sdpp 1 (formula)

68
BAB-2 STRATEGI DASAR PERENCANAAN PAJAK: FORMULA UMUM PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK alah satu teknik/pendekatan yang dapat digunakan untuk meminimisasi Beban Pajak Penghasilan (dalam tahun berjalan) adalah dengan cara merujuk pada elemen-elemen atau formula umum penghitungan Penghasilan Kena Pajak (PKP) sebagai basis perhitungan beban atau pajak penghasilan yang terutang. Dari sudut pandang perencanaan, minimisasi Penghasilan Kena Pajak dalam tahun berjalan dapat diinterpretasi sebagai maksimisasi Penghasilan Kena Pajak di kemudian hari. Interpretasi demikian itu dapat dikatakan konsisten dengan konsep dasar yang menyatakan bahwa “pajak memang harus dibayar, tetapi kalau dimungkinkan sebaiknya pajak ditunda atau ditangguhkan pembayarannya”. Dengan menggunakan formula umum perhitungan Penghasilan Kena Pajak sebagai kerangka acuannya, maka minimisasi Penghasilan Kena Pajak atau pajak yang terutang dalam tahun berjalan, pada dasarnya dilakukan melalui upaya-upaya untuk mengeksploitasi (maksimisasi, minimisasi, optimalisasi, pengaturan, atau pengelolaan) komponen atau elemen-elemen Penghasilan Kena Pajak, dengan (a) mempertimbangkan peraturan perpajakan, (b) faktor-faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi aktivitas operasi, investasi, dan pendanaan perusahaan. Secara lebih spesifik, proses minimisasi Penghasilan Kena Pajak atau pajak penghasilan yang terutang dalam tahun berjalan dapat dilakukan sebagai berikut: S (i) Mengidentifikasi dan memanfaatkan tarif pajak yang relevan dalam membuat keputusan-keputusan menyangkut aktivitas operasi, investasi, dan pendanaan; (ii) Memaksimumkan penghasilan yang dikenakan pajak tertentu dan penghasilan bukan obyek pajak; (iii) Maksimisasi biaya atau pengurang penghasilan dan menghindarkan terjadinya pengeluaran atau biaya yang tidak diperkenankan untuk diperlakukan sebagai biaya fiskal atau pengurang penghasilan; (iv) Memanfaatkan setiap fasilitas perpajakan, seperti: kredit pajak luar negeri, depresiasi yang dipercepat, revaluasi aset, kompensasi kerugian). (v) Mendesain transaksi-transaksi bebas atau hemat pajak (merger atau akuisisi-bebas pajak, distribusi dividen-non kas (barang atau properti dan saham), pembelian saham treasuri, kompensasi karyawan berbentuk natura, kompensasi karyawan berbasis saham-ESOP, SAR). FORMULA UMUM PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK Undang-undang Pajak Penghasilan membedakan wajib pajak ke dalam dua kategori: (i) wajib pajak dalam negeri, dan (ii) wajib pajak luar negeri. Untuk menentukan besarnya penghasilan kena pajak, wajib pajak 1

Upload: ananda-agustin-fitriana

Post on 25-Oct-2015

88 views

Category:

Documents


11 download

DESCRIPTION

Perencanaan Pajak

TRANSCRIPT

Page 1: SDPP 1 (Formula)

BAB-2STRATEGI DASAR PERENCANAAN PAJAK:

FORMULA UMUM PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK

alah satu teknik/pendekatan yang dapat digunakan untuk meminimisasi Beban Pajak Penghasilan (dalam tahun berjalan) adalah dengan cara merujuk pada elemen-elemen atau formula umum penghitungan

Penghasilan Kena Pajak (PKP) sebagai basis perhitungan beban atau pajak penghasilan yang terutang. Dari sudut pandang perencanaan, minimisasi Penghasilan Kena Pajak dalam tahun berjalan dapat diinterpretasi sebagai maksimisasi Penghasilan Kena Pajak di kemudian hari. Interpretasi demikian itu dapat dikatakan konsisten dengan konsep dasar yang menyatakan bahwa “pajak memang harus dibayar, tetapi kalau dimungkinkan sebaiknya pajak ditunda atau ditangguhkan pembayarannya”. Dengan menggunakan formula umum perhitungan Penghasilan Kena Pajak sebagai kerangka acuannya, maka minimisasi Penghasilan Kena Pajak atau pajak yang terutang dalam tahun berjalan, pada dasarnya dilakukan melalui upaya-upaya untuk mengeksploitasi (maksimisasi, minimisasi, optimalisasi, pengaturan, atau pengelolaan) komponen atau elemen-elemen Penghasilan Kena Pajak, dengan (a) mempertimbangkan peraturan perpajakan, (b) faktor-faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi aktivitas operasi, investasi, dan pendanaan perusahaan. Secara lebih spesifik, proses minimisasi Penghasilan Kena Pajak atau pajak penghasilan yang terutang dalam tahun berjalan dapat dilakukan sebagai berikut:

S

(i) Mengidentifikasi dan memanfaatkan tarif pajak yang relevan dalam membuat keputusan-keputusan menyangkut aktivitas operasi, investasi, dan pendanaan;

(ii) Memaksimumkan penghasilan yang dikenakan pajak tertentu dan penghasilan bukan obyek pajak;(iii) Maksimisasi biaya atau pengurang penghasilan dan menghindarkan terjadinya pengeluaran atau

biaya yang tidak diperkenankan untuk diperlakukan sebagai biaya fiskal atau pengurang penghasilan;(iv) Memanfaatkan setiap fasilitas perpajakan, seperti: kredit pajak luar negeri, depresiasi yang

dipercepat, revaluasi aset, kompensasi kerugian).(v) Mendesain transaksi-transaksi bebas atau hemat pajak (merger atau akuisisi-bebas pajak, distribusi

dividen-non kas (barang atau properti dan saham), pembelian saham treasuri, kompensasi karyawan berbentuk natura, kompensasi karyawan berbasis saham-ESOP, SAR).

FORMULA UMUM PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAKUndang-undang Pajak Penghasilan membedakan wajib pajak ke dalam dua kategori: (i) wajib pajak dalam negeri, dan (ii) wajib pajak luar negeri. Untuk menentukan besarnya penghasilan kena pajak, wajib pajak dalam negeri masih dibedakan lebih lanjut ke dalam tiga kategori: (i) wajib pajak yang menyelenggarakan pembukuan, (ii) wajib pajak yang tidak menyelenggarakan pembukuan, dan (iii) wajib pajak tertentu yang diatur berdasar Peraturan Menteri Keuangan. Sesuai dengan penggolongan wajib pajak tersebut, penentuan jumlah penghasilan kena pajak dilakukan berdasar: (i) metode pembukuan–untuk wajib pajak yang menyelenggarakan pembukuan, (ii) menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN)– untuk wajib pajak-orang pribadi yang tidak menyelenggarakan pembukuan, dan (iii) menggunakan Norma Penghitungan Khusus – untuk wajib pajak tertentu. Demikian pula halnya dengan wajib pajak luar negeri. Untuk menentukan besarnya penghasilan kena pajak, wajib pajak-luar negeri masih dibedakan lebih lanjut ke dalam dua kategori: (i) wajib pajak yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, dan (ii) wajib pajak luar negeri lainnya. Undang-undang Pajak Penghasilan meskipun tidak bertentangan dengan standar akuntansi keuangan (prinsip akuntansi komersial Indonesia -istilah yang digunakan dalam perundang-undangan perpajakan) namun mempunyai ketentuan menyangkut definisi, penggolongan, pengukuran, dan pengakuan terhadap elemen-elemen laporan keuangan termasuk pengecualian; khususnya terhadap pendapatan dan biaya yang dalam beberapa hal berbeda. Adanya perbedaan prinsip-prinsip di antara kedua disiplin akuntansi tersebut berpotensi untuk membuat terjadinya perbedaan antara laporan keuangan komersial -sebagai hasil akhir dari proses akuntansi berdasar prinsip akuntansi komersial Indonesia- dengan laporan keuangan fiskal -sebagai hasil akhir dari proses akuntansi berdasar ketentuan perundang-undangan perpajakan. Secara garis besar, perbedaan antara laporan keuangan pada kedua disiplin akuntansi dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori: (i) beda permanen (permanent differences), seperti misalnya: penghasilan bukan obyek pajak, biaya tidak dapat dikurangkan, dan (ii) beda waktu (temporary differences) seperti misalnya: biaya/beban

1

Page 2: SDPP 1 (Formula)

depresiasi, deplesi, amortisasi aset tetap, nilai persediaan, piutang usaha. Meskipun demikian, baik Undang-undang perpajakan maupun Standar Akuntansi Keuangan (prinsip akuntansi komersial Indonesia) keduanya tidak menyarankan apalagi mengharuskan perusahaan sebagai wajib pajak menyelenggarakan dua sistem akuntansi atau sistem pembukuan secara paralel. Justru sebaliknya, perusahaan seharusnya hanya menyelenggarakan satu sistem akuntansi/pembukuan yang mengacu pada Standar Akuntansi Keuangan atau Prinsip Akuntansi komersial di Indonesia (tidak berarti bahwa perusahaan yang menyelenggarakan pembukuan berdasar ketentuan Undang-undang Perpajakan tidak diperkenankan). Hal ini tampak pada prosedur penghitungan Penghasilan Kena Pajak (PKP) untuk tujuan pengisian Surat Pemberitahuan Pajak PenghasilanTahunan (SPT PPh-Tahunan), yang pada prinsipnya harus didasarkan pada laporan keuangan (khususnya laporan laba-rugi) komersialnya. Dengan berbasis pada laporan keuangan (laba-rugi) komersial tersebut, secara garis besar prosedur penghitungan Penghasilan Kena Pajak dilakukan dengan membuat penyesuaian dan/atau koreksi fiskal (positif dan negatif) melalui dua tahap: (i) penghitungan penghasilan neto fiskal, dan (ii) penghitungan penghasilan kena pajak. Setiap tahap atau prosedur penghitungan Penghasilan Kena Pajak tersebut, secara garis besar dapat dijelaskan sebagai berikut.

1. Elemen-Elemen Penghasilan Kena PajakSebagai basis perhitungan pajak penghasilan yang terutang oleh perusahaan sebagai wajib pajak dalam suatu tahun pajak, Penghasilan Kena Pajak pada setiap tahun pajaknya terdiri dari dua komponen: (i) komponen penghasilan neto fiskal, dan (ii) komponen kompensasi kerugian fiskal. Jadi, Penghasilan Kena Pajak dalam suatu tahun pajak dapat dikhtisarkan sebagai berikut:

Elemen Penghasilan Neto Fiskal JumlahPenghasilan Neto Fiskal A

(-) Kompensasi Kerugian Fiskal (B)(=) Penghasilan Kena Pajak C

Sebagai elemen Penghasilan Kena Pajak, penghasilan neto fiskal itu sendiri ditentukan berdasar informasi akuntansi yang dihasilkan dari proses akuntansi berdasar prinsip akuntansi komersial Indonesia, dengan cara menjumlahkan dan/atau mengurangkan saldo rekening-rekening terkait dengan elemen-elemen penghasilan neto komersial, sebagaimana dijelaskan berikut ini.

A. Penghasilan Neto FiskalPada dasarnya, penghasilan neto fiskal terdiri dari 5 komponen atau elemen sebagai berikut: (1) penghasilan neto komersial, (2) penghasilan yang dikenakan PPh Final dan penghasilan tidak termasuk obyek pajak, (3) penyesuaian fiskal positif, (4) penyesuaian fiskal negatif, dan (5) fasilitas penanaman modal -sebagai pengurang penghasilan neto. Secara matematis, saling hubungan antara penghasilan neto komersial dengan penghasilan neto fiskal dapat dinyatakan sebagai berikut:

Elemen-Elemen Penghasilan Neto Fiskal JumlahPenghasilan Neto Komersial A

(-) Penghasilan Dikenakan PPh Final dan Penghasilan Tidak Termasuk Obyek Pajak (B)(+) Penyesuaian Fiskal Positif C(-) Penyesuaian Fiskal Negatif (D)(-) Fasilitas Penanaman Modal –Pengurang Penghasilan Neto (E)(=) Penghasilan Neto Fiskal F

Perhatikan bahwa sebagai basis penghitungan penghasilan neto fiskal, pada dasarnya adalah data laporan keuangan (laporan laba-rugi) atau jumlah penghasilan neto komersial, yang disesuaikan dengan 4 faktor penyesuaian, yang meliputi: (i) penghasilan yang dikenakan pajak final dan penghasilan bukan obyek pajak, (ii) penyesuaian/koreksi fiskal positif (penghasilan yang secara fiskal diakui lebih besar dibanding penghasilan yang diakui secara komersial dan biaya yang secara fiskal diakui lebih kecil dibanding biaya yang diakui secara komersial), (iii) penyesuaian/koreksi fiskal negatif (penghasilan yang secara fiskal diakui lebih kecil dibanding penghasilan yang diakui secara komersial dan biaya yang secara fiskal diakui lebih besar dibanding biaya yang diakui secara komersial), dan (iv) fasilitas penanaman modal berupa pengurangan penghasilan neto. Secara ringkas, masing-masing elemen penghasilan neto fiskal dan faktor penyesuaian tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

2

Page 3: SDPP 1 (Formula)

Penghasilan Neto KomersialSebagai komponen penghasilan neto fiskal, penghasilan neto komersial (dalam setiap tahun pajak) dari suatu perusahaan terdiri dari dua sub-komponen: (i) penghasilan neto komersial-dalam negeri, dan (ii) penghasilan neto komersial-luar negeri. Penghasilan neto komersial dalam negeri, pada dasarnya adalah penghasilan neto menurut prinsip akuntansi komersial yang berlaku di Indonesia (PSAK). Penghasilan neto komersial dalam negeri merupakan selisih lebih dari semua penghasilan yang diterima atau diperoleh melalui kegiatan usaha dan dari di Indonesia, termasuk penghasilan yang dikenai PPh-Final dan penghasilan bukan obyek pajak, dan pengeluaran atau biaya & kerugian yang diakui sesuai dengan standar akuntansi keuangan (prinsip akuntansi komersial yang berlaku di Indonesia) yang diterapkan secara konsisten atau taat azas; sebelum dilakukan penyesuaian fiskal berdasar ketentuan Undang-undang Pajak Penghasilan dan peraturan pelaksanaannya. Dengan demikian, penghasilan neto komersial dalam negeri dapat dibedakan lebih lanjut ke dalam dua kategori: (1) penghasilan neto dari usaha, dan (2) penghasilan neto dari luar usaha. Penghasilan neto dari usaha merupakan selisih lebih peredaran usaha di atas harga pokok penjualan dan biaya usaha lainnya (biaya administrasi & umum dan biaya distribusi/pemasaran). Di dalam laporan laba-rugi komersial untuk perusahaan dagang dan manufaktur pada khususnya, penghasilan neto dari usaha tersebut tidak lain adalah laba usaha. Sedang penghasilan neto dari luar usaha merupakan selisih lebih penghasilan dari luar usaha di atas biaya & kerugian di luar usaha. Termasuk dalam kategori penghasilan dari luar usaha, antara lain adalah: penghasilan dari penyertaan modal di Indonesia (bunga, dividen), penghasilan dari penjualan/pengalihan dan persewaan harta, royalti dan penghasilan lainnya yang bukan merupakan penghasilan dari kegiatan usaha atau tidak ada kaitannya dengan kegiatan usaha pokok perusahaan. Sedang biaya dari luar usaha merupakan pengeluaran atau biaya yang berkaitan dengan atau secara langsung berhubungan dengan aktivitas atau usaha untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan dari luar usaha. Sub-komponen penghasilan neto komersial yang kedua adalah penghasilan neto komersial-luar negeri, yang merupakan selisih lebih penghasilan di atas biaya dan/atau kerugian yang berasal dari: kegiatan usaha di luar negeri, harta yang ditempatkan atau penyertaan modal di luar negeri, seperti: penghasilan bunga, sewa, dividen, royalti. Secara matematis, elemen-elemen penghasilan neto komersial (dari dalam dan luar negeri) dapat diikhtisarkan sebagai berikut:

Komponen Penghasilan Neto Komersial JumlahPeredaran Usaha (Hasil Penjualan) A

(B)C

(D)E

(F)GH(I)

(-) Krg: Retur dan potongan penjualan (=) Peredaran usaha (hasil penjualan) neto(-) Krg: Harga pokok penjualan(=) Laba kotor penjualan(-) Krg: Biaya usaha (biaya administrasi, umum, dan pemasaran)(=) Penghasilan neto dari usaha (laba usaha)(+) Penghasilan dari luar usaha(-) Biaya dari luar usaha(=) Penghasilan Neto Komersial Dalam Negeri J(+) Penghasilan Neto Komersial Luar Negeri K(=) Penghasilan Neto Komersial L

Penghasilan Dikenakan PPh-Final dan Penghasilan Tidak Termasuk Obyek PajakUntuk menentukan penghasilan neto fiskal yang dikenai pajak penghasilan berdasar ketentuan umum (pasal-17, Undang-undang Pajak Penghasilan tahun 2008), penghasilan neto komersial tersebut di atas (butir-A) harus dikurangi dengan penghasilan dari sumber di Indonesia yang dikenai PPh-Final dan penghasilan yang tidak termasuk Obyek Pajak. Termasuk dalam kategori penghasilan yang dikenai PPh-Final, antara lain adalah: penghasilan jasa giro/bunga deposito dan tabungan lainnya; penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek; penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan. Sedang termasuk dalam kategori penghasilan bukan Obyek Pajak di antaranya adalah: penghasilan dividen atau bagian laba yang diterima oleh atau diperoleh perseroan terbatas sebagai wajib pajak dalam negeri, koperasi, BUMN, dan BUMD dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia yang memenuhi persyaratan tertentu; iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun dan penghasilan dari modal yang ditanamkan (dalam bidang-bidang tertentu) oleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh

3

Page 4: SDPP 1 (Formula)

Menteri Keuangan; bagian laba yang diterima atau diperoleh dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi; penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia (yang memenuhi persyaratan tertentu). Di dalam akuntansi keuangan -sistem akuntansi berdasar prinsip-prinsip akuntansi komersial di Indonesia-, penghasilan yang dikenai PPh-Final biasanya diakui/dicatat sama seperti halnya penghasilan yang pajaknya dipotong/dipungut oleh pihak lain (pemberi penghasilan) tetapi tidak bersifat final dan penghasilan obyek pajak yang pajaknya tidak dipungut/dipotong oleh pihak lain, yaitu berdasar jumlah bruto dengan mengakui beban pajak penghasilan yang dipotong/dipungut oleh pemberi penghasilan (seperti misalnya penghasilan sewa, royalti, bunga/jasa giro bank). Sebagai contoh, pendapatan bunga/jasa giro bank dalam bulan Januari sebesar Rp10,00 juta dan dikenai PPh-Final sebesar 20% dicatat sebagai berikut:

Tanggal Rekening & Deskripsi Debit Kredit31 Januari Bank Rp8.000.000,00

Beban Pajak Penghasilan (Final) 2.000.000,00 Penghasilan Bunga/Jasa Giro Bank Rp10.000.000,00

Prosedur pencatatan semacam itu (berdasar jumlah bruto sebelum dikurangi pajak yang dipotong/dipungut oleh pemberi penghasilan) akan sangat membantu di dalam mengidentifikasi keberadaan penghasilan yang dikenai PPh-Final, yang harus dikurangkan dari penghasilan neto komersial untuk menentukan penghasilan neto fiskal dalam setiap tahun pajaknya. Alternatifnya, perusahaan dapat mencatat dan menyajikannya di dalam laporan laba-rugi komersial dalam jumlah neto sesudah pajak secara terpisah dari penghasilan obyek pajak yang pajaknya tidak dipungut/dipotong oleh pihak lain dan penghasilan obyek pajak yang pajaknya dipungut/dipotong PPh-Final oleh pihak lain. Berbeda halnya dengan penghasilan yang tidak termasuk Obyek Pajak dan penghasilan obyek pajak yang pajaknya dipungut/dipotong oleh pihak lain tetapi tidak bersifat final. Pencatatan dan penyajian (di dalam laporan laba-rugi komersial) untuk penghasilan obyek pajak yang pajaknya dipungut/dipotong oleh pihak lain sebaiknya dibedakan dengan pencatatan dan pelaporan atas penghasilan obyek pajak yang dikenakanPPh-Final dan penghasilan yang tidak termasuk obyek pajak. Untuk penghasilan obyek pajak yang pajaknya dipungut/dipotong oleh pihak lain dan tidak bersifat final selalu dicatat berdasar jumlah bruto (sebelum dikurangi pajak) dengan mengakui adanya Uang Muka PPh (atau dapat juga didebit pada rekening Utang PPh). Karena bukan pajak final, beban pajak atas penghasilan diperhitungkan kelak pada saat pembuatan SPT PPh-Tahunan, pada akhir tahun pajak berjalan. Sebagai contoh, diterima penghasilan jasa konsultan sebesar Rp100,00 juta dipotong PPh-Tidak Final 1,5% dicatat sebagai berikut:

Tanggal Rekening & Deskripsi Debit KreditKas/Bank Rp98.500.000,00Uang Muka (Utang) PPh-Psl --- 1.500.000,00 Penghasilan Jasa Konsultan Rp100.000.000,00

Dengan demikian, dapat dengan mudah diidentifikasi perbedaannya dengan penghasilan obyek pajak yang dipungut/dipotong pajak final. Prosedur pencatatan tersebut di atas identik dengan pencatatan atas angsuran PPh Pasal-25 yang dibayar sendiri oleh perusahaan pada setiap bulan.

Keberadaan penghasilan yang tidak termasuk Obyek Pajak relatif tidak mudah untuk dapat diidentifikasi berdasar informasi akuntansi yang dihasilkan dari sistem pembukuan berdasar prinsip akuntansi komersial di Indonesia. Pertama, karena merupakan penghasilan bukan obyek pajak, maka tidak ada beban pajak yang dipungut/dipotong oleh pihak lain (pemberi penghasilan). Kedua, pada umumnya perusahaan menggunakan nama-nama akun/rekening yang sama untuk akuntansi komersial dan akuntansi perpajakan. Sebagai contoh, suatu perseroan terbatas wajib pajak-badan dalam negeri menerima dividen kas atau bagian laba atas penyertaan modalnya pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia akan dicatat sebagai berikut:

Tanggal Rekening & Deskripsi Debit Kredit31 Des Kas Rp10.000.000,00

Penghasilan Dividen Rp10.000.000,00

4

Page 5: SDPP 1 (Formula)

Prosedur pencatatan tersebut di atas tidak berbeda halnya dengan penghasilan obyek pajak yang dikenai pajak penghasilan berdasar tarif umum (Pasal-17), yang pajaknya tidak dipotong/dipungut oleh pihak lain (pemberi penghasilan). Dalam kondisi demikian, maka Undang-undang Pajak Penghasilan dan peraturan pelaksanaannya merupakan satu-satunya referensi untuk mengidentifikasi keberadaan penghasilan yang tidak termasuk Obyek Pajak. Sistem pemberian kode akun/rekening yang didesain sedemikian rupa sehingga dapat membedakan antara penghasilan obyek pajak dan penghasilan bukan obyek pajak, serta penghasilan yang dikenai PPh-Final dan penghasilan yang tidak dipungut PPh-Final akan sangat membantu penghitungan atau penentuan penghasilan neto fiskal sebagai komponen penghasilan kena pajak.

Penyesuaian atau Koreksi Fiskal PositifPenyesuaian fiskal positif adalah koreksi terhadap penghasilan neto komersial (butir-A), selain yang berupa penghasilan yang dikenai PPh-Final dan penghasilan yang tidak termasuk Obyek Pajak; yang bersifat menambah penghasilan dan/atau mengurangi biaya sebagai komponen penghasilan neto komersial. Kecuali di dalam akuntansi komersialnya, perusahaan menerapkan metode-metode akuntansi terkait dengan pengakuan pendapatan yang berbeda dengan metode akuntansi yang diperkenankan oleh ketentuan perpajakan (seperti misalnya: penjualan konsinyasi, sales basis untuk transaksi penjualan angsuran, metode kontrak selesai untuk kegiatan kontrak berjangka panjang), koreksi fiskal positif yang menambah penghasilan neto komersial relatif jarang atau tidak banyak terjadi. Untuk transaksi penjualan konsinyasi, dalam banyak hal ketentuan perpajakan akan mengakui penghasilan neto (hasil penjualan minus harga pokok penjualan) dalam tahun terjadinya pengiriman/penyerahan barang kepada komisioner (consignee), sedang menurut prinsip akuntansi komersial akan diakui kemudian setelah komisioner berhasil menjual barang kepada konsumen. Demikian pula halnya pada transaksi penjualan angsuran dan kegiatan kontrak berjangka panjang. Ketentuan perpajakan mengharuskan metode angsuran (installment basis) dan metode persentase penyelesaian digunakan sebagai dasar pengakuan penghasilan neto dari transaksi penjualan angsuran dan kontrak jangka panjang. Sedang prinsip akuntansi komersial memungkinkan perusahaan untuk menggunakan metode penjualan (sales basis) dan metode kontrak selesai. Untuk tahun pajak berjalan, perbedaan metode akuntansi tersebut bisa jadi berakibat pada terjadinya penghasilan neto komersial yang lebih kecil dibanding penghasilan neto fiskalnya; tetapi bisa juga sebaliknya. Berbeda halnya dengan penyesuaian fiskal positif yang bersifat menambah penghasilan neto komersial karena berkurangnya biaya komersial (yang pada umumnya perusahaan relatif sering atau banyak terjadi). Dua faktor membuat beberapa biaya komersial tidak dapat diperlakukan sebagai biaya fiskal, yaitu: perbedaan dalam definisi atau penggolongan, dan metode pengukuran yang dianut antara disiplin akuntansi komersial/keuangan dengan disiplin akuntansi perpajakan/ketentuan pajak. Di dalam sistem pembukuan berdasar prinsip akuntansi komersial di Indonesia, tipe penyesuaian yang bersifat menambah penghasilan neto melalui berkurangnya biaya komersial ini dapat diidentifikasi melalui saldo akun/rekening seperti misalnya: (i) Biaya Tidak Dapat Dikurangkan, (ii) Prive Pemilik. Termasuk dalam tipe penyesuaian ini, di antaranya adalah:

(i) Penyesuaian berdasar ketentuan Pasal-9 ayat (1) huruf b UU PPh (prive pemilik). Termasuk dalam tipe penyesuaian ini adalah pengeluaran perusahaan –biasanya terjadi pada perusahaan yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham- untuk pembelian/perbaikan rumah atau kendaraan pribadi, biaya perjalanan pribadi/keluarga, biaya premi asuransi pribadi/keluarga, dan pengeluaran lainnya untuk kepentingan pribadi pemilik, pemegang saham, sekutu, atau anggota yang menurut ketentuan perpajakan tidak dapat diperlakukan sebagai biaya fiskal. Tipe penyesuaian atau koreksi fiskal positif ini sebenarnya tidak perlu terjadi apabila prinsip akuntansi komersial diterapkan sebagaimana mestinya (patuh pada konsep dasar entitas). Prinsip akuntansi komersial mengakui pengeluaran perusahaan untuk kepentingan pribadi pemilik sebagai “Prive Pemilik, sebagai antisipasi dari bagian laba (profit sharing) sehingga diperlakukan sebagai pengurang modal. Namun demikian, karena personalia manajemen pada umumnya perusahaan yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham adalah juga para pemilik perusahaan (manajer-pemilik); maka besar kemungkinan konsep dasar entitas tidak mudah untuk diterapkan (sepenuhnya). Oleh karena itu, penegasan terhadap tipe penyesuaian fiskal positif ini dianggap perlu.

