sejarah makam perjuangan mandor

28
SEJARAH MANDOR 1. Sejarah Menurut Syarif Ibrahim Alqadrie, Kesultanan Kadriah Pontianak di Kalimantan Barat adalah kesultanan termuda di nusantara, bahkan di dunia, karena kesultanan ini didirikan relatif paling terakhir dibandingkan dengan kemunculan kesultanan-kesultanan lainnya (Syarif Ibrahim Alqadrie, 1979:12). Pada tanggal 23 Oktober 1771 Masehi, kesultanan yang lahir dari perpaduan kebudayaan Arab, Melayu, Bugis, dan Dayak ini resmi didirikan oleh Syarif Abdurrahman Alqadrie (Ansar Rahman, et.al, 2000:xxvii). a. Riwayat Berdirinya Kesultanan Kadriah – Pontianak Syarif Abdurrahman Alqadrie yang menjadi sosok sentral atas berdirinya Kesultanan Kadriah Pontianak di Kalimantan Barat adalah putra dari Sayid Habib Husein Alqadrie, seorang penyiar agama Islam asal Timur Tengah. Husein Alqadrie dilahirkan pada tahun 1706 M di sebuah kota kecil bernama Trim di Hadramaut (Yaman Selatan). Setelah mendalami ajaran Islam dan ilmu pengetahuan lainnya selama lebih dari 4 tahun, Husein Alqadrie berkeinginan merantau ke negeri-negeri timur. Keinginan itu didukung oleh tiga kawan seperguruannya yakni Sayid Abubakar Alaydrus, Sayid Umar Assegaf, dan Sayid Muhammad Ibnu Ahmad Qudsi (Mahayudin Haji Yahya, 1999:224). Dalam perantauannya, keempat pendakwah itu tiba di Terengganu (sekarang termasuk wilayah negara Malaysia). Dari Terengganu, mereka kemudian menuju ke Aceh . Di sinilah keempat sahabat itu berpisah. Sayid Abu Bakar Alaydrus tetap tinggal di Aceh, Sayid Umar Bachsan Assegaf meneruskan perjalanan ke Siak , dan Sayid Muhammad Ibnu Ahmad Al-Qudsi kembali ke Terengganu (Rahman, 2004:16). Sedangkan Husein Alqadrie sendiri melanjutkan perjalanannya menyusuri Pantai Timur Sumatra menuju ke Pulau Jawa untuk mengunjungi negeri-negeri Islam yang dilaluinya, termasuk Palembang, Banten, Cirebon, Demak, Mataram, Jawa bagian timur, dan Betawi (Yahya, 1999:224-225). Husein Alqadrie kemudian menetap di Semarang selama dua tahun. Dari Semarang, ia menyeberangi lautan hingga sampai di wilayah Kesultanan Matan di Ketapang, Kalimantan Barat. Kehadiran Husein

Upload: aloeng-ps

Post on 04-Jul-2015

634 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: sejarah makam perjuangan mandor

SEJARAH MANDOR 1. Sejarah

Menurut Syarif Ibrahim Alqadrie, Kesultanan Kadriah Pontianak di Kalimantan Barat adalah kesultanan termuda di nusantara, bahkan di dunia, karena kesultanan ini didirikan relatif paling terakhir dibandingkan dengan kemunculan kesultanan-kesultanan lainnya (Syarif Ibrahim Alqadrie, 1979:12). Pada tanggal 23 Oktober 1771 Masehi, kesultanan yang lahir dari perpaduan kebudayaan Arab, Melayu, Bugis, dan Dayak ini resmi didirikan oleh Syarif Abdurrahman Alqadrie (Ansar Rahman, et.al, 2000:xxvii).

a. Riwayat  Berdirinya Kesultanan Kadriah – Pontianak

Syarif Abdurrahman Alqadrie yang menjadi sosok sentral atas berdirinya Kesultanan Kadriah Pontianak di Kalimantan Barat adalah putra dari Sayid Habib Husein Alqadrie, seorang penyiar agama Islam asal Timur Tengah. Husein Alqadrie dilahirkan pada tahun 1706 M di sebuah kota kecil bernama Trim di Hadramaut (Yaman Selatan). Setelah mendalami ajaran Islam dan ilmu pengetahuan lainnya selama lebih dari 4 tahun, Husein Alqadrie berkeinginan merantau ke negeri-negeri timur. Keinginan itu didukung oleh tiga kawan seperguruannya yakni Sayid Abubakar Alaydrus, Sayid Umar Assegaf, dan Sayid Muhammad Ibnu Ahmad Qudsi (Mahayudin Haji Yahya, 1999:224).

Dalam perantauannya, keempat pendakwah itu tiba di Terengganu (sekarang termasuk wilayah negara Malaysia). Dari Terengganu, mereka kemudian menuju ke Aceh. Di sinilah keempat sahabat itu berpisah. Sayid Abu Bakar Alaydrus tetap tinggal di Aceh, Sayid Umar Bachsan Assegaf meneruskan perjalanan ke Siak, dan Sayid Muhammad Ibnu Ahmad Al-Qudsi kembali ke Terengganu (Rahman, 2004:16). Sedangkan Husein Alqadrie sendiri melanjutkan perjalanannya menyusuri Pantai Timur Sumatra menuju ke Pulau Jawa untuk mengunjungi negeri-negeri Islam yang dilaluinya, termasuk Palembang, Banten, Cirebon, Demak, Mataram, Jawa bagian timur, dan Betawi (Yahya, 1999:224-225).

Husein Alqadrie kemudian menetap di Semarang selama dua tahun. Dari Semarang, ia menyeberangi lautan hingga sampai di wilayah Kesultanan Matan di Ketapang, Kalimantan Barat. Kehadiran Husein Alqadrie disambut baik oleh keluarga Kesultanan Matan yang waktu itu dipimpin oleh Sultan Muhammad Muazzuddin (1724−1738 M). Husein Alqadrie berhasil menawan hati warga Kesultanan Matan karena tidak lama setelah kedatangannya, Husein Alqadrie diangkat menjadi hakim/qadhi kesultanan oleh Sultan Muhammad Muazzuddin. Bahkan oleh rakyat Matan, Husein Alqadrie sangat dihormati seperti layaknya seorang wali (Musni Umberan, et.al., 1995:46-47).

Tidak hanya itu, Husein Alqadrie kemudian dinikahkan dengan anak perempuan Sultan Muhammad Muazzuddin yang bernama Nyai Tua. Dari perkawinan itu, Husein Alqadrie dikaruniai 4 orang anak, yaitu Syarifah Khadijah, Syarif Abdurrahman Alqadrie, Syarifah Mariyah, dan Syarif Alwie Al-Qadrie. Syarif Abdurrahman Alqadrie dilahirkan pada tahun 1739 M (Alqadrie, 2005, dalam http://syarif-untan.tripod.com).

Pada tahun 1738 M, Sultan Matan, Sultan Muhammad Muazzuddin, wafat dan digantikan Sultan Muhammad Tajuddin (1738–1749 M). Husein Alqadrie masih bertahan di Kesultanan Matan hingga Sultan Muhammad Tajuddin digantikan oleh Sultan Ahmad Kamaluddin (1749−1762 M). Pada masa ini, Husein Alqadrie berselisih paham dengan Sultan Ahmad Kamaluddin tentang

Page 2: sejarah makam perjuangan mandor

kebijakan hukuman mati. Ketidaksepahaman ini membuat Husein Alqadrie beserta keluarganya meninggalkan Matan pada tahun 1755 M dan beralih ke Kesultanan Mempawah yang kala itu dipimpin oleh Opu Daeng Menambun (1740-1766 M) (Alqadrie, 2005, dalam http://syarif-untan.tripod.com).

Rombongan Husein Alqadrie disambut suka-cita oleh keluarga Kesultanan Mempawah. Husein Alqadrie kemudian diangkat sebagai patih dan imam besar Kesultanan Mempawah. Atas izin Opu Daeng Menambon pula, Husein Alqadrie menempati daerah Kuala Mempawah atau Galah Herang yang menjadi tempat di mana ia mengajarkan Islam. Untuk mempererat hubungan antara keluarga Husein Alqadrie dengan Kesultanan Mempawah, maka Syarif Abdurrahman Alqadrie dinikahkan dengan putri Opu Daeng Menambon dari Ratu Kesumba, bernama Putri Candramidi. Perkawinan ini dikaruniai tiga orang putra dan tiga orang putri (Muhammad Hidayat, tt: 21).

Kesukaan Syarif Abdurrahman Alqadrie adalah berkelana, baik untuk berdagang atau sekadar berpetualang mengunjungi negeri-negeri lain. Pada tahun 1759 M, Abdurrahman Alqadrie mengadakan pelayaran ke beberapa tempat seperti ke Pulau Tambelan, Siantan, dan Siak. Selanjutnya, pada tahun 1765 M, ia berlayar menuju Palembang. Dua tahun kemudian, Abdurrahman Alqadrie melakukan perjalanan ke Banjarmasin dan menetap di Kesultanan Banjar. Pada tahun 1768, Abdurrahman Alqadrie menikah lagi dengan putri Sultan Banjar yang bernama Syarifah Anum dan mendapat gelar Pangeran Syarif Abdurrahman Nur Alam (Alqadrie, 2005, dalam http://syarif-untan.tripod.com).

