sejarah kerajaan majapahit
DESCRIPTION
bnnbbnTRANSCRIPT
Laporan Tentang Sejarah Kerajaan
Majapahit
No Kelompok :
08
Anggota Kelompok :
1.Devini setyaningsih
2.Mirza Humayun
3.Siswanto
Sejarah Kerajaan Majapahit
Kerajaan Majapahit disebut sebagai kerajaan nasional Indonesia yang kedua.
Hal tersebut disebabkan oleh upaya yang besar dari kerajaan ini untuk mewujudkan
suatu cita-cita yaitu penyatuan Nusantara. Dalam perjalanan Sejarah, upaya integrasi wilayah kepulauan Nusantara memang tidak sepenuhnya berlangsung dengan mulus
dan dilakukakan dengan cara Ksatria. Peristiwa bubat yang disusul dengan perpecahan internal di dalam tubuh Majapahit sendiri menyebabkan cita-cita penyatuan tidak sepenuhnya dapat dilakukan. Meskipun demikian pada awalnya,
Majapahit merupakan kerajaan yang mempunyai wibawa dan kekuatan yang besar, sehingga kerajaan lain harus berpikir ratusan kali untuk membelot atau memberontak
terhadap kekuasaan yang ada. Ketika Singasari jatuh ke tangan Jayakatwang, Raden Wijaya (menantu
Kertanegara) lari ke Madura. Atas bantuan Arya Wiraraja, ia diterima kembali
dengan baik oleh Jayakatwang dan diberi sebidang tanah di Tarik (Mojokerto). Ketika tentara Kublai Khan menyerbu Singasari, Raden Wijaya berpura-pura
membantu menyerang Jayakatwang. Namun, setelah Jayakatwang dibunuh, Raden Wijaya berbalik menyerang tentara Mongol dan berhasil mengusirnya. Setelah itu, Raden Wijaya mendirikan Kerajaan Majapahit (1293) dan menobatkan dirinya
dengan gelar Sri Kertarajasa Jayawardhana.
A. Berdirinya Kerajaan Majapahit
Ketika Singasari jatuh ke tangan Jayakatwang, Raden Wijaya (menantu Kertanegara) lari ke Madura. Atas bantuan Arya Wiraraja, ia diterima kembali dengan baik oleh Jayakatwang dan diberi sebidang tanah di Tarik (Mojokerto). Ketika tentara Kublai
Khan menyerbu Singasari, Raden Wijaya berpura-pura membantu menyerang Jayakatwang. .
. Namun, setelah Jayakatwang dibunuh, Raden Wijaya berbalik menyerang tentara
Mongol dan berhasil mengusirnya. Setelah itu, Raden Wijaya mendirikan Kerajaan Majapahit (1293) dan menobatkan dirinya dengan gelar Sri Kertarajasa
Jayawardhana.
B. Letak Geografis Secara Geografis letak Kerajaan Majapahit sangat strategis karena adanya di daerah lembah sungai yang luas, yaitu Sungai Brantas dan Bengawan Solo, serta anak
sungainya yang dapat dilayari sampai ke hulu.
C. Perkembangan Politik Kerajaan Majapahit
1) Pemerintahan Kertarajasa Untuk meredam kemungkinan terjadinya pemberontakan, Raden Wijaya
(Kertarajasa) melakukan langkah-langkah sebagai berikut.
a) Mengawini empat putri Kertanegara dengan tujuan mencegah terjadinya perebutan kekuasaan antar anggota keluarga raja. Putri sulung Kertanegara, Dyah Sri Tribhuaneswari, dijadikan permaisuri dan putra dari pernikahan tersebut Jayanegara,
dijadikan putra mahkota. .
Putri bungsu Kertanegara, Dyah Dewi Gayatri dijadikan Rajapatni. Dari putri ini, Kertarajasa memiliki dua putri, Tribhuwanatunggadewi Jayawisnuwardhani diangkat menjadi Bhre Kahuripan dan Rajadewi Maharajasa diangkat menjadi Bhre Daha.
Adapun kedua putri Kertanegara lainnya yang dinikahi Kertarajasa adalah Dyah Dewi Narendraduhita dan Dyah Dewi Prajnaparamita. Dari kedua putri ini, Kertarajasa tidak mempunyai putra.
b) Memberikan kedudukan dan hadiah yang pantas kepada para pendukungnya,
misalnya, Lurah Kudadu memperoleh tanah di Surabaya dan Arya Wiraraja diberi kekuasaan atas daerah Lumajang sampai Blambangan.
Kepemimpinan Kertarajasa yang cukup bijaksana menyebabkan kerajaan menjadi aman dan tenteram. Ia wafat pada tahun 1309 dan dimakamkan di Simping (Blitar)
sebagai Syiwa dan di Antahpura (dalam kota Majapahit) sebagai Buddha. Arca perwujudannya adalah Harikaya, yaitu Wisnu dan Syiwa digambarkan dalam satu arca. Penggantinya adalah Jayanegara.
2) Pemerintahan Jayanegara Jayanegara (1309-1328) adalah raja Majapahit kedua yang naik takhta
kerajaan menggantikan Kertarajasa Jayawardhana (Raden Wijaya) pada tahun 1309 dan memerintah sampai tahun 1328. Pada waktu naik takhta, Jayanegara baru berusia 15 tahun. Menurut kitab Negarakertagama dan Pararaton, ia adalah putra Kertarajasa
dari Dara Petak atau putri Indreswari (selir). Menurut sumber lain, ia adalah putra Kertarajasa dari Tribuaneswari (permaisuri). Pada tahun 1269, ketika ayahnya masih
memerintah, Jayanegara dinobatkan menjadi raja muda (yuwaraja) di Kediri dengan nama Abhiseka Sri Jayanegara.
