sejarah perbankan syariah

39
Sejarah Perbankan Syariah Perbankan syariah atau Perbankan Islam adalah suatu sistem perbankan yang dikembangkan berdasarkan syariah (hukum) islam. Usaha pembentukan sistem ini didasari oleh larangan dalam agama islam untuk memungut maupun meminjam dengan bunga atau yang disebut dengan riba serta larangan investasi untuk usaha-usaha yang dikategorikan haram (misal: usaha yang berkaitan dengan produksi makanan/minuman haram, usaha media yang tidak islami dll), dimana hal ini tidak dapat dijamin oleh sistem perbankan konvensional. Perbankan syariah pertama kali muncul di Mesir tanpa menggunakan embel-embel islam, karena adanya kekhawatiran rezim yang berkuasa saat itu akan melihatnya sebagai gerakan fundamentalis. Pemimpin perintis usaha ini Ahmad El Najjar, mengambil bentuk sebuah bank simpanan yang berbasis profit sharing (pembagian laba) di kota Mit Ghamr pada tahun 1963. Eksperimen ini berlangsung hingga tahun 1967, dan saat itu sudah berdiri 9 bank dengan konsep serupa di Mesir. Bank-bank ini, yang tidak memungut maupun menerima bunga, sebagian besar berinvestasi pada usaha-usaha perdagangan dan industri secara langsung dalam bentuk partnership dan membagi keuntungan yang didapat dengan para penabung. Masih di negara yang sama, pada tahun 1971, Nasir Social bank didirikan dan mendeklarasikan diri sebagai bank komersial bebas bunga. Walaupun dalam akta pendiriannya tidak disebutkan rujukan kepada agama maupun syariat islam. Islamic Development Bank (IDB) kemudian berdiri pada tahun 1974 disponsori oleh negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam, walaupun utamanya bank tersebut adalah bank antar pemerintah yang bertujuan untuk menyediakan dana untuk proyek pembangunan di negara-negara anggotanya. IDB menyediakan jasa finansial berbasis fee dan profit sharing untuk negara-negara tersebut dan secara eksplisit menyatakan diri berdasar pada syariah islam. Dibelahan negara lain pada kurun 1970-an, sejumlah bank berbasis islam kemudian muncul. Di Timur Tengah antara lain berdiri Dubai Islamic Bank (1975), Faisal Islamic Bank of Sudan (1977), Faisal Islamic Bank of Egypt (1977) serta Bahrain Islamic Bank (1979). Dia Asia-Pasifik,

Upload: muthiashifa

Post on 13-Dec-2014

70 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Sejarah Perbankan Syariah

Sejarah Perbankan Syariah

Perbankan syariah atau Perbankan Islam adalah suatu sistem perbankan yang dikembangkan berdasarkan syariah (hukum) islam. Usaha pembentukan sistem ini didasari oleh larangan dalam agama islam untuk memungut maupun meminjam dengan bunga atau yang disebut dengan riba serta larangan investasi untuk usaha-usaha yang dikategorikan haram (misal: usaha yang berkaitan dengan produksi makanan/minuman haram, usaha media yang tidak islami dll), dimana hal ini tidak dapat dijamin oleh sistem perbankan konvensional.

Perbankan syariah pertama kali muncul di Mesir tanpa menggunakan embel-embel islam, karena adanya kekhawatiran rezim yang berkuasa saat itu akan melihatnya sebagai gerakan fundamentalis. Pemimpin perintis usaha ini Ahmad El Najjar, mengambil bentuk sebuah bank simpanan yang berbasis profit sharing (pembagian laba) di kota Mit Ghamr pada tahun 1963. Eksperimen ini berlangsung hingga tahun 1967, dan saat itu sudah berdiri 9 bank dengan konsep serupa di Mesir. Bank-bank ini, yang tidak memungut maupun menerima bunga, sebagian besar berinvestasi pada usaha-usaha perdagangan dan industri secara langsung dalam bentuk partnership dan membagi keuntungan yang didapat dengan para penabung.

Masih di negara yang sama, pada tahun 1971, Nasir Social bank didirikan dan mendeklarasikan diri sebagai bank komersial bebas bunga. Walaupun dalam akta pendiriannya tidak disebutkan rujukan kepada agama maupun syariat islam.

Islamic Development Bank (IDB) kemudian berdiri pada tahun 1974 disponsori oleh negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam, walaupun utamanya bank tersebut adalah bank antar pemerintah yang bertujuan untuk menyediakan dana untuk proyek pembangunan di negara-negara anggotanya. IDB menyediakan jasa finansial berbasis fee dan profit sharing untuk negara-negara tersebut dan secara eksplisit menyatakan diri berdasar pada syariah islam.

Dibelahan negara lain pada kurun 1970-an, sejumlah bank berbasis islam kemudian muncul. Di Timur Tengah antara lain berdiri Dubai Islamic Bank (1975), Faisal Islamic Bank of Sudan (1977), Faisal Islamic Bank of Egypt (1977) serta Bahrain Islamic Bank (1979). Dia Asia-Pasifik, Phillipine Amanah Bank didirikan tahun 1973 berdasarkan dekrit presiden, dan di Malaysia tahun 1983 berdiri Muslim Pilgrims Savings Corporation yang bertujuan membantu mereka yang ingin menabung untuk menunaikan ibadah haji.

Di Indonesia pelopor perbankan syariah adalah Bank Muamalat Indonesia. Berdiri tahun 1991, bank ini diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah serta dukungan dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha muslim. Bank ini sempat terimbas oleh krisis moneter pada akhir tahun 90-an sehingga ekuitasnya hanya tersisa sepertiga dari modal awal. IDB kemudian memberikan suntikan dana kepada bank ini dan pada periode 1999-2002 dapat bangkit dan menghasilkan laba.

Saat ini keberadaan bank syariah di Indonesia telah di atur dalam Undang-undang yaitu UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan.

Page 2: Sejarah Perbankan Syariah

Hingga tahun 2007 terdapat 3 institusi bank syariah di Indonesia yaitu Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri dan Bank Mega Syariah. Sementara itu bank umum yang telah memiliki unit usaha syariah adalah 19 bank diantaranya merupakan bank besar seperti Bank Negara Indonesia (Persero) dan Bank Rakyat Indonesia (Persero).

Sistem syariah juga telah digunakan oleh Bank Perkreditan Rakyat, saat ini telah berkembang 104 BPR Syariah.

Visi dan Misi Bank Syariah

Adapun Visi dan misi dari kegiatan pengembangan perbankan syariah adalah :

“Terwujudnya sistem perbankan syariah yang kompetitif, efisien, dan memenuhi prinsip kehati-hatian serta mampu mendukung sektor riil secara nyata melalui kegiatan pembiayaan berbasis bagi hasil dan transaksi riil dalam kerangka keadilan, tolong menolong dan menuju kebaikan guna mencapai kemaslahatan masyarakat”

Karakteristik Bank Syariah

Karakteristik Bank Syariah :

Universal Bank Syariah adalah untuk setiap orang, tanpa memandang perbedaan kemampuan ekonomi maupun perbedaan agama

Adil Memberikan sesuatu hanya kepada yang berhak serta memperlakukan sesuatu sesuai posisinya

melarang adanya masyir (unsur spekulasi atau untung-untungan), gharar (ketidakjelasan), haram, dan riba.

Transparan Dalam kegiatannya, bank syariah sangat terbuka bagi seluruh lapisan masyrakat.

Seimbang Mengembangkan sektor keuangan melalui aktivitas perbankan syariah yang mencakup pengembangan sektor riil danUMKM.

Maslahat Bermanfaat dan membawa kebaikan bagi seluruh aspek kehidupan. Variatif Produk bervariasi mula idari tabungan haji dan umrah, tabungan umum, giro, deposito, pembiayaan yang berbasis bagi hasil, jual beli dan sewa,sampai pada produk jasa kustodian, jasa transfer dan jasa pembayaran (debit card, syariah charge).

Memiliki Fasilitas Penerimaan dan penyaluran zakat, infaq, sedekah, waqaf, dana kebajikan (qard), memiliki fasilitas ATM, mobile banking, internet banking dan inter-koneksi antar bank syariah. (aml)

Sumber : Ayo ke Bank, Bank Syariah untuk Kita Semua, Bank Indonesia

Target Perbankan Syariah

Page 3: Sejarah Perbankan Syariah

Adapun target pencapaian pengembangan sistem perbankan syariah nasional adalah:

Memiliki daya saing yang tinggi dengan tetap berpegang pada nilai-nilai syariah

Memiliki peran signifikan dalam sistem perekonomian nasional serta perbaikan kesejahteraan rakyat

Memiliki kemampuan untuk bersaing secara global dengan pemenuhan standar operasional keuangan internasion

Sasaran Perbankan Syariah

Bank Indonesia telah menentukan sasaran yang realistis untuk mewujudkan visi yang sudah dicanangkan. Sasaran ini dibuat dengan mempertimbangkan kondisi aktual, termasuk: faktorfaktor yang berpengaruh dan kecenderungan yang akan membentuk industri di masa yang akan datang manfaat dan tantangan yang ada, serta kelebihan dan keterbatasan dari pelaku industri dan stakeholders lainnya.

Sasaran pengembangan perbankan syariah sampai tahun 2011 adalah:

Terpenuhinya prinsip syariah dalam operasional perbankan, yang ditandai dengan:

Tersusunnya norma-norma keuangan syariah yangseragam (standarisasi)

Terwujudnya mekanisme kerja yang efisien bagipengawasan prinsip syariah dalam operasional perbankan (baik instrumen maupun badan terkait)

Rendahnya tingkat keluhan masyarakat dalam hal penerapan prinsip syariah dalam setiap transaksi.

Diterapkannya prinsip kehati-hatian dalam operasional perbankan syariah:

Terwujudnya kerangka pengaturan dan pengawasan berbasis risiko yang sesuai dengan karakteristiknya dan didukung oleh SDI yang handal.

Diterapkannya konsep corporate governance dalam operasi perbankan syariah.

Diterapkannya kebijakan exit dan entry yang efisien.

Terwujudnya realtime supervision.

Terwujudnya self regulatory system.

Terciptanya sistem perbankan syariah yang kompetitif dan efisien; yang ditandai dengan:

Terciptanya pemain-pemain yang mampu bersaing secara global.

Terwujudnya aliansi strategis yang efektif.

Terwujudnya mekanisme kerjasama dengan lembaga lembaga pendukung .

Page 4: Sejarah Perbankan Syariah

Terciptanya stabilitas sistemik serta terealisasinya kemanfaatan bagi masyarakat luas,yang ditandai dengan:

Terwujudnya safety net yang merupakan kesatuan dengan konsep operasional perbankan yang berhati – hati

Terpenuhinya kebutuhan masyarakat yang menginginkan layanan bank syariah di seluruh Indonesia dengan target pangsa sebesar 5% dari total aset perbankan nasional

Terwujudnya fungsi perbankan syariah yang kaffah dan dapat melayani seluruh segmen masyarakat

Meningkatnya proporsi pola pembiayaan secara bagi hasil.

Tantangan Sistem Perbankan Syariah di Indonesia

Kenyataan menunjukkan bahwa dalam periode krisis ekonomi, perbankan syariah memiliki daya tahan yang relatif lebih kuat. Berkaitan dengan itu perbankan syariah diharapkan dapat berperan lebih besar dalam proses pemulihan perekonomian Indonesia yang masih terus berlangsung.