(ii) Penyesuaian berdasar ketentuan Pasal-9, ayat (1) huruf c UU-PPh (bukan biaya fiskal). Termasuk dalam tipe penyesuaian ini adalah pembentukan atau pemupukan/penyisihan (dana) cadangan yang menurut ketentuan perpajakan tidak dapat diperlakukan sebagai biaya fiskal, kecuali untuk jenis-

5

Page 6: SDPP 1 (Formula)

jenis usaha tertentu yang secara ekonomis memang memerlukan adanya cadangan untuk menutup beban/kerugian yang akan terjadi di kemudian hari, seperti misalnya: (a) cadangan piutang tak tertagih, untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit,

sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang (accounts receivable factoring),

(b) cadangan untuk usaha asuransi, termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial,

(c) cadangan penjaminan, untuk Lembaga Penjamin Simpanan (LPS),(d) cadangan biaya reklamasi,untuk usaha pertambangan,(e) cadangan biaya penanaman kembali,untuk usaha kehutanan, dan(f) cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri, untuk usaha

pengolahan limbah industri.

Di dalam akuntansinya, terhadap jenis-jenis usaha atau perusahaan tertentu tersebut ketentuan perpajakan memperkenankan untuk mengakui biaya/kerugian terkait -sesuai dengan karakteristik usahanya- berdasar metode cadangan (taksiran); meskipun dibatasi jumlah maksimumnya. Sedang untuk perusahaan atau jenis-jenis usaha lainnya, metode cadangan demikian itu tidak diperkenankan untuk dipakai sebagai dasar pengakuan biaya atau kerugian terkait. Ketentuan perpajakan demikian itu berbeda dari prinsip akuntansi komersial di Indonesia. Sebagai contoh, kerugian piutang pada perusahaan dagang dan industri manufaktur menurut ketentuan perpajakan harus diakui berdasar metode penghapusan langsung (jumlah piutang yang sesungguhnya tidak tertagih).

(iii) Penyesuaian berdasar ketentuan Pasal-9, ayat (1) huruf e, UU-PPh (bukan biaya fiskal). Sesuai dengan prinsip taxability and deductibility, ketentuan perpajakan tidak memperkenankan imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan (benefit in-kind) untuk diperlakukan sebagai biaya fiskal atau pengurang penghasilan bruto. Menurut ketentuan Pasal-4 ayat (3) huruf d UU-PPh- imbalan berupa natura/kenikmatan yang diberikan kepada karyawan bukan merupakan penghasilan bagi karyawan, sehingga bagi Wajib Pajak yang memberikan imbalan berupa natura/kenikmatan juga tidak dapat dibebankan/diakui sebagai biaya fiskal atau pengurang penghasilan bruto), kecuali:(a) pemberian natura berupa penyediaan makanan/minuman di tempat kerja bagi seluruh karyawan, (b) pemberian natura dan kenikmatan di daerah terpencil yang ditetapkan dengan Keputusan

Menteri Keuangan, (c) pemberian natura dan kenikmatan yang merupakan keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan

sebagai sarana keselamatan kerja atau karena sifat pekerjaan yang mengharuskannya (seperti misalnya: pakaian & peralatan khusus untuk keselamatan kerja, pakaian seragam untuk petugas keamanan, antar-jemput karyawan, akomodasi untuk awak kapal).

(iv) Penyesuaian berdasar ketentuan pasal-9, ayat (1) huruf f UU-PPh (profit sharing). Pembayaran gaji, honorarium dan imbalan lain sehubungan dengan pekerjaan/jasa, bunga, sewa, royalti yang diberikan kepada pemilik perusahaan dan/atau pihak yang mempunyai hubungan istimewa (sesuai dengan ketentuan Pasal-18, ayat 4 UU PPh) dalam jumlah yang melebihi batas kewajaran tidak boleh diakui/dibebankan sebagai biaya fiskal atau pengurang penghasilan bruto. Batas kewajaran itu sendiri didasarkan pada standar yang berlaku umum untuk pekerjaan/jasa dengan kualifikasi yang sama yang dilakukan oleh pihak-pihak yang independen atau tidak mempunyai hubungan istimewa. Selisih lebih jumlah yang melebihi batas kewajaran tersebut harus diperlakukan sebagai bagian dari distribusi atau pembagian laba (profit sharing).

(v) Penyesuaian berdasar ketentuan Pasal-9 ayat (1) huruf g UU-PPh (bukan biaya fiskal). Sesuai dengan prinsip taxability and deductibility, bantuan atau sumbangan dan hibah yang diberikan oleh perusahaan kepada badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial, atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan tidak mempunyai hubungan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan tidak boleh diperlakukan sebagai biaya fiskal atau pengurang penghasilan bruto. Menurut ketentuan Pasal 4, ayat (3) huruf a UU-PPh- bantuan atau sumbangan dan harta hibahan yang diterima oleh badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial, atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan bukan merupakan penghasilan, sepanjang tidak terdapat hubungan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan; sehingga bagi Wajib Pajak pemberi bantuan atau sumbangan, dan harta hibahan juga tidak dapat diakui/dibebankan sebagai biaya fiskal. Sedang zakat atas penghasilan yang dibayar oleh Wajib Pajak badan dalam

6

Page 7: SDPP 1 (Formula)

negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam dapat diperlakukan sebagai biaya fiskal (dikurangkan dari penghasilan bruto dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak, sepanjang memenuhi persyaratan sebagai berikut: (1) penghasilan yang dikenai zakat merupakan Obyek Pajak yang telah dilaporkan dalam SPT Tahunan, dan (2) pembayaran zakat dilakukan kepada Badan Amil Zakat (BAZ) atau Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dibentuk atau disahkan pembentukannya oleh Pemerintah. Namun zakat atas harta dan zakat atas penghasilan yang tidak memenuhi persyaratan tersebut tidak dapat diakui atau dibebankan sebagai pengurang penghasilan bruto atau harus diperlakukan sama seperti halnya bantuan atau sumbangan (pengurang modal).

(vi) Penyesuaian berdasar ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf h UU-PPh (bukan biaya fiskal.) . Pajak Penghasilan badan dan kredit pajak tidak dapat diperlakukan sebagai biaya fiskal (merupakan pengurang laba yang menjadi haknya para pemilik perusahaan).

(vii) Penyesuaian berdasar ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf j UU-PPh (bukan biaya fiskal). Sesuai dengan prinsip taxability and deductibility, pembayaran gaji kepada para anggota perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi tidak dapat diakui/dibebankan sebagai biaya fiskal. Menurut ketentuan Pasal 4 ayat (3) huruf i UU-PPh, gaji yang diterima oleh para anggota perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi bukan merupakan penghasilan; sehingga bagi perusahaan yang memberikan gaji juga bukan merupakan biaya fiskal (distribusi laba atau profit sharing).

(viii) Penyesuaian berdasar ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf k UU-PPh (bukan biaya fiskal) . Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan, serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan dibidang perpajakan tidak dapat diperlakukan sebagai biaya fiskal atau pengurang penghasilan bruto (sehingga praktis merupakan pengurang modal).

(ix) Penyesuaian berdasar ketentuan Pasal-11 dan 11A UU-PPh (selisih lebih biaya penyusutan harta tetap berwujud dan amortisasi harta tak berwujud sebagai biaya komersial di atas statusnya sebagai biaya fiskal). Penghasilan neto komersial merupakan penghasilan bruto komersial setelah dikurangi dengan, biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan termasuk biaya penyusutan harta tetap berwujud dan harta tak berwujud secara komersial. Biaya penyusutan harta tetap berwujud dan amortisasi harta tak berwujud secara komersial tersebut bisa jadi terlalu besar jumlahnya apabila dibandingkan dengan biaya fiskal terkait menurut ketentuan Pasal-11 dan 11A UU-PPh). Oleh karena itu, untuk sampai pada penghasilan neto fiskal; penghasilan neto komersial harus ditambah dengan selisih lebih biaya penyusutan dan amortisasi secara komersial di atas biaya penyusutan dan amortisasi menurut ketentuan fiskalnya.

(x) Penyesuaian berdasar ketentuan umum Pasal-4 dan Pasal-6 UU-PPh. Termasuk dalam tipe penyesuaian ini adalah: (i) adanya penghasilan Obyek Pajak yang dikenai PPh tidak bersifat final yang tidak diakui secara komersial, (ii) adanya biaya-biaya atau kerugian lainnya yang diakui secara komersial tetapi tidak dapat diakui secara fiskal, dan (iii) adanya kerugian usaha di luar negeri baik melalui bentuk usaha tetap (BUT) maupun bukan BUT, setelah dilakukan penyesuaian fiskal positif dan negatif.

(xi) Penyesuaian berdasar ketentuan Pasal-7 Peraturan Pemerintah Nomor 138 Tahun 2000, dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang penetapan saat pengakuan biaya dalam hal-hal tertentu dan bagi Wajib Pajak tertentu sesuai dengan kebijaksanaan Pemerintah. Tipe penyesuaian ini diperlukan apabila perusahaan di dalam mengakui biaya secara komersial dalam hal-hal tertentu atau bagi wajib pajak tertentu berbeda waktu dengan pengakuannya secara fiskal, dan berakibat penghasilan neto komersial lebih rendah dibanding penghasilan neto fiskalnya; seperti misalnya pengakuan biaya terkait penghasilan untuk Bank Yang BerupaBunga Kredit Non-Performing (Surat Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-184/PJ/2002 dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE-08/PJ.42/2002).

Penyesuaian atau Koreksi Fiskal Negatif.Peyesuaian/koreksi fiskal negatif adalah penyesuaian terhadap penghasilan neto komersial (diluar unsur penghasilan yang dikenai PPh-Final dan penghasilan yang tidak termasuk Obyek Pajak) yang bersifat mengurangi penghasilan dan/atau menambah biaya komersial. Kecuali di dalam akuntansi komersialnya, perusahaan menerapkan metode-metode akuntansi terkait dengan pengakuan pendapatan yang berbeda dengan metode akuntansi yang diperkenankan oleh ketentuan perpajakan (seperti misalnya: penjualan konsinyasi, sales basis untuk transaksi penjualan angsuran, metode kontrak selesai untuk kegiatan kontrak berjangka panjang), koreksi fiskal negatif yang mengurangi

7

Page 8: SDPP 1 (Formula)

penghasilan neto komersial relatif jarang atau tidak banyak terjadi. Untuk transaksi penjualan konsinyasi, dalam banyak hal ketentuan perpajakan akan mengakui penghasilan neto (hasil penjualan minus harga pokok penjualan) dalam tahun terjadinya pengiriman/penyerahan barang kepada komisioner (consignee), sedang menurut prinsip akuntansi komersial akan diakui kemudian setelah komisioner berhasil menjual barang kepada konsumen, atau ketentuan perpajakan mengakui penghasilan lebih awal daripada metode akuntansi komersial. Demikian pula halnya pada transaksi penjualan angsuran dan kegiatan kontrak berjangka panjang. Ketentuan perpajakan mengharuskan metode angsuran (installment basis) dan metode persentase penyelesaian digunakan sebagai dasar pengakuan penghasilan neto dari transaksi penjualan angsuran dan kontrak jangka panjang, sedang prinsip akuntansi komersial memungkinkan perusahaan untuk menggunakan metode penjualan (sales basis) dan metode kontrak selesai (terdapat peluang ketentuan perpajakan mengakui penghasilan lebih awal daripada prinsip akuntansi komersial). Untuk tahun pajak berjalan, perbedaan metode akuntansi tersebut ada kemungkinan berakibat pada terjadinya penghasilan neto komersial yang lebih besar dibanding penghasilan neto fiskalnya. Demikian pula halnya dengan penyesuaian fiskal negatif yang bersifat mengurangi penghasilan neto komersial karena bertambahnya biaya-biaya komersial; pada umumnya perusahaan relatif jarang atau tidak banyak terjadi). Hal ini disebabkan oleh karena pada umumnya biaya fiskal senantiasa dapat diakui sebagai biaya komersial. Justru sebaliknya, terdapat beberapa jenis biaya komersial yang tidak dapat diakui sebagai biaya fiskal. Sebagai akibatnya, tidak mudah untuk mengidentifikasi keberadaan tipe penyesuaian fiskal negatif sebagai akibat dari bertambahnya biaya komersial. Oleh karena itu, Undang-undang atau ketentuan perpajakan merupakan satu-satunya rujukan yang harus digunakan didalam mengidentifikasi keberadaan tipe penyesuaian/koreksi fiskal negatif yang berakibat pada bertambahnya biaya komersial. Di antara tipe penyesuaian/koreksi fiskal negatif yang bersifat mengurangi penghasilan dan/atau menambah biaya-biaya tersebut adalah:

(i) Penyesuaian berdasar ketentuan Pasal-7 Peraturan Pemerintah Nomor 138 Tahun 2000, dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang penetapan saat pengakuan penghasilan dalam hal-hal tertentu dan bagi Wajib Pajak tertentu sesuai dengan kebijaksanaan Pemerintah. Tipe penyesuaian ini diperlukan apabila perusahaan didalam mengakui penghasilan secara komersial dalam hal-hal tertentu atau bagi wajib pajak tertentu berbeda waktu dengan pengakuannya secara fiskal, dan berakibat penghasilan neto komersial lebih besar dibanding penghasilan neto fiskalnya; seperti misalnya pengakuan penghasilan dari/berupa: (1) Pengalihan Harta/Agunan Berupa Tanah dan/atau Bangunan Bagi Wajib Pajak Tertentu (Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-141/PJ/1999); (2) Keuntungan Karena Pembebasan Utang Yang Diperoleh Debitur Tertentu Dari Perjanjian Restrukturisasi Utang Usaha (Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-563/PJ/2001); (3) Penghasilan Bank Berupa Bunga Kredit Non-Performing (Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-184/PJ/2002 dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE-08/PJ.42/2002).

(ii) Penyesuaian berdasar ketentuan umum Pasal-6 UU PPh beserta peraturan pelaksanaannya. Tipe penyesuaian/koreksi fiskal negatif ini diperlukan apabila terdapat biaya-biaya dan kerugian lainnya, yang tidak diakui secara komersial namun dapat diakui secara fiskal (termasuk dalam hal ini perbedaan metode akuntansi yang mengacu pada prinsip akuntansi komersial dengan metode akuntansi yang diperkenankan oleh ketentuan perpajakan, seperti misalnya metode perhitungan harga pokok penjualan dan penilaian persediaan, metode pengakuan kerugian piutang).

(iii) Penyesuaian berdasar ketentuan Pasal-11 dan 11A UU-PPh (selisih lebih biaya penyusutan harta tetap berwujud dan amortisasi harta tak berwujud sebagai biaya fiskal di atasstatusnya sebagai biaya komersial). Penghasilan neto komersial merupakan penghasilan bruto komersial setelah dikurangi dengan, biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan termasuk biaya penyusutan harta tetap berwujud dan harta tak berwujud secara komersial. Biaya penyusutan harta tetap berwujud dan amortisasi harta tak berwujud secara komersial tersebut bisa jadi kurang jumlahnya apabila dibandingkan dengan biaya fiskal terkait menurut ketentuan Pasal-11 dan 11A UU-PPh). Oleh karena itu, untuk sampai pada penghasilan neto fiskal; penghasilan neto komersial harus dikurangi dengan selisih lebih biaya penyusutan dan amortisasi secara komersial di atas biaya penyusutan dan amortisasi menurut ketentuan fiskalnya.

Fasilitas Pajak Pengurang Penghasilan Neto (FPPN)Penyesuaian berdasar ketentuan Pasal-31A UU-PPh-Fasilitas Penanaman Modal Berupa Pengurangan Penghasilan Neto). Ketentuan Pasal-31A UU PPh ayat (1) menyatakan bahwa kepada Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu yang

8

Page 9: SDPP 1 (Formula)

mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional dapat diberikan fasilitas perpajakan dalam bentuk: (1) pengurangan penghasilan neto paling tinggi 30% dari jumlah penanaman modal yang dilakukan, (2) penyusutan dan amortisasi yang dipercepat, (3) kompensasi kerugian yang lebih lama, tetapi tidak lebih dari 10 tahun, (4) pengenaan Pajak Penghasilan atas dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 sebesar 10%, kecuali apabila tarif menurut perjanjian perpajakan yang berlaku menetapkan lebih rendah. Fasilitas pajak terkait dengan penanaman modal dibidang usaha tertentu atau di daerah tertentu yang mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional berupa pengurangan penghasilan neto, tidak dapat dipersamakan dengan: (i) Penghasilan Yang Dikenai PPh Final dan Penghasilan Tidak Termasuk Obyek Pajak, dan (ii) penyesuaian Fiskal Negatif. Penghasilan Yang Dikenai PPh-Final dan Penghasilan Tidak Termasuk Obyek Pajak serta penyesuaian Fiskal Negatif dikurangkan dari penghasilan neto komersial di dalam penghitungan penghasilan neto fiskal, karena sudah diakui sebagai elemen penghasilan neto komersial (penghasilan dan/atau biaya komersial) namun bukan merupakan elemen penghasilan dan biaya fiskal. Sedang proporsi atau bagian dari penanaman modal yang diperlakukan sebagai pengurang penghasilan neto merupakan fasilitas perpajakan, yang tidak/belum diakui sebagai elemen penghasilan dan/atau biaya di dalam akuntansi komersialnya. Sebagai fasilitas perpajakan, proporsi atau bagian dari penanaman modal yang dapat dikurangkan dari penghasilan neto tidak mempengaruhi nilai perolehan aset/investasi terkait sebagai basis perhitungan beban penyusutan/amortisasinya di kemudian hari, nilai kewajiban/utang, penghasilan/laba, dan biaya/kerugian.

Dengan komponen dari setiap variabel penghasilan neto fiskal (PNF) sebagaimana dikemukakan tersebut di atas, secara garis besar; prosedur penentuan atau penghitungan penghasilan neto fiskal (PNF) yang dimulai dari peredaran usaha atau hasil penjualan dapat diikhtisarkan pada tabel-1. Perhatikan bahwa variabel penghasilan neto komersial (PNK) terdiri dari beberapa komponen penghasilan neto dari usaha atau kegiatan dan dari luar usaha, baik yang berasal dari sumber di dalam maupun sumber di luar negeri.

Tabel-1: Prosedur Penghitungan Penghasilan Neto Fiskal No

Deskripsi Jumlah

1 Peredaran usaha A -(-) Harga pokok penjualan (B) -(-) Biaya usaha lainnya (C) -(=) Penghasilan neto dari usaha (D = A – B – C) - D

2 Penghasilan dari luar usaha E -(-) Biaya dari luar usaha (F) -(=) Penghasilan neto dari luar usaha (G = E – F) - G

3 Penghasilan Neto Komersial Dalam Negeri (H = D + G) - H(+) Penghasilan Neto Komersial Luar Negeri - I(=) Jumlah Penghasilan Neto Komersial (J = H + I) - J

4 (-) Penghasilan Dikenai PPh Final dan Penghasilan Tidak Termasuk Obyek Pajak - (K)5 Penyesuaian Fiskal Positif (berdasar ketentuan UU PPh): - -

(+) Penyesuaian berdasar Pasal-9 ayat (1) huruf b, (prive pemilik) 1 -(+) Penyesuaian berdasar Pasal-9 ayat (1) huruf c, (pembentukan/pemupukan dana cadangan) 2 -(+) Penyesuaian berdasar Pasal-9 ayat (1) huruf e, (imbalan berupa natura/kenikmatan) 3 -(+) Penyesuaian berdasar Pasal-9 ayat (1) huruf f, (Imbalan di luar batas kewajaran) 4 -(+) Penyesuaian berdasar Pasal-9 ayat (1) huruf g, (bantuan/sumbangan dan harta hibahan) 5 -(+) Penyesuaian berdasar Pasal-9 ayat (1) huruf h, (PPh badan dan kredit pajak) 6 -(+) Penyesuaian berdasar Pasal-9 ayat (1) huruf j, (gaji, bagian laba yang diterima anggota pemilik) 7 -(+) Penyesuaian berdasar Pasal-9 ayat (1) huruf k, (sanksi berupa bunga, denda, kenaikan pajak terutang) 8 -(+) Penyesuaian selisih biaya penyusutan dan amortisasi aset tetap (komersial > fiskal) 9 -(+) Penyesuaian berdasar Pasal-7 PP Nomor 138 tahun 2000, DJP Nomor KEP-184/PJ/2002 (biaya tertentu) 10 -(+) Penyesuaian berdasar Pasal 4 dan Pasal-6 UU PPh (penghasilan Obyek Pajak Final, bukan biaya fiskal) 11 -( =) Jumlah penyesuaian fiskal positif (L= jumlah 1 s/d 11) - L

6 Penyesuaian Fiskal Negatif (berdasar ketentuan UU PPh): - -(-) Penyesuaian berdasar Pasal-7 PP No: 138 Tahun 2000 (penghasilan dalam hal dan untuk WP tertentu) (1) -(-) Penyesuaian berdasar Pasal-6 UU PPh (bukan biaya/kerugian fiskal tetapi dapat diakui secara komersial) (2) -(-) Penyesuaian selisih kurang biaya penyusutan dan amortisasi aset tetap (fiskal > komersial) (3) -(=) Jumlah penyesuaian fiskal negatif [M = Jumlah (1) s/d (3)] - (M

)7 (-) Fasilitas penanaman modal berupa pengurangan penghasilan neto - (N)8 (=) Penghasilan Neto Fiskal [O = J – K + L – M – N] - O

Dengan menggunakan variabel-variabel yang terdirii: (i) PNF -untuk menyatakan Penghasilan Neto Fiskal, (ii) PNK -untuk menyatakan Penghasilan Neto Komersial, (iii) PT dan PBOP masing-masing untuk menyatakan Penghasilan Tertentu Dikenai PPh Final dan Penghasilan Bukan Obyek Pajak, (iv) PFP -untuk menyatakan Penyesuaian Fiskal Positif, (v) PFN -untuk menyatakan Penyesuaian Fiskal Negatif, dan (vi)

9

Page 10: SDPP 1 (Formula)

FPPN -untuk menyatakan Fasilitas Pajak berupa Pengurang Penghasilan Neto; maka prosedur penentuan atau penghitungan Penghasilan Neto Fiskal (PNF) yang berbasis Penghasilan Neto Komersial (PNK) sebagaimana dikemukakan di atas, secara matematis dapat dinyatakan sebagai berikut:

Penghasilan Neto Fiskal (PNF) = (PNK) – (PT + PBOP) + (PFP) – (PFN) – (FPPN)

B. Kompensasi Kerugian FiskalKomponen atau elemen penghasilan kena pajak yang kedua adalah kompensasi kerugian fiskal. Undang-undang perpajakan memang menentukan perhitungan pajak penghasilan dilakukan pada setiap tahun pajak, namun tidak berarti mengabaikan penghasilan (atau lebih tepatnya, kerugian yang terjadi) pada tahun-tahun pajak sebelumnya. Pemungutan pajak penghasilan tidak cukup hanya dikenakan/dipungut apabila perusahaan memperoleh penghasilan dan tidak dikenakan/dipungut manakala perusahaan menderita kerugian pada setiap tahun pajaknya. Penghasilan merupakan suatu aliran yang terjadi dari sejak suatu perusahaan didirikan atau memulai usahanya sampai dengan kelak pada saat perusahaan dibubarkan atau dilikuidasi.

Pajak penghasilan harus dikenakan hanya atas penghasilan yang sesuai dengan definisi yang dianut atau ketentuan yang berlaku dalam Undang-undang Pajak Penghasilan, yaitu- “setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak, dengan nama dan dalam bentuk apapun”. Pemungutan/pengenaan pajak penghasilan yang mengabaikan atau tidak mempertimbangkan adanya kerugian yang terjadi pada tahun-tahun pajak sebelumnya (sehingga tidak memberikan fasilitas pajak berupa kompensasi kerugian tahun-tahun sebelumnya) berpotensi untuk membuat pajak atas penghasilan berubah sifatnya menjadi pajak atas modal. Pajak penghasilan harus sedapat mungkin dibedakan dari pajak-pajak yang lain, seperti pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPn-BM), serta pajak atas modal; agar tidak terjadi apa yang disebut pajak ganda (double taxation).

Contoh-1: Kompensasi Kerugian Suatu perusahaan wajib pajak badan dalam negeri didirikan dengan modal yang (sudah) ditempatkan dan disetor sebesar Rp25,00 milyar pada awal tahun 2008. Dalam kurun waktu 5 tahun pertama, perusahaan memperoleh penghasilan neto (laba/rugi fiskal) sebesar Rp5,00 milyar yang terdiri dari:

Tahun Penghasilan Neto (Laba/Rugi) Fiskal Jumlah2008 Penghasilan Neto (Laba) Fiskal Rp2.000.000.000,002009 Penghasilan Neto (Laba) Fiskal 2.500.000.000,002010 Penghasilan Neto (Rugi) Fiskal (750.000.000,00)2011 Penghasilan Neto (Rugi) Fiskal (250.000.000,00)2012 Penghasilan Neto (Laba) Fiskal 1.500.000.000,00

Jumlah Penghasilan Neto (Laba/Rugi) Fiskal Rp5.000.000.000,00

Dengan asumsi dalam kurun waktu 5 tahun tersebut perusahaan tidak mendistribusikan laba kepada para pemiliknya, maka sesuai dengan definisi penghasilan yang dianut oleh Undang-undang Pajak Penghasilan; modal perusahaan di dalam neraca pada akhir tahun 2012 harus berjumlah Rp28,75 milyar yang terdiri dari: (i) Modal Awal Rp25,00 milyar, dan (ii) Sisa Laba Tahun Lalu (Laba yang Ditahan) sebesar Rp3,75 milyar [(1 – 0,25) X Rp5,00 milyar], sebagaimana tampak pada tabel berikut.

