sebuah hadiah

Upload: fly-hitsugi-shuin-kitaro

Post on 13-Oct-2015

12 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Sebuah Hadiah

TRANSCRIPT

Benih-Benih Keheningan Dari Sejengkal MalamTidak tahu mengapa, saya tiba-tiba ingin menanggapi puisi miliki kawan saya, Yudha. Atau lebih tepatnya memberi makna dari puisi Yudha. Tentang tindakan tanpa sebab, bisa jadi ini hanya pelarian diri untuk mencari kesibukan yang lain.Sebenarnya, saya sangat merindukan budaya literasi yang dinamis. Dalam artian, tidak hanya membaca dan menuliskan gagasan di media, melainkan juga menanggapi tulisan kawan sendiri. Setidaknya, ada respon dari pembaca untuk memberi kritik atau sekedar menaggapi sesuai perspektifnya masing-masing. Secara pribadi, saya akan sangat senang bila ada pembaca yang memberi respon dalam bentuk tulisan atau lisan. Tentunya dengan komentar panjang lebar. Alasan sederhananya, selain bisa memperkuat ide atau penulisan, juga dapat memastikan bahwa ada yang membaca tilisan saya dalam-dalam. Semoga saja. ***Puisi milik Yudha ini saya comot di media online Persmaideas.com. Dari beberapa puisinya yang telah dimuat, ada ketertarikan dari saya untuk menanggapi salah satu puisinya. .Saya hanya ingin mengomentari (bukan mengkritisi) tiap baris dalam puisi milik Yudha. Pada baris pertama Yudha menulis, Keheningan dalam teduhnya rintik hujan. Saya bertanya-tanya, di mana dia menemukan keheningan saat rintik hujan? Atau hanya sekedar waktu hening dengan parameter suara, lalu dilumuri hujan rintik. Kalau keheningan juga tercipta dari rintik hujan, saya akan turut mencintai rintik hujan. Akan tetapi, saya masih sering merasakan rintik hujan tanpa keheningan. Saya bertanya-tanya, di mana Yudha menemukan keheningan dalam rintik hujan. Jika berada di pusat kota, tepatnya sekitar kampus UJ, rasanya cukup jarang terjadi. Alasan ramai orang, banyak kendaraan, atau suara teknologi lain. Terkecuali saat hening yang seringkali terulang, seperti waktu dini hari. Itupun tanpa disertai rintik hujan. Barangkali Yudha ingin mencipta keheningan yang lain dari personifikasi bunyi rintik hujan. Seperti bentuk perjanjian tanpa ada kesepakatan. Rintik hujan yang mampu mencipta keheningan dan bisa melawan kegundahan yang ada. Ia kemungkinan terlalu jenuh, tubuhnya memanas lalu rintik hujan turun seperti menjadi kompres.Saya memberi pemaknaan ini karena juga punya pengalaman serupa. Waktu itu saat berada di Papuma. Ada keheningan lain dengan suara gemuruh. Ia adalah ombak disertai rintik hujan. Siapa yang hening sebenarnya? Bisa jadi, dalam konteks suasana yang tiba-tiba menenangkan, keheningan bisa muncul tiba-tiba. Bila kondisi perasaan, hati atau segala hal abstrak lainnya sedang dikoyak panas. Bahasa realitasnya sedang putus cinta, sedang dibunuh pekerjaan yang menumpuk dan hal up-manusiawi lainnya. Saya baru sadar, dari puisi Yudha bahwa cahaya bulan itu remang-remang. Saya rasa, definisi remang, itu tetap berdasarkan kebutuhan. Saat bulan memberikan sinar terang menurut versi nelayan, jala ikan bisa dipastikan akan mengais ikan yang sedikit. Bagi masyarakat nelayan, cahaya bulan membuat ikan berada di dasar laut. Untuk itu, masyarakat nelayan memilih untuk tidak pergi melaut.Dalam puisi Yudha, bulan sedang ditempatkan pada posisi yang kalah terang saat dibandingkan dengan kunang-kunang. Remang-remang cahaya bulan dan terangnya lampu kunang-kunang.Entah apa yang sebenarnya sedang terjadi, atau ada makna lain yang tersirat dalam teks itu. Mengapa kunang-kunang menjadi lebih