Dalam upaya mendorong pertumbuhan industri perbankan syariah yang masih berada dalam tahap awal pengembangan, beberapa hal penting yang perlu mendapatkan perhatian antara lain:

Kerangka dan perangkat pengaturan perbankan syariah belum lengkap.

Cakupan pasar masih terbatas.

Kurangnya pengetahuan dan pemahaman mengenai produk dan jasa perbankan syariah.

Institusi pendukung yang belum lengkap dan efektif

Efisiensi operasional perbankan syariah yang masih belum optimal

Porsi skim pembiayaan bagi hasil dalam transaksi bank syariah masih perlu ditingkatkan;

Kemampuan untuk memenuhi standar keuangan syariah internasional.

Prinsip Perbankan Syariah

Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang sesuai dengan syariah.

Beberapa prinsip/ hukum yang dianut oleh sistem perbankan syariah antara lain :

Pembayaran terhadap pinjaman dengan nilai yang berbeda dari nilai pinjaman dengan nilai ditentukan sebelumnya tidak diperbolehkan.

Page 5: Sejarah Perbankan Syariah

Pemberi dana harus turut berbagi keuntungan dan kerugian sebagai akibat hasil usaha institusi yang meminjam dana.

Islam tidak memperbolehkan “menghasilkan uang dari uang”. Uang hanya merupakan media pertukaran dan bukan komoditas karena tidak memiliki nilai intrinsik.

Unsur Gharar (ketidakpastian, spekulasi) tidak diperkenankan. Kedua belah pihak harus mengetahui dengan baik hasil yang akan mereka peroleh dari sebuah transaksi.

Investasi hanya boleh diberikan pada usaha-usaha yang tidak diharamkan dalam islam. Usaha minuman keras misalnya tidak boleh didanai oleh perbankan syariah.

Produk perbankan syariah

Beberapa produk jasa yang disediakan oleh bank berbasis syariah antara lain:

Jasa untuk peminjam dana

Mudhorobah, adalah perjanjian antara penyedia modal dengan pengusaha. Setiap keuntungan yang diraih akan dibagi menurut rasio tertentu yang disepakati. Resiko kerugian ditanggung penuh oleh pihak Bank kecuali kerugian yang diakibatkan oleh kesalahan pengelolaan, kelalaian dan penyimpangan pihak nasabah seperti penyelewengan, kecurangan dan penyalahgunaan.

Musyarokah (Joint Venture), konsep ini diterapkan pada model partnership atau joint venture. Keuntungan yang diraih akan dibagi dalam rasio yang disepakati sementara kerugian akan dibagi berdasarkan rasio ekuitas yang dimiliki masing-masing pihak. Perbedaan mendasar dengan mudharabah ialah dalam konsep ini ada campur tangan pengelolaan manajemennya sedangkan mudharabah tidak ada campur tangan

Murobahah , yakni penyaluran dana dalam bentuk jual beli. Bank akan membelikan barang yang dibutuhkan pengguna jasa kemudian menjualnya kembali ke pengguna jasa dengan harga yang dinaikkan sesuai margin keuntungan yang ditetapkan bank, dan pengguna jasa dapat mengangsur barang tersebut. Besarnya angsuran flat sesuai akad diawal dan besarnya angsuran=harga pokok ditambah margin yang disepakati. Contoh:harga rumah, 500 juta, margin bank/keuntungan bank 100 jt, maka yang dibayar nasabah peminjam ialah 600 juta dan diangsur selama waktu yang disepakati diawal antara Bank dan Nasabah.

Takaful (asuransi islam)

Jasa untuk penyimpan dana

Wadi’ah (jasa penitipan), adalah jasa penitipan dana dimana penitip dapat mengambil dana tersebut sewaktu-waktu. Dengan sistem wadiah Bank tidak berkewajiban, namun diperbolehkan, untuk memberikan bonus kepada nasabah.Akad Wadiah sendiri menurut cara penitipannya dapat ada 2 jenis akad yaitu :1. Wadhiah Dhamanah : Titipan dengan izin tertitip boleh pemanfaatan harta titipan. Diletakkan

Page 6: Sejarah Perbankan Syariah

dalam pool of fund untuk dikembangkan oleh tertitip2. Wadhiah Amanah : Titipan tanpa kebolehan izin memanfaatkan harta titipan: contoh : Safe Deposit Box

Deposito Mudhorobah, nasabah menyimpan dana di Bank dalam kurun waktu yang tertentu. Keuntungan dari investasi terhadap dana nasabah yang dilakukan bank akan dibagikan antara bank dan nasabah dengan nisbah bagi hasil tertentu.Akad Mudharabah juga ada 2 jenis berdasarkan dimana dana dititipkan :1. Mudharabah Mutlaqah (Bagi Hasil Mutlak): Bank berkuasa penuh menentukan jenis dan tempat investasi. Nasabah tidak perlu menentukan ke mana dananya akan diinvestasikan oleh bank syariah, sepenuhnya merupakan hak Bank.2. Mudharabah Muqayyadah (Bagi Hasil Terikat): Bank berwenang terbatas dalam menentukan jenis dan tempat investasi. Skim ini biasanya digunakan untuk mewadahi kebutuhan nasabah (umumnya adalah nasabah besar seperti perusahaan dan pemerintah) untuk menggunakan bank syariah sebagai perpanjangan tangannya untuk berinvestasi pada sektor bisnis tertentu. Dana tidak disatukan dalam pool-of-fund bank syariah, namun dikelola secara terpisah.

Aspek Hukum dan Peraturan Pendukung Perbankan Syariah

a. Aspek Hukum Perbankan Syariah di Indonesia

Sebagaimana disampaikan diatas, perbankan syariah di Indonesia berjalan cukup menjanjikan walau geraknya tidak secepat perbankan konvensional, hal ini akibat dari sistem dan perangkat hukum yang mendukung perbankan syariah tidak memberikan ruang yang seluas-luasnya bagi perbankan syariah untuk berkembang. Kita bisa melihat sebelum adanya revisi terhadap undang-undanga perbankan atau munculnya UU No 10 tahun 1998 tentang perbankan, tidak ada perangkat hukum yang mendukung sistim operasional bank syariah, kecuali UU No 7 Tahun 1992 dan PP No 72 Tahun 1992. Dalam UU No 7 Tahun 1992 itu keberadaan perbankan syariah dipahami sebagai bank bagi hasil serta perbankan syariah harus tunduk kepada peraturan perbankan umum yang biasa kita sebut bank konvensional.

Setelah adanya revisi terhadap paraturan perundang-undangan perbankan yaitu munculnya UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan terhadap UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan, disebutkan bahwa Bank Syariah adalah Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Dalam menjalankan aktivitasnya, Bank Syariah menganut prinsip-prinsip sebagai berikut:

1. Prinsip Keadilan

Prinsip ini tercermin dari penerapan imbalan atas dasar bagi hasil dan pengambilan margin keuntungan yang disepakati bersama antara Bank dengan Nasabah.

2. Prinsip Kesederajatan

Page 7: Sejarah Perbankan Syariah

Bank Syariah menempatkan nasabah penyimpan dana, nasabah pengguna dana, maupun Bank pada kedudukan yang sama dan sederajat. Hal ini tercermin dalam hak, kewajiban, risiko, dan keuntungan yang berimbang antara nasabah penyimpan dana, nasabah pengguna dana, maupun Bank.

3. Prinsip Ketentraman

Produk-produk Bank Syariah telah sesuai dengan prinsip dan kaidah Muamalah Islam, antara lain tidak adanya unsur riba serta penerapan zakat harta. Dengan demikian, nasabah akan merasakan ketentraman lahir maupun batin.

Pelaksanaan prinsip-prinsip di atas lah yang merupakan pembeda utama antara bank syariah dengan bank konvensional

Bank Syari’ah / Islam dalam sistem perbankan Indonesia secara formal telah dikembangkan sejak tahun 1992 sejalan dengan diberlakukannya UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan. Namun demikian, UU tersebut belum memberi landasan hukum yang kuat terhadap pengembangan bank Syari’ah karena belum secara tegas mengatur keberadaan bank berdasarkan prinsip Syari’ah melainkan Bank Bagi Hasil. Pengertian Bank Bagi Hasil yang dimaksudkan dalam UU Perbankan No. 7 Tahun 1992 belum mencakup secara tetap pengertian Bank Syariah yang memiliki cakupan lebih luas dari bagi hasil. Demikian pula dengan ketentuan operasional, hingga tahun 1998 belum terdapat ketentuan operasional yang lengkap yang secara khusus mengatur kegiatan usaha Bank Syariah. Pada pasal 6 huruf (m) dan pasal (e) tidak disebutkan Bank Syari’ah (Syariah), akan tetapi hanya Bank Bagi Hasil. Kemudian peraturan ini ditindaklanjuti dengan PP No. 72 tahun 1992 tentang bank berdasarkan prinsip bagi hasil.

Pemberlakuan UU Perbankan No. 10 tahun 1998 yang mengubah UU No. 7 tahun 1992 yang diikuti dengan dikeluarkannya sejumlah ketentuan pelaksanan dalam bentuk SK Direksi BI/Peraturan Bank Indonesia, telah memberi landasan hukum yang lebih kuat dan kesempatan yang lebih luas lagi bagi pengembangan perbankan Syari’ah di Indonesia. Perundang-undangan tersebut memberi kesempatan yang luas untuk pengembangan jaringan perbankan Syari’ah antara lain melalui ijin pembukaan Kantor Cabang Syari’ah (KCS) oleh bank konvensional. Dengan kata lain, Bank Umum dimungkinkan untuk menjalankan kegiatan usahanya secara konvensional dan sekaligus dapat melakukannya berdasarkan prinsip syariah

UU No.10 tahun 1998 di atas menjadi dasar hukum penerapan Dual Banking System di Indonesia, efek dari hal tersebut adalah perbankan syariah tidak berdiri sendiri(mandiri), sehingga dalam operasionalisasinya masih menginduk kepada bank konvensional. Bila demikian adanya perbankan syariah hanya menjadi salah satu bagian dari program pengembangan bank konvensional.

Untuk mencapai tujuan yang diinginkan oleh perbankan syariah maka dibutuhkan kemandirian perbankan syariah dengan pengaturan secara sendiri perbankan syariah.

Dalam UU No 10/1998 ini juga belum bisa maksimal karena dalam UU ini aspek perbankan syariah dan pendukungnya belum banyak yang dianut secara konsisten. Karena kalau dilihat dari potensi yang dimiliki perbankan syariah yang sungguh luar biasa, tidak mungkin perbankan syariah hanya mendapat

Page 8: Sejarah Perbankan Syariah

porsi dibawah 5 % dari perbankan konvensional nasional, semestinta perbankan syariah bisa mendapatkan porsi 50 % bahkan bisa lebih dari itu, apabila legitisamsi hukum yang diberikan sesuai dengan konsep syariah yang sebenarnya secara kaffah dan konsisten.

