sejarah masuknya islam di indonesia
DESCRIPTION
sejarahTRANSCRIPT
SEJARAH MASUKNYA ISLAM DI INDONESIA
Masuknya Agama Islam di IndonesiaSekitar abad ke-7 dan ke-8 Indonesia sudah ada pedagang-pedagang dari India (Gujarat), Arab dan Persia. Mereka berdagang di Indonesia dengan memperdagangkan rempah-rempah dan emas. Pada waktu itu Selat Malaka merupakan tempat yang paling ramai di Nusantara, maka dari itu Selat Malaka berperan sebagai pintu gerbang ke lautan Nusantara.
Sambil menunggu angin musim yang baik, para pedagang asing tersebut melakukan interaksi dengan penduduk setempat, selain menjalin hubungan dagang, para pedagang asing membawa ajaran Islam beserta kebudayaannya sehingga semakin lama ajaran dan kebudayaan Islam berpengaruh terhadap penduduk setempat.
Pada awalnya pengaruh Islam hanya berkembang di daerah-daerah pantai, namun lambat laun berkembang di wilayah pedalaman. Ada beberapa pendapat yang menyatakan tentang masuknya Islam ke Indonesia. Pendapat tersebut antara lain :
1. Masuknya Islam ke Indonesia antara abad 7 dan 8, buktinya pada abad 7 dan 8 telah terdapat perkampungan Islam di sekitar Malaka.
2. Islam masuk ke Indonesia pada abad 11, buktinya Nisan Fatimah binti Maimun di desa Leran (Gresik) Jawa Timur yang berangka tahun 1082
3. Islam masuk ke Indonesia pada abad 13, buktinya :
Batu nisan Sultan Malik Al Saleh berangka tahun 1297 Catatan Marcopolo tahun 1292 yang menyatakan bahwa penduduk Perlak
telah memeluk agama Islam Catatan Ibnu Batutah tahun 1345 -1346 yang menyatakan bahwa penguasa
Samudra Pasai menganut paham Syafi’i Catatan Ma Huan yang menyatakan bahwa pada abad 15 sebagian besar
masyarakat di Pantai Utara Jawa Timur telah memeluk agama Islam Summa Oriental karya dari Tome Pires yang memberitahukan tentang
penyebaran Islam meliputi Sumatera, Kalimantan, Jawa hingga kepulauan Maluku.
Kerajaan Islam yang berkembang di Indonesia
Kerajaan Samudra PasaiKerajaan Samudra Pasai merupakan kerajaan Islam yang pertama kali berdiri di Indonesia. Kerajaan Samudra Pasai yang terletak di Lhokseumawe berdiri pada abad ke-13. Raja pertama Samudra Pasai adalah Sultan Malik Al Saleh yang memerintah hingga tahun 1297.
Sepeninggal Sultan Malik Al Saleh, Samudra Pasai diperintah oleh Sultan Malik Al Tahir. Pada masa pemerintahannya Samudra Pasai berkembang menjadi daerah perdagangan dan penyebaran Islam.
Banyak pedagang muslim Arab dan Gujarat yang tinggal di Samudra Pasai sehingga Samudra Pasai berperan besar dalam penyebaran agama Islam di Indonesia
Perkembangan Kerajaan Samudra Pasai didorong beberapa faktor yaitu :
1. Letak Samudra Pasai strategis di tepi selat Malaka2. Melemahnya kerajaan Sriwijaya yang menyebabkan Samudra Pasai berkesempatan
untuk berkembang
Samudra pasai selanjutnya diperintah oleh Sultan Ahmad. PADA masa ini terjalin dengan kesultanan Dehli di India yang dibuktikan dengan kedatangan Ibnu Batutah di Samudra Pasai tahun 1345 kerajaan Samudra Pasai akhirnya mengalami kemunduran sepeninggal Sultan Ahmad. Hal ini disebabkan oleh terdesaknya perdagangan Samudra Pasai oleh Malaka
Kerajaan AcehKerajaan Aceh berdiri pada awal abad ke-16 yang didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah setelah berhasil melepaskan diri dari kerajaan Pedir. Beberapa faktor yang mendorong berkembangnya kerajaan Aceh, antara lain :
Jatuhnya Malaka dalam kekuasaan Portugis tahun 1511 Letak kerajaan Aceh sangat strategis pada jalur perdagangan internasional Kerajaan Aceh mempunyai pelabuhan dagang yang ramai dan menjadi pusat agama
Islam.