Ketika Abdurrahman Alqadrie masih berada di Banjarmasin, dua orang yang disayanginya wafat. Pada tahun 1766 M, Sultan Mempawah Opu Daeng Menambon meninggal dunia, kemudian disusul oleh sang ayah, Husein Alqadrie, yang menghembuskan nafas penghabisan pada tahun 1770 M. Mangkatnya dua orang yang sangat dihormati dan dibanggakan oleh Abdurrahman Alqadrie itu mendorongnya untuk mencari tempat permukiman baru.

Pada tahun 1771 M, rombongan Abdurrahman Alqadrie, di antaranya terdapat lima putra Opu Daeng Menambon, yaitu Panembahan Adijaya, Syarif Ahmad, Syarif Abubakar, Syarif Alwie, dan Syarif Muhammad, mulai berlayar untuk mencari tempat permukiman baru. Setelah 4 hari perjalanan, mereka tiba di sebuah pulau kecil bernama Batu Layang yang terletak 15 kilometer dari muara Sungai Kapuas. Dari sini, rombongan meneruskan perjalanan hingga mendekati simpang tiga pertemuan Sungai Kapuas dan Sungai Landak. Berdasarkan cerita yang diyakini masyarakat lokal di sana, di tempat inilah rombongan Abdurrahman Alqadrie berperang melawan “makhluk halus” yang oleh warga setempat disebut dengan nama hantu “kuntilanak”

Menurut pandangan Jimmy Ibrahim (1971), nama “kuntilanak” tersebut hanya merupakan kiasan untuk menjelaskan bahwa pengganggu rombongan Abdurrahman Alqadrie itu adalah gerombolan perompak/bajak laut yang biasa bersembunyi di persimpangan yang menjorok ke arah Sungai Landak sebelum melakukan aksinya (Jimmy Ibrahim, 1971:17). Pada akhirnya nanti, nama “kuntilanak” lambat-laun menjadi “Pontianak” yang tidak lain adalah nama kota di seberang Istana Kadriah.

Page 3: sejarah makam perjuangan mandor

Pada tanggal 23 Oktober 1771 M, rombongan Abdurrahman Alqadrie berhasil memukul mundur gerombolan perompak “kuntilanak” di muara Sungai Kapuas dan Sungai Landak. Pada hari yang sama, rombongan Abdurrahman Alqadrie berlabuh di tepian Sungai Kapuas dan membangun surau yang kelak menjadi masjid agung Kesultanan Kadriah Pontianak. Kemudian, rombongan Abdurrahman Alqadrie mulai mempersiapkan permukiman di sebuah tempat yang menjorok ke darat sekitar 800 meter dari surau. Permukiman inilah yang menjadi tempat dibangunnya Istana Kesultanan Kadriah Pontianak. Meski sudah merintis pendirian pemerintahan Kadriah Pontianak sejak tahun 1771 M, namun baru pada tahun 1778 M Abdurrahman Alqadrie secara resmi dinobatkan sebagai Sultan Kadriah Pontianak dengan gelar Sultan Syarif Abdurrahman Alqadrie yang berkuasa sampai tahun 1808 M

b. Kesultanan Kadriah Pontianak pada Masa Kolonial

Penobatan Abdurrahman Alqadrie sebagai Sultan Kadriah Pontianak pada tahun 1778 M dilakukan oleh Sultan Raja Haji, penguasa Kesultanan Riau, dan dihadiri oleh para pemimpin dari sejumlah kerajaan, termasuk dari Kerajaan Matan, Sukadana, Kubu, Simpang, Landak, Mempawah, Sambas, dan Banjar. Abdurrahman Alqadrie memang memiliki kedekatan hubungan dengan keluarga Kesultanan Riau. Abdurrahman Alqadrie adalah menantu Opu Daeng Manambon (Sultan Mempawah), sedangkan Sultan Raja Haji adalah putra Daeng Celak yang tidak lain adalah saudara sekandung Opu Daeng Manambon

Pada masa itu, Belanda melalui VOC (Vereenigde Oost indische Compagnie) yang dibentuk sejak 20 Maret 1602, sudah menanamkan pengaruhnya di Kalimantan Barat. VOC rupanya khawatir melihat hubungan erat antara Kesultanan Kadriah Pontianak dengan beberapa kerajaan lain dan kemudian VOC berusaha menghancurkan persekutuan itu. Pada akhir tahun 1778 M, dari Batavia, VOC mengutus Nicholas de Cloek ke Pontianak untuk merangkul Sultan Syarif Abdurrahman Alqadrie, tetapi usaha pertama ini gagal. Selanjutnya, pada bulan Juli 1779 M, VOC mengirim Willem Adriaan Palm (Komisaris VOC) ke Pontianak. Dengan alasan mendirikan perwakilan dagang, VOC berhasil menanamkan pengaruhnya di Kesultanan Kadriah Pontianak. Palm kemudian digantikan Wolter Markus Stuart yang bertindak sebagai Resident van Borneo’s Wester Afdeling I (1779 – 1784 M) dengan kedudukan di Pontianak

Akal licik VOC rupanya berhasil membujuk Sultan Syarif Abdurrahman Alqadrie untuk melakukan ekspansi ke wilayah kerajaan-kerajaan yang semula menjadi sekutu Kesultanan Kadriah Pontianak. Ini berarti VOC juga sukses mewujudkan misinya, yakni memecah-belah persatuan di antara kerajaan-kerajaan tersebut. Dengan bantuan VOC, pada tahun 1786 M, armada Kesultanan Kadriah Pontianak menyerang Kesultanan Tanjungpura di Sukadana. Kemudian, pada tahun 1787 M, Sultan Syarif Abdurrahman Alqadrie berhasil menaklukan

Page 4: sejarah makam perjuangan mandor

Kesultanan Mempawah. Oleh VOC, putra sulung Sultan Syarif Abdurrahman Alqadrie dari Putri Candramidi, Syarif Kasim Alqadrie, diangkat sebagai Panembahan Mempawah (Hidayat, tt:22). Pengangkatan yang tidak disetujui oleh Sultan Syarif Abdurrahman Alqadrie ini diresmikan berdasarkan perjanjian tertanggal 27 Agustus 1787 (Rahman, 2000:109-110).

Syarif Kasim semakin tenggelam dalam pengaruh Belanda sampai ketika ayahnya wafat pada tahun 1808. Sebelum mangkat, Sultan Syarif Abdurrahman Alqadrie sebenarnya telah menetapkan putranya yang lain, Syarif Usman Alqadrie, sebagai penerus tahta Kesultanan Kadriah Pontianak. Dikarenakan Syarif Usman masih kecil, maka Syarif Kasim merasa berhak menduduki singgasana sebagai pengganti ayahnya. Pada tahun 1808 itu, Syarif Kasim diangkat menjadi Sultan Kadriah Pontianak namun dengan kesepakatan bahwa ia hanya menjabat selama sepuluh tahun sambil menunggu Syarif Usman beranjak dewasa. Perjanjian itu diingkari karena pada kenyataannya Syarif Kasim berkuasa sampai akhir hayat, yakni hingga tahun 1819.

Di bawah rezim Sultan Syarif Kasim Alqadrie (1808 – 1819), Kesultanan Kadriah Pontianak semakin tergantung kepada pihak-pihak asing, yakni Belanda dan kemudian Inggris yang berkuasa di Hindia (Indonesia) sejak tahun 1811. Ketika Belanda kembali menguasai nusantara, termasuk Pontianak, Sultan Syarif Kasim Alqadrie memperkenankan Gubernur Jenderal Hindia Belanda LPJ Burggraaf du Bus de Gisignies (1826-1830) mendirikan sebuah benteng Belanda di Pontianak yang diberi nama Marianne’s Oord, yakni nama putri Raja Negeri Belanda, Raja Willem I. Inilah asal-muasal nama kampung Mariana yang terletak di depan pelabuhan Pontianak sekarang. Benteng Marianne’s Oord kemudian menjadi markas tentara Belanda dan sering disebut sebagai Benteng du Bus (Rahman, 2000:113).

Pada tanggal 25 Februari 1819 Sultan Syarif Kasim Alqadrie wafat dan dikebumikan di Batu Layang. Terjadi ketegangan perihal siapa yang berhak menjadi Sultan Kadriah Pontianak selanjutnya. Di satu pihak, Syarif Usman Alqadrie dianggap paling layak menduduki tahta Kesultanan Kadriah Pontianak. Namun di sisi lain, putra Sultan Syarif Kasim Alqadrie yang bernama Syarif Abubakar Alqadrie juga menginginkan singgasana tersebut. Di sinilah campur tangan Belanda kembali berperan. Sesuai kesepakatan sebelum Sultan Syarif Kasim Alqadrie dinobatkan, Belanda kemudian menunjuk Syarif Usman Alqadrie (1819 – 1855) sebagai Sultan Kadriah Pontianak ketiga. Untuk meminimalisir konflik, Belanda memberi gelar Syarif Abubakar Alqadrie sebagai Pangeran Muda dan kepadanya diberi tunjangan 6000 gulden setiap tahun (Rahman, 2000:118).

Di luar ketundukannya kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda, Sultan Syarif Usman Alqadrie setidaknya pernah menorehkan beberapa kebijakan yang bermanfaat, termasuk dengan meneruskan pembangunan Masjid Jami’ pada tahun 1821 dan memulai pendirian Istana Kadriah pada tahun 1855. Pada bulan April 1855, Sultan Syarif Usman Alqadrie meletakkan jabatannya sebagai Sultan Kadriah Pontianak dan kemudian wafat pada tahun 1860 dengan meninggalkan 6 orang istri dan 22 orang anak (Rahman, 2000:117-118).

