sejarah kespro

29
12 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Kesehatan Reproduksi 2.1.1. Sejarah kesehatan reproduksi Kesehatan reproduksi mendapat perhatian khusus secara global sejak diangkatnya isu tersebut dalam Konferensi Internasional tentang Kependudukan dan Pembangunan (International Conference on Population and Development, ICPD), di Kairo, Mesir pada tahun 1994. Hal penting dalam konferensi tersebut adalah disepakatinya perubahan paradigma dalam pengelolaan masalah kependudukan dan pembangunan dari pendekatan pengendalian populasi dan penurunan fertilitas menjadi pendekatan yang terfokus pada kesehatan reproduksi serta upaya pemenuhan hak-hak reproduksi (Widyastuti,2009:1). Dengan demikian pengendalian kependudukan telah bergeser ke arah yang lebih luas, yang meliputi pemenuhan kebutuhan kesehatan reproduksi bagi laki-laki dan perempuan sepanjang siklus hidup, termasuk hak-hak reproduksinya, kesetaraan dan keadilan gender, pemberdayaan perempuan dan penanggulangan kekerasan berbasis gender, serta tanggung jawab laki-laki dalam kaitannya dengan kesehatan reproduksi. Paradigma baru ini berpengaruh besar antara lain terhadap hak dan peran perempuan sebagai subyek dalam ber-KB. Perubahan pendekatan juga terjadi dalam penanganan kesehatan ibu dan anak, kesehatan reproduksi remaja, pencegahan dan penanggulangan Infeksi Menular Seksual (IMS) termasuk HIV/AIDS, serta kesehatan Universitas Sumatera Utara

Upload: ahmad-halif-mardian

Post on 22-Nov-2015

24 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

  • 12

    BAB 2

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1.Kesehatan Reproduksi

    2.1.1. Sejarah kesehatan reproduksi

    Kesehatan reproduksi mendapat perhatian khusus secara global sejak

    diangkatnya isu tersebut dalam Konferensi Internasional tentang Kependudukan dan

    Pembangunan (International Conference on Population and Development, ICPD), di

    Kairo, Mesir pada tahun 1994. Hal penting dalam konferensi tersebut adalah

    disepakatinya perubahan paradigma dalam pengelolaan masalah kependudukan dan

    pembangunan dari pendekatan pengendalian populasi dan penurunan fertilitas

    menjadi pendekatan yang terfokus pada kesehatan reproduksi serta upaya pemenuhan

    hak-hak reproduksi (Widyastuti,2009:1). Dengan demikian pengendalian

    kependudukan telah bergeser ke arah yang lebih luas, yang meliputi pemenuhan

    kebutuhan kesehatan reproduksi bagi laki-laki dan perempuan sepanjang siklus hidup,

    termasuk hak-hak reproduksinya, kesetaraan dan keadilan gender, pemberdayaan

    perempuan dan penanggulangan kekerasan berbasis gender, serta tanggung jawab

    laki-laki dalam kaitannya dengan kesehatan reproduksi.

    Paradigma baru ini berpengaruh besar antara lain terhadap hak dan peran

    perempuan sebagai subyek dalam ber-KB. Perubahan pendekatan juga terjadi dalam

    penanganan kesehatan ibu dan anak, kesehatan reproduksi remaja, pencegahan dan

    penanggulangan Infeksi Menular Seksual (IMS) termasuk HIV/AIDS, serta kesehatan

    Universitas Sumatera Utara

  • 13

    reproduksi usia lanjut, yang dibahas dalam konteks kesehatan dan hak reproduksi.

    Dengan paradigma baru ini diharapkan kestabilan pertumbuhan penduduk akan dapat

    dicapai dengan lebih baik.

    2.1.2. Definisi kesehatan reproduksi

    Undang-Undang Kesehatan No. 23 Tahun 1992 memberikan batasan:

    kesehatan adalah keadaan sejahtera badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan

    setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Batasan yang diangkat dari

    batasan kesehatan menurut Organisasi Kesahatan Dunia ( WHO ) yang paling baru

    ini, memang lebih luas dan dinamis dibandingkan dengan batasan sebelumnya yang

    mengatakan, bahwa kesehatan adalah keadaan sempurna, baik fisik, mental, maupun

    sosial, dan tidak hanya bebas dari penyakit dan cacat. Pada batasan yang terdahulu,

    kesehataan itu hanya mencakup tiga aspek, yakni : fisik, mental, dan sosial, tetapi

    menurut Undang-Undang No. 23/1992, kesehatan itu mencakup 4 aspek yakni fisik

    (badan), mental (jiwa), sosial, dan ekonomi. Hal ini berarti kesehatan seseorang tidak

    hanya diukur dari aspek fisik, mental, dan sosial saja, tetapi juga diukur dari

    produktivitasnya dalam arti mempunyai pekerjaan atau menghasilkan secara ekonomi

    (Notoatmodjo, 2007:3).

    Dalam Konfrensi Kependudukan di Kairo 1994, disusun pula definisi

    kesehatan reproduksi yang dilandaskan kepada definisi sehat menurut WHO: keadaan

    sehat yang menyeluruh, meliputi aspek fisik, mental dan sosial, dan bukan sekedar

    tidak adanya penyakit disegala hal yang berkaitan dengan sistem reproduksi,

    Universitas Sumatera Utara

  • 14

    fungsinya, maupun proses reproduksi itu sendiri (Widyastuti dkk, 2009:1; Suyono,

    1997:1).

    2.1.3. Ruang lingkup kesehatan reproduksi dalam siklus kehidupan

    Secara luas, ruang lingkup kesehatan produksi yang tercantun dalam

    Kebijakan dan Strategi Nasional Kesehatan Reproduksi di Indonesia (2005) meliputi:

    1. Kesehatan ibu dan bayi baru lahir

    2. Keluarga berencana

    3. Pencegahan dan penanggulangan Infeksi Saluran Reproduksi (ISR) termasuk

    IMS-HIV/AIDS

    4. Pencegahan dan penanggulangan komplikasi aborsi

    5. Kesehatan reproduksi remaja

    6. Pencegahan dan penanganan infertilitas

    7. Penanggulangan masalah kesehatan reproduksi pada usia lanjut seperti kanker,

    osteoporosis, dementia dan lain-lain.