Kerajaan Aceh akhirnya mengalami puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Wilayah kekuasaan kerajaan Aceh bertambah luas hingga ke Deli, Nias, Bintang, Johor, Pahang, Perah dan Kedah. Dalam upayanya memperluas wilayah ternyata diikuti dengan upacara penyebaran agama Islam sehingga daerah-daerah yang dikuasai Kerajaan Aceh akhirnya menganut Islam
Corak pemerintahan kerajaan Aceh memiliki ciri khusus yang didasarkan pemerintahan sipil dan agama. Hukum adat dijalankan berlandaskan Islam yang disebut Adat Maukta Alam.
Setelah Sultan Iskandar Muda meninggal Aceh mengalami kemunduran karena :
Tidak ada raja-raja yang mampu mengendalikan daerah Aceh yang demikian luas Timbulnya pertikaian antara golongan bangsawan (teuku) dan golongan ulama
(teungku) Timbulnya pertikaian golongan ulama yang beraliran Syiah dan Sunnah Wal Jamaah Banyak daerah yang melepaskan diri seperti Johong, Pahang, Perlak, Minangkabau
dan Syiak Mundurnya perdagangan karena selat Malaka dikuasai Belanda (1641)
2. Kerajaan DemakKerajaan Demak didirikan oleh Raden Patah pada akhir abad 15, setelah berhasil melepaskan diri dari pengaruh kerajaan Majapahit. Kerajaan Demak merupakan kerajaan Islam pertama yang berdiri di Pulau Jawa.Pada masa pemerintahan Raden Patah, Demak mengalami perkembangan pesat. Faktor-faktor pendorong kemajuan kerajaan Demak adalah :
1. Runtuhnya kerajaan Majapahit2. Letak Demak strategis di daerah pantai sehingga hubungan dengan dunia luar menjadi
terbuka.3. Pelabuhan Bergota di Semarang merupakan pelabuhan ekspor impor yang sangat
penting bagi Demak
4. Demak memiliki sungai sebagai penghubung daerah pedalaman
Kerajaan Demak dengan bantuan wali sanga berkembang menjadi pusat penyebaran agama Islam di Jawa pada masa inilah Masjid Agung Demak dibangun. Ketika Malaka. Dikuasai Portugis, Demak merasa dirugikan sehingga pasukan Demak yang dipimpin Pati Unus dikirim untuk menyerang Portugis di Malaka tahun 1513, tetapi mengalami kegagalan. Pati Unus kemudian terkenal dengan sebutan Pangeran Sabrang Lor.
Kerajaan PajangKerajaan pajang didirikan oleh Joko Tingkir yang telah menjadi raja bergelar Sultan Hadiwijaya. Pada masa pemerintahannya, kerajaan mengalami kemajuan. Pengganti Sultan Hadiwijaya adalah putraya bernama pangeran Benowo. Pada masa pemerintahannya, terjadi pemberontakan Arya Pangiri (Putra Sultan Prawoto). Akan tetapi pemberontakan tersebut dapat ditumpas oleh Sutawijaya (Putra Ki Ageng Pemanahan). Pangeran Benowo selanjutnya menyerahkan pemerintahan Pajang kepada Sutawijaya. Sutawijaya kemudian memindahkan pemerintahan Pajang ke Mataram.
Kerajaan Mataram Islam
Kerajaan Mataram Islam berdiri tahun 1586 dengan raja yang pertama Sutawijaya yang bergelar Panembahans Senopati (1586-1601). Pengganti Penembahan Senopati adalah Mas Jolang (1601 – 1613). Dalam usahanya mempersatukan kerajaan-kerajaan Islam di Pantai untuk memperkuat kedudukan politik dan ekonomi Mataram. Mas Jolang gugur dalam pertempuran di Krapyak sehingga dikenal dengan nama Panembahan Seda Krapyak.
Kerajaan Mataram kemudian diperintah Sultan Agung pada masa inilah Mataram mencapai puncak kejayaan. Wilayah Mataram bertambah luas meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur dan sebagian Jawa Barat kemajuan yang dicapai Sultan Agung meliputi :
1) Bidang PolitikSultan Agung berhasil menyatukan kerajaan-kerajaan Islam di Jawa dan menyerang VOC di Batavia. Serangan Mataram terhadap VOC dilakukan tahun 1628 dan 1929 tetapi gagal mengusir VOC. Penyebab kegagalan antara lain :a. Jaraknya terlalu jauh yang mengurangi ketahanan prajurit Mataramb. Kekurangan persediaan makananc. Pasukan Mataram kalah dalam persenjataan dan pengalaman perang.