Anak tertua Sultan Syarif Usman Alqadrie, bernama Syarif Hamid Alqadrie, dinobatkan sebagai Sultan Kadriah Pontianak yang keempat pada tanggal 12 April 1855. Pada era Sultan Syarif Hamid Alqadrie (1855 – 1872), wilayah Belanda di daerah kekuasaan Kesultanan Kadriah Pontianak semakin meluas, termasuk di daerah bagian barat Sungai Kapuas Kecil yang menjadi pusat perdagangan dan pusat pemerintahan Belanda di Kalimantan Barat. Taktik Belanda yang seperti ini sudah dimulai sejak era Sultan Syarif Kasim Alqadrie sebagai upaya untuk terus menekan Kesultanan Kadriah Pontianak dan mengecilkan peran Sultan Hamid Alqadrie

Page 5: sejarah makam perjuangan mandor

Sultan Syarif Hamid Alqadrie wafat pada tahun 1872, meninggalkan 3 orang istri, 3 orang selir, dan 20 orang anak.

Putra tertua Sultan Syarif Hamid Alqadrie, Syarif Yusuf Alqadrie, diangkat sebagai Sultan Kadriah Pontianak beberapa bulan setelah ayahandanya wafat. Penguasa Kesultanan Kadriah Pontianak kelima, Sultan Syarif Yusuf Alqadrie (1872 – 1895), merupakan satu-satunya sultan di Kesultanan Qadriah yang paling sedikit mencampuri urusan pemerintahan, sangat  kuat berpegang pada aturan agama, dan merangkap sebagai penyebar agama Islam Era pemerintahan Sultan Syarif Yusuf Alqadrie berakhir pada tanggal 15 Maret 1895 dan digantikan oleh putranya yang bernama Syarif Muhammad Alqadrie (1895 – 1944) yang dinobatkan sebagai Sultan Kadriah Pontianak yang kelima pada tanggal 6 Agustus 1895. Pada masa ini, campur-tangan Belanda dalam urusan internal Kesultanan Kadriah Pontianak semakin kuat dengan ikut memaksakan pengaruhnya bahkan sampai dalam hal yang prinsip, yakni menghapuskan Syariat Islam dan menggantinya dengan hukum pidana dan perdata (Hidayat, tt:23).

Di sisi lain, Sultan Syarif Muhammad Alqadrie sangat berperan dalam mendorong terjadinya perubahan di Pontianak. Dalam bidang sosial, ia pertama kali berpakaian kebesaran Eropa sebagai pakaian resmi di samping pakaian Melayu dan menyokong majunya bidang pendidikan serta kesehatan. Di sektor ekonomi, Sultan Syarif Muhammad Alqadrie menjalin perdagangan dengan Riau, Palembang, Batavia, Banten, Demak, dan Banjarmasin, bahkan dengan Singapura, Johor, Malaka, Hongkong, serta India. Selain itu, Sultan juga mendorong masuknya modal swasta Eropa dan Cina, serta mendukung kaum petani Melayu, Bugis, Banjar, dan Cina mengembangkan perkebunan karet, kelapa dan kopra serta industri minyak kelapa. Sementara dalam aspek politik, Sultan memfasilitasi berdiri dan berkembangnya organisasi politik yang dilakukan baik oleh kerabat kesultanan maupun oleh tokoh-tokoh masyarakat (Alqadrie, 2005, dalam

Era kekuasaan Sultan Syarif Muhammad Alqadrie menjadi penanda tamatnya kekuasaan Belanda seiring kedatangan Jepang ke Indonesia pada tahun 1942. Namun, hadirnya balatentara Jepang di Pontianak justru menjadi petaka bagi Kesultanan Kadriah Pontianak. Pada bulan Januari 1944, karena dianggap bersekutu dengan Belanda, Jepang menangkap Sultan Syarif Muhammad Alqadrie (pada tanggal 24 Januari 1944) beserta ribuan orang kerabat kesultanan, pemuka adat, dan tokoh masyarakat Kadriah Pontianak (Muhammad Yanis, 1983:170-182). Mereka kemudian dijatuhi hukuman mati pada tanggal 28 Juni 1944. Jenazah Sultan Syarif Muhammad Alqadrie baru ditemukan pada tahun 1946 (Mawardi Rivai, 1995:26). Tragedi berdarah tersebut kemudian dikenal dengan sebutan Peristiwa Mandor.

c. Kesultanan Kadriah Pontianak pada Era Kemerdekaan RI

Meskipun proklamasi kemerdekaan Indonesia telah diumumkan pada tanggal 17 Agustus 1945 di Jakarta, namun situasi politik di Pontianak masih belum stabil karena berita tentang kemerdekaan Indonesia sangat terlambat sampai ke Pontianak. Pada tanggal 29 Agustus 1945, di bawah pengawasan aparat Jepang yang masih bertahan di Pontianak, keluarga Kesultanan Kadriah Pontianak

Page 6: sejarah makam perjuangan mandor

yang tersisa mengadakan pertemuan guna memilih pengganti Sultan Syarif Muhammad Alqadrie. Pertemuan darurat ini akhirnya memutuskan bahwa Syarif Thaha Alqadrie, cucu laki-laki tertua Sultan Syarif Muhammad Alqadrie, ditetapkan sebagai Sultan Kadriah Pontianak yang ketujuh

Dipilihnya Syarif Thaha Alqadrie sebagai calon Sultan Kadriah Pontianak disebabkan karena memang tidak ada pilihan lain. Pasalnya, 4 orang putra almarhum Sultan Syarif Muhammad Alqadrie telah gugur akibat keganasan Jepang, sedangkan seorang putra yang masih hidup, yakni Syarif Hamid Alqadrie, saat itu masih menjadi tahanan Jepang. Sejak tahun 1942, Syarif Hamid Alqadrie, mantan perwira kesatuan tentara Hindia Belanda atau Koninklijke Nederlandsch-Indische Leger (KNIL), dipenjarakan di Batavia (Rivai, 1995:25-26).

Masa pemerintahan Sultan Syarif Thaha Alqadrie hanya berlangsung selama 3 bulan, yaitu dari bulan Agustus hingga Oktober 1945, karena Syarif Hamid Alqadrie sudah bebas dari penjara dan kembali ke Pontianak. Syarif Hamid Alqadrie dinobatkan sebagai Sultan Kadriah Pontianak kedelapan pada tanggal 29 Oktober 1945 dan bergelar Sultan Syarif Hamid II Alqadrie atau yang sering dikenal dengan nama Sultan Hamid II.

Sejak muda, putra sulung almarhum Sultan Syarif Muhammad Alqadrie ini telah mengenal pendidikan modern. Syarif Hamid Alqadrie menempuh sekolah dasar di Europeesche Lagere School (ELS) Sukabumi, Pontianak, Yogyakarta, dan Bandung. Kemudian meneruskan studi ke sekolah menengah Hogeere Burger School (HBS) di Bandung sebelum pergi ke Breda, Belanda, untuk melanjutkan pendidikan di sekolah perwira KNIL. Pada tahun 1937, ia dilantik sebagai perwira KNIL dengan pangkat Letnan Dua. Dalam karir kemiliterannya, Syarif Hamid Alqadrie pernah bertugas di Malang, Bandung, Balikpapan dan beberapa tempat lainnya di Jawa (Rahman, 2000: 172).

Berdasarkan konstitusi Republik Indonesia Serikat pada tahun 1949, Sultan Hamid II mengisi posisi sebagai wakil Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB). Selain itu, Sultan Hamid II selalu terlibat dalam berbagai perundingan penting antara Indonesia dan Belanda. Ketika RIS dibentuk, Sultan Hamid II diangkat menjadi Menteri Negara dan selama masa jabatan itu, ia menjadi salah satu orang yang ditugaskan Presiden Soekarno untuk merancang gambar lambang negara. Presiden Soekarno mengamanatkan bahwa lambang negara hendaknya mencerminkan pandangan hidup bangsa, dasar negara, di mana sila-sila Pancasila divisualisasikan dalam lambang negara (Yayasan Sultan Hamid II Jakarta, 2007, dalam www.istanakadriah.blogspot.com).

Pada tanggal 5 Januari 1950, Sultan Hamid II meletakkan jabatan sebagai Sultan Kadriah Pontianak dan selaku Wakil DKIB. Selanjutnya, pada tanggal 10 Januari 1950, dibentuk Panitia Lencana Negara yang bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara. Dalam seleksi tersebut, terpilih dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya Mohammad Yamin. Pemenangnya adalah karya Sultan Hamid II karena karya Yamin menyertakan sinar-sinar matahari yang menampakkan pengaruh Jepang (Mohammad Hatta, 1978:108). Dengan demikian, Garuda Pancasila yang menjadi lambang negara Indonesia adalah karya putra Kesultanan Kadriah Pontianak, yaitu Sultan Hamid II.