    2.2.Hak Reproduksi

    Sebelum tahun 1960, beberapa konsensus PBB tentang populasi tidak

    menfokuskan pada hak. Demikian pula dengan konvensi tentang perempuan, juga

    belum memberi penekanan pada Hak Asasi Manusia atau isu yang mempedulikan

    reproduksi dan seksualitas. Pada konfrensi Hak Asasi Manusia I yang

    diselenggarakan di Teheran tahun 1960, mulai menyebutkan adanya hak untuk

    Universitas Sumatera Utara

  • 15

    menentukan dan jumlah dan jarak anak. Konfrensi Hak Asasi Manusia II pada tahun

    1993 di Viena mulai membuat tahapan mengenai hasil konvensi di Kairo dan Beijing

    yang menegaskan bahwa hak perempuan adalah Hak Asasi Manusia yang

    memangkas semua bentuk diskriminasi berdasarkan seks harus menjadi prioritas

    pemerintah. Dari konvensi ini akhirnya perempuan mempunyai hak untuk menikmati

    standar tertinggi dari kesehatan fisik dan psikis sepanjang kehidupan termasuk hak

    untuk akses dan pelayanan kesehatan yang adekuat. Ada beberapa hak yang

    digunakan untuk melindungi dan meningkatkan kesehatan gender dalam kesehatan

    reproduksi dan kesehatan seksual (Wiknjosastro, 2006:18).

    Cottingham dkk (Wiknjosastro, 2006:18) menuliskan bahwa kesehatan

    reproduksi merupakan hak asasi manusia. Baik ICPD 1994 di Kairo maupun FWCW

    1995 di Beijing mengakui hak-hak reproduksi sebagai bagian yang tak terpisahkan

    dan mendasar dari kesehatan reproduksi dan seksual.

    Hak-hak reproduksi mencakup hak-hak asasi manusia tertentu yang sudah

    diakui dalam hukum-hukum nasional, dokumen-dokumen hak asasi manusia

    internasional dan dokumen-dokumen konsensus Perserikatan Bangsa-Bangsa lain

    yang relevan. Hak-hak ini didasarkan pada pengakuan akan hak-hak asasi semua

    pasangan dan pribadi untuk menentukan secara bebas dan bertanggung jawab

    mengenai jumlah anak, penjarakan anak, dan menentukan waktu kelahiran anak-anak

    mereka mempunyai informasi dan cara memperolehnya, serta hak untuk mencapai

    standar tertinggi kesehatan seksual dan reproduksi. Hal ini juga mencakup hak semua

    orang untuk membuat keputusan mengenai reproduksi yang bebas dari diskriminasi,

    Universitas Sumatera Utara

  • 16

    paksaan, dan kekerasan seperti dinyatakan dalam dokumen-dokumen hak asasi

    manusia. Untuk melaksanakan hak tersebut, mereka harus mempertimbangkan

    kebutuhan kehidupan anak-anak mereka yang sekarang dan pada masa mendatang,

    serta tanggung jawab mereka terhadap masyarakat (Dwiyanto A., Darwin M.,

    1996:22).

    Hak-hak reproduksi yang dituliskan oleh Widyastuti dkk (2009:3) menurut

    kesepakatan dalam Konferensi International Kependudukan dam Pembangunan

    bertujuan untuk mewujudkan kesehatan bagi individu secara utuh, baik kesehatan

    jasmani maupun rohani, meliputi:

    1. Hak mendapatkan informasi dan pendidikan kesehatan dan reproduksi.

    2. Hak mendapatkan pelayanan dan perlindungan kesehatan reproduksi.

    3. Hak kebebasan berfikir tentang pelayanan kesehatan reproduksi.

    4. Hak untuk dilindungi dari kematian karena kehamilan.

    5. Hak untuk menentukan jumlah dan jarak kelahiran anak.

    6. Hak atas kebebasan dan keamanan berkaitan dengan kehidupan reproduksinya.

    7. Hak untuk bebas dari penganiayaan dan perlakuan buruk termasuk perlindungan

    dari perkosaan, kekerasan, penyiksaan, dan pelecehan seksual.

    8. Hak mendapatkan manfaat kemajuan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan

    kesehatan reproduksi.

    9. Hak atas pelayanan dan kehidupan reproduksinya.

    10. Hak untuk membangun dan merencanakan keluarga.

    Universitas Sumatera Utara

  • 17

    11. Hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi dalam kehidupan berkeluarga

    dan kehidupan reproduksi.

    12. Hak atas kebebasan berkumpul dan berpartisipasi dalam politik yang berkaitan

    dengan kesehatan reproduksi.

    2.2.1. Perkembangan hak asasi perempuan

    Pemerintah Indonesia yang sebelumnya telah meratifikasi Konvensi

    Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan melalui Undang-

    undang No.7/1984, bertanggung jawab secara simultan melaksanakan peraturan-

    peraturan dibawah tersebut. Hak-hak tersebut lebih ke arah hak-hak sipil dan hak

    politis misalnya: hak untuk hidup, bebas dari tekanan, bersuara, dan mendapat

    informasi. Sedangkan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya misalnya mendapat

    pendidikan, bekerja, dan standar hidup yang sehat baik fisik dan mental

    (Winkjosastro dkk, 2006:20).

    Winkjosastro dkk (2006:20) menuliskan dalam setiap hak, pemerintah

    mempunyai 3 tingkat peraturan :

    1. Menghormati HAM yang berarti pemerintah tidak melakukan kekerasan;

    2. Melindungi HAM yang berarti pemerintah membuat suatu hukum yang mengatur

    mekanisme untuk melindungi dari kekerasan;

    3. Memenuhi HAM yang berarti pemerintah mengambil suatu tindakan yang

    bertahap ditempatkan dalam suatu peraturan yang prosedural (sesuai prosedur)

    dalam suatu institusi.

    Universitas Sumatera Utara

  • 18

    Pada refleksi lima tahun pertama pelaksanaan Deklarasi Beijing (1995-2000)

    pemerintah Indonesia mencatat sejumlah besar advokasi yang dilakukan berbagai

    pihak; baik tingkat lokal; nasional maupun internasional; yang pada akhirnya

    terbentuklah institusi baru dan menerbitkan beberapa Undang-undang baru yang

    terkait langsung dengan perlindungan hak-hak asasi perempuan di tingkat nasional.

    Diantaranya pembentukan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan

    (1998), pengesahan Undang-undang No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pada

    Undang-undang No. 39/1999 untuk pertama kalinya secara hukum dinyatakan bahwa

    hak-hak perempuan sebagai hak asasi manusia. Hak Asasi Manusia, termasuk hak

    politik perempuan (Winkjosastro dkk, 2006:21).

    2.2.2. Pemenuhan hak-hak reproduksi

    Berdasarakan UU No. 7/1984 dan dokumen Kairo dapat disimpulkan, hak

    reproduksi (dan implikasinya pada kesehatan reproduksi) selalu menyangkut dua

    komponen dasar. Komponen pertama, kebebasan dalam menentukan jumlah anak dan

    waktu/jarak kelahiran. Arti kebebasan ini tidak dapat dilepaskan dari dokumen-

    dokumen hak asasi manusia lainnya dan bersifat mutlak. Ia harus berdasarkan rasa

    tanggungjawab, baik terhadap kehidupannya, anaknya maupun masyarakatnya.