Masa pemerintahan Jayanegara dipenuhi pemberontakan akibat kepemimpinannya kurang berwibawa dan kurang bijaksana. Pemberontakan-pemberontakan itu sebagai
berikut. a) Pemberontakan Ranggalawe pada tahun 1231. Pemberontakan ini dapat
dipadamkan pada tahun 1309.
b) Pemberontakan Lembu Sora pada tahun 1311.
c) Pemberontakan Juru Demung (1313) disusul Pemberontakan Gajah Biru. d) Pemberontakan Nambi pada tahun 1319. Nambi adalah Rakryan Patih Majapahit sendiri.
e) Pemberontakan Kuti pada tahun 1319. Pemberontakan ini adalah yang paling besar dan berbahaya. Kuti berhasil menduduki ibu kota kerajaan sehingga Jayanegara
terpaksa melarikan diri ke daerah Bedander. Jayanegara kemudian dilindungi oleh pasukan Bhayangkari pimpinan Gajah Mada.
Berkat kepemimpinan Gajah Mada, Pemberontakan Kuti dapat dipadamkan. Namun, meskipun berbagai pemberontakan tersebut berhasil dipadamkan, Jayanegara justru
meninggal akibat dibunuh oleh salah seorang tabibnya yang bernama Tanca. Ia lalu dimakamkan di candi Singgapura di Kapopongan.
3) Pemerintahan Tribhuwanatunggadewi
Oleh karena Jayanegara tidak berputra, sementara Gayatri sebagai Rajapatni telah menjadi biksuni, takhta Kerajaan Majapahit diserahkan kepada Tribhuwanatunggadewi Jayawisnuwardhana (1328-1350) yang menjalankan
pemerintahan dibantu suaminya, Kertawardhana. Masa pemerintahan Tribhuwanatunggadewi diwarnai permasalahan dalam negeri, yakni meletusnya
Pemberontakan Sadeng. Pemberontakan ini dapat dipadamkan oleh Gajah Mada yang pada saat itu baru saja diangkat menjadi Patih Daha.
4) Pemerintahan Hayam Wuruk
Tribhuwanatunggadewi terpaksa turun takhta pada tahun 1350 sebab Rajapatni Dyah Dewi Gayatri wafat. Penggantinya adalah putranya yang bernama Hayam Wuruk yang lahir pada tahun 1334. Hayam Wuruk naik takhta pada usia 16 tahun dengan
gelar Rajasanegara. Dalam menjalankan pemerintahan, ia didampingi oleh Mahapatih Gajah Mada.
Gajah Mada diangkat menjadi mahapatih di Majapahit pada tahun 1331. Upacara pelantikannya merupakan suatu persidangan besar yang dihadiri oleh para menteri
dan pejabat-pejabat utama. Dalam upacara pelantikan tersebut, Gajah Mada mengucapkan sumpahnya yang terkenal dengan nama Sumpah Palapa, berisi
tekadnya untuk mempersatukan Nusantara di bawah naungan Majapahit. Dalam pelaksanaan sumpahnya tersebut, Gajah Mada dibantu oleh Adityawarman
dan Pu Nala. Gajah Mada mengawali langkahnya dengan menaklukkan Bali dibantu Adityawarman. Setelah menguasai Bali, Gajah Mada memperluas langkahnya untuk
menaklukkan Kalimantan, Nusa Tenggara, dan beberapa wilayah di Semenanjung Malaka.
Usaha Gajah Mada untuk mewujudkan gagasan Nusantara banyak mendapat kesulitan. Di antaranya adalah Peristiwa Bubat yang memaksanya menggunakan jalan
kekerasan untuk menyelesaikannya. Peristiwa Bubat diawali dengan keinginan Hayam Wuruk menikahi Dyah Pitaloka,
putri Raja Sunda. Gajah Mada menghendaki agar putri Sunda itu diserahkan kepada Hayam Wuruk sebagai tanda tunduk Raja Sunda kepada Majapahit. Tentu saja
keinginan ini ditolak oleh Sri Baduga Maharaja, ayah dari Dyah Pitaloka. Terjadilah
pertempuran yang mengakibatkan seluruh keluarga Raja Sunda berikut putrinya
itu gugur. Dalam kitab Negarakertagama disebutkan bahwa pada zaman Hayam Wuruk,
Kerajaan Majapahit mengalami masa kejayaan dan memiliki wilayah yang sangat luas. Luas kekuasaan Majapahit pada saat itu hampir sama dengan luas negara
Republik Indonesia sekarang. Namun, sepeninggal Gajah Mada yang wafat pada tahun 1364, Hayam Wuruk tidak
berhasil mendapatkan penggantinya yang setara. Kerajaan Majapahit pun mulai mengalami kemunduran.
Kondisi Majapahit berada di ambang kehancuran ketika Hayam Wuruk juga wafat pada tahun 1389. Sepeninggalnya, Majapahit sering dilanda perang saudara dan satu
per satu daerah kekuasaan Majapahit pun melepaskan diri. Seiring dengan itu, muncul kerajaan-kerajaan Islam di pesisir. Pada tahun 1526, Kerajaan Majapahit runtuh
setelah diserbu oleh pasukan Islam dari Demak di bawah pimpinan Raden Patah.