Modal pada awal tahun 2008 Rp25.000.000.000,00(+) Sisa Laba Tahun-Tahun Lalu [(1 – 0,25) X (Rp6,00 milyar – Rp1,00 milyar)] 3.750.000.000,00(=) Modal pada akhir tahun 2012 Rp28.750.000.000,00

Perubahan-perubahan yang terjadi pada saldo modal sehingga pada akhir tahun 2012 berjumlah Rp28,75 milyar tersebut dapat diikhtisarkan sebagai berikut (rupiah dalam jutaan):

Deskripsi Akhir 2008 Akhir 2009 Akhir 2010 Akhir 2011 Akhir 2012Modal awal 25.000,00 25.000,00 25.000,00 25.000,00 25.000,00Laba Ditahan (*) 1.500,00 3.375,00 3.375,00 3.375,00 3.750,00Rugi Thn Lalu Belum Dikompensasi 0,00 0,00 (750,00) (1.000,00) 0,00

10

Page 11: SDPP 1 (Formula)

Rugi Thn Lalu Tdk Dpt Dikompensasi 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00Jumlah modal akhir Rp26.500,00 Rp28.375,00 Rp37.625,00 Rp27.375,00 Rp28.750,00

(*) Laba ditahan merupakan akumulasi jumlah neto laba fiskal sesudah pajak

Pengenaan pajak penghasilan tanpa mempertimbangkan kerugian fiskal pada tahun-tahun pajak sebelumnya (laba fiskal dikenakan pajak dan rugi fiskal tidak dikenakan pajak, atau tanpa fasilitas kompensasi kerugian) akan membuat modal perusahaan di dalam neraca pada akhir tahun 2012 menjadi hanya sebesar Rp28,50 milyar yang terdiri dari:

Modal pada awal tahun 2008 Rp25.000.000.000,00(+) Sisa Laba Tahun-Tahun Lalu [(1 – 0,25) X (Rp6,00 milyar) – (Rp1,00 milyar)] 3.500.000.000,00(=) Modal pada akhir tahun 2012 Rp28.500.000.000,00

Saldo modal sebesar Rp28,50 milyar pada akhir tahun 2012 tersebut sama halnya dengan perusahaan dikenakan pajak penghasilan sebesar 25% atas laba fiskal per tahun dan pajak atas modal pada awal tahun 2008 sebesar 4% (dalam kurun waktu 5 tahun) sebagai berikut:

Modal pada awal tahun 2008 Rp25.000.000.000,00(+) Sisa Laba Tahun-Tahun Lalu [(1 – 0,25) X Rp6,00 milyar] 4.500.000.000,00(-) Pajak Atas Modal (0,04 X Rp25,00 milyar) (1.000.000.000,00)(=) Modal pada akhir tahun 2012 Rp28.500.000.000,00

Salah satu cara untuk menghindarkan atau mencegah terjadinya kondisi semacam itu (inkonsistensi dengan definisi penghasilan dan perubahan sifat pajak atas penghasilan menjadi pajak atas modal), Undang-undang Pajak Penghasilan memberikan fasilitas pajak berupa kompensasi kerugian yang diderita oleh perusahaan pada tahun-tahun sebelumnya. Namun demikian, untuk memberikan kepastian; Undang-undang Pajak Penghasilan juga membatasi jangka waktu kompensasi kerugian (menurut ketentuan umum Pasal-6 ayat (2) UU PPh selama 5 tahun berturut-turut yang dimulai pada tahun pajak berikut setelah terjadinya kerugian, atau lebih lama tetapi tidak lebih dari 10 tahun untuk perusahaan yang memperoleh fasilitas penanaman modal-ketentuan Pasal 31 A ayat (1) huruf c). Dengan fasilitas kompensasi kerugian (fiskal) demikian itu, untuk kurun waktu 5 tahun tersebut pada akhirnya perusahaan akan dikenakan pajak atas penghasilan hanya berdasar penghasilan kena pajak sebesar Rp5,00 milyar (laba fiskal Rp6,00 milyar minus rugi fiskal Rp1,00 milyar). Sebagai komponen penghasilan kena pajak, kompensasi kerugian dikurangkan dari penghasilan neto (laba fiskal) dalam tahun-tahun pajak berikutnya sebagai berikut.

Tahun Penghasilan Neto Fiskal Kompensasi Kerugian Penghasilan Kena Pajak2008 Rp2.000.000.000,00 0,00 Rp2.000.000.000,002009 2.500.000.000,00 0,00 2..500.000.000,002010 (750.000.000,00) 0,00 0,002011 (250.000.000,00) 0,00 0,002012 1.500.000.000,00 (Rp1.000.000.000,00) 500.000.000,00

Jumlah Rp5.000.000.000,00 (Rp1.000.000.000,00) Rp5.000.000.000,00

Perhatikan bahwa Penghasilan Kena Pajak sebagai basis perhitungan beban dan/atau pajak penghasilan yang terutang dalam tahun pajak berjalan berjumlah sama dengan Penghasilan Neto atau Laba Fiskal minus Kompensasi Kerugian Fiskal. Dalam tahun pajak di mana penghasilan neto fiskal negatif (mengalami kerugian fiskal dalam tahun 2010 dan 2011) memang perusahaan tidak dikenakan pajak penghasilan, karena penghasilan kena pajaknya nihil (bahkan negatif). Namun dengan fasilitas kompensasi kerugian, pajak penghasilan pada tahun pajak berikut setelah terjadinya kerugian fiskal tidak dikenakan terhadap seluruh penghasilan neto atau laba fiskalnya, tetapi hanya berdasar penghasilan kena pajak (setelah terlebih dahulu dikurangi dengan kompensasi kerugian tahun 2010 dan tahun 2011). Sebagai akibatnya, perusahaan hanya dikenakan pajak penghasilan dalam tiga tahun pajak (tahun 2008, 2009, dan tahun 2012) dan atas dasar penghasilan kena pajak sebesar Rp5,00 milyar. Dengan variabel PNF untuk menyatakan Penghasilan Neto atau Laba Fiskal, dan KKF untuk Kompensasi Kerugian Fiskal, maka secara matematis Penghasilan Kena Pajak (PKP) pada setiap tahun pajaknya dapat dinyatakan sebagai berikut:

Penghasilan Kena Pajak (PKP) = (PNF)

11

Page 12: SDPP 1 (Formula)

– (KKF)

Sisa Kerugian Tahun Lalu Tidak Dapat DikompensasikanPembatasan jangka waktu kompensasi kerugian bisa membuat perusahaan kehilangan peluang atau tidak bisa mengompensasikan seluruh kerugian fiskalnya. Kerugian fiskal tahun 2010 sebesar Rp750,00 juta tersebut misalnya, tidak seluruhnya dapat dikompensasikan apabila dalam tahun 2011 sampai dengan tahun 2015 perusahaan hanya memperoleh laba fiskal kurang dari Rp750,00 juta. Demikian pula halnya dengan kerugian fiskal sebesar Rp250,00 juta dalam tahun 2011, tidak seluruhnya dapat dikompensasikan apabila dalam tahun 2012 hingga 2015 perusahaan hanya memperoleh laba fiskal kurang dari Rp750,00 juta dan dalam tahun 2016 hanya memperoleh laba fiskal kurang dari Rp250,00 juta. Ketidakmampuan perusahaan untuk mengompensasikan seluruh kerugian fiskalnya dalam batas waktu yang ditetapkan akan berakibat pada berkurangnya modal perusahaan (dimulai dari sisa laba tahun lalu, hingga modal awal atau modal dasarnya).

Adanya sisa kerugian tahun-tahun lalu yang tidak bisa dikompensasikan sedapat mungkin harus dihindarkan, karena berakibat perusahaan membayar pajak dalam jumlah berlebih. Ketidakmampuan perusahaan untuk memanfaatkan fasiltas pajak berupa kompensasi kerugian, akan membuat modal (awal) perusahaan tidak dapat terpulihkan. Perencanaan pajak yang efektif dapat membantu manajemen untuk menghindarkan adanya sisa kerugian yang tidak dapat dikompensasikan tersebut. Untuk lebih jelasnya diberikan contoh sebagai berikut.

Contoh-2: Sisa Kerugian Tahun Lalu Tidak Dapat DikompensasikanMisalnya perusahaan pada contoh-1 di atas dalam tahun 2012 sampai dengan tahun 2016 hanya memperoleh laba fiskal sebesar Rp750,00 juta, yang terdiri dari masing-masing sebesar Rp150,00 juta per tahun.

Sebagai akibatnya, perusahaan tidak terutang atau tidak perlu membayar pajak penghasilan dalam tahun 2011 hingga 2016. Akan tetapi, juga sebaliknya hanya Rp750,00 juta dari total kerugian fiskal sebesar Rp1,00 milyar dalam tahun 2010 dan 2011 yang dapat dikompensasikan. Sedang sisa kerugian fiskal sebesar Rp250,00 juta (masing-masing Rp150,00 juta dari kerugian fiskal tahun 2010 dan Rp100,00 juta kerugian fiskal tahun 2011) tidak lagi dapat dikompensasikan. Kerugian fiskal tahun 2010, dikompensasikan masing-masing sebesar Rp150,00 juta per tahun dari laba fiskal tahun 2012 s/d 2015 (Rp600,00 juta = 4 X Rp150,00 juta), sedang kerugian fiskal tahun 2011 hanya dikompensasikan dengan laba fiskal tahun 2016 sebesar Rp150,00 juta. Dengan demikian, sebesar Rp150,00 juta dari sisa kerugian tahun 2010 dan sebesar Rp100,00 dari sisa kerugian tahun 2011 tidak dapat dikompensasikan seperti tampak berikut (rupiah dalam ribuan):

TahunLaba (Rugi)

FiskalKompensasi

KerugianSisa Kerugian Tdk Dpt

DikompensasikanPenghasilan Kena

Pajak2008 Rp2.000.000,00 0,00 0,00 Rp2.000.000,002009 2.500.000,00 0,00 0,00 2.500.000,002010 (750.000,00) 0,00 0,00 0,002011 (250.000,00) 0,00 0,00 0,002012 150.000,00 (150.000,00) 0,00 0,002013 150.000,00 (150.000,00) 0,00 0,002014 150.000,00 (150.000,00) 0,00 0,002015 150.000,00 (150.000,00) 150.000,00 0,002016 150.000,00 (150.000,00) 100.000,00 0,00

Jumlah Rp5.250.000,00 (Rp750.000,00) Rp250.000,00 Rp4.500.000,00

Sebagai akibatnya, saldo modal perusahaan akan berjumlah Rp28,075 milyar pada akhir tahun 2015 dan Rp 28,125 milyar pada akhir tahun 2016 sebagaimana tampak berikut (rupiah dalam ribuan). Sampai dengan akhir tahun 2016 (beroperasi selama 9 tahun pajak), laba fiskal berjumlah seluruhnya Rp5,25 milyar dan rugi fiskal Rp1,00 milyar; sehingga seharusnya saldo modal pada akhir tahun 2016 berjumlah Rp28,18 75 milyar {Rp25,00 milyar + [(1- 0,25)(Rp4,25 milyar)]}; karena seharusnya hanya dikenakan pajak berdasar penghasilan kena pajak sebesar Rp4,25 milyar.

Deskripsi Tahun 2014 Tahun 2015 Tahun 2016Modal pada awal tahun 2008 Rp25.000.000,0

0Rp25.000.000,00 Rp25.000.000,00

(+) Sisa Laba Tahun Lalu [(1 – 0,25) X Rp4,50 milyar] 3.375.000,00 3.375.000,00 3.375.000,00(-) Sisa Kerugian Tahun Lalu Belum Dikompensasi (400.000,00) (250.000,00) 0,00(-) Sisa Kerugian Tidak Dapat Dikompensasi 0,00 (150.000,00) (250.000,00)

12

Page 13: SDPP 1 (Formula)

(=) Modal pada akhir tahun Rp28.075.000,00

Rp28.075.000,00 Rp28.125.000,00

Namun dari total kerugian fiskal tersebut sebesar Rp150,00 juta (yang terjadi dalam tahun 2010) dan sebesar Rp100,00 juta (yang terjadi dalam tahun 2011) di antaranya sudah kadaluwarsa (tidak bisa dikompensasikan). Sebagai akibatnya, pada kasus tersebut dalam waktu 9 tahun pajak perusahaan dikenakan pajak berdasar penghasilan kena pajak sebesar Rp4,50 milyar (tahun 2008 dan tahun 2009). Adanya sisa kerugian yang tidak dapat dikompensasikan tersebut membuat: (1) perusahaan pada akhirnya dikenakan pajak berdasar penghasilan kena pajak yang terlalu besar (Rp4,50 milyar > Rp4,25 milyar). Dengan demikian, saldo modal yang seharusnya berjumlah Rp28,1875 milyar berkurang menjadi hanya sebesar Rp28,125 milyar pada akhir tahun 2016. Selisih saldo modal sebesar Rp Rp62,50 juta tersebut tidak lain adalah sama dengan tarif pajak dikali selisih penghasilan kena pajak sebagai basis perhitungan pajaknya [Rp62,50 juta = 0,25 X (Rp4,50 milyar – Rp4,25 milyar)]. Adanya sisa kerugian yang tidak dapat dikompensasikan membuat perusahaan harus dikenakan pajak yang lebih besar (Rp1,125 milyar) dari jumlah yang seharusnya (Rp1,0625 milyar).

Deskripsi Akhir 2009 Akhir 2010 Akhir 2011 Akhir 2015 Akhir 2016Modal awal 25.000,00 25.000,00 25.000,00 25.000,00 25.000,00Laba Ditahan (*) 3.375,00 3.375,00 3.375,00 3.375,00 3.375,00Rugi Thn Lalu Belum Dikompensasi 0,00 (750,00) (1.000,00) (250,00) 0,00Rugi Thn Lalu Tdk Dpt Dikompensasi 0,00 0,00 0,00 (150,00) (250,00)Jumlah modal akhir Rp28.375,00 Rp27.625,00 Rp27.375,00 Rp27.975,00 Rp28.125,00

Efek dari adanya sisa kerugian yang tidak dapat dikompensasikan adalah perusahaan harus membayar pajak yang lebih besar dalam jumlah sama dengan tarif pajak dikali sisa kerugian yang tidak dapat dikompensasikan tersebut. Kondisi demikian harus dihindarkan karena tidak sejalan dengan salah satu prinsip perencanaan pajak yang menyatakan: “pajak harus dibayar tetapi tidak perlu dibayar lebih”.

Contoh-3: Sisa Kerugian Tahun Lalu Tidak Dapat DikompensasikanDua perusahaan sejenis wajib pajak-badan dalam negeri dengan peredaran bruto yang relatif sama jumlahnya (dan kurang dari Rp4,80 miliar per tahun), memperoleh penghasilan kena pajak (laba fiskal) sebesar Rp2,00 miliar dalam kurun waktu 10 tahun pertama sejak perusahaan memulai usahanya sebagai berikut:

Tahun Deskripsi Perusahaan-A Perusahaan-B1 Laba (Rugi) Fiskal Rp(300.000.000,00) Rp50.000.000,002 Laba (Rugi) Fiskal (200.000.000,00 75.000.000,003 Laba (Rugi) Fiskal 0,00 100.000.000,004 Laba (Rugi) Fiskal 25.000.000,00 125.000.000,005 Laba (Rugi) Fiskal 50.000.000,00 150.000.000,006 Laba (Rugi) Fiskal 75.000.000,00 200.000.000,007 Laba (Rugi) Fiskal 100.000.000,00 250.000.000,008 Laba (Rugi) Fiskal 500.000.000,00 300.000.000,009 Laba (Rugi) Fiskal 750.000.000,00 350.000.000,0010 Laba (Rugi) Fiskal 1.000.000.000,00 400.000.000,00

Jumlah Rp2.000.000.000,00 Rp2.000.000.000,00

Meskipun kedua perusahaan memperoleh total penghasilan kena pajak (laba fiskal) yang sama besarnya dalam kurun waktu 10 tahun (Rp2,00 miliar), namun Perusahaan-A terpaksa membayar pajak yang lebih besar dibanding Perusahaan-B. Hal ini disebabkan oleh karena Perusahaan-A tidak dapat mengompensasikan seluruh kerugian fiskalnya.

Dari kerugian fiskal sebesar Rp300,00 juta dalam tahun-1 hanya sebesar Rp150,00 juta yang dapat dikompensasikan (tahun-4, tahun-5, dan tahun-6). Sedang dari kerugian fiskal sebesar Rp200,00 juta dalam tahun-2, sebesar Rp100,00 juta di antaranya tidak dapat dikompensasikan (kadaluwarsa). Sebagai akibatnya, Perusahaan-A harus membayar/terutang pajak penghasilan dari total penghasilan kena pajak (laba fiskal) sebesar Rp2.250,00 juta (tahun-8, tahun-9, dan tahun-10), atau sebesar seluruhnya Rp281,25 juta (0,50 X 0,25 X Rp2.250,00 juta). Memang Perusahaan-A tidak harus membayar/terutang pajak penghasilan pada setiap tahun pajaknya, dan baru terutang dan berkewajiban untuk membayar pajak dalam tiga tahun pajak terakhir (tahun-8, tahun-9, dan tahun-10). Namun secara keseluruhan (dalam kurun waktu 10 tahun), Perusahaan-A membayar pajak sebesar Rp31,25 juta [0,50 X 0,25 X (Rp2.250,00 juta – Rp2.000,00 juta)] lebih besar dari total penghasilan kena pajak atau laba fiskalnya.

13

Page 14: SDPP 1 (Formula)

Berbeda halnya dengan Perusahaan-B, distribusi penghasilan kena pajak atau laba fiskalnya membuat perusahaan senantiasa terutang pajak penghasilan pada setiap tahun pajaknya. Namun untuk keseluruhan jangka waktu 10 tahun, Perusahaan-B cukup membayar pajak penghasilan sebesar Rp250,00 juta (0,50 X 0,25 X Rp2.000,00 juta). Distribusi penghasilan kena pajak (laba fiskal) Perusahaan-B, meskipun tidak stabil namun membuat perusahaan terbebas dari potensi membayar pajak berlebih. Sekali lagi hal ini menunjukkan peran dan arti pentingnya perencanaan pajak.

2. Tarif Pajak Penghasilan Penghitungan Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dikemukakan di atas, pada dasarnya berlaku sama baik untuk perusahaan Wajib Pajak-Badan maupun untuk perusahaan perorangan Wajib Pajak-Orang Pribadi dalam negeri (yang menyelenggarakan pembukuan), bahkan unutuk perusahaan bentuk usaha tetap. Namun perbedaan status pajak dari kedua bentuk (badan usaha) perusahaan (WP-Badan dan WP-Orang Pribadi dalam negeri) membuat beban pajak penghasilan di antara keduanya menjadi berbeda. Terlepas dari adanya fasilitas pajak berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk perusahaan perorangan Wajib Pajak-Orang Pribadi dalam negeri -yang besarya tergantung pada status pajak perkawinan dan keadaan Wajib Pajak-orang pribadi terkait pada awal tahun pajak, perbedaan beban pajak penghasilan perusahaan tersebut disebabkan oleh karena: perbedaan tarif pajak yang berlaku untuk masing-masing kelompok perusahaan. Menurut ketentuan Pasal-17 UU-PPh, perusahaan perorangan (Wajib Pajak-Orang Pribadi dalam negeri) dikenakan pajak penghasilan berdasar tarif progresif sebesar: (i) 5% dari jumlah penghasilan kena pajak sampai dengan Rp50,00 juta pertama; (ii) 15% dari jumlah penghasilan kena pajak di atas Rp50,00 juta hingga Rp250,00 juta; (iii) 25% dari jumlah penghasilan kena pajak di atas Rp250,00 juta hingga Rp500,00 juta; dan (iv) 30% dari jumlah penghasilan kena pajak di atas Rp500,00 juta. Sedang untuk perusahaan Wajib Pajak-Badan dalam negeri pada dasarnya dikenakan pajak penghasilan berdasar tarif proporsional sebesar 25%. Di samping tarif pajak yang proporsional (sama untuk setiap rupiah penghasilan kena pajak) perusahaan Wajib Pajak-Badan dalam negeri yang memenuhi persyaratan tertentu diberikan fasilitas pajak sebagai berikut: (i) pengurangan tarif pajak sebesar 50% untuk bagian Penghasilan Kena Pajak yang berasal dari peredaran bruto sebesar Rp4,80 milyar, yang berlaku untuk jumlah peredaran bruto sampai dengan Rp50,00 milyar (Pasal 31 E, UU PPh), dan (ii) pengurangan tarif sebesar 5% untuk perusahaan yang berbentuk perseroan terbuka, yang sekurang-kurangnya 40% dari keseluruhan jumlah saham yang telah disetor diperdagangkan di bursa efek di Indonesia [Pasal-17 ayat (1) huruf b dan ayat (2 a) UU PPh]. Pada akhirnya, tarif pajak proporsional yang dikenakan terhadap perusahaan Wajib Pajak-Badan dalam negeri hanya merupakan tarif dasar. Sebagai akibatnya, dua perusahaan yang berpenghasilan kena pajak sama besar; tetapi berbeda status pajaknya akan dikenakan pajak berdasar tarif efektif yang juga berbeda. Secara garis besar, tarif efektif pajak penghasilan perusahaan dapat digeneralisasi sebagai berikut.

Perusahaan perorangan (WP-Orang Pribadi dalam negeri) 5% ≤ Tarif Efektif < 30%; Perusahaan WP-Badan dalam negeri, dengan peredaran bruto s/d Rp4,80 milyar sebesar 12,5%; Perusahaan WP-Badan dalam negeri, dengan peredaran bruto lebih dari Rp4,80 milyar s/d Rp50,00

milyar 12,5% ≤ Tarif Efektif < 25%; Perseroan terbuka, yang kurang dari 40% jumlah saham yang disetor diperdagangkan di bursa efek di

Indonesia (peredaran bruto lebih dari Rp50,00 milyar) sebesar 25%; Perseroan terbuka, yang 40% atau lebih jumlah saham yang disetor diperdagangkan di bursa efek di

Indonesia (peredaran bruto lebih dari Rp50,00 milyar) sebesar 20%.

Status pajak atau bentuk perusahaan (perusahaan perorangan sebagai wajib pajak orang-pribadi atau badan usaha sebagai wajib pajak-badan) sebagaimana dikemukakan mempengaruhi tarif pajak penghasilan yang harus dipakai sebagai basis perhitungan pajak penghasilan yang terutang oleh perusahaan atas penghasilan kena pajaknya. Di samping itu, untuk perusahaan wajib pajak-badan pada khususnya; jumlah peredaran bruto (skala usaha) dalam tahun pajak berjalan juga mempengaruhi tarif pajak penghasilan yang harus diaplikasikan di dalam penghitungan pajak penghasilan yang terutang. Oleh karena itu, pemilihan bentuk atau status perusahaan (sebagai wajib pajak) dan skala usaha perusahaan merupakan faktor-faktor yang harus dipertimbangkan; agar perusahaan dapat menghemat pajak. Untuk memberikan gambaran tentang efek pemilihan bentuk atau status perusahaan (sebagai wajib pajak) dan skala usaha perusahaan diberikan contoh-contoh sebagai berikut.

Contoh-4: Perusahaan Perorangan Vs Badan Usaha Dengan Bruto Kurang dari Rp4,80 Milyar

14

Page 15: SDPP 1 (Formula)

Suatu perusahaan akan memulai usahanya pada awal tahun 2011, dengan investasi awal sebesar Rp3,00 milyar; yang terdiri dari total utang dengan bunga 10% sebesar Rp0,75 milyar dan total ekuitas (setoran modal oleh pemilik) sebesar Rp2,25 milyar. Perusahaan akan beroperasi dengan peredaran bruto sebesar Rp4,50 milyar (tingkat perputaran total aset sebanyak 1,5 kali); sehingga diharapkan akan memperoleh penghasilan kena pajak (sebelum dikurangi biaya bunga) sebesar Rp625,00 juta per tahun.

Dengan asumsi skala usaha yang dinyatakan dalam bentuk peredaran bruto sebesar Rp4,50 milyar per tahun tersebut, maka efek pemilihan bentuk atau status pajak perusahaan terhadap pajak penghasilan yang terutang oleh perusahaan pada setiap tahun pajaknya adalah sebagai berikut:

No Deskripsi Perorangan Badan Hemat Pajak Badan

1 Penghasilan kena pajak sebelum biaya bunga Rp625.000.000,00 Rp625.000.000,00 ----------------------2 Biaya bunga (75.000.000,00) (75.000.000,00) ----------------------3 Penghasilan kena pajak Rp550.000.000,00 Rp550.000.000,00 ----------------------4 Pajak penghasilan:

Tarif 5,0% Rp2.500.000,00 ---------------------- Rp2.500.000,00Tarif 12,5% ------------------- Rp68.750.000,00 (68.750.000,00)Tarif 15,0% 30.000.000,00 ---------------------- 30.000.000,00Tarif 25,0% 62.500.000,00 ---------------------- 62.500.000,00Tarif 30,0% 15.000.000,00 ---------------------- 15.000.000,00Jumlah pajak penghasilan Rp110.000.000,00 Rp68.750.000,00 Rp41.250.000,00

5 Tarif efektif pajak (jumlah-4/3) 20,0% 12,5% 7,50%

Dengan skala usaha kecil (peredaran bruto sampai dengan Rp4,80 milyar) perusahaan yang diorganisasi sebagai wajib pajak badan memperoleh fasilitas pajak berupa pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif dasar, sehingga dikenakan pajak berdasar tarif sebesar 12,5% [25% - (0,50 X 25%)]. Sebagai akibatnya, dengan memilih bentuk badan usaha tertentu (sebagai WP-Badan) perusahaan memperoleh penghematan pajak (relatif dalam perbandingannya dengan perusahaan perorangan sebagai WP-Orang Pribadi) sebesar Rp41,25 juta atau sebesar 7,5% dari jumlah penghasilan kena pajaknya. Contoh-5: Perusahaan Perorangan Vs Badan Dengan Peredaran Bruto Rp4,80 Milyar s/d Rp50,00 MilyarSuatu perusahaan akan memulai usahanya pada awal tahun 2011, dengan investasi awal sebesar Rp30,00 milyar; yang terdiri dari total utang dengan bunga 10% sebesar Rp7,50 milyar dan total ekuitas (setoran modal oleh pemilik) sebesar Rp22,50 milyar. Perusahaan akan beroperasi dengan peredaran bruto sebesar Rp48,00 milyar (tingkat perputaran total aset sebanyak 1,5 kali); sehingga diharapkan akan memperoleh penghasilan kena pajak (sebelum dikurangi biaya bunga) sebesar Rp4,50 milyar per tahun.