terang? Apakah sedang melakukan pemberontakan? Sekedar menunjukkan kontribusinya pada malam yang sedang membutuhkan cahaya? Bahwa manusia tidak perlu bergantung lebih dari cahaya bulan dan kunang-kunang? Jika memang ada. Beberapa baris lain yang menunjukkan bentuk pemberontakan. Barangkali ini yang sempat terjadi dalam diri Yudha. Kegelisahan yang membuatnya membutuhkan keheningan untuk mengutuk diri sendiri dan entitas lain dalam malam. Mulut yang membisu, Yudha seolah ingin membuat mulut menjadi semi otonom, tanpa harus ada instruksi dari saraf motorik. Mulut bisa menjadi pelaku, bukan di-perlakukan. Ia seperti berdiri sendiri sehingga bisa melakukan pemberontakan. Diam juga berarti malawan. Saya jadi ingat tentang bentuk perlawanan kaum buruh di perkebunan PTPN Silosanen, Jember. Setelah membaca makalah Erna Rochiyati S, Yang juga membahas sebuah rasa perlawanan melalui gosip. Suatu makalah yang sempat disajikan dalam Seminar Nasional Mengangan Ulang (Ke) Indonesia (an) Pekan Chairil Anwar. Fakultas Sastra, Universitas Jember, 18-19 Mei 2011.Pada awalnya, terjadi peran ganda yang dijalankan oleh ibu-ibu rumah tangga pekerja buruh perkebunan PTPN Silosanen. Peran ganda tersebut berupa pekerjaan sebagai buruh dan di wilayah domestik. Pekerjaan tersebut dilakukan bukan semata sebuah aktulisasi diri untuk bekerja karena keinginan. melainkan karena tuntutan untuk turut membantu kebutuhan finansial rumah tangga, karena gaji suami yang juga bekerja sebagai buruh terbilang tidak mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari.Para buruh tersebut tidak mendapat upah kerja yang sesuai dengan keringat bercucuran, sebesar 350 ribu perbulan. Selain itu jaminan kesehatan yang tidak memadai juga dirasakan. Meskipun demikian, hal tersebut tidak membuat mereka tinggal diam. Muncul benih perlawanan berupa ngerumpi untuk membicarakan keluhan yang mereka alami tentang harga sembako yang naik dan hal lain seputar kebijakan pemerintah maupun pihak perkebunan. Sebuah gerakan protes yang halus, Menurut Sartono Kartodirjo, Banyak macam bentuk gerakan protes, mulai hanya sekedar diam yang melambangkan sebuah perlawanan sampai gerakan radikal. Ngerumpi atau rasan-rasan merupakan gerakan diam. Sebuah protes tertutup tanpa menyuarakannya langsung kepada objek yang diperbincangan. Barangkali karena meraka memang merasa butuh dengan pekerjaan tersebut, Sehingga tidak berani protes.Selain itu merasa ada penghasilan rutin setiap bulan, tempat tinggal yang sudah disediakan dan tesedia rutinitas pekerjaan, meskipun dari pekerjaan tersebut belum mampu mencukupi kebutuhan hidup. ***Yudha juga membuat telinganya seolah bisa berdiri secara otonom. Telinga yang bisa menginginkan dirinya tuli pada kondisi yang diinginkan. Dalam baris terakhir ia menyebut, Dan telinga yang menuli. Entah apa yang sebenarnya terjadi, pada malam rintik hujan, redup bulan dan terang cahaya kunang-kunang ini. Apakah telinga yang menuli juga bagian dari perenungannya atas kejenuhan pada malam-malam sebelumnya? Sehingga, muncullah benih keheningan.

Puisi Oleh : Yudha Lutfi Fitrianto.Malam

Keheningan dalam teduhnya rintik hujan.Remang-remang cahaya bulan dan terangnya lampu kunang-kunang.Serangkaian pemujaan yang menanamkan dirinya malam.Saat lengit menghitamkan diri.Saat mata langit hanya bisa memantulkan sinar.Saat dingin menyapa kulit tanpa kesesatan.Tak hanya hening, hitam dan dingin.Serangkaian prosesi pelepasan jiwa selalu terjadi.Dengan mata yang menghitam,Mulut yang membisu,Dan telinga yang menuli01/05/2012