawa. Circa 1955. Zie
ook: inv.nr. 25
28. ‘Geschiedenis’. Met twee kaarten en aantekeningen. 1 band.
29. ‘Individu en verwantschap; Functionele groepen.’ Met vier kaarten, schema
en aantekeningen. Zie ook: inv.nr. 39.
30. ‘Politieke organisatie’. Zie inv.nr. 40
31. ‘Rijksmythe’ en ‘Structuur’, met aantekeningen en bijlagen. Zie nr. 41.
32-36. Concept publicatie over Sumbawa, posthuum bewerkt door A.A. Cense en B.H.G.
Cense-Haan. Ca. 1960. (Zie ook no. 25).
32. Individu en verwantschap (p. 1-49).- Dari (p. 53-73). 1 omslag. Zie ook no.
39).
33. Dari (p. 73-144), met schema. 1 bundel.
34. Politieke organisatie (p. 1-86), 2 versies met Engelse vertaling.1 bundel. (Zie
ook no. 40).
35. Rijksmythe. - Structuur (p. 1-188), met Engelse vertaling p. 118-188). 1
bundel. (Zie ook no. 41).
36. Tekstfragmenten. 1 omslag.
VI. Bouwstoffen voor de publicatie over Sumbawa, verzameld door G.J. Held
37. Maleis wetboek met Nederlandse vertaling. Circa 1955. 1 omslag.
4
38. ‘Tampuü mai Indra Djamrud labo Indra Kemala (drukproef) met ‘Kisasah, asal
muda kedatangan Indera Djamrud dan Indera Kemala (Indonesischtalig, getypt).
Circa 1955. 1 omslag.
39. Bimase toespraken, met Nederlandse vertaling en doorslagen, behorend bij
"Verwantschap". Circa 1955. 1 omslag. (Zie ook no. 29, 32).
40. Bimase liederen, met Nederlandse vertaling, behorend bij ‘Politieke organisatie’.
Circa 1955. 1 omslag. (Zie ook 30, 34)
41. Bimase liederen, met aantekeningen en duplikaat, behorende bij "Rijksmythe. -
Structuur". Circa 1955. 1 omslag. (Zie ook no. 31, 35).
42. "Het huis (uma)", artikel over woningen in Sumbawa, met plattegronden en
tekeningen. Circa 1955. 1 omslag.
43. Kaarten en luchtfoto's van Sumbawa. Ca. 1955. 1 omslag.
44. Uitgeschreven muziek van Dompu, oorspronkelijk op rollen opgenomen. Circa
1955. 1 omslag.
45. Fragmenten van teksten over de geschiedenis, economische en sociale toestand,
en de gebruiken van Sumbawa, met foto’s, 3 kaarten en 4 tekeningen door J.H.
Maronier. Circa 1955. 1 omslag.
VII. Andere door G.J. Held verzamelde stukken
46. ‘Report of Dr. H. Kraemer on his tour in India from November 11th 1929-
February 7th 1930’, 1 deel. Stencildruk.
47. ‘Lévi-Bruhl s theory of primitive mentality’, door R.E. Evans Pritchard. 1934. 1
deel. Verschenen in Bulletin of the Faculty of Arts, Institut Francais
d’Archeologie Orientale.
48. ‘Beschouwingen en conclusies over West-Java als zendingsveld, door H.
Kraemer. [1934]. 1 deel.
49. ‘Het volksonderwijs der zending in de buitengewesten’, rapport voor de
Nederlandsche Zendingsraad, door Graaf S.C. van Randwijck(?). Circa 1934. 1
deel.
50. ‘Papuan dances and dancing’, door E.F. Hannemann. 1935. Stencil.1 deel.
51. Verslagen van C.W. Nortier, Th.B.W.G. Gramberg, J.L. Swellengebel, over het
Christendom op Bali. 1935-1939. 1 omslag. Met correspondentie tussen en
artikelen van E. Allard en Ch.J. Grader over Bali. 1950. 1 omslag.
52. Notulen van de conferentie van beoefenaars van de taal-, land- en volkenkunde en
van het adatrecht van Nederlandsch Indië, gehouden te Makassar; opgemaakt
door E.J. van den Berg. 1937. Stencil. 1 stuk.
53. Anonieme geschriften, getiteld "Het ontstaan van de wetenschappelijke
ethnologie", uitgave van het Zendingsbureau Oegstgeest; "Volkenkunde van
Nederlandsch Indië", vermoedelijk collegedictaten van J.P.B. de Josselin de Jong.
Circa 1940. 1 bundel, 2 stukken.
54. ‘De Bataks’, dictaat J.P.B. de Josselin de Jong. 1936. Folio, getypt. 1 deel.
55. ‘Volkenkunde’, dictaat W.H. Rassers. Ca. 1940. Folio, getypt.1 deel.