Hal ini juga disampaikan Ketua Dewan Syariah Nasional (DSN), KH Ma’ruf Amin. Menurut KH. Ma’ruf Amin, UU nomor 10/1998 belum terlaksana secara maksimal. Masih banyak yang harus diperbaiki dari UU tersebut, perbankan syariah dan perbankan konvensional memiliki karakter yang berbeda. Karena itu, perlu ada peraturan atau UU tersendiri dari perbankan syariah untuk mempercepat pertumbuhan dan perkembangan perbankan syariah. Karena Idealnyamarket share (pangsa pasar) bank syariah dan bank konvensional itu fifty-fift

Ada revisi terhadap UU Bank Indonesia yaitu UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia (BI) memberikan support terhadap perkembangan perbankan syariah di Indonesia dimana dalam UU No. 23/1999 menugaskan BI untuk mempersiapkan perangkat peraturan atau fasilitas-fasilitas penunjang yang mendukung operasional Bank Syari’ah. Kedua UU tersebut di atas menjadi dasar hukum penerapan Dual Banking System di Indonesia. Dual Banking Systemyang dimaksud adalah terselenggaranya dua sistem perbankan (konvensional dan syariah) secara berdampingan dalam melayani perekonomian nasional yang pelaksanaannya diatur dalam berbagai peraturan yang berlaku (Bank Indonesia, Oktober 2001).

Peran Bank Indonesia sebagai Bank Central Indonesia yang memegang otoritas moneter adalah membantu bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas. Menurut pasal. 11 ayat 1 UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia adalah dapat memberi kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah untuk jangka waktu paling lama sembilan puluh (90) hari kepada bank untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek bank tersebut. Hanya saja kesulitan terjadi ketika UU tersebut juga menentukan bahwa bank konvensional maupun bank syariah wajib memberikan jaminan berupa agunan yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan serta nilainya minimal sebesar jumlah kredit atau pembiayaan yang diterimanya. Sedangkan maksud agunan yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan adalah meliputi surat berharga atau tagihan yang diterbitkan oleh pemerintah atau badan hukum lain yang mempunyai otoritas untuk itu. Sedang bagi perbankan syariah untuk dapat menyediakan agunan berupa surat-surat berharga dan/atau tagihan yang tidak berbunga, belum mungkin karena pasar uang (financial market) yang berdasarkan prinsip syariah belum berkembang di Indonesia.

b. Peraturan Pendukung Perbankan Syariah di Indonesia

Keberadaan UU nomor 10/1998 tentang perbankan dan UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia menjadi landasan utama penunjang perbankan syariah di Indonesia saat ini, dengan berbagai kelemahan dari kedua peraturan perundang-undangan tersebut, ditambah lagi yang menjadi persoalan sekarang adalah peraturan pendukung terkait perkembangan perbankan syariah di Indonesia. Tanpa adanya peraturan pendukung terhadap alat-alat dari transaksi perbankan syariah akan memenuhi kesulitan bahkan bisa fatal. Peraturan pendukung perbankan syariah dimaksud adalah tentang peraturan BI tentang operasional perbankan syariah, Obligasi, Pasar Modal, Hukum Perdata dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah

Page 9: Sejarah Perbankan Syariah

Pertama, UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (BI) mengamanatkan kepada BI untuk mempersiapkan perangkat peraturan atau fasilitas-fasilitas penunjang yang mendukung operasional Bank Syari’ah. Dalam upaya mendorong pertumbuhan industri perbankan syariah yang masih berada dalam tahap awal pengembangan, beberapa hal penting yang perlu mendapatkan perhatian oleh BI antara lain: Kerangka dan perangkat pengaturan Operasional perbankan syariah belum lengkap; Pengaturan Cakupan pasar masih terbatas; Institusi pendukung yang belum lengkap dan efektif; Efisiensi operasional perbankan syariah yang masih belum optimal; perlu adanya aturan sistem bagi hasil dan transaksi dalam perbankan syariah serta aturan investasi asing di perbankan syariah (sebelum adanya UU atau PP Investasi di bidang perbankan syariah.

Peran ini dirasa kurang dari Bank Indonesia, masih banyak yang harus diperhatikan oleh Bank Indonesia terkait pembuatan peraturan atau aturan main perbankan di Indonesia, sehingga posisi perbankan syariah dan konvensional berada dalam satu tingkatan yang sama.

Bank Indonesia sebagai Bank central Indonesia dengan hak dan otoritas yang dimiliki mestinya lebih leluasa membuat suatu kebijakan yang lebih komprehensif terkait dengan kebijakan perkembangan perbankan syariah. Peran bank Indonesia sungguh luar biasa kalau melihat amanah yang diberikan oleh UU. 23 Tahun 1999, sekarang tinggal bagaimana BI mamainkan perannya ke depan terkait perkembangan perbankan syariah di Indonesia.

Kedua, Terkait dengan surat-surat berharga atau surat utang negara (SUN) di Indonesia yang berdasar syariah belum diatur sehingga dalam pelaksanaannya akan memenuhi banyak rintangan dan berdampak kepada pemahaman investasi dari aspek syariah pada sisi yang berbeda.

Pada tahun 2006 saja negara-negara Timur Tengah (Timteng) menawarkan dana hingga 8 miliar dolar AS, atau setara dengan Rp 71 triliun, untuk membeli obligasi syariah atau Sukuk Indonesia. Dana dari hasil penerbitan Sukuk itu nantinya digunakan membiayai proyek- proyek kelistrikan. Negara kaya raya dari Timur tengah kini memiliki dana yang melimpah ruah akibat tingginya harga minyak dunia. Di tengah limpahan duit, negara-negara Timteng itu kelimpungan mencari tempat investasi. Sebab sampai sekarang beberapa negara di Eropa dan Amerika menutup diri akibat peristiwa pengeboman menara kembar WTC, atau peristiwa yang dikenal dengan sebutan 9/11. Sebagai pengganti, negara-negara Timteng membidik Asia, termasuk Indonesia untuk menempatkan dana-dananya tersebut.

Kalau kita lihat UU No 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara/ obligasi kalau dipakai landasan obligasi syariah maka akan rancu, karena dalam UU tersebut masih banyak kata-kata secara tidak langsung berkaitan dengan bunga yang sangat bertentangan dengan konsep syariah atau riba. Sehingga dalam kenyataannya obligasi korporasi dengan prinsip syariah telah mencapai belasan (14 sampai saat ini, 6 mudharabah dan 8 ijarah). Contoh kasus, Obligasi Syariah Indosat tidak mempunyai acuan hukum positif seperti UU atau peraturan Bapepam yang menjadi naungannya. Sebagai gantinya Obligasi Syariah Indosat bernaung di bawah Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) No 32 tentang Obligasi Syariah dan No 33 tentang Obligasi Syariah Mudharabah. Kasus lainnya, Obligasi korporasi dengan prinsip syariah yang sesudahnya juga dapat bernaung di bawah Fatwa DSN MUI No 41 tentang Obligasi Syariah Ijarah. Obligasi Syariah dalam fatwa-fatwa yang telah disebutkan mengalami

Page 10: Sejarah Perbankan Syariah

redefinisi sebagai Surat Berharga Jangka Panjang berdasarkan prinsip syariah sehingga dapat diperjual belikan.

Berangkat dari kasus-kasus ini, kalau dilihat dari kaca mata hukum dan peradilan, maka hal ini cukup meragukan, sehingga untuk memberikan kekuatan hukum sesuai dengan sistem hukum di Indonesia maka perlu adanya UU tersendiri mengenai obligasi syariah, sehingga mampu memberikan jaminan kepastian hukum kepada investor dan lainnya.

Ketiga, mengenai perangkat pendukung perbankan syariah sebagaimana perbankan konvensional, maka perlu diatur perdagangan saham perbankan syariah yaitu pasar modal berprinsip syariah.

Kegiatan Pasar Modal di Indonesia diatur dalam undang-undang No. 8 tahun 1995 (“UUPM”). Pasal 1 butir 13 UU 8/95 menyatakan bahwa “Pasar Modal adalah kegiatan yang bersangkutan dengan Penawaran Umum dan Perdagangan Efek, Perusahaan Publik yang berkaitan dengan Efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan Efek”. Sedangkan Efek, dalam UUPM Pasal 1 butir 5 dinyatakan sebagai: “surat berharga yaitu surat pengakuan hutang, surat berharga komersial, saham obligasi, tanda bukti hutang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif, kontrak kegiatan berjangka atas Efek dan setiap derivatif Efek”.

UU No. 8 Tahun 1995 ini tidak membedakan apakah kegiatan Pasar Modal tersebut dilakukan berdasarkan prisnip-prisnip syariah atau tidak. Dengan demikian, berdasarkan UUPM kegiatan Pasar Modal di Indonesia dapat dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah dan dapat pula dilakukan tidak sesuai dengan prinsip syariah.( KarimSyah Law Firm, 2005. Perlunya Peraturan Perundang-undangan Mengenai Pasar Modal Berdasarkan Syariah. Jakarta) Sehingga dalam pelaksanaannya bagi perbankan syariah akan memberikan ketidak pastian apakah sesuai dengan prinsip syariah atau tidak. Maka dari itu, perlu sekiranya pembuatan perangkat hukum terkait dengan keberadaan pasar modal syariah untuk mendukung perjalanan perbankan syariah.

Keempat, Sebelum adanya amandemen terhadap UU No 7/1989 tentang Peradilan Agama menjadi kendala hukum di Indonesia, kewenangan mengadili sengketa perbankan Islam ada ditangan Pengadilan Negeri, sedang pengadilan negeri tidak menggunakan syariah sebagai landasan hukum bagi penyelesaian perkara. Dan kita tahu wewenang Pengadilan Agama telah dibatasi UU No. 7 Tahun 1989. Institusi ini hanya dapat memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang menyangkut perkawinan, warisan, waqaf, hibah, dan sedekah. Pengadilan Agama tidak dapat memeriksa perkara-perkara di luar kelima bidang tersebut. Berdasarkan latar belakang di atas, kepentingan untuk membentuk lembaga permanen yang berfungsi untuk menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa perdata di antara bank-bank Syariah dengan para nasabah sudah sangat mendesak, maka didirikan suatu lembaga yang mengatur hukum materi dan/atau berdasarkan prinsip syari’ah. Di Indonesia, badan ini dikenal dengan nama Badan Arbitrase Muamalah Indonesia atau BAMUI, yang didirikan secara bersama oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan MUI. Tap sampai sebelum UU No 7/1989 tentang Peradilan Agama diamandemen, badan tersebut belum bekerja dan sengketa perdata di antara bank-bank Syari’ah dengan para nasabah diselesaikan di Pengadilan Negeri.

Page 11: Sejarah Perbankan Syariah

Dengan keluarnya UU No 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No 7/1989 tentang Peradilan Agama, telah disahkan oleh Presiden Republik Indonesia. Kelahiran Undang-Undang ini membawa implikasi besar terhadap perundang-indangan yang mengatur harta benda, bisnis dan perdagangan secara luas.

Pada pasal 49 point i disebutkan dengan jelas bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang –orang yang beragama Islam di bidang ekonomi syariah.

Dalam penjelasan UU tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain meliputi : a. Bank syariah, b.Lembaga keuangan mikro syari’ah, c. asuransi syari’ah, d. reasurasi syari’ah, e. reksadana syari’ah, f. obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, g. sekuritas syariah, h. Pembiayaan syari’ah, i. Pegadaian syari’ah, j. dana pensiun lembaga keuangan syari’ah dan k. bisnis syari’ah. Namun, wewenang yang dimiliki oleh pengadilan tersebut, tidak akan berjalan sesuai harapan konsep syariah tanpa didukung oleh perangkat peraturan yang komprehensif dari hukum perdata di Indonesia, karena perangkat hukum yang digunakan adalah kitab Undang-undang hukum perdata (KUHPer) yang notabene belum bersusuaian dengan hukum perdata Islam.