Dengan asumsi skala usaha yang dinyatakan dalam bentuk peredaran bruto sebesar Rp48,00 milyar per tahun tersebut, maka efek pemilihan bentuk atau status pajak perusahaan terhadap pajak penghasilan yang terutang oleh perusahaan pada setiap tahun pajaknya adalah sebagai berikut (rupiah dalam ribuan):

No Deskripsi Perorangan Badan Hemat Pajak Badan

1 Penghasilan kena pajak sebelum biaya bunga Rp4.500.000,00 Rp4.500.000,00 ------------------2 Biaya bunga (750.000,00) (750.000,00) ------------------3 Penghasilan kena pajak Rp3.750.000,00 Rp3.750.000,00 ------------------4 Pajak penghasilan:

Tarif 5,0% Rp2.500,00 ----------------- Rp2.500,00Tarif 12,5% ---------------- Rp46.875,00 (46.875,00)Tarif 15,0% 30.000,00 ----------------- 30.000,00Tarif 25,0% 62.500,00 843.750,00 (781.250,00)Tarif 30,0% 975.000,00 ----------------- 975.000,00Jumlah pajak penghasilan Rp1.070.000,00 Rp890.625,00 Rp179.375,00

5 Tarif efektif pajak (jumlah-4/3) 28,53% 23,75% 4,78%

Dengan skala usaha menengah (peredaran bruto Rp4,80 milyar sampai dengan Rp50,00 milyar) perusahaan wajib pajak-badan dikenakan pajak berdasar dua macam tarif; yaitu: (i) 12,5% untuk bagian penghasilan kena pajak yang memperoleh fasilitas pajak, dan (ii) 25% untuk bagian penghasilan kena pajak yang tidak memperoleh fasilitas pajak. Bagian penghasilan kena pajak yang memperoleh dan yang tidak memperoleh fasilitas pajak ditentukan berdasar formula perhitungan sebagai berikut:

(i) Bagian PKP-Dengan Fasilitas Pajak = (Rp4,80 Milyar)/(Peredaran Bruto) X (Total PKP)

15

Page 16: SDPP 1 (Formula)

(ii) Bagian PKP-Tanpa Fasilitas Pajak = (Peredaran Bruto – Rp4,80 Milyar)/(Peredaran Bruto) X (Total PKP)

Sebagaimana tampak pada tabel di atas, pemilihan bentuk badan usaha tertentu (sebagai WP-Badan), perusahaan memperoleh penghematan pajak (relatif dalam perbandingannya dengan perusahaan perorangan sebagai WP-Orang Pribadi) sebesar Rp179,375 juta atau 4,78% dari total penghasilan kena pajaknya.

Contoh-6: Perusahaan Perorangan Vs Badan Dengan Peredaran Bruto Lebih Rp50,00 MilyarSuatu perusahaan akan memulai usahanya pada awal tahun 2011, dengan investasi awal sebesar Rp100,00 milyar; yang terdiri dari total utang dengan bunga 10% sebesar Rp25,00 milyar dan total ekuitas (setoran modal oleh pemilik) sebesar Rp75,00 milyar. Perusahaan akan beroperasi dengan peredaran bruto sebesar Rp150,00 milyar (tingkat perputaran total aset sebanyak 1,5 kali); sehingga diharapkan akan memperoleh penghasilan kena pajak (sebelum dikurangi biaya bunga) sebesar Rp12,50 milyar per tahun.

Dengan asumsi skala usaha yang dinyatakan dalam bentuk peredaran bruto sebesar Rp150,00 milyar per tahun tersebut, maka efek pemilihan bentuk atau status pajak perusahaan terhadap pajak penghasilan yang terutang oleh perusahaan pada setiap tahun pajaknya adalah sebagai berikut (rupiah dalam ribuan):

No Deskripsi Perorangan Badan Hemat Pajak Badan

1 Penghasilan kena pajak sebelum biaya bunga Rp12.500.000.00 Rp12.500.000,00 -------------------2 Biaya bunga (2.500.000,00) (2.500.000,00) -------------------3 Penghasilan kena pajak Rp10.000.000,00 Rp10.000.000,00 -------------------4 Pajak penghasilan:

Tarif - 5% Rp2.500,00 --------------------- Rp2.500,00Tarif -15% 30.000,00 --------------------- 30.000,00Tarif -25% 62.500,00 Rp2.500.000,00 (2.437.500,00)Tarif -30% 2.850.000,00 --------------------- 2.850.000,00Jumlah pajak penghasilan Rp2.945.000,00 Rp2.500.000,00 Rp445.000,00

5 Tarif efektif pajak (jumlah-4/3) 29,45% 25,00% 4,45%

Dengan skala usaha besar (peredaran bruto lebih Rp50,00 milyar) perusahaan wajib pajak-badan dikenakan pajak berdasar tarif dasar sebesar tarif proporsional 25%. Sedang perusahaan perorangan (sebagai WP-Orang Pribadi) tetap dikenakan pajak berdasar tarif progresif 5% hingga 30%, sesuai dengan lapisan penghasilan kena pajaknya. Perhatikan bahwa semakin besar skala usaha perusahaan (diukur berdasar jumlah peredaran brutonya), semakin kecil potensi penghematan pajak yang bisa didapat oleh perusahaan yang diorganisasi sebagai wajib pajak-badan. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh karena memang pemerintah lebih mendorong masyarakat untuk menggunakan perusahaan berbentuk badan usaha, untuk meningkatkan efisiensi pajak.

3. Distribusi Penghasilan Kena Pajak Sebagai Strategi Penghematan PajakPada masa lalu tarif progresif tidak hanya diberlakukan kepada perusahaan perorangan (sebagai WP-Orang Pribadi), tetapi juga kepada perusahaan wajib-pajak badan. Tarif progresif kepada perusahaan wajib pajak-badan tersebut membuat badan usaha sebagai bentuk perusahaan dapat dimanfaatkan untuk mendistribusikan penghasilan kena pajak kepada lebih dari satu wajib pajak, sehingga diperoleh penghematan pajak. Untuk mengurangi kecenderungan semacam itu, Undang-undang Perpajakan memberlakukan ketentuan hubungan istimewa karena adanya hubungan kepemilikan; dengan menerapkan tarif (marjinal) rendah hanya berlaku untuk perusahaan investor (perusahaan induk) dan tarif marjinal tinggi kepada perusahaan investee (anak perusahaan). Namun implementasi ketentuan hubungan istimewa yang timbul sebagai akibat dari adanya hubungan kepemilikan sangat rumit dan memerlukan biaya administrasi yang relatif besar, sehingga kurang efektif. Boleh jadi, hal itu merupakan salah satu alasan mengapa tarif progresif tidak lagi diberlakukan kepada perusahaan wajib pajak-badan. Contoh-contoh berikut ini mengilustrasikan efektivitas distribusi penghasilan kena pajak kepada beberapa wajib pajak sebagai strategi untuk memperoleh penghematan pajak.

Contoh-7: Distribusi Penghasilan Kena Pajak Kepada Lebih Dari Satu Perusahaan (Wajib Pajak)Seorang pengusaha besar pada awal tahun 2011 bermaksud untuk menjalankan usaha dengan investasi awal Rp100,00 milyar, yang terdiri dari total utang dengan bunga 10% sebesar Rp25,00 milyar dan total ekuitas Rp75,00 milyar. Tiga alternatif bentuk perusahaan dipertimbangkan oleh pengusaha tersebut:

16

Page 17: SDPP 1 (Formula)

(i) Mengorganisasi kegiatan usahanya dalam bentuk 1 (satu) perusahaan perorangan berskala besar (total aset Rp100,00 milyar), dengan peredaran bruto dan penghasilan kena pajak (sebelum biaya bunga) yang diharapkan masing-masing sebesar Rp150,00 milyar dan Rp12,50 milyar per tahun;

(ii) Mengorganisasi kegiatan usahanya dalam bentuk 5 (lima) perusahaan perorangan berskala menengah (total aset masing-masing Rp20,00 milyar), dengan peredaran bruto dan penghasilan kena pajak (sebelum biaya bunga) yang diharapkan masing-masing Rp30,00 milyar dan Rp2,50 milyar per tahun;

(iii) Mengorganisasi kegiatan usahanya dalam bentuk 50 (lima puluh) perusahaan perorangan berskala kecil (total aset masing-masing Rp2,00 milyar), dengan peredaran bruto dan penghasilan kena pajak (sebelum biaya bunga) masing-masing sebesar Rp3,00 milyar dan Rp250,00 juta per tahun.

Tidak sebagaimana diharapkan, pada kasus kegiatan usaha yang diorganisasi dalam bentuk perusahaan perorangan, distribusi penghasilan kena pajak kepada lebih dari satu perusahaan sebagai upaya untuk memperoleh penghematan pajak menjadi tidak efektif betapapun progresifnya tarif pajak. Hal ini disebabkan oleh karena pajak penghasilan yang terutang oleh pemilik perusahaan sebagai wajib pajak-orang pribadi didasarkan pada penjumlahan dari laba usaha yang dihasilkan oleh setiap perusahaan sebagai komponen penghasilan kena pajaknya, berapapun jumlah perusahaannya. Sebagaimana tampak pada tabel berikut ini, pada kasus di atas pajak penghasilan yang terutang oleh pemilik sebagai wajib pajak-orang pribadi akan berjumlah sama besar pada ketiga alternatif jumlah perusahaan yang dimiliki (rupiah dalam ribuan):

No Deskripsi1 perusahaan Skala Besar

5 perusahaanSkala Menengah

50 perusahaanSkala Kecil

1 Penghasilan kena pajak (sblm biaya bunga) Rp12.500.000,00 Rp12.500.000,00 Rp12.500.000,002 Biaya bunga (2.500.000,00) (2.500.000,00) (2.500.000,00)3 Penghasilan kena pajak Rp10.000.000,00 Rp10.000.000,00 Rp10.000.000,004 Pajak penghasilan:

Tarif- 5% Rp2.500,00 Rp2.500,00 Rp2.500,00Tarif -15% 30.000,00 30.000,00 30.000,00Tarif- 25% 62.500,00 62.500,00 62.500,00Tarif- 30% 2.850.000,00 2.850.000,00 2.850.000,00Jumlah pajak penghasilan Rp2.945.000,00 Rp2.945.000,00 Rp2.945.000,00

5 Tarif efektif 29,45% 29,45% 29,45%

Sesuai dengan ketentuan yang berlaku, tarif dasar pajak penghasilan untuk perusahaan wajib pajak-badan, pada prinsipnya bersifat proporsional. Namun adanya fasilitas pajak yang diberikan kepada perusahaan berskala kecil dan menengah (dinyatakan dalam bentuk jumlah peredaran bruto), maka dalam batas-batas tertentu tarif pajak penghasilan untuk wajib pajak-badan memiliki sifat progresivitas. Karena pajak penghasilan dari setiap perusahaan wajib pajak-badan ditentukan secara independen, maka distribusi penghasilan kena pajak kepada lebih dari satu perusahaan berskala kecil dan menengah cukup efektif sebagai upaya untuk memperoleh penghematan pajak. Namun untuk mengorganisasi kegiatan usaha ke dalam suatu badan usaha (perusahaan) sebagai wajib pajak-badan, seorang pengusaha dituntut untuk bersedia berbagi dengan pihak lain (sebagai suatu badan usaha harus dimiliki oleh lebih dari satu orang, kecuali untuk badan usaha milik daerah-BUMD dan badan usaha milik negara-BUMN).

Jika pengusaha tersebut pada contoh-6 bersedia untuk berbagi dengan pengusaha lainnya, dan kemudian mengorganisasi kegiatan usaha atau bisnisnya ke dalam perusahaan-perusahaan berbentuk badan usaha (wajib pajak-badan); maka penghematan pajak yang dapat diharapkan melalui distribusi penghasilan kena pajak akan tampak sebagai berikut (rupiah dalam ribuan):

No Deskripsi1 perusahaan Skala Besar

5 perusahaanSkala Menengah

50 perusahaanSkala Kecil

1 Penghasilan kena pajak (sblm biaya bunga): - Setiap perusahaan Rp12.500.000,00 Rp2.500.000,00 Rp250.000,00

- Seluruh perusahaan Rp12.500.000,00 Rp12.500.000,00 Rp12.500.000,002 Biaya bunga:

- Setiap perusahaan (2.500.000,00) (500.000,00) (50.000,00)- Seluruh perusahaan (2.500.000,00) (2.500.000,00) (2.500.000,00)

3 Penghasilan kena pajak: - - -- Setiap perusahaan Rp10.000.000,00 Rp2.000.000,00 Rp200.000,00- Seluruh perusahaan Rp10.000.000,00 Rp10.000.000,00 Rp10.000.000,00

4 Pajak penghasilan setiap perusahaan:

17

Page 18: SDPP 1 (Formula)

Tarif- 12,5% - Rp40.000,00 Rp25.000,00Tarif -25,0% Rp2.500.000,00 420.000,00 -Jumlah pajak penghasilan setiap perusahaan Rp2.500.000,00 Rp460.000,00 Rp25.000,00Jumlah pajak penghasilan seluruh perusahaan Rp2.500.000,00 Rp2.300.000,00 Rp1.250.000,00

5 Tarif efektif 25,0% 23,0% 12,5%

Perhatikan bahwa dengan berbagi dengan pengusaha yang lain dan mengorganisasi kegiatan usaha atau bisnis perusahaan ke dalam perusahaan-perusahaan sebagai wajib pajak-badan, masing-masing sebanyak 5 perusahaan berskala menengah dan 50 perusahaan berskala kecil (skala usaha perusahaan diukur berdasar jumlah peredaran brutonya); kedua orang pengusaha bisa memperoleh penghematan pajak sebesar 2% hingga 12,5% dari total penghasilan kena pajaknya. Mengorganisasi kegiatan usaha ke dalam beberapa perusahaan wajib pajak-badan berskala kecil lebih hemat pajak dibanding satu perusahaan wajib pajak-badan berskala menengah, dan mengorganisasi kegiatan usaha ke dalam beberapa perusahaan wajib pajak-badan berskala menengah lebih hemat pajak daripada satu perusahaan wajib pajak-badan berskala besar.

4. Penghitungan PKP Bagi Wajib Pajak Tidak Menyelenggarakan Pembukuan Penentuan jumlah penghasilan kena pajak bagi wajib pajak-dalam negeri yang tidak menyelenggarakan pembukuan (hanya oleh wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto kurang dari Rp4,80 milyar per tahun) dilakukan dengan cara sebagai berikut:

Formula perhitungan PKP, bagi WP-Orang Pribadi dalam negeri yang menggunakan NPPNNo Deskripsi WP-OP1 Peredaran bruto Rp000,002 Penghasilan neto (menurut Norma Penghitungan = % dari penghasilan bruto) 000,003 (+) Penghasilan neto lainnya 000,004 (=) Jumlah seluruh penghasilan neto Rp000,005 (-) Penghasilan tidak kena pajak (000,00) 6 (=) Penghasilan kena pajak Rp000,00

AKTIVITAS OPERASI, INVESTASI DAN PENDANAANUntuk mencapai tujuannya, setiap perusahaan harus melakukan aktivitas operasi (pengadaan barang/jasa kepada masyarakat atau konsumen), aktivitas investasi, dan aktivitas pendanaan. Kebijakan atau desain aktivitas operasi, investasi, dan pendanaan bisa berdampak pada perbedaan jumlah penghasilan kena pajak dan oleh karena itu juga pajak penghasilan yang terutang.

Gambar-1: Saling Hubungan Antara Aktivitas operasi, investasi, dan pendanaan.

Tujuan perencanaan pajak adalah menghemat beban pajak atau memaksimisasi penghasilan sesudah pajak pada setiap tahun pajak. Oleh karena itu, perencanaan pajak harus difokuskan pada upaya untuk mengidentifikasi setiap kemungkinan adanya dua atau lebih alternatif jumlah penghasilan kena pajak yang dapat dihasilkan dari suatu aktivitas dan/atau transaksi. Secara diagramatik, saling hubungan di antara ketiga aktivitas pokok dari setiap perusahaan dapat dilukiskan pada gambar-1.

18

Saling Hubungan Antar Aktivitas Perusahaan

AKTIVITAS INVESTASI(Mendapatkan sumber-

sumber/aset yang diperlukan oleh perusahaan)

AKTIVITAS PENDANAAN(Mendapatkan modal yang

diperlukan oleh perusahaan)

AKTIVITAS OPERASI(Memanfaatkan sumber-sumber /aset untuk memperoleh laba/ penghasilan

bagi perusahaan)

Page 19: SDPP 1 (Formula)

Efek Aktivitas Operasi Manajemen harus membuat kebijakan-kebijakan terkait dengan aktivitas operasinya untuk meminimisasi atau menghemat pajak, dengan mempertimbangkan berbagai faktor seperti: kompetisi, teknologi, dan faktor-faktor lingkungan lain (termasuk pajak) yang mempengaruhi aktivitas bisnis atau usaha perusahaan di dalam usahanya untuk memperoleh penghasilan atau laba.

Contoh-8: Efek Dari Aktivitas Operasi Suatu perusahaan dagang wajib pajak-badan dalam negeri yang membeli dan menjual kembali barang dagangannya secara tunai, mempunyai anggaran volume penjualan dalam tahun pertama operasinya (tahun 2010) sebanyak rata-rata 1.000 unit per bulan dengan harga @ Rp750.000,00. Untuk merealisasikan anggaran penjualan tersebut, dua alternatif kebijakan pembelian & persediaan dipertimbangkan oleh manajemen sebagai berikut:

(i) Perusahaan melakukan pembelian barang dagangan 2 kali sebanyak seluruhnya 15.000 unit dalam satu tahun, masing-masing pada awal bulan Januari sebanyak 7.500 unit dengan harga @ Rp475.000,00 per unit dan pada awal bulan Juli sebanyak 7.500 unit dengan harga @ Rp525.000,00 per unit.

(ii) Perusahaan melakukan pembelian barang dagangan 2 kali sebanyak seluruhnya 13.500 unit dalam satu tahun, masing-masing pada awal bulan Januari sebanyak 6.750 unit dengan harga @ Rp475.000,00 per unit, dan pada awal bulan Juli juga sebanyak 6.750 unit dengan harga @ Rp525.000,00 per unit.

Masing-masing kebijakan terkait dengan aktivitas operasi (pembelian/pengadaan barang dagangan & persediaan pada akhir periode) tersebut akan membuat laba bruto sebagai komponen penghasilan kena pajak dalam tahun pajak 2010 yang berbeda. Bahkan kebijakan akuntansi terkait dengan metode penentuan kos barang dijual dan penilaian terhadap persediaan pada akhir periode juga akan berakibat pada perbedaan laba bruto sebagai komponen penghasilan kena pajak sebagaimana tampak pada tabel berikut (Catatan: metode kos masuk terakhir keluar pertama atau Kos-MTKP disertakan meskipun tidak akseptabel menurut ketentuan perpajakan, semata-mata untuk mengingatkan kepada pembaca, khususnya apabila perusahaan bermaksud untuk menerapkan metode akuntansi tersebut untuk tujuan pelaporan keuangan komersialnya; sehingga membawa konsekuensi adanya beda waktu atau timing/temporary differences):

(a) Total pembelian barang dagangan sebanyak 15.000 unit setahun (rupiah dalam ribuan)

No DeskripsiMetode Penilaian Persediaan

Kos-MPKP Kos-Rerata Kos-MTKP1 Peredaran bruto (12.000 unit) Rp9.000.000,00 Rp9.000.000,00 Rp9.000.000,002 Tersedia dijual (15.000 unit) 7.500.000,00 7.500.000,00 7.500.000,003 Persediaan akhir (3.000 unit)* (1.575.000,00) (1.500.000,0) (1.425.000,00)4 Kos barang dijual (12.000 unit) 5.925.000,00 6.000.000,00 6.075.000,005 Laba bruto Rp3.075.000,00 Rp3.000.000,00 Rp2.925.000,00

* Kos-MPKP Rp525.000,00 per unit; Kos-Rerata Rp500.000,00 per unit; Kos-MTKP Rp475.000,00 per unit

Perhatikan bahwa sebagai akibat dari perbedaan kebijakan akuntansi terkait dengan penentuan kos barang dijual dan penilaian persediaan, dari serangkaian transaksi yang terjadi terdapat lebih dari satu alternatif laba bruto sebagai penghasilan obyek pajak atau komponen penghasilan kena pajak. Pada dasarnya, untuk tujuan pelaporan keuangan fiskal manajemen harus menetapkan hanya satu kebijakan atau metode akuntansi terkait dengan penentuan kos barang dijual dan nilai persediaannya. (Catatan: pada contoh ini dikemukakan secara lengkap 3 alternatif metode untuk menekankan bahwa masing-masing metode membawa konsekuensi yang berbeda, baik pada nilai persediaan pada akhir periode, kos barang yang dijual dan laba bruto dalam periode berjalan, meskipun metode kos masuk terakhir keluar pertama-MTKP tidak diperkenankan atau tidak akseptabel menurut Undang-undang atau ketentuan perpajakan). Untuk mengetahui efek perbedaan kebijakan manajemen terkait dengan aktivitas operasi (pembelian atau pengadaan, penjualan kembali dan persediaan barang dagangan pada akhir periode); terlebih dahulu harus ditentukan besarnya laba bruto sebagai penghasilan obyek pajak atau komponen penghasilan kena pajak menurut masing-masing alternatif kebijakan akuntansi (penentuan kos barang dijual & penilaian persediaan), apabila aktivitas pembeliannya dilakukan 2 kali setahun sebanyak seluruhnya 13.500 unit dengan cara yang sama sbb:

19

Page 20: SDPP 1 (Formula)

(b) Total pembelian barang dagangan sebanyak 13.500 unit setahun (rupiah dalam ribuan)

No DeskripsiMetode Penilaian Persediaan

Kos-MPKP Kos-Rerata Kos-MTKP1 Peredaran bruto (12.000 unit) Rp9.000.000,00 Rp9.000.000,00 Rp9.000.000,002 Tersedia dijual (13.500 unit) 6.750.000,00 6.750.000,00 6.750.000,003 Persediaan akhir (1.500 unit)* (787.500,00) (750.000,0) (712.500,00)4 Kos barang dijual (12.000 unit) 5.962.500,00 6.000.000,00 6.037.500,005 Laba bruto Rp3.037.500,00 Rp3.000.000,00 Rp2.962.500,00

* Kos-MPKP Rp525.000,00 per unit; Kos-Rerata Rp500.000,00 per unit; Kos-MTKP Rp475.000,00 per unit

Seperti halnya kebijakan total pembelian barang dagangan sebanyak 15.000 unit setahun, kebijakan pembelian barang dagangan sebanyak 13.500 unit setahun juga menghasilkan lebih dari satu alternatif laba bruto sebagai komponen penghasilan kena pajak. Hal ini disebabkan oleh karena semata-mata adanya perbedaan kebijakan akuntansi terkait dengan metode penentuan kos barang dijual dan penilaian persediaan. Namun perhatikan bahwa, masing-masing alternatif laba bruto sebagai komponen penghasilan kena pajak berbeda di antara kedua alternatif kebijakan terkait dengan aktivitas operasinya. Jika pada total pembelian sebanyak 15.000 unit setahun diperoleh laba bruto sebagai komponen penghasilan kena pajak berkisar antara Rp2.925,00 juta hingga Rp3.075,00 juta; maka kebijakan total pembelian sebanyak 13.500 unit setahun akan menghasilkan laba bruto berkisar antara Rp2.962,50 juta hingga Rp3.037,50 juta. Hal ini disebabkan oleh karena perbedaan kuantitas persediaan pada akhir tahun pajak (3.000 unit pada total pembelian sebanyak 15.000 unit setahun dan hanya 1.500 unit pada total pembelian sebanyak 13.500 unit setahun). Dengan mengesampingkan efek kebijakan akuntansi tersebut, efek perbedaan kebijakan terkait dengan aktivitas operasi (pembelian dan persediaan) terhadap penghasilan kena pajak dapat diikhtisarkan sebagai berikut (rupiah dalam ribuan):

Efek Aktivitas Operasi Terhadap Penghasilan Kena Pajak (rupiah dalam ribuan)

No Kebijakan AkuntansiAktivitas Operasi

Pemb 15.000 unit Pemb 13.500 unit Selisih1 Metode Kos-MPKP Rp3.075.000,00 Rp3.037.500,00 (Rp37.500,00)2 Metode Kos-Rerata 3.000.000,00 3.000.000,00 -3 Metode Kos-MTKP 2.925.000,00 2.962.500,00 Rp37.500,00

Perhatikan bahwa aktivitas operasi (pengadaan barang/jasa) mempunyai efek terhadap kemampuan perusahaan untuk memperoleh penghasilan kena pajak. Dengan kapasitas penjualan atau peredaran bruto yang sama (12.000 unit setahun), masing-masing kebijakan pembelian dan persediaan membuat perusahaan dihadapkan pada tiga alternatif jumlah penghasilan kena pajak sebagai berikut: (i) semakin berimbang antara pembelian dengan kapasitas penjualannya semakin kecil variasi penghasilan kena pajaknya, dengan jumlah minimum yang relatif tinggi (Rp2.962,50 juta pada metode Kos-MTKP) dan jumlah maksimum yang relatif rendah (Rp3.037,50 juta pada metode Kos-MPKP), dan (ii) semakin tidak seimbang antara pembelian dengan kapasitas penjualannya semakin besar variasi penghasilan kena pajaknya, dengan jumlah minimum relatif rendah (Rp2.925,00 juta metode Kos-MTKP) dan jumlah maksimum yang relatif tinggi (Rp3.075,00 juta pada metode Kos-MPKP).