    Tanggungjawab seperti ini hanya akan bisa terwujud kalau perempuan menempati

    posisi yang kuat, posisi di mana ia dapat bernegosiasi dengan lingkungannya

    (keluarga, suami serta masyarakat) dan pemerintah. Komponen berikutnya adalah

    entitlement yang menyangkut erat masalah memperoleh informasi serta pelayanan

    Universitas Sumatera Utara

  • 19

    keluarga berencana. Entitlement merupakan manifestasi dari rasa tanggungjawaab

    masyarakat dan negara, terhadap kehidupan reproduksi perempuan dan memiliki nilai

    sosial (Adrina dkk, 1998:68).

    Pemenuhan hak-hak reproduksi merupakan bentuk perlindungan bagi setiap

    individu, serta prakondisi untuk memperoleh hak-hak lainnya tanpa diskriminasi.

    Hak-hak reproduksi mengawasi pemerintah dalam mematuhi dokumen-dokumen

    HAM seperti tidak terpenuhinya hak atas pendidikan, pelayanan kesehatan dan sosial

    yang menyebabkan kematian ibu. Hak-hak reproduksi berarti pasangan dan individu

    berhak untuk memutuskan apakah dan kapan mereka memiliki anak tanpa

    diskriminasi, paksaan dan kekerasan (Wiknjosastro, 2006:18).

    Triwijati (1997:114) menuliskan dalam pemenuhan hak reproduksi

    perempuan terdapat tiga elemen yang harus dipenuhi. Pertama, hak untuk bebas

    menentukan jumlah anak dan kapan (atau apakah mau) melahirkan. Kedua, hak untuk

    mendapatkan informasi yang lengkap dan cara/metode untuk mengatur kesuburannya,

    dan ketiga untuk memiliki kontrol atas tubuhnya.

    Elemen pertama diperuntukkan bagi pasangan dan individu, yang mencakup

    mulai dari hak untuk menentukan bila dan kapan hendak menikah, memilih pasangan,

    sampai dengan hak untuk mempunyai anak (jumlah maupun jarak waktunya).

    Implikasinya hak ini tidak boleh dilanggar baik oleh individu lain, masyarakat

    maupun pemerintah. Penentuan kapan, berapa banyak dan jarak waktu mempunyai

    anak adalah hak dan tanggung jawab dari pasangan dan individu yang bersangkutan.

    Universitas Sumatera Utara

  • 20

    Elemen kedua, hak untuk mampu mengatur kesuburan, mencakup hak untuk

    mendapatkan informasi tentang KB dan pelayanannya. Artinya pemerintah tidak

    boleh menghambat atau membatasi individu maupun pasangan untuk mendapatkan

    informasi dan pendidikan yang lengkap berkaitan kontrasepsi maupun untuk

    mendapatkan dan menggunakan kontrasepsi (modern maupun tradisional). Praktek-

    praktek pelayanan KB di lapangan yang hanya memberikan informasi yang parsial,

    serta pemasangan kontrasepsi tertentu tanpa didahului pemeriksaan yang lengkap,

    tidak adanya konseling yang mengutamakan kepentingan kesehatan perempuan

    adalah beberapa contoh pelanggaran terhadap kesuburan ini.

    Elemen ketiga, hak perempuan untuk mempunyai kontrol atas tubuhnya

    sendiri, baik terhadap kapasitas seksualnya dan reproduksinya maupun untuk

    memiliki integritas terhadap tubuhnya. Bentuk-bentuk pelanggaran dalam pengertian

    ini antara lain adalah: hubungan seksual yang didasari rasa keterpaksaan, pemberian

    sanksi karena memiliki jumlah anak yang lebih dari norma yang ditetapkan, praktek-

    praktek yang menahan perempuan untuk dapat menghentikan pemakaian kontrasepsi

    yang dirasakan sangat membebani baik secara fisik (gangguan fisik) maupun mental

    (mengalami kecemasan maupun depresi berkepanjangan). Persoalan pelanggaran hak

    reproduksi perempuan muncul ketika pertanyaan tentang seberapa jauh persepsi dan

    kepatuhan benar-benar didasarkan pada ketiga elemen hak reproduksi.

    Universitas Sumatera Utara

  • 21

    2.3.Budaya Reproduksi

    Manusia percaya bahwa salah satu tugas mereka di dunia adalah melestarikan

    eksistensi manusia di bumi ini. Memiliki anak merupakan salah satu cara untuk

    memenuhi kewajiban itu. Banyak budaya yang memperbolehkan atau malah

    mendorong laki-laki untuk menceraikan istrinya dan kawin lagi, kalau perkawinan

    mereka tidak menghasilkan keturunan. Perempuan seolah-olah dianggap sebagai

    penyebab kemandulan (Mohamad, 1998:50).

    Mohamad (1998:50) menyatakan bahwa di kalangan masyarakat agraris,

    kelangsungan hidup mereka amat bergantung pada kesuburan, baik kesuburan tanah

    tempat mereka hidup maupun kesuburan kaum perempuannya. Perempuan yang

    subur sangat dihargai dan sebaliknya yang tidak subur dipandang rendah. Budaya

    tersebut menanamkan konsep pada kaum perempuan bahwa mengandung dan

    melahirkan anak adalah kewajiban tanpa diimbangi dengan hak juga pilihan lainnya.

    Keinginan untuk tidak hamil dan tidak mempunyai anak dianggap menyimpang dari

    aturan sosial. Kondisi ini menyebabkan perempuan untuk dapat melahirkan anak

    seperti harapan orang-orang yang ada di sekelilingnya.

    Di banyak negara berkembang, bahkan keputusan untuk menggunakan

    kontrasepsi bukan merupakan keputusan perempuan, meskipun yang

    menggunakannya adalah perempuan itu sendiri. Demikian juga keputusan untuk

    melahirkan akan meminta pertolongan dukun, bidan, atau dokter, sering diambil oleh

    suami dan mertua. Budaya reproduksi juga adakalanya menanamkan keyakinan

    bahwa mempunyai anak laki-laki adalah lebih baik daripada anak perempuan. Anak

    Universitas Sumatera Utara

  • 22

    laki-laki merupakan penerus marga atau keluarga, ataupun sebagai cadangan tenaga

    yang kuat untuk melakukan tugas-tugas seperti berperang, berburu, dan bekerja di

    ladang. Dalam masyarakat yang tidak menghendaki anak perempuan untuk tampil di

    muka umum, seperti misalnya masyarakat Arab di Arab Saudi, makna anak laki-laki

    menjadi makin lebih penting bagi sebuah keluarga (Mohamad, 1998:51).