D. Struktur Pemerintahan Kerajaan Majapahit
Dalam struktur pemerintahan di Majapahit, raja dianggap sebagai penjelmaan dewa dan memegang kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan. Roda pemerintahan dijalankan raja dibantu oleh putra raja, kerabat raja, dan beberapa pejabat pemerintah.
Sebelum menduduki jabatan raja, putra mahkota biasanya diberi kekuasaan sebagai
raja muda (Rajakumara atau Yuwaraja). Contohnya, sebelum dinobatkan menjadi raja, Hayam Wuruk lebih dahulu diangkat sebagai Rajakumara yang berkedudukan di Jimna. Raja juga dibantu oleh dewan pertimbangan kerajaan atau Bhatara Saptaprabu.
Tugas lembaga ini adalah memberikan pertimbangan-pertimbangan kepada raja.
Anggota dewan ini adalah para sanak saudara raja. Untuk masalah-masalah keagamaan, raja dibantu oleh dewan yang disebut Dharmadyaksa. Dharmadyaksa ri Kasainan bertugas menangani urusan agama Syiwa dan Dharmadyaksa ri Kasogatan
bertugas menangani urusan agama Buddha. Para pejabat keagamaan ini dibantu oleh tujuh Dharma Upapati, yaitu Sang Panget i Tirwan, i Kandamulri, i Mangkuri, i
Paratan, i Jambi, i Kandangan Rase, dan i Kandangan Atuha. Selain sebagai pejabat keagamaan, mereka juga merupakan kelompok cendekiawan.
Tiga lembaga pemerintahan tingkat atas di Majapahit sebagai berikut.
1) Sapta Prabu, merupakan sebuah dewan kerajaan. Anggota dewan ini adalah keluarga raja yang bertugas mengurusi soal keluarga raja, penggantian mahkota, dan urusan-urusan negara yang berhubungan dengan kebijaksanaan negara.
2) Dewan Menteri Besar, menerima perintah raja. Anggotanya berjumlah lima orang dan dipimpin oleh Mahapatih Gajah Mada. Dewan ini bertugas mengepalai urusan
tata negara merangkap urusan angkatan perang dan kebijaksanaan.
3) Dewan Menteri Kecil, melanjutkan perintah raja. Beranggotakan tiga orang dan bertugas sebagai pelaksana kebijaksanaan raja.
Di tingkat tengah terdapat pemerintahan daerah yang dikepalai oleh bupati. Daerah
ini biasanya disebut mancanegara. Adapun di tingkat bawah terdapat pemerintahan desa yang dikepalai seorang kepala desa. Di samping itu, masih ada jabatan raja-raja daerah atau disebut Paduka Bhatara. Mereka memerintah negara-negara daerah
jajahan dibantu sejumlah pejabat daerah. Raja Majapahit juga dibantu oleh tiga mahamenteri, yakni i Hino, i Halu, dan i Sirikan. Biasanya yang diangkat untuk
menduduki jabatan ini adalah putra raja. Mahamenteri i Hino memiliki kedudukan paling tinggi karena di samping memiliki
hubungan erat dengan raja, ia juga dapat mengeluarkan prasasti-prasasti. Para maha menteri ini dibantu oleh para Rakryan Mantri atau sekelompok pejabat tinggi
kerajaan yang merupakan badan pelaksana pemerintahan. Badan ini terdiri atas lima orang, yaitu Patih Amangkubumi, Rakyan Tumenggung, Rakryan Demung, Rakryan Rangga, dan Rakryan Kanuruhan. Kelima pejabat ini disebut Sang Panca ri
Wilwatikta atau Mantri Amancanegara.
E. Kehidupan Kebudayaan Kerajaan Majapahit
Zaman Majapahit menghasilkan banyak karya sastra. Periodisasi sastra masa Majapahit dibedakan menjadi dua, yaitu sastra zaman Majapahit awal dan sastra zaman Majapahit akhir. Karya sastra zaman Majapahit awal adalah kitab
Negarakertagama karangan Mpu Prapanca (1365), kitab Sutasoma karangan Mpu Tantular, kitab Arjuna Wiwaha karangan Mpu Tantular, kitab Kunjarakama
(anonim), dan kitab Parthayajna (anonim). Karya sastra zaman Majapahit akhir ditulis dengan bahasa Jawa dalam bentuk
tembang (kidung) dan gancaran (prosa). Karya-karya sastra pada zaman ini adalah kitab Pararaton yang berisi tentang riwayat raja-raja Majapahit, kitab Sundayana
berisi tentang Peristiwa Bubat, kitab Surandaka menceritakan tentang Pemberontakan Sora di Lumajang, kitab Ranggalawe tentang Pemberontaan Ranggalawe dari Tuban, kitab Panji Wijayakrama berisi tentang riwayat Raden Wijaya, kitab Vsana Jawa
menceritakan tentang penaklukkan Bali oleh Gajah Mada, kitab Usana Bali mengisahkan tentang kekacauan Bali akibat keganasan Maya Danawa, kitab
Pamancangah, kitab Panggelaran, kitab Calon Arang, dan kitab Korawasrama. Jenis peninggalan kebudayaan yang lain dari Kerajaan Majapahit adalah candi.