Namun, peristiwa kudeta Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang dimotori mantan Kapten KNIL, Raymond Westerling, pada tanggal 23 Januari 1950, menyeret nama Sultan Hamid II. Menurut pernyataan Yayasan Sultan Hamid II Jakarta, Westerling memang sempat menawarkan kepada Sultan Hamid II untuk mengambil-alih komando namun Sultan Hamid II menolak tegas

Page 7: sejarah makam perjuangan mandor

tawaran tersebut karena Westerling adalah gembong APRA (Yayasan Sultan Hamid II Jakarta, 2007, dalam www.istanakadriah.blogspot.com). Namun, dugaan keterlibatan Sultan Hamid II dalam peristiwa Westerling tetap membuatnya dipenjara oleh pemerintah RI selama 10 tahun sejak tahun 1953. Sultan Hamid II ditangkap pada tanggal 5 April 1950 (J.U. Lontaan, 1975:240).

Dengan dihukumnya Sultan Hamid II, roda pemerintahan Kesultanan Kadriah Pontianak pun berhenti di mana kesultanan sudah tidak mempunyai kekuasaan secara politik lagi. Sultan Hamid II selaku Sultan Kadriah Pontianak yang terakhir, meninggal dunia pada tanggal 30 Maret 1978 di Jakarta dan dimakamkan di pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak di Batu Layang.

2. Silsilah

Berikut daftar para sultan yang pernah memimpin Kesultanan Kadriah Pontianak sejak awal berdirinya pada tahun 1771 M hingga berhentinya proses pemerintahan kesultanan pada tahun 1950:

1.Sultan Syarif Abdurahman Alqadrie (1771 – 1808 M).2.Sultan Syarif Kasim Alqadrie (1808 – 1819).

3.Sultan Syarif Usman Alqadrie (1819 – 1855).

4.Sultan Hamid Alqadrie (1855 – 1872).

5.Sultan Syarif Yusuf Alqadrie (1872 – 1895).

6.Sultan Syarif Muhammad Alqadrie (1895 – 1944).

7.Sultan Syarif Thaha Alqadrie (1945).

8.Sultan Syarif Hamid II atau Sultan Hamid II (1945 – 1950) (Hidayat, tt:24).

3. Sistem Pemerintahan

Kesultanan Kadriah Pontianak hampir tidak pernah dapat mengatur pemerintahannya secara mandiri karena Belanda sudah menanamkan pengaruhnya tidak lama setelah Kesultanan Kadriah Pontianak berdiri pada tahun 1771 M. Pada tanggal 5 Juli 1779, Belanda menjadikan salah satu daerah Kesultanan Kadriah Pontianak, yakni Tanah Seribu atau Verkendepaal yang terletak di seberang Istana Kadriah Pontianak, sebagai pusat kedudukan Kepala Daerah Karesidenan Borneo. Selaku wakil pemerintah kolonial yang membawahi langsung beberapa daerah, termasuk Pontianak, Siantan, Sungai Kakap, dan lain-lain, Asisten Residen Pontianak (semacam Kepala Daerah Tingkat II/Bupati Pontianak) (www.pemkot.pontianak.go.id). Sistem pemerintahan seperti ini bertahan hingga pada masa pendudukan Jepang (1942-1945).

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, sistem pemerintahan Kesultanan Kadriah Pontianak selalu tergantung dengan kebijakan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pada setiap pergantian kepemimpinan kesultanan, Belanda selalu memaksakan kehendaknya melalui kontrak politik. Ketika Sultan Syarif Kasim Alqadrie (1808 – 1819) naik tahta menggantikan Sultan Syarif Abdurahman Alqadrie, ia harus menandatangani kontrak politik dengan pemerintah kolonial

Page 8: sejarah makam perjuangan mandor

Hindia Belanda pada tanggal 12 Januari 1819. Isi dari kontrak politik antara Sultan Syarif Kasim Alqadrie dan Komisaris Nahuys van Burgst dari pihak pemerintah kolonial Hindia Belanda itu antara lain:

1.Kekuasaan atas pemerintahan Kesultanan Kadriah Pontianak dilaksanakan oleh Sultan bersama-sama dengan pemerintah kolonial Hindia Belanda dan Sultan Kadriah Pontianak akan mendapatkan perlindungan seperlunya dari Belanda.

2.Sebagai biaya perlindungan dari Belanda kepada Sultan maka ditetapkan bahwa semua penghasilan Kesultanan Kadriah Pontianak dan Belanda dibagi sama rata di antara kedua belah pihak tersebut.

3.Hasil pajak impor dan ekspor, penjualan candu, hasil monopoli garam, pajak dari kaum Tionghoa, dan lain-lain akan diatur oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda.

4.Pengadilan untuk orang Eropa dan Tionghoa ada di bawah pemerintah kolonial Hindia Belanda, sedangkan pengadilan untuk orang pribumi tetap berada di bawah Sultan.

5.Belanda berhak membangun tangsi tentara untuk melindungi pasukan Belanda yang ada di Pontianak (Rahman, 2000:112-113).

Sultan Kadriah Pontianak berikutnya, yakni Sultan Syarif Usman Alqadrie (1819 – 1855), melakukan perjanjian dengan pemerintah kolonial pada tahun 1819, 1822, dan 1823. Pada perjanjian tanggal 16 Maret 1822, misalnya, Belanda memaksakan bahwa penghasilan Kesultanan Kadriah Pontianak harus dibagi dua dengan pemerintah kolonial. Di sisi lain, kesultanan tidak lagi mendapatkan setengah dari penghasilan Belanda, namun hanya diberi tunjangan sebesar 42.000 gulden setiap tahun. Selain itu, dalam perjanjian tanggal 14 Oktober 1823 disebutkan bahwa kekuasaan pengadilan Belanda diperluas mencakup pengadilan untuk rakyat Kesultanan Kadriah Pontianak (Rahman, 2000:117-118). Aturan ini berlaku hingga masa pemerintahan Sultan Hamid Alqadrie (1855 – 1872).

Selanjutnya, pada era Sultan Syarif Yusuf Alqadrie (1872 – 1895), Belanda kembali memperbaharui kontrak politiknya pada tanggal 22 Agustus 1872, yang antara lain menyatakan bahwa kekuasaan kepolisian terhadap penduduk pribumi di luar kuasa Belanda diserahkan lagi kepada Kesultanan Kadriah Pontianak. Selain itu, kesultanan boleh memungut pajak di wilayahnya. Pengembalian kekuasaan kepolisian itu disebabkan karena penduduk pribumi hanya mau tunduk dan mentaati kekuasaan kesultanan. Demikian pula dengan penyerahan hasil pajak kepada kesultanan yang hanya didasarkan atas pertimbangan teknis untuk kepentingan Belanda karena bagaimanapun juga hasil pajak tetap dibagi dua dengan Belanda

Hegemoni Belanda berlanjut pada era Sultan Syarif Muhammad Alqadrie (1895 –1944), di mana terdapat aturan baru yang antara lain menyebutkan bahwa:

(1) Belanda berhak ikut-campur dalam hal pengangkatan dan pemberhentian pegawai kesultanan;

(2) Syariat Islam dihapuskan sebagai sumber hukum di Kesultanan Kadriah Pontianak dan diganti dengan hukum perdata dan hukum pidana; serta

(3) Seluruh pegawai kesultanan mendapat gaji dari pemerintah kolonial. Dengan demikian, Belanda telah menguasai sistem pemerintahan Kesultanan Kadriah Pontianak. Seluruh pegawai

Page 9: sejarah makam perjuangan mandor

kesultanan dianggap sebagai pegawai pemerintah kolonial, termasuk Sultan Syarif Muhammad sendiri (Hidayat, tt:23).

Setelah Indonesia merdeka, meski Kesultanan Kadriah Pontianak masih tetap eksis di bawah pimpinan Sultan Hamid II, terjadi perubahan sistem pemerintahan Kota Pontianak. Pada tanggal 14 Agustus 1946, dinyatakan bahwa Platselijk Fonds, yang diterapkan sejak tahun 1779, diganti dengan Stadsgemeente (semacam swapraja) yang bertahan sampai tahun 1950

Pada tanggal 5 Januari 1950, Sultan Hamid II meletakkan jabatan sebagai Sultan Kadriah Pontianak dan pada 5 April 1950 ia ditangkap karena diduga terlibat dalam kudeta Westerling. Setelah Sultan Hamid dihukum penjara sejak tahun 1953, riwayat Kesultanan Kadriah Pontianak pun berakhir.

Sejak tahun 1950, status Stadsgemeente Pontianak berubah menjadi Pemerintah Daerah Kota Besar Pontianak yang dipimpin oleh walikota dan bersifat otonom. Selanjutnya, sesuai dengan perkembangan tata pemerintahan, maka dengan Undang-Undang Darurat Nomor 3 Tahun 1953, bentuk pemerintahan Kota Besar Pontianak ditingkatkan menjadi Kotapraja Pontianak. Pemerintahan Kota Praja Pontianak berubah lagi menjadi Kotamadya Pontianak sejak tahun 1965 dan akhirnya menjadi Daerah Tingkat II Pontianak berdasarkan Undang-Undang No.5 Tahun 1974 Sampai sekarang, Daerah Tingkat II Pontianak termasuk ke dalam wilayah Provinsi Kalimantan Barat.