    Budaya reproduksi penting dalam penelitian ini untuk melihat motivasi

    masyarakat di daerah penelitian untuk meneruskan keturunannya. Selain motivasi

    untuk meneruskan keturunan juga termasuk harapan keluarga yang melekat pada

    anak yang lahir tersebut.

    2.3.1. Tema budaya yang melatarbelakangi perilaku ibu dalam pemeliharaan

    kehamilan dan persalinan

    Selain budaya reproduksi diperlukan juga tema budaya yang menjadi latar

    belakang perawatan dan pemeliharan kehamilan. Tema budaya ini akan memberikan

    gambaran bagaimana perilaku ibu hamil dalam melakukan pemelihaaran selama

    kehamilan dan pada saat persalinan. Tulisan ini merupakan kutipan penelitian dari

    Qomariah Alwi tentang tema budaya yang melatarbelakangi perilaku penduduk asli

    (suku Amungme dan suku Kamoro) dalam pemeliharaan kehamilan dan persalinan di

    Kabupaten Mimika. Terdapat Tema budaya yang melatarbelakangi perilaku ibu

    dalam perawatan kehamilan dan persalinan (Alwi, 2007).

    Universitas Sumatera Utara

  • 23

    1. Tema budaya dalam pola makan dan aktivitas selama kehamilan dan setelah

    persalinan

    a. Pengadaan dan pengolahan makanan sehari-hari adalah tugas pokok kaum

    perempuan

    b. Ibu hamil usia lebih 5 bulan dianjurkan kerja lebih keras guna melancarkan

    persalinan

    c. Penyediaan makanan diutamakan untuk suami

    d. Banyak makanan pantang bagi ibu hamil/persalinan dan tidak mau makan

    makanan yang tidak biasa dimakan.

    e. Larangan ibu tidak pergi ke hutan /pantai 1-2 minggu setelah persalinan.

    Tema budaya menyebabkan persalinan tanpa pertolongan terjadi di sembarang

    tempat, ibu hamil mengalami kurang gizi, terjadinya kelelahan fisik dan daya tahan

    tubuh lemah. Hal ini menyebakan risiko komplikasi dan kematian ibu.

    2. Tema Budaya dalam pemeriksaan kesehatan dan pengobatan

    a. Pemeriksaan kesehatan/pengobatan masa hamil/persalinan sepenuhnya urusan

    kaum perempuan

    b. Pemeriksaan kesehatan/pengobatan modern dilakukan setelah pengobatan

    tradisional

    c. Obat tradisional tiap subsuku berbeda dan menjadi rahasia pemegang oto

    (dukun)

    Universitas Sumatera Utara

  • 24

    d. Dukun bayi dianggap dapat warisan/kelebihan dari roh/mbii.

    Akibat dari tema budaya yang kedua adalah kurangnya antisipasi dalam

    menghadapi persalinan sehingga menyebakan risiko komplikasi dan kematian ibu.

    3. Tema Budaya dalam penanganan proses persalinan.

    a. Darah dan kotoran persalinan akan dapat menimbulkan penyakit pada laki-

    laki dan anak

    b. Perempuan tabu membuka paha di depan orang belum dikenal,

    c. Asap kayu api dalam persalinan membawa kekuatan dari mbii

    d. Ibu meninggal dalam persalinan karena kutukan tuan tanah (teheta)

    e. Ibu baru boleh mandi dan boleh berhubungan seks, setelah upacara adat 1-2

    minggu pasca persalinan.

    Proses persalinan yang merugikan kesehatan ibu dan bayi merupakan akibat

    dari tema budaya yang ketiga dan juga menyebakan risiko komplikasi dan kematian

    ibu. Selain tema budaya berdasarkan kedua suku (Amungme dan Kamoro), orang

    Papua (Orang Hatam dan Sough) memiliki interpretasi tentang ibu hamil, melahirkan

    dan nifas (Dumatubun, 2002).

    Interpretasi Sosial Budaya Orang Hatam dan Sough tentang

    Ibu hamil, melahirkan, nifas, didasarkan pada pemahaman dan

    pengetahuan kebudayaan mereka secara turun temurun. Hal ini jelas

    didasarkan atas perilaku leluhur dan orang tua mereka sejak dahulu

    kala sampai sekarang. Bagi orang Hatam dan Sough, kehamilan

    adalah suatu gejala alamiah dan bukan suatu penyakit. Untuk itu

    harus taat pada pantangan-pantangan secara adat, dan bila dilanggar

    akan menderita sakit. Bila ada gangguan pada kehamilan seorang

    ibu, biasanya dukun perempuan (Ndaken) akan melakukan

    Universitas Sumatera Utara

  • 25

    penyembuhan dengan membacakan mantera di air putih yang akan

    diminum oleh ibu tersebut. Tindakan lain yang biasanya dilakukan

    oleh Ndaken tersebut juga berupa, mengurut perut ibu hamil yang sakit. Sedangkan bila ibu hamil mengalami pembengkakan pada

    kaki, berarti ibu tersebut telah melewati tempat-tempat keramat

    secara sengaja atau pula telah melanggar pantangan-pantangan yang

    diberlakukan selama ibu tersebut hamil. Biasanya akan diberikan

    pengobatan dengan memberikan air putih yang telah dibacakan

    mantera untuk diminum ibu tersebut. Juga dapat diberikan

    pengobatan dengan menggunakan ramuan daun abrisa yang dipanaskan di api, lalu ditempelkan pada kaki yang bengkak sambil

    diurut-urut. Ada juga yang menggunakan serutan kulit kayu bai yang direbus lalu airnya diminum. Disini posisi seorang dukun perempuan

    atau Ndaken sangatlah penting, sedangkan dukun laki-laki tidak berperan secara langsung.