2) Bidang EkonomiKerajaan Mataram mampu meningkatkan produksi beras dengan memanfaatkan beberapa sungai di Jawa sebagai irigasi
3) Bidang Sosial Budaya
1. Munculnya kebudayaan kejawen yang merupakan kebudayaan asli Jawa dengan kebudayaan Islam
2. Sultan Agung berhasil menyusun Tarikh Jawa3. Ilmu pengetahuan dan seni berkembang pesat, sultan Agung mengarang kita sastra
Gending Nitisruti dan Astabrata.
Sepeninggal Sultan Agung tahun 1645, kerajaan mataram mengalami kemunduran sebab penggantinya cenderung bekerjasama dengan VOC.
Kerajaan CirebonKerajaan Cirebon didirikan Fatahillahs setelah menyerahkan Banten kepada putranya. Pada masa pemerintahan Fatahillah (Sunan Gunung Jati) perkembangan agama Islam di Cirebon mengalami kemajuan pesat. Pengganti Fatahillah setelah wafat adalah penembahan Ratu, tetapi kerajaan Cirebon mengalami kemunduran. Pada tahun 1681 kerajaan Cirebon pecah menjadi dua, yaitu Kasepuhan dan Kanoman.
Kerajaan MakasarKerajaan Makasar yang berdiri pada abad 18 pada mulanya terdiri dari dua kerajaan yaitu kerajaan Gowa dan Tallo (Gowa Tallo) yang beribu kota di Sombaopu. Raja Gowa Daeng Maurabia menjadi raja Gowa Tallo bergelar Sultan Alaudin dan Raja Tallo Karaeng Matoaya menjadi patih bergelar Sultan Abdullah.Kerajaan Gowa Tallo (Makasar) akhirnya dapat berkembang menjadi pusat perdagangan yang didorong beberapa faktor, antara lain :
1. Letaknya strategis yang menghubungkan pelayaran Malaka-Jawa-Maluku2. Letaknya di muara sungai yang memudahkan lalu lintas perdagangan antar daerah
pedalaman3. Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis yang mendorong para pedagang mencari
pelabuhan yang memperjual belikan rempah-rempah4. Kemahiran penduduk Makasar dalam bidang pelayaran dan pembuatan kapal.
Kerajaan TernateKerajaant Ternate berdiri pada abad ke-13 yang beribu kota di Sampalu. Agama Islam mulai disebarkan di Ternate pada abad ke-14. pada abad ke-15 Kerajaan Ternate dapat berkembang pesat oleh kekayaan rempah-rempah terutama cengkih yang dimiliki Ternate dan adanya kemajuan pelayaran serta perdagangan di Ternate.
Ramainya perdagangan rempah-rempah di Maluku mendorong terbentuknya persekutuan dagang yaitu :
Uli Lima (Persekutuan Lima) yang dipimpin Kerajaan Ternate Uli Syiwa (Persekutuan Sembilan) yang dipimpin kerajaan Tidore
Kerajaan Ternate mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Baabullah. Pada saat itu wilayah kerajaan Ternate sampai ke daerah Filipina bagian selatan bersamaan pula dengan penyebaran agama Islam. Oleh karena kebesaransnya, Sultan Baabullah mencapa sebutan “Yang dipertuan” di 72 pulau.
Kerajaan TidoreKerajaan Tidore berdiri pada abad ke-13 hampir bersamaan dengan kerajaan Ternate. Kerajaan Tidore juga kaya rempah-rempah sehinga banyak dikunjungi para pedagang. Pada awalnya Ternate dan Tidore bersaing memperebutkan kekuasaan perdagangaan di Maluku. Lebih-lebih dengan datangnya Portugis dan Spanyol di Maluku. Akan tetapi kedua kerajaan tersebut akhirya bersatu melawan kekuasaan Portugis di Maluku.
Kerajaan Tidore mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Nuku. Pada masa pemerintahannya berhasil memperluas daerahnya sampai ke Halmahera, Seram dan Kai sambil melakukan penyebaran agama Islam.
Sejarah kerajaan pajajaran
Setelah Kerajaan Tarumanegara (abad 5-7 M) runtuh di Jawa Barat terdapat beberapa Kerajaan. Sumber-sumber sejarahnya diperoleh dari beberapa prasati. Seperti Batu Tulis dan Kebantenan (Bogor), Sanghyang Tapak (Sukabumi) dan berupa buku cerita Parahyangan.
Nama Pajajaran pernah disebut di dalam prasati yang ditemukan di desa Kebon Kopi, Bogor. Prasaati itu berangka tahun 854 M. prasasti ini ditulis dengan bahasa melayu kuno. Isinya tentang seorang Rakryan juru pengambat yang menuliskan Raja Pajajaran.