Tidak setiap kebijakan akuntansi dapat mempengaruhi kemampuan perusahaan untuk memperoleh penghasilan kena pajak. Pada metode Kos-MPKP misalnya, manajemen dihadapkan pada dua alternatif jumlah penghasilan kena pajak (Rp3.075,00 juta versus Rp3.037,50 juta), tergantung pada pilihan terkait dengan aktivitas pembeliannya. Perbedaan tersebut semata-mata disebabkan oleh karena adanya perbedaan kuantitas persediaan pada akhir tahun pajak. Pertanyaan fundamentalnya adalah, “untuk apa perusahaan memiliki persediaan sebanyak 3.000 unit, jika kemampuan jualnya hanya sebanyak 1.000 unit per bulan?” Penghasilan kena pajak atau laba yang lebih besar dan semata-mata disebabkan oleh karena besarnya persediaan akhir tahun dapat dikatakan hanya di atas kertas, tanpa didukung oleh kemampuan perusahaan untuk membayar pajak. Sebaliknya pada metode Kos-MTKP, manajemen dihadapkan pada dua alternatif jumlah penghasilan kena pajak (Rp2.962,50 juta versus Rp2.925,00 juta), tergantung pada pilihan terkait dengan aktivitas pembeliannya. Dengan pembelian (13.500 unit) yang lebih seimbang dengan kapasitas penjualannya (12.000 unit), perusahaan bisa memperoleh penghasilan kena pajak yang lebih besar. Kebijakan pembelian demikian itu tidak diragukan lebih mencerminkan kemampuan perusahaan untuk membayar pajak. Sedang metode Kos-Rerata bersifat netral, apabila dikaitkan dengan kebijakan terkait dengan aktivitas pengadaan barang atau jasa; sehingga lebih menegaskan lagi esensi dari pertanyaan fundamental tersebut di atas.

20

Page 21: SDPP 1 (Formula)

Analisis arus kas (sesudah pajak-dengan asumsi seluruh transaksi penjualan dan pembelian barang dagangan dilakukan secara tunai) dapat mengklarifikasi efek kebijakan pembelian dan persediaan terhadap profitabilitas perusahaan untuk menghasilkan laba, sebagaimana tampak berikut ini (rupiah dalam ribuan):

Efek Aktivitas Operasi Terhadap Profitabilitas dan Arus Kas dari Operasi

No DeskripsiMetode Akuntansi

Kos-MPKP Kos-Rerata Kos-MTKPA Pembelian 15.000 unit setahun1 Penghasilan kena pajak Rp3.075.000,00 Rp3.000.000,00 Rp2.925.000,002 Pajak penghasilan (25%) (768.750,00) (750.000,00) (731.250,00)3 Penghasilan sesudah pajak 2.306.250,00 2.250.000,00 2.193.750,004 Laba tunai (Arus kas dari operasi)* 731.250,00 750.000,00 768.750,00

B Pembelian 13.500 unit setahun1 Penghasilan kena pajak Rp3.037.500,00 Rp3.000.000,00 Rp2.962.500,002 Pajak penghasilan (25%) (759.375,00) (750.000,00) (740.625,00)3 Penghasilan sesudah pajak 2.278.125,00 2.250.000,00 2.221.875,004 Laba tunai (Arus kas dari operasi)* 1.490.625,00 1.500.000,00 1.509.375,00

* (Penerimaan kas dari penjualan) – (Pengeluaran kas untuk pembelian + Pajak penghasilan).

Perhatikan bahwa kebijakan pembelian yang lebih seimbang dengan kapasitas penjualan perusahaan membuat perbedaan antara laba akuntansi dengan arus kas dari operasi (laba tunai) sesudah pajak semakin kecil. Di samping itu, perbedaan arus kas dari operasi (laba tunai) sesudah pajak antar metode akuntansi juga relatif kecil dibanding perbedaan laba akuntansinya. Hal ini sekali lagi menegaskan bahwa: (i) kebijakan terkait dengan aktivitas operasi berdampak pada profitabilitas perusahaan, dan (ii) kebijakan persediaan yang mendekati kapasitas penjualan lebih disarankan.

Efek Terhadap Profitabilitas Setiap perusahaan dihadapkan pada dua pasar, yaitu: (i) pasar barang/jasa (pasar input & output), dan (ii) pasar modal. Untuk bisa mempertahankan kontinyuitas dan mengembangkan usahanya, setiap perusahaan dituntut untuk bisa akses atau berkompetisi pada kedua pasar tersebut. Kemampuan perusahaan untuk akses atau berkompetisi di pasar modal pada khususnya, juga mutlak diperlukan agar manajemen bisa membuat keputusan-keputusan investasi dan pendanaan yang optimal. Ketidakmampuan perusahaan untuk akses ke pasar modal menyebabkan manajemen tidak bisa membuat keputusan investasi dan pendanaan yang optimal.

Efek Aktivitas Investasi Secara garis besar aktivitas investasi adalah upaya penetapan jumlah dan struktur aset perusahaan. Ketidakmampuan perusahaan untuk akses ke pasar modal akan membuat keputusan atau aktivitas investasi yang dilakukan oleh manajemen menjadi tidak optimal, sehingga sedikit-banyak akan berdampak pada kemampuan perusahaan untuk memperoleh penghasilan kena pajak.

Contoh-9: Efek Aktivitas InvestasiDengan asumsi investasi di sektor riil (pasar barang & jasa) bersifat instan -berjangka waktu satu tahunan- dan harus merupakan kelipatan Rp100,00 juta, suatu perusahaan wajib pajak badan-dalam negeri dihadapkan pada berbagai alternatif investasi untuk ekspansi atau perluasan usaha pada awal tahun 2010 sebagaimana tersebut pada tabel dibawah ini.

Kemampuan perusahaan untuk bisa akses ke pasar modal menentukan seberapa besar investasi yang akan dilakukan pada awal tahun 2010. Jika perusahaan tidak bisa akses ke pasar modal, sehingga tidak bisa mendapatkan sumber dana dari kreditur (dan harus mengandalkan sumber dana hanya dari pemilik), maka besar-kecilnya investasi yang dapat dilakukan oleh perusahaan akan tergantung pada seberapa besar kesanggupan pemilik untuk menyediakan dana dengan jumlah maksimum sebesar Rp800,00 juta (karena investasi sebesar Rp200, 00 juta terakhir sudah tidak lagi menghasilkan keuntungan).

NoBesaranInvestasi

Tingkat ROI- sebelum pajak

Arus KasAwal tahun (t0) Akhir tahun (t1)

1 Rp100,00 juta ke-1 250 % Rp(100.000.000,00) Rp350.000.000,002 Rp100,00 juta ke-2 200 % (100.000.000,00) 300.000.000,003 Rp100,00 juta ke-3 150 % (100.000.000,00) 250.000.000,00

21

Page 22: SDPP 1 (Formula)

4 Rp100,00 juta ke-4 100 % (100.000.000,00) 200.000.000,005 Rp100,00 juta ke-5 50 % (100.000.000,00) 150.000.000,006 Rp100,00 juta ke-6 25 % (100.000.000,00) 125.000.000,007 Rp100,00 juta ke-7 15 % (100.000.000,00) 115.000.000,008 Rp100,00 juta ke-8 5 % (100.000.000,00) 105.000.000,009 Rp100,00 juta ke-9 0 % (100.000.000,00) 100.000.000,00

10 Rp100,00 juta ke-10 - 5 % (100.000.000,00) 95.000.000,00

Berikut adalah ikhtisar penghasilan kena pajak, beban pajak penghasilan, dan penghasilan sesudah pajak yang dapat diperoleh oleh perusahaan dari aktivitas investasinya pada berbagai alternatif jumlah dana yang dapat disediakan oleh pemilik perusahaan (rupiah dalam ribuan):

(i) Keputusan investasi, jika perusahaan tidak bisa akses ke pasar modal

No DeskripsiJumlah Dana Disediakan oleh Pemilik

Rp400,00 juta Rp600,00 juta Rp800,00 juta1 Penerimaan kas (dari investasi) Rp1.100.000,00 Rp1.375.000,00 Rp1.595.000,002 Krg: Pengeluaran kas (Investasi-ekspansi) (400.000,00) (600.000,00) (800.000,00)3 Selisih (= Penghasilan kena pajak) Rp700.000,00 Rp775.000,00 Rp795.000,004 Pajak penghasilan (25%) (175.000,00) (193.750,00) (198.750,00) 5 Penghasilan sesudah pajak Rp525.000,00 Rp581.250,00 Rp596.250,006 ROI-sesudah pajak 131,25% 96,88% 74,53%

Perhatikan bahwa semakin besar jumlah investasi, semakin rendah tingkat pengembaliannya. Akan tetapi, haruskah perusahaan berinvestasi hanya sebesar Rp400,00 juta atau bahkan sebesar Rp100,00 juta saja sehingga tingkat pengembaliannya justru jauh lebih tinggi lagi (187,50%)? Keputusan investasi yang optimal harus mempertimbangkan biaya modal. Investasi harus dilakukan sejauh pengembalian investasi dapat menutup biaya modal. Setiap perusahaan harus berhenti invest sampai dengan tingkat pengembalian investasi (marjinal) tersebut sama dengan biaya modalnya. Dengan mempertimbangkan biaya modal, bisa jadi investasi sebesar Rp800,00 juta masih dapat dibenarkan karena biaya modalnya besar kemungkinan masih jauh dibawah 74,53%. Akan tetapi benarkah demikian, apa yang terjadi apabila pemilik perusahaan juga tidak mempunyai dana yang diperlukan oleh perusahaan? Haruskah perusahaan tidak melakukan ekspansi atau memperluas usahanya? Untuk itulah akses ke pasar modal mutlak diperlukan agar manajemen bisa membuat keputusan investasi yang optimal.

Sekarang apa yang dapat dilakukan oleh manajemen apabila perusahaan bisa akses ke pasar modal berdasar suku bunga 20% (sebelum pajak) atau 15% [1 – 0,25)(20%)] sesudah pajak. Jika perusahaan bisa akses ke pasar modal, maka terlepas dari seberapa besar jumlah dana yang dapat disediakan oleh pemilik; jumlah investasi yang harus dilakukan oleh manajemen adalah Rp600,00 juta (kelipatan investasi yang menghasilkan keuntungan sebesar satu tingkat di atas suku bunga yang berlaku di pasar modal). Dengan lain perkataan, dihadapkan pada alternatif investasi dan kemampuan untuk akses ke pasar modal berdasar suku bunga 20% tersebut, investasi sebesar Rp600,00 juta merupakan investasi yang optimal. Jumlah investasi yang optimal sebesar Rp600,00 juta tersebut dapat dievaluasi sebagai berikut (rupiah dalam ribuan).

(ii) Keputusan investasi, perusahaan bisa akses ke pasar modal berdasar suku bunga 20%

No DeskripsiJumlah Dana Disediakan oleh Pemilik

Rp400,00 juta Rp600,00 juta Rp800,00 juta1 Penerimaan kas: Investasi- Sektor Riil (t1) Rp1.375.000,00 Rp1.375.000,00 Rp1.375.000,00

Investasi-Pasar modal (t1) (240.000,00) --------------------- 240.000,00Jumlah penerimaan kas (t1) Rp1.135.000,00 Rp1.375.000,00 Rp1.615.000,00

2 Pengeluaran kas: Investasi-Sektor Riil (t0) Rp(600.000,00) Rp(600.000,00) Rp(600.000,00) Investasi -Pasar modal (t0) 200.000,00 -------------------- (200.000,00)Jumlah pengeluaran kas (t0) Rp(400.000,00) Rp(600.000,00) Rp(800.000,00)

3 Selisih (= Penghasilan kena pajak) Rp735.000,00 Rp775.000,00 Rp815.000,004 Pajak penghasilan (25%) (183.750,00) (193.750,00) 203.750,005 Penghasilan sesudah pajak Rp551.250,00 Rp581.250,00 Rp611.250,006 ROI -sesudah pajak 137,81% 96,88% 76,41%

Perhatikan bahwa dengan akses ke pasar modal, perusahaan bisa berinvestasi di sektor riil (melakukan ekspansi usaha) senantiasa dalam jumlah Rp600,00 juta terlepas dari berapapun jumlah dana yang dapat disediakan oleh pemilik perusahaan. Jumlah investasi sebesar Rp600,00 juta tersebut dapat dikatakan sebagai investasi yang optimal. Perhatikan juga bahwa berapapun dana yang dapat disediakan oleh pemilik

22

Page 23: SDPP 1 (Formula)

dapat dikelola oleh manajemen untuk menghasilkan laba yang lebih besar atau profitabilitas yang lebih tinggi, dibandingkan dengan apabila perusahaan tidak bisa akses ke pasar modal. Semakin besar jumlah dana yang dapat disediakan oleh pemilik perusahaan (untuk jumlah di atas investasi yang optimal) bukannya semakin tinggi tingkat pengembalian atau profitabilitasnya, tetapi justru sebaliknya semakin rendah (menurun) tingkat pengembalian yang didapat dari investasinya.

Efek Dari Aktivitas Pendanaan Secara garis besar, aktivitas pendanaan dapat didefinisikan sebagai upaya penetapan jumlah dan struktur modal perusahaan. Agar manajemen dapat membuat keputusan menyangkut jumlah dan struktur modal yang optimal, setiap perusahaan dituntut untuk bisa akses atau berkompetisi di pasar modal. Struktur modal yang optimal (kalau benar ada), dicapai pada tingkat biaya modal yang paling rendah (minimum). Oleh karena itu, aktivitas pendanaan harus bertujuan pada minimisasi biaya modal. Semakin rendah biaya modal, semakin banyak peluang investasi yang dapat dimanfaatkan oleh perusahaan. Dengan demikian, biaya modal yang relatif rendah dibanding biaya modal perusahaan pesaing merupakan keunggulan strategik yang dimiliki oleh suatu perusahaan. Itulah sebabnya mengapa struktur modal yang optimal juga membantu meningkatkan kemampuan perusahaan untuk memperoleh penghasilan kena pajak atau profitabilitas perusahaan. Contoh berikut ini dapat memberikan gambaran tentang efek dari aktivitas pendanaan/pembiayaan terhadap penghasilan kena pajak atau profitabilitas perusahaan.

Contoh-10: Efek Aktivitas PendanaanTerhadap ProfitabilitasDua perusahaan wajib pajak-badan dalam negeri yang bergerak dalam industri yang sama, pada awal tahun 2010 mengoperasikan total dan struktur aset yang sama tetapi berbeda dalam struktur modalnya sebagaimana tampak berikut ini (rupiah dalam ribuan):

No Deskripsi Perusahaan-A Perusahaan-BAset

1 Total asset Rp500.000,00 Rp500.000,00Utang dan Ekuitas

2 Total utang (dengan suku bunga tetap 12%) - Rp250.000,003 Total ekuitas 500.000,00 250.000,004 Total utang dan ekuitas Rp500.000,00 Rp500.000,00

Perusahaan A merupakan tipikal perusahaan yang tidak bisa akses ke pasar modal, yang ditengarai oleh

struktur modal yang semata-mata mengandalkan pada sumber dana yang berasal dari pemilik atau pemegang saham (ekuitas). Sedang perusahaan-B merupakan tipikal perusahaan yang bisa akses ke pasar modal, dengan struktur modal yang berupa kombinasi antara utang dan ekuitas.

No DeskripsiROA = 15% ROA = 12% ROA = 9%

A B A B A B1 Laba sblm bunga dan pajak Rp75,00 Rp75,00 Rp60,00 Rp60,00 Rp45,00 Rp45,002 Beban bunga - (30,00) - (30,00) - (30,00)3 Penghasilan kena pajak Rp75,00 Rp45,00 Rp60,00 Rp30,00 Rp45,00 Rp15,004 Pajak penghasilan (25%) (18,75) (11,25) (15,00) (7,50) (11,25) (3,75)5 Penghasilan sesudah pajak Rp56,25 Rp33,75 Rp45,00 Rp22,50 Rp33,75 Rp11,256 Return on equity (ROE)* 11,25% 13,50% 9,00% 9,00% 7,00% 4,50%

* (Penghasilan sesudah pajak)/(Total ekuitas)

Faktor lingkungan terpenting yang akan menentukan profitabilitas kedua perusahaan adalah kondisi perekonomian atau industri pada umumnya, yang biasanya diukur atau dinyatakan dalam bentuk tingkat laba relatif atau rentabiltas dari total aset (ROA = jumlah laba sebelum bunga & pajak atau EBIT dibagi total aset) -kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba relatif dalam perbandingannya dengan total asetnya. Tabel di atas menunjukkan ikhtisar efek profitabilitas dari kedua perusahaan pada berbagai alternatif kondisi perekonomian atau industri pada umumnya sebagaimana tercermin pada rentabilitas dari total asetnya tersebut (rupiah dalam jutaan). Perhatikan bahwa dalam kondisi perekonomian apapun (ditunjukkan oleh retabilitas ekonomis- atau return on total assets-ROA), jumlah penghasilan kena pajak perusahaan-A senantiasa lebih besar dibanding jumlah penghasilan kena pajak perusahaan-B. Hal ini disebabkan oleh karena perusahaan-A kehilangan peluang untuk mengurangkan atau tidak berhak untuk mengklaim adanya biaya bunga sebagai pengurang

23

Page 24: SDPP 1 (Formula)

dari penghasilan netonya (karena tidak mempunyai utang di dalam struktur modalnya). Sebagai konsekuensinya, perusahaan-A harus membayar pajak penghasilan yang juga senantiasa lebih besar dibanding perusahaan-B. Selisih beban pajak penghasilan tersebut berjumlah sama dengan tarif pajak dikali beban bunga (= Tp X Biaya bunga). Sebaliknya, perusahaan-B yang mempunyai utang di dalam struktur modalnya bisa memperoleh penghematan pajak sebesar tarif pajak dikali beban bunga atas utang terkait. Perhatikan bahwa dalam kondsi perekonomian apapun (tercermin pada ROA), beban pajak penghasilan perusahaan-B berjumlah Rp7,50 juta ( 0,25 X Rp30,00 juta) lebih rendah dibanding perusahaan-A.

Efek selanjutnya tergantung pada kondisi perekonomian atau industri pada umumnya. Pada tingkat ROA sebesar 15% (lebih tinggi dari suku bunga utang), penghematan pajak yang didapat oleh perusahaan-B karena mempunyai utang di dalam struktur modalnya berdampak positif bagi para pemilik perusahaan. Hal ini tampak pada rentabilitas modal sendiri (return on equity-ROE) perusahaan-B (13,50%) yang lebih tinggi dibanding perusahaan-A (11,25%). Pada hal kemampuan untuk memperoeh pendapatan (revenue generating ability) kedua perusahaan berjumlah sama besarnya.

Pada tingkat rentabilitas ekonomis (ROA) sebesar 12% (sama dengan suku bunga utang), penghematan pajak yang didapat oleh perusahaan-B karena mempunyai utang di dalam struktur modalnya berdampak netral bagi para pemilik perusahaan. Hal ini tampak pada rentabilitas modal sendiri (ROE) perusahaan-B (9,00%) yang sama dengan perusahaan-A (9,00%).

Pada tingkat rentabilitas ekonomis (ROA) sebesar 9% (lebih rendah dari suku bunga utang), penghematan pajak yang didapat oleh perusahaan-B karena mempunyai utang di dalam struktur modalnya berdampak negatif bagi para pemilik perusahaan. Hal ini tampak pada rentabilitas modal sendiri (ROE) perusahaan-B (4,50%) yang lebih rendah dibanding perusahaan-A (7,00%). Dalam kondisi terakhir penghematan pajak dari biaya bunga menjadi sia-sia atau tidak bermanfaat.

Sebagai perusahaan yang tidak mempunyai utang di dalam struktur modalnya, ROE perusahaan-A selalu berjumlah sama dengan (1 –Tp)(ROA). Berbeda halnya dengan perusahaan-B yang mempunyai utang di dalam struktur modalnya. ROE perusahaan-B bisa jadi lebih besar, sama dengan, atau kurang dari (1 –Tp)(ROA). Dengan lain perkataan, efek penghematan pajak dari beban bunga atas utang terhadap para pemilik/pemegang saham perusahaan bisa jadi positif, netral, atau negatif. Ketidakmampuan perusahaan untuk akses ke pasar modal juga membuat kemampuannya untuk memberikan imbalan kepada para pemodal (capital providers) yang relatif lebih kecil dibanding kemampuan perusahaan yang bisa akses ke pasar modal. Perusahaan memberikan imbalan kepada para pemodal dalam bentuk utang (kreditur) berupa bunga, dan imbalan kepada para pemodal dalam bentuk ekuitas berupa penghasilan/laba bersih sesudah pajak. Tabel berikut ini menunjukkan kemampuan relatif dari kedua perusahaan di dalam memberikan imbalan kepada para pemodal tersebut (rupiah dalam ribuan):

No DeskripsiROA = 15% ROA = 12% ROA = 9%

A B A B A B1 Laba sblm bunga dan pajak Rp75,00 Rp75,00 Rp60,00 Rp60,00 Rp45,00 Rp45,002 Beban bunga - (30,00) - (30,00) - (30,00)3 Penghasilan kena pajak Rp75,00 Rp45,00 Rp60,00 Rp30,00 Rp45,00 Rp15,004 Pajak penghasilan (25%) (18,75) (11,25) (15,00) (7,50) (11,25) (3,75)5 Laba bersih (= pemilik) Rp56,25 Rp33,75 Rp45,00 Rp22,50 Rp33,75 Rp11,256 Bunga atas utang (= kreditur) - 30,00 - 30,00 - 30,007 Total imbalan kpd pemodal Rp56,25 Rp63,75 Rp45,00 Rp52,50 Rp33,75 Rp41,25

Perhatikan bahwa perusahaan-B sebagai tipikal perusahaan yang bisa akses ke pasar modal berkemampuan untuk memberikan imbalan kepada para pemodal yang lebih besar dibanding perusahaan-A. Selisih lebih kemampuan untuk memberikan imbalan kepada para pemodal tersebut berjumlah Rp7,50 juta, sama dengan penghematan pajak dari bunga atas utang yang didapat oleh perusahaan-B. Akan tetapi, hemat pajak yang didapat oleh perusahaan-B dalam kondisi ROA (9%) < dari suku bunga utang (12%) bisa dikatakan tidak bermanfaat. Perhatikan bahwa dalam kondisi ROA sebesar 9%, para pemilik perusahaan memperoleh imbalan sebesar Rp11,25 juta atau 4,5% dari penyertaan modalnya. Sedang imbalan yang diterima oleh para kreditur berjumlah Rp30,00 juta atau 12% dari modal yang ditempatkan di dalam perusahaan. Pertanyaan krusialnya adalah siapakah pihak yang sebenarnya memiliki perusahaan tersebut?

TARIF PAJAK RELEVANPenggolongan penghasilan ke dalam kategori penghasilan bukan obyek pajak (PBOP), penghasilan obyek pajak yang dikenakan pajak berdasar tarif umum pasal-17 atau seringkali disebut PKP, penghasilan obyek

24

Page 25: SDPP 1 (Formula)

pajak dikenakan pajak tertentu bersifat final (POPT), dan struktur tarif pajak yang progresif membuat beban pajak penghasilan antar perusahaan dalam suatu tahun pajak berbeda tergantung pada proporsi dari masing-masing kategori penghasilan dan jumlah atau besaran penghasilan kena pajaknya. Untuk memperoleh penghasilan, baik yang berupa penghasilan bukan obyek pajak (PBOP), penghasilan kena pajak atau penghasilan obyek pajak dikenakan pajak berdasar tarif umum-pasal 17 (PKP = POPTU), dan penghasilan obyek pajak tertentu (POPT) diperlukan upaya & pengorbanan yang berupa biaya dan fasilitas atau investasi yang sama. Tidak ada penghasilan yang bisa didapat oleh perusahaan tanpa pengorbanan atau biaya. Pengecualian suatu penghasilan dari pengenaan pajak dapat dipandang sebagai fasilitas yang diberikan oleh pemerintah atau otoritas pajak. Oleh karena itu, untuk tujuan pengambilan keputusan terkait dengan aktivitas operasi (seperti: penghentian atau penutupan segmen), investasi (seperti penggantian aset tetap, perluasan usaha atau ekspansi), dan pendanaan (seperti penerbitan sekuritas utang, pelunasan utang sebelum tanggal jatuh tempo); tarif pajak menurut ketentuan pajak (statutory rates) dapat dikatakan kurang relevan. Untuk membuat keputusan-keputusan manajerial demikian itu, tarif pajak harus dapat dibedakan lebih lanjut ke dalam: (i) tarif efektif (effective rate), dan (ii) tarif marjinal (marginal rate); yang untuk masing-masing wajib pajak dan untuk wajib pajak tertentu pada setiap tahun pajaknya bisa jadi berbeda. Untuk memberikan gambaran tentang perbedaan dari ketiga tarif pajak (statutory, effective, dan marginal rate) diberikan contoh sebagai berikut:

Contoh-11: Statutory Rate Vs Effective RateSuatu perusahaan wajib pajak-badan dalam negeri memperoleh penghasilan dalam dua tahun pajak terakhir sebagai berikut (rupiah dalam ribuan):

Deskripsi Tahun 2009 Tahun 2010Penghasilan bukan obyek pajak (PBOP) Rp1.000.000,00 Rp2.500.000,00Penghasilan kena pajak (POPTU) 1.500.000,00 1.500.000,00Penghasilan obyek pajak tertentu (POPT) 2.500.000,00 1.000.000,00

Jumlah Rp5.000.000,00 Rp5.000.000,00

Dengan asumsi ketentuan perpajakan untuk dua tahun tersebut, tarif pajak (statutory rate) yang berlaku adalah sebagai berikut: (i) tarif pajak untuk penghasilan obyek pajak yang dikenakan pajak berdasar tarif umum-pasal 17 adalah proporsional sebesar 28%, dan (ii) tarif pajak untuk penghasilan obyek pajak tertentu yang dikenakan pajak bersifat final sebesar 15%. Perbedaan proporsi penghasilan dalam dua tahun pajak tersebut membuat beban pajak yang sesungguhnya pada masing-masing tahun pajak menjadi sebagai berikut (rupiah dalam ribuan):

Deskripsi Tahun 2009 Tahun 2010Pajak atas penghasilan bukan obyek pajak (PBOP) - -Pajak atas penghasilan kena pajak (PKP = POPTU) Rp375.000,00 Rp375.000,00Pajak atas penghasilan obyek pajak tertentu (POPT) 375.000,00 150.000,00Jumlah pajak penghasilan (1) Rp750.000,00 Rp525.000,00Jumlah penghasilan (2) Rp5.000.000,00 Rp5.000.000,00Tarif efektif [(1)/(2) X 100%] 15,0 % 10,5 %

Perhatikan bahwa semakin besar proporsi penghasilan bukan obyek pajak (PBOP) dan penghasilan obyek pajak yang dikenakan pajak tertentu berdasar tarif final lebih rendah dari tarif umum-pasal 17 atau penghasilan kena pajak (POPTU atau PKP), semakin rendah beban pajak penghasilan perusahaan. Beban pajak yang semakin rendah tersebut membuat tarif efektif pajak perusahaan menjadi juga semakin rendah. Pada contoh di atas tarif efektif dalam tahun pajak 2009 sama dengan tarif pajak final (15,0%) tetapi lebih rendah dari tarif umum (15,0 % < 25,0 %). Sementara itu dengan total penghasilan yang sama besar, tarif efektif untuk tahun 2010 lebih rendah dari tarif efektif tahun 2009 (10,5 % < 15,0 %) dan jauh lebih rendah baik dari tarif umum (10,5% < 25%) maupun tarif pajak final (10,5% < 15,0%). Meskipun dalam dua tahun tersebut berlaku tarif pajak menurut undang-undang perpajakan (statutory rates) dan perusahaan memperoleh penghasilan yang sama besarnya, namun beban pajak pada kedua tahun pajak berbeda jumlahnya. Tarif efektif pajak tidak lain adalah tarif pajak untuk beban pajak yang sesungguhnya relatif dalam perbandingannya dengan jumlah penghasilan dalam suatu tahun pajak. Pada struktur tarif yang progresif sebagaimana halnya pajak penghasilan untuk wajib pajak perorangan, besar-kecilnya beban pajak atas penghasilan kena pajak atau penghasilan obyek pajak yang dikenakan pajak berdasar tarif umum (PKP atau POPTU) tergantung pada besar-kecilnya penghasilan kena pajak dalam suatu tahun pajak. Semakin besar penghasilan kena pajak, semakin besar pula beban pajak yang sesungguhnya.