    Ibu hamil yang mengalami perdarahan selama kehamilan dan

    setelah melahirkan berarti telah melanggar pantangan, suaminya

    telah melanggar pantangan serta belum menyelesaikan masalah

    dengan orang lain atau kerabat secara adat. Bila perdarahan terjadi

    setelah melahirkan, itu berarti pembuangan darah kotor, dan bagi

    mereka adalah suatu hal yang biasa dan bukan penyakit. Bila terjadi

    perdarahan, maka Ndaken akan memberikan air putih yang telah

    dibacakan matera untuk diminum oleh ibu tersebut. Selain itu akan

    diberikan ramuan berupa daun-daun dan kulit kayu mpamkwendom yang direbus dan airnya diminum oleh ibu tersebut. Bila terjadi

    pertikaian dengan kerabat atau orang lain, maka suaminya secara

    adat harus meminta maaf. Di sini peranan dukun perempuan

    (ndaken) dan dukun laki-laki (Beijinaubout, Rengrehidodo) sangatlah penting.Persalinan bagi orang Hatam dan Sough adalah

    suatu masa krisis. Persalinan biasanya di dalam pondok (semuka) yang dibangun di belakang rumah. Darah bagi orang Hatam dan

    Sough bagi ibu yang melahirkan adalah tidak baik untuk kaum laki-

    laki, karena bila terkena darah tersebut, maka akan mengalami

    kegagalan dalam aktivitas berburu. Oleh karena itu, seorang ibu yang

    melahirkan harus terpisah dari rumah induknya. Posisi persalinan

    dalam bentuk jongkok, karena menurut orang Hatam dan Sough

    dengan posisi tersebut, maka bayi akan mudah keluar. Pemotongan

    tali pusar harus ditunggu sampai ari-ari sudah keluar. Apabila

    dipotong langsung, maka ari-ari tidak akan mau keluar (Dumatubun,

    2002).

    Universitas Sumatera Utara

  • 26

    2.4.Bias Gender dalam Pelayanan Kesehatan Reproduksi

    Abdullah (2001:93) menuliskan kelemahan dalam kebijakan reproduksi dapat

    dilihat dari tiga hal. Pertama, kebijakan yang ada cenderung memperlakukan

    perempuan sebagai sasaran atau korban. Program aksi seperti kondomisasi tampak

    lebih banyak merugikan kaum perempuan karena perempuan di tempatkan sebagai

    pihak yang berkepentingan dalam menjaga kesehatan.

    Kedua, persoalan akses pelayanan kesehatan reproduksi. Jika pelayanan

    secara umum bersifat public goods, maka pelayanan kesehatan reproduksi dalam

    bentuk-bentuk tertentu tidak dapat dihadirkan sebagai fasilitas publik dalam arti

    sesungguhnya akibat pro dan kontra dalam persoalan seksual secara umum. Isu yang

    sejak lama belum selesai dan bahkan cenderung dilupakan dalam pembicaraan publik

    adalah pendidikan seks di sekolah. Kaum remaja atau pasien tidak dapat mengakses

    informasi yang berkaitan dengan praktik seksual atau aspek-aspek reproduktif remaja.

    Oleh karena itu, informasi cenderung di dapatkan dari informasi yang salah dan

    menyebabkan terjadinya penyimpangan seks. Dalam berbagai bentuk penyimpangan

    yang terjadi, kaum perempuan menjadi pihak yang disudutkan untuk

    bertanggungjawab atas penyimpangan-penyimpangan yang berlangsung.

    Perlindungan terhadap hak perempuan sangat terbatas dan tidak berkualitas

    (Abdullah, 2001:93).

    Ketiga, masalah kualitas pelayanan dimana pelayanan yang tersedia tidak

    memiliki kelengkapan informasi baik dalam pengertian obyektif maupun subyektif.

    Latar belakang sosial ekonomi pasien berpengaruh dalam persepsi dan penilaian

    Universitas Sumatera Utara

  • 27

    mereka tentang kualitas suatu bentuk pelayanan. Peningkatan kualitas secara umum

    meliputi tingkat keahlian paramedis dan pendekatan yang digunakan dalam melayani

    kepentingan pasien. Perempuan yang menjadi pasien dalam pelayanan kesehatan

    reproduksi tidak mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan hanya karena suami

    tidak turut memberdayakan posisi perempuan. Hal ini terutama akibat pengetahuan

    umum yang menilai kehamilan dan persalinan, misalnya sebagai tanggungjawab

    perempuan (Abdullah, 2001:94).

    Lemahnya posisi perempuan dalam pelayanan reproduksi tampak dari

    berbagai hal, seperti: (1) Kurangnya informasi yang dapat diakses oleh kaum

    perempuan dan tidak dimilikinya keahlian menolong diri sendiri dalam kesehatan

    sehingga ketergantungan pada pihak lain sangat besar; (2) Tidak memiliki jaringan

    sosial yang kuat yang memungkinkan perempuan mampu melakukan tawar menawar

    dalam berbagai tindakan yang merugikan; (3) Lemahnya basis ekonomi perempuan

    yang menyebabkan ia tergantung pada pencari nafkah dan pada fasilitas kesehatan

    yang berkualitas rendah; (4) Lemahnya basis sosial yang dapat digunakan sebagai

    sumber legitimasi keberadaannya. Ke empat faktor ini merupakan dasar dari berbagai

    bentuk tindakan yang merugikan perempuan (Abdullah, 2001:95).

    2.4.1. Status wanita dalam keluarga

    Menurut Widayastuti dkk (2009:89) status wanita meliputi:

    Universitas Sumatera Utara

  • 28

    1. Status reproduksi, yaitu sebagai pelestari keturunan. Hal ini mengisyaratkan bila

    seorang wanita tidak mampu melahirkan anak, maka status sosialnya dianggap

    rendah dibanding wanita yang bisa mempunyai anak.

    2. Status produksi, yaitu sebagai pencari nafkah dan bekerja di luar. Wanita yang

    bekerja mempunyai status yang lebih tinggi dibandingkan dengan wanita yang

    tidak bekerja.

    Status adalah kedudukan seseorang di dalam keluarga dan masyarakat. Status

    akan mempengaruhi bagaimana seorang wanita diperlakukan, bagaimana dia

    dihargai, dan kegiatan apa yang boleh dilakukan. Di sebagian besar masyarakat

    dunia, wanita mempunyai kedudukan yang lebih rendah dari pria. Status yang lebih

    rendah ini menimbulkan tindakan diskriminasi, yaitu diperlakukan secara tidak layak

    atau ditolak haknya hanya karena mereka wanita. Bentuk diskriminasi berbeda dari

    satu masyarakat ke masyarakat yang lain, tetapi selalu berakibat buruk pada

    kesehatan wanita (Burns dkk, 2000:11-14).

    1. Menginginkan anak laki-laki dari pada anak perempuan

    Banyak keluarga yang lebih menghargai anak laki-laki dari pada anak

    perempuan karena anak laki-laki dianggap bisa menyumbang lebih besar terhadap

    kekayaan keluarga, dapat membiayai orangtua dimasa tua nantinya, dan meneruskan

    nama keluarga. Akibatnya, anak perempuan sering mendapatkan ASI lebih singkat

    dan makanan dan pelayanan kesehatan yang lebih sedikit, serta tanpa pendidikan.