Sumber kesusasteraan yang lain menyebutkan bahwa Pajajaran sebagai suatu kerajaan di Jawa Barat. Kitab kesusasteraan itu adalah Kitab Carita Parahyangan (akhir abad ke 16). Kitab lain yang menyebutkan Kerajaan Pajajaran adalah Kitab Silisakanda ‘ng Karesian (1518). Berita Cina dari masa Dinasti Ming menyebut adanya Kerajaan Pajajaran.
Adapun raja-raja yang memerintah Kerajaan Pajajaran al :
RAJA JAYABHUPATI RAJA RAHYANG NISKALA WASTUKENCANA RAJA RAHYANG DEWA NISKALA RAJA SRI BADUGA MAHARAJA PRABU NISKALA WASTUKENCANA TOHAAN DIGALUH RATU SAMIAN PRABU RATU DEWATA SANG RATU SAKSI TOHAAN DIMAJAYA DAN NUSIYA MULYA
Sejarah kerajaan sunda
Kerajaan Sunda terletak di daerah Jawa Barat sekarang. Tak dapat dipastikan dimana pusat kerajaan ini sesungguhnya. Berdasarkan sumber sejarah berupa prasasti dan naskah-naskah berbahasa Sunda Kuno dikatakan bahwa pusat kerajaan Sunda telah mengalami beberapa perpindahan. Menurut Kitab Carita Parahyangan, Ibukota kerajaan Sunda mula-mula di Galuh, kemudian menurut Prasasti Sanghyang Tapak yang ditemukan di tepi sungai Cicatih, Cibadak Sukabumi, Isi dari prasasti itu tentang pembuatan daerah terlarang di sungai itu yang ditandai dengan batu besar di bagian hulu dan hilirnya. Oleh Raja Sri Jayabhupati penguasa kerajaan Sunda. Di daerah larangan itu orang tidak boleh menangkap ikan dan hewan yang hidup di sungai itu. tujuannya mungkin untuk menjaga kelestarian lingkungan (agar ikan dan
lain-lainnya tidak punah) siapa yang berani melanggar larangan itu, ia akan dikutuk oleh dewa-dewa.
Kerajaan Sunda beribu kota di Parahyangan Sunda. Sementara itu menurut prasasti Astana Gede (Kawali – Ciamis) ibu kota kerajaan Sunda berada di Pakwan Pajajaran. Mengenai perpindahan kerajaan ini tak diketahui alasannya. Akan tetapi, hal-hal yang bersifat ekonomi, keamanan, politik, atau bencana alam lazim menjadi alasan perpindahan pusat ibu kota suatu kerajaan.
Kerajaan Sunda menguasai daerah Jawa Barat untuk waktu yang lama, diantara rajanya, yang terkenal adalah Jaya Bhupati dan Sri Baduga Maharaja.
Jayabhupati
Sebenarnya nama Sunda pernah disebut didalam prasasti yang temukan di desa Kebon Kopi Bogor. Prasasti itu berangka tahun 854. Prasasti itu ditulis dengan bahasa Melayu Kuno, isinya tentang seorang Rakrayan Juru Pengambat yang memulihkan raja Sunda. Sumber kesusastraan yang sampai kepada kita adalah Carita Parahyangan (dari akhir abad ke-16) kitab lain yang juga menyebut kerajaan Sunda adalah Kitab “Siksa Kandang Karesia” (1518), berita Cina dari masa Dinasti Ming menyebut adanya kerajaan Sunda.
Didalam kita Carita Parahyangan disebutkan bahwa kerajaan itu memerintah seorang raja bernama Sanjaya. Tokoh itu dikenal juga dalam prasasti Canggal dari Jawa Tengah. Dalam kitab Carita Parahyangan disebutkan bahwa Raja Sanjaya menggantikan raja Sena yang berkuasa di Kerajaan Galuh. Kekuasaan raja Sena kemudian direbut oleh Rahyang Purbasora, Saudara seibu raja Sena. Sena sendiri menyingkir ke gunung Merapi bersama keluarganya. Setelah dewasa, Sanjaya berkuasa di Jawa Tengah. Ia berhasil merebut kembali kerajaan Galuh dari tangan Purbasora. Kerajaan kemudian berganti nama menjadi kerajaan Sunda.
Setelah masa pemerintahan JayaBhupati, pada tahun 1350 yang menjadi raja di kerajaan Sunda adalah Prabu Maharaja. Ia mempunyai seorang putri bernama Dyah Pitaloka.
Prabu Maharaja berperang melawan tentara Majapahit yang dipimpin Gajah Mada di daerah Bubat pada tahun 1354. dalam pertempuran itu raja Sunda bersama-sama para pengiringnya terbunuh. Kematian Raja Sunda dan pengiringnya membuat raja Majapahit yaitu Hayam Wuruk, marah besar kepada Gajah Mada, lalu Gajah Mada dipecat dari jabatannya.