25

Page 26: SDPP 1 (Formula)

Dalam kondisi demikian (tarif pajak yang bersifat progresif), tarif pajak dapat dibedakan ke dalam: (i) tarif pajak sesuai dengan ketentuan perpajakan (statutory rates), (ii) tarif efektif (effective rate), dan (iii) tarif marjinal (marginal rates)

Contoh-12: Statutory rates, effective rate, dan marginal rateMenurut ketentuan perpajakan (UU-PPh No 17 tahun 2000), tarif pajak penghasilan yang berlaku untuk perusahaan perseorangan (wajib pajak-perorangan) ditetapkan sebagai berikut:

Deskripsi Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif1. Untuk penghasilan kena pajak sampai dengan Rp25,00 juta pertama 5 %2. Untuk penghasilan kena pajak sebesar Rp25,00 juta kedua 10 %3. Untuk penghasilan kena pajak sebesar Rp50,00 juta kedua 15 %4. Untuk penghasilan kena pajak sebesar Rp100,00 juta kedua 25 %5. Untuk penghasilan kena pajak dalam jumlah di atas Rp200,00 juta 35 %

Sesuai dengan ketentuan tarif pajak (statutory rates) tersebut di atas, beban dan tarif pajak pada berbagai alternatif jumlah penghasilan kena pajak dapat ditentukan sebagai berikut (rupiah dalam ribuan):

No PKP (1) PPh (2) ∆ PKP (3) ∆ PPh (4) T.E (5) T.M (6)1 Rp0,00 Rp0,00 - - - -2 25.000,00 1.250,00 Rp25.000,00 Rp1.250,00 5,00 % 5,00 %3 50.000,00 3.750,00 25.000,00 2.500,00 7,50 % 10,00 %4 75.000,00 7.500,00 25.000,00 3.750,00 10,00 % 15,00 %5 100.000,00 11.250,00 25.000,00 3.750,00 11,25 % 15,00 %6 125.000,00 17.500,00 25.000,00 6.250,00 14,00 % 25,00 %7 150.000,00 23.750,00 25.000,00 6.250,00 15,83 % 25,00 %8 175.000,00 30.000,00 25.000,00 6.250,00 17,14 % 25,00 %9 200.000,00 36.250,00 25.000,00 6.250,00 18,125 % 25,00 %10 225.000,00 45.000,00 25.000,00 8.750,00 20,00 % 35,00 %11 250.000,00 53.750,00 25.000,00 8.750,00 21,50 % 35,00 %12 275.000,00 62.500,00 25.000,00 8.750,00 22,73 % 35,00 %13 300.000,00 71.250,00 25.000,00 8.750,00 23,75 % 35,00 %14 325.000,00 80.000,00 25.000,00 8.750,00 24,62 % 35,00 %15 350.000,00 88.750,00 25.000,00 8.750,00 25,36 % 35,00 %

(2) Jumlah kolom (1) dikali tarif yang berlaku dengan memperhatikan lapisan PKP(3) Jumlah penghasilan kena pajak pada baris terkait minus jumlah penghasilan kena pajak pada baris sebelumnya (4) Jumlah kolom (3) dikali tarif sesuai ketentuan Undang-undang(5) Jumlah kolom (2) dibagi jumlah kolom (1)(6) Tarif marjinal sesuai dengan ketentuan Undang-undang

Perhatikan bahwa tarif efektif pajak penghasilan (kolom-5) berbeda tergantung pada besaran penghasilan kena pajak, semakin besar penghasilan kena pajak semakin tinggi pula tarif efektif pajaknya. Tarif efektif pajak penghasilan adalah rasio beban pajak penghasilan relatif terhadap total penghasilan kena pajak; sehingga pada hakekatnya merupakan rerata tarif pajak atas total penghasilan kena pajak. Sebagaimana tampak pada tabel, kenaikan tarif efektif semakin berkurang. Sementara kenaikan penghasilan kena pajak berjumlah Rp25,00 juta berakibat pada kenaikan tarif efektif tertinggi sebesar 5% (yang terjadi pada kenaikan penghasilan kena pajak dari semula nihil menjadi Rp25,00 juta) hingga 0,74% (yang terjadi pada kenaikan penghasilan kena pajak dari Rp325,00 juta hingga Rp350,00 juta); bahkan kenaikan tarif efektif bisa kurang dari 0,74% (untuk setiap kenaikan penghasilan kena pajak sebesar Rp25,00 juta dari jumlah penghasilan kena pajak di atas Rp350,00 juta). Dengan statutory rates yang tertinggi sebesar 35% (untuk penghasilan kena pajak di atas Rp200,00 juta), sebagai akibatnya tarif efektif pajak akan senantiasa lebih rendah atau kurang dari 35% berapapun besarnya penghasilan kena pajak. Sedang tarif marjinal (kolom-6) adalah tarif yang ditetapkan oleh Undang-undang sesuai dengan lapisan penghasilan kena pajaknya. Seperti halnya tarif efektif, semakin besar jumlah penghasilan kena pajak semakin tinggi pula tarif marjinalnya. Namun kenaikan tarif marjinal berbeda dengan kenaikan tarif efektif. Kenaikan tarif marjinal sama dengan progresivitas tarif yang ditetapkan oleh undang-undang perpajakan (yang sesuai dengan statutory rates ada 5 macam tarif marjinal, masing-masing: 5%, 10%, 15%, 25%, dan 35%). Sebagaimana tampak pada tabel di atas, sementara penghasilan kena pajak mengalami kenaikan sebesar Rp25,00 juta namun tarif marjinal bisa sebesar 5% hingga 35%; tergantung pada posisi kenaikan penghasilan kena pajak relatif dalam perbandingannya dengan jumlah penghasilan kena pajak sebelum

26

Page 27: SDPP 1 (Formula)

mengalami kenaikan. Sebagai akibatnya, tarif marjinal bisa jadi sama dengan tetapi tidak pernah lebih rendah atau kurang dari tarif efektifnya.

Contoh-13: Statutory rates, effective rate, dan marginal rateMenurut ketentuan perpajakan (UU-PPh No 36 tahun 2008), tarif pajak penghasilan yang berlaku untuk perusahaan perseorangan (WP-orang pribadi dalam negeri) ditetapkan sebagai berikut:

Deskripsi Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif1. Untuk penghasilan kena pajak s/d Rp50,00 juta pertama 5 %2. Untuk penghasilan kena pajak sebesar Rp50,00 juta s/d Rp250,00 juta 15%3. Untuk penghasilan kena pajak sebesar Rp250,00 juta s/d Rp500,00 juta 25 %4. Untuk penghasilan kena pajak lebih dari Rp500,00 juta 30 %

Sesuai dengan ketentuan tarif pajak (statutory rates) tersebut di atas, beban dan tarif pajak pada berbagai alternatif jumlah penghasilan kena pajak dapat ditentukan sebagai berikut (rupiah dalam ribuan):

No PKP (1) PPh (2) ∆ PKP (3) ∆ PPh (4) T.E (5) T.M (6)1 Rp0,00 Rp0,00 - - - -2 50.000,00 2.500,00 Rp50.000,00 Rp2.500,00 5,00 % 5,00 % 3 150.000,00 17.500,00 100.000,00 15.000,00 11,67 % 15,00 %4 250.000,00 32.500,00 100.000,00 15.000,00 13,00 % 15,00 %5 350.000,00 57.500,00 100.000,00 25.000,00 16,43 % 25,00 %10 450.000,00 82.500,00 100.000,00 25.000,00 18,33 % 25,00 %11 550.000,00 110.000,00 50.000,00 12.500,00 20,00 % 25,00 %

- - 50.000,00 15.000,00 - 30,00 %12 650.000,00 140.000,00 100.000,00 30.000,00 21,54 % 30,00 %13 750.000,00 170.000,00 100.000,00 30.000,00 22,67 % 30,00 %14 850.000,00 200.000,00 100.000,00 30.000,00 23,53 % 30,00 %15 950.000,00 230.000,00 100.000,00 30.000,00 24,21 % 30,00 %

Perhatikan bahwa tarif efektif pajak penghasilan (kolom-5) berbeda tergantung pada besaran penghasilan kena pajak, semakin besar penghasilan kena pajak semakin tinggi pula tarif efektif pajaknya. Sebagai rasio beban pajak penghasilan relatif terhadap total penghasilan kena pajak; pada hakekatnya tarif efektif pajak penghasilan merupakan rerata tarif pajak atas total penghasilan kena pajak. Sebagaimana tampak pada tabel, kenaikan tarif efektif semakin berkurang; yang dimulai dari 10% (untuk kenaikan penghasilan kena pajak dari semula nihil menjadi Rp50,00 juta) hingga 0,57% (untuk kenaikan penghasilan kena pajak dari semula Rp850,00 juta menjadi Rp950,00 juta). Bahkan kenaikan tarif efektif pajak penghasilan bisa kurang dari 0,57%, untuk setiap kenaikan penghasilan kena pajak sebesar Rp100,00 juta dari jumlah penghasilan kena pajak di atas Rp950,00 juta. Dengan statutory rates yang tertinggi sebesar 30% (untuk penghasilan kena pajak di atas Rp500,00 juta), sebagai akibatnya tarif efektif pajak akan senantiasa lebih rendah atau kurang dari 30% berapapun besarnya penghasilan kena pajak. Dengan jumlah penghasilan kena pajak merupakan kelipatan dari Rp50,00 juta, maka tarif efektif adalah rata-rata tertimbang dari statutory rates. Pada tingkat penghasilan kena pajak sebesar Rp100,00 juta misalnya, tarif efektif dapat ditentukan sebagai berikut: [1(0,05) + 1(0,15) = (0,05 + 0,15)/(1 + 1) = 0,10] atau 10%; dan pada tingkat penghasilan kena pajak sebesar Rp250,00 juta: [1(0,05 + 4(0,15) = (0,05 + 0,60)/(1 + 4) = 0,13] atau 13%.. Demikian pula tarif efektif untuk penghasilan kena pajak sebesar Rp500,00 juta adalah 19% [(0,05 + 0,60 + 1,25)/(1 + 4 + 5)]; dan tarif efektif untuk penghasilan kena pajak sebesar Rp1,00 milyar adalah 24,5% [(0,05 + 0,60 + 1,25 + 3,00)/(1 + 4 + 5 + 10)]. Sesuai dengan statutory rates, penghasilan kena pajak sebesar Rp1,00 milyar merupakan 1 kali kelipatan dari Rp50,00 juta untuk tarif sebesar 5%, plus 4 kali kelipatan dari Rp50,00 juta untuk tarif sebesar 15%, plus 5 kali kelipatan dari Rp50,00 juta untuk tarif sebesar 25%, plus 10 kali kelipatan dari Rp50,00 juta untuk tarif sebesar 30%. Sedang tarif marjinal (kolom-6) adalah tarif yang ditetapkan oleh Undang-undang sesuai dengan lapisan penghasilan kena pajak (statutory rates). Seperti halnya tarif efektif, semakin besar jumlah penghasilan kena pajak semakin besar pula tarif marjinalnya. Namun kenaikan tarif marjinal berbeda dengan kenaikan tarif efektif. Kenaikan tarif marjinal mengikuti atau sama dengan progresivitas tarif yang ditetapkan oleh undang-undang perpajakan (yang sesuai dengan statutory rates ada 4 macam tarif marjinal, yaitu: 5%, 15%, 25%, dan 30%). Sebagaimana tampak pada tabel di atas, sementara penghasilan kena pajak mengalami kenaikan sebesar kelipatan dari Rp50,00 juta namun tarif marjinal bisa sebesar 5% hingga 30%

27

Page 28: SDPP 1 (Formula)

tergantung pada jumlah kenaikan penghasilan kena pajak relatif dalam perbandingannya dengan jumlah penghasilan kena pajak sebelum mengalami kenaikan. Oleh karena itu, tarif marjinal bisa jadi sama dengan tetapi tidak pernah lebih rendah atau kurang dari tarif efektifnya.

Relevansi Tarif Efektif dan Tarif Marjinal Suatu perusahaan yang tarif efektif pajaknya lebih rendah dari perusahaan pesaing (untuk total penghasilan yang sama besarnya) mempunyai keunggulan kompetitif (daya saing) dibanding perusahaan pesaing tersebut. Oleh karena itu, berbagai upaya untuk meminimisasi tarif efektif pajak perlu senantiasa dilakukan oleh manajemen. Informasi tentang tarif efektif sangat diperlukan oleh manajemen di dalam membuat perencanaan laba dan pengambilan keputusan terkait dengan aktivitas operasi, investasi dan pendanaan. Hal yang juga sama pentingnya adalah mengetahui tarif marjinal pajak perusahaan untuk dapat membuat perencanaan dan pengambilan keputusan finansial lainnya. Untuk dapat lebih memahami arti pentingnya efek dari tarif efektif dan tarif marjinal pajak diberikan contoh-contoh sebagai berikut.

Contoh-14: Relevansi Tarif EfektifDua perusahaan sejenis wajib pajak-badan dalam negeri, dalam tahun pajak 2009 mempunyai kapasitas dan target produksi & penjualan serta struktur biaya yang sama, tetapi mempunyai tarif efektif pajak yang berbeda sebagai berikut:

Deskripsi PT ABC PT BCAKapasitas produksi & penjualan 1.300 unit 1.300 unitTarget produksi & penjualan 1.250 unit 1.250 unitHarga jual per unit produk (Rph) 10.000.000,00 10.000.000,00Biaya variabel per unit produk (Rph) 6.000.000,00 6.000.000,00Biaya tetap per tahun (Rph) 2.500.000.000,00 2.500.000.000,00Tarif efektif pajak penghasilan 25 % 28 %

Sebagaimana tampak pada tabel berikut ini, kedua perusahaan mempunyai tingkat penjualan impas (break even point) dan margin of safety yang sama, masing-masing 625 unit atau Rp6,25milyar [(Rp2.500,00 juta/Rp4,00 juta) X 1 unit atau (Rp2,50 milyar/0,40)], dan 50% [(Rp12,50 milyar - Rp6,25 milyar)/Rp12,50 milyar) X 100%]. Dengan asumsi realisasi produksi & penjualan dalam tahun berjalan sama dengan target produksi dan penjualan, maka perbedaan tarif efektif pajak penghasilan membuat PT ABC berpeluang untuk dapat menghasilkan after-tax profit margin yang lebih besar (Catatan: Tarif pajak untuk wajib pajak-badan bersifat proporsional, sehingga tarif efektif pajak dari setiap perusahaan akan senantiasa sama dengan statutory rate, yang menurut UU PPh-tahun 2008 adalah 28% untuk tahun 2009 dan 25% untuk tahun 2010 dan seterusnya).

Penghasilan atau laba sesudah pajak (after-tax profit margin) sama dengan hasil perkalian dari persentase atau jumlah relatif penghasilan kena pajak terhadap peredaran bruto dengan (1 – tarif efektif) -yang pada PT ABC adalah (0,20) X (1- 0,25), sedang pada PT BCA adalah (0,20)(1 – 0,28). Perbedaan tarif pajak sebesar 3% (dari 28% dibanding 25%) membuat PT ABC berkemampuan untuk menghasilkan after-tax profit margin 0,6% (15,0 % - 14,4 %) lebih tinggi dibanding PT BCA. Selisih after-tax profit margin sebesar 0,6% tersebut sama dengan selisih tarif pajak dikali persentase atau jumlah relatif penghasilan kena pajak dari peredaran brutonya [(0,28 – 0,25) X 20%].

No Deskripsi PT ABC PT BCA1 Hasil penjualan menurut target produksi & penjualan Rp12.500.000.000,00 Rp12.500.000.000,002 Tingkat penjualan impas 6.250.000.000,00 6.250.000.000,00 3 Margin of safety

Dalam rupiah (3 = 1 – 2) Rp6.250.000.000,00 Rp6.250.000.000,00 Dalam persentase [3 = (1 – 2)/ 1] 50 % 50 %

4 Penghasilan kena pajak Dalam rupiah [(0,40 X 1) – Rp2,50 milyar] Rp2.500.000.000,00 Rp2.500.000.000,00 Dalam persentase (4/ 1) 20 % 20 %

5 Pajak penghasilan (5 = Tp X 4) Rp625.000.000,00 Rp700.000.000,006 After tax profit margin (*):

Dalam rupiah Rp1.875.000.000,00 Rp1.800.000.000,00 Dalam persentase 15,0 % 14,4 %

(*) PT ABC = (1 - 0,25) X [(0,40 X Rp12.500,00 juta - Rp2.500,00 juta) = Rp1.875,00 juta atau 15,0 %

28

Page 29: SDPP 1 (Formula)

PT BCA = (1 - 0,28) X [(0,40 X Rp12.500,00 juta - Rp2.500,00 juta] = Rp1.800,00 juta atau 14,4 %

Pada tarif pajak proporsional, tarif efektif pajak penghasilan dapat dinyatakan dari peredaran bruto sebagai statutory rate dikali persentase ata jumlah relatif penghasilan kena pajak dari peredaran bruto. Pada tingkat penghasilan kena pajak sebesar 20% dari peredaran bruto misalnya, tarif pajak penghasilan sebesar 25% (PT ABC) akan ekuivalen dengan 5% (0,25 X 20%) dari peredaran bruto; dan tarif pajak penghasilan sebesar 28% (PT BCA) akan ekuivalen dengan 5,6% (0,28 X 20%) dari peredaran brutonya.

Contoh-15: Relevansi Tarif MarjinalSuatu perusahaan perseorangan (wajib pajak perorangan) sedang mempertimbangkan untuk memperluas usahanya dengan bekerja dua shift per hari selama 5 hari kerja per minggu terhitung sejak awal tahun 2010. Berikut adalah ikhtisar laba-rugi perusahaan dalam tahun pajak 2009:

No Deskripsi Jumlah %1 Hasil penjualan Rp1.200.000.000,00 100,002 Biaya variabel (50%) 600.000.000,00 50,003 Laba kontribusi (50%) 600.000.000,00 50,004 Krg: Biaya tetap 350.000.000,00 29,175 Penghasilan kena pajak 250.000.000,00 20,836 Pajak penghasilan 32.500.000,00 2,717 Laba bersih sesudah pajak Rp217.500.000,00 18,13

Tanpa memperluas usahanya (atau dengan tetap bekerja 1 shift per hari) diharapkan dalam tahun pajak 2010 perusahaan akan tetap dapat mempertahankan after tax profit margin yang sama dengan tahun sebelumnya sebesar Rp217,50 juta atau 18,13%. Ekspansi akan berdampak pada kenaikan biaya tetap sebesar Rp150,00 juta per tahun (dari semula sebesar Rp350,00 juta menjadi Rp500,00 juta), namun tetap dapat mempertahankan rasio biaya variabel terhadap hasil penjualan sebesar 50% atau rasio laba kontribusi sebesar 50% seperti halnya pada tahun sebelumnya. Perhatikan bahwa tingkat penghasilan kena pajak perusahaan (sebelum ekspansi) berjumlah Rp250,00 juta, yang berarti tarif pajak yang relevan bagi perusahaan tidak lagi tarif efektif sebesar 13% [(Rp32,50 juta/ Rp250,00 juta) X 100%] tetapi tarif marjinal sebesar 25% untuk tambahan penghasilan kena pajak sampai dengan Rp250,00 juta dan 30% untuk tambahan penghasilan kena pajak di atas Rp250,00 juta.

(i) Penjualan minimum agar ekspansi berupa penambahan jumlah jam kerja tidak berakibat mengurangi laba bersih yang dapat diperoleh dari aktivitas operasi sebanyak satu shift per hari dapat ditentukan berdasar formula penjualan impas sebagai berikut:

Penjualan minimum-shift II = (Biaya tetap shift II)/ (Rasio laba kontribusi) = (Rp150,00 juta)/(0,50)

= Rp300,00 juta.(ii) Penjualan minimum agar ekspansi berupa penambahan jumlah jam kerja menghasilkan laba bersih

sesudah pajak sebesar Rp187,50 juta [(1 – 0,25) X Rp250,00 juta] sehingga tarif marjinal 25% berlaku penuh, dapat ditentukan berdasar formula penjualan impas dengan terlebih dulu menentukan jumlah penghasilan kena pajak yang harus dihasilkan setelah memperhitungkan tarif pajak marjinal sebesar 25% sebagai berikut:

Penghasilan kena pajak-shit II = (Rp187,50 juta)/ (1 - 0,25)= Rp250,00 juta

Penjualan minimum -shift II = (Rp150,00 juta + Rp250,00 juta)/(0,50) = Rp800,00 juta

Hasil perhitungan penjualan minimum yang harus dicapai dari aktivitas operasi shift-II agar diperoleh laba sesudah pajak sebesar Rp187,50 juta tersebut dapat diverifikasi sebagai berikut (rupiah dalam ribuan):

No DeskripsiShift-I Shift-II Shift-I + II

Jumlah % Jumlah % Jumlah %1 Hasil penjualan Rp1.200,00 100,00 Rp800,00 100,00 Rp2.000,00 100,002 Biaya variabel (50%) 600,00 50,00 400,00 50,00 1.000,00 50,00

29

Page 30: SDPP 1 (Formula)

3 Laba kontribusi (50%) Rp600,00 50,00 Rp400,00 50,00 Rp1.000,00 50,004 Krg: Biaya tetap 350,00 29,17 150,00 18,75 500,00 25,005 Penghasilan kena pajak 250,00 20,83 250,00 31,25 500,00 25,006 Pajak penghasilan 32,50 2,71 62,50 7,81 95,00 4,757 Laba bersih Rp217,50 18,13 Rp187,50 23,44 Rp405,00 20,25

Kenaikan penjualan di atas Rp800,00 juta akan membuat penghasilan kena pajak menjadi lebih dari Rp500,00 juta, sehingga terkena pajak berdasar tarif marjinal 30%. Dengan kenaikan hasil penjualan dari shift-II sebesar Rp1,00 milyar dari semula Rp1,20 milyar menjadi Rp2,20 milyar misalnya, akan membuat penghasilan kena pajak mengalami kenaikan sebesar Rp350,00 juta [(0,50 X Rp1,00 milyar) – Rp150,00 juta] dari semula Rp250,00 juta menjadi Rp600,00 juta. Dari total kenaikan penghasilan kena pajak Rp350,00 juta tersebut, sebesar Rp250,00 juta dikenakan pajak berdasar tarif 25%, dan sebesar Rp100,00 juta sisanya dikenakan pajak berdasar tarif 30%. Sebagai akibatnya, dengan jumlah penghasilan kena pajak sebesar Rp600,00 juta, perusahaan akan terutang pajak sebesar Rp125,00 juta sehingga tarif efektif pajaknya menjadi 20,83% (Rp125,00 juta/Rp600,00 juta), dan after-tax profit marginnya menjadi 21,59%.

MAKSIMISAI PENGHASILAN BUKAN OBYEK PAJAKUndang-undang Pajak Penghasilan membedakan penghasilan ke dalam tiga kategori: (i) penghasilan obyek pajak yang dikenakan pajak berdasar tarif umum pasal-17 (PKP); (ii) penghasilan obyek pajak dikenakan pajak tertentu (POPT); dan (iii) penghasilan bukan obyek pajak (PBOP). Adanya penghasilan obyek pajak yang dikenakan pajak tertentu dan penghasilan bukan obyek pajak memberikan peluang kepada manajemen untuk memperoleh penghematan pajak. Penghasilan bukan obyek pajak harus dimaksimisasikan karena memberikan peluang kepada manajemen untuk dapat memberikan imbalan yang lebih besar kepada para pemegang saham.

Undang-undang Pajak Penghasilan memang mengakui adanya penghasilan bukan obyek pajak, namun sangat membatasi keberadaannya sehingga praktis tidak dimungkinkan suatu perusahaan untuk memperoleh penghasilan bukan obyek pajak tanpa adanya penghasilan obyek pajak (kecuali untuk perusahaan dalam bidang-bidang usaha tertentu). Di samping itu, tidak setiap perusahaan berpeluang untuk memperoleh penghasilan bukan obyek pajak. Untuk dapat merealisasikan penghasilan bukan obyek pajak, perusahaan harus mendesain transaksi atau aktivitas operasinya (bahkan harus dimulai dari aktivitas investasi dan pendanaan) sesuai dengan ketentuan pajak. Sesuai dengan ketentuan pajak, dalam hal biaya yang diperlukan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan bukan obyek pajak (biaya 3 MP) tidak dapat diidentifikasi secara terpisah; total biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan harus dialokasikan secara proporsional kepada penghasilan bukan obyek pajak dan penghasilan obyek pajak. Seperti halnya penghasilan obyek pajak, penghasilan bukan obyek pajak tidak bisa diperoleh tanpa biaya. Menurut ketentuan pajak, dalam hal biaya yang diperlukan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan bukan obyek pajak tidak dapat diidentifikasi secara terpisah; total biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan harus dialokasikan secara proporsional.

Sebagai contoh, suatu perusahaan dalam tahun pajak 2009 memperoleh penghasilan bruto obyek Psl-17 sebesar Rp500,00 juta dan penghasilan bukan obyek pajak sebesar Rp250,00 juta. Untuk merealisasikan penghasilan tersebut diperlukan biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan sebesar seluruhnya Rp825,00 juta.