    Universitas Sumatera Utara

  • 29

    2. Tidak punya hak hukum dan kekuasaan untuk memutuskan

    Di banyak masyarakat di dunia, seorang wanita tidak boleh memiliki atau

    mewarisi hak miliki, mencari penghasilan atau mendapatkan kredit bank. Bila dicerai,

    dia mungkin tidak boleh merawat anak-anaknya lagi atau hak miliknya. Meskipun

    wanita punya hak secara hukum, tetapi tradisi mungkin tidak akan mengijinkannya

    untuk mengontrol hidupnya sendiri. Seringkali wanita tidak boleh memutuskan

    bagaimana keuangan keluarga dikelola atau kapan harus mendapatkan pelayanan

    kesehatan. Dia tidak bisa bepergian jauh atau berperan serta dalam masyarakat tanpa

    ijin suami.

    Bila wanita dirampas hak-haknya seperti tersebut diatas, mereka harus

    bergantung pada pria untuk hidup. Akibatnya, mereka tidak bisa dengan mudah

    menuntut sesuatu untuk meningkatkan kesehatan mereka misal KB, seks yang aman,

    cukup makan, pelayanan kesehatan, dan bebas dari rasa takut.

    3. Terlalu banyak anak, atau terlalu sering melahirkan

    Diskriminasi terhadap wanita juga mengakibatkan mereka sering hamil,

    karena mempunyai anak merupakan satu-satunya cara bagi wanita untuk

    mendapatkan kedudukan bagi dirinya atau suaminya. Dalam lingkungan seperti itu,

    wanita akan hidup kurang sehat dan kurang bisa menjangkau pelayanan kesehatan.

    Mereka juga sering menerima begitu saja status mereka yang rendah karena mereka

    dibesarkan untuk lebih menghargai laki-laki dari pada perempuan. Mereka juga akan

    Universitas Sumatera Utara

  • 30

    menerima tingkat kesehatan yang buruk tersebut sebagai nasib mereka dan mencari

    pertolongan hanya bila gangguan kesehatan telah begitu parah atau mengancam jiwa.

    4. Pelayanan kesehatan tidak memberikan pelayanan yang dibutuhkan wanita

    Kemiskinan dan diskriminasi di dalam keluarga dan masyarakat tidak hanya

    akan menimbulkan gangguan kesehatan yang lebih banyak bagi wanita, tetapi juga

    mengakibatkan lebih sedikit kemungkinan pelayanan kesehatan memberikan

    pelayanan seperti yang dibutuhkan wanita. Kebijakan pemerintah dan sistem ekonomi

    global mungkin juga mempengaruhinya.

    Di Negara berkembang, banyak orang tidak mampu menjangkau pelayanan

    kesehatan dalam bentuk apapun juga. Akibat dari dsikriminasi pada wanita, uang

    yang sedikit yang ada mungkin tidak akan digunakan untuk memberikan pelayanan

    kesehatan wanita sehinga tidak akan mendapatkan kesehatan yang baik meskipun dia

    mampu membayarnya. Berbagai macam pelayanan reproduksi mungkin tersedia,

    tetapi untuk mendapatkan, maka dia harus pergi ke kota besar atau ke ibu kota atau

    bahkan ke luar negri.

    2.5.Keluarga Berencana

    KB adalah singkatan dari Keluarga Berencana. Menurut Kamus Besar Bahasa

    Indonesia (1997), maksud daripada ini adalah: "Gerakan untuk membentuk keluarga

    yang sehat dan sejahtera dengan membatasi kelahiran." Keluarga berencana adalah

    upaya untuk:

    Universitas Sumatera Utara

  • 31

    a. Mewujudkan keluarga berkualitas melalui promosi, perlindungan, dan bantuan

    dalam mewujudkan hak-hak reproduksi serta penyelenggaraan pelayanan,

    pengaturan, dan dukungan yang diperlukan untuk membentuk keluarga dengan

    usia kawin yang ideal;

    b. Mengatur jumlah, jarak dan usia ideal melahirkan anak;

    c. Pengatur kehamilan; dan

    d. Membina ketahanan dan kesejahteraan keluarga.

    2.5.1. Manfaat Keluarga Berencana (KB)

    Keluarga Berencana menurut BKKBN (2007) mempunyai manfaat sebagai

    berikut :

    1. Kesehatan dan psikologis ibu dan anak

    a. Bagi ibu

    - Mencegah anemia (kurang darah)

    Kandungan zat besi (Fe) yang ada pada salah satu alat/obat kontrasepsi (pil

    kombinasi), dapat mencegah risiko anemia berat, sehingga dengan ber-KB ibu

    dapat menjaga kesehatan fisik dan kesehatan reproduksinya lebih optimal.

    Apabila diimbangi dengan memperhatikan asupan gizi yang memadai, agar

    terhindar dari anemia berat, maka risiko kesakitan dan kematian ibu dapat

    diturunkan.

    Universitas Sumatera Utara

  • 32

    - Mencegah pendarahan yang terlalu banyak setelah persalinan

    Dengan ber-KB setelah melahirkan, seorang ibu dapat mencegah terjadinya

    pendarahan yang terlalu banyak setelah melahirkan dan mempercepat pulihnya

    kondisi kesehatan rahim.

    - Mencegah kehamilan tidak diinginkan (KTD)

    Dengan ber-KB keluarga dapat merencanakan dan mengatur kelahiran anak-

    anaknya, dengan menghindari kehamilan 4 Terlalu (terlalu muda umur ibu,

    terlalu tua umur ibu, terlalu dekat jarak kehamilan dan terlalu sering melahirkan).

    Menghindari kehamilan yang tidak/belum diinginkan, akan menurunkan risiko

    kesakitan dan kematian ibu.

    - Mendekatkan ibu terhadap pelayanan pemeriksaan kesehatan

    Pada saat ibu ber-KB, ibu akan mendapatkan pemeriksaan kesehatan, informasi

    tentang KB dan kesehatan reproduksi secara lengkap yang bermanfaat dalam

    merencanakan kehamilan.

    - Meningkatkan keharmonisan keluarga

    Dengan ber-KB, ibu mempunyai kesempatan dan waktu yang cukup luang dalam

    memperhatikan kebutuhan suami, melayani suami dengan penuh kemesraan tanpa

    rasa takut menjadi hamil, mendikusikan dan membicarakan semua permasalahan

    dengan suami. Ibu juga akan memiliki waktu yang cukup untuk merawat dan

    mendidik anak-anaknya dengan baik.

    b. Bagi anak

    - Mencegah kurang gizi pada anak

    Universitas Sumatera Utara

  • 33

    KB memberikan peluang pada ibu dalam mempersiapkan kehamilannya, agar

    janin yang dikandungnya mendapatkan kecukupan gizi yang sempurna, sehingga

    dapat lahir aman dan selamat. Dengan memiliki jumlah anak sesuai yang

    direncanakan, pemenuhan gizi bagi semua anggota keluarga akan lebih tercukupi.