Sri Baduga Majaraja
Ia adalah putra dari Ningrat Kancana. Sri Baduga merupakan raja yang besar. Ia membuat sebuah telaga yang diberi nama Telaga Rena Mahawijaya. Ia memerintahkan membangun parit di sekeliling ibukota kerajaannya yang bernama Pakwan Pajajaran. Raja Sri Baduga memerintah berdasarkan kitab hukum yang berlaku saat itu sehingga kerajaan menjadi aman dan tenteram. Keterangan tentang Raja Sri Baduga dapat kita jumpai dalam prasasti Batutulis yang ditemukan di Bogor.
Yang menjadi sumber sejarah kerajaan Sunda antara lain sebagai berikut :
1. Prasasti Rakryan Juru Pangambat, berangka tahun 854 Saka (932 M) ditemukan di Desa Kebon Kopi Bogor
2. Prasasti Sanghyang Tapak berangka tahun 952 Saka (1030 M) yang ditemukan di kampung Pangcalikan dan Bantar Muncang di tepi sungai Cicatih, Cibadak Sukabumi.
3. Prasasti Kampung Astanagede (Kawali) Ciamis4. Prasasti Horren, ditemukan di Jawa Timur5. Prasasti Kabantenan6. Prasasti Batu Tulis Bogor7. Kitab-kitab Susastra, seperti Pararaton, Kidung Sundayana dan Carita Parahyangan
serta Sanghyang Siksakanda.8. Berita Asing, seperti Berita Portugis dari Tome Pires (1513) dan Antonio Pigafetta
(1522)
PENYEBARAN ISLAM DI KERAJAAN CIREBON
BAB I
PENDAHULUAN
Islam masuk ke Indonesia pada abad 15 M, ajaran Islam ini di bawa oleh para
pedagang dari Arab dan Gujarat. Mereka selain berdagang juga sebagai mubaligh. Sebelum
agama dan kebudayaan Islam masuk ke Indonesia, Agama Hindu mendominasi diantara
rakyat Indonesia. Penyebaran Agama islam dilakukan dengan cara damai sehinggamudah
diterima oleh rakyat Indonesia. Setelah Majapahit runtuh, berdirilah kerajaan-kerajaan Islam
di jawa yaitu : Tuban, Gresik, Panarukan, Demak, Pati, Yuwana, Jepara, dan Kudus.
Proses islamisasi itu juga dilakukan melalui pendidikan di pesantren atau pondok
yang dilaksanakan oleh guru-guru agama, kyai-kyai, dan para ulama. Pesantren atau pondok
merupakan lembaga penting dalam penyebaran agama Islam. Cara dan pengaruh islamisasi
dapat pula melalui cabang-cabang seni, baik pada bangunan-bangunan atau makam-makam
kerajaan-kerajaan seperti yang ada di Cirebon maupun Banten.
Agama Islam juga membawa perubahan sosial, budaya serta memperhalus dan
memperkembangkan budaya Indonesia[1]. Agama Islam masuk dan menggeser Agama
Hindu yang telah ada sebelumnya.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Sejarah Kerajaan Cirebon
Kerajaan Cirebon merupakan bagian dari administratif Jawa Barat. Cirebon sendiri
mempunyai arti seperti di daerah-daerah lainnya. Cirebon berasal dari bahasa sunda “ci” yang
berarti air, sedangkan “rebon” berarti udang. Cirebon mempunyai ati sungai udang atau kota
udang. Cirebon didirikan pada 1 Sura 1445 M, oleh Pangeran Cakrabuana. Pada tahun 1479
M Pangeran Cakrabuana sebagai penguasa Cirebon yang bertempat di kraton Pakungwati
Cirebon menyerahkan kekuasaannya pada Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati adalah
seorang menantu Pangeran Cakrabuana dari ibu Ratu Mas Rara sasantang. Sejak inilah
Cirebon menjadi negara merdeka dan bercorak Islam.
Sebelum berdirinya kekuasaan politik Islam di bawah kekuasaan Sunan Gunung Jati
wilayah Cirebon dibagi menjadi dua daerah, pesisir dan pedalaman. Daerah pesisir dipimpin
oleh Ki Gendeng Jumajan Jati, sedangkan wilayah pedalaman dipimpin oleh Ki Gendeng
Kasmaya. Keduanya adalah saudara Prabu Anggalarung dari Galuh. Sunan Gunung Jati
kemudian menikah dengan Ratu Mas Pakungwati dari Cirebon pada tahun 1479 dan pada
tahun itu juga di bangun Istana Pakungwati atau keraton Kasepuhan[2].