4. Wilayah Kekuasaan 

Sebelum mendirikan Kesultanan Kadriah Pontianak, Syarif Abdurrahman Alqadrie terlebih dulu mendirikan permukiman sementara di sebuah pulau kecil bernama Batu Layang yang terletak 15 kilometer dari muara Sungai Kapuas. Batu Layang inilah yang kemudian dijadikan sebagai tempat permakaman sultan-sultan yang pernah memimpin Kesultanan Kadriah Pontianak. Pada tanggal 23 Oktober 1771 M, Abdurrahman Alqadrie berlabuh di tepian Sungai Kapuas dan membangun surau yang kelak menjadi Masjid Jami’ Syarif  Abdurrahman Alqadrie. Selanjutnya, Abdurrahman Alqadrie mempersiapkan permukiman yang letaknya menjorok ke darat sekitar 800 meter dari surau. Permukiman itulah yang kemudian menjadi wilayah pusat pemerintahan Kesultanan Kadriah – Pontianak

Tidak lama setelah resmi menjadi Sultan Kadriah Pontianak pada tahun 1778 M, Abdurrahman Alqadrie melakukan sejumlah ekspansi untuk memperluas wilayahnya. Pada tahun 1778 M itu, Kesultanan Kadriah Pontianak berhasil menduduki wilayah Kerajaan Sanggau sekaligus

Page 10: sejarah makam perjuangan mandor

menguasai jalur perdagangan ke pedalaman Sungai Kapuas. Sebagai legitimasi penguasaan atas wilayah Sanggau, Sultan Abdurrahman Alqadrie mendirikan benteng yang dinamakan Jambu Basrah di Pulau Simpang Labi, yang merupakan pulau milik Kerajaan Sanggau. Selain itu, dalam kontrak politik antara Kesultanan Kadriah Pontianak dan Belanda tanggal 5 Juli 1779, pihak Belanda menyebut bahwa Pontianak dan Sanggau sebagai satu kerajaan di bawah Sultan Syarif Abdurrahman Alqadrie (Rahman, 2000:81).

Kemudian, karena dipengaruhi oleh tekanan Belanda, Kesultanan Kadriah Pontianak kembali melancarkan ekspansi ke sejumlah kerajaan di Kalimantan Barat untuk semakin memperluas wilayah kekuasaannya. Pada tahun 1786 M, Kesultanan Kadriah Pontianak menyerang Kesultanan Tanjungpura di Sukadana. Kemudian, tahun 1787 M, Sultan Syarif Abdurrahman Alqadrie berhasil menaklukkan Kesultanan Mempawah (Rahman, 2000:109-110). Dengan demikian, daerah-daerah yang semula termasuk ke dalam wilayah Kesultanan Tanjungpura dan Mempawah beralih-tangan menjadi wilayah kekuasaan Kesultanan Kadriah Pontianak.

Sementara itu, pada masa pemerintahan Sultan Syarif Yusuf Alqadrie (1872 – 1895), wilayah Kesultanan Kadriah Pontianak banyak didatangi kaum imigran dari berbagai tempat. Misalnya orang-orang Bugis dari Sulawesi yang menetap di kawasan Pantai Jungkat dan Peniti untuk bertani atau menjadi nelayan, sehingga sampai sekarang terdapat daerah yang disebut Kampung Dalam Bugis di Pontianak bagian timur. Selain para imigran dari Bugis, banyak pula imigran dari Banjar, Bangka Belitung, Serasan, Tambelan, Sampit, bahkan dari Malaka, Kamboja, dan Vietnam, yang datang kemudian bermukim di wilayah Kesultanan Kadriah Pontianak. Maka kemudian di Pontianak terdapat Kampung Banjar, Kampung Bangka Belitung, Kampung Serasan, Kampung Tambelan, Kampung Sampit, juga Kampung Saigon (Rahman, 2000:127).

Era pemerintahan Sultan Syarif Yusuf Alqadrie juga diwarnai dengan perjanjian mengenai batas-batas wilayah antara Kesultanan Kadriah Pontianak dan Kesultanan Landak, yakni kesepakatan yang ditandatangani pada tanggal 3 Agustus 1886. Perbatasan yang ditegaskan dalam sebuah peta tersebut menyatakan bahwa perbatasan Kesultanan Kadriah Pontianak dan Kesultanan Landak dimulai dari Bukit Batu, kemudian ke Kubu Sengkubu dan Kuala Keramas, melintasi Kuala Terap hingga ke Hulu Sungai Menuntung, dan berakhir di Gunung Banua atau Gunung Ambawang (Rahman, 2000:127).

Tragedi Mandor

Pada masa penjajahan Jepang , sikap Jepang terlalu sewenang-wenang dalam berkuasa . Sultan-sultan tidak menyukai sikap Jepang yang sewenang-wenang ini . Akhirnya para Sultan mengadakan rapat tertutup yang tidak diketahui oleh Jepang .Dalam rapat ini dibicarakan bagaimana cara menghadapi pasukan Jepang yang merajalela .Tetapi , apa yang telah dirapatkan oleh para Sulatan di bocorkan oleh seorang di antara mereka . Tokoh yang menjadi penghianat ini tidak diketahui namanya. Kemudian setealh Jepang mengetahui bahwa mereka menyusun taktik untuk mengusir Jepang ,Jepang juga menyusun taktik baru . Jepang menjanjikan akan menyekolahkan Sultan-sultan keluar negri . Ternyata hal itu merupakan tipuan belaka . Para Sultan yang dijanjikan untuk sekolah di luar negri malah di bawa ke Mandor untuk pembunuhan massal tersebut.

Satu-satunya Sultan yang hidup pada saat itu adalah Sultan Hami 2 . Pada saat itu Sulatan Hami 2 di bawa ke luar negri . Setelah Jepang di bom , Sultam Hami 2 kembali dari Netherland. Sekembalinya Sultan Hami2 ,ia menyadari bahwa ada keanehan di kota Pontianak ,para Sultan

Page 11: sejarah makam perjuangan mandor

sudah tidak ada. Ketika Sultan Hami bertanya kepada Jepang , Jepang berkata bahwa mereka telah di sekolahkan keluar negri .Tetapi Sultan Hami kurang percaya. Maka dari itu Sultan Hami meminta PBB untuk melakukan pemeriksaan apakah benar Sultan-sultan telah bersekolah diluar negri . Setelah dilakukan pemeriksaan ,ternyata tidak ada. Beberapa hari kemudian ada penduduk yang memberitahu Sultan Hami bahwa telah terjadi pembunuhan massal .

Peristiwa mandor adalah sebuah peristiwa masa kelam yang pernah terjadi di kalimantan barat, peristiwa ini terjadi pada tahun 1943-1944 di daerah Mandor kabupaten landak Tak sedikit kaum cerdik pandai, cendikiawan, para raja, sultan, tokoh masyarakat maupun pejuang lainnya gugur sebagai kesuma bangsa atas kebiadaban Jepang kala itu. Menurut sejarah hampir terdapat 21.037 jumlah pembantaian yang di bunuh oleh Jepang, namun jepang menolaknya dan menganggap hanya 1.000 korban saja. Zaman pendudukan Jepang lebih menyeramkan daripada masa pendudukan Belanda. Peristiwa mandor terjadi akibat ketidaksukaan penjajah Jepang terhadap para pemberontak. Karena ketika itu Jepang ingin menguasai seluruh kekayaan yang ada di Bumi Kalimantan Barat. Sebelum terjadi peristiwa mandor terjadilah peristiwa cap kapak dimana kala itu pemerintah Jepang mendobrak pintu - pintu rumah rakyat (Tionghoa, Melayu, Maupun Dayak) mereka tidak ingin terjadi pemberontak-pemberontak terdapat di kalimantan barat. Penculikan dilakukan dengan cara kepalanya disungkup kemudian dimasukan ke dalam mobil . Mobil yan dipakiai oleh orang-orang Jepang itu disebut dengan Mobil Sungkup .Meskipun demikian ternyata menurut sejarah yang dibantai bukan hanya kaum cendekiawan maupun feodal namun juga rakyat-rakyat jelata yang tidak tahu apa-apa. Tidak diketahui apakah karena tentara Jepang memang bodoh atau apa, kala itu pisau dilarang oleh penjajah Jepang. Jepang memang telah menyusun rencana genosida untuk memberangus semangat perlawanan rakyat Kalbar kala itu. Sebuah harian Jepang Borneo Shinbun, koran yang terbit pada masa itu mengungkap rencana tentara negeri samurai itu untuk membungkam kelompok pembangkang kebijakan politik perang Jepang. Tanggal 28 Juni diyakini sebagai hari pengeksekusian ribuan tokoh-tokoh penting masyarakat pada masa itu.Maka dari itu ,setiap tanggal 28 Juni dinyatakan sebagai Hari Berkabung Daerah .

Dari pendopo kami menuju sebuah ruangan yang penuh dengan foto-foto para korban kekejaman Jepang . Setelah itu kami menuju sebuah monument sebagai penghormatan kepada para korban peristiwa Mandor . Di dalam monument itu terdapat jenazah seorang laki-laki dan perempuan yang katanya ketika di ambil ,jenazahnya masih utuh. Di monumen itu juga terdapat relief-relief yang menggambarkan peristiwa mandor. Secara tidak langsung , saya dapat merasakan bagaimana sakitnya disiksa oleh Jepang pada saat itu. Di monument itu tertulis “Tidak cukup sekedar anda kenang ,tapi kuharap anda teruskan semangat juangmu untuk memerangi segala bentuk penjajahan .”