Untuk itu perlu adanya hukum perdata Islam (syariah) yang akan mengatur sengketa perdata dalam perbankan syariah. Hal ini dirasa sangat penting untuk menghindari adanya ambiguitashukum, disatu sisi konsep syariah diterapkan dalam perbankan syariah, tapi disisi lain penyelesaian perkara terkait perbankan syariah dilakukan berdasar hukum yang notabene peninggalan belanda

Perbandingan Bank Syariah dengan Bank Konvensional

Pada wilayah tinjauan hukum materilnya, perbankan konvensional dengan perbankan syariah pasti sangat berbeda. Hukum perbankan konvensional didasari oleh prinsip penetapan bunga yang dibawa oleh sistem ekonomi kapitalis, dengan filosofi “uang memiliki nilai waktu” (time value of money). Sedangkan hukum perbankan syariah mempunyai filosofi berbeda dengan prinsip perbankan konvensional tersebut. Dimana Islam memandang sebaliknya, uang hanyalah alat penukaran yang tidak memiliki “nilai waktu”. Karena itu, berapapun besarnya tingkat suku bunga tetap saja diharamkan. (QS Al-Baqarah : 275). Hal inilah yang menjadi pembeda mendasar antara bank konvensional dengan bank syariah.Beberapa Perbedaan Bank Syariah dengan Bank Konvensional , yaitu :

Dari segi falsafah, bank syariah tidak berdasarkan bunga, spekulasi, dan gharar (ketidakjelasan) tetapi menggunakan prinsip bagi hasil. Sementara, bank konvensional berdasarkan bunga.

Dari segi operasional, dana masyarakat dalam bank syariah berupa titipan dan investasi yang baru akan mendapatkan hasil jika diusahakan terlebih dahulu. Sementara, pada bank konvensional dana masyarakat berupa simpanan yang harus dibayar bunganya pada saat jatuh tempo. Selain penyaluran bank syariak pada usaha yang halal dan menguntungkan. Sementara, penyaluran pada bank konvensional tidak mempertimbangkan unsur kehalalan.

Page 12: Sejarah Perbankan Syariah

Dari segi organisasi bank syariah memilih dewan pembina syariah. Sementara dalam bank konvensional, tidak.

Beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip syariah

Bank yang tata cara beroperasinya mengacu kepada ketentuan-ketentuan Alquran dan Haditz

Bank Syariah berasaskan kemitraan , transparansi , keadilan , dan universal

Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat meskipun jumlah keuntungan berlipat/keadaan ekonomi sedang boming. Sementara jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan

Penentuan bunga ditetapkan pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung. Sementara, besarnya rasio bagi hasil ditentukan pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi.

Faktor-Faktor Pendukung

Keberadaan bank Islam di Indonesia masih memiliki peluang yang mengembirakan dan perlu dioptimalkan guna membangun kembali sistem perbankan yang sehat dalam rangka mendukung program pemulihan dan pendayaan ekonomi nasional, selain restrukturisasi perbankan. Hal itu dikarenakan adanya beberapa pertimbangan, antara lain :

1. Kebutuhan jasa perbankan bagi masyarakat yang tidak dapat menerima konsep bunga.

Rakyat Indonesia 85 % beragama Islam, meskipun pada hakikatnya agama non Muslim pun (Yahudi dan Nasrani) juga menolak konsep bunga ini, yang telah nyata gagal dalam usahanya mensejahterakan masyarakat dan bangsa ini, bahkan telah membuat terpuruk perekonomian Indonesia. Apabila penduduk Indonesia saat ini 220 juta maka 187 juta adalah beragama Islam, meskipun tidak semua orang Muslim memahami konsep bunga ini maka disinilah tugas kita, terutama ulama dan cendekiawan yang secara khusus memiliki pengikut, seperti ulama dan cendekiawan yang ada di organisasi sosial kemasyarakat (NU, Muhamadiyah, Al-Irsyad, dll.) maupun organisasi partai politik (PK, PBB, PNU, dll.) untuk memberikan pemahaman dan sosialisasi tentang keberadaan perbankan syariah di Indonesia secara terus-menerus. Berdasarkan data BMI bahwa jumlah nasabah BMI dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) maupun keuangan mikro lainnya yang berprinsip syariah masih 0,2 % dari nasabah bank nasional sehingga perbankan syariah masih dapat memobilisasi dana masyarakat dengan bersaing dengan perbankan konvensional, terutama dari segmen masyarakat yang selama ini belum dapat

tersentuh oleh sistem perbankan konvensional.

1. Peluang pembiayaan bagi pengembangan usaha berdasarkan prinsip kemitraan.

Dalam sistem perbankan konvensional, konsep yang diterapkan adalah hubungan debitur dan kreditur yang antagonis (debitor to creditor relationship). Seorang debitur harus dan wajib mengembalikan pokok pinjaman dan bunganya, apakah debitur mendapatkan untung atau rugi. Kreditur tidak mau ambil

Page 13: Sejarah Perbankan Syariah

peduli. Hal ini berbeda dengan sistem perbankan syariah. Konsep yang diterapkan adalah hubungan antar investor yang harmonis (mutual investor relationship), sehingga adanya saling kerjasama dan kepercayaan karena dalam perbankan syariah menerapkan nilai ilahiyah sebagai pengendali yang bersifat transendental dan nilai keadilan, persaudaraan, kepedulian sosial yang bersifat horisontall

Perbandingan antara bank syariah dan bank konvensional disajikan dalam tabel berikut ini.

Bank Islam Bank Konvensional

Melakukan investasi yang halal saja

Berdasarkan prinsip bagi hasil, jual beli atau sewa

Profit dan kemakmuran dunia akhirat oriented (falah)

Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan kemitraan

Penghimpunan dan penyaluran dana harus sesuai

dengan fatwa Dewan Pertimbangan Syariah (DPS).

Halal dan haram

Memakai bunga

Profit oriented

Debitur – kreditur

Tidak ada dewan sejenis

DSN

3 Kebutuhan akan produk dan jasa perbankan unggulan

Sistem perbankan syariah memiliki keunggulan komparatif berupa penghapusan embebanan bunga yang berkesinambungan (perpetual interest effect), membatasi kegiatan spekulasi yang tidak produktif dan pembiayaan yang ditujukan pada usaha-usaha yang memperhatikan unsur moral (halal). Produk perbankan seperti berupa tabungan, giro dan deposito yang menerapkan prinsip-prinsip simpanan (depository), bagi hasil (profit sharing), jual beli (sale and purchase), sewa (operational lease and financial lease), jasa (fee based services).

1. Peningkatan jumlah lembaga keuangan syariah

Gairah perbankan nasional, baik keinginan untuk membuka kantor bank umum syariah ataupun kantor unit syariah dapat terlihat dari perkembangan yang pesat jumlah perbankan syariah di Indonesia. Apabila saat-saat krisis tahun 1998 baru ada satu Bank Umum Syariah, yaitu Bank Muamalat Indonesia, dengan 9 kantor cabang dan itu hanya tersebar di Pulau Jawa dan 77 Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) maka per tanggal 23 Juli 2002, sudah ada 2 Bank Umum Syariah, yaitu BMI dan Bank Syariah Mandiri (BSM) serta 6 Bank Umum Konvensional yang membuka unit syariah, yaitu BNI 1946, Bukopin, BRI, Danamon, IFI dan Bank Jabar dengan 36 kantor cabang, 52 kantor cabang pembantu serta 81 BPRS yang sudah tersebar di seluruh Indonesia. Kinerja bank syariah juga sangat memuaskan. Hal ini dapat

Page 14: Sejarah Perbankan Syariah

terlihat dari loan to deposit ratio (LDR) atau perbandingan jumlah kredit dengan simpanan pihak ke-3, yang rata-rata 100 %, terkecuali BMI yang hanya 81 %. Ini masih lebih bagus dibandingkan LDR perbankan nasional yang hanya 39 %. Namun, asset bank syariah yang pada Mei 2002, totalnya Rp 3.02 Trilyun masih kalah apabila dibandingkan perbankan yang menempati rangking menengah, seperti Bank Niaga yang pada tahun 1995 sudah mencapai Rp 4.74 Trilyun, apalagi jika dibandingkan dengan BCA yang total assetnya sebesar Rp 99 Trilyun.

1. Adanya pelayanan yang meluruskan pelanggan dengan cara sesuai Islam

Hal itu dapat terbukti dengan diraihnya penghargaan Quality Assurance Service Australia, predikat ISO 9001 tahun 2000 untuk pelayanan bank khususnya customer service dan taller banking diberikan pada BMI, serta Market Research Indonesia tahun 2000, yang memasukkan BMI masuk deretan unggulan terbaik dari 5 bank dalam pelayanan.

Faktor-Faktor Penghambat

Tidak obyektif kiranya jika kita hanya menampilkan faktor pendorong perkembangan perbankan syariah di Indonesia tanpa menjelaskan juga faktor penghambat yang merupakan tantangan bagi kita, terutama berkaitan dengan penerapan suatu sistem perbankan yang baru, suatu sistem yang mempunyai sejumlah perbedaan prinsip-prinsip dengan sistem yang dominan dan telah berkembang pesat di Indonesia. Faktor-faktor penghambat itu adalah sbb. :

1. Pemahaman masyarakat yang belum tepat terhadap kegiatan operasional bank syariah

Hal demikian, dikarenakan masih dalam tahap awal pengembangan dapat imaklumi bahwa pada saat ini pemahaman sebagian masyarakat mengenai sistem dan prinsip perbankan syariah masih belum tepat. Pada dasarnya, Sistem Ekonomi Islam telah jelas, yaitu melarang praktek riba serta akumulasi kekayaan hanya pada pihak tertentu secara tidak adil, akan tetapi, secara praktis, bentuk produk dan jasa pelayanan, prinsip-prinsip dasar hubungan antar bank dan nasabah, serta cara-cara berusaha yang halal dalam bank syariah, masih perlu disosialisasikan secara luas. Adanya perbedaan karakteristik produk bank konvensional dengan bank syariah telah menimbulkan adanya keengganan bagi pengguna jasa perbankan. Keengganan tersebut antara lain disebabkan oleh hilangnya kesempatan mendapatkan penghasilan tetap berupa bunga dari simpanan. Oleh karena itu, secara umum perlu diinformasikan bahwa dana pada bank syariah juga dapat memberikan keuntungan finansiil yang kompetitif. Disamping itu, salah satu karakteristik khusus dari hubungan bank dengan nasabah dalam sistem perbankan syariah adalah adanya moral force dan tutunan terhadap etika usaha yang tinggi dari semua pihak. Hal ini selanjutnya akan mendukung prinsip kehati-hatian dalam usaha bank maupun nasabah.