Candi-candi peninggalan Majapahit, antara lain, candi Sumberjati, candi Sanggapura, candi Panataran, dan candi Pari di dekat Porong. Candi Pari memiliki keistimewaan,
yaitu arsitekturnya memperlihatkan adanya langgam bangunan dari Campa.
F. Wilayah Kekuasaan
Wilayah kekuasaan Majapahit meliputi seluruh Jawa (kecuali tanah Sunda), sebagian
besar P. Sumatera, Semenanjung Malaya, Kalimantan, dan Indonesia bagian timur hingga Irian Jaya. Perluasan wilayah ini dicapai berkat politik ekspansi yang dilakukan oleh Patih Mangkubumi Gadjah Mada. Pada masa inilah Kerajaan
Majapahit mencapai puncak kejayaannya.
G. Kehidupan Sosial dan Kemasyarakatan. Pola tata masyarakat Majapahit dibedakan atas lapisan-lapisan masyarakat yang
perbedaannya lebih bersifat statis. Walaupun di Majapahit terdapat empat kasta
seperti di India, yang lebih dikenal dengan catur warna, tetapi hanya bersifat teoritis dalam literatur istana.
Pola ini dibedakan atas empat golongan masyarakat, yaitu brahmana, ksatria,
waisya, dan sudra. Namun terdapat pula golongan yang berada di luar lapisan ini, yaitu Candala, Mleccha, dan Tuccha, yang merupakan golongan terbawah dari
lapisan masyarakat Majapahit. Brahmana (kaum pendeta) mempunyai kewajiban menjalankan enam dharma,
yaitu: mengajar; belajar; melakukan persajian untuk diri sendiri dan orang lain;
membagi dan menerima derma (sedekah) untuk mencapai kesempurnaan hidup; dan bersatu dengan Brahman (Tuhan). Mereka juga mempunyai pengaruh di dalam
pemerintahan, yang berada pada bidang keagamaan dan dikepalai oleh dua orang pendeta tinggi, yaitu pendeta dari agama Siwa (Saiwadharmadhyaksa) dan agama Buddha (Buddhadarmadyaksa). Saiwadyaksa mengepalai tempat suci (pahyangan)
dan tempat pemukiman empu (kalagyan). Buddhadyaksa mengepalai tempat sembahyang (kuti) dan bihara (wihara). Menteri berhaji mengepalai para ulama
(karesyan) dan para pertapa (tapaswi). Semua rohaniawan menghambakan hidupnya kepada raja yang disebut sebagai
wikuhaji. Para rohaniawan biasanya tinggal di sekitar bangunan agama, yaitu:
mandala, dharma, sima, wihara, dan sebagainya. Kaum Ksatria merupakan keturunan dari pewaris tahta (raja) kerajaan
terdahulu, yang mempunyai tugas memerintah tampuk pemerintahan. Keluarga raja dapat dikatakan merupakan keturunan dari kerajaan Singasari-Majapahit yang dapat dilihat dari silsilah keluarganya dan keluarga-keluarga kerabat raja tersebar ke
seluruh pelosok negeri, karena mereka melakukan sistem poligami secara meluas yang disebut sebagai wargahaji atau sakaparek. Semua anggota keluarga raja
masing-masing diberi nama atas gelar, umur, dan fungsi mereka di dalam masyarakat. Pemberian nama pribadi dan nama gelar terhadap para putri dan putra raja didasarkan atas nama daerah kerajaan yang akan mereka kuasai sebagai wakil raja.
Waisya merupakan masyarakat yang menekuni bidang pertanian dan perdagangan. Mereka bekerja sebagai pedagang, peminjam uang, penggara sawah,
dan beternak. Kemudian kasta yang paling rendah dalam catur warna adalah kaum sudra yang
mempunyai kewajiban untuk mengabdi kepada kasta yang lebih tinggi, terutama pada
golongan brahmana. Golongan terbawah yang tidak termasuk dalam catur warna dan sering disebut
sebagai pancama (warna kelima), yaitu: 1. Candala merupakan anak dari perkawinan campuran antara laki-laki (golongan
sudra) dengan wanita (dari ketiga golongan lainnya: brahmana, waisya, dan waisya).
Sehingga sang anak mempunyai status yang lebih rendah dari ayahnya. 2. Mleccha adalah semua bangsa di luar Arya tanpa memandang bahasa dan
warna kulit, yaitu para pedagang-pedagang asing (Cina, India, Champa, Siam, dll.) yang tidak menganut agama Hindu.
3. Tuccha ialah golongan yang merugikan masyarakat, salah satu contohnya
adalah para penjahat. Ketika mereka diketahui melakukan tatayi, maka raja dapat menjatuhi hukuman mati kepada pelakunya. Perbuatan tatayi adalah membakar
rumah orang, meracuni sesama, mananung, mengamuk, merusak, dan memfitnah kehormatan perempuan.
Dari aspek kedudukan dalam masyarakat Majapahit, wanita mempunyai status
yang lebih rendah dari para lelaki. Hal ini terlihat pada kewajiban mereka untuk melayani dan menyenangkan hati para suami mereka saja. Wanita tidak boleh ikut campur dalam urusan apapun, selain mengurusi dapur rumah tangga mereka. Dalam
undang-undang Majapahit pun para wanita yang sudah menikah tidak boleh bercakap-cakap dengan lelaki lain, dan sebaliknya. Hal ini bertujuan untuk
menghindari pergaulan bebas antara kaum pria dan wanita.