Setelah dari monument kami menuju jalan kematian .Kami memasuki jalan itu menggunakan bis . Jalan itu disebut Jalan Kematian karena Jalan itu dibuat oleh para pejuang yang digiring oleh Jepang yang akhirnya di eksekusi mati.Jalan ini dibuat untuk mengenang para pahlawan dan supaya tidak terjadi yang kedu kalinya .

Di sepanjang jalan ini terdapat 10 makam ,yang setiap makamnya memuat semua korban pembunuhan massal tersebut . Makam yang berbeda dari makam lainnya adalah makam nomor 10 , karena makam ini khusus untuk para Sultan.

Page 12: sejarah makam perjuangan mandor

Gambar untuk relief-relief:

Dari Makam-makam itu kami menuju ke tempat penambangan emas liar . Saat saya tiba di tempat itu , saya bertanya-tanya tempat apa ini .Dan ternyata tempat itu adalah tempat penambangan emas liar. Tempat itu sangat indah .Terdapat banyak pasir putih yang membuatnya terlihat seperti pantai. Airnya juga terlihat sangat biru.Tetapi sayangnya kata penjaganya ,air disana telah tercemar oleh merkuri.

Page 13: sejarah makam perjuangan mandor

2.3 Keraton Mempawah

Nama Mempawah diambil dari istilah “Mempauh”, yaitu nama pohon yang tumbuh di hulu sungai yang

kemudian juga dikenal dengan nama Sungai Mempawah (J.U. Lontaan, 1975:125). Pada

perkembangannya, Mempawah menjadi lekat sebagai nama salah satu kerajaan/kesultanan yang

berkembang di Kalimantan Barat. Riwayat pemerintahan adat Mempawah sendiri terbagi atas dua

periode, yakni pemerintahan kerajaan Suku Dayak yang berdasarkan ajaran Hindu dan masa pengaruh

Islam (kesultanan).

a. Mempawah pada Masa Kerajaan (Dayak/Hindu)

Cikal-bakal Kerajaan Mempawah di Kalimantan Barat terkait erat dengan riwayat beberapa kerajaan

pendahulunya, di antaranya adalah Kerajaan Bangkule Sultankng dan Kerajaan Sidiniang. Kerajaan

Bangkule Sultankng merupakan kerajaan orang-orang Suku Dayak yang didirikan oleh Ne‘Rumaga di

sebuah tempat yang bernama Bahana (Erwin Rizal, tt:39).

Karlina Maryadi dalam tulisan berjudul “Menguak Misteri Sebukit Rama” menyebutkan, pemerintahan

Ne‘Rumaga dilanjutkan oleh Patih Gumantar (Karlina Maryadi, www.indonesiaindonesia.com). Namun,

terdapat pula pendapat yang mengatakan bahwa kerajaan Suku Dayak yang dipimpin Patih Gumantar

adalah sebuah pemerintahan yang berdiri sendiri dan sudah eksis sejak sekitar tahun 1380 Masehi.

Dikarenakan pusat kerajaan ini berada di Pegunungan Sidiniang, di daerah Sangking, Mempawah Hulu,

maka kerajaan ini lebih dikenal dengan nama Kerajaan Sidiniang (Musni Umberan, et.al, 1996-

1997:12).

Dikisahkan, Patih Gumantar pernah menjalin hubungan dengan Gajah Mada dari Kerajaan Majapahit

dalam rangka mempersatukan negeri-negeri di nusantara di bawah naungan Majapahit. Bahkan, Patih

Gumantar dan Gajah Mada konon pernah bersama-sama ke Muang Thai (Thailand) untuk

membendung serangan Khubilai Khan dari Kekaisaran Mongol. Menurut Lontaan (1975), bukti

hubungan antara Kerajaan Sidiniang dengan Kerajaan Majapahit adalah adanya keris yang

Tempat penambangan emas Liar

Page 14: sejarah makam perjuangan mandor

dihadiahkan kepada Patih Gumantar. Keris ini masih disimpan di Hulu Mempawah dan oleh warga

setempat keris pusaka ini disebut sebagai Keris Susuhunan (Lontaan, 1975:120).

Eksistensi Kerajaan Sidiniang tidak lepas dari ancaman. Salah satunya adalah serangan dari Kerajaan

Suku Biaju. Dalam pertempuran yang terjadi pada sekitar tahun 1400 M itu, terjadilah perang penggal

kepala atau perang kayau-mengayau yang mengakibatkan gugurnya Patih Gumantar (Lontaan,

1975:120). Dengan gugurnya Patih Gumantar, riwayat Kerajaan Sidiniang pun berakhir. Namun, ada

pendapat yang mengatakan bahwa kedudukan Patih Gumantar diteruskan oleh puteranya yang

bernama Patih Nyabakng. Namun, masa pemerintahan Patih Nyabakng tidak bertahan lama karena

Kerajaan Sidiniang terlibat perselisihan dengan Kerajaan Lara yang berpusat di Sungai Raya Negeri

Sambas (Maryadi, dalam www.indonesiaindonesia.com). Selepas kepemimpinan Patih Nyabakng,

riwayat Kerajaan Sidiniang belum terlacak lagi.

Dua ratus tahun kemudian, atau sekitar tahun 1610 M, berdirilah pemerintahan baru yang dibangun di

bekas puing-puing Kerajaan Sidiniang. Belum diketahui hubungan antara pendiri kerajaan baru ini

dengan Patih Gumantar. Dari sejumlah referensi yang ditemukan, hanya disebutkan bahwa pemimpin

kerajaan baru ini bernama Raja Kodong atau Raja Kudung Raja Kudung kemudian memindahkan pusat

pemerintahannya dari Sidiniang ke Pekana

Pada sekitar tahun 1680 M, Raja Kudung mangkat dan dimakamkan di Pekana (Umberan, et.al, 1996-

1997:13). Penerus tahta Raja Kudung adalah Panembahan Senggaok, juga dikenal dengan nama

Senggauk atau Sengkuwuk, yang memerintah sejak tahun 1680 M. Penyebutan nama Panembahan

“Senggaok” digunakan seiring dengan dipindahkannya pusat pemerintahan dari Pekana ke Senggaok,

yakni sebuah daerah di hulu Sungai Mempawah (Lontaan, 1975:121). Panembahan Senggaok

menyunting puteri Raja Qahar dari Kerajaan Baturizal Indragiri di Sumatra, bernama Puteri Cermin,

dan dikaruniai seorang anak perempuan bernama Utin Indrawati (Lontaan, 1975:121). Puteri Utin

Indrawati kemudian dinikahkan dengan Sultan Muhammad Zainuddin dari Kerajaan Matan

Tanjungpura (Rizal, tt:39). Dari perkawinan tersebut, mereka dikaruniai seorang anak bernama Puteri

Kesumba (Umberan, et.al, 1996-1997:14). Puteri Kesumba inilah yang kemudian menikah dengan Opu

Daeng Menambun, pelopor pengaruh Islam di Mempawah.

b. Mempawah pada Masa Kesultanan (Islam)

Opu Daeng Menambun berasal dari Kesultanan Luwu Bugis di Sulawesi Selatan. Dalam Tuhfat Al-Nafis

karya Raja Ali Haji (2002) disebutkan tentang ayah Opu Daeng Menambun, bernama Opu

Tendriburang Dilaga, yang melakukan perjalanan dari Sulawesi ke negeri-negeri di tanah Melayu. Opu

Tendriburang Dilaga adalah putera dari Opu La Maddusilat, Raja Bugis pertama yang memeluk Islam

(Raja Ali Haji, 2002:18). Opu Tendriburang Dilaga mempunyai lima orang putera yang diajak berkelana

ke tanah Melayu. Kelima anak Opu Tendriburang Dilaga itu adalah Opu Daeng Menambun, Opu Daeng

Perani, Opu Daeng Celak, Opu Daeng Marewah, dan Opu Daeng Kemasi (Gusti Mhd Mulia [ed.],

2007:18). Kedatangan mereka ke tanah Melayu menjadi salah satu babak migrasi orang-orang Bugis

yang terjadi pada abad ke-17 (Andi Ima Kesuma, 2004:96). Opu Tendriburang Dilaga dan kelima anak

Page 15: sejarah makam perjuangan mandor

lelakinya memainkan peranan penting di Semenanjung Melayu dan Kalimantan, terutama dalam hal

penyebaran agama Islam

Kesultanan Johor untuk membantu memadamkan pergolakan di sana, segera berangkat ke

Tanjungpura. Atas bantuan Opu Daeng Menambun bersaudara, tahta Sultan Muhammad Zainuddin

dapat diselamatkan (Mulia [ed.], 2007:18). Opu Daeng Menambun kemudian dinikahkan dengan Ratu

Kesumba, puteri Sultan Muhammad Zainuddin. Tidak lama kemudian, Opu Daeng Menambun

bersaudara kembali ke Kesultanan Johor.

Sepeninggal Opu Daeng Menambun bersaudara, pergolakan internal terjadi lagi di Kesultanan Matan.