1. Peraturan yang berlaku belum sepenuhnya mengakomodir operasional bank syariah

Hal ini disebabkan adanya sejumlah perbedaan dalam pelaksanaan operasional antara bank syariah dan bank konvensional. Ketentuan-ketentuan perbankan perlu disesuaikan agar memenuhi ketentuan syariah sehingga bank syariah dapat beroperasi secara efektif dan efisien. Ketentuan-ketentuan tersebut antara lain hal yang menyatakan :

Page 15: Sejarah Perbankan Syariah

(a) Instrumen yang diperlukan untuk mengatasi masalah likuiditas

(b) Instrumen moneter yang sesuai dengan prinsip syariah untuk keperluan

pelaksanaan tugas bank sentral;

(c) Standar akuntansi, audit dan pelaporan;

(d) Ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai prinsip kehati-hatian, dsb.

1. Jaringan kantor bank syariah yang belum luas

Pengembangan jaringan kantor bank syariah diperlukan dalam rangka perluasan jangkauan pelayanan kepada masyarakat. Disamping itu, kurangnya jumlah bank syariah yang ada juga menghambat

perkembangan kerjasama antar bank syariah. Kerjasama yang sangat diperlukan antara lain, berkenaan dengan penempatan dana antar bank dalam hal mengatasi masalah likuiditas sebagai suatu badan usaha, bank syariah perlu beroperasi dengan skala yang ekonomis. Karenanya, jumlah jaringan kantor bank yang luas juga akan meningkatkan efisiensi usaha. Berkembangnya jaringan bank syariah juga diharapkan dapat meningkatkan komposisi ke arah peningkatan kualitas pelayanan dan mendorong inovasi produk dan jasa bank syariah.

1. Kecilnya market share

Adanya bank syariah yang beroperasi dengan tujuan utama menggerakan perekonomian secara produktif. Di samping sungguh-sungguh menjalankan fungsi intermediasi karena secara syariah tugas bank selaku mudharib (pengelola dana) harus menginvestasikan pada sektor ekonomi secara riil untuk kemudian berbagi hasil dengan sahibul maal (pemilik dana) sesuai dengan nisbah yang disepakati. Hal ini terbukti, meskipun market share bank syariah masih sangat kecil, yaitu kurang dari 1 %, namun rasio pembiayaan dengan dana pihak ketiga lebih dari 100 %, yang berarti bank telah menjalankan fungsi intermediasinya tersebut. Masih kecilnya market share itu disebabkan antara lain karena bank syariah

Perkembangan Indonesia (2001) Malaysia (2000)

Pengembanan Sistem

1990-an 1982-an

Jumlah 2 bank syariah3 unit usaha syariah2

81 BPRS

bank Islam47 window bank

konvensional

Pangsa Pasar 0.25 % 6,9 %

Proyeksi Garis besar pelayanan Rinci berserta tahappencapaian

Page 16: Sejarah Perbankan Syariah

mempunyai keterbatasan dana baik dari segi permodalan maupun jumlah dana masyarakat yang berhasil dihimpun karena alasan-alasan seperti yang diungkapkan diatas.

1. Sumber daya manusia yang memiliki keahlian dalam bank syariah masih sedikit

Kendala-kendala di bidang sumber daya manusia dalam pengembangan perbankan syariah disebabkan karena sistem ini masih belum lama dikembangkan. Disamping itu, lembaga-lembaga akademik dan pelatihan dibidang ini sangat terbatas sehingga tenaga terdidik dan berpengalaman dibidang non perbankan syariah, baik dari sisi bank pelaksana maupun dari bank sentral (pengawas dan peneliti bank), masih sangat sedikit. Pengembangan sumber daya manusia dibidang perbankan syariah sangat perlu karena keberhasilan pengembangan bank syariah pada level mikro sangat ditentukan oleh kualitas manajemen dan tingkat pengetahuan, serta ketrampilan pengelola bank. Sumber daya manusia dalam perbankan syariah harus memiliki pengetahuan yang kas dibidang perbankan, memahami implementasi

prinsip-prinsip syariah dalam praktek perbankan, serta mempunyai komitmen kuat untuk menerapkannya secara konsisten. Dalam hal pengembangan bank syariah dengan cara mengkonversi bank konvensional menjadi bank syariah atau membuka kantor cabang syariah oleh bank umum konvensional. Permasalahan ini menjadi lebih penting karena diperlukan suatu perubahan pola pikir dari sistem usaha bank yang beroperasi secara konvensionalo ke bank yang beroperasi dengan prinsip syariah

Penyebab Krisis Global

Bahwa terjadi krisis maha dahsyat di Amerika Serikat yang menyebar ke semua negara di dunia sudah sangat banyak kita baca. Namun tidak banyak yang menjelaskan tentang sebab-sebabnya, dan juga tidak banyak yang menguraikan tentang landasan dari sebab-sebab itu, yaitu mashab pikiran atau ideologi yang memungkinkan dipraktekannya cara-cara penggelembungan di sektor keuangan.

Tentang penyebab krisis global tersebut pada media massa di negara-negara maju banyak yang mengulasnya. Intinya sebagai berikut. :

Bank hipotik yang mengkhususkan diri memberikan kredit untuk pembelian rumah, dengan sendirinya mempunyai tagihan kepada penerima kredit yang menggunakan uangnya untuk membeli rumah. Jaminan atas kelancaran pembayaran cicilan utang pokok dan bunganya adalah rumah yang dibiayai oleh bank hipotik tersebut. Kita sebut tagihan ini tagihan primer, karena langsung dijamin oleh rumah, atau barang nyata. Tagihannya bank hipotik kepada para penerima kredit berbentuk kontrak kredit yang berwujud kertas. Istilahnya adalah pengertasan dari barang nyata berbentuk rumah. Karena kertas yang diciptakannya ini mutlak mewakili kepemilikan rumah sebelum hutang oleh pengutang lunas, maka kertas ini disebut surat berharga atau security. Pekerjaan mengertaskan barang nyata yang berbentuk rumah disebutsecuritization of asset.

Katakanlah bank hipotik ini bernama Bear Sterns. Bear Sterns mengkonversi uang tunainya ke dalam kewajiban cicilan utang pokok beserta pembayaran bunga oleh para penghutang atau debitur. Jadi uang tunai atau likuiditasnya berkurang. Namun Bear Sterns memegang surat berharga atau security yang

Page 17: Sejarah Perbankan Syariah

berbentuk kontrak kredit atau tagihan kepada para debiturnya. Bear Sterns mengelompokkan surat-surat tagihan tersebut ke dalam kelompok-kelompok yang setiap kelompoknya mengandung surat tagih dengan tanggal jatuh tempo pembayaran yang sama. Setiap kelompok ini dijadikan landasan untuk menerbitkan surat utang yang dijual kepada Lehman Brothers (misalnya) dan bank-bank lain yang semuanya mempunyai nama besar. Yang sekarang dilakukan oleh Bear Sterns bukan menerbitkan surat piutang, tetapi surat janji bayar atau surat utang. Atas dasar surat piutang kepada ratusan atau ribuan debiturnya, Bear Sterns menerbitkan surat utang kepada Lehman. Uang tunai hasil hutangnya dari Lehman dipakai untuk memberi kredit lagi kepada mereka yang membutuhkan rumah. Seringkali untuk membeli rumah kedua, ketiga oleh orang yang sama, sehingga potensi kreditnya macet bertambah besar. Penerbitan surat berharga berbentuk surat janji bayar atau promes disebut securitization of security. Bahasa Indonesianya yang sederhana “mengertaskan kertas.” Surat berharga ini kita namakan surat berharga sekunder, karena tidak langsung dijamin oleh barang yang berbentuk rumah, melainkan oleh kertas yang berwujud surat janji bayar oleh bank hipotik yang punya nama besar.

Lehman memegang surat utang dari Bear Sterns dan juga dari banyak lagi perusahaan-perusahaan sejenis Bear Sterns. Seluruh surat ini dikelompokkkan lagi ke dalam wilayah-wilayah geografis, misalnya kelompok debitur California, kelompok debitur Atlanta dan seterusnya. Oleh Lehman kelompok-kelompok surat-surat utang dari bank-bank ternama ini dijadikan landasan untuk menerbitkan surat utang yang dibeli oleh Merril Lynch dan bank-bank lainnya dengan nama besar juga. Kita namakan surat utang ini surat utang tertsier.

Demikianlah seterusnya, satu rumah sebagai jaminan menghasilkan uang tunai ke dalam kas dan bank-bank ternama dengan jumlah keseluruhan yang berlipat ganda. Media massa negara-negara maju menyebutkan bahwa bank-bank tersebut melakukan sliced and diced, yang secara harafiah berarti bahwa satu barang dipotong-potong dan kemudian masing-masing diperjudikan. Maka banyak bank yang debt to equity ratio-nya 35 kali.

Sekarang kita bayangkan adanya pembeli rumah yang gagal bayar cicilan utang pokok beserta bunganya. Kalau satu tagihan dipotong-potong (sliced) menjadi 5, yang masing-masing dibeli oleh bank-bank yang berlainan, maka gagal bayar oleh satu debitur merugikan 5 bank. Ini sebagai contoh. Dalam kenyataannya bisa lebih dari 5 bank yang terkena kerugian besar, karena kepercayaan bank-bank besar di seluruh dunia kepada nama-nama besar investment banks dan hedge funds di AS.

Dampak pertama adalah bahwa bank tidak percaya pada bank lain yang minta kredit kepadanya melalui pembelian surat berharganya. Ini berarti bahwa bank-bank yang tadinya memperoleh likuiditas dari sesama bank menjadi kekeringan likuiditas, sedangkan bank-bank yang termasuk kategori investment bank atau hedge fund tidak mendapatkan uangnya dari penabung individual, tetapi dari bank-bank komersial atau sesama investment bank atau sesama hedge funds. Jadi dampak pertama adalah kekeringan likuiditas.

Dampak kedua adalah bahwa bank yang menagih piutangnya yang sudah jatuh tempo tidak memperoleh haknya, karena bank yang diutanginya tidak mampu membayarnya tepat waktu, karena pengutang utamanya, yaitu individu yang membeli rumah-rumah di atas batas kemampuannya memang

Page 18: Sejarah Perbankan Syariah

tidak mampu memenuhi kewajibannya. Lembaga-lembaga keuangan di Amerika Serikat dengan sadar memberikan kredit rumah kepada orang yang tidak mampu. Itulah sebabnya namanya subprime mortgage. Sub artinya di bawah. Prime artinya prima atau bonafid. Jadi dengan sadar memang memberikan kredit rumah kepada orang-orang yang tidak bonafid atau tidak layak memperoleh kredit. Bahwa kepada mereka toh diberikan, bahkan berlebihan, karena adanya praktek yang disebut sliced and diced tadi. Dampak kedua ini, yaitu bank-bank gagal bayar kepada sesama bank mengakibatkan terjadinya rush oleh bank-bank pemberi kredit, antara lain kepada Lehman Brothers. Maka Lehman musnah dalam waktu 24 jam.

Ketika surat utang inferior yang disebut subprime mortgage macet, barulah ketahuan bahwa begini caranya memompakan angin ke dalam satu surat utang yang dijual berkali-kali dengan laba sangat besar.

Ketika balon angin keuangan meledak, Henry Paulson sudah menjabat menteri keuangan AS. Dia melakukan tindakan-tindakan yang buat banyak orang membingungkan, tetapi buat beberapa orang, dia manusia yang hebat, tegas, dan menurutnya sendiri bersenjatakan bazooka. (Newsweek tanggal 29 September 2008 halaman 20). Ada alasan untuk menganggapnya orang hebat. Dia mahasiswa Phi Beta Kappa dari Dartmouth. Penghubung antara gedung putihnya Nixon dan Departemen Perdagangan. MBA dari Harvard, bergabung dengan Goldman Sachs Chicago di tahun 1974, menjadi CEO-nya dari 1998 sampai 2006. Dan sekarang menteri keuangan AS.