(i) Dengan asumsi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan bukan obyek pajak tidak bisa diidentifikasi secara terpisah, maka total biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan sebesar Rp825,00 juta dialokasikan secara proporsional kepada penghasilan obyek pajak-Psl 17 dan penghasilan bukan obyek pajak. Jumlah Penghasilan Kena Pajak sebagai basis perhitungan pajak yang terutang dalam tahun pajak berjalan adalah sebagai berikut (rupiah dalam ribuan):

Deskripsi Total PBOP POP, Psl-17Total penghasilan bruto Rp750.000,00 Rp250.000,00 Rp500.000,00Krg: Biaya 3 MP 825.000,00 275.000,00 550.000,00Penghasilan Kena Pajak (Rugi Fiskal) Rp(75.000,00) Rp(25.000,00) Rp(50.000,00)

(ii) Diasumsikan bahwa biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang berjumlah seluruhnya Rp825,00 juta, terdiri dari biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara khusus untuk penghasilan bukan obyek pajak sebesar Rp175,00 juta (didukung oleh bukti-bukti memadai); dan sisanya sebesar Rp650,00 juta merupakan biaya untuk mendapatkan, menagih dan

30

Page 31: SDPP 1 (Formula)

memelihara penghasilan obyek pajak Psl-17 (juga didukung oleh bukti-bukti yang memadai). Atas dasar asumsi demikian maka jumlah Penghasilan Kena Pajak sebagai basis perhitungan pajak penghasilan yang terutang dalam tahun pajak 2009 adalah sebagai berikut (rupiah dalam ribuan):

Deskripsi Total PBOP POP, Psl-17Total penghasilan bruto Rp750.000,00 Rp250.000,00 Rp500.000,00Krg: Biaya 3 MP 825.000,00 175.000,00 650.000,00Penghasilan Kena Pajak (Rugi Fiskal) Rp(75.000,00) Rp75.000,00 Rp(150.000,00)

Untuk memaksimumkan penghasilan bukan obyek pajak, setiap perusahaan dituntut untuk dapat mengidentifikasi dan mendokumentasi transaksi-transaksi biaya yang diperlukan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan bukan obyek pajak secara terpisah dari biaya-biaya yang diperlukan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan obyek pajak. Kecuali hal demikian dapat dilakukan, perusahaan akan tidak bisa memanfaatkan keberadaan penghasilan bukan obyek pajak untuk memperoleh penghematan pajak. Sifat dan jenis usaha serta faktor-faktor internal daan eksternal yang mempengaruhi aktivitas operasi, investasi, dan pendanaan perusahaan sangat berperan dalam menentukan kemampuan untuk memaksimumkan jumlah penghasilan bukan obyek pajak. Di samping itu, Undang-undang perpajakan berubah dari waktu ke waktu, dan hampir dapat dipastikan kesempatan untuk bisa merealisasikan penghasilan bukan obyek pajak akan semakin kecil dan berbeda antar perusahaan. Sesuai dengan ketentuan Psl 4 ayat 3 Undang-undang Pajak Penghasilan tahun 2000, seperti dikutip berikut ini, tampak bahwa tidak setiap perusahaan sebagai Wajib Pajak mempunyai peluang yang sama untuk bisa merealisasikan penghasilan bukan obeyk pajak. Suatu jenis penghasilan yang bagi perusahaan tertentu termasuk dalam kategori bukan obyek pajak, bisa jadi merupakan penghasilan obyek pajak bagi perusahaan yang lain. Demikian pula sebaliknya, penghasilan tertentu yang bagi suatu perusahaan merupakan obyek pajak, bisa jadi termasuk penghasilan bukan obyek pajak bagi perusahaan lainnya.

Tabel: Penghasilan Bukan Obyek Pajak (Ketentuan Pasal 4, ayat 3 UU, PPh tahun-2000)a. bantuan atau sumbangan, dan harta hibahan yang diterima oleh: (i) keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu

derajat; (ii) badn keagamaan, badan pendidikan, badan sosial, dan pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, atau enguasaan antara pihak-pihak yng bersangkutan,

b. warisanc. harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana dimaksud dalam psl 2 yat 1 huruf (b) sebagai

pengganti saham atau penyertaan modal,d. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura

dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau pemerintah,e. pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan,

asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa, f. dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi,

yayasan atau organisasi yang sejenis, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah; dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia,

g. iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pembei kerja maupun pegawai; dan penghasilan dari modal yang ditanamkan dalam bidang- bidang tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan,

h. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, dan kongsi,

i. bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksa dana,j. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang

didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia; dengan syarat badan pasangan usaha tersebut: (i) merupakan perusahaan kecil, menengah, atau menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan; dan (ii) sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.

Perhatikan substansi dari item-item yang menurut ketentuan Psl 4 ayat 3 UU-PPh tahun 2000 di atas tidak termasuk obyek pajak. Di samping tidak seluruh item merupakan penghasilan, dalam arti tambahan kemampuan ekonomis untuk memberikan kompensasi kepada para pemilik atau pemegang saham atas investasinya di dalam perusahaan, juga dapat dipastikan bahwa tidak setiap perusahaan berpeluang untuk bisa memperoleh penghasilan bukan obyek pajak. Faktor-faktor internal dan eksternal, dan sifat serta jenis usaha perusahaan merupakan penting yang mempengaruhi kemampuan perusahaan untuk dapat merealisasikan penghasilan bukan obyek pajak.

31

Page 32: SDPP 1 (Formula)

MAKSIMISASI PENGHASILAN TERTENTU-DIKENAKAN PAJAK FINAL Undang-undang Pajak Penghasilan mendefinisikan penghasilan dalam arti luas. Namun disisi yang lain, untuk pengenaan atau pemungutan pajaknya, Undang-undang Pajak Penghasilan (Uu No. 17 tahun 2000) membedakan penghasilan tersebut ke dalam 3 kategori: (i) penghasilan sebagai obyek pajak yang dikenakan pajak berdasar tarif umum Psl-17 (Psl 4 ayat 1); (ii) penghasilan dipungut pajak tertentu, khusus nya pajak final (Psl 4 ayat 2); dan (iii) penghasilan bukan obyek pajak (Psl 4 ayat 3). Baik penghasilan yang merupakan obyek pajak yang dikenakan pajak berdasar tarif umum Psl -17, penghasilan yang dipungut pajak tertentu bersifat final, maupun penghasilan bukan obyek pajak semuanya merupakan aliran masuk sumber-sumber ke dalam perusahaan sebagai Wajib Pajak. Oleh karena itu, bagi para pemodal penggolongan penghasilan demikian relatif tidak relevan. Bagi para pemodal, satu-satunya pertanyaan terkait dengan semua penghasilan tersebut adalah “seberapa besar jumlah pajak yang terutang?” Dengan lain perkataan, para pemodal hanya berkepentingan pada jumlah penghasilan neto sesudah pajak sebagai indikator tentang kemampuan perusahaan untuk memberikan imbalan atas investasi mereka di dalam perusahaan.

Dengan dasar pemikiran yang sama, minimisasi pajak yang terutang dalam tahun berjalan juga dapat dilakukan melalui maksimisasi penghasilan tertentu yang dipungut pajak final, berdasar tarif yang pada umumnya kurang dari tarif marjinal tertinggi atau kurang dari 30%, seperti diatur dalam Psl 4 ayat-2, UU PPh tahun 2000. Penghasilan tertentu yang dipungut pajak final diatur secara lebih spesifik dalam pasal-pasal 21, 22, 23, dan pasal 26. Terhadap penghasilan-penghasilan tertentu yang dipungut pajak final tersebut perencanaan pajaknya harus dilakukan secara ekstra hati-hati. Bagi perusahaan sebagai Wajib Pajak, penghasilan-penghasilan yang dipungut pajak final dapat dikelompokkan ke dalam 2 kategori: (i) pajak atas penghasilan-penghasilan tertentu yang dikenakan secara terpisah dari penghasilan obyek pajak yang dikenakan pajak berdasar tarif umum Psl-17, dan (ii) pajak penghasilan tambahan (surcharge).

Termasuk dalam kategori penghasilan tertentu yang dikenakan pajak secara terpisah dari penghasilan obyek pajak Psl-17, antara lain adalah: penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan (untuk WP-Badan digabungkan dengan penghasilan lainnya), penghasilan dari penjualan saham di bursa efek, penghasilan berupa bunga deposito, tabungan, serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia. Tarif pajak atas penghasilan tertentu yang bersifat final sangat bervariasi, di mualai dari 0,1% hingga 20%, dan dengan basis pajak yang juga bervariasi (ada nilai bruto transaksi, nilai atau harga beli, nilai atau harga kontrak). Termasuk dalam kategori pajak final yang pada hakekatnya merupakan pajak penghasilan tambahan (surcharge) adalah pajak penghasilan atas Penghasilan Kena Pajak setelah dikurangi pajak penghasilan berdasar tarif umum Psl-17 dari suatu Bentuk Usaha Tetap yang tidak ditanamkan kembali di Indonesia (atau pajak atas repatriasi laba-Psl 26 ayat 4).

Efek dari adanya penghasilan tertentu yang dikenakan pajak final, bisa jadi: (i) positif, dalam arti mengurangi beban dan pajak yang terutang; (ii) netral, dalam arti tidak mengurangi beban dan pajak yang terutang; atau (iii) negatif, dalam arti justru membuat beban dan pajak yang terutang menjadi lebih besar dibanding tanpa adanya penghasilan tertentu yang dikenakan pajak final; tergantung pada besaran tarif pajak final relatif dalam perbandingannya dengan tarif pajak marjinalnya. Secara garis besar saling hubungan antara tarif pajak final dengan tarif marjinal dan efeknya terhadap beban atau pajak penghasilan yang terutang dapat dinyatakan sebagai berikut:

Sebagai contoh, tiga perusahaan sejenis wajib pajak-perorangan (perusahaan A, B, dan C) dalam suatu tahun pajak memperoleh total penghasilan yang terdiri dari: (i) penghasilan obyek pajak Psl-17, dan (ii) penghasilan tertentu yang dikenakan pajak final berdasar tarif 15%; dengan komposisi yang berbeda satu sama lain sebagai berikut (rupiah dalam ribuan):

Deskripsi Perusahaan-A Perusahaan-B Perusahaan-CPenghasilan obyek pajak Psl-17 Rp25.000,00 Rp225.000,00 Rp475.000,00Penghasilan dikenakan pajak final 25.000,00 25.000,00 25.000,00Total penghasilan neto Rp50.000,00 Rp250.000,00 Rp500.000,00

32

Efek posistif, jika tarif pajak final (TF) < tarif marjinal (TM)Efek netral, jika tarif pajak final (TF) = tarif marjinal (TM)Efek negatif, jika tarif pajak final (TF) > tarif marjinal (TM)

Page 33: SDPP 1 (Formula)

Perhatikan bahwa tanpa adanya penghasilan tertentu yang dikenakan pajak final, maka sesuai dengan jumlah penghasilan serta statutory rates menurut ketentuan Psl-17 UU PPh tahun 2008 tarif pajak marjinal yang berlaku pada masing-masing perusahaan adalah: 5% untuk perusahaan-A, 15% untuk perusahaan-B, dan 25% untuk perusahaan-C. Tanpa adanya penghasilan tertentu yang dikenakan pajak final tersebut, jumlah pajak penghasilan yang terutang dalam tahun berjalan oleh masing-masing perusahaan adalah: (i) sebesar Rp2,50 juta untuk perusahaan-A, (ii) sebesar Rp32,50 juta untuk perusahaan-B, dan (iii) sebesar Rp95,00 juta untuk perusahaan-C. Sedang jumlah pajak penghasilan yang terutang oleh masing-masing perusahaan dalam tahun pajak berjalan sebagai akibat dari adanya penghasilan tertentu yang dikenakan pajak final (berdasar tarif 15%) adalah sebagai berikut (rupiah dalam ribuan):

Deskripsi Perusahaan-A Perusahaan-B Perusahaan-C1 Dengan penghasilan obyek pajak final:a. Penghasilan obyek pajak Psl-17 Rp25.000,00 Rp225.000,00 Rp475.000,00b. Penghasilan tertentu 25.000,00 25.000,00 25.000,00c. Jumlah penghasilan neto (= PKP) Rp50.000,00 Rp250.000,00 Rp500.000,00d. Pajak penghasilan terutang: PPh Psl-17, tarif 5% Rp1.250,00 Rp2.500,00 Rp2.500,00 PPh Psl-17, tarif 15% 0,00 26.250,00 30.000,00 PPh Psl-17, tarif 25% 0,00 0,00 56.250,00 PPh final (0,15 X b) 3.750,00 3.750,00 3.750,00 Jumlah PPh terutang Rp5.000,00 Rp32.500,00 Rp92.500,00e. Tarif efektif ( jumlah d : c) 0,10 0,13 0,185

2. Tanpa penghasilan obyek pajak final:a. Jumlah penghasilan neto (= PKP) Rp50.000,00 Rp250.000,00 Rp500.000,00b. Pajak penghasilan terutang: PPh psl-17, tarif 5% 2.500,00 2.500,00 Rp2.500,00 PPh Psl-17, tarif 15% 0,00 30.000,00 30.000,00 PPh Psl-17, tarif 30% ---------------- ----------------- 62.500,00 Jumlah PPh terutang Rp2.500,00 Rp32.500,00 Rp95.000,00c. Tarif efektif ( jumlah b : a) 0,05 0,13 0,19

Bagi perusahaan-A, keberadaan penghasilan tertentu yang dipungut pajak final berdampak negatif (penghematan pajak negatif); sebagaimana tampak pada jumlah pajak yang terutang yang lebih besar dan tarif efektif pajaknya yang lebih tinggi (dibanding apabila tidak ada penghasilan tertentu yang dikenakan pajak final). Hal ini disebabkan oleh karena jumlah penghasilan yang dikenakan pajak berdasar tarif umum (Pasal-17) masih kurang dari Rp50,00 juta (batas tarif marjinal sebesar 5%), sementara itu penghasilan tertentu dikenakan pajak berdasar tarif 15% lebih tinggi dari tarif marjinalnya. Sebagai konsekuensinya, tarif efektif pajak perusahaan dengan penghasilan tertentu yang dikenakan pajak final (=10%), jauh lebih tinggi dengan tarif efektif pajak tanpa adanya penghasilan tertentu yang dikenakan pajak final (=5%). Atas penghasilan tertentu perusahaan terutang pajak Rp2,50 juta [(0,15 – 0,05 X Rp25,00 juta] lebih besar. Berbeda halnya dengan perusahaan-B, keberadaan penghasilan tertentu yang dikenakan pajak final berdampak netral. Tarif marjinal pajak perusahaan sesuai dengan tingkat penghasilan kena pajaknya adalah 15%, sama dengan tarif pajak final yang dikenakan atas penghasilan tertentu. Sebagai akibatnya, tarif efektif pajak dengan dan tanpa penghasilan tertentu yang dikenakan pajak final sama besarnya (=13%). Sebaliknya bagi perusahaan-C, keberadaaan penghasilan tertentu yang dikenakan pajak final berdampak positif (penghematan pajak positif sebesar Rp2,50 juta atau 0,50%). Hal ini disebabkan oleh karena atas penghasilan tertentu hanya dikenakan pajak sebesar 15%, sementara tarif marjinal pajak perusahaan sesuai dengan tingkat penghasilan kena pajaknya adalah 25%. Atas penghasilan tertentu perusahaan dapat menghemat pajak sebesar Rp2,50 juta [(0,25 – 0,15) X Rp25,00 juta].

MAKSIMISASI BIAYA FISKAL Komponen Penghasilan Kena Pajak yang kedua adalah biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. Menurut ketentuan Undang-undang Pajak Penghasilan, pada dasarnya hanya biaya yang berhubungan langsung dengan usaha atau kegiatan yang diperlukan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang dapat diperlakukan sebagai pengurang penghasilan bruto atau biaya fiskal. Secara garis besar, sebagai pengurang penghasilan bruto, biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori: (i) kos barang dijual, (ii) pengeluaran

33

Page 34: SDPP 1 (Formula)

yang masa manfaatnya tidak lebih dari satu tahun atau pengeluaran pendapatan (revenue expenditures), dan (iii) pengeluaran yang masa manfaatnya lebih dari satu tahun (capital expenditures).

Untuk meminimisasi pajak yang terutang atau memperoleh penghematan pajak, biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan harus dimaksimisasikan; dalam arti jika terhadap biaya tertentu (yang menurut ketentuan pajak dapat diperlakukan sebagai biaya fiskal) terdapat dua atau lebih alternatif jumlahnya maka sebagai biaya fiskal harus dipilih jumlah yang terbesar. Terdapat beberapa biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan baik yang termasuk dalam kategori pengeluaran pendapatan (revenue expenditures) dan pengeluaran modal (capital expenditures) yang berhubung faktor lingkungan (regulasi, faktor internal dan eksternal organisasi/perusahaan) berjumlah alternatif pada setiap tahun pajaknya. Di antara biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang jumlahnya bersifat alternatif tersebut dikemukakan berikut ini. (i) Kos Barang Dijual atau Harga Pokok Penjualan Kos barang dijual adalah salah satu contoh tipe biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau biaya fiskal yang jumlahnya bisa jadi bersifat alternatif; terutama apabila perusahaan melakukan pembelian barang dagangannya lebih dari satu kali dalam satu tahun dan dengan harga satuan yang berbeda pada setiap kali pembelian, serta tidak seluruh barang yang dibeli habis terjual dalam tahun yang sama. Sebagai contoh, suatu perusahaan dagang yang menggunakan tahun kalender sebagai tahun pajaknya memulai usahanya pada awal tahun 2009. Sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi oleh perusahaan, manajemen telah menetapkan kebijakan (anggaran) pembelian dan penjualannya dalam tahun pajak 2009 sebagai berikut:

(a) pembelian-1, 5.000 unit dengan harga @ Rp5.000,00 per unit atau sebesar seluruhnya Rp25,00 juta; (b) pembelian-2, 5.000 unit dengan harga @ Rp5.500,00 per unit atau sebesar seluruhnya Rp27,50 juta; (c) penjualan dalam satu tahun, sebanyak 9.500 unit dengan harga @ Rp7.500,00 per unit.

Dalam kondisi demikian, sekurang-kurangnya terdapat tiga alternatif jumlah kos barang dijual sebagai biaya fiskal atau biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan dalam tahun 2009 sebagai komponen pengurang penghasilan atau peredaran bruto, tergantung pada metode penentuan kos barang dijual & penilaian persediaan yang digunakan (persisnya dua alternatif, karena metode Kos-MTKP tidak akseptabel menurut ketentuan Undang-undang Pajak Penghasilan) sebagai berikut (rupiah dalam ribuan).

Perhatikan bahwa kos barang dijual sebagai biaya fiskal berbeda pada masing-masing alternatif metode penilaian persediaan dan penentuan kos barang dijual. Sebagai biaya fiskal, kos barang dijual terbesar pertama diperoleh apabila perusahaan menggunakan metode Kos-MTKP (tidak akseptabel menurut Undang-undang Pajak Penghasilan), disusul kemudian oleh metode Kos-Rerata, dan metode Kos-MPKP yang menghasilkan kos barang dijual terkecil (dalam kondisi terjadi kenaikan harga). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dalam kondisi terjadi kenaikan tingkat harga; metode Kos-MTKP merupakan metode penilaian persediaan yang paling hemat pajak –sayangnya tidak akseptabel menurut ketentuan Undang Pajak Penghasilan- disusul kemudian oleh metode Kos-Rerata. Sedang metode Kos-MPKP kurang membantu upaya manajemen untuk memperoleh penghematan pajak.

Deskripsi Kos-MPKP Kos-Rerata Kos-MTKP1. Persediaan awal tahun 0,00 0,00 0,002. Pembelian-1, 5.000 unit Rp25.000,00 Rp25.000,00 Rp25.000,00 Pembelian-2, 5.000 unit 27.500,00 27.500,00 27.500,003. Kos barang tersedia dijual, 10.000 unit Rp52.500,00 Rp52.500,00 Rp52.500,004. Krg: Persediaan akhir tahun, 500 unit* 2.750,00 2.625,00 2.500,005. Kos barang dijual, 9.500 unit Rp49.750,00 Rp49.875,00 Rp50.000,00

* Kos-MPKP @ Rp5.500,00 per unit; Kos Rerata @ Rp5.250,00 per unit; Kos-MTKP @ Rp5.000,00 per unit

Dari penjelasan efek metode penilaian persediaan dan penentuan kos barang dijual di atas, sedikit-banyak metode penilaian persediaan membawa dampak pada kemampuan perusahaan untuk memperoleh atau menghasilkan kas (cash generating ability of the firm) dari aktivitas operasinya (pada setiap tahun pajaknya, tetapi tidak untuk keseluruhan tahun pajak sampai dengan tidak ada lagi efek perbedaan metode terhadap nilai persediaan dan kos barang yang dijual). Dengan asumsi seluruh transaksi pembelian dan penjualan dilakukan secara tunai, sedang biaya usaha atau biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan lainnya berjumlah nihil (atau sama besar pada ketiga alternatif metode penilaian persediaan), dan perusahaan dikenakan pajak berdasar tarif proporsional 25%; maka efek dari masing-

34

Page 35: SDPP 1 (Formula)

masing metode penentuan kos barang dijual dan penilaian persediaan terhadap cash generating ability perusahaan tersebut dari aktivitas operasinya adalah sebagai berikut:

Efek metode penilaian persediaan terhadap cash generating ability perusahaan

DeskripsiArus Kas dari Aktivitas Operasi

Kos-MPKP Kos-Rerata Kos-MTKP1. Penerimaan kas (= penjualan) Rp71.250.000,00 Rp71.250.000,00 Rp71.250.000,002. Pengeluaran kas 2.1 Pembelian-1 25.000.000,00 25.000.000,00 25.000.000,00 2.2 Pembelian-2 27.500.000,00 27.500.000,00 27.500.000,00 2.3 Pajak Penghasilan-25% * 5.375.000,00 5.343.750,00 5.312.500,00 Jumlah pengeluaran kas 57.875.000,00 57.843.750,00 57.812.500,003. Arus kas bersih dari operasi Rp13.375.000,00 Rp13.406.250,00 Rp13.437.500,00

* Penghasilan Kena Pajak: Metode Kos-MPKP= Rp21,50 juta; Metode Kos-Rerata = Rp21,375 juta; Kos-MTKP = Rp21,25 juta

Sebagaimana tampak pada tabel di atas, untuk transaksi pembelian dan penjualan serta penerimaan dan pengeluaran kas yang sama; perbedaan metode penilaian persediaan membuat penghasilan kena pajak dan oleh karena itu juga pajak penghasilan yang juga berbeda. Oleh karena pajak harus dibayar, perbedaan beban pajak penghasilan membuat sedikit-banyak perbedaan pada arus kas bersih dari operasi perusahaan. Perhatikan bahwa metode Kos-MTKP menghasilkan arus kas dari operasi yang terbesar disusul kemudian arus kas dari operasi menurut metode Kos-Rerata, dan metode Kos-MPKP yang terkecil. Jumlah arus kas dari operasi tersebut berbeda sebesar Rp31,25 juta atau tarif pajak dikali perbedaan jumlah penghasilan kena pajak (0,25 X Rp125,00 juta). Arus kas dari operasi tersebut berbanding terbalik dari penghasilan kena pajak, dengan penghasilan kena pajak terbesar diperoleh pada metode MPKP disusul kemudian oleh metode Kos-Rerata, dan terkecil metode Kos-MTKP dengan jumlah yang semakin berkurang sebesar Rp125,00 juta. Perbedaan jumlah penghasilan kena pajak yang semakin berkurang sebesar Rp125,00 juta tersebut tidak lain merupakan perbedaan dari jumlah kos barang dijual dan/atau nilai persediaan akhir pada masing-masing metode penilaian persediaan. Sebagaimana tampak pada tabel di atas, semakin kecil pajak penghasilan yang terutang semakin besar kemampuan perusahaan untuk memperoleh kas dari aktivitas operasinya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penggunaan metode akuntansi yang hemat pajak dapat membantu manajemen dalam meningkatkan cash generating ability perusahaan.

(ii) Biaya penyusutan (amortisasi) aset tetap (aset tak berwujud)Biaya penyusutan aset tetap dan amortisasi aset tak berwujud adalah tipe biaya fiskal yang untuk masa atau tahun pajak tertentu bisa bersifat alternatif jumlahnya. Sementara itu, eksistensi dan besaran biaya penyusutan aset tetap atau biaya amortisasi aset tak berwujud tidak mempengaruhi kemampuan perusahaan di dalam memperoleh penghasilan (revenue generating ability). Oleh karena itu, seperti halnya kos barang yang dijual dan/atau biaya pemakaian bahan baku/penolong harus dimaksimisasikan pada setiap tahun pajaknya. Memang tidak setiap aset tetap dan aset tak berwujud mempunyai konsekuensi biaya penyusutan atau biaya amortisasi yang bersifat alternatif pada setiap tahun pajaknya. Hanya aset tetap dan aset tak berwujud tertentu yang penyusutan atau amortisasi pada setiap tahun pajaknya bersifat alternatif, yaitu aset tetap dan aset tak berwujud yang metode penyusutan atau metode amortisasinya menurut ketentuan perpajakan bersifat alternatif (mutually exclusives), seperti misalnya untuk aset tetap bukan bangunan. Untuk menentukan besarnya biaya penyusutan aset tetap bukan bangunan, Undang-undang Pajak Penghasilan memberikan kesempatan kepada para wajib pajak untuk menggunakan salah satu di antara dua metode penyusutan: (i) metode garis lurus, dan (ii) metode saldo menurun ganda. Untuk itu, masa manfaat aset tetap bukan bangunan dikelompokkan ke dalam 4 kategori: (a) kelompok-I dengan masa manfaat 4 tahun, (b) kelompok-II dengan masa manfaat 8 tahun, kelompok-III dengan masa manfaat 16 tahun, dan kelompok-IV dengan masa manfaat 20 tahun. Dengan demikian tarif penyusutan pada masing-masing alternatif metode dan kelompok masa manfaatnya adalah sebagai berikut:

Tarif penyusutan aset tetap bukan bangunan

No Kelompok Aset Masa

ManfaatTarif Penyusutan per tahun

Garis Lurus Saldo Menurun1 Kelompok-I 4 tahun 25,00 % 50,00 %2 Kelompok-II 8 tahun 12,50 % 25,00 %3 Kelompok-III 16 tahun 6,25 % 12,50 %

35

Page 36: SDPP 1 (Formula)

4 Kelompok-IV 20 tahun 5,00 % 10,0 %

Sebagai contoh, suatu perusahaan wajib pajak dalam negeri menempatkan aset tetap kelompok-I sebesar nilai perolehan Rp200,00 juta pada awal tahun 2009, dan memperoleh penghasilan neto (sebelum dikurangi biaya penyusutan) sebesar Rp125,00 juta per tahun dalam masa 4 tahun. Penghasilan kena pajak dan pajak penghasilan yang terutang pada masing-masing metode penyusutan selama masa manfaat aset tetap tersebut adalah sebagai berikut (rupiah dalam ribuan):

(a) Metode Garis LurusTahun Penghasilan Neto B. Penyusutan * Phsl Kena Pajak Pajak Penghasilan2009 Rp125.000,00 Rp50.000,00 Rp75.000,00 Rp21.000,002010 125.000,00 50.000,00 75.000,00 21.000,002011 125.000,00 50.000,00 75.000,00 21.000,002012 125.000,00 50.000,00 75.000,00 21.000,00

Jumlah Rp500.000,00 Rp200.000,00 Rp300.000,00 Rp84.000,00* Tarif penyusutan sebesar 25% (100 % dibagi 4) dikali nilai perolehan aset tetap

Perhatikan efek metode depresiasi yang menghasilkan beban depresiasi yang sama pada setiap tahun terhadap tren penghasilan kena pajak dan beban pajak penghasilan terkait.