Anak-anak Sultan Muhammad Zainuddin meributkan siapa yang berhak mewarisi tahta Kesultanan

Matan jika kelak ayah mereka wafat. Sultan Muhammad Zainuddin kembali meminta bantuan Opu

Daeng Menambun yang sudah kembali ke Johor. Opu Daeng Menambun memenuhi permintaan Sultan

Muhammad Zainuddin dan segera menuju Tanjungpura untuk yang kedua kalinya, sedangkan

keempat saudaranya tidak ikut serta karena tenaga mereka sangat dibutuhkan untuk membantu

Kesultanan Johor 

Berkat Opu Daeng Menambun, perselisihan di Kesultanan Matan dapat segera diselesaikan dengan

cara damai. Atas jasa Opu Daeng Menambun itu, Sultan Muhammad Zainuddin berkenan

menganugerahi Opu Daeng Menambun dengan gelar kehormatan Pangeran Mas Surya Negara. Opu

Daeng Menambun sendiri memutuskan untuk menetap di Kesultanan Matan bersama istrinya, dan

mereka dikaruniai beberapa orang anak, yang masing-masing bernama Puteri Candramidi, Gusti

Jamiril, Syarif Ahmad, Syarif Abubakar, Syarif Alwie, dan Syarif Muhammad

Pada tahun 1724 M, Sultan Muhammad Zainuddin wafat. Penerus kepemimpinan Kesultanan Matan

adalah Gusti Kesuma Bandan yang bergelar Sultan Muhammad Muazzuddin. Sementara itu, di

Mempawah, Panembahan Senggaok wafat pada tahun 1737 M. Karena Panembahan Senggaok tidak

mempunyai putera, maka tahta Mempawah diberikan kepada Sultan Muhammad Muazzuddin yang

tidak lain cucu Panembahan Senggaok dari Puteri Utin Indrawati yang menikah dengan Sultan

Muhammad Zainuddin. Namun, setahun kemudian atau pada tahun 1738 M, Sultan Muhammad

Muazzuddin pun mangkat dan digantikan puteranya yang bernama Gusti Bendung atau Pangeran Ratu

Agung bergelar Sultan Muhammad Tajuddin sebagai Sultan Matan yang ke-3.

Pada tahun 1740 M, kekuasaan atas Mempawah, yang semula dirangkap bersama tahta Kesultanan

Matan, diserahkan kepada Opu Daeng Menambun yang kemudian memakai gelar Pangeran Mas Surya

Negara, gelar yang dahulu diberikan oleh almarhum Sultan Muhammad Zainuddin, Sultan Matan yang

pertama. Sedangkan istri Opu Daeng Menambun, Ratu Kesumba, menyandang gelar sebagai Ratu

Agung Sinuhun (Rizal:40). Pada era Opu Daeng Menambun inilah Islam dijadikan sebagai agama resmi

kerajaan. Selaras dengan itu, penyebutan kerajaan pun diganti dengan kesultanan. Opu Daeng

Menambun memindahkan pusat pemerintahannya dari Senggaok ke Sebukit Rama yang merupakan

daerah subur, makmur, strategis, dan ramai didatangi kaum pedagang (Umberan, et.al, 1996-

1997:16).

Page 16: sejarah makam perjuangan mandor

Pengaruh Islam di Mempawah pada era pemerintahan Opu Daeng Menambun semakin kental berkat

peran Sayid Habib Husein Alqadrie, seorang pengelana yang datang dari Hadramaut atau Yaman

Selatan (Mahayudin Haji Yahya, 1999:224). Husein Alqadrie sendiri sebelumnya telah menjabat

sebagai hakim utama di Kesultanan Matan pada masa Sultan Muhammad Muazzuddin. Husein Alqadrie

dinikahkan dengan puteri Sultan Muhammad Muazzuddin yang bernama Nyai Tua Kesultanan Matan,

Husein Alqadrie mengabdi sampai pada pemerintahan sultan ke-4, yakni Sultan Ahmad Kamaluddin,

yang menggantikan Sultan Muhammad Tajuddin pada tahun 1749 M. Namun, pada tahun 1755 M,

Husein Alqadrie berselisih paham dengan Sultan Ahmad Kamaluddin tentang penerapan hukuman

mati.

Melihat kondisi ini, Opu Daeng Menambun kemudian menawari Husein Alqadrie untuk tinggal di

Mempawah. Tawaran itu disambut baik oleh Husein Alqadrie yang segera pindah ke Istana Opu Daeng

Menambun. Husein Alqadrie kemudian diangkat sebagai patih sekaligus imam besar Mempawah.

Selain itu, Husein Alqadrie diizinkan menempati daerah Kuala Mempawah (Galah Herang) untuk

dijadikan sebagai pusat pengajaran agama Islam. Untuk semakin mempererat hubungan antara

keluarga Husein Alqadrie dan Kesultanan Mempawah, maka diadakan pernikahan antara anak lelaki

Husein Alqadrie yang bernama Syarif Abdurrahman Alqadrie dengan anak perempuan Opu Daeng

Menambon yang bernama Puteri Candramidi (Muhammad Hidayat, tt: 21). Kelak, pada tahun 1778 M,

Syarif Abdurrahman Alqadrie mendirikan Kesultanan Kadriah di Pontianak.

Pada tahun 1761 M, Opu Daeng Menambon wafat dan dimakamkan di Sebukit

Rama (Umberan, et.al, 1996-1997:16). Penerus tahta Kesultanan Mempawah

selanjutnya adalah putera Opu Daeng Menambun, yaitu Gusti Jamiril yang bergelar

Panembahan Adiwijaya Kusumajaya (Umberan, et.al, 1996-1997:17). Di bawah

kepemimpinan Panembahan Adiwijaya, wilayah kekuasaan Mempawah semakin

luas dan terkenal sebagai bandar perdagangan yang ramai.

c. Kesultanan Mempawah pada Masa Kolonial

Tidak lama setelah Belanda mendarat di Mempawah pada sekitar tahun 1787 M, terjadilah

pertempuran melawan pasukan Kesultanan Mempawah yang dipimpin Panembahan Adiwijaya

Kusumajaya. Syarif Kasim, anak lelaki Sultan Kadriah Pontianak, Syarif Abdurrahman Alqadrie, berhasil

dipengaruhi oleh Belanda untuk ikut menyerbu Mempawah. Panembahan Adiwijaya akhirnya

menyingkir ke Karangan di Mempawah Hulu guna mengatur siasat (Umberan, et.al, 1996-1997:16).

Namun, pada tahun 1790 M, Panembahan Adiwijaya wafat sebelum sempat melancarkan serangan

balasan. Panembahan Adiwijaya meninggalkan 8 orang anak dari dua istri.

Pada sekitar tahun 1794 M, sengketa antara Kesultanan Mempawah dan Kesultanan Kadriah

bertambah runyam karena Belanda berhasil membujuk Syarif Kasim agar meluaskan Istana Kadriah

hingga ke hulu sungai yang dekat dengan perbatasan Kesultanan Mempawah. Akibatnya, peperangan

Page 17: sejarah makam perjuangan mandor

kembali berkobar di mana pihak Kesultanan Kadriah dibantu oleh orang-orang Tionghoa yang ada di

Pontianak, sedangkan kubu Kesultanan Mempawah, yang pada waktu itu belum memiliki sultan baru

sebagai pengganti Panembahan Adiwijaya, mendapat dukungan dari orang-orang Suku Dayak dan

Kesultanan Singkawang. Namun, karena Kesultanan Kadriah disokong penuh oleh Belanda, pihak

Kesultanan Mempawah mengalami kekalahan dalam perang tersebut (www.asiawind.com).

Selanjutnya, Belanda mengangkat Syarif Kasim sebagai penguasa Mempawah dengan gelar

Panembahan Mempawah (Hidayat, tt:22). Sultan Syarif Abdurrahman Alqadrie, ayahanda Syarif Kasim,

sebenarnya tidak menyetujui pengangkatan itu karena antara Kesultanan Mempawah dan Kesultanan

Kadriah masih terdapat ikatan kekerabatan yang erat. Istri Sultan Syarif Abdurrahman Alqadrie, Puteri

Candramidi, adalah anak perempuan Opu Daeng Menambon. Pengangkatan Syarif Kasim sebagai

Panembahan termaktub dalam perjanjian tanggal 27 Agustus 1787 (Ansar Rahman, et.al., 2000:109-

110).

Pada tahun 1808, Sultan Syarif Abdurrahman Alqadrie wafat. Belanda kemudian menunjuk Syarif

Kasim sebagai penguasa Kesultanan Kadriah dengan gelar Sultan Syarif Kasim Alqadrie. Kedudukan

Syarif Kasim di Mempawah digantikan oleh saudaranya yang bernama Syarif Hussein. Namun,

kekuasaan Syarif Hussein tidak bertahan lama karena kekuatan Belanda di Mempawah mulai goyah

akibat perlawanan yang dimotori oleh dua orang putera Panembahan Adiwijaya, yakni putera

mahkota, Gusti Jati, dan saudaranya yang bernama Gusti Gusti Mas. Ketika akhirnya Belanda berhasil

diusir dari Mempawah, Gusti Jati dinobatkan menjadi Sultan Mempawah (Umberan, et.al, 1996-

1997:18). Belanda kemudian mundur ke Kesultanan Kadriah di Pontianak di bawah lindungan Sultan

Syarif Kasim Alqadrie.