56. ‘De biologische achtergrond van het bevolkingsvraagstuk op Noord-Celebes en
de Sangihe- en Talaud-archipel’, door P.M.L. Tammes. 1940. Stencil. 1 stuk.
57. Jaarverslag van de zendingsarbeid op Nias, juni 1940 tot juni 1941; door L.H. Put.
Uitgave van het Zendingsconsulaat, Batavia. Stencil.1 deel.
58. Drie scripties over ‘Les structures élémentaires de la parenté door C. Lévy-
Strauss"; (stencildruk) door A.C. van der Leeden, R.E. Dawns en een onbekende
student van J.P.B. de Josselin de Jong, met een aantekening (1989) van M. Prager.
1950. 4 stukken.
59. ‘Cultuurgeschiedenis van Indonesië; oude geschiedenis en archaeologie’,
‘Prehistoric research in Indonesia’, ‘Indonesië, de wieg der mensheid’ en
‘Indonesië, gebruik en kennis van metalen’, door A.J. Bernet Kempers.
Stencildruk. Circa 1950. 4 stukken.
60. ‘Het huis in de Indonesische samenleving; de Mentawai-eilanden’, door F.P.G.
Bär. Circa 1950. Typoscript, kopie.1 stuk.
61. Geschriften door H.Th. Chabot, getiteld ‘Minderheden’ en ‘Rassen’, dictaat van
H.Th. Chabot. Stencildruk. Circa 1950. 2 stukken.
62 . Scriptie ‘Ethnographie, kepertjajaan orang Sunda terhadap 'Machiuk Halur'’, door
Ukun Surjaman. Circa 1954. Typoscript. 1 deel.
63. ‘The role of social sciences and applied anthropology in the welfare of peoples of
the South Pacific Commission Asia’, door H.E. Maude. 1953. Stencildruk. 1 stuk.
64. ‘Outline gazetteer of native Philippine ethnic and linguistic groups’, door H.C.
Conklin. 1952. Typoscript, doorslag. 1 stuk.
65. ‘Skripsi “Bali”’, door Harsojo. Circa 1952. Typoscript, doorslag.1 deel.
6
66. Anoniem geschrift, getiteld 'Malaysia’: over de beoefening van antropologie in
Maleisië. Rede voor Pacific Science Congress 1953. Typoscript, doorslag.1 stuk.
67. Anoniem geschrift, getiteld "Anthropology; mirror for Indonesia", met summary,
vermoedelijk een rede uitgesproken bij het Pacific Science Congress 1953.
Typoscript. 1 stuk.
68. Anonieme nota ‘Uraian ringkas tentang kemasjarakatan jang dilakukan
dilapangan atas perintah Presiden Universitet Indonesia oleh dr. E. Allard,
hoofdberoepsassistente pada Lembaga Bahasa dan Budaja dari Fakultet Sastra’.
Circa 1953. Stencil. 1 stuk.
69. Scriptie ‘Kaliabang; sebuah desa di kabupaten Bekasi’, door Marbangun. 1954.
Typoscript, doorslag. 1 omslag.
70. Scriptie ‘De religie der Toba-Batak’ door P.B. Renes. 1955. Typoscript, doorslag.
1 omslag. Schrift met ‘Scriptie Cultuurkunde’ met een bespreking van A.R.
Radcliffe-Brown The Andaman Islanders. Handschrift.
71. Collegedictaat "aardrijkskunde". Z.j. 1 schrift.
72. Verslag van een sociologisch onderzoek in de residentie Lampong door
Universitet Indonesia, 1953. Getypt, doorslag. 1 stuk.
73. Verslag van een onderzoek in Noenkolo, Timor, door de Indisch predikant R.
Middelkoop, uitgebracht aan het bestuur van de Protestantse Kerk in Indonesië.
1946. Typoscript, doorslag. 1 stuk.
AANVULLINGEN, maart 1990
74. ‘Kampong en Zendingspost op Nieuw-Guinea" Nederlandsch Bijbelgenootschap,
vertrouwelijk; gestencild. 1939. 1 deel.
75. ‘Beknopt voorlopig plan voor eene Amerikaansch-Nederlandsche expeditie naar
het Nassau-Gebergte in Ned. Nieuw-Guinee onder wetenschappelijke leiding van
prof.M.W.Stirling; met de notulen van een vergadering op 12 maart 1926,
Departement van Marine; met een kaart. 1926. Typoscript. 1 stuk.
76. ‘Proceedings of Conference I & II between Representatives of Government and
Missions on Education, Health and Agricultural Aspects of Native Welfare and
Development, held at Port Moresby, Papua, 9-14 October 1946. Uitgave van
Administration of the Territory of Papua New Guinea. Typoscript, druk. 2 delen.