(b) Metode Saldo Menurun GandaTahun Penghasilan Neto B. Penyusutan * PKP Pajak Penghasilan2009 Rp125.000,00 Rp100.000,00 Rp25.000,00 Rp 7.000,002010 125.000,00 50.000,00 75.000,00 21.000,002011 125.000,00 25.000,00 100.000,00 28.000,002012 125.000,00 25.000,00 100.000,00 28.000,00

Jumlah Rp500.000,00 Rp200.000,00 Rp300.000,00 Rp84.000,00* Tarif penyusutan dikali nilai buku aset tetappada awal tahun, seluruh nilai buku pada awal tahun untuk tahun terakhir.

Perhatikan bahwa untuk seluruh masa manfaat aset tetap, total biaya penyusutan, total penghasilan kena pajak, dan oleh karena itu juga total pajak penghasilan berjumlah sama. Namun perhatikan, jumlah biaya penyusutan, penghasilan kena pajak, dan oleh sebab itu juga pajak penghasilan berbeda pada setiap tahun pajaknya. Pada metode garis lurus, ketiga variabel berjumlah sama besar pada setiap tahun pajaknya, sedang pada metode saldo menurun ganda ketiga variabel semakin berkurang jumlahnya. Sebagaimana tampak pada tabel di atas, secara garis besar metode saldo menurun ganda lebih konsisten dengan prinsip maksimisasi biaya fiskal pada setiap tahun pajaknya. Perhatikan tabel diatas, pada tahun 2009, terdapat dua alternatif biaya penyusutan yang dapat diperkenankan masing-masing Rp50,00 juta (metode garis lurus) dan Rp100,00 juta (metode saldo menurun ganda), demikian pula pada tahun-tahun berikutnya. Dengan menggunakan metode saldo menurun ganda memungkinkan perusahaan dapat memaksimumkan biaya penyusutan pada setiap tahun pajaknya. Oleh karena itu, secara umum dapat dikatakan metode saldo menurun ganda sebagai metode penyusutan yang lebih hemat pajak dibanding metode garis lurus. Seperti telah dikemukakan, karena pajak harus dibayar maka penghematan pajak juga berarti membantu manajemen untuk meningkatkan cash generating ability perusahaan dari aktivitas operasinya. Meskipun pada setiap kasus, nilai waktu uang harus dipertimbangkan untuk memastikan atau menentukan seberapa besar kenaikan atau tambahan arus kas yang berasal dari aktivitas operasi perusahaan tersebut.

(iii) Biaya Tidak Dapat Dikurangkan Berbeda halnya dengan biaya yang dapat dikurangkan, biaya fiskal atau pengurang penghasilan yang harus dimaksimumkan, biaya yang tidak bisa dikurangkan ada kalanya harus diminimisasi tetapi juga justru sebaliknya bisa jadi harus dimaksimisasikan. Setiap biaya mempunyai efek terhadap profitabilitas (laba sebelum pajak atau penghasilan kena pajak), namun tidak setiap biaya mempunyai efek langsung terhadap laba tunai (arus kas dari aktivitas operasi) sesudah pajak. Akan tetapi, karena setiap biaya mempunyai efek terhada laba akuntansi dan pajak penghasilan merupakan fungsi dari laba akuntansi (profitabilitas), maka dapat dipastikan setiap biaya mempunyai efek terhadap laba tunai (arus kas dari operasi) sesudah pajak. Keberadaan biaya yang tidak dapat dikurangkan akan berdampak pada kenaikan laba sebelum pajak (penghasilan kena pajak) dan oleh karena itu juga beban atau pajak penghasilan yang terutang. Oleh karena

36

Page 37: SDPP 1 (Formula)

pajak penghasilan merupakan persentase dari laba sebelum pajak (penghasilan kena pajak), maka kenaikan beban atau pajak penghasilan yang terutang akan senantiasa lebh rendah dibanding kenaikan laba sebelum pajak. Sebagai akibatnya, keberadaan biaya yang tidak dapat dikurangkan akan senantiasa berakibat pada kenaikan laba bersih (profitabilitas) sesudah pajak. Untuk alasan demikian itulah, jika dimungkinkan maka biaya yang tidak dapat dikurangkan harus dimaksimisasikan.

Akan tetapi, seperti halnya biaya yang dapat dikurangkan (biaya fiskal); pada dasarnya juga terdapat dua kategori biaya yang tidak dapat dikurangkan: (i) biaya yang memerlukan pengeluaran kas, dan (ii) biaya yang tidak memerlukan pengeluaran kas. Untuk biaya yang tidak dapat dikurangkan dan memerlukan pengeluaran kas, mengurangi laba tunai (arus kas dari aktivitas operasi) sesudah pajak sebanyak dua kali: (i) sebesar biaya terkait, dan (ii) sebesar kenaikan beban atau pajak penghasilan yang terutang. Untuk alasan demikian itulah, barangkali keberadaan biaya yang tidak dapat dikurangkan harus diminimisasikan. Berbeda halnya dengan biaya yang tidak dapat dikurangkan dan tidak memerlukan pengeluaran kas, yang hanya mengurangi laba tunai (arus kas dari aktivitas operasi) sesudah pajak sebanyak satu kali, sebesar efeknya terhadap beban atau pajak penghasilan yang terutang.

Termasuk dalam kategori biaya yang tidak dapat dikurangkan dan memerlukan pengeluaran kas, antara lain: (i) pengeluaran atau biaya untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu atau anggota pemilik perusahaan, (ii) penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura, (iii) biaya atau pengorbanan dalam jumlah yang melebihi batas kewajaran, (iv) pemberian hibah, bantuan atau sumbangan tertentu, (v) sangsi administrasi berupa bunga, denda/kenaikan pajak. Pada prinsipnya, pengeluaran atau pengorbanan demikian harus dihindarkan atau paling tidak diminimisasikan.

Sedang termasuk dalam kategori biaya yang tidak dapat dikurangkan dan tidak memerlukan pengeluaran kas, di antaranya adalah pemberian fasilitas/kenikmatan kepada eksekutif perusahaan berupa perumahan dinas, kendaraan dinas milik perusahaan.

MAKSIMISASI FASILITAS PERPAJAKAN LAINNYAPerhitungan pajak penghasilan pada khususnya dilakukan pada setiap akhir tahun pajak. Oleh karena itu, minimisasi beban atau tarif efektif pajak pada setiap tahun pajak adalah tujuan perencanaan pajak. Untuk mencapai tujuan tersebut setiap perusahaan harus berupaya untuk dapat memanfaatkan semaksimal mungkin setiap fasilitas pajak yang diberikan oleh pemerintah. Seperti halnya Undang-undang perpajakan yang lain, Undang-undang Pajak Penghasilan juga memberikan fasilitas pajak, antara lain berupa (i) kredit pajak luar negeri, (ii) kompensasi kerugian. Metode atau teknik yang dapat digunakan untuk memperoleh manfaat pajak dari masing-masing fasilitas pajak tersebut berbeda satu sama lain, tergantung pada karakteristik dan esensi dari fasilitas pajak terkait. Namun pada umumnya, manfaat pajak yang bisa diperoleh dari setiap fasilitas pajak adalah berupa alternatif jumlah pengurang beban atau pajak yang terutang. Alternatif jumlah pengurang beban atau pajak yang terutang tersebut ada yang relatif mudah diidentifikasi (seperti misalnya: efek dari kebijakan atau alternatif metode akuntansi) dan ada yang relatif sulit bahkan menuntut perencanaan atau desain transaksi-transaksi yang berhubungan dengan aktivitas operasi, investasi, dan pendanaan. Pada fasilitas pajak berupa kompensasi kerugian, Undang-undang Pajak menetapkan batas waktu kompensasi kerugian selama 5 tahun setelah tahun terjadinya kerugian. Sebagai akibatnya, secara teoritis terdapat sekurang-kurangnya dua pendekatan atau alternatif jumlah kompensasi pada setiap tahun setelah terjadinya kerugian, yaitu: (i) seluruh kerugian dikompensasikan pada tahun-tahun awal dalam batas waktu 5 tahun, dan (ii) seperlima atau 20% dari jumlah kerugian dikompensasikan pada setiap tahun setelah terjadinya kerugian selama 5 tahun berturut-turut. Masing-masing pendekatan atau alternatif mempunyai sisi positif dan negatif sebagaimana tampak pada contoh berikut:

Contoh-16: Kompensasi KerugianSuatu perusahaan wajib pajak-badan dalam negeri menderita kerugian fiskal sebesar Rp2,50 milyar dalam tahun pajak 2009, sebagaimana tercermin pada jumlah atau saldo ekuitasnya pada akhir tahun pajak 2009 berikut ini (rupiah dalam ribuan):

No Komponen Ekuitas Jumlah1 Modal saham biasa, 1.000 lembar nominal @ Rp10.000,00 Rp10.000.000,002 Agio saham 1.000.000,003 Laba yang di tahan 6.500.000,004 Rugi fiskal-2009 (2.500.000,00)5 Jumlah ekuitas Rp15.000.000,00

37

Page 38: SDPP 1 (Formula)

Sesuai dengan perencanaan yang dibuat oleh manajemen untuk masa 5 tahun ke depan setelah terjadinya kerugian fiskal dalam tahun pajak 2009 (2010 s/d 2014) diharapkan perusahaan akan memperoleh laba fiskal (penghasilan neto sebelum dikurangi kompensasi kerugian) sebesar seluruhnya Rp7,50 milyar yang terdiri dari: (i) tahun 2010 = Rp1,00 milyar, (ii) tahun 2011 = Rp1,25 milyar, (iii) tahun 2012 = Rp1,50 milyar, (iv) tahun 2013 = Rp1,75 milyar, dan (v) tahun 2014 = Rp2,00 milyar. Mekanisme dan efek kompensasi kerugian menurut masing-masing pendekatan terhadap laba bersih sesudah pajak pada setiap tahun pajaknya tampak sebagai berikut.

(i) Seluruh kerugian dikompensasikan pada tahun-tahun awal dalam batas waktu 5 tahun (ribuan rupiah):No Deskripsi 2010 2011 2012 2013 20141 Phsl Neto Rp1.000.000 Rp1.250.000 Rp1.500.000 Rp1.750.000 Rp2.000.0002 Komp. Kerugian (1.000.000) (1.250.000) (250.000) - -3 Phsl Kena Pajak - - Rp1.250.000 Rp1.750.000 Rp2.000.0004 Pajak Phsl 25% - - (312.500) (437.500) (500.000)5 Laba Bersih - - Rp937.500 Rp1.312.500 Rp1.500.000

Sedang ayat-ayat jurnal terkait dengan prosedur kompensasi kerugian dan pencatatan/pengakuan jumlah pajak penghasilan yang terutang, serta pemindahbukuan saldo laba dalam tahun berjalan ke rekening laba yang ditahan (modal atau ekuitas) pada setiap akhir tahun pajaknya adalah sebagai berikut (rupiah dalam ribuan):

AkhirTahun Rekening dan Deskripsi

JumlahDebit Kredit

2010 Rugi-Laba Rp1.000.000,00 Rugi Fiskal 2009 (Manfaat Pajak-Kompensasi Kerugian) Rp1.000.000,00

2011 Rugi-Laba Rp1.250.000,00 Rugi Fiskal 2009 (Manfaat Pajak-Kompensasi Kerugian) Rp1.250.000,00

2012 Beban Pajak Penghasilan Rp312.500,00 Utang Pajak Penghasilan Rp312.500,00Rugi-Laba Rp1.500.000,00 Beban Pajak Penghasilan Rp312.500,00 Rugi Fiskal 2009 (Manfaat Pajak-Kompensasi Kerugian) 250.000,00 Laba yang Ditahan 937.500,00

2013 Beban Pajak Penghasilan Rp437.500,00 Utang Pajak Penghasilan Rp437.500,00Rugi-Laba Rp1.500.000,00 Beban Pajak Penghasilan Rp437.500,00 Laba yang Ditahan 1.312.500,00

2014 Beban Pajak Penghasilan Rp500.000,00 Utang Pajak Penghasilan Rp500.000,00Rugi-Laba Rp2.000.000,00 Beban Pajak Penghasilan Rp500.000,00 Laba yang Ditahan 1.500.000,00

Perhatikan bahwa dengan pendekatan ini seluruh kerugian fiskal dalam tahun pajak 2009 dikompensasikan dari seluruh laba fiskal tahun 2010, seluruh laba fiskal tahun 2011, dan sisanya sebesar Rp0,25 milyar dikompensasikan dari sebagian laba fiskal tahun 2012. Sebagai akibatnya, perusahaan tidak terutang pajak penghasilan untuk tahun pajak 2010 dan 2011; dan hanya terutang pajak penghasilan sebesar Rp312,50 juta (0,25 X Rp1.500,00 juta – Rp250,00 juta) pada akhir tahun 2012. Perhatikan pula bahwa dari total laba fiskal untuk masa 6 tahun (2009 s/d 2014) sebesar Rp5,00 milyar, pada akhirnya hanya sebesar Rp5,00 milyar (Rp7,50 milyar – Rp2,50 milyar) yang dikenakan pajak, masing-masing sebesar Rp312,50 juta dalam tahun pajak 2012, Rp437,50 juta dalam tahun 2013, dan Rp500,00 juta dalam tahun 2014 atau sebesar seluruhnya Rp1,25 milyar (0,25 X Rp5,00 milyar). Sebagai akibatnya, total hak-hak pemegang saham yang semula Rp15,00 milyar pada akhir tahun 2009 menjadi Rp21,25 milyar [Rp15,00 milyar + Rp2,50 milyar + (1– 0,25)(Rp7,50 milyar – Rp2,50 milyar)] pada akhir tahun 2014. Efek pendekatan kompensasi kerugian tersebut terhadap saldo rekening modal pada setiap akhir tahun pajaknya tampak sebagai berikut (rupiah dalam jutaan):

38

Page 39: SDPP 1 (Formula)

Deskripsi 2010 2011 2012 2013 2014Modal saham Rp10.000,00 Rp10.000,00 Rp10.000,00 Rp10.000,00 Rp10.000,00Agio saham 1.000,00 1.000,00 1.000,00 1.000,00 1.000,00Laba yang ditahan 6.500,00 6.500,00 7.437,50 8.750,00 10.250,00Rugi tahun 2009 (1.500,00) (250,00) - - -Jumlah ekuitas Rp16.000,00 Rp17.250,00 Rp18.437,50 Rp19.750,00 Rp21.250,00

(ii) Kompensasi kerugian sebesar 20% setiap tahun selama waktu 5 tahun (ribuan rupiah):No Deskripsi 2010 2011 2012 2013 20141 Phsl Neto Rp1.000.000 Rp1.250.000 Rp1.500.000 Rp1.750.000 Rp2.000.0002 Komp. Kerugian (500.000) (500.000) (500.000) (500.000) (500.000)3 Phsl Kena Pajak Rp500.000 Rp750.000 Rp1.000.000 Rp1.250.000 Rp1.500.0004 Pajak Phsl 25% 125.000 187.500 250.000 312.500 375.0005 Laba Bersih Rp375.000 Rp562.500 Rp750.000 Rp937.500 Rp1.125.000

Ayat-ayat jurnal terkait dengan kebijakan dan prosedur untuk mengompensasikan kerugian, dan pencatatan pajak penghasilan yang terutang, serta pemindahbukuan saldo laba tahun berjalan ke rekening laba yang ditahan (modal atau ekuitas) dapat diikhtisarkan sebagai berikut (ribuan rupiah):

AkhirTahun Rekening dan Deskripsi

JumlahDebit Kredit

2010 Beban Pajak Penghasilan Rp125.000,00 Utang Pajak Penghasilan Rp125.000,00Rugi-Laba Rp1.000.000,00 Beban Pajak Penghasilan Rp125.000,00 Rugi Fiskal 2009 (Manfaat Pajak-Kompensasi Kerugian) 500.000,00 Laba yang Ditahan 375.000,00

2011 Beban Pajak Penghasilan Rp187.500,00 Utang Pajak Penghasilan Rp187.500,00Rugi-Laba Rp1.250.000,00 Beban Pajak Penghasilan Rp187.500,00 Rugi Fiskal 2009 (Manfaat Pajak-Kompensasi Kerugian) 500.000,00 Laba yang Ditahan 562.500,00

2012 Beban Pajak Penghasilan Rp250.000,00 Utang Pajak Penghasilan Rp250.000,00Rugi-Laba Rp1.500.000,00 Beban Pajak Penghasilan Rp250.000,00 Rugi Fiskal 2009 (Manfaat Pajak-Kompensasi Kerugian) 500.000,00 Laba yang Ditahan 750.000,00

2013 Beban Pajak Penghasilan Rp312.500,00 Utang Pajak Penghasilan Rp312.500,00Rugi-Laba Rp1.750.000,00 Beban Pajak Penghasilan Rp312.500,00 Rugi Fiskal 2009 (Manfaat Pajak-Kompensasi Kerugian) 500.000,00 Laba yang Ditahan 937.500,00

2014 Beban Pajak Penghasilan Rp375.000,00 Utang Pajak Penghasilan Rp375.000,00Rugi-Laba Rp2.000.000,00 Beban Pajak Penghasilan Rp375.000,00 Rugi Fiskal 2009 (Manfaat Pajak-Kompensasi Kerugian) 500.000,00 Laba yang Ditahan 1.125.000,00

Atas dasar ayat-ayat jurnal tersebut di atas maka dapat ditentukan efek dari kebijakan atau pendekatan dan mekanisme kompensasi kerugian terhadap saldo rekening hak-hak pemegang saham (modal atau ekuitas) perusahaan dari tahun ke tahun sebagai berikut (rupiah dalam jutaan):

Deskripsi 2010 2011 2012 2013 2014Modal saham Rp10.000,00 Rp10.000,00 Rp10.000,00 Rp10.000,00 Rp10.000,00Agio saham 1.000,00 1.000,00 1.000,00 1.000,00 1.000,00Laba yang ditahan 6.875,00 7.437,50 8.187,50 9.125,00 10.250,00Rugi fiskal 2009 (2.000,00) (1.500,00) (1.000,00) (500,00) -

39

Page 40: SDPP 1 (Formula)

Jumlah ekuitas Rp15.875,00 Rp16.937,50 Rp18.187,50 Rp19.625,00 Rp21.250,00

Perhatikan bahwa kedua pendekatan, pada akhirnya menghasilkan beban pajak dan oleh karena itu juga saldo hak-hak pemegang saham yang sama dalam masa 5 tahun setelah terjadinya kerugian fiskal pada tahun 2009. Namun kedua pendekatan menghasilkan beban pajak penghasilan pada setiap tahun pajak dan oleh karena itu juga saldo hak-hak pemegang saham pada setiap akhir tahun yang berbeda. Pendekatan pertama yang mengompensasikan kerugian pada tahun-tahun awal membuat seluruh kerugian yang terjadi pada tahun 2009, sudah habis dikompensasikan dalam tahun 2012. Efek positif dari pendekatan ini adalah, jika segala sesuatunya berjalan sebagaimana diharapkan maka: (i) sejak tahun 2013 tidak ada lagi kekhawatiran bahwa sebagian dari kerugian fiskal tahun 2009 tidak bisa dikompensasikan, dan (ii) perusahaan kembali terutang dan membayar pajak penghasilan baru dimulai dalam tahun 2012. Namun sebagai konsekuensi dari tidak adanya laba yang didapat dalam masa 3 tahun (tahun 2009 s/d tahun 2011), perusahaan tidak bisa mendistribusikan dividen dalam masa 3 tahun tersebut. Pendekatan kedua yang mengompensasikan kerugian dalam jumlah yang sama pada setiap tahun pajak membuat seluruh kerugian fiskal tahun 2009 baru habis dikompensasikan dalam tahun 2014. Sebagai akibatnya: (i) manajemen senantiasa dihadapkan pada kekhawatiran akan adanya kemungkinan tidak seluruh kerugian fiskal tahun 2009 dapat dikompensasikan pada setiap tahun pajaknya, dan (ii) perusahaan sudah kembali terutang dan membayar pajak penghasilan sejak tahun 2010 (tahun pertama sejak terjadinya kerugian). Namun pendekatan ini juga mempunyai sisi posistif, jika segala sesuatunya berjalan sebagaimana diharapkan perusahaan sudah kembali bisa mendistribusikan dividen mulai tahun 2010 (satu tahun setelah terjadinya kerugian fiskal).

Sebagai contoh, apabila jumlah laba fiskal yang diharapkan oleh perusahaan dalam masa 5 tahun setelah terjadinya kerugian dalam tahun 2009 sebesar Rp7,50 milyar ternyata hanya dapat direalisasikan sebesar Rp2,00 milyar terdiri dari: (i) tahun 2010 = Rp1.000,00 juta, (ii) tahun 2011 = Rp500,00 juta, (iii) tahun 2012 = Rp250,00 juta, (iv) tahun 2013 = Rp250,00 juta; (v) tahun 2014 = nihil. Sebagai akibatnya, (i) akan terdapat sisa kerugian sebesar Rp500,00 juta yang tidak dapat dikompensasikan, (ii) tidak semua rencana kompensasi kerugian menurut pendekatan kedua dapat diimplementasikan, karena laba fiskal pada tahun ke 3, 4 dan 5 kurang dari Rp500,00 juta. Dengan demikian, mekanisme pengompensasian kerugian pada masing-masing pendekatan akan tampak sebagai berikut.

Perhatikan bahwa kedua kebijakan kompensasi kerugian berakibat sama, terdapat sisa kerugian tahun 2009 yang tidak bisa dikompensasikan sebesar Rp500,00 juta. Pada pendekatan-2, sisa kerugian dalam masa 6 tahun sebesar Rp500,00 juta tersebut, masih harus ditambah dengan pajak penghasilan yang dibayar berlebih sebesar Rp125,00 juta (0,25 X Rp500,00 juta) dalam tahun 2010. Manajemen bisa membuat prediksi dan merencanakan laba untuk tahun-tahun mendatang, namun realisasinya bisa jadi berbeda. Sebagaimana tampak pada tahun 2012, 2013 dan 2014 manajemen merencanakan kompensasi kerugian pada setiap tahun sebesar Rp500,00 juta, namun karena jumlah laba tidak mencukupi maka kompensasi kerugian hanya dapat dilakukan sebesar maksimum sama dengan laba tahun berjalan.

Tahun Laba FiskalKompensasi Kerugian Penghasilan Kena Pajak

Pendekatan-1 Pendekatan-2 Pendekatan-1 Pendekatan-22009 (Rp2.500.000,00) (Rp2.500.000,00) (Rp2.500.000,00) - -2010 1.000.000,00 1.000.000,00 500.000,00 Nihil Rp500.000,002011 500.000,00 500.000,00 500.000,00 Nihil Nihil2012 250.000,00 250.000,00 250.000,00 Nihil Nihil2013 250.000,00 250.000,00 250.000,00 Nihil Nihil2014 - - - - -Sisa (Rp500.000,00) (Rp500.000,00) (Rp500.000,00) Nihil Rp500.000,00

Terdapat beberapa hal perlu dicatat terkait dengan kebijakan atau pendekatan dan mekanisme kompensasi kerugian tersebut sebagaimana dikemukakan di atas.

(a) Undang-undang Pajak Penghasilan memberikan fasilitas pajak berupa kompensasi kerugian hanya secara prospektif (tahun-tahun berikut setelah tahun terjadinya kerugian) dengan batas waktu maksimum 5 tahun. Sebagai akibatnya terdapat kemungkinan tidak seluruh kerugian dapat dikompensasikan (jika dalam batas waktu 5 tahun, jumlah keseluruhan laba fiskal kurang dari jumlah kerugian), sehingga berakibat pada: (1) berkurangnya ekuitas/modal perusahaan, (2) telah terjadi pengenaan pajak atas penghasilan dalam jumlah berlebih, dan (3) besar kemungkinan telah terjadi distribusi kepada pemilik yang tidak berasal dari laba perusahaan (dividen likuidasi) dan bebas atau tidak dikenakan pajak. Hal ini merupakan konsekuensi dari fasilitas kompensasi kerugian yang tidak atau kurang komprehensif. Untuk

40

Page 41: SDPP 1 (Formula)

menghindarkan kemungkinan terjadinya ketiga hal tersebut, idealnya kompensasi kerugian dapat dilakukan secara retroaktif dan secara prospektif.

(b) Dengan kompensasi kerugian yang hanya bersifat retroaktif, minimisasi pajak bisa dicapai hanya apabila kerugian dikompensasikan pada tahun-tahun awal setelah terjadinya kerugian. Penundaan untuk mengompensasikan sebagian atau kurang dari jumlah seluruh kerugian akan memperbesar risiko adanya sebagian kerugian yang tidak bisa dikompensasikan dan pembayaran pajak secara berlebih. Namun kebijakan untuk selalu mengompensasikan kerugian pada tahun-tahun awal (setelah terjadinya kerugian) bisa membuat perusahaan tidak dapat mendistribusikan dividen pada tahun-tahun awal (setelah terjadinya kerugian) tersebut, sehingga membatasi kemampuan perusahaan untuk bisa akses ke pasar modal. Akan tetapi, oleh karena pajak harus dibayar (mempengaruhi arus kas dari aktivitas operasi) maka kebijakan untuk mengompensasikan kerugian pada tahun-tahun awal setelah terjadinya kerugian dapat dikatakan lebih konsisten dengan konsep nilai waktu uang: “pajak harus dibayar tetapi apabila dimungkinkan sebaiknya pajak dibayar belakangan”. Kerugian dalam suatu tahun pajak membuat manajemen akan dihadapkan pada permasalahan kompleks tersebut. Oleh karena itu, suatu strategi yang dapat digunakan untuk mendistribusikan penghasilan kena pajak kepada setiap tahun pajak; sehingga perusahaan terhindar dari kerugian dalam suatu tahun pajak harus diimplementasikan oleh manajemen.

41