Putra Sunan Gunung Jati yaitu Pangeran Pasarean pada tahun 1528 diangkut sebagai
pemangku kekuasaan di Cirebon. Sebelum sempat menggantikan ayahnya, Pangeran
Pasarean wafat pada tahun 1552. Sunan Gunung Jati kemudian mengangkat Aria Kemuning
menjadi sultan Cirebon. Aria Kemuning adalah anak angkat dari Sunan Gunung Jati. Aria
Kemuning atau julukannya Dipati Carbon 1 menjabat sebagai sultan Cirebon kurang lebih 12
tahun, yaitu sejak 1553-1565.
2. Berkembangnya Ajaran Islam di Kerajaan Cirebon
a. Perkembangan Islam pada Masa Syekh Idlofi Mahdi
Menurut Tome Pires, seorang musyafir dari negeri Portugis pendapat Islam masuk
pada Kerajaan Cirebon pada tahun 1470-1475. pada tahun 1420 M, datang serombongan
pedagang dari Baghdad yang dipimpin oleh Syekh Idlofi Mahdi, ia tinggal di dalam
perkampunganMuara Jati dengan alasan untuk memperlancar barang dagangannya. Syekh
Idlofi Mahdi memulai kegiatannya selain berdagang dia juga berdakwah dengan mengajak
penduduk serta teman-temannya untuk mengenal serta memahami ajaran Islam. Pusat
penyebarannya brada di Gunung Jati. Syekh Idlofi Mahdi menyebarkan agama Islam dengan
cara bijaksana dan penuh hikmah.
Sebelum masuknya Islam ke pulau jawa pada umumnya dan kerajaan Cirebon
khususnya, situasi masyarakat di pengaruhi sistem kasta pada ajaran agama Hindu kehidupan
masyarakatnya jadi bertingkat-tingkat. Mereka yang mempunyai kasta lebih tinggi tidak
dapat bergaul dengan dengan kasta yang lebih rendah atau pergaulan diantara mereka
dibatasi. Setelah ajaran Islam disebarkan oleh Syekh Idlofi Mahdi, susunan masyarakat
berdasarkan kasta ini mulai terkikis dan dimulailah kehidupan masyarakat tanpa adanya
perbedaan kasta[3].
b. Perkembangan Islam pada masa Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah.
Menurut semua sejarah lokal dari Cirebon termasuk cerita Purwaka Caruban Nagari,
masuknya Islam di Cirebon pada abad 15 yaitu pada tahun 1470. disebarkan oleh Sunan
Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah. Penyebaran agama Islam itu dimulai ketika Syarif
Hidayatullah berusia 27 tahun yaitu dengan menjadi mubaliqh Cirebon. Di tahun 1479 Syarif
Hidayatullah menikah dengan Nyi Ratu Pakungwati, putre dari pangeran Cakrabuana.
Pengganti pangeran Cakrabuana sebagai penguasa Cirebon di berikan pada Syarif
Hidayatullah. Pada tahun pengangkatannya Syarif Hidayatullah mengembangkan daerah
penyebarannya di wilayah Pajajaran.
Syarif Hidayatullah kemudian melanjutkan perjalanannya menuju ke daerah Serang
yang sebagian rakyatnya sudah mendengar tentang Islam dari pedagang-pedagang dari Arab
dan Gujarat yang berlabuh di pelabuhan Banten. Syarif Hidayatullah mendapat sambutan
hangat dari adipati Banten. Daerah-daerah yang telah diislamkan antara lain : Kuningan,
Sindangkasih, Telaga, Luragung, Ukur, Cibalagung, Kluntung, Bantar, Indralaya,
Batulayang, dan Timbangaten. Di wilayah Pejajaran Agama Islam berkembang pesat di
negeri Caruban yang dipimpin oleh Syarif Hidayatullah. Demak kemudian menjalin
persahabatan dengan Syarif Hidayatullah. Setelah mengenal Syarif Hidayatullah Raden Patah
bersama-sama para mubaliqh yang sudah bergelar sunan menetapkan Syarif Hidayatullah
sebagai Panata Gama Rasul di tanah Pasundan. Panata Gama Rasul artinya orang yang
ditetapkan sebagai pemimpin penyiaran Agam Nabi Muhamad di tanah Jawa. Kemudian atas
kesepakatan para sunan Syarif Hidayatullah di beri gelar Sunan Gunung Jati dan menjadi
Sunan paling terakhir yaitu sunan ke-9 dari sunan 9 sunan lainnya.