Maka dialah yang ketiban beban berat menghadapi krisis yang maha dahsyat yang sedang berlangsung. Tindakan-tindakannya seperti semaunya sendiri atau bingung. Dia memfasilitasi JP Morgan untuk membeli Bear Sterns dengan harga hanya US$ 2 per saham, yang dalam waktu singkat direvisi menjadi US$ 10. Fannie Mae dan Freddie Mac, perusahaan quasi milik pemerintah telah memberikan jaminan kredit sebesar US$ 5,4 trilyun. Untuk menyelamatkannya dua perusahaan penjaminan kredit tersebut dibeli oleh pemerintah dengan jumlah uang US$ 80 milyar. Lehman Brothers disuruh bangkrut saja. Merril Lynch dijual kepada Bank of America. Akhirnya dia menyodorkan usulan supaya pemerintah AS menyediakan uang US$ 700 milyar untuk menanggulangi krisis. Kongres marah, karena alasan ideologi. Bagaimana mungkin bangsa yang kepercayaannya pada keajaiban mekanisme pasar bagaikan agama mendadak disuruh intervensi dengan uang yang begitu besar? Wall Street guncang luar biasa. Kongres rapat lagi dan “terpaksa” menyetujui usulan Hank Paulson dan Bernanke, Presiden Federal Reserve, supaya pemerintah AS menggunakan uang rakyat pembayar pajaknya sebesar Rp 700 milyar untuk mencoba menyelesaikan masalah keuangan yang maha dahsyat itu. Saya katakan mencoba, karena setelah disetujui, Wall Street tetap saja terpuruk.

Maka masyarakat menjadi panik, kepercayaan kepada siapapun hilang. Dengan adanya pengumuman bahwa perusahaan-perusahaan besar dengan nama besar dan sejarah yang panjang ternyata bangkrut, saham-sahamnya yang dipegang oleh masyarakat musnah nilainya. Masyarakat bertambah panik.

Seperti telah dikemukakan sangat banyak kertas-kertas derivatif diciptakan oleh bank-bank dengan nama besar, sehingga tanpa ragu banyak bank-bank besar di seluruh dunia membelinya sebagai

Page 19: Sejarah Perbankan Syariah

investasi mereka. Kertas-kertas berharga ini mendadak musnah harganya, sehingga banyak bank yang menghadapi kesulitan sangat kritis.

Dampak Krisis Global terhadap Indonesia

Perekonomian Indonesia Tahun 2008 Tengah Krisis Keuangan Global Indonesia merupakan negara small open economy sehingga imbas dari krisis finansial global sangat mempengaruhi kondisi perekonomian dalam negeri. Salah satu dampak dari krisis finansial global adalah perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2008. Pertumbuhan ekonomi Indonesia secara keseluruhan tumbuh mencapai 6,1% pada tahun 2008 atau sedikit lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2007 sebesar 6,3%.

Dampak negatif dari krisis global, antara lain sebagai berikut :

• Menurunnya kinerja neraca pembayaran.

• Tekanan pada nilai tukar Rupiah.

• Dorongan pada laju inflasi.

Pertama, kinerja neraca pembayaran yang menurun.

Pada saat terjadi krisis global, negara adidaya Amerika Serikat mengalami resesi yang serius, sehingga terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi yang selanjutnya menggerus daya beli masyarakat Amerika. Hal ini sangat mempengaruhi negara-negara lain karena Amerika Serikat merupakan pangsa pasar yang besar bagi negara-negara lain termasuk Indonesia. Penurunan daya beli masyarakat di Amerika menyebabkan penurunan permintaan impor dari Indonesia. Dengan demikian ekspor Indonesia pun menurun. Inilah yang menyebabkan terjadinya defisit Neraca Pembayaran Indonesia (NPI). Bank Indonesia memperkirakan secara keseluruhan NPI mencatatkan defisit sebesar US$ 2,2 miliar pada tahun 2008.

Penyebab lain terjadinya defisit NPI adalah derasnya aliran keluar modal asing dari Indonesia khususunya pada pasar SUN (Surat Utang Negara) dan SBI (Sertifikat Bank Indonesia). Derasnya aliran modal keluar tersebut menyebabkan investasi portofolio mencatat defisit sejak kuartal III-2008 dan terus meningkat pada kuartal IV-2008. Selain itu, adanya sentimen negatif terhadap pasar keuangan global juga membuat terjadinya pelepasan aset finansial oleh investor asing dan membuat neraca finansial dan modal ikut menjadi defisit.

Kedua, tekanan pada nilai tukar Rupiah.

Secara umum, nilai tukar rupiah bergerak relatif stabil sampai pertengahan September 2008. Hal ini terutama disebabkan oleh kinerja transaksi berjalan yang masih mencatat surplus serta kebijakan makroekonomi yang berhati-hati. Namun sejak pertengahan September 2008, krisis global yang semakin dalam telah memberi efek depresiasi terhadap mata uang. Kurs Rupiah melemah menjadi Rp 11.711,- per USD pada bulan November 2008 yang merupakan depresiasi yang cukup tajam, karena pada bulan

Page 20: Sejarah Perbankan Syariah

sebelumnya Rupiah berada di posisi Rp 10.048,- per USD. Pergerakan Kurs Rupiah selama tahun 2008 dan awal 2009 dapat dilihat dari grafik dibawah ini:

diolah dari: www.bi.go.id

Semasa Pemerintahan Orde Baru, Indonesia menganut sistem fixed exchange rate atau sistem nilai tukar tetap. Tetapi pada Pemerintahan berikutnya sampai sekarang, sistem yang dianut telah berubah menjadi sistem floating exchange rate atau sistem nilai tukar mengambang. Dengan sistem ini nilai tukar rupiah menjadi bergantung pada supply dan demand di pasar. Hal ini berbeda dengan sistem fixed exchange rate dimana Bank Indonesia berkewajiban menjaga Rupiah konstan dengan aktif membeli dan menjual valas untuk menghadapi supply dan demand yang berubah-ubah.

Pada masa krisis global yang terjadi sejak beberapa waktu yang lalu, terjadi keketatan likuiditas global, dengan demikian supply dollar relatif sangat menurun. Hal inilah yang memeberikan efek depresiasi terhadap Rupiah.

Keketaatan likuiditas global terjadi akibat perusahaan dan rumah tangga lebih menjaga likuiditasnya untuk berjaga-jaga dari berbagai resiko bisnis yang meningkat akibat krisis global. Hal ini yang menyebabkan sulitnya mencari dana talangan dalam membiayai defisit anggaran pemerintah. Rumah tangga konsumen pun mulai menahan diri untuk berbelanja guna mengantisipasi terhadap goncangan yang mungkin terjadi. Keketatan likuiditas diperparah oleh sikap bank yang terlalu berhati-hati dalam mengucurkan kreditnya dalam rangka meminimalisir terjadinya kredit macet.

Sebenarnya depresiasi Rupiah menguntungkan kondisi dalam negeri, karena secara teoritis akan meningkatkan daya saing produk dalam negeri. Harga-harga produk dalam negeri menjadi relatif lebih murah apabila dibandingkan dengan harga-harga produk sejenis yang diimpor dari negara lain. Di pasar negara tujuan ekspor Indonesia, konsumen akan lebih memilih produk dari Indonesia karena harganya lebih murah. Kondisi ini menyebabkan ekspor Indonesia meningkat.

Namun hal itu tidak terjadi karena negara lain juga mengalami hal yang sama seperti Indonesia dimana mata uangnya juga mengalami depresiasi. Krisis global membuat daya beli masyarakat di setiap negara pada umumnya menurun. Sehingga Depresiasi tidak serta merta membuat ekspor Indonesia meningkat, bahkan ekspor justru turun. Berdasarkan laporan BPS awal Maret 2009 lalu, disebutkan bahwa nilai ekspor Indonesia pada Januari 2009 hanya sebesar USD 7,15 miliar. Angka ini turun 17,7% dibandingkan nilai ekspor pada Desember 2008 sebesar USD 8,69 miliar. Bahkan, jika dibandingkan dengan Januari 2008, nilai penurunannya lebih besar lagi, yakni sebesar 36%.

Ketiga, dorongan pada laju inflasi.

Dorongan tersebut berasal dari lonjakan harga minyak dunia yang mendorong dikeluarkannya kebijakan subsidi harga BBM. Tekanan inflasi makin tinggi akibat harga komoditi global yang tinggi. Namun inflasi tersebut berangsur menurun di akhir tahun 2008 karena harga komoditi yang menurun dan penurunan harga subsidi BBM. Pergerakan inflasi di Indonesia dapat dilihat dari grafik berikut:

diolah dari: www.bi.go.id

Page 21: Sejarah Perbankan Syariah

Dari grafik tersebut terlihat bahwa terjadi tekanan inflasi yang tinggi hingga triwulan III-2008 yakni hingga bulan September 2008. Hal ini dipicu oleh kenaikan harga komoditi dunia terutama minyak dan pangan. Lonjakan harga tersebut berdampak pada kenaikan harga barang yang ditentukan pemerintah (administered prices) seiring dengan kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi. Setelah bulan September 2008, tingkat inflasi mulai turun karena turunnya harga komoditi internasional, pangan dan energi dunia. Penyebab lain dari terus menurunnya tingkat inflasi adalah kebijakan Pemerintah menurunkan harga BBM jenis solar dan premium pada Desember 2008, dan produksi pangan dalam negeri yang relatif bagus. Bahkan awal Desember 2008 terjadi deflasi sebesar 0,04 persen. Deflasi tersebut terjadi karena menurunnya harga pada sektor transportasi, konsumsi, dan jasa keuangan. Keberhasilan menurunkan inflasi secara berangsur-angsur tak lepas dari keberhasilan instansi terkait dalam memitigasi akselerasi ekspektasi inflasi yang sempat meningkat tajam pasca kenaikan harga BBM. Secara keseluruhan, inflasi IHK pada tahun 2008 mencapai 11,06 persen, sementara inflasi inti mencapai 8,29 persen.

Dampak Krisis Global terhadap Bank Syariah

Dampak Krisis Global ini tentu saja dirasakan oleh banyak kalangan di Seluruh dunia, tetapi banyak pihak yang mengatakan bahwa ”bank syariah kebal dari krisis global”, dan krisis global sama sekali tidak mempengaruhi kinerja per-bankan syariah yang ada saat ini, tetapi kita perlu mengecek kebeneran klaim yang satu ini , saya sangat tertarik mendengerkan seluruh perkataan yang sedang saya cari tahu kebenerannya baik melalui media massa, internet maupun dari talk show pada suatu acara ataupun pada televisi .