    - Tumbuh kembang anak terjamin

    Selain hak anak, maka pengaturan jarak kehamilan memberi peluang kepada

    setiap anak untuk mendapatkan perhatian dan kasih sayang orangtua, sehingga

    mereka dapat tumbuh dan berkembang dengan lebih optimal serta akan menjadi

    generasi yang berkualitas.

    - Kebutuhan ASI eksklusif 6 bulan dapat terpenuhi

    Salah satu cara ber-KB yang mengandalkan pemberian ASI secara eksklusif

    selama 6 bulan, dikenal dengan nama Metode Amenore Laktasi (MAL). MAL

    akan memberikan kesempatan kepada bayi untuk mendapatkan zat gizi yang

    paling sempurna yang terkandung dalam ASI, untuk pertumbuhan dan

    perkembangan bayi.

    2. Ekonomi

    a. Mengurangi biaya kebutuhan rumah tangga

    Dengan ber-KB, keluarga lebih leluasa dalam mengatur biaya kebutuhan sehari-

    hari, biaya pendidikan anak-anak, perawatan kesehatan bagi anggota keluarganya,

    dan lain-lain. Bagi ibu yang menggunakan cara KB MAL, mengurangi

    pengeluaran keluarga untuk membeli alat/obat kontrasepsi minimal 6 bulan.

    Universitas Sumatera Utara

  • 34

    b. Meningkatkan atau menambah pendapatan ekonomi keluarga

    Dengan mengatur jarak kelahiran antar anak, ibu mempunyai peluang dan

    kesempatan yang besar untuk berusaha, misalnya ikut dalam kelompok usaha

    UPPKS, dan sebagainya.

    3. Sosial budaya

    a. Meningkatkan kesempatan bermasyarakat

    Dengan ber-KB, ibu memiliki kesempatan dan waktu lebih banyak untuk

    bersosialisasi dan aktif pada kegiatan sosial di masyarakat.

    b. Meningkatkan peran ibu dalam pengambilan keputusan keluarga

    Dengan ber-KB, ibu mempunyai kesempatan dan berkontribusi sebagai mitra

    yang setara dalam pengambilan keputusan, baik keputusan dalam rumah tangga

    sendiri seperti memilih kontrasepsi, menentukan jumlah anak yang dikehendaki,

    maupun keputusan di luar rumah tangganya (BKKBN,2007).

    2.6.Suku Nias

    Suku Nias adalah kelompok masyarakat yang hidup di pulau Nias. Orang Nias

    menyebut diri mereka sebagai Ono Niha (anak manusia). Kemudian pulau Nias

    disebut sebagai Tano Niha (tanah manusia). Suku Nias adalah masyarakat yang hidup

    dalam hukum adat dan kebudayaan yang sangat kental. Hukum adat Nias secara

    Universitas Sumatera Utara

  • 35

    umum disebut fondrako yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran

    sampai kematian.

    Menurut mitos, asal usul suku Nias berasal dari sebuah pohon kehidupan yang

    disebut Sigaru Tora`a yang terletak di sebuah tempat yang bernama Tetehli Ana'a.

    Kedatangan manusia pertama ke Pulau Nias dimulai pada zaman Raja Sirao yang

    memiliki 9 orang Putra yang disuruh keluar dari Tetehli Ana'a karena

    memperebutkan tahta Sirao. Ke 9 Putra itulah yang dianggap menjadi orang-orang

    pertama yang menginjakkan kaki di Pulau Nias.

    2.6.1. Sistem kekerabatan

    Laiya (1979:97) menuliskan keluarga di Nias berfungsi sebagai titian yang

    menjembatani kerenggangan antara individu dan masyarakatnya. Keluarga adalah

    satu institusi yang di dalamnya seorang individu membentuk dan

    memperkembangkan kepribadiannya melalui proses sosialisasi. Hubungan intim di

    kalangan angggota keluarga menjadi model bagi seseorang yang kemudian

    diperkembangkannya dalam hubungan sosial dengan sesamanya di dalam dan di luar

    rumah dan dalam masyarakat yang lebih luas.

    Hubungan damai antara sesama anggota keluarga dapat dipertahankan

    sepanjang individu dapat memenuhi peranan yang diharapkan dari padanya. Peranan

    yang diharapkan itu mencakup peranan orangtua terhadap anak-anaknya, anak

    terhadap orangtua dan saudara sekandungnya, suami terhadap isterinya timbal balik,

    cucu terhadap kakek neneknya timbal balik, isteri terhadap keluarga suaminya

    Universitas Sumatera Utara

  • 36

    termasuk mertua, dan segenap anggota rumah tangga terhadap anggota yang bukan

    kerabatnya (Laiya, 1979:97-98). Suku Nias menganut sistem patrilineal dalam

    melihat garis keturunan di mana anak laki-laki adalah penerus keturunan dalam

    keluarga. Anak laki-laki yang telah menikah biasanya tinggal di rumah orangtuanya

    dalam jangka waktu tertentu bahkan ada yang sampai tua bersama dengan

    orangtuanya. Orang-orang yang berasal dari satu garis keturunan disebut sisambua

    mado (satu marga).

    Keluarga batih dalam istilah bahasa Nias yaitu ngambato. Ngambato

    terbentuk atas perkawinan antara laki-laki dan perempuan. Dari hasil perkawinan

    akan lahir anak-anak yang akan melengkapi ngambato (Laiya,1979:65). Dengan

    terbentuknya ngambato maka keluarga dari pihak suami dan isteri menjadi berfungsi

    terutama dalam upacara adat dalam lingkungan lingkaran hidupnya.

    Laoli dkk (1985:32) menuliskan kelompok keluarga yang paling dekat yaitu

    yang sekandung dan sepupu dihitung dari garis keturunan pihak laki-laki disebut iwa.

    Saudara sepupu tingkat kedua disebut huwa dan saudara-saudara tingkat seterusnya

    disebut banua. Dari kelompok banua yang menerima hak dalam upacara-upacara adat

    adalah salawa dan pembantu-pembantunya. Kelompok saudara-saudara perempuan

    yang sudah kawin beserta keluarganya juga termasuk keluarga yang mengawini anak

    perempuannya dari pihak suami disebut sebagai fadono atau ono alawe. Fadono

    merupakan pekerja dalam upacara yang diadakan oleh ngambato. Dalam pembagian

    urakha (jambar/makanan yang diberikan dalam hal ini daging babi) yang menjadi

    bagiannya adalah tangan dan kaki sebagai lambang kecekatan.