Gusti Jati dinobatkan sebagai pemimpin Kesultanan Mempawah pada sekitar tahun 1820 dengan gelar

Sultan Muhammad Zainal Abidin. Gusti Mas tetap setia mendampingi kakaknya untuk turut

mengembangkan kehidupan dan keamanan rakyat Mempawah (Lontaan, 1975:126). Oleh Sultan

Muhammad Zainal Abidin, pusat pemerintahan kesultanan dipindahkan ke tepi Sungai Mempawah,

tepatnya di Pulau Pedalaman. Pada era inilah Kesultanan Mempawah semakin terkenal sebagai pusat

perdagangan dan memiliki benteng pertahanan yang kuat. Melihat Kesultanan Mempawah, yang

semakin jaya, Belanda kemudian menyusun taktik. Belanda mencoba cara damai untuk menghadapi

Sultan Muhammad Zainal Abidin, sementara kekuatan perang Kesultanan Kadriah disiapkan untuk

segera menyerbu manakala Mempawah lengah.

Taktik Belanda berhasil. Ketika para punggawa Kesultanan Mempawah terlena oleh ajakan damai

Belanda, armada perang Kesultanan Kadriah menyerbu Pulau Pedalaman. Bukti serangan ini masih

dapat dilihat pada bekas benteng pertahanan yang dibangun di sisi kanan dan kiri Istana Mempawah

(Lontaan, 1975:126). Akibat serbuan mendadak tersebut, Sultan Zainal Abidin terpaksa kembali ke

Sebukit Rama untuk menghimpun kekuatan. Serangan balik Sultan Zainal Abidin membuahkan hasil,

tentara Kesultanan Kadriah dapat dikalahkan. Namun, Sultan Zainal Abidin tidak kembali ke Pulau

Pedalaman, ia memilih menyepi dengan menyusuri hulu Sungai Mempawah (Lontaan, 1975:126).

Page 18: sejarah makam perjuangan mandor

Terjadi lagi kekosongan pemerintahan Kesultanan Mempawah, dan lagi-lagi Belanda memaksimalkan

peluang ini dengan mengangkat adik Sultan Zainal Abidin yang bernama Gusti Amin sebagai Sultan

Mempawah yang bergelar Panembahan Adinata Krama Umar Kamaruddin (Rizal, tt:41; Johan Wahyudi

dalam Borneo Tribune, Desember 2007). Pada tahun 1831 itu, Kesultanan Mempawah melemah

karena campur-tangan Belanda. Sejak itu, setiap suksesi Kesultanan Mempawah menjadi permainan

politik yang diatur oleh Belanda. Selain itu, pihak Kesultanan Mempawah harus tunduk pada aturan-

aturan buatan Belanda.

Setelah Gusti Amin wafat pada tahun 1839, Belanda menobatkan Gusti Mukmin menjadi Sultan

Mempawah dengan gelar Panembahan Mukmin Nata Jaya Kusuma. Selanjutnya, pada tahun 1858,

Belanda menabalkan Gusti Makhmud sebagai Sultan Mempawah dengan gelar Panembahan Muda

Makhmud Alauddin. J.U. Lontaan dalam buku berjudul Sejarah Hukum Adat dan Adat-Istiadat

Kalimantan Barat (1975) menyebutkan bahwa pada tahun 1858 itu telah diangkat pula Gusti Usman

sebagai Sultan Mempawah (Lontaan, 1975:129). Dari tulisan itu, dimungkinkan Gusti Makhmud wafat

tidak lama setelah dinobatkan. Gusti Usman, anak Gusti Mukmin, diangkat menjadi Sultan Mempawah

untuk sementara. Kemungkinan tersebut mendekati kebenaran karena ketika Gusti Usman meninggal

dunia pada tahun 1872, yang diangkat sebagai Sultan Mempawah adalah Gusti Ibrahim gelar

Panembahan Ibrahim Muhammad Syafiuddin yang tidak lain adalah putera Gusti Makhmud (Rizal,

tt:41).

Ketika Gusti Ibrahim mangkat pada tahun 1892, sang putera mahkota, Gusti Muhammad Thaufiq

Accamuddin, dinilai belum cukup umur untuk diangkat sebagai penggantinya. Oleh karena itu, yang

dinobatkan selaku pemangku adat Kesultanan Mempawah untuk sementara adalah Gusti Intan, kakak

perempuan Gusti Muhammad Thaufiq Accamuddin (Wahyudi, Desember 2007). Gusti Muhammad

Thaufiq Accamuddin sendiri baru naik tahta pada tahun 1902. Sultan ini membangun Istana

Amantubillah Wa Rusuli Allah di Pulau Pedalaman pada tahun 1922. Pemerintahan Sultan Muhammad

Thaufiq Accamuddin masih berlangsung hingga kedatangan Jepang di Indonesia pada tahun 1942.

Kedatangan Jepang menimbulkan tragedi bagi kerajaan-kerajaan di Kalimantan Barat, termasuk

Kesultanan Mempawah. Pada tahun 1944, Sultan Muhammad Thaufiq Accamuddin ditawan tentara

Jepang hingga akhir hayatnya. Hingga kini, jasad ataupun makam Sultan Muhammad Thaufiq

Accamuddin belum ditemukan (Lontaan, 1975:130). Karena putera mahkota, Gusti Jimmi Muhammad

Ibrahim, belum dewasa, maka Jepang mengangkat Gusti Mustaan selaku Wakil Panembahan

Kesultanan Mempawah yang menjabat hingga tahun 1955. Namun, waktu itu Gusti Jimmi Muhammad

Ibrahim tidak bersedia dinobatkan menjadi Sultan Mempawah karena masih ingin menyelesaikan

pendidikannya di Yogyakarta. Oleh karena itu, yang dianggap sebagai Sultan Mempawah terakhir

adalah Sultan Muhammad Thaufiq Accamuddin (Umberan, et.al, 1996-1997:20).

Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, kemudian disusul dengan pengakuan kedaulatan secara

penuh dari Belanda kepada Indonesia pada tahun 1949, terjadi perombakan yang signifikan dalam

bidang sistem pemerintahan, termasuk sistem pemerintahan di daerah. Hal itu terjadi juga di

Page 19: sejarah makam perjuangan mandor

Kalimantan Barat. Dengan terbentuknya Republik Indonesia, segala wewenang yang pernah

dilimpahkan kepada Daerah Istimewa Kalimantan Barat dikembalikan kepada Negara Kesatuan

Republik Indonesia (http://kalbar.bps.go.id).

Pada akhirnya kemudian, atas desakan rakyat, para tokoh adat Dayak dan Melayu-Bugis, Gusti Jimmi

Muhammad Ibrahim akhirnya bersedia dinobatkan sebagai pemangku adat Kesultanan Mempawah.

Karena telah bergabung dan menjadi bagian dari NKRI, kepemimpinan Gusti Jimmi Muhammad Ibrahim

yang menyandang gelar sebagai Panembahan XII Kesultanan Amantubillah Mempawah sudah tidak

memiliki kewenangan lagi secara politik.

Tanggal 12 Agustus 2002, karena menderita sakit yang tidak kunjung sembuh, Panembahan Gusti

Jimmi Muhammad Ibrahim menyerahkan kekuasaan Kesultanan Mempawah kepada puteranya yang

bernama Pangeran Ratu Mulawangsa Mardan Adijaya Kesuma Ibrahim yang kemudian dinobatkan

sebagai Panembahan XII Kesultanan Amantubillah Mempawah dan bertahta hingga saat ini. Pada

tahun 2005, Panembahan Jimmy Mohammad Ibrahim wafat dalam usia 73 tahun dan dimakamkan

dengan upacara kebesaran adat Kesultanan Mempawah.

TENTANG ISTANA

Istana Amantubillah

Nama Istana “Amantubillah” mempunyai arti, “Aku beriman

kepada Allah”. Istana yang didominasi oleh warna hijau ini

menempatkan tulisan “Mempawah Harus Maju, Malu dengan

Adat” pada pintu gerbang istana. Kompleks Istana Amantubillah

berdiri kokoh di Desa Pulau Pedalaman, Kecamatan Mempawah

Timur, Kabupaten Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat.

Menurut sejarah, Istana Amantubillah dibangun pada masa pemerintahan Gusti Jamiril bergelar

Panembahan Adiwijaya Kesuma (1761-1787). Pada tahun 1880, Istana Amantubillah mengalami

kebakaran ketika diperintah oleh Gusti Ibrahim bergelar Panembahan Ibrahim Mohammad Syafiuddin

(1864–1892). Renovasi terhadap bangunan Istana Amantubillah kemudian dilakukan hingga Istana

Amantubillah dapat berdiri kembali pada tanggal 2 November 1922 ketika diperintah oleh Gusti

Muhammad Taufik Accamaddin (1902–1943).

Kompleks Istana Amantubillah dibagi dalam tiga bagian, yaitu bangunan utama, bangunan sayap

kanan, dan sayap kiri. Pada zaman dahulu, bangunan utama merupakan tempat singgasana raja,

permaisuri, dan tempat tinggal keluarga raja. Bangunan sayap kanan adalah tempat untuk

mempersiapkan keperluan dan tempat untuk jamuan makan keluarga istana. Sedangkan bangunan

sayap kiri merupakan aula dan tempat untuk mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan

administrasi pemerintahan.

Page 20: sejarah makam perjuangan mandor

Pada masa sekarang, bangunan utama berfungsi sebagai museum Kerajaan Mempawah. Di tempat ini

tersimpan berbagai peninggalan Kerajaan Mempawah, yaitu singgasana raja, foto-foto raja beserta

keluarganya, keris, busana kebesaran, dan payung kerajaan, dan lain-lain. Bangunan sayap kanan

berfungsi sebagai pendopo istana, sedangkan bangunan sayap kiri sebagai tempat tinggal para

kerabat Kerajaan Mempawah.