Pada titik awal ini saya mencari tahu mulai dari sistem perbankan syariah hingga ke perbedaan dengan bank lainnya seperti yang saya ulas sebelumnya , dari sini saya mengetahui dan saya yakin banyak juga selain saya sudah mengetahui bahwa bank syariah tidak menggunakan sistem yang berbasis suku bunga sehingga ketika krisis ekonomi terjadi dan suku bunga system perbankan nasional ataupun global bergejolak maka bank syariah yang tidak berbasis suku bunga akan akaman , dengan mudahnya dari berbagai pihak memberikan jawaban “bank syariah tidak menggunakan suku bunga , ya pastilah tidak akan berpengaruh” , tetapi pada faktanya bila kita telaah lebih lanjut maka kita akan mengetahui semua sector akan mengalami dampak dari krisis global biarpun beberapa sector mengalami dampak yang sangat kecil , dari sini saya memutuskan bahwa bank syariah tidak kebal terhadap krisis global, tetapi masih terkenda dampak dari krisis global biarpun tidak secara langsung.

Saya berpendapat seperti ini berdasarkan pola pikir saya karena seperti yang kita ketahui bank syariah menggunakan sistem bagi hasil dalam pekerjaannya , dan kita perlu mengingat juga bahwa bank syariah juga berinteraksi dengan dunia luar , dengan nasabah yang menyimpan tabungannya , dengan nasabah yang di biayainya , dengan suppliers yang mendukung oprasional sehari-harinya , dengan perusahaan induknya, dengan para investor , pemilik modalnya dan pemegang sahamnya. Kita perlu mengetahui bahwa nasabah yang proyek2nya dibiayai oleh bank syariah tidak otomatis melindungi usahanya dari resiko terburuk yang bias terjadi.

Case Satu: Krisis Bank Syariah Akibat Menurunnya Perdagangan Dunia

Page 22: Sejarah Perbankan Syariah

Misalnya akibat krisis global maka penduduk di negara2 di Eropa atau AS berkurang kemampuan konsumsinya. Maka permintaan terhadap barang impor, misalnya Kijang Inova dari Indonesia, atau tembakau atau sandal jepit dari Indonesia berkurang. Bila yg menunda pembelian sandal jepit cuma satu dua orang Amerika tentu tidak akan terlalu berpengaruh. Tapi urusan ekspor impor sudah juta-juta dollar itung2annya. Dan penurunan permintaan bisa menyebabkan sebuah pabrik di Indonesia bangkrut dan tutup. Pemilik pabrik tak akan bisa membayar cicilannya kepada bank. maka pihak bank akan terkena musibah kredit macet.Sama saja jika pabrik itu dibiayai oleh bank syariah..bila pake skema murabahah atau mudharabah, maka pihak bank syariahnya akan tetep terkena imbasnya walau tidak secara langsung terkena.

Case Dua: Krisis Bank Syariah Akibat Gejolak Suku Bunga

“Dari sisi bunga, di saat Bank Indonesia menaikan BI rate menjadi 9,5% perbankan syariah tidak bisa mengikuti kenaikan suku bunga tersebut. Akibatnya, bank syariah menjadi kurang menarik untuk nasabah menaruh uangnya,”Sementara di bank konvensional, kenaikan BI rate langsung direspon dengan menaikkan kembali bunganya mencapai 14% hingga 15%. Apalagi suku bunga Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) juga sudah mengalami kenaikan 10%. Hal yang sama sekali tak bisa dilakukan bank syariah.Dampaknya, dana pihak ketiga (DPK) di perbankan syariah berpotensi menurun. Nasabah kebanyakan tentu memilih bank lain yang menawarkan rente tinggi, di atas bagi hasil bank syariah.

Kebijakan Bank Indonesia dalam Menghadapi Krisis Global

Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter yang mempunyai independensi dari pemerintah mempunyai kewajiban menjaga stabilitas moneter serta mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang dapat meminimalisir dampak dari krisis global. Bank Indonesia telah menerapkan beberapa kebijakan, yakni:

Pertama, Kebijakan dalam sektor moneter. BI mengarahkan kebijakan pada penurunan tekanan inflasi yang didorong oleh tingginya permintaan agregat dan dampak lanjutan dari kenaikan harga BBM yang sempat mendorong inflasi mencapai 12,14 persen pada bulan September 2008. Untuk mengantisipasi berlanjutnya tekanan inflasi, BI menaikkan BI rate dari 8 persen secara bertahap menjadi 9,5 persen pada Oktober 2008. Dengan kebijakan moneter tersebut ekspektasi inflasi masyarakat tidak terakselerasi lebih lanjut dan tekanan neraca pembayaran dapat dikurangi.

Selanjutnya, memasuki triwulan II-2008, seiring dengan turunnya harga komoditi dunia serta melambatnya permintaan agregat sebagai imbas dari krisis keuangan global, BI memperkirakan tekanan inflasi ke depan menurun, sehingga BI Rate pada bulan Desember 2008 diturunkan sebesar 25 basis point (bps) menjadi 9,25 bps.

Kedua, Kebijakan dalam sektor perbankan. Kebijakan tersebut diarahkan pada upaya memperkuat ketahanan sistem perbankan, khususnya dalam upaya persiapan implementasi Basel II. Basel II dibuat berdasarkan struktur dasar the 1988 accord yang memberikan kerangka perhitungan modal yang bersifat lebih sensitif terhadap risiko (risk sensitive) serta memberikan insentif terhadap peningkatan kualitas penerapan manajemen risiko di bank. Hal ini dicapai dengan cara penyesuaian persyaratan

Page 23: Sejarah Perbankan Syariah

modal dengan risiko dari kerugian kredit dan juga dengan memperkenalkan perubahan perhitungan modal dari eksposur yang disebabkan oleh risiko dari kerugian akibat kegagalan operasional.

Basel II bertujuan meningkatkan keamanan dan kesehatan sistem keuangan, dengan menitikberatkan pada perhitungan permodalan yang berbasis risiko, supervisory review process, dan market discipline. Framework Basel II disusun berdasarkan forward-looking approach yang memungkinkan untuk melakukan penyempurnaan dan penyesuaian dari waktu ke waktu. Hal ini untuk memastikan bahwa framework Basel II dapat mengikuti perubahan yang terjadi di pasar maupun perkembangan-perkembangan dalam manajemen risiko.

Kebijakan dalam sektor perbankan lainnya adalah meningkatkan kapasitas pelayanan industri perbankan syariah. Sistem perbankan syariah terbukti lebih tahan terhadap hantaman krisis. Sistem perbankan ini juga sudah mulai digiatkan oleh negara-negara non-muslim seperti Inggris, Italia, Hong Kong, China, Malaysia, dan Singapura. Bahkan menurut anggota Komite Ahli Bank Indonesia, perbankan syariah tetap stabil di saat krisis global berlangsung dikarenakan perbankan syariah merupakan pilihan yang komprehensif, progresif, dan menguntungkan.

Seiring dengan semakin dalamnya tekanan krisis global, sejak semester II-2008, kebijakan perbankan ditujukan pada upaya mengurangi imbas krisis global pada perbankan domestik. Keketatan likuiditas yang terjadi akibat krisis disikapi BI dengan mempermudah akses bank umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) terhadap fasilitas pendanaan. Namun upaya tersebut tetap dilakukan BI dengan memperhatikan risiko yang terjadi pada perbankan nasional serta dampak yang lebih luas pada perekonomian rakyat. Untuk itu, upaya menjaga ketersediaan pendanaan bagi sektor Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) sebagai bantalan perekonomian rakyat, juga senantiasa dicermati.

Terkait dengan kebijakan di sektor perbankan ini, BI telah mengeluarkan ketentuan-ketentuan yang bertujuan untuk memberikan ruang bagi perbankan dalam menyalurkan kredit dengan tetap memperhatikan unsur kehati-hatian dan kestabilan ekonomi secara umum. Ketentuan-ketentuan tersebut mencakup beberapa hal seperti: memperpanjang masa transisi penerapan Basel II untuk perhitungan beban modal risiko operasional, menyederhanakan tatacara pembukuan kantor bank (termasuk syariah), menyesuaikan bobot Aset Tertimbang Menurut Resiko (ATMR) untuk Kredit Usaha Kecil dengan skim penjaminan, menyesuaikan tatacara penilaian kredit dalam jumlah tertentu, memberikan fasilitas transaksi USD repurchase agreement (repo) bank kepada BI, dan mengurangi kewajiban pembentukan penyisihan penghapusan aktiva non produktif.

Selanjutnya ketentuan-ketentuan tersebut akan diikuti dengan langkah pengaturan secara lebih mendalam, terkait dengan upaya peningkatan transparansi perbankan, penguatan efektifitas manajemen risiko likuiditas, dan produk-produk derivatif perbankan. Dengan demikian diharapkan seluruh pelaku industri perbankan, baik bank umum konvensional maupun syariah, akan memiliki ruangan yang cukup untuk menjalankan fungsi intermediasinya tanpa mengesampingkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko, sebagai prioritas utama.

Ketiga, Kebijakan di sektor pembayaran. Bank Indonesia turut berupaya mencegah terjadinya guliran krisis global terhadap kelancaran sistem pembayaran nasional. Dalam mencegah risiko sistemik dari

Page 24: Sejarah Perbankan Syariah

risiko gagal bayar peserta yang cenderung meningkat pada kondisi krisis dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, BI telah melakukan perubahan jadwal setelmen sistem pembayaran pada hari tertentu.

Kebijakan BI dalam sistem pembayaran terus dilakukan untuk meningkatkan pengedaran uang yang cepat, efisien, aman, dan handal, meningkatkan layanan kas prima, dan meningkatkan kualitas uang. Sementara kebijakan non tunai diarahkan untuk memitigasi risiko sistem pembayaran melalui pengawasan sistem pembayaran, mengatur kegiatan money remittances, meningkatkan efisiensi pengelolaan rekening pemerintah, dan meningkatkan pembayaran non tunai.

Sebagai Bank Sentral, BI memang mempunyai tanggung jawab dalam membuat kebijakan-kebijakan dalam menstabilkan kondisi moneter Indonesia. Dengan demikian diharapkan kebijakan-kebijakan yang dibuat BI merupakan kebijakan yang strategis dan tepat sasaran dalam meminimalisir dampak krisis keuangan. Kebijakan moneter yang diambil BI juga diharapkan dapat memberikan pengaruh yang signifikan terhadap sektor riil dan selanjutnya pada kesejahteraan masyarakat. (Catatan : Bahan tulisan ini, antara lain bersumber dari laporan Bank Indonesia)

Dampak Krisis Global Terhadap Kinerja Bank Perkreditan Rakyat/Syariah Di Provinsi Bengkulu

Sebagai salah satu elemen penggerak perekonomian daerah, perbankan daerah memegang peranan penting. Oleh karena itu, dalam menyikapi gejolak krisis keuangan global, konsolidasi dan komunikasi yang efektif dengan perbankan daerah sangat diperlukan. Dalam rangka mengenali dampak krisis keuangan global khususnya terhadap kinerja perbankan di Propinsi Bengkulu, Bank Indonesia Bengkulu mengadakan temu wicara dengan direksi seluruh bank yang berkantor pusat di Bengkulu yaitu 5 BPR/S dan BPD Bengkulu.

Terjadinya krisis keuangan global tentunya akan berpengaruh pada kegiatan operasional perbankan, terutama berkaitan dengan penyaluran kredit perbankan. Berdasarkan data yang disampaikan oleh BPR kepada Bank Indonesia, sektor perkebunan seperti kelapa sawit dan karet, sebagai salah satu komoditas unggulan propinsi Bengkulu, memiliki share kredit masing-masing sebesar 16,59% dan 35,99% dari total kredit. Sementara rasio kredit bermasalah sektor perkebunan kelapa sawit sebesar 1,05% dan sektor perkebunan karet sebesar 5,04%.