Kerajaan-kerajaan yang berhasil ditakhlukkan Sunan Gunung Jati diantaranya:
Talaga, sebuah kerajaan yang beragam Hindu yang terletak di sebelah barat daya Cirebon di
bawah kekuasaan Prabu Kacukumun.
Rajagaluh, bekas pusat kerajaan Pajajaran yang beragam Hindu yang diperintah Prabu
Cakraningrat. Prabu Cakraningrat tidak senang dengan kemajuan Cirebon dan persebaran
agama Islam di Cirebon di tangan Sunan Gunung Jati. Akibatnya timbulah perang antara
Cirebon dengan Rajagaluh, kemenangan berada di tangan Cirebon. Berakhirnya kekuasaan
Rajagaluh sekaligus merupakan berakhirnya kekuasaan kerajaan Hindu di daerah Jawa Barat
sebelah Timur.
Pada tahun 1498 para Walisongo yang diprakarsai oleh Sunan Gunung Jati
membangun Masjid Agung Cirebon. Pembangunannya dipimpin oleh Sunan Kalijaga
denganseorang arsitek Raden Sepat ( dari Majapahit bersama 200 orang pembantunya dari
Demak ). Masjid ini juga disebut Sang Cipta Rasa karena terlahir dari rasa dan kepercayaan
penduduk. Pada masa itu juga disebut dengan Masjid Pekungwati karena dulu masjid itu
terletak dalam komplek keraton Pekungwati dan sekarang dalam komplek kasepuhan.
Menurut cerita masjid itu dibangun dalam waktu semalam dan besok pada waktu subuh
digunakan untuk Sholat Subuh. Pada tahun 1568 Sunan Gunung Jati meninggal pada usia
yang sangat lanjut yaitu 120 tahun, dia dimakamkan di pertamanan Gunung Jati[4].
3. Cirebon Sebagai Bandar Dagang
Letak Cirebon yang strategis yaitu di daerah pesisir pantai Utara pulau Jawa. Cirebon
sebagai pusat pelabuhan berfungsi sebagai sumber pendapatan ekonomi dan sebagai keluar –
masuknya barang-barang kebutuhan pada masyarakat pedesaan, dengan luar daerah, maupun
dari negeri lain. Perdagangan ini melalui 2 jalur yaitu jalur darat dan jalur laut. Jalur darat
biasanya dengan alat transportasi darat seperti dengan berkuda atau mengendarai gajah.
Jalurnya dari Banyumas menuju Tegal kemudian menuju Periangan. 3 wilayah pedalaman
diandalkan sebagai penghasil bahan-bahan pertanian seperti sayur mayur, buah-buahan, padi.
Sedangkan barang dagangan yang dibawa dari luar daerah yaitu : logam, besi, emas, perak,
sutera, dan keramik. Barang-barang tersebut biasanya berasal dari Cina.
Dalam transaksi perekonomian dan perdagangan Cina mempunyai peranan yang
sangat besar karena barang-barang kebutuhan masyarakat dibawa oleh pedagang-pedagang
dari Cina. Mereka memakai sistem barter yang dimaksud barter disini yaitu barter uang
dengan mempergunakan mata uang. Perdagangan Ccirebon mengalami kemunduran karena
adanya monopoli perdagangan dari kompeni Belanda pada 30 April 1632.
4. Pelapisan Sosial Kerajaan Cirebon
Masyarakat Cirebon dibedakan berdasarkan kedudukan dan digolongkan menjadi 4
lapisan sosial :
a) Golongan Raja yang terdiri dari raja beserta keluarganya. Raja ditempatkan pada lapisan
paling tinggi. Para raja atau sultan Cirebon merupakan golongan ningrat yang tinggal di
lingkungan kerajaan atau istana. Raja menjalankan berbagai kebijaksanaan dan perintahnya.
Hubungan antara raja, bangsawan, dan masyarakat sangat dibatasi.
b) Golongan Elite terdiri dari para bangsawan, priyayi, tentara, golongan Islam, dan pedagang-
pedagang kaya. Patih menempati lapisan yang paling penting karena baik raja maupun
pejabat-pejabat penting lainnya merasa tunduk dan patuh kepada keamanan sang patih[5].
c) Golongan non Elite. Golongan ini terdiri dari lapisan masyarakat kecil yang pada umumnya
mempunyai mata pencaharian sebagai petani, psdagang, tukang, nelayan, dan golongan
masyarakat bawah. Golongan petani dan pedagang merupakan tulang punggung bagi
perekonomian kerajaan. Prajurit mempunyai tugas cukup berat yaitu ikut dalam peperangan.
d) Golongan Budak[6]. Golongan ini terdiri dari buruh, para budak, dan pekerja kasar. Mereka
adalah orang-orang yang bekerja berat secara fisik menjual tenaga badaniyah atau
mengerjakan pekerjaan kasar. Golongan ini tidak hanya laki-laki saja tetapi juga wanita
kadang anak-anak di bawah umur. Walaupun budak menempati posisi paling bawah tetapi
mereka dibutuhkan oleh raja untuk melayani kepentingan-kepentingannya.