H. Ekonomi dan Mata Pencaharian. Majapahit merupakan negara agraris dan juga sebagai negara maritim.
Kedudukan sebagai negara agraris tampak dari letaknya di pedalaman dan dekat aliran sungai. Kedudukan sebagai negara maritim tampak dari kesanggupan angkatan
laut kerajaan itu untuk menanamkan pengaruh Majapahit di seluruh nusantara. Dengan demikian, kehidupan ekonomi masyarakat Majapahit menitikberatkan pada bidang pertanian dan pelayaran.
Udara di Jawa panas sepanjang tahun. Panen padi terjadi dua kali dalam setahun, butir berasnya amat halus. Terdapat pula wijen putih, kacang hijau, rempah-
rempah, dan lain-lain kecuali gandum. Buah-buahan banyak jenisnya, antara lain pisang, kelapa, delima, pepaya, durian, manggis, langsa, dan semangka. Sayur mayur berlimpah macamnya. Jenis binatang juga banyak.
Untuk membantu pengairan pertanian yang teratur, pemerintah Majapahit membangun dua buah bendungan, yaitu Bendungan Jiwu untuk persawahan dan
Bendungan Trailokyapur untuk mengairi daerah hilir. Majapahit memiliki mata uang sendiri yang bernama gobog. Gobog merupakan
uang logam yang terbuat dari campuran perak, timah hitam, timah putih, dan
tembaga. Bentuknya koin dengan lubang di tengahnya. Dalam transaksi perdagangan, selain menggunakan mata uang gobog, penduduk
Majapahit juga menggunakan uang kepeng dari berbagai dinasti. Menurut catatan Wang Ta-yuan seorang pedagang dari Tiongkok, komoditas ekspor Jawa pada saat itu ialah lada, garam, kain, dan burung kakak tua. Sedangkan komoditas impornya adalah
mutiara, emas, perak, sutra, barang keramik, dan barang dari besi.
I. Kehidupan Religi dan Sosial Budaya. Pada masa Kerajaan Majapahit berkembang agama Hindu Syiwa dan Buddha.
Kedua umat beragama itu memiliki toleransi yang besar sehingga tercipta kerukunan umat beragama yang baik. Raja Hayam Wuruk beragama Syiwa, sedangkan Gajah Mada beragama Buddha. Namun, mereka dapat bekerja sama dengan baik.
Rakyat ikut meneladaninya, bahkan Empu Tantular menyatakan bahwa kedua agama itu merupakan satu kesatuan yang disebut Syiwa–Buddha. Hal itu ditegaskan
lagi dalam Kitab Sutasoma dengan kalimat Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharmma Mangrwa. Artinya, walaupun beraneka ragam, tetap dalam satu kesatuan, tidak ada agama yang mendua.
Urusan keagamaan diserahkan kepada pejabat tinggi yang disebut Dharmmaddhyaksa. Jabatan itu dibagi dua, yaitu Dharmmaddhyaksa Ring Kasaiwan
untuk urusan agama Syiwa dan Dharmmaddhyaksa Ring Kasogatan untuk urusan agama Buddha. Kedua pejabat itu dibantu oleh sejumlah pejabat keagamaan yang disebut dharmmaupatti. Pejabat itu, pada zaman Hayam Wuruk yang terkenal ada
tujuh orang yang disebut sang upatti sapta. Di samping sebagai pejabat keagamaan, para upatti juga dikenal sebagai kelompok cendekiawan atau pujangga. Misalnya,
Empu Prapanca adalah seorang Dharmmaddhyaksa dan juga seorang pujangga besar dengan kitabnya Negarakertagama.
Untuk keperluan ibadah, raja juga melakukan perbaikan dan pembangunan
candi-candi. Pada masa Majapahit bidang seni budaya berkembang pesat, terutama seni sastra. Karya seni sastra yang dihasilkan pada masa zaman awal Majapahit, antara lain sebagai berikut:
1.Kitab Negarakertagama karangan Empu Prapanca pada tahun 1365. Isinya menceritakan hal-hal sebagai berikut:
· Sejarah raja-raja Singasari dan Majapahit dengan masa pemerintahannya. · Keadaan kota Majapahit dan daerah-daerah kekuasaannya. · Kisah perjalanan Raja Hayam Wuruk ketika berkunjung ke daerah kekuasaannya di
Jawa Timur beserta daftar candi-candi yang ada. · Kehidupan keagamaan dengan upacara-upacara sakralnya, misalnya upacara Srrada
untuk menghormati roh Gayatri dan menambah kesaktian raja. 2. Kitab Sutasoma karangan Empu Tantular. Kitab tersebut berisi riwayat Sutasoma, seorang anak raja yang menjadi pendeta Buddha.
3. Kitab Arjunawijaya karangan Empu Tantular. Kitab tersebut berisi tentang riwayat raja raksasa yang berhasil ditundukkan oleh Raja Arjunasasrabahu.
4. Kitab Kunjarakarna dan Parthayajna, tidak jelas siapa pengarangnya. Kitab itu berisi kisah raksasa Kunjarakarna yang ingin menjadi manusia, dan pengembaraan Pandawa di hutan karena kalah bermain dadu dengan Kurawa.
Sedangkan, karya seni sastra yang dihasilkan pada zaman akhir Majapahit
antara lain, sebagai berikut: 1. Kitab Pararaton, isinya menceritakan riwayat raja-raja Singasari dan Majapahit. 2. Kitab Sudayana, isinya tentang Peristiwa Bubat.