    Universitas Sumatera Utara

  • 37

    Uwu merupakan kelompok kekerabatan dari pihak isteri. Uwu merupakan

    sumber hidup anak-anak dari ngambato sehingga menjadi kelompok kekerabatan

    yang paling tinggi kedudukannya dan selalu mendapat penghormatan tertinggi dari

    ngambato. Sitenga boo merupakan keluarga yang memberi isteri bagi anak laki-laki

    ngambato. Sitenga boo akan diundang oleh sangambato pada pesta perkawinan,

    kematian atau pesta adat besar lainnya (Laoli dkk, 1985:32).

    2.6.2. Adat menetap sesudah menikah

    Suku Nias mengenal adat virilokal dimana isteri ikut suaminya dan tinggal

    menetap dalam keluarga suaminya atau disekitar tempat tinggal suaminya. Adat

    uxorilokal kadang kala juga digunakan oleh suku Nias. Adat uxorilokal terjadi

    apabila isteri tidak mempunyai saudara laki-laki sehingga suami tinggal di tempat

    tinggal orangtua isteri. Suami menjadi ono yomo yang artinya diambil menjadi anak

    oleh orangtua isteri (Laoli dkk, 1985:37).

    2.6.3. Perceraian

    Menurut adat suku Nias seperti yang dituliskan oleh Laoli dkk (1985:38) hak

    menceraikan hanya ada pada suami apabila isteri telah melakukan perbuatan zinah

    dengan laki-laki lain. Pada zaman dahulu kedua orang yang berzinah ini akan

    dipancung atau akan membayar holiholi dola mbagi (penebus batang leher atau

    penebus jiwa). Perempuan yang ingin menebus dirinya harus membayar setengah

    bayaran dari laki-laki.

    Universitas Sumatera Utara

  • 38

    Berpoligami merupakan salah satu cara untuk tidak bercerai dari isteri apabila

    tidak mempunyai anak laki-laki walaupun hal ini dilarang oleh gereja. Mengadopsi

    anak merupakan cara lain untuk tidak berpoligami. Anak yang diadopsi akan

    disyahkan menurut hukum adat sehingga akan mendapatkan warisan tanpa gugatan

    dari kerabat ayah yang mengangkatnya.

    2.6.4. Hukum waris

    Harta warisan dalam suku Nias adalah rumah, pertapakan, peralatan rumah

    tangga yang berharga, emas, kebun, tanah kosong yang tidak ditumbuhi oleh tanaman

    ekonomis, kedudukan dalam hukum adat dan hutang piutang (Laoli dkk, 1985:39).

    Anak laki-laki merupakan penerima harta warisan. Rumah dan kedudukan dalam adat

    adalah hak anak laki-laki yang sulung. Bila orangtua tidak memiliki anak laki-laki

    maka yang berhak mendapatkannya adalah saudaranya laki-laki. Anak angkat yang

    telah diangkat menurut persayaratan adat akan menerima pembagian harta wawarisan

    seperti anak-anak lainnya tanpa gugatan dari pihak manapun. Anak angkat tersebut

    juga mempunyai hak dan tanggun jawab yang sama dengan anak yang lain untuk

    mengurus orangtua angkat hingga meninggal dunia.

    Anak perempuan tidak berhak untuk mendapatkan harta warisan. Anak

    perempuan akan mendapatkan warisan apabila ada pesan atau wasiat dari orangtua

    dan kesepakatan bersama dari anak laki-laki. Pemberian warisan ini kepada anak

    perempuan disebut fabualasa kho ono alawe. Bagian warisan yang diterima oleh anak

    perempuan sangat kecil bila dibandingkan dengan yang diterima saudaranya laki-laki.

    Universitas Sumatera Utara

  • 39

    2.6.5. Rutinitas perempuan Nias

    Dalam kehidupan sehari-hari, laki-laki lebih dominan bukan hanya dari segi

    jumlah namun dari hak dan kewajiban dibanding perempuan. Perempuan sangat takut

    terhadap laki-laki. Mereka mengerjakan banyak hal dibanding laki-laki, baik

    pekerjaan domestik dalam rumah maupun di ladang dan di pasar (Sonjaya,

    2008:106).

    Sonjaya (2008:119-120) menuliskan tentang rutinitas perempuan berdasarkan

    pengamatannya di salah satu desa di Nias. Perempuan baik ibu maupun para gadis

    dan anak-anak diusia sekolah sepanjang hari harus bekerja. Jika ada yang bermalas-

    malasan, hukumannya adalah menjadi bahan pergunjingan tetangga.

    Perempuan yang bertugas membawa semua bekal yang dibutuhkan seperti

    makanan dan minuman ketika berangkat ke ladang sementara laki-laki hanya

    membawa parang untuk berladang. Perempuanlah yang bekerja mencari talas,

    mengambil coklat, dan mengumpulkan sayuran. Laki-laki bekerja menyadap karet

    dan mengupas coklat serta memasukkannya dalam wadah yang dibawa dari rumah.

    Perempuan memiliki beban yang paling berat ketika pulang ke rumah karena harus

    mengusung coklat diatas kepalanya sambil menenteng sayuran. Setiba dirumah, laki-

    laki langsung istirahat dan tiduran sedangkan perempuan langsung ke dapur dan

    menatah hasil ladang. Coklat disiapkan dalam sebuah wadah untuk dijemur keesokan

    harinya, sayur dicuci untuk dimasak, dan peralatan yang kotor segera dibersihkan

    serta memasak untuk makan malam. Menjelang malam, perempuan akan menyuci

    semua perabotan yang kotor, menyuci pakaian dan mandi di sungai.

    Universitas Sumatera Utara

  • 40

    2.7.Kerangka Pikir

    Di bawah ini merupakan kerangka pikir penelitian, sebagai berikut:

    Gambar 2.1. Kerangka Pikir Penelitian

    Berdasarkan kerangka pikir penelitian diatas, penelitian ini terfokus untuk

    mengetahui hak-hak kesehatan reproduksi perempuan dalam masyarakat Nias di

    Kecamatan Mandrehe Kabupaten Nias Barat. Hak-hak reproduksi perempuan

    dideskripsikan berdasarkan pandangan perempuan Nias terhadap hak reproduksinya

    (emic view). Hak-hak reproduksi perempuan diasumsikan dipengaruhi oleh faktor

    internal (budaya, gender, tingkat pendidikan dan ekonomi) dan faktor eksternal

    berupa informasi dari petugas kesehatan.

    Hak Kesehatan

    Reproduksi

    Hak atas pemilihan

    Hak menentukan

    kelahiran

    Hak atas kehamilan

    yang aman

    Hak melahirkan yang

    Hak atas pelayanan

    kesehatan

    Universitas Sumatera Utara