5. Runtuhnya Kerajaan Cirebon
Kerajaan Cirebon terbagi menjadi 3 kesultanan yaitu, Keraton Kasepuhan dipegang oleh
Sultan Sepuh, Keraton Kanoman dipegang oleh Sultan Anom, Keraton Karicebonan dipegang
oleh Panembahan Karicebonan. Mereka hanya mengurusi kerajaan masing-masing.
Mengakibatkan kerajaan Cirebon perlahan-lahan mulai hancur.
Setelah Sultan Panembahan Gerilya wafat pada tahun 1702, terjadi perebutan kekuasaan
diantara kedua putranya, yaitu antara Pangeran Marta Wijaya dan Pangeran Wangsakerta. Di
samping itu adanya campur tangan VOC yang mengadu domba mereka membuat
persaudaraan mereka menjadi permusuhan.
BAB III
PENUTUP
Islam masuk ke Cirebon pada abad 15, ajaran Islam ini dibawa Syarif Hidayatullah
(Sunan Gunung Jati) dan Syekh Idlofi Mahdi. Mereka menyebarkan agama Islam dengan
berdakwah dan mendirikan pondok pesantren. Sunan Gunung Jati, mempunyai daerah
penyebaran paling luas. Pada tahun 1498 Sunan Gunung Jati membangun Masjid Agung
Cirebon dan dibantu oleh kedelapan para wali. Pada tahun 1568 Sunan Gunung Jati wafat dan
beliau dimakamkan di pertamanan Gunung Jati.
Cirebon menjadi pusat perdagangan karena letaknya di daerah pesisir utara pulau
Jawa. Perdagangan ini melalui 2 jalur yaitu jalur darat dan jalur laut. Pedagang dari luar
negara yang mendukung perekonomian di Cirebon adalah Cina dengan barang dagangannya
yaitu sutra dan keramik. Masyarakat Cirebon dibedakan berdasarkan status sosialnya yang
dibedakan menjadi 4 golongan, yaitu golongan Raja, golongan Elite, golongan Nonelite, dan
golongan Budak. Mereka mempunyai kedudukan didalam lingkungan kerajaan.
Cirebon mulai mengalami kehancuran ketika Cirebon dibagi menjadi 3 Kesultanan,
Yaitu Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, dan Kerato Kacirebonan. Sehingga kerajaan
Cirebon menjadi terpecah-pecah. Disamping itu adanya perebutan kekuasaan sepeninggal
Panembahan Gerilya pada tahun 1702. Adanya campur tangan VOC dalam kerajaan yang
mengadu domba mereka juga menjadi penyebab hancurnya kerejaan Cirebon.
DAFTAR PUSTAKA
Kosoh, dkk. Sejarah daerah Jawa Barat. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat
Jenderal Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, PN. Balai Pustaka, Jakarta,
1994.
Kartodirjo, Sartono. Pengantar Sejarah Indonesia Baru : 1500-1900 dari Emporium sampai
Imporium, Jilid 1. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995.
Bockani, Sanggupri, dkk. Sejarah Kerajaan Tradisional Cirebon. CV. Sukorejo Bersinar, Jakarta,
2001.
PS. Sulendraningrat. Sejarah Cirebon. PN Balai Pustaka, Jakarta, 1985.
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia III. Depdikbud,
1982.
[1] Pendapat ini berbeda dengan pendapat J.C.Van Leur yang menyatakan bahwa Islam tak membawa perubahan yang lebih tinggi baik dalam segi sosial budaya maupun dalam perkembangan ekonominya.[2] Menurut Sulendraningrat dalam bukunya.“ sedjarah Tjirebon” th.1975.hal 16
[3] M. Sanggupi Bochari, Wiwi Kuswiah. “Sejarah Tradisional Kerajaan Cirebon”, Jakarta. 2001. hal. 18-19.[4] Ibid., hal. 83
[5] G.Gronggrip,”Schets Eener Economisnhe Geshie Dedenis Van Nederlandsc Indie”. Harleem. 1928.hal. 20[6] Sartono Kartodirjo. “ Sejarah Nasional Indonesia Jilid III”. Dep. P & K. 1975. hal. 176