3. Kitab Sorandakan, isinya tentang pemberontakan Sora. 4. Kitab Ranggalawe, isinya tentang pemberontakan Ranggalawe.
5. Kitab Panjiwijayakrama, isinya riwayat R.Wijaya sampai dengan menjadi Raja Majapahit. 6. Kitab Usana Jawa, isinya tentang penaklukan Bali oleh Gajah Mada dan
Aryadamar. 7. Kitab Tantu Panggelaran, tentang pemindahan gunung Mahameru ke Pulau Jawa
oleh Dewa Brahma, Wisnu, dan Siwa.
Di samping seni sastra, seni bangunan juga berkembang pesat. Bermacam-
macam candi didirikan dengan ciri khas Jawa Timur, yaitu dibuat dari bata, misalnya Candi Panataran, Candi Tigawangi, Candi Surawana, Candi Jabung, dan Gapura
Bajang Ratu.
Peninggalan Kerajaan Majapahit
Di Indonesia
Majapahit adalah sebuah kerajaan yang berpusat di Jawa Timur, Indonesia, yang
pernah berdiri dari sekitar tahun 1293 hingga 1500 M. Kerajaan ini mencapai puncak
kejayaannya menjadi kemaharajaan raya yang menguasai wilayah yang luas di
Nusantara pada masa kekuasaan Hayam Wuruk, yang berkuasa dari tahun 1350
hingga 1389. .
Besarnya wilayah kekuasaan kerajaan Majapahit tentunya berimbas pula pada betapa
makmur dan majunya peradaban di wilayah Antawulan, Ibukota kerajaan Majapahit
yang sekarang dikenal dengan nama Trowulan. Istilah Bhinneka Tunggal Ika, nama
satelit Palapa adalah sebagian “Peninggalan Majapahit” yang masih kita gunakan
hingga saat ini. Surya Majapahit, lambang dari kerajaan ini juga masih sering
digunakan sebagai ornamen bangunan rumah oleh sebagian penggemar langgam
arsitektur Majapahit. .
Banyak sekali bangunan-bangunan bersejarah yang masih dapat kita lihat hingga saat
ini, terutama di wilayah kecamatan Trowulan yang dulu merupakan ibukota kerajaan
Majapahit. Wujud bangunan yang masih tersisa antara lain berupa bangunan candi,
pintu gerbang kerajaan, kolam pemandian, bangunan reservoir air, bangunan waduk,
bangunan kanal, sumur kuno, makam kuno, sisa bangunan pendapa, sisa pemukiman
kuno hingga sisa bangunan rumah.
Selain peninggalan berupa bangunan, ratusan ribu artefak Majapahit berupa koin
mata uang, batu bata, batu umpak, batu lumpang, genting, pecahan tembikar,
celengan hingga keramik cina tersebar di seluruh penjuru Trowulan dalam cakupan
areal seluas kira-kira 10 x 11 km dan masih sering ditemukan oleh penduduk sampai
sekarang.
1.Candi Wringin Lawang .
Berupa bangunan gapura agung dari bahan bata merah dengan luas dasar 13 x 11
meter dan tinggi 15,5 meter dengan arsitektur candi bentar atau “candi terbelah” yang
sampai sekarang sering diaplikasikan dalam gaya arsitektur Bali. Fungsi utama
bangunan ini diduga adalah sebagai pintu gerbang menuju kawasan utama di ibukota
kerajaan Majapahit. Lokasinya sangat mudah dijangkau karena terlihat dari jalan
utama Surabaya-Solo, tepatnya di daerah Brangkal, sebelum memasuki wilayah
Trowulan. .
2.Candi Brahu .
Berlokasi di kawasan Bejijong, Trowulan yang sekarang merupakan sentra pengrajin
Kuningan dan Patung Batu. Candi Brahu adalah bangunan suci peribadatan yang
dipergunakan untuk memuliakan anggota keluarga kerajaan yang telah wafat. Konon
4 raja pertama kerajaan Majapahit yang wafat diperabukan/dikremasi di kompleks
bangunan candi Brahu. .
3.Candi Gentong .
Candi ini masih dalam tahap restorasi, sehingga wujudnya masih berupa reruntuhan
bangunan yang belum bisa dinikmati dengan nyaman. Lokasinya sendiri berdekatan
dengan candi Brahu.
4.Candi Tikus .
Adalah kolam pemandian ritual (petirtaan) yang berbentuk bangunan kolam bujur
sangkar berukuran 22,5 meter x 22,5 meter dengan arsitektur teras-teras persegi yang
dimahkotai menara-menara yang ditata dalam susunan konsentris yang menjadi titik
tertinggi bangunan ini. Pada sisi utara terdapat sebuah tangga menuju dasar bangunan
kolam. Struktur utama yang menonjol dari dinding selatan diperkirakan mengambil
bentuk gunung legendaris Mahameru. Konon dulunya kolam ini dipergunakan
sebagai tempat pemandian putri raja-raja Majapahit. Nama Candi Tikus sendiri
diambil lantaran dulunya lokasi ini menjadi sarang tikus yang sering menjadi
gangguan hama bagi sawah milik penduduk. .
5.Candi Bajang Ratu .