Bagi BPR/S di wilayah KBI Bengkulu, kedua sektor ini merupakan salah satu andalan dalam penyaluran kredit. Dengan terjadinya krisis global dikhawatirkan kualitas kredit pada kedua sektor tersebut akan mengalami penurunan. Namun berdasarkan pengamatan selama Oktober hingga November 2008, secara umum kredit dikedua sektor ini belum menunjukkan permasalahan yang berarti. Hanya ada sebagian debitur terutama petani kelapa sawit dan karet yang meminta restrukturisasi kredit karena mengalami kesulitan dalam mengangsur kredit ke bank.

Terlepas dari tekanan yang sedang dialami oleh sektor perkebunan, kondisi BPR/S Bengkulu di tahun 2008 secara umum cukup stabil, meskipun sedikit mengalami penurunan jumlah DPK dan penyaluran kredit yang berdampak pada menurunnya LDR di triwulan IV, seperti yang terlihat pada grafik dibawah.

Sumber : Laporan BPR/S, Bank Indonesia, diolah

Page 25: Sejarah Perbankan Syariah

Sementara itu, kondisi perbankan secara umum tidak jauh berbeda. Tingkat NPL yang diperkirakan akan naik karena keadaan ekonomi yang kurang baik, ternyata masih belum terlihat. Di bawah ini disajikan perkembangan perbankan sepanjang tahun 2008.

Sumber : Laporan Bank Umum, Bank Indonesia, diolah

Menghadapi tahun 2009, tampaknya masih akan diwarnai dengan tantangan ekonomi yang cukup berat dan penuh dengan ketidakpastian akibat dari krisis keuangan global. Oleh karen itu, pihak perbankan diharapkan agar lebih berhati-hati dalam menyalurkan kredit pada sektor-sektor yang diperkirakan akan rentan terhadap krisis keuangan global dan selalu memantau perkembangan kredit yang telah disalurkan. Dengan manajamen resiko yang penuh kehati-hatian, diharapkan perbankan dapat meminimalisir dampak negatif dari krisis keuangan global.

Strategi Bank syariah menghadapi krisis global

pertama, Strategi Konsolidasi. Strategi ini diaplikasikan melalui perlindungan dan penguatan posisi bersaing bank syariah di pasar. Ini tidak berarti manajemen hanya diam menyaksikan dinamika pasar dan invasi pesaing. Manajemen harus fokus padacore competence bank syariah terutama komitmen pada penerapan prinsip-prinsip syariah, kekuatan struktur modal, dan ketersediaan dana pihak ketiga. Kesadaran untuk memenuhi kompetensi akan membantu peningkatan sumber daya yang dimiliki sehingga memberikan posisi bersaing yang lebih baik dibandingkan pesaing.

Kedua, Keunggulan Biaya. Pencapaian tingkat keuntungan bagi pemegang saham dan deposan yang lebih tinggi dari biasanya akan memudahkan bank syariah menerapkan strategi konsolidasi di atas. Cara terbaik adalah dengan memotong biaya operasional (service cost) yang dikeluarkan. Sesungguhnya struktur modal bank syariah tidak mengandung utang sehingga tidak ada pembayaran bunga tetap kepada deposan ataushahibul maal lainnya. Hal ini memberikan keunggulan bersaing bagi bank syariah dibanding bank konvensional karena tekanan terhadap manajemen terkait pengambilan risiko dan keputusan investasi akan sedikit mengendur. Oleh karena itu, biaya manajerial relatif lebih mudah ditangani daripada biaya bunga.

Ketiga, Merger dan Akuisisi. Berdasarkan pengalaman lembaga keuangan maupun non-keuangan, strategi ini merupakan strategi yang paling umum direkomendasikan. Penggabungan usaha akan berpengaruh positif terhadap skala ekonomi, kemampuan bersaing dan bersinergi bank syariah. Namun ada sedikit catatan yang perlu diperhatikan, yaitu merger dua bank syariah yang lemah hanya akan menghasilkan sebuah bank syariah yang tidak cukup kuat. Perbedaan sifat (sumber dan penggunaan dana, struktur biaya) antara bank syariah dan bank konvensional juga harus benar-benar dipertimbangkan jika diterapkan pada dua jenis bank yang berlainan.

Strategi ini dapat digunakan bank syariah dengan mengambil inisiatif-inisiatif untuk memaksimalkan peluang dan meminimalisir ancaman. Pertama, Ekspansi Pasar. Krisis keuangan global akan memberikan bank syariah peluang yang cukup terbuka untuk memasuki pasar yang selama ini kurang terjamah. Pasar ini menyediakan nasabah dari sektor baru seperti pembiayaan UMKM, pemberdayaan perempuan, dan kebutuhan pendanaan APBD bagi pemerintah daerah. Ini akan memberikan peluang emas bagi bank

Page 26: Sejarah Perbankan Syariah

syariah untuk memenangkan sektor-sektor baru. Bank syariah dapat memperluas aktivitas pembiayaan dan mendiversifikasi sumber dananya melalui pendirian kantor cabang baru atau berafiliasi dengan bank di segmen pasar yang belum banyak tersentuh ini.

Kedua, Strategi Diversifikasi. Bank syariah bisa mengeluarkan produk baru atau melakukan inovasi terhadap produk yang sudah ada, tentu dengan persetujuan Dewan Pengawas Syariah. Hal ini dapat dikerjakan bersamaan dengan pengenalan segmen pasar yang baru. Strategi ini meliputi pergerakan bank syariah menuju pasar dengan menawarkan produk baru. Bank syariah dapat merambah pasar dengan membawa produk baru pada industri keuangan, seperti pendirian dan investasi di asuransi syariah, reksadana syariah dan lembaga keuangan syariah lainnya. Selain itu, bank syariah dapat melakukan diversifikasi investasinya di luar sektor keuangan melalui investasi langsung ke sektor riil seperti pabrik-pabrik manufaktur, rumah sakit, dan perusahaan industri lain.

Ketiga, Kepemimpinan Dinamis. Krisis juga otomatis memaksa bank syariah mengubah sasarannya secara mendalam dan struktural. Oleh karena itu, pimpinan bank syariah dituntut mengambil tindakan yang responsif, cerdas, dan cukup fleksibel. Karakter kepemimpinan yang unik dan kuat akan menjadi faktor penentu berhasil tidaknya penerapan strategi-strategi yang telah disusun. Para manajer puncak harus mampu mengendalikan aktivitas operasional bank syariah secara stabil melewati badai krisis. Manajer-manajer bank syariah saat ini ditantang untuk lebih berani mengambil keputusan bersifat strategis sebagai bentuk respon atas situasi yang mendesak. Para manajer muda juga dapat diberi kesempatan untuk mengawal bank syariah dan mencoba melakukan berbagai terobosan baru yang inovatif.

Kaitan krisis global dengan ajaran agama yang digunakan pada bank syariah

Banyak pihak terutama pengamat ekonomi yang bertanya apakah dasar yang digunakan pada Bank Syariah sebagai bank dengan syariat Islam sehingga bank tersebut tahan terhadap krisis keuangan global dengan menggunakan ajaran agama , hal ini membuat saya penasaran dan ingin lebih dalam mempelajari ini lebih dalam agar mengerti hubungan antara islam dan bank syariah sendiri. Dan saya menemukan beberapa hal yang berhubungan dengan aturan bermuamalah pada bank syariah dengan cakupan yang lebih luas dan spesifik seperti sebagai berikut :

1. Ajaran islam mengajarkan bahwa Tauhid dimana hanya Allah SWT pemilik semua isi langit dan bumi (Luqman:26) dan manusia diciptakan sebagai wakilnya (khalifah) di muka bumi (Al Ahzab:72). Hubungan ini membawa konsekuensi bahwa setiap tindakan manusia harus sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh sang pencipta.

2. Sumber hukum utama adalah Al-Qur’an dan Sunnah ditambah sumber hukum lain (Fiqh) seperti ijtihad, Ijma, Qiyas, dll sehingga ketetapan dan larangan muamalah dalam Islam adalah merujuk langsung kepada ketentuan Illahi dan Rasul-Nya.

3. Sistem ekonomi Islam dijalankan dengan 5 prinsip (Mannan, MA, 1986) yaitu (1) Konsep Al Qur’an (2) Keterkaitan antara Al Qur’an dengan As Sunnah dan sumber-sumber hukum Islam

Page 27: Sejarah Perbankan Syariah

lainnya (3) Kepemilikan pribadi yang dibatasi nilai-nilai Islam (4) Persaudaraaan antara muslim dan umat manusia dan; (5) Kedaulatan mutlak di tangan Allah SWT.

4. Dalam bermuamalah, Islam melarang praktek riba (Al Baqarah: 275-280) dan jual beli utang kecuali pada par value (Al Baqarah: 282). Kredit perbankan berbasis bunga di dua negara maju atas jelas melanggar larangan riba, termasuk jual beli surat utang melalui transaksi derivatif di pasar keuangan yang bahkan volumenya telah jauh melebihi kapasitas riil perekonomian. Al Qur’an Surah Al Maidah: 90 dan ketentuan fiqh muamalah (ijtihad dan ijma) juga melarang transaksi keuangan yang mengandung ketidakpastian (gharar), perjudian (qimar), penipuan (fraud). Perdagangan surat utang mortgagetermasuk CDS sebagai instrumen hedgeging yang nilainya lebih besar dari kapasitas perekonomian mencerminkan adanya praktek spekulasi (qimar) dan gharar serta rentan penipuan (fraud).

Selain itu, berubahnya struktur sistem keuangan seperti yang disebutkan di atas menyebabkan konsentrasi likuiditas perbankan ada pada sektor keuangan (pasar uang) dan bukan sektor riil sebagaimana fungsi intermediasi perbankan yang seharusnya mereka dijalankan. Ini termasuk kategori penimbunan harta (hoarding) yang juga dilarang dalam Islam (At Taubah: 34). Praktek hoarding yang terjadi ini bahkan berujung kepada eksploitasi keuangan dan keguncangan perekonomian seperti yang dirasakan sekarang.

Para pemilik uang (investor) telah hidup berlebih-lebihan tanpa memperdulikan perkembangan sektor riil yang melibatkan banyak pengusaha menengah-kecil dan orang-orang tidak mampu. Islam melarang hidup berlebih-lebihan sebagaimana disebutkan dalam Surah Al A’raf: 31 dan Al Furqan: 67 walaupun Islam mengakui perbedaan taraf hidup dan penghasilan. Kesejahteraan negara (welfare state) dalam pandangan Islam tidak hanya mencakup aspek ekonomi namun juga sosial bahkan akhirat sehingga ketentuan memberi zakat, infaq, shadaqah, qardh, dll diwajibkan dan sangat dianjurkan untuk meminimalkan kesenjangan taraf hidup antara masyarakat berpenghasilan tinggi dan rendah. Mungkin krisis keuangan global yang terjadi di negara-negara maju dan berdampak luas ke negara lain memberikan pesan kepada umat manusia bahwa nilai-nilai rohani telah banyak diabaikan. Sudah saatnya, pelaku ekonomi baik muslim maupun non muslim kembali kepada nilai-nilai rohani yang diajarkan agama mereka agar terhindar dari masalah krisis ekonomi maupun