77. Nota ‘Arbeidsproblemen in Nieuw-Guinea’, door J.P.K.van Eechoud. 1947.
Stencil. 1 stuk.
7
78. Nota ‘Een proeve tot de ontwikkeling van de Biaksche mnoe of kampong’, door
J.V.de Bruyn. 1947. Met brief van J.P.K.van Eechoud, Resident van Nieuw-
Guinea aan het hoofd van het plaatselijk bestuur in Biak, J.V. de Bruyn, 1 oktober
1947. Stencil. 2 stukken.
79. ‘Onderwijsverslag over Nieuw-Guinea’, door L.de Jongh, inspecteur bij de
Onderwijsdienst voor Nieuw-Guinea. 1948. Stencil. 1 stuk.
80. Nota ‘Telling 1948 Papoea bevolking Onderafdeling Merauke’, door de assistentresident
van Zuid Nieuw-Guinea, L.G. Boldingh. Met bijlagen en tabellen. 1949.
Typoscript, doorslag. 1 deel.
81. Nota ‘De autochthone bevolking en de toekomstige status van Nieuw-Guinea;
voor de Studie-commissie Nieuw-Guinea (1948), voorzitter G.J.Held.
Ontwikkeling der autochthone bevolking van Nieuw-Guinea door G.J.Held.
Stencil. 2 delen.
82. ‘Tekst en bijlagen van het Nederlandsch Hoofdbestanddeel van het' rapport der
gemengde commissie Nieuw-Guinea/Irian’, door G.H. van der Kolff, J.M. Pieters
en R. van Dijk. Stencil. 1950. 1 stuk.
83. ‘The carge cult in the former mandate of New Guinea’. Door E.F. Hannemann,
1948. Extract uit de Memorie van Overgave door W.J.H. Kouwenhoven, 1947.
Typoscrpt, doorslag. 2 stukken.
84. Nota ‘Gegevens over de afdeling Soemba’.1949. Typoscript, doorslag. 1 stuk.
AANVULLINGEN, augustus 1990
85. Schriften met aantekeningen over adat, antropologie, godsdienst bij de Koraindianen,
Indiërs, Dajaks, Papoea’s, Toradja’s, magie, totemisme, Handschrift. 4
delen.
86. ‘Zelfbesturende landschappen buiten Java’, anonieme notitie. 1949. Typoscript,
doorslag. (ontbreken blz. 3 t/m 9). 1 stuk, z.d.
87. Nota ‘Hoe heeft Rassers de mythe opgevat en uitgewerkt?’ over de Pandji-mythe.
Anoniem. Z.J. Getypt. 1 stuk.
88. Nota ‘De bruikbaarheid van het materiaal van Dr. K.A.H. Hidding in zijn
'Gebruiken en Godsdienst der Soendaneezen'’, z.d. Getypt, doorslag. 1 stuk.
89. Nota ‘Critische beschouwing van het artikel 'Magie en koningschap' door Prof.
C.C. Berg’, z.d. Getypt, doorslag. 1 stuk.
8
89. Brief van G.J. Held, hoogleraar aan de Nood-Universiteit Batavia aan de
President van de Nood-Universiteit over een expeditie naar Nieuw-Guinea. 1946.
Met een doorslag van het rapport van G.J. Held over de Baliem-vallei, 1945. Met
een kaartje. Typoscript, doorslag, 3 stukken.
90. Stukken van het Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en
Wetenschappen, afdeling Taal-, Land- en Volkenkunde, o.a. met notulen van de
100e vergadering in 1953, een ledenlijst, verslag van de werkzaamheden van de
Ahli Bahasa voor Bali. Djakarta. Stencil. 1953.1 omslag.
91. Scriptie ‘Mengapa Banten?’, anoniem. Circa 1955.Typoscript, doorslag.1 omslag
92. Scriptie ‘Tingkat-Bangsa (standen) di daerah Banten’, met aantekeningen. Circa
1955.Typoscript.1 omslag
SCHENKING 1979.
Mevrouw B.H.G. Cense-Haan. Deze bundel typoscripten is afkomstig van G.J. Held bij
zijn onderzoek in Bima en Dompu, 1954 en 1955. (voorheen H 1082, H 1087)
93. Bundel met:
a. S. Kortleven, ‘Bestuursmemorie over de onderafdeling Bima’ (3 blz);
b. D.J.K. MacGillavry, ‘Memorie van overgave Soembawa en Soemba, 1939 ( 5
blz.);
c. W.G.van der Wolk, Memorie Soembawa, 1941, (146 blz en 16 bijlagen).
AANVULLING 2007
94. Contract over het schrijven van de geschiedenis van het Sultanaat Bima. Getypt. 2
versies. 1955