Lokasi Candi Bajang Ratu berdekatan dengan Candi Tikus, berupa bangunan ramping
nan anggun dengan arsitektur gapura paduraksa setinggi 16,5 meter. Pada bagian atap
terdapat aksesoris bangunan yang menampilkan ukiran hiasan rumit/detail. Nama
Bajang Ratu dalam bahasa jawa berarti “Raja Kecil” dikaitkan masyarakat dengan
raja kedua Majapahit yaitu Jayanegara. Konon Jaya negara pernah jatuh saat kecil di
tempat ini, sedang yang lain beranggapan karena Raja Jayanegara naik tahta dalam
usia sangat muda. Sejarawan sendiri mengkaitkan bangunan Candi Bajang Ratu
sebagai penghormatan bagi Raja Jayanegara yang wafat tahun 1328 M.
.
6.Candi Kedaton .
Candi Kedaton masih dalam tahap restorasi hingga kini, karena wujudnya masih
berupa misteri yang sulit dipecahkan. Pada komplek candi ini terdapat beberapa
bangunan berupa candi, sumur upas, lorong rahasia, mulut gua, dan makam Islam.
Para ahli sejarah masih berupaya menyingkap misteri untuk menemukan bentuk
bangunan candi ini. Namun ada dugaan bahwa daerah Kedaton, dahulu merupakan
kompleks ibukota pada masa-masa Majapahit akhir.
Keanehan sebuah artikel yang ditemukan penulis saat mencari artikel Sejarah
Kerajaan Majapahit,
Kerajaan Majapahit Ternyata Kerajaan Islam Sejak Awalnya ?
Islamedia:Seorang sejarawan pernah berujar bahwa sejarah itu adalah versi atau sudut pandang orang yang membuatnya. Versi ini sangat tergantung dengan niat atau
motivasi si pembuatnya. Barangkali ini pula yang terjadi dengan Majapahit, sebuah
kerajaan maha besar masa lampau yang pernah ada di negara yang kini disebut Indonesia.
Kekuasaannya membentang luas hingga mencakup sebagian besar negara yang kini
dikenal sebagai Asia Tenggara. Namun demikian, ada sesuatu yang ‘terasa aneh’ menyangkut kerajaan yang puing-puing peninggalan kebesaran masa lalunya masih dapat ditemukan di kawasan Trowulan Mojokerto ini.
Sejak memasuki Sekolah Dasar, kita sudah disuguhi pemahaman bahwa Majapahit
adalah sebuah kerajaan Hindu terbesar yang pernah ada dalam sejarah masa lalu kepulauan Nusantra yang kini dkenal Indonesia. Inilah sesuatu yang terasa aneh
tersebut. Pemahaman sejarah tersebut seakan melupakan beragam bukti arkeologis, sosiologis dan antropologis yang berkaitan dengan Majapahit yang jika dicerna dan dipahami secara ‘jujur’ akan mengungkapkan fakta yang mengejutkan sekaligus juga
mematahkan pemahaman yang sudah berkembang selama ini dalam khazanah sejarah masyarakat Nusantara.
‘Kegelisahan’ semacam inilah yang mungkin memotivasi Tim Kajian Kesultanan
Majapahit dari Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pengurus Daerah Muhammadiyah Yogyakarta untuk melakukan kajian ulang terhadap sejarah
Majapahit. Setelah sekian lama berkutat dengan beragam fakt-data arkeologis, sosiologis dan antropolis, maka Tim kemudian menerbitkannya dalam sebuah buku awal berjudul ‘Kesultanan Majapahit, Fakta Sejarah Yang Tersembunyi’. Karya
Herman Janung Sinutama.
Buku ini hingga saat ini masih
diterbitkan terbatas, terutama menyongsong Muktamar Satu Abad Muhammadiyah di Yogyakarta
beberapa waktu yang lalu. Sejarah Majapahit yang dikenal selama ini di
kalangan masyarakat adalah sejarah yang disesuaikan untuk kepentingan penjajah (Belanda) yang ingin terus
bercokol di kepulauan Nusantara. Akibatnya, sejarah masa lampau
yang berkaitan dengan kawasan ini dibuat untuk kepentingan tersebut. Hal ini dapat pula dianalogikan dengan sejarah mengenai PKI. Sejarah yang berkaitan dengan partai komunis ini yang dibuat di masa
Orde Baru tentu berbeda dengan sejarah PKI yang dibuat di era Orde Lama dan bahkan era reformasi saat ini. Hal ini karena berkaitan dengan kepentingan masing-
masing dalam membuat sejarah tersebut. Dalam konteks Majapahit, Belanda berkepentingan untuk menguasai Nusantara yang mayoritas penduduknya adalah muslim. Untuk itu, diciptakanlah pemahaman bahwa Majapahit yang menjadi
kebanggaan masyarakat Indonesia adalah kerajaan Hindu dan Islam masuk ke Nusantara belakangan dengan mendobrak tatanan yang sudah berkembang dan ada
dalam masyarakat.
Apa yang diungkapkan oleh buku ini tentu memiliki bukti berupa fakta dan data yang selama ini tersembunyi atau sengaja disembunyikan. Beberapa fakta dan data yang menguatkan keyakinan bahwa kerajaan Majpahit sesungguhnya adalah kerajaan
Islam atau Kesultanan Majapahit adalah sebagai berikut:
1. Ditemukan atau adanya koin-koin emas Majapahit yang bertuliskan kata-kata ‘La Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah’. Koin semacam ini dapat ditemukan dalam
Museum Majapahit di kawasan Trowulan Mojokerto Jawa Timur. Koin adalah alat pembayaran resmi yang berlaku di sebuah wilayah kerajaan. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa sangat tidak mungkin sebuah kerajaan Hindu memiliki alat
pembayaran resmi berupa koin emas bertuliskan kata-kata Tauhid.
2. Pada batu nisan Syeikh Maulana Malik Ibrahim yang selama ini dikenal sebagai Wali pertama dalam sistem Wali Songo yang menyebarkan Islam di Tanah Jawa
terdapat tulisan yang menyatakan bahwa beliau adalah Qadhi atau hakim agama Islam kerajaan Majapahit. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Agama Islam
adalah agama resmi yang dianut oleh Majapahit karena memiliki Qadhi yang dalam sebuah kerajaan berperan sebagai hakim agama dan penasehat bidang agama bagi sebuah kesultanan atau kerajaan Islam.
3. Pada lambang Majapahit yang berupa delapan sinar
matahari terdapat beberapa tulisan Arab, yaitu shifat, asma, ma’rifat, Adam, Muhammad, Allah, tauhid dan
dzat. Kata-kata yang beraksara Arab ini terdapat di antara sinar-sinar matahari yang ada pada lambang Majapahit ini. Untuk lebih mendekatkan pemahaman
mengenai lambang Majapahit ini, maka dapat dilihat pada logo Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta,
atau dapat pula dilihat pada logo yang digunakan Muhammadiyah. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa Majapahit sesungguhnya adalah Kerajaan Islam atau Kesultanan Islam karena
menggunakan logo resmi yang memakai simbol-simbol Islam.
4. Pendiri Majapahit, Raden Wijaya, adalah
seorang muslim. Hal ini karena Raden Wijaya merupakan cucu dari Raja Sunda,
Prabu Guru Dharmasiksa yang sekaligus juga ulama Islam Pasundan yang mengajarkan hidup prihatin layaknya
ajaran-ajaran suf, sedangkan neneknya adalah seorang muslimah, keturunan dari
penguasa Sriwijaya. Meskipun bergelar Kertarajasa Jayawardhana yang sangat bernuasa Hindu karena menggunakan
bahasa Sanskerta, tetapi bukan lantas menjadi justifikasi bahwa beliau adalah
seorang penganut Hindu. Bahasa Sanskerta di masa lalu lazim digunakan untuk memberi penghormatan yang tinggi kepada seseorang, apalagi seorang raja. Gelar
seperti inipun hingga saat ini masih digunakan oleh para raja muslim Jawa, seperti Hamengku Buwono dan Paku Alam Yogyakarta serta Paku Buwono di Solo. Di
samping itu, Gajah Mada yang menjadi Patih Majapahit yang sangat terkenal terutama karena Sumpah Palapanya ternyata adalah seorang muslim. Hal ini karena nama aslinya adalah Gaj Ahmada, seorang ulama Islam yang mengabdikan
kemampuannya dengan menjadi Patih di Kerajaan Majapahit. Hanya saja, untuk lebih memudahkan penyebutan yang biasanya berlaku dalam masyarakat Jawa, maka
digunakan Gajahmada saja. Dengan demikian, penulisan Gajah Mada yang benar adalah Gajahmada dan bukan ‘Gajah Mada’. Pada nisan makam Gajahmada di Mojokerto pun terdapat tulisan ‘La Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah’ yang
menunjukkan bahwa Patih yang biasa dikenal masyarakat sebagai Syeikh Mada
setelah pengunduran dirinya sebagai Patih Majapatih ini adalah seorang muslim.
5. Jika fakta-fakta di atas masih berkaitan dengan internal Majapahit, maka fakta-fakta berikut berhubungan dengan sejarah dunia secara global. Sebagaimana diketahui bahwa 1253 M, tentara Mongol dibawah pimpinan Hulagu Khan menyerbu
Baghdad. Akibatnya, Timur Tengah berada dalam situasi yang berkecamuk dan terjebak dalam kondisi konflik yang tidak menentu. Dampak selanjutnya adalah
terjadinya eksodus besar-besaran kaum muslim dari Timur Tengah, terutama para keturunan Nabi yang biasa dikenal dengan ‘Allawiyah. Kelompok ini sebagian besar menuju kawasan Nuswantara (Nusantara) yang memang dikenal memiliki tempat-
tempat yang eksotis dan kaya dengan sumberdaya alam dan kemudian menetap dan beranakpinak di tempat ini. Dari keturunan pada pendatang inilah sebagian besar
penguasa beragam kerajaan Nusantara berasal, tanpa terkecuali Majapahit.
Inilah beberapa bukti dari fakta dan data yang mengungkapkan bahwa sesungguhnya Majapahit adalah Kesultanan Islam yang berkuasa di sebagian besar kawasan yang
kini dikenal sebagai Asia Tenggara ini. Sekali lagi terbukti bahwa sejarah itu adalah versi, tergantung untuk apa sejarah itu dibuat dan tentunya terkandung di dalamnya beragam kepentingan. Wallahu A’lam Bishshawab. [sejarah-kompasiana]
Disarikan dari buku: Herman Sinung Janutama, ‘Kesultanan Majapahit, Fakta Yang
Tersembunyi’, LJKP Pangurus Daerah Muhammadiyah Yogyakarta. Edisi Terbatas Muktamar Satu Abad Muhammadiyah Yogyakarta Juli 2010